Anda di halaman 1dari 4

Mata Kuliah :Sosiologi Pertanian

Program Studi : Agribisnis

CONTOH KASUS KETIDAKMANDIRIAN PETANI DALAM PENGAMBILAN


KEPUTUSAN
(Kasus Petani di Desa Sukaharja – Kabupaten Bogor)

Kemandirian petani dalam daya saing untuk menghadapi era globalisasi sangat
dibutuhkan, hal ini berkaitan dengan kemampuan mereka mengelola usaha taninya untuk
menjamin mutu produk dan keberlanjutan usahataninya. Menghadapi sistem persaingan
perdagangan dunia, sangat penting untuk mempersiapkan petani dalam mengimplementasikan
sistem perdagangan modern dengan memperhatikan kualitas produk dan memberikan
kepuasan yang optimal bagi konsumen pasar agar dapat bersaing dengan produk impor.
Slamet (1995) menekankan pentingnya mengarahkan pertumbuhan dan kemandirian petani
agar kuat dan mandiri untuk mencapai segala sesuatu yang dibutuhkan.
Petani di Desa Sukaharja Kabupaten Bogor telah lama menekuni usahatani, namun
masih jauh dari kategori petani yang mandiri. Ketidakpastian dalam berusahatani
menyebabkan sebagian kecil petani di Desa Sukaharja Kabupaten Bogor beralih dari petani
menjadi pengrajin. Akibatnya, meningkatkan kemandirian petani dalam pengambilan
keputusan sangat penting untuk keberlanjutan usahatani mereka.

Oleh karena itu, pada kesempatan kali ini saya akan membahas kasus yang terjadi di
Desa Sukaharja Kabupaten Bogor mengenai ketidakmandirian petani dalam pengambilan
keputusan untuk keberlanjutan usahatani. Kemandirian petani dalam pengambilan keputusan
usahatani merupakan suatu kondisi petani untuk mampu dan bebas menentukan kegiatan
yang akan dilakukan dalam usahataninya. Terdapat beberapa karakteristik sosial petani untuk
melihat kemandirian petani diantaranya adalah :
1. Pendidikan Formal
Pendidikan memudahkan petani dan organisasi masyarakat untuk memperoleh
pengetahuan berharga dari berbagai sumber yang dapat memberikan nilai tambah
(add value) bagi petani itu sendiri, yang dapat digunakan untuk menentukan
keputusan terbaik dalam kegiatan usaha tani. Petani di Desa Sukaharja memiliki
tingkat pendidikan formal yang rendah, menandakan rendahnya kualitas sumber daya
manusia petani. Padahal melalui Pendidikan didapatkan tambahan wawasan dan
pengalaman belajar sebagai bekal dalam hidup, termasuk bekal untuk menjalankan
usahatani dengan baik. Sebagian besar sekitar 56,7% petani di Desa Sukaharja
memiliki Pendidikan di bawah 7 tahun.
2. Pengalaman Berusahatani
Pengalaman berusahatani adalah lamanya waktu (tahun) petani dalam berusahatani.
Pengalaman berusahatani memiliki peran penting bagi petani dalam membuat
keputusan yang terbaik dalam berusahatani. Kisaran pengalaman petani di Desa
Sukaharja adalah 1-20 tahun dengan rata-rata pengalaman 9,3 tahun. Para petani telah
memiliki bekal yang relatif cukup lama untuk menekuni profesi sebagai petani dengan
proses pembelajaran petani diperoleh dari orang tuanya secara turun temurun.
3. Keaktifan Mencari Informasi
Frekuensi pencarian informasi yang relevan dengan kegiatan pertanian oleh petani
disebut sebagai keaktifan mencari informasi seperti informasi tentang bibit/benih,
teknik budidaya, pupuk, dan harga. Informasi sangat diperlukan untuk
mempertahankan dan meningkatkan kualitas kegiatan usahatani. Keaktifan petani di
Desa Sukaharja dalam mencari informasi berada pada skor: 1,3. Kurangnya keaktifan
petani untuk memperoleh pengetahuan menunjukkan inovasi pertanian yang 'buruk'
dan kurangnya kemajuan pertanian di dunia yang berubah dengan cepat.
4. Luas Penguasaan Lahan Pertanian
Lahan pertanian yang dimiliki petani merupakan modal utama mereka dalam
berusahatani dan sangat mempengaruhi kemandirian mereka dalam mengambil
keputusan terbaik untuk pengembangan dan keberlanjutan usahatani. Sebagian besar
petani (53,3%) di Desa Sukaharja menggarap lahan kurang dari satu hektar, sisanya
(46,7%) juga mempunyai lahan ‘hanya’ satu hektar.
5. Keterlibatan dalam Kelompoktani
Keterlibatan dalam kelompok tani merupakan frekuensi kehadiran petani dalam
pertemuan kelompok tani. Keterlibatan petani akan mendapatkan keuntungan dari
kegiatan tersebut sebagai metode untuk berinteraksi, berkomunikasi, belajar satu sama
lain, dan bertukar pengalaman dalam kelompok tani, dan petani akan mendapatkan
keuntungan dari kegiatan ini sebagai sarana untuk mendukung usaha pertanian
mereka. Keterlibatan petani di Desa Sukaharja dalam kelompoktani masih rendah,
hanya sekitar
20% petani yang mengikuti kegiatan kelompoktani. Semestinya petani terlibat aktif
dalam kelompoktani, sehingga kelompoktani menjadi sarana belajar bagi para petani.
6. Interaksi dengan Penyuluh
Interaksi dengan penyuluh adalah jumlah interaksi antara petani dan penyuluh untuk
memperoleh informasi tentang usahatani. Petani di Desa Sukaharja masih rendah
berinteraksi dengan penyuluh, sejumlah besar 63,3% petani mengatakan tidak pernah
berinteraksi dengan penyuluh.
Kemandirian petani dalam pengambilan keputusan untuk keberlanjutan usahatani
dapat dilihat dari beberapa aspek diantaranya adalah :
1. Pengelolaan Keuangan
Kemandirian petani dalam pengambilan keputusan pengelolaan keuangan berada
pada kategori rendah dengan skor: 1,2. Mayoritas (83,3%) petani tidak melakukan
analisis usaha dan kurang mampu menentukan penerimaan dan pengeluaran kegiatan
usahatani. Keberhasilan usahatani yang kemudian menentukan keberlanjutan
usahatani, memerlukan pengelolaan keuangan yang teratur dan tercatat. Menurut
Slamet (2003),
menyebutkan bahwa pengelolaan keuangan usahatani adalah pengimplementasian
peran petani dalam mengelola usahataninya.
2. Pemilihan Komoditas
Kemandirian petani dalam pengambilan keputusan pemilihan komoditas tergolong
rendah dengan skor: 1,4. Mayoritas petani (60%) memilih jenis komoditas yang
ditanam tidak berpedoman pada hukum permintaan dan penerimaan, melainkan pada
kebiasaan petani dan mengikuti komoditas yang ditanam orang lain. Temuan ini
sejalan dengan penelitian yang dikemukakan oleh Slamet (2003) bahwa banyak
petani yang menggantungkan keputusannya hanya pada pengalaman atau tradisi.
Kualitas keputusan yang diambil oleh petani dalam berusahatani sangat penting
karena
menentukan nasib keberlanjutan usahatani dan nasib keluarga petani. Petani harus
membekali diri untuk membuat keputusan terbaik. Menurut Slamet (2003), untuk
mengambil keputusan yang benar/baik diperlukan pula: informasi, pengetahuan,
wawasan, keterampilan, dan keberanian.
3. Penanganan Hasil
Selanjutnya kemandirian petani dalam pengambilan keputusan dapat dilihat dari aspek
penanganan hasil. Dari aspek ini kemandirian petani dalam pengambilan keputusan
berada pada kategori rendah dengan skor: 1. Mayoritas (80%) petani tidak melakukan
perlakuan pada produk usahataninya. Petani langsung menjual hasil pertaniannya
tanpa melakukan pencucian, penyortiran, dan pengelompokan (sorting and grading),
bahkan ada yang menjual saat masih di lahan serta ada juga tengkulak yang
memanennya langsung.
4. Pemasaran
Kemandirian petani dalam pengambilan keputusan pemasaran berada pada kategori
rendah yaitu dengan skor: 1,3. Petani “terjebak” karena harus menjual kepada
pengepul dan tidak punya pilihan untuk menjual kepada pihak lain. Hal ini karena
akses petani terhadap informasi tentang harga hasil pertanian di tempat lain terbatas.
Petani tidak mengetahui secara pasti mengenai perbandingan harga panen mereka di
tempat lain, terutama harga di tingkat konsumen akhir. Harga ditentukan oleh
pedagang pengumpul, dan petani cenderung tidak memiliki pilihan lain untuk menjual
dengan harga lebih tinggi.

