Conference on Communication and New Media Studies: Peran dan Kontribusi Kajian Komunikasi
dalam Era Komunitas ASEAN
GLOKALIZER: KONSEP EST ET IKA URBAN SEBAGAI ST RAT EGI KREAT IF UNT UK KARYA SENI BA…
Arus Reka Praset ia, M. Firdaus Benyamin
Sast ra, Daya Krit is, dan Moral Bangsa: Mendayagunakan sast ra sebagai seni dan pelajaran
Manneke Budiman
GLOKALISASI KARYA SENI BATIK INDONESIA
SEBAGAI STRATEGI KOMUNIKASI MULTIKULTURAL
DALAM ERA KOMUNITAS ASEAN
ABSTRAK
Kata kunci: glokalisasi, batik, multikultural, strategi komunikasi, era komunitas ASEAN.
1. PENDAHULUAN
Karya dari batik dapat diidentifikasi dalam unsur-unsur komunikasi seni (media seni
batik), sehingga komunikan akan mengenal komunikatornya memiliki gaya ungkap pesan
1
yang khas pada setiap karya yang diciptakannya. Itulah ciri khas jati diri yang melekat pada
seorang seniman yang membedakannya dengan seniman lainnya. Jati diri yang telah
dibangunnya tersebut, secara mikro akan mampu mewakili suatu komunitas seni itu sendiri
dan secara makro mampu mewakili kebudayaannya sebagai ciri kepribadian bangsa
(Djomena, 2013:61).
Batik bukan hanya produk asli Indonesia yang indah secara estetika. Batik Indonesia
adalah salah satu seni menggambar yang tertua di dunia. Jadi apa yang terpola dalam sebuah
kain memiliki makna yang sangat mendalam, dimana didalamnya terkandung makna dan
Bukan hanya itu saja, tapi batik memiliki ciri khas masing-masing yang melambangkan
asal daerah dan strata sosial dimana batik tersebut berasal. Batik yang berasal dari Indonesia
telah berkembang sesuai dengan keadaan sosial politik dan ekonomi pada masa itu hingga
sekarang, memiliki motif-motif yang khas setiap daerah sesuai dengan keberadaan budaya
masing- masing. Motif tersebut berupa batik kraton, batik pesisir, dan batik pedalaman, serta
jenis pola, corak, motif, dan makna dibalik motif batik. Batik telah berkembang di seluruh
Indonesia dari Kepulauan Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Madura, Bali, Nusa
Tenggara, sampai Papua. Kondisi batik di Pulau Jawa, khususnya Jawa Barat, banyak
memperoleh pengaruh dari batik Jawa Tengah. Batik kraton mempunyai andil besar terhadap
Batik sudah menjadi gaya hidup. Bukan hanya dalam bentuk kain tradisional saja, tetapi
juga dalam bentuk apa saja dalam semua sendi bidang kehidupan. Di rumah, misalnya, sarung
bantal, seprai, taplak meja, hingga berbagai peralatan makan juga bisa menggunakan motif
batik, sehingga batik boleh dibilang sudah menjadi bagian dari putaran gaya hidup global.
2
Gambar 1.1 Homeset Batik Cap
Sumber: Tokopedia, 2015, “Homeset Tenun Aplikasi Batik Cap”, tersedia pada
https://www.tokopedia.com/umaisolshop/homeset-tenun-aplikasi-batik-cap-2
diakses pada tanggal 7 Maret 2015 Pukul 14.15 (GMT +7).
Banyak desainer fashion dunia sekarang juga sudah mengadaptasi batik Indonesia dalam
koleksi busana mereka (Musman & Arini, 2011:51). Mereka tidak mengambil teknik
membatiknya, yang sudah diakui oleh UNESCO sebagai salah satu bentuk Warisan
Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Non-Bendawi dari Indonesia sejak 2 Oktober 2009
yang lalu, melainkan motifnya. Beberapa perancang atau label yang menggunakan motif ini
antara lain Dries van Noten, Nicole Miller, Burberry Prorsum, dan Diane von Furstenberg.
