Anda di halaman 1dari 22

Accelerat ing t he world's research.

GLOKALISASI KARYA SENI BATIK


INDONESIA SEBAGAI STRATEGI
KOMUNIKASI MULTIKULTURAL
DALAM ERA KOMUNITAS ASEAN
Arus Reka Prasetia, M. Firdaus Benyamin

Conference on Communication and New Media Studies: Peran dan Kontribusi Kajian Komunikasi
dalam Era Komunitas ASEAN

Related papers Download a PDF Pack of t he best relat ed papers 

GLOKALIZER: KONSEP EST ET IKA URBAN SEBAGAI ST RAT EGI KREAT IF UNT UK KARYA SENI BA…
Arus Reka Praset ia, M. Firdaus Benyamin

Sast ra dan Solidarit as Bangsa


Falant ino Eryk Lat upapua

Sast ra, Daya Krit is, dan Moral Bangsa: Mendayagunakan sast ra sebagai seni dan pelajaran
Manneke Budiman
GLOKALISASI KARYA SENI BATIK INDONESIA
SEBAGAI STRATEGI KOMUNIKASI MULTIKULTURAL
DALAM ERA KOMUNITAS ASEAN

M. Firdaus Benyamin1, Arus Reka Prasetia2

1. Fakultas Desain Komunikasi Visual


Universitas Widyatama
Jalan Cikutra 204A, Bandung
firdausstsi@gmail.com

2. Fakultas Desain Komunikasi Visual


Universitas Widyatama
Jalan Cikutra 204A, Bandung
reka.prasetia@widyatama.ac.id

ABSTRAK

Glokalisasi dimaknai sebagai munculnya bentuk interpretasi terhadap berbagai produk


global (yang asalnya merupakan produk lokal) dalam konteks perilaku yang dilakukan
oleh masyarakat dalam berbagai wilayah budaya. Interpretasi lokal masyarakat tersebut
kemudian juga membuka kemungkinan adanya pergeseran makna atas nilai budaya, yang
akan berdampak pula pada perspektif ekonomi. Keberadaan karya seni batik Indonesia
dengan aneka ragam motif serta maknanya, diyakini telah menjadi salah satu karya budaya
simbolik asal Indonesia yang menawan di mata pergaulan dan perdagangan internasional,
termasuk dalam menghadapi era komunitas ASEAN yang akan diimplementasikan pada tahun
2015 ini. Tulisan ini disusun berdasarkan pada metodologi penelitian kualitatif, proses
interaksi komunikasi yang mendalam, penelusuran berbagai literatur sebagai data sekunder,
serta pendekatan induktif dalam pengungkapan fakta dan analisis data. Batik sebagai suatu
karya seni asal Indonesia, tidak lahir dari kekosongan sosial. Batik di Indonesia merupakan
salah satu bentuk praktik multikultural, semacam strategi untuk beradaptasi dengan perubahan
latar sosial dan tantangan eksternal yang mempengaruhi kegiatan kreatif seni. Kreativitas
industri batik sebenarnya sudah mulai tergambar dari semarak para pengrajin batik yang
mulai menciptakan kreasi batik tak sebatas hanya sebagai bahan sandang, namun berupa
produk kreatif yang dapat digunakan sehari-hari. Perlu strategi komunikasi multikultural yang
kreatif dalam mempertahankan eksistensi batik Indonesia, dengan menggunakan konsep
glokalisasi, yakni terkait strategi kreatif dalam berkarya dan strategi kreatif dalam
komunikasi.

Kata kunci: glokalisasi, batik, multikultural, strategi komunikasi, era komunitas ASEAN.

1. PENDAHULUAN

Karya dari batik dapat diidentifikasi dalam unsur-unsur komunikasi seni (media seni

batik), sehingga komunikan akan mengenal komunikatornya memiliki gaya ungkap pesan

1
yang khas pada setiap karya yang diciptakannya. Itulah ciri khas jati diri yang melekat pada

seorang seniman yang membedakannya dengan seniman lainnya. Jati diri yang telah

dibangunnya tersebut, secara mikro akan mampu mewakili suatu komunitas seni itu sendiri

dan secara makro mampu mewakili kebudayaannya sebagai ciri kepribadian bangsa

(Djomena, 2013:61).

Batik bukan hanya produk asli Indonesia yang indah secara estetika. Batik Indonesia

adalah salah satu seni menggambar yang tertua di dunia. Jadi apa yang terpola dalam sebuah

kain memiliki makna yang sangat mendalam, dimana didalamnya terkandung makna dan

filosofis yang sangat tinggi.

Bukan hanya itu saja, tapi batik memiliki ciri khas masing-masing yang melambangkan

asal daerah dan strata sosial dimana batik tersebut berasal. Batik yang berasal dari Indonesia

telah berkembang sesuai dengan keadaan sosial politik dan ekonomi pada masa itu hingga

sekarang, memiliki motif-motif yang khas setiap daerah sesuai dengan keberadaan budaya

masing- masing. Motif tersebut berupa batik kraton, batik pesisir, dan batik pedalaman, serta

jenis pola, corak, motif, dan makna dibalik motif batik. Batik telah berkembang di seluruh

Indonesia dari Kepulauan Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Madura, Bali, Nusa

Tenggara, sampai Papua. Kondisi batik di Pulau Jawa, khususnya Jawa Barat, banyak

memperoleh pengaruh dari batik Jawa Tengah. Batik kraton mempunyai andil besar terhadap

perkembangan batik-batik di daerah Jawa Barat (Wulandari, 2011:77).

Batik sudah menjadi gaya hidup. Bukan hanya dalam bentuk kain tradisional saja, tetapi

juga dalam bentuk apa saja dalam semua sendi bidang kehidupan. Di rumah, misalnya, sarung

bantal, seprai, taplak meja, hingga berbagai peralatan makan juga bisa menggunakan motif

batik, sehingga batik boleh dibilang sudah menjadi bagian dari putaran gaya hidup global.

