ISSN 1978-3477
1Departemen Biologi,2 Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Institut Pertanian Bogor, Kampus IPB
Darmaga, Bogor 16680, Indonesia
Tempe adalah makanan tradisional Indonesia. Tempe memiliki berbagai macam rasa, terkadang dengan sedikit rasa pahit, yang
mungkin berbeda intensitasnya. Penyebab rasa pahit pada tempe belum pernah dilaporkan sebelumnya. Dalam penelitian ini, tujuannya
adalah untuk mengidentifikasi apakah bakteri berperan dalam pembentukan rasa pahit pada tempe. Uji sensoris dilakukan untuk
menentukan skor intensitas rasa pahit pada tempe. Hasil uji sensoris pada tempe EMP, WJB, CLR, DRG, dan MLB menunjukkan bahwa
tempe EMP memiliki skor tertinggi (2,3) dan WJB memiliki skor terendah (1,3). Hal ini menunjukkan bahwa metode pengolahan tidak
berpengaruh terhadap pembentukan rasa pahit pada tempe. Analisis plating, menunjukkan bahwa air rendaman EMP mengandung
jumlah bakteri kelompok Enterobacteria yang lebih tinggi, sekitar 103-104 CFU ml-1 dan kelompok bakteri pembentuk spora, 102 CFU ml-1,
dibandingkan dengan WJB. Demikian pula, kelompok bakteri lain pada tempe EMP segar lebih tinggi 102 CFU g-1 dibandingkan dengan tempe
WJB segar. Berdasarkan hasil sekuensing gen 16S rRNA, bakteri yang dominan pada media PCA pada tempe EMP adalah Acetobacter
indonesiensis, Klebsiella pneumoniae, Bacillus subtilis, dan Flavobacterium sp. sedangkan pada tempe WJB adalah Klebsiella sp,
Brevundimonas sp., Bacillus sp., Pseudomonas putida, dan Acinetobacter sp. Bacillus, kelompok bakteri proteolitik ditemukan 105 CFU m-
1
lebih tinggi pada air rendaman EMP dibandingkan dengan WJB. Namun demikian, jenis dan jumlah jamur tidak berbeda secara
signifikan antar jenis tempe. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa perbedaan jumlah dan jenis bakteri yang terlibat dalam proses
produksi tempe menyebabkan perbedaan intensitas rasa pahit pada tempe EMP dan WJB.
Tempe segar ukuran 12 cm x 2 cm x 2 cm dikukus Tempe EMP, DRG, MLB, CLR tempeWJB tempe
selama 15
menit dan kemudian dipotong-potong menjadi ukuran 4cm Memasak kedelai Memasak kedelai
x 2cm x 2cm sebelum disajikan kepada panelis. Panelis
diminta untuk menentukan tingkat kepahitan tempe dengan
Perendaman
membandingkannya dengan standar yang telah disediakan. Dehulling
Skor intensitas rasa pahit yang diberikan berkisar antara 0-
5 (skor 0 untuk intensitas rasa pahit terendah dan skor 5
untuk intensitas rasa pahit tertinggi). Data kemudian Dehulling
Mencuci
dianalisis dengan menggunakan analisis ragam dan diuji
lanjut dengan Honestly Significance Difference (HSD).
Dari uji sensoris rasa pahit ini, dipilih tempe "tidak pahit" Mencuci
Perendaman
(dengan intensitas terendah) dan tempe "pahit" (dengan
intensitas tertinggi).
Produksi Tempe. Tempe dibuat dengan menggunakan Pencampuran dengan
inokulum tempe asli dari PT Aneka Fermentasi Industri inokulum Memasak
(AFI), Bandung, Indonesia, yang biasanya digunakan oleh
produsen WJB dan juga dalam kultur tempe campuran
yang digunakan oleh produsen EMP. Tempe diproses Inkubasi Pencampuran dengan
menggunakan metode WJB (Gambar 1) dan produknya inokulum
kemudian dilakukan uji sensoris rasa pahit.
