Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH AL ISLAM KEMUHAMMADIYAAN 1

NAMA :UTARI DWI JAYA

NPM : 162101145

PRODI : MANAJEMEN

KELAS : B

DOSEN PEMBIMBING : MAKMUR,SE,MM.

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH BUTON

MANAJEMEN

2021
ISLAM SEBAGAI WAY OF LIFE

A. PENGERTIAN ISLAM

1. Secara etimologis

Kata `Islam berasal dari bahasa Arab. Akar katanya s-l-m . Kata kerja

bentuk pertamanya ialah salima artinya “merasa aman”, “utuh” dan “integral”.

Kata kerja bentuk pertama ini tidak digunakan dalam al-Qur`an, tetapi ungkapan-

ungkapan bahasa tertentu dari akar kata itu seringkali digunakan. Di antaranya ialah

kata silm dalam surat al-Baqarah ayat 208 yang berarti “damai”; salam dalam

surat az-Zumar ayat 29, dengan arti “utuh” sebagai lawan dari “pemilahan-pemilahan

dalam bagian-bagian yang bertentangan”, juga dalam surat an-Nisa` ayat 91 yang juga

digunakan dalam pengertian “damai”. Dengan demikian kata tersebut dalam al-Qur`an

seringkali digunakan dengan makna “damai”, “aman” atau “ucapan salam”.

Kata kerja bentuk keempatnya ialah aslama , artinya “ia menyerahkan

dirinya” atau “memberikan dirinya”. Sering digunakan dalam ungkapan aslama

wajhahu (“ia menyerahkan pribadi atau dirinya”) yang diikuti dengan lillah (“kepada

Tuhan”).

Menurut Fazlur Rahman, kata `islam dan muslim selalu digunakan oleh al-

Qur`an kadang dalam makna harfiahnya, yakni “menyerah” atau “orang yang

menyerahkan dirinya kepada (hukum) Tuhan, kadang juga dalam makna sebagai nama-

diri untuk pesan keagamaan yang dikumandangkan oleh al-Qur`an dan bagi komunitas

yang menerimanya. Bahkan dalam surat al-Hajj /22:78, pesan keagamaan ini

dinisbatkan kepada Ibrahim, yang dikatakan telah memberikan nama Muslim kepada

komunitas yang menerima pesan al-Qur`an ini. Maka nyatalah bahwa Islam di masa
Madinah, selain bermakna harfiah, telah direifikasi menjadi nama agama yang dibawa

oleh Muhammad SAW. Dan muslimun menjadi komunitas formal yang memeluk Islam

(lihat QS. 5:111). Selanjutnya Rahman menjelaskan, bahwa ada dua hal penting untuk
disimak sehubungan dengan istilah islam.

Pertama, bahwa islam integral dengan iman. “Penyerahan” kepada Tuhan, dalam
karakteristiknya yang hakiki, adalah mustahil tanpa iman. Bahkan kedua kata ini pada
dasarnya adalah sama dan telah digunakan secara ekuivalen dalam banyak bagian al-Qur`an.

Kedua, islam merupakan pengejahwantahan lahiriah, konkret dan terorganisasi

dari iman, melalui suatu komunitas normatif. Karena itu, anggota-anggota komunitas

ini harus didasarkan pada iman dan cahayanya, dan –sebaliknya- cahaya iman semacam itu
harus menjelma keluar sendiri melalui komunitas ini. Seseorang mungkin

saja mempunyai iman, tetapi iman tersebut bukanlah iman sejati dan sepenuhnya

kecuali jika ia diekspresikan secara islami dan dijelmakan melalui suatu komunitas

yang semestinya, suatu komuitas yang muslim (berserah diri) dan Muslim.

2. secara terminologis

Ada beberapa ulama dan pemikir Islam yang memberikan pengertian Islam

secara terminologis, di antaranya ialah Syaikh Mahmud Syaltut. Ia memberikan

pengertian Islam sebagai agama yang disyariatkan oleh Allah melalui nabi-Nya Muhammad
SAW. untuk disampaikan dan diajarkan kepada seluruh manusia.

Harun Nasution memberikan pengertian Islam sebagai agama yang ajaran-ajarannya


diwahyukan Tuhan kepada masyarakat manusia melalui nabi Muhammad SAW sebagai
Rasul. Islam pada hakikatnya membawa ajaran-ajaran yang bukan hanya mengenal satu segi,
tatapi mengenai berbagai segi dari kehidupan manusia.Sementara itu Maulana Muhammad
Ali mengatakan bahwa Islam adalah agama perdamaian, di mana dua ajaran pokoknya yaitu
keesaan Tuhan dan kesatuan ataupersaudaraan umat manusia menjadi bukti nyata, bahwa
Islam selaras benar dengan namanya. Islam bukan saja sebagai agama seluruh Nabi Allah,
melainkan pula sebagai hakikat ketundukan dan keberserahan diri alam semesta kepada
hukum Tuhan.
Majlis Tarjih Muhammadiyah dalam putusannya memberikan pengertian

agama Islam sebagai apa yang telah disyariatkan Allah dengan perantaraan para Rasul-Nya
berupa perintah, larangan dan petunjuk untuk kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat
mereka. Sedangkan agama Islam yang dibawa oleh nabi Muhammad SAW

adalah apa yang telah diturunkan oleh Allah dalam al-Qur`an dan termuat dalam

sunnah shahihah berupa perintah, larangan dan petunjuk untuk kemaslahatan manusia

di dunia dan akhirat mereka.

Dari beberapa pengertian di atas dapat dipahami bahwa: Islam, dilihat dari misi

ajarannya berarti semua agama Allah (wahyu Allah) yang diturunkan kepada para Rasul

(utusan) Allah sejak Nabi Adam sampai Nabi Muhammad. Namun demikian perlu ditegaskan
di sini, bahwa sungguhpun para Nabi tersebut telah menyatakan diri sebagai muslim dan
mengajarkan misi keislaman (keberserahan diri secara total kepada Allah), akan tetapi agama
yang mereka bawa itu secara resmi tidak disebut agama Islam.