2
Gambar 1.1 Homeset Batik Cap
Sumber: Tokopedia, 2015, “Homeset Tenun Aplikasi Batik Cap”, tersedia pada
https://www.tokopedia.com/umaisolshop/homeset-tenun-aplikasi-batik-cap-2
diakses pada tanggal 7 Maret 2015 Pukul 14.15 (GMT +7).

Banyak desainer fashion dunia sekarang juga sudah mengadaptasi batik Indonesia dalam

koleksi busana mereka (Musman & Arini, 2011:51). Mereka tidak mengambil teknik

membatiknya, yang sudah diakui oleh UNESCO sebagai salah satu bentuk Warisan

Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Non-Bendawi dari Indonesia sejak 2 Oktober 2009

yang lalu, melainkan motifnya. Beberapa perancang atau label yang menggunakan motif ini

antara lain Dries van Noten, Nicole Miller, Burberry Prorsum, dan Diane von Furstenberg.

Gambar 1.2 Batik Karya Dries Van Noten


Sumber: TrendVogue, 2015, “Indonesian Batik and American Fashion Industry” tersedia pada
http://www.trendvogue.net/indonesian-batik-and-american-fashion-industry/
diakses pada tanggal 7 Maret 2015 Pukul 22.30 (GMT +7).

3
Desainer Belgia Dries van Noten, yang menggunakan motif batik untuk koleksi

Spring/Summer 2010 yang dipamerkannya di Paris Fashion Week. Selain batik, desainer

tersebut juga menggunakan tenun ikat dan tenun songket. Dries van Noten menggunakan

motif-motif tersebut untuk dicetak di atas bahan katun maupun satin. Dries van Noten juga

mempadupadankan motif batik yang satu dengan motif batik yang lainnya dengan gaya

yang playful. Koleksi busana dari perancang tersebut telah memperoleh apresiasi positif dan

konstruktif dari para kritikus busana dunia dan pencinta fashion mancanegara.

Sementara itu, perancang Amerika Nicole Miller mengeluarkan Resort Collection 2009

yang jelas sekali tampak menggunakan motif batik mega mendung. Nicole Miller mengambil

tema "Bali", karena perancang tersebut mengaku menerima oleh-oleh kain motif print dari

asisten pribadinya yang telah melakukan perjalanan ke Bali. Kesan Bali sendiri hanya muncul

pada motif catur yang biasa dipakai pria-pria Bali. Batik mega mendung itu

dipadupadankannya dengan motif garis dan motif catur bali, dan muncul dalam bentuk dress,

kaftan, tunik, topi, atau sekedar menjadi aksen.

Gambar 1.3 Batik Karya Nicole Miller


Sumber: Batik Trusmi, 2013, “Ini Bukti Busana Batik Cirebon Indonesia Digemari Seleb Hollywood”, tersedia pada
http://batiktrusmi.org/ini-bukti-busana-batik-cirebon-indonesia-digemari-seleb-hollywood/
diakses pada tanggal 8 Maret 2015 Pukul 03.35 (GMT +7).

Mengutip pandangan Dino Patti Djalal, Duta Besar Indonesia untuk Amerika Serikat saat

itu, bahwa inilah waktu tepat bagi warisan Indonesia dalam memenuhi pasar desain

kontemporer Amerika Serikat. Menurut beberapa pemerhati fashion dunia, di luar upaya para

4
desainer papan atas untuk menggunakan kain etnik bermotif batik tersebut, beberapa selebriti

Hollywood juga punya andil yang cukup besar dalam mempopulerkan batik print. Banyak

dari mereka yang memang sempat terlihat mengenakan busana dengan motif batik. Di

antaranya Lenka, Adele, dan Adam Clayton (basis U2, yang memakainya saat tampil di

Somerville Theatre, Boston, Massachussets, Amerika Serikat), juga Paris Hilton, Jessica Alba,

Rachel Bilson, Reese Witherspoon, dan Nicole Richie. Provokasi media memang luar biasa,

ketika selebriti terlihat memakai batik, hal itu bikin orang lain jadi ikut tertarik dengan batik.

Gambar 1.4 Selebritis Dunia dengan Batik


Sumber: Oktaviani, Kiki., 2012, “6 Selebriti Dunia Cantik Pakai Batik”, tersedia pada
http://wolipop.detik.com/read/2012/10/02/123518/2052486/1137/6-selebriti-dunia-cantik-pakai-batik
diakses pada tanggal 8 Maret 2015 Pukul 09.35 (GMT +7).

Para selebriti mengenakan busana bermotif batik menjadi bukti lain bahwa batik sudah

merasuk di dunia internasional. Bahkan produk budaya Indonesia lain seperti kain tenun pun

mulai mencuri perhatian. Di pentas mode dunia seperti New York Fashion Week atau Milan

Fashion Week, kata "tenun" sudah disebut sebagai "ikat", membuktikan bahwa kata ini sudah

diakui sebagai bahasa internasional (Shifrin, 2009:60).

5
Meskipun umumnya para perancang tersebut belum memahami teknik pembuatan batik

yang sebenarnya, atau bahwa motif batik yang digunakan merupakan motif batik Indonesia.

Para perancang pasti akan membutuhkan waktu untuk mengenali dan memahami asal-muasal

motif batik yang dipakai.

2. TINJAUAN PUSTAKA

Seluruh uraian dan penjelasan ini adalah murni berdasarkan dari hasil analisis mendalam,

dengan menggunakan metode kualitatif yang masih bersifat subjektif, data-data sekunder

yang layak dipercaya dan dijadikan sumber tulisan, analisis dari berbagai studi literatur

terkemuka, analisis dari berbagai media cetak maupun online, serta berbagai pendapat dari

para pemerhati fashion dan perancang batik.

