Anda di halaman 1dari 19

STRATEGI ADAPTASI TERHADAP DAMPAK PERUBAHAN

IKLIM PADA PRODUKSI PERTANIAN GLOBAL

DI
S
U
S
U
N
OLEH:

PUTRI APRILIA
2205202010009

PROGRAM STUDI MAGISTER AGRIBISNIS


FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA
DARUSSALAM, BANDA ACEH
2023
BAB 1. PENDAHULUAN

a. Latar Belakang
Perubahan iklim tidak dapat dihindari dan mempengaruhi setiap aspek kehidupan.
Perubahan dan anomali iklim mempengaruhi kapasitas dan dinamika produksi pertanian.
Perubahan iklim memberikan dampak yang cukup signifikan terhadap ketahanan pangan,
yaitu perubahan musim hujan atau musim kemarau sangat mempengaruhi pola tanam dan
waktu tanam tahunan (biasanya tanaman pangan). Gejala pemanasan global yang terjadi
saat ini lebih disebabkan oleh ulah manusia (antropogenik). Ciri-ciri dari perubahan iklim
tidak hanya suhu yang meningkat, tetapi juga curah hujan yang menurun dan tidak
menentu. Suhu global meningkat menjadi 0,7 °C sejak Revolusi Industri tahun 1750, dan
para ahli di bidang iklim memprediksi menunjukkan bahwa kenaikan suhu 1 °C menjadi
1,5 °C tidak dapat dihindari.
Skenario iklim adalah metode penentuan proyeksi iklim masa depan dengan
memperhatikan berbagai faktor yang mempengaruhi kondisi iklim. Dalam satu dekade dari
sekarang diperkirakan kawasan-kawasan tropis di dunia akan menghadapi dampak
perubahan iklim yang parah dan jauh lebih awal dibandingkan kawasan Arktik dan
lainnya. Hal ini terungkap dalam sebuah penelitian yang dimuat dalam jurnal
ilmiah Nature, yang terbit tanggal 9 Oktober 2013.

Gambar 1. Prediksi kenaikan suhu udara (jurnal ilmiah Nature, 2013)

Selama ini, banyak studi yang dirilis hanya menyoroti penderitaan vegetasi dan
satwa sebagai akibat dari perubahan iklim ini. Untuk pertama kalinya, para peneliti
menaruh dampaknya terhadap manusia, apa yang akan terjadi jika kota-kota di dunia
mengalami iklim yang sangat ekstrem. Jika kondisi emisi karbon seperti saat ini, maka
diperkirakan Asia Tenggara akan menjadi wilayah yang pertamakali mengalami cuaca
ekstrem ini. Kota yang akan mengalami kondisi perubahan iklim paling awal di dunia
adalah Manokwari di Papua, dimana para ahli memperkirakan kota ini akan mencapai titik
terpanasnya di tahun 2020. Kota kedua yang akan mengalami perubahan cuaca paling
panas tercepat adalah Jakarta, yang diperkirakan akan mencapai suhu paling panas di tahun
2029 (Livescience, 2013). Selebihnya, rata-rata berbagai kota di Asia akan mengalami
cuaca paling panas di tahun 2040-an. Seperti yang diperkirakan terjadi dengan Beijing,
Cina dan Bangkok, Thailand (2046), Tokyo, Jepang (2041), dan Mumbai, India (2034).
Ketahanan pangan merupakan suatu sistem yang terdiri dari 3 (tiga) subsistem,
yaitu subsistem penyediaan pangan, subsistem distribusi pangan, dan subsistem konsumsi
pangan. Ketiga subsistem tersebut memiliki aspek pendukung, yaitu aspek produksi dan
penyimpanan pangan untuk mendukung subsistem penyediaan pangan, aspek akses dan
harga pangan untuk mendukung subsistem distribusi pangan, dan aspek diversifikasi
konsumsi dan ketahanan pangan untuk mendukung subsistem penyediaan pangan dalam
mendukung subsistem konsumsi pangan. Perubahan iklim saat ini berdampak besar
terhadap produksi pangan, sehingga perlu dilakukan langkah-langkah dalam menerapkan
strategi adaptasi untuk meminimalkan dampak negatif dari perubahan iklim.

b. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang diatas dapat dirumuskan permasalahan sebagai


berikut:
1. Bagaimana dampak pengaruh perubahan iklim terhadap produksi pertanian global?
2. Apa saja strategi adaptasi yang dilakukan dalam menghadapi perubahan iklim yang
terjadi?

c. Tujuan
Adapun tujuan penelitian ini adalah:
1. Mengetahui dampak dari pengaruh perubahan iklim terhadap produksi pertanian
global.
2. Mengetahui strategi adaptasi dalam menghadapi perubahan iklim.

d. Kegunaan
Kegunan dari penelitian ini adalah penelitian ini diharapkan dapat menjadi sarana
dan rekomendasi, serta sebagai rujukan dalam penelitian-penelitian selanjutnya.
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

