Anda di halaman 1dari 79

Sejarah Agama Islam Lengkap

PENGERTIAN ISLAM
a. Arti Islam Menurut Istilah Dan Bahasa

Dari segi bahasa, Islam berasal dari kata aslama yang berakar dari kata salama. Kata Islam
merupakan bentuk mashdar dari kata aslama. Ditinjau dari segi bahasanya yang dikaitkan dengan
asal katanya, Islam memiliki beberapa pengertian, diantaranya adalah:
1. Berasal dari ‘salm’ (ْ‫ )السسللم‬yang berarti damai.
Kata salm memiliki arti damai atau perdamaian. Dan ini merupakan salah satu makna dan ciri
dari Islam, yaitu bahwa Islam merupakan agama yang senantiasa membawa umat manusia pada
perdamaian.
2. Berasal dari kata ‘aslama’ (ْ‫ )أملسلممم‬yang berarti menyerah.
Hal ini menunjukkan bahwa seorang yang memeluk Islam merupakan seseorang yang secara
ikhlas menyerahkan jiwa dan raganya hanya kepada Allah SWT. Penyerahan diri seperti ini
ditandai dengan pelaksanaan terhadap apa-apa yang Allah SWT perintahkan serta menjauhi
segala laranganNya. Oleh karena itulah, sebagai seorang Muslim, hendaknya kita menyerahkan
diri kita kepada aturan Islam dan juga kepada kehendak Allah SWT. Karena Insya Allah dengan
demikian akan menjadikan hati kita tentram, damai dan tenang (baca; mutma’inah).
3. Berasal dari kata istaslama–mustaslimun (‫)الستملسلمممْ – مملستملسللمملومن‬: penyerahan total kepada Allah.
Makna ini sebenarnya sebagai penguat makna di atas (poin kedua). Karena sebagai seorang
Muslim, kita benar-benar diminta untuk secara total menyerahkan seluruh jiwa dan raga serta
harta atau apapun yang kita miliki, hanya kepada Allah SWT. Dimensi atau bentuk-bentuk
penyerahan diri secara total kepada Allah SWT adalah seperti dalam setiap gerak gerik,
pemikiran, tingkah laku, pekerjaan, kesenangan, kebahagiaan, kesusahan, kesedihan dan lain
sebagainya hanya kepada Allah SWT. Termasuk juga berbagai sisi kehidupan yang
bersinggungan dengan orang lain, seperti sisi politik, ekonomi, pendidikan, sosial, kebudayaan
dan lain sebagainya, semuanya dilakukan hanya karena Allah SWT dan menggunakan manhaj
Allah SWT melalui RasulNYA.
4. Berasal dari kata ‘saliim’ (ْ‫ )مسللليمم‬yang berarti bersih dan suci.
Hal ini menunjukkan bahwa Islam merupakan agama yang suci dan bersih, yang mampu
menjadikan para pemeluknya untuk memiliki kebersihan dan kesucian jiwa yang dapat
mengantarkannya pada kebahagiaan hakiki, baik di dunia maupun di akhirat. Karena pada
hakekatnya, ketika Allah SWT mensyariatkan ajaran Islam, adalah karena tujuan utamanya
untuk mensucikan dan membersihkan jiwa manusia.
5. Berasal dari ‘salam’ (‫ )مسلممم‬yang berarti selamat dan sejahtera.
Maknanya adalah bahwa Islam merupakan agama yang senantiasa membawa umat manusia pada
keselamatan dan kesejahteraan. Karena Islam memberikan kesejahteraan dan juga keselamatan
pada setiap insan yang dengan segenap hati mengikuti syar’iatNYA.
Islam menurut bahasa, islam memiliki arti ; selamat, kedamaian, sentausa, sedangkan dalam
istilah syar’i islam berserah diri, tunduk patuh, dengan kesadaraan yang tinggi tanpa paksaan.
Sedangkan islam secara makna, maka akan menjadi sangat luas jika dikaitkan dengan beberapa
arti di atas. Makna dalam arti kata selamat, maka islam adalah jalan hidup (way of life) satu-
satunya yang paling selamat mengantarkan manusia sampai tujuan akhirnya..yaitu kehidupan
akhirat. Dalam konteks perjalanan, tujuan hanya dapat dicapai melalui jalan yang ditempuh.
Sedangkan sebuah jalan, ia memiliki cara dan aturan.
Makna berserah diri, adalah ketika seseorang menyerahkan seluruh jalan hidupnya (tunduk
patuh) sesuai dengan aturan-aturan (syariat) dalam islam. Pendekatan untuk memahami hal ini
bisa kita pahami melalui uraian singkat berikut. Pada umumnya, manusia itu akan mengikuti
seseorang yang ia anggap lebih dari dirinya, itu sebabnya, maka di dunia ini ada kegiatan belajar
dan mengajar (murid dan guru). Orang yang lebih rendah ilmuya, pasti akan mengikuti seseorang
yang lebih tinggi ilmunya. Kaidah ini adalah kaidah yang universal, berlaku bagi setiap manusia.
Marilah kita melihat hal ini dalam konteks ilmu pengetahuan. Ketika ketinggian ilmu
pengetahuan manusia telah mencapai satu titik yang paling tinggi dari ilmunya, maka pada titik
puncaknya, manusia pasti akan menemukan kekuasaan dan keagungan Allah sebagai pemilik
ilmu sesuai yang sesuai dengan sifat-Nya. Contohnya seperti para pakar dan ilmuwan dari
berbagai disiplin ilmu pengetahuan pada abad ini telah mengungkapkan fakta dari kebenaran
penelitian mereka, yang ternyata semuanya ada di dalam Al Quran yang disampaikan oleh
Rasulullah +/- 14 abad yang lalu.
Tidak ada paksaan sedikitpun bagi manusia untuk masuk kedalam islam, tetapi sudah jelas mana
jalan yang benar dan mana jalan yang sesat, jalan yang selamat dan jalan yan celaka, sudah jelas
siapa yang membutuhkan dan siapa yang dibutuhkan..dengan catatan, hal ini hanya berlaku bagi
mereka yang mau mencari kebenaran yang hakiki. Dengan pemahaman yang singkat ini, maka
kita bisa melihat, di dalam Al Quran, semua Nabi memilih islam (jalan yang selamat) sebagai
dien mereka untuk mencapai tujuan akhir dari kehidupan mereka, yaitu kehidupan akhirat. Dien
sering di artikan dengan arti agama, tetapi dien memiliki makna yang lebih luas dari pada
sekedar ritual saja, dien bisa kita maknai dengan ‘the way of life’ (cara seseorang menjalankan
kehidupannya). Dan dien yang diridhoi di sisi Allah adalah ISLAM tidak ada dien yang diterima
oleh Allah selain itu, sebagaimana firman-Nya;
“Barang siapa mencari agama selain Islam, maka tidaklah akan diterima (agama itu)…” (Ali
Imran: 85).
b. Arti Islam Menurut Beberapa Para Ahli
Agama bagi kehidupan manusia menjadi pedoman hidup (way of life). Islam merupakan agama
dengan penganut mayoritas di Indonesia. Bila dilihat dari sumbernya, Islam termasuk agama
samawi. Yaitu agama yang diterima oleh manusia dari Allah SWT melalui malaikat JIbril dan
disampaikan serta disebarkan oleh RasulNya kepada umat manisa. Berikut ini adalah pengertian
dan definisi Islam menurut beberapa ahli:
1. George Sarton
Islam merupakan tatanan agama yang paling tepat sekaligus paling indah
2. Tolstoi
Islam merupakan ringkasan agama yang dikumandangkan Muhammad dan menyatakan bahwa
Allah itu satu, tiada Tuhan selain Dia. Sehingga tidak dibenarkan menyembah banyak Tuhan.
3. Leodourch
Sesungguhnya Islam itu adalah agama kemanusiaan alami, ekonomis dan sekaligus moralis
4. Massignon
Islam merupakan agama yang memiliki keistimewaan, bahkan Islam sebagi ide persamaan yang
benar dengan partisipasi semua anggota masyarakat.
5. Orientalis H. I
Islam adalah sebaik-baiknya agama dan ternyata Islam hingga dewasa kini masih tetap
merupakan akidah agama yang kukuh, yang memiliki kaidah kemasyarakatan yang merata, dan
sekaligus memiliki tatanan budi luhur yang sangat kuat.
6. Muhammad Bin Ibrahim Bin Abdullah At-Tawairjiri
Islam adalah penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah dengan mengesakan-Nya dan
melaksanakan syariat-Nya dengan penuh ketaatan atau melepaskan dari kesyirikan.
7. Umar Bin Khaththab
Islam adalah agama yang diturunkan Allah kepada Muhammad Saw. Agama ini meliputi:
Akidah, Syariat, dan Akhlak.
8. Abu Said Al-Hasan Al-Bashri
Islam ialah kepasrahan hati anda kepada Allah, lalu setiap orang muslim merasa selamat dari
gangguan anda.
C. Paham dan Aliran-aliran dalam Islam
1. Lahirnya Paham Khawarij
Timbulnya Khawarij setelah terjadinya peperangan Siffin diantara Ali dan Muawiyah.
Peperangan itu diakhiri dengan suatu gencatan senjata untuk mengadakan perundingan antara
kedua belah pihak. Golongan Khawarij adalah golongan pengikut Ali yang tidak setuju dengan
adanya gencatan senajata dan perundingan, Sebab itulah golongan ini memisahkan diri dari fihak
Ali. Maka timbullah Khawarij, suatu golongan yang menentang Ali dan menentang Muawiyah.
Golongan ini yang berkembang dan tersebar ke mana-mana dalam alam Islam pada masa itu.
Sehingga inilah salah satu aliran pula yang menjadi opposisi dari pemerintah Umawiyyah kelak,
sampi menjadikan sebab jatuhnya Daulah Umawiyah bagian timur. Fanatisme Islam dan
keikhlasan berjuang dan keberanian menghadapi maut yang luar biasa, golongan ini memang
dapat dibanggakan, bahkan kebanyakan tokoh-tokoh mereka sangat patuh menjalankan ibadah,
sehingga dinyatakan bahwa diantara kode-kode yang digunakan ialah : cahaya yang tampak
bersinar di atas dahi mereka, karena seiringnya digunakan untuk berwudhu dan shalat. Pada
umumnya golongan khwarij ini bersemboyan “tiadak ada hukum selain hukum Allah”.
Golongan Khawarij ini terdiri dari beberapa aliran lagi, tapi pada garis besarnya fahamnya sama,
yaitu sebagai berikut :
Menurut anggapan mereka : Ali, Usman dan orang yang turut dalam peperangan Jamal dan juga
orang-orang yang setuju tentang diadakannya perundingan antara ali dan Muawiyah, mereka
semuanya dihukumi Kafir. Setiap orang dari umat Muhammad yang terus menerus berbuat dosa
besar, hingga matinya belum taubat, maka dihukumi kafir dan akan kekal masuk neraka. Tapi
golongan Najadar, beranggapan hanya kafir terhadap nikmat Tuhan saja. Boleh tidak mematuhi
terhadap Khalifah, bila menurut anggapan mereka Khalifah itu zalim atau khianat.
2. Lahirnya Paham Murjiah
Aliran ini timbul di Damaskus pada akhir abad pertama Hijriyah. Golongan ini dinamakan
Murjiah, karena lafaz itu berarti menunda atau mengembalikan. Golongan ini berpendapat bahwa
seorang mukmin yang melakukan dosa besar itu ia tetap mukmin, tetapi ia tetap berdosa, sedang
ketentuan nasibnya terserah kepada Allah kelak di akherat, apakah dimaafkan atas rahmatnya
atau disiksa atas keadilan-Nya.
3. Lahirnya Paham Qodariyah
Aliran ini timbul kira-kira pada tahun 70 H. Yang dipelopori oleh Ma’abad Al-Jauhani Al-Bisri,
Gailan ad Dimsyqi dan lain-lain. Faham Qodariyah ini pada hakikatnya bagian dari faham
Mu’tazilah, karena imam-imamnya terdiri dari orang-orang Mu’tazilah, akan tetapi sepanjang
sejarah persoalan Qodariyah ini merupakan satu soal yang besar juga yang harus menjadi
perhatian. Timbulnya aliran Qodariyah ini di Irak pada zaman pemerintah Khalifah Abdul Malik
bin Marwan.
Aliran ini berpendapat, bahwa manusia itu mempunyai kekuasaan mutlak atas dirinya dan segala
amal perbuatannya. Dengan kemauan dan kekuasaan sendiri, manusia dapat berbuat baik atau
buruk dengan tidak ada kekuasaan lain yang memaksanya. Dasar fikiran ini adalah adanya
ketentuan pahala dan siksa, bagi mereka yang berbuat baik akan mendapat pahala dan mereka
yang berbuat dosa akan mendapat siksa.
4. Lahirnya Paham Jabariyah
Aliran jabariyah adalah golongan yang menentang gerakan Qodariyah. Yang mula-mula
membangun gerakan ini adalah Jaham bin Syafwan, makanya gerakan ini sering disebut
Jahamiyah. Jahamlah yang mula-mula mengatakan bahwa manusia adalah dalam keadaan
terpaksa, tidak bebas dan tidak mempunyai kekuasaan sesuatu, sesunguhnya Allah sajalah yang
menentukan sesuatu itu kepada seseorang, baik dia yang dikehendaki atau tidak.
Pendapat-pendapat golongan ini diantaranya adalah :
- Surga dan Neraka itu tidak abadi, yang abadi hanyalah Tuhan saja.
- Tuhan Allah tidak dapat dilihat kelak di akhirat.
- Tuhan itu tidak boleh mempunyai sifat-sifat yang bersamaan dengan makhluk, tuhan tidak
boleh dinyatakan mempunya sifat hayat, sebagaimana juga tidak boleh dinyatakan, bahwa tuhan
itu mempunyai sifat mati.
- Qur’an itu adalah sebagi makhluk Allah yang dibuatnya (artinya Hadits : Baru).
Adapun aliran-aliran Islam yang lahir diantaranya sebagai berikut:
a. Mu’tazilah
Pembangunan aliran ini adalah Abu Khuzafah Wasil Bin Ato’ Al-Ghazali. Timbulnya di zaman
Abdul Malik bin Marwan dan anaknya Hisyam bin Abdul Malik. Golongan ini dinamakan
Mu’tazilah, karena wasil itu memisahkan diri dari gurunya Al-Hasan Al-Basyri, karena
perbedaan pendapat tentang orang Islam yang mengerjakan maksiat dan dosa besar, hingga mati
ia belum juga tobat. Dalam masalah ini golongan Mu’tazilah menganggap mereka tidak mukmin
dan tidak kafir, tetapi Manzilah baina Manjilatain.
Sebagai keringkasan ajaran Mu’tazilah ini adalah sebagai berikut :
1. Orang Islam yang mengerjakan dosa besar, sehingga matinya belum taubat, maka orang itu
dihukumkan tidak kafir dan tidak mukmin, tapi antara keduanya itu (Manzilah baina
Manjilatain).
2. Tentang Qodar, mereka berpendapat sesungguhnya bukanlah Allah menjadikan segala
perbuatan ini, tetapi makhluk sendirilah yang menjadikan dan mengerjakan segala perbuatannya.
3. Tentang ketauhidan, Mu’tazilah menafi’kan Allah bersifat dengan sifat-sifat yang azali dari
ilmu Qudrot, Hayat dan sebagainya selain Zat-Nya saja, bahkan Allah tu bersifat Aliman,
Qodiron, Hayan, Sami’an, Basiran dan sebaginya dalah dengan Zat-Nya demikian.
4. Tentang akal, yaitu manusia dengan akalnya dapat mengetahui yang baik dan yang buruk,
sekalipun tidak diberikan oleh syara’.
5. Tentang janji dan sanki itu pasti terlaksana, janji dengan pahala sanki dengan siksa, janji
menerima taubat, Tuhan tidak akan memaafkan dosa besar tanpa taubat tidak akan menutupi
pintu pahala bagi orang yang akan bertaubat dan akan berbuat kebaikan.
b. Pemahaman aliran Ahlussunnah Wal-Jama’ah
Timbulnya golongan Ahlussunnah Wal-Jama’ah ialah pada abad III hijriyah. Pelopornya ialah
dua orang ulama besar dalam bidang ushuludin, yaitu syekh Abu Hasan Ali Al_asy’ari dan Syekh
Abu Mansur Al-Maturidi. Golongan Ahlussunnah Wal-Jama’ah ini timbul sebagai reaksi
terhadap firqah-firqah yang sesat. Perkataan Ahlussunnah Wal-Jama’ah kadang-kadang
dipendekan penyebutannya dengan Ahlussunnah Wal-Jama’ah atau Sunni saja dan kadang-
kadang disebut Asy’ariyah, dikaitkan pada guru besarnya yang pertama kali : Abu Hasan Ali Al-
Asy’ari. Dasar timbulnya aliran Ahlussunnah Wal-Jama’ah adalah ayat Allah Al-Qur’an dan
Hadits Nabi dasar ayatnya adalah :
Artinya : “Orang-orang yang terdahulu lagi
yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang
mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah
dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya
selama-lamanya. mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar.”(Q.S. At-Taubat :
100).
Adapun pokok-pokok ajaran aliran Ahlussunnah Wal-Jama’ah antara lain :
1. Allah SWT, memiliki sifat-sifat wajib, Mustahil dan Zaij
2. Tentang melihat Allah, Ahlussunnah Wal-Jama’ah berpendapat bahwa Allah SWT, akan dapat
dilihat di akhirat, berdasarkan firman-Nya :
×Artinya : “Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah
mereka Melihat.” (Q.S.75. Al-Qiyyamah : 22-23).
2. PENJELASAN ISLAM SEBAGAI AKIDAH DAN SISTEM KEYAKINAN
A. Pengertian, Definisi Aqidah.
Ajaran Islam merupakan ajaran yang sempurna, lengkap dan universal yang terangkum dalam 3
hal pokok; Aqidah, Syari’at dan Akhlak. Artinya seluruh ajaran Islam bermuara pada tiga hal ini.
Aqidah adalah bentuk masdar dari kata “aqda, ya’qidu ‘aqdan ‘aqidatan” yang berarti simpulan,
ikatan, sangkutan, perjanjian, dan kokoh. Sedang secara teknis akidah berarti iman, kepercayaan
dan keyakinan. Dan tumbuhnya kepercayaan tentunya di dalam hati, ia mengikatkan hati
seseorang yang diyakini atau diimaninya dan ikatan tersebut tidak oleh dilepaskan selama
hidupnya.
Ibnu Taimiyyah menerangkan makna akidah dengan suatu perkara yang harus dibenarkan dalam
hati, yang dengannya jiwa menjadi tenang sehingga jiwa itu menjadi yakin serta mantap tidak
dipengaruhi oleh keraguan dan juga tidak dipengaruhi oleh syakwasangka. Sedang Syekh Hasan
al-Banna menyatakan akidah sebagai sesuatu yang seharusnya hati membenarkannya sehingga
menjadi ketenangan jiwa, yang menjadikan kepercayaan bersih dari kebimbangan dan keraguan.
Kedua pengertian tersebut menggambarkan bahwa ciri-ciri akidah dalam Islam adalah sebagai
berikut:
1. Akidah didasarkan pada keyakinan hati, tidak menuntut yang serba rasional, sebab ada
masalah tertentu yang tidak rasional dalam akidah;
2. Akidah Islam sesuai dengan fitrah manusia sehingga pelaksanaan akidah menimbulkan
ketentraman dan ketenangan;
3. Akidah Islam diasumsikan sebagai perjanjian yang kokoh, maka dalam pelaksanaan akidah
harus penuh keyakinan tanpa disertai kebimbangan dan keraguan;
4. Akidah dalam Islam tidak hanya diyakini, lebih lanjut perlu pengucapan kalimah “thayyibah”
dan diamalkan dengan perbuatan shaleh;
5. Keyakinan dalam akidah Islam merupakan masalah yang supraempiris, maka dalil yang
dipergunakan dalam pencarian kebenaran tidak hanya didasarkan atas indra dan kemampuan
manusia, melainkan membutuhkan wahyu yang dibawa oleh para Rosul Allah.
Pada perkembangan selanjutnya, term akidah identik dengan term iman, tauhid, ushuluddin, ilmu
kalam, fiqh akbar, dan teologi jika akidah itu telah menjadi suatu disiplin ilmu tersendiri.
Menurut Mahmud Syaltout, akidah ialah sisi teoritis yang harus pertama kali diimani atau
diyakini dengan keyakinan yang mantap tanpa keraguan sedikitpun. Hal tersebut dibuktikan
dengan banyaknya nash-nash al-Qur’an maupun hadits mutawatiryang secara eksplisit
menjelaskan persoalan itu, disamping adanya konsensus para ulama sejak pertama kali ajaran
Islam didakwahkan oleh Rasulullah. Dan perkara itu pula yang menjadi inti ajaran Allah kepada
para Rasul sebelumnya. Al-Qur’an menyebut akidah dengan istilah “iman” sedangkan syari’ah
dengan istilah “amal shalih”. Adapun ayat-ayat yang berbicara tentang hubungan akidah dan
syari’at dijabarkan dengan hubungan dan keterkaitan antara iman dan amal saleh banyak sekali.
Lebih lanjut, Mahmud Syaltout mengelaborasi bahwa dalam ajaran Islam, akidah merupakan
landasan atau akar (al-ashl) sedangkan syari’ah merupkan batang, cabang-cabangnya (furu’). Hal
itu berimplikasi bahwa syari’ah tidak bisa berdiri sendiri atau tumbuh tanpa akar yang berupa
akidah. Dan syari’ah tanpa akidah bagaikan bangunan yang melayang karena tidak ada
pondasinya. Namun demikian, Islam menyatakan bahwa hubungan antara keduanya merupakan
suatu keniscayaan, yang artinya bahwa antara akidah dan syari’ah tidak bisa berdiri sendiri-
sendiri.
B. Pengertian, Definisi Syari’ah
Secara etimologi, Syari’ah(t) berarti jalan yang lurus (thariqoh mustaqimah) yang diisyaratkan
dalam QS. Al-Jatsiyah: 18. Atau jalan yang dilalui air untuk diminum, atau juga tangga atau
tempat naik yang bertingkat-tingkat. Sedngkan makna terminologi, syari’ah mempunyai
beberapa pengertian yang dikemukakan oleh beberapa ahli sebagai berikut:
Al-Thanawi menjelaskan bahwa syari’ah adalah hukum-hukum yang diadakan oleh Allah SWT
yang dibawa oleh salah satu Nabi-Nya, termasuk Nabi Muhammad SAW, baik hukum yang
berkaitan dengan cara berbuat yang disebut dengan “far’iyah atau amaliyah” yang untuknya
dihimpun Ilmu fiqh, maupun yang berkaitan dengan kepercayaan yang disebut dengan
“ashliyah” atau “i’tiqdiyah” yang untuknya dihimpun Ilmu Kalam.
Sedangkan Muhammad Sallam Madzkur menerangkan bahwa syari’ah adalah hukum yang
ditetapkan Allah SWT melalui Rosul-Nya, agar mereka mentaati hukum itu atas dasar iman, baik
yang berkaitan dengan akidah, amaliyah maupun akhlaq. Ketika dipakai dalam pembahasan
hukum, makna syari’ah adalah segala sesuatu yang disyari’atkan Allah kepada hamba-hamba-
Nya, sebagai jalan lurus untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Lalu, apakah syari’ah
tersebut mencakup aspek ajaran keagamaan atau tidak. Dalam hal ini, Manna’ al-Qathan
berpendapat bahwa istilah syari’ah itu mencakup akidah dan akhlaq disamping aspek hukum,
sebagaimana dia katakan bahwa syari’ah adalah segala ketentuan Allah yang disyari’atkan bagi
hamba-hamba-Nya. Dengan pengertiannya ini, dia ingin membedakan antara syari’ah sebagai
ajaran yang datang langsung dari Tuhan, dengan perundang-undangan hasil pemikiran manusia.
Namun dia mengidentikkan syari’ah dengan agama.
Mahmud Syaltout memberikan pengertian yang jelas, dia mengartikan bahwa syari’ah itu adalah
ketentuan-ketentuan yang ditetapkan Allah, atau hasil pemahaman atas dasar ketentuan tersebut,
untuk dijadikan pegangan oleh umat manusia baik dalam hubungannya dengan Tuhan, dengan
umat manusia lainnya, orang Islam dengan non-muslim, dengan alam, maupun dlam menata
kehidupan ini. Mahmud Syaltout lebih jauh berpendapat bahwa aspek akidah tidak termasuk
pada pembahasan dan kajian syari’ah karena akidah menurutnya merupakan landasan bagi
tumbuh dan berkembangnya syari’ah. Sedang syari’ah merupakan sesuatu yang harus tumbuh di
atas akidah tersebut. Namun, term syari’ah selanjutnya berkembang menjadi sebutan hukum
Islam karena pembuat hukum sebenarnya adalah Allah SWT. Dilihat dari segi ilmu hukum ini,
syari’ah merupakan norma hukum dasar yang ditetapkan Allah, yang wajib diikuti oleh orang
Islam berdasarkan iman yang berkaitan dengan akhlak, baik dlam hubungannya dengan Allah
maupun dengan sesama manusia dan benda dalam masyarakat. Menurut Muhammad Mushlih al-
Din, hukum Islam adalah sebagai perintah Allah yang diwahyukan kepada Muhammad SAW.
Ada dua istilah yang dipergunakan untuk menunjukkan hukum Islam, yakni 1) Syari’at Islam
dan 2) Fiqih Islam. Di dalam kepustakaan hukum Islam berbahasa Inggris, Syari’at Islam disebut
Islamic Law, sedang fiqh Islam Islamic Jurisprudence. Di dalam bahasa Indonesia, untuk syari’at
Islam, sering dipergunakan kata-kata hukum syari’at atau hukum syara’, untuk fiqh Islam
dipergunakan istilah hukum fiqhvatau kadang-kadang hukum (fiqh) Islam. Dalam praktek,
seringkali, kedua istilah itu dirangkum dalam kata hukum Islam, tanpa menjelaskan apa yang
dimaksud. Ini dapat dipahami karena hubungan keduanya memang sangat erat, dapat dibedakan,
tetapi tidk mungkin dipisahkan. Syari’at adalah landasan fiqh, fiqh adalah pemahaman tentang
syari’at. Perkataan ayari’at dan fiqh (kedua-duanya) terdapat di dalam al-Qur’an, syari’at dalam
QS. Al-Jatsiyah: 18 dan fiqh dalam QS. At-Taubah: 122.
Mungkin karena hubungannya yang sangat erat itulah, Imam Syafi’i mengatakan “Syari’at
adalah ‘peraturan-peraturan yang bersumber dari wahyu dan ‘kesimpulan-kesimpulan’ yang
dapat dianalisa dari wahyu itu mengenai tingkah laku manusia”. Dalam rumusan tersebut, ada
dua hal yang disatukan. Pertama adalah “peraturan-peraturan yang bersumber dari wahyu” yang
berarti syari’at dan kedua “kesimpulan-kesimpulam yang dapat dianalisis dari wahyu itu” yang
bermakna fiqh. Jika merujuk pada penjelasan diatas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut,
bahwa syari’ah merupakan sesuatu yang harus berlandaskan akidah dan pemahaman tentang
syari’ah disebut dengan fiqh.
C. Sistem Keyakinan Dalam Islam
Keyakinan merupakan dasar dari setiap gerak dan aktivitas hidup manusia. Karena itu manusia
secara fitri membutuhkan keyakinan hidup yang dapat menjadi pegangan dan sandaran bagi
dirinya. Tiap-tiap sistem keyakinan memiliki konsepsi tersendiri dalam mengantarkan
pengikutnya pada pemahaman dan kepercayaan terhadap tuhan. Pertama, sistem keyakinan yang
obyeknya didasarkan pada sesuatu yang nyata. Kebenaran diukur melalui indera dan
pengalaman. Sistem ini disebut kebenaran ilmiah. Secara filosofis kebenaran ilmiah memiliki
kelemahan karena tidak dapat menjelaskan sisi kehidupan yang berada di luar pengalaman
inderawinya. Salah satu di antaranya adalah mengenai Tuhan. Tuhan tak dapat diyakini
keberadaannya lewat bantuan sistem keyakinan ilmiah.
Kedua, sistem keyakinan yang didasarkan pada doktrin literal. Pada dasarnya, sistem keyakinan
literal mengingkari arti pentingnya akal sebagai sarana verifikasi kebenaran. Baginya, kebenaran
adalah sesuatu yang sudah jadi secara sempurna dan harus diterima tanpa perlu menyadarinya
terlebih dahulu. Akibat sistem keyakinan literal, manusia potensial melarikan diri dari kenyataan
dan tantangan zaman setelah telanjur mendikotomi antara doktrin ketundukan pada ayat suci
dengan peran-peran peradaban manusia. Islam mengajarkan sistem keyakinan yang disebut
Tauhid. Tauhid berbeda dengan dua sistem keyakinan di atas karena cara pandangnya terhadap
eksistensi (wujud). Tauhid merupakan konsepsi sistem keyakinan yang mengajarkan bahwa
Allah SWT adalah zat Yang Maha Esa, sebab dari segala sebab dalam rantai kausalitas. Ajaran
Tauhid membenarkan bahwa manusia dibekali fitrah yaitu suatu potensi alamiah berupa akal
sebagai bekal untuk memilih sikap yang paling tepat serta untuk mengenali dan memverifikasi
kebenaran dan kesalahan (haq dan bathil) secara sadar.
Pada sistem keyakinan lainnya, “Yang Maha” atau yang dirumuskan sebagai Tuhan, hanya
dijelaskan berdasarkan persepsi dan alam pikir manusia sendiri. Sedangkan dalam konsepsi
Tauhid, selain pencarian akal manusia sendiri sebagai alat mendekati kebenaran mutlak, juga
melalui wahyu di mana Tuhan menyatakan dan menjelaskan diri-Nya kepada manusia. Jadi,
Tauhid memberi tuntunan berupa wahyu Allah melalui para nabi. Tauhid merupakan inti ajaran
yang disampaikan pada seluruh manusia di setiap zaman. Ini berarti bahwa ajaran Tauhid adalah
ajaran universal.
3. PENJELASAN ISLAM SEBAGAI AGAMA DAN SISTEM IBADAH
4. PENJELASAN ISLAM SEBAGAI SITEM KEHIDUPAN (Islamic Way Life)
Islam sebagai agama sudah umum dipahami oleh kita, dimana adanya aktifitas yang
mengagungkan (taqdis) terhadap sesuatu yang lebih besar diluar dirinya. Tetapi apakah betul
Islam hanya sebuah agama semata semisal: ibadah mahdah (shalat, zakat, puasa, haji, dzikir dan
shadaqah) atau masalah akhlaq (hati). Sehingga muncul ungkapan: ”Jangan libatkan agama
dalam urusan politik!” atau slogan: “Islam yes, politik no!”, sehingga seolah-olah Islam
silahkan dijalankan dimesjid-mesjid dan diluar mesjid jangan melibatkan Islam. Islam tidak
hanya sebatas agama tetapi juga merupakan sebuah sistem kehidupan (ideologi) yang sangat
sempurna, Allah swt menciptakan manusia tentu tidak akan lupa untuk menciptakan juga aturan
yang dapat menyelamatkan manusia dari kesengsaraan didunia dan akhirat. Maha Suci Allah dari
segala keterlupaan itu. Sebagai acuan untuk mengatur sistem kehidupan adalah Al-Quran dan
Sunnah.
“Aku telah meninggalkan ditengah-tengah kalian dua perkara, kalian tidak akan pernah tersesat
selamanya selama kalian berpegang teguh pada keduanya, yakni Kitabullah dan Sunnah Nabi-
Nya” (HR Imam Malik). Untuk mengatur kehidupan ini, dapat diuraikan dalam 3 bagian:
1. Hubungan manusia dengan Tuhannya.
a. Aqidah: bagaimana manusia mengenal Tuhannya (Tauhid), Muhammad saw utusan-Nya, Al-
Quran sebagai kalamullah, dan lain-lain.
b. Ibadah: shalat, puasa, zakat, haji, dzikir, shadaqah, dan lain-lain.
2. Hubungan manusia dengan dirinya.
a. Akhlaq: sikap moral, sabar, kasih sayang, dan lain-lain.
b. Math’umat (makanan): keharaman babi, khamr, dan lain-lain.
c. Malbusat (pakaian): menutup aurat.
3. Hubungan manusia dengan manusia lainnya.
a. Mu’amalat: perdagangan, industri, kesehatan, sosial, pendidikan, dan lain-lain.
b. ‘Uqubat (sanksi): sanksi terhadap pelanggaran syari’at Islam seperti: had, qishash/jinayat,
ta’zir dan mukhallafat.
Dengan demikian Islam disamping sebuah agama juga sebuah sistem kehidupan, hanya saja
sangat disayangkan sistem kehidupan yang sangat sempurna ini, telah terbukti keberhasilan
penerapannya selama lebih 13 abad dan pasti benar karena berasal dari Allah swt, tidak bisa
diterapkan ditengah-tengah kehidupan kita dan masih sebatas konsep (fikrah) belaka.
Penerapannya masih sebatas ibadah, akhlaq, nikah atau waris, tetapi bagaimana dengan syari’at
Islam yang lain?.
Jika kita fokus kepada masalah tauhid saja, maka kita baru menjalankan Islam disisi hubungan
manusia dengan Tuhannya (aqidah). Jika kita fokus kepada dzikir saja, maka kita baru
menjalankan Islam disisi hubungan manusia dengan Tuhannya (ibadah). Jika kita fokus kepada
masalah akhlaq (hati) saja, maka kita baru menjalankan hubungan manusia dengan manusia lain
(akhlaq). Tetapi bagaimana dengan syari’at Islam lainnya? math’umat (makanan), malbusat
(pakaian), mu’amalat (perdagangan, industri, kesehatan, sosial, pendidikan, dan lain-lain),
‘uqubat (sistem sanksi atas pelaku kriminal), sudahkah kita memahami dan menjalankannya
sesuai Islam?. Makanan sudah halalkah?, pakaian sudah menutup auratkah?, masih korupsikah?,
masih menikmati bunga ribakah?, untuk menghukum pelaku kriminal masih menggunakan
hukum Belanda-kah?, dan lain-lain.
Padahal Allah swt memerintahkan kita menjalankan Islam secara kaffah (total), tidak mengambil
sebagian dan mengabaikan sebagian besar lainnya. Wahai orang-orang yang beriman masuklah
kamu kedalam Islam secara kaffah, dan janganlah kamu turuti langkah-langkah setan.
Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu (Al-Baqarah 208). Sesungguhnya orang-
orang yang kafir kepada Allah dan rasul-Nya dan hendak membedakan antara Allah dan Rasul-
Nya itu, dan berkata: “Kami mempercayai sebagian dan kafir kepada yang lain”. Dan mereka
bermaksud mencari jalan tengah (antara iman dan kafir). Mereka (yang bersikap demikian) itulah
yang kafir tulen, kami menyediakan bagi orang-orang yang kafir azab yang berat (An-Nisa’ 150-
151).
Padahal, tidak ada yang terbebas dari syari’at Islam kecuali 4 jenis manusia saja: anak kecil
hingga baligh, orang gila hingga waras, orang tidur hingga bangun dan orang mati. Kita
termasuk yang mana?, kalau bukan salah satu dari 4 jenis manusia tersebut maka kita wajib
menjalankan syari’at Islam seutuhnya/kaffah. Jika tidak diterapkan hukum-hukum Allah ini
secara sempurna, maka kita hanya bisa berharap-harap cemas agar Allah swt tidak menimpakan
adzabnya kepada kita, atau jangan-jangan kita telah mengalaminya saat ini. Jikalau sekiranya
penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka
berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa
mereka disebabkan perbuatannya (Al-A’raf 96). Telah terjadi kerusakan didarat dan dilaut karena
perbuatan tangan manusia, supaya Allah akan merasakan kepada mereka sebahagian (akibat
tindakan mereka) agar mereka kembali (kejalan yang benar) (Ar-Rum 41).
5. PENJELASAN FUNGSI AL-QU’AN SEBAGAI SUMBER HUKUM UTAMA
A. Al-Qur’an
Al-Qur’an merupakan sumber hukum Islam yang utama. Al-Qur’an bearti bacaan. Secara
maknawi Al-Qur’an adalah kalam Allah SWT. Al-Qur’an merupakan mukjizat yang diturunkan
(diwahyukan) kepada Nabi Muhammad SAW. Al-Qur’an bersifat universal. Universal dalam arti
cakupan sasaran seluruhnya umat manusia tanpa dibatasi ras (suku bangsa) dan wilayah serta
golongan atau strata sosial tertentu. Kedudukan Al-Qur’an adalah sebagai sumber hukum Islam.
Fungsi Al-Qur’an bagi seorang muslim adalah sebagai hukum islam maupun sebagai pedoman.
Melalui Al-Qur’an, Allah SWT memberi pedoman hidup/ penjelasan kepada manusia
diantaranya sebagai berikut:
1. Pemahaman Islam sebagai tauhid yang diridhoi Allah harus didasarkan kepada tuntunan Allah.
Semua keinginan Allah telah dituangkan kedalam kitab suci Al-Qur’an. Karena itu dasar
berpikir tentang Islam sebagai agama yang diridhoi Allah harus berlandaskan Al-Qur’an dan
tidak bertentangan dengan kitab suci sebelumnya.
2. Allah SWT telah menjelaskan bahwa kedengkian, kebencian, perselisihan, pertikaian,
perusakan dan perurusuan adalah sifat iblis atau setan yang terkutuk, bukan sifat manusia yang
meyakini Al-Qur’an sebagai pedoman hidupnya.
3. Demi mencapai keselamatan dan kesejahteraan bagi kehidupan manusia, Allah telah memberi
petunjuk kepada seluruh umat manusia untuk berpedoman kepada kitab suci yang diwahyukan
oleh Allah.
Al-Qur’an memiliki kelebihan dan keistimewaan tersebut antara lain sebagai berikut:
1. Al-Qur’an mengandung ajaran tauhid yang pernah dimuat pada kitab-kitab dan
mengoreksi penyelewengannya.
2. Al-Qur’an ditujukan bagi semua umat sepanjang masa. Adapun kitab-kitab sebelumnya
hanya untuk tertentu saja dan hanya untuk kurun waktu tertentu pula.
3. sebagai pedoman hidup abadi.
4. Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa yangsangat indah, mudah dibaca, diingat, dihafalkan
dan dipahami.