2.1 Konsep Glokalisasi

Globalisasi memang sangat erat kaitannya dengan ekonomi internasional, termasuk

dengan adanya program blok perdagangan bebas Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang

akan diimplementasikan pada akhir tahun 2015 ini, yang memberi pengaruh besar pada

kebudayaan dan gaya hidup. Salah satu konsep yang turut berkembang bersama globalisasi

adalah glokalisasi. Glokalisasi merupakan proses dimana global mulai dilokalkan, tentu saja

proses ini banyak mengubah keadaan suatu negara (Roberts Jr., 2007:84). Namun, walau

kehadiran budaya global yang masuk dan bercampur dengan budaya lokal, tetapi negara akan

tetap mencoba untuk mempertahankan eksistensi dari kebudayaan lokalnya sebagai poros

pemikiran bernegara.

Dapat dikatakan bahwa glokalisasi ialah penyesuaian produk global dengan karakter

pasar lokal, jadi glokalisasi menjadi strategi yang muncul sebagai kritik terhadap konsep

perdagangan bebas yang tidak lagi mampu menspesialisasikan sebuah negara dalam suatu

6
produk sesuai dengan potensinya (Irsan, 2010:55). Maka dari itu, para produsen tertentu telah

mengkondisikan sebuah negara (pasar), agar berada dalam satu latar belakang sosial budaya

yang sama dengan negara yang lain.

Gambar 2.1 Contoh Produk Glokalisasi


Sumber: Ruby, Carolyn, 2014, “Going Glocal”, tersedia pada
http://wondermentcreative.com/going-glocal/
diakses pada tanggal 8 Maret 2015 Pukul 12.30 (GMT +7).

Glokalisasi merupakan istilah yang mulai berkembang saat ini, istilah ini muncul seiring

berkembangnya istilah globalisasi. Glokalisasi dan globalisasi tidaklah sama. Glokalisasi

lebih condong ke dunia lokal. Glokalisasi dapat diartikan sebagai usaha untuk mencegah

globalisasi. Glokalisasi ini dilakukan untuk membentengi diri dari bercampurnya kebudayaan

lokal dan kebudayaan asing (Bhaduri, 2008:112). Jika arus globalisasi tidak bisa dibendung,

maka kebudayaan yang dimiliki oleh suatu negara lama kelamaan akan menjadi hilang.

Sebenarnya ada usaha lain untuk membendung arus globalisasi, seperti memperkuat identitas

budaya dan menanamkan budaya yang ada sejak dini. Tetapi yang paling mendapat perhatian

saat ini sepertinya adalah glokalisasi. Glokalisasi juga bisa diartikan menjadi sebuah ide

pikiran, yaitu berpikri global dan bertindak lokal (Drori et al., 2013:93).

Istilah ini pertama muncul pada akhir 1980-an di tulisan para ekonom Jepang di Harvard

Business Review. Menurut seorang sosiolog ternama, Robertson (1995:145), orang yang

mempopulerkan kata ini, glokalisasi mendeskripsikan hasil penyesuaian lokal baru terhadap

tekanan global. Di konferensi "Globalization and Indigenous Culture" tahun 1997, Robertson

mengatakan bahwa glokalisasi "berarti munculnya tendensi universal dan terpusat secara

bersamaan". Ada juga yang mengatakan think globally and act actually (berpikir global

7
namun bertindak lokal) (Sigismondi, 2005:69). Menurut Budihardjo, globalization with local

flavor (globalisasi dengan cita rasa lokal) (Budiharjo, 2015).

Dengan demikian, glokalisasi menjadi strategi yang muncul sebagai kritik terhadap

konsep perdagangan bebas yang tidak menspesialkan sebuah negara sesuai dengan

potensinya. Jadi, cara untuk berbagi dengan kultur lokal itu untuk menghasilkan dialog yang

menarik di dalam sebuah karya seni yang bisa dihasilkan secara global. Misalnya desain dan

ornamen tradisi kriya Afrika itu bisa dipopulerkan di tingkat global, berarti mempromosikan

lokal di pasar global, berarti itu cara berpikir seorang glokalizer.

Glokalisasi tidak bisa dihindari dan sangat berperan dalam mengubah nilai-nilai tradisi,

khususnya pada produk, yang menjadi hal menarik adalah perubahan-perubahan pada produk

tersebut sifatnya tidak hanya fisik semata, namun juga terjadi pergeseran paradigma pada

masyarakat. Glokalisasi juga mengakibatkan adanya pandangan tentang suatu budaya yang

tidak berakar dari suatu tradisi tertentu dan dianggap berhak berhak untuk dimiliki oleh semua

orang, menembus batas wilayah dan budaya, hal ini kerap dipandang sebagai ancaman

terhadap kemurnian nilai tradisi setempat.

2.2 Konsep Multikultural

Multikulturalisme berarti “keberagaman budaya”, sehingga istilah ini sering digunakan

untuk menggambarkan tentang kondisi masyarakat, yang terdiri dari keberagaman agama, ras,

bahasa, dan budaya yang berbeda. Selanjutnya, istilah multikultural ini dibedakan ke dalam

beberapa bentuk yang sederhana, seperti pluralitas (plurality) mengandaikan adanya “hal-hal

yang lebih dari satu (many)”, keragaman (diversity) menunjukkan bahwa keberadaan yang

“lebih dari satu” itu berbeda-beda, heterogen, dan bahkan tidak dapat disamakan, dan

multikultural (multicultural) itu sendiri (Taras, 2013:131).