3
Desainer Belgia Dries van Noten, yang menggunakan motif batik untuk koleksi
Spring/Summer 2010 yang dipamerkannya di Paris Fashion Week. Selain batik, desainer
tersebut juga menggunakan tenun ikat dan tenun songket. Dries van Noten menggunakan
motif-motif tersebut untuk dicetak di atas bahan katun maupun satin. Dries van Noten juga
mempadupadankan motif batik yang satu dengan motif batik yang lainnya dengan gaya
yang playful. Koleksi busana dari perancang tersebut telah memperoleh apresiasi positif dan
konstruktif dari para kritikus busana dunia dan pencinta fashion mancanegara.
Sementara itu, perancang Amerika Nicole Miller mengeluarkan Resort Collection 2009
yang jelas sekali tampak menggunakan motif batik mega mendung. Nicole Miller mengambil
tema "Bali", karena perancang tersebut mengaku menerima oleh-oleh kain motif print dari
asisten pribadinya yang telah melakukan perjalanan ke Bali. Kesan Bali sendiri hanya muncul
pada motif catur yang biasa dipakai pria-pria Bali. Batik mega mendung itu
dipadupadankannya dengan motif garis dan motif catur bali, dan muncul dalam bentuk dress,
Mengutip pandangan Dino Patti Djalal, Duta Besar Indonesia untuk Amerika Serikat saat
itu, bahwa inilah waktu tepat bagi warisan Indonesia dalam memenuhi pasar desain
kontemporer Amerika Serikat. Menurut beberapa pemerhati fashion dunia, di luar upaya para
4
desainer papan atas untuk menggunakan kain etnik bermotif batik tersebut, beberapa selebriti
Hollywood juga punya andil yang cukup besar dalam mempopulerkan batik print. Banyak
dari mereka yang memang sempat terlihat mengenakan busana dengan motif batik. Di
antaranya Lenka, Adele, dan Adam Clayton (basis U2, yang memakainya saat tampil di
Somerville Theatre, Boston, Massachussets, Amerika Serikat), juga Paris Hilton, Jessica Alba,
Rachel Bilson, Reese Witherspoon, dan Nicole Richie. Provokasi media memang luar biasa,
ketika selebriti terlihat memakai batik, hal itu bikin orang lain jadi ikut tertarik dengan batik.
Para selebriti mengenakan busana bermotif batik menjadi bukti lain bahwa batik sudah
merasuk di dunia internasional. Bahkan produk budaya Indonesia lain seperti kain tenun pun
mulai mencuri perhatian. Di pentas mode dunia seperti New York Fashion Week atau Milan
Fashion Week, kata "tenun" sudah disebut sebagai "ikat", membuktikan bahwa kata ini sudah
5
Meskipun umumnya para perancang tersebut belum memahami teknik pembuatan batik
yang sebenarnya, atau bahwa motif batik yang digunakan merupakan motif batik Indonesia.
Para perancang pasti akan membutuhkan waktu untuk mengenali dan memahami asal-muasal
2. TINJAUAN PUSTAKA
Seluruh uraian dan penjelasan ini adalah murni berdasarkan dari hasil analisis mendalam,
dengan menggunakan metode kualitatif yang masih bersifat subjektif, data-data sekunder
yang layak dipercaya dan dijadikan sumber tulisan, analisis dari berbagai studi literatur
terkemuka, analisis dari berbagai media cetak maupun online, serta berbagai pendapat dari
dengan adanya program blok perdagangan bebas Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang
akan diimplementasikan pada akhir tahun 2015 ini, yang memberi pengaruh besar pada
kebudayaan dan gaya hidup. Salah satu konsep yang turut berkembang bersama globalisasi
adalah glokalisasi. Glokalisasi merupakan proses dimana global mulai dilokalkan, tentu saja
proses ini banyak mengubah keadaan suatu negara (Roberts Jr., 2007:84). Namun, walau
kehadiran budaya global yang masuk dan bercampur dengan budaya lokal, tetapi negara akan
tetap mencoba untuk mempertahankan eksistensi dari kebudayaan lokalnya sebagai poros
pemikiran bernegara.
Dapat dikatakan bahwa glokalisasi ialah penyesuaian produk global dengan karakter
pasar lokal, jadi glokalisasi menjadi strategi yang muncul sebagai kritik terhadap konsep
perdagangan bebas yang tidak lagi mampu menspesialisasikan sebuah negara dalam suatu
6
produk sesuai dengan potensinya (Irsan, 2010:55). Maka dari itu, para produsen tertentu telah
mengkondisikan sebuah negara (pasar), agar berada dalam satu latar belakang sosial budaya
Glokalisasi merupakan istilah yang mulai berkembang saat ini, istilah ini muncul seiring
lebih condong ke dunia lokal. Glokalisasi dapat diartikan sebagai usaha untuk mencegah
globalisasi. Glokalisasi ini dilakukan untuk membentengi diri dari bercampurnya kebudayaan
lokal dan kebudayaan asing (Bhaduri, 2008:112). Jika arus globalisasi tidak bisa dibendung,
maka kebudayaan yang dimiliki oleh suatu negara lama kelamaan akan menjadi hilang.
