Anda di halaman 1dari 22

Mengenal Islam

Sebagai Agama Kemanusiaan dan Perdamaian


Ahmad Nurcholish1 dan Muhammad Khoirul Anwar

Apa Itu Islam?


Islam adalah sebuah kata dalam bahasa Arab, yang artinya pasrah, yakni pasrah kepada Allah
Swt, karena menaruh kepercayaan kepada-Nya. Semua agama yang dibawa oleh para nabi
(pengajar kebenaran, pembawa kabar gembira, dan peringatan bagi manusia) mengajarkan
tentang pasrah kepada Allah Swt. Meskipun seorang nabi tidak berbahasa Arab, ia tetap disebut
sebagai muslim, dan agamanya pun tetap disebut sebagai Islam, karena ia sendiri pasrah kepada
Allah Swt.2 Karena mayoritas Nabi dalam sejarah Islam bukanlah orang Arab dan tidak
menggunakan bahasa Arab.
Kata “Islam” dalam bahasa Arab ‫( )إسالم‬tersusun dari huruf sin, lam, mim (‫سلم‬/salima)
sebuah akar kata yang membentuk kata ‫الم‬...‫س‬/salam (damai), ‫الم‬...‫اس‬/islam (kedamaian),
‫الم‬..‫استس‬/Istislam (pembawa kedamaian), dan ‫ليم‬..‫تس‬/Taslim (ketundukan, kepasrahan, dan
ketenangan). Salam adalah kedamaian dan kepasrahan dalam pengertian lebih umum. Islam
adalah kedamaian dan kepasrahan dalam pengertian yang lebih khusus, memiliki seperangkat
konsepsi nilai dan norma (value & norm). Istislam adalah seruan kedamaian dan kepasrahan
yang lebih cepat, tegas, rigit, dan sempurna (perfect). Allah Swt. memberi nama agamanya yang
dibawa oleh Nabi Muhammad Saw. dengan agama Islam. Bukan agama salam (kepasrahan tanpa
konsep). Bukan juga agama istislam yang lebih mengutamakan kecepatan, ketegasan, dan
kesempurnaan dalam memperjuangkan kedamaian dan kepasrahan.
Kata Islam itu sendiri mengisyaratkan jalan tengah atau moderat (tawassuth). Di dalam
Al-Qur’an disebutkan: ‫ ِاَّن الِّدْيَن ِع ْنَد ِهّٰللا اِاْل ْس اَل ُم‬/Inna al-dina ‘inda Allah al-islam (Sesungguhnya
agama di sisi Allah hanyalah Islam (penyerahan diri hanya kepada Tuhan)/ Q.S. Ali Imran/3:19).
Dalam salah satu kitab Tafsir Al-Qur’an yang ditulis oleh Muhammad Asad, kata Islam dalam
ayat tersebut diartikan sebagai “pasrah kepada Allah.” Selain termuat secara tekstual dalam ayat
tersebut, kata Islam juga termuat dalam ayat berikut:

‫َو َم ْن َّيْبَتِغ َغْيَر اِاْل ْس اَل ِم ِد ْيًنا َفَلْن ُّيْقَبَل ِم ْنُۚه َو ُهَو ِفى اٰاْل ِخَرِة ِم َن اْلٰخ ِس ِر ْيَن‬
Artinya: “Siapa saja mencari agama selain agama Islam, maka sekalikali tidaklah akan
diterima (agama itu) daripadanya, dan di akhirat kelak termasuk orang-orang yang rugi.” Q.S.
Ali Imran/3:85).
Dalam pengertian yang lebih sempit Islam juga merupakan sebuah agama yang berisi
ajaran-ajaran yang diturunkan Allah Swt kepada manusia melalui nabi Muhammad Saw. yang
diutus sebagai rasul pembawa ajaran tersebut. Islam juga mengambil bentuk sikap penyerahan
diri seluruhnya dan sikap pasrah kepada kehendak Allah Swt atas segala kehendakNya.
Dalam berbagai tulisannya, guru saya Nurcholish Madjid, banyak membicarakan
mengenai Islam yang dalam penulisannya ditulis dengan “Islam” (huruf I besar), dan “islam”
1
Pengajar (Faculty Member) Religious Studies “Islam” Universitas Prasetiya Mulya, BSD Tangerang, Deputy
Direktur Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP)
2
Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, Jakarta: Paramadina, 1987, h. 47; Muhammad
Asad, The Massage Of The Qur’an, Gibraltar: Dar al-Andalus Limited, 1980, h. vi

1
(dengan menggunakan huruf i kecil). Cak Nur memberikan kesan islam sesungguhnya lebih
penting daripada Islam. Sebab, menurutnya Islam banyak mengandung konotasi sosial, dalam
arti bahwa terutama dalam masa sekarang ini lebih banyak menunjuk kepada perwujudan sosial
orang-orang yang memeluk atau mengaku memeluk agama Islam. Maka menjadi orang Islam,
dari sudut tinjauan ini lebih banyak berarti menjadi anggota masyarakat, yang dilihat dari segi
formal keislaman.
Sedangkan islam (dengan i kecil) mengandung pengertian yang lebih dinamis, yaitu sikap
penyerahan diri kepada Tuhan justru karena menerima tantangan moral-Nya. Maka jika digabung
antara pengertian yang generik (islam dengan i kecil) dan (Islam dengan I besar), maka “menjadi
seorang Islam atau seorang muslim adalah berarti menjadi orang yang seluruh hidupnya diliputi
tantangan untuk senantiasa meningkatkan diri menuju pada moralitas yang setinggi-tingginya,
dengan jalan selalu mengusahakan pendekatan diri kepada Tuhan, yang dalam agama disebut
Takwa.”
Dewasa ini banyak orang merasa memperjuangkan “Islam” tetapi sesungguhnya
memperjuangkan budaya di mana Islam mewujudkan dirinya, bukan Islamnya itu sendiri. Masih
banyak umat Islam belum bisa membedakan antara ajaran Islam dan budaya Arab, sebuah
budaya yang pertama kali mengusung ajaran Islam. Menjadi the best muslim tidak mesti harus
menyerupakan diri dengan orang Arab, orang Mesir, orang Yaman, atau orang Persia. Kita bisa
tetap sebagai orang yang berkebudayaan Indonesia dengan berbagai atributnya dan pada saat
bersamaan tetap menjadi the best muslim. Bahkan mungkin tidak kalah dengan muslim Arab.
Adalah kontradiktif jika panji-panji Islam dibawa-bawa untuk sesuatu yang menyebabkan
lahirnya kekacauan dan ketidaknyamanan. Apalagi jika atas nama Islam digunakan untuk
melayangkan nyawa-nyawa orang yang tak berdosa, sangat tidak sepadan dengan kata Islam itu
sendiri. Kelompok minoritas liberal muslim memaknai Islam dengan konteks salam, yang lebih
bersifat inklusif-substantif, sementara kelompok minoritas radikal muslim lebih memaknai
Islam dengan konteks istislam, yang menuntut adanya intensitas dan semangat progresif di dalam
mewujudkan nilai dan norma Islam. Kelompok mainstream muslim memaknainya sebagai islam,
sebuah sistem nilai dan norma kemanusiaan yang terbuka dan moderat.
Ada dua kesimpulan penting dari pemaparan di atas terkait dengan Islam. Pertama, Islam
jika ditinjau dari segi kebahasaan mengandung makna: damai, sejahtera, tentram, dan juga
penyerahan diri kepada Tuhan. Kedua, Islam sebagai agama tertentu adalah agama yang
dibawakan oleh Muhammad dengan segala konsekuwensi yang diberikan. Lalu siapa itu
Muhammad yang mengenalkan Islam sebagai identitas agama dan apa visi misi yang
ditawarkan?

Rasul Muhammad dan Misi Kenabiannya


Nabi atau Rasul adalah seorang manusia biasa yang diangkat Allah dalam rangka mengemban
misi ketuhanan untuk setiap manusia. Dalam kapasitasnya sebagai manusia, seorang Nabi atau
rasul tentu terikat dengan hukum alamiahnya (lahir–berkembang–mati). Sementara itu, dalam
kapasitasnya sebagai manusia pilihan Allah yang bertugas membawakan berita langit dan risalah
ketuhanan, seorang Nabi atau Rasul mempunyai sejumlah kelebihan dibandingkan manusia pada
umumnya. Dalam pada itu, sebutan-sebutan untuk mereka dalam al-Qur’an pun bermacam-