a. Perubahan Iklim
Perubahan iklim ditunjukkan dengan adanya fenomena pergeseran dan ketidakpastian
curah hujan dan siklus cuaca. Ketidakpastian iklim ini biasa ditujunjukkan dengan
terjadinya hujan yang sangat deras dan dan kekeringan yang berkepanjangan saat musim
kemarau. Kondisi seperti ini dapat menimbulkn sejumlah dampak dan resiko bagi aktivitas
pertanian. Dampak yang sering terjadi dari ketidakpastian kondisi iklim ini adalah
menurunnya hasil produksi dan produktivitas pertanian, selain itu lahan pertanian akan
semakin tidak produktif sehingga menimbulkan resiko pada sistem penanaman. Dari
dampak negatif yang ditimbulkan akhirnya mempengaruhi bagaimana strategi adaptasi
yang dilakukan petani dalam menghadapinya (Putri et al, 2016).
Adanya perubahan dari nilai dan unsur-unsur cuaca dari hari ke hari dan bulan ke bulan
yang terjadi di suatu tempat dan wilayah dalan jangka waktu yang panjang dapat disebut
dengan sintesis atau kesimpulan dari adanya perubahan cuaca. Sintesis cuaca dapat
diartikan sebagai nilai statistik yang terdiri dari nilai rata-rata, nilai maksimum dan
minimum, serta frekuensi kejadian. Nilai statistik dari sifat cuaca yang terjadi pada suatu
tempat dan wilayah yang terjadi dalam jangka waktu yang panjang disebut dengan kondisi
iklim pada suatu wilayah. Data cuaca terdiri dari data kontinu dan data diskontinu, data
kontinu cuaca terdiri dari kelembaban, suhu udara, kecepatan angin, dan tekanan udara.
Sedangkan data diskontinu cuaca yaitu terdiri dari penguapan, radiasi, presipitasi, dan
lama penyinaran matahari (Atmaja, 2017).
Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), (2014) menyatakan bahwa perubahan iklim
dapat merupakan suatu keadaan perubahan pada iklim yang terjadi secara ekstrim,
sehingga muncul berbagai peristiwa alam seperti badai, kekeringan, dan banjir. Perubahan
dari kondisi iklim juga dapat menimbulkan peningkatan suhu pada permukaan air laut, hal
ini akan menimbulkan pengaruh negatif khusnya pada sektor pertanian karena terjadinya
pemanasan global. Dilihat secara teknis, fenomena perubahan iklim ini menimbulkan
kerentanan pada sektor pertanian, dimana dampak negatif akan mengubah sistem
penggunaan lahan dan sifat tanah, selain itu juga terjadinya perubahan pada pola tanam,
ketersediaan air, kondisi infrastruktur pertanian, dan varietas yang akan digunakan.
Dampak terhadap sosio ekonomi yang disebabkan oleh perubahan iklim menurut pendapat
Bassino, Gimet and Quefelec (2018), sebagai berikut:
1. Menurunnya produksi serta produktivitas pada sektor pertanian.
2. Gross Domestik Bruto pada sektor pertanian terjadi penurunan.
3. Kenaikan harga pangan di pasar dunia.
4. Terjadinya kerentanan pangan seiring meningkatnya jumlah penduduk.
Menurunnya jumlah produksi pangan dunia juga dipengaruhi oleh dampak negatif
perubahan iklim. Contohnya terjadi peningkatan area konversi lahan pangan bio-fuel,
sehingga akan berakibat pada kenaikan harga pangan. Jumlah alokasi area penanaman
untuk bahan pangan yang semakin menurun, maka akan terjadi kenaikan harga bahan
pangan. Kondisi iklim sangat berpengaruh pada peningkatan produktivitas pertanian. Hal
ini dikarenakan ketidakseimbangan nilai penawaran (supply) terhadap produk hasil
pertanian. Oleh karena itu, dalam perdagangan internasional, penurunan bahan pangan
sering menjadi masalah dalam mengatasi variasi penawaran. Ada tiga faktor yang
berpengaruh terhadap perdagangan internasional yang disebebkan oleh perubahan iklim,
diantaranya (Oonwichai et al, 2019):
1. Jumlah hasil produksi pertanian di dalam negeri.
2. Keseimbangan antara produk di dalam negeri dan diekspor.
3. Struktur produksi pertanian itu sendiri.

Perubahan iklim telah memberikan berbagai dampak pada produktivitas pertanian,


terutama penurunan produksi pertanian. Produksi yang menurun ini disebabkan karena
salinitas dan suhu tanah yang meningkat serta cuaca yang ekstrim. Sehingga dapat terjadi
kekeringan dan banjir, serangan hama dan penyakit pada tanaman, serta hasil produksi
menurun yang disebabkan oleh ketersediaan infrastruktur yang tidak memadai. Pada
daerah tropis, produksi pangan utama yaitu beras dan jagung akan menurun disebebkan
karena meningkatnya suhu udara dan perubahan iklim. Apabila suhu udara meningkat 2ºC
maka dapat mengurangi produksi jagung sebesar 20 persen dan produksi padi sebesar 10
persen (Robet, 2015).

b. Dampak Perubahan Iklim Terhadap Produksi Tanaman


Dampak perubahan iklim berkaitan dengan peningkatan frekuensi dan intensitas
cuaca yang ekstrim. Kekeringan dan banjir mengakibatkan kegagalan panen pada tanaman
pertanian dan produktivitas pertanian menurun. Menurunnya produktivitas pertanian
khususnya pangan dapat disebabkan oleh kekeringan ekstrim atau disebut El-Nino dan
banjir disebut dengan La-Nina. Penelitian menunjukkan bahwa pada 100 tahun terakhir
frekuensi intensitas fenomena El Nino dan La-Nina terjadi setelah tahun 1940. Sehingga
produksi tanaman pangan yaitu padi, jagung, dan kedelai, sangat dipengaruhi oleh
fenomena El-Nino dan La-Nina, angka akumulatif gagal panen yang disebabkan oleh El-
Nino sekitar 250 ribu hektar, dan kegagalan panen yang disebebkan oleh La-Nina adalah
sekitar 90 ribu hektar (Boer, 2018).
Perubahan iklim telah menimbulkan dampak pada produktivitas pertanian terutama
penurunan produksi pangan. Penurunan produksi pangan ini terutama disebabkan karena
meningkatnya suhu dan salinitas tanah, cuaca ekstrim sehingga menyebabkan kekeringan
dan banjir, serangan hama dan penyakit, serta penurunan kapasitas produksi akibat
kerusakan di infrastruktur pertanian. Pada daerah tropis menunjukkan bahwa produksi
pangan yaitu beras dan jagung akan menurun disebebkan karena meningkatnya suhu udara
dan perubahan iklim. Apabila suhu udara meningkat 2ºC maka akn mengurangi produksi
jagung sebesar 20 persen dan produksi padi sebesar 10 persen (Robet, 2015).
Beberapa indikasi pada perubahan iklim diantaranya adalah kekeringan,
meningkatnya suhu bumi, kekeringan, banjir, dan bergesernya musim hujan yaitu musim
hujan yang semakin pendek, meningkatnya permukaan air laut, dan kejadian iklim ekstrim.
Sedangkan fenomena El-Nino dan La-Nina yaitu fenomena alam terjadinya kekeringan
berkepanjangan dan banjir yang menyebabkan gagal tanam dan gagal panen. Pada sektor
pertanian, beberapa tahun terakhir telah terjadi pergeseran musim tanam dan musim panen
(Ruminta & Handoko, 2016).
Perubahan iklim menjadi suatu permasalahan dan ancaman untuk petani, selain
gagal panenn juga akan mengancam terjadinya krisis pangan di suatu negara (Government
of Republic of Indonesia, 2007; UNFCCC, 2007). Berdasarkan kajian oleh
Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC, 2007), frekuensi pada kekeringan
semakinmeningkat, dan disertai cuaca yang ekstrim yaitu El Nino, La Nina, siklon, dan
puting beliung. Hal ini menyebabkan potensi produksi pertanian mengalami turunnya
produktivitas pertanian, gagal panen, gagal tanam, dan luas lahan semakin berkurang. Oleh
karena itu, perubahan iklim dapat juga menimbulkan kerawanan pangan, sehingga
mencegah, menanggulangi, dan mempertahankan keberlanjutan usaha taninya, petani atau
kelompok tani harus memiliki kemampuan dalam beradaptasi dari dampak dan bahaya
yang ditimbulkan oleh variabilitas cuaca (Tati et al, 2018).

