Anda di halaman 1dari 30

x

PERSPEKTIF BIBLIKAL TERHADAP ETIKA BERBISNIS


BAGI ORANG PERCAYA

Septinus Hia
Sekolah tinggi teologi injili arastamar (setia) Jakarta
Program Studi Teologi
2017202022

ABSTRAK
Berdasarkan rumusan pembatasan masalah, maka dapat dirumuskan masalah penelitian
sebagai berikut. Bagaimana gambaran umum tentang etika berbisnis? Bagaimana
perspektif biblikal tentang etika berbisnis bagi orang percaya?, Dan implikasinya bagi
orang percaya masa kini?. Penelitian ini dilakukan untuk mencapai tujuan-tujuan
sebagai berikut. Mengemukakan bagaimana etika berbisnis? Bagaimana perspektif
Biblikal terhadap etika berbisnis? Dan implikasi bagi orang percaya?.Metode penelitian
yang digunakan dalam pengumpulan dan penyusunan skripsi ini menggunakan
penelitian kualitatif literatur (murni): Metode yang digunakan penulis dalam tulisan ini
adalah metode study pustaka (Library Rescarch) yaitu menelusuri literatur yang ada dan
menelaahnya. Dan juga menggunakan metode deskriptif, karena penulis berusaha
mendeskripsikan dengan menginteprestasikan kecenderungan yang sedang berkembang.
Adapun hipotesis penelitian ini yaitu: jika orang percaya tidak memahami perspektif
biblikal mengenai bisnis, maka mereka akan berbisnis secara kotor dan hanya
mementingkan diri sendiri serta fokus mencari keuntungan semata.Berdasarkan
penelitian di atas, adapun saran-saran yang direkomendasikan adalah: orang percaya
yang melakukan praktik bisnis hendak memahami bahwa bisnis itu anugerah dari Allah
dan berbisnis merupakan panggilan dari Allah. Oleh karena itu, orang percaya
seyogianya menggunakan bisnis sebagai alat untuk melayani dan memuliakan Allah.
Dan orang percaya juga bersikap jujur dan menjadikan kejujuran sebagai hal yang
utama dalam berbisnis.

Dosen Pembimbing 1 : Yane Henderina Keluanan M.Pd. K


Dosen Pembaca : Sozanolo Zamasi, M. Pd. K
xi

DAFTAR ISI
LEMBARAN JUDUL.............................................................................................i
PENGESAHAN DOSEN PEMBIMBING...........................................................ii
HALAMAN PERNYATAAN..............................................................................iii
MOTTO.................................................................................................................iv
ABSTRAK..............................................................................................................v
KATA PENGANTAR..........................................................................................vii
DAFTAR ISI.......................................................................................................viii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah................................................................1
B. Identifikasi Masalah......................................................................4
C. Batasan Masalah............................................................................5
D. Rumusan Masalah.........................................................................5
E. Tujuan Penelitian..........................................................................5
F. Hipotesis........................................................................................6
G. Manfaat Penelitian........................................................................6
H. Metodologi Penelitian...................................................................6
I. Sistematika Penulisan....................................................................7

BAB II GAMBARAN UMUM TERHADAP ETIKA BERBISNIS BAGI ORANG


PERCAYA
A. Definisi Etika.................................................................................8
1. Pengertian Etika.........................................................................8
2. Jenis-Jenis Etika......................................................................10
B. Definisi Bisnis..............................................................................13
1. Pengertian Bisnis.....................................................................13
2. Jenis-Jenis Bisnis.....................................................................14
3. Tujuan Berbisnis......................................................................16
C. Definisi Orang Percaya................................................................17
1. Pengertian Orang Percaya.......................................................17
2. Tanggung Jawab Orang Percaya.............................................18
D. Pengertian Etika Bisnis................................................................19
BAB III PERSPEKTIF BIBLIKAL TERHADAP ETIKA BERBISNIS BAGI
ORANG PERCAYA
A. Menurut Perjanjian Lama.............................................................21
1. Jangan Mencuri.......................................................................24
2. Jangan Memeras......................................................................24
3. Jangan Menahan Upah Seseorang Pekerja Harian..................25
B. Menurut Perjanjian Baru..............................................................27
1. Jujur.........................................................................................30
2. Melibatkan Tuhan Dalam Bisnis.............................................31
3. Melayani Dan Memuliakan Allah Dengan Bisnis...................31
C. Pandangan Reformed...................................................................36
1. Pandangan Martin Luther........................................................36
2. Pandangan John Calvin ..........................................................37
D. Pandangan Kaum Injili.................................................................39
xi

E. Pandangan Iman Kristen..............................................................42


BAB IV IMPLIKASI BAGI ORANG PERCAYA MASA KINI
A. Secara Biblikal.............................................................................48
1. Tuhan Memberikan Perintah Untuk Berbisnis (Kej. 1:28).....48
2. Pebisnis Yang Beriman (Kej. 13:2).........................................49
3. Berbisnis Bukan Untuk Merugikan Atau Merepotkan Orang
Lain (Kpr. 18:3).......................................................................49
4. Berbisnis Dengan Jujur............................................................50
5. Berbisnis Merupakan Panggilan Tuhan...................................51
6. Berbisnis Bukan Suatu Larangan............................................51
7. Bisnis Alat Untuk Melayani Dan Memuliakan ......................52
B. Implikasi Praktis...........................................................................52
1. Kejujuran Hal Yang Utama Dalam Bisnis..............................52
2. Motivasi Yang Benar Dalam Bisnis........................................53
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan..................................................................................54
B. Saran.............................................................................................55

DAFTAR PUSTAKA

BIODATA
54

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH


Manusia sebagai makhluk sosial yang terikat dengan masalah ekonomi. Dalam
Surat Paulus kepada Jemaat Tesalonika mengatakan jika orang tidak mau bekerja,
janganlah ia makan (II Tes 3:10b). Ini artinya manusia harus bekerja untuk
mendapatkan makanan. Bisnis juga merupakan pekerjaan dan sarana untuk
mendapatkan makanan. Dalam ajaran Alkitab tidak ada ayat atau Firman Tuhan yang
menyatakan larangan untuk berbisnis bagi setiap pribadi termasuk orang percaya.
Namun, ada larangan untuk memperoleh keuntungan dari ketidakjujuran. Karel
Sosiopater menyatakan sebagaimana dikutip oleh Wauran bahwa, bisnis merupakan
usaha dagang yang melibatkan manusia.1 Berbisnis akan membantu manusia untuk
meningkatkan kesejahteraan khususnya dibidang ekonomi karena bertujuan untuk
mencari laba (uang) sebesar-besarnya. Hal ini sering membuat manusia jatuh dalam
dosa (I Tim 6 :10). Disinilah peran etika bagi orang percaya dalam berbisnis.
Kehidupan manusia tidak pernah terlepas dari etika karena etika merupakan
tatanan tentang perbuatan baik maupun buruk yang dilakukan oleh manusia. Menurut
Brotosudarmo, etika mengarah pada tindakan yang sadar dan disengaja. 2 Orang percaya
yang terlibat dalam praktik bisnis seyogianya memperhatikan perbuatan-perbuatannya
dalam menggunakan bisnisnya. Menurut Malik Bambangan, “Etika bisnis berbicara
mengenai kejujuran dalam memenuhi keuntungan sesuai dengan ajaran moral dalam
mendukung usaha bisnis yang dilakukan manusia”.3 Artinya, bisnis dilakukan sesuai
dengan stándar-stándar moral.
Orang yang berbisnis bukan hanya berbicara bagaimana tentang
profesionalisme, hal ini lebih ditekankan untuk menanamkan integritas dalam
menjalankan bisnisnya, sehingga akan berdampak positif dan tidak merugikan orang
lain. Namun kenyataannya orang yang terlibat dalam praktik bisnis seringkali
mengutamakan kepentingan pribadi daripada kepentingan bersama, tanpa
memperhatikan hubangan antara pimpinan dan bawahan. Seperti yang dikemukakan
Manuel Velasques menyatakan, “bisnis dapat membuat karyawan merasa terus menerus
tertekan, lingkungan hidup dicemarkan, serta keserakahan, kebohongan dan praktek
manipulasi.4 Itu artinya bisnis dipandang sebagai yang kotor dan penuh keserakahan.
Bisnis bukan usaha yang menjamin kehidupan manusia dan bukan tujuan
utamanya. Orang percaya yang berbisnis hendaknya berbisnis tanpa melalaikan
kebenaran yang diajaran dalam Alkitab. Jacky Latupeirissa menyatakan bahwa
keterlibatan orang percaya dalam bisnis hendakanya menjadi pedoman dalam
menjalankan usaha seperti bisnis.5 Namun ini tidak sesuai dengan perbuatan orang
1
Queency Christie Wauran, “Etika Bisnis Berdasarkan Pandangan Alkitab,” Jaffray, Vol. 13.2
(Oktober 2015), hal. 1.
2
R.M. Drie S. Brotosudarmo, Etika Kristen untuk Perguruan Tinggi (Yogyakarta: ANDI
(Penerbit Buku dan Majalah Rohani), 2010), hal. 4.
3
Malik Bambangan, “Perspektif Teologis Terhadap Etika Bisnis Kristen,” Jurnal Luxnos, 5.2
(2019), 135–46 <https://doi.org/10.47304/jl.v5i2.22>.
4
Kees Bertens, Etika Bisnis Kristen, ed. Robert P. Borrong dan N. Yudiet Tompah, Cet. 1.
(Jakarta: UPI dan PSE STT Jakarta, 2006), 9.
5
Jacky Latupeirissa, “Etika Bisnis Ditinjau Dari Perspektif Alkitab,” PASCA : Jurnal Teologi
dan Pendidikan Agama Kristen, Vol. 15.1 (April 2019), hal. 10 <https://doi.org/10. 46494>.
55

percaya yang berbisnis. Berterns menyatakan, bahwa orang Kristen yang terlibat dalam
dunia bisnis tidak memahami aturan serta etika dalam menjalankan bisnisnya sehingga
mereka tidak menjadi teladan.6 Artinya orang percaya yang terlibat dalam bisnis
dipandang sebagai orang yang tidak memahami aturan dan etika.
Allah telah mempercayakan manusia untuk hidup kudus seperti Dia (Im 19:2),
demikian halnya dengan orang percaya harus memelihara kekudusan mereka, termasuk
dalam berbisnis. Sehingga keterlibatan orang percaya dalam dunia bisnis selalu
mencerminkan ciri khas mereka sebagai orang percaya. Tetapi pada kenyataannya orang
percaya yang berbisnis sering dianggap kotor. Seperti yang dikemukakan oleh
Dharmaputera bahwa, orang-orang yang berbisnis bukanlah orang-orang yang
berkarakter jujur, dan tidak mengenal etika atau moral.7 Itu artinya orang yang berbisnis
dipandang sebagai orang-orang yang tidak bermoral.
Bisnis merupakan alat untuk manusia dalam meningkatkan taraf perekonomian.
Semua yang berbisnis bertujuan untuk mendapatkan keuntungan termasuk orang
percaya. Orang percaya dituntut supaya mempertahankan nilai-nilai Kekristenan atau
kejujuran dalam memperoleh laba. Namun, seringkali orang percaya hanya fokus
mengejar keuntungan tanpa memperhatikan nilai-nilai tersebut. Sehingga ada anggapan
yang mengatakan bahwa keterlibatan orang percaya dalam dunia bisnis itu tidak selalu
jujur. Hal ini sependapat dengan Lattupeirissa yang menyatakan bahwa dunia bisnis
tidaklah selalu jujur.8 Itu artinya, bisnis dipandang sebagai usaha yang kotor.
Orang percaya merupakan pribadi yang mengenal kebenaran Firman Allah dan
mengenal etika. Namun kenyataannya ada banyak orang percaya yang tidak
memperhatikan prinsip-prinsip etika dalam berbisnis, apabila sudah terobsesi dengan
keuntungan besar di depan mata, dan menurut penulis ini merupakan masalah yang
serius yang seyogianya diteliti lebih lanjut. Sehingga orang percaya yang berbisnis
selalu menjunjung tinggi prinsip-prinsip kebenaran dan keadilan dan tidak lalai
menerapkan etika dalam berbisnis.
.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan identifikasi masalah di atas penulis dapat merumuskan masalah
sebagai berikut:
1. Bagaimana gambaran umum tentang etika berbisnis bagi orang percaya?
2. Bagaimana perspektif Biblikal tentang etika berbisnis bagi orang percaya?
3. Apa implikasinya bagi orang percaya masa kini?

