Anda di halaman 1dari 9

Subscribe to DeepL Pro to translate larger documents.

Visit www.DeepL.com/pro for more information.

Volume 2, Nomor 1, April 2008


p 17-21

ISSN 1978-3477

Peran Bakteri dalam Pembentukan Rasa Pahit Tempe: Analisis


Mikrobiologi dan Biologi Molekuler Berdasarkan Gen 16S rRNA
TATI BARUS1 , ANTONIUS SUWANTO1* , ARIS TRI WAHYUDI1 , DAN HANNY WIJAYA2

1Departemen Biologi,2 Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Institut Pertanian Bogor, Kampus IPB
Darmaga, Bogor 16680, Indonesia

Tempe adalah makanan tradisional Indonesia. Tempe memiliki berbagai macam rasa, terkadang dengan sedikit rasa pahit, yang
mungkin berbeda intensitasnya. Penyebab rasa pahit pada tempe belum pernah dilaporkan sebelumnya. Dalam penelitian ini, tujuannya
adalah untuk mengidentifikasi apakah bakteri berperan dalam pembentukan rasa pahit pada tempe. Uji sensoris dilakukan untuk
menentukan skor intensitas rasa pahit pada tempe. Hasil uji sensoris pada tempe EMP, WJB, CLR, DRG, dan MLB menunjukkan bahwa
tempe EMP memiliki skor tertinggi (2,3) dan WJB memiliki skor terendah (1,3). Hal ini menunjukkan bahwa metode pengolahan tidak
berpengaruh terhadap pembentukan rasa pahit pada tempe. Analisis plating, menunjukkan bahwa air rendaman EMP mengandung
jumlah bakteri kelompok Enterobacteria yang lebih tinggi, sekitar 103-104 CFU ml-1 dan kelompok bakteri pembentuk spora, 102 CFU ml-1,
dibandingkan dengan WJB. Demikian pula, kelompok bakteri lain pada tempe EMP segar lebih tinggi 102 CFU g-1 dibandingkan dengan tempe
WJB segar. Berdasarkan hasil sekuensing gen 16S rRNA, bakteri yang dominan pada media PCA pada tempe EMP adalah Acetobacter
indonesiensis, Klebsiella pneumoniae, Bacillus subtilis, dan Flavobacterium sp. sedangkan pada tempe WJB adalah Klebsiella sp,
Brevundimonas sp., Bacillus sp., Pseudomonas putida, dan Acinetobacter sp. Bacillus, kelompok bakteri proteolitik ditemukan 105 CFU m-
1
lebih tinggi pada air rendaman EMP dibandingkan dengan WJB. Namun demikian, jenis dan jumlah jamur tidak berbeda secara
signifikan antar jenis tempe. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa perbedaan jumlah dan jenis bakteri yang terlibat dalam proses
produksi tempe menyebabkan perbedaan intensitas rasa pahit pada tempe EMP dan WJB.