2
macam. Terkadang dalam suatu ayat disebut dengan nama aslinya, 3 namun dalam ayat lain
terkadang juga dinyatakan dengan sebutan Nabi atau rasul.4
Demikian pula, sosok Muhammad yang dalam al-Qur’an juga dinyatakan dalam sejumlah
sebutan. Paling tidak, ada lima sebutan sosok Muhammad dalam al-Qur’an, yaitu sebutan
Ahmad,5 Muhammad,6 Rasul,7 Nabi,8 dan basyar (manusia biasa).9 Masing-masing sebutan ini,
tentu saja, mempunyai karakteristik khusus yang dapat membedakan antara sebutan satu dari
sebutan lainnya. Meskipun harus diakui juga bahwa masing-masing sebutan tersebut tidak dapat
dipisahkan antara satu dari lainnya, karena kelima sebutan tersebut tetap bermuara pada satu
‘obyek‛, yakni sosok Muhammad.
Nabi Muhammad Shallallahu ' Alaihi wa Sallam (Saw) lahir di Kampung Bani Hasyim,
Makkah pada Senin 12 Rabiul Awal bertepatan dengan tahun Gajah atau 23 April 571 Masehi.
Setiap tanggal 12 Rabiul Awal diperingati sebagai Maulid Nabi. Ada juga sebagian pendapat
yang menyebut Nabi Muhammad SAW lahir pada Senin, 9 Rabiul Awal atau 20 Arpil 571
Masehi. Namun para ulama sepakat tanggal 12 Rabiul Awal sebagai tanggal kelahiran Nabi
Muhammad Saw.
Ia lahir dua bulan setelah pasukan Gajah menyerang Kota Makkah. Dikutip dari Sirah
Nabawiyah karya Abdul Hasan 'Ali Al-Hasani An-Nadwi, sejumlah sejarawan dan pakar hadits
menyebut adanya peristiwa-peristiwa besar yang muncul di Makkah menjelang kelahiran
Rasulullah. Di antara peristiwa tersebut adalah singgasana Raja Persia Kisra Anusyirwan yang
bergoyang-goyang hingga menimbulkan bunyi. Tak hanya singgasana, 14 balkon Istana Raja
Kisra juga runtuh.
Peristiwa berikutnya yang diyakini sebagai pertanda jelang kelahiran Nabi Muhammad
SAW adalah padamnya api sesembahan kaum Majusi atau zoroaster, di kuil pemujaan di Persia
(kini Iran). Padahal api ini diyakini sudah menyala seribu tahun lebih dan tak pernah padam
sekalipun. Masyarakat Majusi berusaha untuk menghidupkan kembali api tersebut untuk
disembah, namun upaya mereka gagal.
Muhammad SAW lahir dari pasangan Abdullah dan Aminah. Abdullah adalah putra dari
Abdul Mutholib pemimpin suku Quraisy. Sementara Aminah merupakan putra dari Wahb
pemimpin Bani Zuhrah. Menjadi kebiasaan warga Makkah ketika itu yakni berdagang ke Syam.
Abdullah pun pergi ke Syam bersama rombongan pedagang Makkah. Mereka tak hanya ke
Syam, tapi juga singgah di beberapa kota lain sehingga perjalanan memakan waktu yang lama.
Saat hendak pulang ke Makkah, Abdullah kecapekan dan jatuh sakit. Dia singgah di
tempat saudara-saudaranya dari garis ibu di Kota Yatsrib,-kini Madinah. Abdullah wafat di
Madinah. Saat Abdullah wafat, itu Aminah tengah mengandung Nabi Muhammad SAW. Usia
kandungan Aminah baru berusia 3 bulan.
3
Misalnya sebutan Nuh, Ibrahim, Isma’Il, Ishaq, Ya’qub, ‘Isa, Ayyub, Yun>s, Musa, Harun, Sulaiman, Yusuf,
Zakaria, Yahya, Ilyas, Luth, dan Dawud dalam Q.S. al-Nisa’ (4): 136 & Q.S. al-An’am (6): 84-86.
4
Misalnya sebutan rasul dalam Q.S. al-Syu’ara (26): 107 *Nuh+, 125 *Hud+, 143 *Salih+, 162
*Luth+ dan 178 *Syu’aib+. Demikian pula dengan sebutan Nabi dalam Q.S. Maryam, (19) 30 *‘Isa+, 41 *Ibrahim+,
49 *Ishaq dan Ya’qub+, 51 [Musa], 53 [Harun], 54 *Isma’Il+, dan 56 *Idris+.
5
Bandingkan Q.S. al-Shaf (61): 6 dengan Q.S. al-Fath, (48): 29.
6
Lihat Q.S. Ali Imran (3): 144; al-Ahzab (33):40, Muhammad (4) 2, dan al-Fath, (48): 29.
7
Lihat misalnya Q.S. Ali Imran (3): 114; al-Ahzab (33): 21 & 40; dan al-Fath, (48): 28 & 29
8
Lihat misalnya Q.S. Ali Imran (3): 68; al-Taubah (9): 61; dan al-Ahzab (33):1 & 6.
9
Lihat misalnya Q.S. al-Isra’ (17): 93 & 94; al-Kahfi (18) :110; Fusilat, (41) :6; dan al-Muddassir (74):25

3
Sebelum menjadi seorang Rasul, Nabi Muhammad telah mendapatkan beberapa karunia
istimewa dari Allah seperti wajahnya yang bersih dan bersinar yang mengalahkan sinar bulan,
tumbuh suburnya daerah tempat Halimah (ibu yang menyusui Nabi) padahal tadinya gersang dan
kering, dan lain sebagainya. Itulah tanda-tanda kebesaran Allah yang menandakan akan
datangnya nabi yang terakhir yang memiliki kedudukan yang tertinggi nantinya.
Pada saat Rasul ingin mendapatkan wahyu pertamanya, Rasul mendapatkan sebuah
mimpi Malaikat Jibril menghampirinya. Rasul pun menyendiri di Gua Hira tepatnya di sebelah
atas Jabal Nur. Disitulah Rasul diperlihatkan bahwa mimpinya adalah benar. Malaikat Jibril pun
datang kepada Rasul dan turunlah wahyu yang pertama yang ia bawakan dari Allah Swt, yakni
surat al-Alaq.
Setelah mendapatkan wahyu yang pertama, Nabi kemudian melakukan dakwah secara
sembunyi-sembunyi. Adapun orang-orang yang menjadi pengikut pertamanya adalah Khadijah
(istinya), Abu Bakar Al-Shiddiq dan Zaid bin Haritsah, Ummu Aiman, Ali bin Abu Thalib, dan
Bilal bin Rabah. Setelah beberapa tahun melakukan dakwah secara diam-diam, turunlah
perintah Allah SWT dalam surat al-Hijr ayat 94 dan memerintahkan Nabi untuk berdakwah
secara terangterangan.
Islam sebagai agama yang membawa kedamaian, keselamatan, dan kebahagiaan hidup
bagi manusia di dunia dan akhirat. Dalam penyebarannya Islam dapat tumbuh dan dianut oleh
masyarakat luas tidak dilakukan dengan paksaan dan caracara kekerasan, melainkan dengan jalan
yang damai, bijaksana, santun, dan mengedepankan pendekatakan dialogis. Penyebaran Islam
yang dipenuhi dengan nilai-nilai cinta damai dan kasih sayang ini sejalan seiring dengan misi
risalah Nabi Muhammad.
Misi risalah atau tujuan diutusnya Nabi Muhammad SAW ke dunia ini tidak lain hanyalah
untuk memberikan rahmat dan kasih sayang kepada seluruh alam semesta. Misi risalah yang
dibawa Nabi secara tegas disebutkan Allah Swt dalam al-Qur’an yaitu “Dan tidaklah Kami
mengutus kamu (Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QS. al-
Anbiya’: 107).
Ayat tersebut di atas, menjelaskan tujuan diutusnya Nabi Muhammad ke muka bumi ini
secara eksplisit dan tegas, agar Nabi Muhammad dapat menebar dan menyampaikan rahmat atau
kasih sayang Allah kepada seluruh alam semesta. Rahmat dan kasih sayang mencerminkan Islam
yang ramah, santun, toleran, dan penuh dengan cinta damai. Islam tidak menebarkan kebencian
dan permusuhan. Kehadiran risalah kenabian tidak hanya ditujukan bagi mereka yang muslim
saja, tetapi juga bagi mereka yang non muslim (mereka yang secara identitas agama bukan
memeluk agama Islam).
Ala’uddin Ali dalam tafsirnya Tafsir Al-Khazin menyebutkan, dikatakan bahwa ayat ini
turun pada saat masyarakat kafir jahiliyyah dalam kesesatan, dan ahli kitab menghadapi
kebingungan dalam persoalan agamanya, karena jeda waktu turunnya wahyu yang lama dan
terjadi perselisihan dan perbedaan dalam di dalam kitab suci mereka. Sehingga Allah mengutus
Nabi Muhammad dalam kondisi dimana para pencari Tuhan tidak lagi menemukan jalan
kebahagiaan dan pahala, maka Nabi Muhammad mengajak mereka kepada jalan Allah,
menjelaskan kebenaran, dan menerapakan syariat.
Ibnu Abbas dalam menafsirkan ayat tersebut berpendapat bahwa rahmat yang dimaksud
dalam ayat tersebut bersifat umum, meliputi haknya mereka yang beriman dan juga mereka yang
tidak beriman. Untuk mereka yang beriman rahmat itu berupa kebahagiaan baik di dunia dan di
akhirat. Sedangkan bagi mereka yang tidak beriman rahmat itu hanya di dunia saja, yaitu dengan
4
ditundanya siksaan dari mereka di kehidupan dunia. 10 Ibnu Katsir dalam tafsirnya berpendapat
bahwa Allah SWT menjadikan Nabi Muhammad SAW sebagai rahmat bagi seluruh alam, yakni
bahwa Rasulullah diutus untuk menyampaikan rahmat kepada seluruh manusia. Barang siapa
yang menerima rahmat ini dan mensyukurinya, maka akan bahagia di dunia akhirat. Barang
siapa yang menolak rahmat dan mengingkarinya, maka merugi dunia dan akhirat.
Imam Fahkruddin ar-Razi dalam menjelaskan bahwa Nabi Muhammad adalah pembawa
rahmat baik di dalam agama maupun di dalam dunia. Dalam agama rahmat diutusnya Nabi
Muhammad kepada manusia pada saat mereka berada pada masa jahiliyyah, pada jalan yang
sesat, dan kebingungan dalam mencari kebenaran tentang agama mereka, yaitu untuk membawa
mereka pada jalan kebenaran yang dapat menghantarkan mereka pada kebahagiaan dan
keberuntungan, juga untuk menerapkan syariat kepada mereka. Sedangkan rahmat bagi manusia
untuk kehidupan dunianya yaitu, menyelamatakan manusia dari pelecehan, pertikaian,
pembunuhan, dan peperangan sehingga mereka dapat tertolong.11
Misi kenabian yang bawa oleh Rasulullah selama kurang lebih 23 tahun baik di Makkah
dan Madinah dijalankan dengan sukses dan mendapatkan ridla Allah SWT. Sebagaimana hal ini
dijelaskan Allah SWT pada ayat yang menjadi penutup wahyuNya kepada Nabi Muhammad,
Allah berfirman; “Pada hari ini aku sempurnakan agamamu untukmu, dan aku cukupkan nikmat-
Ku bagimu, dan telah aku ridlai Islam sebagai agamamu.” (QS. al- Maidah: 3).
Tujuan diutusnya Nabi Muhammad SAW, sekali lagi tidak bertujuan untuk
mengislamkan seluruh penduduk dunia, sebagaimana pandangan kelompok radikal, yang selalu
berlindung dan berkedok menggunakan topeng agama untuk melancarkan segala tindak
kekerasan dalam seruan dakwahnya. Tujuan diutusnya Nabi Muhammad tidak lain adalah untuk
menebar kasih sayang dan perdamaian kepada alam semesta. Sehingga misi risalah sebagai
subtansi dari misi Islam yang rahmatan lil ‘alamin bersifat universal.
Rahmat dan kasih sayang yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW yang bersifat
universal tentunya berlaku bagi siapapun tanpa memandang suku, warna kulit, bangsa, dan
agama seseorang. Universalitas rahmat ini dapat dilihat pada poin-poin penting yang terdapat
dalam Piagam Madinah, sebagai berikut:12

“Bahwa barang siapa dari kaum Yahudi yang menjadi pengikut kami, ia berhak
mendapat pertolongan dan persamaan, tidak menganiaya atau melawan mereka”

“Bahwa Masyarakat Yahudi Bani Auf adalah satu umat dengan orang mukmin,
umat Yahudi hendaklah berpegangan pada agama mereka, dan kaum muslimin
pun hendaklah berpegang pada agama mereka pula, termasuk pengikutpengikut
mereka dan diri mereka sendiri, kecuali orang yang melakukan perbuatan zalim
dan durhaka. Orang semacam ini hanyalah akan menghancurkan dirinya dan
keluarganya sendiri”

10
Fahkruddin Muhammad bin Umar ar-Razi, Mafatih al-Ghaib, Jilid: 22, Kairo: Dar al-Fikr, t.t, h. 199-200.
11

12
Muhammad Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, Terj. Ali Audah, Jakarta: Pustaka Litera Antar
Nusa, 2007, h. 206-207.