Sebenarnya ada usaha lain untuk membendung arus globalisasi, seperti memperkuat identitas
budaya dan menanamkan budaya yang ada sejak dini. Tetapi yang paling mendapat perhatian
saat ini sepertinya adalah glokalisasi. Glokalisasi juga bisa diartikan menjadi sebuah ide
pikiran, yaitu berpikri global dan bertindak lokal (Drori et al., 2013:93).
Istilah ini pertama muncul pada akhir 1980-an di tulisan para ekonom Jepang di Harvard
Business Review. Menurut seorang sosiolog ternama, Robertson (1995:145), orang yang
mempopulerkan kata ini, glokalisasi mendeskripsikan hasil penyesuaian lokal baru terhadap
tekanan global. Di konferensi "Globalization and Indigenous Culture" tahun 1997, Robertson
mengatakan bahwa glokalisasi "berarti munculnya tendensi universal dan terpusat secara
bersamaan". Ada juga yang mengatakan think globally and act actually (berpikir global
7
namun bertindak lokal) (Sigismondi, 2005:69). Menurut Budihardjo, globalization with local
Dengan demikian, glokalisasi menjadi strategi yang muncul sebagai kritik terhadap
konsep perdagangan bebas yang tidak menspesialkan sebuah negara sesuai dengan
potensinya. Jadi, cara untuk berbagi dengan kultur lokal itu untuk menghasilkan dialog yang
menarik di dalam sebuah karya seni yang bisa dihasilkan secara global. Misalnya desain dan
ornamen tradisi kriya Afrika itu bisa dipopulerkan di tingkat global, berarti mempromosikan
Glokalisasi tidak bisa dihindari dan sangat berperan dalam mengubah nilai-nilai tradisi,
khususnya pada produk, yang menjadi hal menarik adalah perubahan-perubahan pada produk
tersebut sifatnya tidak hanya fisik semata, namun juga terjadi pergeseran paradigma pada
masyarakat. Glokalisasi juga mengakibatkan adanya pandangan tentang suatu budaya yang
tidak berakar dari suatu tradisi tertentu dan dianggap berhak berhak untuk dimiliki oleh semua
orang, menembus batas wilayah dan budaya, hal ini kerap dipandang sebagai ancaman
untuk menggambarkan tentang kondisi masyarakat, yang terdiri dari keberagaman agama, ras,
bahasa, dan budaya yang berbeda. Selanjutnya, istilah multikultural ini dibedakan ke dalam
beberapa bentuk yang sederhana, seperti pluralitas (plurality) mengandaikan adanya “hal-hal
yang lebih dari satu (many)”, keragaman (diversity) menunjukkan bahwa keberadaan yang
“lebih dari satu” itu berbeda-beda, heterogen, dan bahkan tidak dapat disamakan, dan
8
Secara epistemologis, multikulturalisme dibentuk dari kata multi (banyak), kultur
(budaya), dan isme (aliran/paham). Secara hakiki, dalam kata itu terkandung pengakuan akan
yang unik. Dengan demikian, setiap individu merasa dihargai, sekaligus merasa bertanggung
masyarakat terhadap kebutuhan untuk diakui merupakan akar dari segala ketimpangan dalam
“multi” yang berati jamak atau plural, dan “kultural” yang berarti kultur atau budaya. Istilah
plural mengandung arti yang berjenis-jenis, karena pluralisme bukan sekedar pengakuan akan
adanya hal yang berjenis-jenis tetapi pengakuan tersebut memiliki implikasi politis, sosial,
ekonomi, dan budaya (Haddock & Sutch, 2003:37). Dalam pengertian tradisional tentang
multikultural, memiliki dua ciri utama. Pertama, kebutuhan terhadap pengakuan (the need of
gelombang pertama multikultural yang esensi terhadap perjuangan kelakuan budaya yang
dunia yang kian kompleks dan tidak monokultur lagi (Hernandez, 2000:72). Pengertian ini
mengajak masyarakat untuk lebih arif melihat perbedaan dan usaha untuk bekerjasama secara
positif dengan yang berbeda. Selain itu terus mewaspadai segala bentuk-bentuk sikap yang
9
masyarakat seperti Indonesia) mempunyai sebuah kebudayaan yang berlaku umum dalam
masyarakat tersebut yang coraknya seperti sebuah mosaik. Di dalam mosaik tercakup semua
masyarakat yang lebih besar, yang mempunyai kebudayaan seperti sebuah mosaik (Banting &
kehidupan masyarakat yang damai dan harmonis meskipun terdiri dari beraneka ragam latar
belakang kebudayan.