Karakteristik sosial tersebut memiliki hubungan dengan kemandirian petani dalam


pengambilan keputusan untuk keberlanjutan usahatani. Keaktifan mencari informasi
berhubungan positif dengan kemandirian petani dalam pengambilan keputusan untuk
keberlanjutan usahatani. Dapat diartikan bahwa semakin tinggi frekuensi petani dalam
mencari informasi yang berhubungan dengan usahatani maka semakin tinggi pula tingkat
kemandirian petani dalam pengambilan keputusan untuk keberlanjutan usahatani. Keaktifan
petani dalam mengakses informasi, melakukan komunikasi dan berhubungan dengan pihak-
pihak luar dapat menambah kemampuan petani dalam pengambilan keputusan untuk
mengatasi persoalan yang mereka hadapi dalam kegiatan pengelolaan usahatani yang lebih
baik. Interaksi dengan penyuluh memiliki hubungan positif dengan kemandirian petani dalam
pengambilan keputusan untuk keberlanjutan usahatani. Artinya semakin tinggi frekuensi
interaksi petani dengan
penyuluh maka semakin tinggi pula tingkat kemandirian petani dalam pengambilan
keputusan untuk keberlanjutan usahatani.
Maka dapat disimpulkan bahwa Petani di Desa Sukaharja Kabupaten Bogor memiliki
tingkat kemandirian yang rendah atau dapat disebut bahwa petani di Desa Sukaharja memiliki
sifat ketidakmandirian dalam semua aspek kemandirian yang diukur. Petani membutuhkan
dorongan dan dukungan sangat diperlukan agar kemampuan serta kekuatannya sendiri dapat
mengatasi suatu kesulitan dalam mengembangkan usahanya. Slamet (2003) menyebutkan
bahwa bukannya petani tidak mau untuk maju dan berkembang, tetapi mereka membutuhkan
bantuan dari luar untuk mengatasi berbagai masalah defisiensi yang dialami.

Anda mungkin juga menyukai