Analisis Jamur. Analisis jamur dilakukan pada tempe Tempe
segar "tidak pahit" dan "pahit". Media yang digunakan Inkubasi
adalah Potato Dextrose Agar (PDA) (Difco) dengan
penambahan 0,3 g/l-1 (w/v) ampisilin dan 0,3 g/l-1 (w/v).
Sejumlah 25 g dari masing-masing sampel tempe Tempe
ditambahkan ke dalam 225 ml 0,85% (b/v) NaCl, digerus
dan dicampur untuk membuat suspensi sebelum
pengenceran serial. Sebanyak 100 μl suspensi disebarkan
pada media PDA
media menggunakan metode cawan tuang dengan dua kali ml alikuot suspensi bakteri yang telah ditumbuhkan selama
ulangan. Koloni jamur berumur tiga hari diamati secara satu malam dalam media cair PCA disentrifugasi selama 3
morfologi di bawah mikroskop untuk menentukan jenis menit pada 10.000 x g (SORVALL® Pico, USA). Hasil pelet
jamur yang ada. Analisis Bakteri. Analisis bakteri dicampur dengan 200 μl 0,85% (w/v) NaCl dan DNA
dilakukan terhadap tempe segar "tidak pahit" dan "pahit" genom
serta air rendaman yang diambil dari setiap proses produksi
tempe. Air rendaman diambil sampelnya dalam tiga tahap,
yaitu 1, 7, dan 14 jam setelah perendaman kedelai.
Sebanyak 25 g dari setiap sampel tempe ditambahkan ke
dalam 225 ml 0,85% (w/v) NaCl dan kemudian digerus
menggunakan stomacher selama 1,5 menit. Sebanyak 25
ml alikuot air rendaman diencerkan dengan 225 ml 0,85%
(b/v) NaCl dan kemudian dibuat pengenceran serial untuk
setiap sampel. Dari setiap pengenceran, 100 μl suspensi
disebarkan pada media Plate Count Agar / PCA (Oxoid)
untuk menentukan jumlah sel total bakteri aerob mesofilik
dan bakteri pembentuk spora, dan pada media Eosin
Methylene Blue Agar / EMB (Difco) untuk mengetahui
jumlah sel total Enterobacteria. Jumlah bakteri pembentuk
spora diperoleh dengan memanaskan sampel pada suhu
85°C selama 15 menit. Setiap pengujian dilakukan dalam
replikasi. Koloni dihitung dan diamati karakteristik
morfologinya. Bakteri yang tumbuh pada PCA, dan
bakteri pembentuk spora, diuji untuk produksi protease
menggunakan media PCA yang diperkaya dengan 2% susu
skim. Bakteri uji diteteskan pada media dan kemudian
diinkubasi semalam pada suhu kamar. Pengujian positif
untuk bakteri penghasil protease dilakukan dengan
mengamati secara langsung zona bening
yang terbentuk di sekitar koloni.
Identifikasi Berdasarkan Sekuen Gen 16S rRNA. Dua
jenis koloni bakteri yang dominan pada media PCA
diidentifikasi melalui sekuen gen 16S rRNA. Sebanyak 1,5
Volume 2, 2008
Gambar 1 Perbandingan metode pembuatan tempe EMP, DRG, Microbiol
MLB, CLR, dan WJB. I n d o n e s 19
HASIL
Tempe WJB
Tabel 1 Kelimpahan bakteri pada air rendaman 1,7, dan 14 jam serta
tempe EMP dan WJB segar. Rendam air 1 Tipe B 7.1 x 106 Klebsiella sp. 99
1 h7 h14 h Segar Tipe I 3.3 x 101 Bacillus sp.* 99
Jenis bakteri Rendam air 2 Tipe B 1.3 x 107 Klebsiella sp. 99
(CFU ) ml-1 tempe Brevundimonas sp.