5
“Bahwa tetangga itu seperti jiwa sendiri, tidak boleh diganggu dan diperlakukan dengan
perbuatan jahat”

Peneguhan misi risalah kenabian menjadi sangat penting untuk menegaskan kembali
bahwa Islam adalah agama yang cinta damai, ramah, toleran, dan menghargai perbedaan, dan
keragamaan; dan sebaliknya, Islam bukanlah agama yang mendukung kekerasan, kebencian dan
terorisme. Misi risalah kenabian menjunjung tinggi dan menghargai nilai-nilai kemanusiaan,
menghargai hak-hak dasar manusia dalam aspek keniscayaan (dharuriyyat) yang meliputi;
a. Pemeliharaan terhadap agama (hifzh al-din), termasuk di dalamnya hak beragama.
b. Pemeliharaan terhadap jiwa (hifzh al-nafs), termasuk hak untuk hidup dan memperoleh
jaminan keamanan.
c. Pemeliharaan terhadap akal (hifzh al-‘aql), termasuk hak memperoleh pendidikan.
d. Pemeliharaan terhadap harta (hifzh al-maal), termasuk hak untuk bekerja, memiliki harta
kekayaan, dan hidup dengan layak.
e. Pemeliharaan terhadap keturunan (hifzh al-nasl), termasuk hak untuk mendapatkan
keturunan, dan meneruskan generasi.
f. Pemeliharaan terhadap kehormatan (hifzh al-‘irdh), termasuk hak untuk dilindungi harga
diri dan martabatnya.13

Penguatan Umat Melalui Kegiatan Ekonomi dan Filantropi


Sebelum masuk pada pembahasan ajaran-ajaran Islam yang berkaitan dengan kegiatan
ekonomi dan filantropi perlu kiranya mengenal lebih dahulu kegiatan ekonomi dan filantropi.
Untuk kegiatan ekonomi, Islam memperkenalkan perdagangan, sewa menyewa, gadai, pinjam-
meminjam, konsinyasi, dan sejenisnya. Prinsip dasarnya Islam memasukkan kegiatan ekonomi
ini dalam kerangka ibadah muammalah dengan berorientasi pada kemaslahatan bersama. Adapun
yang menjadi dalil dalam pelaksanaan kegiatan ekonomi ini adalah ayat al-Qur’an surah al-Nisa
ayat 29 berikut ini:
‫يَٰٓاُّيَها اَّلِذ ْيَن ٰا َم ُنْو ا اَل َتْأُك ُلْٓو ا َاْم َو اَلُك ْم َبْيَنُك ْم ِباْلَباِط ِل ِآاَّل َاْن َتُك ْو َن ِتَج اَر ًة َع ْن َتَر اٍض ِّم ْنُك ْم ۗ َو اَل َتْقُتُلْٓو ا َاْنُفَس ُك ْم ۗ ِاَّن َهّٰللا‬
‫َك اَن ِبُك ْم َر ِح ْيًم ا‬
Artinya: Orang-orang beriman, janganlah kalian saling memakan harta di antara kamu dengan
cara batil (tidak benar) kecuali dalam kerangka perdagangan yang didasari suka sama suka,
janganlah kalian membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepadamu.

Kata “filantropi” merupakan istilah baru dalam Islam, namun demikian belakangan ini
sejumlah istilah Arab digunakan sebagai padanannya. Filantropi kadang-kadang disamakan
dengan al-‘atha’ al-ijtima’i yang artinya pemberian sosial, al-takaful al-insani yang artinya

13
Masykuri Abdillah, Islam Dan Dinamika Sosial Politik DI Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
2011, h. 14

6
solidaritas kemanusiaan, al-‘atha’ khayri yang artinya pemberian untuk kebaikan, atau sadaqah
yang artinya sedekah.14
Istilah sadaqah sudah dikenal dalam Islam, tetapi istilah filantropi Islam merupakan
pengadopsian kata pada masa sekarang. Kata filantropi berasal dari kata Yunani, yaitu dari kata
philo yang artinya cinta dan anthrophos yang artinya manusia. Filantropi itu sendiri lebih dekat
maknanya dengan charity, kata yang berasal dari Bahasa Latin (caritas yang artinya cinta tak
bersyarat (unconditioned love). Namun, sebenarnya terdapat perbedaan antara kedua istilah
tersebut, charity cenderung mengacu pada pemberian jangka pendek, sedangkan filantropi
lebih bersifat jangka panjang.15
Makna filantropi di atas telah melahirkan beragam definisi. Filantropi diartikan sebagai
tindakan sukarela personal yang didorong kecenderungan untuk menegakkan kemaslahatan
umum, atau perbuatan sukarela untuk kemaslahatan umum. Filantropi juga diartikan sebagai
sumbangan baik materi maupun non materi untuk mendukung sebuah kegiatan yang bersifat
sosial tanpa balas jasa bagi pemberinya. Definisi di atas menunjukkan bahwa tujuan umum yang
mendasari setiap definisi filantropi adalah cinta yang diwujudkan dalam bentuk solidaritas
sesame manusia.
Dalam semangat filantropi dipraktikkan dalam wujud pelaksanaan zakat, infak, sedekah,
hadiah dan sebagainya. Pada prinsipnya Islam selain sebagai agama yang memberikan perhatian
pada unsur spiritual juga perhatian pada unsur sosial yang keduanya memiliki porsi berimbang.
Argumen ini bisa merujuk redaksi ayat-ayat al-Qur’an yang ketika menyebutkan perintah untuk
melakukan ibadah ritual kemudian diikuti dengan perintah agar melaksanakan ibadah sosial. Di
antaranya sebagaimana disampaikan dalam ayat berikut:
‫اَّلِذ ْيَن ُيْؤ ِم ُنْو َن ِباْلَغْيِب َو ُيِقْيُم ْو َن الَّص ٰل وَة َوِمَّم ا َر َز ْقٰن ُهْم ُيْنِفُقْو َن‬
Artinya: (Orang-orang bertakwa) yaitu mereka yang beriman kepada hal gaib, mereka yang
melaksanakan shalat dan mereka yang mendermakan sebagian dari harta yang telah Kami
limpahkan (QS. Al-Baqarah 3).
Ayat-ayat yang serupa dan memberikan pesan yang sama banyak sekali dijumpai dalam
al-Qur’an, begitu juga semangat yang sama juga terdapat dalam banyak hadis Nabi, di antaranya
sebagaimana hadis berikut:
‫ َفهذا بأفضِل المنازِل‬،‫ ويعلُم ِهَّلل فيِه حًّقا‬،‫ ويصُل فيِه رحَم ُه‬،‫ عبٍد رزَقُه ُهَّللا مااًل وعلًم ا َفهَو يَّتقي رَّبُه فيِه‬: ‫إَّنما الُّد نيا ألربعِة نفٍر‬
Artinya: Dunia ini hanya untuk empat golongan. Pertama dan kedua adalah orang yang
diberikan rizki oleh Allah baik berupa harta maupun ilmu dan ia gunakan untuk bertakwa
kepada-Nya. Ketiga, orang yang gemar menjalin silaturrahmi. Keempat, paham terhadap hak-
hak Allah. Demikian ini adalah posisi yang sangat mulia.
Buku-buku sejarah Islam era Nabi selalu menampilkan perhatian Islam terhadap kegiatan
ekonomi dan filantropi yang termuat dalam perdagangan, zakat, sedekah, infak dan wakaf. Sebab
dengan adanya kegiatan tersebutlah yang membuat kegiatan Islam pada saat itu dapat
berkembang dengan pesat. Misalnya pada periode awal Islam orang-orang yang menjadi sahabat

14
Barbara Ibrahim, From Charity to Social Change; Trends in Arab Philanthropy, Cairo: American University
in Cairo, 2008, h. 11
15
Linsay Anderson, “Conspicuous Charity”, MA Thesis, Texas: Texas A&M University, 2007, h. 26

7
dekat Muhammad ialah mereka yang memiliki pengaruh besar secara ekonomi dan kedudukan di
kalangan Makkah seperti Khadijah, Abu Bakar, Usman, Abdul Rahman, Zubair, dan lain-lain.16
Menurut al-Shalabi, Abu Bakar merupakan orang yang diperhitungkan di Makkah saat
itu. Sayyidina Abu Bakar sangat dicintai oleh kaumnya karena kedermawanannya dan sikapnya
yang baik. Abu Bakar juga dikenal ahli dalam ilmu nasab yang saat itu merupakan ilmu paling
dihormati, juga sebagai pedagang yang ramah dan dermawan. Ini artinya bahwa Abu Bakar telah
mewakili keunggulan sebagai ilmuan dan saudagar. Dengan pengaruh Abu Bakar saat itu sangat
luar biasa, maka ketika Abu Bakar membantu Muhammad dalam menyampaikan Islam tidak
heran mendapatkan respon yang baik dari orang-orang yang mengaguminya. Abu Bakar juga
dikenal sebagai orang kaya yang sering memerdekakan budak pada saat itu.
Perhatian penting sebenarnya lebih pada hadirnya kontribusi tokoh-tokoh elit pada saat
itu dalam mendukung misi Islam sebagai rahmat untuk seluruh umat manusia. Muhammad
Athiyyah al-Abrasy dalam salah satu bukunya juga melihat misi Islam sebagai rahmat itu terparti
sangat dalam. Tetapi secara general bisa dipastikan bahwa Islam datang untuk mendorong
terwujudnya keadilan (‘adalah), kesetaraan (musawwah), dan persaudaraan (ukhuwwah). Tiga
poin penting tersebut masuk dalam semua konteks, baik dalam ekonomi, pendidikan, hak hidup,
dan lain sebagainya, yang semua itu saling terkait antara satu dengan lainnya. Misalnya perhatian
Islam terhadap ekonomi, dengan tumbuhnya ekonomi masyarakat bisa meraih kehidupan yang
layak, bisa akses terhadap pendidikan, makanan yang layak, kesehatan, tempat tinggal, dan
lainnya.
Islam dalam memperhatikan keseteraan ekonomi ini sangat masif, bahkan beberapa kali
Nabi Muhammad pernah meminta langsung kepada para pembesar yang ada di negara-negara
tetangga saat itu agar para pembesarnya mau mengeluarkan sedekah. Seperti perintah
Muhammad yang diberikan kepada Muadz bin Jabal saat hendak mendatangi para tokoh agama
Yaman pada saat itu. Berikut redaksi haditsnya:
‫ه‬..‫ حين بعث‬- ‫اذ بن جبل‬..‫لم لمع‬..‫ { قال رسول هللا صلى هللا عليه وس‬: ‫ عن عبد هللا بن عباس رضي هللا عنهما قال‬: ‫الحديث األول‬
‫ فإن هم‬. ‫ول هللا‬..‫ وأن محمدا رس‬، ‫ه إال هللا‬..‫هدوا أن ال إل‬..‫ فادعهم إلى أن يش‬: ‫ فإذا جئتهم‬. ‫ إنك ستأتي قوما أهل كتاب‬- ‫إلى اليمن‬
‫ أن هللا‬: ‫ك بذلك فأخبرهم‬..‫ فإن هم أطاعوا ل‬. ‫ أن هللا قد فرض عليهم خمس صلوات في كل يوم وليلة‬: ‫أطاعوا لك بذلك فأخبرهم‬
‫ق دعوة‬..‫ وات‬. ‫ فإياك وكرائم أموالهم‬، ‫ فإن هم أطاعوا لك بذلك‬. ‫ تؤخذ من أغنيائهم فترد على فقرائهم‬، ‫قد فرض عليهم صدقة‬
. ‫ فإنه ليس بينها وبين هللا حجاب‬. ‫المظلوم‬

