NPM : 162101145
PRODI : MANAJEMEN
KELAS : B
MANAJEMEN
2021
ISLAM SEBAGAI WAY OF LIFE
A. PENGERTIAN ISLAM
1. Secara etimologis
Kata `Islam berasal dari bahasa Arab. Akar katanya s-l-m . Kata kerja
bentuk pertamanya ialah salima artinya “merasa aman”, “utuh” dan “integral”.
Kata kerja bentuk pertama ini tidak digunakan dalam al-Qur`an, tetapi ungkapan-
ungkapan bahasa tertentu dari akar kata itu seringkali digunakan. Di antaranya ialah
kata silm dalam surat al-Baqarah ayat 208 yang berarti “damai”; salam dalam
surat az-Zumar ayat 29, dengan arti “utuh” sebagai lawan dari “pemilahan-pemilahan
dalam bagian-bagian yang bertentangan”, juga dalam surat an-Nisa` ayat 91 yang juga
digunakan dalam pengertian “damai”. Dengan demikian kata tersebut dalam al-Qur`an
wajhahu (“ia menyerahkan pribadi atau dirinya”) yang diikuti dengan lillah (“kepada
Tuhan”).
Menurut Fazlur Rahman, kata `islam dan muslim selalu digunakan oleh al-
Qur`an kadang dalam makna harfiahnya, yakni “menyerah” atau “orang yang
menyerahkan dirinya kepada (hukum) Tuhan, kadang juga dalam makna sebagai nama-
diri untuk pesan keagamaan yang dikumandangkan oleh al-Qur`an dan bagi komunitas
yang menerimanya. Bahkan dalam surat al-Hajj /22:78, pesan keagamaan ini
dinisbatkan kepada Ibrahim, yang dikatakan telah memberikan nama Muslim kepada
komunitas yang menerima pesan al-Qur`an ini. Maka nyatalah bahwa Islam di masa
Madinah, selain bermakna harfiah, telah direifikasi menjadi nama agama yang dibawa
oleh Muhammad SAW. Dan muslimun menjadi komunitas formal yang memeluk Islam
(lihat QS. 5:111). Selanjutnya Rahman menjelaskan, bahwa ada dua hal penting untuk
disimak sehubungan dengan istilah islam.
Pertama, bahwa islam integral dengan iman. “Penyerahan” kepada Tuhan, dalam
karakteristiknya yang hakiki, adalah mustahil tanpa iman. Bahkan kedua kata ini pada
dasarnya adalah sama dan telah digunakan secara ekuivalen dalam banyak bagian al-Qur`an.
dari iman, melalui suatu komunitas normatif. Karena itu, anggota-anggota komunitas
ini harus didasarkan pada iman dan cahayanya, dan –sebaliknya- cahaya iman semacam itu
harus menjelma keluar sendiri melalui komunitas ini. Seseorang mungkin
saja mempunyai iman, tetapi iman tersebut bukanlah iman sejati dan sepenuhnya
kecuali jika ia diekspresikan secara islami dan dijelmakan melalui suatu komunitas
yang semestinya, suatu komuitas yang muslim (berserah diri) dan Muslim.
2. secara terminologis
Ada beberapa ulama dan pemikir Islam yang memberikan pengertian Islam
pengertian Islam sebagai agama yang disyariatkan oleh Allah melalui nabi-Nya Muhammad
SAW. untuk disampaikan dan diajarkan kepada seluruh manusia.
agama Islam sebagai apa yang telah disyariatkan Allah dengan perantaraan para Rasul-Nya
berupa perintah, larangan dan petunjuk untuk kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat
mereka. Sedangkan agama Islam yang dibawa oleh nabi Muhammad SAW
adalah apa yang telah diturunkan oleh Allah dalam al-Qur`an dan termuat dalam
sunnah shahihah berupa perintah, larangan dan petunjuk untuk kemaslahatan manusia
Dari beberapa pengertian di atas dapat dipahami bahwa: Islam, dilihat dari misi
ajarannya berarti semua agama Allah (wahyu Allah) yang diturunkan kepada para Rasul
(utusan) Allah sejak Nabi Adam sampai Nabi Muhammad. Namun demikian perlu ditegaskan
di sini, bahwa sungguhpun para Nabi tersebut telah menyatakan diri sebagai muslim dan
mengajarkan misi keislaman (keberserahan diri secara total kepada Allah), akan tetapi agama
yang mereka bawa itu secara resmi tidak disebut agama Islam.