maka dapat dipahami bahwa inti dari konsep multikulturalisme adalah kesediaan menerima
kelompok lain secara sama sebagai kesatuan, tanpa memperdulikan perbedaan budaya, etnik,
gender, bahasa, ataupun agama (Sleeter & Grant, 2007:112). Apabila pluralitas sekadar
memberikan penegasan bahwa dengan segala perbedaannya itu mereka adalah sama di dalam
keragaman. Dengan kata lain, adanya komunitas-komunitas yang berbeda saja tidak cukup,
sebab yang terpenting adalah bahwa komunitas-komunitas itu diperlakukan sama oleh negara.
Akan tetapi tentu, tidak cukup hanya sampai disitu. Bahwa suatu kemestian agar setiap
kesadaran akan adanya keberagaman, mesti ditingkatkan lagi menjadi apresiasi dan
Multikulturalisme adalah sebuah relasi pluralitas yang didalamnya terdapat problem minoritas
(minority groups) versus mayoritas (majority group), yang didalamnya ada perjuangan
10
2.3 Komunitas ASEAN (Masyarakat Ekonomi ASEAN/MEA)
negara-negara yang tergabung di dalam ASEAN untuk melakukan integrasi ekonomi, dalam
artian sistem atau blok perdagangan bebas di kawasan ASEAN. Hal ini dilakukan sebagai
upaya bersama dalam meningkatkan ketertarikan investor asing untuk menanamkan modal
secara langsung di kawasan ASEAN. Penanaman modal asing ini dibutuhkan untuk
Komunitas ASEAN akan membentuk kawasan ASEAN sebagai pasar dan basis produksi
tunggal yang membuat ASEAN lebih dinamis dan kompetitif dengan mekanisme dan
di sektor prioritas, memfasilitasi pergerakan bisnis/usaha dan tenaga kerja berbakat, dan
memperkuat kelembagaan ASEAN. Pasar tunggal ini akan memungkinkan satu negara untuk
menjual barang dan jasa ke seluruh negara ASEAN dengan mudah, sehingga kompetisi akan
semakin ketat.
Komunitas ASEAN tidak hanya sekedar membuka arus perdagangan barang dan jasa,
tetapi juga pasar tenaga kerja profesional seperti dokter, pengacara, akuntan, dan lain
sebagainya. Hal tersebut terjadi, karena ada syarat dalam komunitas ASEAN yang
kerja asing. Blok perdagangan bebas MEA, meskipun pada satu sisi akan memperketat
persaingan antara negara-negara di Asia Tenggara, tetapi pada sisi lainnya akan memberikan
keuntungan untuk para anggotanya, terutama dalam penciptaan lapangan kerja baru, sehingga
11
3. HASIL ANALISIS
Mendiang Bapak Bangsa Afrika Selatan ini selalu memperlihatkan kemajuan dramatis di
momen istimewanya. Bahkan, keistimewaan dramatis yang terpancar dari sosok Nelson
Mandela adalah tentang busana yang selalu dikenakannya, yaitu batik. Mantan Presiden
Afrika Selatan ini pada tahun 1997 sempat membuat mendiang Presiden RI Soeharto
terhenyak ketika menerima Mandela dalam kunjungan kenegaraan. Saat itu Mandela
mengenakan kemeja batik, sementara tuan rumah Pak Harto berbalut setelan jas lengkap.