8
Secara epistemologis, multikulturalisme dibentuk dari kata multi (banyak), kultur

(budaya), dan isme (aliran/paham). Secara hakiki, dalam kata itu terkandung pengakuan akan

martabat manusia yang hidup dalam komunitasnya dengan kebudayaannya masing-masing

yang unik. Dengan demikian, setiap individu merasa dihargai, sekaligus merasa bertanggung

jawab untuk hidup bersama komunitasnya (Phillips, 2007:82). Pengingkaran suatu

masyarakat terhadap kebutuhan untuk diakui merupakan akar dari segala ketimpangan dalam

berbagai bidang kehidupan.

Pengertian multikultural mengandung dua pengertian yang sangat kompleks, yaitu

“multi” yang berati jamak atau plural, dan “kultural” yang berarti kultur atau budaya. Istilah

plural mengandung arti yang berjenis-jenis, karena pluralisme bukan sekedar pengakuan akan

adanya hal yang berjenis-jenis tetapi pengakuan tersebut memiliki implikasi politis, sosial,

ekonomi, dan budaya (Haddock & Sutch, 2003:37). Dalam pengertian tradisional tentang

multikultural, memiliki dua ciri utama. Pertama, kebutuhan terhadap pengakuan (the need of

recognition). Kedua, legitimasi keragaman budaya atau pluralisme budaya. Dalam

gelombang pertama multikultural yang esensi terhadap perjuangan kelakuan budaya yang

berbeda (the other).

Multikulturalisme bertujuan untuk kerjasama, kesederajatan, dan mengapresiasi dalam

dunia yang kian kompleks dan tidak monokultur lagi (Hernandez, 2000:72). Pengertian ini

mengajak masyarakat untuk lebih arif melihat perbedaan dan usaha untuk bekerjasama secara

positif dengan yang berbeda. Selain itu terus mewaspadai segala bentuk-bentuk sikap yang

bisa mereduksi multikulturalisme itu sendiri (Máiz & Requejo, 2005:43).

Multikulturalisme ini akan menjadi acuan utama bagi terwujudnya masyarakat

multikultural, karena multikulturalisme sebagai sebuah ideologi akan mengakui dan

mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan, baik secara individual maupun secara

kebudayaan. Dalam model multikulturalisme ini, sebuah masyarakat (termasuk juga

9
masyarakat seperti Indonesia) mempunyai sebuah kebudayaan yang berlaku umum dalam

masyarakat tersebut yang coraknya seperti sebuah mosaik. Di dalam mosaik tercakup semua

kebudayaan dari masyarakat-masyarakat yang lebih kecil yang membentuk terwujudnya

masyarakat yang lebih besar, yang mempunyai kebudayaan seperti sebuah mosaik (Banting &

Kymlicka, 2006:122). Dengan demikian, multikulturalisme diperlukan dalam bentuk tata

kehidupan masyarakat yang damai dan harmonis meskipun terdiri dari beraneka ragam latar

belakang kebudayan.

Berdasarkan gambaran pemahaman tentang multikultural yang dikemukakan di atas,

maka dapat dipahami bahwa inti dari konsep multikulturalisme adalah kesediaan menerima

kelompok lain secara sama sebagai kesatuan, tanpa memperdulikan perbedaan budaya, etnik,

gender, bahasa, ataupun agama (Sleeter & Grant, 2007:112). Apabila pluralitas sekadar

merepresentasikan adanya kemajemukan (yang lebih dari satu), maka multikulturalisme

memberikan penegasan bahwa dengan segala perbedaannya itu mereka adalah sama di dalam

ruang publik. Multikulturalisme menjadi semacam respons kebijakan baru terhadap

keragaman. Dengan kata lain, adanya komunitas-komunitas yang berbeda saja tidak cukup,

sebab yang terpenting adalah bahwa komunitas-komunitas itu diperlakukan sama oleh negara.

Kesadaran akan adanya keberagaman budaya disebut sebagai kehidupan multikultural.

Akan tetapi tentu, tidak cukup hanya sampai disitu. Bahwa suatu kemestian agar setiap

kesadaran akan adanya keberagaman, mesti ditingkatkan lagi menjadi apresiasi dan

dielaborasi secara positif. Pemahaman ini yang disebut sebagai multikulturalisme.

Multikulturalisme (multiculturalism), meskipun berkaitan dan sering disamakan adalah

kecenderungan yang berbeda dengan pluralisme (Banting & Kymlicka, 2006:237).

Multikulturalisme adalah sebuah relasi pluralitas yang didalamnya terdapat problem minoritas

(minority groups) versus mayoritas (majority group), yang didalamnya ada perjuangan

eksistensial bagi pengakuan, persamaan (equality), kesetaraan, dan keadilan (justice).

10
2.3 Komunitas ASEAN (Masyarakat Ekonomi ASEAN/MEA)

Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) merupakan sebuah kesepakatan formal antara

negara-negara yang tergabung di dalam ASEAN untuk melakukan integrasi ekonomi, dalam

artian sistem atau blok perdagangan bebas di kawasan ASEAN. Hal ini dilakukan sebagai

upaya bersama dalam meningkatkan ketertarikan investor asing untuk menanamkan modal

secara langsung di kawasan ASEAN. Penanaman modal asing ini dibutuhkan untuk

meningkatkan jumlah lapangan pekerjaan yang nantinya akan berpengaruh pada

meningkatnya kesejahteraan masyarakat di kawasan ASEAN.

Komunitas ASEAN akan membentuk kawasan ASEAN sebagai pasar dan basis produksi

tunggal yang membuat ASEAN lebih dinamis dan kompetitif dengan mekanisme dan

langkah-langkah tepat untuk memperkuat inisiatif ekonomi, mempercepat integrasi regional

di sektor prioritas, memfasilitasi pergerakan bisnis/usaha dan tenaga kerja berbakat, dan

memperkuat kelembagaan ASEAN. Pasar tunggal ini akan memungkinkan satu negara untuk

menjual barang dan jasa ke seluruh negara ASEAN dengan mudah, sehingga kompetisi akan

semakin ketat.