Kata kunci: tempe, rasa, analisis komunitas bakteri

Tempe adalah makanan tradisional Indonesia yang terhadap


dibuat melalui proses fermentasi, terutama menggunakan
Rhizopus oligosporus. Ada banyak jenis tempe yang *Penulis Korespondensi, Telepon/Faks: +62-251-8315107, E-mail:
asuwanto@indo.net.id
berbeda tergantung dari bahan bakunya, namun yang
paling terkenal adalah tempe dengan bahan baku kedelai.
Jenis tempe yang diteliti dalam penelitian ini adalah tempe
kedelai, yang dalam penelitian ini didefinisikan sebagai
tempe.
Selain R. oligosporus, keberadaan bakteri sangat
penting dalam produksi tempe, karena beberapa di
antaranya berperan dalam meningkatkan kualitas tempe.
Sebagai contoh, Citrobacter freundii dan Klebsiella
pneumoniae dapat meningkatkan kandungan vitamin B12
(Keuth dan Bisping 1994), dan Micrococcus atau
Arthrobacter berperan dalam pembentukan isoflavon (Klus
et al. 1993).
Mikroorganisme telah dilaporkan berperan dalam
pembentukan rasa pada makanan fermentasi (Hagedorn
dan Kaphammer 1994). Sebagai contoh, rasa pahit pada
keju disebabkan oleh aktivitas protease dari Lactococcus
lactis subsp. Lactis (Broadbent et al. 2002),
keanekaragaman bakteri asam laktat mempengaruhi
kualitas anggur (Rodas et al. 2003), dan Staphylococcus
xylosus mempengaruhi aroma sosis (Stahnke 1994).
Rasa tempe bervariasi, tetapi tidak konsisten dan
terkadang rasa yang tidak enak tidak disukai oleh
konsumen. Rasa pada produk makanan merupakan faktor
yang sangat penting yang mempengaruhi keputusan
konsumen dalam memilih produk makanan. Salah satu rasa
yang tidak disukai adalah rasa pahit. Rasa pahit merupakan
karakteristik utama dari tempe segar. Intensitas rasa pahit
pada tempe dapat berbeda antar produsen meskipun
menggunakan bahan baku dan inokulum yang sama (Hartoyo,
1994). Meskipun terdapat kesukaan yang relatif sama
rasa tempe, rasa pahit bukanlah rasa yang disukai
konsumen.
Tempe diproduksi secara lokal melalui beberapa jenis
metode pengolahan, umumnya menggunakan
kondisi yang tidak terkontrol. Faktor-faktor yang
menyebabkan intensitas rasa pahit yang berbeda pada
tempe belum pernah dilaporkan sejauh ini. Oleh karena
itu, penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi apakah
bakteri berperan dalam pembentukan rasa pahit pada
tempe.

BAHAN DAN METODE

Uji Sensori Rasa Pahit. Contoh tempe diperoleh dari


lima produsen di daerah Bogor. Kelima produsen tersebut
adalah CLR, DRG, MLB, EMP, dan WJB. Kelima jenis tempe
tersebut diproduksi dengan menggunakan jenis kedelai
yang sama sebagai bahan baku. Uji sensoris dilakukan
oleh panelis yang telah dipilih setelah melalui beberapa
tahap pengujian sebagai berikut: Enam puluh orang
mahasiswa dari Departemen Ilmu Teknologi Pangan,
Institut Pertanian Bogor, dilibatkan sebagai panelis.
Sensitivitas sensoris para panelis diukur dalam tiga tahap.
Tahap pertama adalah uji kecocokan. Lima rasa dasar
dipilih: asam (0,04% asam sitrat), manis (0,7% sukrosa),
pahit (0,04% kafein), asin (0,2% natrium klorida), dan
umami (1% monosodium glutamat). Tahap kedua adalah
uji segitiga untuk rasa pahit (0,02 dan 0,04% kafein), dan
tahap ketiga adalah uji peringkat rasa pahit (0,025, 0,04,
0,06, dan 0,08% kafein). Kriteria yang digunakan untuk
memilih panelis dari setiap tahap adalah mereka yang
memberikan 80% jawaban benar. Proses seleksi
menghasilkan 13 panelis yang kemudian dilatih untuk uji
kepahitan. Konsentrasi kafein dari
0,025 dan 0,05% digunakan sebagai standar dalam uji
sensoris rasa pahit pada sampel tempe dengan
menggunakan uji rating (Meilgaard et al. 1999).
18 BARUS ET AL. Microbiol Indones

