Alcahayaman Halawa
Sekolah Tinggi Teologi Injili Arastamar (SETIA) Jakarta
Abstrak
Perubahan zaman dan perkembangannya tidak dapat dipungkiri oleh manusia.
Perkembangan zaman sangat mempengaruhi kehidupan manusia dalam membentuk
sikap dan karakter hidupnya. Sekang ini adalah zaman era globalisasi, yang juga dapat
mempengaruhi kebudayaan manusia yang terus mengalami perubahan, termasuk
standar modal dan nilai-nilai moral.
Pengetahuan manusia semakin berubah. Kebanyakan manusia tidak lagi memiliki
hidup yang benar, tetapi manusia mengalami kemerosotan dalam kesucian hidup. Oleh
karena itu supaya manusia dapat mengalami hidup yang benar, maka jalan terbaik
yang perlu ditempuh oleh orang-orang percaya masa kini adalah dengan memiliki etika
dan integritas yang tinggi dalam membina hubungan yang baik dengan Allah dan
sesama dengan saling mengasihi satu sama lain (band. Mat 22:37-40; Kej. 39:8-9; 50:20).
Jika orang percaya mengasihi Allah, maka mereka akan bersikap tegas menolak
perbuatan jahat dan melakukan yang benar. Teladan Yusuf sebagai orang yang penuh
dengan integritas diri dan memiliki moral yang baik, dapat menjadi inspirasi bagi
orang percaya untuk hidup bergantung kepada Allah yang senantiasa memelihara
kehidupan setiap orang yang percaya kepada-Nya.
Keutuhan hidup ditandai dengan pengenalan akan Allah dan percaya sungguh-
sungguh kepada Allah yang benar dan berkuasa. Orang percaya yang mengenal Allah
sungguh-sungguh akan memiliki etika yang baik serta memiliki kemampuan dalam
menjaga integritasnya sebagai anak-anak Allah di tengah-tengah dunia yang penuh
dengan dosa, maka karakter dan pola hidupnya akan berpusat pada Allah.
Alkitab berkata bahwa semua manusia telah kehilangan kemuliaan Allah (Rm
3:23) dan tidak dapat berbuat sesuatu hal yang baik, maka tanggung jawab pelayanan
adalah berupaya untuk menolong mereka supaya dapat bertindak melakukan sesuatu
secara etis dan memiliki integritas yang tinggi berdasarkan pengenalan akan Allah (Ay.
5:7-12; Ams. 1:7).
Miryo Suripatty, M. A.
Donna M. Nainggolan, M. A.
DAFTAR ISI
1
Dr. Christopher Wright, Hidup sebagai Umat Allah: Etika Perjanjian Lama, (Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2007) Hlm.9
2
Ibid, hlm. 19
3
bid, hlm. 22-23
BAB II
LATAR BELAKANG KEHIDUPAN YUSUF
Silsilah Keluarga
Silsilah dalam Perjanjian Lama adalah daftar nama-nama para leluhur atau garis
keturunan dari seorang atau beberapa orang. Nama-nama tersebut terlibat dalam suatu
keadaan tertentu atau peristira-peristiwa yang terjadi pada masa lampau terutama di
dalam Pentateukh. Demikianlah silsilah keluarga Yusuf.
Setelah manusia pertama (Adam dan Hawa, istrinya) diusir dan keluar dari
Taman Eden. Mereka mulai membentuk sebuah keluarga baru. Adam memperanakkan
Kain dan Habel, tetapi Habel mati oleh karena kejahatan Kain kakaknya. Alkitab
dengan jelas menyatakan, bahwa Habel melakukan apa yang benar di mata Tuhan
(seorang yang benar dan beriman). Sedangkan perbuatan Kain tidak berkenan di
hadapan Tuhan, oleh karena Kain berasal dari si jahat (1 Yoh 3:12) oleh karena sikap
dan tindakannya yang tidak berkenan di hadapan Allah dengan tidak sungguh-
sungguh memberikan persembahan kepada Allah. Adam hidup seratus tiga puluh
tahun, ia memperanakkan seorang anak laki-laki dan memberi nama Set kepadanya
sebab katanya: “Allah telah mengaruniakan kepadaku anak yang lain sebagai ganti
Habel; sebab Kain telah membunuhnya (Kej. 4:25-5:3). I. Snoek menyatakan bahwa
keturunan Set merupakan keturunan orang benar. Karena dari keturunan Set, Yusuf
akan dilahirkan. Set memperanakkkan Enos dan pada waktu itulah orang mulai
memanggil nama Tuhan (Kej 4:26). Enos memperanakkan Kenan; Kenan
memperanakkan Mahalaleel; Mahalaleel memperanakkan Yared; Yared
memperanakkan Metusalah; Metusalah memperanakkan Lamekh; Lamekh
memperanakkan Nuh (Kej 5:1-29).4
Nuh adalah anak penghiburan, seorang yang benar dan hidup bergaul dengan
Tuhan serta tidak bercela di antara orang-orang sezamannya. Sebab itulah Allah
menyelamatkan keluarganya dari air bah yang akan memenuhi bumi dan segala isinya
dimusnahkan. Tetapi karena Nuh mendapat kasih karunia dari Allah, maka seluruh
keluarganya diselamatkan. Nuh memperanakkan tiga anak laki-laki, yakni Sem, Ham
dan Yafet. Sem memperanakkan Terah ayah Abram. Terah memperanakkan tiga orang
anak, yakni Abram, Nahor dan Haran (Kej 11:27).