6
Kees Bertens. 10.
7
Phil. Eka Darmaputra, Etika Sederhana Untuk Semua Bisnis, Ekonomi Dan Penatalayan, Cet.
5. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002), 19–20.
8
Jacky Latupeirissa, hal. 13.
56

BAB II
GAMBARAN UMUM TERHADAP ETIKA BERBISNIS BAGI ORANG
PERCAYA

A. DEFINISI ETIKA
1. Pengertian Etika
Dalam kehidupan bermasyarakat, manusia yang hidup sebagai makhluk sosial
membutuhkan aturan atau tata krama atau yang sering dikenal dengan istilah etika untuk
mengatur kehidupan mereka sehari-hari. Etika merupakan pembahasan umum sering
dikaitkan dengan kepribadian manusia karena kata ini mencerminkan kehidupan
manusia setiap hari. Etika tidak hanya dibicarakan dibidang pendidikan, melainkan
diluar pendidikan pun hal ini sering disinggung. Seperti yang dinyatakan oleh Bertens
bahwa, etika tidak hanya dibicarakan dikalangan intelektual saja. 9 Etika berkaitan
dengan perbuatan baik dan buruk dan sangat berguna untuk mempengaruhi sifat atau
kebiasaan kehidupan manusia sehari-hari.
K. Bertens menyatakan bahwa, etika berasal dari bahasa Yunani kuno yaitu
ethos (bentuk tunggal) artinya: tempat tinggal, kebiasaan, adat, akhlak, watak, perasaan,
sikap, dan cara berpikir, dalam bentuk jamak ta etha artinya adalah adat kebiasaan.10
Artinya, etika berhubungan dengan perbuatan baik dan buruk sikap manusia sehari-hari
dimana mereka berada dan merupakan kebiasaan atau kultural yang diwariskan secara
turun temurun. Di bawah ini ada beberapa pandangan dari beberapa ahli tentang istilah
etika yaitu:
a. R.M. Drie S. Brotosudarmo menyatakan, “ethos (etika) aadalah pemukiman,
perilaku, kebiasaan”.11
b. J.L. Ch. Abineno menyatakan, “ethos (etika) adalah tempat tinggal baik dari
manusia, maupun dari binatang”.12
c. Norman L. Geisler menyatakan, “ethos (etika) adalah perbuatan yang
berkaitan dengan apa yang secara moral benar dan salah”.13
Dari semua pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa etika merupakan
perbuatan yang mendasari pada sikap serta tindakan benar dan salah secara moral yang
didalamnya dipengaruhi oleh suatu wilayah atau tempat tinggal dimana manusia itu
berada. Perbuatan manusia yang baik maupun buruk akan diatur oleh etika, di mana
etika berperan untuk menyatakan atau menyoroti tentang apa yang benar dan salah,
serta apa yang baik dan buruk secara moral. Setiap tingkah laku yang dilakukan oleh
manusia sengaja dan tidak sengaja merupakan hasil dari pemikiran manusia itu sendiri.
Hal ini sependapat dengan pemikiran Brotosudarmo yang mengemukakan bahwa, etika
merupakan suatu perilaku yang dilakukan sebagai hasil dari keputusan yang tegas
berdasarkan analisa dan keadaan batin yang menyadarinya. 14 Artinya, etika merupakan
gambaran diri seseorang tentang perbuatan baik dan buruknya yang dilakukan secara
sadar tanpa dipengaruhi oleh siapapun.
2. Jenis-Jenis Etika
9
K. Bertens, ETIKA (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993), hal. 3.
10
K. Bertens, ETIKA, hal. 4.
11
R.M. Drie S. Brotosudarmo, hal. 2.
12
J.L. Ch. Abineno, Sekitar Etika dan Soal-Soal Etis (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010), hal. 2.
13
Norman L. Geisler, Etika Kristen (Malang: DEPARTEEMEN LITERATUR SAAT, 2000),
hal. 17.
14
R.M. Drie S. Brotosudarmo, hal. 4.
57

Secara umum etika merupakan ilmu atau norma yang membahas tentang
perbuatan baik dan buruk. Menurutt para ahli etika dibedakan atas empat jenis
berdasarkan yang banyak digunakan yaitu etika deskriptif, normatif, khusus, dan meta-
etika.15 Keempat jenis etika ini akan diuraikan lebih jelas sebagai berikut:
a. Etika Deskriptif
Etika dekriptif merupakan etika yang bertujuan menyelidiki pandangan
mengenai baik dan buruk perbuatan manusia, dan menyelidiki norma-norma kesusilaan
yang pernah berlaku.16 Artinya, etika deskriptif berfungsi untuk memperhatikan setiap
perilaku dan kebiasaan adat dan budaya yang diijinkan atau tidak diijinkan di suatu
daerah. Bertens menyatakan bahwa, etika deskriptif mempelajari moralitas yang
terdapat pada seseorang dan tradisi-tradisi tertentu serta mengambarkan perbuatan
seperti adat kebiasaan, dan perbuatan baik buruk yang dipijinkan atau tidak. 17 Hal ini
juga dinyatakan oleh Abineno, bahwa etika deskriptif hanya memaparkan adat-istiadat
dan pandangan tentang perbuatan baik maupun buruk. Dan etika ini ditemui dalam
karya para ahli antropologi-budaya dan para sosiolog. 18 Dari pengertian ini, dapat
diartikan bahwa etika deskriptif merupakan pandangan terhadap suatu kebiasaan adat
yang dibudayakan di suatu tempat apakah baik atau tidak.
b. Etika Normatif
Etika normatif merupakan bagian terpenting dari etika dan tempat dimana
berlangsung diskusi yang paling menarik tentang mmasalah moral dan menyatakan
penilaian tentang perilaku manusia.19 Dapat diartikan bahwa etika normatif dapat
memberikan rumusan tentang kepribadian manusia. Seperti yang dinyatakan oleh
Abineno, etika normatif merupakan etika yang bertujuan untuk merumuskan premis-
premis normatif secara jelas, sehingga premis-premis itu dapat memimpin setiap pribadi
kepada suatu konklusi etis.20 Artinya, etika normatif membantu manusia dalam
mengambil keputusan yang tepad dalam hidupnya. Devos menyatakan bahwa, etika
normatif sebagai ajaran mengenai kesusilaan yang didasarkan diri seseorang dan
merupakan sifat hakiki yang menjadikan norma-norma kesusilaan sebagai panutannya. 21
Artinya, manusia menjadikan norma kesusilaan sebagai standar dalam penilaian setiap
perbuatan dan tingkah lakunya.
c. Etika Khusus
Etika khusus merupakan pengkhususan dari etika normatif, yang
mengkombinasikan premis-premis normatif dengan premis-premis faktual dan dari
pengetahuan tentang norma-norma dan fakta-fakta yang dikombinasikan itu, dan dapat
tiba pada suatu konklusi etis, misalnya dibidang etika medis dan etika politik. 22 Dari arti
ini, dapat diartikan etika khusus sebagai pengetahuan yang memberikan keputusan yang
tepat yang telah dipikirkan dengan baik pada bidang yang spesifik.

d. Meta-Etika
15
J. Douma, Kelakuan Yang bertanggung Jawab Pembimbing Ke Dalam Etika Kristen (Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 2002), hal. 8–9.
16
H. Devos, Pengantar Etika (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1987), hal. 8.
17
K. Bertens, ETIKA, hal. 15.
18
J.L. Ch. Abineno, hal. 8.
19
K. Bertens, ETIKA, hal. 17.
20
J.L. Ch. Abineno, hal. 8.
21
H. Devos, hal. 10.
22
J.L. Ch. Abineno, hal. 9.
58

Kata meta berasal dari bahasa Yunani yang mempunyai arti melebihi atau
melampaui untuk menunjukkan bahwa yang dibahas bukanlah moralitas secara
langsung, melainkan ucapan-ucapan pribadi seseorang dibidang karakternya.23 Meta-
etika merupakan istilah baru yang dulunya dikenal dengan nama etika kritis atau etika
formal yang bertujuan meneliti kata-kata kunci etis seperti baik, seharusnya, mesti, dan
wajib.24 Hal ini dapat diartikan sebagai sarana yang membantu manusia untuk
mengambil keputusan yang semestinya dalam setiap perbuatannya, namun pada tataran
kata-kata atau istilah yang mengandung makna etis.
3. Fungsi Etika
Etika merupakan pemikiran sistematis tentang moralitas yang dihasilkan dan
dapat membantu pribadi setiap orang dalam mengambil sebuah sikap yang berkaitan
dengan perbuatan baik. Etika membantu manusia untuk mengambil sikap dalam
menghadapi berbagai tantangan persoalan hidup serta membantu dalam pembentukan
karakter dan memampukan mengambil sikap yang bertanggung jawab dalam
menghadapi setiap ajaran-ajaran yang berlaku di suatu tempat. Sebagaimana dinyatakan
oleh Sinuor Yosephus bahwa, etika berfungsi untuk membantu manusia memberikan
pemahaman yang benar agar berperilaku baik.25 Artinya, etika dapat membantu manusia
dalam memahami perbuatan baik agar dilakukan. Frans Magnis Suseno menyatakan
bahwa ada empat fungsi etika yaitu:
a. Membantu mendapatkan penyesuaian yang kritis yang hidup dalam
masyarakat yang semakin pluralistik dan moralitas.
b. Membantu agar jangan kehilangan penyesuaian..
c. Membantu mengambil sikap yang kritis dan objektif dalam menghadapi
ideologi-ideologi yang bertentangan dengan etika.
d. Etika berfungsi untuk membantu kaum agama yang di satu pihak
menemukan dasar kemantapan dalam iman kepercayaan mereka sekaligus
dapat berpartisipasi dan tidak menutup-nutup diri dalam semua dimensi
kehidupan masyarakat yang sedang berubah.26
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa, etika berfungsi untuk
membantu setiap manusia yang hidup di era globalisasi dalam mengevaluasi setiap
kebiasaan yang ada dan memberikan sudut pandang yang baik terhadap moralitas yang
bertentangan dengan aturan-aturan yang berlaku di masyarakat di suatu tempat.

B. DEFINISI BISNIS
1. Pengertian Bisnis
Kehidupan manusia tidak pernah terlepas dari pekerjaan. Bekerja merupakan
unsur terpenting dalam kehidupan manusia untuk memenuhi kebutuhan ekonominya
setiap hari. Dalam 2 Tesalonika 3:10 Paulus menegaskan kepada jemaat di Tesalonika
untuk bekerja karena orang yang tidak mau bekerja janganlah ia makan. Bisnis
merupakan salah satu pekerjaan yang dilakukan manusia dalam memenuhi
kebutuhannya. Rasmulia Sembiring dalam bukunya pengantar bisnis menyatakan bahwa
bisnis berasal dari bahasa Inggris yaitu business yang berarti perusahaan, urusan, dan

23
K. Bertens, ETIKA, hal. 19.
24
J.L. Ch. Abineno, hal. 9.
25
L. Sinuor Yosephus, Etika Bisnis Pendekatan Filsafat Moral Terhadap Perilaku Bisnis
Kontemporer (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2010), hal. 7.
26
Franz Magnis-Suseno, Etika Dasar Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral (Yogyakarta:
Kanisius, 2002), hal. 15–16.
59

usaha, yang diartikan sebagai kesibukan dalam melakukan pekerjaan yang dapat
mendatangkan keuntungan.27
Pekerjaan seperti bisnis merupakan usaha yang melibatkan manusia dalam
melakukan kegiatan perdangangan dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan.
Seperti yang dikemukakan oleh William Chang bahwa, bisnis dapat diartikan sebagai
kegiatan perdagangan (jual-beli) untuk hidup, mempertahankan hidup, mencari
keuntungan, dan mencari kesejahteraan dan memenuhi kebutuhan ekonomi setiap hari. 28
Kegiatan ini sangat penting dalam kehidupan manusia karena berkesinambungan
dalam memenuhi kesejahteraan hidup dalam bidang perekonomian. Seperti yang
dinyatakan oleh Simorangkir bahwa, bisnis merupakan usaha dagang yang melibatkan
manusia dan bagian yang terpenting dari masyarakat. 29 Artinya, bisnis merupakan usaha
dagang atau proses jual beli barang yang dilakukan oleh manusia. Queency Christie
Wauran menyatakan bahwa, bisnis merupakan hubungan antar manusia, yang saling
membutuhkan pada posisi yang berbeda, seperti penjual dan pembeli. 30 Itu artinya,
bisnis tidak pernah terlepas dari kehidupan manusia dikarenakan bisnis merupakan
kegiatan perdagangan yang bertujuan untuk mendapatkan keuntungan agar memiliki
kehidupan yang sejahtera.
2. Jenis-Jenis Bisnis
Kemajuan zaman membuat manusia semakin kreatif dalam meningkatkan taraf
perekonominya. Dalam hal ini bisnis merupakan salah satu sarana untuk miningkatkan
taraf perekonomian tersebut. Di era globalisasi ini manusia semakin banyak
memerlukan kebutuhan yang harus dipenuhi. Febrianti mengemukakan bahwa,
Perubahan zaman menyebabkan semakin bekembangnya berbagai jenis bisnis namun
terdapat tiga jenis bisnis yang utama yaitu jasa atau layanan, manufaktur, dan retail. 31 Di
bawah ini akan diuraikan penjelasan tentang jenis-jenis bisnis berdasarkan kegiatannya
seperti yang dinyatakan oleh Febrianti;
a. Bisnis agraris dalah kegiatan yang dilakukan di bidang pertanian.
b. Bisnis ekstraktif adalah kegiatan yang dilakukan di bidang pertambangan.
c. Bisnis jasa adalah kegiatan yang dilakukan di bidang jasa seperti asuransi.
d. Bisnis Industri adalah kegiatan yang dilakukan di bidang industri
manufacturing seperti industri rokok.32

Dari pejelasan di atas dapat disimpulkan bahwa jenis bisnis berdasarkan


kegunaannya dapat dilakukan di bidang-bidang tertentu sesuai jenisnya. Selanjutnya
Zuhro Nilakandi memberikan penjelesan juga tentang jenis bisnis berdasarkan
kegunaannya sebagai berikut:
a. Form utility (kegunaan bentuk), adalah kegiatan yang mengolah suatu benda
menjadi bentuk yang berbeda sebelumnya sehingga dapat memiliki manfaat.

