Anda di halaman 1dari 10

Makalah Eksigensi (UAS)

Nama Mahasiswa: Yoel Beckham Lebsy Hasiholan Siahaan

Ibadah yang Menari dan Menyanyi: Usaha Menelisik dan Melihat Konteks Nyata Ibadah
Kelas Besar di HKBP Menteng

Latar Belakang

Penulis dan beberapa orang rekan dari Sekolah Tinggi Filsafat Theologi Jakarta telah
mengambil bagian menjadi pelayan dalam bidang sekolah minggu di HKBP Menteng yang
terletak di Jalan Jambu no 46, Menteng, Jakarta Pusat. Selama melayani menjadi guru sekolah
minggu, penulis telah mendapat banyak pengetahuan dan pada saat yang sama dapat ditolong
dalam mengimplementasi segala teori terkait dengan pendidikan dan sekolah minggu di dalam
pelayanan tersebut.

Meskipun penulis tidak mendapat pengetahuan mengenai kurikulum dan metode yang
tepat dalam menyusun kurikulum, setidaknya penulis memiliki pengetahuan yang cukup untuk
menganalisis implementasi kurikulum yang bersumber dari Buku Panduan Bahan Ajar Sekolah
Minggu dengan cukup baik.1

Penulis adalah guru sekolah minggu yang ditugaskan untuk melayani di kelas sedang
yang berisi anak-anak yang tengah menginjak pendidikan di kelas 2-4 SD. Tidak hanya itu,
penulis juga kerap ditugaskan untuk melayani di kelas besar yang berisi anak-anak yang sedang
berpendidikan di kelas 5-6 SD. Salah satu pemahaman yang harus diingat ketika membaca
tulisan ini adalah pengalaman penulis dalam melayani di kedua kelas tersebut, baik ketika kedua
kelas tersebut masih dipisah, maupun ketika kedua kelas tersebut digabung dalam satu kelas
yang lebih besar. Terhitung semenjak tahun 2023, HKBP Menteng telah meninggalkan model
sekolah minggu lama dan mulai menerapkan model tata ibadah yang di dalam ibadah umum.
Walaupun demikian, tata ibadah tersebut tetap dimodifikasi dengan menambahkan lagu dan
gerakan supaya tetap dapat dinikmati oleh anak-anak.

1
HKBP, Buku Panduan Bahan Ajar Sekolah Minggu HKBP, (Pearaja-Tarutung: Kantor Pusat HKBP, 2023)
Beranjak dari pembahasan sebelumnya, sekolah minggu HKBP Menteng tidak hanya
menggunakan tata liturgi yang digunakan dalam ibadah umum, kedua kelas tersebut, kelas
sedang dan besar, harus mengikuti ibadah gabungan terlebih dahulu, sebelum mendengarkan
khotbah di kelas dan ruangan yang terpisah. Setelah ibadah gabungan tersebut, maka mereka
akan dipisah ke dalam kelas untuk mendengarkan khotbah.

Usai mengajar di kedua kelas, penulis berhasil menemukan satu kondisi spesifik yang
hendak dianalisis dalam tulisan ini. Kondisi tersebut memungkinan penulis untuk berefleksi dan
mempertanyakan efektivitas model pengajaran dalam tata liturgi baru yang diterapkan dalam
sekolah minggu. Model pembelajaran yang melibatkan nyanyian dan gerakan, mungkin saja
terlihat ‘memaksakan’ anak-anak kelas 5-6 untuk ceria. Selain itu, ketika penulis mencoba untuk
membangun suasana yang menyenangkan dengan lagu dan gerakan, penulis dan beberapa rekan
guru sekolah minggu yang lain justru ‘tidak’ mendapat respon yang diinginkan.

Beberapa kolega guru sekolah minggu yang lain turut sependapat dengan pendapat
penulis yang merasa kalau anak-anak kelas besar terlihat bosan dengan model ibadah yang
memuat lagu dan gerakan di dalam tata ibadah. Penulis merasa kalau model ibadah yang
demikian tidak lagi relevan dengan kebutuhan anak-anak kelas besar; dan nampaknya, mereka
tidak lagi membutuhkan model ibadah yang melibatkan lagu dan gerakan menari.

