DI SUSUN
KELOMPOK 5 KELAS C :
Abstract
The transfer of sentenced person between countries is one type of international cooperation that
is currently being practiced a lot. This is because the transfer of sentenced person between
countries is considered to provide protection of human rights (HAM) by carrying out the
rehabilitation process to inmates within the territory of their own country. There are several
requests to transfer the sentenced person to the Indonesian government, but Indonesia hasnever
practiced the transfer of the sentenced person between countries because of the absence of a rule
of law governing the process of transferring the sentenced person at the legal system in
Indonesia. This article will examining the concept of cooperation of the transfer of sentenced
person between countries in the international world both from the basic principles that will be
used in the implementation of cooperation between the transfer of prisoners between countries
and the legal basis or agreement that will be used to carry out the transfer of sentenced person
between countries. This article also aims to analyze the legal policy of the Government and the
Republic of Indonesia Parliament in making the regulations relating tocooperation in the
transfer of prisoners between countries. After the discussion it was known that the practice of
transfer the sentenced persons between countries was not enough to be widely practiced because
there were not many conventions thatraised this cooperation method and there were not many
benefits felt by countries in the international community. The regulation of the transfer of
prisoners between countries will be better if set forth in separate laws, because an international
collaboration between countries must have a strong and binding foundation that must be set
forth in a law and the protection of human rights in the practice of displacement is easier to be
controlled.
Keywords: transfer of sentenced person, rehabilitation, international collaboration, Indonesia
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perlindungan bagi setiap warga negara merupakan kewajiban yang harus dipenuhi
oleh suatu negara. Begitu juga negara Indonesia yang wajib melindungi setiap warga
negaranya dimanapun berada. Hal ini sesuai dengan pembukaan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945) Alinea ke 4 (empat).
Lebih lanjut perlindungan Negara terhadap warga negaranya berlaku dimanapun dia
berada diseluruh penjuru dunia karena perlindungan yang diberikan merupakan salah satu
hak waga negara yang diejewantakan dalam batang tubuh UUD NRI tahun 1954 Pasal
28D ayat (1) yang menyatakan bahwa “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan dihadapan hukum”. Oleh
karena itu dengan adanya perlindngan WNI dimanapun dia berada, negara bukan hanya
memenui kewajibannya namun juga telah memenuhi hak asasi manusia warga negara
tersebut.
Pada dasarnya seseorang yang berada dalam wilayah suatu negara secara otomatis
harus tunduk pada ketentuan-ketentuan yang berlaku didalam wilayah negara tersebut.
Namun, meskipun warga negara asing harus tunduk pada ketentuan yang berlaku di
negara tempat ia berada, mereka tetap berada dalam perlindungan negara asalnya. Ketika
warga negara dari suatu negara berada didalam wilayah yang termasuk kedalam wilayah
negara lain, negara asal dari negara tersebut tentunya tidak dapat dengan mudah
memberikan perlindungan kepada warga negaranya. Negara asalnya itu tentunya tidak
dapat sekehendak hatinya dalam berinteraksi dengan warga negaranya tersebut. Hal ini
disebabkan adanya kedaulatan dari negara lain itu tidak boleh dilanggar oleh negara asal
orang tersebut, meskipun hal itu dalam rangka memberikan perlindungan bagi warga
negaranya. Akhir-akhir ini jumlah keterlibatan WNI diluar negeri dalam proses hukum
mengalami peningkatan. Kementrian luar negeri RI mencatat terdapat sejumlah 4.415
orang WNI yang dipenjara diluar negeri, sebagian besar dihukum di Malaysia dengan
kasus terbanyak pelanggaran imigrasi dan perkelahian, sekitar 283 orang WNI ditahan di
Australia karena kasus people smuggling, narkoba dan keimigrasian. Selain Malaysia dan
Australia negara-negara lainnya seperti Brunei, Filiphina, dan Thailand juga
memenjarakan WNI yang terlibat kasus hukum di negaranya, jumlah mereka dimasing-
masing negara tersebut sekitar 40 orang. Sebaliknya, warga negara asing (WNA) banyak
juga yang terlibat kasus hukum di Indonesia. Data statistik dari direkrotat jenderal
pemasyarakatan, menujukan narapida WNI yang ada di Indonesia pertanggal 1 Maret
2013 adalah sejumlah 682 orang. Narapidana WNA terbanyak berasal dari Malaysia yaitu
sejumlah 144 orang, sedangkan jenis tindak pidana yang paling banyak dilakukan oleh
WNA di Indonesia adalah tindak pidana narkotika. Kondisi diatas telah mendorong
sejumlah negara mengajukan tawaran kerjasama dengan Indonesia untuk memindahkan
warga negaranya yang dihukum di Indonesia agar menjalani pidana di negara asalnya.
