Anda di halaman 1dari 11

RESTORATIVE ENVIRONMENT: SLOW LIVING SPACE PEREDA STRESS

Nurul Fadhillah1 – 22/499424/PTK/14538


Departement of Architecture and Planning, Faculty of Engineering, Universitas Gadjah Mada (1)
nurulfadhillah1998@mail.ugm.ac.id

Restorative Environment
Beberapa tahun terakhir banyak perhatian mengenai penelitian mengenai lingkungan restoratif
yang berkaitan dengan kesehatan masyarakat. Saat ini satu dari dua orang tinggal di kota besar
diperkirakan akan meningkat menjadi dua dari tiga orang dalam 35 tahun (UNFPA, 2011). Orang yang
tinggal di daerah perkotaan lebih rentan terhadap stres daripada orang yang tinggal di daerah
pedesaan. Orang-orang yang tinggal di daerah kota yang padat terus-menerus dihadapkan pada
rangsangan yang membutuhkan banyak perhatian dan dapat menyebabkan kelelahan mental. Untuk
mencegah hal ini terjadi, maka dibutukanlah lingkungan restoratif untuk mengurangi tingkat stres yang
tinggi oleh karena itu dapat dicegah dan dikurangi melalui pengadaan ruang kota sebagai tempat
relaksasi yang memungkinkan otak dapat pulih (Kaplan & Kaplan, 1989).

Lingkungan restoratif adalah lingkungan yang mendorong pemulihan sumber daya alam pada
individu secara biologis, psikologis atau sosial (Hartig, 2004). Lingkungan restoratif menggambarkan
sejauh mana peran lingkungan dapat mendorong pemulihan stres, kelelahan mental, dengan tujuan
meningkatkan suasana hati dan kemampuan kognitif (Berto, 2014; Hartig et al., 2014). Lingkungan harus
santai berdasarkan dari empat aspek ART (Kaplan, 1995) Untuk mengukur potensi restoratif lingkungan
yang dirasakan, maka didasarkan pada empat komponen ART dan telah dikembangkan menjadi
beberapa versi sejak diperkenalkan (Bodin & Hartig, 2003; Hartig, Kaiser, & Bowler, 1997; Hartig, Korpela,
et al., 1997; Korpela & Hartig, 1996; Purcell, Peron, & Berto, 2001). Beberapa penelitian telah
menggunakan PRS (misalnya Berto, 2005; Hartig et al., 1996; Hartig, Kaiser, & Bowler, 2001; Korpela,
Hartig, Kaiser, & Fuhrer, 2001; Laumann, Gärling, & Stormark, 2001; Nordh, Hartig, Hagerhall, & Fry,
2009; Purcell et al., 2001; Tenngart Ivarsson & Hagerhall, 2008).

Gambar 1. Kerangka Konseptual Restorative Environment


Sumber : Fahimeh Malekinezhad, Paul Courtney, Hasanuddin bin Lamit dan Mauro Vigani.2020
Teori pemulihan perhatian (ART) oleh Kaplan (1995) mencirikan empat komponen psikologis yang
mendukung lingkungan restoratif. Dan untuk mengukur potensi restoratif lingkungan yang dirasakan
(Perceived Restorativeness), yaitu :

1. Daya tarik (Fascination) : dapat terjadi di lingkungan yang tidak memerlukan pengeluaran usaha
mental dan melibatkan rangsangan dan proses eksplorasi.
2. Berada jauh (Being away) : perasaan, baik psikologis atau fisik, jauh dari rutinitas dan tuntutan
sehari-hari di mana kapasitas perhatian terarah digunakan.
3. Coherence/extent : suatu lingkungan untuk menyediakan ruang untuk eksplorasi dan rasa koherensi,
yang mengacu pada kemampuan untuk mengatur dan menyusun suatu adegan di lingkungan (Hartig,
Korpela, Evans, & Gärling, 1997)
4. Compatibility : kecocokan antara apa yang ingin dilakukan seseorang, apa yang didukung lingkungan
dan apa yang diharapkan dilakukan seseorang di lingkungan (Kaplan, 1995).