c. Strategi Adaptasi Terhadap Perubahan Iklim


Adaptasi adalah proses individu dalam menyesuaikan dirii dengan lingkungannya.
Manusia akan melakukan adaptasi sesuai dengan lingkungan yang ditempati. Bentuk
adaptasi serta reaksi dari individu terhadap lingkungan merupakan bentuk tingkahlaku
yang dimiliki oleh manusia untuk keberlangsungan hidupnya. Manusia merupakan
makhluk hidup yang paling cepat menyesuaikan diri secara tingkah laku. Hal ini
dikarenakan manusia memiliki kemampuan untuk belajar dan berpikir dengan baik
terhadap sesuatu yang dihadapi. Oleh karena itu manusia dengan cepat dapat beradaptasi
pada semua tempat atau lingkungan yang ditempati. Namun, kesanggupan manusia dalam
beradaptasi bukan berarti tanpa batas, adaptasi manusia juga didukung oleh kemajuan
teknologi yang memiliki pengaruh dalam lingkungan hidup (Pelly, 1998).
Schneiders (1960) adaptasi adalah proses penyesuaian diri yang dinamis oleh
individu yang berinteraksi untuk menyesuaikan kondisi internalnya dengan lingkungan.
Individu yang lebih terbuka terhadap terhadap perubahan akan lebih mampu menghadapi
perubahan dalam waktu yang relatif cepat, menyesuaikan dirinya dengan perubahan
lingkungan, dan menjalankan perannya dengan baik di lingkungan sosial. Individu dalam
penyesuaian diri dapat bersikap agresif atau defensif terhadap lingkungannya. Sikap
defensif cenderung bertahan diri dan menghindari kecemasan, atau tidak mampu
menghadapi perubahan. Ciri-ciri individu yang bersikap defensif cenderung tidak
menerima kritik, merespon secara berebihan atas hal baru di lingkungannya, dan nyaman
dengan kehidupannya saat ini.
Kemampuan adaptasi petani merupakan kemampuan petani dalam menyesuaikan
dirinya dengan perubahan dan mengatasi kendala dengan cara berinovasi menciptakan
norma dan aturan baru dalam perilakunya (Kusumastuti 2015). Adaptasi merupakan proses
yang dinamis karena individu terus berinteraksi untuk menyelaraskan kondisi internalnya
dengan tuntutan lingkungan. Kondisi internal individu berupa karakteristik pribadi yang
didorong oleh kebutuhan, harapan dan keyakinannya. Ketiga hal tersebut akan membentuk
sikap individu terhadap lingkungannya, yang kemudian akan ditunjukkan melalui
perilakunya pada perubahan dan tuntutan lingkungan. Individu yang lebih terbuka pada
perubahan akan mampu mempelajari perubahan dalam waktu yang relatif cepat,
menyesuaikan dirinya dengan perubahan lingkungan dan menjalankan perannya dengan
baik di lingkungan sosial (Schneiders, 1960).
Masyarakat dapat melakukan strategi adaptasi yang dikategorikan dalam tiga
bentuk, yaitu strategi adaptasi secara fisik, secara ekonomi dan secara sosial. Pertama,
strategi adaptasi secara fisik yaitu strategi adaptasi yang dilakukan untuk mempertahankan
fungsi bangunan atau lingkungan yang ada meskipun adanya perubahan iklim. Kedua,
strategi adaptasi secara ekonomi yaitu startegi yang dilakukan untuk mempertahankan
keadan ekonomi masyarakat. Ketiga, strategi adaptasi secara sosial yaitu startegi adaptasi
yang dilakukan untuk dapatmengatasi dan menyesuaikan keadaan terhadap perubahan
iklim melalui kegiatan kemasyarakatan (Asrofi et al, 2017).
Terkait dengan perubahan iklim, adaptasi dapat diartikan sebagai upaya dalam
menyesuaikan kondisi alam dengan kehidupan manusia, sehingga dapat mengatasi dampak
dari perubahan iklim yang terjadi. Adaptasi terhadap perubahan iklim penting dilakukan
untuk meminimalisasi tingkat bahaya serta dapat memperoleh keuntungan dari aktivitas
pertanian. Pelaku adaptasi adalah individu, rumah tangga, komunitas, kalangan pelaku
usaha, dan pemerintah. (Sugihardjo, 2017) menyebutkan bahwa adaptasi terhadap
perubahan iklim dapat dilakukan secara terencana dan secara spontan. Menurut UNDP
(2007) adaptasi yang dilakukan terhadap perubahan iklim untuk mengatasi dampak negatif
dan melakukan bentuk penyesuaian yang tepat.