Tetapi nama Abram yang banyak diceritakan di dalam Alkitab Perjanjian Lama
khususnya kitab Kejadian, oleh karena kepadanyalah Allah mengadakan perjanjian.
Abram memperanakkan Ismael dari Hagar hamba Sara istrinya, kemudia Sara
melahirkan seorang anak laki-laki bagi Abram yaitu Ishak “anak perjanjian”. Ishak
memperanakkan Esau dan Yakub. Yakub dipilih Tuhan dan memperanakkan enam
4
Walter Lempp, Tafsiran Kitab Kejadian, (Jakarta: BPK gunung mulia, 1997), hlm.1-2
orang anak laki-laki dan satu anak perempuan dari Lea istri pertamanya (istri yang
tidak dicintai, Kej 29:31-35; 30:18-21), yakni Ruben, Simeon, Lewi, Yehuda, Isakhar,
Zebulon dan Dina; dua anak laki-laki dari Bilha, budak perempuan Rahel istri kedua
Yakub, Dan dan Naftali; dua anak laki-laki dari Zilpa, budak perempuan Lea, Gad dan
Asyer. Kemudian dua anak laki-laki dari Rahel (istri yang sangat dicintai oleh Yakub),
Yusuf dan Benyamin. Yusuf memperanakkan Manasye dan Efraim.
Yakub mempunyai dua belas anak laki-laki yang dipilih dan akan dibagi menjadi
dua belas suku Israel dan mereka tinggal di Mesir. Di Mesir bangsa Israel akan
diperbudak dimulai dengan cerita tentang Yusuf.
BAB III
TINJAUAN TEOLOGIS ETIS TERHADAP INTEGRITAS YUSUF
5
Christpher Wright, Hidup Sebagai Umat Allah, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2007), Hlm.18
6
Nico syukur dister, Pengantar Teologi, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1991), hlm. 44
7
Richard L. Oratt, Ia Berikan Kita Kisah-Nya, (Surabaya: Momentum, 2005), Hlm. 148
direncanakan oleh Allah, Allah tidak pernah melakukan kejahatan, melainkan Allah
menciptakan, merancang dan melakukan segala sesuatu sungguh amat baik (Kej. 1:30).