Tempe segar ukuran 12 cm x 2 cm x 2 cm dikukus Tempe EMP, DRG, MLB, CLR tempeWJB tempe
selama 15
menit dan kemudian dipotong-potong menjadi ukuran 4cm Memasak kedelai Memasak kedelai
x 2cm x 2cm sebelum disajikan kepada panelis. Panelis
diminta untuk menentukan tingkat kepahitan tempe dengan
Perendaman
membandingkannya dengan standar yang telah disediakan. Dehulling
Skor intensitas rasa pahit yang diberikan berkisar antara 0-
5 (skor 0 untuk intensitas rasa pahit terendah dan skor 5
untuk intensitas rasa pahit tertinggi). Data kemudian Dehulling
Mencuci
dianalisis dengan menggunakan analisis ragam dan diuji
lanjut dengan Honestly Significance Difference (HSD).
Dari uji sensoris rasa pahit ini, dipilih tempe "tidak pahit" Mencuci
Perendaman
(dengan intensitas terendah) dan tempe "pahit" (dengan
intensitas tertinggi).
Produksi Tempe. Tempe dibuat dengan menggunakan Pencampuran dengan
inokulum tempe asli dari PT Aneka Fermentasi Industri inokulum Memasak
(AFI), Bandung, Indonesia, yang biasanya digunakan oleh
produsen WJB dan juga dalam kultur tempe campuran
yang digunakan oleh produsen EMP. Tempe diproses Inkubasi Pencampuran dengan
menggunakan metode WJB (Gambar 1) dan produknya inokulum
kemudian dilakukan uji sensoris rasa pahit.
Analisis Jamur. Analisis jamur dilakukan pada tempe Tempe
segar "tidak pahit" dan "pahit". Media yang digunakan Inkubasi
adalah Potato Dextrose Agar (PDA) (Difco) dengan
penambahan 0,3 g/l-1 (w/v) ampisilin dan 0,3 g/l-1 (w/v).
Sejumlah 25 g dari masing-masing sampel tempe Tempe
ditambahkan ke dalam 225 ml 0,85% (b/v) NaCl, digerus
dan dicampur untuk membuat suspensi sebelum
pengenceran serial. Sebanyak 100 μl suspensi disebarkan
pada media PDA
media menggunakan metode cawan tuang dengan dua kali ml alikuot suspensi bakteri yang telah ditumbuhkan selama
ulangan. Koloni jamur berumur tiga hari diamati secara satu malam dalam media cair PCA disentrifugasi selama 3
morfologi di bawah mikroskop untuk menentukan jenis menit pada 10.000 x g (SORVALL® Pico, USA). Hasil pelet
jamur yang ada. Analisis Bakteri. Analisis bakteri dicampur dengan 200 μl 0,85% (w/v) NaCl dan DNA
dilakukan terhadap tempe segar "tidak pahit" dan "pahit" genom
serta air rendaman yang diambil dari setiap proses produksi
tempe. Air rendaman diambil sampelnya dalam tiga tahap,
yaitu 1, 7, dan 14 jam setelah perendaman kedelai.
Sebanyak 25 g dari setiap sampel tempe ditambahkan ke
dalam 225 ml 0,85% (w/v) NaCl dan kemudian digerus
menggunakan stomacher selama 1,5 menit. Sebanyak 25
ml alikuot air rendaman diencerkan dengan 225 ml 0,85%
(b/v) NaCl dan kemudian dibuat pengenceran serial untuk
setiap sampel. Dari setiap pengenceran, 100 μl suspensi
disebarkan pada media Plate Count Agar / PCA (Oxoid)
untuk menentukan jumlah sel total bakteri aerob mesofilik
dan bakteri pembentuk spora, dan pada media Eosin
Methylene Blue Agar / EMB (Difco) untuk mengetahui
jumlah sel total Enterobacteria. Jumlah bakteri pembentuk
spora diperoleh dengan memanaskan sampel pada suhu
85°C selama 15 menit. Setiap pengujian dilakukan dalam
replikasi. Koloni dihitung dan diamati karakteristik
morfologinya. Bakteri yang tumbuh pada PCA, dan
bakteri pembentuk spora, diuji untuk produksi protease
menggunakan media PCA yang diperkaya dengan 2% susu
skim. Bakteri uji diteteskan pada media dan kemudian
diinkubasi semalam pada suhu kamar. Pengujian positif
untuk bakteri penghasil protease dilakukan dengan
mengamati secara langsung zona bening
yang terbentuk di sekitar koloni.
Identifikasi Berdasarkan Sekuen Gen 16S rRNA. Dua
jenis koloni bakteri yang dominan pada media PCA
diidentifikasi melalui sekuen gen 16S rRNA. Sebanyak 1,5
Volume 2, 2008
Gambar 1 Perbandingan metode pembuatan tempe EMP, DRG, Microbiol
MLB, CLR, dan WJB. I n d o n e s 19