27
Rasmulia Sembirnig, Pengantar Bisnis, ed. oleh Lilis Sulastri (Bandung: La Goods Publishing,
2014), hal. 2.
28
O.F.M. Cap. William Chang, Etika dan Etiket Bisnis (Yogyakarta: Kanisius, 2016), hal. 47.
29
O.P. Somrangkir, Etika Bisnis Edisi Revisi (Jakarta: Aksara Persada Indonesia, 1992), hal. 44.
30
Queency Christie Wauran et al., “Etika Bisnis Berdasarkan Pandangan Alkitab,” October,
2015, hal. 4 <https://doi.org/10.13140/RG.2.1.2883.6569>.
31
dkk. Febrianty, Pengantar Bisnis Etika, Hukum & Bisnis Internasional, ed. oleh Aleks Rikki
& Janner Simarmata (Medan: Yayasan Kita Menulis, 2020), hal. 8.
32
Febrianty, dkk. Pengantar Bisnis Etika, Hukum & Bisnis Internasional, ed. Aleks Rikki &
Janner Simarmata (Medan: Yayasan Kita Menulis, 2020), 8–9.
60

b. Place utility (kegunaan tempat), adalah kegiatan yang melakukan


pemindahan sesuatu benda dari satu tempat ke tempat lain yang bergerak di
bidang transportasi.
c. Time utility (kegunaan waktu), adalah kegiatan yang dilakukan dengan
menyimpan barang seperti pergudangan.
d. Possession utility (kegunaan pemilikan), adalah kegiatan yang
menghasilkan barang atau jasa yang dimilikinya.33
Penjelasan bisnis berdasarkan kegunaannya dapat disimpulkan bahwa jenis
bisnis ini berguna untuk mengubah sesuatu barang menjadi barang yang lebih
bermanfaat lagi sehingga memperoleh keuntungan dari proses perubahan tersebut.
Kedua jenis bisnis ini memiliki tujuan yang sama untuk memperoleh keuntungan.
3. Tujuan Berbisnis
Segala sesuatu usaha yang dikerjakan manusia pasti memiliki tujuan salah
satunya usaha bisnis. Secara umum tujuan bisnis yang utama adalah untuk mendapatkan
keuntungan. Hal ini dinyatakan juga oleh Rasmulia Sembiring bahwa bisnis bertujuan
untuk menawarkan produk kepada orang dengan tujuan untuk mendapatkan
keuntungan.34 Artinya, setiap pebisnis bertugas untuk menawarkan produknya kepada
setiap orang, sehingga produk tersebut dapat dikenal di masyarakat dan tertarik untuk
membeli produk tersebut sehingga akan memberikan keuntungan bagi bisnisnya.
Sebagaimana yang dikutip Jacky Latupeirissa secara umum Pandji Panoraga
memberikan empat tujuan bisnis yaitu: pertama, mencari keuntungan, kedua,
mempertahankan kelangsungan usaha, ketiga untuk pertumbuhan pengembangan usaha,
dan keempat sebagai tanggung jawab sosial.35 Keempat tujuan bisnis ini saling
berkesinambungan, karena bertujuan untuk mendapatkan keuntungan serta
mengupayakan kelangsungan usaha supaya berkembang dan memberikan lapangan
pekerjaan sebagai bukti dari pertanggungjawaban.
Orang percaya yang terlibat dalam praktik bisnis memiliki tujuan yang berbeda
dengan orang non percaya. Larry Burket menyebutkan bahwa, tujuan sebuah bisnis
Kristen adalah untuk melayani Allah dan memuliakan Dia. Selanjutnya Larry Burket
memberikan lima tujuan bisnis bagi orang Kristen sebagai berikut:
a. Penginjilan, yaitu bahwa bisnis yang dipersembahkan kepada Tuhan adalah
alat yang efektif bagi penginjilan.
b. Pemuridan, yaitu melatih orang-orang Kristen untuk tumbuh semakin kuat
dalam iman mereka melalui kegiatan bisnis (2 Tim 2:2).
c. Memberi dana bagi pekerjaan Tuhan melalui bisnis dijalankan dengan
semestinya (1 Tim 3:15).
d. Dalam Memenuhi kebutuhan-kebutuhan pemilik, karyawan, pelanggan, dan
lain sebagainya.
e. Mendapatkan keuntungan melalui perencanaan dan manajemen yang baik
dengan melibatkan Tuhan (Am 16:9; Am 13:4).36

33
Febrianty, hal. 9–10.
34
Rasmulia Sembirnig, hal. 4.
35
Jacky Latupeirissa, hal. 10.
36
Jacky Latupeirissa, “Etika Bisnis Ditinjau Dari Perspektif Alkitab,” PASCA : Jurnal Teologi
dan Pendidikan Agama Kristen, 2019, hal. 10 <https://doi.org/10.46494/psc.v15i1.63>.
61

Bagi orang percaya bisnis merupakan alat untuk melayani, dan memperkuat
iman mereka serta membantu memenuhi setiap kebutuhan-kebutuhan sesamanya dan
akan mendapatkan keuntungan yang sesuai tanpa merugikan orang lain.

BAB III
PERSPEKTIF BIBLIKAL TERHADAP ETIKA BERBISNIS BAGI ORANG
PERCAYA

A. MENURUT PERJANJIAN LAMA


Dalam Alkitab Tuhan merupakan Allah yang bertindak. Hal ini terlihat dari
pekerjaan tangan-Nya dalam proses penciptaan. Dalam Alkitab menjelaskan bahwa
Allah melakukan penciptaan selama enam hari dan beristirahat pada hari ketujuh (Kej.
2:1-3). Ini menunjukkan bahwa Allah adalah Pribadi pekerja dan yang mau bekerja.
Bekerja bukanlah suatu hal yang buruk dan Allah bekerja atas kemauan-Nya sendiri.
Allah tidak bekerja saja melainkan mendapatkan kesenangan dalam pekerjaan-Nya
tersebut (Kej. 1:31).
Bekerja merupakan kehendak Allah terhadap manusia ciptaan-Nya. Manusia
merupakan ciptaan yang berbeda dengan ciptaan lainnya dimana Allah menciptakan
manusia menurut rupa dan gambaranya (Imago Dei). Sebagai ciptaan, manusia memiliki
tanggung jawab untuk menuruti perintah Penciptanya. Dalam Kejadian 1:28 Allah
memberi perintah kepada manusia untuk memelihara serta menaklukan bumi. Artinya
manusia dituntut untuk bekerja. Alkitab tidak mengatakan agar manusia tidak bekerja
atau bekerja satu hari dan istirahat enam hari atau disamaratakan melainkan
menugaskan manusia untuk menaklukan bumi. Kejatuhan manusia dalam dosa membuat
Tuhan murka. Akibatnya, manusia yang dulunya kerja tanpa susah payah sekarang
bekerja dengan banyak tantangan. Dalam kehidupan manusia bekerja merupakan hal
yang sangat penting untuk memenuhi kebutuhannya. Salah satu usaha manusia untuk
memenuhi kebutuhannya adalah bekerja dalam ranah bisnis, yakni melakukan kegiatan
bisnis.
Dalam Perjanjian Lama, masyarakat Yahudi banyak melakukan kegiatan bisnis
salah satunya tukang tenun dan kayu, dalam budaya masyarakat Yahudi melakukan
kegiatan bisnis sangatlah dihargai dan menurut Perjanjian Lama berbisnis sangat
dihormati.37 Artinya, bisnis merupakan pekerjaan yang baik untuk dilakukan. Orang
Yahudi memiliki tradisi yang unik yaitu orang tua mewajibkan anaknya untuk bekerja
seperti berbisnis. William Barclay menyatakan bahwa, seorang rabi dalam tradisi
Yahudi sama kedudukannya dengan pengajar seperti guru atau dosen, mereka harus
berbisnis untuk memenuhi kebutuhannya.38Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan
bahwa orang Yahudi sangat menuntut untuk mencari penghasilan sendiri termasuk
dengan cara berbisnis tanpa terkecuali, bahkan seorang rabi juga dituntut untuk mencari
kebutuhan sendiri dengan cara berusaha atau berbisnis karena orang-orang Yahudi
memiliki pandangan yang baik tentang pekerjaan yaitu pekerjaan atau berusaha adalah
kehidupan.
Cletus Groenen dan Alex Lanur menyatakan bahwa, dalam Perjanjian Lama
Allah memiliki hakikat sebagai sang pekerja dan pencipta yang diceritakan dalam
Kejadian 1:1-31 setelah penciptaan, Allah mempercayakan manusia sebagai wakilnya

37
Jerry & Mary White, Bekerja (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1990), hal. 16.
38
Jerry & Mary White, hal. 16.
62

untuk mengusahakan semua ciptaan yang telah diciptakan-Nya.39 Dapat diartikan bahwa
manusia melakukan pekerjaan sebagai tanggung jawab kepada Pencipta-nya. Pekerjaan
yang dilakukan manusia di bidang bisnis merupakan usaha untuk memenuhi
kebutuhannya.
Berbisnis merupakan bagian dari pekerjaan, dan tidak ada larangan bagi orang
percaya untuk berbisnis karena bisnis bukanlah hukuman kepada manusia. Karena
bisnis merupakan anugerah yang diberikan Tuhan kepada manusia. Sebelum jatuh
dalam dosa bisnis telah dianugerahkan Tuhan kepada manusia ini terlihat sejak Tuhan
memberikan perintah kepada manusia untuk mengusahakan bumi. Yudha Nata Saputra
dalam jurnalnya tentang kerja dan tujuannya dalam perspektif Alkitab menyatakan
bahwa, “manusia bekerja karena perintah untuk memenuhi bumi dan menaklukannya,
kerja bukanlah akibat kejatuhan manusia dalam dosa maupun kutuk, walaupun dosa
mempengaruhi aktivitas kerja yang membuatnya menjadi lebih berat namun perintah
bekerja sudah diberikan sebelum jatuhnya manusia dalam dosa.40 Artinya hakikat kerja
bersifat kudus. Kekudusan ini tidak boleh diabaikan manusia dalam melakukan
pekerjaannya karena Allah sendiri telah menjadikan diri-Nya sebagai pekerja dalam
kekudusan. Manusia tidak boleh melanggar hukum yang Allah berikan dalam
melakukan praktik bisnis.
David L. Baker mengemukakan bahwa hukum merupakan penuntun bagi
kehidupan manusia, yang terdiri dari etika dan keagamaaan.41 Artinya dalam melakukan
praktik bisnis ada hakikat kerja atau aturan yang dapat dilakukan agar pekerjaan
tersebut seperti bisnis menjadi pekerjaan yang kudus seperti yang dikehendaki Allah.
Dalam Imamat 19:1-37, Allah memberikan perintah kepada manusia untuk hidup kudus
termasuk dalam melakukan pekerjaannya seperti bisnis.
Ada beberapa hal hakikat kerja yang bersifat kudus berdasakan kitab Imamat 19
1. Jangan Mencuri
Mencuri merupakan perbuatan yang salah dan dilarang dikalangan masyarakat.
Begitu juga dengan pemahaman orang percaya mencuri merupakan hal yang salah dan
dilarang oleh Tuhan. Dalam Keluaran 20:15 Allah memberikan hukum atau perintah
untuk jangan mencuri. Mencuri tidak hanya dipandang mengambil barang orang lain
seperti yang dinyatakan oleh Christie Kusnandar bahwa, pencurian yang marak pada
saat ini terjadi dalam dunia bisnis (jual-beli), dan mencuri pelanggan menggunakan
jimat.42 Artinya, pencurian bisa dilakukan di mana saja.
2. Jangan Memeras
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memeras merupakan mengambil
untung banyak-banyak dari orang lain dan meminta uang dengan ancaman. 43 Artinya
memeras merupakan perbuatan yang merugikan orang lain dan bertentangan dengan
kehendak Allah. Orang percaya yang bekerja dalam bisnis tidak boleh mendapatkan
keuntungan dengan cara yang tidak baik. Dalam Pengkhotbah 7:7a “Sungguh,

39
Alex Lanur OFM Cletus Groenen OFM, Bekerja Sebagai Karunia Beberapa Pemikiran
Mengenai Pekerjaan Manusia (Yogyakarta: Kanisius, 1985), hal. 9.
40
Yudha Nata Saputra, “Kerja Dan Tujuannya Dalam Perspektif Alkitab,” TE DEUM: Jurnal
Teologi dan Pengembangan Pelayanan, Vol. 7.1 (Desember 2017), hal. 100.
41
David L. Baker, Mari Mengenal Perjanjian Lama, Cet. 10 (Jakarta: Gunung Mulia, 2005), hal.
35.
42
Christie Kusnandar, “Sepuluh Perintah Tuhan Bagian Kedua: Kasih Terhadap Manusia Dalam
Tinjauan Etika Kristen,” IIlmiah Methonomi, Vol. 3.2 (Juli-Desember 2017), 79.
43
KBBI
63

pemerasan membodohkan orang berhikmat”. Artinya, melakukan pemerasan atau


mengambil hak orang lain merupakan perbuatan orang yang tidak mengenal kebenaran.