Pratt juga menjelaskan kisah pengusiran manusia dari taman eden, Allah
bertanya dan mengutuk (Kej 3:9-24); kisah Abraham dan keturunannya, Allah
memanggil dan memberkati (Kej 12:1-12); kisah Yusuf, Allah mengutus dan menyertai
dan memelihara (Kej. 37-50); kisah doa Salomo ketika memohon doa hikmat, Allah
berbicara dan menjawab doanya (1 Raj. 3:1-15). Selain hikayat di atas masih banyak
kisah lain yang menempatkan Allah di titik pusat adegan. 8
Hikayat Perjanjian Lama bukanlah alegori atau cerita yang penuh dengan arti
yang tersembunyi, tetapi ada segi-segi yang tidak mudah dimengerti, misalnya,
cara Allah bekerja dalam sejarah, cara-Nya, mempengaruhi tindakan manusia
serta cara melaksanakan kehendak-Nya sendiri melalui manusia (kadang-kadang
bertentangan dengan kemauan orang-orang itu sendiri; (bnd. Kejadian 50:20),
tidak selamanya dapt dimengerti.9
Allah bekerja sangat produktif, efektif dan kreatif. Allah menggunakan berbagai
cara untuk melakukan kehendak-Nya. Setiap keputusan dan tindakan Allah itu dengan
kerelaan kehendak-Nya. Paulus secara khusus menyetakan bahwa keputusan dan
tindakan Allah itu merupakan kehendak-Nya. Erickson menyatakan bahwa keputusan
dan tindakan Allah menyangkut pilihan Allah yang bebas.10 Williamson dalam
bukunya mengatakan, “Allah, melalui keputusan kehendak-Nya sendiri yang paling
bijaksana dan kudus, secara bebas dan secara tidak berubah telah menetapkan segala
sesuatu yang akan terjadi sejak kekekalan. 11
Alkitab secara fakta dan jelas mengatakan dalam Roma 8:28, “kita tahu sekarang,
bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi
mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana
Allah”, (bnd. Ef. 1:11) bahwa “Allah, yang di dalam segala sesuatu bekerja menurut
kehendak-Nya.” Erickson mengatakan bahwa ada tiga faktor dari sifat Allah yang
selalu bersatu untuk menghasilkan tindakan yang benar antara lain: Allah itu bijaksana,
8
Ibid, Hlm.149
9
Gordon D. Fee & Dauglas Stuart, Hermeneutika, (Malang: Gandum Mas, 2006), Hlm.77
10
Millard J. Erickson, Teologi Kristen, (Malang: Gandum Mas, 2004), Hlm.446
11
G.I Williamson, Pengakuan Iman Westminster, (Surabaya: Momentum, 2006), Hlm.45
sehingga mengetahui apa yang harus dilakukan-Nya; Allah itu baik, jadi Ia selalu
memutuskan untuk melakukan yang baik; Allah itu berkuasa, kerenanya Ia mampu
untuk melakukan apa yang dikehendaki-Nya.12 Pernyataan di atas menjelaskan bahwa
kehendak Allah tidak pernah dapat dihalangi, apabila Ia memutuskan untuk
melakukan segala sesuatu, Ia akan melaksanakannya juga, karena ia mampu
melakukan semuanya itu. Pemazmur mengatakan, “Allah kita di surga; Ia melakukan
apa yang dikehendaki-Nya” (Maz 115:3). Ada tiga unsur yang dapat diperhatikan
apabila melakukan tindakan secara etis yang berkenan kepada Allah, yakni ada
pengetahuan tentang apa yang akan dilakukan, kemauan untuk melakukannya, serta
kemampuan untuk melaksanakan apa yang direncanakan.
Jika manusia mengatahui secara jelas tentang keputusan etis berpusat pada
Allah, maka manusia dapat memperhatikan aspek moral Allah yang mengandung
unsur-unsur di dalam hakikat ilahi. Seperti, “kekudusan-Nya”, kekudusan Allah
menunjuk kepada kesempurnaan segala sesuatu di dalam diri-Nya. Di dalam diri Allah
kemurnian diri sudah ada sebelum kemurnian kehendak maupun tindakan. R. C.
Sproul mengatakan, “kekudusan menunjuk kepada kemurnian dan kebenaran tindakan
Allah. Allah melakukan apa yang benar, Dia tidak pernah melakukan sesuatu yang
salah. Allah selalu bertindak benar, sebab natur-Nya adalah kudus.”13
Pernyataan di atas menunjukkan bahwa Allah tidak menghendaki yang salah,
karena pada dasarnya Allah itu baik dan tidak berubah. Theiessen mengatakan,
kehendak Allah merupakan bagian dari eksistensi-Nya yang tidak terbatas dan tidak
berubah serta kekudusan merupakan sifat yang terutama di antara semua sifat Allah.
Seluruh peraturan moral bersumber pada kekudusan-Nya. 14
Firman Allah melalui Musa diberitahukan demikian, “sebab Akulah, Tuhan,
Allahmu, maka kamu haruslah menguduskan dirimu dan haruslah kamu kudus, sebab
Aku ini kudus, dan janganlah kamu menajiskan dirimu dengan setiap binatang yang
mengeriap dan merayap di atas bumi. Sebab Akulah Tuhan yang telah menuntut kamu
keluar dari tanah Mesir; jadilah kudus, sebab Aku ini kudus” (Im. 11:44-45). Pikiran
yang sama juga diungkapkan oleh Musa dalam Imamat 19:2 dan Matius 5:48, yang
berarti ada suatu dimensi yang sangat mendasar dan penting dari watak Allah.