diekstraksi sesuai dengan prosedur Kit Pemurnian DNA


Genomik (Fermentas, Vilnius, Lithuania).
Gen 16S rRNA diamplifikasi dengan menggunakan
mesin PCR (Perkin Elmer, Gene Amplification system
2400) dengan menggunakan primer 63f (5'-
CAGGCCTAACACATGCAAGTC) dan 1387 r (5'-
GGGCGGWT GTACAAGGC -3') (Marchesi et al.
1998). Kondisi reaksi (50 μl) adalah sebagai berikut: 36
μl ddH2O, 5 μl 10 x buffer polimerase, 1 μl dNTPs, 1 μl Taq DNA
polimerase (Finnzymes, Espoo, Findland), 1 μl primer 63f
(5pmol/μl), 1μl primer 1387r (5pmol/μl), dan 3μl DNA
sampel. Campuran tersebut diinkubasi dalam mesin PCR
(Perkin Elmer, Gene Amp system 2400). Protokol PCR
adalah sebagai berikut: denaturasi awal pada suhu 94°C
selama 5 menit, denaturasi pada suhu 92°C selama 30 detik,
annealing pada suhu 62°C selama 30 detik, pemanjangan
pada suhu 72°C selama 30 detik, dan pasca PCR pada suhu
72°C selama 7 menit. Siklus PCR digunakan sebanyak 25
kali. Hasil PCR diamati dengan menggunakan
elektroforesis menggunakan gel agarosa 0,8% (w/v). Pita
DNA berukuran 1,3 kb dipotong dan kemudian
dimurnikan dengan menggunakan WIZARD® SV Gel and
Clean-Up System (Promega). DNA yang telah
dimurnikan dielusi dengan 35μl air bebas nuklease.
Pengurutan DNA dilakukan pada mesin pengurut DNA
otomatis ABI PRISM 2400 (Perkin Elmer, USA).
Sekuens yang dihasilkan dibandingkan dengan sekuens
DNA yang tersedia di database European Bioinformatics
Institute (EBI) menggunakan BLASTX
2.0 ditetapkan ke parameter default.

HASIL

Uji Sensoris Kepahitan. Nilai intensitas rasa pahit


pada tempe EMP, DRG, MLB, CLR, dan WJB berbeda. Hasil
uji HSD pada taraf 5% menunjukkan bahwa intensitas rasa
pahit
20 BARUS ET AL. Microbiol Indones

3 Bakteri dengan warna hijau metalik (tinja) dan bakteri non-


tinja lainnya, yang mirip dengan Enterobacteria yang
ditemukan di WJB.
Skor intensitas rasa pahit