3. TUJUAN DAN FUNGSI AGAMA ISLAM

a. Sebagai Pembimbing Dalam Hidup

Pengendali utama kehidupan manusia adalah kepribadiannya yang mencakup segala unsure
pengalaman pendidikan dan keyakinan yang didapatnya sejak kecil. Apabila dalam
pertumbuhan seseorang terbentuk suatu kepribadian yang harmonis, di mana segala unsur
pokoknya terdiri dari pengalaman yang menentramkan jiwa maka dalam menghadapi
dorongan baik yang bersifat biologis ataupun rohani dan sosial akan mampu menghadapi
dengan tenang.

b. Penolong Dalam Kesukaran

Orang yang kurang yakin akan agamanya (lemah imannya) akan menghadapi
cobaan/kesulitan dalam hidup dengan pesimis, bahkan cenderung menyesali hidup dengan
berlebihan dan menyalahkan semua orang. Beda halnya dengan orang yang beragama dan
teguh imannya, orang yang seperti ini akan menerima setiap cobaan dengan lapang dada.
Dengan keyakinan bahwa setiap cobaan yang menimpa dirinya merupakan ujian dari tuhan
(Allah) yang harus dihadapi dengan kesabaran karena Allah memberikan cobaan kepada
hambanya sesuai dengan kemampuannya. Selain itu, barang siapa yang mampu menghadapi
ujian dengan sabar akan ditingkatkan kualitas manusia itu.

c. Penentram Batin

Jika orang yang tidak percaya akan kebesaran tuhan tak peduli orang itu kaya apalagi miskin
pasti akan selalu merasa gelisah. Orang yang kaya takut akan kehilangan harta kekayaannya
yang akan habis atau dicuri oleh orang lain, orang yang miskin apalagi, selalu merasa kurang
bahkan cenderung tidak mensyukuri hidup.

Lain halnya dengan orang yang beriman, orang kaya yang beriman tebal tidak akan gelisah
memikirkan harta kekayaannya. Dalam ajaran Islam harta kekayaan itu merupakan titipan
Allah yang didalamnya terdapat hak orang-orang miskin dan anak yatim piatu. Bahkan
sewaktu-waktu bisa diambil oleh yang maha berkehendak, tidak mungkin gelisah. Begitu
juga dengan orang yang miskin yang beriman, batinnya akan selalu tentram karena setiap
yang terjadi dalam hidupnya merupakan ketetapan Allah dan yang membedakan derajat
manusia dimata Allah bukanlah hartanya melainkan keimanan dan ketakwaannya.

d. Pengendali Moral

Setiap manusia yang beragama yang beriman akan menjalankan setiap ajaran agamanya.
Terlebih dalam ajaran Islam, akhlak amat sangat diperhatikan dan di junjung tinggi dalam
Islam. Pelajaran moral dalam Islam sangatlah tinggi, dalam Islam diajarkan untuk
menghormati orang lain, akan tetapi sama sekali tidak diperintah untuk meminta dihormati.

Islam mengatur hubungan orang tua dan anak dengan begitu indah. Dalam Al-Qur’an ada
ayat yang berbunyi: “dan jangan kau ucapkan kepada kedua (orang tuamu) uf!!” Tidak ada
ayat yang memerintahkan kepada manusia (orang tua) untuk minta dihormati kepada anak.

Selain itu Islam juga mengatur semua hal yang berkaitan dengan moral, mulai dari
berpakaian, berperilaku, bertutur kata hubungan manusia dengan manusia lain (hablum
minannas/hubungan sosial). Termasuk di dalamnya harus jujur, jika seorang berkata bohong
maka dia akan disiksa oleh api neraka. Ini hanya contoh kecil peraturan Islam yang berkaitan
dengan moral. Masih banyak lagi aturan Islam yang berkaitan dengan tatanan perilaku moral
yang baik, namun tidak dapat sepenuhnya dituliskan disini.
B. SUMBER AJARAN ISLAM

Pada umumnya, ulama mengajarkan bahwa sumber agama Islam ada empat,

yaitu Qur`an, Sunnah, `Ijma‟ (kesepakatan pendapat di antara jama‟ah muslimin) dan

Qiyas (penggunaan akal). Qur`an dan sunnah (atau hadits) disebut al-Adillah al-

Qoth‟iyyah, dalil yang mutlak benar. Sedang `ijma‟ dan qiyas disebut al-Adillah al-

Ijtihadiyyah, dalil yang diperoleh dengan jalan ijtihad. Tetapi karena –menurut pengakuan
ulama- `ijma‟ dan qiyas itu didasarkan atas Qur`an dan hadits, sedang hadits itu sendiri
merupakan penjelasan Nabi SAW terhadap Qur`an, maka Qur`an Suci benar-benar
merupakan asas hakiki, yang di atas itu berdiri bangunan Islam, dan merupakan satu-satunya
dalil yang mutlak dan menentukandalam setiap pembahasan yang berhubungan dengan ajaran
Islam; dan tak salah jika dikatakan bahwa Qur‟an adalah satu-satunya sumber utama yang
darinya diambil segala ajaran dan amalan agama Islam.

I. AL-QUR`AN

a. Pengertian al-Qur`an

Di kalangan ulama ada perbedaan pengertian etimologis (bahasa) mengenai al-

Qur`an. Asy-Syafi‟i misalnya mengatakan bahwa al-Qur`an tidak berasal dari akar kata

apapun, dan tidak pula ditulis dengan hamzah. Lafadz tersebut sudah lazim digunakan

dalam pengertian kalam Allah (firman Tuhan) yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
SAW.

Lain dari itu, banyak juga ulama yang mencoba mengembalikan lafadz Qur`an

pada akar kata tertentu. Al-Farra` misalnya, menyebut bahwa lafadz Qur`an berasal

dari kata qara`in, jamak dari kata qarinah yang berarti “kaitan”, karena dilihat dari

segi makna dan kandungannya ayat-ayat al-Qur`an itu satu sama lain saling berkaitan.