B. Sunnah
Sunnah didefenisikan sebagai jalan hidup. Fungsi sunnah terhadap Al-Qur’an menurut
Muhammad Abu Zahu yaitu:
1. Menegaskan kembali hukum-hukum yang sudah ditetapkan Al-Qur’an.
2. Memberikan penjelasan arti yang masih samar dalam Al-Qur’an.
3. Menetapkan hukum yang tidak dijelaskan dalam Al-Qur’an secara tegas.
4. Menaskahkan hukum-hukum yang ada di dalam Al-Qur’an.

C. Ijtihad
Secara bahasa Ijtihad artinya bersungguh-sungguh, sedangkan secara istilah Ijtihad artinya
berusaha dengan sungguh-sungguh atau mencurahkan tenaga dan pikiran untuk mendapatkan
hukum syara’ dari suatu masalah yang bersumber pada Al-Qur’an dan Hadits. Orang yang
melakukan Ijtihad disebut Mujtahid. Hasil ijtihad merupakan dasar hukum Islam yang ketiga
setelah Al-Qur’an dan Hadits, seorang Mujtahid harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1. Memahami Al-Qur’an dan Hadits dengan hukum-hukum, Asbabun Nuzul, tingkatan
Hadits dan Perawinya.
2. Memahami bahasa arab dengan kelengkapannya.
3. Memahami Ilmu Usul Fiqih secara luas.
4. Hal yang diijtihadkan bukan hukum syara’ yang sudah jelas dasar hukumnya.
5. Memahami soal Ijmak atau pendapat para ulama terdahulu
6. Orang Islam , dewasa, sehat akalnya, serta memiliki kecerdasan.

Kedudukan dan fungsi ijtihad adalah sebagai berikut:


1. Ijtihad merupakan sumber hukum Islam yang ketiga setelah Al-Qur’an dan Al-Hadits.
2. Ijtihad merupakan sarana untuk menyelesaikan permasalahan social dengan ajaran-ajaran
Islam.
3. Ijtihad yaitu sebagai wadah pencurahan pikiran-pikiran kaum muslimin.