Pengendali utama kehidupan manusia adalah kepribadiannya yang mencakup segala unsure
pengalaman pendidikan dan keyakinan yang didapatnya sejak kecil. Apabila dalam
pertumbuhan seseorang terbentuk suatu kepribadian yang harmonis, di mana segala unsur
pokoknya terdiri dari pengalaman yang menentramkan jiwa maka dalam menghadapi
dorongan baik yang bersifat biologis ataupun rohani dan sosial akan mampu menghadapi
dengan tenang.
Orang yang kurang yakin akan agamanya (lemah imannya) akan menghadapi
cobaan/kesulitan dalam hidup dengan pesimis, bahkan cenderung menyesali hidup dengan
berlebihan dan menyalahkan semua orang. Beda halnya dengan orang yang beragama dan
teguh imannya, orang yang seperti ini akan menerima setiap cobaan dengan lapang dada.
Dengan keyakinan bahwa setiap cobaan yang menimpa dirinya merupakan ujian dari tuhan
(Allah) yang harus dihadapi dengan kesabaran karena Allah memberikan cobaan kepada
hambanya sesuai dengan kemampuannya. Selain itu, barang siapa yang mampu menghadapi
ujian dengan sabar akan ditingkatkan kualitas manusia itu.
c. Penentram Batin
Jika orang yang tidak percaya akan kebesaran tuhan tak peduli orang itu kaya apalagi miskin
pasti akan selalu merasa gelisah. Orang yang kaya takut akan kehilangan harta kekayaannya
yang akan habis atau dicuri oleh orang lain, orang yang miskin apalagi, selalu merasa kurang
bahkan cenderung tidak mensyukuri hidup.
Lain halnya dengan orang yang beriman, orang kaya yang beriman tebal tidak akan gelisah
memikirkan harta kekayaannya. Dalam ajaran Islam harta kekayaan itu merupakan titipan
Allah yang didalamnya terdapat hak orang-orang miskin dan anak yatim piatu. Bahkan
sewaktu-waktu bisa diambil oleh yang maha berkehendak, tidak mungkin gelisah. Begitu
juga dengan orang yang miskin yang beriman, batinnya akan selalu tentram karena setiap
yang terjadi dalam hidupnya merupakan ketetapan Allah dan yang membedakan derajat
manusia dimata Allah bukanlah hartanya melainkan keimanan dan ketakwaannya.
d. Pengendali Moral
Setiap manusia yang beragama yang beriman akan menjalankan setiap ajaran agamanya.
Terlebih dalam ajaran Islam, akhlak amat sangat diperhatikan dan di junjung tinggi dalam
Islam. Pelajaran moral dalam Islam sangatlah tinggi, dalam Islam diajarkan untuk
menghormati orang lain, akan tetapi sama sekali tidak diperintah untuk meminta dihormati.
Islam mengatur hubungan orang tua dan anak dengan begitu indah. Dalam Al-Qur’an ada
ayat yang berbunyi: “dan jangan kau ucapkan kepada kedua (orang tuamu) uf!!” Tidak ada
ayat yang memerintahkan kepada manusia (orang tua) untuk minta dihormati kepada anak.
Selain itu Islam juga mengatur semua hal yang berkaitan dengan moral, mulai dari
berpakaian, berperilaku, bertutur kata hubungan manusia dengan manusia lain (hablum
minannas/hubungan sosial). Termasuk di dalamnya harus jujur, jika seorang berkata bohong
maka dia akan disiksa oleh api neraka. Ini hanya contoh kecil peraturan Islam yang berkaitan
dengan moral. Masih banyak lagi aturan Islam yang berkaitan dengan tatanan perilaku moral
yang baik, namun tidak dapat sepenuhnya dituliskan disini.
B. SUMBER AJARAN ISLAM
Pada umumnya, ulama mengajarkan bahwa sumber agama Islam ada empat,
yaitu Qur`an, Sunnah, `Ijma‟ (kesepakatan pendapat di antara jama‟ah muslimin) dan
Qiyas (penggunaan akal). Qur`an dan sunnah (atau hadits) disebut al-Adillah al-
Qoth‟iyyah, dalil yang mutlak benar. Sedang `ijma‟ dan qiyas disebut al-Adillah al-
Ijtihadiyyah, dalil yang diperoleh dengan jalan ijtihad. Tetapi karena –menurut pengakuan
ulama- `ijma‟ dan qiyas itu didasarkan atas Qur`an dan hadits, sedang hadits itu sendiri
merupakan penjelasan Nabi SAW terhadap Qur`an, maka Qur`an Suci benar-benar
merupakan asas hakiki, yang di atas itu berdiri bangunan Islam, dan merupakan satu-satunya
dalil yang mutlak dan menentukandalam setiap pembahasan yang berhubungan dengan ajaran
Islam; dan tak salah jika dikatakan bahwa Qur‟an adalah satu-satunya sumber utama yang
darinya diambil segala ajaran dan amalan agama Islam.