Kecintaan Nelson Mandela terhadap batik rupanya juga terlihat saat menghadiri acara-
acara resmi, seperti peluncuran asosiasi mantan pemimpin dunia, The Elders, pada bulan Juli
tahun 2007. Di kesempatan ini, pria kelahiran Mvezo, Afrika Selatan, 18 Juli 1918 ini dengan
bangga mengenakan kemeja batik Indonesia. Acara tersebut diadakan bertepatan dengan
ulang tahun ke-89 tokoh veteran perjuangan anti-apartheid ini. Sosok dari Nelson Mandela
selalu dielu-elukan, apalagi dengan mengenakan batik yang membuat sosoknya semakin
12
Perkenalan Mandela pertama kali dengan batik Indonesia, menurut mantan Duta Besar RI
untuk Afrika Selatan, Sugeng Rahardjo, terjadi pada 1990, beberapa bulan setelah dia keluar
dari penjara di Pulau Roben. Sebagai presiden Kongres Afrika Selatan, Mandela atau yang
Mandela langsung jatuh cinta ketika menerima cinderamata batik. Sejak itu, setiap
Mandela berkunjung ke Indonesia, ia selalu mengenakan batik. Sebagian besar kemeja batik
yang dikenakan Mandela merupakan rancangan mendiang Iwan Tirta, seorang maestro batik
Indonesia yang dikenal dengan rancangannya melalui motif parang besar. Iwan Tirta pernah
berpendapat dalam satu kesempatan di akhir tahun 90-an ketika memberikan batik untuk
Mandela, bahwa Mandela merupakan figur atau sosok yang ketokohanya sangat kuat dan pas
dengan koleksi batiknya. Mandela tak hanya terlihat menarik, tapi memiliki kharisma
perjuangannya semakin terpancar dengan mengenakan batik. Filosofi pembuatan batik yang
memerlukan rasa kesabaran tinggi dan keharmonisan merupakan cermin kuat kepribadian
Nelson Mandela. Mantan pemimpin Afrika Selatan yang kharismatik ini senantiasa
mengenakan batik pada banyak acara-acara resmi, termasuk pada acara penutupan Piala
Bahkan, setelah kunjungan kenegaraan tahun 1997 di Istana Negara Jakarta tersebut,
sejak saat itu seluruh menteri dalam Kabinet Mandela selalu mengenakan batik untuk acara
13
kenegaraan, berdasarkan instruksi dan inspirasi dari sang Presiden. Batik pun menjadi pakaian
mahal disana, terutama yang berbahan sutera. Oleh karena mahalnya batik impor dari
Indonesia, maka kemudian dibuatlah batik sutera versi Afrika Selatan yang dinamakan
Jadi, mendiang Nelson Mandela yang wafat pada 5 Desember 2013, bukan hanya
“Pahlawan Kemanusiaan” dunia, namun bagi bangsa Indonesia, layak tampaknya dinobatkan
sebagai salah seorang “Pahlawan Multikultural” Indonesia. Dampak positif dari kebiasaan
Nelson Mandela yang menyenangi batik, mengakibatkan batik lebih cepat mendunia.
Mantan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia, Jero Wacik pernah
mengembangkan batik Indonesia terus dilakukan, terutama agar batik semakin dicintai. Selain
akan semakin diakui dunia, batik juga memberikan pengaruh terhadap perekonomian,
sehingga semakin banyak orang yang menggunakan batik, itu akan menguntungkan pengrajin
pendapatnya saat acara pembukaan pameran batik dunia, World Batik Summit, bahwa batik
merupakan identitas Indonesia dan dapat dijadikan sarana diplomasi dan komunikasi
multikultural kepada semua negara sahabat di dunia. Semua rakyat Indonesia, sahabat-sahabat
bangsa lain di dunia juga suka dan cinta batik, sekaligus suka memakai batik, maka masa
tahun 2014 sekitar kurang lebih 5 trilyun rupiah. Sementara target tahun 2015 ini, penjualan
14
batik untuk dalam negeri maupun ekspor akan mencapai kurang lebih sekitar 7 trilyun rupiah.
Total ekspor batik Indonesia pada tahun 2014 lebih dari 22, 3 juta dolar AS.