2 Identifikasi Bakteri. Dua jenis koloni bakteri yang


dominan pada media PCA diidentifikasi melalui sekuen
gen 16S rRNA. Strategi yang digunakan untuk menentukan
1
bakteri dilakukan berdasarkan sekuen gen 16S rRNA.
Bakteri yang dominan pada tempe EMP (Tabel 2) adalah
Acetobac ter i ndones iensi s, Klebsiella pneumoniae,
0 EMP DRG MLB CLR WJB Bacillus subtilis, dan Flavobacterium sp. sedangkan bakteri
Jenis-jenis tempe yang dominan pada tempe WJB adalah Klebsiella sp.,
Gambar 2 Skor intensitas rasa pahit pada beberapa jenis tempe. Brevundimonas sp., Pseudomonas putida, Bacillus sp., dan
Acinetobacter sp.
Skor sampel dikategorikan ke dalam tiga kelompok, yaitu
skor tertinggi EMP (2,3) dan DRG (2,2), skor moderat MLB DISKUSI
(1,7) dan CLR (1,6), serta skor terendah WJB (1,3). Skor
yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan bahwa Fermentasi merupakan salah satu teknologi yang
skor tersebut tidak berbeda secara signifikan. Berdasarkan sudah digunakan sejak lama dalam pengolahan makanan.
uji sensoris rasa pahit ini, EMP yang memiliki nilai Salah satu makanan tradisional Indonesia yang diolah
intensitas rasa pahit tertinggi (2,3) dipilih sebagai melalui fermentasi adalah tempe. Dalam pengolahan
representasi tempe "pahit" dan WJB (1,3) sebagai tempe, kedelai, mikroba, dan teknologi berpadu menjadi
representasi tempe "tidak pahit". satu untuk menghasilkan tempe yang memiliki
Jenis Jamur. Kapang yang tumbuh pada tempe EMP karakteristik lebih unggul dibandingkan dengan kedelai
adalah R. oligosporus dan Mucor sp. masing-masing mentah.
dengan kelimpahan kapang 3,4 x 105 CFU g-1 dan 3,5 x 103 Berdasarkan uji sensoris rasa pahit, tempe CLR, DRG,
CFU g-1 . Kapang yang tumbuh pada tempe WJB segar MLB, EMP, dan WJB memiliki nilai intensitas rasa pahit
adalah R. oligosporus, Mucor sp. dan Geotrichum sp. yang berbeda (Gambar 2). Rasa pahit ditemukan pada
dengan kelimpahan kapang masing-masing sebesar 3,8 x 105 setiap sampel namun dengan intensitas yang berbeda. Hal
CFU g-1 , 4,8 x 103 CFU g-1 , dan <3,0 x 101 CFU g .-1 ini tidak disebabkan oleh adanya
Kelimpahan Bakteri. Jumlah Enterobacteria, bakteri
pembentuk spora, dan bakteri proteolitik ditemukan
lebih tinggi pada air rendaman dan EMP tempe segar Tabel 2 Jenis bakteri yang dominan pada air rendaman dan tempe
dibandingkan dengan WJB (Tabel 1). Analisis pelapisan segar EMP dan WJB yang ditumbuhkan pada media PCA
menunjukkan bahwa air rendaman EMP mengandung Sampel CFU dominan ml-1 Kesamaan
jumlah Enterobacteria, sekitar 103-104 CFU ml-1, dan kelompok Identitas (%)
koloni CFU g-1
bakteri pembentuk spora, 102 CFU ml-1, dibandingkan dengan
WJB. Demikian pula, jumlah kelompok bakteri lain pada Tempe EMP
tempe EMP segar lebih tinggi 102 CFU g-1 dibandingkan dengan Acetobacter indonesiensis
Rendam air 1 Tipe A 5.5 x 106 100
tempe WJB segar. Berdasarkan karakteristik morfologi Tipe I 3.1 x 106 Bacillus subtilis.* 99
(Tabel 2), bakteri yang tumbuh dominan pada media PCA Rendam air 2 Tipe B 3.7 x 107 Klebsiella pneumoniae 99
dari tempe EMP memiliki karakteristik morfologi tipe A, Tipe I 6.6 x 106 Bacillus subtilis*. 99
Air rendaman Tipe B 3.7 x 108 Klebsiella pneumoniae 99
B, F, dan I, sedangkan tempe WJB memiliki tipe B, D, G,
3 Tipe I 4.7 x 105 - -
H, dan I. Bakteri tipe I yang terdapat pada kedua jenis Tipe F 5.9 x 108 Flavobacterium sp. 99
tempe tersebut memiliki aktivitas proteolitik. Tempe segar
Enterobakteri yang ditemukan pada EMP didominasi oleh Tipe B 3.5 x 108 Klebsiella pneumoniae 99

