Anda di halaman 1dari 15

Batik Sebagai Budaya Populer June 23, 2011 :: Posted by - yarofa :: Category - Uncategorized SOSIOLOGI FISIP UNIVERSITAS SEBELAS

S MARET seri publikasi mata kuliah: Perubahan Sosial judul: Batik sebagai Budaya Populer nama/kelompok : Yarofa S. nim : d0308062

pengampu : akhmad ramdhon S.Sos, M.A Perubahan satu unsur kebudayaan akan mempengaruhi unsur lain dalam kebudayaan yang bersangkutan, sebab masing-masing unsur dalam kebudayaan tersebut ada salaing keterkaitan dan ketergantungan. Perubahan dari unsur budaya disesuaikan dengan kondisi yang tengah berlaku saat ini, dengan demikian setiap keadaan yang selalu mengikuti perkembangan mode dikatakan modern. Berbeda dengan istilah kuno yakni suatu keadaan yang masih sederhana sulit mengikuti perkembangan jaman dan selalu berorientasi ke belakang. Definisi budaya itu sendiri seperti yang telah dikemukakan oleh Koentjaraningrat yakni sebagai seluruh total pikiran, karya dan hasil karya manusia yang tidak berakal pada nalurinya yang hanya di cetuskan oleh manusia sesudah proses belajar. Kemudian lebih lanjut lagi dibagi kedalam tujuh unsur kebudayaan yakni sitem kepercayaan dan upacara keagamaan, sistem dan organisasi kemasyarakatan, sistem pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem pendapatan hidup, dan sistem teknologi dan peralatan. Mendasarkan konsep pada pengertian budaya yang telah disampaikan di atas maka dapat mengambil konsep batik sebagai salah satu contoh dari perwujudan budaya itu sendiri. Karena pada hakikatnya batik merupakan hasil karya seni serta hasil pikiran yang diciptakan oleh manusia. Batik sendiri merupakan salah satu budaya yang menjadi bagian dari budaya Indonesia yang mana telah menjadi budaya nasional bangsa. Dalam perspektif budaya, batik mengandung nilai filosofis yang cukup tinggi, baik dari sisi motif, cara pembuatan, hingga lamanya proses membuat selembar kain batik. Batik menyimbolkan doa dan harapan bagi pemakainya. Adapun sejarah batik itu sendiri dapat digambarkan sebagai warisan budaya khas Indonesia. Sejarah keberadaannya dan pertumbuhan tidak dapat dibantah. Batik telah ada sejak zaman kerajaan Majapahit dan kemudian memperluas tepat di masa kerajaan Mataran, Solo, dan Yogyakarta. Tidak hanya di Jawa, batik juga telah tumbuh dan berkembang di Pulau Sumatera. Dalam budaya masyarakat Jawa, kain batik tidak hanya digunakan untuk sandang atau pakaian. Batik menunjukkan prestise dan berfungsi mengungkapkan sesuatu. Selain mengandung filosofis yang tinggi, dalam perspektif budaya jawa, batik memiliki kandungan makna yang berbeda- beda. Seperti Batik sidamukti dipakai oleh pasangan pengantin. Sidamukti sendiri melambangakan sebuah harapan, jadi seketika sepasang pengantin menggunakan kain sidamukti, maka muncul keinginan untuk mencapai kehidupan baru yang berhasil atau dalam bahasa jawa disebut mukti. Kemudian ada lagi motif Batik sido drajad dipakai oleh besan ketika upacara pernikahan. Cara pemakaian batik juga memiliki nilai pendidikan tersendiri, berikut adalah beberapa uraian dari cara pemakaian kain batik. Bagi anak-anak batik dipaki dengan cara sabuk wolo. Pemakaian jenis ini memungkinkan anak-anak untuk bergerak bebas. Secara filosofis pemakaian sabuk wolo diartikan bebas moral, sesuai dengan jiwa anak-anak yang masih bebas dan belum dewasa dan belum memiliki tanggungjawab moral di dalam masyarakat. Ketika beranjak remaja maka seseorang tidak lagi mengenakan batik dengan cara sabuk wolo melainkan dengan jarit. Panjang jarit yang dipakai memiliki