Komunitas ASEAN tidak hanya sekedar membuka arus perdagangan barang dan jasa,

tetapi juga pasar tenaga kerja profesional seperti dokter, pengacara, akuntan, dan lain

sebagainya. Hal tersebut terjadi, karena ada syarat dalam komunitas ASEAN yang

mengharuskan dihapuskannya aturan-aturan yang sebelumnya membatasi perekrutan tenaga

kerja asing. Blok perdagangan bebas MEA, meskipun pada satu sisi akan memperketat

persaingan antara negara-negara di Asia Tenggara, tetapi pada sisi lainnya akan memberikan

keuntungan untuk para anggotanya, terutama dalam penciptaan lapangan kerja baru, sehingga

kesenjangan pembangunan di negara-negara ASEAN dapat diatasi.

11
3. HASIL ANALISIS

3.1 Nelson Mandela dan Batik Indonesia

Mendiang Bapak Bangsa Afrika Selatan ini selalu memperlihatkan kemajuan dramatis di

momen istimewanya. Bahkan, keistimewaan dramatis yang terpancar dari sosok Nelson

Mandela adalah tentang busana yang selalu dikenakannya, yaitu batik. Mantan Presiden

Afrika Selatan ini pada tahun 1997 sempat membuat mendiang Presiden RI Soeharto

terhenyak ketika menerima Mandela dalam kunjungan kenegaraan. Saat itu Mandela

mengenakan kemeja batik, sementara tuan rumah Pak Harto berbalut setelan jas lengkap.

Gambar 3.1 Nelson Mandela dan Soeharto


Sumber: Armandhanu, Denny., 2013, “Kisah Nelson Mandela Cinta Batik Indonesia”, terdia pada
http://dunia.news.viva.co.id/news/read/464227-kisah-nelson-mandela-cinta-batik-indonesia
diakses pada tanggal 10 Januari 2015 Pukul 19.40 (GMT +7).

Kecintaan Nelson Mandela terhadap batik rupanya juga terlihat saat menghadiri acara-

acara resmi, seperti peluncuran asosiasi mantan pemimpin dunia, The Elders, pada bulan Juli

tahun 2007. Di kesempatan ini, pria kelahiran Mvezo, Afrika Selatan, 18 Juli 1918 ini dengan

bangga mengenakan kemeja batik Indonesia. Acara tersebut diadakan bertepatan dengan

ulang tahun ke-89 tokoh veteran perjuangan anti-apartheid ini. Sosok dari Nelson Mandela

selalu dielu-elukan, apalagi dengan mengenakan batik yang membuat sosoknya semakin

karismatik dan bersahaja (Heru, 2013).

12
Perkenalan Mandela pertama kali dengan batik Indonesia, menurut mantan Duta Besar RI

untuk Afrika Selatan, Sugeng Rahardjo, terjadi pada 1990, beberapa bulan setelah dia keluar

dari penjara di Pulau Roben. Sebagai presiden Kongres Afrika Selatan, Mandela atau yang

akrab dipanggil Madiba, mengadakan perjalanan pertama ke Asia, termasuk ke Indonesia.

Gambar 3.2 Mandela dan Batik Indonesia


Sumber: Grazia Indonesia, 2013, “Mengenang Sang Pencinta Batik”, tersedia pada
http://www.grazia.co.id/fashion/grazia.says/mengenang.sang.pencinta.batik/001/002/259
diakses pada tanggal 9 Februari 2015 Pukul 21.55 (GMT +7).

Mandela langsung jatuh cinta ketika menerima cinderamata batik. Sejak itu, setiap

Mandela berkunjung ke Indonesia, ia selalu mengenakan batik. Sebagian besar kemeja batik

yang dikenakan Mandela merupakan rancangan mendiang Iwan Tirta, seorang maestro batik

Indonesia yang dikenal dengan rancangannya melalui motif parang besar. Iwan Tirta pernah

berpendapat dalam satu kesempatan di akhir tahun 90-an ketika memberikan batik untuk

Mandela, bahwa Mandela merupakan figur atau sosok yang ketokohanya sangat kuat dan pas

dengan koleksi batiknya. Mandela tak hanya terlihat menarik, tapi memiliki kharisma

perjuangannya semakin terpancar dengan mengenakan batik. Filosofi pembuatan batik yang

memerlukan rasa kesabaran tinggi dan keharmonisan merupakan cermin kuat kepribadian

Nelson Mandela. Mantan pemimpin Afrika Selatan yang kharismatik ini senantiasa

mengenakan batik pada banyak acara-acara resmi, termasuk pada acara penutupan Piala

Dunia tahun 2010.

Bahkan, setelah kunjungan kenegaraan tahun 1997 di Istana Negara Jakarta tersebut,

sejak saat itu seluruh menteri dalam Kabinet Mandela selalu mengenakan batik untuk acara

13
kenegaraan, berdasarkan instruksi dan inspirasi dari sang Presiden. Batik pun menjadi pakaian

mahal disana, terutama yang berbahan sutera. Oleh karena mahalnya batik impor dari

Indonesia, maka kemudian dibuatlah batik sutera versi Afrika Selatan yang dinamakan

“Madiba Shirt”, yang merupakan julukan Mandela (Lestari, 2013).

Jadi, mendiang Nelson Mandela yang wafat pada 5 Desember 2013, bukan hanya

“Pahlawan Kemanusiaan” dunia, namun bagi bangsa Indonesia, layak tampaknya dinobatkan

sebagai salah seorang “Pahlawan Multikultural” Indonesia. Dampak positif dari kebiasaan

Nelson Mandela yang menyenangi batik, mengakibatkan batik lebih cepat mendunia.