Kekudusan merupakan sifat Allah yang paling utama. Keputusan etis yang berpusat
pada Allah juga Nampak dari kebaikan-Nya. Kebaikan sangat erat dengan Allah,
sehingga seorang filsuf non Kristen seperti Plato menyamakan kebaikan yang tertinggi
dengan Allah sendiri. Kebaikan Allah menunjuk kepada karakter dan perilaku Allah.
Tindakan Allah bersumber dari keberadaan-Nya, tindakan-Nya berdasarkan pada
siapa Dia. Pandangan-pandangan di atas memberikan indikasi bahwa ibarat sebatang
12
Millard j. Erickson, ibid, hlm 445
13
R.C.Sproul, Kebenaran-Kebenaran Iman Kristen, (Malang: SAAT, 2002), Hlm.64
14
Ibid, hlm.456
pohon yang tidak baik, tidak mungkin dapat berbuah yang baik, demikian segala
sesuatu yang dilakukan Allah pasti untuk kebaikan.
Kebaikan Allah bukan merupakan hal yang dibuat-buat, Allah menaati suatu
hukum, tetapi hukum yang Ia taati merupakan hukum yang berdasarkan pada
karakter-Nya yang kekal, tidak berubah dan pada dasarnya adalah baik. Yakobus
mengajarkan bahwa setiap yang baik dan yang sempurna merupakan pemberian Allah.
Dia bukan hanya merupakan standar tertinggi dari kebaikan, melainkan juga sumber
dari semua kebaikan. Demikian halnya setiap orang yang mengenal sumber kebaikan
itu sesungguhnya bertindak dan melakukan kebaikan berdasarkan kebenaran-Nya.
Dasar teologis dari semua keputusan etis yang dilakukan oleh Allah adalah
berpusat pada kekudusan, kebenaran dan kebaikan-Nya, yang menunjukkan sifat dasar
Allah secara keseluruhan. Allah merupakan sumber kebaikan dan jika manusia berbuat
baik, itu hanya karena ia mengenal Allah (Ams 3:5-6). Pengetahuan akan Allah tentu
saja menyatakan diri dalam kehidupan yang bermoral. Perilaku yang tidak bercela
dihadapan Tuhan merupakan suatu istilah umum untuk kehidupan yang bermoral.
Hidup yang benar begitu banyak ditekankan dalam Perjanjian Lama sebagai satu-
satunya kewajiban manusia, karena segala sesuatunya bersumber dan berpusat pada
diri Allah. Itulah sebabnya Musa memerintahkan Israel untuk “melakukan dengan setia
segala perkataan hukum Taurat. Sebab perkataan ini bukanlah perkataan hampa
bagimu, tetapi itulah hidupmu” (Ul. 32:46-47).
BAB IV
IMPLIKASINYA BAGI ORANG PERCAYA
Pengendalian Diri
Salah satu faktor yang sangat mempengaruhi manusia termasuk orang percaya
dalam beradaptasi dan bersosialisasi dengan orang-orang di sekitar mereka adalah
pengendalian emosi tidak menjadi persoalan dalam kehidupan manusia, tetapi sangat
bermanfaat. Dampak negatif dari emosi atau yang menjadi masalah ketika manusia
berpikir bahwa emosi itu buruk. Tuhan menciptakan emosi karena merupakan bagian
dari wujud manusia, yang mendorong manusia untuk bertindak. Emosi itu dapat
menimbulkan masalah, bila manusia tidak dapat mengendalikannya.
Emosi sangat berkaitan erat dengan pikiran dan perbuatan seseorang. Alkitab
dengan jelas mengatakan dalam Perjanjian Baru yang terdapat di Filipi 4:4-7,
”bersukacitalah dalam Tuhan! Sekali lagi kukatakan: bersukacitalah! Janganlah
hendaknya kamu kuatir tentang apapun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala hal
keinginanmu kepada Allah dalam doa, dan permohonan dengan ucapan syukur.
Damai sejahtera Allah yang melampaui segala akal, akan memelihara hati dan
pikiranmu dalam Kristus Yesus.” Paulus sangat menguasai pikiran dan emosinya. Di
dalam penjara Paulus menasihatkan jemaat Filipi, selayaknya orang lain yang memberi
penghiburan kepadanya, tetapi justru sebaliknya, Paulus yang memberi dorongan dan
nasihat kepada jemaat Filipi.