Artinya: “Kamu nanti akan mendatangi sekelompok para ahli kitab, maka ketika kamu sudah tiba
di hadapan mereka, serulah mereka agar mau bersyahadat. Jika mereka sudah ikut terhadap
perintahmu maka beritahulah mereka bahwa Allah telah mewajibkan shalat lima waktu yang ada
pada sebagian siang dan malam. Jika mereka sudah ikut atas perintahmu itu, selanjutnya
beritahulah mereka bahwa Allah juga mewajibkan untuk mengeluarkan sedekah, yang diambil
dari orang-orang kaya di antara mereka lalu disalurkan kepada orang-orang fakir. Dan jika
mereka sudah ikut perintahmu itu, jagalah harta mereka, dan takutlah akan doa orang yang
teraniaya, sebab di antara mereka dengan Allah tidak ada penghalang lagi.”17

16
Shafi al-Rahman al-Mubarakhfuri, Al-Raḥīq al-Makhtūm, Mansurah: Dar al-Wafa’, 1991, h. 88.
17
Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath Al-Barri Syarah Sahih Al-Bukhari, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1989. Juz. 1,
h. 250

8
Hadis tersebut muatannya sangat jelas sekali memberikan gambaran terkait ilustrasi
pendistribusian sedekah, yaitu diberikan kepada orang-orang fakir miskin. Kena pada fakir
miskin? Karena mereka yang berhak mendapatkan uluran tangan untuk membantu mendapatkan
hidup yang layak. Jika dilihat secara rinci kegiatan ekonomi dan filantropi dalam Islam termuat
dalam perintah: berdagang, zakat, infak, sedekah, dan wakaf. Berikut penjelasannya:

1. Dagang atau Bisnis sebagai pengambangan ekonomi


Dalam Islam konsep bisnis identik disebut sebagai jual beli (buyu’ atau tijarah) yang
pembahasannya dalam diskursus teks Islam mendapatkan perhatian utama. Indikasi ini dapat
dilihat dalam kitab suci Islam (Al-Qur’an), yang sering menyinggung aktifitas jual beli. Bahkan
digunakan sebagai metafora jual beli ayat-ayat Al-Qur’an dengan tujuan kebohongan, kelicikan
dan keculasan. Dalam buku-buku klasik yang ditulis oleh cendekiawan muslim juga demikian,
pembahasan tentang bisnis (kitabul buyu’) dijadikan sebagai bab pertama, atau bab kedua setelah
pembahasan tentang bersuci (kitab at-Taharah) yang berkaitan dengan teologis atau urusan
manusia dengan Tuhannnya.
Kata bisnis dalam Al-Qur’an baik yang disampaikan dengan tijarah atau buyu’ terdapat
dalam banyak tempat, meskipun tidak semuanya menghendaki pada makna jual beli mendapatkan
uang, tetapi masih dalam konteks mendapatkan keberuntungan (cuan). Contohnya sebagaimana
disampaikan dalam ayat Al-Qur’an berikut ini:
‫ٰۤل‬
‫ُاو ِٕىَك اَّلِذ ْيَن اْش َتَرُو ا الَّض ٰل َلَة ِباْلُهٰد ۖى َفَم ا َر ِبَح ْت ِّتَج اَر ُتُهْم َو َم ا َك اُنْو ا ُم ْهَتِد ْيَن‬
Artinya: Mereka itu adalah orang-orang yang membeli kesesatan dengan hidayah. Maka bisnis
mereka tidaklah beruntung, dan mereka bukanlah orang-orang yang mendapatkan hidayah. (QS.
Al-Baqarah 16).
Ayat di atas bukanlah menggambarkan aktifitas berbisnis mendapatkan profit berupa
uang, tetapi memberikan gambaran terhadap profit terhadap kehidupan yang lebih baik dengan
mendapatkan hidayah. Tetapi yang menarik dari ayat ini adalah bagaimana penekanan kata
rabihat yang artinya adalah “profit.” Sehingga ayat tersebut bisa dipahami bahwa dalam bisnis
memang harus ada profit dan Islam tidak menghendaki orang yang terlibat dalam aktifitas bisnis
justru tidak profit atau justru rugi (muflis).
Nabi Muhammad sendiri mengawali karirnya dengan berbisnis, bahkan ia tercatat pernah
menjadi pembisnis sukses di usia yang masih muda. Dalam buku sejarah yang ditulis oleh Ibnu
Atsir, Muhammad pada saat usia 20 an sudah menjadi pembisnis sukses, bahkan pada saat itu ia
menjadi kolega bisnis Khadijah sebelum menjadi istrinya, dan Muhammad berhasil membawa
keutungan yang besar.18
Jiwa bisnis Muhammad sudah terasah semenjak masih kecil bahkan pada saat usia 12
tahun, Muhammad sudah terjun sebagai padagang yang ikut ekspor-impor dari kota Makkah.
Selain ia juga pernah menjadi seorang peternak domba yang sukses. Di usia belasan tahun pula ia
sudah menerima dana investasi dari para investor saat itu yang diserahkan kepada Muhammad
agar bisa berkembang. Penyerahan dana investasi tersebut dipercayakan karena kinerja
Muhammad telah terbukti mendapatkan profit dan dirinya sebagai pelaku bisnis yang
mengedepankan kridebilitas. Bahkan karakter bisnis seperti ini yang diterapkan oleh Muhammad

18
Ibnu Atsir, al-Kamil fi al-Tarikh, Beirut: Dal al-Ma’rifah, 1987, Jilid. 1, h. 569

9
kepada para pembisnis yang ada saat itu ketika ia telah diangkat menjadi seorang Nabi,
khususnya ketika ia pindah ke Madinah menjadi pelopor berdirinya pasar.
Urgensi bisnis dalam Islam juga bisa dilihat dari beberapa pernyataan Nabi ketika ditanya
jenis pekerjaan apa yang memiliki kedudukan tinggi? Kemudian Muhammad menjawab yaitu
perdagangan atau bisnis sebagaimana hadis berikut:

. ‫ وُك ُّل َبْيٍع َم ْبُروٍر‬،‫ َع َم ُل الَّرُج ِل ِبَيِدِه‬: ‫ َأُّي اْلَكْس ِب َأْطَيُب ؟ َقاَل‬: ‫ َأَّن الَّنِبَّي ﷺ ُس ِئَل‬:‫َع ْن ِر َفاَع َة ْبِن َر اِفٍع‬

Artinya: diriwayatkan Rifaah bin Rafi’bahwa Nabi Muhammad suatu ketika ditanya, wahai
Nabi, jenis pekerjaan apa yang baik? kemudian ia menjawab, yaitu pekerjaan seseorang yang
dilakukan dengan tangannya sendiri, dan semua perdagangaan yang dilakukan dengan jujur.
Ada kalimat penting dalam hadis tersebut yang bisa dijadikan perhatian, yaitu pada
kalimat ba’iun mabrur, yaitu perdagangan yang dilakukan dengan jujur. Sebab jika tidak
dilakukan dengan jujur yang ada adalah perdagangan yang justru menindas, tidak memberikan
profit sharing, tidak memberikan manfaat dan lainnya. Unsur-unsur tersebut yang tidak
dikehendaki dalam bisnis Islam. Jika demikian apa definisi bisnis dalam Islam itu? Dalam diskusi
ilmu Fiqih yang disebut dengan bisnis adalah tukar menukar barang antara barang yang berharga
satunya dengan barang yang berharga lainnya (mubadallatu maalan mutaqayyiman bi maalin
mutaqayyimin). Adapun kegiatan bisnis jika ditinjau dari praktiknya ada beberapa jenis.

a. Jual Beli
Dalam fiqih muammalah secara sederhana jual beli (bisnis) dapat juga diartikan sebagai
tukar menukar barang atau sesuatu yang bermanfaat dengan cara-cara yang telah ditentukan
hukum Islam. Namun secara bahasa dalam istilah fiqh kata bisnis tersebut mengandung aktifitas
al-bai’ yang berarti menjual, mengganti, dan menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain.
Kata al-bai’ sendiri dalam bahasa Arab terkadang digunakan untuk pengertian
lawannya yakni kata al-syira (beli). Dengan demikian dapat diambil keterangan bahwa kata al-
bai’ di satu sisi berarti “menjual,” tetapi sekaligus juga berarti beli. 19 Dalam Fiqih Jual beli
sendiri dibagi dalam 3 bagian. Pertama, jual beli sesuatu yang dapat dilihat barangnya (baiu
‘ainin musyahadatin), artinya jual beli yang barangnya dapat dilihat saat akan terjadi transaki jual
beli, obyek dari jual beli tersebut ada di tempat yang dapat dilihat oleh kedua belah pihak,
sehingga pembeli dapat menilai dari barang itu sendiri apakah cocok sesuai dengan kebutuhan
atau tidak. Jenis jual beli yang seperti ini hukumnya sah. Kedua jual beli sesuatu yang disertai
dengan sifat atau ciri-ciri tertentu (Bai’un ‘an muashufin fi). Sekalipun obyek dalam jual beli
tidak terlihat namun pembeli memberikan ciri-ciri atau sifat dari barang yang akan dibeli,
sehingga penjual menyiapkan barang yang sesuai dengan pesanan pembeli. Jenis jual beli yang
kedua biasa disebut dengan istilah salam dan jual beli salam (yang dilakukan dengan cara
memesan) diperbolehkan.
Ketiga jual beli yang sesuatu yang barangnya tidak ada dan tidak dapat dilihat oleh kedua
belah pihak (bai’u ainin gaibatin lam tusyahid). Jual beli yang ketiga hukumnya tidak sah, karena
penjual tidak mampu menghadirkan dari obyek jual beli, sehingga kedua belah pihak tidak dapat