Pada bulan Juli 2014 lalu, ada pagelaran Indonesian Batik: World Heritage, juga digelar
meriah di Kedutaan Indonesia KBRI Washington, Amerika Serikat. Acara ini dihadiri banyak
tamu undangan, termasuk warga Amerika yang ingin mengenal batik lebih jauh. Pameran ini
menampilkan sekitar 60 kain batik dari berbagai daerah di Indonesia, seperti Solo, Cirebon,
Pontianak, dan lain-lain. Sementara itu, sewaktu menyambut Hari Batik Sedunia yang selalu
diperingati tanggal 2 Oktober, Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta menggelar pameran
batik yang menampilkan beberapa corak batik koleksi Ann Dunham, ibunda Presiden Barrack
upaya ini dinilai akan meningkatkan apresiasi dan akulturasi batik dalam kemajemukan
selalu melaksanakan program kompetisi desain batik (American Batik Design Competition) di
Washington setiap tahunnya. Pada kompetisi terakhir di tahun 2014 lalu yang bertema “the
Spirit of America in the Heritage Batik”, dinilai mampu untuk mendorong perpaduan budaya
(confluence of civilization and culture) yang semakin marak di abad ke-21. Kompetisi ini
15
Kemudian, ada Pemerintah Kota Surakarta yang bekerjasama dengan Kedutaan Besar
Pemerintah Jerman telah mengadakan pameran batik yang bertema “Indonesia Batik: A
Living Heritage“ di Pendopo Gede Balaikota Surakarta. Pameran ini dibuka untuk umum dan
bersifat gratis. Pameran “Indonesia Batik: A Living Heritage“ (Batik Indonesia: Warisan
Budaya Hidup) merupakan bentuk penghargaan terhadap salah satu karya seni yang paling
mempesona di Indonesia, serta sebagai sebuah bentuk perwujudan akan apresiasi dari
UNESCO yang telah menobatkan batik Indonesia sebagai sebuah mahakarya “Warisan Karya
Manusia”.
Berbagai ajang pameran tentang batik di seluruh dunia selalu diselenggarakan, kini selalu
tradisional yang nyaris terlupakan, serta memberikan pemahaman mengenai arti di balik
simbol dan motif yang digunakan. Permasalahan lingkungan di dunia saat ini merupakan
tantangan tersendiri bagi perancangan modern yang memperlihatkan kecintaan warga dunia
terhadap batik tradisional dan kontemporer, sebagai pertanda bahwa batik akan tetap diminati
4. DISKUSI
Batik yang sangat dicintai masyarakat Indonesia mungkin sudah tak lagi diragukan,
karena masyarakat dunia pun telah mencintai batik. Dukungan masyarakat yang sangat luar
16
biasa untuk melestarikan kain adat tersebut semakin menggelora di lubuk hati warga
Indonesia. Hal tersebut dapat terlihat dari kesadaran masyarakat yang menjadikan batik
sebagai bagian dari keseharian, bahkan ketika masyarakat Indonesia sedang berada di luar
negeri.
Fakta terkini memperlihatkan, bahwa batik memang telah mendunia, namun Indonesia
harus tetap menjadi rumahnya. Bisa saja negara manapun di dunia mengakui punya batik, tapi
keberadaan sejatinya tetap di Indonesia. Ajang menarik tentang batik harus selalu diisi dengan
berbagai acara, seperti konferensi batik, pameran batik, hingga kunjungan ke tempat-tempat
yang memiliki kaitan bersejarah dengan batik. Setiap ajang yang diselenggarakan sudah
merupakan produk lokal juga) dalam konteks yang dilakukan masyarakat dalam berbagai
wilayah budaya. Interpretasi lokal masyarakat tersebut kemudian juga telah membuka
kemungkinan adanya pergeseran makna atas nilai budaya. Keberadaan batik Indonesia dengan
aneka ragam motif serta bentuknya, diyakini bakal menjadi satu di antara ikon multikultur
Keberadaan era blok perdagangan bebas Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang
akan berlangsung dari akhir tahun 2015 ini seharusnya tidak akan mempengaruhi
perdagangan batik, apalagi bila pemerintah dan seluruh praktisi dalam bidang batik mampu
menerapkan strategi komunikasi multikultur ini secara tepat. Strategi komunikasi yang kreatif
ini akan membuat batik semakin dicintai dan terus memantapkan eksistensinya tidak hanya di
Dinamisasi kebudayaan dan tantangan global (termasuk lokal dan nasional) lewat
pemberdayaan kebudayaan dalam negara dan pasar yang mendialogkan kebudayaan, politik,
17
dan ekonomi di ranah batik, dan pasar diwakili oleh entitas ''glokalisasi'' (paduan globalisasi
dan lokalisasi) dan multikulturalisme. Dengan kata lain, multikulturalisme dan glokalisasi
adalah kata-kata kunci. Kalau dua hal itu tidak dihadirkan, paling tidak secara teoretis,
jangan-jangan masyarakat Indonesia hanya akan menjadi korban hegemoni dan/atau dominasi
Dari berbagai teori beberapa ahli tersebut, maka dapat dianalisis dan didiskusikan bahwa
kebanyakan dari para ahli mengemukakan bahwa bentuk glokalisasi sebagai konsep daripada
globalisasi, dan glokalisasi sangat erat kaitannya dengan percampuran pengaruh global yang
masuk ke dalam budaya lokal sehingga menjadi sesuatu yang baru, entah itu merugikan
ataupun menguntungkan, tergantung pada kemampuan dari lokal itu sendiri untuk
menyikapinya. Glokalisasi juga sangat memiliki kaitan yang erat dengan ekonomi global,
glokalisasi dengan memanfaatkan potensi budaya lokal untuk bersaing dengan pasar lokal.