arti tersendiri. Semakin pajang jarit maka semakin tinggi derajad seseorang dalam masyarakat semakin pendek jarit maka semakin rendah pula strata sosial orang tersebut dalam masyarakat. Namun secara umum, penggolongan batik dapat digolongkan menjadi dua yakni Batik klasik dan Batik Modern. Batik klasik merupakan suatu karya seni yang bersifat kuno atau tradisi yang memiliki kadar keindahan tinggi. Berkembang pesat dan mencapai puncaknya serta tidak luntur sepanjang masa, karena bermakna filosofis, yaitu mengandung unsur-unsur ajaran hidup yang banyak digunakan khususnya. Batik klasik dibuat untuk mewujudkan nilai-nilai budaya Jawa merupakan batik yang dipengaruhi oleh nilai tradisi Jawa dan didukung oleh kalanga bangsawan karaton Yogyakarta dan Surakarta. Sedangkan batik modern yakni Pada zaman modern ini, pakaian batik sudah banyak mengalami revolusi. Ada banyak sekali design baju batik yang telah mengalami perubahan ke design model baju batik modern untuk dapat mengimbangi fashion. Design lebih indah dan modis mulai dibentuk. Oleh karena itu batik telah mendarah daging bagi budaya bangsa Indonesia. Pada masa lalu batik bukan sekedar untuk melatih keterampilan lukis saja, seni batik sesungguhnya sarat akan pendidikan etika dan estetika bagi wanita zaman dahulu. Seni batik menjadi sangat penting dalam kehidupan karena kain batik telah erat dalam lingkaran budaya hidup masyarakat. Awalnya batik dikerjakan hanya terbatas dalam keraton saja dan hasilnya untuk pakaian raja dan keluarga serta para pengikutnya. Dalam perkembangannya lambat laun kesenian batik ini ditiru oleh rakyat terdekat dan selanjutnya meluas menjadi pekerjaan kaum wanita dalam rumah tangganya untuk mengisi waktu senggang. Selanjutnya, batik yang tadinya hanya pakaian keluarga istana, kemudian menjadi pakaian rakyat yang digemari, baik wanita maupun pria. Dalam budya Jawa, khususnya di lingkungan Karaton, terdapat ketentuan yang menyangkut keluarga raja dan pejabat karaton dalam berpakaian agar sesuai dengan aturan karaton. Karaton memandang perlu untik membuat aturan supaya kedudukan raja tetap kuat dan mutlak.. Ketetapan raja yang menyangkut busana karaton dapat diartikan sebagai perintah untuk meningkatka ketrampilan, kerajinan, dan kehalusan dalam busana karaton, khususnya kain batik. Tidak hanya dalam lingkup keraton saja yang menganggap batik menjadi sangat penting maknanya, zaman dahulu, kalau anak laki-laki mau melamar, dia harus membawa kain batik dengan motif tertentu kepada orang tua si gadis. Dia tinggal menyerahkan dan orang tua langsung tahu apa maksudnya . Batik sebagai budaya nasional dapat di gambarkan jika dilihat dari sejarahnya, batik telah mengakar dalam sejarah bangsa Indonesia. Batik tidak hanya tumbuh dan berkembang di pulai Jawa, tetapi juga di luar pulau Jawa. Corak dan motif batik yang sangat beragam, menunjukkan kekhasan masing-masing daerah. Motif-motif tersebut tidak hanya menjadi ciri khas daerah, tetapi juga menjadi simbol budaya daerah tersebut. Di Solo saja misalnya, motif dan warna dasar batik berbeda dengan batik dari Yogyakarta. Warna dasar batik Solo cenderung berwarna hitam atau gelap sedangkan dari yogyakarta cenderung berwarna dasar putih. Seperti roda yang berputar batik pun juga mengalami perubahan dalam berbagai aspek, salah satunya dilihat dari perkembangannya yang semula hanya dipakai di lingkungan keraton sebagaimana di gambarkan dipakai oleh para raja dan pengikutnya, kini batik dapat dipakai di berbagai kalangan diluar keraton. Perkembangan batik ini telah mendapat tempat yang baik di masyarakat. Sekarang, orang-orang pergi ke pesta mewah sekalipun telah menggunakan batik sebagai pakaian maupun gaunnya. Bahkan para pejabat Negara, pegawai negeri, siswa sekolahpun di wajibkan untuk memakai seragam batik pada hari-hari tertentu.tidak hanya itu saja, dari model dan desaignnya pun juga mengalami perubahan yang tadinya harus berdasarkan dengan pakem keraton, namun kini berbagai motif dapat digambarkan pada kain tersebut. Dahulu kebanyakan yang dipakai para raja biasanya batik yang berasal dari batik tulis namun sekarang dengan perkembangan waktu muncul adanya batik printing. Oleh karena pemakaiannya yang telah dapat dipakai berbagai kalangan, maka pemakaian batik kini sudah membudaya di kalangan masyarakat. Oleh karena itu kini batik sudah menjadi budaya populer dalam masyarakat karena budaya tersebut telah mencari kesederhanaan dan kepraktisan bahkan mudah ditiru di dalam masyarakat. Tidak hanya membudaya di Indonesia saja, kini batik juga diakui oleh dunia International yang mana ditandai dengan pengakuan UNESCO.UNESCO mengakui bahwa Batik Indonesia mempunyai teknik dan simbol budaya yang menjadi identitas rakyat Indonesia mulai dari lahir sampai meninggal, bayi digendong dengan kain batik bercorak simbol yang membawa keberuntungan, dan yang meninggal ditutup dengan kainbatik. UNESCO memasukkan Batik Indonesia ke dalam salah satu warisan budaya karena telah memenuhi kriteria, antara lain kaya dengan simbol-simbol dan filosofi kehidupan rakyat Indonesia, memberi kontribusi bagi terpeliharanya warisan budaya tak benda pada saat ini dan di masa mendatang. Oleh karena itu jika dilihat dari perspektif budayanya, batik

telah mengalami perubahan yang semula dikenal sebagai budaya nasional namun dengan adanya pengakuan dari UNESCO kini batik telah menjadi budaya International tanpa meninggalkan pakem yang telah ada zaman dahulu. DAFTAR PUSTAKA Koentjaraningrat. 1987. Bunga Rampai Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan. Yogyakarta : Tiara Wacana Lubis, Mochtar. 1993. Budaya, Masyarakat dan Manusia Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia Baudrillard Jean P. 2004. Masyarakat Konsumsi. Yogyakarta : Kreasi Wacana

Surya, Yohanes,dkk. 2009. Fisika Batik. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama Wijaya, Mahendra. 2011. Perkembangan Kompleksitas Jaringan Sosial Ekonomi Perbatikan di Surakarta. Surakarta : LPP UNS dan UNS Press

Unsur unsur kebudayaan populer


Penyebaran Budaya Populer di Kalangan Remaja (Analisis Semiotik terhadap Artikel "Fashion Diva-Gaya Seleb" di Majalah Cosmogirl) Emma Meilani R Deskripsi Dokumen: http://lontar.ui.ac.id/opac/themes/libri2/detail.jsp?id=82971&lokasi=lokal -----------------------------------------------------------------------------------------Abstrak ABSTRAK Penelitian ini memfokuskan diri pada majalah remaja khususnya remaja putri. Di masa ekonomi kapitalistik seperti saat ini, gaya hidup, penampilan yang trendy makin menjadi komoditi dalam media. Media dengan giatnya menghadirkan berbagai hal yang berkaitan dengan hal-hal modern dan akan selalu up to date sehingga pembaca akan tertarik membacanya. Majalah remaja Indonesia pada umumnya memiliki tampilan, pilihan topik dan kemasan yang jika dilihat secara sekilas mempunyai kesamaan. Semua berkutat dengan budaya populer. Tampak pengaruh kaum kapitalis yang mendorong pembacanya untuk mengkonsumsi produk yang disodorkan. Hampir setiap halaman penuh dengan tawaran-tawaran terhadap suatu produk tertentu. Tak ketinggalan pula bahkan isi artikel pun terkadang masih diselipkan beberapa penawaran suatu produk. Ini pula yang diasumsikan terjadi di majalah Cosmogirl. Majalah Cosmogirl itu sendiri merupakan majalah yang banyak menampilkan visual images. Seperti tampilan dari artikel yang diteliti, yaitu Fashion Diva - Gaya Seleb. Merujuk pada konsep budaya populer dari Raymond William bahwa budaya itu sendiri mempunyai makna secara sederhana sebagai sesuatu yang disukai orang, karya yang dibuat untuk menyenangkan orang. Begitu juga merujuk pada pandangan Bordieu bahwa budaya populer adalah budaya komersial yang merupakan produk massal. Artikel ini mencoba mengangkat unsur-unsur budaya populer melalui tampilan-tampilan produk dan sosok model atau selebriti luar negeri. Tampilan Cara berbusana yang individual dan berbagai potongan-potongan busana serta variasinya dapat menimbulkan perubahan makna, hal inilah yang merupakan bagian dari longue dan parole yang terbentuk dari sajian artikel ini. Penelitian ini ingin menjawab pertanyaan. Pertama, penyebaran populer macam apa yang ditawarkan oleh majalah Cosmogirl?, bagaimana majalah memasukan unsur budaya populer sebagai pendukung gaya hidup? Penemuan mengenai kandungan nilai-nilai budaya populer dilakukan melalui analisa serniotika Barthes. Penelitian dilakukan terhadap 6 buah artikel Fashion Diva -- Gaya Seleb yang terdapat pada majalah Cosmogirl dari edisi Januari 2004 hingga edisi Juni 2004. Pemilihan tahun 2004 sebagai tahun dimuiainya edisi yang diteliti atas dasar pertimbangan untuk ke up to date- an data, juga untuk memudahkan melihat