19
Shobirin, “Jual Beli dalam Pandangan Islam” Bisnis: Jurnal Bisnis dan Manajemen Islam, Vol. 3, No. 2,
2016, h. 235

10
melihatnya, bahkan penjual menjual barang yang tidak ada maksudnya ialah tidak dimiliki
oleh penjual.20

Syarat dan Rukun


Islam sangat memperhatikan aktifitas jual beli (bisnis) sehingga yang diharapkan adalah
bisnis yang untung, saling memberikan keuntungan. Oleh karena itu ada beberapa syarat dan
ketentuan yang tidak boleh ditinggalkan dalam aktifitas tersebut. Beberapa syarat dan ketentuan
dapat dirinci sebagaimana berikut:
1. Penjual dan pembeli (‘Aqidani). Dalam aktifitas bisnis eksistensi pembeli (buyer) dan
penjual (seller) ini sangat penting dan menjadi sahnya kegiatan bisnis itu bisa berjalan.
2. Alat tukar dan barang yang dijual (Ma’qud ‘Alaih). Sesuai dengan istilah bisnis yang
telah disampaikan sebelumnya jika dalam bisnis merupakan tukar menukar barang, yang satu
sebagai barang yang dijual memiliki harga (barang), dan yang satunya sebagai barang yang
digunakan untuk membeli (uang) juga harus memiliki harga.
3. Serah terima (shigat), dalam Islam serah terima dalam kegiatan bisnis ini sangat
penting sebagai penjelas (tabyin) dari akad yang dilakukan. Sebab akad akan gugur jika tidak
diiringi dengan serah terima sesuai dengan akad. Hal inilah yang memberikan rincian dari
transaksi yang dilakukan apakah atas nama sewa menyewa, jual-beli, gadai, pinjaman, dan lain
sebagainya.
Belakangan seiring zaman semakin modern, model jual beli dilakukan via online dan
yang menjadi penjual ialah nama tokonya, pembeli tidak mengetahui siapa yang menjual baik itu
nama alamat, bahkan usianya (sebab diskursus soal usia sebagai syarat penjual dan pembeli
dalam Islam sangat diperhatikan, misalnya tidak boleh anak kecil yang belum bisa membedakan
antara yang baik dan buruk menjadi pembeli maupun menjadi penjual).
Adapun kasus yang terjadi pada jual beli online ini yang diketahui oleh publik sebagai
pembeli adalah nama tokonya, sehingga tidak bisa mengetahui usia, dan identitasnya secara
lengkap. Hal ini berbeda ketika membeli sesuatu dilakukan secara langsung, pemilik tidak
diketahui, hanya saja diwakilkan kepada karywan sebagai penjualnya. Sedangkan konsep online
yang ada hanya informasi nama toko dan alamat, tanpa pernah mengetahui siapa pemiliknya.
Namun jelas pada saat pembeli akan memilih barang, semuanya sudah tersedia, dan ketika
bertanya terkait barang tersebut tersedia atau tidak dapat dijawab oleh mereka, entah dengan
sistem robotik mapun oleh manusia. Sehingga penjual dan pembeli secara rukun (ketentuan) dan
syarat terpenuhi. Rukun dan syarat yang kedua ialah alat tukar dan barang yang dijual, alat tukar
antara jual beli dengan cara online dan langsung (offline) masih sama yakni menggunakan uang
yang dilakukan melalui transfer berdasarkan nomer kode bayar yang telah dipesan.
Sedangkan barang yang dijual melaui online banyak pilihan danberbagai jenis barang
tersedia dari berbagai toko. Serah terima (shigat) dalam transaksi online memang tidak
dalam bentuk serah terima secara lisan, akan tetapi bentuk serah terimanya ialah dengan bukti
transfer kepada penjual dan bukti kirim sampai barang itu diterima oleh pembeli merupakan
bagian dari serah terima.
Serah terima yang tanpa ada ucapan lisan “menyerahkan” dan “menerima” termasuk
dalam jual beli mu’athah yaitu kesepakatan pihak penjual dan pembeli atas harga dan barang
sementara tidak ditemukan shighat dalam kesepkatan tersebut. Para ulama berbeda pendapat

20
Muhammad bin Qasim, Terjemah Fathul Qarim, Kudus: Menara Kudus, 2008, h. 25

11
dalam keabsahan jual beli tersebut. Menurut pendapat Ibnu Al-Shibagh Al-Nawawi Al-Baghawi
dan beberapa golongan ulama lainnya melihat bahwa transksi tersebut sah dalam hal yang secara
transaksi jual beli dianggap cukup dengan mu’athah. Sebab dalam akad muamalah yang
terpenting ialah substansinya. Maksudnya antara ijab dan qabul sesuai dengan jenis barang,
macam barang, sifat barang, kuantitas dan kualitasnya, kontan dan tidak kontan.

b. Sewa menyewa
Dalam Islam sewa menyewa ini disebut sebagai (ijarah) yang berasal dari kata al-ajru
yang berarti al-‘iwadlu atau ganti. Dalam Bahasa Arab, al-ijarah diartikan sebagai suatu jenis
akad untuk mengambil manfaat dengan jalan penggantian sejumlah uang. 21 Secara terminologi,
ada beberapa defenisi terkait dengan al-ijarah yang dikemukakan oleh para ulama fiqh.
Pertama, ulama Hanafiyah mendefinisikannya dengan, “transaksi terhadap suatu manfaat
dengan imbalan.” Kedua, ulama Syafi’iyah mendefinisikannya dengan “transaksi terhadap suatu
manfaat yang dituju, tertentu, bersifat mubah, dan boleh dimanfaatkan dengan imbalan
tertentu.” Ketiga, ulama Malikiyah dan Hanabilah mendefinisikannya dengan “pemilikan
manfaat sesuatu yang dibolehkan dalam waktu tertentu dengan suatu imbalan.”
Pada dasarnya keempat pendapat ulama di atas memiiliki pandangan yang sama
terhadap pengertian al-ijarah, yaitu transaksi yang bertujuan untuk saling mengambil manfaat.
Sedangkan menurut pendapat yang populer saat ini al-Ijarah atau sewa menyewa merupakan
suatu akad pemindahan hak guna atas barang atau jasa, melalui pembayaran upah sewa, tanpa
diikuti dengan pemindahan kepemilikan (ownership/milkiyyah) atas barang itu sendiri.22
Di Indonesia definisi mengenai prinsip ijarah juga telah diatur dalam hukum positif
Indonesia yakni dalam Pasal 1 ayat 10 Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/46/PBI/2005 yang
mengartikan prinsip al-ijarah sebagai “transaksi sewa-menyewa atas suatu barang dan atau
upah mengupah atas suatu usaha jasa dalam waktu tertentu melalui pembayaran sewa atau
imbalan jasa.” Menurut Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No.09/DSN/MUI/IV/2000, ijarah adalah
akad pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang atau jasa dalam waktu tertentu melalui
pembayaran sewa/upah, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan barang itu sendiri,
dengan demikian dalam akad ijarah tidak ada perubahan kepemilikan, tetapi hanya pemindahan
hak guna saja dari yang menyewakan kepada penyewa. Dari beberapa pengertian di atas dapat
dikatakan bahwa al-ijarah adalah pemindahan hak guna atau manfaat terhadap suatu barang
atau jasa dari sesorang dalam kurun waktu tertentu sesuai dengan kesepakatan.
Menurut ulama Hanafiyah, rukun sewa menyewa itu hanya satu, yaitu ijab (ungkapan
menyewakan) dan qabul (persetujuan terhadap sewa menyewa). Akan tetapi, mayoritas ulama
mengatakan bahwa rukun sewa menywa itu ada empat, yaitu: (a) orang yang berakad, (b)
sewa/imbalan, (c) manfaat, dan (d) shighat (ijab dan qabul). Ulama Hanafiyah menyatakan
bahwa orang yang berakad, sewa/imbalan, dan manfaat, termasuk syarat-syarat sewa menywa,

21
Adiwarman A. Karim, Bank Islam, Analisis Fiqih dan Keuangan, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006), h.
14-15
22
Sutan Remy Syahdeini, Perbankan Islam dan kedudukannya dalam Tata Hukum Indonesia, (Jakarta:
Grafiti, 1999), h.28

12
bukan rukunnya.23 Hal itu menunjukkan bahwa jika salah satu dari beberapa rukun sewa-
menyewa (al-ijarah) tersebut tidak terpenuhi, maka akad sewa-menyewanya dikategorikan tidak
sah. Sebab ketentuan dalam rukun sewa-menyewa di atas bersifat kumulatif (gabungan) dan
bukan alternatif.
Prinsip-Prinsip Pokok Transaksi sewa menyewa menurut Islam haruslah dipenuhi oleh
seseorang dalam suatu transaksi sewa menywa yang akan dilakukakannya. Prinsip-prinsip pokok
tersebut adalah:
1. Jasa yang ditransaksikan adalah jasa yang halal sehingga dibolehkan melakukan
transaksi sewa menywa untuk keahlian memproduksi barang-barang keperluan sehari-hari
yang halal seperti untuk memproduksi makanan, pakaian, peralatan rumah tangga dan
lain-lain. Namun tidak dibolehkan transaksi sewa menywa untuk keahlian membuat
minuman keras, membuat narkoba dan obat-obat terlarang atau segala aktifitas yang
terkait dengan riba.
2. Memenuhi syarat sahnya transaksi sewa menywa yakni (a) Orang-orang yang
mengadakan transaksi baik yang menyewakan atau menyewa haruslah sudah mumayyiz
yakni sudah mampu membedakan baik dan buruk sehingga tidak sah melakukan transaksi
alijarah jika salah satu atau kedua pihak belum mumayyiz seperti anak kecil. (b). Transaksi
atau akad harus didasarkan pada keridaan kedua pihak, tidak boleh karena ada unsur
paksaan.
3. Transaksi sewa menywa haruslah memenuhi ketentuan dan aturan yang jelas
yang dapat mencegah terjadinya perselisihan antara kedua pihak yang bertransaksi. Ijarah
adalah memanfaatkan sesuatu yang dikontrak. Apabila transaksi tersebut berhubungan
dengan seorang yang disewa, maka yang dimanfaatkan adalah tenaganya, sehingga untuk
mengontrak seorang yang disewa tadi harus ditentukan bentuk kerjanya, waktu, upah
serta tenaganya. Oleh karena itu, jenis pekerjaaannya harus dijelaskan sehingga tidak
kabur. Karena transaksi sewa menywa yang masih kabur hukumnya fasid (rusak). Dan
waktunya juga harus ditentukan, misalkan harian, bulanan, atau tahunan. Disamping itu
upah kerjanya harus ditetapkan.
Adapun dalam transaksi sewa menyewa ini juga ada hal-hal yang harus jelas
ketentuannya yang menyangkut: (a). bentuk dan jenis pekerjaan (nau al-amal). (b). Masa
kerja, (c). Upah kerja (ujrah al-amal). (d). Tenaga yang dicurahkan saat bekerja (al-juhd
alladziy yubdzalu fii al-amal).24
Adapun macam-macam sewa menyewa jika dilihat dari obyeknya, maka akad sewa
menyewa oleh para ulama dibagi menjadi dua yaitu: a. Sewa menyewa yang bersifat
manfaat, seperti sewa menyewa rumah, toko, kendaraan, pakaian dan perhiasan. Apabila
manfaat itu merupakan manfaat yang dibolehkan syara’ untuk dipergunakan, maka para
ulama fiqh sepakat menyatakan boleh dijadikan obyek sewa menyewa. 25 b. Al-Ijarah yang
bersifat pekerjaan ialah dengan cara mempekerjakan seseorang untuk melakukan suatu

