PENGERTIAN ISLAM
a. Arti Islam Menurut Istilah Dan Bahasa
Dari segi bahasa, Islam berasal dari kata aslama yang berakar dari kata salama. Kata Islam
merupakan bentuk mashdar dari kata aslama. Ditinjau dari segi bahasanya yang dikaitkan dengan
asal katanya, Islam memiliki beberapa pengertian, diantaranya adalah:
1. Berasal dari ‘salm’ (ْ )السسللمyang berarti damai.
Kata salm memiliki arti damai atau perdamaian. Dan ini merupakan salah satu makna dan ciri
dari Islam, yaitu bahwa Islam merupakan agama yang senantiasa membawa umat manusia pada
perdamaian.
2. Berasal dari kata ‘aslama’ (ْ )أملسلمممyang berarti menyerah.
Hal ini menunjukkan bahwa seorang yang memeluk Islam merupakan seseorang yang secara
ikhlas menyerahkan jiwa dan raganya hanya kepada Allah SWT. Penyerahan diri seperti ini
ditandai dengan pelaksanaan terhadap apa-apa yang Allah SWT perintahkan serta menjauhi
segala laranganNya. Oleh karena itulah, sebagai seorang Muslim, hendaknya kita menyerahkan
diri kita kepada aturan Islam dan juga kepada kehendak Allah SWT. Karena Insya Allah dengan
demikian akan menjadikan hati kita tentram, damai dan tenang (baca; mutma’inah).
3. Berasal dari kata istaslama–mustaslimun ()الستملسلمممْ – مملستملسللمملومن: penyerahan total kepada Allah.
Makna ini sebenarnya sebagai penguat makna di atas (poin kedua). Karena sebagai seorang
Muslim, kita benar-benar diminta untuk secara total menyerahkan seluruh jiwa dan raga serta
harta atau apapun yang kita miliki, hanya kepada Allah SWT. Dimensi atau bentuk-bentuk
penyerahan diri secara total kepada Allah SWT adalah seperti dalam setiap gerak gerik,
pemikiran, tingkah laku, pekerjaan, kesenangan, kebahagiaan, kesusahan, kesedihan dan lain
sebagainya hanya kepada Allah SWT. Termasuk juga berbagai sisi kehidupan yang
bersinggungan dengan orang lain, seperti sisi politik, ekonomi, pendidikan, sosial, kebudayaan
dan lain sebagainya, semuanya dilakukan hanya karena Allah SWT dan menggunakan manhaj
Allah SWT melalui RasulNYA.
4. Berasal dari kata ‘saliim’ (ْ )مسللليممyang berarti bersih dan suci.
Hal ini menunjukkan bahwa Islam merupakan agama yang suci dan bersih, yang mampu
menjadikan para pemeluknya untuk memiliki kebersihan dan kesucian jiwa yang dapat
mengantarkannya pada kebahagiaan hakiki, baik di dunia maupun di akhirat. Karena pada
hakekatnya, ketika Allah SWT mensyariatkan ajaran Islam, adalah karena tujuan utamanya
untuk mensucikan dan membersihkan jiwa manusia.
5. Berasal dari ‘salam’ ( )مسلمممyang berarti selamat dan sejahtera.
Maknanya adalah bahwa Islam merupakan agama yang senantiasa membawa umat manusia pada
keselamatan dan kesejahteraan. Karena Islam memberikan kesejahteraan dan juga keselamatan
pada setiap insan yang dengan segenap hati mengikuti syar’iatNYA.
Islam menurut bahasa, islam memiliki arti ; selamat, kedamaian, sentausa, sedangkan dalam
istilah syar’i islam berserah diri, tunduk patuh, dengan kesadaraan yang tinggi tanpa paksaan.
Sedangkan islam secara makna, maka akan menjadi sangat luas jika dikaitkan dengan beberapa
arti di atas. Makna dalam arti kata selamat, maka islam adalah jalan hidup (way of life) satu-
satunya yang paling selamat mengantarkan manusia sampai tujuan akhirnya..yaitu kehidupan
akhirat. Dalam konteks perjalanan, tujuan hanya dapat dicapai melalui jalan yang ditempuh.
Sedangkan sebuah jalan, ia memiliki cara dan aturan.
Makna berserah diri, adalah ketika seseorang menyerahkan seluruh jalan hidupnya (tunduk
patuh) sesuai dengan aturan-aturan (syariat) dalam islam. Pendekatan untuk memahami hal ini
bisa kita pahami melalui uraian singkat berikut. Pada umumnya, manusia itu akan mengikuti
seseorang yang ia anggap lebih dari dirinya, itu sebabnya, maka di dunia ini ada kegiatan belajar
dan mengajar (murid dan guru). Orang yang lebih rendah ilmuya, pasti akan mengikuti seseorang
yang lebih tinggi ilmunya. Kaidah ini adalah kaidah yang universal, berlaku bagi setiap manusia.
Marilah kita melihat hal ini dalam konteks ilmu pengetahuan. Ketika ketinggian ilmu
pengetahuan manusia telah mencapai satu titik yang paling tinggi dari ilmunya, maka pada titik
puncaknya, manusia pasti akan menemukan kekuasaan dan keagungan Allah sebagai pemilik
ilmu sesuai yang sesuai dengan sifat-Nya. Contohnya seperti para pakar dan ilmuwan dari
berbagai disiplin ilmu pengetahuan pada abad ini telah mengungkapkan fakta dari kebenaran
penelitian mereka, yang ternyata semuanya ada di dalam Al Quran yang disampaikan oleh
Rasulullah +/- 14 abad yang lalu.
Tidak ada paksaan sedikitpun bagi manusia untuk masuk kedalam islam, tetapi sudah jelas mana
jalan yang benar dan mana jalan yang sesat, jalan yang selamat dan jalan yan celaka, sudah jelas
siapa yang membutuhkan dan siapa yang dibutuhkan..dengan catatan, hal ini hanya berlaku bagi
mereka yang mau mencari kebenaran yang hakiki. Dengan pemahaman yang singkat ini, maka
kita bisa melihat, di dalam Al Quran, semua Nabi memilih islam (jalan yang selamat) sebagai
dien mereka untuk mencapai tujuan akhir dari kehidupan mereka, yaitu kehidupan akhirat. Dien
sering di artikan dengan arti agama, tetapi dien memiliki makna yang lebih luas dari pada
sekedar ritual saja, dien bisa kita maknai dengan ‘the way of life’ (cara seseorang menjalankan
kehidupannya). Dan dien yang diridhoi di sisi Allah adalah ISLAM tidak ada dien yang diterima
oleh Allah selain itu, sebagaimana firman-Nya;
“Barang siapa mencari agama selain Islam, maka tidaklah akan diterima (agama itu)…” (Ali
Imran: 85).
b. Arti Islam Menurut Beberapa Para Ahli
Agama bagi kehidupan manusia menjadi pedoman hidup (way of life). Islam merupakan agama
dengan penganut mayoritas di Indonesia. Bila dilihat dari sumbernya, Islam termasuk agama
samawi. Yaitu agama yang diterima oleh manusia dari Allah SWT melalui malaikat JIbril dan
disampaikan serta disebarkan oleh RasulNya kepada umat manisa. Berikut ini adalah pengertian
dan definisi Islam menurut beberapa ahli:
1. George Sarton
Islam merupakan tatanan agama yang paling tepat sekaligus paling indah
2. Tolstoi
Islam merupakan ringkasan agama yang dikumandangkan Muhammad dan menyatakan bahwa
Allah itu satu, tiada Tuhan selain Dia. Sehingga tidak dibenarkan menyembah banyak Tuhan.
3. Leodourch
Sesungguhnya Islam itu adalah agama kemanusiaan alami, ekonomis dan sekaligus moralis
4. Massignon
Islam merupakan agama yang memiliki keistimewaan, bahkan Islam sebagi ide persamaan yang
benar dengan partisipasi semua anggota masyarakat.
5. Orientalis H. I
Islam adalah sebaik-baiknya agama dan ternyata Islam hingga dewasa kini masih tetap
merupakan akidah agama yang kukuh, yang memiliki kaidah kemasyarakatan yang merata, dan
sekaligus memiliki tatanan budi luhur yang sangat kuat.
6. Muhammad Bin Ibrahim Bin Abdullah At-Tawairjiri
Islam adalah penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah dengan mengesakan-Nya dan
melaksanakan syariat-Nya dengan penuh ketaatan atau melepaskan dari kesyirikan.
7. Umar Bin Khaththab
Islam adalah agama yang diturunkan Allah kepada Muhammad Saw. Agama ini meliputi:
Akidah, Syariat, dan Akhlak.
8. Abu Said Al-Hasan Al-Bashri
Islam ialah kepasrahan hati anda kepada Allah, lalu setiap orang muslim merasa selamat dari
gangguan anda.
C. Paham dan Aliran-aliran dalam Islam
1. Lahirnya Paham Khawarij
Timbulnya Khawarij setelah terjadinya peperangan Siffin diantara Ali dan Muawiyah.
Peperangan itu diakhiri dengan suatu gencatan senjata untuk mengadakan perundingan antara
kedua belah pihak. Golongan Khawarij adalah golongan pengikut Ali yang tidak setuju dengan
adanya gencatan senajata dan perundingan, Sebab itulah golongan ini memisahkan diri dari fihak
Ali. Maka timbullah Khawarij, suatu golongan yang menentang Ali dan menentang Muawiyah.
Golongan ini yang berkembang dan tersebar ke mana-mana dalam alam Islam pada masa itu.
Sehingga inilah salah satu aliran pula yang menjadi opposisi dari pemerintah Umawiyyah kelak,
sampi menjadikan sebab jatuhnya Daulah Umawiyah bagian timur. Fanatisme Islam dan
keikhlasan berjuang dan keberanian menghadapi maut yang luar biasa, golongan ini memang
dapat dibanggakan, bahkan kebanyakan tokoh-tokoh mereka sangat patuh menjalankan ibadah,
sehingga dinyatakan bahwa diantara kode-kode yang digunakan ialah : cahaya yang tampak
bersinar di atas dahi mereka, karena seiringnya digunakan untuk berwudhu dan shalat. Pada
umumnya golongan khwarij ini bersemboyan “tiadak ada hukum selain hukum Allah”.
Golongan Khawarij ini terdiri dari beberapa aliran lagi, tapi pada garis besarnya fahamnya sama,
yaitu sebagai berikut :
Menurut anggapan mereka : Ali, Usman dan orang yang turut dalam peperangan Jamal dan juga
orang-orang yang setuju tentang diadakannya perundingan antara ali dan Muawiyah, mereka
semuanya dihukumi Kafir. Setiap orang dari umat Muhammad yang terus menerus berbuat dosa
besar, hingga matinya belum taubat, maka dihukumi kafir dan akan kekal masuk neraka. Tapi
golongan Najadar, beranggapan hanya kafir terhadap nikmat Tuhan saja. Boleh tidak mematuhi
terhadap Khalifah, bila menurut anggapan mereka Khalifah itu zalim atau khianat.
2. Lahirnya Paham Murjiah
Aliran ini timbul di Damaskus pada akhir abad pertama Hijriyah. Golongan ini dinamakan
Murjiah, karena lafaz itu berarti menunda atau mengembalikan. Golongan ini berpendapat bahwa
seorang mukmin yang melakukan dosa besar itu ia tetap mukmin, tetapi ia tetap berdosa, sedang
ketentuan nasibnya terserah kepada Allah kelak di akherat, apakah dimaafkan atas rahmatnya
atau disiksa atas keadilan-Nya.
3. Lahirnya Paham Qodariyah
Aliran ini timbul kira-kira pada tahun 70 H. Yang dipelopori oleh Ma’abad Al-Jauhani Al-Bisri,
Gailan ad Dimsyqi dan lain-lain. Faham Qodariyah ini pada hakikatnya bagian dari faham
Mu’tazilah, karena imam-imamnya terdiri dari orang-orang Mu’tazilah, akan tetapi sepanjang
sejarah persoalan Qodariyah ini merupakan satu soal yang besar juga yang harus menjadi
perhatian. Timbulnya aliran Qodariyah ini di Irak pada zaman pemerintah Khalifah Abdul Malik
bin Marwan.
Aliran ini berpendapat, bahwa manusia itu mempunyai kekuasaan mutlak atas dirinya dan segala
amal perbuatannya. Dengan kemauan dan kekuasaan sendiri, manusia dapat berbuat baik atau
buruk dengan tidak ada kekuasaan lain yang memaksanya. Dasar fikiran ini adalah adanya
ketentuan pahala dan siksa, bagi mereka yang berbuat baik akan mendapat pahala dan mereka
yang berbuat dosa akan mendapat siksa.
4. Lahirnya Paham Jabariyah
Aliran jabariyah adalah golongan yang menentang gerakan Qodariyah. Yang mula-mula
membangun gerakan ini adalah Jaham bin Syafwan, makanya gerakan ini sering disebut
Jahamiyah. Jahamlah yang mula-mula mengatakan bahwa manusia adalah dalam keadaan
terpaksa, tidak bebas dan tidak mempunyai kekuasaan sesuatu, sesunguhnya Allah sajalah yang
menentukan sesuatu itu kepada seseorang, baik dia yang dikehendaki atau tidak.
Pendapat-pendapat golongan ini diantaranya adalah :
- Surga dan Neraka itu tidak abadi, yang abadi hanyalah Tuhan saja.
- Tuhan Allah tidak dapat dilihat kelak di akhirat.
- Tuhan itu tidak boleh mempunyai sifat-sifat yang bersamaan dengan makhluk, tuhan tidak
boleh dinyatakan mempunya sifat hayat, sebagaimana juga tidak boleh dinyatakan, bahwa tuhan
itu mempunyai sifat mati.
- Qur’an itu adalah sebagi makhluk Allah yang dibuatnya (artinya Hadits : Baru).
Adapun aliran-aliran Islam yang lahir diantaranya sebagai berikut:
a. Mu’tazilah
Pembangunan aliran ini adalah Abu Khuzafah Wasil Bin Ato’ Al-Ghazali. Timbulnya di zaman
Abdul Malik bin Marwan dan anaknya Hisyam bin Abdul Malik. Golongan ini dinamakan
Mu’tazilah, karena wasil itu memisahkan diri dari gurunya Al-Hasan Al-Basyri, karena
perbedaan pendapat tentang orang Islam yang mengerjakan maksiat dan dosa besar, hingga mati
ia belum juga tobat. Dalam masalah ini golongan Mu’tazilah menganggap mereka tidak mukmin
dan tidak kafir, tetapi Manzilah baina Manjilatain.
Sebagai keringkasan ajaran Mu’tazilah ini adalah sebagai berikut :
1. Orang Islam yang mengerjakan dosa besar, sehingga matinya belum taubat, maka orang itu
dihukumkan tidak kafir dan tidak mukmin, tapi antara keduanya itu (Manzilah baina
Manjilatain).
2. Tentang Qodar, mereka berpendapat sesungguhnya bukanlah Allah menjadikan segala
perbuatan ini, tetapi makhluk sendirilah yang menjadikan dan mengerjakan segala perbuatannya.
3. Tentang ketauhidan, Mu’tazilah menafi’kan Allah bersifat dengan sifat-sifat yang azali dari
ilmu Qudrot, Hayat dan sebagainya selain Zat-Nya saja, bahkan Allah tu bersifat Aliman,
Qodiron, Hayan, Sami’an, Basiran dan sebaginya dalah dengan Zat-Nya demikian.
4. Tentang akal, yaitu manusia dengan akalnya dapat mengetahui yang baik dan yang buruk,
sekalipun tidak diberikan oleh syara’.
5. Tentang janji dan sanki itu pasti terlaksana, janji dengan pahala sanki dengan siksa, janji
menerima taubat, Tuhan tidak akan memaafkan dosa besar tanpa taubat tidak akan menutupi
pintu pahala bagi orang yang akan bertaubat dan akan berbuat kebaikan.
b. Pemahaman aliran Ahlussunnah Wal-Jama’ah
Timbulnya golongan Ahlussunnah Wal-Jama’ah ialah pada abad III hijriyah. Pelopornya ialah
dua orang ulama besar dalam bidang ushuludin, yaitu syekh Abu Hasan Ali Al_asy’ari dan Syekh
Abu Mansur Al-Maturidi. Golongan Ahlussunnah Wal-Jama’ah ini timbul sebagai reaksi
terhadap firqah-firqah yang sesat. Perkataan Ahlussunnah Wal-Jama’ah kadang-kadang
dipendekan penyebutannya dengan Ahlussunnah Wal-Jama’ah atau Sunni saja dan kadang-
kadang disebut Asy’ariyah, dikaitkan pada guru besarnya yang pertama kali : Abu Hasan Ali Al-
Asy’ari. Dasar timbulnya aliran Ahlussunnah Wal-Jama’ah adalah ayat Allah Al-Qur’an dan
Hadits Nabi dasar ayatnya adalah :
Artinya : “Orang-orang yang terdahulu lagi
yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang
mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah
dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya
selama-lamanya. mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar.”(Q.S. At-Taubat :
100).
Adapun pokok-pokok ajaran aliran Ahlussunnah Wal-Jama’ah antara lain :
1. Allah SWT, memiliki sifat-sifat wajib, Mustahil dan Zaij
2. Tentang melihat Allah, Ahlussunnah Wal-Jama’ah berpendapat bahwa Allah SWT, akan dapat
dilihat di akhirat, berdasarkan firman-Nya :
×Artinya : “Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah
mereka Melihat.” (Q.S.75. Al-Qiyyamah : 22-23).
2. PENJELASAN ISLAM SEBAGAI AKIDAH DAN SISTEM KEYAKINAN
A. Pengertian, Definisi Aqidah.
Ajaran Islam merupakan ajaran yang sempurna, lengkap dan universal yang terangkum dalam 3
hal pokok; Aqidah, Syari’at dan Akhlak. Artinya seluruh ajaran Islam bermuara pada tiga hal ini.