Pemadatan kota yang sedang berlangsung menyebabkan pengurangan ruang hijau perkotaan per
kapita (James et al., 2009), yang pada akhirnya meningkatkan jarak ruang hijau perkotaan yang lebih
besar, seperti taman kota (Fuller & Gaston, 2009; James et al., 2009). Peningkatan jarak dapat
mengakibatkan berkurangnya penggunaan ruang hijau perkotaan, sehingga mengurangi peluang
pemulihan mental di kota (Grahn & Stigsdotter, 2003; Nielsen & Hansen, 2007; WHO, 2006a, 2006b).
Oleh karena itu pentingnya untuk fokus pada kawasan perkotaan potensial yang dapat dikembangkan
menjadi lingkungan yang restoratif, baik dengan memperbaiki lingkungan yang ada, atau dengan
memasukkan lokasi potensial baru. Dengan cara ini akan memungkinkan untuk menerapkan sejumlah
lingkungan restoratif yang dapat bertindak sebagai batu loncatan antara ruang hijau perkotaan yang
lebih besar, kemudian terkait langsung dengan penggunaan kota sehari-hari oleh masyarakat (Peschardt,
Schipperijn, & Stigsdotter , 2012; Scopelliti & Giuliani, 2004). Karena kurangnya pengetahuan tentang
karakteristik yang terkait dengan restorasi mental di lingkungan hijau perkotaan (Karmanov & Hamel,
2008; Velarde, Fry, & Tveit, 2007), hal ini merupakan tantangan bagi perencana kota, arsitek, dan peneliti
untuk merancang dan menciptakan lingkungan perkotaan lanskap yang karakteristiknya cocok dengan
preferensi pemulihan mental.

Pengalaman restorasi ini datang melalui kesan restoratif yang dipengaruhi oleh PSD (Perceived
sensory Dimension), sehingga mampu mempromosikan pengalaman restoratif yang menguntungkan di
ruang hijau dan memfasilitasi hasil restoratif psikologis. Tujuannya ialah menunjukkan bagaimana
lingkungan fisik berfungsi sebagai pengaturan suportif dan restoratif yang berkontribusi pada
pengalaman restorasi dan memberikan kemungkinan untuk memulihkan kesehatan mental. Oleh karena
itu, diperlukan lebih banyak penelitian tentang spesifik karakteristik lingkungan restoratif. PSD
digunakan sebagai alat untuk menganalisis karakteristik ruang hijau secara kualitatif (Grahn &
Stigsdotter, 2010), Berikut ini PSD melibatkan delapan elemen/kualitas lingkungan yang dirasakan
(Stigsdotter & Grahn, 2011), yaitu :

1. Nilai natural/alami (Nature) : persepsi lanskap yang melibatkan interaksi aktif dengan ruang hijau
dan pengalaman karakteristik. contohnya : pohon, air, vegetasi.
2. Nilai dari budaya manusia (Culture) : persepsi yang dimaknai mengandung esensi budaya manusia
yang menjadi ikonik pada lingkungan tersebut. contohnya : patung air mancur.
3. Nilai Prosfek (Prosfect) : yang dapat dipersepsikan memungkinkan untuk memiliki view yang cukup
luas, atau area terbuka dengan pemandangan disekitarnya. contohnya : lapangan, view danau.
4. Nilai sosial (Social) : yang dapat dipersepsikan memiliki nilai interaksi sosial / lingkungan yang di
lengkapi untuk kegiatan sosial. contohnya : cafe, tempat duduk.
5. Nilai keruangan (Space) : yang dapat dipersepsikan memiliki nilai keruangan, yang dirasakan sebagai
luas dan bebas serta memiliki tingkat keterhubungan tertentu. contohnya : gazebo.
6. Nilai keragaman hayati (Rich in Species) : yang dapat dipersepsikan memiliki keragaman hayati.
contoh: burung, kupu-kupu, bunga,
7. Nilai perlindungan (Refuge): dipersepsikan memiliki nilai privasi, keamanan/kenyamanan.contohnya :
toilet, parkiran, area fasilitas olahraga.
8. Nilai Serene ; yang dapat dipersepsikan memiliki nilai ketenangan, berada di lingkungan yang tidak
terganggu, sunyi dan tenan. contoh : pinggir danau dekat air mengalir sehingga bisa mendengar
gemericik air.