3.2 Batik Indonesia sebagai Komunikasi Multikultural di Pentas Dunia

Mantan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia, Jero Wacik pernah

mengutarakan pendapat, bahwa berbagai upaya konstruktif untuk melestarikan dan

mengembangkan batik Indonesia terus dilakukan, terutama agar batik semakin dicintai. Selain

akan semakin diakui dunia, batik juga memberikan pengaruh terhadap perekonomian,

sehingga semakin banyak orang yang menggunakan batik, itu akan menguntungkan pengrajin

batik, maka para pengrajin tersebut akan mendapatkan keuntungannya.

Mantan Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono, pernah mengutarakan

pendapatnya saat acara pembukaan pameran batik dunia, World Batik Summit, bahwa batik

merupakan identitas Indonesia dan dapat dijadikan sarana diplomasi dan komunikasi

multikultural kepada semua negara sahabat di dunia. Semua rakyat Indonesia, sahabat-sahabat

bangsa lain di dunia juga suka dan cinta batik, sekaligus suka memakai batik, maka masa

depan batik akan cerah.

Data dari Kementerian Perdagangan RI menyebutkan, total penjualan batik Indonesia

tahun 2014 sekitar kurang lebih 5 trilyun rupiah. Sementara target tahun 2015 ini, penjualan

14
batik untuk dalam negeri maupun ekspor akan mencapai kurang lebih sekitar 7 trilyun rupiah.

Total ekspor batik Indonesia pada tahun 2014 lebih dari 22, 3 juta dolar AS.

Pada bulan Juli 2014 lalu, ada pagelaran Indonesian Batik: World Heritage, juga digelar

meriah di Kedutaan Indonesia KBRI Washington, Amerika Serikat. Acara ini dihadiri banyak

tamu undangan, termasuk warga Amerika yang ingin mengenal batik lebih jauh. Pameran ini

menampilkan sekitar 60 kain batik dari berbagai daerah di Indonesia, seperti Solo, Cirebon,

Pontianak, dan lain-lain. Sementara itu, sewaktu menyambut Hari Batik Sedunia yang selalu

diperingati tanggal 2 Oktober, Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta menggelar pameran

batik yang menampilkan beberapa corak batik koleksi Ann Dunham, ibunda Presiden Barrack

Obama, selama ia berada di Indonesia.

Gambar 3.3 Pagelaran Batik di Amerika Serikat


Sumber: Wandira, Riska., 2014, “Kekayaan Warisan Budaya dalam Pagelaran Busana Batik”, tersedia pada
http://wolipop.detik.com/read/2011/05/17/123439/1641122/233/kekayaan-warisan-budaya-dalam-pagelaran-busana-batik
diakses pada tanggal 17 Februari 2015 Pukul 20.15 (GMT +7).

Pemerintah Indonesia selalu mendorong upaya-upaya menduniakan batik. Bentuk upaya-

upaya ini dinilai akan meningkatkan apresiasi dan akulturasi batik dalam kemajemukan

budaya. Untuk tujuan tersebut, Perwakilan-perwakilan Republik Indonesia di Amerika Serikat

selalu melaksanakan program kompetisi desain batik (American Batik Design Competition) di

Washington setiap tahunnya. Pada kompetisi terakhir di tahun 2014 lalu yang bertema “the

Spirit of America in the Heritage Batik”, dinilai mampu untuk mendorong perpaduan budaya

(confluence of civilization and culture) yang semakin marak di abad ke-21. Kompetisi ini

akan membawa manfaat bagi semua.

15
Kemudian, ada Pemerintah Kota Surakarta yang bekerjasama dengan Kedutaan Besar

Pemerintah Jerman telah mengadakan pameran batik yang bertema “Indonesia Batik: A

Living Heritage“ di Pendopo Gede Balaikota Surakarta. Pameran ini dibuka untuk umum dan

bersifat gratis. Pameran “Indonesia Batik: A Living Heritage“ (Batik Indonesia: Warisan

Budaya Hidup) merupakan bentuk penghargaan terhadap salah satu karya seni yang paling

mempesona di Indonesia, serta sebagai sebuah bentuk perwujudan akan apresiasi dari

UNESCO yang telah menobatkan batik Indonesia sebagai sebuah mahakarya “Warisan Karya

Manusia”.

Gambar 3.4 Indonesia Batik: A Living Heritage di Solo


Sumber: Surono, Agus., 2013, “Carnival Batik Solo Indonesian”, tersedia pada
http://omguss.blogspot.com/2013_06_11_archive.html
diakses pada tanggal 15 Januari 2015 Pukul 13.45 (GMT +7).

Berbagai ajang pameran tentang batik di seluruh dunia selalu diselenggarakan, kini selalu

mengungkapkan kekayaan sejarah batik, memperagakan proses membuat batik secara

tradisional yang nyaris terlupakan, serta memberikan pemahaman mengenai arti di balik

simbol dan motif yang digunakan. Permasalahan lingkungan di dunia saat ini merupakan

tantangan tersendiri bagi perancangan modern yang memperlihatkan kecintaan warga dunia

terhadap batik tradisional dan kontemporer, sebagai pertanda bahwa batik akan tetap diminati

pada masa yang akan datang di seluruh dunia.

4. DISKUSI

Batik yang sangat dicintai masyarakat Indonesia mungkin sudah tak lagi diragukan,

karena masyarakat dunia pun telah mencintai batik. Dukungan masyarakat yang sangat luar

16
biasa untuk melestarikan kain adat tersebut semakin menggelora di lubuk hati warga

Indonesia. Hal tersebut dapat terlihat dari kesadaran masyarakat yang menjadikan batik

sebagai bagian dari keseharian, bahkan ketika masyarakat Indonesia sedang berada di luar

negeri.