I. AL-QUR`AN
a. Pengertian al-Qur`an
Qur`an. Asy-Syafi‟i misalnya mengatakan bahwa al-Qur`an tidak berasal dari akar kata
apapun, dan tidak pula ditulis dengan hamzah. Lafadz tersebut sudah lazim digunakan
dalam pengertian kalam Allah (firman Tuhan) yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
SAW.
Lain dari itu, banyak juga ulama yang mencoba mengembalikan lafadz Qur`an
pada akar kata tertentu. Al-Farra` misalnya, menyebut bahwa lafadz Qur`an berasal
dari kata qara`in, jamak dari kata qarinah yang berarti “kaitan”, karena dilihat dari
segi makna dan kandungannya ayat-ayat al-Qur`an itu satu sama lain saling berkaitan.
Selanjutnya al-Asy‟ari dan para pengikutnya mengatakan bahwa lafadz itu diambil dari
akar kata qarn yang berarti “menggabungkan sesuatu atas yang lain”, karena surah-
surah dan ayat-ayat al-Qur`an satu dan lainnya saling berkaitan.
Sementara itu ada juga yang menyebut Qur`an sebagai isim masdar (verbal
noun) dari akar qara`a, yang makna aslinya ialah “mengumpulkan dan menghimpun”.
Kata ini berarti pula “membaca”, karena dalam membaca, huruf dan kata-kata
dihubungkan satu sama lain menjadi susunan kalimat. Sehingga qur`an seringkali disamakan
dengan qira`at (penamaan maf‟ul dengan masdar), yang berarti “bacan”,
yakni himpunan huruf dan kata-kata dalam suatu ucapan yang tersusun rapi.
Senada dengan uraian di atas Farid Esack, seorang Doktor di bidang Tafsir al-
al-Qur`an berarti “bacaan”, “pengucapan” atau “kumpulan”. Ada baiknya kita ikuti
uraian Esack:
“Mayoritas pemikir Arab sepakat bahwa kata qur`an adalah bentuk lampau
yang berasal dari akar kata Arab qara`a yang berarti “ia membaca”, atau kata
sendiri, kata qur`an dipakai dalam arti “membaca” (QS. Al-Isra` (17):93),
(75): 17)...”21
bahasa Arab dan maknanya yang benar, agar ia menjadi hujjah bagi Rasul, bahwa ia
kepada mereka dan menjadi sarana untuk melakukan pendekatan diri dan ibadah
kepada Allah dengan membacanya. Ia terhimpun dalam mushhaf, dimulai dari surat al-
Fatihah dan diakhiri dengan surat an-Nas, disampaikan kepada kita secara mutawatir
dari generasi ke generasi, baik secara lisan maupun tulisan serta terjaga dari perubahan
dan pergantian.
b. Pewahyuan al-Qur`an
Dari pengertian di atas, tampak bahwa dalam paham dan keyakinan umat Islam,
al-Qur`an sebagai Kitab Suci, mengandung sabda Tuhan (kalam Allah), yang melalui
Dalam al-Qur`an dijelaskan wahyu ada tiga macam. Seperti yang tertera dalam
“Tidaklah dapat terjadi pada manusia bahwa Tuhan berbicara dengannya kecuali
melalui wahyu, atau dari belakang tabir, ataupun melalui utusan yang dikirim; maka
disampaikanlah kepadanya dengan sizin Tuhan apa yang dikehendakinya.
Wahyu dalam bentuk pertama adalah pengertian atau pengetahuan yang tiba-
tiba dirasakan seseorang timbul dalam dirinya; timbul dengan tiba-tiba sebagai suatu
cahaya yang menerangi jiwanya. Maulana Muhammad Ali menyebutnya dengan makna
aslinya sebagai al-`Isyarat as-sari‟ah, isyarat yang cepat yang dimasukkan dalam kalbu
seseorang.