6. PENJELASAN FUNGSI AL-HADITS SEBAGAI SUMBER HUKUM KEDUA


Secara bahasa, hadits dapat berarti baru, dekat dan khabar (cerita). Sedangkan dalam tradisi
hukum Islam, hadits berarti segala perkataan, perbuatan dan keizinan Nabi Muhammad SAW
(aqwal, af’al wa taqrir). Akan tetapi para ulama Ushul Fiqh, membatasi pengertian hadits hanya
pada ”ucapan-ucapan Nabi Muhammad SAW yang berkaitan dengan hukum”, sedangkan bila
mencakup, pula perbuatan dan taqrir yang berkaitan dengan hukum, maka ketiga hal ini mereka
namai dengan ”Sunnah”.
Beranjak dari pengertian-pengertian di atas, menarik dibicarakan tentang kedudukan Hadits
dalam Islam. Seperti yang kita ketahui, bahwa Al-Qur’an merupakan sumber hukum
primer/utama dalam Islam. Akan tetapi dalam realitasnya, ada beberapa hal atau perkara yang
sedikit sekali Al-Qur’an membicarakanya, atau Al-Qur’an membicarakan secara global saja, atau
bahkan tidak dibicarakan sama sekali dalam Al-Qur’an. Nah jalan keuar untuk memperjelas dan
merinci keuniversalan Al-Qur’an tersebut, maka diperlukan Al-Hadits/As-Sunnah. Di sinilah
peran dan kedudukan Hadits sebagai tabyin atau penjelas dari Al-Qur’an atau bahkan menjadi
sumber hukum sekunder/kedua_setelah Al-Qur’an.
Sekarang timbulah setidaknya ada dua persoalan yang mendasar, yaitu;
Pertama, dapatkah Sunnah berdiri sendiri dalam menentukan hukum yang tidak ditetapkan
dalam Al-Qur’an?; Kedua, apakah semua perbuatan Nabi Muhammad dapat berfungsi sebagai
sumber hukum yang harus diikuti oleh setiap umat Islam?.
A. Dasar Alasan Sunnah Sebagai Sumber Hukum
Sunnah adalah sumber hukum Islam (pedoman hidup kaum Muslimin) yang kedua setelah Al-
Qur’an. Bagi mereka yang telah beriman terhadap Al-Qur’an sebagai sumber hukum Islam,
maka secara otomatis harus percaya bahwa Sunnah juga merupakan sumber hukum Islam. Bagi
mereka yang menolak kebenaran Sunnah sebagai sumber hukum Islam, bukan saja memperoleh
dosa, tetpai juga murtad hukumnya. Ayat-ayat Al-Qur’an sendiri telah cukup menjadi alasan
yang pasti tentang kebenaran Al-Hadits, ini sebagai sumber hukum Islam. Di dalam Al-Quran
dijelaskan antara lain sebagai berikut:
1. Setiap Mu’min harus taat kepada Allah dan kepada Rasulullah. (Al-Anfal: 20,
Muhammad: 33, an-Nisa: 59, Ali ‘Imran: 32, al- Mujadalah: 13, an-Nur: 54, al-Maidah:
92).
2. Patuh kepada Rasul berarti patuh dan cinta kepada Allah. (An-Nisa: 80, Ali ‘Imran: 31)
3. Orang yang menyalahi Sunnah akan mendapatkan siksa. (Al-Anfal: 13, Al-Mujadilah: 5,
An-Nisa: 115).
4. Berhukum terhadap Sunnah adalah tanda orang yang beriman. (An-Nisa: 65).

Alasan lain mengapa umat Islam berpegang pada hadits karena selain memang di perintahkan
oleh Al-Qur’an, juga untuk memudahkan dalam menentukan (menghukumi) suatu perkara yang
tidak dibicarakan secara rinci atau sama sekali tidak dibicarakan di dalam Al Qur’an sebagai
sumber hukum utama. Apabila Sunnah tidak berfungsi sebagai sumber hukum, maka kaum
Muslimin akan mendapatkan kesulitan-kesulitan dalam berbagai hal, seperti tata cara shalat,
kadar dan ketentuan zakat, cara haji dan lain sebagainya. Sebab ayat-ayat Al-Qur’an dalam hal
ini tersebut hanya berbicara secara global dan umum, dan yang menjelaskan secara terperinci
justru Sunnah Rasulullah. Selain itu juga akan mendapatkan kesukaran-kesukaran dalam hal
menafsirkan ayat-ayat yang musytarak (multi makna), muhtamal (mengandung makna alternatif)
dan sebagainya yang mau tidak mau memerlukan Sunnah untuk menjelaskannya. Dan apabila
penafsiran-penafsiran tersebut hanya didasarkan kepada pertimbangan rasio (logika) sudah
barang tentu akan melahirkan tafsiran-tafsiran yang sangat subyektif dan tidak dapat
dipertanggungjawabkan.
B. Hubungan Al-Hadits/As-Sunnah Dengan Al-Qur’an
Dalam hubungan dengan Al-Qur’an, maka As-Sunnah berfungsi sebagai penafsir, pensyarah,
dan penjelas daripada ayat-ayat tertentu. Apabila disimpulkan tentang fungsi As-Sunnah dalam
hubungan dengan Al-Qur’an itu adalah sebagai berikut :
1. Bayan Tafsir,
yaitu menerangkan ayat-ayat yang sangat umum, mujmal dan musytarak. Seperti hadits : “Shallu
kamaa ro-aitumuni ushalli” (Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihatku shalat) adalah
merupakan tafsiran daripada ayat Al-Qur’an yang umum, yaitu : “Aqimush-shalah” (Kerjakan
shalat). Demikian pula hadits: “Khudzu ‘anni manasikakum” (Ambillah dariku perbuatan hajiku)
adalah tafsir dari ayat Al-Qur’an “Waatimmulhajja” ( Dan sempurnakanlah hajimu ).
2. Bayan Taqrir,
yaitu As-Sunnah berfungsi untuk memperkokoh dan memperkuat pernyataan Al-Qur’an. Seperti
hadits yang berbunyi: “Shoumu liru’yatihiwafthiru liru’yatihi” (Berpuasalah karena melihat
bulan dan berbukalah karena melihatnya) adalah memperkokoh ayat Al-Qur’an dalam surat Al-
Baqarah : 185.
3. Bayan Taudhih,
yaitu menerangkan maksud dan tujuan sesuatu ayat Al-Qur’an, seperti pernyataan Nabi : “Allah
tidak mewajibkan zakat melainkan supaya menjadi baik harta-hartamu yang sudah dizakati”,
adalah taudhih (penjelasan) terhadap ayat Al-Qur’an dalam surat at-Taubah: 34, yang artinya
sebagai berikut : “Dan orang-orang yang menyimpan mas dan perak kemudian tidak
membelanjakannya dijalan Allah maka gembirakanlah mereka dengan azab yang pedih”. Pada
waktu ayat ini turun banyak para sahabat yang merasa berat untuk melaksanakan perintah ini,
maka mereka bertanya kepada Nabi yang kemudian dijawab dengan hadits tersebut.
C. Dapatkah As-Sunnah Berdiri Sendiri Dalam Menentukan Hukum
Dalam pembicaraan hubungan As-Sunnah dengan Al-Qur’an telah disinggung tentang bayan
tasyri’, yaitu hadits adakalanya menentukan suatu peraturan/hukum atas suatu persoalan yang
tidak disinggung sama sekali oleh Al-Qur’an. Walaupun demikian para Ulama telah berselisih
paham terhadap hal ini. Kelompok yang menyetujui mendasarkan pendapatnya pada ‘ishmah
(keterpeliharaan Nabi dari dosa dan kesalahan, khususnya dalam bidang syariat) apalagi sekian
banyak ayat yang menunjukkan adanya wewenang kemandirian Nabi saw. untuk ditaati.
Kelompok yang menolaknya berpendapat bahwa sumber hukum hanya Allah, Inn al-hukm illa
lillah, sehingga Rasul pun harus merujuk kepada Allah SWT (dalam hal ini Al-Quran), ketika
hendak menetapkan hukum.
Kalau persoalannya hanya terbatas seperti apa yang dikemukakan di atas, maka jalan keluarnya
mungkin tidak terlalu sulit, apabila fungsi Al-Sunnah terhadap Al-Quran didefinisikan sebagai
bayan murad Allah (penjelasan tentang maksud Allah) sehingga apakah ia merupakan penjelasan
penguat, atau rinci, pembatas dan bahkan maupun tambahan, kesemuanya bersumber dari Allah
SWT.
Sebenarnya dengan kedudukan Nabi sebagai Rasul pun sudah cukup menjadi jaminan (sesuai
dengan fungsinya sebagai tasyri’) adalah harus menjadi pedoman bagi umatnya, dan seterusnya.
Tetapi mereka yang keberatan, beralasan antara lain: Bahwa fungsi Sunnah itu tidak lepas dari
tabyin atas apa yang dinyatakan Al-Qur’an sebagaimana penegasan Allah:
“keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. dan Kami turunkan kepadamu Al Quran,
agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka” (An-
Nahl: 44)
Maka apa saja yang diungkap Sunnah sudah ada penjelasannya dalam Al-Qur’an meski secara
umum sekalipun. Sebab Al-Qur’an sendiri menegaskan
“Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab ini” (Al-An’am : 38)
Sebenarnya kedua pendapat itu tidak mempunyai perbedaan yang pokok. Walaupun titik tolak
berpikirnya berbeda, tetapi kesimpulannya adalah sama. Yang diperdebatkan keduanya adalah
soal adanya hadits yang berdiri sendiri. Apakah betul-betul ada atau hanya karena menganggap
Al-Qur’an tidak membahasnya, padahal sebenarnya membahas.
Seperti dalam soal haramnya kawin karena sesusuan, menurut pihak pertama adalah karena
ditetapkan oleh Sunnah yang berdiri sendiri, tetapi ketetapan itu adalah sebagai tabyin/tafsir
daripada ayat Al-Qur’an yang membahasnya secara umum dan tidak jelas. Mereka sama-sama
mengakui tentang adanya sesuatu tersebut tetapi mereka berbeda pendapat tentang apakah Al-
Qur’an pernah menyinggungnya atau tidak (hanya ditetapkan oleh Sunnah saja)
Dalam kasus-kasus persoalan lain sebenarnya masih banyak hal-hal yang ditetapkan oleh Sunnah
saja, yang barangkali sangat sulit untuk kita cari ayat Al-Qur’an yang membahasnya, walaupun
secara umum dan global. Oleh karena itulah kita cenderung untuk berpendapat sama dengan
pihak yang pertama.
D. Apakah Semua Perbuatan Nabi Muhammad Saw Dapat Berfungsi Sebagai Sumber Hukum,
Yang Harus Diikuti Oleh Setiap Muslim?
Pada dasarnya seorang Nabi punya peran sebagai panutan bagi umatnya. Sehingga umatnya
wajib menjadikan diri seorang Nabi sebagai suri tauladan dalam hidupnya.
Namun perlu juga diketahui bahwa tidak semua perbuatan Nabi menjadi ajaran yang wajib untuk
diikuti. Memang betul bahwa para prinsipnya perbuatan Nabi itu harus dijadikan tuntunan dan
panutan dalam kehidupan. Akan tetapi kalau kita sudah sampai detail masalah, ternyata tetap ada
yang menjadi wilayah khushushiyah beliau. Ada beberapa amal yang boleh dikerjakan oleh Nabi
tetapi haram bagi umatnya. Di sisi lain ada amal yang wajib bagi Nabi tapi bagi umatnya hanya
menjadi Sunnah. Lalu ada juga yang haram dikerjakan oleh Nabi tetapi justru boleh bagi
umatnya. Hal ini bisa kita telaah lebih lanjut dalam beberapa uraian berikut ini:
1. Boleh bagi Nabi, haram bagi umatnya
Ada beberapa perbuatan hanya boleh dikerjakan oleh Rasulullah SAW, sebagai sebuah
pengecualian. Namun bagi kita sebagai umatnya justru haram hukumnya bila dikerjakan.
Contohnya antara lain:
a. Berpuasa Wishal
Puasa wishal adalah puasa yang tidak berbuka saat Maghrib, hingga puasa itu bersambung terus
sampai esok harinya. Nabi Muhammad SAW berpuasa wishal dan hukumnya boleh bagi beliau,
sementara umatnya justru haram bila melakukannya.
b. Boleh beristri lebih dari empat wanita
Contoh lainnya adalah masalah kebolehan poligami lebih dari 4 isteri dalam waktu yang
bersamaan. Kebolehan ini hanya berlaku bagi Rasulullah SAW seorang, sedangkan umatnya
justru diharamkan bila melakukannya.
c. Yang wajib bagi Nabi, Sunnah bagi ummatnya
Sedangkan dari sisi kewajiban, ada beberapa amal yang hukumnya wajib dikerjakan oleh
Rasulullah SAW, namun hukumnya hanya Sunnah bagi umatnya, diantaranya:
1. Shalat Dhuha’ : Shalat dhuha’ yang hukumnya Sunnah bagi kita, namun bagi Nabi
hukumnya wajib.
2. Qiyamullail : Demikian juga dengan shalat malam (qiyamullaih) dan dua rakaat fajar.
Hukumnya Sunnah bagi kita tapi wajib bagi Rasulullah SAW.
3. Bersiwak : Selain itu juga ada kewajiban bagi beliau untuk bersiwak, padahal bagi
umatnya hukumnya hanya Sunnah saja.
4. Bermusyawarah : Hukumnya wajib bagi Nabi SAW namun Sunnah bagi umatnya.
5. Menyembelih kurban (udhhiyah) : Hukumnya wajib bagi Nabi SAW namun Sunnah bagi
umatnya.
d. Yang haram bagi Nabi tapi boleh bagi ummatnya
1. Menerima harta zakat : Semiskin apapun seorang Nabi, namun beliau diharamkan menerima
harta zakat. Demikian juga hal yang sama berlaku bagi keluarga beliau (ahlul bait).
2. Makan makanan yang berbau : Segala jenis makanan yang berbau kurang sedang hukumnya
haram bagi beliau, seperti bawang dan sejenisnya. Hal itu karena menyebabkan tidak mau
datangnya malakat kepadanya untuk membawa wahyu. Sedangkan bagi umatnya, hukumnya
halal, setidaknya hukumnya makruh. Maka jengkol, petai dan makanan sejenisnya, masih halal
dan tidak berdosa bila dimakan oleh umat Muhammad SAW.
3. Haram menikahi wanita ahlulkitab : Karena isteri Nabi berarti umahat muslim, ibunda orang-
orang muslim. Kalau isteri Nabi beragam nasrani atau yahudi, maka bagaimana mungkin bisa
terjadi. Sedangkan bagi umatnya dihalalkan menikahi wanita ahli kitab, sebagaimana telah
dihalalkan oleh Allah SWT di dalam Al-Quran surat Al-Maidah ayat 3.
Selain hal-hal yang diuraikan di atas, perbuatan-perbuatan Nabi Muhammad sebelum kerasulan
bukan merupakan sumber hukum dan tidak wajib diikuti. Walaupun oleh sejarah dicatat bahwa
perbuatan dan perkataan Nabi selalu terpuji dan benar, sehingga beliau mendapatkan gelar Al-
Amin. Akan tetapi kehiupannya waktu itu bisa dijadikan sebagai suatu contoh yang sangat baik
bagi kehidupan setiap setiap muslim. Sebagaimana bolehnya kita mengambil contoh atas
perbuatan-perbuatan yang baik walaupun dari orang luar Islam sekalipun.
Semua contoh di atas merupakan hasil istimbath hukum para ulama dengan cara memeriksa
semua dalil baik yang ada di dalam Al-Quran maupun yang ada di dalam Sunnah Nabi SAW.
7. PENJELASAN IJMA’ DAN QIYAS SEBAGAI DASAR HUKUM ISLAM IJTIHADI
A. Ijma’
1. Pengertian Ijma’
Ijma’ menurut bahasa Arab berarti kesepakatan atau sependapat tentang sesuatu hal, seperti
perkataan seseorang ( ) yang berati “kaum itu telah sepakat (sependapat) tentang yang
demikian itu.” Menurut istilah ijma’, ialah kesepakatan mujtahid ummat Islam tentang hukum
syara’ dari peristiwa yang terjadi setelah Rasulullah SAW meninggal dunia. Sebagai contoh ialah
setelah Rasulullah SAW meninggal dunia diperlukan pengangkatan seorang pengganti beliau
yang dinamakan khalifah. Maka kaum muslimin yang ada pada waktu itu sepakat untuk
mengangkat seorang khalifah dan atas kesepakatan bersama pula diangkatlah Abu Bakar RA
sebagai khalifah pertama. Sekalipun pada permulaannya ada yang kurang menyetujui
pengangkatan Abu Bakar RA itu, namun kemudian semua kaum muslimin menyetujuinya.
Kesepakatan yang seperti ini dapat dikatakan ijma’.
2. Dasar hukum ijma’
Dasar hukum ijma’ berupa aI-Qur’an, al-Hadits dan akal pikiran.
a. Al-Qur’an
Allah SWT berfirman:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan ulil amri
diantara kamu.” (an-Nisâ’: 59)
Perkataan amri yang terdapat pada ayat di atas berarti hal, keadaan atau urusan yang bersifat
umum meliputi urusan dunia dan urusan agama. Ulil amri dalam urusan dunia ialah raja, kepala
negara, pemimpin atau penguasa, sedang ulil amri dalam urusan agama ialah para mujtahid. Dari
ayat di atas dipahami bahwa jika para ulil amri itu telah sepakat tentang sesuatu ketentuan atau
hukum dari suatu peristiwa, maka kesepakatan itu hendaklah dilaksanakan dan dipatuhi oleh
kaum muslimin.Firman AIlah SWT:
Artinya: “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah dan janganlah kamu
bercerai-berai.” (Ali Imran: 103).
Ayat ini memerintahkan kaum muslimin bersatu padu, jangan sekali-kali bercerai-berai.
Termasuk dalam pengertian bersatu itu ialah berijma’ (bersepakat) dan dilarang bercerai-berai,
yaitu dengan menyalahi ketentuan-ketentuan yang telah disepakati oleh para mujtahid. Firman
Allah SWT:
Artinya: “Dan barangsiapa yang menantang Rasul setelah jelas kebenaran baginya dan mengikuti
jalan yang bukan jalan orang-orang yang beriman, Kami biarkan ia berkuasa terhadap kesesatan
yang telah dikuasainya itu dan Kami masukan ia ke dalam jahannam dan jahannam itu seburuk-
buruk tempat kembali.” (an-Nisâ’: 115).
Pada ayat di atas terdapat perkataan sabîlil mu’minîna yang berarti jalan orang-orang yang
beriman. Jalan yang disepakati orang-orang beriman dapat diartikan dengan ijma’, sehingga
maksud ayat ialah: “barangsiapa yang tidak mengikuti ijma’ para mujtahidin, mereka akan sesat
dan dimasukkan ke dalam neraka.”
b. AI-Hadits
Bila para mujtahid telah melakukan ijma’ tentang hukum syara’ dari suatu peristiwa atau
kejadian, maka ijma’ itu hendaklah diikuti, karena mereka tidak mungkin melakukan
kesepakatan untuk melakukan kesalahan apalagi kemaksiatan dan dusta, sebagaimana sabda
Rasulullah SAW:
Artinya: “umatku tidak akan bersepakat untuk melakukan kesalahan.”(HR. Abu Daud dan
Tirmidzi)
c. Akal pikiran
Setiap ijma’ yang dilakukan atas hukum syara’, hendaklah dilakukan dan dibina atas asas-asas
pokok ajaran Islam. Karena itu setiap mujtahid dalam berijtihad hendaklah mengetahui dasar-
dasar pokok ajaran Islam, batas-batas yang telah ditetapkan dalam berijtihad serta hukum-hukum
yang telah ditetapkan. Bila ia berijtihad dan dalam berijtihad itu ia menggunakan nash, maka
ijtihadnya tidak boleh melampaui batas maksimum dari yang mungkin dipahami dari nash itu.
Sebaliknya jika dalam berijtihad, ia tidak menemukan satu nashpun yang dapat dijadikan dasar
ijtihadnya, maka dalam berijtihad ia tidak boleh melampaui kaidah-kaidah umum agama Islam,
karena itu ia boleh menggunakan dalil-dalil yang bukan nash, seperti qiyas, istihsan dan
sebagainya. Jika semua mujtahid telah melakukan seperti yang demikian itu, maka hasil ijtihad
yang telah dilakukannya tidak akan jauh menyimpang atau menyalahi al-Qur’an dan al-Hadits,
karena semuanya dilakukan berdasar petunjuk kedua dalil ltu. Jika seorang mujtahid boleh
melakukan seperti ketentuan di atas, kemudian pendapatnya boleh diamalkan, tentulah hasil
pendapat mujtahid yang banyak yang sama tentang hukum suatu peristiwa lebih utama
diamalkan.
3. Rukun-rukun ijma’
Dari definisi dan dasar hukum ijma’ di atas, maka ulama ushul fiqh menetapkan rukun-rukun
ijma’ sebagai berikut:
1. Harus ada beberapa orang mujtahid dikala terjadinya peristiwa dan para mujtahid itulah
yang melakukan kesepakatan (menetapkan hukum peristiwa itu. Seandainya tidak ada
beberapa orang mujtahid di waktu terjadinya suatu peristiwa tentulah tidak akan terjadi
ijma’, karena ijma’ itu harus dilakukan oleh beberapa orang.
2. Yang melakukan kesepakatan itu hendaklah seluruh mujtahid yang ada dalam dunia
Islam. Jika kesepakatan itu hanya dilakukan oleh para mujtahid yang ada pada suatu
negara saja, maka kesepakatan yang demikian belum dapat dikatakan suatu ijma’.
3. Kesepakatan itu harus dinyatakan secara tegas oleh setiap mujtahid bahwa ia sependapat
dengan mujtahid-mujtahid yang lain tentang hukum (syara’) dari suatu peristiwa yang
terjadi pada masa itu. Jangan sekali-kali tersirat dalam kesepakatan itu unsur-unsur
paksaan, atau para mujtahid yang diharapkan kepada suatu keadaan, sehingga ia harus
menerima suatu keputusan. Kesepakatan itu dapat dilakukan dengan berbagai cara,
seperti dengan pernyataan lisan, dengan perbuatan atau dengan suatu sikap yang
menyatakan bahwa ia setuju atas suatu keputusan hukum yang telah disetujui oleh para
mujtahid yang lain. Tentu saja keputusan yang terbaik ialah keputusan sebagai hasil suatu
musyawarah yang dilakukan para mujtahid.
4. Kesepakatan itu hendaklah merupakan kesepakatan yang bulat dari seluruh mujtahid.
Seandainya terjadi suatu kesepakatan oleh sebahagian besar mujtahid yang ada, maka
keputusan yang demikian belum pasti ke taraf ijma’. Ijma’ yang demikian belum dapat
dijadikan sebagai hujjah syari’ah.