Fakta terkini memperlihatkan, bahwa batik memang telah mendunia, namun Indonesia

harus tetap menjadi rumahnya. Bisa saja negara manapun di dunia mengakui punya batik, tapi

keberadaan sejatinya tetap di Indonesia. Ajang menarik tentang batik harus selalu diisi dengan

berbagai acara, seperti konferensi batik, pameran batik, hingga kunjungan ke tempat-tempat

yang memiliki kaitan bersejarah dengan batik. Setiap ajang yang diselenggarakan sudah

sepatutnya menjadi strategi komunikasi multikultural, sehingga keberadaan batik dapat

diterima oleh seluruh lapisan masyarakat dunia.

Glokalisasi dimaknai sebagai munculnya interpretasi produk-produk global (yang asalnya

merupakan produk lokal juga) dalam konteks yang dilakukan masyarakat dalam berbagai

wilayah budaya. Interpretasi lokal masyarakat tersebut kemudian juga telah membuka

kemungkinan adanya pergeseran makna atas nilai budaya. Keberadaan batik Indonesia dengan

aneka ragam motif serta bentuknya, diyakini bakal menjadi satu di antara ikon multikultur

Indonesia yang menawan pada perhelatan pergaulan dan perdagangan internasional.

Keberadaan era blok perdagangan bebas Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang

akan berlangsung dari akhir tahun 2015 ini seharusnya tidak akan mempengaruhi

perdagangan batik, apalagi bila pemerintah dan seluruh praktisi dalam bidang batik mampu

menerapkan strategi komunikasi multikultur ini secara tepat. Strategi komunikasi yang kreatif

ini akan membuat batik semakin dicintai dan terus memantapkan eksistensinya tidak hanya di

ASEAN, tetapi di seluruh dunia.

Dinamisasi kebudayaan dan tantangan global (termasuk lokal dan nasional) lewat

pemberdayaan kebudayaan dalam negara dan pasar yang mendialogkan kebudayaan, politik,

17
dan ekonomi di ranah batik, dan pasar diwakili oleh entitas ''glokalisasi'' (paduan globalisasi

dan lokalisasi) dan multikulturalisme. Dengan kata lain, multikulturalisme dan glokalisasi

adalah kata-kata kunci. Kalau dua hal itu tidak dihadirkan, paling tidak secara teoretis,

jangan-jangan masyarakat Indonesia hanya akan menjadi korban hegemoni dan/atau dominasi

kebudayaan, politik, dan pasar global.

Dari berbagai teori beberapa ahli tersebut, maka dapat dianalisis dan didiskusikan bahwa

kebanyakan dari para ahli mengemukakan bahwa bentuk glokalisasi sebagai konsep daripada

globalisasi, dan glokalisasi sangat erat kaitannya dengan percampuran pengaruh global yang

masuk ke dalam budaya lokal sehingga menjadi sesuatu yang baru, entah itu merugikan

ataupun menguntungkan, tergantung pada kemampuan dari lokal itu sendiri untuk

menyikapinya. Glokalisasi juga sangat memiliki kaitan yang erat dengan ekonomi global,

karena banyak perusahaan-perusahaan dan industri berskala global menggunakan strategi

glokalisasi dengan memanfaatkan potensi budaya lokal untuk bersaing dengan pasar lokal.

Hal itulah yang perlu dilakukan oleh industri batik dalam strategi komunikasi multikulturnya

untuk terus menjaga eksistensinya di pasar global dan siap bersaing dengan produk global

lainnya terutama dengan mengikuti arus karakter pasar global agar apapun yang diproduksi

dapat diterima oleh masyarakat dunia.

5. KESIMPULAN

Strategi glokalisasi memang terbukti sangat jitu untuk sebuah produk yang akhirnya

menjadi global menyesuaikan produknya dengan karakter pasar dan multikultural, dan

glokalisasi menjadi cara yang ampuh agar globalisasi tidak meracuni tradisi lokal.

Bertemunya dua nilai kebudayaan yang menjadi semacam penempelan dua nilai budaya

terlihat cukup jelas di produk-produk yang ada. Gaya hidup modern yang semakin melekat di

18
masyarakat sering mengakibatkan makna tradisi mengalami pergeseran nilai dan penyempitan

arti.

Nilai tradisi hanya dinilai dari apa yang nampak secara penglihatan saja dan nilai tradisi

yang lebih dalam menembus konteks kultural, historikal, maupun agama, sepertinya sudah

tidak lagi diperhatikan. Itu akibat dari dampak atau implikasi dari masuknya produk global ke

dalam produk lokal dengan memanfaatkan berbagai potensi kebudayaan sebagai strateginya.

Maka, untuk menyikapi semua hal tersebut, tergantung bagaimana masyarakat lokal

menyikapinya, dengan segala macam pengaruh global yang masuk melalui industri dan

produk-produknya, seharusnya masyarakat lokal lebih dewasa dalam hal ini, dengan

menerima hal tersebut asalkan masih dalam konteks positif, tetapi jangan tinggalkan kesan

sesungguhnya dari kebudayaan yang telah memanfaatkan hasil produk global, tetapi tetap

cinta kepada produk lokal dan tidak menghilangkan karakter pasar lokal yang sudah menjadi

karakter atau identitas perekonomian lokal. Dengan begitu dapat meminimalisir dampak atau

implikasi dari strategi glokalisasi yang dilakukan industri global melalui produk-produknya,

serta dengan begitu juga tidak akan ada pergeseran nilai-nilai tradisi lokal yang merupakan

identitas dan jatidiri dari kebudayaan lokal suatu negara.