Tempe WJB
Tabel 1 Kelimpahan bakteri pada air rendaman 1,7, dan 14 jam serta
tempe EMP dan WJB segar. Rendam air 1 Tipe B 7.1 x 106 Klebsiella sp. 99
1 h7 h14 h Segar Tipe I 3.3 x 101 Bacillus sp.* 99
Jenis bakteri Rendam air 2 Tipe B 1.3 x 107 Klebsiella sp. 99
(CFU ) ml-1 tempe Brevundimonas sp.
Tipe G 3.5 x 103 99
EMP Tempe Air rendaman T i p e 7.6 x 108 - -
B Tipe 3.0 x 105 - -
Enterobacteria 3,1 x 106 7 ,
7 x 107 3 , 3 x 108 1 , 1 x 108 Pseudomonas putida
3 Tempe segar G Tipe 1.7 x 106 99
Bakteri pembentuk 3,4 x 102 3 ,
3 x 103 5 , 3 x 103 3 , 2 x 102
D
spora Bakteri total Tipe A: bulat, pinggiran
8,7 x 106 4 4 x 107 3 , 7 x 108 9 , 4 x 108 Tipe H halus, berlendir, melengkung,
sp. putih kekuningan,
,
5.4 x 103 Acinetobacter 99
(lainnya) kecil; B: bulat, pinggiran halus, berlendir, melengkung, putih, kecil; D:
bulat, pinggiran halus, berlendir, melengkung, putih, besar; F: bulat,
Enterobakteri Tempe pinggiran tidak halus, berlendir, melengkung, putih kecoklatan, besar; G:
6,1 x 102 5 , 3 x 104 6 , 0 x 105 4 , 2 x 105 bulat, pinggiran tidak halus, berlendir, melengkung, putih, sedang; H:
WJB bulat
Bakteri pembentuk spora <3,0 x 101 < 3 , 0 x 101 < 3 , 0 x 101 < 3 , 0 x 101 lar, pinggiran halus, berlendir, timbul, putih kekuningan, kecil; I: tidak
Total bakteri (lainnya) 7,1 x 106 1 , 3 x 107 7 , 6 x 108 1 , 8 x 106 Bakteri seragam dan menyebar, berlendir, berbentuk lempeng, putih, besar; -:
pembentuk spora bersifat proteolitik. tidak teridentifikasi; *: bakteri poteolitik.
Volume 2, 2008 Microbiol
I n d o n e s 21