Aqidah adalah bentuk masdar dari kata “aqda, ya’qidu ‘aqdan ‘aqidatan” yang berarti simpulan,
ikatan, sangkutan, perjanjian, dan kokoh. Sedang secara teknis akidah berarti iman, kepercayaan
dan keyakinan. Dan tumbuhnya kepercayaan tentunya di dalam hati, ia mengikatkan hati
seseorang yang diyakini atau diimaninya dan ikatan tersebut tidak oleh dilepaskan selama
hidupnya.
Ibnu Taimiyyah menerangkan makna akidah dengan suatu perkara yang harus dibenarkan dalam
hati, yang dengannya jiwa menjadi tenang sehingga jiwa itu menjadi yakin serta mantap tidak
dipengaruhi oleh keraguan dan juga tidak dipengaruhi oleh syakwasangka. Sedang Syekh Hasan
al-Banna menyatakan akidah sebagai sesuatu yang seharusnya hati membenarkannya sehingga
menjadi ketenangan jiwa, yang menjadikan kepercayaan bersih dari kebimbangan dan keraguan.
Kedua pengertian tersebut menggambarkan bahwa ciri-ciri akidah dalam Islam adalah sebagai
berikut:
1. Akidah didasarkan pada keyakinan hati, tidak menuntut yang serba rasional, sebab ada
masalah tertentu yang tidak rasional dalam akidah;
2. Akidah Islam sesuai dengan fitrah manusia sehingga pelaksanaan akidah menimbulkan
ketentraman dan ketenangan;
3. Akidah Islam diasumsikan sebagai perjanjian yang kokoh, maka dalam pelaksanaan akidah
harus penuh keyakinan tanpa disertai kebimbangan dan keraguan;
4. Akidah dalam Islam tidak hanya diyakini, lebih lanjut perlu pengucapan kalimah “thayyibah”
dan diamalkan dengan perbuatan shaleh;
5. Keyakinan dalam akidah Islam merupakan masalah yang supraempiris, maka dalil yang
dipergunakan dalam pencarian kebenaran tidak hanya didasarkan atas indra dan kemampuan
manusia, melainkan membutuhkan wahyu yang dibawa oleh para Rosul Allah.
Pada perkembangan selanjutnya, term akidah identik dengan term iman, tauhid, ushuluddin, ilmu
kalam, fiqh akbar, dan teologi jika akidah itu telah menjadi suatu disiplin ilmu tersendiri.
Menurut Mahmud Syaltout, akidah ialah sisi teoritis yang harus pertama kali diimani atau
diyakini dengan keyakinan yang mantap tanpa keraguan sedikitpun. Hal tersebut dibuktikan
dengan banyaknya nash-nash al-Qur’an maupun hadits mutawatiryang secara eksplisit
menjelaskan persoalan itu, disamping adanya konsensus para ulama sejak pertama kali ajaran
Islam didakwahkan oleh Rasulullah. Dan perkara itu pula yang menjadi inti ajaran Allah kepada
para Rasul sebelumnya. Al-Qur’an menyebut akidah dengan istilah “iman” sedangkan syari’ah
dengan istilah “amal shalih”. Adapun ayat-ayat yang berbicara tentang hubungan akidah dan
syari’at dijabarkan dengan hubungan dan keterkaitan antara iman dan amal saleh banyak sekali.
Lebih lanjut, Mahmud Syaltout mengelaborasi bahwa dalam ajaran Islam, akidah merupakan
landasan atau akar (al-ashl) sedangkan syari’ah merupkan batang, cabang-cabangnya (furu’). Hal
itu berimplikasi bahwa syari’ah tidak bisa berdiri sendiri atau tumbuh tanpa akar yang berupa
akidah. Dan syari’ah tanpa akidah bagaikan bangunan yang melayang karena tidak ada
pondasinya. Namun demikian, Islam menyatakan bahwa hubungan antara keduanya merupakan
suatu keniscayaan, yang artinya bahwa antara akidah dan syari’ah tidak bisa berdiri sendiri-
sendiri.
B. Pengertian, Definisi Syari’ah
Secara etimologi, Syari’ah(t) berarti jalan yang lurus (thariqoh mustaqimah) yang diisyaratkan
dalam QS. Al-Jatsiyah: 18. Atau jalan yang dilalui air untuk diminum, atau juga tangga atau
tempat naik yang bertingkat-tingkat. Sedngkan makna terminologi, syari’ah mempunyai
beberapa pengertian yang dikemukakan oleh beberapa ahli sebagai berikut:
Al-Thanawi menjelaskan bahwa syari’ah adalah hukum-hukum yang diadakan oleh Allah SWT
yang dibawa oleh salah satu Nabi-Nya, termasuk Nabi Muhammad SAW, baik hukum yang
berkaitan dengan cara berbuat yang disebut dengan “far’iyah atau amaliyah” yang untuknya
dihimpun Ilmu fiqh, maupun yang berkaitan dengan kepercayaan yang disebut dengan
“ashliyah” atau “i’tiqdiyah” yang untuknya dihimpun Ilmu Kalam.
Sedangkan Muhammad Sallam Madzkur menerangkan bahwa syari’ah adalah hukum yang
ditetapkan Allah SWT melalui Rosul-Nya, agar mereka mentaati hukum itu atas dasar iman, baik
yang berkaitan dengan akidah, amaliyah maupun akhlaq. Ketika dipakai dalam pembahasan
hukum, makna syari’ah adalah segala sesuatu yang disyari’atkan Allah kepada hamba-hamba-
Nya, sebagai jalan lurus untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Lalu, apakah syari’ah
tersebut mencakup aspek ajaran keagamaan atau tidak. Dalam hal ini, Manna’ al-Qathan
berpendapat bahwa istilah syari’ah itu mencakup akidah dan akhlaq disamping aspek hukum,
sebagaimana dia katakan bahwa syari’ah adalah segala ketentuan Allah yang disyari’atkan bagi
hamba-hamba-Nya. Dengan pengertiannya ini, dia ingin membedakan antara syari’ah sebagai
ajaran yang datang langsung dari Tuhan, dengan perundang-undangan hasil pemikiran manusia.
Namun dia mengidentikkan syari’ah dengan agama.
Mahmud Syaltout memberikan pengertian yang jelas, dia mengartikan bahwa syari’ah itu adalah
ketentuan-ketentuan yang ditetapkan Allah, atau hasil pemahaman atas dasar ketentuan tersebut,
untuk dijadikan pegangan oleh umat manusia baik dalam hubungannya dengan Tuhan, dengan
umat manusia lainnya, orang Islam dengan non-muslim, dengan alam, maupun dlam menata
kehidupan ini. Mahmud Syaltout lebih jauh berpendapat bahwa aspek akidah tidak termasuk
pada pembahasan dan kajian syari’ah karena akidah menurutnya merupakan landasan bagi
tumbuh dan berkembangnya syari’ah. Sedang syari’ah merupakan sesuatu yang harus tumbuh di
atas akidah tersebut. Namun, term syari’ah selanjutnya berkembang menjadi sebutan hukum
Islam karena pembuat hukum sebenarnya adalah Allah SWT. Dilihat dari segi ilmu hukum ini,
syari’ah merupakan norma hukum dasar yang ditetapkan Allah, yang wajib diikuti oleh orang
Islam berdasarkan iman yang berkaitan dengan akhlak, baik dlam hubungannya dengan Allah
maupun dengan sesama manusia dan benda dalam masyarakat. Menurut Muhammad Mushlih al-
Din, hukum Islam adalah sebagai perintah Allah yang diwahyukan kepada Muhammad SAW.
Ada dua istilah yang dipergunakan untuk menunjukkan hukum Islam, yakni 1) Syari’at Islam
dan 2) Fiqih Islam. Di dalam kepustakaan hukum Islam berbahasa Inggris, Syari’at Islam disebut
Islamic Law, sedang fiqh Islam Islamic Jurisprudence. Di dalam bahasa Indonesia, untuk syari’at
Islam, sering dipergunakan kata-kata hukum syari’at atau hukum syara’, untuk fiqh Islam
dipergunakan istilah hukum fiqhvatau kadang-kadang hukum (fiqh) Islam. Dalam praktek,
seringkali, kedua istilah itu dirangkum dalam kata hukum Islam, tanpa menjelaskan apa yang
dimaksud. Ini dapat dipahami karena hubungan keduanya memang sangat erat, dapat dibedakan,
tetapi tidk mungkin dipisahkan. Syari’at adalah landasan fiqh, fiqh adalah pemahaman tentang
syari’at. Perkataan ayari’at dan fiqh (kedua-duanya) terdapat di dalam al-Qur’an, syari’at dalam
QS. Al-Jatsiyah: 18 dan fiqh dalam QS. At-Taubah: 122.
Mungkin karena hubungannya yang sangat erat itulah, Imam Syafi’i mengatakan “Syari’at
adalah ‘peraturan-peraturan yang bersumber dari wahyu dan ‘kesimpulan-kesimpulan’ yang
dapat dianalisa dari wahyu itu mengenai tingkah laku manusia”. Dalam rumusan tersebut, ada
dua hal yang disatukan. Pertama adalah “peraturan-peraturan yang bersumber dari wahyu” yang
berarti syari’at dan kedua “kesimpulan-kesimpulam yang dapat dianalisis dari wahyu itu” yang
bermakna fiqh. Jika merujuk pada penjelasan diatas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut,
bahwa syari’ah merupakan sesuatu yang harus berlandaskan akidah dan pemahaman tentang
syari’ah disebut dengan fiqh.
C. Sistem Keyakinan Dalam Islam
Keyakinan merupakan dasar dari setiap gerak dan aktivitas hidup manusia. Karena itu manusia
secara fitri membutuhkan keyakinan hidup yang dapat menjadi pegangan dan sandaran bagi
dirinya. Tiap-tiap sistem keyakinan memiliki konsepsi tersendiri dalam mengantarkan
pengikutnya pada pemahaman dan kepercayaan terhadap tuhan. Pertama, sistem keyakinan yang
obyeknya didasarkan pada sesuatu yang nyata. Kebenaran diukur melalui indera dan
pengalaman. Sistem ini disebut kebenaran ilmiah. Secara filosofis kebenaran ilmiah memiliki
kelemahan karena tidak dapat menjelaskan sisi kehidupan yang berada di luar pengalaman
inderawinya. Salah satu di antaranya adalah mengenai Tuhan. Tuhan tak dapat diyakini
keberadaannya lewat bantuan sistem keyakinan ilmiah.
Kedua, sistem keyakinan yang didasarkan pada doktrin literal. Pada dasarnya, sistem keyakinan
literal mengingkari arti pentingnya akal sebagai sarana verifikasi kebenaran. Baginya, kebenaran
adalah sesuatu yang sudah jadi secara sempurna dan harus diterima tanpa perlu menyadarinya
terlebih dahulu. Akibat sistem keyakinan literal, manusia potensial melarikan diri dari kenyataan
dan tantangan zaman setelah telanjur mendikotomi antara doktrin ketundukan pada ayat suci
dengan peran-peran peradaban manusia. Islam mengajarkan sistem keyakinan yang disebut
Tauhid. Tauhid berbeda dengan dua sistem keyakinan di atas karena cara pandangnya terhadap
eksistensi (wujud). Tauhid merupakan konsepsi sistem keyakinan yang mengajarkan bahwa
Allah SWT adalah zat Yang Maha Esa, sebab dari segala sebab dalam rantai kausalitas. Ajaran
Tauhid membenarkan bahwa manusia dibekali fitrah yaitu suatu potensi alamiah berupa akal
sebagai bekal untuk memilih sikap yang paling tepat serta untuk mengenali dan memverifikasi
kebenaran dan kesalahan (haq dan bathil) secara sadar.
Pada sistem keyakinan lainnya, “Yang Maha” atau yang dirumuskan sebagai Tuhan, hanya
dijelaskan berdasarkan persepsi dan alam pikir manusia sendiri. Sedangkan dalam konsepsi
Tauhid, selain pencarian akal manusia sendiri sebagai alat mendekati kebenaran mutlak, juga
melalui wahyu di mana Tuhan menyatakan dan menjelaskan diri-Nya kepada manusia. Jadi,
Tauhid memberi tuntunan berupa wahyu Allah melalui para nabi. Tauhid merupakan inti ajaran
yang disampaikan pada seluruh manusia di setiap zaman. Ini berarti bahwa ajaran Tauhid adalah
ajaran universal.
3. PENJELASAN ISLAM SEBAGAI AGAMA DAN SISTEM IBADAH
4. PENJELASAN ISLAM SEBAGAI SITEM KEHIDUPAN (Islamic Way Life)
Islam sebagai agama sudah umum dipahami oleh kita, dimana adanya aktifitas yang
mengagungkan (taqdis) terhadap sesuatu yang lebih besar diluar dirinya. Tetapi apakah betul
Islam hanya sebuah agama semata semisal: ibadah mahdah (shalat, zakat, puasa, haji, dzikir dan
shadaqah) atau masalah akhlaq (hati). Sehingga muncul ungkapan: ”Jangan libatkan agama
dalam urusan politik!” atau slogan: “Islam yes, politik no!”, sehingga seolah-olah Islam
silahkan dijalankan dimesjid-mesjid dan diluar mesjid jangan melibatkan Islam. Islam tidak
hanya sebatas agama tetapi juga merupakan sebuah sistem kehidupan (ideologi) yang sangat
sempurna, Allah swt menciptakan manusia tentu tidak akan lupa untuk menciptakan juga aturan
yang dapat menyelamatkan manusia dari kesengsaraan didunia dan akhirat. Maha Suci Allah dari
segala keterlupaan itu. Sebagai acuan untuk mengatur sistem kehidupan adalah Al-Quran dan
Sunnah.
“Aku telah meninggalkan ditengah-tengah kalian dua perkara, kalian tidak akan pernah tersesat
selamanya selama kalian berpegang teguh pada keduanya, yakni Kitabullah dan Sunnah Nabi-
Nya” (HR Imam Malik). Untuk mengatur kehidupan ini, dapat diuraikan dalam 3 bagian:
1. Hubungan manusia dengan Tuhannya.
a. Aqidah: bagaimana manusia mengenal Tuhannya (Tauhid), Muhammad saw utusan-Nya, Al-
Quran sebagai kalamullah, dan lain-lain.
b. Ibadah: shalat, puasa, zakat, haji, dzikir, shadaqah, dan lain-lain.
2. Hubungan manusia dengan dirinya.
a. Akhlaq: sikap moral, sabar, kasih sayang, dan lain-lain.
b. Math’umat (makanan): keharaman babi, khamr, dan lain-lain.
c. Malbusat (pakaian): menutup aurat.
3. Hubungan manusia dengan manusia lainnya.
a. Mu’amalat: perdagangan, industri, kesehatan, sosial, pendidikan, dan lain-lain.
b. ‘Uqubat (sanksi): sanksi terhadap pelanggaran syari’at Islam seperti: had, qishash/jinayat,
ta’zir dan mukhallafat.
Dengan demikian Islam disamping sebuah agama juga sebuah sistem kehidupan, hanya saja
sangat disayangkan sistem kehidupan yang sangat sempurna ini, telah terbukti keberhasilan
penerapannya selama lebih 13 abad dan pasti benar karena berasal dari Allah swt, tidak bisa
diterapkan ditengah-tengah kehidupan kita dan masih sebatas konsep (fikrah) belaka.
Penerapannya masih sebatas ibadah, akhlaq, nikah atau waris, tetapi bagaimana dengan syari’at
Islam yang lain?.
Jika kita fokus kepada masalah tauhid saja, maka kita baru menjalankan Islam disisi hubungan
manusia dengan Tuhannya (aqidah). Jika kita fokus kepada dzikir saja, maka kita baru
menjalankan Islam disisi hubungan manusia dengan Tuhannya (ibadah). Jika kita fokus kepada
masalah akhlaq (hati) saja, maka kita baru menjalankan hubungan manusia dengan manusia lain
(akhlaq). Tetapi bagaimana dengan syari’at Islam lainnya? math’umat (makanan), malbusat
(pakaian), mu’amalat (perdagangan, industri, kesehatan, sosial, pendidikan, dan lain-lain),
‘uqubat (sistem sanksi atas pelaku kriminal), sudahkah kita memahami dan menjalankannya
sesuai Islam?. Makanan sudah halalkah?, pakaian sudah menutup auratkah?, masih korupsikah?,
masih menikmati bunga ribakah?, untuk menghukum pelaku kriminal masih menggunakan
hukum Belanda-kah?, dan lain-lain.
Padahal Allah swt memerintahkan kita menjalankan Islam secara kaffah (total), tidak mengambil
sebagian dan mengabaikan sebagian besar lainnya. Wahai orang-orang yang beriman masuklah
kamu kedalam Islam secara kaffah, dan janganlah kamu turuti langkah-langkah setan.
Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu (Al-Baqarah 208). Sesungguhnya orang-
orang yang kafir kepada Allah dan rasul-Nya dan hendak membedakan antara Allah dan Rasul-
Nya itu, dan berkata: “Kami mempercayai sebagian dan kafir kepada yang lain”. Dan mereka
bermaksud mencari jalan tengah (antara iman dan kafir). Mereka (yang bersikap demikian) itulah
yang kafir tulen, kami menyediakan bagi orang-orang yang kafir azab yang berat (An-Nisa’ 150-
151).
Padahal, tidak ada yang terbebas dari syari’at Islam kecuali 4 jenis manusia saja: anak kecil
hingga baligh, orang gila hingga waras, orang tidur hingga bangun dan orang mati. Kita
termasuk yang mana?, kalau bukan salah satu dari 4 jenis manusia tersebut maka kita wajib
menjalankan syari’at Islam seutuhnya/kaffah. Jika tidak diterapkan hukum-hukum Allah ini
secara sempurna, maka kita hanya bisa berharap-harap cemas agar Allah swt tidak menimpakan
adzabnya kepada kita, atau jangan-jangan kita telah mengalaminya saat ini. Jikalau sekiranya
penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka
berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa
mereka disebabkan perbuatannya (Al-A’raf 96). Telah terjadi kerusakan didarat dan dilaut karena
perbuatan tangan manusia, supaya Allah akan merasakan kepada mereka sebahagian (akibat
tindakan mereka) agar mereka kembali (kejalan yang benar) (Ar-Rum 41).