23
Nasrun Harun, Fiqh Muamalah, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007, h. 231
24
M. Shalahuddin, Asas-Asas Ekonomi Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007, h. 72-73
25
Wahbah al-Zuhaili, Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Beirut: Dar al-Fikr, 1984, h. 72-73

13
pekerjaan. Sewa menyewa jenis ini menurut para ulama fiqh hukumnya boleh, apabila
jenis pekerjaan itu jelas.
Adapun terkait dengan berakhirnya akad sewa menyewa maka para ulama fiqh
menyatakan bahwa akadnya akan berakhir jika: a. Obyek hilang atau musnah. b. Tenggang
waktu yang disepakati dalam akad sewa menyewa telah berakhir. Apabila yang disewakan
itu rumah, maka rumah itu dikembalikan kepada pemiliknya, dan apabila yang disewa itu
adalah jasa maka ia berhak menerima upahnya. Kedua hal ini disepakati oleh semua ulama
fiqh. c. Menurut ulama Hanafiyah, wafatnya salah seorang yang berakad, karena akad
sewa menyewa menurut mereka tidak boleh diwariskan. Sedangkan menurut mayoritas
ulama, akad sewa menyewa tidak batal dengan wafatnya seseorang yang berakad, karena
manfaat menurut meraka, boleh diwariskan. d. Apabila ada uzur pada salah satu pihak.

Persamaan sewa menyewa dengan bunga Bank


Ada yang mengatakan bahwa antara sewa menyewa dan bunga bank memiliki
kesamaan. Misalnya seperti terjadi pada sewa kendaraan untuk batas waktu tertentu, yang
kemudian setelah pembayaran sewa masuk pada katego selesai penyewa berhak memiliki
barang yang disewa. Perbedaan tersebut dapat diurai dalam empat kategori berikut ini:
Pertama, sewa adalah hasil inisiatif usaha dan efisiensi. Ia dihasilkan sesudah suatu
proses menciptakan nilai yang pasti. Karena pemilik harta benda atau kekayaan tetap
terlibat dan berkepentingan dengan seluruh pemakaian si pemakai. Tidak demikian halnya
dengan bunga, karena yang meminjamkan tidak berkepentingan lagi dengan penggunaan
pinjaman, setelah pinjaman diperoleh dan bunganya terjamin.
Kedua, mengenai sewa usaha produktif sangat diperlukan dalam proses
menciptakan nilai, karena upaya ekonomik dilakukan pemilik modal dengan merubahnya
menjadi milik atau kekayaan. Demikian maka unsur kewira-usahaan tetap jelas dan aktif
dalam memproduksi barang dan jasa. Sedangkan bunga mungkin memperlambat proses
menciptakan nilai. Karena yang meminjamkan tetap tidak berkepentingan dengan
penggunaan pinjaman itu, maka unsur wirausaha hilang sama sekali.
Ketiga, dalam hal sewa, pemilik modal sendiri menentukan pola, ukuran dan
manfaat produk. Karena itu terbatas pada penggunaannya yang pasti dan bertujuan.
Sedangkan dalam hal bunga pemilik yang sebenarnya tampaknya tidak berkepentingan
dengan penggunaan ekonomik dari modal, karena itu besar kemungkinan modal dapat
disalahgunakan.
Keempat, karena dalam masalah sewa banyak unsur kerugiannya, maka
penggunaan modal oleh si pemilik untuk mendapatkan sewa tidak menciptakan timbulnya
kelas bermalas-malasan dalam masyarakat sedangkan unsur kerugian tidak terdapat sama
sekali dalam soal bunga yang dapat membuat si kaya menjadi lebih kaya dan si miskin
menjadi lebih miskin.26

c. Gadai

26
Abdul Manan, Ekonomi Islam: Teori dan Praktek, Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Prima Yasa, 2007, h.114

14
Dalam Islam kata gadai diambil dari bahasa Arab al-Rahn yang memiliki arti tetap, kekal, dan
jaminan. Akad al-Rahn dalam istilah hukum positif disebut dengan barang jaminan, agunan dan
rungguhan. Dalam Islam al-Rahn merupakan sarana saling tolong menolong (ta’awun) bagi umat Islam
dengan tanpa adanya imbalan jasa.27 Sedangkan secara terminologi, al-Rahn adalah menahan salah satu
harta milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya, dan barang tersebut memiliki
nilai ekonomis. Dengan demikian, pihak yang menahan memperolah jaminan untuk dapat mengambil
kembali seluruh atau sebagian piutangnya. Jadi, al-Rahn adalah semacam jaminan utang atau lebih
dikenal dengan istilah gadai. Berdasarkan hukum Islam, penggadaian merupakan suatu tanggungan atas
utang yang dilakukan apabila pengutang gagal menunaikan kewajibannya dan semua barang yang pantas
sebagai barang dagangan dapat dijadikan jaminan. Barang jaminan itu baru boleh dijual/dihargai apabila
dalam waktu yang disetujui kedua belah pihak, utang tidak dapat dilunasi oleh pihak yang berutang.
Oleh sebab itu, hak pemberi piutang hanya terkait dengan barang jaminan, apabila orang yang berutang
tidak mampu melunasi utangnya.28

d. Pijam meminjam
Pinjam meminjam atau utang piutang adalah suatu perjanjian yang mana seseorang yang
meminjamkan atau berhutang diwajibkan untuk mengembalikanya degan barang yang sama.
Sedangkan menurut ahli fiqih hutang atau pinjam meminjmam adalah transaksi antara dua
pihak yang satu menyerahkan uangnya kepada pihak lain secara sukarela serta untuk
dikembalikan lagi sejumlah yang dihutangi. Begitu juga jika seseorang meminjamkan 600 kg
beras, maka wajiab ia mengembalikan dengan jumlah yang sama yaitu 600 kg beras, pada saat
jatuh tempo melunasi. Begitu juga jika seseorang meminjamkan 100 kg gula, maka wajib
mengembalikan dengan hal yang sama juga, begitu juga dengan peminjaman uang atau hal
lainya.29
Dalam bahasa Arab, pinjam meminjam diambil dari kata ‘ariyah yang memiliki makna
datang dan pergi. Adapun secara istilah ‘ariyah ini didefinisikan sebagai “memberikan hak
memiliki manfaat yang sifatnya temporer (sementara waktu) dengan tanpa imbalan.” Adapun
dalam pandangan Mazhab Hanafi ‘ariyah adalah memberikan hak memiliki manfaat secara
cuma-cuma. Dan menurut mazhab Syafii memberikan pandangan bahwa ‘ariyah adalah
meminjamkan barang yang dibolehkan mengambil manfaat dari seseorang yang
membebaskannya, apa yang mungkin untuk dimanfaatkan, serta tetap zat barangnya supaya
dapat dikembalikan kepada pemiliknya. Madzhab Hambali memandang ‘ariyah adalah
kebolehan memanfaatkan suatu zat barang tanpa imbalan dari peminjam atau yang lainnya. Jadi
‘ariyah adalah memberikan manfaat suatu barang dari seseorang kepada orang lain secara
cuma-cuma (gratis). Oleh karena itu jika digantikan dengan sesuatu atau mendapatkan imbalan
maka tidak lagi disebut sebagai pinjam meminjam.
‘Ariyah sifatnya tidak mengikat kedua belah pihak, artinya pihak pemilik barang dapat
membatalkan pinjaman itu kapan saja ia mau, dan pihak peminjam pun boleh juga
27
Nasrun Haroen, Fiqh Mu’amalah, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000, cet.ke-1, h. 251
28
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik, Jakarta: Gema Insani Press, 2001, cet.
ke-1, h. 128
29
Ferli Yunanda dan Failur Rahmi, “Praktik Pinjam Meminjam Benih Padi Dalam Tinjauan Fiqh Muamalah
(Studi Kasus Di Nagari Sungai Jambu)” Jurnal Integrasi Ilmu Syariah, Vol. 3, No. 1, 2022, h. 132

15
mengembalikan barang yang dipinjamkan kapan kapan saja ia mau. Sedangkan pendapat lain
mengatakan bahwa pihak yang meminjamkan barang tidak dapat mengambil barang itu
dimanfaatkan oleh peminjam apabila akad ‘ariyah memiliki batas waktu pemanfaatan maka
sebelum tenggang waktu peminjam jatuh tempo pemilik barang pinjaman tidak tidak dapat
mengambil barangnya, karena atas dasar kesepakatan di awal (akad). Kemudian masalah ganti
rugi barang pinjaman jika rusak pada prinsipnya tidak ada ganti rugi (dhaman) bagi peminjam
bila barang pinjaman itu rusak atau hilang selama barang pinjaman dipergunakan dalam batas
keizinan pemilik barang, namun bila peminjaman di luar batas keizinan peminjam wajib
mengantinya. Karena pada hakekatnya barang pinjaman merupakan amanat yang wajib di
kembalikan.
Terdapat beberapa penyebab barang pinjaman harus diganti rugi, apabila barang itu
sengaja dimusnahkan atau dirusak, apabila barang disewakan an tidak dipelihara sama sekali;
apabila pemanfaatan barang pinjaman tidak sesuai dengan syarat yang disepakati bersama
ketika berlansung akad; apabila pihak peminjam melakukan sesuatu yang berbeda dengan
syarat yang ditentukan sejak semula dalam akad.
Di sisi lain, ‘ariyah atau pinjam meminjam ini memiliki unsur tolong-menolong antara
orang yang memiliki harta dengan orang yang tidak memiliki harta. Meskipun demikian sebagai
bentuk perhatian Islam juga memberikan syarat serta rukunnya dalam pinjam meminjam ini.
Berikut keterangannya:
Menurut Hanafiyah, rukun ’ariyah hanyalah satu, yaitu ijab dan kabul, tidak wajib
diucapkan, tetapi cukup dengan menyerahkan pemilik kepada peminjam barang yang dipinjam
dan boleh hukum ijab kabul dengan ucapan. 30 Menurut jumhur ulama “dalam akad” ‘ariyah
harus terdapat beberapa unsur (rukun) sebagai berikut:
1. Orang yang meminjamkan (mu’ir)
2. Orang yang meminjam (musta’ir)
3. Barang yang dipinjamkan (mu’ar),
dan 4) Shighat (akad).31