d. Penelitian Terdahulu
Dasmani, et al (2020), studi ini menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi
pilihan strategi adaptasi menuju perubahan iklim dan produksi tanaman pangan. Studi
yang digunakan data cross sectional dari 622 petani yang dipilih secara acak dari 18 Desa
di seluruh tiga zona agroekologi utama menggunakan kuesioner terstruktur. Pembelajaran
hipotesis bahwa karakteristik pertanian, variabel iklim dan cuaca ekstrim peristiwa tidak
memiliki pengaruh yang signifikan terhadap pilihan petani dari berbagai strategi adaptasi.
tegies di tiga zona agro ekologi. Analisis yang digunakan adalah Model Logit
Multinomial, hasilnya menunjukkan bahwa pertanian irigasi, kegiatan yang menghasilkan
pendapatan, tanaman diversifikasi, penanaman pohon dan pergeseran tanggal tanam adalah
beberapa adaptasi strategi yang digunakan petani untuk beradaptasi dengan perubahan
cuaca dan hal-hal terkait lainnya faktor.
Penelitian lainnya dilakukan oleh Belcaid dan Ahmad El Gini (2019), perubahan
iklim mempengaruhi produktivitas pertanian, terutama kondisi tumbuh tanaman. Dampak
ini dianggap sebagai penghambat utama terwujudnya Millenium Development Goal
pertama untuk mengurangi kerawanan pangan dan kemiskinan di negara-negara termiskin.
Berdasarkan pendekatan Diebold dan Yilmaz, kami menilai tingkat keterkaitan dan efek
variabilitas yang ditransmisikan di antara variabel-variabel di atas. Data frekuensi
pengambilan sampel tahunan dan mencakup periode 1980 hingga 2016. Temuan
menyoroti peningkatan substansial dalam variabilitas cuaca pada periode kritis, lebih
tepatnya variabilitas ekstrim dalam kondisi cuaca secara nyata disertai dengan peningkatan
yang signifikan dalam efek limpahan yang ditransmisikan ke pertanian di Maroko.
Khususnya, hasil mengkonfirmasi hubungan yang mendalam antara curah hujan dan
pertanian di Maroko. Bahkan, peningkatan curah hujan mungkin memiliki efek positif;
namun, ancaman kenaikan suhu dan pengurangan curah hujan meningkatkan risiko
kekeringan.
Liette and Barry (2016), Sub Sahara Afrika sangat rentan terhadap perubahan
iklim. Berbagai tekanan biofisik, politik, dan sosial ekonomi berinteraksi untuk
meningkatkan kerentanan kawasan dan membatasi kapasitas adaptasinya. Perubahan iklim
umumnya diakui sebagai masalah besar yang cenderung memiliki konsekuensi negatif
pada ketahanan pangan dan mata pencaharian di wilayah tersebut. Makalah ini mengulas
tiga badan beasiswa yang telah berkembang agak terpisah, namun secara inheren saling
berhubungan: dampak perubahan iklim, kerentanan dan adaptasi, keamanan pangan, dan
mata pencaharian berkelanjutan. Makalah ini mengembangkan konseptualisasi hubungan
di antara ketiga tema dan menunjukkan bagaimana kerentanan ketahanan pangan terkait
dengan berbagai tekanan dan kapasitas adaptif, mencerminkan akses ke aset. Ketahanan
pangan merupakan salah satu dari beberapa hasil mata pencaharian. Kerangka kerja
menunjukkan bagaimana beberapa paradigma penelitian terkait dengan masalah keamanan
pangan dan perubahan iklim dan memberikan panduan untuk investigasi empiris. Sebagai
kesimpulan, sementara ini memberikan informasi berharga tentang kemungkinan hasil di
masa depan dan tingkat produksi di bawah iklim yang berubah, ketahanan pangan juga
melibatkan masalah aksesibilitas dan pemanfaatan pangan. Ketahanan pangan adalah
bagian integral dari kesejahteraan manusia. Pendekatan mata pencaharian berkelanjutan
telah mengindikasikan bahwa ada faktor-faktor penting lain yang memengaruhi mata
pencaharian masyarakat, seperti pendapatan, kesehatan, dan aset.
Qumilailah et al (2015), penelitian ini mengkaji dapmpak dari fenomena perubahan
iklim terhadap terhadap tingkat risiko sumberdaya pertanian padi di Desa Ciasmara. Selain
itu penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui pilihan jenis adaptasi serta faktor-faktor
yang mempengaruhi biaya adaptasi yang dikeluarkan oleh petani. Hasil dari penelitian
menunjukkan bahwa tingkat resiko dari perubahan iklim yang dihadapi oleh petani petani
padi di Desa Ciasmara sangat tinggi. Sehingga pilihan jenis adaptasi yang dilakukan petani
di Desa Ciasmara adalah melakukan penambahan input produksi. Sedangkan faktor yang
dapat mempengaruhi biaya adaptasi petani adalah luas lahan dan pengalaman dalam
Bertani. Hasil penelitian juga menunjukkan adanya peningkatan biaya untuk usaha tani,
sedangkan penerimaan sangat rendah.

e. Kerangka Pemikiran

Perubahan iklim sangat berpengaruh terhadap aktivitas produksi pertanian, hal ini
disebabkan karena perubahan iklim memberikan dampak yang buruk bagi pertanian.
Sehingga petani memerlukan strategi untuk mengatasi perubahan iklim. Adapun kerangka
pemikiran dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut:
Perubahan iklim

Menyebabkan hasil produksi pertanian


tidak stabil sehingga masyarakat dunia
perlu melakukan adaptasi untuk
mengatasi perubahan iklim

Strategi Adaptasi

Gambar 2. Kerangka Penelitian


BAB III. METODE PENELITIAN

a. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Indonesia dengan menggunakan data sekunder dalam


bentuk data urut waktu (time series) tahun 2020 yang didapatkan dari berbagai sumber.
Waktu penelitian ini dilakukan pada bulan April 2023-Mei 2023.

b. Objek dan Ruang Lingkup Penelitian

Objek dalam penelitian ini berfokus pada tindakan dan adaptasi terhadap perubahan
iklim. Ruang lingkup penelitian ini adalah memahami perubahan iklim serta
mengidentifikasi dampak dari pengaruh perubahan iklim terhadap produksi pertanian
global.

c. Jenis dan Cara Pengumpulan Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder. Jenis data
beserta sumbernya berasal dari Trade Map, FAO, ICCO, kementerian keuangan dan Badan
Pusat Statistik (BPS). Data yang digunakan berupa data deret waktu (time series) periode
tahunan, yaitu rentang tahun 2020. Selain itu, data juga diperoleh dari skripsi, buku teks,
jurnal, serta artikel internet yang berkaitan dengan penelitian ini.

d. Batasan Variabel

Adapun batasan variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut: Dampak perubahan iklim dan strategi adaptasi terhadap perubahan Iklim.

e. Metode Analisis Data

Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu teknik analisis data
deskriptif kuantitatif. Metode penelitian deskriptif kuantitatif adalah suatu metode yang
bertujuan untuk membuat gambar atau deskriptif tentang suatu keadaan secara objektif
yang menggunakan angka, mulai dari pengumpulan data, penafsiran terhadap data tersebut
serta penampilan dan hasilnya (Arikunto, 2006). Jenis Penelitian ini adalah kuantitatif
dengan menggunakan rancangan penelitian deskriptif observasional. Penelitian digunakan
untuk melihat gambaran dari fenomena, deskripsi kegiatan dilakukan secara sistematis dan
lebih menekankan pada data factual dari pada penyimpulan (Nursalam, 2013).
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

a. Deskripsi Data
Pengertian dari deskripsi data yaitu upaya menampilkan data agar data tersebut
dapat dipaparkan secara baik dan diinterpretasikan secara mudah. Dalam penilitian ini data
yang digunakan adalah data sekunder berupa data time series yang terhimpun dalam Badan
Meteorologi Inggris dan Global Food Security Index.
Berdasarkan uraian diatas, maka dapat diperjelas melalui data yang berhasil
dikumpukan oleh penulis atau peneliti dibawah ini :

Sumber: Badan Meteorologi Inggris, 2021.