Selanjutnya al-Asy‟ari dan para pengikutnya mengatakan bahwa lafadz itu diambil dari

akar kata qarn yang berarti “menggabungkan sesuatu atas yang lain”, karena surah-
surah dan ayat-ayat al-Qur`an satu dan lainnya saling berkaitan.

Sementara itu ada juga yang menyebut Qur`an sebagai isim masdar (verbal

noun) dari akar qara`a, yang makna aslinya ialah “mengumpulkan dan menghimpun”.

Kata ini berarti pula “membaca”, karena dalam membaca, huruf dan kata-kata

dihubungkan satu sama lain menjadi susunan kalimat. Sehingga qur`an seringkali disamakan
dengan qira`at (penamaan maf‟ul dengan masdar), yang berarti “bacan”,

yakni himpunan huruf dan kata-kata dalam suatu ucapan yang tersusun rapi.

Senada dengan uraian di atas Farid Esack, seorang Doktor di bidang Tafsir al-

Qur`an Universitas Western Cape-Afrika Selatan, menyimpulkan bahwa secara harfiah

al-Qur`an berarti “bacaan”, “pengucapan” atau “kumpulan”. Ada baiknya kita ikuti

uraian Esack:

“Mayoritas pemikir Arab sepakat bahwa kata qur`an adalah bentuk lampau

yang berasal dari akar kata Arab qara`a yang berarti “ia membaca”, atau kata

sifat dari qarana, “ia menghimpun atau mengumpulkan”. Di dalam al-Qur`an

sendiri, kata qur`an dipakai dalam arti “membaca” (QS. Al-Isra` (17):93),

“mengucap” (Al-Qiyamah (75): 18), dan “sebuah kumpulan” (QS. Al-Qiyamah

(75): 17)...”21

Adapun pengertian al-Qur`an dari segi istilah, Abd al-Wahhab al-khallaf

menjelaskan bahwa, ia merupakan firman Allah yang diturunkan kepada hati

Rosulullah, Muhammad bin Abdullah, melalui Jibril dengan menggunakan lafadz

bahasa Arab dan maknanya yang benar, agar ia menjadi hujjah bagi Rasul, bahwa ia

benar-benar Rasulullah, menjadi undang-undang bagi manusia, memberi petunjuk

kepada mereka dan menjadi sarana untuk melakukan pendekatan diri dan ibadah

kepada Allah dengan membacanya. Ia terhimpun dalam mushhaf, dimulai dari surat al-

Fatihah dan diakhiri dengan surat an-Nas, disampaikan kepada kita secara mutawatir
dari generasi ke generasi, baik secara lisan maupun tulisan serta terjaga dari perubahan

dan pergantian.

b. Pewahyuan al-Qur`an

Dari pengertian di atas, tampak bahwa dalam paham dan keyakinan umat Islam,

al-Qur`an sebagai Kitab Suci, mengandung sabda Tuhan (kalam Allah), yang melalui

wahyu disampaikan kepada Nabi Muhammada SAW.

Dalam al-Qur`an dijelaskan wahyu ada tiga macam. Seperti yang tertera dalam

QS. Asy-Syura [42]:51:

“Tidaklah dapat terjadi pada manusia bahwa Tuhan berbicara dengannya kecuali

melalui wahyu, atau dari belakang tabir, ataupun melalui utusan yang dikirim; maka
disampaikanlah kepadanya dengan sizin Tuhan apa yang dikehendakinya.

Sesungguhnya Tuhan Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana. Demikianlah Kami

kirimkan kepadamu ruh atas perintah kami”.

Wahyu dalam bentuk pertama adalah pengertian atau pengetahuan yang tiba-

tiba dirasakan seseorang timbul dalam dirinya; timbul dengan tiba-tiba sebagai suatu

cahaya yang menerangi jiwanya. Maulana Muhammad Ali menyebutnya dengan makna

aslinya sebagai al-`Isyarat as-sari‟ah, isyarat yang cepat yang dimasukkan dalam kalbu

seseorang.

Kedua, wahyu berupa pengalaman dan penglihatan dalam keadaan tidur

atau dalam keadaan trance, rukyat atau kasyf (vision). Ketiga, wahyu dalam bentuk

yang diberikan melalui utusan atau malaikat, yaitu Jibril, dan wahyu serupa ini

disampaikan dalam bentuk kata-kata.

Wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammada SAW adalah wahyu dalam

bentuk ketiga seperti yang dijelaskan oleh al-Qur`an: “Sesungguhnya ini adalah
wahyu Tuhan semesta alam, dibawa turun oleh ruh setia ke dalam hatimu agar

engkau dapat memberi ingat dalam bahasa Arab yang jelas” (QS. Asy-Syu‟ara` [26]:

192-193)

Selanjutnya:

“Katakanlah, ruh suci membawakannya turun dengan kebenaran dari

Tuhanmu, untuk meneguhkan (hati) orang yang percaya dan untuk menjadi petunjuk

serta kabar gembira bagi yang berserah diri” (QS. An-Nahl [16]:102)

Bahwa yang dimaksud dengan ruh setia atau ruh suci adalah Jibril:

“Katakanlah siapa yang menjadi musuh Jibril, maka ialah yang sebenarnya

membawanya turun ke dalam hatimu dengan seizin Tuhan untuk membenarkan apa

yang (datang) sebelumnya dan untuk menjadi petunjuk serta kabar gembira bagi

orang-orang yang percaya” (QS. Al-Baqarah [2]: 97)

Hadits-hadits juga menjelaskan bahwa wahyu yang disampaikan kepada Nabi

Muhammad adalah melalui Jibril. Dalam suatu hadits, „Aisyah mengemukakan

bagaimana Jibril merangkul Nabi hingga beliau merasa kesakitan ketika menerima

wahyu yang pertama. Dalam hadits lain sewaktu ditanya, bagaimana caranya wahyu turun
kepada Nabi.