3. Jangan Menahan Upah Seorang Pekerja Harian


Dalam Ulangan 24:14-15 “Jaganlah engkau memeras pekerja harian yang miskin
dan menderita, baik ia saudaramu maupun seorang asing yang ada di negerimu, di
dalam tempatmu. Pada hari itu juga haruslah engkau membayar upahnya sebelum
matahari terbenam ia mengharapkannya, karena ia orang miskin, supaya ia jangan
beseru kepada Tuhan mengenai engkau dan hal itu menjadi dosa bagimu”. Artinya,
Orang yang menggunakan tenaga sesamanya untuk melakukan suatu pekerjaan tidak
boleh memperlakukannya seperti budak atau menahan upah yang akan dia peroleh,
tetapi hendaknya memberikan upah sesuai dengan yang dia kerjakandan apabila ia
menahan upah pekerja hariannya maka ia berdosa dihadapan Tuhan.
Dari penjelasan di atas, sangat jelas bahwa manusia harus melakukan
pekerjaannya sesuai dengan yang dikehendaki oleh Tuhan. Robert M. Paterson
menyatakan bahwa, kitab Imamat 19 secara khusus ayat 13 “menyatakan tentang perbuatan-
perbuatan orang-orang kudus dan melarang orang-orang kaya atau orang kuat
memperoleh keuntungan dengan memperlakukan orang miskin atau orang lemah secara
tidak adil. Upah seseoarang buruh harian harus dibayar pada petang hari dengan
sesudah dia menyelesaikan pekerjaannya”.44 Itu artinya pebisnis agar selalu menerapkan
hakikat kerja yang kudus dalam pekerjaannya.
Bisnis yang dilakukan manusia dapat dijadikan sebagai alat untuk memenuhi
kebutuhannya. Namun bisnis bukan tujuan utama hidup manusia khususnya orang
percaya. Keterlibatan orang percaya dalam praktik bisnis tidak boleh melupakan
Penciptanya yaitu Tuhan pemilik langit dan bumi melainkan menjadi garam dan terang
dalam dunia bisnis yang dia kerjakan. Contohnya dari tokoh Perjanjian Lama Abraham
ia adalah seorang pengusaha ternak terkaya namun tidak melupakan Tuhan dan dikenal
sebagai bapa orang beriman (Kej. 13:2).
Kegiatan bisnis dalam Perjanjian Lama banyak dijumpai. Seperti yang
dikemukakan oleh Packer, Tenney dan White dalam bukunya ensiklopedia fakta Alkitab
Bible almanac-1 mengemukakan bahwa, orang Finisia menguasai perdagangan dan hal
ini membuat bangsa Israel mencontoh orang Fenisia.45 Artinya bisnis dalam Perjanjian
Lama sudah menjadi hal yang biasa dilakukan oleh manusia untuk meningkatkan taraf
perekenomiannya atau untuk memenuhi kebutuhannya.
Dalam 1 Raja-raja 4:22-24 menjelaskan bahwa, Salomo berkuasa atas seluruh
tanah di sungai Efrat dan memiliki usaha peternakan. Jerry dan Mery White menyatakan
bahwa, dalam Perjanjian Lama ada pekerjaan yang halal dan yang patut dihormati
seperti, kerja buruh (1 Raj.5:7-18), pekerjaan manual (Kel. 36:1-2), usaha dagang
(Daniel, Musa), dan usaha yang membutuhkan pikiran (Daniel). 46 Artinya, tidak semua
pekerjaan yang dilakukan oleh manusia berkenan di hadapan Allah seperti merampok,
bisnis yang mengutamakan keuntungan belaka, dan penjualan barang yang ilegal.

44
Robert M. Paterson, Tafsiran Alkitab Kitab Imamat, Cet. 3 (Jakarta: Gunung Mulia, 2003),
hal. 262.
45
Merril C. Tenney & Willian White J. Packer, Ensiklopedi Fakta Alkitab Bible Almanac-1
(Malang: Gandum Mas, 2001), hal. 567.
46
Jerry dan Mary White, Pemahaman Kristiani Tentang Bekerja Arti, Tujuan Dan Masalah-
Masalahnya (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997), hal. 18–19.
64

Doug Sherman dan William Hendrikcks, berpendapat bahwa semua pekerjaan


yang berkenan dihadapan Allah merupakan keberadaan dari pekerjaan Allah.47 Artinya,
pekerjaan yang baik akan memberikan kontribusi terhadap apa yang diinginkan Tuhan
tetapi sebaliknya, pekerjaan yang tidak baik tidak akan memberikan kontribusi kepada
Allah melainkan berkontribusi untuk dunia yang kotor ini.
Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa bisnis merupakan anugerah
kepada manusia. Perjanjian Lama memberikan pandangan yang positif tentang bekerja
dimana Allah sendiri menjadi Pribadi pekerja. Bekerja atau berbisnis merupakan
kewajiban manusia sejak diciptakan dan bekerja atau berbisnis bukanlah paksaan
kepada manusia atau kutuk karena dosa. Melalui bisnis manusia dapat memenuhi
kebutuhannya serta dapat menjadi saksi tentang Allah melalui bisnisnya. Perjanjian
Lama juga menuliskan tentang pekerjaan-pekerjaan yang tidak baik di hadapan Allah.

B. MENURUT PERJANJIAN BARU


Dalam Perjanjian Baru, manusia telah menggunakan pekerjaan atau
perdagangan sebagai jalur pendapatan dalam perekonomian mereka, hal ini telah
berlangsung cukup lama dan bukan hanya terjadi dalam Perjanjian Baru namun dalam
Perjanjian Lama manusia telah mengenal tentang perdagangan atau bisnis. Melakukan
pekerjaan di bagian bisnis merupakan sebuah keterampilan yang dimiliki oleh orang
yang melakukannya. Menurut Xavier Leon-Dofour, di zaman Perjanjian Baru orang
Yahudi menghargai keahlian dan keterampilan.48 Artinya bisnis di kalangan orang
Yahudi pada zaman Perjanjian Baru sangat dihargai karena bisnis merupakan bakat
yang dimiliki seseorang. Bisnis merupakan usaha yang dikerjakan oleh manusia untuk
mencukupi kebutuhan serta mendapatkan keuntungan. Seperti yang dikemukakan oleh
Doug Sherman dan William Hendricks bahwa, bekerja atau berbisnis adalah sarana
manusia untuk memenuhi kebutuhan, melayani orang lain serta memperoleh uang untuk
membantu orang lain.49 Artinya, berbisnis dipahami sebagai alat untuk memenuhi
kebutuhan bukan mencari keuntungan semata.
Orang percaya masa kini dapat mengetahui seberapa berkembangnya
pencapaian manusia pada zaman Perjanjian Baru bagaimana mereka begitu antusias
dalam bekerja untuk mencapai pendapatan bahkan hasil yang menguntungkan. Oleh
karena itu, Bekerja dalam Perjanjian Baru merupakan keharusan bagi manusia. Dalam
II Tesalonika 3:10b Paulus menasihatkan jemaat bahwa, “Jika seseorang tidak mau
bekerja, janganlah ia makan”. Dari ayat ini dapat diartikan bahwa manusia memiliki
kewajiban untuk bekerja, dan dari pekerjaannya ia memperoleh makanan. Manusia yang
tidak mau bekerja atau hidup dalam kemalasan mereka akan makan-makananya sendiri
atau kemalasannya (II Tes. 3:12). Artinya Tuhan menginginkan manusia menjadi
pribadi yang rajin dan dapat memenuhi kebutuhannya tanpa menyusahkan orang lain
karena sifat kemalasan. Bisnis merupakan pekerjaan atau usaha yang dilakukan manusia
di masa Perjanjian Baru dalam memenuhi kebutuhannya.
Berniaty Palabirin menyatakan bahwa, perumpamaan Yesus dalam Kitab Injil
hampir seperempat berkaitan dengan keadaan-keadaan bisnis misalnya dalam kitab Injil
Matius 13:45.50 Itu artinya, bisnis sudah menjadi pekerjaan orang yang ada di masa
47
Doug Sherman & William Hendricks, Pekerjaan Anda Penting Bagi Allah (Bandung: Yayasan
Kalam Hidup, 1997), hal. 118.
48
Xavier Leon-Dofour, Ensiklopedi Perjanjian Baru (Yogyakarta: Kanisius, 2016), hal. 58.
49
Doug Sherman & William Hendricks, hal. 124.
50
Berniaty Palabirin, “Pandangan Alkitab Tentang Praktik Bisnis Di Kalangan Hamba Tuhan
Penuh Waktu,” Jurnal Jaffray, Vol.8.2 (Oktober 2010), hal. 38.
65

Perjanjian Baru. Selanjutnya Berniaty Palabirin menyatakan bahwa, Yesus sendiri


selama 18 tahun memulai hidup-Nya sebagai pengusaha (tukang kayu). 51 Artinya
dimasa Yesus dalam Perjanjian Baru berbisnis bukanlah hal yang asing lagi melainkan
berbisnis sudah menjadi bagian dari kehidupan orang dimasa Perjanjian Baru untuk
memenuhi kebutuhan ekonomi mereka.
Paulus dalam perjalanan misinya melakukan kegiatan bisnis untuk melancarkan
misi peginjilannya. Adapun usaha yang dilakukan Paulus yaitu menjadi tukang kemah.
Ini menunjukkan bahwa berbisnis dimasa Perjanjian Baru sudah banyak dilakukan oleh
orang-orang percaya termasuk murid Yesus untuk mencukupi kebutuhannya.
Dalam urusan berbisnis rasul Yakobus menginginkan orang yang terlibat di
dalamnya untuk bersikap jujur dalam memperoleh keuntungan dalam Yakobus 4:13-17,
Yakobus menjelaskan bahwa para pebisnis atau pedagang memegahkan diri dan merasa
puas dengan dirinya sendiri dan merasa dapat bekerja apa pun tanpa campur tangan
Tuhan. Dari hal ini jelas bahwa orang percaya yang terlibat dalam dunia bisnis dituntut
untuk berperilaku baik dan jujur serta mengikuti aturan yang ditetapkan Alkitab dalam
menjalankan bisnisnya. Daniel Ronda menyatakan bahwa, orang percaya yang terlibat
dalam praktik bisnis penting bagi dirinya untuk menjadikan Alkitab sebagai satu-
satunya penuntun dalam kehidupannya termasuk dalam menjalankan bisnisnya.52
Artinya, Alkitab menjadi penuntun bagi orang percaya dalam melakukan bisnisnya agar
terhindar dari perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan kehendak Allah. Orang
percaya yang terlibat dalam praktik bisnis perlu menerapkan prinsip-prinsip Alkitab
dalam menjalankan bisnis.
Menurut Berniaty Palabiaran ada beberapa prinsip Alkitab yang dapat
diterapkan dalam praktik bisnis yaitu: “mengutamakan sekaligus melibatkan Tuhan
dalam bisnis, mempelajari dan menerapakan Firman Tuhan, menghargai manusia
melebihi barang atau benda, memberi yang terbaik kepada Allah, bersikap jujur dan
tulus, dan hidup dalam kekudusan”.53
Dari penjelasan ini penulis menguraikan beberapa prinsip Alkitab yang dapat
diterapkan orang percaya dalam menjalankan bisnisnya.
1. Jujur
Kejujuran merupakan gambaran yang menceminkan kepribadian dan keimanan
seseorang terutama orang percaya. Dalam Kolose 4:1 memberikan perintah untuk
berlaku adil dan jujur. Artinya, Tuhan menghendaki manusia untuk berlaku jujur kepada
siapa pun termasuk dalam aktivitas pekerjaan tanpa membeda-bedakan. Dalam berbisnis
kejujuran sangat penting agar bisnis tersebut dapat berjalan dengan baik. Apabila
pebisnis tidak berprilaku jujur dan cenderung bersikap curang dalam menjalankan
bisnisnya maka pebisnis tersebut merugikan dirinya sendiri dan membuat pelanggan
tidak mempercayainya. Jerry White mengemukakan bahwa, kejujuran merupakan
mandat Alkitab.54 Artinya, Tuhan menghendaki manusia ciptaan-Nya untuk bersikap
jujur termasuk dalam berbisnis. Karena Allah bergaul erat dengan orang jujur (Ams.
3:32).
2. Melibatkan Tuhan Dalam Bisnis
Berbisnis merupakan panggilan dari Tuhan, dan tida ada perintah Tuhan untuk
melarang manusia bekerja seperti bisnis. Tuhan menghendaki manusia untuk bekerja

51
Berniaty Palabirin, hal. 38.
52
Daniel Ronda, Leadership Wisdom (Bandung: Kalam Hidup, 2011), hal. 83.
53
Berniaty Palabirin, hal. 43.
54
Jerry White, Kejujuran, Moral dan Hati Nurani (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1987), hal. 34.
66

dan tidak boleh malas, karena kemalasan akan mendatangkan kemiskinan. Orang
percaya yang berbisnis dapat melibatkan Tuhan dengan bisnisnya jika bisnis dipandang
sebagai panggilan dan anugerah dari Tuhan. Artinya, pebisnis selalu berdoa dan tidak
berhenti berkomunikasi kepada Tuhan melalui doa. Karena dengan berdoa kepada
Tuhan, maka semua pekerjaan yang dilakukan termasuk usaha bisnis akan diberkati.
Dalam I Yohanes 5:14 “Dan inilah keberanian percaya kita kepada-Nya, yaitu bahwa Ia
mengabulkan doa kita, jikalau kita meminta sesuatu kepada-Nya menurut kehendak-
Nya”. Dari ayat ini sangat jelas bahwa, melibatkan dan berdoa kepada Tuhan dalam
melakukan pekerjaan termasuk bisnis akan diberkati.
3. Melayani Dan Memuliakan Allah Dengan Bisnis
Melalui bisnis manusia diajarkan untuk monolong sesama dalam hal mengasihi.
Artinya, mengasihi pekerjanya, dan mengasihi pelanggan dan konsumennya. Bisnis juga
digunakan untuk memuliakan Allah dalam hal memberi berkat. Dalam I Korintus 10:31
menjelaskan bahwa segala sesuatu yang dikerjakan manusia digunakan untuk
memuliakan Allah.
Bersikap jujur dan kudus merupakan ciri khas orang percaya dan hal ini dapat
diterapkan orang percaya dalam berbisnis. Namun pada kenyataannya banyak orang
percaya yang tidak memperdulikan hal tersebut seperti dimasa Perjanjian Baru tingkat
kepedulian manusia sangat minim untuk memperhatikan konsep yang benar dalam
melakukan bisnis. Eka Darmaputera dalam bukunya etika sederhana untuk semua
bisnis, ekonomi dan penatalayan menyatakan bahwa, pada masa Perjanjian Baru tidak
ada konsep yang baik secara Kristen dalam menjalankan usaha seperti bisnis mereka
hanya peduli agar mereka tetap bersih dan bertahan dari dunia yang kotor dan korup
pada masa itu.55 Dari pendapat ini sangat jelas bahwa kepedulian terhadap melakukan
bisnis sesuai ajaran Alkitab tidak terlalu diperhatikan. Seperti yang dikemukakan oleh
Simon Julianto dalam Jurnalnya bahwa, pada masa Perjanjian Baru, terdapat kesan yang
kuat bahwa gereja tidak terlalu peduli terhadap dunia bisnis karena dunia pada saat itu
dianggap kotor.56 Itu artinya, gereja atau orang-orang percaya pada saat itu tidak
memahami praktik bisnis dengan baik sehingga berpikir bahwa bisnis itu kotor.
Pandangan yang salah tentang bisnis ini berawal dari orang-orang Yunani di mana pada
saat itu orang Yunani merupakan orang-orang yang sangat berpengaruh dalam dunia
kekristenan. Pada saat itu orang Yunani memiliki suatu konsep tentang panggilan, dan
beranggapan bahwa panggilan seseorang hanya dalam gereja selain itu bukan
merupakan panggilan. Seperti yang dikemukakan oleh Paul Stevens bahwa, orang
Yunani pada saat itu sangat anti dengan bisnis karena memilki pandangan bahwa bisnis
bukan bagian dari panggilan (vocation). 57 Itu artinya, bisnis dipandang sebagai
pekerjaan yang tidak dianugerahkan Tuhan kepada manusia. Hal ini menyebabkan
pandangan manusia pada masa itu tertutup terhadap praktik bisnis yang sesuai dengan
ketetapan Alkitab.
Pekerjaan dibidang bisnis sudah banyak dilakukan di masa Perjanjian Baru.
Dalam Ensiklopedia Alkitab Masa Kini menjelaskan bahwa perdagangan Roma meluas
ke negeri-negeri di luar kerajaan Roma. 58 Hal ini juga dinyatakan oleh Groenen bahwa,
55
Phil. Eka Darmaputra, hal. 2.
56
Simon Julianto, “Kewirausahaan Jemaat Sebuah Alternatif Berteologi,” Waskita: Jurnal Studi
Agama Dan Masyarakat, Vol. 4.No. 1 (Oktober 2012), hal. 158.
57
R. Paul Stevens, God’s Business Memaknai Bisnis Secara Kristiani (Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2008), hal. 55.
58
Ensiklopedi Alkitab Masa Kini Jilid I A-l (Jakarta: Yayasan Komunikasih Bina Kasih/OMF),
hal. 222.
67