Tipe G 3.5 x 103 99
EMP Tempe Air rendaman T i p e 7.6 x 108 - -
B Tipe 3.0 x 105 - -
Enterobacteria 3,1 x 106 7 ,
7 x 107 3 , 3 x 108 1 , 1 x 108 Pseudomonas putida
3 Tempe segar G Tipe 1.7 x 106 99
Bakteri pembentuk 3,4 x 102 3 ,
3 x 103 5 , 3 x 103 3 , 2 x 102
D
spora Bakteri total Tipe A: bulat, pinggiran
8,7 x 106 4 4 x 107 3 , 7 x 108 9 , 4 x 108 Tipe H halus, berlendir, melengkung,
sp. putih kekuningan,
,
5.4 x 103 Acinetobacter 99
(lainnya) kecil; B: bulat, pinggiran halus, berlendir, melengkung, putih, kecil; D:
bulat, pinggiran halus, berlendir, melengkung, putih, besar; F: bulat,
Enterobakteri Tempe pinggiran tidak halus, berlendir, melengkung, putih kecoklatan, besar; G:
6,1 x 102 5 , 3 x 104 6 , 0 x 105 4 , 2 x 105 bulat, pinggiran tidak halus, berlendir, melengkung, putih, sedang; H:
WJB bulat
Bakteri pembentuk spora <3,0 x 101 < 3 , 0 x 101 < 3 , 0 x 101 < 3 , 0 x 101 lar, pinggiran halus, berlendir, timbul, putih kekuningan, kecil; I: tidak
Total bakteri (lainnya) 7,1 x 106 1 , 3 x 107 7 , 6 x 108 1 , 8 x 106 Bakteri seragam dan menyebar, berlendir, berbentuk lempeng, putih, besar; -:
pembentuk spora bersifat proteolitik. tidak teridentifikasi; *: bakteri poteolitik.
Volume 2, 2008 Microbiol
I n d o n e s 21
Faktor kedelai, karena jenis kedelai yang digunakan dalam bebas yang berbeda menyebabkan perbedaan atribut sensoris
pembuatan tempe sama yaitu GCU, USA Soybean No. 1. soy-daddawa (makanan kedelai hasil fermentasi Nigeria).
Hasil uji sensoris dari kelima jenis tempe tersebut
menunjukkan bahwa intensitas rasa pahit yang paling kuat
terdapat pada tempe EMP dan yang paling lemah pada
tempe WJB (Gambar 2). Tempe EMP dan WJB dibuat
dengan metode pengolahan yang berbeda. Namun,
penelitian ini menunjukkan bahwa perbedaan cara
pengolahan tidak menyebabkan perbedaan intensitas rasa
pahit tempe yang signifikan. Hal ini didukung oleh hasil uji
laboratorium, dimana pengolahan tempe dilakukan dengan
menggunakan metode pengolahan EMP dan WJB (Gambar
1). Pada percobaan ini, tempe dibuat dengan jenis kedelai,
inokulum, dan air steril yang sama, namun dengan metode
pengolahan yang berbeda. Hasil uji sensoris dari kedua
tempe tersebut menunjukkan bahwa nilai rasa pahitnya tidak
berbeda secara signifikan, yaitu 1,1
dan 1.2.
Tempe EMP dan DRG diproduksi dengan menggunakan
metode yang sama dengan tempe MLB dan CLR (Gbr. 1).
Namun, keduanya memiliki nilai intensitas yang berbeda
secara signifikan (Gambar 2). Hasil ini mengkonfirmasi
hasil penelitian Hartoyo (1994) yang menyatakan bahwa
intensitas rasa pahit pada tempe dapat berbeda antar
produsen meskipun menggunakan bahan baku dan metode
pengolahan yang sama.