atau dalam keadaan trance, rukyat atau kasyf (vision). Ketiga, wahyu dalam bentuk
yang diberikan melalui utusan atau malaikat, yaitu Jibril, dan wahyu serupa ini
Wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammada SAW adalah wahyu dalam
bentuk ketiga seperti yang dijelaskan oleh al-Qur`an: “Sesungguhnya ini adalah
wahyu Tuhan semesta alam, dibawa turun oleh ruh setia ke dalam hatimu agar
engkau dapat memberi ingat dalam bahasa Arab yang jelas” (QS. Asy-Syu‟ara` [26]:
192-193)
Selanjutnya:
Tuhanmu, untuk meneguhkan (hati) orang yang percaya dan untuk menjadi petunjuk
serta kabar gembira bagi yang berserah diri” (QS. An-Nahl [16]:102)
Bahwa yang dimaksud dengan ruh setia atau ruh suci adalah Jibril:
“Katakanlah siapa yang menjadi musuh Jibril, maka ialah yang sebenarnya
membawanya turun ke dalam hatimu dengan seizin Tuhan untuk membenarkan apa
yang (datang) sebelumnya dan untuk menjadi petunjuk serta kabar gembira bagi
bagaimana Jibril merangkul Nabi hingga beliau merasa kesakitan ketika menerima
wahyu yang pertama. Dalam hadits lain sewaktu ditanya, bagaimana caranya wahyu turun
kepada Nabi.
lonceng dan inilah yang terberat bagiku. Kemudian ia (Jibril) pergi dan aku pun
sudah mengingat apa yang dituturkannya. Terkadang malaikat itu datang dalam
dikatakannya”.
Hadits lain lagi, yang berasal dari Ibnu Abbas, menjelaskan bahwa pada bulan-bulan
Ramadhan, Jibril selalu turun mendengar dan memperbaiki bacaan Nabi mengenai ayat-ayat
yang diturunkan kepadanya.
Atas dasar ayat-ayat dan hadits-hadits serupa inilah maka umat Islam
mempunyai keyakinan bahwa apa yang terkandung al-Qur`an adalah wahyu Tuhan.
Farid Esack menjelaskan, bahwa sebagai kompilasi “Firman Tuhan”, al-Qur`an tidak
merujuk pada sebuah kitab yang diilhami atau dipengaruhi oleh-Nya atau ditulis di
Dengan kata lain, teks Arab yang ada dalam Kitab Suci itu tidak diakui sebagai wahyu,
apalagi terjemahannya dalam bahasa asing. Wahyu dalam bentuk kata-kata itu diturunkan
oleh Jibril untuk disampaikan kepada Nabi tidak secara sekaligus tetapi berangsur-angsur dan
bertahap dalam masa kurang lebih 22 tahun 2 bulan 22 hari26 atau biasanya digenapkan
menjadi 23 tahun sesuai dengan perdebatan tentang masa tinggal Nabi di Makkah setelah
kenabian (an-Nubuwwah). Hikmahnya ialah seperti yang tersirat dalam al-Qur`an surat al-
Furqan [25] ayat 32: “Berkatalah orang-orang yang kafir: ”Mengapa al-Qur`an itu tidak
diturunkan kepadanya sekali saja?”; demikianlah, supaya Kami perkuat hatimu
Dengan turunnya wahyu dalam setiap peristiwa, maka hal itu merupakan komunikasi
langsung dan intens yang menguatkan hati dan memberikan perhatian yang lebih
kegembiraan di hatinya.
Yang dilakukan Nabi pada saat itu –setiap wahyu turun- ialah menyampaikan
kepada para sahabat untuk dihafal dan dicatat. Zaid bin Tsabit adalah sekretris utama
dalam mencatat tulisan dalam ayat-ayat yang diturunkan itu. Selain dari sekretaris ini
disebut juga nama sahabat-sahabat lain yang disuruh mencatat, seperti Abu Bakar,
Utsman, Umar, Ali, Zubair Ibnu Awam, Abdullah Ibnu Sa‟ad dan Ubay Ibnu Ka‟ab.
Ayat-ayat itu ditulis di atas batu, tulang, pelepah kurma dan lain-lain.
keseluruhan, tetapi belum dihimpun di dalam satu Mushhaf28 seperti sekarang ini,
karena masih menunggu adanya penghapusan sebagian hukum dan tilawahnya. Nama, sifat
dan fungsi al-Qur`an.
Sungguh tepat penamaan al-Qur`an oleh Allah sendiri, yang secara harfiah
berarti “bacaan sempurna”, karena tiada satu bacaan pun sejak manusia mengenal
tulis-baca lima ribu tahun yang lalu yang dapat menandingi al-Qur`an.
Selain sebutan al-Qur`an (QS. al-Isra` [17]: 9), dalam berbagai ayatnya, al-
Qur`an juga menyebut dirinya dengan al-, al-Kitab (QS. al-Anbiya` [21]: 10), al-
Furqan (QS. Al-Furqan [25]:1), al-Dzikr (QS. Al-Hijr [15]: 9) dan at-Tanzil (QS. Al-
Syu‟ara` [26]: 192). Yang paling populer di antara sebutan itu ialah al-Qur`an dan al-
adalah an-Nur, cahaya (QS. An-Nisa` [4]:174); al-Huda, petunjuk; asy- Syifa`, obat;
ar-Rohmah, rahmat; al-Mau‟idzoh, nasehat (QS. Yunus [10]: 57); al-Mubin, yang
[6]:92); al-Busyro, kabar gembira (QS. Al-Baqarah [2]:97); al-„Aziz, yang mulia (QS.