5. PENJELASAN FUNGSI AL-QU’AN SEBAGAI SUMBER HUKUM UTAMA
A. Al-Qur’an
Al-Qur’an merupakan sumber hukum Islam yang utama. Al-Qur’an bearti bacaan. Secara
maknawi Al-Qur’an adalah kalam Allah SWT. Al-Qur’an merupakan mukjizat yang diturunkan
(diwahyukan) kepada Nabi Muhammad SAW. Al-Qur’an bersifat universal. Universal dalam arti
cakupan sasaran seluruhnya umat manusia tanpa dibatasi ras (suku bangsa) dan wilayah serta
golongan atau strata sosial tertentu. Kedudukan Al-Qur’an adalah sebagai sumber hukum Islam.
Fungsi Al-Qur’an bagi seorang muslim adalah sebagai hukum islam maupun sebagai pedoman.
Melalui Al-Qur’an, Allah SWT memberi pedoman hidup/ penjelasan kepada manusia
diantaranya sebagai berikut:
1. Pemahaman Islam sebagai tauhid yang diridhoi Allah harus didasarkan kepada tuntunan Allah.
Semua keinginan Allah telah dituangkan kedalam kitab suci Al-Qur’an. Karena itu dasar
berpikir tentang Islam sebagai agama yang diridhoi Allah harus berlandaskan Al-Qur’an dan
tidak bertentangan dengan kitab suci sebelumnya.
2. Allah SWT telah menjelaskan bahwa kedengkian, kebencian, perselisihan, pertikaian,
perusakan dan perurusuan adalah sifat iblis atau setan yang terkutuk, bukan sifat manusia yang
meyakini Al-Qur’an sebagai pedoman hidupnya.
3. Demi mencapai keselamatan dan kesejahteraan bagi kehidupan manusia, Allah telah memberi
petunjuk kepada seluruh umat manusia untuk berpedoman kepada kitab suci yang diwahyukan
oleh Allah.
Al-Qur’an memiliki kelebihan dan keistimewaan tersebut antara lain sebagai berikut:
1. Al-Qur’an mengandung ajaran tauhid yang pernah dimuat pada kitab-kitab dan
mengoreksi penyelewengannya.
2. Al-Qur’an ditujukan bagi semua umat sepanjang masa. Adapun kitab-kitab sebelumnya
hanya untuk tertentu saja dan hanya untuk kurun waktu tertentu pula.
3. sebagai pedoman hidup abadi.
4. Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa yangsangat indah, mudah dibaca, diingat, dihafalkan
dan dipahami.
B. Sunnah
Sunnah didefenisikan sebagai jalan hidup. Fungsi sunnah terhadap Al-Qur’an menurut
Muhammad Abu Zahu yaitu:
1. Menegaskan kembali hukum-hukum yang sudah ditetapkan Al-Qur’an.
2. Memberikan penjelasan arti yang masih samar dalam Al-Qur’an.
3. Menetapkan hukum yang tidak dijelaskan dalam Al-Qur’an secara tegas.
4. Menaskahkan hukum-hukum yang ada di dalam Al-Qur’an.
C. Ijtihad
Secara bahasa Ijtihad artinya bersungguh-sungguh, sedangkan secara istilah Ijtihad artinya
berusaha dengan sungguh-sungguh atau mencurahkan tenaga dan pikiran untuk mendapatkan
hukum syara’ dari suatu masalah yang bersumber pada Al-Qur’an dan Hadits. Orang yang
melakukan Ijtihad disebut Mujtahid. Hasil ijtihad merupakan dasar hukum Islam yang ketiga
setelah Al-Qur’an dan Hadits, seorang Mujtahid harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1. Memahami Al-Qur’an dan Hadits dengan hukum-hukum, Asbabun Nuzul, tingkatan
Hadits dan Perawinya.
2. Memahami bahasa arab dengan kelengkapannya.
3. Memahami Ilmu Usul Fiqih secara luas.
4. Hal yang diijtihadkan bukan hukum syara’ yang sudah jelas dasar hukumnya.
5. Memahami soal Ijmak atau pendapat para ulama terdahulu
6. Orang Islam , dewasa, sehat akalnya, serta memiliki kecerdasan.
Alasan lain mengapa umat Islam berpegang pada hadits karena selain memang di perintahkan
oleh Al-Qur’an, juga untuk memudahkan dalam menentukan (menghukumi) suatu perkara yang
tidak dibicarakan secara rinci atau sama sekali tidak dibicarakan di dalam Al Qur’an sebagai
sumber hukum utama. Apabila Sunnah tidak berfungsi sebagai sumber hukum, maka kaum
Muslimin akan mendapatkan kesulitan-kesulitan dalam berbagai hal, seperti tata cara shalat,
kadar dan ketentuan zakat, cara haji dan lain sebagainya. Sebab ayat-ayat Al-Qur’an dalam hal
ini tersebut hanya berbicara secara global dan umum, dan yang menjelaskan secara terperinci
justru Sunnah Rasulullah. Selain itu juga akan mendapatkan kesukaran-kesukaran dalam hal
menafsirkan ayat-ayat yang musytarak (multi makna), muhtamal (mengandung makna alternatif)
dan sebagainya yang mau tidak mau memerlukan Sunnah untuk menjelaskannya. Dan apabila
penafsiran-penafsiran tersebut hanya didasarkan kepada pertimbangan rasio (logika) sudah
barang tentu akan melahirkan tafsiran-tafsiran yang sangat subyektif dan tidak dapat
dipertanggungjawabkan.
B. Hubungan Al-Hadits/As-Sunnah Dengan Al-Qur’an
Dalam hubungan dengan Al-Qur’an, maka As-Sunnah berfungsi sebagai penafsir, pensyarah,
dan penjelas daripada ayat-ayat tertentu. Apabila disimpulkan tentang fungsi As-Sunnah dalam
hubungan dengan Al-Qur’an itu adalah sebagai berikut :
1. Bayan Tafsir,
yaitu menerangkan ayat-ayat yang sangat umum, mujmal dan musytarak. Seperti hadits : “Shallu
kamaa ro-aitumuni ushalli” (Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihatku shalat) adalah
merupakan tafsiran daripada ayat Al-Qur’an yang umum, yaitu : “Aqimush-shalah” (Kerjakan
shalat). Demikian pula hadits: “Khudzu ‘anni manasikakum” (Ambillah dariku perbuatan hajiku)
adalah tafsir dari ayat Al-Qur’an “Waatimmulhajja” ( Dan sempurnakanlah hajimu ).
2. Bayan Taqrir,
yaitu As-Sunnah berfungsi untuk memperkokoh dan memperkuat pernyataan Al-Qur’an. Seperti
hadits yang berbunyi: “Shoumu liru’yatihiwafthiru liru’yatihi” (Berpuasalah karena melihat
bulan dan berbukalah karena melihatnya) adalah memperkokoh ayat Al-Qur’an dalam surat Al-
Baqarah : 185.
3. Bayan Taudhih,
yaitu menerangkan maksud dan tujuan sesuatu ayat Al-Qur’an, seperti pernyataan Nabi : “Allah
tidak mewajibkan zakat melainkan supaya menjadi baik harta-hartamu yang sudah dizakati”,
adalah taudhih (penjelasan) terhadap ayat Al-Qur’an dalam surat at-Taubah: 34, yang artinya
sebagai berikut : “Dan orang-orang yang menyimpan mas dan perak kemudian tidak
membelanjakannya dijalan Allah maka gembirakanlah mereka dengan azab yang pedih”. Pada
waktu ayat ini turun banyak para sahabat yang merasa berat untuk melaksanakan perintah ini,
maka mereka bertanya kepada Nabi yang kemudian dijawab dengan hadits tersebut.
C. Dapatkah As-Sunnah Berdiri Sendiri Dalam Menentukan Hukum
Dalam pembicaraan hubungan As-Sunnah dengan Al-Qur’an telah disinggung tentang bayan
tasyri’, yaitu hadits adakalanya menentukan suatu peraturan/hukum atas suatu persoalan yang
tidak disinggung sama sekali oleh Al-Qur’an. Walaupun demikian para Ulama telah berselisih
paham terhadap hal ini. Kelompok yang menyetujui mendasarkan pendapatnya pada ‘ishmah
(keterpeliharaan Nabi dari dosa dan kesalahan, khususnya dalam bidang syariat) apalagi sekian
banyak ayat yang menunjukkan adanya wewenang kemandirian Nabi saw. untuk ditaati.
Kelompok yang menolaknya berpendapat bahwa sumber hukum hanya Allah, Inn al-hukm illa
lillah, sehingga Rasul pun harus merujuk kepada Allah SWT (dalam hal ini Al-Quran), ketika
hendak menetapkan hukum.
Kalau persoalannya hanya terbatas seperti apa yang dikemukakan di atas, maka jalan keluarnya
mungkin tidak terlalu sulit, apabila fungsi Al-Sunnah terhadap Al-Quran didefinisikan sebagai
bayan murad Allah (penjelasan tentang maksud Allah) sehingga apakah ia merupakan penjelasan
penguat, atau rinci, pembatas dan bahkan maupun tambahan, kesemuanya bersumber dari Allah
SWT.
Sebenarnya dengan kedudukan Nabi sebagai Rasul pun sudah cukup menjadi jaminan (sesuai
dengan fungsinya sebagai tasyri’) adalah harus menjadi pedoman bagi umatnya, dan seterusnya.
Tetapi mereka yang keberatan, beralasan antara lain: Bahwa fungsi Sunnah itu tidak lepas dari
tabyin atas apa yang dinyatakan Al-Qur’an sebagaimana penegasan Allah:
“keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. dan Kami turunkan kepadamu Al Quran,
agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka” (An-
Nahl: 44)
Maka apa saja yang diungkap Sunnah sudah ada penjelasannya dalam Al-Qur’an meski secara
umum sekalipun. Sebab Al-Qur’an sendiri menegaskan
“Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab ini” (Al-An’am : 38)
Sebenarnya kedua pendapat itu tidak mempunyai perbedaan yang pokok. Walaupun titik tolak
berpikirnya berbeda, tetapi kesimpulannya adalah sama. Yang diperdebatkan keduanya adalah
soal adanya hadits yang berdiri sendiri. Apakah betul-betul ada atau hanya karena menganggap
Al-Qur’an tidak membahasnya, padahal sebenarnya membahas.
Seperti dalam soal haramnya kawin karena sesusuan, menurut pihak pertama adalah karena
ditetapkan oleh Sunnah yang berdiri sendiri, tetapi ketetapan itu adalah sebagai tabyin/tafsir
daripada ayat Al-Qur’an yang membahasnya secara umum dan tidak jelas. Mereka sama-sama
mengakui tentang adanya sesuatu tersebut tetapi mereka berbeda pendapat tentang apakah Al-
Qur’an pernah menyinggungnya atau tidak (hanya ditetapkan oleh Sunnah saja)
Dalam kasus-kasus persoalan lain sebenarnya masih banyak hal-hal yang ditetapkan oleh Sunnah
saja, yang barangkali sangat sulit untuk kita cari ayat Al-Qur’an yang membahasnya, walaupun
secara umum dan global. Oleh karena itulah kita cenderung untuk berpendapat sama dengan
pihak yang pertama.
D. Apakah Semua Perbuatan Nabi Muhammad Saw Dapat Berfungsi Sebagai Sumber Hukum,
Yang Harus Diikuti Oleh Setiap Muslim?
Pada dasarnya seorang Nabi punya peran sebagai panutan bagi umatnya. Sehingga umatnya
wajib menjadikan diri seorang Nabi sebagai suri tauladan dalam hidupnya.
Namun perlu juga diketahui bahwa tidak semua perbuatan Nabi menjadi ajaran yang wajib untuk
diikuti. Memang betul bahwa para prinsipnya perbuatan Nabi itu harus dijadikan tuntunan dan
panutan dalam kehidupan. Akan tetapi kalau kita sudah sampai detail masalah, ternyata tetap ada
yang menjadi wilayah khushushiyah beliau. Ada beberapa amal yang boleh dikerjakan oleh Nabi
tetapi haram bagi umatnya. Di sisi lain ada amal yang wajib bagi Nabi tapi bagi umatnya hanya
menjadi Sunnah. Lalu ada juga yang haram dikerjakan oleh Nabi tetapi justru boleh bagi
umatnya. Hal ini bisa kita telaah lebih lanjut dalam beberapa uraian berikut ini:
1. Boleh bagi Nabi, haram bagi umatnya
Ada beberapa perbuatan hanya boleh dikerjakan oleh Rasulullah SAW, sebagai sebuah
pengecualian. Namun bagi kita sebagai umatnya justru haram hukumnya bila dikerjakan.
Contohnya antara lain:
a. Berpuasa Wishal
Puasa wishal adalah puasa yang tidak berbuka saat Maghrib, hingga puasa itu bersambung terus
sampai esok harinya. Nabi Muhammad SAW berpuasa wishal dan hukumnya boleh bagi beliau,
sementara umatnya justru haram bila melakukannya.
b. Boleh beristri lebih dari empat wanita
Contoh lainnya adalah masalah kebolehan poligami lebih dari 4 isteri dalam waktu yang
bersamaan. Kebolehan ini hanya berlaku bagi Rasulullah SAW seorang, sedangkan umatnya
justru diharamkan bila melakukannya.
c. Yang wajib bagi Nabi, Sunnah bagi ummatnya
Sedangkan dari sisi kewajiban, ada beberapa amal yang hukumnya wajib dikerjakan oleh
Rasulullah SAW, namun hukumnya hanya Sunnah bagi umatnya, diantaranya:
1. Shalat Dhuha’ : Shalat dhuha’ yang hukumnya Sunnah bagi kita, namun bagi Nabi
hukumnya wajib.
2. Qiyamullail : Demikian juga dengan shalat malam (qiyamullaih) dan dua rakaat fajar.
Hukumnya Sunnah bagi kita tapi wajib bagi Rasulullah SAW.
3. Bersiwak : Selain itu juga ada kewajiban bagi beliau untuk bersiwak, padahal bagi
umatnya hukumnya hanya Sunnah saja.
4. Bermusyawarah : Hukumnya wajib bagi Nabi SAW namun Sunnah bagi umatnya.
5. Menyembelih kurban (udhhiyah) : Hukumnya wajib bagi Nabi SAW namun Sunnah bagi
umatnya.
d. Yang haram bagi Nabi tapi boleh bagi ummatnya
1. Menerima harta zakat : Semiskin apapun seorang Nabi, namun beliau diharamkan menerima
harta zakat. Demikian juga hal yang sama berlaku bagi keluarga beliau (ahlul bait).
2. Makan makanan yang berbau : Segala jenis makanan yang berbau kurang sedang hukumnya
haram bagi beliau, seperti bawang dan sejenisnya. Hal itu karena menyebabkan tidak mau
datangnya malakat kepadanya untuk membawa wahyu. Sedangkan bagi umatnya, hukumnya
halal, setidaknya hukumnya makruh. Maka jengkol, petai dan makanan sejenisnya, masih halal
dan tidak berdosa bila dimakan oleh umat Muhammad SAW.
3. Haram menikahi wanita ahlulkitab : Karena isteri Nabi berarti umahat muslim, ibunda orang-
orang muslim. Kalau isteri Nabi beragam nasrani atau yahudi, maka bagaimana mungkin bisa
terjadi. Sedangkan bagi umatnya dihalalkan menikahi wanita ahli kitab, sebagaimana telah
dihalalkan oleh Allah SWT di dalam Al-Quran surat Al-Maidah ayat 3.
Selain hal-hal yang diuraikan di atas, perbuatan-perbuatan Nabi Muhammad sebelum kerasulan
bukan merupakan sumber hukum dan tidak wajib diikuti. Walaupun oleh sejarah dicatat bahwa
perbuatan dan perkataan Nabi selalu terpuji dan benar, sehingga beliau mendapatkan gelar Al-
Amin. Akan tetapi kehiupannya waktu itu bisa dijadikan sebagai suatu contoh yang sangat baik
bagi kehidupan setiap setiap muslim. Sebagaimana bolehnya kita mengambil contoh atas
perbuatan-perbuatan yang baik walaupun dari orang luar Islam sekalipun.
Semua contoh di atas merupakan hasil istimbath hukum para ulama dengan cara memeriksa
semua dalil baik yang ada di dalam Al-Quran maupun yang ada di dalam Sunnah Nabi SAW.
7. PENJELASAN IJMA’ DAN QIYAS SEBAGAI DASAR HUKUM ISLAM IJTIHADI
A. Ijma’
1. Pengertian Ijma’
Ijma’ menurut bahasa Arab berarti kesepakatan atau sependapat tentang sesuatu hal, seperti
perkataan seseorang ( ) yang berati “kaum itu telah sepakat (sependapat) tentang yang
demikian itu.” Menurut istilah ijma’, ialah kesepakatan mujtahid ummat Islam tentang hukum
syara’ dari peristiwa yang terjadi setelah Rasulullah SAW meninggal dunia. Sebagai contoh ialah
setelah Rasulullah SAW meninggal dunia diperlukan pengangkatan seorang pengganti beliau
yang dinamakan khalifah. Maka kaum muslimin yang ada pada waktu itu sepakat untuk
mengangkat seorang khalifah dan atas kesepakatan bersama pula diangkatlah Abu Bakar RA
sebagai khalifah pertama. Sekalipun pada permulaannya ada yang kurang menyetujui
pengangkatan Abu Bakar RA itu, namun kemudian semua kaum muslimin menyetujuinya.
Kesepakatan yang seperti ini dapat dikatakan ijma’.
2. Dasar hukum ijma’
Dasar hukum ijma’ berupa aI-Qur’an, al-Hadits dan akal pikiran.
a. Al-Qur’an
Allah SWT berfirman:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan ulil amri
diantara kamu.” (an-Nisâ’: 59)
Perkataan amri yang terdapat pada ayat di atas berarti hal, keadaan atau urusan yang bersifat
umum meliputi urusan dunia dan urusan agama. Ulil amri dalam urusan dunia ialah raja, kepala
negara, pemimpin atau penguasa, sedang ulil amri dalam urusan agama ialah para mujtahid. Dari
ayat di atas dipahami bahwa jika para ulil amri itu telah sepakat tentang sesuatu ketentuan atau
hukum dari suatu peristiwa, maka kesepakatan itu hendaklah dilaksanakan dan dipatuhi oleh
kaum muslimin.Firman AIlah SWT:
Artinya: “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah dan janganlah kamu
bercerai-berai.” (Ali Imran: 103).