Dalam strategi komunikasi multikulturalnya, batik memanfaatkan dan menunjukkan

potensi budaya Indonesia yang selama ini telah menjadi warisan budaya Indonesia. Batik

harus memiliki kemampuan mengembangkan ekstensifikasi pada setiap produknya seperti

jaket, sepatu, topi, dan hal lainnya. Hal itu dilakukan untuk menarik minat masyarakat dunia.

Ada beberapa alasan kenapa motif batik harus terus dikembangkan menuju pasar global,

karena batik merupakan bentuk sentuhan tradisional yang muncul dari masyarakatnya itu

sendiri, karena batik sendiri terus menjadi bahan perbincangan setelah beberapa kasus klaim

batik yang juga menjadi identitas bangsa Indonesia oleh bangsa lain memunculkan kepanikan

19
tersendiri yang mengakibatkan tema batik menjadi menarik dan sepertinya semua kalangan

ikut memperbincangkannya.

Kepanikan inilah yang dimanfaatkan oleh batik dengan sebaran produk-produknya

dengan cara memberikan sentuhan batik pada produkya dan lantas disebut sebagai produk

khas Indonesia, bahkan dunia. Namun dengan status batik yang masih merupakan industri

lokal dan belum penuh memasuki industri global, maka masyarakat pun banyak yang berpikir

kalau pemakaian motif batik dalam setiap sebaran produknya akan memanfaatkan potensi

budaya Indonesia untuk masuk ke dalam karakter pasar global yang lebih tahu seluk-beluk

persaingan pasar bebas di dunia, termasuk ketika komunitas ASEAN telah resmi dimulai pada

akhir tahun 2015 ini.

6. DAFTAR PUSTAKA

Banting, Keith., Will Kymlicka. (2006). Multiculturalism and the Welfare State: Recognition
and Redistribution in Contemporary Democracies. New York: Oxford University Press.
Bhaduri, Saugata. (2008). Negotiating Glocalization: Views From Language, Literature, and
Culture Studies. New Delhi: Anthem Press India.
Budihardjo, Eko. (2015). Dari Globalisasi ke Glokalisasi, tersedia pada
http://www.unisosdem.org/article_detail.php?aid=3964&coid=1&caid=24&gid=3
diakses pada tanggal 13 Maret 2015 Pukul 16.30 (GMT +7).
Djomena, Nian. (2013). Ungkapan Sehelai Batik. Jakarta: Jambatan.
Drori, Gili S.., Markus A. Höllerer, Peter Walgenbach. (2013). Global Themes and Local
Variations in Organization and Management: Perspectives on Glocalization. Chicago:
Routledge.
Haddock, Bruce., Peter Sutch. (2003). Multiculturalism, Identity, and Rights. New York:
Routledge.
Harmandini, Felicitas. (2012). Ketika Batik Merasuk di Industri Mode Amerika, tersedia pada
http://female.kompas.com/read/2012/10/14/01563627/Ketika.Batik.Merasuk.di.Industri.
Mode.Amerika diakses pada tanggal 8 Maret 2015 Pukul 02.20 (GMT +7).
Hernandez, Hilda. (2000). Multiculturalisme Educations: A Teacher Guide To Linking
Context, Process And Content. 2nd ed. New York: Pearson.
Heru, Andhika. (2013). Nelson Mandela Sang Pencinta Batik Sejati, tersedia pada http://luar-
negeri.kompasiana.com/2013/12/06/nelson-mandela-sang-pencinta-batik-sejati-
616100.html diakses pada tanggal 17 Januari 2015 Pukul 14.35 (GMT +7).
Irsan, Abdul. (2010). Indonesia di Tengah Pusaran Globalisasi. Jakarta: Grafindo.
Kusmayatna, Aang. (2012). Indonesian Batik at Paris Fashion Week by Dries van Noten,
tersedia pada https://kupatahu28.wordpress.com/2012/11/17/indonesian-batik-at-paris-
fashion-week-by-dries-van-noten/ diakses pada tanggal 7 Maret 2015 Pukul 19.45
(GMT +7).

20
Lestari, Sri. (2013). Kenapa Rakyat Afrika Selatan Tidak Mau Pakai Batik?, tersedia pada
http://www.bbc.co.uk/indonesia/berita_indonesia/2013/12/131206_jkala_mandela_batik
diakses pada tanggal 18 Februari 2015 Pukul 05.35 (GMT +7).
Máiz, Ramón., Ferran Requejo. (2005). Democracy, Nationalism, and Multiculturalism. New
York: Routledge.
Musman, Asti., Ambar B. Arini. (2011). Batik: Warisan Adiluhung Nusantara. Yogyakarta:
Andi Publisher.
Phillips, Anne. (2007). Multiculturalism without Culture. Princeton, NJ: Princeton University
Press.
Roberts Jr., Bob. (2007) Glocalization: How Followers of Jesus Engage a Flat World.
London: Zondervan.
Robertson, Roland. (1992) Globalization: Social Theory and Global Culture. New York:
SAGE Publication Ltd..
Robertson, Roland. (1995). Glocalization: Time-Space and Homogeneity-Heterogeneity.
London: SAGE Publications Ltd..
Shifrin, Laurie J.. (2009). Batik Beauties. London: Patchwork Place.
Sigismondi, Paolo. (2005). The Digital Glocalization of Entertainment: New Paradigms in the
21st Century Global Mediascape. New York: Springer.
Sleeter, Christine E., Carl A. Grant. (2007). Making Choices for Multicultural Education:
Five Approaches to Race, Class, and Gender. Chicago: Wiley.
Taras, Raymond. (2013). Challenging Multiculturalism: European Models of Diversity.
Edinburgh: Edinburgh University Press.
Wulandari, Ari. (2011). Batik Nusantara. Yogyakarta: Andi Offset.

21

Anda mungkin juga menyukai