perdagangan di Roma antar kota dan antar daerah sangat luas, pertukangan dan industri
besar dan kecil ada diseluruh kota-kota dan ditangani oleh pengusaha yang ada di
tempat itu.59 Dari hal ini dapat diartikan bahwa usaha seperti bisnis sudah dilakukan
oleh orang-orang yang ada dimasa Perjanjian Baru.
Dalam Yohanes 5:17 menyatakan bahwa,. Artinya, Tuhan menghendaki
manusia untuk bekerja atau berbisnis. Jhon Stoot menyatakan bahwa bisnis baik bagi
manusia bukan saja karena melalui bisnis manusia dapat memenuhi kebutuhannya tetapi
melalui bisnis manusia memperoleh pencitraan sebagai manusia, artinya dapat menjadi
lebih manusiawi.60 Pandangan ini memberikan pengertian bahwa melalui pekerjaan atau
bisnis manusia dapat memahami makna hidup yang sesungguhnya dan dapat
menunjukkan talenta yang dimiliki melalui pekerjaannya. Seperti yang dikemukakan
Purya Hadiwardoyo bahwa dengan bekerja manusia dapat mengembangkan bakat-bakat
dan kemampuannya.61 Artinya, berbisnis merupakan tempat untuk manusia dalam
menunjukan keterampilan yang dimilikinya dan berbisnis bukan hanya semata-mata
mencari laba. Melalui bisnis manusia diajarkan untuk memuliakan Allah sebagai
pemberi berkat karena bekerja termasuk bisnis merupakan perintah Tuhan kepada
manusia. Jadi, pekerjaan apapun yang dilakukan manusia termasuk bisnis adalah untuk
kemuliaan Allah. Seperti yang dikemukakan Paulus di jemaat Korintus bahwa, jika
engkau makan atau jika engkau minum, atau jika engkau melakukan sesuatu yang lain,
lakukanlah semuanya itu untuk kemuliaan Allah (1 Kor. 10:31). Dari ayat ini dapat
diartikan jika bisnis bukan semata-mata mencari laba melainkan untuk melayani. Hal ini
juga dikemukakan oleh Paul L. Cuny bahwa, tujuan kerja atau bisnis bukan untuk
gengsi dan kehormatan melainkan untuk kemuliaan Allah dan pelayanan kepada
sesama.62 Dengan demikian pandangan ini memberikan petunjuk kepada pebisnis agar
tidak menjadikan bisnisnya sebagai alat untuk memperkaya dirinya melainkan untuk
melayani sesamanya dan untuk memuliakan Tuhan. Hal ini bisa dilakukan apabila
pebisnis memiliki pandangan bahwa semua yang dikerjakan termasuk bisnis adalah
pemberian Tuhan. Memiliki pandangan seperti ini membuat pebisnis terhindar dari
praktik bisnis yang hanya mengutamakan uang semata. Berbisnis merupakan kegiatan
yang dilakukan manusia dan memiliki hubungan yang erat dengan uang.
Richard J. Foster mengemukakan bahwa, usaha seperti bisnis selalu
berhubungan dengan uang. Orang percaya yang terlibat dalam praktik bisnis dituntut
63

agar memiliki hubungan sosial yang baik dengan sesamanya serta menjadi garam dan
terang karena dalam dunia bisnis ada banyak jebakan khususnya dalam hal
materialisme. Hal ini dijelaskan oleh Jake Barnet bahwa, materialisme merupakan cinta
uang yang tak terkendalikan dan hanya menginginkan materi semata. 64 Jika pebisnis
tujuan utama untuk mendapatkan uang, maka pebisnis tersebut bisa jatuh dalam jebakan
iblis seperti menghalalkan segala cara untuk mendapatkan keuntungan dalam bisnisnya.
Dalam 1 Timotius 6:10 menyatakan bahwa, dasar dari kejahatan adalah cinta uang atau
orang yang hanya mementingkan uang. Dari ayat ini dapat disimpulkan bahwa uang
59
C. Groenen OFM, Pengantar Ke Dalam Perjanjian Baru (Yogyakarta: Kanisius, 2001), hal. 58.
60
John Stoot, Isu-isu Global Menantang Kepemimpinan Kristiani Penilaian Atas Masalah Sosial
dan Moral Kontemporer (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF, 1984), hal. 217.
61
Purwa Hadiwardoyo, Moral dan Masalahnya (Yogyakarta: Kanisius, 1992), hal. 95.
62
Paul L Cuny, Rahasia Ekonomi Kerajaan Allah (Yogyakarta: ANDI, 2013), hal. 24.
63
Richard J. Foster, Uang, Seks, Dan Kekuasaan (Bandung: Yayasan Kalam Hidup, 1985), hal.
64.
64
Jake Barnet, Harta Dan Hikmat Pandangan Alkitab Tentang Kekayaan (Bandung: Yayasan
Kalam Hidup, 1987), hal. 116–17.
68

akan menyusahkan diri sendiri terutama pebisnis yang memiliki motivasi mencari uang
semata dalam bisnisnya.
Dari penjelasant tersebut dipahami bahwa berbisnis di dalam Perjanjian Baru
sudah banyak dilakukan oleh orang-orang dimasa itu dan tidak ada larangan bagi
siapapun dalam melakukan bisnis, artinya orang percaya bisa terlibat dalam bisnis dan
tujuannya bukan hanya mencari keuntungan semata melainkan bisnis juga dapat
dijadikan sebagai pelayanan untuk membantu orang seperti yang dilakukan oleh Rasul
Paulus dan beberapa tokoh Alkitab lainnya. Namun ada juga pada masa Perjanjian Baru
yang tidak terlalu memperhatikan cara berbisnis sesuai dengan ajaran Alkitab seperti
yang penulis jelaskan di atas.

C. PANDANGAN REFORMED
Reformasi tidak pernah terlepas dari tokoh-tokoh penting seperti Martin Luther,
Phillip Melanchthon, Ulrich Zwingli dan Johannes Calvin65 Tetapi di antara mereka, dan
sejumlah nama lain yang sangat erat kaitannya dengan reformasi, Martin Luther dan
John Calvin adalah nama-nama yang paling dikenal sebagai tokoh reformator yang
selalu dikaitkan dengan reformasi. Reformasi merupakan perlawanan terhadap
pandangan atau pemikiran pada abad pertengahan. Secara umum Teologi Reformed
memegang prinsip berdasarkan otoritas Alkitab, kedaulatan Allah, keselamatan oleh
anugerah melalui Kristus dan perlunya penginjilan.
1. Pandangan Martin Luther
Martin Luther merupakan tokoh gerakan reformasi gereja pada abad XVI.
Pengalaman pertobatannya membawa gereja Protestan pada pengertian keselamatan
melalui pembenaran iman.66 Marthen Luther memilki konsep tentang pekerjaan
termasuk bisnis. Bagi Luther kerja atau bisnis bertujuan bukan untuk dirinya sendiri
melainkan untuk orang lain.67 Artinya, bisnis dilakukan bukan untuk kepentingan diri
sendiri melainkan untuk kepentingan bersama. Bisnis bisa menjadi alat bagi orang
percaya untuk melakukan penginjilan.
Melakukan penginjilan tidak hanya melalui Gereja atau menjadi mahasiswa di
sekolah teologi Kristen tetapi dalam segala pekerjaan termasuk bisnis bisa dijadikan
sebagai alat untuk melakukan penginjilan. Karena semua pekerjaan maupun bisnis
merupakan panggilan yang diberikan Tuhan kepada manusia. Seperti yang dinyatakan
oleh Marthin Luther bahwa, semua pekerjaan baik di dalam gereja maupun di luar
gereja termasuk bisnis.68 Artinya, bisnis dipandang sebagai hal yang positif yang
berkenan dengan Tuhan.
2. Pandangan Jhon Calvin
Pandangan Calvin tentang kerja atau bisnis tidak terlalu jauh berbeda dengan
Luther. Calvin berpendapat bahwa pada dasaranya Allah menciptakan manusia dengan
tujuan bekerja atau berbisnis.69 Calvin mengakui dunia perdagangan yang berkembang
65
Hadi P. Sahardjo, “Mencermati Teologi Reformed Dan Gerakan Reformed Injili,” TE DEUM:
Jurnal Teologi dan Pengembangan Pelayanan, Vol. 9.2 (November 2020), hal. 212.
66
Hendra G. Mulia, “Formasi Spiritual Martin Luther Dan Perwujudan Dalam Gereja-Gereja
Injili Di Indonesia,” Veritas: Jurnal Teologi Dan Pelayanan, Vol. 1.2 (Oktober 2010), 190.
67
Sukamto, “Teologi Kristen Tentang Kerja (Vocation) Pada Masa Pra-Reformasi dan
Reformasi,” Transformasi:Jurnal Ilmiah Populer Untuk Membangun Kepemimpinan Transformasional,
Vol. 9.1 (Juni 2013), hal. 84.
68
Sukamto, “Teologi Kristen Tentang Kerja (Vocation) Pada Masa Pra-Reformasi dan
ReformasiSukamto, hal. 83.
69
Sukamto Sukamto, hal. 85.
69

sebagai kegiatan yang sah bagi seorang percaya dan kegiatan yang baik sejauh
dilakukan untuk memenuhi panggilan Allah atas dunia ini dan disertai dengan motivasi
yang tidak merugikan orang lain.70 Artinya, berbisnis merupakan panggilan kepada
seseorang dan tidak bertentangan dengan kehendak Allah apabila bisnis dilakukan
sesuai dengan ajaran Alkitab.
Pandangan kedua tokoh reformasi di atas dapat disimpulkan bahwa bisnis
merupakan pekerjaan yang dikehendaki Tuhan kepada manusia. Seperti yang
dikemukakan oleh Paul Stevens bahwa, Luther dan Calvin memandang bisnis sebagai
panggilan dari Allah dan semua orang dipanggil untuk bekerja termasuk berbisnis.71
Artinya, semua manusia dipanggil untuk melakukan kehendak Allah seperti bisnis.
Pandangan reformed ini memberikan pemahaman yang baik bagi pebisnis masa kini
dimana menjadi pebisnis bagian dari rencana Allah kepada manusia. Hal ini kemudian
diperjelas oleh Timothy Keller bahwa, Reform memiliki pandangan yang baik tentang
pekerjaan, dimana kerja bertujuan untuk menciptakan suatu budaya yang menghormati
Allah dan memampukan manusia untuk berkembang.72 Artinya, bisnis merupakan
panggilan bagi semua orang termasuk orang percaya. Menjadi pebisnis merupakan
panggilan dari Allah dan keterlibatan orang percaya dalam dunia bisnis tidak
mempengaruhi status mereka sebagai orang percaya melainkan keberadaan mereka
dapat memberikan dampak yang positif bagi pebisnis lainnya. Marthen Luther juga
menyatakan bahwa, kegiatan bisnis mempunyai tempat dan makna secara teologis. 73
Artinya menjadi pebisnis tidak lebih rendah dari seorang pekerja di dalam gereja seperti
penginjil atau pendeta.
Pandangan ini belum membuat beberapa gereja mengakui bahwa berbisnis
adalah panggilan dari Allah seperti yang dikemukakan oleh Christie Wauran bahwa;
Walaupun konsep bekerja telah dikembalikan ke posisinya semula melalui para
reformator, tetapi masih ada gereja yang berpandangan mendua tentang bisnis
yang dikelompokkan ke dalam lima macam sikap gereja:
1. Bukan urusan – ekonomi adalah urusan duniawi, gereja tidak sepatutnya
mengurusi masalah perekonomian.
2. Krisis/Anti – berbeda dengan yang pertama, pandangan ini tidak anti-ekonomi
melainkan anti-kapitalisme serta menekankan social gospel.
3. Mengatur – agak jarang di Indonesia, gereja mengatur perekonomian jemaatnya,
menerapkan pajak untuk gereja dan tidak jarang praktek-praktek yang
menggambarkan bahwa tak bedanya sebuah perusahaan.
4. Kolaborasi – pada prinsipnya bahwa gereja dan ekonomi saling mendukung.
Seperti yang ditemukan secara tidak disengaja oleh Max Weber (sosiolog
Jerman), tentang pengaruh etika protestan (Calvinisme) terhadap kemajuan
ekonomi dibeberapa negara Eropa Barat bagian utara.
5. Alternatif – reaksi dari sistem perekonomian kapitalis yang terlalu membuka
kesempatan individu untuk meraih kesuksesan tanpa memperdulikan pihak lain,
pandangan ini berupaya membuat alternatif lain dalam dunia ekonomi.74