Ayat ini memerintahkan kaum muslimin bersatu padu, jangan sekali-kali bercerai-berai.
Termasuk dalam pengertian bersatu itu ialah berijma’ (bersepakat) dan dilarang bercerai-berai,
yaitu dengan menyalahi ketentuan-ketentuan yang telah disepakati oleh para mujtahid. Firman
Allah SWT:
Artinya: “Dan barangsiapa yang menantang Rasul setelah jelas kebenaran baginya dan mengikuti
jalan yang bukan jalan orang-orang yang beriman, Kami biarkan ia berkuasa terhadap kesesatan
yang telah dikuasainya itu dan Kami masukan ia ke dalam jahannam dan jahannam itu seburuk-
buruk tempat kembali.” (an-Nisâ’: 115).
Pada ayat di atas terdapat perkataan sabîlil mu’minîna yang berarti jalan orang-orang yang
beriman. Jalan yang disepakati orang-orang beriman dapat diartikan dengan ijma’, sehingga
maksud ayat ialah: “barangsiapa yang tidak mengikuti ijma’ para mujtahidin, mereka akan sesat
dan dimasukkan ke dalam neraka.”
b. AI-Hadits
Bila para mujtahid telah melakukan ijma’ tentang hukum syara’ dari suatu peristiwa atau
kejadian, maka ijma’ itu hendaklah diikuti, karena mereka tidak mungkin melakukan
kesepakatan untuk melakukan kesalahan apalagi kemaksiatan dan dusta, sebagaimana sabda
Rasulullah SAW:
Artinya: “umatku tidak akan bersepakat untuk melakukan kesalahan.”(HR. Abu Daud dan
Tirmidzi)
c. Akal pikiran
Setiap ijma’ yang dilakukan atas hukum syara’, hendaklah dilakukan dan dibina atas asas-asas
pokok ajaran Islam. Karena itu setiap mujtahid dalam berijtihad hendaklah mengetahui dasar-
dasar pokok ajaran Islam, batas-batas yang telah ditetapkan dalam berijtihad serta hukum-hukum
yang telah ditetapkan. Bila ia berijtihad dan dalam berijtihad itu ia menggunakan nash, maka
ijtihadnya tidak boleh melampaui batas maksimum dari yang mungkin dipahami dari nash itu.
Sebaliknya jika dalam berijtihad, ia tidak menemukan satu nashpun yang dapat dijadikan dasar
ijtihadnya, maka dalam berijtihad ia tidak boleh melampaui kaidah-kaidah umum agama Islam,
karena itu ia boleh menggunakan dalil-dalil yang bukan nash, seperti qiyas, istihsan dan
sebagainya. Jika semua mujtahid telah melakukan seperti yang demikian itu, maka hasil ijtihad
yang telah dilakukannya tidak akan jauh menyimpang atau menyalahi al-Qur’an dan al-Hadits,
karena semuanya dilakukan berdasar petunjuk kedua dalil ltu. Jika seorang mujtahid boleh
melakukan seperti ketentuan di atas, kemudian pendapatnya boleh diamalkan, tentulah hasil
pendapat mujtahid yang banyak yang sama tentang hukum suatu peristiwa lebih utama
diamalkan.
3. Rukun-rukun ijma’
Dari definisi dan dasar hukum ijma’ di atas, maka ulama ushul fiqh menetapkan rukun-rukun
ijma’ sebagai berikut:
1. Harus ada beberapa orang mujtahid dikala terjadinya peristiwa dan para mujtahid itulah
yang melakukan kesepakatan (menetapkan hukum peristiwa itu. Seandainya tidak ada
beberapa orang mujtahid di waktu terjadinya suatu peristiwa tentulah tidak akan terjadi
ijma’, karena ijma’ itu harus dilakukan oleh beberapa orang.
2. Yang melakukan kesepakatan itu hendaklah seluruh mujtahid yang ada dalam dunia
Islam. Jika kesepakatan itu hanya dilakukan oleh para mujtahid yang ada pada suatu
negara saja, maka kesepakatan yang demikian belum dapat dikatakan suatu ijma’.
3. Kesepakatan itu harus dinyatakan secara tegas oleh setiap mujtahid bahwa ia sependapat
dengan mujtahid-mujtahid yang lain tentang hukum (syara’) dari suatu peristiwa yang
terjadi pada masa itu. Jangan sekali-kali tersirat dalam kesepakatan itu unsur-unsur
paksaan, atau para mujtahid yang diharapkan kepada suatu keadaan, sehingga ia harus
menerima suatu keputusan. Kesepakatan itu dapat dilakukan dengan berbagai cara,
seperti dengan pernyataan lisan, dengan perbuatan atau dengan suatu sikap yang
menyatakan bahwa ia setuju atas suatu keputusan hukum yang telah disetujui oleh para
mujtahid yang lain. Tentu saja keputusan yang terbaik ialah keputusan sebagai hasil suatu
musyawarah yang dilakukan para mujtahid.
4. Kesepakatan itu hendaklah merupakan kesepakatan yang bulat dari seluruh mujtahid.
Seandainya terjadi suatu kesepakatan oleh sebahagian besar mujtahid yang ada, maka
keputusan yang demikian belum pasti ke taraf ijma’. Ijma’ yang demikian belum dapat
dijadikan sebagai hujjah syari’ah.
Pada masa sekarang telah banyak berdiri negara-negara Islam yang berdaulat atau suatu negara
yang bukan negara Islam tetapi penduduknya mayoritas beragama Islam atau minoritas
penduduknya beragama Islam. Pada negara-negara tersebut sekalipun penduduknya minoritas
beragama Islam, tetapi ada peraturan atau undang-undang yang khusus bagi umat Islam.
Misalnya India, mayoritas penduduknya beragama Hindu, hanya sebagian kecil yang beragama
Islam. Tetapi diberlakukan undang-undang perkawinan khusus bagi umat Islam. Undang-undang
itu ditetapkan oleh pemerintah dan parlemen India setelah musyawarah dengan para mujtahid
kaum muslimin yang ada di India. Jika persepakatan para mujtahid India itu dapat dikatakan
sebagai ijma’, maka ada kemungkinan terjadinya ijma’ pada masa setelah Khalifah Utsman
sampai sekarang sekalipun ijma’ itu hanya dapat dikatakan sebagai ijma’ lokal.
Jika demikian dapat ditetapkan definisi ijma’, yaitu keputusan hukum yang diambil oleh wakil-
wakil umat Islam atau para mujtahid yang mewakili segala lapisan masyarakat umat Islam.
Karena dapat dikatakan sebagai ulil amri sebagaimana yang tersebut pada ayat 59 surat an-Nisâ’
atau sebagai ahlul halli wal ‘aqdi. Mereka diberi hak oleh agama Islam untuk membuat undang-
undang atau peraturan-peraturan yang mengatur kepentingan-kepentingan rakyat mereka.
Hal yang demikian dibolehkan dalam agam Islam. Jika agama Islam membolehkan seorang yang
memenuhi syarat-syarat mujtahid untuk berijtihad, tentu saja beberapa orang mujtahid dalam
suatu negara boleh pula bersama-sama memecahkan permasalahan kaum muslimin kemudian
menetapkan suatu hukum atau peraturan. Pendapat sebagai hasil usaha yang dilakukan orang
banyak tentu lebih tinggi nilainya dari pendapat yang dilakukan oleh orang seorang.
5. Macam-macam ijma’
Sekalipun sukar membuktikan apakah ijma’ benar-benar terjadi, namun dalam kitab-kitab fiqh
dan ushul fiqh diterangkan macam-macam ijma’. Diterangkan bahwa ijma’ itu dapat ditinjau dari
beberapa segi dan tiap-tiap segi terdiri atas beberapa macam. Ditinjau dari segi cara terjadinya,
maka ijma’ terdiri atas:
1. ljma’ bayani, yaitu para mujtahid menyatakan pendapatnya dengan jelas dan tegas, baik
berupa ucapan atau tulisan. Ijma’ bayani disebut juga ijma’ shahih, ijma’ qauli atau ijma’
haqiqi;
2. Ijma’ sukuti, yaitu para mujtahid seluruh atau sebahagian mereka tidak menyatakan
pendapat dengan jelas dan tegas, tetapi mereka berdiam diri saja atau tidak memberikan
reaksi terhadap suatu ketentuan hukum yang telah dikemukakan mujtahid lain yang hidup
di masanya. Ijma’ seperti ini disebut juga ijma’ ‘itibari.
Ditinjau dari segi yakin atau tidaknya terjadi suatu ijma’, dapat dibagi kepada:
1. ljma’ qath’i, yaitu hukum yang dihasilkan ijma’ itu adalah qath’i diyakini benar
terjadinya, tidak ada kemungkinan lain bahwa hukum dari peristiwa atau kejadian yang
telah ditetapkan berbeda dengan hasil ijma’ yang dilakukan pada waktu yang lain;
2. ljma’ dhanni, yaitu hukum yang dihasilkan ijma’ itu dhanni, masih ada kemungkinan lain
bahwa hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan berbeda dengan hasil
ijtihad orang lain atau dengan hasil ijma’ yang dilakukan pada waktu yang lain.
Dalam kitab-kitab fiqh terdapat pula beberapa macam ijma’ yang dihubungkan dengan masa
terjadi, tempat terjadi atau orang yang melaksanakannya. Ijma’-ijma’ itu ialah:
1. Ijma’ sahabat, yaitu ijma’ yang dilakukan oleh para sahabat Rasulullah SAW;
2. Ijma’ khulafaurrasyidin, yaitu ijma’ yang dilakukan oleh Khalifah Abu Bakar, Umar,
Utsman dan Ali bin Abi Thalib. Tentu saja hal ini hanya dapat dilakukan pada masa ke-
empat orang itu hidup, yaitu pada masa Khalifah Abu Bakar. Setelah Abu Bakar
meninggal dunia ijma’ tersebut tidak dapat dilakukan lagi;
3. Ijma’ shaikhan, yaitu ijma’ yang dilakukan oleh Abu Bakar dan Umar bin Khattab;
4. Ijma’ ahli Madinah, yaitu ijma’ yang dilakukan oleh ulama-ulama Madinah. Ijma’ ahli
Madinah merupakan salah satu sumber hukum Islam menurut Madzhab Maliki, tetapi
Madzhab Syafi’i tidak mengakuinya sebagai salah satu sumber hukum Islam;
5. Ijma’ ulama Kufah, yaitu ijma’ yang dilakukan oleh ulama-ulama Kufah. Madzhab
Hanafi menjadikan ijma’ ulama Kufah sebagai salah satu sumber hukum Islam.
6. Obyek ijma’
Obyek ijma’ ialah semua peristiwa atau kejadian yang tidak ada dasarnya dalarn al-Qur’an dan
al-Hadits, peristiwa atau kejadian yang berhubungan dengan ibadat ghairu mahdhah (ibadat
yanng tidak langsung ditujukan kepada Allah SWT) bidang mu’amalat, bidang kemasyarakatan
atau semua hal-hal yang berhubungan dengan urusan duniawi tetapi tidak ada dasarnya dalam al-
Qur’an dan al-Hadits.
B. Qiyas
Qiyas Sebagian besar para ulama fiqh dan para pengikut madzhab yang empat sependapat bahwa
qiyas dapat dijadikan salah satu dalil atau dasar hujjah dalam menetapkan hukum dalam ajaran
Islam.
1. Pengertian qiyas
Qiyas menurut bahasa Arab berarti menyamakan, membandingkan atau mengukur, seperti
menyamakan si A dengan si B, karena kedua orang itu mempunyai tinggi yang sama, bentuk
tubuh yang sama, wajah yang sama dan sebagainya. Qiyas juga berarti mengukur, seperti
mengukur tanah dengan meter atau alat pengukur yang lain. Demikian pula membandingkan
sesuatu dengan yang lain dengan mencari persamaan-persamaannya.
Menurut para ulama ushul fiqh, ialah menetapkan hukum suatu kejadian atau peristiwa yang
tidak ada dasar nashnya dengan cara membandingkannya kepada suatu kejadian atau peristiwa
yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash karena ada persamaan ‘illat antara
kedua kejadian atau peristiwa itu.
Telah terjadi suatu kejadian atau peristiwa yang perlu ditetapkan hukumnya, tetapi tidak ada nash
yang dapat dijadikan dasar untuk menetapkannya. Untuk menetapkan hukumnya dapat ditempuh
dengan cara qiyas, yaitu dengan mencari peristiwa yang lain yang telah ditetapkan hukumnya
berdasar nash, serta antara kedua kejadian atau peristiwa itu ada persamaan ‘illat. Jadi suatu
qiyas hanya dapat dilakukan apabila telah diyakini bahwa benar-benar tidak ada satupun nash
yang dapat dijadikan dasar untuk menetapkan hukum suatu peristiwa atau kejadian. Karena itu
tugas pertama yang harus dilakukan oleh seorang yang akan melakukan qiyas, ialah mencari:
apakah ada nash yang dapat dijadikan dasar untuk menetapkan hukum dari peristiwa atau
kejadian. Jika telah diyakini benar tidak ada nash yang dimaksud barulah dilakukan qiyas. Agar
lebih mudah memahaminya dikemukakan contoh-contoh berikut:
1. Minum narkotik adalah suatu perbuatan yang perlu diterapkan hukumnya, sedang tidak
satu nashpun yang dapat dijadikan sebagai dasar hukumnya. Untuk menetapkan
hukumnya dapat ditempuh cara qiyas dengan mencari perbuatan yang lain yang telah
ditetapkan hukumnya berdasar nash, yaitu perbuatan minum khamr, yang diharamkan
berdasar firman Allah SWT.
Sebagai contoh adalah menjual harta anak yatim adalah suatu peristiwa yang perlu ditetapkan
hukumnya karena tidak ada nash yang dapat dijadikan sebagai dasarnya. Peristiwa ini disebut
fara’. Untuk menetapkan hukumnya dicari suatu peristiwa yang lain yang telah ditetapkan
hukumnya berdasar nash yang illatnya sama dengan peristiwa pertama. Peristiwa kedua ini
memakan harta anak yatim yang disebut ashal. Peristiwa kedua ini telah ditetapkan hukumnya
berdasar nash yaitu haram (hukum ashal) berdasarkan firman Allah SWT:
Artinya:
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara dhalim sebenarnya mereka
itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala
(neraka).”(an-Nisâ’: 10)
Persamaan ‘illat antara kedua peristiwa ini, ialah sama-sama berakibat berkurang atau habisnya
harta anak yatim. Karena itu ditetapkanlah hukum menjual harta anak yatim sama dengan
memakan harta anak yatim yaitu sama-sama haram.
Dari keterangan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:
- Ashal, ialah memakan harta anak yatim.
- Fara’, ialah menjual harta anak yatim.
- Hukum ashal, ialah haram.
- ‘Illat, ialah mengurangi atau menghabiskan harta anak yatim.
5. Syarat-syarat qiyas
Telah diterangkan rukun-rukun qiyas. Tiap-tiap rukun itu mempunyai syarat-syarat sebagai
berikut:
a. Ashal dan fara’
Telah diterangkan bahwa ashal dan fara’ berupa kejadian atau peristiwa. Yang pertama
mempunyai dasar nash, karena itu telah ditetapkan hukumnya, sedang yang kedua tidak
mempunyai dasar nash, sehingga belum ditetapkan hukumnya. Oleh sebab itu ashal disyaratkan
berupa peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan hukumnya berdasar nash, sedang fara’
berupa peristiwa yang belum ditetapkan hukumnya karena tidak ada nash yang dapat dijadikan
dasarnya. Hal ini berarti bahwa seandainya terjadi qiyas, kemudian dikemukakan nash yang
dapat dijadikan sebagai dasarnya, maka qiyas itu batal dan hukum fara’ itu ditetapkan berdasar
nash yang baru ditemukan itu.
b. Hukum ashal
Ada beberapa syarat yang diperlukan bagi hukum ashal, yaitu:
Hukum ashal itu hendaklah hukum syara’ yang amali yang telah ditetapkan hukumnya
berdasarkan nash. Hal ini diperlukan karena yang akan ditetapkan itu adalah hukum syara’,
sedang sandaran hukum syara’ itu adalah nash. Atas dasar yang demikian, maka jumhur ulama
tidak berpendapat bahwa ijma’ tidak boleh menjadi sandaran qiyas. Mereka menyatakan bahwa
hukum yang ditetapkan berdasarkan ijma’ adalah hukum yang ditetapkan berdasarkan
kesepakatan, tidak mempunyai sandaran, selain dari kesepakatan dari mujtahid. Karena hukum
yang ditetapkan secara ijma’ tidak dapat diketahui dengan pasti, sehingga tidak mungkin
mengqiyaskan hukum syara’ yang amali kepada hukum yang mujma’ ‘alaih. Asy-Syaukani
membolehkan ijma’ sebagai sandaran qiyas.
‘Illat hukum ashal itu adalah ‘illat yang dapat dicapai oleh akal. Jika ‘illat hukum ashal itu tidak
dapat dicapai oleh akal, tidaklah mungkin hukum ashal itu digunakan untuk menetapkan hukum
pada peristiwa atau kejadian yang lain (fara’) secara qiyas. Sebagaimana diketahui bahwa
syari’at itu ditetapkan untuk kemaslahatan manusia, serta berdasarkan ‘illat-’illat yang ada
padanya. Tidak ada hukum yang ditetapkan tanpa ‘illat. Hanya saja ada ‘illat yang sukar
diketahui bahkan ada yang sampai tidak diketahui oleh manusia, seperti apa illat shalat Dzuhur
ditetapkan empat raka’at, apa pula ‘illat shalat Maghrib ditetapkan tiga raka’at dan sebagainya
tidak ada yang mengetahui ‘illatnya dengan pasti. Disamping itu ada pula ada pula hukum yang
‘illatnya dapat diketahui dengan mudah, seperti kenapa diharamkan meminum khamar, haram
mengambil harta orang lain dan sebagainya. Hukum ashal kedua inilah yang dapat dijadikan
sandaran qiyas.Hukum ashal itu tidak merupakan hukum pengecualian atau hukum yang berlaku
khusus untuk satu peristiwa atau kejadian tertentu.