Fushshilat [41]:41); al-Majid, yang dihormati (QS. Al-Buruj [85]: 21); al-Basyir,
Dari nama dan sifat-sifat di atas, sebenarnya secara global dapat diketahui apa
bukti yang kuat atas kerasulan Nabi Muhammad SAW. Al-Qur`an merupakan mu‟jizat
terbesar baginya. Keberadaannya hingga kini masih tetap terpelihara dengan baik,
Thariqah; “jalan”, “cara”, dan metode” dan asy-Syari‟ah; “syari‟at”, “peraturan” dan
“hukum”.45 Adapun kata hadits jamaknya `ahadits makna aslinya adalah “ucapan”,
mardliyyah, yakni “jalan yang tetap kita jalani (telah menjadi tradisi untuk kita jalani),
baik diridlai maupun tidak”. Atau dengan bahasa lain, seperti yang disebutkan oleh
M.M. Azami, “tata cara, jalan, tingkah laku baik terpuji maupun tercela”. Sedangkan hadits,
menurut Maulana Muhammad Ali sebagai “ucapan yang disampaikan kepada
mengartikannya dengan sabda (qaul), pekerjaan (fi‟il), ketetapan (taqrir), sifat atau
tingkah laku Nabi baik sebelum maupun sesudahnya. Di sini ahlul hadits menyamakan
Ahlul ushul mendefinisikannya dengan sabda Nabi yang bukan dari Qur`an,
pekerjaan atau ketetapannya. Dan terakhir, Ahlul Fiqh memberikan arti sebagai hal-hal
yang berasal dari Nabi baik ucapan maupun pekerjaan, tetapi hal itu tidak wajib
dikerjakan.
Di antara ulama ada yang membedakan sunnah dengan hadits. Sesuai dengan
makna aslinya Sunnah berarti perbuatan Nabi SAW, sedang Hadits merupakan
sabdanya. Meskipun demikian dalam pengertian ini Sunnah disebut juga dengan
Hadits. Karena keduanya berkisar di lapangan yang sama, dan dapat diterapkan
terhadap: (1) qaul, yaitu sabda Nabi SAW yang berhubungan dengan perkara agama;
(2) fi‟il, yaitu perbuatan atau tingkah laku Nabi SAW; dan (3) taqrir, yaitu diamnya
Nabi karena setuju atas perbuatan orang lain. Dengan kata lain, Sunnah ialah segala
perkataan, perbuatan, persetujuan, sifat dan sikap Rosulullah SAW yang dicatat dan
direkam dalam Hadits. Dalam arti teknis as-Sunnah (sunnah ar-Rosul) identik dengan
Sunnah atau hadits adalah sumber syari‟at Islam yang nomor dua, dan tidak
disangikan lagi dalam keyakinan umat Islam menduduki tempat kedua setelah Qur`an Suci.
Hal itu karena pertama, sebagaimana yang diperintahkan dalam surat an-Nisa`
[4]: 59:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan
ulul amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu,
maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur`an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu
benar-benar beriman akepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih
“....Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang
“Saya telah tinggalkan kepadamu dua urusan yang kamu sekali-kali tidak
akan sesat selama kamu berpegang teguh kepadanya, yaitu Kitabullah dan Sunnah Rasul”
(HR. Malik)
Pada hakikatnya, as-Sunnah juga merupakan wahyu ilahi yang bukan al-Qur`an.
Pengertiannya adalah bahwa ruh dari kandungan as-Sunnah juga dari Allah dalam
bentuk dan konteks yang berbeda dengan al-Qur`an. Di sini Nabi tidak melakukan
interpretasi dengan menggunakan akal dan pikirannya lepas dari petunjuk Allah.