Gambar 2. Hubungan dasar antara delapan PSD, dipahami sepanjang empat sumbu kualitas yang
berlawanan. Semakin dekat satu sama lain dalam model, semakin dekat asosiasi antara kualitas.
Sumber : Jonathan Stoltz, Patrik Grahn.2021.

Contoh Penerapan Pada Restorative Environment

Studi mendalam tentang lingkungan yang restoratif sebagian besar berfokus pada lingkungan
alam. Namun akhir – akhir ini banyak peneliti mengkaji sejauh mana lingkungan non-alami memberikan
pengalaman restoratif bagi manusia. Berikut kajian melalui literatur jurnal : Jurnal Kajian Penerapan
Konsep Lingkungan Restoratif pada Bangunan Masjid 99 Kubah Di Makassar. Adnan Mustajab Aras,
Mayyadah Syuaib, Andhy Masardy Tahir, Ovy Uniarti Ananda, Ikrar Maulana Muharram. Volume 4,
Nomor 1, 2022, hlm 81-94e-ISSN: 2745-8490.

Gambar 3. Masjid 99 Kubah


Sumber : Kompas.com
Salah satu lingkungan alam yang dianggap damai adalah masjid. Lingkungan masjid menawarkan
alternatif dari lingkungan alam sebagai sumber pengalaman santai bagi para pengunjungnya. Masjid
tidak hanya terbatas pada ritual keagamaan, tetapi juga tempat yang menghadirkan pengalaman fisik
serta hiburan tertentu yang bermanfaat secara psikologis. Penelitian ini terbukti berhasil bahwa para
peserta mengalami masjid dengan cara yang berbeda, tetapi ada kesamaan dalam hal pengalaman fisik
dan psikologis yang positif. Hasilnya menunjukkan bahwa keberadaan Masjid 99 Kubah Makassar
dimungkinkan memberikan pengalaman restoratif kepada masyarakat. Pengalaman yang tenang dan
damai di lingkungan sekitar. Terdapat 4 kriteria, Kriteria tersebut berhasil memulihkan kondisi fisik dan
psikis masyarakat. Pengunjung mendapatkan kembali energi dan motivasi mereka untuk rutinitas mereka
setelah ibadah, beristirahat dan menikmati aktivitas santai di Masjid 99 Kubah.

Namun, jika dilihat dari fenomena yang terjadi saat ini, masyarakat cenderung memilih destinasi
ruang hijau kecil seperti taman yang cenderung menjadi lebih penting sebagai tempat restorasi, ataupun
beralih ke tempat wisata yang meyediakan lingkungan yang alami, jauh dari hiruk – pikuk perkotaan.
Taman ataupun tempat wisata dirancang dengan baik yang dapat melayani restorasi dengan baik,
lingkungan restoratif tidak memberikan informasi rinci tentang komponen spesifik dari lingkungan fisik
yang mendukung restorasi. Namun, dapat dinilai sejauh mana hardscape, rumput, vegetasi, tanaman
berbunga, semak, pohon, air, kemungkinan yang dinilai untuk restorasi di ruang hijau perkotaan.
Beberapa penelitian tentang potensi restorasi pada elemen lansekap, pemandangan lanskap, dan
karakteristik lanskap telah memberikan bukti manfaat peningkatan kualitas visual dan restorasi di
kawasan perkotaan (White et al., 2010; Nordh et al., 2011; Peschardt dan Stigsdotter, 2013 ; Wang,
2016; Stigsdotter et al., 2017a; Wang et al., 2019), di mana fitur air, beragam vegetasi, rumput terbuka,
dan bunga dipastikan menjadi atribut restoratif yang penting.