Hukum ashal macam ini ada dua macam, yaitu: ‘Illat hukum itu hanya ada pada hukum ashal
saja, tidak mungkin pada yang lain. Seperti dibolehkannya mengqashar shalat bagi orang
musafir. ‘IlIat yang masuk akal dalam hal ini ialah untuk menghilangkan kesukaran atau
kesulitan (musyaqqat) Tetapi al-Qur’an dan al-Hadits menerangkan bahwa ‘illat itu bukan karena
adanya safar (perjalanan).
Dalil (al-Qur’an dan al-Hadits) menunjukkan bahwa hukum ashal itu berlaku khusus tidak
berlaku pada kejadian atau peristiwa yang lain. Seperti beristri lebih dari empat hanya
dibolehkan bagi Nabi Muhammad SAW saja dan istri beliau itu tidak boleh kawin dengan laki-
laki lain walaupun beliau telah meninggal dunia, dan sebagainya.
c. ‘Illat
‘Illat ialah suatu sifat yang ada pada ashal yang sifat itu menjadi dasar untuk menetapkan hukum
ashal serta untuk mengetahui hukum pada fara’ yang belum ditetapkan hukumnya, seperti
menghabiskan harta anak yatim merupakan suatu sifat yang terdapat pada perbuatan memakan
harta anak yatim yang menjadi dasar untuk menetapkan haramnya hukum menjual harta anak
yatim.
Para ulama sepakat bahwa Allah SWT membentuk hukum dengan tujuan untuk kemaslahatan
hamba-hamba-Nya. Kemaslahatan itu adakalanya dalam bentuk mengambil manfaat (jalbul
manâfi’) dan adakalanya dalam bentuk menolak kerusakan dan bahaya (darul mafâsid). Kedua
macam bentuk hukum itu merupakan tujuan terakhir dari pembentukan hukum yang disebut
hikmah hukum.
Hikmah hukum berbeda dengan ‘illat hukum. Hikmah hukum merupakan pendorong
pembentukan hukum dan sebagai tujuannya yang terakhir ialah untuk kemaslahatan manusia di
dunia dan akhirat dengan memperoleh manfaat dan keuntungan serta terhindar dari segala
macam kerusakan. ‘Illat hukum suatu sifat yang nyata dan pasti ada pada suatu peristiwa yang
dijadikan dasar hukum.
‘IlIat merupakan sifat dan keadaan yang melekat pada dan mendahului peristiwa/perbuatan
hukum yang terjadi dan menjadi sebab hukum, sedangkan hikmah adalah sebab positif dan hasil
yang dirasakan kemudian setelah adanya peristiwa hukum. Sebagai contoh ialah seorang musafir
boleh mengqashar shalatnya, seperti mengerjakan shalat Dzuhur yang empat raka’at menjadi dua
raka’at dan sebagainya. Hikmahnya ialah untuk menghilangkan kemusyaqqatan atau
kemudharatan. Hikmah ini hanya merupakan dugaan saja dan tidak dapat dijadikan dasar ada
atau tidaknya hukum, sedang ‘illat adalah suatu yang nyata dan pasti, seperti safar (dalam
perjalanan) menyebabkan seseorang boleh mengqashar shalat.
Mengenai ‘illat hukum dan sebab hukum, ada yang tidak membedakannya, mereka menyamakan
arti kedua istilah tersebut. Sebagian ulama lagi membedakannya, sekalipun perbedaan itu sangat
sedikit. Menurut mereka ‘illat hukum dapat dicapai oleh akal, sedang sebab hukum ada yang
dapat dicapai akal dan ada yang sukar dicapai oleh akal. Sebenarnya untuk membedakan
pengertian kedua istilah itu sukar dilakukan, karena ada suatu peristiwa yang dalam peristiwa itu
‘illat dan sebabnya sama. Seperti tergelincir matahari pada siang hari merupakan sebab seorang
muslim wajib mengerjakan shalat Dzuhur, demikian pula terbenamnya matahari pada hari
terakhir bulan Sya’ban merupakan sebab kaum muslimin besoknya mengerjakan puasa bulan
Ramadlan. Tetapi terbenam dan tergelincirnya matahari itu bukanlah ‘illat hukum karena kedua
sebab itu tidak terjangkau oleh akal. Lain halnya dengan safar (dalam perjalanan) disamping ia
merupakan ‘illat hukum, juga merupakan sebab hukum yang membolehkannya untuk
mengqashar shalat. Dengan demikian dapat ditetapkan bahwa sebab itu lebih umum dari ‘illat,
dengan perkataan lain bahwa semua ‘illat dapat dikatakan sebab, tetapi belum tentu semua sebab
dapat dikatakan ‘illat.
1. Syarat-syarat ‘illat
Ada empat macam syarat-syarat yang disepakati ulama, yaitu:
Sifat ‘illat itu hendaknya nyata, masih terjangkau boleh akal dan pancaindera. Hal ini diperlukan
karena ‘illat itulah yang menjadi dasar untuk menetapkan hukum pada fara’. Seperti sifat
menghabiskan harta anak yatim, terjangkau oleh pancaindera dan akal, bahwa ‘illat itu ada pada
memakan harta anak yatim (ashal) dan terjangkau pula oleh pancaindera dan akal bahwa ‘illat itu
ada pada menjual harta anak yatim (fara’). Jika sifat ‘illat itu samar-samar, kurang jelas dan
masih ragu-ragu, tentulah tidak dapat digunakan untuk menetapkan ada dan tidaknya hukum
pada ashal.
Sifat ‘illat itu hendaklah pasti, tertentu, terbatas dan dapat dibuktikan bahwa ‘illat itu ada pada
fara’, karena asas qiyas itu adalah adanya persamaan illat antara ashal dan fara’. Seperti
pembunuhan sengaja dilakukan oleh ahli waris terhadap orang yang akan diwarisinya
hakekatnya adalah pasti, karena itu dapat dijadikan dasar qiyas atas peristiwa pembunuhan yang
dilakukan dengan sengaja oleh penerima wasiat terhadap orang yang telah memberi wasiat
kepadanya.
‘Illat harus berupa sifat yang sesuai dengan kemungkinan hikmah hukum, dengan arti bahwa
keras dugaan bahwa ‘illat itu sesuai dengan hikmah hukumnya. Seperti memabukkan adalah hal
yang sesuai dengan hukum haram minum khamar, karena dalam hukum itu terkandung suatu
hikmah hukum, yaitu memelihara akal dengan menghindarkan diri dari mabuk. Pembunuhan
dengan sengaja adalah sesuai dengan keharusan adanya qishash, karena dalam qishash itu
terkandung suatu hikmah hukum yaitu untuk memelihara kehidupan manusia.
‘Illat itu tidak hanya terdapat pada ashal saja, tetapi haruslah berupa sifat yang dapat pula
diterapkan pada masalah-masalah lain selain dari ashal itu. Seperti hukum-hukum yang khusus
berlaku bagi Nabi Muhammad SAW tidak dijadikan dasar qiyas. Misalnya mengawini wanita
lebih dari empat orang, berupa ketentuan khusus berlaku bagi beliau, tidak berlaku bagi orang
lain. Larangan isteri-isteri Rasulullah saw kawin dengan laki-Iaki lain setelah beliau meninggal
dunia, sedang wanita-wanita lain dibolehkan.
2. Pembagian ‘Illat
Ditinjau dari segi ketentuan pencipta hukum (syari’) tentang sifat apakah sesuai atau tidak
dengan hukum, maka ulama ushul membaginya kepada empat bagian, yaitu:
a. Munasib mu’tsir
Yaitu persesuaian yang diungkapkan oleh syara’ dengan sempurna, atau dengan perkataan lain
bahwa pencipta hukum (syari’) telah menciptakan hukum sesuai dengan sifat itu, seperti firman
Allah SWT:
Artinya:
“Mereka bertanya kepadamu tentang haid, katakanlah haid itu adalah suatu kotoran. Oleh sebab
itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid.” (al-Baqarah: 222)
Pada ayat di atas Allah SWT (sebagai syari’) telah menetapkan hukum, yaitu haram mencampuri
isteri yang sedang haid. Sebagai dasar penetapan hukum itu ialah kotoran, karena kotoran itu
dinyatakan dalam firman Allah SWT di atas sebagai ‘illatnya. Kotoran sebagai sifat yang
menjadi sebab haram mencampuri isteri yang sedang haid adalah sifat yang sesuai dan
menentukan penetapan hukum.
b. Munasib mulaim
Yaitu persesuaian yang diungkapkan syara’ pada salah satu jalan saja. Maksudnya ialah
persesuaian itu tidak diungkapkan syara’ sebagai ‘illat hukum pada masalah yang sedang
dihadapi, tetapi diungkapkan sebagai ‘illat hukum dan disebut dalam nash pada masalah yang
lain yang sejenis dengan hukum yang sedang dihadapi. Contohnya, ialah kekuasaan wali untuk
mengawinkan anak kecil yang di bawah perwaliannya tidak ada nash yang menerangkan
‘illatnya. Pada masalah lain yaitu pengurusan harta anak yatim yang masih kecil, syara’
mengungkapkan keadaan kecil sebagai ‘illat hukum yang menyebabkan wali berkuasa atas harta
anak yatim yang berada di bawah perwaliannya itu. Berdasarkan pengungkapan syara’ itu maka
keadaan kecil dapat pula dijadikan ‘illat untuk menciptakan hukum pada masalah lain, seperti
penetapan kekuasaan wali dalam mengawinkan anak yatim yang berada di bawah perwaliannya.
c. Munasib mursal
Ialah munasib yang tidak dinyatakan dan tidak pula diungkapkan oleh syara’. Munasib mursal
berupa sesuatu yang nampak oleh mujtahid bahwa menetapkan hukum atas dasarnya
mendatangkan kemaslahatan, tetapi tiada dalil yang menyatakan bahwa syara’ membolehkan
atau tidak membolehkannya, seperti membukukan al-Qur’an atau mushhaf, tidak ada dalil yang
membolehkan atau melarangnya. Tetapi Khalifah Utsman bin Affan melihat kemaslahatannya
bagi seluruh kaum muslimin, yaitu al-Qur’an tidak lagi berserakan karena telah tertulis dalam
satu buku serta dapat menghindarkan kaum muslimin dari kemungkinan terjadinya perselisihan
tentang dialek al-Qur’an.
d. Munasib mulghaa
Yaitu munasib yang tidak diungkapkan oleh syara’ sedikitpun, tetapi ada petunjuk yang
menyatakan bahwa menetapkan atas dasarnya diduga dapat mewujudkan kemaslahatan. Dalam
pada itu syara’ tidak menyusun hukum sesuai dengan sifat atau ‘illat tersebut, bahkan syara’
memberi petunjuk atas pembatalan atas sifat tersebut. Sebagai contohnya, ialah kedudukan laki-
Iaki dan perempuan dalam kerabat. Kemudian atas dasar persamaan itu mungkin dapat
ditetapkan pula persamaan dalam warisan. Tetapi syara’ mengisyaratkan pembatalannya dengan
menyatakan bahwa bagian laki-Iaki adalah dua kali bagian perempuan.
3. Musâlikul ‘illat (cara mencari ‘illat)
Musâlikul ‘illat, ialah cara atau metode yang digunakan untuk mencari sifat atau ‘illat dari suatu
peristiwa atau kejadian yang dapat dijadikan dasar untuk menetapkan hukum.
Diantara cara tersebut, ialah:
a. Nash yang menunjukkannya;
b. Ijma’ yang menunjukkannya
c. Dengan penelitian. Dengan penelitian ini terbagi kepada:
- Munasabah
- Assabru wa taqsîm
- Tanqîhul manath
- Tahqîqul manath
a. Nash yang menunjukkannya
Dalam hal ini nash sendirilah yang menerangkan bahwa suatu sifat merupakan ‘illat hukum dari
suatu peristiwa atau kejadian. ‘Illat yang demikian disebut ‘illat manshuh ‘alaih. Melakukan
qiyas berdasarkan ‘illat yang disebutkan oleh nash pada hakikatnya adalah menetapkan hukum
suatu dasar nash.
Petunjuk nash tentang sifat suatu kejadian atau peristiwa yang merupakan ‘illat itu ada dua
macam, yaitu sharahah (jelas) dan ima’ atau isyarah (dengan isyarat).
1. Dalalah sharahah
Ialah penunjuk lafadh yang terdapat dalam nash kepada ‘illat hukum jeIas sekali. Atau dengan
perkataan lain bahwa lafadh nash itu sendiri menunjukkan ‘illat hukum dengan jelas, seperti
ungkapan yang terdapat daIam nash : supaya demikian atau sebab demikian dan sebagainya.
Dalalah sharahah ada dua macam, yang pertama dalalah sharahah yang qath’i dan kedua
ialah dalalah sharahah yang dhanni.
Daialah sharahah yang qath’i, ialah apabila penunjukan kepada ‘illat hukum itu pasti dan yakin,
seperti firman AlIah SWT:
Artinya:
“(Mereka Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar
supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu…” (an-
Nisâ’: 165)
Ayat ini menyatakan bahwa ‘illat diutus para rasul yang membawa kabar gembira dan memberi
peringatan itu ialah agar manusia tidak mencari-cari alasan dengan mengatakan bahwa mereka
belum pernah mendapat peringatan dari rasul yang diutus kepada mereka. Perkataanli-allâ
yakûna dan ba’darrasûl merupakan ‘illat hukum yang pasti, tidak mungkin dialihkan kepada
yang lain.
Dengan sabda Nabi Muhhammad SAW:
Artinya: “Aku melarang kamu menyimpan daging binatang kurban tidak lain hanyalah karena
banyak orang berkumpul (memerlukan). Dan (jika tidak banyak orang memerlukan) makan,
simpanlah.” (HR. an-Nasâ’i)
Pada hadits di atas diterangkan ‘illat Rasulullah SAW melarang kaum muslimin menyimpan
daging kurban, yaitu karena banyak orang yang memerlukannya. ‘Illat larangan menyimpan
daging kurban itu tidak dapat ditetapkan orang lain, selain dari li ajliddâfah (karena banyak
orang memerlukannya).
Daialah sharahah yang dhanni, ialah apabila penunjuk nash kepada ‘illat hukum itu adalah
berdasar dengan keras (dhanni), karena kemungkinan dapat dibawa kepada ‘illat hukum yang
lain. Seperti firman Allah SWT:
Artinya:
“Dirikanlah shalat karena matahari tergelincir sampai gelap malam.” (al-Isrâ’; 78)
Dan firman Allah SWT:
Artinya:
“Maka disebabkan kedhaliman orang-orang Yahudi, kami haramkan atas mereka (memakan
makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka” (an-Nisâ’: 160)
Pada ayat pertama terdapat huruf al-lâm pada perkataan liduluki dan huruf al-bâ’ pada perkataan
fabidhulmi. Al-lâm berarti karena dan dapat pula berarti sesudah, sedang al-bâ’ berarti
disebabkan dan dapat pula berarti dengan. Kedua arti tersebut dapat digunakan, akan tetapi
menurut dugaan yang keras bahwa jika kedua huruf itu diartikan dengan karena dan disebabkan
maka akan memperjelas arti ayat tersebut.
2. Dalalah ima’ (isharah)
Ialah petunjuk yang dipahami dari sifat yang menyertainya, atau dengan perkataan lain ialah ada
suatu sifat yang menyertai petunjuk itu dan sifat itu merupakan ‘illat ditetapkannya suatu hukum
Jika penyertaan sifat itu tidak dapat dipahamkan demikian, maka tidak ada gunanya menyertakan
sifat itu. Ada beberapa macam dalalah ima’, diantaranya ialah:
1. Mengerjakan suatu pekerjaan karena terjadi suatu peristiwa sebelumnya. Seperti Nabi
Muhammad SAW mengerjakan sujud sahwi, karena beliau lupa mengerjakan salah satu
dari rukun shalat. Nabi Muhammad SAW memerintahkan seseorang memerdekakan
budak, karena ia telah bercampur dengan isterinya pada siang hari bulan Ramadlan. Dari
contoh di atas jelas bahwa karena ada peristiwa lupa menjadi ‘illat dilakukan sujud sahwi.
Karena bercampur dengan isteri pada siang hari bulan Ramadhan menjadikan ‘illat untuk
memerdekakan budak.
2. Menyebutkan suatu sifat bersamaan (sebelum atau sesudah) dengan hukum. Seandainya
sifat itu dipandang bukan sebagai ‘illat tentulah tidak perlu disebutkan. Contohnya,
adalah Nabi Muhammad SAW bersabda:
Artinya: “Seseorang tidak boleh memberi keputusan antara dua orang (yang berperkara) dalam
keadaan ia sedang marah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dari hadits di atas dipahamkan bahwa sifat marah disebut bersamaan dengan larangan memberi
keputusan antara dua orang berperkara yang merupakan ‘illat dari larangan mengadili
perselisihan itu.
c. Membedakan dua buah hukum dengan menyebutkan dua sifat yang berbeda pula, seperti
sabda Rasulullah SAW:
Artinya:
“Barisan berjalan kaki mendapat satu bagian, sedang barisan berkuda mendapat dua
bagian.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Barisan berjalan kaki dan barisan berkuda menjadi ‘illat perbedaan pembagian harta rampasan
perang.
d. Membedakan dua hukum dengan syarat, seperti firman Allah SWT:
Artinya:
“…Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalak) itu sedang hamil maka berikanlah mereka
nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu,
maka kepada mereka berikanlah upahnya…” (ath-Thalak: 6)
Pada ayat ini diterangkan bahwa hamil menjadi syarat (‘illat) wajibnya pemberian nafkah kepada
isteri yang ditalak bain dan rnenyusukan anak menjadi syarat (‘illat) pemberian upah
menyusukan anak.
e. Membedakan antara dua hukum dan batasan (ghayah), sebagaimana firman Allah SWT:
Artinya:
“…dan janganlah kamu mendekati mereka sehingga mereka suci.”(al-Baqarah: 222)
Pada ayat ini diterangkan bahwa kesucian mereka batas (‘illat) kebolehan suami mencampuri
isteri.
f. Membedakan antara dua hukum dengan pengecualian (istimewa), sebagaimana firman Allah
SWT:
Artinya: “Jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka,
padahal kamu sudah menentukan maharnya maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu
tentukan itu, kecuali jika isteri-isterimu itu memaafkan atau dimaafkan oleh orang yang
memegang ikatan nikah…” (al-Baqarah: 237)
Pada ayat ini diterangkan bahwa memaafkan merupakan pengecualian (‘illat) hapusnya
kewajiban membayar mas kawin.
g. Membedakan dua hukum dengan pengecualian (istidrak)
Ijtihad berasal dari kata jahada. Artinya mencurahkan segala kemampuan atau menanggung
beban kesulitan. Menurut bahasa, ijtihad adalah mencurahkan semua kemampuan dalam segala
perbuatan. Dalam ushul fiqh, para ulama ushul fiqh mendefinisikan ijtihad secara berbeda-beda.