Kerjasama tersebut dalam hukum internasional dikenal dengan transfer of sentenced
person (TSP). TSP pertama kali dituangkan dalam sebuah rekomendasi pada Seventh
United Nation Congress On The Prevention of Crime and The Treatment of Crime
Offenders 1985. Kongres ini berhasil mengadopsi pedoman terkait “perjanjian dan
rekomendasi terkait denga pemindahan tahanan”. Setelah itu pedoman terkait dengan
perjanjian internasional dan ketentuan yang dapat digunakan seabgai landasan kerjasama
TSP diperbaiki dalam kongres PBB tentang pencegahan tindak pidana dan perlakuan
terhadap pelaku kejahatan sesudahnya. Sealain, dalam bentuk rekomendasi kerjsama TSP
juga diperkenalkan pada Konvensi PBB Menentang Kejahatan Transnasional
Terorganisasi Tahun 2000 yang tekah diratifikasi dengan UU RI Nomor 5 Tahun 2009,
dan Konvensi PBB Antikorupsi Tahun 2003. Saat ini usulan kerjasama pemindahan
narapidana antar negara datang dari negara Malaysia, Thailand, China/Hongkong,
Filiphina, Perancis, Nigeria, Iran, Bulgaria, Romania, Brazil, Australia, Suriah, dan
Inggris. Tawaran tersebut dapat dimaklumi karena pertimbangan permohonan tersebut
diajukan dengan alasan kemanusian, karena praktiknya akan ditemui permasalahan yang
menghambat tercapainya tujuan pemidanaan. Hambatan dan kendala dimaksud antara
lain meliputi adanya perbedaan bahasa, kebudayaan, agama, adat istiadat maupun
kebiasaan. Hambatan dan kendala dimaksud dapat menghambat proses rehabilitasi,
pelatih kejahatan menjalani pidana di wilayah negaranya sendiri maka kendala-kendalan
tersebut dapat dihilangkan sehingga proses reintegrasi sosial mereka akan jadi lebih
mudah. Dengan menjalani hukuman di negaranya sendiri diharapkan narapidana tersebut
menjadi lebih dekat dengan lingkungan sosial budayanya sendiri sehingga berdampak
pada perkembangan fisik dan mentalnya yang menjadi lebih baik dibandingkan si
narapidana menjalani hukumannya di negara asing.
UU No.12 Tahun 1995 tentang permasyarakatan (UU Permasyarakatan) hanya
mengatur pemindahan narapidana dari suatu lembaga permasyarakan lain. Terkait
dengan pemindahan narapidana antar negara tidak ada pengaturannya dalam hukum
positif. Hal ini bisa menyebabkan tidak adanya dasar hukum bagi Indonesia ketika akan
membuat perjanjian pemindahan narapidana antar negara dengan negara lain. Permintaan
untuk melakukan pemindahan narapidana antarnegara pada pemerintahan Indonesia,
menjadi isu yang menarik diperbincangkan pada tahun beberapa tahun terakhir.