ritme dari tampilan artikel tersebut pada setiap bulannya.Kemudian alasan dipilihnya artikel Fashion Diva Gaya Seleb sebagai bahan yang akan diteliti, karena tampilan artikel Fashion Diva - Gaya Seleb yang selalu menghadirkan foto selebriti luar negeri dengan produk hasil buatan dalam negeri. Sehingga unsur penyebaran populer bisa terlihat lebih jelas dibandingkan artikel lain. Implikasi penelitian yang muncul adalah penelitian diharapkan menjadi masukan bagi masyarakat dalam hal menyikapi informasi dari media. Maraknya media massa budaya populer dengan berbagai kepentingannya tidak hanya dipandang semata-mata untuk memunculkan pemikiran-pemikiran pada remaja putri gemar memperhatikan bahkan mengikuti perilaku atau dandanan bidang idolanya namun dibaliknya itu semua masyarakat dihimbau untuk mampu berpikir lebih bijak dalam memilih budaya populer mana yang dapat diikuti dan budaya populer mana yang tidak sesuai dengan kebudayaan timur serta kondisi dari masyarakat itu sendiri.

BUDAYA POPULER A. Definisi Kebudayaan Populer


Untuk membahas pengertian budaya populer ada baiknya kita pahami dulu tentang kata budaya, dan selanjutnya tentang pop. Selanjutnya untuk mendefinisikan budaya pop kita perlu mengkombinasikan dua istilah yaitu budaya dan populer. Pertama, budaya dapat digunakan untuk mengacu pada suatu proses umumperkembangan intelektual, spiritual, dan estetis (Williams, 1983: 90). Mungkin rumusan ini merupakan rumusan budaya yang paling mudah dipahami, misalnya; kita bisa bisa berbicara tentang perkembangan budaya Eropa Barat dengan merujuk pada faktor-faktor intelektual, spiritual, estetis para filsuf besar, seniman, dan penyair-penyair besar. Kedua, budaya berarti pandangan hidup tertentu dari masyarakat , periode, atau kelompok tertentu (Williams, 1983: 90). Jika kita membahas perkembangan budaya Eropa Barat dengan menggunakan definisi ini, berarti kita tidak melulu memikirkan faktor intelektual dan estetisnya saja, tetapi juga perkembangan sastra, hiburan, olah raga, dan upacara ritus religiusnya. Ketiga, selain itu Williams juga mengatakan bahwa budaya-pun bisa merujuk pada karya dan praktik-praktik intelektual, terutama aktivitas artistik (Williams, 1983: 90). Dengan kata lain, teks-teks dan praktik-praktik itu diandaikan memiliki fungsi utama untuk menunjukkan, menandakan (to signify), memproduksi, atau kadang menjadi peristiwa yang menciptakan makna tentu. Budaya dalam definisi ketiga ini sinonim dengan apa yang disebut kaum strukturalis dan postrukturalis sebagai parktik-praktik penandaan (signifying practices). Dengan menggunakan definisi ini kita mungkin bisa memikirkan beberapa contoh budaya pop. Sebut saja misalnya; puisi, novel, balet, opera, dan lukisan. Dengan demikian jika berbicara tentang budaya pop, berarti menggabungkan makna budaya yang kedua dengan makna ketiga di atas. Makna keduapandangan hidup tertentumemungkinkan kita untuk berbicara tentang praktik-parktik, seperti liburan ke pantai, perayaan Hari Lebaran, dan aktivitas pemuda subkultur sebagai contohcontoh budayanya. Semua ahal ini biasanya disebut sebagai budaya-budaya yang hidup (lived

cultures) atau bisa disebut sebagai praktik-praktik budaya. Makna ketigapraktik kebermaknaanmemungkinkan kita membahas tentang opera sabun, musik pop dan komik sebagai contoh budaya pop. Budaya ini biasanya disebut sebagai teks-teks budaya. Namun ada juga yang memakai definisi pertama Williams untuk budaya pop. Sedangkan kata pop diambil dari kata populer. Terhadap istilah ini Williams memberikan empat makna yakni: (1) banyak disukai orang; (2) jenis kerja rendahan; (3) karya yang dilakukan untuk menyenangkan orang; (4) budaya yang memang dibuat oleh orang untuk dirinya sendiri (Williams, 1983: 237). Kemudian untuk mendefinisikan budaya pop kita perlu mengkombinasikan dua istilah yaitu budaya dan populer. Ada satu titik awal (pertama) yang menyatakan bahwa budaya pop itu memang budaya yang menyenangkan atau banyak disukai orang. Kita bisa melihatnya lakunya album pertama-nya Peterpan. Kita juga bisa meneliti konser, pesta olahraga, festival. Kita bisa melihat kesukaan audiens terhadap program TV melalui riset pasar. Dari pengamatan terhadap berbagai hal tersebut akan memberikan banyak informasi bagi kita. Kedua, untuk mendefinisikan budaya pop adalah dengan mempertimbangkan budaya tertinggal (rendah) Budaya pop menurut definisi ini merupakan kategori residual untuk mengakomodasi praktik budaya yang tidak memenuhi persyaratan budaya tinggi. Dengan kata lain budaya pop didefinisikkan sebagai budaya substandar. Yang diuji oleh budaya pop meliputi seperangkat pertimbangan nilai teks atau praktik budayanya. Sebagai contoh, kita bisa berpegang pada kompleksitas formal sebuah budaya pop. Kita juga bisa mempertimbangkan kebermanfaatan moralnya sebagai metode untuk menerapkan pertimbangan nilai tersebut. Kritik budaya yang lain bisa juga menyatakan bahawa pada akhirnya semuanya akan dimasukkan ke dalam tinjauan kritis terhadap teks atau praktiknya. Namun untuk menentukan kebermanfaatan sesuatu cara budaya tidak semudah yang dipikirkan orang. Salah satu kesulitan besar yang dihadapi adalah bagaimana caranya menjaga ekslusivitas budaya tinggi. Secara harfiah, sangat sulit mengesampingkan ekslusivitas audiens suatu budaya tinggi (Storey, 2003: 11). Sosiolog Prancis, Pierre Bourdieau pernah mengatakan bahwa perbedaan budaya seringkali dimanfaatkan untuk memperlebar dan memelihara perbedaan kelas. Selera misalnya, bisa disebut sebagai sebuah kategori ideologis yang difungsikan sebagai ciri kelas (pemakaian istilah kelas dalam hal ini diposisikan dalam aarti ganda, yaitu