Nabi Muhammad menerangkan: “Wahyu itu terkadang turun sebagai suara

lonceng dan inilah yang terberat bagiku. Kemudian ia (Jibril) pergi dan aku pun

sudah mengingat apa yang dituturkannya. Terkadang malaikat itu datang dalam

bentuk manusia, berbicara kepadaku dan akupun mengingat apa yang

dikatakannya”.

Hadits lain lagi, yang berasal dari Ibnu Abbas, menjelaskan bahwa pada bulan-bulan
Ramadhan, Jibril selalu turun mendengar dan memperbaiki bacaan Nabi mengenai ayat-ayat
yang diturunkan kepadanya.
Atas dasar ayat-ayat dan hadits-hadits serupa inilah maka umat Islam

mempunyai keyakinan bahwa apa yang terkandung al-Qur`an adalah wahyu Tuhan.

Farid Esack menjelaskan, bahwa sebagai kompilasi “Firman Tuhan”, al-Qur`an tidak

merujuk pada sebuah kitab yang diilhami atau dipengaruhi oleh-Nya atau ditulis di

bawah bimbingan ruh-Nya. Ia lebih dianggap sebagai kata-kata langsung Tuhan.

Dengan kata lain, teks Arab yang ada dalam Kitab Suci itu tidak diakui sebagai wahyu,

apalagi terjemahannya dalam bahasa asing. Wahyu dalam bentuk kata-kata itu diturunkan
oleh Jibril untuk disampaikan kepada Nabi tidak secara sekaligus tetapi berangsur-angsur dan
bertahap dalam masa kurang lebih 22 tahun 2 bulan 22 hari26 atau biasanya digenapkan
menjadi 23 tahun sesuai dengan perdebatan tentang masa tinggal Nabi di Makkah setelah
kenabian (an-Nubuwwah). Hikmahnya ialah seperti yang tersirat dalam al-Qur`an surat al-
Furqan [25] ayat 32: “Berkatalah orang-orang yang kafir: ”Mengapa al-Qur`an itu tidak
diturunkan kepadanya sekali saja?”; demikianlah, supaya Kami perkuat hatimu

dengannya dan Kami membacakannya kelompok demi kelompok”

Dengan turunnya wahyu dalam setiap peristiwa, maka hal itu merupakan komunikasi

langsung dan intens yang menguatkan hati dan memberikan perhatian yang lebih

kepada Nabi. Jibril akan turun berkali-kali kepadanya sehingga menimbulkan

kegembiraan di hatinya.

c. Sejarah Kodifikasi al-Qur`an

1. Masa Rasulullah SAW

Yang dilakukan Nabi pada saat itu –setiap wahyu turun- ialah menyampaikan

kepada para sahabat untuk dihafal dan dicatat. Zaid bin Tsabit adalah sekretris utama

dalam mencatat tulisan dalam ayat-ayat yang diturunkan itu. Selain dari sekretaris ini

disebut juga nama sahabat-sahabat lain yang disuruh mencatat, seperti Abu Bakar,

Utsman, Umar, Ali, Zubair Ibnu Awam, Abdullah Ibnu Sa‟ad dan Ubay Ibnu Ka‟ab.
Ayat-ayat itu ditulis di atas batu, tulang, pelepah kurma dan lain-lain.

Jadi, pada masa Rasulullah ayat-ayat al-Qur`an sudah ditulis secara

keseluruhan, tetapi belum dihimpun di dalam satu Mushhaf28 seperti sekarang ini,

karena masih menunggu adanya penghapusan sebagian hukum dan tilawahnya. Nama, sifat
dan fungsi al-Qur`an.

Sungguh tepat penamaan al-Qur`an oleh Allah sendiri, yang secara harfiah

berarti “bacaan sempurna”, karena tiada satu bacaan pun sejak manusia mengenal

tulis-baca lima ribu tahun yang lalu yang dapat menandingi al-Qur`an.

Selain sebutan al-Qur`an (QS. al-Isra` [17]: 9), dalam berbagai ayatnya, al-

Qur`an juga menyebut dirinya dengan al-, al-Kitab (QS. al-Anbiya` [21]: 10), al-

Furqan (QS. Al-Furqan [25]:1), al-Dzikr (QS. Al-Hijr [15]: 9) dan at-Tanzil (QS. Al-

Syu‟ara` [26]: 192). Yang paling populer di antara sebutan itu ialah al-Qur`an dan al-

Kitab. Sedangkan mengenai sifatnya, al-Qur`an menyebut beberapa sifat diantaranya

adalah an-Nur, cahaya (QS. An-Nisa` [4]:174); al-Huda, petunjuk; asy- Syifa`, obat;

ar-Rohmah, rahmat; al-Mau‟idzoh, nasehat (QS. Yunus [10]: 57); al-Mubin, yang

menerangkan (QS. Al-Maidah [5]:15); al-Mubarak, yang diberkati (QS. Al-`An‟am

[6]:92); al-Busyro, kabar gembira (QS. Al-Baqarah [2]:97); al-„Aziz, yang mulia (QS.

Fushshilat [41]:41); al-Majid, yang dihormati (QS. Al-Buruj [85]: 21); al-Basyir,

pembawa kabar gembira; an-Nadzir, pembawa peringatan (QS. Fushshilat [41]:3-4)

Dari nama dan sifat-sifat di atas, sebenarnya secara global dapat diketahui apa

fungsi al-Qur`an itu sendiri. Untuk menjadi hujjah atau

bukti yang kuat atas kerasulan Nabi Muhammad SAW. Al-Qur`an merupakan mu‟jizat

terbesar baginya. Keberadaannya hingga kini masih tetap terpelihara dengan baik,

dan pemasyarakatannya dilakukan secara turun temurun dari generasi ke generasi.

Allah sendiri yang akan menjaganya (QS. Al-Hijr [15]:9).


II. AS-SUNNAH DAN AL-HADITS

a. Definisi as-Sunnah dan al-Hadits

As-Sunnah berasal dari kata kerja Sanna-Yasunnu (“berjalan”, “menjelaskan”

atau “menetapkan”) yang berarti as-Sirah, “prikehidupan” atau “prilaku”, ath-

Thariqah; “jalan”, “cara”, dan metode” dan asy-Syari‟ah; “syari‟at”, “peraturan” dan

“hukum”.45 Adapun kata hadits jamaknya `ahadits makna aslinya adalah “ucapan”,

“perkataan” dan “pembicaraan”.