4. Kemungkinan terjadinya ijma’


Jika diperhatikan sejarah kaum muslimin sejak zaman Rasulullah SAW sampai sekarang,
dihubungkan dengan kemungkinan terjadinya ijma’, maka ijma’ dapat dibagi atas tiga periode,
yaitu: Periode Rasulullah SAW; Periode Khalifah Abu Bakar Shiddiq dan Khalifah Umar bin
Khattab; dan Periode sesudahnya.
Pada masa Rasulullah SAW, beliau merupakan sumber hukum. Setiap ada peristiwa atau
kejadian, kaum muslimin mencari hukumnya pada al-Qur’an yang telah diturunkan dan hadits
yang telah disabdakan oleh Rasulullah SAW. Jika mereka tidak menemukannya dalam kedua
sumber itu, mereka langsung menanyakannya kepada Rasulullah. Rasululah adakalanya
langsung menjawabnya, adakalanya menunggu ayat al-Qur’an turunkan Allah SWT. Karena itu
kaum muslimin masih satu, belum nampak perbedaan pendapat yang menetapkan hukum suatu
peristiwa atau kejadian yang mereka alami. Setelah Rasulullah SAW meninggal dunia, kaum
muslimin kehilangan tempat bertanya, namun mereka telah mempunyai pegangan yang lengkap,
yaitu al-Qur’an dan al-Hadits. Jika ada kejadian atau peristiwa yang memerlukan penetapan
hukum, mereka berijtihad, tetapi belum ada bukti yang nyata bahwa mereka telah berijma’.
Seandainya ada ijma’ itu, kemungkinan terjadi pada masa khalifah Abu Bakar, Khalifah Umar
atau sedikit kemungkinan pada masa enam tahun pertama Khalifah Utsman. Hal ini adalah
karena pada masa itu kaum muslimin masih satu, belum ada perbedaan pendapat yang tajam
diantara kaum muslimin, disamping daerah Islam belum begitu luas, masih mungkin
mengumpulkan para sahabat atau orang yang dipandang sebagai mujtahid. Setelah enam tahun
bahagian kedua kekhalifahan Utsman, mulailah nampak gejala-gejala perpecahan di kalangan
kaum muslimin. Hal ini dimulai dengan tindakan Utsman mengangkat anggota keluarganya
sebagai penjabat jabatan-jabatan penting dalam pemerintahan (nepotisme). Setelah Khalifah
Utsman terbunuh, perpecahan di kalangan kaum muslimin semakin terjadi, seperti peperangan
antara Ali bin Abi Thalib dengan Mu’awiyah bin Abu Sofyan, peperangan antara Ali bin Abi
Thalib dengan Aisyah yang terkenal dengan perang Jamal, timbul golongan Khawarij, golongan
Syi’ah golongan Mu’awiyah dan sebagainya. Demikianlah perselisihan dan perpecahan itu
terjadi pula semasa dinasti Amawiyah, semasa dinasti Abbasiyah, semasa dinasti Fathimiyah dan
sebagainya, sehingga dana dan tenaga umat Islam terkuras dan habis karenanya.
Disamping itu daerah Islam semakin luas, sejak dari Asia Tengah (Rusia Selatan sekarang)
sampai kebagian tengah benua Afrika, sejak ujung Afrika Barat sampai Indonesia, Tiongkok
Selatan, Semenanjung Balkan dan Asia Kecil. Karena itu amat sukar melakukan ijma’ dalam
keadaan dan luas daerah yang demikian.
Dari keterangan di atas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Ijma’ tidak diperlukan pada masa Nabi Muhammad SAW;
2. Ijma’ mungkin terjadi pada masa Khalifah Abu Bakar, Khalifah Umar bin Khattab, dan
enam tahun pertama Khalifah Utsman; dan
3. Setelah masa enam tahun kedua pemerintahan Khalifah Utsman sampai saat ini tidak
mungkin terjadi ijma’ sesuai dengan rukun-rukun yang telah ditetapkan di atas,
mengingat keadaan kaum muslim yang tidak bersatu serta luasnya daerah yang
berpenduduk Islam.

Pada masa sekarang telah banyak berdiri negara-negara Islam yang berdaulat atau suatu negara
yang bukan negara Islam tetapi penduduknya mayoritas beragama Islam atau minoritas
penduduknya beragama Islam. Pada negara-negara tersebut sekalipun penduduknya minoritas
beragama Islam, tetapi ada peraturan atau undang-undang yang khusus bagi umat Islam.
Misalnya India, mayoritas penduduknya beragama Hindu, hanya sebagian kecil yang beragama
Islam. Tetapi diberlakukan undang-undang perkawinan khusus bagi umat Islam. Undang-undang
itu ditetapkan oleh pemerintah dan parlemen India setelah musyawarah dengan para mujtahid
kaum muslimin yang ada di India. Jika persepakatan para mujtahid India itu dapat dikatakan
sebagai ijma’, maka ada kemungkinan terjadinya ijma’ pada masa setelah Khalifah Utsman
sampai sekarang sekalipun ijma’ itu hanya dapat dikatakan sebagai ijma’ lokal.
Jika demikian dapat ditetapkan definisi ijma’, yaitu keputusan hukum yang diambil oleh wakil-
wakil umat Islam atau para mujtahid yang mewakili segala lapisan masyarakat umat Islam.
Karena dapat dikatakan sebagai ulil amri sebagaimana yang tersebut pada ayat 59 surat an-Nisâ’
atau sebagai ahlul halli wal ‘aqdi. Mereka diberi hak oleh agama Islam untuk membuat undang-
undang atau peraturan-peraturan yang mengatur kepentingan-kepentingan rakyat mereka.
Hal yang demikian dibolehkan dalam agam Islam. Jika agama Islam membolehkan seorang yang
memenuhi syarat-syarat mujtahid untuk berijtihad, tentu saja beberapa orang mujtahid dalam
suatu negara boleh pula bersama-sama memecahkan permasalahan kaum muslimin kemudian
menetapkan suatu hukum atau peraturan. Pendapat sebagai hasil usaha yang dilakukan orang
banyak tentu lebih tinggi nilainya dari pendapat yang dilakukan oleh orang seorang.
5. Macam-macam ijma’
Sekalipun sukar membuktikan apakah ijma’ benar-benar terjadi, namun dalam kitab-kitab fiqh
dan ushul fiqh diterangkan macam-macam ijma’. Diterangkan bahwa ijma’ itu dapat ditinjau dari
beberapa segi dan tiap-tiap segi terdiri atas beberapa macam. Ditinjau dari segi cara terjadinya,
maka ijma’ terdiri atas:
1. ljma’ bayani, yaitu para mujtahid menyatakan pendapatnya dengan jelas dan tegas, baik
berupa ucapan atau tulisan. Ijma’ bayani disebut juga ijma’ shahih, ijma’ qauli atau ijma’
haqiqi;
2. Ijma’ sukuti, yaitu para mujtahid seluruh atau sebahagian mereka tidak menyatakan
pendapat dengan jelas dan tegas, tetapi mereka berdiam diri saja atau tidak memberikan
reaksi terhadap suatu ketentuan hukum yang telah dikemukakan mujtahid lain yang hidup
di masanya. Ijma’ seperti ini disebut juga ijma’ ‘itibari.

Ditinjau dari segi yakin atau tidaknya terjadi suatu ijma’, dapat dibagi kepada:
1. ljma’ qath’i, yaitu hukum yang dihasilkan ijma’ itu adalah qath’i diyakini benar
terjadinya, tidak ada kemungkinan lain bahwa hukum dari peristiwa atau kejadian yang
telah ditetapkan berbeda dengan hasil ijma’ yang dilakukan pada waktu yang lain;
2. ljma’ dhanni, yaitu hukum yang dihasilkan ijma’ itu dhanni, masih ada kemungkinan lain
bahwa hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan berbeda dengan hasil
ijtihad orang lain atau dengan hasil ijma’ yang dilakukan pada waktu yang lain.

Dalam kitab-kitab fiqh terdapat pula beberapa macam ijma’ yang dihubungkan dengan masa
terjadi, tempat terjadi atau orang yang melaksanakannya. Ijma’-ijma’ itu ialah:
1. Ijma’ sahabat, yaitu ijma’ yang dilakukan oleh para sahabat Rasulullah SAW;
2. Ijma’ khulafaurrasyidin, yaitu ijma’ yang dilakukan oleh Khalifah Abu Bakar, Umar,
Utsman dan Ali bin Abi Thalib. Tentu saja hal ini hanya dapat dilakukan pada masa ke-
empat orang itu hidup, yaitu pada masa Khalifah Abu Bakar. Setelah Abu Bakar
meninggal dunia ijma’ tersebut tidak dapat dilakukan lagi;
3. Ijma’ shaikhan, yaitu ijma’ yang dilakukan oleh Abu Bakar dan Umar bin Khattab;
4. Ijma’ ahli Madinah, yaitu ijma’ yang dilakukan oleh ulama-ulama Madinah. Ijma’ ahli
Madinah merupakan salah satu sumber hukum Islam menurut Madzhab Maliki, tetapi
Madzhab Syafi’i tidak mengakuinya sebagai salah satu sumber hukum Islam;
5. Ijma’ ulama Kufah, yaitu ijma’ yang dilakukan oleh ulama-ulama Kufah. Madzhab
Hanafi menjadikan ijma’ ulama Kufah sebagai salah satu sumber hukum Islam.

6. Obyek ijma’
Obyek ijma’ ialah semua peristiwa atau kejadian yang tidak ada dasarnya dalarn al-Qur’an dan
al-Hadits, peristiwa atau kejadian yang berhubungan dengan ibadat ghairu mahdhah (ibadat
yanng tidak langsung ditujukan kepada Allah SWT) bidang mu’amalat, bidang kemasyarakatan
atau semua hal-hal yang berhubungan dengan urusan duniawi tetapi tidak ada dasarnya dalam al-
Qur’an dan al-Hadits.
B. Qiyas
Qiyas Sebagian besar para ulama fiqh dan para pengikut madzhab yang empat sependapat bahwa
qiyas dapat dijadikan salah satu dalil atau dasar hujjah dalam menetapkan hukum dalam ajaran
Islam.
1. Pengertian qiyas
Qiyas menurut bahasa Arab berarti menyamakan, membandingkan atau mengukur, seperti
menyamakan si A dengan si B, karena kedua orang itu mempunyai tinggi yang sama, bentuk
tubuh yang sama, wajah yang sama dan sebagainya. Qiyas juga berarti mengukur, seperti
mengukur tanah dengan meter atau alat pengukur yang lain. Demikian pula membandingkan
sesuatu dengan yang lain dengan mencari persamaan-persamaannya.
Menurut para ulama ushul fiqh, ialah menetapkan hukum suatu kejadian atau peristiwa yang
tidak ada dasar nashnya dengan cara membandingkannya kepada suatu kejadian atau peristiwa
yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash karena ada persamaan ‘illat antara
kedua kejadian atau peristiwa itu.
Telah terjadi suatu kejadian atau peristiwa yang perlu ditetapkan hukumnya, tetapi tidak ada nash
yang dapat dijadikan dasar untuk menetapkannya. Untuk menetapkan hukumnya dapat ditempuh
dengan cara qiyas, yaitu dengan mencari peristiwa yang lain yang telah ditetapkan hukumnya
berdasar nash, serta antara kedua kejadian atau peristiwa itu ada persamaan ‘illat. Jadi suatu
qiyas hanya dapat dilakukan apabila telah diyakini bahwa benar-benar tidak ada satupun nash
yang dapat dijadikan dasar untuk menetapkan hukum suatu peristiwa atau kejadian. Karena itu
tugas pertama yang harus dilakukan oleh seorang yang akan melakukan qiyas, ialah mencari:
apakah ada nash yang dapat dijadikan dasar untuk menetapkan hukum dari peristiwa atau
kejadian. Jika telah diyakini benar tidak ada nash yang dimaksud barulah dilakukan qiyas. Agar
lebih mudah memahaminya dikemukakan contoh-contoh berikut:
1. Minum narkotik adalah suatu perbuatan yang perlu diterapkan hukumnya, sedang tidak
satu nashpun yang dapat dijadikan sebagai dasar hukumnya. Untuk menetapkan
hukumnya dapat ditempuh cara qiyas dengan mencari perbuatan yang lain yang telah
ditetapkan hukumnya berdasar nash, yaitu perbuatan minum khamr, yang diharamkan
berdasar firman Allah SWT.

Artinya:“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (minum) khamr; berjudi, menyembah