kategori sosial ekonomi dan tingkat kualitas tertentu). Bourdieu menyebut satu contoh. konsumsi budaya. Baginya konsumsi budaya sudah ditentukan, sadar dan disengaja, atau tidak untuk tujuan memenuhi fungsi sosial pengabsahan perbedaan sosial (Bourdieu, 1984: 5). Pembatasan ini didukung oleh pernyataan bahwa budaya pop adalah budaya komersial dampak dari produksi massal, sedangkan budaya tinggi adalah kreasi hasil kreativitas individu. Oleh karena itu budaya tinggi adalah budaya yang mendapatkan penerimaan moral dan estetis yang lebih, sementara budaya pop malah mendapatkan pengawasan secara sosiologis untuk mengendalikan sedikit yang bisa diberikanbnya. Apapun metode yang digunakan oleh mereka yang ingin membedakan antara budaya tinggi dan pop, pada dasarnya mereka sama-sama bersikukuh bahwa perbedaan di antara keduanya memang sangatlah jelas (Storey, 2003: 12). Lebih jauh, perbedaan itu bukanlah hanya sangat jelas, akan lebih bersifat abadi karena sepanjang waktu. Hal ini terutama berlaku jika perbedaan itu bergantung pada sifat-sifat yang dianggap esensial. Sebenarnya ada beberapa kekeliruan dalam pembatasan tersebut. Misalnya William Shakespeare, sekarang dianggap sebagai pelopor budaya tinggi, padahal pada zamannya karyanya ini hanya dianggap tidak lebih sebuah teater pop. Begitu juga dalam persoalan yang sama terjadi pada Charles Dickens. Film Noir bisa dianggap sebagai penghubung antara budaya pop dan budaya tinggi. Pada awalnya film ini dianggap sinema pop belaka, tetapi sekarang malah dipertahankan oleh para akademisi dan pecinta film sebagai produk budaya tinggi. Ketiga, mendefinisikan budaya pop sebagai budaya massa.Definisi tersebut sangat tergantung pada definisi sebelumnya. Mereka menyatakan budaya pop adalah budaya massa dengan tujuan menegaskan bahwa budaya massa secara komersial tidak bisa diharapkan. Ia diproduksi massa untuk konsumsi massa. Audiaensnya adalah sosok-sosok konsumen yang tidak memilih. Budaya itu sendiri dianggap hanya sekedar rumusan, manipulatif (misalnya, politik kanan/kiri yang tergantung pada siapa yang meganalisisnya). Budaya ini dikonsumsi oleh tanpa dipikirkan panjang. John Fiske mengungkapkan antara 80-90% produk baru gagal walaupun diiklankan dengan kuat....beberapa film gagal kembali modal meskipun hanya biaya promosinya sangat besar (Fiske, 1989; 31). Simon Firth mengemukakan bahwa 80% album single mengalami kerugian. Statistik seperti ini seharusnya mengundang pertanyaan tentang

gagasan konsumsi budaya sebagai aktivitas yang pasif dan otomatis. Mereka yang bekerja dalam perspektif budaya massa biasanya akan memikirkan massa keemasan manakala masalah budaya jauh berbeda dari apa yang difahami sebelumnya. Hal ini biasanya muncul dala dua bentuk; (1) komunitas yang kehilangan organisasinya, atau (2) budaya yangkehilangan daerahnya. Namun seperti diungkapkan oleh Fiske; dalam masyarakat kapitalis tidak ada yang disebut sebagai budaya daerah yang otentik untuk mengukur ketidakotentikan budaya massa, yang menyesalkan hilangnya otensitas sebagai akibat kegagalan nostalgia romantik (Fiske, 1989: 27). Hal ini juga berlaku pada komunitas organik yang hilang. Mazhab Frankfurt, secara paradoks menempatkan masa keemasan yang hilang ini tidak pada masa lampau , tetapi masa depan. Dalam beberapa kritik budaya yang ada dalam parigma budaya massa, budaya massa bukan hanya sebagai budaya terapan untuk kaum miskin, tetapi juga bisa diidentifikasi sebagai budaya yang diimpor dari Amerika:jika kita hendak menemukan budaya dalam bentuk modernnya..., lihatlah kota-kota besar Amerika terutama New York (Malthy, 1989; 11). Pernyataan bahwa budaya pop merupakan budaya massa Amerika, mempunyai sejarah yang panjang dalam pemetaan teoretis budaya pop. Budaya massa ala Amerika ini seringkali muncul dalam istilah Amerikanisasi. Pengkajian dalam hal ini termasuk merosotnya budaya Eropa Barat di bawah hegemonisasi budaya Amerika. Ada dua hal yang bisa kita katakan tentang kepercayaan diri Amerika dan budaya pop. Pertama, seperti diungkapkan oleh Andrew Ross budaya pop secara sosial dan kelembagaan telah berpusat di Amerika dengan jangka waktu yang lebih lama dan lebih signifikan dibanding di Eropa. Kedua, pengaruh budaya Amerika di seluruh dunia sudah tidak diragukan lagi, tetapi hakikat pengaruh itu sangat kontradiktif. Yang benar adalah pada tahun 1950-an oleh pemuda Eropa Barat (khususnya Inggris), budaya Amerika dimenjaadi sarana liberalisasi menentang ketentuan kaku aturan kehidupan ala budaya Eropa Barat. Hal lain yang cukup jelas adalah bahwa ketakutan terhadap Amerikanisasi sangat erat kaitannya dengan ketidakpercayaan dalam munculnya berbagai bentuk budaya pop. Terdapat versi lunak darui perspektif budaya massa ini. Teks dan praktik budaya pop lebih dilihat dari sebagai fantasi publik. Budaya pop dianggap sebagai dunia impian kolektif. Seperti diungkapkan oleh Richard Malthy, budaya pop memberi ruang bagi

eskapisme yang bukan hanya lari dari, atau ke tempat tertentu, tetapi suatu pelarian dari utopia kita sendiri (Maltby, 1989; 14). Dalam hal ini, praktik budaya seperti hari ini Raya Idul Fitri maupun liburan lainnya bisa dikatakan berfungsi layaknya sebuah mimpi. Mereka mengartikulasikan dalam bentuk yang tersamar secara kolektif (tetapi dalam relasi menekan dan tertekan, keinginan dan harapan). Inilah versi lunak dari kritik budaya massa. Maltby mengungkapkan: Kalau hal ini disebut kejahatan buda pop karena merampas angan-angan kita kemudian mengemas dan menjualnya kembali kepada kita, maka ia juga adalah prestasi, budaya pop yang telah membawa kita pada berbagai angan-angan selain pada angan-angan yang sudah kita kenal (Maltby, 1989: 14). Definisi keempat, menyatakan bahwa budaya pop adalah budaya yang berasal dari rakyat. Ia mengangkat masalah ini melalui pendekatan yang beranggaapan bahwa budaya pop adalah sessuatu yang diterapkan pada rakyat dari atas. Budaya pop adalah budaya otentik rakyat. Budaya pop seperti halnya budaya daerah merupakan dari rakyat untuk rakyat. Definisi pop dalam hal ini seringkali dikait-kaitkan dengan konsep romantisme budaya kelas buruh yang kemudian ditafsirkan sebagai sumber utama protes simbolik dalam kapitalisme kontemporer (Benet, 1982; 27). Namun ada satu persoalan dengan pendekatan ini yakni pertanyaan tentang siapa yang termasuk dalam kategori rakyat. Persoalan lainnya adalah hakikat wacana dari mana asal-usul budaya itu terbentuk. Tidak peduli beraapa banyak kita memakai definisi ini, fakta membuktikan bahwa rakyat tidak secara spontan mampu menghasilkan budaya dari dari bahan-bahan material yang mereka buat sendiri. Apapun budaya pop itu, yang pasti bahan mentahnya disediakan selalu secara komersial. Pendekatan ini cenderung menghindar dari kesimpulan ini. Analisis kritis tentang musik pok dan rock sebagian hanya mengulang jenis analisis budaya pop seperti ini. Pada suatu konferensi, ada seorang peserta yang menyatakan bahwa Levis tidak pernah bisa menggunakan lagu dari Jam untuk mernjual jeans-nya. Faktanya, mereka malah terbiasa menggunakan lagu dari Clash yang tidak bertentangan dengan keyakinananya. Yang menjadi dasar keyakinannya adalah rasa perbedaan budaya yang kentara. TV komersial untuk jeans Levis adalah budaya massa, sementara musik Jam adalah budaya pop. Satu-satunya cara agar keduanya bisa bersatu adalah melalui penjualan Jam. Kalau hal ini tidak bisa dilakukan, maka jeans Levis-pun