Pisau Analisis

Sebelum beranjak pada penyusunan program sekolah minggu yang relevan, akan baik
bila menjawab satu pertanyaan besar yang diajukan oleh Jesse L. Cuninggim dan Eric M. North:
“Untuk apa sekolah minggu ada?”2 Bila kita melepas segala permasalahan yang tengah terjadi
dalam kelas besar dan tetap berfokus kepada inti pertanyaan tersebut, maka penulis dapat
menjawab kalau skeolah minggu ada untuk mengajarkan Alkitab dan membagikannya kepada
anak-anak sekolah minggu. Bila jawaban itu tetap dipertahankan, maka para guru sekolah tidak
lagi perlu untuk menyusun pola pengajaran yang relevan dan kontekstual bagi anak-anak kelas

2
Jesse L. Cuninggim dan Eric M. North, The Organization and Administration of the Sunday School
(Cincinnati: The Methodist book concern & Nashville: SMITH & LAMAR, 1919), 15
besar. Pada akhirnya, para guru sekolah minggu HKBP Menteng tidak boleh abai dengan hal
‘sepele’ seperti ini dan secara perlahan terus menyusun dan mengembangkan model yang relevan
bagi anak-anak kelas 5-6.

Guna merespon keresahan penulis atas ‘ketidakaktifan’ anak-anak kelas besar dalam
ibadah, penulis mencoba untuk menganalisis hal tersebut dengan menggunakan model
komparatif. Model ini digunakan oleh penulis untuk membandingkan konteks nyata yang terjadi
di sekolah minggu HKBP Menteng, dalam hal ini di kelas besar, dengan pemahaman
mengorganisir serta menyusun program sekolah minggu yang ditulis oleh Ken Hemphill dalam
Revitalizing The Sunday Morning Dinosaur: A Sunday School Growth Strategy for the 21st
Century.

Mengorganisir serta penyusunan program

Terdapat tiga aspek yang harus diperhatikan, dalam hal ini sekolah minggu HKBP
Menteng dalam menyusun tata ibadah yang relevan bagi anak-anak kelas besar: Simpel,
fleksibel, dan komprehensif. Model ibadah yang simpel adalah model ibadah yang memuat
partisipasi dari seluruh kehadiran anak. Tidak hanya itu, Hemphill turut pula menyatakan kalau
pelayanan yang menyenangkan akan menyatukan semua orang melalui interaksi dalam
kelompok-kelompok kecil. Meskipun demikian, konteks yang disampaikan oleh Hemphill
mengacu kepada strategi organisasi yang telah memiliki relasi kepercayaan sebelumnya. Aspek
lain yang harus harus diingat adalah fleksibiltas yang berlandsakan kepada konteks yang tengah
terjadi di dalam gereja, bukan sebaliknya. Model sekolah minggu yang relevan bagi anak-anak
kelas besar, sebaiknya berlandaskan kepada diri anak-anak sekolah minggu. Aspek terakhir yang
ditulis oleh Hemphill adalah komprehensif. Bila mengacu kepada pengalaman Hemphill, maka,
para pengurus kelas besar harus ‘memperbanyak’ tenaga didik. Memperbanyak tenaga didik
akan dapat menolong dalam menyusun sekolah minggu yang lebih baik.3

3
Ken Hemphill, Revitalizing the Sunday Morning Dinosaur (Nashville: B&H Publishing Group, 1996), 89-
91
Demi menolong pengembangan model ibadah bagi anak-anak kelas besar, beberapa
aspek penilaian di bawah ini dapat menolong untuk membuka lensa dan sudut pandang baru:

1. Penilaian sekolah minggu yang berfokus kepada kepribadian: Jumlah partisipan yang
menghadiri suatu ibadah bergantung kepada sosok pembicaran.4 Jumlah dari anak-anak
kelas besar yang hadir untuk mendengarkan ibadah akan bergantung kepada sosok yang
menjadi pembawa ibadah dan pengkhotbah.
2. Penilaian sekolah minggu yang berfokus kepada topik pengajaran dan reorganisasi:
Jumlah partisipan yang hadir bergantung kepada topik dan model yang digunakan dalam
ibadah.5 Mengacu kembali kepada konteks, maka jumlah anak sekolah minggu yang
hadir beribadah bergantung kepada lagu dan topik yang disampaikan dalam ibadah.
Berbeda dengan konteks Hemphill yang nampaknya tetap menggunakan topik yang
sama, HKBP Menteng tidak lagi perlu untuk memikirkan topik yang hendak disampaikan
di dalam kelas, sebab, HKBP telah menyediakan buku pedoman yang beisi bahan ajara
yang berganti setiap minggu.