Gambar 4. Tenryuji Temple, Kyoto, Japan.


Sumber : Kathryn Colley. https://iaps-association.org/ren/

Berdasarkan dari (Mutia Ayu Cahyaningtyas, Hanson E. Kusuma.2020) terdapat enam aspek yang
menjadi preferensi masyarakat terhadap ruang kota sebagai tempat relaksasi, yaitu nuansa alam,
kelengkapan fasilitas, ketenangan, suasana, aksesibilitas, dan kualitas ruang. Oleh karena itu, banyak dari
masyarakat mencari tempat untuk sekedar duduk, merasakan dan menikmati alam sekitar, dari beberapa
banyak pilihan taman ataupun tempat wisata yang dinilai memang menjadi karakteristik dari lingkungan
yang restoratif. Eksplorasi tentang kealamian yang dirasakan dari kehijauan dan hubungan antara
kealamian dan pemulihan dan kesehatan, terutama tentang peran kealamian yang dirasakan.

Slow Living Space


Kehidupan di era industri 4.0 dan perkembangan teknologi yang semakin maju membantu kita
dalam pekerjaan sehari-hari. Sebagian besar pekerjaan dapat diselesaikan dalam beberapa jam. Namun
semua ini mengarah pada kehidupan yang lebih cepat, hingga akhirnya orang menjadi kelelahan bahkan
Kesehatan mental yang buruk.
Slow Life adalah cara hidup Perlambat dan prioritaskan kualitas waktu (ADINDA APRILIA KIRANA
RUSPAND,2018). Slow Life adalah gerakan budaya yang merupakan pertahanan gaya hidup baru lebih
tenang dan melawan ritme yang dipercepat dengan penuh tekanan yang dialami sebagai akibat dari
hidup dalam masyarakat Barat kapitalis saat ini. Ini adalah gerakan yang merangsang perubahan gaya
hidup di berbagai sektor seperti makanan, pekerjaan, waktu luang, keluarga dan hubungan
interpersonal. Oleh karena itu, Slow living adalah suatu konsep gaya hidup dengan mematikan mode
“autopilot” yang selalu dilakukan karena kesibukan yang sangat padat. Mematikan mode “autopilot”
maksudnya ialah berhenti dari kebiasaan hidup rutinitas yang tidak lagi perlu berpikir. Kehidupan seperti
ini secara tidak sadar sudah dialami setiap hari. Kesibukan yang selalu sama akhirnya membuat tidak lagi
berpikir apa yang penting atau apa yang harus diprioritaskan terlebih dahulu.

Slow Living dimulai sejak tahun 1980-an, gerakan ini sekarang diikuti oleh ribuan orang di seluruh
dunia dan dimulai di Italia pada 1980-an ketika kritikus gastronomi Carlo Petrini menciptakan gerakan
Slow Food. Menghadapi gerakan awal ini, masyarakat menyadari perlunya mengembalikan ritme yang
lebih tenang agar dapat menjalani hidup yang lebih tenang dan sehat, jauh dari ritme stres yang kita
tidak sadar dan diterima sehubungan dengan perkembangan yang terjadi selama ini. Memelihara
kesehatan manusia sepenuhnya, termasuk menghormati lingkungan, semua alam dan hewan. ihadapkan
pada ritme kehidupan yang cepat, hubungan yang dangkal dan sedikit kontak, jam kerja yang panjang
dan pekerjaan yang tidak ada habisnya, dan makanan yang tidak sehat. Dalam gerakan Slow Life,
mengusulkan untuk “hidup sesuai dengan hati. Dengan demikian, gerakan ini sendiri merupakan
integrasi dari sikap baru terhadap kehidupan, yang memungkinkan untuk memilih setiap saat antara
pilihan yang ditawarkan oleh masyarakat atau pilihan lain di mana kesehatan dan kehidupan pribadi,
sosial dan keluarga berada.

Bagaimana menjalani slow living ?