Perbincangan terhadap isu pemindahan narapidana antarnegara menjadi semakin menarik
ketika Pemerintah Australia pada tahun 2011 mengajukan permohonan pemindahan atas
Schapelle R. Corby yang terpidana 20 (dua puluh) tahun penjara atas kepemilikan
narkotika di Indonesia. Banyak pihak menyatakan bahwa permohonan itu pada dasarnya
tidak dapat dilaksanakan karena Indonesia belum memiliki ketentuan hukum yang
memadai untuk melaksanakan kerjasama permindahan narapidana antarnegara. Ketiadaan
payung hukum yang mengatur mengenai proses pemindahan narapidana dalam sistem
hukum di Indonesia menjada kendala dalam menindaklanjuti tawaran kerjasama dari
negara lain dalam bentuk transfer narapidana internasional. Sedangkan Indonesia sendiri
mempunyai kepentingan yang besar mengingat saat ini banyak WNI yang dijatuhi pidana
dan sedang menjalankan pidananya di luar negeri. Untuk itu keberadan payung hukum
dalam pemindahan narapidana antarnegara dapat dipandang sebagai hal yang mendesak
dalam rangka memberikan perlindungan hukum secara menyeluruh untuk narapidana
WNI yang menjalani pidananya di Indonesia maupun narapidana WNI yang menjalani
pidana di luar negeri. Menyikapi hal tersebut, Kemenkumham telah melakukan kajian
atas permasalahan pemindahan narapidana antarnegara Kemenkumham juga telah
berhasil menyusun Rancangan Undang-Undang tentang pemindahan narapidana
antarnegara (RUU tentang pemindahan narapidana antarnegara) yang dilengkapi dengan
naskah akademik atas Rancangan Undang-Undang tentang pemindahan narapidana
antarnegara. Sebagai langkah lanjutan, Pemerintah Indonesia dan Dewan Perwakilan
Rakyat RI (DPR RI) telah menyetujui RUU tentang pemindahan narapidana antarnegara
sebagai salah satu RUU dalam Program legislasi nasional (prolegnas) jangka panjang
2014-2019.
Walaupun RUU pemindahan narapidana antarnegara telah ada dalam Prolegnas
Jangka Panjang 2014-2019, nampaknya DPR maupun pemerintah belum menjadikan
RUU pemindahan narapidana antarnegara tersebut sebagai prioritas. Karena sampai tahun
2018 belum ada langkah pembahasan mengenai RUU Pemindahan narapidana
antarnegara yang disiapkan oleh pemerintah dalam hal ini Direktrorat telah selesai pada
tahun 2015.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka dapat identifikasi
masalah sebagai berikut :
1. Permasalahan apa yang dihadapi terkait dengan penyelenggaraan pemindahan
narapidana antarnegara dunia?
2. Mengapa arah politik hukum yang terkait akan pengaturan pemindahan narapidana
antarnegara?
C. Metode Penelitian
Dengan berbasis metode penelitian hukum maka penyusunan Naskah Akademik
Rancangan Undang-Undang tentang Pemindahan Narapidana Antarnegara ini
menggunakan metode yuridis normatif. Pendekatan yuridis normatif dilakukan dengan
cara menelaah dan menginterpretasikan hal-hal yang yang bersifat teoritis yang
menyangkut asas, konsepsi, doktrin dan norma hukum baik yang bersifat internasional
maupun nasional yang berkaitan dengan praktik dan pengaturan mengenai pemindahan
narapidana antarnegara agar dapat melihat arah politik hukum terkait dengan pengaturan
tentang pemindahan narapidana.
BAB II
PENDAHULUAN
BUKU
Mahfud, Moh. (2010). Politik Hukum di Indonesia, edisi revisi cetakan ke-3. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada.
Michal Plachta. (1993). Transfer of Prisoners under International Instruments and Domestic
Legislation: A Comparative Study, Jerman: Max Planck Institute for Foreign and
International Criminal Law. hal. 154-167.
Plachta, Michal. (1993). Transfer of Prisoners under International Instruments and Domestic
Legislation: A Comparative Study. Jerman: Max Planck Institute for Foreign and
International Criminal Law.