Dua contoh tersebut dapat menjadi refleksi yang baik bagi para guru sekolah minggu yang
melayani di kelas besar, sebab, apakah jumlah kehadiran anak-anak dipengaruhi oleh beberapa
faktor tersebut, atau justru, dipengaruhi oleh faktor lain yang berbeda. Dengan mengetahui
jawaban dari kedua pertanyaan tersebut, para guru sekolah minggu yang mengajar di kelas besar
akan semakin tertolong untuk menyesuaikan diri dengan minat yang dimiliki oleh anak-anak.

Faktor dan aspek psikologis, meskipun terdengar remeh dan terkadang para pengajar hanya
berfokus kepada model pengajaran dalam kelas saja, harus turut mendapat perhatian yang sama
dengan aspek materi dalam pengajaran. Fred Lewis Patter menawarkan beberapa poin yang
terkandung dalam aspek psikologi yang harus diperhatikan dalam pertimbangan atas penyusunan
model pengajaran yang baru:

4
Hemphill, 95
5
Hemphill, 95
1. Perhatian anak-anak: Poin ini mengajak para guru sekolah minggu untuk
mempertimbangkan waktu dalam mengajar sebab pada dasarnya, anak-anak belum dapat
mempertahankan perhatian mereka terhadap sesuatu dalam jangka waktu yang lama.
2. Perhatian sukarela: Poin mengajarkan para guru sekolah minggu sebuah konsep (yang
menurut pemahaman penulis) yang disebut pemberian perhatian. Seorang anak tidak
enggan, atau bahkan tidak mau untuk memberikan perhatiannya kepada sesuatu yang
tidak familiar atau bahkan tidak pernah dilihatnya sebelumnya.
3. Hukum perhatian: Perhatian sukarela, menurut Profesor James menyatakan kalau
perhatian sukarela hanya menjadi ‘masalah sesaat’ dan agar anak-anak tetap
mengarahkan perhatian mereka kepada para pengajar, maka para pengajar harus terus
menampilkan aspek baru yang mengugah rasa penasaran anak-anak.
4. Penggembaraan pikiran: Poin ini kiranya dapat mengajar anak-anak untuk tetap berfokus
kepada satu hal dalam waktu yang lama. Dalam hal ini, anak-anak harus belajar untuk
mengarahkan perhatian secara penuh hanya kepada ibadah dan khotbah yang
disampaikan.6

Langkah Analisis

Bagian ini akan dikhususkan oleh penulis untuk mengaplikasikan beberapa pisau analisis
yang telah dipilih oleh penulis dalam konteks dan masalah nyata yang terjadi dalam pengajaran
kepada kelas besar di HKBP Menteng. Bila mengacu kepada beberapa pemaparan dalam
Revitalizing the Sunday Morning Dinosaur milik Ken Hemphill, maka penulis merasa kalau
model ibadah yang diterapkan dan dilaksnakan dalam kelas besar belum dapat memenuhi ketiga
aspek tersebut.