Dari pengertian di atas, Asy-Syaukani dalam bukunya, Irsyadul Fuhul

menyebut as-Sunnah secara lughowi sebagai ath-Thariqat wa law ghaira

mardliyyah, yakni “jalan yang tetap kita jalani (telah menjadi tradisi untuk kita jalani),

baik diridlai maupun tidak”. Atau dengan bahasa lain, seperti yang disebutkan oleh

M.M. Azami, “tata cara, jalan, tingkah laku baik terpuji maupun tercela”. Sedangkan hadits,
menurut Maulana Muhammad Ali sebagai “ucapan yang disampaikan kepada

manusia, baik dengan perantaraan pendengaran maupun perantaraan wahyu”.

Sedangkan secara terminologis, ada beberapa pengertian sunnah. Ahlul hadits

mengartikannya dengan sabda (qaul), pekerjaan (fi‟il), ketetapan (taqrir), sifat atau

tingkah laku Nabi baik sebelum maupun sesudahnya. Di sini ahlul hadits menyamakan

sunnah dengan hadits.

Ahlul ushul mendefinisikannya dengan sabda Nabi yang bukan dari Qur`an,

pekerjaan atau ketetapannya. Dan terakhir, Ahlul Fiqh memberikan arti sebagai hal-hal

yang berasal dari Nabi baik ucapan maupun pekerjaan, tetapi hal itu tidak wajib

dikerjakan.

Di antara ulama ada yang membedakan sunnah dengan hadits. Sesuai dengan

makna aslinya Sunnah berarti perbuatan Nabi SAW, sedang Hadits merupakan
sabdanya. Meskipun demikian dalam pengertian ini Sunnah disebut juga dengan

Hadits. Karena keduanya berkisar di lapangan yang sama, dan dapat diterapkan

terhadap: (1) qaul, yaitu sabda Nabi SAW yang berhubungan dengan perkara agama;

(2) fi‟il, yaitu perbuatan atau tingkah laku Nabi SAW; dan (3) taqrir, yaitu diamnya

Nabi karena setuju atas perbuatan orang lain. Dengan kata lain, Sunnah ialah segala

perkataan, perbuatan, persetujuan, sifat dan sikap Rosulullah SAW yang dicatat dan

direkam dalam Hadits. Dalam arti teknis as-Sunnah (sunnah ar-Rosul) identik dengan

al-Hadits (al-Hadits an-Nabawi) Sebagai sumber ajaran Islam kedua

Sunnah atau hadits adalah sumber syari‟at Islam yang nomor dua, dan tidak

disangikan lagi dalam keyakinan umat Islam menduduki tempat kedua setelah Qur`an Suci.

Hal itu karena pertama, sebagaimana yang diperintahkan dalam surat an-Nisa`

[4]: 59:

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan

ulul amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu,

maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur`an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu

benar-benar beriman akepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih

utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.

Juga dalam surat al-Hasyr [59]: 7:

“....Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang

dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan bertaqwalah kepada Allah.

Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya”.

Dan hadits Rasulullah SAW.:

“Saya telah tinggalkan kepadamu dua urusan yang kamu sekali-kali tidak

akan sesat selama kamu berpegang teguh kepadanya, yaitu Kitabullah dan Sunnah Rasul”
(HR. Malik)
Pada hakikatnya, as-Sunnah juga merupakan wahyu ilahi yang bukan al-Qur`an.

Pengertiannya adalah bahwa ruh dari kandungan as-Sunnah juga dari Allah dalam

bentuk dan konteks yang berbeda dengan al-Qur`an. Di sini Nabi tidak melakukan

interpretasi dengan menggunakan akal dan pikirannya lepas dari petunjuk Allah.

III. IJTIHAD

a. Pengertian Ijtihad

Ijtihad adalah sumber syari‟at Islam yang ketiga. Kata ijtihad berasal dari akar

kata jahada yang artinya “berusaha keras” atau “berusaha sekuat tenaga” . kata ijtihad

yang secara harfiah mempunyai makna yang sama, secara teknis diterapkan bagi

seorang ahli hukum yang dengan kemampuan akalnya berusaha keras untuk

menentukan pendapat di lapangan hukum mengenai hal yang pelik dan meragukan.

Endang Saifuddin Anshari mengartikan ijtihad secara terminologis sebagai

usaha sungguh-sungguh seseorang (beberapa orang) ulama tertentu, yang memiliki

syarat-syarat tertentu, pada suatu tempat dan waktu tertentu, untuk merumuskan

kepastian atau penilaian hukum mengenai sesuatu (atau beberapa) perkara, yang tidak

terdapat kepastian hukumnnya secara eksplisit dan positif, baik dalam al-Qur`an

maupun al-Hadits. Orang yang berijtihad disebut Mujtahid.

Sedangkan Imam Syaukani mengartikan Ijtihad sebagai “mengerahkan segala

kemampuan daya nalar secara maksimal dalam memperoleh hukum syar‟I yang bersifat

amali melalui cara istinbat.

Oleh karena itu al-Qur`an berseru berulang kali agar manusia mau menggunakan akalnya,
dan memuji orang yang menggunakan akalnya. Seperti yang tersirat dalam beberapa ayat
serupa berikut ini:
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya

malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.

(Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil bediri atau duduk atau

dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit

dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini

dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka perihalah kami dari siksa neraka”

(QS. Alu Imron [3]: 190-191)

Selanjutnya Qur`an mencela orang yang tidak mau menggunakan akalnya, dan

menyamakannya dengan binatang, serta dikatakan pula sebagai orang tuli, bisu dan

buta:

“Dan perumpamaan (orang yang menyeru) orang-orang kafir adalah seperti

penggembala yang memanggil binatang yang tidak mendengar selain panggilan dan seruan
saja. (mereka) tuli, bisu dan buta, maka (oleh sebab itu) mereka tidak

mengerti” (QS. al-Baqarah [2]: 171)

Hadits tersebut tidak hanya menunjukkan bahwa Nabi membenarkan

penggunaan pertimbangan akal, juga menunjukkan bahwa sahabat Nabi menyadari

sepenuhnya prinsip ini, dan bahwa di zaman Nabi, selain beliau sendiri, orang-orang

lainpun menggunakan ijtihad secara bebas bila dianggap perlu.