patung dan mengundi nasib dengan anak panah tidak lain hanyalah suatu yang kotor, termasuk
perbuatan syaitan, karena itu hendaklah kamu jauhi agar kamu mendapat keberuntungan.” (al-
Mâidah: 90)
Antara minum narkotik dan minum khamr ada persamaan, illatnya, yaitu sama-sama berakibat
memabukkan para peminumnya, sehingga dapat merusak akal. Berdasarkan persamaan ‘illat itu
ditetapkanlah hukum meminum narkotik itu yaitu haram, sebagaimana haramnya meminum
khamr.
b. Si A telah menerima wasiat dari B bahwa ia akan menerima sebidang tanah yang telah
ditentukan, jika B meninggal dunia. A ingin segera memperoleh tanah yang diwasiatkan, karena
itu dibunuhnyalah B. Timbul persoalan: Apakah A tetap memperoleh tanah yang diwasiatkan itu?
Untuk menetapkan hukumnya dicarilah kejadian yang lain yang ditetapkan hukumnya berdasar
nash dan ada pula persamaan ‘illatnya. Perbuatan itulalah pembunuhan yang dilakukan oleh ahli
waris terhadap orang yang akan diwarisinya, karena ingin segera memperoleh harta warisan.
Sehubungan dengan itu Rasulullah SAW bersabda:
Artinya: “Orang yang membunuh (orang yang akan diwarisinya) tidak berhak mewarisi.” (HR.
Tirmidzi). Antara kedua peristiwa itu ada persamaan ‘illatnya, yaitu ingin segera memperoleh
sesuatu sebelum sampai waktu yang ditentukan. Berdasarkan persamaan ‘illat itu dapat
ditetapkan hukum bahwa si A haram memperoleh tanah yang diwariskan B untuknya, karena ia
telah membunuh orang yang telah berwasiat untuknya, sebagaimana orang yang membunuh
orang yang akan diwarisinya, diharamkan memperolah harta warisan dari orang yang telah
dibunuhnya.
c. Terus melakukan sesuatu pekerjaan, seperti mencangkul di sawah, bekerja di kantor, dan
sebagainya setelah mendengar adzan untuk melakukan shalat Jum’at belum ditetapkan
hukumnya. Lalu dicari perbuatan lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasar nash dan ada
pula persamaan ‘illatnya, yaitu terus menerus melakukan jual beli setelah mendengar adzan
Jum’at, yang hukumnya makruh. Berdasar firman AIIah SWT:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila diserukan (adzan) untuk sembahyang hari
Jum’at, maka hendaklah segera mengingat Allah (shalat Jum’at) dan meninggalkan jual-beli.
Yang demikian itu lebih baik untukmu jika kamu mengetahui.” (al-Jumu’ah: 9)
Antara kedua pekerjaan itu ada persamaan ‘illatnya, karena itu dapat pula ditetapkan hukum
mengerjakan suatu pekerjaan setelah mendengar adzan Jum’at, yaitu makruh seperti hukum
melakukan jual-beli setelah mendengar adzan Ju’mat.
Dari contoh-contoh di atas dapat dilihat bahwa dalam melakukan qiyas ada satu peristiwa atau
kejadian yang perlu ditetapkan hukumnya sedang tidak ada satupun nash yang dapat dijadikan
dasar hukumnya untuk menetapkan hukum dari peristiwa atau kejadian itu, dicarilah peristiwa
yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasar nash. Kedua peristiwa atau kejadian itu
mempunyai ‘illat yang sama pula. Kemudian ditetapkanlah hukum peristiwa atau kejadian yang
pertama sama dengan hukum peristiwa atau kejadian yang kedua.
2. Dasar hukum qiyas
Sebagian besar para ulama fiqh dan para pengikut madzhab yang empat sependapat bahwa qiyas
dapat dijadikan salah satu dalil atau dasar hujjah dalam menetapkan hukum dalam ajaran Islam.
Hanya mereka berbeda pendapat tentang kadar penggunaan qiyas atau macam-macam qiyas
yang boleh digunakan dalam mengistinbathkan hukum, ada yang membatasinya dan ada pula
yang tidak membatasinya, namun semua mereka itu barulah melakukan qiyas apabila ada
kejadian atau peristiwa tetapi tidak diperoleh satu nashpun yang dapat dijadikan dasar.
Hanya sebagian kecil para ulama yang tidak membolehkan pemakaian qiyas sebagai dasar
hujjah, diantaranya ialah salah satu cabang Madzhab Dzahiri dan Madzhab Syi’ah. Mengenai
dasar hukum qiyas bagi yang membolehkannya sebagai dasar hujjah, ialah al-Qur’an dan al-
Hadits dan perbuatan sahabat yaitu:
a. Al-Qur’an
1) Allah SWT berfirman:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan ulil amri
kamu, kemudian jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada
Allah dan Rasul, jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhirat. Yang demikian itu lebih baik
(bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (an-Nisâ’: 59).
Dari ayat di atas dapat diambilah pengertian bahwa Allah SWT memerintahkan kaum muslimin
agar menetapkan segala sesuatu berdasarkan al-Qur’an dan al-Hadits. Jika tidak ada dalam al-
Qur’an dan al-Hadits hendaklah mengikuti pendapat ulil amri. Jika tidak ada pendapat ulil amri
boleh menetapkan hukum dengan mengembalikannya kepada al-Qur’an dan al-Hadits, yaitu
dengan menghubungkan atau memperbandingkannya dengan yang terdapat dalam al-Qur’an dan
al-Hadits. Dalam hal ini banyak cara yang dapat dilakukan diantaranya dengan melakukan qiyas.
Artinya:“Dialah yang mengeluarkan orang-orang kafir ahli kitab dari kampung halaman mereka
pada pengusiran pertama kali. Kamu tidak mengira bahwa mereka akan keluar dan merekapun
yakin bahwa benteng-benteng mereka akan dapat menghindarkan mereka dari (siksaan) Allah,
akan tetapi Allah mendatangkan kepada mereka (siksaan) dari arah yang tidak mereka sangka.
Dan Allah menanamkan ketakutan ke dalam hati mereka, dan mereka membinasakan rumah-
rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan-tangan orang yang beriman. Maka
ambillah tamsil dan ibarat (dari kejadian itu) hai orang-orang yang mempunyai pandangan yang
tajam.” (al-Hasyr: 2). Pada ayat di atas terdapat perkataan fa’tabirû yâ ulil abshâr (maka ambillah
tamsil dan ibarat dari kejadian itu hai orang-orang yang mempunyai pandangan tajam).
Maksudnya ialah: Allah SWT memerintahkan kepada manusia agar membandingkan kejadian
yang terjadi pada diri sendiri kepada kejadian yang terjadi pada orang-orang kafir itu. Jika orang-
orang beriman melakukan perbuatan seperti perbuatan orang-orang kafir itu, niscaya mereka
akan memperoleh azab yang serupa. Dari penjelmaan ayat di atas dapat dipahamkan bahwa
orang boleh menetapkan suatu hukum syara’ dengan cara melakukan perbandingan, persamaan
atau qiyas.
b. Al-Hadits.
1. Setelah Rasulullah SAW melantik Mu’adz bin Jabal sebagai gubernur Yaman, beliau
bertanya kepadanya:
Artinya:
“Bagaimana (cara) kamul menetapkan hukum apabila dikemukakan suatu peristiwa kepadamu?
Mu’adz menjawab: Akan aku tetapkan berdasar al-Qur’an. Jika engkau tidak memperolehnya
dalam al-Qur’an? Mu’adz berkata: Akan aku tetapkan dengan sunnah Rasulullah. Jika engkau
tidak memperoleh dalam sunnah Rasulullah? Mu’adz menjawab: Aku akan berijtihad dengan
menggunakan akalku dengan berusaha sungguh-sungguh. (Mu’adz berkata): Lalu Rasulullah
menepuk dadanya dan berkata: Segala puji bagi Allah yang telah memberi petunjuk petugas yang
diangkat Rasulullah, karena ia berbuat sesuai dengan yang diridhai Allah dan Rasul-Nya.” (HR.
Ahmad Abu Daud dan at-Tirmidzi).
Dari hadits ini dapat dipahami bahwa seorang boleh melakukan ijtihad dalam menetapkan
hukum suatu peristiwa jika tidak menemukan ayat-ayat al-Qur’an dan al-Hadits yang dapat
dijadikan sebagai dasarnya. Banyak cara yang dapat dilakukan dalam berijtihad itu. Salah satu
diantaranya ialah dengan menggunakan qiyas.
2. Rasulullah SAW pernah menggunakan qiyas waktu menjawab pertanyaan yang dikemukakan
sahabat kepadanya, seperti:
Artinya:
“Sesungguhnya seorang wanita dari qabilah Juhainah pernah menghadap Rasullah SAW ia
berkata: sesungguhnya ibuku telah bernadzar melaksanakan ibadah haji, tetapi ia tidak sempat
melaksanakannya sampai ia meninggal dunia, apakah aku berkewajiban melaksanakan hajinya?
Rasullah SAW menjawab: Benar, laksanakanlah haji untuknya, tahukah kamu, seandainya ibumu
mempunnyai hutang, tentu kamu yang akan melunasinya. Bayarlah hutang kepada Allah, karena
hutang kepada Allah lebih utama untuk dibayar.” (HR. Bukhari dan an-Nasâ’i)
Pada hadits di atas Rasulullah mengqiyaskan hutang kepada Allah dengan hutang kepada
manusia. Seorang anak perempuan menyatakan bahwa ibunya telah meninggal dunia dalam
keadaan berhutang kepada Allah, yaitu belum sempat menunaikan nadzarnya untuk menunaikan
ibadah haji. Kemudian Rasulullah SAW menjawab dengan mengqiyaskannya kepada hutang.
Jika seorang ibu meninggal dunia dalam keadaan berhutang, maka anaknya wajib melunasinya.
Beliau menyatakan hutang kepada Allah lebih utama dibanding dengan hutang kepada manusia.
Jika hutang kepada manusia wajib dibayar tentulah hutang kepada Allah lebih utama harus
dibayar. Dengan cara demikian seakan-akan Rasulullah SAW menggunakan qiyas aulawi.
c. Perbuatan sahabat
Para sahabat Nabi SAW banyak melakukan qiyas dalam menetapkan hukum suatu peristiwa yang
tidak ada nashnya. Seperti alasan pengangkatan Khalifah Abu Bakar. Menurut para sahabat Abu
Bakar lebih utama diangkat menjadi khalifah dibanding sahabat-sahabat yang lain, karena dialah
yang disuruh Nabi SAW mewakili beliau sebagai imam shalat di waktu beliau sedang sakit. Jika
Rasulullah SAW ridha Abu Bakar mengganti beliau sebagai imam shalat, tentu beliau lebih ridha
jika Abu Bakar menggantikan beliau sebagai kepala pemerintahan.
Khalifah Umar bin Khattab pernah menuliskan surat kepada Abu Musa al-Asy’ari yang
memberikan petunjuk bagaimana seharusnya sikap dan cara seorang hakim mengambil
keputusan. Diantara isi surat beliau itu ialah:
Artinya:
“kemudian pahamilah benar-benar persoalan yang dikemukakan kepadamu tentang perkara yang
tidak terdapat dalam al-Qur’an dan Sunnah. Kemudian lakukanlah qiyas dalam keadaan
demikian terhadap perkara-perkara itu dan carilah contoh-contohnya, kemudian berpeganglah
kepada pendapat engkau yang paling baik di sisi Allah dan yang paling sesuai dengan
kebenaran…”
d. Akal
Tujuan Allah SWT menetapakan syara’ bagi kemaslahatan manusia. Dalam pada itu setiap
peristiwa ada yang diterangkan dasarnya dalam nash dan ada pula yang tidak diterangkan.
Peristiwa yang tidak diterangkan dalam nash atau tidak ada nash yang dapat dijadikan sebagai
dasarnya ada yang ‘illatnya sesuai benar dengan ‘illat hukum dari peristiwa yang ada nash
sebagai dasarnya. Menetapkan hukum dari peristiwa yang tidak ada nash sebagai dasarnya ini
sesuai dengan hukum yang telah ditetapkan berdasar nash karena ada persamaan ‘illatnya diduga
keras akan memberikan kemaslahatan kepada hamba. Sebab itu tepatlah kiranya hukum dari
peristiwa itu ditetapkan dengan cara qiyas.
Bila diperhatikan akan tampak bahwa nash-nash al-Qur’an dan al-Hadits ada yang bersifat
umum penjelasannya dan ada yang bersifat khusus, ada yang mujmal dan ada yang mubayyan.
Biasanya yang bersifat umum dan mujmal, merupakan dasar-dasar umum dari syari’at Islam.
Dalam pada itu peristiwa atau kejadian setiap saat bertambah. Banyak peristiwa atau kejadian
yang terjadi sekarang tidak pernah terjadi pada masa Rasulullah, dan peristiwa itu perlu
ditetapkan hukumnya, sedang tidak ada nash secara khusus tentang masalah itu yang dapat
dijadikan sebagai dasarnya, tetapi prinsip-prinsip umum dari peristiwa itu terpaham pada prinsip-
prinsip umum ajaran Islam yang ditemukan harus dapat ditemukan di dalam al-Qur’an dan
Hadits. Dengan melakukan qiyas maka hukum dari setiap peristiwa yang terjadi dapat
ditetapkan.
3. Alasan golongan yang tidak menerima qiyas
Telah diterangkan bahwa ada golongan yang tidak menerima qiyas sebagai dasar hujjah. Alasan-
alasan yang mereka kemukakan, ialah:
a. Menurut mereka qiyas dilakukan atas dasar dhan (dugaan keras), dan ‘illatnyapun ditetapkan
berdasarkan dugaan keras pula, sedang Allah SWT melarang kaum muslimin mengikuti sesuatu
yang dhan, berdasar firman Allah SWT:
Artinya: “Janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentang
itu…” (al-Isrâ’: 36)
b. Sebahagian sahabat mencela sekali orang yang menetapkan pendapat semata-mata
berdasarkan akal pikiran, seperti pernyataan Umar bin Khattab:
Artinya: “Jauhilah oleh kamu golongan rasionalisme, karena mereka adalah musuh ahli sunnah.
Karena mereka tidak sanggup menghapal hadits-hadits, lalu mereka menyatakan pendapat akal
mereka (saja), sehingga mereka sesat dan menyesatkan orang.”
Jika diperhatikan alasan-alasan golongan yang tidak menggunakan qiyas sebagai dasar hujjah
akan terdapat hal-hal yang perlu diperhatikan. Ayat 36 surat al-Isrâ’, tidak berhubungan dengan
qiyas, tetapi berhubungan dengan hawa nafsu seseorang yang ingin memperoleh keuntungan
walaupun dengan menipu, karena pada ayat-ayat sebelumnya diterangkan hal-hal yang
berhubungan dengan perintah menyempurnakan timbangan dan sukatan, perintah Allah
memberikan harta anak yatim dan sebagainya dan dilarang oleh Allah melakukan tipuan dalam
hal ini untuk mengambil harta orang lain. Sedang penegasan Umar bin Khattab berawanan
dengan isi suratnya kepada Mu’adz bin Jabal, karena itu harus dicari penyelesaiannya.
Pernyataan Umar di atas memperingatkan orang-orang yang terlalu berani menetapkan hukum,
lebih mengutamakan pikirannya dari nash-nash yang ada dan tidak menjadikan aI-Qur’an dan
Hadits sebagai pedoman rasionya di dalam proses mencari dan menetapkan hukum atas masalah-
masalah hukum yang baru.
Golongan ra’yu yang dimaksudkan Umar bin Khattab tersebut adalah mereka yang
menomorsatukan rasio, terlepas dari dari al-Qur’an dan al-Hadits, sehingga kedudukan al-Qur’an
bagi mereka adalah nomor dua setelah rasio atau sudah dikesampinhkannya sama sekali. Dalam
hal ini jelas bahwa cara berfikir golongan ra’yu (rasional) yang dikecam Umar bin Khattab
tersebut tidak berfikir secara Islami. Apalagi kaum rasionalis tersebut tidak dapat melepaskan
diri dari subyektivitas kepentingan individu dan golongannya, sedang surat Umar kepada Mu’adz
membolehkan untuk melakukan giyas, jika tidak ada nash yang dapat dijadikan dasar untuk
menetapkan hukum suatu peristiwa.
4. Rukun qiyas
Ada empat rukun giyas, yaitu:
1. Ashal, yang berarti pokok, yaitu suatu peristiwa yang telah ditetapkan hukumnya
berdasar nash. Ashal disebut juga maqis ‘alaih (yang menjadi ukuran) atau musyabbah
bih (tempat menyerupakan), atau mahmul ‘alaih (tempat membandingkan);
2. Fara’ yang berarti cabang, yaitu suatu peristiwa yang belum ditetapkan hukumnya karena
tidak ada nash yang dapat dijadikan sebagai dasar. Fara’ disebut juga maqis (yang diukur)
atau musyabbah (yang diserupakan) atau mahmul (yang dibandingkan);
3. Hukum ashal, yaitu hukum dari ashal yang telah ditetapkan berdasar nash dan hukum itu
pula yang akan ditetapkan pada fara’ seandainya ada persamaan ‘illatnya; dan
4. ‘IIIat, yaitu suatu sifat yang ada pada ashal dan sifat itu yang dicari pada fara’.
Seandainya sifat ada pula pada fara’, maka persamaan sifat itu menjadi dasar untuk
menetapkan hukum fara’ sama dengan hukum ashal.