Unsur yang terlihat dalam realita pengajran di kelas besar adalah jumlah anak sekolah
minggu yang sedikit. Beberapa rekan guru sekolah turut mengatakan kalau dalam beberapa tahun
belakangan, jumlah anak-anak di kelas besar mengalami penurunan (yang dapat disebut drastis).
Alasan dari berkurangnya jumlah anak sekolah minggu yang hadir, mungkin dapat direfeleksikan
melalui dua aspek penilaian yang ditawarkan oleh Hemphill. Tidak menutup kemungkinan kalau
para anak sekolah minggu kelas besar mulai enggan untuk menghadiri sekolah minggu karena
6
Fred Lewis Patter, Elements of Religious Pedagogy, a Course in Sunday School Teacher-Training (New
York: EATON & MAINS & Cincinnati: JENNINGS & GRAHAM, 1909), 94-7
mereka belum menemukan sosok yang tepat untuk mengajar mereka. Tulisan ini tidak dibuat
untuk mendiskreditkan para guru sekolah minggu yang lain, namun, tidak dapat dipungkiri pula
kemungkinan kalau mereka belum memiliki sosok yang tepat untuk mengajar mereka sesuai
dengan pola yang mereka inginkan. Aspek penilaian kedua yang disampaikan oleh Hemphill
mengajak para guru sekolah minggu kelas besar, termasuk penulis, untuk mengamati kembali
model pengajaran dan topik pengajaran yang diberikan kepada anak-anak sekolah minggu.

Bila kembali kepada konteks yang telah ditulis sebelumnya oleh penulis, maka terdapat
kemungkinan kalau anak-anak kelas besar tidak lagi mau dan tidak lagi sesuai dengan model
yang diterapkan sekarang. Penulis berasumsi kalau mereka sudah merasa ‘lebih dewasa’
ketimbang dengan anak-anak lain dan hal itu menjadi alasan bagi mereka untuk tidak lagi mau
mengikuti ibadah yang penuh dengan nyanyian dan gerakan serta tarian.

Bila berbicara akan unsur fleksibilitas, salah satu unsur yang ditawarkan oleh Hemphill,
maka para pengajar seharusnya mampu menyesuaikan model ibadah yang ditawarkan kepada
anak-anak kelas besar. Khusus bagi anak-anak kelas besar, unsur-unsur seperti gerakan dan
tarian mungkin sudah dapat dikurangi dan lebih berfokus kepada isi dari khotbah yang hendak
disampaikan.

Penghapusan tarian dan gerakan dalam model ibadah sekolah minggu untuk anak-anak
kelas besar, nampaknya tidak sejalan dengan tujuan yang telah dimiliki oleh para guru sekolah
minggu HKBP Menteng. Kehadiran nyanyian dan gerakan dalam bentuk tarian, bagi mereka
berfungsi untuk mencairkan suasana dan pada satu sisi menolong mereka untuk menjadi aktif
sepanjang ibadah. Tidak hanya itu, kehadiran gerakan dan tarian itu diharapkan dapat
mencairkan suasana dan membuat suasana menjadi lebih menarik, ketimbang dengan ketiadaan
gerakan dan tarian. Bagi penulis pribadi, kehadiran tarian dan gerakan tidak lagi efektif untuk
mencairkan suasana dan membangkitkan semangat bagi anak-anak di kelas besar.

Di dalam artikel very well family yang berjudul: “11-Year-Old Child Development
Milestones” tercatat sebuah pernyataan menarik yang mengatakan kalau anak-anak pada usia 11
tahun akan mulai kehilangan minat bersekolah dan belajar, oleh karena itu, penting bagi para
pengajar untuk mendorong rasa ingin tahu dan membuat pembelajaran menjadi menyenangkan. 7

Kelebihan yang dimiliki oleh anak-anak di kelas besar adalah pertumbuhan perhatian
mereka akan sesuatu. Hal ini penulis temukan ketika salah seorang rekan guru sekolah minggu
yang ‘berhasil’ mengambil perhatian mereka pada saat khotbah. Walaupun demikian, perbedaan
mencolok yang dimiliki oleh anak-anak kelas sedang dan kelas besar adalah antusiasme mereka
akan sesuatu. Meskipun keduanya sudah dapat memiliki perhatian yang cukup baik sepanjang
ibadah, namun, antusiasme diantara keduanya adalah aspek yang paling terlihat diantara
keduanya.