Masalah-masalah yang menjadi topik ijtihad tentunya tidak semua masalah atau

didasarkan pada sembarang dalil yang terdapat dalam al-Qur`an maupun as-Sunnah.

Akan tetapi masalah tersebut berkisar pada masalah-masalah ijtihadiyah (yang

hukumnya tidak dijelaskan dalam Qur`an dan Sunnah): Pertama, masalah yang tidak

ada nashnya sama sekali. Kedua, masalah yang ada nashnya namun belum pasti untuk

masalah itu. Ijtihad ini dapat dilakukan dengan dua cara: Ijtihad fardi (secara individu)

dan ijtihad jama‟I (secara kolektif).


C. RUANG LINGKUP AGAMA ISLAM

Ajaran Islam adalah ajaran yang mencakup keseluruhan aspek kehidupan manusia.
mulai dari aspek terkecil seperti urusan pribadi, keluarga, masyarakat sampai pada urusan
kenegaraan dan bahkan urusan seisi dunia dan jagat raya ini diatur dalam Islam. Al Qur’an
sebagai dan hadis serta Ijtihad sebagai sumber hukum dalam Islam memiliki aturan yang jelas
mengenai hubungan manusia ddengan Tuhannya, hubungan antar sesama manusia, serta
manusia dengan alam sekitarnya.

Ruang lingkup ajaran Islam pada dasarnya adalah keseluruhan aspek kehidupan manusia
muslim. Dari aspek spiritualitas, Islam memiliki konsep Aqidah yang cenderung pada aspek
keimanan seorang muslim, kemudian memasuki tahapan implementasi yaitu syariah yang
menjadi perwujudan keimanan seseorang, di mana seluruh aktivitas hidupnya senantiasa
diarahkan untuk ketaatan dan ketundukan pada Allah, serta akhlak yang mengatur hubungan
yang bernilai antara seorang hamba dengan Allah, Rasul, dan seluruh makhluk Allah dalam
bingkai Aqidah dan syariah. Dalam arti bahwa segala sesuatu yang berhubungan dengan
tingkah laku kehidupan seorang muslim dari hal yang terkecil menyangkut urusan pribadi
baik urusan ibadah umum dan khusus sampai pada urusan terbesar mencakup urusan
masyarakat dan negara menjadi bagain dari ruang lingkup ajaran Islam.

Oleh karena itu, semua aspek tersebut tidak boleh dipisahkan dari urusan seorang muslim
baik secara personal maupun sebagai makhluk Allah yang memiliki tanggung jawab sosial.

1. Aqidah adalah kepercayaan terhadap Allah dan inti dari aqidah adalah tauhid. Tauhid
adalah ajaran tentang eksistensi Allah yang bersifat Esa

2. Syariah adalah segala bentuk ibadah baik ibadah umum seperti hubungan muamalah,
hukum-hukum baik publik maupun perdata. Juga ibadah khusus sepeti sholat, puasa, zakat,
dan haji.

3. Akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa dan menimbulkan perbuatan yang mudah
tanpa memerlukan pertimbangan pikiran.

4. Ibadah Bidang ini mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhannya, pengabdian dan
penyembahan kepada Tuhannya, misalnya tentang syahadat, shalat, puasa, zakat, haji dan lain
sebagainya.
5. Muamalat Bidang ini mengatur hubungan antara manusia dengan sesamanya, misalnya
tentang perdagangan, sewa menyewa, perburuhan dan sebagainya. Selain itu, ajaran Islam
juga mengatur masalah munakahat yaitu bidang yang mengatur hubungan manusia dalam
urusan kekeluargaan misalnya tentang pernikahan, perceraian, warisan, keturunan dan lain
sebagainya, Jinayat yang mengatur hal-hal kejahatan dan pelanggaran, baik yang mengenai
dirinya sendiri maupun mengenai orang lain, misalnya tentang zina, mabuk, penipuan,
pencurian, pembunuhan dan sebagainya Serta As Siyasah yang mengatur hal-hal yang
berkaitan dengan politik, kenegaraan dan hubungan antara negara. Berdasarkan uraian di atas
dapat disimpulkan bahwa ruang lingkup ajaran Islam mencakup seluruh urusan yang
berkaitan dengan manusia secara pribadi, dalam hubungan dengan Allah, manusia dalam
hubungannya dengan sesama, serta manusia dalam hubungan dengan alam semesta. Abudin
Nata dalam Faturrohman dan Sutikno (2011:122) menjelaskan bahwa fungsi pendidikan yang
Islami adalah sebagai penyiapan kader-kader khalifah dalam rangka membangun dunia yang
makmur, dinamis, harmonis, dan lestari sebagaimana diisyaratkan oleh Allah. Pendidikan
yang Islami, tidak lain adalah upaya mengefektifkan nilai-nilai agama yang dapat
menimbulkan transformasi nilai dan pengetahuan secara utuh kepada manusia, masyarakat
dan dunia pada umumnya. Pembinaan kehidupan beragama perlu diarahkan pada beberapa
aspek kehidupan yang menjamin kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.