Selain rukun sebagaimana yang telah ditetapkan di atas juga terdapat syarat yang harus
dilakukan dalam unsur pinjam meminjam dalam Islam:
Pertama, memiliki kecakapan bagi orang yang meminjamkan untuk melakukan tabarru
(pemberian tanpa imbalan) meliputi, ‘ariyah (pinjam meminjam) tidak sah bagi anak yang masih
dibawa umur, tetapi ulama Hanfiyah tidak memasukan baligh sebagai syarat ariyah, baligh
melainkan cukup mumayyiz (bisa membedakan antara yang buruk dan baik)
Kedua, berakal. Artinya tidak sah pinjam meminjam apabila dilakukan orang gila.
Ketiga, Tidak mahjur alaih (didiskualifikasi), karena boros atau pailit. Maka ariyah yang
dilakukan orang yang mahjur alaih tidak sah.

30

31
Zakariyya al-Anshari, Fathul Wahab, Jilid 1, h. 108

16
Keempat, orang yang meminjamkan harus pemilik atas manfaat yang akan dipinjamkan,
dalam hal ini tidak perlu memiliki bendanya, karena objek ariyah adalah manfaat adalah
manfaat bukan benda.
Selain syarat atas pinjam-peminjam juga ada syarat bagi orang yang meminjamkan:
Pertama, harus jelas orang yang meminjamkan, apabila orang yang meminjamkan tidak
jelas (majhul) maka ariyah hukumnya tidak sah.
Kedua, memiliki hak guna atau memiliki kegunaan, dengan demikian meminjamkan
barang kepada anak dibawah umur dan gila hukumnya tidak sah. Akan tetapi apabila peminjam
termasuk orang yang boros, maka menurut pendapat yang kuat dalam mazhab Syafi’i, ia
diperbolehkan menerimanya sendiri, tanpa persetujuan wali.
Selain syarat bagi orang yang meminjamkan juga ada syarat terhadap barang-barang
yang dipinjamkan yaitu barang yang dipinjamkan bisa diambil barang, baik pada waktu sekarang
maupun nanti. Sehingga barang yang tidak bisa diambil manfaatya seperti mobil yang mogok,
tidak boleh dipinjamkan.
Ada dua macam manfaat yang diperoleh si peminjam: 1) Manfaat murni yang bukan
benda, seperti menempati rumah, mengendarai mobil, dan semacamnya. 2) Benda yang
dipinjamkan diambil manfaatnya, seperti seseorang meminjamkan seekor kambing untuk
diambil susunya atau menanam pohon durian untuk diambil buahnya maka dalam hal ini, ariyah
hukumnya sah menurut pendapat yang kuat.
Selain itu status bagi barang yang dipinjamkan menurut syara’ di antaranya barang yang
dipinjamkan harus memiliki manfaat dan jika barang yang dipinjamkan tersebut diambil
manfaatnya maka harus masih utuh, sehingga tidak sah meminjamkan minuman misalnya.
Kemudian barang yang dipinjamkan tidak mengandung unsur haram. Dan yang terakhir adalah
Shighat, dengan syarat: Adanya ungkapan yang dapat menunjukkan adanya izin untuk
memanfaatkan barang yang dipinjam seperti ungkapan “aku pinjamkan kepadamu” atau
ungkapan yang menunjukkan adanya permohonan untuk meminjamkan barang seperti”
pinjamkan kepadaku” dengan disertai ungkapan atau tindakan dari lawan bicaranya atau biasa
disebut dengan kesepakatan.

2. Filantropi sebagai pengembangan ekonomi


a. Zakat
Menurut Zakariya al-Anshari dalam bukunya Fathul Wahab diberikan keterangan bahwa
Zakat diambil dari bahasa Arab zakah yang memiliki makna pertumbuhan dan perkembangan
(al-Namau), dan pembersihan (al-Tathiru). Adapun secara syariat pengertian zakat itu digunakan
untuk menyebut harta maupun jiwa yang didistribusikan untuk kebutuhan tertentu, 32 yang
posisinya masuk dalam rukun Islam.
Dalil yang digunakan untuk wajibnya zakat ini berdasarkan pada ayat Al-Qur’an surah al-
Baqarah ayat 3, “dan tunaikanlah zakat.” Serta surah al-Taubah ayat 103, yaitu “ambillah
sebagian dari harta mereka sebagai sedekah.” Di ayat lain zakat disebut dengan “hak” karena

32
Zakariyya al-Anshari, Fathul Wahab, Juz. I. h. 179

17
merupakan kewajiban yang harus ditunaikan oleh setiap muslim, sebagaimana disampaikan
dalam perintah ayat, “Dan tunaikanlah haknya pada saat musim panen.”
Zakat dalam Islam telah ditentukan waktunya dan ukurannya, yaitu dilaksanakan setiap
tahun sekali dan apabila harta yang dimiliki sudah mencapai ukuran tertentu (satu nisab). Dengan
demikian posisi zakat dalam Islam ini sering disebut sebagai ibadah maaliyah ijtimaiyyah (harta
untuk kepentingan sosial),33melihat kegunaannya dalam perkembangan ekonomi sangat penting.
Al-Qur’an sering sekali memberikan pujian terhadap orang-orang yang menunaikan zakat
dan mencela mereka yang tidak mau menunaikan zakat. Di era Abu Bakar yang terkenal sebagai
sahabat Muhammad yang dermawan menjadi pemimpin pengganti Muhammad, ia memberikan
sanksi kepada orang-orang yang dengan sengaja tidak mau memberikan zakat. Artinya, tindakan
Abu Bakar tersebut dilakukan atas dasar pemahaman bahwa peranan zakat untuk perkembangan
ekonomi umat sangatlah penting.
Argument tersebut yang digunakan oleh lembaga-lembaga zakat di Indonesia ini berdiri,
seperti Lazis (Lembaga Zakat, Infak Sedekah) atau Baznas (Badan amil zakat nasional) yang
berada di bawah payung lembaga negara. Fungsinya sebagai penguat ekonomi umat ini sangat
penting dan Islam memberikan penegasan bahwa zakat harus dilaksanakan oleh setiap umat
Islam yang kemudian disalurkan kepada mereka yang berhak menerimanya, yaitu fakir, miskin,
amil, mualaf, budak dan orang yang banyak hutang.
Adapun terkait dengan harta yang harus diberikan dalam zakat dibagi dalam beberapa
jenis. Ibnu Qayyim membaginya menjadi empat jenis: yaitu harta yang tertanam (tanaman yang
menjadi makanan manusia), hewan ternak, emas atau perak, dan barang dagangan (bisnis). Di era
modern bahkan harta yang harus dikeluarkan zakatnya tidak hanya pada sektor-sektor tersebut
sebab perdagangan tidak hanya terbatas pada barang melainkan juga jasa, seperti jasa notaris,
konsultan, branding, dan lainnya. Perdagangan juga tidak hanya barang yang bisa dilihat
melainkan terdapat perdagangan valuta asing, saham, dan sejenisnya.

Hikmah dan Manfaat Zakat


Zakat merupakan ibadah di bidang harta yang memiliki manfaat dan fungsinya yang
sangat besar untuk perkembangan ekonomi umat, meskipun sejatinya dalam Islam disampaikan
pula jika hikmah zakat juga bermanfaat untuk pelaku zakat (muzakki) dan penerimanya
(mustahiq). Sebab pelaku zakat atau pemberi zakat menunaikan zakatnya dalam rangka
melakukan kewajiban, sedangkan penerima zakat (muzakki) mendapatkan zakatnya dalam
rangka mendapatkan pendistribusian harta untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.34
Sebagai perintah wajib zakat berfungsi untuk meyucikan diri dari unsur-unsur keburukan
yang ada di dalam jiwa maupun harta pelaku zakat (muzakki). Antara lain: pertama, dapat
menyucikan diri dari perbuatan kikir. Kedua, zakat juga dapat memberikan pendidikan kepada
diri muzakki untuk memiliki sifat memberi dan berinfak. Ketiga, bermoral baik, seba zakat
melatih memiliki sifat kasih sayang kepada orang lain sebagaimana diajarkan oleh Allah dalam
sifatnya al-Rahman (sang pengasih). Keempat, sebagai cerminan rasa syukur yang dimiliki oleh
muzakki atas segala kenikmatan yang diberikan Allah kepadanya. Sebab sejatinya harta yang
33
Yusuf al-Qardlawi, al-Ibadah fi al-Islam, Beirut: Dar al-Fikr, 1999, h. 235
34
Abdurrahman Qadir, Zakat dan Fungsinya dalam Dimensi Mahdlah dan Sosial, Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 1998, h. 92

18
diberikan kepada manusia merupakan titipan yang di dalamnya terdapat hak orang lain untuk
disalurkan. Kelima, zakat dapat menjadi obat cinta dunia, karena dengan menyalurkan zakat
secara otomatis mengeluarkan sebagian dari hartanya agar mengurangi ia tenggelam di dalam
harta duniawinya itu. Keenam, mengembangkan kekayaan batin. Ketujuh, zakat juga dapat
memberikan ikatan antara pemberi sebagai orang yang memiliki harta dengan mustahiq mereka
yang membutuhkan harta tersebut. Kedelapan, zakat dapat menyucikan harta sekaligus
mengembangkan harta yang ia miliki untuk kemaslahatan. Akan tetapi sifat dai penyucian ini
bukanlah menyucikan harta yang haram.
Hikmah dan manfaat zakat berikutnya juga untuk umat manusia secara umum. Seorang
Ulama Mesir, syaikh Yusuf al-Qardlawi dalam salah satu karyanya yang berjudul Fiqh al-Zakat
melihat zakat dari sisi maslahat. Menurutnya, zakat meskipun sebagai perintah yang selalu
disandingkan dengan perintah shalat tetapi lingkupnya tidak hanya berkaitan dengan ibadah
wajib saja (seperti shalat), melainkan berkaitan dengan ibadah muammalah dan adat istiadat. 35
Sebab zakat dapat membantu mereka yang menerima untuk mengembangkan harta zakat yang
diterima dalam ranah kebaikan dan kebajikan.