III. IJTIHAD
a. Pengertian Ijtihad
Ijtihad adalah sumber syari‟at Islam yang ketiga. Kata ijtihad berasal dari akar
kata jahada yang artinya “berusaha keras” atau “berusaha sekuat tenaga” . kata ijtihad
yang secara harfiah mempunyai makna yang sama, secara teknis diterapkan bagi
seorang ahli hukum yang dengan kemampuan akalnya berusaha keras untuk
menentukan pendapat di lapangan hukum mengenai hal yang pelik dan meragukan.
syarat-syarat tertentu, pada suatu tempat dan waktu tertentu, untuk merumuskan
kepastian atau penilaian hukum mengenai sesuatu (atau beberapa) perkara, yang tidak
terdapat kepastian hukumnnya secara eksplisit dan positif, baik dalam al-Qur`an
kemampuan daya nalar secara maksimal dalam memperoleh hukum syar‟I yang bersifat
Oleh karena itu al-Qur`an berseru berulang kali agar manusia mau menggunakan akalnya,
dan memuji orang yang menggunakan akalnya. Seperti yang tersirat dalam beberapa ayat
serupa berikut ini:
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya
(Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil bediri atau duduk atau
dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini
dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka perihalah kami dari siksa neraka”
Selanjutnya Qur`an mencela orang yang tidak mau menggunakan akalnya, dan
menyamakannya dengan binatang, serta dikatakan pula sebagai orang tuli, bisu dan
buta:
penggembala yang memanggil binatang yang tidak mendengar selain panggilan dan seruan
saja. (mereka) tuli, bisu dan buta, maka (oleh sebab itu) mereka tidak
sepenuhnya prinsip ini, dan bahwa di zaman Nabi, selain beliau sendiri, orang-orang
Masalah-masalah yang menjadi topik ijtihad tentunya tidak semua masalah atau
didasarkan pada sembarang dalil yang terdapat dalam al-Qur`an maupun as-Sunnah.
hukumnya tidak dijelaskan dalam Qur`an dan Sunnah): Pertama, masalah yang tidak
ada nashnya sama sekali. Kedua, masalah yang ada nashnya namun belum pasti untuk
masalah itu. Ijtihad ini dapat dilakukan dengan dua cara: Ijtihad fardi (secara individu)
Ajaran Islam adalah ajaran yang mencakup keseluruhan aspek kehidupan manusia.
mulai dari aspek terkecil seperti urusan pribadi, keluarga, masyarakat sampai pada urusan
kenegaraan dan bahkan urusan seisi dunia dan jagat raya ini diatur dalam Islam. Al Qur’an
sebagai dan hadis serta Ijtihad sebagai sumber hukum dalam Islam memiliki aturan yang jelas
mengenai hubungan manusia ddengan Tuhannya, hubungan antar sesama manusia, serta
manusia dengan alam sekitarnya.
Ruang lingkup ajaran Islam pada dasarnya adalah keseluruhan aspek kehidupan manusia
muslim. Dari aspek spiritualitas, Islam memiliki konsep Aqidah yang cenderung pada aspek
keimanan seorang muslim, kemudian memasuki tahapan implementasi yaitu syariah yang
menjadi perwujudan keimanan seseorang, di mana seluruh aktivitas hidupnya senantiasa
diarahkan untuk ketaatan dan ketundukan pada Allah, serta akhlak yang mengatur hubungan
yang bernilai antara seorang hamba dengan Allah, Rasul, dan seluruh makhluk Allah dalam
bingkai Aqidah dan syariah. Dalam arti bahwa segala sesuatu yang berhubungan dengan
tingkah laku kehidupan seorang muslim dari hal yang terkecil menyangkut urusan pribadi
baik urusan ibadah umum dan khusus sampai pada urusan terbesar mencakup urusan
masyarakat dan negara menjadi bagain dari ruang lingkup ajaran Islam.
Oleh karena itu, semua aspek tersebut tidak boleh dipisahkan dari urusan seorang muslim
baik secara personal maupun sebagai makhluk Allah yang memiliki tanggung jawab sosial.
1. Aqidah adalah kepercayaan terhadap Allah dan inti dari aqidah adalah tauhid. Tauhid
adalah ajaran tentang eksistensi Allah yang bersifat Esa
2. Syariah adalah segala bentuk ibadah baik ibadah umum seperti hubungan muamalah,
hukum-hukum baik publik maupun perdata. Juga ibadah khusus sepeti sholat, puasa, zakat,
dan haji.
3. Akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa dan menimbulkan perbuatan yang mudah
tanpa memerlukan pertimbangan pikiran.
4. Ibadah Bidang ini mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhannya, pengabdian dan
penyembahan kepada Tuhannya, misalnya tentang syahadat, shalat, puasa, zakat, haji dan lain
sebagainya.