Gambar 3. Suhu Bumi

Sumber: Global Food Security Index 2020


Gambar 4. Indeks ketahanan pangan global 2020
b. Analisis Data
1. Suhu Bumi
Naiknya suhu bumi terjadi akibat aktivitas manusia dan industri yang
menghasilkan emisi karbon. Produksi emisi karbon gagal diserap ekosistem alamiah
karena deforestasi dan rusaknya lingkungan sehingga menjadi gas rumah kaca yang
menurunkan peran atmosfer menyerap emisi dan panas matahari. Menurut sejumlah
ilmuwan iklim, suhu global akan terus naik bila tidak ada kebijakan dan tindakan
menurunkan emisi secara drastis. Emisi karbon akan menaikkan suhu bumi. Kenaikan
suhu global yang konstan bisa menyebabkan naiknya permukaan air laut akibat es yang
mencair di kutub utara dan selatan. Bencana iklim pun akan semakin sering terjadi, seperti
banjir bandang, gelombang panas, badai, atau siklon.
Met Office mencatat tahun 2015 adalah tahun terpanas yang pertama kali melebihi
1 derajat C dibandingkan masa praindustri (1800-1900). Pada akhir 2020, sejumlah
ilmuwan di Met Office memperkirakan suhu 2021 antara 0,99C hingga 1,23C atau rata-
rata 1,11C. Berdasarkan data antara Januari-September 2021, suhu 2021 naik sekitar
1,09C. Menurut Dr Doug Smith, ilmuwan iklim di Met Office, kenaikan suhu global sejak
2015 mengungkap fakta lain bahwa ada kenaikan yang bervariasi di belahan dunia.
La Niña sudah masuk dalam prediksi Badan Meteorologi Inggris sehingga prediksi
kenaikan suhu tak sebesar prediksi tahun ini. La Niña membuat bumi mendingin meski
akan tetap berada di atas 1C. Faktor lain yang belum masuk prediksi adalah letusan
gunung api yang membuat suhu bumi 2022 menjadi tidak pasti. Juga produksi
emisi setelah pandemi Covid-19 berakhir. Pada 2020, emisi karbon hanya berkurang 5%
setelah semua pabrik berhenti dan interaksi sosial mandek akibat kebijakan karantina
mencegah penularan virus. Jika tahun depan pandemi berakhir, mesin industri kembali
bekerja, orang kembali bepergian, suhu bumi 2022 kemungkinan naik melebihi perkiraan.

2. Ketahanan pangan
Terpenuhinya kebutuhan pokok berupa pangan bagi setiap individu akan
menentukan ketahanan pangan. Selain itu, keterjangkauan dan ketersediaan bahan pangan
yang dibutuhkan oleh rakyat sangat berpengauh besar terhadap kesejahteraan dan kualitas
sumber daya manusia. Hal itu berpengaruh pada kemampuan, kekuatan dan stabilitas
negara itu sendiri. Juga mempengaruhi tingkat kemajuan, daya saing dan kemampuan
negara untuk bersaing dengan negara lain di dunia. Maka dari itu negara harus memiliki
kemandirian dalam memenuhi kebutuhan pangan pokok dan pangan utama dari dalam
negeri. Jika pangan pokok dan pangan utama bergantung pada negara lain melalui impor
maka bisa membuat nasib negara tergadai pada negara lain. Ketergantungan pada impor
bisa membuka jalan pengaruh asing terhadap politik, kestabilan dan perekonomian serta
moneter, bahkan bisa menjadi penyebab terjadinya krisis. Akibatnya stabilitas, ketahanan
negara serta eksistensi negara sebagai negara yang independen, disini dipertaruhkan.
Pemerintah harus segera mencari jalan keluar dari ancaman kelaparan karena dunia
akan menghadapi kekurangan pangan. Solusinya bisa dengan jalan intensifikasi,
meningkatkan produktivitas dengan lahan yang ada. Sebagaimana diketahui, Tiongkok
yang penduduknya kurang dari 20 persen populasi dunia telah menimbun lebih dari
setengah jagung dunia dan biji-bijian lainnya.
Perusahaan pengolah makanan milik negara, COFCO Group, menjalankan salah
satu pangkalan penimbunan makanan terbesar di Tiongkok, di pelabuhan Dalian, di bagian
timur laut negara itu. Ini menyimpan kacang dan biji-bijian yang dikumpulkan dari dalam
dan luar negeri di 310 silo besar. Dari sana, komoditas didistribusikan ke seluruh Tiongkok
melalui kereta api dan kapal laut.
Bahkan Organisasi Pangan Dunia (Food and Agriculture Organization/ FAO) jauh-
jauh hari sudah mengingatkan akan potensi krisis pangan dunia di masa pandemi Covid-
19. Persoalan pangan ini juga jadi perhatian serius Kementerian Pertahanan (Kemhan).
Kemhan ingin meningkatkan ketahanan pangan guna mengantisipasi munculnya dampak
terburuk dari pandemi.