Sebagai contoh adalah menjual harta anak yatim adalah suatu peristiwa yang perlu ditetapkan
hukumnya karena tidak ada nash yang dapat dijadikan sebagai dasarnya. Peristiwa ini disebut
fara’. Untuk menetapkan hukumnya dicari suatu peristiwa yang lain yang telah ditetapkan
hukumnya berdasar nash yang illatnya sama dengan peristiwa pertama. Peristiwa kedua ini
memakan harta anak yatim yang disebut ashal. Peristiwa kedua ini telah ditetapkan hukumnya
berdasar nash yaitu haram (hukum ashal) berdasarkan firman Allah SWT:
Artinya:
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara dhalim sebenarnya mereka
itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala
(neraka).”(an-Nisâ’: 10)
Persamaan ‘illat antara kedua peristiwa ini, ialah sama-sama berakibat berkurang atau habisnya
harta anak yatim. Karena itu ditetapkanlah hukum menjual harta anak yatim sama dengan
memakan harta anak yatim yaitu sama-sama haram.
Dari keterangan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:
- Ashal, ialah memakan harta anak yatim.
- Fara’, ialah menjual harta anak yatim.
- Hukum ashal, ialah haram.
- ‘Illat, ialah mengurangi atau menghabiskan harta anak yatim.
5. Syarat-syarat qiyas
Telah diterangkan rukun-rukun qiyas. Tiap-tiap rukun itu mempunyai syarat-syarat sebagai
berikut:
a. Ashal dan fara’
Telah diterangkan bahwa ashal dan fara’ berupa kejadian atau peristiwa. Yang pertama
mempunyai dasar nash, karena itu telah ditetapkan hukumnya, sedang yang kedua tidak
mempunyai dasar nash, sehingga belum ditetapkan hukumnya. Oleh sebab itu ashal disyaratkan
berupa peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan hukumnya berdasar nash, sedang fara’
berupa peristiwa yang belum ditetapkan hukumnya karena tidak ada nash yang dapat dijadikan
dasarnya. Hal ini berarti bahwa seandainya terjadi qiyas, kemudian dikemukakan nash yang
dapat dijadikan sebagai dasarnya, maka qiyas itu batal dan hukum fara’ itu ditetapkan berdasar
nash yang baru ditemukan itu.
b. Hukum ashal
Ada beberapa syarat yang diperlukan bagi hukum ashal, yaitu:
Hukum ashal itu hendaklah hukum syara’ yang amali yang telah ditetapkan hukumnya
berdasarkan nash. Hal ini diperlukan karena yang akan ditetapkan itu adalah hukum syara’,
sedang sandaran hukum syara’ itu adalah nash. Atas dasar yang demikian, maka jumhur ulama
tidak berpendapat bahwa ijma’ tidak boleh menjadi sandaran qiyas. Mereka menyatakan bahwa
hukum yang ditetapkan berdasarkan ijma’ adalah hukum yang ditetapkan berdasarkan
kesepakatan, tidak mempunyai sandaran, selain dari kesepakatan dari mujtahid. Karena hukum
yang ditetapkan secara ijma’ tidak dapat diketahui dengan pasti, sehingga tidak mungkin
mengqiyaskan hukum syara’ yang amali kepada hukum yang mujma’ ‘alaih. Asy-Syaukani
membolehkan ijma’ sebagai sandaran qiyas.
‘Illat hukum ashal itu adalah ‘illat yang dapat dicapai oleh akal. Jika ‘illat hukum ashal itu tidak
dapat dicapai oleh akal, tidaklah mungkin hukum ashal itu digunakan untuk menetapkan hukum
pada peristiwa atau kejadian yang lain (fara’) secara qiyas. Sebagaimana diketahui bahwa
syari’at itu ditetapkan untuk kemaslahatan manusia, serta berdasarkan ‘illat-’illat yang ada
padanya. Tidak ada hukum yang ditetapkan tanpa ‘illat. Hanya saja ada ‘illat yang sukar
diketahui bahkan ada yang sampai tidak diketahui oleh manusia, seperti apa illat shalat Dzuhur
ditetapkan empat raka’at, apa pula ‘illat shalat Maghrib ditetapkan tiga raka’at dan sebagainya
tidak ada yang mengetahui ‘illatnya dengan pasti. Disamping itu ada pula ada pula hukum yang
‘illatnya dapat diketahui dengan mudah, seperti kenapa diharamkan meminum khamar, haram
mengambil harta orang lain dan sebagainya. Hukum ashal kedua inilah yang dapat dijadikan
sandaran qiyas.Hukum ashal itu tidak merupakan hukum pengecualian atau hukum yang berlaku
khusus untuk satu peristiwa atau kejadian tertentu.
Hukum ashal macam ini ada dua macam, yaitu: ‘Illat hukum itu hanya ada pada hukum ashal
saja, tidak mungkin pada yang lain. Seperti dibolehkannya mengqashar shalat bagi orang
musafir. ‘IlIat yang masuk akal dalam hal ini ialah untuk menghilangkan kesukaran atau
kesulitan (musyaqqat) Tetapi al-Qur’an dan al-Hadits menerangkan bahwa ‘illat itu bukan karena
adanya safar (perjalanan).
Dalil (al-Qur’an dan al-Hadits) menunjukkan bahwa hukum ashal itu berlaku khusus tidak
berlaku pada kejadian atau peristiwa yang lain. Seperti beristri lebih dari empat hanya
dibolehkan bagi Nabi Muhammad SAW saja dan istri beliau itu tidak boleh kawin dengan laki-
laki lain walaupun beliau telah meninggal dunia, dan sebagainya.
c. ‘Illat
‘Illat ialah suatu sifat yang ada pada ashal yang sifat itu menjadi dasar untuk menetapkan hukum
ashal serta untuk mengetahui hukum pada fara’ yang belum ditetapkan hukumnya, seperti
menghabiskan harta anak yatim merupakan suatu sifat yang terdapat pada perbuatan memakan
harta anak yatim yang menjadi dasar untuk menetapkan haramnya hukum menjual harta anak
yatim.
Para ulama sepakat bahwa Allah SWT membentuk hukum dengan tujuan untuk kemaslahatan
hamba-hamba-Nya. Kemaslahatan itu adakalanya dalam bentuk mengambil manfaat (jalbul
manâfi’) dan adakalanya dalam bentuk menolak kerusakan dan bahaya (darul mafâsid). Kedua
macam bentuk hukum itu merupakan tujuan terakhir dari pembentukan hukum yang disebut
hikmah hukum.
Hikmah hukum berbeda dengan ‘illat hukum. Hikmah hukum merupakan pendorong
pembentukan hukum dan sebagai tujuannya yang terakhir ialah untuk kemaslahatan manusia di
dunia dan akhirat dengan memperoleh manfaat dan keuntungan serta terhindar dari segala
macam kerusakan. ‘Illat hukum suatu sifat yang nyata dan pasti ada pada suatu peristiwa yang
dijadikan dasar hukum.
‘IlIat merupakan sifat dan keadaan yang melekat pada dan mendahului peristiwa/perbuatan
hukum yang terjadi dan menjadi sebab hukum, sedangkan hikmah adalah sebab positif dan hasil
yang dirasakan kemudian setelah adanya peristiwa hukum. Sebagai contoh ialah seorang musafir
boleh mengqashar shalatnya, seperti mengerjakan shalat Dzuhur yang empat raka’at menjadi dua
raka’at dan sebagainya. Hikmahnya ialah untuk menghilangkan kemusyaqqatan atau
kemudharatan. Hikmah ini hanya merupakan dugaan saja dan tidak dapat dijadikan dasar ada
atau tidaknya hukum, sedang ‘illat adalah suatu yang nyata dan pasti, seperti safar (dalam
perjalanan) menyebabkan seseorang boleh mengqashar shalat.
Mengenai ‘illat hukum dan sebab hukum, ada yang tidak membedakannya, mereka menyamakan
arti kedua istilah tersebut. Sebagian ulama lagi membedakannya, sekalipun perbedaan itu sangat
sedikit. Menurut mereka ‘illat hukum dapat dicapai oleh akal, sedang sebab hukum ada yang
dapat dicapai akal dan ada yang sukar dicapai oleh akal. Sebenarnya untuk membedakan
pengertian kedua istilah itu sukar dilakukan, karena ada suatu peristiwa yang dalam peristiwa itu
‘illat dan sebabnya sama. Seperti tergelincir matahari pada siang hari merupakan sebab seorang
muslim wajib mengerjakan shalat Dzuhur, demikian pula terbenamnya matahari pada hari
terakhir bulan Sya’ban merupakan sebab kaum muslimin besoknya mengerjakan puasa bulan
Ramadlan. Tetapi terbenam dan tergelincirnya matahari itu bukanlah ‘illat hukum karena kedua
sebab itu tidak terjangkau oleh akal. Lain halnya dengan safar (dalam perjalanan) disamping ia
merupakan ‘illat hukum, juga merupakan sebab hukum yang membolehkannya untuk
mengqashar shalat. Dengan demikian dapat ditetapkan bahwa sebab itu lebih umum dari ‘illat,
dengan perkataan lain bahwa semua ‘illat dapat dikatakan sebab, tetapi belum tentu semua sebab
dapat dikatakan ‘illat.
1. Syarat-syarat ‘illat
Ada empat macam syarat-syarat yang disepakati ulama, yaitu:
Sifat ‘illat itu hendaknya nyata, masih terjangkau boleh akal dan pancaindera. Hal ini diperlukan
karena ‘illat itulah yang menjadi dasar untuk menetapkan hukum pada fara’. Seperti sifat
menghabiskan harta anak yatim, terjangkau oleh pancaindera dan akal, bahwa ‘illat itu ada pada
memakan harta anak yatim (ashal) dan terjangkau pula oleh pancaindera dan akal bahwa ‘illat itu
ada pada menjual harta anak yatim (fara’). Jika sifat ‘illat itu samar-samar, kurang jelas dan
masih ragu-ragu, tentulah tidak dapat digunakan untuk menetapkan ada dan tidaknya hukum
pada ashal.
Sifat ‘illat itu hendaklah pasti, tertentu, terbatas dan dapat dibuktikan bahwa ‘illat itu ada pada
fara’, karena asas qiyas itu adalah adanya persamaan illat antara ashal dan fara’. Seperti
pembunuhan sengaja dilakukan oleh ahli waris terhadap orang yang akan diwarisinya
hakekatnya adalah pasti, karena itu dapat dijadikan dasar qiyas atas peristiwa pembunuhan yang
dilakukan dengan sengaja oleh penerima wasiat terhadap orang yang telah memberi wasiat
kepadanya.
‘Illat harus berupa sifat yang sesuai dengan kemungkinan hikmah hukum, dengan arti bahwa
keras dugaan bahwa ‘illat itu sesuai dengan hikmah hukumnya. Seperti memabukkan adalah hal
yang sesuai dengan hukum haram minum khamar, karena dalam hukum itu terkandung suatu
hikmah hukum, yaitu memelihara akal dengan menghindarkan diri dari mabuk. Pembunuhan
dengan sengaja adalah sesuai dengan keharusan adanya qishash, karena dalam qishash itu
terkandung suatu hikmah hukum yaitu untuk memelihara kehidupan manusia.
‘Illat itu tidak hanya terdapat pada ashal saja, tetapi haruslah berupa sifat yang dapat pula
diterapkan pada masalah-masalah lain selain dari ashal itu. Seperti hukum-hukum yang khusus
berlaku bagi Nabi Muhammad SAW tidak dijadikan dasar qiyas. Misalnya mengawini wanita
lebih dari empat orang, berupa ketentuan khusus berlaku bagi beliau, tidak berlaku bagi orang
lain. Larangan isteri-isteri Rasulullah saw kawin dengan laki-Iaki lain setelah beliau meninggal
dunia, sedang wanita-wanita lain dibolehkan.
2. Pembagian ‘Illat
Ditinjau dari segi ketentuan pencipta hukum (syari’) tentang sifat apakah sesuai atau tidak
dengan hukum, maka ulama ushul membaginya kepada empat bagian, yaitu:
a. Munasib mu’tsir
Yaitu persesuaian yang diungkapkan oleh syara’ dengan sempurna, atau dengan perkataan lain
bahwa pencipta hukum (syari’) telah menciptakan hukum sesuai dengan sifat itu, seperti firman
Allah SWT:
Artinya:
“Mereka bertanya kepadamu tentang haid, katakanlah haid itu adalah suatu kotoran. Oleh sebab
itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid.” (al-Baqarah: 222)
Pada ayat di atas Allah SWT (sebagai syari’) telah menetapkan hukum, yaitu haram mencampuri
isteri yang sedang haid. Sebagai dasar penetapan hukum itu ialah kotoran, karena kotoran itu
dinyatakan dalam firman Allah SWT di atas sebagai ‘illatnya. Kotoran sebagai sifat yang
menjadi sebab haram mencampuri isteri yang sedang haid adalah sifat yang sesuai dan
menentukan penetapan hukum.
b. Munasib mulaim
Yaitu persesuaian yang diungkapkan syara’ pada salah satu jalan saja. Maksudnya ialah
persesuaian itu tidak diungkapkan syara’ sebagai ‘illat hukum pada masalah yang sedang
dihadapi, tetapi diungkapkan sebagai ‘illat hukum dan disebut dalam nash pada masalah yang
lain yang sejenis dengan hukum yang sedang dihadapi. Contohnya, ialah kekuasaan wali untuk
mengawinkan anak kecil yang di bawah perwaliannya tidak ada nash yang menerangkan
‘illatnya. Pada masalah lain yaitu pengurusan harta anak yatim yang masih kecil, syara’
mengungkapkan keadaan kecil sebagai ‘illat hukum yang menyebabkan wali berkuasa atas harta
anak yatim yang berada di bawah perwaliannya itu. Berdasarkan pengungkapan syara’ itu maka
keadaan kecil dapat pula dijadikan ‘illat untuk menciptakan hukum pada masalah lain, seperti
penetapan kekuasaan wali dalam mengawinkan anak yatim yang berada di bawah perwaliannya.
c. Munasib mursal
Ialah munasib yang tidak dinyatakan dan tidak pula diungkapkan oleh syara’. Munasib mursal
berupa sesuatu yang nampak oleh mujtahid bahwa menetapkan hukum atas dasarnya
mendatangkan kemaslahatan, tetapi tiada dalil yang menyatakan bahwa syara’ membolehkan
atau tidak membolehkannya, seperti membukukan al-Qur’an atau mushhaf, tidak ada dalil yang
membolehkan atau melarangnya. Tetapi Khalifah Utsman bin Affan melihat kemaslahatannya
bagi seluruh kaum muslimin, yaitu al-Qur’an tidak lagi berserakan karena telah tertulis dalam
satu buku serta dapat menghindarkan kaum muslimin dari kemungkinan terjadinya perselisihan
tentang dialek al-Qur’an.
d. Munasib mulghaa
Yaitu munasib yang tidak diungkapkan oleh syara’ sedikitpun, tetapi ada petunjuk yang
menyatakan bahwa menetapkan atas dasarnya diduga dapat mewujudkan kemaslahatan. Dalam
pada itu syara’ tidak menyusun hukum sesuai dengan sifat atau ‘illat tersebut, bahkan syara’
memberi petunjuk atas pembatalan atas sifat tersebut. Sebagai contohnya, ialah kedudukan laki-
Iaki dan perempuan dalam kerabat. Kemudian atas dasar persamaan itu mungkin dapat
ditetapkan pula persamaan dalam warisan. Tetapi syara’ mengisyaratkan pembatalannya dengan
menyatakan bahwa bagian laki-Iaki adalah dua kali bagian perempuan.
3. Musâlikul ‘illat (cara mencari ‘illat)
Musâlikul ‘illat, ialah cara atau metode yang digunakan untuk mencari sifat atau ‘illat dari suatu
peristiwa atau kejadian yang dapat dijadikan dasar untuk menetapkan hukum.
Diantara cara tersebut, ialah:
a. Nash yang menunjukkannya;
b. Ijma’ yang menunjukkannya
c. Dengan penelitian. Dengan penelitian ini terbagi kepada:
- Munasabah
- Assabru wa taqsîm
- Tanqîhul manath
- Tahqîqul manath
a. Nash yang menunjukkannya
Dalam hal ini nash sendirilah yang menerangkan bahwa suatu sifat merupakan ‘illat hukum dari
suatu peristiwa atau kejadian. ‘Illat yang demikian disebut ‘illat manshuh ‘alaih. Melakukan
qiyas berdasarkan ‘illat yang disebutkan oleh nash pada hakikatnya adalah menetapkan hukum
suatu dasar nash.
Petunjuk nash tentang sifat suatu kejadian atau peristiwa yang merupakan ‘illat itu ada dua
macam, yaitu sharahah (jelas) dan ima’ atau isyarah (dengan isyarat).
1. Dalalah sharahah
Ialah penunjuk lafadh yang terdapat dalam nash kepada ‘illat hukum jeIas sekali. Atau dengan
perkataan lain bahwa lafadh nash itu sendiri menunjukkan ‘illat hukum dengan jelas, seperti
ungkapan yang terdapat daIam nash : supaya demikian atau sebab demikian dan sebagainya.
Dalalah sharahah ada dua macam, yang pertama dalalah sharahah yang qath’i dan kedua
ialah dalalah sharahah yang dhanni.
Daialah sharahah yang qath’i, ialah apabila penunjukan kepada ‘illat hukum itu pasti dan yakin,
seperti firman AlIah SWT:
Artinya:
“(Mereka Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar
supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu…” (an-
Nisâ’: 165)
Ayat ini menyatakan bahwa ‘illat diutus para rasul yang membawa kabar gembira dan memberi
peringatan itu ialah agar manusia tidak mencari-cari alasan dengan mengatakan bahwa mereka
belum pernah mendapat peringatan dari rasul yang diutus kepada mereka. Perkataanli-allâ
yakûna dan ba’darrasûl merupakan ‘illat hukum yang pasti, tidak mungkin dialihkan kepada
yang lain.
Dengan sabda Nabi Muhhammad SAW:
Artinya: “Aku melarang kamu menyimpan daging binatang kurban tidak lain hanyalah karena
banyak orang berkumpul (memerlukan). Dan (jika tidak banyak orang memerlukan) makan,
simpanlah.” (HR. an-Nasâ’i)
Pada hadits di atas diterangkan ‘illat Rasulullah SAW melarang kaum muslimin menyimpan
daging kurban, yaitu karena banyak orang yang memerlukannya. ‘Illat larangan menyimpan
daging kurban itu tidak dapat ditetapkan orang lain, selain dari li ajliddâfah (karena banyak
orang memerlukannya).
Daialah sharahah yang dhanni, ialah apabila penunjuk nash kepada ‘illat hukum itu adalah
berdasar dengan keras (dhanni), karena kemungkinan dapat dibawa kepada ‘illat hukum yang
lain. Seperti firman Allah SWT:
Artinya:
“Dirikanlah shalat karena matahari tergelincir sampai gelap malam.” (al-Isrâ’; 78)
Dan firman Allah SWT:
Artinya:
“Maka disebabkan kedhaliman orang-orang Yahudi, kami haramkan atas mereka (memakan
makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka” (an-Nisâ’: 160)
Pada ayat pertama terdapat huruf al-lâm pada perkataan liduluki dan huruf al-bâ’ pada perkataan
fabidhulmi. Al-lâm berarti karena dan dapat pula berarti sesudah, sedang al-bâ’ berarti
disebabkan dan dapat pula berarti dengan. Kedua arti tersebut dapat digunakan, akan tetapi
menurut dugaan yang keras bahwa jika kedua huruf itu diartikan dengan karena dan disebabkan
maka akan memperjelas arti ayat tersebut.
2. Dalalah ima’ (isharah)
Ialah petunjuk yang dipahami dari sifat yang menyertainya, atau dengan perkataan lain ialah ada
suatu sifat yang menyertai petunjuk itu dan sifat itu merupakan ‘illat ditetapkannya suatu hukum
Jika penyertaan sifat itu tidak dapat dipahamkan demikian, maka tidak ada gunanya menyertakan
sifat itu. Ada beberapa macam dalalah ima’, diantaranya ialah:
1. Mengerjakan suatu pekerjaan karena terjadi suatu peristiwa sebelumnya. Seperti Nabi
Muhammad SAW mengerjakan sujud sahwi, karena beliau lupa mengerjakan salah satu
dari rukun shalat. Nabi Muhammad SAW memerintahkan seseorang memerdekakan
budak, karena ia telah bercampur dengan isterinya pada siang hari bulan Ramadlan. Dari
contoh di atas jelas bahwa karena ada peristiwa lupa menjadi ‘illat dilakukan sujud sahwi.
Karena bercampur dengan isteri pada siang hari bulan Ramadhan menjadikan ‘illat untuk
memerdekakan budak.
2. Menyebutkan suatu sifat bersamaan (sebelum atau sesudah) dengan hukum. Seandainya
sifat itu dipandang bukan sebagai ‘illat tentulah tidak perlu disebutkan. Contohnya,
adalah Nabi Muhammad SAW bersabda:

Artinya: “Seseorang tidak boleh memberi keputusan antara dua orang (yang berperkara) dalam
keadaan ia sedang marah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dari hadits di atas dipahamkan bahwa sifat marah disebut bersamaan dengan larangan memberi
keputusan antara dua orang berperkara yang merupakan ‘illat dari larangan mengadili
perselisihan itu.
c. Membedakan dua buah hukum dengan menyebutkan dua sifat yang berbeda pula, seperti
sabda Rasulullah SAW:
Artinya:
“Barisan berjalan kaki mendapat satu bagian, sedang barisan berkuda mendapat dua
bagian.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Barisan berjalan kaki dan barisan berkuda menjadi ‘illat perbedaan pembagian harta rampasan
perang.
d. Membedakan dua hukum dengan syarat, seperti firman Allah SWT:
Artinya:
“…Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalak) itu sedang hamil maka berikanlah mereka
nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu,
maka kepada mereka berikanlah upahnya…” (ath-Thalak: 6)
Pada ayat ini diterangkan bahwa hamil menjadi syarat (‘illat) wajibnya pemberian nafkah kepada
isteri yang ditalak bain dan rnenyusukan anak menjadi syarat (‘illat) pemberian upah
menyusukan anak.
e. Membedakan antara dua hukum dan batasan (ghayah), sebagaimana firman Allah SWT:
Artinya:
“…dan janganlah kamu mendekati mereka sehingga mereka suci.”(al-Baqarah: 222)
Pada ayat ini diterangkan bahwa kesucian mereka batas (‘illat) kebolehan suami mencampuri
isteri.
f. Membedakan antara dua hukum dengan pengecualian (istimewa), sebagaimana firman Allah
SWT:
Artinya: “Jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka,
padahal kamu sudah menentukan maharnya maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu
tentukan itu, kecuali jika isteri-isterimu itu memaafkan atau dimaafkan oleh orang yang
memegang ikatan nikah…” (al-Baqarah: 237)
Pada ayat ini diterangkan bahwa memaafkan merupakan pengecualian (‘illat) hapusnya
kewajiban membayar mas kawin.
g. Membedakan dua hukum dengan pengecualian (istidrak)

8. PENJELASAN DASAR-DASAR HUKUM LAIN DALAM PERSPEKTIF ULAMA


A. Ulama Dan Umara Dalam Perspektif Al-Qur’an
Ulama dan umara adalah pasangan pemuka masyarakat yang utama. Ulama, kosakata bahasa
Arab, bentuk jamak dari kata alim. Artinya orang yang berpengetahuan, ahli ilmu, orang pandai.
Dalam bahasa Indonesia menjadi bentuk tunggal; orang yang ahli ilmu agama Islam. Kata ulama
sepadan dengan ulul albab dalam Al-Qur’an; orang yang arif. Umara, bentuk jamak dari kata
amir, artinya pemimpin, penguasa. Kosakata amir sepadan dengan ulul amri dalam Al-Qur’an
yang artinya orang yang mempunyai pengaruh, kekuasan; orang yang memangku urusan rakyat;
penguasa.
Kata ulama terdapat dalam Al-Qur’an surat Asy-Syu’ara‘ dan Fathir berikut. “Bukankah itu
suatu bukti bagi mereka bahwa para ulama Bani Israil sudah mengetahuinya sebagai suatu
kebenaran?” (Asy-Syu’araa‘ [26]: 197).
Konteks ayat di atas bahwa banyak kalangan ulama Yahudi yang mengakui ajaran Nabi
Muhammad saw itu ajaran yang datang dari Allah SwT, seperti Abdullah bin Salam dan
Mukhayriq. Yang disebut terakhir ini orang kaya, yang mewariskan segala kekayaannya untuk
Islam.
“Dan demikian pula di antara manusia, binatang melata dan hewan ternak, terdiri dari
berbagai macam warna. Sungguh yang benar-benar takut kepada Allah di antara hamba-
hamba-Nya, hanyalah ula- ma; mereka yang berpengetahuan. Sungguh Allah Maha Perkasa,
Maha Pengampun. (Fathir [35]: 28).
Hanya mereka yang mempunyai pengetahuan mendalam yang tahu bahwa takut kepada Allah
adalah permulaan dari suatu kearifan. Karena rasa takut demikian sama dengan penghayatan dan
cinta, – penghayatan akan semua keindahan dunia lahir dan dunia batin yang sungguh luar biasa
(“Allah Maha Perkasa”), dan penuh cinta karena rahmat dan kasih sayang- Nya (“Maha
Pengampun”). Kata ulul albab terdapat dalam surat Al-Baqarah berikut.
“Allah memberi hikmah kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan barang siapa diberi hikmah,
ia telah memperoleh kebaikan melimpah; tetapi yang dapat mengambil pelajaran hanya orang
yang arif.” (Al-Baqarah [2]: 269)
Para ulama adalah pewaris Nabi dan penerus tugas-tugasnya di dunia, yakni membawa kabar
gembira, memberi peringatan, mengajak kepada Allah dan memberi cahaya.
“Wahai Nabi! Sungguh Kami mengutus engkau sebagai saksi, sebagai pembawa kabar gembira
dan pemberi peringatan. Dan sebagai orang yang mengajak kepada Allah dengan izin-Nya, dan
sebagai pelita pemberi cahaya. Dan sampaikanlah berita gembira kepada orang-orang
beriman, bahwa mereka akan memperoleh karunia yang besar dari Allah.” (Al-Ahzab [33]: 45-
47)
Para ulama adalah penjaga gawang moralitas dalam segala aspek kehidupan umat, termasuk
moralitas para penguasa. “Allah telah membeli dari orang beriman jiwa raga dan harta mereka,
supaya mereka beroleh taman surga. Mereka berperang di jalan Allah; mereka membunuh atau
dibunuh. Itulah janji sebenarnya yang mengharuskan-Nya, dalam Taurat, Injil dan Al-Qur’an.
Dan siapa yang lebih menepati janji daripada Allah? Bergembiralah dengan janjimu yang
telah kamu berikan. Dan itulah kemenangan yang besar. Mereka yang bertobat kepada Allah,
mereka yang mengabdi, mereka yang memanjatkan puji, mereka yang mengembara di jalan
Allah; mereka yang rukuk, mereka sujud; mereka yang menganjurkan kebaikan dan mencegah
kejahatan dan menjaga diri terhadap ketentuan-ketentuan Allah; sampaikanlah berita gembira
kepada mereka yang beriman.” (At-Taubah [9]: 111-112)
“Seharusnya jangan semua kaum mukmin berangkat bersama-sama: Dari setiap golongan
sekelompok mereka ada yang tinggal untuk memperdalam ajaran agama dan memberi
peringatan kepada golongannya bila sudah kembali, supaya mereka dapat menjaga diri.”(At-
Taubah [9]: 122)
Ayat 122 di atas turun sebagai larangan kepada kaum Mukminin untuk serta merta pergi ke
medan perang untuk berjihad seluruhnya, tapi harus ada yang menetap untuk memperdalam
pengetahuan agama untuk memberi peringatan kepada kaumnya bila telah kembali. Kata ulul
amri terdapat dalam surat An- Nisa‘ berikut.
“Hai orang-orang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasulullah dan mereka yang memegang
kekuasaan di antara kamu. Jika kamu berselisih mengenai sesuatu kembalikanlah kepada Allah
dan Rasul- Nya, kalau kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Itulah yang terbaik dan
penyelesaian yang tepat.” (An-Nisaa‘ [4]: 59)
B. Hadits Hukum dalam Perspektif Ulama Fiqh dan Ulama Hadits
Di antara perwujudan besar dari tradisi keilmuan Islam adalah terkumpulkan nya Hadits atau
tradisi Nabi (enam diantaranya ditulis pada abad ke-9 M) yang kemudian dianggap sebagai
sumber hukum Islam kedua sesudah – atau setara dengan- al-Qur’an. Dari sumber itulah
kemudian lahir produk-produk ijtihad dalam bentuk fiqih. Berbagai penelusuran terhadap makna
serta pesan Hadits Nabi dilakukan oleh para ulama fiqih sesuai dengan kepentingan zaman dan
tempatnya. Sehingga pada tataran itulah, muncul variasi interpretasi yang berbeda-beda.
Perilaku, ucapan serta kesepakatan Nabi dipahami berbeda oleh para ulama fiqih. Sebab, apa
yang disandarkan kepada Nabi tidak seluruhnyadapat dengan sederhana dipahami menurut
makna tekstualnya.
Sementara itu ulama Hadits membela otoritas teks-teks keagamaan dan kekuasaannyaatas setiap
bidang aktivitas kemanusiaan terutama hukum-hukum ibadah dan muamalah (fiqh). Dengan
demikian ketika kelompok hadis lebih memperhatikan teks dan berkutat pada kesahihan hadits
maka kelompok fiqh mempertahankan akal dengan mengembangkan konsep-konsep seperti
maslahah mursalah, istihsan dan sebagainya. Perselisihan antara ahlal-Hadits dan kaum
rasionalis ini tak jarang sepanjang sejarah pemikiran hukum islam diwarnai dengan cemooh
kebencian dan tuduhan- tuduhan yang berlebihan dari kelompok pertama terhadap kelompok
kedua, demikian pula sebaliknya.
3. Ijtihad Dalam Persfektip Ulama