Faktor kedelai, karena jenis kedelai yang digunakan dalam bebas yang berbeda menyebabkan perbedaan atribut sensoris
pembuatan tempe sama yaitu GCU, USA Soybean No. 1. soy-daddawa (makanan kedelai hasil fermentasi Nigeria).
Hasil uji sensoris dari kelima jenis tempe tersebut
menunjukkan bahwa intensitas rasa pahit yang paling kuat
terdapat pada tempe EMP dan yang paling lemah pada
tempe WJB (Gambar 2). Tempe EMP dan WJB dibuat
dengan metode pengolahan yang berbeda. Namun,
penelitian ini menunjukkan bahwa perbedaan cara
pengolahan tidak menyebabkan perbedaan intensitas rasa
pahit tempe yang signifikan. Hal ini didukung oleh hasil uji
laboratorium, dimana pengolahan tempe dilakukan dengan
menggunakan metode pengolahan EMP dan WJB (Gambar
1). Pada percobaan ini, tempe dibuat dengan jenis kedelai,
inokulum, dan air steril yang sama, namun dengan metode
pengolahan yang berbeda. Hasil uji sensoris dari kedua
tempe tersebut menunjukkan bahwa nilai rasa pahitnya tidak
berbeda secara signifikan, yaitu 1,1
dan 1.2.
Tempe EMP dan DRG diproduksi dengan menggunakan
metode yang sama dengan tempe MLB dan CLR (Gbr. 1).
Namun, keduanya memiliki nilai intensitas yang berbeda
secara signifikan (Gambar 2). Hasil ini mengkonfirmasi
hasil penelitian Hartoyo (1994) yang menyatakan bahwa
intensitas rasa pahit pada tempe dapat berbeda antar
produsen meskipun menggunakan bahan baku dan metode
pengolahan yang sama.
Hasil uji sensoris terhadap kelima jenis tempe
menunjukkan bahwa intensitas rasa pahit yang paling
kuat terdapat pada tempe EMP dan yang paling lemah
pada tempe WJB (Gambar 2). Inokulum yang digunakan
untuk memproduksi kedua jenis tempe tersebut berasal dari
sumber yang sama, yaitu PT. AFI, Bandung, Indonesia.
Berdasarkan karakteristik jamurnya, jenis jamur pada EMP
dan WJB ditemukan memiliki kemiripan dalam jumlah dan
jenisnya. Kesamaan ini dapat terjadi karena kedua pabrik
menggunakan sumber inokulum yang sama. Perbedaan
intensitas rasa pahit pada EMP dan WJB bukan berasal
dari jamurnya karena hasil uji sensoris untuk kedua produk
tempe yang diinokulasi dengan inokulum jamur dari EMP
dan WJB tidak menunjukkan nilai intensitas yang berbeda
secara signifikan (1,1 dan 1,2).
Jumlah sel bakteri pada EMP secara umum lebih tinggi
dibandingkan dengan WJB. Bakteri yang dominan
ditemukan pada air rendaman dan tempe segar EMP
adalah Acetobacter indonesiensis, Klebsiella
pneumoniae, Bacillus subtilis, dan Flavobacterium sp.
Sedangkan pada WJB bakteri yang ditemukan adalah
Klebsiella sp. dan Pseudomonas putida (kemiripan 99%).
Selain jumlah bakteri, keanekaragaman bakteri dalam
ekosistim pangan merupakan faktor yang sangat penting
dalam menentukan kualitas pangan karena mikroba yang
berbeda memiliki fungsi yang berbeda pula dan hal ini
sangat penting dalam pembentukan kondisi lingkungan
selama proses fermentasi (Scahwan, 1998; Ampe dkk.,
2001; Randazzo dkk., 2002). Dalam pengolahan pangan
yang meliputi proses fermentasi, fla- vor sangat
dipengaruhi oleh jenis mikroorganisme yang terlibat.
Total populasi sel Bacillus sp. yang ditemukan pada air
rendaman EMP lebih tinggi daripada WJB (Tabel 2).
Bacillus sp. memiliki aktivitas proteolitik. Menurut
Omafuvbe dkk. (2002), protease dari Bacillus sp. yang
berbeda menghasilkan kandungan asam amino bebas yang
berbeda pula pada soy-daddawa. Kandungan asam amino
22 BARUS ET AL. Microbiol Indones
Kedelai, sebagai bahan baku tempe, mengandung
sekitar 40% protein dari berat keringnya. Protein tersebut
terdiri dari 11S glisinin dan α, β, γ conglycinin (Liu
1997). Hidrolisis 11S glisinin kedelai oleh tripsin
menghasilkan peptida pahit yang memiliki berat molekul
2,4 sampai 3,5 KDa (Kim et al. 2003). Lebih lanjut
Myong dkk. (2004) melaporkan bahwa hidrolisis
enzimatik protein kedelai menghasilkan rasa pahit karena
terbentuknya peptida dengan berat molekul sekitar 2
sampai 4 KDa.
Rasa pahit pada tempe dapat disebabkan oleh banyak
faktor, namun hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa
keberadaan bakteri yang terlibat selama proses
pengolahan dapat menjadi salah satu faktor yang
mempengaruhi pembentukan cita rasa, khususnya rasa
pahit pada tempe. Dugaan ini diperkuat karena jenis jamur
yang ada, metode yang digunakan, dan bahan baku yang
digunakan tidak berpengaruh terhadap perbedaan
intensitas rasa pahit. Oleh karena itu, analisis bakteri yang
tidak bergantung pada bakteri yang dapat dikultur
diperlukan untuk mendukung pengamatan ini lebih lanjut.
yaitu bakteri yang ada selama pemrosesan tempe yang
mempengaruhi pembentukan rasa.