c. Dampak Perubahan Iklim Terhadap Produksi Pertanian


Perubahan iklim merupakan fenomena global namun dampaknya bersifat lokal dan
regional serta mempengaruhi komunitas dalam intensitas yang berbeda. Kejadian iklim
yang berkaitan dengan curah hujan serta angin ribut memberikan konsekuensi kerusakan
dan peningkatan potensi bencana alam. Musim kemarau juga menjadi musim yang rentan
terhadap kejadian kebakaran hutan. Kebakaran tersebut dimungkinan oleh gesekan ranting
kayu maupun akibat keringnya tanaman yang disebabkan oleh serangan embun upas.
Ketika pertanian hortikultur digalakkan, pada saat kemarau mudah sekali terjadi
kekeringan dan kebakaran. Musim kemarau menjadi titik kekhawatiran petani tentang
biaya produksi. Petani juga perlu mengeluarkan biaya yang lebih besar pada musim hujan.
Pada musim kemarau petani harus menanggung biaya tenaga kerja untuk penyiraman
tanaman karena kurangnya ketersediaan air.
Perubahan iklim yang terjadi saat ini memberikan dampak negatif terhadap
beberapa aspek kehidupan. Munculnya fenomena el nino dan la nina adalah salah satu
akibat dari perubahan iklim yang sekarang ini terjadi. Perubahan iklim tidak hanya
berkaibat pada pemanasan global dan kenaikan air laut, namun juga mengancam
ketahanan pangan karena dapat berdampak buruk bagi sektor pertanian khususnya
terjadinya gagal panen. Sektor pertanian merupakan sektor yang sangat rentan terhadap
perubahan iklim. Perubahan iklim yang terjadi dapat menyebabkan terjadinya gagal panen
akibat kekeringan yang berkepanjangan dan juga akibat banjir yang terjadi yang merusak
tanaman pangan. Akibatnya, produksi pangan mengalami penurunan dan mengancam
ketahanan pangan. Indonesia merupakan salah satu negara yang paling menderita akibat
perubahan iklim. Sebagai negara agraris, tentu sektor pertanian tidak hanya berkontribusi
dalam pemenuhan kebutuhan pangan namun juga berperan penting terhadap pembentukan
Produk Domestik Bruto (PDB) dan juga penyediaan lapangan kerja. Beberapa dampak
yang sangat mungkin terjadi pada sektor pertanian akibat perubahan iklim antara lain
adanya peningkatan organisme penggangu tanaman atau yang biasa disebut dengan hama,
adanya peningkatan kelembapan, adanya peningkatan intensitas kekeringan yang dapat
mengancam kebutuhan irigasi pertanian, kerusakan sumberdaya lahan pertanian akibat
erosi, kegagalan panen yang dapat mengancam ketahanan pangan dan lain sebagainya.
Organisasi pangan dan pertanian dunia atau Food and Agricultural Organisation (FAO)
termasuk pihak yang paling mengkhawatirkan kondisi ini dalam kaitannya dengan
pembangunan pertanian dan ketersediaan pangan.
Sektor pertanian merupakan sektor utama yang menyerap banyak tenaga kerja, baik
secara formal maupun informal. Namun, sektor ini berpotensi sangat sensitif terkena
dampak perubahan iklim karena sektor pertanian bertumpu pada siklus air dan cuaca untuk
menjaga produktivitasnya. Sektor pertanian terdiri atas subsektor
pertanian, perikanan, perkebunan, dan kehutanan. Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO)
menyatakan bahwa salah satu ancaman paling serius terhadap masa depan keberlanjutan
ketahanan pangan adalah implikasi perubahan iklim.
Sejak terjadinya perubahan iklim, peluang munculnya kejadian iklim ekstrem
meningkat. Di sisi lain, manusia tidak dapat mengendalikan perilaku iklim. Oleh karena
itu, secara teknis dan sosial ekonomi, tindakan yang layak ditempuh adalah memperkuat
kemampuan untuk beradaptasi terhadap perubahan iklim. Untuk jangka menengah-
panjang, adaptasi saja tidak cukup. Strategi yang dipandang tepat yaitu
melakukan adaptasi dan mitigasi secara sinergis. Dampak perubahan iklim
terhadap pertanian bersifat langsung dan tidak langsung dan mencakup
aspek biofisika dan sosial ekonomi. Perhatian terbesar dampak perubahan iklim terhadap
sektor pertanian adalah munculnya kekhawatiran dengan kestabilan bahan pangan.
Perubahan iklim akan menyebabkan kekeringan, penurunan air tanah, peningkatan suhu
(pemanasan global), banjir, kekurangan kesuburan tanah, perubahan cuaca, dan lain-lain
yang berisiko gagal panen dan kelaparan. Contohnya pada saat terjadi El Nino pada 1997
yang merusak 426.000 hektare sawah.
Perubahan iklim diyakini akan berdampak buruk terhadap berbagai aspek
kehidupan dan sektor pembangunan, terutama sektor pertanian dan dikhawatirkan akan
mendatangkan masalah baru bagi keberlanjutan produksi pertanian, terutama tanaman
pangan. Pada masa mendatang, pembangunan pertanian akan dihadapkan pada beberapa
masalah serius, yaitu:
1) penurunan produktivitas dan pelandaian produksi yang tentunya membutuhkan
inovasi teknologi untuk mengatasinya,
2) degradasi sumber daya lahan dan air yang mengakibatkan soil sickness, penurunan
tingkat kesuburan, dan pencemaran,
3) variabilitas dan perubahan iklim yang mengakibatkan banjir dan kekeringan,
4) alih fungsi dan fragmentasi lahan pertanian.
Perubahan iklim global berdampak nyata pada produksi tanaman pangan. Secara
global, perubahan iklim diproyeksikan dapat menurunkan produksi tanaman, terutama di
wilayah pertanian yang terletak di lintang rendah akan mengalami dampak negatif.
Dampak negatif tersebut dikarenakan wilayah lintang rendah memiliki suhu udara yang
berada pada batas toleransi tanaman (di bawah 10 derajat celcius dan di atas 29 derajat
celcius). Perubahan iklim merupakan proses alami yang bersifat tren yang terus-menerus
dalam jangka panjang. Oleh karena itu, strategi antisipasi dan penyiapan teknologi adaptasi
merupakan aspek kunci yang harus menjadi rencana strategis Kementerian Pertanian
dalam rangka menyikapi perubahan iklim dan mengembangkan pertanian yang tahan
(resilience) terhadap perubahan iklim. Besarnya dampak perubahan iklim
terhadap pertanian sangat bergantung pada tingkat dan laju perubahan iklim di satu sisi
serta sifat dan kelenturan sumber daya dan sistem produksi pertanian di sisi lain. Untuk itu,
diperlukan berbagai penelitian dan pengkajian tentang perubahan iklim dan dampaknya
terhadap sektor pertanian, baik sumber daya, infrastruktur, maupun sistem usaha
tani/agribisnis dan ketahanan pangan nasional.
Pada sektor pertanian, dampak langsung dan tidak langsung perubahan iklim dapat
dipilah menjadi dua kategori yaitu:
1. Dampak biofisika antara lain mencakup: (a) efek fisiologis pada tanaman, hutan,
dan ternak (kuantitas dan kualitas), (b) perubahan lahan, dan sumberdaya lahan dan
air (kuantitas dan kualitas), (c) meningkatnya gangguan gulma dan penyakit, (d)
pergeseran spasial dan temporal (a)-(c), (e) peningkatan permukaan air laut dan
salinitas, (f) perubahan habitat biota laut, termasuk sumberdaya perikanan laut.
2. Dampak sosial ekonomi antara lain mencakup: (a) turunnya produktivitas dan
produksi, (b) penurunan marginal GDP sektor pertanian, (c) fluktuasi harga di
pasar internasional, (d) perubahan distribusi geografis rejim perdagangan,
(e) meningkatnya jumlah penduduk rawan pangan, dan (f) migrasi dan civil unrest.