Hasil uji sensoris terhadap kelima jenis tempe
menunjukkan bahwa intensitas rasa pahit yang paling
kuat terdapat pada tempe EMP dan yang paling lemah
pada tempe WJB (Gambar 2). Inokulum yang digunakan
untuk memproduksi kedua jenis tempe tersebut berasal dari
sumber yang sama, yaitu PT. AFI, Bandung, Indonesia.
Berdasarkan karakteristik jamurnya, jenis jamur pada EMP
dan WJB ditemukan memiliki kemiripan dalam jumlah dan
jenisnya. Kesamaan ini dapat terjadi karena kedua pabrik
menggunakan sumber inokulum yang sama. Perbedaan
intensitas rasa pahit pada EMP dan WJB bukan berasal
dari jamurnya karena hasil uji sensoris untuk kedua produk
tempe yang diinokulasi dengan inokulum jamur dari EMP
dan WJB tidak menunjukkan nilai intensitas yang berbeda
secara signifikan (1,1 dan 1,2).
Jumlah sel bakteri pada EMP secara umum lebih tinggi
dibandingkan dengan WJB. Bakteri yang dominan
ditemukan pada air rendaman dan tempe segar EMP
adalah Acetobacter indonesiensis, Klebsiella
pneumoniae, Bacillus subtilis, dan Flavobacterium sp.
Sedangkan pada WJB bakteri yang ditemukan adalah
Klebsiella sp. dan Pseudomonas putida (kemiripan 99%).
Selain jumlah bakteri, keanekaragaman bakteri dalam
ekosistim pangan merupakan faktor yang sangat penting
dalam menentukan kualitas pangan karena mikroba yang
berbeda memiliki fungsi yang berbeda pula dan hal ini
sangat penting dalam pembentukan kondisi lingkungan
selama proses fermentasi (Scahwan, 1998; Ampe dkk.,
2001; Randazzo dkk., 2002). Dalam pengolahan pangan
yang meliputi proses fermentasi, fla- vor sangat
dipengaruhi oleh jenis mikroorganisme yang terlibat.
Total populasi sel Bacillus sp. yang ditemukan pada air
rendaman EMP lebih tinggi daripada WJB (Tabel 2).
Bacillus sp. memiliki aktivitas proteolitik. Menurut
Omafuvbe dkk. (2002), protease dari Bacillus sp. yang
berbeda menghasilkan kandungan asam amino bebas yang
berbeda pula pada soy-daddawa. Kandungan asam amino
22 BARUS ET AL. Microbiol Indones
Kedelai, sebagai bahan baku tempe, mengandung
sekitar 40% protein dari berat keringnya. Protein tersebut
terdiri dari 11S glisinin dan α, β, γ conglycinin (Liu
1997). Hidrolisis 11S glisinin kedelai oleh tripsin
menghasilkan peptida pahit yang memiliki berat molekul
2,4 sampai 3,5 KDa (Kim et al. 2003). Lebih lanjut
Myong dkk. (2004) melaporkan bahwa hidrolisis
enzimatik protein kedelai menghasilkan rasa pahit karena
terbentuknya peptida dengan berat molekul sekitar 2
sampai 4 KDa.
Rasa pahit pada tempe dapat disebabkan oleh banyak
faktor, namun hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa
keberadaan bakteri yang terlibat selama proses
pengolahan dapat menjadi salah satu faktor yang
mempengaruhi pembentukan cita rasa, khususnya rasa
pahit pada tempe. Dugaan ini diperkuat karena jenis jamur
yang ada, metode yang digunakan, dan bahan baku yang
digunakan tidak berpengaruh terhadap perbedaan
intensitas rasa pahit. Oleh karena itu, analisis bakteri yang
tidak bergantung pada bakteri yang dapat dikultur
diperlukan untuk mendukung pengamatan ini lebih lanjut.
yaitu bakteri yang ada selama pemrosesan tempe yang
mempengaruhi pembentukan rasa.
REFERENSI