5. Muamalat Bidang ini mengatur hubungan antara manusia dengan sesamanya, misalnya
tentang perdagangan, sewa menyewa, perburuhan dan sebagainya. Selain itu, ajaran Islam
juga mengatur masalah munakahat yaitu bidang yang mengatur hubungan manusia dalam
urusan kekeluargaan misalnya tentang pernikahan, perceraian, warisan, keturunan dan lain
sebagainya, Jinayat yang mengatur hal-hal kejahatan dan pelanggaran, baik yang mengenai
dirinya sendiri maupun mengenai orang lain, misalnya tentang zina, mabuk, penipuan,
pencurian, pembunuhan dan sebagainya Serta As Siyasah yang mengatur hal-hal yang
berkaitan dengan politik, kenegaraan dan hubungan antara negara. Berdasarkan uraian di atas
dapat disimpulkan bahwa ruang lingkup ajaran Islam mencakup seluruh urusan yang
berkaitan dengan manusia secara pribadi, dalam hubungan dengan Allah, manusia dalam
hubungannya dengan sesama, serta manusia dalam hubungan dengan alam semesta. Abudin
Nata dalam Faturrohman dan Sutikno (2011:122) menjelaskan bahwa fungsi pendidikan yang
Islami adalah sebagai penyiapan kader-kader khalifah dalam rangka membangun dunia yang
makmur, dinamis, harmonis, dan lestari sebagaimana diisyaratkan oleh Allah. Pendidikan
yang Islami, tidak lain adalah upaya mengefektifkan nilai-nilai agama yang dapat
menimbulkan transformasi nilai dan pengetahuan secara utuh kepada manusia, masyarakat
dan dunia pada umumnya. Pembinaan kehidupan beragama perlu diarahkan pada beberapa
aspek kehidupan yang menjamin kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.
Islam mempunyai prinsip-prinsip dasar yang harus mewarnai sikap dan aktivitas
pemeluknya. Puncak dari prinsip itu adalah tauhid. Di sekelilingnya beredar unit-unit
bagaikan planet-planet tata surya yang beredar di sekeliling matahari, yang tidak dapat
amat serasi, seimbang dan berada di bawah pengaturan dan pengendalian Allah SWT melalui
hukum-hukum yang ditetapkan-nya.
b. Kesatuan kehidupan. Bagi manusia ini berarti bahwa kehidupan duniaminya
c. Kesatuan ilmu. Tidak ada pemisahan antara ilmu-ilmu agama dan ilmu umum,
e. Kesatuan agama. Agama yang dibawa oleh para Nabi kesemuanya bersumber
f. Kesatuan kepribadian manusia. Mereka semua diciptakan dari tanah dan Ruh
Ilahi.
dalamnya tidak pernah ada tempat bagi keberhalaan dan keyakinan tak
dan kepercayaan akan hari kiamat. Seluruh ajaran Islam bertolak dari
tidak ada sistem kependetaan atau abstraksi yang berbelit-belit, juga tidak ada
ritus dan ritual yang sedemikian rumit. Setiap manusia dimungkinkan untuk
memahami Kitab Allah secara langsung dan kemudian menerapkan ketentuan
b. Kesatuan antara materi dan ruhani. Islam tidak memisahkan secara ketat
dicapai lewat cara hidup yang saleh dalam berhadapan dengan dunia, dan
bukan lewat pengingkaran atas dunia (lihat QS. 2:201 juga 7:32).
c. Sebuah jalan/cara hidup (way of life) yang lengkap. Islam bukan hanya agama
dalam pengertian yang biasa, yang membatasi masalahnya hanya pada hal-hal
serta pertanggungjawabannya kepada Tuhannya. Dijaminnya hak-hak dasar pribadi, dan tidak
dibiarkannya seseorangpun untuk meremehkannya. Dan
bersama.
manusia. Allah dalam pengertian Islam adalah Tuhan bagi seluruh alam (lihat
QS. 1:1), dan Rasulullah SAW diutus bagi seluruh umat manusia (lihat QS.
7:158 dan QS. 21:107). Dalam Islam, seluruh manusia sama derajatnya, apapun
sebagai way of life (jalan hidup)-nya yang bersifat dinamis dan progresif mengikuti
dirinya sebagai agama yang universal, agama yang selalu sesuai kapan dan dimanapun
juga63
. Wa Allahu a‟lam!
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Khurshid dkk., Islam: Sifat, Prinsip Dasar dan Jalan Menuju Kebenaran,
Jakarta: Srigunting.
Ali, Maulana Muhammad, 1980, Islamologi (Dinul Islam), terj. R. Kaelan & H.M.
Al-Khallaf, Abd al-Wahhab, 1972, Ilmu Ushul al-Fiqh, Jakarta: al-Majlis al-`Ala al-
Al-Qattan, Manna‟ Khalil, 1996, Studi Ilmu-Ilmu al-Qur`an (terj.), Bogor: Litera Antar
Nusa.
Ash-Shiddieqy, Muhammad Hasbi, 1999, Kriteria Sunnah dan Bid‟ah, Semarang: PT.