70
Simon Julianto, hal. 160.
71
R. Paul Stevens, hal. 55.
72
Timothy Keller, Apakah Pekerjaan Anda Bagian Dari Pekerjaan Allah? (Every Good
Endeavor) (Surabaya: Literatur Perkantas Jawa timur, 2019), hal. 20.
73
Phil. Eka Darmaputra, hal. 4.
74
Queency Christie Wauran, hal. 4–5.
70

Dari penjelasan di atas dapat diartikan bahwa gereja tidak memiliki pandangan
yang sama tentang bisnis. Hal ini dikarenakan kurangnya pemahaman yang baik tentang
bisnis dan adanya pebisnis yang mementingkan keuntungannya tanpa memperhatikan
cara berbisnis menurut Alkitab. Kemudian Sukamto mengemukakan bahwa:
Masa Reformasi menjadi titik balik tentang teologi kerja termasuk bisnis, bisnis
yang dulunya dipandang rendah pada abad pertengahan sekarang dikembalikan
oleh Reformator ketempat yang sesungguhnya, kerja merupakan panggilan suci
yang harus dilakukan oleh setiap manusia, Allah maka pekerjaan itu masuk di
dalam sacred calling (Panggilan suci).75
Jadi, dapat disimpulkan bahwa, bisnis menurut pandangan reformed adalah
pekerjaan yang dianugerahkan oleh Tuhan kepada manusia untuk menunjukkan
bakatnya serta mencari kebutuhan dan melayani sesamanya terutama untuk memuliakan
Tuhan. Berbisnis merupakan panggilan dari Allah, keterlibatan orang percaya dalam
praktik bisnis tidak lebih rendah dari orang percaya yang kerja di dalam gereja. Hal ini
dikarenakan bisnis bagian dari ciptaan Tuhan dan telah mendapatkan posisi yang sama
seperti pekerjaan lainnya.

D. PANDANGAN KAUM INJILI


Kata Injili merupakan terjemahan dari kata evangelikal, yang berasal dari bahasa
Yunani euangelion yang berarti “kabar baik”. Kaum Injili memiliki kepercayaan yang
sangat kuat pada penginjilan, keharusan untuk mengabarkan berita keselamatan karena
anugerah melalui keselamatan.76 Sejak zaman Reformasi kata ini digunakan oleh gereja-
gereja Protestan karena menekankan Injil sebagai dasar ajarannya. 77 Luther dan para
penerusnya menyatakan kaum Injili atau evangelikal merupakan gerakan produk gereja
Reformasi.78 Istilah ini digunakan untuk menegaskan bahwa Reformasi beserta gereja
yang dihasilkannya agar kembali kepada Injil yang benar sebagaimana terdapat dalam
Alkitab sebagai satu-satunya sumber dan dasar kehidupan gereja. 79 Penulis tidak
membahas lebih jauh lagi tentang sejarah kaum Injili, karena penulis hanya membahas
pandangan mereka terhadap bisnis.
Kehidupan manusia tidak pernah terlepas dari masalah ekonomi. Gilbert
menyatakan bahwa ekonomi merupakan sesuatu yang berhubungan dengan penghasilan
manusia, harta dan kekayaan.80 Dalam memenuhi kebutuhan ekonomi tersebut ada
berbagai usaha yang dilakukan manusia salah satunya bisnis. Bisnis merupakan
pekerjaan yang selalu berkaitan erat dengan uang. Manusia yang tidak percaya Tuhan
melakukan segala cara untuk mendapatkannya. Gilbert menyatakan untuk mendapatkan
uang gunakanlah cara yang jujur karena uang sifatnya tidak abadi dan jadikan Tuhan
sebagai sumber uang karena takut akan Tuhan adalah kekayaan. 81 Artinya, dalam
melakukan praktik bisnis Tuhan selalu menjadi yang utama, dengan mengutamakan
Tuhan maka bisnis tersebut akan diberkati-Nya. Dalam Matius 6:24 menyatakan “tak
75
Sukamto, hal. 86.
76
Enggar Objantoro, “Sejarah Dan Pemikiran Kaum Injili Di Tengah Perubahan Dan Tantangan
Zaman,” EVvangeikal: Jurnal Teologi Injili Dan Pembinaan warga Jemaat, Vol. 2.2 (Juli 2018), 75–156.
77
F.D. Wellem, Kamus Sejarah Gereja (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006), hal. 98.
78
Jan s. Aritonang, Berbagai Aliran Di Dalam dan Di Sekitar Gereja (Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2008), hal. 228.
79
Jan s. Aritonang, hal. 228.
80
Gilbert Lumoindong, Menang atas Masalah Hidup (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2010),
hal. 78.
81
Gilbert Lumoindong, hal. 79.
71

seorang pun dapat mengabdi kepada dua tuan, karena jika demikian, ia akan membenci
yang seorang dan mengasihi yang lain, atau ia akan setia kepada yang seorang dan tidak
mengindahkan yang lain, kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah dan kepada
Mamon”. Dari ayat ini memberikan pengertian untuk tidak menduakan Tuhan termasuk
dalam bisnis karena Tuhan adalah Allah yang cemburu (Kel. 34:14).
Bisnis merupakan pekerjaan yang selalu diinginkan manusia, karena dengan
berbisnis akan mendapatkan kebutuhan yang cukup bahkan lebih. Dalam hal ini
manusia sering melalaikan hakikat kerja yang sifatnya kudus, karena memiliki
keinginan untuk memperkaya diri. Dalam Amsal 11:28 menyatakan “Siapa
mempercayakan diri kepada kekayaannya akan jatuh, tetapi orang benar akan tumbuh
seperti daun muda”. Artinya, harta bukanlah jaminan untuk hidup. Erastus menyatakan
bahwa manusia yang bekerja atau berbisnis dalam mencari kebutuhan tidak boleh
melupakan hakikat kerja yang dimiliki Tuhan karena manusia merupakan ciptaan yang
segambar dengan Dia dan telah diberikan hukum sebagai tatanan hidup yang berkenan
dengan Allah.82 Dengan demikian bisnis dipandang sebagai pekerjaan yang baik.
Berniaty Palabiran menyatakan bahwa bagi kaum Injili berbisnis bukanlah masalah
khususnya dikalangan orang percaya asalkan bisnis itu dilakukan sesuai dengan ajaran
Alkitab.83 Itu artinya bisnis dipandang sebagai pekerjaan yang dianugrahkan Tuhan dan
dilakukan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi dan melayani sesama.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa bisnis dikalangan kaum Injili
adalah hal yang baik dan dalam berbisnis selalu menerapkan sifat jujur serta hakikat
kerja yang baik seperti Allah yang baik dalam melakukan pekerjaan-Nya.

E. PANDANGAN IMAN KRISTEN


Orang percaya tinggal di dunia yang memiliki banyak kepercayaan. Hal ini
membuat orang percaya untuk mempertahankan imannya agar tidak terpengaruh dengan
kepercayaan laiinnya. Seperti yang dikatakan dalam Matius 10:6b “lihat, Aku mengutus
kamu seperti domba ke tengah-tengah serigala. Artinya, kehidupan orang percaya di
dunia memiliki tantangan dikarenakan ada banyak orang yang tidak percaya kepada
Tuhan. Orang percaya akan diuji dalam keadaan tersebut apakah mereka mampu
mempertahankan kepercayaan mereka kepada Tuhan atau terpengaruh dengan dunia
yang kotor terutama keberadaan mereka dalam dunia bisnis. Bisnis yang dianggap kotor
karena orang-orang yang melakukannya hanya mementingkan laba, apakah keberadaan
orang percaya dapat menjadikan dirinya sebagai pembeda di tengah-tengah bisnis yang
dianggap kotor? Orang percaya diyakini memiliki iman. J. Wesley Brill menyatakan
bahwa, iman sangat penting bagi orang percaya.84 Itu artinya, orang percaya tidak bisa
terlepas dari iman. Dalam Ibrani 11:6 menyatakan bahwa, tanpa iman tidak mungkin
orang berkenan kepada Allah. sebab barangsiapa berpaling kepada Allah, ia harus
percaya bahwa Allah ada, dan bahwa Allah memberi upah kepada orang-orang yang
mencari Dia. Dari ayat ini sangat jelas bahwa iman begitu penting dalam kehidupan
orang percaya, dengan iman orang percaya bisa berkenan di hadapan Tuhan dan akan
diberkati.
Yakobus 2:17 menyatakan bahwa, “Iman tanpa perbuatan hakikatnya adalah
mati. Artinya, orang Kristen yang percaya Tuhan tidak sebatas percaya saja melainkan
perbuatan mereka sesuai dengan yang dikehendaki Allah demikian pula keterlibatan
82
Erastus Sabdono, Tatanan Allah 1 (Jakarta: Rehobot Literature, 2019).
83
Berniaty Palabirin, hal. 39.
84
J. Wesley. Brill, Dasar Yang Teguh (Bandung: Yayasan Kalam Hidup), hal. 213.
72

mereka dalam dunia bisnis. Paulus dalam suratnya kepada jemaat Ibrani memberikan
pengertian bahwa, “iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti
dari segala sesuatu yang tidak kita lihat (Ibrani 11:1).” Artinya, dalam segala sesuatu
yang diharapkan ada keyakinan atau kepercayaan yang melandasinya dan ada tindakan
untuk setia kepada Allah.
Peter Kreef dan Ronald memberikan defenisi iman membagi kedalam dua
bagian yang pertama objek iman artinya segala sesuatu yang Allah telah nyatakan dalam
Alkitab agar dipercaya dan yang kedua tindakan iman artinya bukan hanya percaya
melainkan rela mengorbankan diri dalam kepercayaan tersebut. 85 Itu artinya iman
merupakan kepercayaan dan kesetiaan. Harun Hadiwijono juga memberikan definisi
tentang iman Kristen ia menyatakan bahwa, dalam Perjanjian Lama iman berasal dari
kata kerja aman yang berarti “memegang teguh”.86 Kemudian Harun Hadiwijono juga
memberikan definisi iman dalam Perjanjian Baru ia menyatakan bahwa, iman adalah
mengamini dengan segenap kepribadian dan cara hidupnya kepada kepada janji Allah.87
Artinya, iman diartikan sebagai kepercayaan kepada Allah dan orang percaya yang
mempunyai iman dikuasai dengan perbuatan-perbuatan yang mencerminkan
kehidupannya seperti orang yang mempunyai iman. Begitu pula orang percaya yang
terlibat dalam praktik bisnis agar mencerminkan kehidupannya seperti orang beriman.
Hermanto Suanglangi dalam jurnalnya menyatakan, kata iman berasal dari kata
emun (Ibrani) yang berarti kesetiaan, dan batakh yang berarti percaya. Dalam bahasa
Yunani, iman berasal dari kata "Pistis", (kata benda), yang berarti kepercayaan,
keyakinan dan kata pisteo (kata kerja), yang artinya, percaya, meyakini, mengimani.88
Penjelasan ini memberikan pemahaman bahwa orang percaya yang mempunyai iman
agar meyakini dan mengimani serta percaya sepenuhnya kepada Tuhan. Hal ini
memberikan dampak kepada orang percaya yang terlibat dalam praktik bisnis agar tidak
melupakan Tuhan dan menjadikan bisnis sebagai alat untuk memuliakan Tuhan. Bisnis
bukanlah semata-mata mendapatkan keuntungan saja. Seperti yang dikemukakan oleh
Malik Bambangan bahwa orang percaya bertujuan untuk memuliakan Tuhan dalam
segala pekerjaannya termasuk bisnis.89 Jadi, orang percaya yang berbisnis supaya
mempertahankan imannya dalam berbisnis misalnya bersikap jujur, dan tidak
melupakan Tuhan dalam bisnisnya.
Timothy Keller menyatakan bahwa pekerjaan seperti bisnis yang dilakukan
dengan iman akan menuntut untuk menerapkan etika Kristen yang jelas dan akan
menjadikan pekerjaannya sebagai tempat pelayanan kepada Tuhan.90 Artinya, orang
yang melakukan pekerjaannya dengan sungguh-sungguh dan mengimaninya maka
pekerjaan tersebut akan menjadikan saluran berkat baginya tanpa melalaikan aturan
yang berlaku dalam pekerjaan tersebut seperti bisnis. Dalam dunia bisnis menurut
beberapa pendapat adalah semata-mata bertujuan mencari keuntungan dan dunia bisnis
tidaklah selalu jujur. Hal ini bertentangan dengan Timothy Keller ia memberikan
penjelasan bahwa, orang Kristen tidak bisa memandang rendah pekerjaan yang