1. Hidup dengan Tenang : Waktu sebenarnya relatif, dan ketika sikap lebih tenang, waktu secara ajaib
meluas dan dapat menyelesaikan dengan kepuasan dan menenangkan apa yang tidak dapat kita
selesaikan dengan tergesa-gesa dan stres.
2. Hidup sehat dan utuh. Menjaga ketenangan dan kedamaian batin diperlukan sebagai sarana untuk
memastikan kesehatan sepenuhnya dan melakukan tindakan sadar, bertanggung jawab dan
konstruktif. Itulah mengapa sangat penting untuk mencurahkan setidaknya beberapa jam dalam
sehari untuk latihan fisik atau meditasi yang memungkinkan terhubung dengan dunia nyata yang kita
tinggali.
3. Komunikasi dengan alam dan hewan merupakan kebutuhan manusia yang mendesak, karena
bersama-sama dengan manusia merupakan bagian dari keseluruhan, yaitu alam semesta. Oleh
karena itu, harus menjaga kontak yang teratur dan sering dengan unsur - unsur alam.

Apa Manfaat dari Slow Living?


1. Hidup yang Lebih Bermakna.
2. Relasi Antar Kerabat dan Keluarga Menguat.
3. Menjadi Seseorang yang Lebih Baik.
4. Tekanan Berkurang.
5. Meningkatkan Produktivitas dan Kreativitas.
Kemudian terus berkembang hingga hari ini bahkan cukup populer ketika pandemi COVID-19
terjadi. Masyarakat jadi punya waktu untuk slow down dan mulai kembali berpikir untuk menata
kehidupan mereka. Namun, Gaya hidup tersebut bertolak belakang dengan gaya hidup fast paced life

Sumber : https://torch.id/blogs/news-and-updates/slow-living-adalah
Fast Paced Life (hidup-serba-cepat)
Fast Paced Life biasa disebut hidup cepat adalah gaya hidup aktivitas tetap dan terus menerus.
Umumnya, gaya hidup ini dialami oleh orang-orang usia produktif, sudah bekerja. Orang dengan
kehidupan cepat cenderung melakukan semua kegiatan dengan cepat. Mereka melakukan itu, misalnya
Kegiatan A dan Kegiatan B tanpa istirahat dan kegiatan selanjutnya.

Gambar 5. ilustrasi kegiatan orang dengan Fast Paced Life.


Sumber : ADINDA APRILIA KIRANA RUSPAND,2018.

Dampak Isu Fast Paced Life


Kehidupan yang serba cepat dapat mendorong rangsangan berlebihan dan perencanaan
berlebihan yang mengarah pada stres kronis yang menyebabkan emosi dan kebiasaan yang tidak stabil.
Informasi dasar tentang penelitian Kesehatan Riskesdas 2013 menunjukkan sekitar 16 juta orang atau
sekitar 6% penduduk Indonesia menderita gangguan jiwa seperti Kecemasan, depresi dan psikosomatis.
Menurut Ketua Pengurus Pusat Perhimpunan Psikiater Indonesia (PDSKJI), lingkungan yang dinamis,
kehidupan kota yang cepat, masalah pemanasan global, beberapa hal umum yang dapat
menyebabkannya kecemasan berlebihan.

Berikut masalah Kesehatan yang terkait dengan Fast Paced Life (ADINDA APRILIA KIRANA
RUSPAND,2018), yakni :

1. Lingkungan kerja saat ini menuntut karyawan untuk melakukan lebih dari 12 jam per sehari (lembur)
setiap hari dan kadang-kadang bahkan di akhir minggu. Ini menyebabkan orang cepat lelah dan
bangun banyak tekanan pada tubuhnya.
2. Minum berlebihan, merokok dan pola tidur tidak teratur.
3. Tekanan kerja yang berlebihan dapat menimbulkan banyak masalah kesehatan individu. Kebiasaan
makan yang buruk adalah masalah yang lain disebabkan oleh kecepatan hidup.
4. Mudah tersinggung, kurang tidur, tidak sabar dan cemas.
5. Kesehatan mental (stres dan depresi).