Misalnya Imam as-Syaukani mendefinisikan ijtihad adalah mencurahkan kemampuan guna
mendapatkan hukum syara’ yang bersifat operasional dengan cara istinbat (mengambil
kesimpulan hukum.
Sementara Imam al-Amidi mengatakan bahwa ijtihad adalah mencurahkan semua kemampuan
untuk mencari hukum syara’ yang bersifat dhonni, sampai merasa dirinya tidak mampu untuk
mencari tambahan kemampuannya itu. Sedangkan imam al-Ghazali menjadikan batasan tersebut
sebagai bagian dari definisi al-ijtihad attaam (ijtihad sempurna).
Imam Syafi’I menegaskan bahwa seseorang tidak boleh mengatakan tidak tahu terhadap
permasalahan apabila ia belum melakukan dengan sungguh-sungguh dalam mencari sumber
hukum dalam permasalahan tersebut. Demikian juga, ia tidak boleh mengatakan tahu sebelum ia
sungguh-sungguh menggali sumber hukum dengan sepenuh tenaga. Imam Syafi-I hendak
menyimpulkan bahwa dalam berijtihad hendaklah dilakukan dengan sungguh-sungguh. Artinya,
mujtahid juga harus memiliki kemampuan dari berbagai aspek criteria seorang mujtahid agar
hasil ijtihadnya bisa menjadi pedoman bagi orang banyak.
Ahli ushul fiqh menambahkan kata-kata al-faqih dalam definisi tersebut sehingga definisi ijtihad
adalah pencurahan seorang faqih akan semua kemampuannya. Sehingga Imam Syaukani
memberi komentar bahwa penambahan faqih tersebut merupakan suatu keharusan. Sebab
pencurahan yang dilakukan oleh orang yang bukan faqih tidak disebut ijtihad menurut istilah.
Dalam definisi lain, dikatakan bahwa ijtihad yaitu mencurahkan seluruh kemampuan untuk
menetapkan hukum syara’ dengan jalan istinbat (mengeluarkan hukum) dari Kitabullah dan
Sunah Rasul. Menurut kelompok mayoritas, ijtihad merupakan pengerahan segenap kesanggupan
dari seorang ahli fiqih atau mujtahid untuk memperoleh pengertian terhadap sesuatu hukum
syara’. Jadi, yang ingin dicapai oleh ijtihad yaitu hukum Islam yang berhubungan dengan
tingkah laku dan perbuatan orang-orang dewasa. Ulama telah bersepakat bahwa ijtihad
dibenarkan, serta perbedaan yang terjadi sebagai akibat ijtihad ditolerir, dan akan membawa
rahmat saat ijtihad dilakukan oleh yang memenuhi persyaratan dan dilakukan di medannya
(majalul ijtihad).
4. Ijma Menurut Persfektip Ulama
Para ulama berbeda pendapat dalam menetapkan makna Ijma’ menurut arti istilah. Ini
dikarenakan perbedaan mereka dalam meletakkan kaidah dan syarat Ijma’. Namun definisi Ijma’
yang paling mendekati kebenaran adalah kesepakatan para ulama ahli ijtihad dari kalangan umat
Muhammad setelah wafatnya beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam pada masa tertentu atas suatu
perkara agama.
Para ulama ahli ijtihad terlibat dalam kesepakatan tersebut, baik dalam bentuk keyakinan,ucapan
dan perbuatan. Penyebutan kata “para ulama ahli ijtihad” dalam definisi ini memberikan makna
kesepakatan kalangan awam tidak termasuk ijma’. Karena kesepakatan dan perbedaan mereka
tidak perlu diperhitungkan begitu juga kesepakatan sebagian para ulama juga tidak bisa dianggap
ijma.
Ijtihad, maksudnya pengerahan kemampuan pikiran secara maksimal untuk menghasilkan
putusan hukum.(berdasarkan dalil-dalil syar’i,-red) Setelah wafat beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, (maksudnya Ijma’ itu terjadi setelah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, -red).
Karena Ijma’ pada masa hidup beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak dianggap, lantaran
semua hukum diputuskan secara langsung oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melalui
perantara wahyu. Pada masa tertentu, ini memberikan penegasan bahwa Ijma’ tidak harus
muncul dari kesepakatan para ulama sepanjang masa hingga Kiamat, bahkan hanya pada masa
hidupnya para ulama ahli ijtihad pada saat terjadinya masalah saja. Perkara agama, yaitu
mencakup semua urusan yang terkait dengan masalah syar’iyah,’aqliyah, ‘urfiyah dan bahasa.
Maksud umat adalah umat ijabah, atau mereka yang mengikuti ajaran dan Sunnah Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dengan demikian, berarti umat dari kalangan ahli bid’ah tidak
termasuk kelompok ahli ijtihad.
Ijma’ tidak hanya terjadi pada zaman tertentu saja. Di antara ulama ada yang membatasi Ijma’
hanya terjadi pada masa sahabat, seperti pernyataan Ibnu Hazm rahimahullah yang menukil dari
Sulaiman bahwa tidak ada Ijma’ kecuali Ijma’ Sahabat . Ada juga yang berpendapat bahwa Ijma’
bisa saja terjadi dalam masalah selain hukum syariat. Begitu pula ada sebagian ulama yang
hanya membatasi Ijma’ pada masalah hukum syariat saja, dan inilah pendapat yang benar kecuali
jika masalah selain agama tersebut ada kaitan erat dengan hukum agama Islam.
9. PENJELASAN TENTANG USHUL FIQH SEBAGAI ALAT IJTIHADI
Kalimat ushul fiqh terdiri dari dua kata, yaitu ushul dan fiqh. Kata Ushul jamak dari ashlun, yang
berarti pangkal, pokok, dasar dan lain sebagainya. Sedangkan fiqh, secara bahasa berarti
pemahaman. Secara istilah, fiqh adalah “Ilmu yang menjelaskan hukum-hukum syara’ yang
berkaitan dengan perbuatan manusia yang digali melalui dalil-dalilnya yang terperinci”.
Jumhur ulama Ushul Fiqh mendefinisikannya sebagai berikut:
“Himpunan kaidah (norma-norma) yang berfungsi sebagai alat penggalian syara’ dari dalil-
dalilnya.” Sedangkan menurut Abul Wahab Khalaf, seorang guru besar hukum di Universitas
Kairo Mesir menyatakan: Ilmu pengetahuan tentang kaidah-kaidah dan metode penggalian
hukum-hukum syara’ mengenai perbuatan manusia (amaliah) dari dalil-dalil yang terperinci atau
kumpulan kaidah-kaidah dan metode penelitian hukum syara’ mengenai perbuatan manusia
(amaliah) dari dalil-dalil yang terperinci. Yang dimaksud “dari dalil-dalilnya secara terperinci”
dalam pengertian di atas adalah dalil-dalil dari Al-Qur’an, Hadits, Ijma’, dan Qiyas, sebagaimana
yang menjadi dasar penetapan hukum Islam. Inti ushul fiqh adalah seperangkat kaidah (metode
berpikir) guna mendukung cara atau upaya yang ditempuh dalam proses penetapan hukum dari
dalil-dalil ataupun sumber-sumbernya.
Pengetahuan fiqh adalah formulasi dari nash syari’at yang berbentuk Al-Qur’an, Sunnah Nabi
dengan cara-cara yang disusun dalam pengetahuan ushul fiqh. Meskipun cara-cara itu disusun
lama sesudah berlalunya masa diturunkan Al-Qur’an dan diucapkannya sunnah oleh Nabi,
namun materi, cara dan dasar-dasarnya sudah mereka (para ulama Mujtahid) gunakan
sebelumnya dalam mengistinbathkan dan menentukan hukum. Dasar-dasar dan cara-cara
menentukan hukum itulah yang disusun dan diolah kemudian menjadi pengetahuan Ushul Fiqh.
Menurut Istilah yang digunakan oleh para ahli Ushul Fiqh ini, Ushul Fiqh ialah, suatu ilmu yang
membicarakan berbagai ketentuan dan kaidah yang dapat digunakan dalam menggali dan
merumuskan hukum syari’at Islam dari sumbernya. Dalam pemakaiannya, kadang-kadang ilmu
ini digunakan untuk menetapkan dalil bagi sesuatu hukum, kadang-kadang untuk menetapkan
hukum dengan mempergunakan dalil ayat-ayat Al-Qur’an dan Sunnah Rasul yang berhubungan
dengan perbuatan mukallaf, dirumuskan berbentuk “hukum Fiqh” (ilmu Fiqh) supaya dapat
diamalkan dengan mudah. Demikian pula peristiwa yang terjadi atau sesuatu yang ditemukan
dalam kehidupan dapat ditentukan hukum atau statusnya dengan mempergunakan dalil.
Jadi, ilmu Ushul Fiqh pada hakekatnya adalah metodologi hukum Islam (suatu metode yang
memuat prosedur dan teknik bagaimana hukum syari’at dapat dirumuskan untuk pedoman hidup
dan bagaimana jalan pikiran pembentukan hukum Islam tersebut).
Topik-topik dan ruang lingkup yang dibicarakan dalam pembahasan ilmu Ushul Fiqh meliputi:
1. Bentuk-bentuk dan macam-macam hukum, seperti hukum taklifi (wajib, sunnat, mubah,
makruh, haram) dan hukum wadl’i (sabab, syarat, mani’, ‘illat, shah, batal, azimah dan
rukhshah).
2. Masalah perbuatan seseorang yang akan dikenal hukum (mahkum fihi) seperti apakah
perbuatan itu sengaja atau tidak, dalam kemampuannya atau tidak, menyangkut hubungan
dengan manusia atau Tuhan, apa dengan kemauan sendiri atau dipaksa, dan sebagainya.
3. Pelaku suatu perbuatan yang akan dikenai hukum (mahkum ‘alaihi) apakah pelaku itu
mukallaf atau tidak, apa sudah cukup syarat taklif padanya atau tidak, apakah orang itu
ahliyah atau bukan, dan sebagainya.
4. Keadaan atau sesuatu yang menghalangi berlakunya hukum ini meliputi keadaan yang
disebabkan oleh usaha manusia, keadaan yang sudah terjadi tanpa usaha manusia yang
pertama disebut awarid muktasabah, yang kedua disebut awarid samawiyah.
5. Masalah istinbath dan istidlal meliputi makna zhahir nash, takwil dalalah lafazh, mantuq
dan mafhum yang beraneka ragam, ‘am dan khas, muthlaq dan muqayyad, nasikh dan
mansukh, dan sebagainya.
6. Masalah ra’yu, ijtihad, ittiba’ dan taqlid; meliputi kedudukan rakyu dan batas-batas
penggunannya, fungsi dan kedudukan ijtihad, syarat-syarat mujtahid, bahaya taqlid dan
sebagainya.
7. Masalah adillah syar’iyah, yang meliputi pembahasan Al-Qur’an, As-Sunnah, ijma’,
qiyas, istihsan, istishlah, istishhab, mazhabus shahabi, al-’urf, syar’u man qablana,
bara’atul ashliyah, sadduz zari’ah, maqashidus syari’ah/ususus syari’ah.
8. Masa’ah rakyu dan qiyas; meliputi. ashal, far’u, illat, masalikul illat, al-washful munasib,
as-sabru wat taqsim, tanqihul manath, ad-dauran, as-syabhu, ilghaul fariq; dan
selanjutnya dibicarakan masalah ta’arudl wat tarjih dengan berbagai bentuk dan
penyelesaiannya.
Ushul fiqh sebagai sebuah metode menjadi jawaban atas berbagai perbedaan yang
mengakibatkan pertentangan di masyarakat. Pada tingkatan atau level tertentu, pembelajaran
ushul fiqh menjadi hal yang penting adanya. Pengetahuan dan pemahaman ushul fiqh menjadi
jalan untuk terbukanya kembali pintu ijtihad. Namun sebagaimana fiqh, ushul fiqh pun memiliki
aliran-aliran karena para ulama tidak selalu sepakat dalam menetapkan istilah-istilah untuk suatu
pengertian dan dalam menetapkan jalan-jalan yang ditempuh dalam pembahasannya. Dalam hal
ini mereka terbagi menjadi dua aliran, yaitu Aliran Mutakallimin dan Aliran Hanafiyah.
1. Aliran Mutakallimin
Para ulama dalam aliran ini dalam pembahasannya dengan menggunakan cara-cara yang
digunakan dalam ilmu kalam yakni menetapkan kaidah ditopang dengan alasan-alasan yang kuat
baik naqliy (dengan nash) maupun ‘aqliy(dengan akal fikiran) tanpa terikat dengan hukum
furu’ yang telah ada dari madzhab manapun, sesuai atau tidak sesuai kaidah dengan hukum-
hukum furu’ tersebut tidak menjadi persoalan. Aliran ini diikuti oleh para ulama dari
golonganMu’tazilah, Malikiyah, dan Syafi’iyah.
2. Aliran Hanafiyah.
Para ulama dalam aliran ini, dalam pembahasannya, berangkat dari hukum-hukum furu’ yang
diterima dari imam-imam (madzhab) mereka; yakni dalam menetapkan kaidah selalu
berdasarkan kepada hukum-hukum furu ‘ yang diterima dari imam-imam mereka. Jika terdapat
kaidah yang bertentangan dengan hukum-hukum furu’ yang diterima dari imam-imam mereka,
maka kaidah itu diubah sedemikian rupa dan disesuaikan dengan hukum-hukum furu’ tersebut.
Jadi para ulama dalam aliran ini selalu menjaga persesuaian antara kaidah dengan hukum furu’
yang diterima dari imam-imam mereka.
10. PENJELASAN TENTANG SYARI’AT DAN FIQH
Islam sebagai agama dan suatu sistem hukum sering disalahfahami bukan hanya oleh orang-
orang non muslim saja, tetapi juga oleh orang-orang Islam itu sendiri. Sebagai suatu suatu sistem
hukum, hukum Islam dipelajari dan dikembangkan oleh para pemikir (ilmuan) Islam sehingga ia
menjadi disiplin ilmu yang mandiri. Konsekwensi sebagai suatu satu disiplin ilmu, hukum Islam
mengembangkan istilah-istilahnya sendiri sebagai disiplin ilmu yang lain. Oleh karena itu dalam
studi hukum Islam seringkali dijumpai istilah-istilah fiqh, syari’at dan hukum Islam.
A. Syari’at
Istilah syari’ah merupakan kata yang lumrah beredar di kalangan masyarakat Muslim dari masa
awal Islam, namun yang mereka gunakan selalu syara’i (bentuk jama’) bukan syari’at (bentuk
mufrad). Riwayat-riwayat menunjukkan bahwa orang-orang yang baru masuk Islam dan datang
kepada Rasulullah dari berbagai pelosok Jazirah Arab, meminta kepada Rasulullah agar
mengirim seseorang kepada mereka untuk mengajarkan syara’i Islam. Sedangkan istilah syari’ah
hampir-hampir tidak pernah digunakan pada masa awal Islam. Dari perkembangan makna, istilah
syari’at ini diperkenalkan dengan perubahan makna yang menyempit untuk membawakan makna
yang khusus, yakni ”Hukum Islam” pada masa kemudian.
Syari’ah adalah kosa kata bahasa Arab yang secara harfiah berarti ”suber air” atau ”sumber
kehidupan”, dalam Mukhtar al-Shihah diungkapkan sebagai berikut: Syari’ah adalah sumber air
dan ia adalah tujuan bagi orang yang akan minum. Syari’ah juga sesuatu yang telah ditetapkan
Allah SWT kepada hamba-Nya berupa agama yang telah disyari’atkan kepada mereka. Orang-
orang Arab menerapkan istilah ini khususnya pada jalan setapak menuju palung air yang tetap
dan diberi tanda yang jelas terlihat mata. Jadi, kata demikian ini berarti jalan yang jelas kelihatan
atau ”jalan raya” untuk diikuti. Al-quran menggunakan kata syir’ah dan syari’ah dalam arti
agama, atau dalam arti jalan yang jelas yang ditunjukkan Allah bagi manusia. Istilah syara’i
(bentuk jamak) digunakan pada masa Rasulullah dengan arti masalah-masalah pokok Islam.
Orang-orang Arab Badwi yang meminta kepada Nabi agar mengutus seseorang untuk mengaji
mereka syara’i Islam atau masalah-masalah pokok agama. Mereka ingin mempelajari dasar-dasar
dan kewajiban-kewajiban dalam Islam. Asumsi ini diperkuat oleh Hadits yang menyatakan
bahwa Rasulullah ketika ditanya mengenai syara’i Islam beliau menyebutkan bahwa syara’i
Islam itu adalah Sholat, Zakat, Puasa di bulan Ramadhan dan Haji. Dari sini terlihat bahwa
istilah syara’i berarti faraidh (kewajiban-kewajiban).