tidak akan bisa menggunakan lagu Jam untuk menjual produknya. Namun, hal ini sudah terjadi pada Clash suatu Band yang memiliki kecenderungan politiknya sendiri. Tukar menukar akan menghentikannya. Pemakaian konsep budaya hegemoni akan dibahas lebih lanjut. Definisi kelima budaya pop berasal dari analisis politik tokoh Marxis Italia, Antonio Gramsci, khususnya tentang pengembangan konsep hegemoninya. Gramsci menggunakan istilah hegemoni untuk mengacu pada cara di mana kelompok dominan dalam suatu masyarakat mendapatkan dukungan dari kelompok subordinasi melalui proses kepemimpinan intelektual dan moral (Gramsci, 1971: 75). Mereka yang menggunakan pendekatan inikadang-kadang disebut teori hegemoni neo-Gramscianmenganggap budaya sebagai tempat terjadinya pergulatan antara usaha perlawanan kelompok subordinasi dan inkorporasi kelompok dominan dalam masyarakat. Dalam penggunaan ini budaya pop bukan merupakan budaya yang diberlakukan oleh teoretikus budaya massa ataupun muncul secara spontan dari bawah sebagai budaya oposisi seperti yang sudah ada dalam empat definisi budaya pop di atas. Namun sebagai suatu lingkup tukar-menukar, keduanya akan berkelindan dalam rupa perlawanan dan penyatuan (resistensi dan inkorporasi). Teks dan praktik budaya pop bergerak dalam apa yang disebut Gramsci sebagai kesimbangan kompromis (Gramsci, 1971: 161). Proses ini selain bersifat historis (kadang disebut budaya pop ataupun kadang disebut budaya lain), juga bersifat budaya sinkronis (yang bergerak di antara resistensi dan kompromi). Misalnya liburan ke pantai, dahulu dianggap budaya para bangsawan, dan dalam tempo 100 tahun ia berubah menjadi budaya pop. Film Noir pada mulanya dilecehkan sebagai sinema pop, tetapi dalam waktu 30 tahun berubah menjadi film seni. Dalam bahasa umum, mereka melihat budaya pop dalam perspektif Neo-Gramscian cenderung melihatnya sebagai lingkup pertarungan ideologis antara kelas dominan dan subordinasi, budaya dominan dan budaya subordinasinya: Budaya pop dibangun oleh kelas penguasa untuk memenangkan hegemoni, sembari membentuk oposisi. Dengan demikian ia terdiri bukan hanya dari pemberlakuan budaya massa yang sejalan dengan ideologi dominan ataupun budaya oposisional yang spontan, melainkan sebagai area negosiasi antara keduanya di manabeberapa tipe budaya yang berbeda dari budaya popbudaya dominan, subordinan dan oposisional dengan segenap nilai-nilai dan unsurunsur ideologis

tercampur dalam suatu perubahan yang bersifat sekuensial (Benet, 1986: xv-xvi). Keseimbangan kompromis ...................LIHAT HALAMAN 20 STOREY. DAFTAR LITERATUR Bernet, Tony (1982) Popular Culture: Defining Our Terms, dalam Popular Culture: Themes and Issues I, Milton Keynes: Open University Press. Bourdieu, Pierre (1984) Distintion: A Social Critique of the Judgment of Taste, terjemahan Richard Nice, Cambridge, MA: Harvard University Press. Fiske, John (1989) Understanding Popular Culture, London: Unwin Hyman. Gramsci, Antonio (1971) Selections from Prison Notebooks, disunting dan diterjemahkan oleh Quintin Hoare dan Geoffrey Nowell-Smith, London: Lawrence & Wishart. Maltby, Richard (1989) Introduction dalam Dreams for Sale: Popular Culture in the 20th Century, disunting oleh Richard Malthy, London: Routledge. Ross, Andrew, (1989) No Respect: Intelectuals and Popular Culture, London: Routledge. Williams, Raymond, (1983) Keyword, London: Fontana.

FENOMENA KEBUDAYAAN POP (MASS CULTURE) DALAM MASYARAKAT MODERN INDONESIA; BAGAIMANA MENYIKAPINYA?

Pengantar Dalam Era virtual yang sarat dengan informasi dan pencitraan, budaya massa[1] semakin menemukan tempatnya yang melebihi realitas kebudayaan-kebudayaan tradisional dalam suatu negara. Fenomena ini juga terjadi dalam realitas hidup masyarakat modern Indonesia.[2] Dalam keseharian masyarakat Indonesia, budaya massa telah berkembang jauh dan pesat, menjangkau seluruh wilayah dan lapisan suku-suku bangsa berkat sentuhan teknologi informasi yang semakin canggih. Masyarakat telah diarahkan untuk memilih, menyenangi, membeli, lalu mengonsumsi produk budaya massa yang ditampilkan lewat teknologi komunikasi dunia virual. Suatu produk unggulan tidak lagi diukur menurut kualitas yang dihasilkan dalam dan lewat produk tersebut, tetapi lewat kekuatan promosi yang disebarkan lewat instrumen-instrumen hasil rekayasa teknologi modern. Fenomena ini telah menjadi semacam budaya baru bagi masyarakat Indonesia seiring dengan berkembangnya teknologi, tetapi di sisi lain tidak diimbangi dengan perkembangan daya kritis masyarakat. Budaya massa telah menjebak masyarakat untuk masuk dalam lingkaran fatamorgana yang semu dari sebuah realitas. Berangkat dari fenomena ini, maka dalam tulisan ini saya akan menguraikan dan sekaligus menguak mitos-mitos budaya massa dalam masyarakat modern Indonesia. Fenomena ini, baik secara langsung maupun tidak langsung, telah memberi dampak yang kurang baik[3] terhadap perkembangan kebudayaan dan kesenian asli Bangsa Indonesia. Pada pembahasan berikutnya, saya juga akan menguraikan pengaruh teknologi Informasi terhadap penyebaran budaya massa yang tidak diimbangi dengan daya nalar kritis bangsa Indonesia. Lalu pada bagian relevansi saya akan menawarkan solusi untuk bagaimana menghidupkan kembali otensitas budaya bangsa yang saat ini telah semakin terhimpit oleh perkembangan arus budaya massa. Fenomena Budaya Massa (Di Indonesia) ; Sekilas Pemahaman Dalam pengertian yang sederhana, budaya massa didefinisikan sebagai budaya populer yang diproduksi melalui teknik-teknik Industrial produksi massa[4] dan didistribusikan, dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan, kepada konsumen massa. Budaya massa adalah budaya populer (saat ini) yang dipasarkan dalam dan untuk pasar masal.[5] Budaya massa memberikan ruang kebebasan[6] bagi individu untuk memilih berbagai produk budaya massa sehingga mengarahkan masyarakat kepada gaya hidup konsumerisme.[7]