85
Peter Kreeft & Ronald K. Tacelli, Pedoman Apologetika Kristen 1 (Bandung: Kalam Hidup,
2000), hal. 37–38.
86
Harun Hadiwijono, Iman Kristen (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2005), hal. 17.
87
Harun Hadiwijono, hal. 18.
88
Hermanto Suanglangi, “Iman Kristen Dan Akal Budi,” Jaffray: Jurnal Teologi dan Studi
Pastoral, Vol. 18.1 (April 2020), hal. 44.
89
Bambangan.
90
Timothy Keller, hal. 19.
73

melibatkan kontak yang lebih intim dengan dunia materi seperti bisnis. 91 Dari
penjelasan ini dapat diartikan bahwa bisnis merupakan pekerjaan yang sama dengan
pekerjaan lainnya seperti di dalam Gereja. Dalam pandangan iman Kristen melihat
bisnis sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan dan melakukan pelayanan kepada
sesama terutama untuk memuliakan Tuhan. Seperti yang dikemukakan oleh Larry
Burkett sebagaimana dikutip oleh Jacky Latupeirissa bahwa bisnis Kristen adalah
keterampilan yang diberikan kepada manusia untuk menguasai dan melestarikan ciptaan
serta menjadi sarana pemberi berkat.92 Dari penjelasan ini dapat diartikan bahwa para
pebisnis termasuk orang percaya merupakan kaki tangan dari Tuhan untuk memberikan
berkat kepada orang lain melalui bisnisnya. Setiap orang percaya dituntut untuk mampu
memaknai dan meyakini pekerjaan mereka seperti bisnis dimana pekerjaannya
bertujuan untuk kemuliaan Tuhan. Dalam melakukan hal ini iman sangat berperan
dalam kehidupan orang percaya, keyakinan tentang iman akan membuat mereka
melakukan bisnisnya sesuai dengan ajaran Alkitab. Setiap pekerjaan yang dilakukan
manusia termasuk bisnis merupakan pemberian Tuhan, untuk itu pekerjaan bukan
semata-mata mendapatkan kebutuhan melainkan menjadikan pekerjaan sebagai alat
untuk memuliakan Tuhan. Seperti yang dinyatakan Suwarto Adi bahwa: salah satu
tradisi kepercayaan Kristen yang paling tua tentang pekerjaan kemungkina besar adalah
apa yang diajarkan oleh Paulus yaitu kerja itu dikaitkan dengan pewartaan Injil.93
Dari penjelasan ini sangat jelas bahwa pekerjaan yang dikerjakan manusia baik
di dalam gereja maupun pekerjaan sehari-hari tidak ada perbedaan artinya semua
pekerjan termasuk bisnis alat untuk manusia mempertahankan hidup khususnya dalam
memenuhi kebutuhan ekonomi dan alat untuk melayani Tuhan. Karena dalam hal
pelayanan manusia bisa melakukannya dimana mereka berada dan melakukan
pekerjaannya. Banawiratma menyatakan bahwa, pekerjaan yang dilakukan orang
percaya termasuk bisnis dapat dijadikan sebagai persekutuan hidup beriman dan tempat
untuk menjadi saksi bagi Injil Yesus dalam masyarakat yang ada disekitarnya. 94
Pandangan ini memberikan penjelasan kepada orang percaya bahwa melakukan
pelayanan bukan hanya di dalam gereja melainkan dimanapun mereka berada mereka
dapat menjadikannya sebagai komunitas untuk mengabarkan Injil keselamatan.
Untuk itulah keterlibatan manusia dalam berbisnis tidak bisa dihindarkan dari
ketetapan hidup, sebab manusia harus tergerak dalam mengembangkan suatu karyanya
dan bekerja keras agar segala usaha yang dicapai dapat berjalan dengan baik. Meskipun
untuk memulai berbisnis tersebut sangat melelahkan, serta akan mengalami pasang
surut keuntungan dan kerugian, namun itulah suatu kerja keras yang akan dihadapi
setiap manusia. Namun manusia juga harus memahami bahwa bisnis adalah pemberian
Tuhan. Penjelasan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa iman Kristen memiliki sudut
pandang positip terhadap bisnis. Karena bisnis merupakan anugerah yang diberikan
Tuhan kepada manusia untuk menunjukkan bakat yang dimiliki dalam mengelola usaha
seperti bisnis. Bisnis juga alat bagi orang percaya untuk memenuhi kebutuhan
ekonominya dan menjadi saluran untuk melakukan pelayanan terhadap sesama seperti
menolong karena manusia merupakan makhluk sosial yang saling membutuhkan dan
91
Timothy Keller, hal. 48–49.
92
Jacky Latupeirissa, hal. 11–12.
93
Suwarto Adi, “Kewirausahaan dan Panggilan Kristen: Sebuah Pendekatan Interpretatif-
Dialogis, Sosio-Historis dan Teologis,” KURIOS (Jurnal Teologi dan Pendidikan Agama …, Vol. 6.1
(April 2020), hal. 23.
94
J. B. Banawiratma, Berteologi Sosial Lintas Ilmu Kemiskinan Sebagai Tantangan Hidup
beriman (Yogyakarta: Kanisius, 1995), hal. 23.
74

bersikap jujur, tulus, dan murni dalam berbisnis maka bisnis tersebut menjadi alat untuk
memuliakan Tuhan. Dalam Amsal 3:9-10 berkata muliakanlah Tuhan dengan Hartamu
dan dengan hasil pertamamu dari segala penghasilanmu, maka lumbung-lumbungmu
akan diisi penuh sampai melimpah-limpah, dan bejana pemerahanmu akan meluap
dengan air buah anggurnya. Artinya, bisnis dikerjakan oleh orang percaya digunakan
untuk memuliakan Tuhan dengan ucapan syukur seperti memberikan persembahan
syukur dengan sukacita.
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa iman Kristen memandang
bisnis sebagai pelayanan, oleh karena itu bisnis perlu dipahami dan dilakukan sesuai
dengan ajaran Alkitab.
Dari semua pandangan di atas, baik pandangan Perjanjian Lama, Perjanjian
Baru, Reformed, Injili, dan iman Kristen memiliki pandangan yang sama bahwa bisnis
merupakan anugerah dari Allah. Karena bisnis bagian dari pekerjaan dimana Allah
sendiri memberi perintah kepada manusia untuk manaklukan bumi.

BAB IV
IMPLIKASI BAGI ORANG PERCAYA MASA KINI

A. SECARA BIBLIKAL
1. Tuhan Memberikan Perintah untuk Berbisnis (Kej. 1:28).
Dalam kehidupan manusia selalu mengadakan bermacam-macam aktivitas.
Salah satu aktivitas yang manusia lakukan adalah bekerja. Pekerjaan yang dilakukan
manusia ada berbagai macam, ada yang kerja di bidang pertanian, perkantoran,
perusahaan dan di bidang bisnis. Pekerjaan yang dilakukan manusia dipengaruhi oleh
faktor ekonomi. Faktor inilah yang menggerakan manusia untuk bekerja. Karena tanpa
bekerja manusia tidak bisa memenuhi kebutuhannya.
Alkitab menyatakan bahwa Tuhan merupakan pribadi pekerja hal ini dilihat dari
pekerjaan-Nya menciptakan langit dan bumi beserta isinya. Pribadi Tuhan sebagai
pekerja tidak dapat dipungkiri manusia untuk tidak mau bekerja. Karena manusia
merupakan ciptaan Tuhan yang segambar dengan Dia (Kej. 1:27). Manusia diciptakan
Tuhan dalam proses penciptaan pada hari ke enam. Sesudah menciptakan manusia
Tuhan memberikan perintah kepada manusia umtuk bekerja dalam mengusahakan
semua ciptaan yang ada (Kej. 1:28). Perintah ini dilakukan manusia dengan baik dan
merupakan tanggung jawabnya kepada Tuhan.
Di era masa kini manusia melakukan pekerjaan dalam berbagai bidang untuk
memenuhi kebutuhannya salah satunya adalah bisnis. Pada dasarnya manusia memiliki
pandangan yang salah atau keliru terhadap bisnis. Ada yang mengatakan berbisnis
bukanlah hal yang baik, ada pula yang mengatakan bisnis itu dibenci Tuhan karena
banyak kebohongan. Ini merupakan pandangan yang salah, Tuhan sendiri telah
memberikan perintah kepada manusia untuk mengusahakan segala sesuatu yang ada di
bumi dan menaklukannya. Tuhan tidak pernah membenci bisnis tapi Tuhan membenci
orang-orang yang melakukan praktik bisnis yang tidak sesuai dengan Firman Tuhan.
2. Pebisnis yang Beriman (Kej. 13:2).
Orang yang menjaga sikap dan perilakunya dari hal-hal yang dibenci Tuhan
pasti memilki hubugan yang baik dengan-Nya. Seperti Abraham yang diceritakan dalam
Kejadian 13:2, ia merupakan seorang yang kaya, banyak ternak, perak dan emas namun
75

dia tidak sombong atas apa yang dimilikinya. Bahkan Abraham dikenal sebagai bapa
orang beriman. Usaha dan harta yang dimiliki Abraham tidak membuat dia untuk
menjauhi Tuhan. Begitu juga dengan orang percaya masa kini untuk bersikap seperti
Abraham. Ketaatan Abraham ini membuat orang percaya di masa kini untuk
melakukannya. Yang menjadi pertanyaannya, apakah manusia yang berbisnis memiliki
iman yang takut akan Tuhan? Setiap orang percaya yang berbisnis dapat mencontohi
Abraham dalam kehidupannya. Bisnis yang dimiliki bukan hambatan untuk memiliki
iman kepada Tuhan. Walaupun iman orang percaya akan diuji dalam usahanya, tapi
dengan iman yang dimilikinya ujian itu pasti berlalu begitu saja.
3. Berbisnis Bukan untuk Merugikan atau Meropotkan Orang Lain (KPR. 18:3).
Paulus dalam melakukan misinya tidak pernah merepotkan orang yang ada di
sekitarnya baik itu kebutuhan maupun hal lain. Dalam kitab Kisah Para Rasul 18:3
menceritakan bagaimana Paulus hidup di dalam perjalanan misinya melalui usaha
kemahnya. Paulus melakukan misinya dengan baik dan melakukan usaha atau bisnis
kemahnya dengan baik juga. Orang percaya masa kini yang terlibat dalam praktik bisnis
dapat menerapkan prinsip yang dimilki oleh Paulus yang tidak mau merepotkan bahkan
merugikan orang lain. Di masa sekarang ini banyak manusia yang melakukan praktik
bisnis sesuka hatinya dengan melakukan berbagai cara untuk mendapatkan keuntungan
tanpa memperhatikan orang lain. Perbuatan ini akan merugikan orang lain dan membuat
orang berpandangan buruk terhadap bisnis.
4. Berbisnis dengan Jujur (Ams. 11:3).
Kejujuran merupakan ciri khas kehidupan orang percaya, orang-orang yang jujur
akan disenangi banyak orang. Sikap jujur yang dimiliki meliputi hati yang tulus dan
tidak mau berbohong serta tidak mau berbuat sesuatu yang dapat menyusahkan orang
lain. Dalam melakukan praktik bisnis orang percaya tidak boleh mengikuti cara pandang
sendiri dalam menjalankan bisnisnya agar bisnisnya tersebut tidak merugikan orang
lain. Bersikap jujur dapat membantu pebisnis untuk mendapatkan pelanggan. Amsal
11:3 menyatakan bahwa orang-orang yang jujur akan dipimpin oleh ketulusannya, tetapi
pembohong dirusak oleh kebohogannya. Jika orang yang berbisnis berperilaku jujur
maka usahanya tersebut akan diberkati oleh Tuhan. Tetapi sebaliknya, orang yang
melakukan bisnisnya dengan curang maka akan merugikan dirinya sendiri. Orang jujur
tidak dapat terpengaruh dalam melakukan praktik bisnis yang tidak sesuai dengan
kehendak Tuhan. Dalam Matius 7:12a menyatakan “Segala sesuatu yang kamu
kehendaki supaya orang perbuat kepada kamu, perbuatlah demikian juga kepada
mereka”. Artinya, jika pebisnis mau pelangannya bersikap jujur dengannya maka dia
juga harus bersikap jujur.

5. Berbisnis Merupakan Panggilan Tuhan


Manusia memiliki panggilan yang berbeda-beda dari Tuhan, ada yang dipanggil
menjadi pendeta, pegawai negeri sipil, dan wirausahawan atau pebisnis. Namun ada
juga yang menyatakan bahwa panggilan dari Tuhan itu hanya khusus di dalam gereja
saja. Pekerjaan di luar itu bukanlah panggilan dari Tuhan, pandangan ini merupakan
pandangan yang salah. Semua pekerjaan yang dilakukan manusia merupakan anugerah
dari Tuhan yang diberikan-Nya pada manusia. Hanya saja manusia tidak menghargai
anugerah tersebut. Mereka melakukan pekerjaan seperti yang mereka mau tanpa
memperhatikan apakah tindakan yang dilakukan berkenan kepada Tuhan. Ada orang-
orang yang berbisnis demi kepentingan pribadi, ada yang melakukannya karena ingin
76

memperkaya diri. Dan hal ini yang memunculkan pandangan bahwa bisnis bukanlah
suatu panggilan.
6. Berbisnis Bukan Suatu Larangan.
Pada mulanya, pekerjaan merupakan anugerah yang diberikan Tuhan untuk
manusia dalam memenuhi kebutuhannya yang dilakukan tanpa susah dan tidak banyak
persaingan. Namun kejatuhan manusia dalam dosa membuat Tuhan marah dan
memberikan kutukan kepada manusia untuk bersusah payah dalam mendapatkan
kebutuhan (Kej. 3:17). Tetapi pekerjaan tersebut tetap anugerah dari Tuhan. Tuhan tidak
melarang manusia untuk bekerja walaupun mereka sudah jatuh dalam dosa. Bisnis juga
yang bagian dari pekerjaan bukanlah larangan bagi manusia. Dalam Alkitab tidak ada
satu ayat pun yang melarang orang untuk berbisnis. Kejatuhan manusia dalam dosa
tidak membuat pekerjaan seperti bisnis dilarang Tuhan.
7. Bisnis Alat untuk Melayani dan Memuliakan Allah (Ams. 3:9-10).
Iman Kristen memandang bisnis sebagai pelayanan kepada sesama dan alat
untuk memuliakan Tuhan. Artinya bisnis digunakan untuk mengasihi seperti pemimpin
mengasihi bawahannya, mengasihi konsumen atau pembeli. Memuliakan Tuhan dengan
cara memberi berkat di dalam gereja. Dalam Amsal 3:9-10 menyatakan, “muliakanlah
Tuhan dengan hartamu dan dengan hasil pertama dari segala penghasilanmu, maka
lumbung-lumbungmu akan diisi penuh sampai melimpah-limpah. Hal ini bisa dilakukan
apabila pebisnis melakukan bisnisnya untuk Tuhan. Dalam Kolose 3:23 menyatakan,
“apa pun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk
Tuhan dan bukan untuk manusia”. memiliki pandangan seperti ini dalam bisnis maka
pebisnis tersebut melakukan praktik bisnisnya sebagai anugerah dari Tuhan.