Sedangkan istilah syari’ah dalam konteks kajian hukum Islam lebih menggambarkan norma-
norma hukum yang merupakan hasil dari proses tasyri’, yaitu proses menetapkan dan membuat
syari’ah. Lebih lanjut terminologi syari’at dalam kalangan ahli hukum Islam mempunyai
pengertian umum dan khusus. Syari’at dalam arti umum merupakan keseluruhan jalan hidup
setiap muslim, termasuk pengetahuan tentang ketuhanan. Syari’at dalam arti ini sering disebut
dengan fiqh akbar.7〉 Sedangkan dalam pengertian khusus berkonotasi fiqh atau sering disebut
dengan fiqh asghar, yakni ketetapan hukum yang dihasilkan dari pemahaman seorang muslim
yang memenuhi syari’at tertentu tentang Al-Qur’an dan al-Sunnah dengan menggunakan metode
ushul Fiqh. Berdasarkan pengertian syari’ah itulah terbentuk istilah tasyri’ atau tasyri’ Islamiy
yang berarti peraturan perundang-undangan yang disusun sesuai dengan landasan dan prinsip-
prinsip yang terkadung di dalam Al-Qur’an dan al-Sunnah. Peraturan perundang-undangan
tersebut terumuskan ke dalam dua bagian besar, yakni bidang akidah (ibadah) dan bidang
muamalah. Kedua pembagian tersebut diperluas menjadi:
Akidah : berisi tentang ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan keyakinan.
Ibadah : berisi tentang ketentuan-ketentuan mengenai hubungan langsung antara manusia
dengan Allah.
Mu’amalah : berisi tentang ketentuan-ketentuan mengenai hubungan dengan sesama manusia
seperti jual beli, kerjasama, perjanjian, dll.
Munakahat : berisi tentang ketentuan-ketentuan yang berkaitan mengenai hubungan seseorang
dalam keluarga seperti nikah, thalak, nafkah dll.
Jinayat : berisi tentang ketentuan-ketentuan yang berkaitan pidana seperti, qishash, diyat,
kifarat, zina, pembunuhan dll.
Siyasah : berisi tentang ketentuan-ketentuan yang menyangkut masalah sosial politik
seperti musyawarah, perdamaian, keadilan, kepemimpinan, dll.
Akhlak : berisi tentang ketentuan-ketentuan yang berkaitan sikap, hidup pribadi seperti
syukur, qanaah, istiqomah, dll.
Fiqh ibadah meliputi aturan puasa, zakat, haji dan sebagainya yang ditujukan untuk mengatur
hubungan antara manusia dengan Tuhannya. Adapun Fiqh Muamalah diantaranya mengatur
tentang perikatan, sangsi hukum. Dan aturan selain yang diatur dalam fiqh ibadah dan bertujuan
untuk mengatur subjek hukum baik secara indiviual maupun secara komunal.
B. Fiqh/Fikih
Fiqh secara harfiah bearti memahami atau mengerti tentang sesuatu, dan dalam pengertian ini
fiqh dan fahm adalah sinonim. Dalam kitab Mukhtar as-Shihhah diungkapkan sebagai berikut :
Kata fiqh pada mulanya oleh orang-orang arab bagi seseorang yang ahli dalam mengawinkan
onta, yang mampu membedakan mana yang betina dan mana yang jantan. Dengan sendirinya,
ungkapan fiqh dikalangan mereka sudah lumrah digunakan.9〉 Dari ungkapan ini, dapat diberi
pengertian ”pemahaman dan pengertian yang mendalam tentang suatu hal”. Al-Qur’an
menggunakan kata fiqh dalam pengertian ”memahami” secara umum sebanyak 20 kali.
Ungkapan al-Quran (agar mereka melakukan pemahaman dalam agama), menujunkkan bahwa di
masa Rasul istialh fiqh tidak hanya digunakan dalam pengertian hukum saja, tetapi mempunyai
arti yang lebih luas mencakup semua aspek kehidupan dalam Islam, baik theologis, ekonomis
dan hukum.
Pada periode awal kita temukan sejumlah istilah seperti fiqh, ‘ilm, iman, tauhid, tazkir dan
hikmah, yang digunakan dalam pengertian yang sangat luas, tetapi dikemudian hari arti yang
banyak itu menyatu dalam pengertian yang sangat sempit dan khusus. Alasan terjadinya
perubahan ini adalah karena masyarakat muslim semasa hidup Rasul tidaklah komplek dan
beraneka ragam sebagaimana tumbuh berkembangnya Islam kemudian. Pada masa awal Islam
istilah fiqh dan ilm sering digunakan bagi pemahaman secara umum. Rasul pernah mendoakan
Ibnu Abbas dengan mengatakan (ya Allah berikanlah dia pemahaman dalam agama). Dari
statemen tersebut bisa kita tangkap bahwa maksud dari pemahaman tersebut adalah bukan hanya
bidang hukum semata, melainkan juga pemahaman tentang Islam secara luas.
Berdasarkan pengertian etimologis inilah bahwa terminologi fiqh berarti memahami dan
mengetahui wahyu (baik al-Quran maupun al-Sunnah) dengan menggunakan penalaran akal dan
metode tertentu sehingga diketahui bahwa ketentuan hukum dari mukallaf (subjek hukum)
dengan dalil-dalil yang rinci. Metode yang digunakan untuk mengetahui dan memahami
ketentuan hukum ini kemudian menjadi disiplin ilmu tersendiri yang dikenal dengan Ushul fiqh,
yang dapat diterjemahkan dengan teori hukum Islam. Usul fiqh memuat prinsip-prinsip
penetapan hukum berdasarkan qaidah-qaidah kebahasaan (pola penalaran bayani), qaidah yang
berdasarkan rasio (penalaran talili) dan qaidah pengecualian (penalaran istihsani).
11. PENJELASAN TENTANG ISLAM HISTORIS DAN ISLAM IDEAL
A. Islam Historis
Dalam pemahaman kajian Islam historis, tidak ada konsep atau hukum Islam yang bersifat tetap.
Semua bisa berubah. Mereka berprinsip: bahwa pemahaman hukum Islam adalah produk
pemikiran para ulama yang muncul karena konstruk sosial tertentu. Mereka menolak
universalitas hukum Islam. Akan tetapi, ironisnya pada saat yang sama, kaum gender ini justru
menjadikan konsep kesetaraan gender sebagai pemahaman yang universal, abadi, dan tidak
berubah. Paham inilah yang dijadikan sebagai parameter dalam menilai segala jenis hukum
Islam, baik dalam hal ibadah, maupun muamalah.
Islam historis merupakan unsur kebudayaan yang dihasilkan oleh setiap pemikiran manusia
dalam interpretasi atau pemahamannya terhadap teks, maka islam pada tahap ini terpengaruh
bahkan menjadi sebuah kebudayaan. Dengan semakin adanya problematika yang semakin
kompleks, maka kita yang hidup pada era saat ini harus terus berjuang untuk menghasilkan
pemikiran-pemikiran untuk mengatasi problematika kehidupan yang semakin kompleks sesuai
dengan latar belakang kultur dan sosial yang melingkupi kita, yaitu Indonesia saat ini. Kita perlu
pemahaman kontemporer yang terkait erat dengan sisi-sisi kemanusiaan-sosial-budaya yang
melingkupi kita.
Perbedaan dalam melihat Islam yang demikian itu dapat menimbulkan perbedaan dalam
menjelaskan Islam itu sendiri. Ketika Islam dilihat dari sudut normatif, maka Islam merupakan
agama yang di dalamnya berisi ajaran Tuhan yang berkaitan dengan urusan akidah dan
mu’amalah. Sedangkan ketika Islam dilihat dari sudut histories atau sebagaimana yang nampak
dalam masyarakat, maka Islam tampil sebagai sebuah disiplin ilmu (Islamic Studies).
Sejarah atau histories adalah suatu ilmu yang di dalamnya dibahas berbagai peristiwa dengan
memperhatikan unsure tempat, waktu, obyek, latar belakang, dan pelaku dari peristiwa tersebut.
Menurut ilmu ini segala peristiwa dapat dilacak dengan melihat kapan peristiwa itu terjadi, di
mana, apa sebabnya, siapa yang terlibat dalam peristiwa tersebut.
Melalui pendekatan sejarah seorang diajak menukik dari alam idealis ke alam yang bersifat
emiris dan mendunia. Dari keadaan ini seseorang akan melihat adanya kesenjangan atau
keselarasan antara yang terdapat dalam alam idealis dengan yang ada di alam empiris dan
histories.Pendekatan kesejarahan ini amat dibutuhkan dalam memahami agama, karena gama itu
sendiri turun dalam situasi yang konkret bahkan berkaitan dengan kondisi social
kemasyarakatan.
Dalam pemahaman kajian islam historis, tidak ada konsep atau hukum islam yang bersifat tetap
semua bisa berubah. Kaum historis memiliki pemahaman tentang hukum islam yang mana
hukum islam itu adalah produk dari pemikiran ulama yang muncul karena konstruk social
tertentu. Dalam kajian islam historis ditekankan aspek relitivitas pemahaman keagamaan.
Pemahaman manusia terhadap ajaran agamanya adalah bersifat relatif dan terkait dengan konteks
budaya social tertentu. Kajian islam historis melahirkan tradisi atau disiplin studi empiris:
antropologi agama, sosiologi agama, psikologi agama dan sebagainya.
1. Antropologi agama: disiplin yang mempelajari tingkah laku manusia beragama dalam
hubungannya dengan kebudayaan.
2. Sosiologi agama: disiplin yang mempelajari sistem relasi sosial masyarakat dalam
hubungannya dengan agama
3. Psikologi agama: disiplin yang mempelajari aspek-aspek kejiwaan manusia dalam
hubungannya dengan agama
4. B. Islam Ideal
Islam Ideal adalah islam pada dimensi sakral yang diakui adanya realitas transendetal yang
bersifat mutlak dan universal, melampaui ruang dan waktu atau sering disebut realitas ke-Tuhan-
an. Islam historis adalah islam yang tidak bisa dilepaskan dari kesejarahan dan kehidupan
manusia yang berada dalam ruang dan waktu. Islam yang terangkai dengan konteks kehidupan
pemeluknya. Oleh karenanya realitas kemanusiaan selalu berada dibawah realitas ke-Tuhan-an.
Pada umumnya normativitas ajaran wahyu dibangun, diramu, dibakukan dan ditelaah lewat
berbagai suatu pendekatan doktrinal teologis. Sedangkan historisitas keberagaman manusia
ditelaah lewat berbagai sudut pendekatan sosial-keagamaan yang bersifat multi dan
interdisipliner, baik lewat pendekatan historis, filosofis, psikologis, sosiologis, kultural maupun
antropologis.
Sebuah pendekatan yang lebih menekankan aspek normatif dalam ajaran Islam sebagaimana
terdapat dalam Alqur’an dan Sunnah. Dalam pandangan islam normatif kemurnian islam
dipandang secara tekstual berdasarkan Alqur’an dan Hadits selain itu dinyatakan bid’ah. Kajian
islam normative Melahirkan tradisi teks :tafsir, teologi, fiqh, tasawuf, filsafat.
1. Tafsir: tradisi penjelasan dan pemaknaan kitab suci.
2. Teologi : tradisi pemikiran tentang persoalan ketuhanan
3. Fiqh : tradisi pemikiran dalam bidang yurisprudensi (tata hukum)
4. Tasawuf : tradisi pemikiran dan laku dalam pendekatan diri pada Tuhan
5. Filsafat : tradisi pemikiran dalam bidang hakikat kenyataan, kebenaran dan kebaikan
6. 12. PENJELASAN TENTANG ISLAM TRADISIONAL DAN KONTEKSTUAL
Islam adalah agama samawi yang diturunkan Allah melalui Nabi Muhammad SAW yang
ajarannya terdapat dalam Al-Qur’an dan Sunnah dalam bentuk perintah, larangan serta petunjuk
untuk kebaikan manusia. Islam memiliki syariat-syariat yang diturunkan Allah kepada umat
manusia untuk dijalankan dan bertujuan mencapai kemaslahatan. Ajaran Islam juga mencakup
seluruh aspek kehidupan manusia seperti akidah / teologi, ibadah, hukum, tasawuf, filsafat,
ekonomi, sosial, politik dan pembaruan.
A. Tekstual dalam pandangan Al-qur’an
Teks adalah tulisan yang membuahkan arti atau pengertian. Dipandang secara tekstual, Al
Qur’an adalah merupakan kumpulan firman – firman Tuhan sebagaimana wahyu yang diterima
oleh Nabi Muhammad.
Al Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab, merupakan kesempurnaan ajaran yang tersusun dalam
bahasa sastra, berupa syair – syair metaforik yang sangat indah, yang tak mungkin manusia
mampu membuat tandingannya. Dalam banyak hal merupakan pokok –pokok atau dasar – dasar
ajaran moral, yang pelaksanaannya harus dijalankan sesuai petunjuk Rasulullah (Sunnah Rasul),
sebagaimana tertuang dalam Hadits.
Kemurnian, kesempurnaan serta kesucian Al Qur’an, diyakini akan selamanya terjaga,
sebagaimana dijanjikan oleh Tuhan, dan untuk menjaga kemurnian, kesempurnaan serta
kesuciannya, kaidah – kaidah serta metodologi yang absah (salaf as sahih) harus dilakukan
dalam menafsirkannya, sehingga pemahamannya tidak menyimpang dari apa yang jelas – jelas
terkandung dalam suratan (tertulis sebagai skrip) ayat – ayat nya.
Ayat – ayat Al Qur’an selain merupakan syair – syair yang indah, diyakini memiliki kekuatan,
yang apabila dilafalkan dengan khusuk, maka akan menggetarkan jiwa yang melahirkan
kesadaran akan kehadiran Tuhan, Sang Khalik Yang Maha Kuasa.
Karena itu, teks Al Qur’an dipandang sebagai sumber hukum tertinggi bagi umat Islam, yang tak
dapat dilepaskan dari keberadaan Hadits sahih sebagai petunjuk pelaksanaannya, yaitu Hadits
yang diriwayatkan secara benar oleh para sahabat Nabi yang diakui kemampuan serta
integritasnya.
B. karakteristik islam kontekstual
Islam merupakan sebuah ajaran agama yang tumbuh pertama kali didunia timur tengah beberapa
abad yang lalu. Islam sebagai suatu agama yang mengandung berbagai ajaran sosial, ekonomi,
hukum, akhlak merupakan pegangan umatnya yang harus diterima dan diamalkan secara
seksama. Islam mampu berkembang dan menyebar keseluruh penjuru dunia hanya dalam
beberapa dekade saja. Islam bukanlah satu-satunya agama didunia yang paling benar, tapi islam
berusaha memberikan ajaran yang Rahmatanlilalamin yang tidak dimiliki oleh ajaran agama
lainnya. Islam banyak memberikan kelonggaran dalam syariat agama bagi umatnya disesuaikan
situasi dan kondisi mereka saat itu karena islam bukanlah agama otoriter dan pemaksaan.
Dalam perkembangan dunia islam pada umumnya terbagi dalam dua tahap yaitu :
1. Islam Tradisional
Tradisi bisa berarti addin yang mencakup semua aspek agama dan percabangannya atau assunah
berdasarkan pada model sakral yang sudah menjadi tradisi, bisa juga berarti Al-Silsilah. rantai
yang mengkaitkan setiap periode episode atau tahap kehidupan dan pemikiran. Jadi Islam
tradisional menerima Al-Qur’an sebagai kalam Tuhan baik kandungan maupun bentuknya,
menerima komentar-komentar tradisional yang linguistik, historical, sapiental dan metafisikal
atas Al-Qur’an. Islam tradisional menginterprestasikan bacaan suci bukan berdasarkan makna
literal dan eksternal tapi sesuai tradisi hermeunitik yang mempertahankan syariah sebagai hukum
Illahi sehingga seluruh moralitas diturunkan dari Al-Quran dan hadits . Kadang kala Islam
tradisional bertentangan dengan interprestasi modernis dan fundamentalis karena Islam
tradisional menentang pencapaian kekuasaaan duniawi atas nama Islam dengan melupakan
anjuran Islam sekalipun dunia terus berputar menuju keperadapan yang lebih tinggi. Islam
tradisional akan tetap eksis dalam gerakan intelektual artistic klasik, cendekiawan dan orang suci
yang setia menempuh jalan Nabi.
2. Islam Kontemporer
Sementara pada abad ke 19 banyak gagasan–gagasan barat tentang kemajuan dan pembangunan
diterima secara luas dan merata dikalangan penguasa dunia Islam tanpa melakukan analisis
secara obyektif sesuai norma-norma Islam yang mereka pegang. Hal ini berimplikasi pada
merosotnya moral, keyakinan dan syariat umat Islam terhadap kemurnian ajaran agama yang
selama masa tradisional mereka pegang teguh hanya untuk mengejar arus modernisasi dunia.
Dari kebahagiaan semata manusia diera ini lebih memikirkan masa depan kehidupan dunianya
dengan menempuh berbagai cara sesuai potensi SDM yang dimiliki dan menomerduakan
hukum-hukum agama. Memang kalau dipandang sekilas umat Islam menjadi lebih mapan dan
mampu bersaing dengan dunia non- Islam sehingga dipandangan dunia, umat Islam bukanlah
umat yang lemah dan ketinggalan peradapan. Namun dibalik semua itu umat Islam harus
mengorbankan keyakinan ajaran agama yang seharusnya dijadikan pegangan dalam berperilaku.
Bukannya kemajuan peradapan Islam yang modern tapi moral umat Islam yang semakin jauh
dari norma-norma agama. Setidaknya diera Islam kontemporer terdapat tiga gerakan Islam yang
bersekala luas, antara lain Revivalisme, sebagai reaksi dimulainya ekspansi kolonial eropa abad
ke 18 dan 19, kemudian muncul gerakan Reformisme Islam sebagai pengganti Refifalisme yang
tidak berhasil mencapai tujuan jangka panjangnnya baru setelah itu munculIslamfundamental.