Budaya massa diinterpretasikan secara negatif oleh beberapa ahli. Roland Barthes mengatakan bahwa budaya massa adalah budaya yang direproduksi secara terus menerus secara masal yang membuat manusia menjadi konsumtif dan mengalami penyeragaman dalam cara berpikir dan bercita rasa. Menurutnya, dalam budaya massa dihadirkan retorika citra sebagai penyaluran mimpi-mimpi dalam mitologi masyarakat modern. Yang berusaha ditonjolkan dalam pencitraan ini adalah citra alamiah dari realitas yang real[8] yang bertujuan untuk membangkitkan hasrat (untuk memiliki, membeli, lalu kemudian mengonsumsi) dalam masyarakat. Boudrillard menyatakan pendapat yang sama dengan Roland Barthes. Ia berpendapat bahwa kegiatan konsumsi tidak selalu merujuk pada alasan fungsionalnya. Menurutnya, citra yang dibentuk dalam budaya massa mengalahkan kenyataan (fungsi benda yang real). Citra lebih penting daripada realitas empiris yang sesungguhnya yang dihasilkan oleh suatu produk. Oleh sebab itu, konsumsi yang dibentuk dalam dan oleh citra budaya massa, akhirnya, dijadikan sebagai sarana untuk meraih status yang ada dalam budaya. Di sini, Boudrillard melihat bahwa dalam budaya massa manusia mengkonsumsi sekaligus produk real dan non-real.[9] Fenomena budaya massa telah merebak hampir di seluruh wilayah Indonesia, khususnya daerah-daerah yang telah dimasuki oleh teknologi yang memungkinkan masyarakat mengakses berbagai hal dan peristiwa yang selalu up to date. Fenomena ini bisa selalu dijumpai di jalan-jalan perkotaan tempat berbagai jenis iklan menawarkan produk-produk muktahir dan berkelas,[10] mall-mall tempat berjubelnya massa dari berbagai golongan dan profesi yang selalu ingin mengetahui produk-produk terbaru hasil rekyasa teknologi, dan berbagai tempat strategis lainnya yang memungkinkan untuk pemasaran produk budaya massa. Setiap detik dan menit, masyarakat berlomba-lomba memenuhi hasrat pribadi untuk mengakses, memiliki dan mengonsumsi produk-produk baru yang ditawarkan dan sekaligus mewakili trend massa kini.[11] Salah satu model budaya massa yang berkembang dan sedang trend dalam masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat perkotaan, adalah budaya shopping mall. Shopping mall telah menjadi budaya baru masyarakat Indonesia. Shooping mall dianggap sebagai bentuk pemuasan akan rasa penasaran manusiawi akan sesuatu yang baru. Masyarakat lebih senang berbelanja atau hanya sekedar menghabiskan waktu untuk shopping mall dari pada berbelanja di pasar rakyat (tradisional). Shooping mall dapat memuaskan fantasi karena dengan melihat dan memilih berbagai jenis produk yang ditawarkan, hasrat seseorang akan senantisa dipuaskan. Selain itu, shopping mall juga dapat menaikkan gengsi masyarakat yang sedang mengikuti trend perkembangan zaman. Yasraf Amir Pialang mengutarakan bahwa shopping mall adalah manifestasi dari budaya massa yang bersifat fantasi. Mall menjelma menjadi sebuah agen difusi, menjadi sebuah ruang kelas, yang di dalamnya manusia mempelajari seni dan keterampilan untuk menghadapi peran baru mereka yang sentral sebagai konsumen masa depan. Shopping mall pada akhirnya mempunyai peran sentral sebagai citra cermin (mirror image) masyarakat Indonesia. Dalam shopping mall, kegiatan belanja berubah fungsi hanya sebagai pengisi waktu senggang. Masyarakat lebih senang menghabiskan waktu untuk berjalan-jalan di mall atau hanya sekedar melihat-lihat (windows shopping) produk-produk keluaran terbaru, tanpa harus membeli produk tersebut.[12] Teknologi Informasi dan Penyebaran Budaya Massa Pembentukan budaya massa selalu berjalan beriringan dengan perkembangan komunikasi massa. Komunikasi massa dan segala institusinya[13] memiliki peranan yang sangat signifikan dan efektif dalam kaitannya untuk menajamkan opini dan mempengaruhi perilaku massa secara massal serta pembentukan homogenitas budaya dalam masyarakat. Komunikasi massa yang direpresentasikan oleh media massa mempercepat penyebaran budaya massa terutama ke tempat-tempat (daerah) yang dapat dijangkau oleh teknologi Informasi. Ia (media massa), dengan kekuatannya, lalu mengarahkan dan membentuk perilaku (dan pemikiran) khalayak dan menjadikan khalayak