b. infak
Definisi dari infak adalah menyerahkan sebagian harta untuk mendorong perbuatan baik
di jalan Allah. Secara fungsinya sama dengan yang dikehendaki dalam perintah zakat dan
sedekah, serta jenis harta yang diinfakkan bisa sama dengan yang wajib dikeluarkan dalam zakat,
sebagaimana disampaikan dalam Al-Qur’an surah al-Taubah ayat 34 berikut ini:

‫َو اَّلِذ ْيَن َيْك ِنُز ْو َن الَّذ َهَب َو اْلِفَّض َة َو اَل ُيْنِفُقْو َنَها ِفْي َس ِبْيِل ِهّٰللاۙ َفَبِّش ْر ُهْم ِبَع َذ اٍب َاِلْيٍۙم‬
Artinya: dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak tetapi tidak mau berinfak di jalan
Allah maka berilah bahwa mereka akan mendapatkan siksa yang pedih.
Terkait dengan aturan infak ini tidak terbatas dengan waktu dan ukuran berbeda dengan
zakat, artinya infak bisa dilaksanakan kapan saja dan dengan ukuran berapa saja.

c. Sedekah
Sedekah berasal dari kata (shadaqa) yang artinya benar. Shadaqah berarti pembenaran
atau pembuktian dari keimanan hamba kepada Allah dan Rasul-Nya yang diwujudkan dalam
bentuk pengorbanan materi, sehingga dalam Islam sedekah ini lebih dimaknai sebagai
pendekatan diri kepada Allah. Seperti suatu definisi yang disampaikan oleh al-Jurjani dalam
bukunya al-Ta’rifat bahwa sedekah merupakan segala pemberian yang dengan pemberian itu
diharapkan bisa menjadi wasilah untuk mendekatkan diri kepada Allah.36
Posisi sedekah dalam Islam ini adalah Sunnah, jika dilakukan mendapatkan implikasi
baik sedangkan jika tidak dilakukan tidak berimplikasi apa-apa. Namun baik infak maupun
sedekah meskipun posisinya sebagai perintah Sunnah tetapi memiliki peranan penting dalam
kontribusi sosial. Sebab keduanya adalah aktifitas memberikan kontribusi terhadap orang-orang
yang membutuhkan baik berupa materi maupun non materi.
35
Yusuf al-Qardlawi, Fiqh al-Zakat, Kairo: Muassah al-Risalah, 1973, h. 49
36
Al-Jurjani, al-Ta’rifat, h. 138

19
Al-Qur’an dalam beberapa kesempatan memberikan penegasan tersebut, misalnya seperti
ditegaskannya jika perkataan baik itu merupakan sedekah. Atau di dalam hadis disebutkan jika
senyum untuk orang lain juga merupakan aktifitas sedekah.

d. Wakaf
Secara bahasa kata wakaf diambil dari bahasa Arab waqafa yang memiliki arti menahan,
berhenti, diam ditempat, atau tetap berdiri. Tetapi secara definisi Jawad Mugniyah memberikan
keterangan bahwa wakaf adalah sejenis pemberian yang dilakukan dengan cara menahan
kepemilikannya dengan dialihkan untuk kepentingan umum.37
Maksud dengan menahan pemilikan asal di sini adalah dengan menahan barang yang
diwakafkan yang berupa aset agar dapat diwariskan atau digunakan dalam bentuk disewakan,
dihibahkan, digadaikan, dan sebagainya sesuai dengan kehendak dan persetujuan yang
memberikan wakaf tanpa ada imbalan tertentu. Artinya harta yang bisa dijadikan wakaf di sini
bisa milik perorangan ataupun kelompok, serta bisa berupa aset yang wujudnya tidak habis,
kemudian aset yang diwakafkan manfaatnya untuk kepentingan umum.
Semua unsur di atas, bisnis, zakat, infak, sedekah dan wakaf memiliki fungsi besar dalam
membantu perkembangan ekonomi umat yang dalam Islam mendapatkan perhatian utuh. Bahkan
dengan tegas Islam sangat melarang adanya kapitalisasi harta, yaitu hanya berputar pada mereka-
mereka saja yang memiliki modal.

Urgensi Kegiatan Filantropi


Sebagaimana telah dipaparkan di atas terkait dengan berbagai macam bentuk ibadah
muammalah di dalam Islam sebenarnya ada penegasan bahwa semua itu perlu dimaknai dalam
kerangka filantropi yang lebih memusatkan pada pemberian jangka panjang, yang membedakan
dengan carity (pemberian jangka pendek). Oleh karena itu pemberian baik berbentuk zakat,
sedekah, infak, wakaf, dan lainnya harus berada pada aspek produktif. Artinya ada transformasi
yang semula secara dasar bersifat konsumtif beralih ke produktif. Contoh aplikatif seperti
memberikan zakat, infak, dan sedekah kepada fakir miskin harusnya tidak hanya bentuk nominal
uang atau makanan yang hanya dihabiskan sesaat, tetapi harusnya dengan sesuatu yang bisa
digunakan untuk mengembangkan Sumber Daya Manusia sehingga bisa merubah nasib mereka
menjadi tidak miskin lagi.

Sistem dan Karakteristik Ekonomi Islam


Menurut para ahli, ekonomi Islam dilihat sebagai upaya ekonomi implementatif untuk
pembangunan masyarakat dengan mengedepankan kemaslahatan umum. Ekonomi Islam
mencakup dan mengintegrasikan cabang ilmu ekonomi lain seperti kebijakan public, politik,
keuangan, ekonomi politik, makro ekonomi, kependudukan, kemiskinan serta kebijakan global.
Para peminat kajian ini berupaya membedakan antara ekonomi Islam dengan ekonomi
konvensional yang tidak mengaitkan sama sekali dengan etika-etika ekonomi dalam Islam.

37
Jawad al-Mugniyah, Fikih Lima Mazhab, h. 637

20
Sehingga tawaran yang mereka sampaikan terkait dengan ekonomi Islam adalah kegiatan
ekonomi yang menggunakan rujukan sumber Islam secara komprehensif.38
Ekonomi Islam lebih berorientasi pada pengembangan ekonomi yang mencakup pada
dimensi material dan spiritual, yang mencakup sosial kebudayaan, Sumber Daya Manusia
(SDM), dan aspek-aspek lainnya. Artinya, ekonomi Islam mencakup secara keseluruhan
sebagaimana aspek dari Islam itu sendiri. Bukan hanya pada pembangunan dalam bidang material
itu sendiri, melainkan mencakup unsur spiritual serta pembangunan pada konteks budaya dan
sosial. Namun jika ditarik pada nilai-nilai Islam yang diajarkan maka ekonomi Islam lebih
berpijak pada lima prinsip: pertama, berlandaskan tauhid, khalifah dan tazkiyah. Kedua,
pembangunan fisik dan moral spiritual. Ketiga, fokus dalam pembagunan manusia sebagai
subyek dan juga sebagai obyek kesejahteraan. Keempat, fungsi dan peran negara. Kelima, skala
waktu pembangunan tidak hanya pada aspek dunia tetapi juga akhirat.
Ekonomi Islam yang terangkum dalam ajaran filsafat ekonomi Islam adalah terdapat dua
prinsip pokok, yaitu sebagai berikut.39 Pertama adalah tauhid. Prinsip tauhid ini mengajarkan
manusia tentang bagaimana mengakui keesaan Allah sehingga terdapat suatu konsekuensi
bahwa keyakinan terhadap segala sesuatu hendaknya berawal dan berakhir hanya kepada Allah
Swt. Keyakinan yang demikian dapat mengantar seorang muslim untuk menyatakan bahwa
“Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku adalah semata-mata demi Allah, Tuhan
seru sekalian alam”. Prinsip ini kemudian menghasilkan kesatuan-kesatuan sinergis dan saling
terkait dalam kerangka tauhid. Tauhid diumpamakan seperti beredarnya planet-planet dalam
tata surya yang mengelilingi matahari. Kesatuan-kesatuan dalam ajaran tauhid hendaknya
berimplikasi kepada kesatuan manusia dengan Tuhan dan kesatuan manusia dengan manusia
serta kesatuan manusia dengan alam sekitarnya.
Kedua, prinsip keseimbangan mengajarkan manusia tentang bagaimana meyakini segala
sesuatu yang diciptakan Allah dalam keadaan seimbang dan serasi. Hal ini dapat dipahami dari
Alquran yang telah menjelaskan bahwa “Engkau tidak menemukan sedikit pun
ketidakseimbangan dalam ciptaan Yang Maha Pengasih. Ulang-ulanglah mengamati apakah
engkau melihat sedikit ketimpangan” (QS 67: 3). Prinsip ini menuntut manusia bukan saja hidup
seimbang, serasi, dan selaras dengan dirinya sendiri, tetapi juga menuntun manusia untuk
mengimplementasikan ketiga aspek tersebut dalam kehidupan.
Prinsip tauhid mengantarkan manusia dalam kegiatan ekonomi dan bisnis untuk
meyakini bahwa harta benda yang berada dalam genggamannya adalah milik Allah Swt.
Keberhasilan para pengusaha bukan hanya disebabkan oleh hasil usahanya sendiri, tetapi
terdapat partsisipasi orang lain. Tauhid yang akan menghasilkan keyakinan pada manusia bagi
kesatuan dunia dan akhirat. Tauhid dapat pula mengantarkan seorang pengusaha untuk tidak
mengejar keuntungan materi semata-mata, tetapi juga mendapat keberkahan dan keuntungan
yang lebih kekal.
Oleh karena itu, seorang pengusaha dipandu untuk menghindari segala bentuk
eksploitasi terhadap sesama manusia. Dari sini dapat dimengerti mengapa Islam melarang
segala praktek riba dan pencurian, tetapi juga penipuan yang terselubung. Bahkan, Islam

38
Eko Sudarmanto, dkk, Ekonomi Pembangunan Islam, Jakarta: Yayasan Kita Menulis, 2021, h. 3
39
H. Aris Baidowi, “Etika Bisnis Perspektif Islam…”, h. 4

21
melarang kegiatan bisnis hingga pada menawarkan barang pada di saat konsumen menerima
tawaran yang sama dari orang lain.

22

Anda mungkin juga menyukai