Langkah dalam mengkaji gerakan ini adalah harus selalu mencermati bahwa dunia Islam sangat
besar dan beragam, lebih dari 800 juta kaum muslim diseluruh dunia dan sebagian besar dibenua
asia khusunya di Indonesia yang mencapai 190juta muslim. Indonesia bukanlah negara Islam
tapi mayoritas penduduknya 90% adalah umat Islam sekaligus sebagai negara dengan jumlah
umat Islam terbanyak didunia. Ironisnya sebagai negara mayoritas penduduknya muslim apakah
umat Islam Indonesia sudah menjalankan semua syariat agama serta mampu mengembangkan
peradapan Islam modern berbasis teknologi dengan potensi SDM yang unggulan demi kejayaan
dan kemakmuran Indonesia pada umumnya dan Islam pada khususnya. Hal inilah yang belum
mampu dicapai oleh Negara-negara Islam diseluruh dunia sebagaimana yang pernah
diungkapkan Eric Hoffer pengarang The True Believer menyatakan belum ada negara Islam yang
berhasil menguasai produksi industri atau mewujudkan sesuatu yang mendekatinya dengan
membandingkan apa yang telah dicapai oleh Jepang, Taiwan, Korsel, Singapura, Hongkong dan
India.
Fanatisme atau ta’asshub ialah kepercayaan membabi buta terhadap suatu ajaran dan menolak
pendapat lain daripada yang dianut. Kita seringkali mendengar anjuran orang, janganlah fanatik
atau ta’asshub, artinya janganlah memegang kepercayaan sendiri dengan cara membabi-buta.
Kerap kali kita dengar orang salah mengartikan ta’asshub itu. Dikiranya ta’asshub memegang
teguh pendirian dengan pengertian. Pendirian yang teguh dengan pengertian bukanlah fanatisme
atau ta’asshub, tetapi yang demikian itu adalah kesatriaan dan perasaan tanggung jawab yang
penuh. Umat Islam zaman dulu tidak mengenal perkataan ta’asshub. Islam adalah demokratis,
tidak takut pada pendapat orang lain yang berlainan dari padanya. Tidak ada buku yang lebih
demokratus daripada al-Qur’an. Lihatlah, didalam al-Qur’an dimuat ayat: “Wa yaquluna innahu
lamajnuun” (mereka, lawan Muhammad, mengatakan bahwa sesungguhnya Muhammad itu
adalah gila). Ayat itu dipertontonkan al-Qur’an pada umat Islam dengan pengharapan supaya
dapatlah mereka melihat bahwa otak manusia itu ada juga yang demikian tololnya setelah
kehabisan hujjah (argumen) di dalam bertukar pikiran lalu memakai kata-kata kotor dan maki-
makian.
Timbulnya perkataan ta’asshub (fanatisme) didalam kalangan Islam ialah setelah orang Barat
merasa tidak dapat menembus keteguhan pendirian umat Islamdengan cara hujjah (argumen) lalu
mencari akal menuduh umat Islam adalah fanatik (ta’asshub). Sungguh amat sayang sekali
diantara umat Islam ada yang tertipu dengan perkataan tadi. Dikiranya bahwa keteguhan mereka
memegang pendirian yang didasarkan pada pengertian itu adalah fanatisme (ta’asshub), lalu
mulai segan memegang pendiriannya menghadapi orang barat. Mereka ini tidak insaf bahwa
tindakan fanatik yang dikenakan orang barat pada Islam itu adalah akal-akalan dan tipuan
semata-mata. Bukan mereka sendirikah (orang Barat) fanatikn terdapat adat kebiasaan,
kepercayaan, terutama untuk mempertahankan kepentingan-kepentingan mereka sungguh luar
biasa sekali? Jadi tuduhan orang barat melemparkan kata-kata fanatik pada umat Islam itu
semata-mata seperti siasat perang dengan mengadakan tembakan-tembakan pancingan pada
benteng-benteng lawan, agar dari benteng tadi keluar tembakan-tembakan, dan dengan demikian
dapat diketahui mana-mana tempat yang lemah.
Tetapi yang lebih celaka lagi ialah perpecahan yang ditimbulkan oleh racun yang dinamakan
fanatisme (ta’asshub) tadi dikalangan kaum Muslimin sendiri. Oleh karena salah pengertian
terhadap arti fanatisme dengan makna kepercayaan membabi-buta dan menolak pendapat-
pendapat yang berlainan dari padanya, dengan makna yang salah yaitu memegang teguh
pendirian dengan pengertian, oleh karena salah pengertian itulah maka timbul segolongan
dikalangan kaum Muslimin yang bergembar-gembor: janganlah fanatik, janganlah ta’asshub.
Dan oleh karena itu lalu mulailah dikalangan Muslimin timbul dua golongan yang berlainan
pendapat, satu golongan yang teguh memegang pendiriannya dengan pengertian. Mereka ini oleh
golongan lainnya juga. “Modern” dicap fanatik. Sedang golongan yang “modern” ini makmum
pada orang-orang barat dengan pendirian teguh pula. Sebenarnya mereka ini juga fanatik, tetapi
tidak pada Islam, hanya ada barat. Akan tetapi mereka tidak suka dinamakan fanatik, dan
menamakan diri “modern”, “progressif”: padahal sebenarnya mereka adalah fanatik, lebih keras
daripada fanatiknya pihak yang pertama tadi. Jadi “fanatik” lawan fanatik timbul dikalangan
umat Islam sendiri.
Dalam pada itu yang untung ialah orang barat yang mengemudikannya. Kalau kita pikirkan
betul-betul, maka perumpamannya tuduhan fanatik (ta’asshub) pada umat Islam itu adalah
didasarkan pada theori vaccinatie (menyuntik) penyakit didalam badan dengan kutu-kutu yang
sama: maksudnya ialah supaya kutu-kutu penyakit yang masih tahan kuat lagi tidak fanatik atau
“progressif”?. Kasihan bangsa-bangsa jajahan yang dikomedikan, sehingga berkelahi segolongan
melawan segolongan yang lainnya. Walaupun begitu masih juga mereka suka dikomedikan
orang! Mudah-mudahan hal ini dinsafi oleh kaum Muslmin.
B. Islam Liberal
Liberalisme, adalah sebuah istilah asing yang diambil dari bahasa Inggris, yang berarti
kebebasan. Kata ini kembali kepada kata “liberty” dalam bahasa Inggrisnya, atau “liberte”
menurut bahasa Perancis, yang bermakna bebas. [1] Istilah ini datang dari Eropa. Para peneliti,
baik dari mereka ataupun dari selainnya berselisih dalam mendefinisikan pemikiran ini. Namun
seluruh definisi, kembali kepada pengertian kebebasan dalam pandangan Barat. The World Book
Encyclopedia menuliskan pembahasan Liberalism, bahwa istilah ini dianggap masih samar,
karena pengertian dan pendukung-pendukungnya berubah dalam bentuk tertentu dengan
berlalunya waktu.
Syaikh Sulaiman al-Khirasyi menyebutkan, liberalisme adalah madzhab pemikiran yang
memperhatikan kebebasan individu. Madzhab ini memandang, wajibnya menghormati
kemerdekaan individu, serta berkeyakinan bahwa tugas pokok pemerintah ialah menjaga dan
melindungi kebebasan rakyat, seperti kebebasan berfikir, kebebasan menyampaikan pendapat,
kebebasan kepemilikan pribadi, kebebasan individu, dan sejenisnya.
Asas Pemikiran Liberal
Secara umum asas liberalisme ada tiga. Yaitu kebebasan, individualisme, rasionalis (‘aqlani,
mendewakan akal). Asas Pertama, Kebebasan : Yang dimaksud dengan asas ini, ialah setiap
individu bebas melakukan perbuatan. Negara tak memiliki hak mengatur. Perbuatan itu hanya
dibatasi oleh undang-undang yang dibuat sendiri, dan tidak terikat dengan aturan agama. Dengan
demikian, liberalisme merupakan sisi lain dari sekulerisme, yaitu memisahkan dari agama dan
membolehkan lepas dari ketentuan agama. Sehingga asas ini memberikan kebebasan kepada
manusia untuk berbuat, berkata, berkeyakinan, dan berhukum sesukanya tanpa dibatasi oleh
syari’at Allah. Manusia menjadi tuhan untuk dirinya dan penyembah hawa nafsunya. Manusia
terbebas dari hukum, dan tidak diperintahkan mengikuti ajaran Ilahi. Padahal Allah Subhanahu
wa Ta’ala berfirman:
ك أململر م
ت موأممناَ أمسومل اللمملسلللميمن ك لمهم ُ موبلذمذلل م
ب اللمعاَلملميمن مل مشلريِ م
ي مومممماَلتيِ لسلل مر ب قملل إلسن م
صمللتيِ مونممسلكيِ مومملحمياَ م
Katakanlah: “Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb
semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku
adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)”. [al-An’âm/6:162-163]
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
ك معلمذى مشلريِمعةة بممن اللململر مفاَتسبللعمهاَ مومل تمتسبللع أملهموامء السلذيِمن مل يِملعلمممومن ثمسمْ مجمعللمناَ م
Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan agama itu,
maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak
mengetahui. [al-Jâtsiyah/45:18]. Asas Kedua, Individualism (al-fardiyah) : Dalam hal ini
meliputi dua pengertian. Pertama, dalam pengertian ananiyah (keakuan) dan cinta diri sendiri.
Pengertian inilah yang menguasai pemikiran masyarakat Eropa sejak masa kebangkitannya
hingga abad ke-20 Masehi. Kedua, dalam pengertian kemerdekaan pribadi. Ini merupakan
pemahaman baru dalam agama Liberal yang dikenal dengan pragmatisme. Asas ketiga, yaitu
rasionalisme (aqlaniyyun, mendewakan akal). Dalam artian akal bebas dalam mengetahui dan
mencapai kemaslahatan dan kemanfaatan tanpa butuh kepada kekuatan diluarnya.
Hal ini dapat tampak dari hal-hal berikut ini:
1. Kebebasan adalah hak-hak yang dibangun diatas dasar materi bukan perkara diluar materi
yang dapat disaksikan (abstrak). Dan cara mengetahuinya adalah dengan akal, panca indera dan
percobaan.
2. Negara dijauhkan dari semua yang berhubungan dengan keyakinan agama, karena kebebasan
menuntut tidak adanya satu yang pasti dan yakin; karena tidak mungkin mencapai hakekat
sesuatu kecuali dengan perantara akal dari hasil percobaan yang ada. Sehingga –enurut mereka-
manusia sebelum melakukan percobaan tidak mengetahui apa-apa sehingga tidak mampu untuk
memastikan sesuatu. Ini dinamakan ideology toleransi (Mabda’ at-Tasâmuh) [6]. Hakekatnya
adalah menghilangkan komitmen agama, karena ia memberikan manusia hak untuk
berkeyakinan semaunya dan menampakkannya serta tidak boleh mengkafirkannya walaupun ia
seorang mulhid (menentang Allah dan RasulNya). Negara berkewajiban melindungi rakyatnya
dalam hal ini, sebab negara –versi mereka terbentuk untuk menjaga hak-hak asasi setiap orang.
Hal ini menuntut negara terpisah total dari agama dan madzhab pemikiran yang ada. (Musykilah
al-Hurriyah hal 233 dinukil dari Hakekat Libraliyah hal 24). Ini jelas dibuat oleh akal yang hanya
beriman kepada perkara kasat mata. Sehingga menganggap agama itu tidak ilmiyah dan tidak
dapat dijadikan sumber ilmu. Ta’alallahu ‘Amma Yaquluna ‘Uluwaan kabiran (Maha Tinggi
Allah dari yang mereka ucapkan).
3. Undang-undang yang mengatur kebebasan ini dari tergelicir dalam kerusakan –versi seluruh
kelompok liberal – adalah undangundang buatan manusia yang bersandar kepada akal yang
merdeka dan jauh dari syari’at Allah. Sumber hukum mereka dalam undang-undang dan individu
adalah akal.
Islam Dan Liberal
Dari pemaparan diatas jelaslah bahwa Liberal hanyalah bentuk lain dari sekulerisme yang
dibangun di atas sikap berpaling dari syari’at Allah Subhanahu wa Ta’ala , kufur kepada ajaran
dan petunjuk Allah dan rasulNya n serta menghalangi manusia dari jalan Allah Subhanahu wa
Ta’ala. Juga memerangi orang-orang sholih dan memotivasi orang berbuat kemungkaran,
kesesatan pemikiran dan kebejatan moral manusia dibawah slogan kebebasan yang semu. Sebuah
kebebasan yang hakekatnya adalah mentaati dan menyembah syeitan. Lalu bisakah Islam
bergandengan dengan Liberal?
Upaya Menyatukan Islam & Liberal
Pemikiran Liberal masuk ke dalam tubuh kaum muslimin melalui para penjajah kolonial.
Kemudian disambut orang-orang yang terperangah dengan modernisasi Eropa waktu itu.
Muncullah dalam tubuh kaum muslimin madrasah al-Ishlahiyah (aliran reformis) dan madrasah
at-tajdîd (aliran pembaharu) serta al-’Ashraniyûn (aliran modernis) yang berusaha
menggandengkan Islam dengan liberal ditambah dengan banyaknya pelajar muslim yang dibina
para orientalis di negara-negara Eropa. Upaya menyatukan liberalisme ke dalam Islam sudah
dilakukan oleh gerakan ‘Islahiyah’ pimpinan Muhammad ‘Abduh dan para muridnya. Kemudian
pada tahun enampuluhan, muncullah gerakan pembaru (madrasah attajdid) dengan tokoh seperti
Rifa’ah ath-Thahthawi dan Khairuddîn at-Tunîsi. Pemikiran mereka ini tidaklah satu. Namun
mereka menggabungkan ajaran Islam dengan modernisasi Barat dan merekonstruksi ajaran
agama agar sesuai dengan modernisasi Barat (orang-orang kafir). Oleh karena itu, pemikiran
mereka berbeda-beda sesuai dengan pengetahuan mereka terhadap modernisasi di Barat dan
kemajuannya yang terus berkembang. Demikian juga, mereka sepakat menjadikan akal sebagai
sumber hukum sebagaimana akal juga menjadi sumber hukum dalam ajaran Liberal. Dari sini
jelaslah kaum reformis dan modernis ini ternyata memiliki prinsip dan latar belakang serta
orientasi pemikiran yang berbeda-beda. Meskipun mereka sepakat untuk mengedepankan logika
akal daripada al-Qur‘ân dan Sunnah dan pengaruh kuat pemikiran Barat.
Ada di antara mereka yang secara terus terang mengungkapkan niat mereka menghancurkan
Islam karena terpengaruh pemikiran nasionalisme sekuler atau sayap kiri komunis. Ada yang
berusaha memunculkan keraguan ke dalam tubuh kaum muslimin dengan berbagai istilah bid’ah
yang sulit dicerna pengertiannya. Atau dengan cara membolakbalikkan fakta dan realitas ajaran
Islam sejati dengan pemikiran dan gerakannya. Mereka menempatkan orang sesat dan
menyimpang sebagai pemikir yang bijak dan ksatria revolusioner. Sementara para ulama Islam
ditempatkan sebagai kalangan yang kolot konservatif dan tidak tahu hak asasi manusia.
Yang lebih menyakitkan lagi adalah ungkapan sebagian mereka yang menuduh orang yang
kembali merujuk nash syariat sebagai orang yang kolot dan paganis (musyrik). Prof. Fahmi
Huwaidi dalam artikelnya yang berjudul Watsaniyûn Hum ‘Abadatun Nushûsh (Paganis itu
adalah mereka yang menyembah nash-nash Syari’at) menggambarkan hal tersebut sebagai
paganism baru (Watsaniyah jadîdah). Hal itu karena Paganisme tidak hanya berbentuk
penyembahan patung berhala semata. Karena ini adalah paganisme zaman dahulu. Namun
paganisme zaman ini telah berubah menjadi bentuk penyembahan symbol dan rumus pada
penyembahan nash-nash dan ritualisme. [Lihat Al-’Aqlaniyûn Afrâkh al-Mu’tazilah al-‘Ashriyûn
hal.63]
Sebenarnya hakekat usaha mereka ini adalah mengajak kaum muslimin untuk mengikuti ajaran
dan pola pemikiran Barat (westernisasi) dan menghilangkan aqidah Islam dari tubuh kaum
muslimin serta memberikan jalan kemudahan kepada musuh-musuh Islam dalam
menghancurkan kaum muslimin. Sehingga mereka menganggap aturan liberal dan demokrasi
adalah perkara mendesak dan sangat cocok dengan hakekat Islam dan ajarannya serta tidak
mengingkarinya kecuali fondamentalis garis keras.
Demikianlah usaha mereka ini akhirnya menghasilkan penghapusan banyak sekali pokok-pokok
ajaran Islam dan memasukkan nilai-nilai liberalisme dan humanisme kedalam ajaran Islam dan
aqidah kaum muslimin. Karena itu seorang orientalis bernama Gibb menyatakan: “Reformasi
adalah program utama dari liberalisme Barat. Kita tinggal menunggu saja semoga orientasi
tersebut dari kalangan reformis bisa menjadi semacam managerial modern untuk menggali nilai-
nilai liberalisme dan humanisme”.[Menjawab Modernisasi Islam hal 178]
Demikianlah nilai-nilai dan pemahaman liberal masuk ke dalam tubuh kaum muslimin. Kita
berlindung kepada Allah l darinya dan dari semua penyeru ajaran ini.
Liberal Dalam Pandangan Hukum Islam
Liberalisme adalah pemikiran asing yang masuk ke dalam Islam. Pemikiran ini menafikan
adanya hubungan kehidupan dengan agama sama sekali. Pemikiran ini menganggap agama
sebagai rantai pengikat kebebasan hingga harus dibuang jauh-jauh. Para perintis dan pemikir
liberal yang menyusun pokok-pokok ajarannya membentuk liberal berada diluar garis seluruh
agama yang ada dan tidak seorangpun dari mereka yang mengklaim adanya hubungan dengan
satu agama tertentu walaupun yang menyimpang. Sehingga Liberalisme sangat bertentangan
dengan Islam. Tidak sedikit pembatal-pembatal ke-Islaman yang terkandung
dalam arus ideologi yang satu ini. Diantaranya:
1. Kekufuran
2. Berhukum dengan selain hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala
3. Menghilangkan aqidah al-Wala dan bara’.
4. Menghapus banyak sekali ajaran dan hukum Islam.
RANGKUMAN SEJARAH PERADABAN ISLAM
Dosen Pembimbing : Maryamah, M.Si
Ujang Sugara
10210156
3. Bidang Keagamaan
DAFTAR PUSTAKA