Pleic. Maria. Challenges in Cross-Border Transfer of Prisoners: EU Framework and Croatian
Perspective. EU and Comparative Law Issues and Challenges Series – Issue 2. Faculty of
Law. Josip Juraj Strossmayer University of Osijek Publisher.
Pratomo, Eddy. (2016). Hukum Perjanjian Internasional Dinamika dan Tinjauan Kritis
Terhadap Politik Hukum Indonesia. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo.
Suryokusumo, Sumaryo. (2008). Hukum Perjanjian Internasional. Jakarta: PT. Tatanusa.
Syaukani, Imam dan Thohari, A. Ahsin. (2007). Dasardasar Politik Hukum. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada.
UNODC. (2012). Handbook on The International of Sentenced Persons. United Nation
Publishing.
Zulfa Eva Achjani dan Adji, Indriyanto Seno. (2011). Pergeseran Paradigma Pemidanaan.
Bandung: Lubuk Agung.
JURNAL
Martufi. Adriano. (2018). Assessing the Resilience of ‘Social Rehabilitation’ as a Rationale for
Transfer: A Commentary on the Aims of Framework Decision 2008/909/JHA. New Journal
of European Criminal Law. Vol. 9 (1).
Mujuzi. Jamil Ddamulira. (2013). Analysing the Human Rights Issues Relating to the Transfer
of Sentenced Persons between Hong Kong and Others Countries. The Chinese Journal of
Comparative Law. Vol. 1 No.2.
Wulansari. Eka Martiana. (2014). Kerjasama Internasional dalam Perpindahan Narapidana
(Transfer of Sentenced Person). Jurnal Rechtsvinding online. Badan Pembinaan Hukum
Nasional. Jakarta. September.
Suryokusumo, Sumaryo. “Aspek Moral dan Etika dalam Penegakan Hukum Internasional.”
Jurnal Hukum Internasional UNPAD. Vol. 2 No.2. Bandung: Bagian Hukum Internasional
Fakultas Hukum UNPAD, Agustus 2003.
Lukashuk, I. I. “The Principle Pacta Sun Servanda and The Nature of The Obligation Under
International Law”. American Journal of International Law. Vol. 83 No. 3. Juli, 1989.
Situmorang, Victorio H., R. Ham, and J. H. R. S. Kav. "Lembaga Pemasyarakatan sebagai
Bagian dari Penegakan Hukum." Jurnal Ilmiah Kebijakan Hukum 13.1 (2019): 85.
Haryono. “Optimalisasi Pelaksanaan Tugas Dan Fungsi Lapas Terbuka Dalam Proses Asimilasi
Narapidana.” Jurnal Ilmiah Kebijakan Hukum 12, no. 3 (2018): 295–312.
Al Akbar, Kukuh, and Mitro Subroto. "Model Pembinaan Narapidana Berbasis Masyarakat
(Community Based Corrections) Dalam Sistem Peradilan Pidana." Jurnal Pendidikan
Tambusai 6.1 (2022): 8289-8300.
Firdaus, Insan. "Harmonisasi Undang-Undang Narkotika Dengan Undang-Undang
Pemasyarakatan Terkait Rehabilitasi Narkotika Bagi Warga Binaan
Pemasyarakatan." Jurnal Penelitian Hukum De Jure 21.1 (2021): 141-160.
Sitepu, Desy Kartina Caronina. "Pemindahan Pelaku Tindak Pidana suatu Negara ke Negara
Lain." Jurnal Ilmiah Advokasi 6.1 (2018): 1-15.
Hidayatun, Siti, and Yeni Widowaty. "Konsep Rehabilitasi Bagi Pengguna Narkotika yang
Berkeadilan." Jurnal penegakan hukum dan keadilan 1.2 (2020).
Soge, Markus Marselinus, and Rikson Sitorus. "Kajian Hukum Progresif Terhadap Fungsi
Pemasyarakatan Dalam Rancangan Undang-Undang Pemasyarakatan." Legacy: Jurnal
Hukum Dan Perundang-Undangan 2.2 (2022): 79-101.