Meskipun secara teknis sektor pertanian merupakan salah satu andalan


aksi mitigasi perubahan iklim, namun sektor ini juga merupakan sektor paling rentan
terhadap perubahan iklim. Oleh karena sektor ini merupakan penghasil pangan maka
ketahanan pangan rawan terhadap perubahan iklim. Dalam konteks agregat, dampak
perubahan iklim terhadap produksi pangan terjadi melalui turunnya produktivitas dan atau
luas panen. Produktivitas turun karena meningkatnya cekaman lingkungan (variabilitas
iklim yang lebih besar) dan meningkatnya intensitas gangguan OPT mengakibatkan
pertumbuhan vegetatif dan generatif tanaman tidak optimal. Penurunan luas panen terkait
dengan meningkatnya persentase puso yang terjadi akibat kekeringan, banjir, ataupun
gangguan OPT. Dalam jangka panjang, turunnya luas panen juga merupakan akibat dari
penyusutan lahan pertanian akibat naiknya permukaan air laut. Dampak perubahan iklim
terhadap produksi pangan terjadi melalui turunnya produktivitas dan luas panen. Turunnya
produktivitas terkait dengan kondisi iklim makro dan iklim mikro yang kurang kondusif
terhadap pertumbuhan vegetatif dan generatif tanaman (cekaman air dan suhu) dan
meningkatnya organisme pengganggu tanaman. Penurunan luas panen terkait dengan puso
yang terjadi akibat kekeringan dan banjir serta hilangnya sebagian lahan pertanian akibat
naiknya paras muka air laut.

d. Strategi Adaptasi Terhadap Perubahan Iklim


Meskipun bentuk ataupun tipenya bervariasi namun sasaran adaptasi
terhadap perubahan iklim pada prinsipnya adalah meminimalkan kerentanan
(vulnerability), membangun resiliensi, serta mengembangkan kemampuan memanfaatkan
kesempatan yang menguntungkan dari situasi dan kondisi yang ditimbulkan oleh
perubahan iklim. Kerentanan adalah derajat mudah tidaknya terkenai, rusak, merugi, atau
melemah eksistensinya. Berbeda dengan kerentanan, resiliensi mengacu pada kemampuan
merancang untuk bertahan, pulih, atau bahkan berkembang dari kondisi yang tercipta dari
akibat yang muncul terkait dengan perubahan iklim. Kata kunci untuk menjawab tantangan
tersebut adalah mengupayakan agar kerentanan petani terhadap kondisi iklim yang kurang
kondusif dapat dikurangi. Dengan kata lain, petani harus dikondisikan menjadi lebih tahan,
tangguh, dan lentur (resilience) untuk menghadapi perubahan iklim.
Dalam Lasco et al. (2011) dinyatakan bahwa secara umum tingkat kerentanan
merupakan fungsi dari tingkat paparan (exposure), sensitivitas, dan kapasitas adaptasi
(adaptive capacity including adaptation measures). Dalam jangka pendek, tingkat paparan
dan sensitivitas sistem yang terkena paparan tersebut dapat diasumsikan tidak mudah
diubah (given) sehingga fokus utama dalam strategi adaptasi adalah meningkatkan
kapasitas adaptif petani (Lasco et al., 2011). Secara teoritis, jika strategi peningkatan
kapasitas adaptif itu tepat maka kondusif pula untuk mengurangi derajat sensitivitas
sehingga merupakan modal dasar untuk pengembangan kapasitas adaptasi jangka
menengah-panjang.
Adaptasi terhadap perubahan iklim mengacu pada penyesuaian yang dilakukan
sebagai respon terhadap pengaruh yang timbul akibat kondisi iklim aktual atau yang
diperkirakan akan terjadi agar mampu bertahan dan jika memungkinkan dapat
memanfaatkan kesempatan untuk berkembang. Terdapat berbagai tipe adaptasi
berdasarkan sifatnya: adaptasi autonomous vs terencana, adaptasi antisipatif vs reaktif, dan
adaptasi individual vs kolektif (masyarakat). Meskipun berbeda-beda namun sasaran
umumnya adalah mengarah pada minimalisasi risiko akibat iklim, dalam arti
meningkatkan resiliensi dan mengurangi kerentanan terhadap kondisi iklim yang tidak
kondusif.
Kapasitas adaptasi merupakan resultante dari kinerja unsur-unsur pembentuknya.
Identifikasi tingkat keragaman kapasitas adaptasi didekati melalui identifikasi unsur- unsur
pembentuknya yang meliputi: (1) penguasaan pengetahuan di bidang usahatani, utamanya
yang terkait dengan kiat-kiat menghadapi efek perubahan iklim; (2) penguasaan teknologi
usahatani yang lebih produktif dan adaptif terhadap variabilitas iklim; (3) keterampilan
manajerial usahatani; (4) kemampuan mengakses informasi iklim; (5) kemampuan
mengakses pasar masukan dan keluaran usahatani; (6) tersedianya kelembagaan ”risk
sharing” di tingkat petani, khususnya yang terkait dengan risiko iklim; (7) tersedianya
infrastruktur yang kondusif untuk mengurangi potensi dampak perubahan iklim; (8)
tersedianya kelembagaan yang efektif untuk mengatasi bencana akibat iklim ekstrem dan
mempercepat proses pemulihannya; (9) bijakan pemerintah yang secara khusus menangani
dampak bencana iklim ekstrem dan proses pemulihannya; (10) kebijakan perlindungan
usaha di bidang usahatani pangan; dan (11) kebijakan perlindungan aset-aset penting dan
sumberdaya pertanian pangan strategis.
Mengacu pada FAO 2011, strategi peningkatan kapasitas adaptasi petani melalui
pendekatan planned adaptation harus tetap mempertimbangkan autonomous adaptation
yang telah berkembang pada komunitas petani. Simpul-simpul kritisnya adalah sebagai
berikut: (1) fokus pada ketahanan pangan; (2) pengarusutamaan (mainstreaming) adaptasi
terhadap perubahan iklim dalam pembangunan (pertanian); (3) sifatnya adalah demand
driven yang berbasis sumberdaya lokal; (4) aksi adaptasi harus disinergikan dengan
mitigasi; (5) teknologinya berbasis pendekatan ekosistem; (6) gerakan sosialnya berbasis
pada partisipasi dan perlu memperhatikan aspek gender; (7) sistem koordinasinya berbasis
kemitraan yang konteksnya bersifat lintas wilayah dan bervisi jangka panjang.
BAB V. KESIMPULAN