Ijtihad berasal dari kata jahada. Artinya mencurahkan segala kemampuan atau menanggung
beban kesulitan. Menurut bahasa, ijtihad adalah mencurahkan semua kemampuan dalam segala
perbuatan. Dalam ushul fiqh, para ulama ushul fiqh mendefinisikan ijtihad secara berbeda-beda.
Misalnya Imam as-Syaukani mendefinisikan ijtihad adalah mencurahkan kemampuan guna
mendapatkan hukum syara’ yang bersifat operasional dengan cara istinbat (mengambil
kesimpulan hukum.
Sementara Imam al-Amidi mengatakan bahwa ijtihad adalah mencurahkan semua kemampuan
untuk mencari hukum syara’ yang bersifat dhonni, sampai merasa dirinya tidak mampu untuk
mencari tambahan kemampuannya itu. Sedangkan imam al-Ghazali menjadikan batasan tersebut
sebagai bagian dari definisi al-ijtihad attaam (ijtihad sempurna).
Imam Syafi’I menegaskan bahwa seseorang tidak boleh mengatakan tidak tahu terhadap
permasalahan apabila ia belum melakukan dengan sungguh-sungguh dalam mencari sumber
hukum dalam permasalahan tersebut. Demikian juga, ia tidak boleh mengatakan tahu sebelum ia
sungguh-sungguh menggali sumber hukum dengan sepenuh tenaga. Imam Syafi-I hendak
menyimpulkan bahwa dalam berijtihad hendaklah dilakukan dengan sungguh-sungguh. Artinya,
mujtahid juga harus memiliki kemampuan dari berbagai aspek criteria seorang mujtahid agar
hasil ijtihadnya bisa menjadi pedoman bagi orang banyak.
Ahli ushul fiqh menambahkan kata-kata al-faqih dalam definisi tersebut sehingga definisi ijtihad
adalah pencurahan seorang faqih akan semua kemampuannya. Sehingga Imam Syaukani
memberi komentar bahwa penambahan faqih tersebut merupakan suatu keharusan. Sebab
pencurahan yang dilakukan oleh orang yang bukan faqih tidak disebut ijtihad menurut istilah.
Dalam definisi lain, dikatakan bahwa ijtihad yaitu mencurahkan seluruh kemampuan untuk
menetapkan hukum syara’ dengan jalan istinbat (mengeluarkan hukum) dari Kitabullah dan
Sunah Rasul. Menurut kelompok mayoritas, ijtihad merupakan pengerahan segenap kesanggupan
dari seorang ahli fiqih atau mujtahid untuk memperoleh pengertian terhadap sesuatu hukum
syara’. Jadi, yang ingin dicapai oleh ijtihad yaitu hukum Islam yang berhubungan dengan
tingkah laku dan perbuatan orang-orang dewasa. Ulama telah bersepakat bahwa ijtihad
dibenarkan, serta perbedaan yang terjadi sebagai akibat ijtihad ditolerir, dan akan membawa
rahmat saat ijtihad dilakukan oleh yang memenuhi persyaratan dan dilakukan di medannya
(majalul ijtihad).
4. Ijma Menurut Persfektip Ulama
Para ulama berbeda pendapat dalam menetapkan makna Ijma’ menurut arti istilah. Ini
dikarenakan perbedaan mereka dalam meletakkan kaidah dan syarat Ijma’. Namun definisi Ijma’
yang paling mendekati kebenaran adalah kesepakatan para ulama ahli ijtihad dari kalangan umat
Muhammad setelah wafatnya beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam pada masa tertentu atas suatu
perkara agama.
Para ulama ahli ijtihad terlibat dalam kesepakatan tersebut, baik dalam bentuk keyakinan,ucapan
dan perbuatan. Penyebutan kata “para ulama ahli ijtihad” dalam definisi ini memberikan makna
kesepakatan kalangan awam tidak termasuk ijma’. Karena kesepakatan dan perbedaan mereka
tidak perlu diperhitungkan begitu juga kesepakatan sebagian para ulama juga tidak bisa dianggap
ijma.
Ijtihad, maksudnya pengerahan kemampuan pikiran secara maksimal untuk menghasilkan
putusan hukum.(berdasarkan dalil-dalil syar’i,-red) Setelah wafat beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, (maksudnya Ijma’ itu terjadi setelah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, -red).
Karena Ijma’ pada masa hidup beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak dianggap, lantaran
semua hukum diputuskan secara langsung oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melalui
perantara wahyu. Pada masa tertentu, ini memberikan penegasan bahwa Ijma’ tidak harus
muncul dari kesepakatan para ulama sepanjang masa hingga Kiamat, bahkan hanya pada masa
hidupnya para ulama ahli ijtihad pada saat terjadinya masalah saja. Perkara agama, yaitu
mencakup semua urusan yang terkait dengan masalah syar’iyah,’aqliyah, ‘urfiyah dan bahasa.
Maksud umat adalah umat ijabah, atau mereka yang mengikuti ajaran dan Sunnah Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dengan demikian, berarti umat dari kalangan ahli bid’ah tidak
termasuk kelompok ahli ijtihad.
Ijma’ tidak hanya terjadi pada zaman tertentu saja. Di antara ulama ada yang membatasi Ijma’
hanya terjadi pada masa sahabat, seperti pernyataan Ibnu Hazm rahimahullah yang menukil dari
Sulaiman bahwa tidak ada Ijma’ kecuali Ijma’ Sahabat . Ada juga yang berpendapat bahwa Ijma’
bisa saja terjadi dalam masalah selain hukum syariat. Begitu pula ada sebagian ulama yang
hanya membatasi Ijma’ pada masalah hukum syariat saja, dan inilah pendapat yang benar kecuali
jika masalah selain agama tersebut ada kaitan erat dengan hukum agama Islam.
9. PENJELASAN TENTANG USHUL FIQH SEBAGAI ALAT IJTIHADI
Kalimat ushul fiqh terdiri dari dua kata, yaitu ushul dan fiqh. Kata Ushul jamak dari ashlun, yang
berarti pangkal, pokok, dasar dan lain sebagainya. Sedangkan fiqh, secara bahasa berarti
pemahaman. Secara istilah, fiqh adalah “Ilmu yang menjelaskan hukum-hukum syara’ yang
berkaitan dengan perbuatan manusia yang digali melalui dalil-dalilnya yang terperinci”.
Jumhur ulama Ushul Fiqh mendefinisikannya sebagai berikut:
“Himpunan kaidah (norma-norma) yang berfungsi sebagai alat penggalian syara’ dari dalil-
dalilnya.” Sedangkan menurut Abul Wahab Khalaf, seorang guru besar hukum di Universitas
Kairo Mesir menyatakan: Ilmu pengetahuan tentang kaidah-kaidah dan metode penggalian
hukum-hukum syara’ mengenai perbuatan manusia (amaliah) dari dalil-dalil yang terperinci atau
kumpulan kaidah-kaidah dan metode penelitian hukum syara’ mengenai perbuatan manusia
(amaliah) dari dalil-dalil yang terperinci. Yang dimaksud “dari dalil-dalilnya secara terperinci”
dalam pengertian di atas adalah dalil-dalil dari Al-Qur’an, Hadits, Ijma’, dan Qiyas, sebagaimana
yang menjadi dasar penetapan hukum Islam. Inti ushul fiqh adalah seperangkat kaidah (metode
berpikir) guna mendukung cara atau upaya yang ditempuh dalam proses penetapan hukum dari
dalil-dalil ataupun sumber-sumbernya.
Pengetahuan fiqh adalah formulasi dari nash syari’at yang berbentuk Al-Qur’an, Sunnah Nabi
dengan cara-cara yang disusun dalam pengetahuan ushul fiqh. Meskipun cara-cara itu disusun
lama sesudah berlalunya masa diturunkan Al-Qur’an dan diucapkannya sunnah oleh Nabi,
namun materi, cara dan dasar-dasarnya sudah mereka (para ulama Mujtahid) gunakan
sebelumnya dalam mengistinbathkan dan menentukan hukum. Dasar-dasar dan cara-cara
menentukan hukum itulah yang disusun dan diolah kemudian menjadi pengetahuan Ushul Fiqh.
Menurut Istilah yang digunakan oleh para ahli Ushul Fiqh ini, Ushul Fiqh ialah, suatu ilmu yang
membicarakan berbagai ketentuan dan kaidah yang dapat digunakan dalam menggali dan
merumuskan hukum syari’at Islam dari sumbernya. Dalam pemakaiannya, kadang-kadang ilmu
ini digunakan untuk menetapkan dalil bagi sesuatu hukum, kadang-kadang untuk menetapkan
hukum dengan mempergunakan dalil ayat-ayat Al-Qur’an dan Sunnah Rasul yang berhubungan
dengan perbuatan mukallaf, dirumuskan berbentuk “hukum Fiqh” (ilmu Fiqh) supaya dapat
diamalkan dengan mudah. Demikian pula peristiwa yang terjadi atau sesuatu yang ditemukan
dalam kehidupan dapat ditentukan hukum atau statusnya dengan mempergunakan dalil.
Jadi, ilmu Ushul Fiqh pada hakekatnya adalah metodologi hukum Islam (suatu metode yang
memuat prosedur dan teknik bagaimana hukum syari’at dapat dirumuskan untuk pedoman hidup
dan bagaimana jalan pikiran pembentukan hukum Islam tersebut).
Topik-topik dan ruang lingkup yang dibicarakan dalam pembahasan ilmu Ushul Fiqh meliputi:
1. Bentuk-bentuk dan macam-macam hukum, seperti hukum taklifi (wajib, sunnat, mubah,
makruh, haram) dan hukum wadl’i (sabab, syarat, mani’, ‘illat, shah, batal, azimah dan
rukhshah).
2. Masalah perbuatan seseorang yang akan dikenal hukum (mahkum fihi) seperti apakah
perbuatan itu sengaja atau tidak, dalam kemampuannya atau tidak, menyangkut hubungan
dengan manusia atau Tuhan, apa dengan kemauan sendiri atau dipaksa, dan sebagainya.
3. Pelaku suatu perbuatan yang akan dikenai hukum (mahkum ‘alaihi) apakah pelaku itu
mukallaf atau tidak, apa sudah cukup syarat taklif padanya atau tidak, apakah orang itu
ahliyah atau bukan, dan sebagainya.
4. Keadaan atau sesuatu yang menghalangi berlakunya hukum ini meliputi keadaan yang
disebabkan oleh usaha manusia, keadaan yang sudah terjadi tanpa usaha manusia yang
pertama disebut awarid muktasabah, yang kedua disebut awarid samawiyah.
5. Masalah istinbath dan istidlal meliputi makna zhahir nash, takwil dalalah lafazh, mantuq
dan mafhum yang beraneka ragam, ‘am dan khas, muthlaq dan muqayyad, nasikh dan
mansukh, dan sebagainya.
6. Masalah ra’yu, ijtihad, ittiba’ dan taqlid; meliputi kedudukan rakyu dan batas-batas
penggunannya, fungsi dan kedudukan ijtihad, syarat-syarat mujtahid, bahaya taqlid dan
sebagainya.
7. Masalah adillah syar’iyah, yang meliputi pembahasan Al-Qur’an, As-Sunnah, ijma’,
qiyas, istihsan, istishlah, istishhab, mazhabus shahabi, al-’urf, syar’u man qablana,
bara’atul ashliyah, sadduz zari’ah, maqashidus syari’ah/ususus syari’ah.
8. Masa’ah rakyu dan qiyas; meliputi. ashal, far’u, illat, masalikul illat, al-washful munasib,
as-sabru wat taqsim, tanqihul manath, ad-dauran, as-syabhu, ilghaul fariq; dan
selanjutnya dibicarakan masalah ta’arudl wat tarjih dengan berbagai bentuk dan
penyelesaiannya.
Ushul fiqh sebagai sebuah metode menjadi jawaban atas berbagai perbedaan yang
mengakibatkan pertentangan di masyarakat. Pada tingkatan atau level tertentu, pembelajaran
ushul fiqh menjadi hal yang penting adanya. Pengetahuan dan pemahaman ushul fiqh menjadi
jalan untuk terbukanya kembali pintu ijtihad. Namun sebagaimana fiqh, ushul fiqh pun memiliki
aliran-aliran karena para ulama tidak selalu sepakat dalam menetapkan istilah-istilah untuk suatu
pengertian dan dalam menetapkan jalan-jalan yang ditempuh dalam pembahasannya. Dalam hal
ini mereka terbagi menjadi dua aliran, yaitu Aliran Mutakallimin dan Aliran Hanafiyah.
1. Aliran Mutakallimin
Para ulama dalam aliran ini dalam pembahasannya dengan menggunakan cara-cara yang
digunakan dalam ilmu kalam yakni menetapkan kaidah ditopang dengan alasan-alasan yang kuat
baik naqliy (dengan nash) maupun ‘aqliy(dengan akal fikiran) tanpa terikat dengan hukum
furu’ yang telah ada dari madzhab manapun, sesuai atau tidak sesuai kaidah dengan hukum-
hukum furu’ tersebut tidak menjadi persoalan. Aliran ini diikuti oleh para ulama dari
golonganMu’tazilah, Malikiyah, dan Syafi’iyah.
2. Aliran Hanafiyah.
Para ulama dalam aliran ini, dalam pembahasannya, berangkat dari hukum-hukum furu’ yang
diterima dari imam-imam (madzhab) mereka; yakni dalam menetapkan kaidah selalu
berdasarkan kepada hukum-hukum furu ‘ yang diterima dari imam-imam mereka. Jika terdapat
kaidah yang bertentangan dengan hukum-hukum furu’ yang diterima dari imam-imam mereka,
maka kaidah itu diubah sedemikian rupa dan disesuaikan dengan hukum-hukum furu’ tersebut.
Jadi para ulama dalam aliran ini selalu menjaga persesuaian antara kaidah dengan hukum furu’
yang diterima dari imam-imam mereka.
10. PENJELASAN TENTANG SYARI’AT DAN FIQH
Islam sebagai agama dan suatu sistem hukum sering disalahfahami bukan hanya oleh orang-
orang non muslim saja, tetapi juga oleh orang-orang Islam itu sendiri. Sebagai suatu suatu sistem
hukum, hukum Islam dipelajari dan dikembangkan oleh para pemikir (ilmuan) Islam sehingga ia
menjadi disiplin ilmu yang mandiri. Konsekwensi sebagai suatu satu disiplin ilmu, hukum Islam
mengembangkan istilah-istilahnya sendiri sebagai disiplin ilmu yang lain. Oleh karena itu dalam
studi hukum Islam seringkali dijumpai istilah-istilah fiqh, syari’at dan hukum Islam.
A. Syari’at
Istilah syari’ah merupakan kata yang lumrah beredar di kalangan masyarakat Muslim dari masa
awal Islam, namun yang mereka gunakan selalu syara’i (bentuk jama’) bukan syari’at (bentuk
mufrad). Riwayat-riwayat menunjukkan bahwa orang-orang yang baru masuk Islam dan datang
kepada Rasulullah dari berbagai pelosok Jazirah Arab, meminta kepada Rasulullah agar
mengirim seseorang kepada mereka untuk mengajarkan syara’i Islam. Sedangkan istilah syari’ah
hampir-hampir tidak pernah digunakan pada masa awal Islam. Dari perkembangan makna, istilah
syari’at ini diperkenalkan dengan perubahan makna yang menyempit untuk membawakan makna
yang khusus, yakni ”Hukum Islam” pada masa kemudian.
Syari’ah adalah kosa kata bahasa Arab yang secara harfiah berarti ”suber air” atau ”sumber
kehidupan”, dalam Mukhtar al-Shihah diungkapkan sebagai berikut: Syari’ah adalah sumber air
dan ia adalah tujuan bagi orang yang akan minum. Syari’ah juga sesuatu yang telah ditetapkan
Allah SWT kepada hamba-Nya berupa agama yang telah disyari’atkan kepada mereka. Orang-
orang Arab menerapkan istilah ini khususnya pada jalan setapak menuju palung air yang tetap
dan diberi tanda yang jelas terlihat mata. Jadi, kata demikian ini berarti jalan yang jelas kelihatan
atau ”jalan raya” untuk diikuti. Al-quran menggunakan kata syir’ah dan syari’ah dalam arti
agama, atau dalam arti jalan yang jelas yang ditunjukkan Allah bagi manusia. Istilah syara’i
(bentuk jamak) digunakan pada masa Rasulullah dengan arti masalah-masalah pokok Islam.
Orang-orang Arab Badwi yang meminta kepada Nabi agar mengutus seseorang untuk mengaji
mereka syara’i Islam atau masalah-masalah pokok agama. Mereka ingin mempelajari dasar-dasar
dan kewajiban-kewajiban dalam Islam. Asumsi ini diperkuat oleh Hadits yang menyatakan
bahwa Rasulullah ketika ditanya mengenai syara’i Islam beliau menyebutkan bahwa syara’i
Islam itu adalah Sholat, Zakat, Puasa di bulan Ramadhan dan Haji. Dari sini terlihat bahwa
istilah syara’i berarti faraidh (kewajiban-kewajiban).
Sedangkan istilah syari’ah dalam konteks kajian hukum Islam lebih menggambarkan norma-
norma hukum yang merupakan hasil dari proses tasyri’, yaitu proses menetapkan dan membuat
syari’ah. Lebih lanjut terminologi syari’at dalam kalangan ahli hukum Islam mempunyai
pengertian umum dan khusus. Syari’at dalam arti umum merupakan keseluruhan jalan hidup
setiap muslim, termasuk pengetahuan tentang ketuhanan. Syari’at dalam arti ini sering disebut
dengan fiqh akbar.7〉 Sedangkan dalam pengertian khusus berkonotasi fiqh atau sering disebut
dengan fiqh asghar, yakni ketetapan hukum yang dihasilkan dari pemahaman seorang muslim
yang memenuhi syari’at tertentu tentang Al-Qur’an dan al-Sunnah dengan menggunakan metode
ushul Fiqh. Berdasarkan pengertian syari’ah itulah terbentuk istilah tasyri’ atau tasyri’ Islamiy
yang berarti peraturan perundang-undangan yang disusun sesuai dengan landasan dan prinsip-
prinsip yang terkadung di dalam Al-Qur’an dan al-Sunnah. Peraturan perundang-undangan
tersebut terumuskan ke dalam dua bagian besar, yakni bidang akidah (ibadah) dan bidang
muamalah. Kedua pembagian tersebut diperluas menjadi:
Akidah : berisi tentang ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan keyakinan.
Ibadah : berisi tentang ketentuan-ketentuan mengenai hubungan langsung antara manusia
dengan Allah.
Mu’amalah : berisi tentang ketentuan-ketentuan mengenai hubungan dengan sesama manusia
seperti jual beli, kerjasama, perjanjian, dll.
Munakahat : berisi tentang ketentuan-ketentuan yang berkaitan mengenai hubungan seseorang
dalam keluarga seperti nikah, thalak, nafkah dll.
Jinayat : berisi tentang ketentuan-ketentuan yang berkaitan pidana seperti, qishash, diyat,
kifarat, zina, pembunuhan dll.
Siyasah : berisi tentang ketentuan-ketentuan yang menyangkut masalah sosial politik
seperti musyawarah, perdamaian, keadilan, kepemimpinan, dll.
Akhlak : berisi tentang ketentuan-ketentuan yang berkaitan sikap, hidup pribadi seperti
syukur, qanaah, istiqomah, dll.
Fiqh ibadah meliputi aturan puasa, zakat, haji dan sebagainya yang ditujukan untuk mengatur
hubungan antara manusia dengan Tuhannya. Adapun Fiqh Muamalah diantaranya mengatur
tentang perikatan, sangsi hukum. Dan aturan selain yang diatur dalam fiqh ibadah dan bertujuan
untuk mengatur subjek hukum baik secara indiviual maupun secara komunal.
B. Fiqh/Fikih
Fiqh secara harfiah bearti memahami atau mengerti tentang sesuatu, dan dalam pengertian ini
fiqh dan fahm adalah sinonim. Dalam kitab Mukhtar as-Shihhah diungkapkan sebagai berikut :
Kata fiqh pada mulanya oleh orang-orang arab bagi seseorang yang ahli dalam mengawinkan
onta, yang mampu membedakan mana yang betina dan mana yang jantan. Dengan sendirinya,
ungkapan fiqh dikalangan mereka sudah lumrah digunakan.9〉 Dari ungkapan ini, dapat diberi
pengertian ”pemahaman dan pengertian yang mendalam tentang suatu hal”. Al-Qur’an
menggunakan kata fiqh dalam pengertian ”memahami” secara umum sebanyak 20 kali.
Ungkapan al-Quran (agar mereka melakukan pemahaman dalam agama), menujunkkan bahwa di
masa Rasul istialh fiqh tidak hanya digunakan dalam pengertian hukum saja, tetapi mempunyai
arti yang lebih luas mencakup semua aspek kehidupan dalam Islam, baik theologis, ekonomis
dan hukum.
Pada periode awal kita temukan sejumlah istilah seperti fiqh, ‘ilm, iman, tauhid, tazkir dan
hikmah, yang digunakan dalam pengertian yang sangat luas, tetapi dikemudian hari arti yang
banyak itu menyatu dalam pengertian yang sangat sempit dan khusus. Alasan terjadinya
perubahan ini adalah karena masyarakat muslim semasa hidup Rasul tidaklah komplek dan
beraneka ragam sebagaimana tumbuh berkembangnya Islam kemudian. Pada masa awal Islam
istilah fiqh dan ilm sering digunakan bagi pemahaman secara umum. Rasul pernah mendoakan
Ibnu Abbas dengan mengatakan (ya Allah berikanlah dia pemahaman dalam agama). Dari
statemen tersebut bisa kita tangkap bahwa maksud dari pemahaman tersebut adalah bukan hanya
bidang hukum semata, melainkan juga pemahaman tentang Islam secara luas.
Berdasarkan pengertian etimologis inilah bahwa terminologi fiqh berarti memahami dan
mengetahui wahyu (baik al-Quran maupun al-Sunnah) dengan menggunakan penalaran akal dan
metode tertentu sehingga diketahui bahwa ketentuan hukum dari mukallaf (subjek hukum)
dengan dalil-dalil yang rinci. Metode yang digunakan untuk mengetahui dan memahami
ketentuan hukum ini kemudian menjadi disiplin ilmu tersendiri yang dikenal dengan Ushul fiqh,
yang dapat diterjemahkan dengan teori hukum Islam. Usul fiqh memuat prinsip-prinsip
penetapan hukum berdasarkan qaidah-qaidah kebahasaan (pola penalaran bayani), qaidah yang
berdasarkan rasio (penalaran talili) dan qaidah pengecualian (penalaran istihsani).
11. PENJELASAN TENTANG ISLAM HISTORIS DAN ISLAM IDEAL
A. Islam Historis
Dalam pemahaman kajian Islam historis, tidak ada konsep atau hukum Islam yang bersifat tetap.
Semua bisa berubah. Mereka berprinsip: bahwa pemahaman hukum Islam adalah produk
pemikiran para ulama yang muncul karena konstruk sosial tertentu. Mereka menolak
universalitas hukum Islam. Akan tetapi, ironisnya pada saat yang sama, kaum gender ini justru
menjadikan konsep kesetaraan gender sebagai pemahaman yang universal, abadi, dan tidak
berubah. Paham inilah yang dijadikan sebagai parameter dalam menilai segala jenis hukum
Islam, baik dalam hal ibadah, maupun muamalah.
Islam historis merupakan unsur kebudayaan yang dihasilkan oleh setiap pemikiran manusia
dalam interpretasi atau pemahamannya terhadap teks, maka islam pada tahap ini terpengaruh
bahkan menjadi sebuah kebudayaan. Dengan semakin adanya problematika yang semakin
kompleks, maka kita yang hidup pada era saat ini harus terus berjuang untuk menghasilkan
pemikiran-pemikiran untuk mengatasi problematika kehidupan yang semakin kompleks sesuai
dengan latar belakang kultur dan sosial yang melingkupi kita, yaitu Indonesia saat ini. Kita perlu
pemahaman kontemporer yang terkait erat dengan sisi-sisi kemanusiaan-sosial-budaya yang
melingkupi kita.
Perbedaan dalam melihat Islam yang demikian itu dapat menimbulkan perbedaan dalam
menjelaskan Islam itu sendiri. Ketika Islam dilihat dari sudut normatif, maka Islam merupakan
agama yang di dalamnya berisi ajaran Tuhan yang berkaitan dengan urusan akidah dan
mu’amalah. Sedangkan ketika Islam dilihat dari sudut histories atau sebagaimana yang nampak
dalam masyarakat, maka Islam tampil sebagai sebuah disiplin ilmu (Islamic Studies).
Sejarah atau histories adalah suatu ilmu yang di dalamnya dibahas berbagai peristiwa dengan
memperhatikan unsure tempat, waktu, obyek, latar belakang, dan pelaku dari peristiwa tersebut.
Menurut ilmu ini segala peristiwa dapat dilacak dengan melihat kapan peristiwa itu terjadi, di
mana, apa sebabnya, siapa yang terlibat dalam peristiwa tersebut.
Melalui pendekatan sejarah seorang diajak menukik dari alam idealis ke alam yang bersifat
emiris dan mendunia. Dari keadaan ini seseorang akan melihat adanya kesenjangan atau
keselarasan antara yang terdapat dalam alam idealis dengan yang ada di alam empiris dan
histories.Pendekatan kesejarahan ini amat dibutuhkan dalam memahami agama, karena gama itu
sendiri turun dalam situasi yang konkret bahkan berkaitan dengan kondisi social
kemasyarakatan.
Dalam pemahaman kajian islam historis, tidak ada konsep atau hukum islam yang bersifat tetap
semua bisa berubah. Kaum historis memiliki pemahaman tentang hukum islam yang mana
hukum islam itu adalah produk dari pemikiran ulama yang muncul karena konstruk social
tertentu. Dalam kajian islam historis ditekankan aspek relitivitas pemahaman keagamaan.
Pemahaman manusia terhadap ajaran agamanya adalah bersifat relatif dan terkait dengan konteks
budaya social tertentu. Kajian islam historis melahirkan tradisi atau disiplin studi empiris:
antropologi agama, sosiologi agama, psikologi agama dan sebagainya.
1. Antropologi agama: disiplin yang mempelajari tingkah laku manusia beragama dalam
hubungannya dengan kebudayaan.
2. Sosiologi agama: disiplin yang mempelajari sistem relasi sosial masyarakat dalam
hubungannya dengan agama
3. Psikologi agama: disiplin yang mempelajari aspek-aspek kejiwaan manusia dalam
hubungannya dengan agama
4. B. Islam Ideal