B. IMPLIKASI PRAKTIS
1. Kejujuran Hal yang Utama dalam Berbisnis
Bekerja atau mencari kebutuhan di bidang bisnis atau perdagangan merupakan
keinginan banyak orang dan ada juga yang tidak berkeinginan untuk terlibat dalam
bisnis. Setiap pebisnis penting bagi mereka untuk menjaga etika dalam bisnisnya
terutama kejujuran. Kejujuran merupakan hal yang utama untuk mendapatkan
kepercayaan. Dengan kejujuran orang lain seperti pelanggan memiliki kepercayaan
untuk membeli sesuatu kepada pebisnis tersebut. Orang percaya masa kini yang
menjalankan bisnis perlu menerapkan sifat kejujuran dan menjadikan kejujuran hal yang
utsama dalam bisnisnya. Dalam usaha bisnis atau perdagangan cenderung melalaikan
kejujuran. Ada saja pebisnis yang bersikap bohong untuk mendapatkan untung dan
tidak bersikap jujur. Misalnya, dalam memasarkan barang dagangan, contohnya barang
yang tidak bagus ditawarkan kepada pembeli sebagai barang yang bagus atau barang
yang palsu diklaim sebagai barang yang original. Hal ini selalu dilakukan pebisnis
untuk mendapatkan keuntungan.
2. Motivasi yang Benar dalam Berbisnis
Setiap pebisnis pasti memilki motivasi dalam bisnisnya dengan motivasi yang
dimiliki bisnis tersebut dapat berjalan dengan baik. Karena dalam menjalankan suatu
usaha seperti bisnis tidaklah mudah terkadang akan menghadapi banyak tantangan dan
masalah dalam bisnis tersebut. Hal ini membutuhkan motivasi yang baik dari setiap
pebisnis agar bisnisnya bisa bertahan disaat menghadapi masalah. Motivasi yang benar
dan baik dari pebisnis membuatnya bisa sukses dalam menjalankan usaha bisnisnya.
Salah satu motivasinya yang utama adalah bisnis digunakan untuk melayani sesama dan
memuliakan Tuhan.
77

DAFTAR PUSTAKA
Alkitab
B.J. Boland, Intisari Iman Kristen (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011)
Bambangan, Malik, “Perspektif Teologis Terhadap Etika Bisnis Kristen,” Jurnal
Luxnos, 5.2 (2019), 135–46 <https://doi.org/10.47304/jl.v5i2.22>
Berniaty Palabirin, “Pandangan Alkitab Tentang Praktik Bisnis Di Kalangan Hamba
Tuhan Penuh Waktu,” Jurnal Jaffray, Vol.8.2 (Oktober 2010)
C. Groenen OFM, Pengantar Ke Dalam Perjanjian Baru (Yogyakarta: Kanisius, 2001)
Christie Kusnandar, “Sepuluh Perintah Tuhan Bagian Kedua: Kasih Terhadap Manusia
Dalam Tinjauan Etika Kristen,” IIlmiah Methonomi, Vol. 3.2 (Juli-Desember
2017), 79
Cletus Groenen OFM, Alex Lanur OFM, Bekerja Sebagai Karunia Beberapa Pemikiran
Mengenai Pekerjaan Manusia (Yogyakarta: Kanisius, 1985)
Daniel Ronda, Leadership Wisdom (Bandung: Kalam Hidup, 2011)
David L. Baker, Mari Mengenal Perjanjian Lama, Cet. 10 (Jakarta: Gunung Mulia,
2005)
Doug Sherman & William Hendricks, Pekerjaan Anda Penting Bagi Allah (Bandung:
Yayasan Kalam Hidup, 1997)
Enggar Objantoro, “Sejarah Dan Pemikiran Kaum Injili Di Tengah Perubahan Dan
Tantangan Zaman,” EVvangeikal: Jurnal Teologi Injili Dan Pembinaan warga
Jemaat, Vol. 2.2 (Juli 2018), 75–156
Ensiklopedi Alkitab Masa Kini Jilid I A-l (Jakarta: Yayasan Komunikasih Bina
Kasih/OMF)
Erastus Sabdono, Tatanan Allah 1 (Jakarta: Rehobot Literature, 2019)
F.D. Wellem, Kamus Sejarah Gereja (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006)
Febrianty, dkk., Pengantar Bisnis Etika, Hukum & Bisnis Internasional, ed. oleh Aleks
Rikki & Janner Simarmata (Medan: Yayasan Kita Menulis, 2020)
Franz Magnis-Suseno, Etika Dasar Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral
(Yogyakarta: Kanisius, 2002)
Gilbert Lumoindong, Menang atas Masalah Hidup (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
2010)
H. Devos, Pengantar Etika (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1987)
Hadi P. Sahardjo, “Mencermati Teologi Reformed Dan Gerakan Reformed Injili,” TE
DEUM: Jurnal Teologi dan Pengembangan Pelayanan, Vol. 9.2 (November 2020)
Harun Hadiwijono, Iman Kristen (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2005)
Hendra G. Mulia, “Formasi Spiritual Martin Luther Dan Perwujudan Dalam Gereja-
Gereja Injili Di Indonesia,” Veritas: Jurnal Teologi Dan Pelayanan, Vol. 1.2
(Oktober 2010), 190
Hermanto Suanglangi, “Iman Kristen Dan Akal Budi,” Jaffray: Jurnal Teologi dan
Studi Pastoral, Vol. 18.1 (April 2020)
J. B. Banawiratma, Berteologi Sosial Lintas Ilmu Kemiskinan Sebagai Tantangan Hidup
beriman (Yogyakarta: Kanisius, 1995)
J. Douma, Kelakuan Yang bertanggung Jawab Pembimbing Ke Dalam Etika Kristen
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002)
J. Packer, Merril C. Tenney & Willian White, Ensiklopedi Fakta Alkitab Bible
Almanac-1 (Malang: Gandum Mas, 2001)
78

J. Wesley. Brill, Dasar Yang Teguh (Bandung: Yayasan Kalam Hidup)


J.L. Ch. Abineno, Sekitar Etika dan Soal-Soal Etis (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010)
Jacky Latupeirissa, “Etika Bisnis Ditinjau Dari Perspektif Alkitab,” PASCA : Jurnal
Teologi dan Pendidikan Agama Kristen, Vol. 15.1 (April 2019) <https://doi.org/10.
46494>
Jake Barnet, Harta Dan Hikmat Pandangan Alkitab Tentang Kekayaan (Bandung:
Yayasan Kalam Hidup, 1987)
Jan s. Aritonang, Berbagai Aliran Di Dalam dan Di Sekitar Gereja (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2008)
Jerry & Mary White, Bekerja (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1990)
Jerry dan Mary White, Pemahaman Kristiani Tentang Bekerja Arti, Tujuan Dan
Masalah-Masalahnya (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997)
Jerry White, Kejujuran, Moral dan Hati Nurani (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1987)
Jhon W. Creswell, Research Design: Pendekatan Metode. Kualitatif, Kuantitatif dan
Computer., Edisi Keem (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2016)
John Stoot, Isu-isu Global Menantang Kepemimpinan Kristiani Penilaian Atas Masalah
Sosial dan Moral Kontemporer (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF,
1984)
K. Bertens, ETIKA (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993)
———, Pengantar Etika Bisnis (Yogyakarta: Kanisius, 2004)
Kees Bertens, Etika Bisnis Kristen, ed. oleh Robert P. Borrong dan N. Yudiet Tompah,
Cet. 1 (Jakarta: UPI STT Jakarta dan PSE STT Jakarta, 2006)
Ketut Rindjin, Etika Bisnis dan Implementasinya (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
2008)
L. Sinuor Yosephus, Etika Bisnis Pendekatan Filsafat Moral Terhadap Perilaku Bisnis
Kontemporer (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2010)
Latupeirissa, Jacky, “Etika Bisnis Ditinjau Dari Perspektif Alkitab,” PASCA : Jurnal
Teologi dan Pendidikan Agama Kristen, 2019
<https://doi.org/10.46494/psc.v15i1.63>
Norman L. Geisler, Etika Kristen (Malang: DEPARTEEMEN LITERATUR SAAT,
2000)
O.P. Somrangkir, Etika Bisnis Edisi Revisi (Jakarta: Aksara Persada Indonesia, 1992)
Paul L Cuny, Rahasia Ekonomi Kerajaan Allah (Yogyakarta: ANDI, 2013)
Peter Kreeft & Ronald K. Tacelli, Pedoman Apologetika Kristen 1 (Bandung: Kalam
Hidup, 2000)
Peter Wongso, Dasar Iman Kepercayaan Kristen (Malang: DEPARTEEMEN
LITERATUR SAAT, 1999)
Phil. Eka Darmaputra, Etika Sederhana Untuk Semua Bisnis, Ekonomi Dan
Penatalayan, Cet. 5 (Jakarta: Gunung Mulia, 2002)
Pram, “No Title,” Berita Bethel, 2015
<https://www.beritabethel.com/artikel/detail/614>
Purwa Hadiwardoyo, Moral dan Masalahnya (Yogyakarta: Kanisius, 1992)
Queency Christie Wauran, “Etika Bisnis Berdasarkan Pandangan Alkitab,” Jaffray, Vol.
13.2 (Oktober 2015)
R. Paul Stevens, God’s Business Memaknai Bisnis Secara Kristiani (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2008)
R.M. Drie S. Brotosudarmo, Etika Kristen untuk Perguruan Tinggi (Yogyakarta: ANDI
(Penerbit Buku dan Majalah Rohani), 2010)
79

Rasmulia Sembirnig, Pengantar Bisnis, ed. oleh Lilis Sulastri (Bandung: La Goods
Publishing, 2014)
Richard J. Foster, Uang, Seks, Dan Kekuasaan (Bandung: Yayasan Kalam Hidup, 1985)
Robert M. Paterson, Tafsiran Alkitab Kitab Imamat, Cet. 3 (Jakarta: Gunung Mulia,
2003)
Simon Julianto, “Kewirausahaan Jemaat Sebuah Alternatif Berteologi,” Waskita: Jurnal
Studi Agama Dan Masyarakat, Vol. 4.No. 1 (Oktober 2012)
Stephanus, Djuwansah Suhendro P., “Mengajarkan Penginjilan sebagai Gaya Hidup
Orang Percaya,” TE DEUM: Jurnal Teologi dan Pengembangan Pelayanan, 10.1
(2020), 25–47 <http://ojs.sttsappi.ac.id/index.php/tedeum/index%0ASubmitted:>
Sukamto, “Teologi Kristen Tentang Kerja (Vocation) Pada Masa Pra-Reformasi dan
Reformasi,” Transformasi:Jurnal Ilmiah Populer Untuk Membangun
Kepemimpinan Transformasional, Vol. 9.1 (Juni 2013)
Suwarto Adi, “Kewirausahaan dan Panggilan Kristen: Sebuah Pendekatan Interpretatif-
Dialogis, Sosio-Historis dan Teologis,” KURIOS (Jurnal Teologi dan Pendidikan
Agama …, Vol. 6.1 (April 2020)
Timothy Keller, Apakah Pekerjaan Anda Bagian Dari Pekerjaan Allah? (Every Good
Endeavor) (Surabaya: Literatur Perkantas Jawa timur, 2019)
Wauran, Queency Christie, Sekolah Tinggi, Filsafat Jaffray, dan Makassar Indonesia,
“Etika Bisnis Berdasarkan Pandangan Alkitab,” October, 2015
<https://doi.org/10.13140/RG.2.1.2883.6569>
William Chang, O.F.M. Cap., Etika dan Etiket Bisnis (Yogyakarta: Kanisius, 2016)
Xavier Leon-Dofour, Ensiklopedi Perjanjian Baru (Yogyakarta: Kanisius, 2016)
Yudha Nata Saputra, “Kerja Dan Tujuannya Dalam Perspektif Alkitab,” TE DEUM:
Jurnal Teologi dan Pengembangan Pelayanan, Vol. 7.1 (Desember 2017)

BIODATA

A. Data Pribadi
Nama : Septinus Hia
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Tempat, Tanggal Lahir : Siofabanua, 15 November 1997
Nim : 2017202022
Nama Ayah : Faduhuo Hia
Nama Ibu : Niat Mars Ndraha
NIK : 1204110509970004
Agama : Kristen Protestan
Gereja Asal : Banua Niha Keriso Protestan (BNKP) Jemaat Sisarahili-
Hilibadalu
Alamat : Jalan Daan Mogot, KM 18 Eks PT Rasico, Kel. Kebon
Besar, Kec. Batu Ceper, Tangerang-Banten

B. Data Pendidikan
1. SDN. No 075034 Siofabanua
2. SMP N. 4 Gunungsitoli
3. SMK S. Perguruan Advent Nias Hilina’a Tafuo
C. Data Pelayanan
80

Tahun 2019-2020 melayani di GKSI Sektor Makki Mamuju, Sulawesi Barat.

Anda mungkin juga menyukai