D. KARAKTERISTIK AJARAN ISLAM

Pinsip Dasar Islam: Upaya menjadikan Islam sebagai Way of Life

Dalam bukunya Wawasan Al-Qur`an, Quraish Syihab61 menjelaskan bahwa,

Islam mempunyai prinsip-prinsip dasar yang harus mewarnai sikap dan aktivitas

pemeluknya. Puncak dari prinsip itu adalah tauhid. Di sekelilingnya beredar unit-unit

bagaikan planet-planet tata surya yang beredar di sekeliling matahari, yang tidak dapat

melepaskan diri dari orbitnya. Unit-unit tersebut antara lain:

a. Kesatuan alam semesta. Dalam arti, Allah menciptakannya dalam keadaan

amat serasi, seimbang dan berada di bawah pengaturan dan pengendalian Allah SWT melalui
hukum-hukum yang ditetapkan-nya.
b. Kesatuan kehidupan. Bagi manusia ini berarti bahwa kehidupan duniaminya

menyatu dengan kehidupan ukhrowinya. Sukses atau kegagalan ukhrowi,

ditentukan oleh amal duniawinya.

c. Kesatuan ilmu. Tidak ada pemisahan antara ilmu-ilmu agama dan ilmu umum,

karena semuanya bersumber dari satu sumber yaitu Allah SWT.

d. Kesatuan iman dan rasio. Karena masing-masing dibutuhkan dan masing-

masing mempunyai wilayahnya sehingga harus saling melengkapi.

e. Kesatuan agama. Agama yang dibawa oleh para Nabi kesemuanya bersumber

dari Allah SWT., prinsip-prinsip pokoknya menyangkut aqidah, syari‟ah dan

akhlaq tetap sama dari zaman dahulu sampai sekarang.

f. Kesatuan kepribadian manusia. Mereka semua diciptakan dari tanah dan Ruh

Ilahi.

g. Kesatuan individu dan masyarakat. Masing-masing harus saling menunjang.

Sifat Khas Ajaran Islam

Senada dengan uraian di atas, Khurshid Ahmad62 menegaskan ada beberapa

sifat khas ajaran Islam, diantaranya ialah:

a. Kesederhanaan, rasionalitas dan praktis (amaliah). Islam adalah agama yang

tidak memiliki mitologi. Ajarannya cukup sederhana dan dapat dipahami. Di

dalamnya tidak pernah ada tempat bagi keberhalaan dan keyakinan tak

rasional mengenai dasar islam, yakni Keesaan Allah, kerasulan Muhammad

dan kepercayaan akan hari kiamat. Seluruh ajaran Islam bertolak dari

keyakinan dasar tersebut, dan bersifat sederhana serta langsung. Di dalamnya

tidak ada sistem kependetaan atau abstraksi yang berbelit-belit, juga tidak ada

ritus dan ritual yang sedemikian rumit. Setiap manusia dimungkinkan untuk
memahami Kitab Allah secara langsung dan kemudian menerapkan ketentuan

yang ada ke dalam kehidupan praktis (lihat QS. 13:29)

b. Kesatuan antara materi dan ruhani. Islam tidak memisahkan secara ketat

antara materi dan ruhani. Ia tidak membela pengabaian kehidupan, tetapi

justru mendorong kepuasan dalam kehidupan. Islam tidak menerima

asketisme (kepertapaan). Ia tidak perna meminta manusia agar menjauhi

materi. Ia menunjukkan keluhuran ruhani yang harus diupayakan untuk

dicapai lewat cara hidup yang saleh dalam berhadapan dengan dunia, dan

bukan lewat pengingkaran atas dunia (lihat QS. 2:201 juga 7:32).

c. Sebuah jalan/cara hidup (way of life) yang lengkap. Islam bukan hanya agama

dalam pengertian yang biasa, yang membatasi masalahnya hanya pada hal-hal

pribadi saja. Tetapi ia merupakan pandangan hidup yang lengkap, yang

melingkupi seluruh aspek eksistensi kehidupan manusia.

d. Keseimbangan antara individualisme dan kolektivisme. Salah satu keunikan

Islam adalah penekanan pada pentingnya keseimbangan antara individualisme

dan kolektivisme. Dijelaskannya pengertian personalitas pribadi manusia,

serta pertanggungjawabannya kepada Tuhannya. Dijaminnya hak-hak dasar pribadi, dan tidak
dibiarkannya seseorangpun untuk meremehkannya. Dan

sebaliknya Islam juga membangkitkan rasa tanggungjawab kemasyarakatan

pada manusia, mengorganisasi manusia di dalam masyarakat dan negara dan

mendorong pribadi agar berbuat baik untuk kemashlahatan (kebaikan)

bersama.

e. Universalitas dan humanitas. Pesan Islam disampaikan untuk seluruh umat

manusia. Allah dalam pengertian Islam adalah Tuhan bagi seluruh alam (lihat

QS. 1:1), dan Rasulullah SAW diutus bagi seluruh umat manusia (lihat QS.
7:158 dan QS. 21:107). Dalam Islam, seluruh manusia sama derajatnya, apapun

warna kulit, bahasa, ras atau nasionalitasnya. Semuanya di hadapan Allah

sama kecuali takwanya.

Dari prinsip-prinsip semacam di atas, seorang Muslim dapat menjadikan Islam

sebagai way of life (jalan hidup)-nya yang bersifat dinamis dan progresif mengikuti

perkembangan positif masyarakatnya, dan karena itu pula Islam memperkenalkan

dirinya sebagai agama yang universal, agama yang selalu sesuai kapan dan dimanapun

juga63

. Wa Allahu a‟lam!
DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Zainal, 1992, Seluk-Beluk Al-Qur`an, Jakarta: Rineka Cipta.

Ahmad, Khurshid dkk., Islam: Sifat, Prinsip Dasar dan Jalan Menuju Kebenaran,

Jakarta: Srigunting.

Ali, Abdullah dkk, 1994, Studi Islam I, Surakarta: PSIK-UMS.

Ali, Maulana Muhammad, 1980, Islamologi (Dinul Islam), terj. R. Kaelan & H.M.

Bachrun, Jakarta: PT. Ikhtiar Baru – Van Hoeve.

Al-Khallaf, Abd al-Wahhab, 1972, Ilmu Ushul al-Fiqh, Jakarta: al-Majlis al-`Ala al-

Indonesia li al-Da‟wah al-Islamiyah, cet.IX.

Al-Qattan, Manna‟ Khalil, 1996, Studi Ilmu-Ilmu al-Qur`an (terj.), Bogor: Litera Antar

Nusa.