sebagai pasar dari produk yang mereka ciptakan.[14] Masyarakat (secara sengaja) diarahkan (dalam arah satu dimensi) untuk membeli aneka produk budaya massa lewat senjata hipnotis teknologi yang dengan sigap dan cermat mempengaruhi dan sekaligus merasuk nalar awam masyarakat. Nalar masyarakat sengaja dibekukan dan diarahkan lewat pencitraan yang dibentuk melalui bahasa-bahasa iklan yang menarik dan memikat. Saat ini, teknologi informasi, yang diwakili oleh media massa, memiliki kredibilitas yang tinggi dalam mempengaruhi pola pikir masyarakat akan suatu produk budaya yang dihasilkan. Teknologi informasi telah membuat batas-batas yang kabur antara produk budaya tinggi yang merupakan hasil daya cipta masyarakat dan produk budaya massa yang merupakan rekayasa. Teknologi informasi menyulap sedemikian rupa sehingga masyarakat (konsumen) tidak lagi dapat membedakan mana produk otentik yang lahir dari masyarakat dan mana yang merupakan hasil rekayasa. Media dan konsumsi telah menggeser ikatan sosial yang semula mementingkan aspek moral dan kognitis dengan ikatan estetik[15]. Masyarakat (dengan mudah) percaya bahwa apa yang dikemukakan media massa adalah realitas yang sepenuhnya berasal dari kebenaran yang aktual. Dengan kata lain, realitas media dianggap sebagai representasi dari fakta. Oleh karena itu, media massa telah menjadi ruang yang menghadirkan realitas nyata bagi khalayak dan realitas tersebut diakui sebagai kebenaran umum yang (selalu) dapat diterima. Budaya Massa dan Hilangnya Otensitas Budaya Adiluhung Disadari atau tidak, perkembangan teknologi informasi yang dimanfaatkan oleh produser budaya untuk merekayasa budaya massa dan menyebarluaskannya telah menggeser pengaruh budaya elite yang adiluhung dalam masyarakat Indonesia. Pertumbuhan budaya massa memberikan ruang yang semakin sempit bagi segala jenis kebudayaan yang tidak menghasilkan uang dan tidak dapat diproduksi secara masal, seperti kesenian dan budaya daerah.[16] Kesenian, lukisan, tarian-tarian daerah, adat-istiadat, kebiasaaan-kebiasan, pola pikir dan daya kritis bangsa Indonesia (yang mewakili kebudayaan otentik bangsa Indonesia) tidak lagi dianggap sebagai manifestasi dari kekayaan budaya bangsa Indonesia yang harus dilestarikan dan dijaga keotentikannya, tetapi dipakai sejauh kebudayaan tersebut mendatangkan keuntungan bagi produsen dan sekaligus dapat diterima oleh masyarakat. Komersialisai ini berjalan seiring perkembangan teknologi Informasi yang semakin canggih dalam merekayasa bentuk-bentuk kebudayaan (tradisional dan asli) Indonesia dan mengubah sedemikian rupa untuk menjadi produk budaya masal dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya. Dengan demikian otensitas budaya adiluhung bangsa Indonesia kehilangan identitas makna aslinya. Orang tidak lagi menilai kesenian daerah (sastra, puisi, tari-tarian, lukisan, seni patung) sebagai sesuatu yang mempunyai makna yang merepresentasikan perasaan, nilai hidup, ideologi, mentalitas, dan mindset yang dianut oleh masyarakat, tetapi hanya sebagai tontonan gratis media massa guna memenuhi hasrat konsumen. Kesenian dan kebudayan daerah tidak lagi dilihat sebagai kekayaan bangsa yang harus dipertahankan tetapi hanya sebagai monumen kenangan yang tersimpan di museummuseum bersejarah,[17] yang hanya diingat sejauh untuk membangkitkan romantisme kejayaan masa lalu. Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono dalam bunga rampai Kebudayaan Massa dalam Kebudayaan Indonesia: Sebuah Catatan Kecil menuliskan kerisauannya akan perkembangan budaya massa di Indonesia. Menurutnya penyebaran budaya massa, sebagai akibat dari perkembangan teknologi komunikasi, tidak dapat dihindari. Ia menggagaskan pendapatnya tentang budaya massa dan pengaruh (negatif)nya bagi kelangsungan budaya adiluhung bangsa sebagai berikut:[18] 1. Kebudayaan massa diproduksi secara besar-besaran demi mencapai keuntungan belaka. 2. Kebudayaan massa berpotensi merusak kebudayaan tinggi dengan cara meminjam atau mencuri atau memperalatnya. 3. Kebudayaan massa menanamkan pengaruh yang sangat buruk terhadap khalayak.

4. Penyebarluasan kebudayaan massa dianggap tidak hanya memerosotkan atau mengurangi nilai kebudayaan tinggi (adiluhung) itu sendiri tapi juga menciptakan khalayak yang pasif yang sangat tanggap terhadap berbagai teknik godaan dan bujukan, sehingga membuat peluang bagi munculnya totalitarianisme. Catatan kecil ini mengingatkan kita bahwa kekayaan budaya bangsa yang telah dibentuk dan dibangun sejak berabad-abad yang lalu akan terkikis dan mati secara pelahan-lahan jika tidak segera disikapi secara bijaksana dan kritis. Masyarakat Indonesia, meliputi jajaran elite pemerintah dan rakyat pada umumnya, perlu melakukan langkah konkret untuk menghidupkan dan membudayakan kembali budaya adiluhung bangsa, yang telah diakui keberadaannya sejak peradaban kebudayaan muncul di negeri ini, agar nilai moral, etis, dan pesan kritis yang terkandung di dalamnya menjadi ideologi dan cara hidup masyrakat Indonesia dalam menyikapi arus budaya massa saat ini. Menyikapi Secara Kritis Perkembangan Budaya Massa ; Sebuah Pesan Kritis Perkembangan dan pengaruh budaya massa akan terus melesat jauh meninggalkan kebudayaan elite bangsa Indonesia jika tidak ada sikap yang tegas dan kritis dari masyarakat Indonesia dalam mengkritisi wacana yang sedang berlangsung saat ini. Perlahan-lahan dan secara bertahap budaya elite bangsa ini hanya akan tinggal sebagai kenangan sejarah masa lalu yang akan dilupakan keberadaannya. Oleh sebab itu, perkembangan kebudayaan elite (asli, adiluhung) bangsa harus mendapat perhatian yang serius dari semua golongan masyarakat, yang hidup dalam pluralitas budaya yang sangat kaya dan beraneka ragam ini. masyarakat Indonesia perlu untuk tetap menjaga, melestarikan, dan berpegang teguh pada budaya luhur bangsa yang menunjukkan identitasnya (keaslian) dan jati diri sebagai bangsa Indonesia, meskipun pengaruh dari budaya massa saat ini tidak bisa dihindari dan ditolak keberadaannya. Agar tidak terpengaruh dan terjebak dalam arus budaya massa, masyarakat diharapkan (1) tetap menjadi pelaku (subjek budaya); artinya menjadi orang yang utuh, yang identitasnya tidak tenggelam dalam pengaruh budaya (massa) yang sedang berkembang. Ia tetap menjadi pengendali budaya tanpa merasa hal ini sebagai suatu superioritas. Ia tetap menjadi dirinya sendiri dan ia pun berhak penuh untuk menafsirkan apa yang dialaminya. Ia tidak larut dalam objeknya, tetapi tetap menjadi subjek. (2) tidak mengalami alienasi, dan jati dirinya tetap; arinya, pemilik sekaligus pelakunya tidak mengalami alienasi. Ia akan merasa akrab dengan kehidupan, sebab disuguhkan realitas tanpa polesan. Dan pada akhirnya (3) akan mengalami pencerdasan. Karena menjadi pelaku yang utuh dan tak teralienasi, maka ia akan mengalami pencerdasan. Ia pun akan mendapatkan kebijaksanaan dan menjadi lebih pandai dari sebelumnya.[19] Soerjanto Poespowardoyo dalam buku Strategi Kebudayaan mengatakan pentingnya keutuhan manusia dalam menyikapi secara bijak aneka pengaruh dan perkembangan budaya massa yang dapat mengancam eksistensi budaya bangsa. Keutuhan manusia meliputi dimensi religius, budaya, dan ilmiah. Dimensi religius menunjukkan bahwa manusia adalah misteri yang tidak dapat direduksir menjadi faktor semata-semata. Dengan demikian, manusia dapat dicegah untuk dijadikan angka, ataupun robot yang secara otomatis dapat diprogramkan oleh alat-alat canggih teknologi, tetapi sebaliknya, manusia tetap mempertahankan kepribadiaan, kebebasan, dan martabatnya. Dimensi budaya menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk etis yang berkewajiban terhadap kelestarian dunia dan seisinya. Dalam dimensi ini, manusia memperoleh dasar untuk mempertahankan keutuhan pribadinya. Dengan demikian dia mampu mencegah arus zaman budaya massa yang dapat mengancam kehidupan manusia. Dimensi ilmiah mendorong manusia untuk bersikap objektif dan realistis dalam menghadapi aneka polemik zaman dengan berbagai masalah hidup manusia di era teknologi informasi saat ini. Melalui dimensi ini, manusia diharapkan untuk