Hal itulah yang perlu dilakukan oleh industri batik dalam strategi komunikasi multikulturnya
untuk terus menjaga eksistensinya di pasar global dan siap bersaing dengan produk global
lainnya terutama dengan mengikuti arus karakter pasar global agar apapun yang diproduksi
5. KESIMPULAN
Strategi glokalisasi memang terbukti sangat jitu untuk sebuah produk yang akhirnya
menjadi global menyesuaikan produknya dengan karakter pasar dan multikultural, dan
glokalisasi menjadi cara yang ampuh agar globalisasi tidak meracuni tradisi lokal.
Bertemunya dua nilai kebudayaan yang menjadi semacam penempelan dua nilai budaya
terlihat cukup jelas di produk-produk yang ada. Gaya hidup modern yang semakin melekat di
18
masyarakat sering mengakibatkan makna tradisi mengalami pergeseran nilai dan penyempitan
arti.
Nilai tradisi hanya dinilai dari apa yang nampak secara penglihatan saja dan nilai tradisi
yang lebih dalam menembus konteks kultural, historikal, maupun agama, sepertinya sudah
tidak lagi diperhatikan. Itu akibat dari dampak atau implikasi dari masuknya produk global ke
dalam produk lokal dengan memanfaatkan berbagai potensi kebudayaan sebagai strateginya.
Maka, untuk menyikapi semua hal tersebut, tergantung bagaimana masyarakat lokal
menyikapinya, dengan segala macam pengaruh global yang masuk melalui industri dan
produk-produknya, seharusnya masyarakat lokal lebih dewasa dalam hal ini, dengan
menerima hal tersebut asalkan masih dalam konteks positif, tetapi jangan tinggalkan kesan
sesungguhnya dari kebudayaan yang telah memanfaatkan hasil produk global, tetapi tetap
cinta kepada produk lokal dan tidak menghilangkan karakter pasar lokal yang sudah menjadi
karakter atau identitas perekonomian lokal. Dengan begitu dapat meminimalisir dampak atau
implikasi dari strategi glokalisasi yang dilakukan industri global melalui produk-produknya,
serta dengan begitu juga tidak akan ada pergeseran nilai-nilai tradisi lokal yang merupakan
potensi budaya Indonesia yang selama ini telah menjadi warisan budaya Indonesia. Batik
jaket, sepatu, topi, dan hal lainnya. Hal itu dilakukan untuk menarik minat masyarakat dunia.
Ada beberapa alasan kenapa motif batik harus terus dikembangkan menuju pasar global,
karena batik merupakan bentuk sentuhan tradisional yang muncul dari masyarakatnya itu
sendiri, karena batik sendiri terus menjadi bahan perbincangan setelah beberapa kasus klaim
batik yang juga menjadi identitas bangsa Indonesia oleh bangsa lain memunculkan kepanikan
19
tersendiri yang mengakibatkan tema batik menjadi menarik dan sepertinya semua kalangan
ikut memperbincangkannya.
dengan cara memberikan sentuhan batik pada produkya dan lantas disebut sebagai produk
khas Indonesia, bahkan dunia. Namun dengan status batik yang masih merupakan industri
lokal dan belum penuh memasuki industri global, maka masyarakat pun banyak yang berpikir
kalau pemakaian motif batik dalam setiap sebaran produknya akan memanfaatkan potensi
budaya Indonesia untuk masuk ke dalam karakter pasar global yang lebih tahu seluk-beluk
persaingan pasar bebas di dunia, termasuk ketika komunitas ASEAN telah resmi dimulai pada
6. DAFTAR PUSTAKA
Banting, Keith., Will Kymlicka. (2006). Multiculturalism and the Welfare State: Recognition
and Redistribution in Contemporary Democracies. New York: Oxford University Press.