Menurut penulis, antusiasme anak-anak kelas besar turut dipengaruhi oleh perhatian
mereka atas pengajaran yang diberikan. Sebab, bila sedari awal anak-anak tidak dapat
menemukan inti yang menarik perhatian mereka, maka akan sulit bagi para guru sekolah minggu
untuk dapat memancing antusiasme mereka nantinya. Para guru sekolah minggu, sebaiknya tidak
hanya mencoba untuk mempertahankan perhatian mereka akan pembelajaran, namun harus turut
memberikan segala sesuatu yang baru—dalam hal ini tidaklah monoton dan juga kontekstual
dengan dunia sekitar anak—demi menarik perhatian mereka. Bila tidak, maka mereka justru
akan memilih untuk menaruh perhatian kepada hal lain yang tidak berhubungan dengan
pengajaran di sekolah minggu.

Refleksi Teologis

Maltimoe, dalam tulisan yang ditulis oleh Yenni Anita Pattinama, melihat perbedaan
antara kebaktian anak (dalam makalah ini disebut sebagai ibadah) dan sekolah minggu.
Kebaktian anak adalah suatu perjumpaan manusia dengan Yang Maha Tinggi dan terkandung
pula unsur bakti di dalamnya; sedangkan sekolah minggu adalah pengajaran yang diberikan
kepada anak-anak yang kiranya menolong mereka untuk mengembangkan iman dan terdapat

7
Very Well Family, “11-Year-Old Child Development Milestones,” https://www.verywellfamily.com/11-
year-old-developmental-milestones-4171925#toc-how-to-help-your-11-year-old-learn-and-grow (diakses 5
Mei 2023)
penekanan kepada pengajaran iman Kristen.8 Benson turut menambahkan Maltimoe dengan
pernyataan yang demikian: “It is through the Sunday school that the [dynamic] Gospel which
Christ brought to the world must be made accessible to new generation.” Bila kedua pernyataan
tersebut digabung, maka dapat dikatakan kalau sekolah minggu, tidak hanya mengajarkan iman
Kristen kepada anak-anak, namun turut pula memberikan akses bagi para generasi baru—dalam
hal ini anak-anak—untuk mengenal Injil Kristus.9

Bila hanya mengacu kepada kedua pernyataan tersebut, maka dapat disimpulkan kalau
sekolah minggu, pada dasarnya, harus mampu menolong anak-anak untuk mengenal Injil dan
pada saat yang sama mempelajari serta mendalaminya. Oleh karena itu, akan baik bila dalam
kelas pengajaran bagi kelas besar ditumbuhkan penekanan dan pengarahan serta pengenalan
firman Tuhan dengan cara yang sederhana dan dapat dimengerti dengan baik oleh anak-anak.

Kegiatan sekolah minggu bagi anak-anak kelas sedang, kiranya tidak hanya berakhir
kepada penyodoran Firman Tuhan kepada mereka saja, namun, secara perlahan, mengajak
mereka untuk merefleksikannya. Penekanan lain yang dapat diberikan dalam pengajaran sekolah
minggu bagi anak-anak kelas sedang adalah ajakan bagi mereka untuk menyebarkan dan
mewartakan Firman Tuhan sesuai dengan kemampuan mereka kepada sesama sebab sedari awal
mereka dibaptis, mereka telah menjadi bagian dari gereja dan sudah menjadi tugas mereka pula
untuk mengabarkan kabar baik kepada orang lain.10

Konklusi

Bagian akhir pada makalah ini ditulis sebagai ajakan bagi para pembaca untuk sedari
awal tidak menganggap remeh suatu hal yang terlihat kecil dan sederhana. Tidak memperhatikan
8
Maltimoe, Asal Mula Dan Perkembangan Dan Pekerdjaan Sekolah Minggu Dan Kebaktian Anak-Anak
(Jakarta: Dewan Geredja-Geredja di Indonesia, 1995), dikutip dalam Yenni Anita Pattinama, “Peranan Sekolah
Minggu Dalam Pertumbuhan Gereja,” Jurnal Scripta Teologi dan Pelayanan Kontekstual Vol 4 No 2 (2019):
137
9
Clarence H. Benson, Sunday School Success (Illinois: Evangelical Teacher Training service Association,
1956), dikutip dalam Yenni Anita Pattinama, “Peranan Sekolah Minggu Dalam Pertumbuhan Gereja,” Jurnal
Scripta Teologi dan Pelayanan Kontekstual Vol 4 No 2 (2019): 137
10
Yenni Anita Pattinama, “Peranan Sekolah Minggu Dalam Pertumbuhan Gereja,” Jurnal Scripta Teologi
dan Pelayanan Kontekstual Vol 4 No 2 (2019): 137
konteks nyata yang terjadi kepada kelas besar, sebagai contohnya, dapat dilihat sebagai bukti
ketidakseriusan di dalam pelayanan. Pelayanan, dalam bentuk dan model apapun, kiranya tidak
hanya dilihat secara sekilas, namun harus turut pula memperhatikan bagian kecil yang termuat di
dalamnya. Dalam hal ini, seorang guru sekolah minggu, kiranya tidak hanya berfokus kepada
anak-anak yang dilayani, melainkan turut pula memperhatikan keberlangsungan anak-anak lain
yang masih berada di bawah pengawasan sekolah minggu.