Respon terhadap Isu Fast Paced Life saat ini, yaitu : Stres, kecemasan, depresi, gangguan perilaku
dan suasana hati adalah hasil efek psikologis dari gaya hidup cepat. Karena tempat untuk melarikan diri
dari efek psikologis dari kehidupan yang cepat diperlukan Orang-orang dengan kehidupan yang cepat
tindakan mereka cepat dan singkat sehingga mereka tidak merasakan sebuah proses.

Target subjek :
Masyarakat umum, semua umur, wisatawan ataupun warga lokal yang menikmati waktu dan
mencari tempat sebagai restorasi.
Studi Kasus : D.I Yogyakarta
Daerah Istimewa Yogyakarta terletak di bagian selatan Pulau Jawa, dan berbatasan dengan
Provinsi Jawa Tengah dan Samudra Hindia. Daerah Istimewa yang memiliki luas 3.185,80 km2 ini terdiri
atas satu kota, dan empat kabupaten, yang terbagi lagi menjadi 78 kapanewon/kemantren, dan 438
kalurahan/kelurahan. Menurut sensus penduduk 2010 memiliki populasi 3.452.390 jiwa dengan proporsi
1.705.404 laki-laki, dan 1.746.986 perempuan. Memiliki kepadatan penduduk sebesar 1.084 jiwa per
km2.

Gambar 6. Peta Administarsi Provinsi DI Yogyakarta


Sumber : https://id.wikipedia.org/wiki/Daerah_Istimewa_Yogyakarta

Fenomena yang dilihat, banyak wisatawan berkunjung, dari kota – kota besar. Sehingga
menimbulkan pertanyaan apakah Yogyakarta merupakan Provinsi yang menerapkan Slow Living Space
sehingga membuat wisatawan tertarik untuk berkunjung ?

Tabel 1. Data Jumlah Kunjungan Wisatawan Kota Yogyakarta Tahun 2017-2019

Sumber : BPS Kota Yogyakarta Dalam Angka 2020


Suwena (2010:83), menjelaskan tentang faktor-faktor yang mempengaruhi lama tinggal
wisatawan ke dalam unsur pokok pada suatu daya tarik atau kawasan destinasi wisata, bahwa unsur
pokok yang menjadi pertimbangan wisatawan dalam menentukan tempat kunjungan dan lama tinggal
yaitu daya tarik wisata, prasarana wisata, sarana wisata, tata laksana/infrastruktur, dan
masyarakat/lingkungan. Meskipun demikian, untuk memperkuat faktor tersebut maka diperlukan
adanya faktor karakteristik wisatawan.
Tipe dan daya tarik wisata serta aktifiitasnya yang dibagi ke dalam 3 (tiga) kategori utama yaitu
(Inskeep, 1991:76), salah satunya yakni : Natural Attractions: Termasuk dalam daya tarik wisata ini adalah
segala sesuatu yang sudah terdapat secara alamiah dalam suatu kawasan misalnya iklim, pemandangan
dan bentang lahan, pantai dan kawasan perairan, flora dan fauna, gua, sungai, lembah, sumber air
panas, mata air, taman, serta kawasan konservasi. Aktifitas yang dilakukan dalam daya tarik wisata ini
misalnya adalah berjemur, menikmati kesejukan udara dan keindahan pemandangan, menyusuri gua,
mandi air hangat bermineral alam untuk terapi kesehatan, serta pengamatan keanekaragaman flora dan
fauna.