mengembangkan keterampilan dan kreativitas berpikir agar tidak selalu terbuai dan terjebak dalam kebohongankebohongan yang diciptakan oleh teknologi.[20] Relevansi Mau tidak mau, suka tidak suka, masyarakat dan bangsa Indonesia harus bergulat dalam arus modernisasi teknologi dengan segala ciptaan dan aneka pencitraan. Rekayasa dan pencitraan yang dibangun lewat sistem teknologi canggih telah memberi pengaruh (baik positif maupun negatif) bagi perkembangan dan sekaligus kemerosotan otensitas budaya bangsa. Masyarakat Indonesia dihadapkan pada dua fenomena yang bertentangan, namun dengan rekayasa yang sedemikian rupa, dua fenomena ini seolah-seolah terlebur menjadi satu. Otensitas budaya bangsa yang dibangun sejak awal peradaban manusia Indonesia kehilangan makna di tengah arus budaya massa yang dibangun lewat sistem komunikasi massa tercanggih saat ini. Bahaya terbesar yang dipastikan akan muncul, jika perkembangan ini tidak disikapi secara kritis, adalah masyarakat Indonesia akan kehilangan identitas diri dan martabat sebagai masyarakat yang memegang teguh budaya lelulur (budaya bangsa). Masyarakat akan terus terombang-ambing dalam arus budaya massa jika tidak berusaha untuk segera keluar dalam cengkraman arus yang setiap saat akan terus bergejolak. Menyikapi fenomena ini, perlu ada ketegasan dari masing-masing pribadi untuk membawa diri sampai pada tahap kesadaran penuh. Kesadaran ini menghantar seseorang pada tahap yang lebih jauh yakni menyikapi secara kristis segala hal yang hadir dan memenuhi ruang hidupnya. Manusia diberi akal budi untuk memilih bagian yang terbaik yang dapat mengembangkan keutuhan dirinya yang meliputi dimensi religius, dimensi budaya, dan dimensi ilmiah. Dengan pilihan itu, diharapkan ia memberikan sumbangan yang berarti bagi budaya bangsa yang mencerminkan identitas diri dan bangsanya. Pemikiran dan sikap kritis manusia Indonesia tentunya diimbangi dengan lembaga pendidikan yang memadai dan sekaligus profesional dalam medidik anak bangsa untuk menjadi seorang warga negara yang kritis serta tidak apatis[21] dalam menyikapai segala aneka perkembangan dan perubahan saat ini. Saatnya, lembaga pendidikan di Indonesia menunjukkan jati dirinya sebagai lembaga yang bertanggung jawab dalam memanusiakan harkat dan martabat anak bangsa dalam arus zaman yang semakin kompleks saat ini. Sikap kritis yang dibangun lewat pendidikan dan pembinaan seluruh dimensi manusiawi, diharapkan mampu memberikan solusi terbaik bagi masyarakat Indonesia untuk tetap berpegang teguh pada nilainilai etis dan moral yang terkandung dalam budaya bangsa Indonesia. Penutup Fenomena budaya massa adalah suatu realitas yang tidak dapat dihindari dalam kehidupan masyarakat Indonesia saat ini. Kita tidak pernah akan bisa berlari menjauh dari fenomena yang telah menjamur bagaikan cendawan di musim hujan, karena semakin jauh kita berlari, maka akan semakin cepat pula ia akan mengejar lalu menghambat dan kemudian menjerat kita dalam lingkaran arus yang berputar sedemikian cepat dari waktu ke waktu. Cara terbaik yang bisa dilakukan adalah menyikapi secara bijaksana, yakni memilih bagian mana yang baik dan berguna bagi perkembangan budaya bangsa, dan sekaligus, lewat budaya ini, mengangkat martabat serta identitas bangsa di mata dunia internasional, karena tujuan dari kebudayaan adalah menjadikan manusia semakin manusiawi dengan konsep pemikiran yang matang, kritis, dan selalu dinamis dalam aneka pertarungan zaman ini.

KEPUSTAKAAN, Buku

rthes, Roland. Membedah Mitos-mitos Budaya Massa (Terj. Ikramullah Mahyuddin). Yogyakarta: Jala Sutra. 2007.

Budiman, Hikmat. Lubang Hitam Kebudayaan. Yogyakarta : Kanisius. 2002.

rniawan. Semiologi Roland Barthes. Magelang: Indenesiatera, 2001. Poespowardoyo, Soerjanto. Srategi Kebudayaan. Jakarta: Gramedia. 1989. 2009. Suseno, Frans Magnis. Pijar-Pijar Filsafat. Yogyakarta: Kanisius, 2009. Sumber Internet Http://Pendidikankritis.Wordpress.Com/2008/11/21/Pendidikan-Dan-Materialisme-Budaya/, diakses Tanggal 20 Oktober 2010, Pukul 19.15 WIB. Http://Sosbud.Kompasiana.Com/2010/06/16/Budaya-Massa-Mass-Culture, diakses tanggal 20 Oktober 2010, Pukul 20.15 WIB. Http://Www.Ruangbaca.Com/, diakses tanggal 18 Oktober 2010 Pukul 20.00 WIB.

lang, Yasraf Amir. Postrealitas; Realitas Kebudayaan dalam Era Postmetafisika. Yogyakarta, Bandung: Jalasutra. 2009.

nati, Dominic. Popular Culture : Pengantar Menuju Teori Budaya Populer,(terj. Abdul Muchid). Yogyakarta: AR-RUZZ MEDIA.

Anda mungkin juga menyukai