Bhaduri, Saugata. (2008). Negotiating Glocalization: Views From Language, Literature, and
Culture Studies. New Delhi: Anthem Press India.
Budihardjo, Eko. (2015). Dari Globalisasi ke Glokalisasi, tersedia pada
http://www.unisosdem.org/article_detail.php?aid=3964&coid=1&caid=24&gid=3
diakses pada tanggal 13 Maret 2015 Pukul 16.30 (GMT +7).
Djomena, Nian. (2013). Ungkapan Sehelai Batik. Jakarta: Jambatan.
Drori, Gili S.., Markus A. Höllerer, Peter Walgenbach. (2013). Global Themes and Local
Variations in Organization and Management: Perspectives on Glocalization. Chicago:
Routledge.
Haddock, Bruce., Peter Sutch. (2003). Multiculturalism, Identity, and Rights. New York:
Routledge.
Harmandini, Felicitas. (2012). Ketika Batik Merasuk di Industri Mode Amerika, tersedia pada
http://female.kompas.com/read/2012/10/14/01563627/Ketika.Batik.Merasuk.di.Industri.
Mode.Amerika diakses pada tanggal 8 Maret 2015 Pukul 02.20 (GMT +7).
Hernandez, Hilda. (2000). Multiculturalisme Educations: A Teacher Guide To Linking
Context, Process And Content. 2nd ed. New York: Pearson.
Heru, Andhika. (2013). Nelson Mandela Sang Pencinta Batik Sejati, tersedia pada http://luar-
negeri.kompasiana.com/2013/12/06/nelson-mandela-sang-pencinta-batik-sejati-
616100.html diakses pada tanggal 17 Januari 2015 Pukul 14.35 (GMT +7).
Irsan, Abdul. (2010). Indonesia di Tengah Pusaran Globalisasi. Jakarta: Grafindo.
Kusmayatna, Aang. (2012). Indonesian Batik at Paris Fashion Week by Dries van Noten,
tersedia pada https://kupatahu28.wordpress.com/2012/11/17/indonesian-batik-at-paris-
fashion-week-by-dries-van-noten/ diakses pada tanggal 7 Maret 2015 Pukul 19.45
(GMT +7).
20
Lestari, Sri. (2013). Kenapa Rakyat Afrika Selatan Tidak Mau Pakai Batik?, tersedia pada
http://www.bbc.co.uk/indonesia/berita_indonesia/2013/12/131206_jkala_mandela_batik
diakses pada tanggal 18 Februari 2015 Pukul 05.35 (GMT +7).
Máiz, Ramón., Ferran Requejo. (2005). Democracy, Nationalism, and Multiculturalism. New
York: Routledge.
Musman, Asti., Ambar B. Arini. (2011). Batik: Warisan Adiluhung Nusantara. Yogyakarta:
Andi Publisher.
Phillips, Anne. (2007). Multiculturalism without Culture. Princeton, NJ: Princeton University
Press.
Roberts Jr., Bob. (2007) Glocalization: How Followers of Jesus Engage a Flat World.
London: Zondervan.
Robertson, Roland. (1992) Globalization: Social Theory and Global Culture. New York:
SAGE Publication Ltd..
Robertson, Roland. (1995). Glocalization: Time-Space and Homogeneity-Heterogeneity.
London: SAGE Publications Ltd..
Shifrin, Laurie J.. (2009). Batik Beauties. London: Patchwork Place.
Sigismondi, Paolo. (2005). The Digital Glocalization of Entertainment: New Paradigms in the
21st Century Global Mediascape. New York: Springer.
Sleeter, Christine E., Carl A. Grant. (2007). Making Choices for Multicultural Education:
Five Approaches to Race, Class, and Gender. Chicago: Wiley.
Taras, Raymond. (2013). Challenging Multiculturalism: European Models of Diversity.
Edinburgh: Edinburgh University Press.
Wulandari, Ari. (2011). Batik Nusantara. Yogyakarta: Andi Offset.
21