1. Secara global, perubahan iklim diproyeksikan dapat menurunkan produksi


tanaman, terutama di wilayah pertanian yang terletak di lintang rendah akan
mengalami dampak negatif. Turunnya produktivitas terkait dengan kondisi iklim
makro dan iklim mikro yang kurang kondusif terhadap pertumbuhan vegetatif dan
generatif tanaman (cekaman air dan suhu) dan meningkatnya organisme
pengganggu tanaman. Penurunan luas panen terkait dengan puso yang terjadi
akibat kekeringan.
2. Dalam strategi adaptasi terhadap perubahan iklim, identifikasi tingkat keragaman
kapasitas adaptasi didekati melalui identifikasi unsur- unsur pembentuknya yang
meliputi: (1) penguasaan pengetahuan di bidang usahatani, utamanya yang terkait
dengan kiat-kiat menghadapi efek perubahan iklim; (2) penguasaan teknologi
usahatani yang lebih produktif dan adaptif terhadap variabilitas iklim; (3)
keterampilan manajerial usahatani; (4) kemampuan mengakses informasi iklim; (5)
kemampuan mengakses pasar masukan dan keluaran usahatani; (6) tersedianya
kelembagaan ”risk sharing” di tingkat petani, khususnya yang terkait dengan risiko
iklim; (7) tersedianya infrastruktur yang kondusif untuk mengurangi potensi
dampak perubahan iklim; (8) tersedianya kelembagaan yang efektif untuk
mengatasi bencana akibat iklim ekstrem dan mempercepat proses pemulihannya;
(9) bijakan pemerintah yang secara khusus menangani dampak bencana iklim
ekstrem dan proses pemulihannya; (10) kebijakan perlindungan usaha di bidang
usahatani pangan; dan (11) kebijakan perlindungan aset-aset penting dan
sumberdaya pertanian pangan strategis.
DAFTAR PUSTAKA

Atmaja, 2017. Analisis dampak perubahan iklim terhadap produksi tanaman pangan pada
lahan kering dan rancang bangun sistem informasinya. Jurnal Penelitian Agroklimat
dan Hidrologi Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Bogor, 2(2), pp.1–15.
Bassino, J.P., Gimet, C. and Quefelec, S., 2018. No Title. Econ. Bull., 1(1), pp.1–15
KLH, 2014. Perubahan iklim global. Jakarta: Kementerian Lingkungan Hidup.
Kusumastuti A. 2015. Modal sosial dan mekanisme adaptasi masyarakat pedesaan dalam
pengelolaan dan pembangunan infrastruktur. MASYARAKAT: Jurnal Sosiologi.
20(1): 81-97.
Boer, R. 2018. Ancaman Perubahan Iklim Global terhadap Ketahanan Pangan Indonesia
(The Threats of Global Climate Change on Food Security in Indonesia). Jurnal
Agrimedia. Vol. 15. No. 2.
Dasmani, I., Darfor, K.N. and Karakara, A.A.-W., 2020. Farmers’ choice of adaptation
strategies towards weather variability: Empirical evidence from the three
agroecological zones in Ghana. Cogent Social Sciences, 6(1), pp.1–17
Oonwichai, S. and Shrestha, S., et al. ., 2019. Evaluation of climate change impacts and
adaptation strategies on rainfed rice production in Songkhram River Basin, Thailand.
Sci. Total Environ., 2(1), pp.189–201.
Pelly, Usman. 1998. Urbanisasi, dan Adaptasi ( Peranan Misi Budaya Minangkabau dan
Mandailing ). PT Pustaka LP3S. Jakarta.
Putri, E.I.K., Pandjaitan, N.K., Dharmawan, A.H. and Amalia2, R., 2016. Dampak
Variabilitas Iklim dan Mekanisme Adaptatif Masyarakat Petani di Kawasan Beriklim
Kring (Kasus Desa Boronubaen Dan Desa Tanbaen Timur Kabupaten Timor Tengah
Utara, Nusa Tenggara Timur). Sodality: Jurnal Sosiologi Pedesaan, 1(2), pp.152–157
Robet. 2015. Climate Change and Food Sovereignty in Indonesia. Review Product and
Poverty. Jurnal Sosio Informa Vol. 1, No. 03. Hal: 294-296.
Qumilailah, Rodliah, Putri and Rizal, B., 2015. Dampak Variabilitas Cuaca Terhadap Jenis
Adaptasi Dan Pendapatan Usahatani Padi (Studi Kasus Desa Ciasmara Kecamatan
Pamijahan Kabupaten Bogor). Jurnal Klimatologi, 2(1), pp.1–15.
Ruminta & Handoko. (2016). Vurnerability Assessment of Climate Change on Agriculture
Sector in the South Sumatra Province, Indonesia. Asian Journal of Crop Science. Vol.
08. No. 2. Hal: 31–42.
Sugihardjo, 2017. Model adaptasi ekologi petani sebagai strategi pengelolaan usahatani
akibat perubahan iklim (kasus di daerah aliran sungai cemoro, Jawa Tengah,
Indonesia). Jurnal Ekologi, 1(1), pp.1–14
Tati N., Handoko, dan Ruminta. 2018. Indication of Climate Change and Its Impact on
Rice Production in Indonesia (Case Study: South Sumatera and Great Malang). Jurnal
Agro. Fakultas MIPA. Institut Pertanian Bogor. Vol. 05. No. 1. Hal:49-50.
Schneiders AA. 1960. Personal Adjustment and Mental Health. New York (US): Holt,
Rinehart and Winston Inc.

Anda mungkin juga menyukai