Macam – macam Ruang Hijau


Berikut ini beberapa taman yang ada di Yogyakarta :

1. Wisdom Park

Gambar 7. Wisdom Park


Sumber : https://kagama.co/2018/09/23/wisdom-park-ugm-tamannya-masyarakat/
2. Taman Kaliurang

Gambar 7. Taman Kaliurang


Sumber : https://www.javatravel.net/taman-wisata-kaliurang
3. Taman Pintar Yogyakarta
Gambar 7. Taman Pintar
Sumber : https://yogyaku.com/wisata-anak-di-jogja/216

4. Alun – alun Kota Yogyakarta

Gambar 7. Alun – Alun Kidul Yogyakarta


Sumber : https://www.kompasiana.com/akbarpm/5fd8801a8ede4866c9577fa2/malam-minggu-dan-
minggu-pagi-di-alun-alun-kidul-yogyakarta

Masalah :
1. Bagaimana karakteristik spasial Slow Living Space yang dapat membantu menghilangkan rasa stress ?
2. Karakterisitik Slow living space di mana yang ada atau diterapkan di lingkungan Yogyakarta ?

Tujuan :
Mengidentifikasi karakteristik taman atau objek wisata yang dikaitkan dengan persepsi restoratif
dari sembilan ruang hijau perkotaan dan sumber pengaruh emosional (misalnya, tipe lanskap tertentu,
elemen lansekap, dan komponen lansekap) yang dapat meningkatkan kesehatan masyarakat, dan
pentingnya pemilihan dan konfigurasi elemen lanskap, komponen lanskap dalam perencanaan dan
desain restoratif di masa depan.
Daftar Pustaka
Karin Kragsig Peschardt ÿ, Ulrika Karlsson Stigsdotter.2013. Associations between park characteristics and
perceived restorativeness of small public urban green spaces. Landscape and Urban Planning 112
(2013) 26–39.

H. Nordha,T. Hartigb,1,CM Hagerhalla , G. Frya.2009.Components of small urban parks that predict the
possibility for restoration. Urban Forestry & Urban Greening 8 (2009) 225–235.

L.Deng, dkk.2020.Empirical study of landscape types, landscape elements and landscape components of
the urban park promoting physiological and psychological restoration. Urban Forestry & Urban
Greening 48 (2020) 126488.

Adnan Mustajab Aras dkk.2022. Kajian Penerapan Konsep Lingkungan Restoratif pada Bangunan Masjid
99 Kubah Di Makassar. Volume 4, Nomor 1, 2022, hlm 81-94 e-ISSN: 2745-8490.

J. Stoltz and P. Grahn.2021. Perceived sensory dimensions: An evidence-based approach to greenspace


aesthetics. Urban Forestry & Urban Greening 59 (2021) 126989.

Xie et al.2022. Flow experience and city identity in the restorative environment: A conceptual model and
nature-based intervention. 103389/fpbuh.2022.1011890

Mutia Ayu Cahyaningtyas dkk.2020. Preferensi Masyarakat terhadap Ruang Kota sebagai Tempat
Relaksasi. Jurnal RUAS Volume 18 No. 1 Juni 2020 ISSN 1693-3702 E-ISSN 2477-6033.

ADINDA APRILIA KIRANA RUSPANDI.2018. HEALING ARCHITECTURE: SLOW LIVING SPACE SEBAGAI
RUANG PUBLIK PEREDA STRES. Tugas Akhir Departemen Arsitektur Fakultas Arsitektur, Desain dan
Perencanaan Institut Teknologi Sepuluh Nopember.

Kathryn Colley. https://iaps-association.org/ren/. Diakses 12 Juni 2023.Pukul 21.00.

https://id.wikipedia.org/wiki/Daerah_Istimewa_Yogyakarta. Diakses 12 Juni 2023.Pukul 23.00.

https://kagama.co/2018/09/23/wisdom-park-ugm-tamannya-masyarakat/. Diakses 13 Juni 2023.Pukul


07.00
https://www.javatravel.net/taman-wisata-kaliurang. Diakses 13 Juni 2023.Pukul 07.00.

https://yogyaku.com/wisata-anak-di-jogja/216. Diakses 13 Juni 2023.Pukul 07.00.


https://www.kompasiana.com/akbarpm/5fd8801a8ede4866c9577fa2/malam-minggu-dan-minggu-pagi-
di-alun-alun-kidul-yogyakarta. Diakses 13 Juni 2023.Pukul 07.00.

Anda mungkin juga menyukai