REFERENSI

Ampe F, Sirvent A, Zakhia N. 2001. Dinamika komunitas mikroba


yang bertanggung jawab atas fermentasi pati singkong asam
tradisional dipelajari dengan elektroforesis gel gradien denaturasi
dan hibridisasi rRNA kuantitatif. Int J Food Microbiol 65:45-54.
Broadbent JR, Barnes M, Brennand C, Strickland M, Houck K, Johnson
ME, Steele JL. 2002. Kontribusi spesifisitas proteinase selubung sel
Lactococcus lactis terhadap akumulasi peptida dan rasa pahit pada
keju cheddar rendah lemak. Appl Environ Microbiol 68:1778-
1785.
Hagedorn S, Kaphammer B. 1994. Biokatalisis mikroba dalam
p e m b u a t a n b a h a n kimia perisa dan pewangi. Ann Rev
Microbiol 48:773-800.
Hartoyo LK. 1994. Usaha mengurangi rasa pahit pada tepung tempe dari
bahan mentah tempe kedelai produksi beberapa pengrajin tempe di
Bogor [Tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Keuth S, Bisping B. 1994. Produksi vitamin B12 oleh Citrobacter
freundii atau Klebsiella pneumoniae selama fermentasi tempe dan
pembuktian ketiadaan enterotoksin dengan PCR. J Appl Environ
Microbiol 60:1495-1499.
Kim MR, Kawamura Y, Lee CH. 2003. Isolasi dan identifikasi peptida
pahit hidrolisat triptofan 11S glisinin kedelai dengan kromatografi
cair kinerja tinggi fase terbalik. J Food Sci 68:2416-2422.
Klus K, Borger-Papendorf G, Barz W. 1993. Pembentukan 6,7,4
tryhidroxyisoflavone (faktor 2) dari isoflavon biji kedelai oleh
bakteri yang diisolasi dari tempe. J Fitokimia 34:979-981.
Liu K. 1997. Kedelai: Kimia, Teknologi, dan Pemanfaatan. Ney York:
International Thomson Publ.
Marchesi JR, Sato T, Weightman AJ, Martin TA, Fry JC, Hiom SJ,
Wade WG. 1998. Desain dan evaluasi primer PCR spesifik bakteri
yang berguna untuk mengamplifikasi gen yang mengkode 16S
rRNA bakteri. Appl Environ Microbiol 64:795-799.
Meilgaard M, Civille GV, Carr BT. 1999. Teknik-teknik Evaluasi
Sensori. Edisi ke-3. Boca Raton: CRC Pr.
Myong JC, Unklesbay N, Hsieh FH, Clarke AD. 2004. Hidrofobisitas
peptida pahit dari hidrolisat protein kedelai. J Agric Food Chem
52:5895-5901.
Omafuvbe BO, Abiose SH, Shonukan OO. 2002. Fermentasi kedelai
(Glycine max) untuk produksi soy-daddawa oleh kultur starter
Bacillus. J Food Microbiol 19:561-566.
Randazzo CL, Toriani S, Akkermans DADL, de Vos WM,
Vaughan EE. 2002. Keanekaragaman, dinamika, dan
aktivitas komunitas bakteri selama produksi keju sisilia
artisanal yang dievaluasi dengan analisis 16S rRNA. Appl Environ
Microbiol 68:1882- 1892.
Volume 2, 2008 Microbiol
I n d o n e s 23
Rodas AM, Ferrer S, Pardo I. 2003. 16S-ARDRA: alat untuk Stahnke LH. 1994. Komponen aroma dari sosis kering yang difermentasi
identifikasi bakteri asam laktat yang diisolasi dari must anggur dan dengan Stapylococcus xylosus. J Meat Sci 38:39-53.
anggur. J Sys Appl Microbiol 26:412-422.
Schawan RF. 1998. Fermentasi kakao yang dilakukan dengan inokulum
koktail mikroba yang telah ditentukan. Appl Environ Microbiol
64:1477- 1483.

Anda mungkin juga menyukai