Firdaus.
As-Suyuti, Imam, 1996, Apa itu al-Qur`an, Jakarta: Gema Insani Press.
Azami, M.M., 1994, Hadits Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, Jakarta: Pustaka
Firdaus.
Madjid, Nurcholis, 1992, Islam Doktrin dan Peradaban, Sebuah Tela‟ah Kritis tentang
Nasution, Harun, 1979, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, jilid I, Jakarta: UI-
Press.
_______, 1995, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran Prof. Dr. Harun Nasution,
Bandung: Mizan.
31
Rahman, Fazlur, 1993, Metode dan Alternatif Neomodernisme Islam, Bandung: Mizan.
_____, 1996, Wawasan al-Qur`an: Tafsir Maudlu‟i atas Berbagai Persoalan Umat,
Bandung: Mizan.
Syaltut, Syeikh Mahmud, 1967, Islam Sebagai Aqidah dan Syari‟ah, (terj. H. Bustami
dkk.), Jakarta.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Islam sebagai the way of life
merupakan ajaran yang memberikan petunjuk, arah dan aturan-aturan (syariat) pada semua
aspek kehidupan manusia guna memperoleh kebahagian di dunia dan akhirat. Salah satu
aspek yang diatur dalam Islam adalah aspek muamalat, dalam hal ini penulis menekankan
pada bidang ekonomi. Ekonomi berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari dua kata, yakni
oikos yang berarti rumah tangga dan nomos yang berarti ilmu. Secara sederhana, ekonomi
dapat diartikan sebagai ilmu yang mempelajari bagaimana manusia mencukupi kebutuhan
hidupnya. Kegiatan ekonomi dalam Islam bersifat muamalah. Kegiatan muamalah
merupakan kegiatan-kegiatan yang menyangkut hubungan antar manusia. Kegiatan ini sama
halnya dengan transaksi, sebagaimana muamalah transaksi juga banyak macamnya salah
satunya yaitu sewa menyewa. Kajian hukum Islam tentang mu āmalah secara garis besar
terkait dengan dua hal. Pertama mu āmalah yang berkaitan dengan kebutuhan hidup yang
bertalian dengan materi dan inilah yang dinamakan dengan ekonomi. Sedangkan yang kedua,
mu āmalah yang terkait dengan pergaulan hidup yang dipertalikan oleh kepentingan moral
rasa kemanusiaan
Salah satu segi aturan hukum yang terdapat dalam al-Qur’an adalah masalah sewa menyewa.
Aspek kerjasama dan hubungan timbal balik antara manusia dalam hal sewa - menyewa
sangat penting peranannya dalam meningkatkan kesejahteraan hidup manusia. Adapun sistem
sewa-menyewa dalam Al-Qur’an telah diatur dan diperluas penjelasannya lebih rinci dalam
AlHadits. Dengan adanya dalil-dalil tersebut, maka sudah sepatutnya manusia mematuhi
aturan-aturan yang telah ditetapkan di dalamnya. Sewa-menyewa dalam bahasa Arab disebut
al-ijārah, menurut pengertian hukum Islam sewamenyewa itu diartikan sebagai suatu jenis
akad untuk mengambil manfaat dengan jalan penggantian.2 Adapun ketentuan al Qur’an
tentang sewamenyewa terdapat dalam surat Al-Zuḥruf, Ayat 32: ب َۚك ِّ ِس ُمو َن َر ْح َم َت َر ُه ْم َي ْق َ أ
ي ِ َب ْع ُض ُ ْهم َب ْع ًضا ُس ْخر ِخ َذ ۗ َ ْفو َق ْ َۚيا
ً ّ دن َ َحياِة الُّ ْ َن ْح ُن َق َس ْ َمنا َ ْبيَن ُ ْهم َ ِمعي َ َشت ُ ْهم ِفي ال َو َر ا َف ْعَنا َب
﴾ ِّ َو َر ْح َم ُت َر٢٣﴿ يت ْع َض ُ ْهم ب َك َْخي ٌر ِ َّمما َي ْج َ ُمعو َن
َّ ََِŽ َب ْع ٍض َد َر َجا ٍت ِلArtinya : “Apakah
mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka
penghidupan mereka dalam kehidupan di dunia, dan Kami telah meninggikan sebahagian
mereka atas sebahagian yang lain beberapa derajat, agar sebahagian mereka dapat
mempergunakan sebahagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang
mereka kumpulkan” (Q.S 43:32). 3 Dalam ayat tersebut di atas, Qatadah dan Al-Ḍaḥa’
berkomentar hendaklah sebagian mereka atas sebagian yang lainnya saling memberikan