Anshari, Endang Saifuddin, 1986, Wawasan Islam: Pokok-Pokok Fikiran tentang

Islam dan Umatnya, Jakarta: Rajawali

Ash-Shiddieqy, Muhammad Hasbi, 1999, Kriteria Sunnah dan Bid‟ah, Semarang: PT.

Pustaka Rizki Putra.

As-Shalih, Subhi, 1991, Membahas Ilmu-Ilmu al-Qur`an (terj.), Jakarta: Pustaka

Firdaus.

As-Suyuti, Imam, 1996, Apa itu al-Qur`an, Jakarta: Gema Insani Press.

Azami, M.M., 1994, Hadits Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, Jakarta: Pustaka

Firdaus.

Esack, Farid, 2000, Al-Qur`an, Liberalisme, Pluralisme: Membebaskan yang


Tertindas, ter. Watung A Budiman, Bandung: Mizan.

Madjid, Nurcholis, 1992, Islam Doktrin dan Peradaban, Sebuah Tela‟ah Kritis tentang

Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan, Jakarta: Paramadina.

Majid, Abdul dkk. 1995, Al-Islam I, Malang: LSIK-UMM

Munawir, Ahmad Warson, 1984, Kamus al-Munawwir, Jakarta: Pustaka Progresif.

Nasution, Harun, 1979, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, jilid I, Jakarta: UI-

Press.

_______, 1995, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran Prof. Dr. Harun Nasution,

Bandung: Mizan.

Nata, Abuddin, 1999, Metodologi Studi Islam, Jakarta: Rajawali Press

31

Rahman, Fazlur, 1993, Metode dan Alternatif Neomodernisme Islam, Bandung: Mizan.

Razak, Nasruddin, 1977, Dienul Islam, Bandung: al-Ma‟arif.

Shihab, Quraish, 1995, Membumikan al-Qur`an, Bandung: Mizan

_____, 1996, Wawasan al-Qur`an: Tafsir Maudlu‟i atas Berbagai Persoalan Umat,

Bandung: Mizan.

Smith, Huston, 1985, Agama Manusia, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Syaltut, Syeikh Mahmud, 1967, Islam Sebagai Aqidah dan Syari‟ah, (terj. H. Bustami

dkk.), Jakarta.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Islam sebagai the way of life
merupakan ajaran yang memberikan petunjuk, arah dan aturan-aturan (syariat) pada semua
aspek kehidupan manusia guna memperoleh kebahagian di dunia dan akhirat. Salah satu
aspek yang diatur dalam Islam adalah aspek muamalat, dalam hal ini penulis menekankan
pada bidang ekonomi. Ekonomi berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari dua kata, yakni
oikos yang berarti rumah tangga dan nomos yang berarti ilmu. Secara sederhana, ekonomi
dapat diartikan sebagai ilmu yang mempelajari bagaimana manusia mencukupi kebutuhan
hidupnya. Kegiatan ekonomi dalam Islam bersifat muamalah. Kegiatan muamalah
merupakan kegiatan-kegiatan yang menyangkut hubungan antar manusia. Kegiatan ini sama
halnya dengan transaksi, sebagaimana muamalah transaksi juga banyak macamnya salah
satunya yaitu sewa menyewa. Kajian hukum Islam tentang mu āmalah secara garis besar
terkait dengan dua hal. Pertama mu āmalah yang berkaitan dengan kebutuhan hidup yang
bertalian dengan materi dan inilah yang dinamakan dengan ekonomi. Sedangkan yang kedua,
mu āmalah yang terkait dengan pergaulan hidup yang dipertalikan oleh kepentingan moral
rasa kemanusiaan

Salah satu segi aturan hukum yang terdapat dalam al-Qur’an adalah masalah sewa menyewa.
Aspek kerjasama dan hubungan timbal balik antara manusia dalam hal sewa - menyewa
sangat penting peranannya dalam meningkatkan kesejahteraan hidup manusia. Adapun sistem
sewa-menyewa dalam Al-Qur’an telah diatur dan diperluas penjelasannya lebih rinci dalam
AlHadits. Dengan adanya dalil-dalil tersebut, maka sudah sepatutnya manusia mematuhi
aturan-aturan yang telah ditetapkan di dalamnya. Sewa-menyewa dalam bahasa Arab disebut
al-ijārah, menurut pengertian hukum Islam sewamenyewa itu diartikan sebagai suatu jenis
akad untuk mengambil manfaat dengan jalan penggantian.2 Adapun ketentuan al Qur’an
tentang sewamenyewa terdapat dalam surat Al-Zuḥruf, Ayat 32: ‫ب َۚك ِّ ِس ُمو َن َر ْح َم َت َر ُه ْم َي ْق َ أ‬
‫ي ِ َب ْع ُض ُ ْهم َب ْع ًضا ُس ْخر ِخ َذ ۗ َ ْفو َق‬ ْ ‫َۚيا‬
ً ّ ‫دن َ َحياِة الُّ ْ َن ْح ُن َق َس ْ َمنا َ ْبيَن ُ ْهم َ ِمعي َ َشت ُ ْهم ِفي ال َو َر ا َف ْعَنا َب‬
‫ ﴾ ِّ َو َر ْح َم ُت َر‬٢٣﴿ ‫يت ْع َض ُ ْهم ب َك َْخي ٌر ِ َّمما َي ْج َ ُمعو َن‬
َّ ََِŽ‫ َب ْع ٍض َد َر َجا ٍت ِل‬Artinya : “Apakah
mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka
penghidupan mereka dalam kehidupan di dunia, dan Kami telah meninggikan sebahagian
mereka atas sebahagian yang lain beberapa derajat, agar sebahagian mereka dapat
mempergunakan sebahagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang
mereka kumpulkan” (Q.S 43:32). 3 Dalam ayat tersebut di atas, Qatadah dan Al-Ḍaḥa’
berkomentar hendaklah sebagian mereka atas sebagian yang lainnya saling memberikan

Anda mungkin juga menyukai