Sedari penulis melakukan pelayanan di anak-anak kelas besar HKBP Menteng, penulis
merasakan kejanggalan di dalamnya. Namun, seiring berjalannnya, penulis sadar kalau ‘masalah’
yang harus ditanggulangi terletak pada model ibadah mereka. Anak-anak kelas besar
kelihatannya tidak lagi membutuhkan ibadah yang memuat nyanyian dan tarian serta gerakan,
namun berfokus kepada inti pengajaran Firman Tuhan dan bagaimana mereka dapat menerima
segala bentuk pengajaran dengan baik. Di sisi lain, bila menelisik kembali penilaian para guru
sekolah minggu laing yang melihat keaktifan anak-anak sepanjang ibadah sebagai suatu
‘kesuksesan’, maka nampaknya penting bagi para guru sekolah minggu untuk mengkaji ulang
tujuan tersebut. Bila tetap dibiarkan, maka pada akhirnya, tujuan yang hendak diperoleh dalam
ibadah tidak lagi kesuksesan anak dalam memahami Firman Tuhan, namun lebih cenderung
kepada keaktifan mereka dalam bernyanyi dan menari.
Daftar Pustaka:

Benson, Clarence H. Sunday School Success. Illinois: Evangelical Teacher Training service
Association, 1956. Dikutip dalam Yenni Anita Pattinama, “Peranan Sekolah Minggu
Dalam Pertumbuhan Gereja,” Jurnal Scripta Teologi dan Pelayanan Kontekstual Vol 4
No 2 (2019): 132-151

Cuninggim, Jesse L. dan Eric M. North. The Organization and Administration of the Sunday
School. Cincinnati: The Methodist book concern & Nashville: SMITH & LAMAR, 1919

Hemphill, Ken. Revitalizing the Sunday Morning Dinosaur. Nashville: B&H Publishing Group,
1996

HKBP. Buku Panduan Bahan Ajar Sekolah Minggu HKBP. Pearaja-Tarutung: Kantor Pusat
HKBP, 2023

Maltimoe. Asal Mula Dan Perkembangan Dan Pekerdjaan Sekolah Minggu Dan Kebaktian
Anak-Anak. Jakarta: Dewan Geredja-Geredja di Indonesia, 1995. Dikutip dalam Yenni
Anita Pattinama, “Peranan Sekolah Minggu Dalam Pertumbuhan Gereja,” Jurnal Scripta
Teologi dan Pelayanan Kontekstual Vol 4 No 2 (2019): 132-151

Patter, Fred Lewis. Elements of Religious Pedagogy, a Course in Sunday School Teacher-
Training. New York: EATON & MAINS & Cincinnati: JENNINGS & GRAHAM, 1909

Pattinama, Yenni Anita. “Peranan Sekolah Minggu Dalam Pertumbuhan Gereja,” Jurnal Scripta
Teologi dan Pelayanan Kontekstual Vol 4 No 2 (2019): 132-151

Website:

Very Well Family. “11-Year-Old Child Development Milestones.”


https://www.verywellfamily.com/11-year-old-developmental-milestones-4171925#toc-
how-to-help-your-11-year-old-learn-and-grow (diakses 5 Mei 2023)

Anda mungkin juga menyukai