Islam Ideal adalah islam pada dimensi sakral yang diakui adanya realitas transendetal yang
bersifat mutlak dan universal, melampaui ruang dan waktu atau sering disebut realitas ke-Tuhan-
an. Islam historis adalah islam yang tidak bisa dilepaskan dari kesejarahan dan kehidupan
manusia yang berada dalam ruang dan waktu. Islam yang terangkai dengan konteks kehidupan
pemeluknya. Oleh karenanya realitas kemanusiaan selalu berada dibawah realitas ke-Tuhan-an.
Pada umumnya normativitas ajaran wahyu dibangun, diramu, dibakukan dan ditelaah lewat
berbagai suatu pendekatan doktrinal teologis. Sedangkan historisitas keberagaman manusia
ditelaah lewat berbagai sudut pendekatan sosial-keagamaan yang bersifat multi dan
interdisipliner, baik lewat pendekatan historis, filosofis, psikologis, sosiologis, kultural maupun
antropologis.
Sebuah pendekatan yang lebih menekankan aspek normatif dalam ajaran Islam sebagaimana
terdapat dalam Alqur’an dan Sunnah. Dalam pandangan islam normatif kemurnian islam
dipandang secara tekstual berdasarkan Alqur’an dan Hadits selain itu dinyatakan bid’ah. Kajian
islam normative Melahirkan tradisi teks :tafsir, teologi, fiqh, tasawuf, filsafat.
1. Tafsir: tradisi penjelasan dan pemaknaan kitab suci.
2. Teologi : tradisi pemikiran tentang persoalan ketuhanan
3. Fiqh : tradisi pemikiran dalam bidang yurisprudensi (tata hukum)
4. Tasawuf : tradisi pemikiran dan laku dalam pendekatan diri pada Tuhan
5. Filsafat : tradisi pemikiran dalam bidang hakikat kenyataan, kebenaran dan kebaikan
6. 12. PENJELASAN TENTANG ISLAM TRADISIONAL DAN KONTEKSTUAL
Islam adalah agama samawi yang diturunkan Allah melalui Nabi Muhammad SAW yang
ajarannya terdapat dalam Al-Qur’an dan Sunnah dalam bentuk perintah, larangan serta petunjuk
untuk kebaikan manusia. Islam memiliki syariat-syariat yang diturunkan Allah kepada umat
manusia untuk dijalankan dan bertujuan mencapai kemaslahatan. Ajaran Islam juga mencakup
seluruh aspek kehidupan manusia seperti akidah / teologi, ibadah, hukum, tasawuf, filsafat,
ekonomi, sosial, politik dan pembaruan.
A. Tekstual dalam pandangan Al-qur’an
Teks adalah tulisan yang membuahkan arti atau pengertian. Dipandang secara tekstual, Al
Qur’an adalah merupakan kumpulan firman – firman Tuhan sebagaimana wahyu yang diterima
oleh Nabi Muhammad.
Al Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab, merupakan kesempurnaan ajaran yang tersusun dalam
bahasa sastra, berupa syair – syair metaforik yang sangat indah, yang tak mungkin manusia
mampu membuat tandingannya. Dalam banyak hal merupakan pokok –pokok atau dasar – dasar
ajaran moral, yang pelaksanaannya harus dijalankan sesuai petunjuk Rasulullah (Sunnah Rasul),
sebagaimana tertuang dalam Hadits.
Kemurnian, kesempurnaan serta kesucian Al Qur’an, diyakini akan selamanya terjaga,
sebagaimana dijanjikan oleh Tuhan, dan untuk menjaga kemurnian, kesempurnaan serta
kesuciannya, kaidah – kaidah serta metodologi yang absah (salaf as sahih) harus dilakukan
dalam menafsirkannya, sehingga pemahamannya tidak menyimpang dari apa yang jelas – jelas
terkandung dalam suratan (tertulis sebagai skrip) ayat – ayat nya.
Ayat – ayat Al Qur’an selain merupakan syair – syair yang indah, diyakini memiliki kekuatan,
yang apabila dilafalkan dengan khusuk, maka akan menggetarkan jiwa yang melahirkan
kesadaran akan kehadiran Tuhan, Sang Khalik Yang Maha Kuasa.
Karena itu, teks Al Qur’an dipandang sebagai sumber hukum tertinggi bagi umat Islam, yang tak
dapat dilepaskan dari keberadaan Hadits sahih sebagai petunjuk pelaksanaannya, yaitu Hadits
yang diriwayatkan secara benar oleh para sahabat Nabi yang diakui kemampuan serta
integritasnya.
B. karakteristik islam kontekstual
Islam merupakan sebuah ajaran agama yang tumbuh pertama kali didunia timur tengah beberapa
abad yang lalu. Islam sebagai suatu agama yang mengandung berbagai ajaran sosial, ekonomi,
hukum, akhlak merupakan pegangan umatnya yang harus diterima dan diamalkan secara
seksama. Islam mampu berkembang dan menyebar keseluruh penjuru dunia hanya dalam
beberapa dekade saja. Islam bukanlah satu-satunya agama didunia yang paling benar, tapi islam
berusaha memberikan ajaran yang Rahmatanlilalamin yang tidak dimiliki oleh ajaran agama
lainnya. Islam banyak memberikan kelonggaran dalam syariat agama bagi umatnya disesuaikan
situasi dan kondisi mereka saat itu karena islam bukanlah agama otoriter dan pemaksaan.
Dalam perkembangan dunia islam pada umumnya terbagi dalam dua tahap yaitu :
1. Islam Tradisional
Tradisi bisa berarti addin yang mencakup semua aspek agama dan percabangannya atau assunah
berdasarkan pada model sakral yang sudah menjadi tradisi, bisa juga berarti Al-Silsilah. rantai
yang mengkaitkan setiap periode episode atau tahap kehidupan dan pemikiran. Jadi Islam
tradisional menerima Al-Qur’an sebagai kalam Tuhan baik kandungan maupun bentuknya,
menerima komentar-komentar tradisional yang linguistik, historical, sapiental dan metafisikal
atas Al-Qur’an. Islam tradisional menginterprestasikan bacaan suci bukan berdasarkan makna
literal dan eksternal tapi sesuai tradisi hermeunitik yang mempertahankan syariah sebagai hukum
Illahi sehingga seluruh moralitas diturunkan dari Al-Quran dan hadits . Kadang kala Islam
tradisional bertentangan dengan interprestasi modernis dan fundamentalis karena Islam
tradisional menentang pencapaian kekuasaaan duniawi atas nama Islam dengan melupakan
anjuran Islam sekalipun dunia terus berputar menuju keperadapan yang lebih tinggi. Islam
tradisional akan tetap eksis dalam gerakan intelektual artistic klasik, cendekiawan dan orang suci
yang setia menempuh jalan Nabi.
2. Islam Kontemporer
Sementara pada abad ke 19 banyak gagasan–gagasan barat tentang kemajuan dan pembangunan
diterima secara luas dan merata dikalangan penguasa dunia Islam tanpa melakukan analisis
secara obyektif sesuai norma-norma Islam yang mereka pegang. Hal ini berimplikasi pada
merosotnya moral, keyakinan dan syariat umat Islam terhadap kemurnian ajaran agama yang
selama masa tradisional mereka pegang teguh hanya untuk mengejar arus modernisasi dunia.
Dari kebahagiaan semata manusia diera ini lebih memikirkan masa depan kehidupan dunianya
dengan menempuh berbagai cara sesuai potensi SDM yang dimiliki dan menomerduakan
hukum-hukum agama. Memang kalau dipandang sekilas umat Islam menjadi lebih mapan dan
mampu bersaing dengan dunia non- Islam sehingga dipandangan dunia, umat Islam bukanlah
umat yang lemah dan ketinggalan peradapan. Namun dibalik semua itu umat Islam harus
mengorbankan keyakinan ajaran agama yang seharusnya dijadikan pegangan dalam berperilaku.
Bukannya kemajuan peradapan Islam yang modern tapi moral umat Islam yang semakin jauh
dari norma-norma agama. Setidaknya diera Islam kontemporer terdapat tiga gerakan Islam yang
bersekala luas, antara lain Revivalisme, sebagai reaksi dimulainya ekspansi kolonial eropa abad
ke 18 dan 19, kemudian muncul gerakan Reformisme Islam sebagai pengganti Refifalisme yang
tidak berhasil mencapai tujuan jangka panjangnnya baru setelah itu munculIslamfundamental.
Langkah dalam mengkaji gerakan ini adalah harus selalu mencermati bahwa dunia Islam sangat
besar dan beragam, lebih dari 800 juta kaum muslim diseluruh dunia dan sebagian besar dibenua
asia khusunya di Indonesia yang mencapai 190juta muslim. Indonesia bukanlah negara Islam
tapi mayoritas penduduknya 90% adalah umat Islam sekaligus sebagai negara dengan jumlah
umat Islam terbanyak didunia. Ironisnya sebagai negara mayoritas penduduknya muslim apakah
umat Islam Indonesia sudah menjalankan semua syariat agama serta mampu mengembangkan
peradapan Islam modern berbasis teknologi dengan potensi SDM yang unggulan demi kejayaan
dan kemakmuran Indonesia pada umumnya dan Islam pada khususnya. Hal inilah yang belum
mampu dicapai oleh Negara-negara Islam diseluruh dunia sebagaimana yang pernah
diungkapkan Eric Hoffer pengarang The True Believer menyatakan belum ada negara Islam yang
berhasil menguasai produksi industri atau mewujudkan sesuatu yang mendekatinya dengan
membandingkan apa yang telah dicapai oleh Jepang, Taiwan, Korsel, Singapura, Hongkong dan
India.

1. 13. PENJELASAN TENTANG ISLAM FANATIS DAN ISLAM LIBERAL


1. A. Islam Fanatis

Fanatisme atau ta’asshub ialah kepercayaan membabi buta terhadap suatu ajaran dan menolak
pendapat lain daripada yang dianut. Kita seringkali mendengar anjuran orang, janganlah fanatik
atau ta’asshub, artinya janganlah memegang kepercayaan sendiri dengan cara membabi-buta.
Kerap kali kita dengar orang salah mengartikan ta’asshub itu. Dikiranya ta’asshub memegang
teguh pendirian dengan pengertian. Pendirian yang teguh dengan pengertian bukanlah fanatisme
atau ta’asshub, tetapi yang demikian itu adalah kesatriaan dan perasaan tanggung jawab yang
penuh. Umat Islam zaman dulu tidak mengenal perkataan ta’asshub. Islam adalah demokratis,
tidak takut pada pendapat orang lain yang berlainan dari padanya. Tidak ada buku yang lebih
demokratus daripada al-Qur’an. Lihatlah, didalam al-Qur’an dimuat ayat: “Wa yaquluna innahu
lamajnuun” (mereka, lawan Muhammad, mengatakan bahwa sesungguhnya Muhammad itu
adalah gila). Ayat itu dipertontonkan al-Qur’an pada umat Islam dengan pengharapan supaya
dapatlah mereka melihat bahwa otak manusia itu ada juga yang demikian tololnya setelah
kehabisan hujjah (argumen) di dalam bertukar pikiran lalu memakai kata-kata kotor dan maki-
makian.
Timbulnya perkataan ta’asshub (fanatisme) didalam kalangan Islam ialah setelah orang Barat
merasa tidak dapat menembus keteguhan pendirian umat Islamdengan cara hujjah (argumen) lalu
mencari akal menuduh umat Islam adalah fanatik (ta’asshub). Sungguh amat sayang sekali
diantara umat Islam ada yang tertipu dengan perkataan tadi. Dikiranya bahwa keteguhan mereka
memegang pendirian yang didasarkan pada pengertian itu adalah fanatisme (ta’asshub), lalu
mulai segan memegang pendiriannya menghadapi orang barat. Mereka ini tidak insaf bahwa
tindakan fanatik yang dikenakan orang barat pada Islam itu adalah akal-akalan dan tipuan
semata-mata. Bukan mereka sendirikah (orang Barat) fanatikn terdapat adat kebiasaan,
kepercayaan, terutama untuk mempertahankan kepentingan-kepentingan mereka sungguh luar
biasa sekali? Jadi tuduhan orang barat melemparkan kata-kata fanatik pada umat Islam itu
semata-mata seperti siasat perang dengan mengadakan tembakan-tembakan pancingan pada
benteng-benteng lawan, agar dari benteng tadi keluar tembakan-tembakan, dan dengan demikian
dapat diketahui mana-mana tempat yang lemah.
Tetapi yang lebih celaka lagi ialah perpecahan yang ditimbulkan oleh racun yang dinamakan
fanatisme (ta’asshub) tadi dikalangan kaum Muslimin sendiri. Oleh karena salah pengertian
terhadap arti fanatisme dengan makna kepercayaan membabi-buta dan menolak pendapat-
pendapat yang berlainan dari padanya, dengan makna yang salah yaitu memegang teguh
pendirian dengan pengertian, oleh karena salah pengertian itulah maka timbul segolongan
dikalangan kaum Muslimin yang bergembar-gembor: janganlah fanatik, janganlah ta’asshub.
Dan oleh karena itu lalu mulailah dikalangan Muslimin timbul dua golongan yang berlainan
pendapat, satu golongan yang teguh memegang pendiriannya dengan pengertian. Mereka ini oleh
golongan lainnya juga. “Modern” dicap fanatik. Sedang golongan yang “modern” ini makmum
pada orang-orang barat dengan pendirian teguh pula. Sebenarnya mereka ini juga fanatik, tetapi
tidak pada Islam, hanya ada barat. Akan tetapi mereka tidak suka dinamakan fanatik, dan
menamakan diri “modern”, “progressif”: padahal sebenarnya mereka adalah fanatik, lebih keras
daripada fanatiknya pihak yang pertama tadi. Jadi “fanatik” lawan fanatik timbul dikalangan
umat Islam sendiri.
Dalam pada itu yang untung ialah orang barat yang mengemudikannya. Kalau kita pikirkan
betul-betul, maka perumpamannya tuduhan fanatik (ta’asshub) pada umat Islam itu adalah
didasarkan pada theori vaccinatie (menyuntik) penyakit didalam badan dengan kutu-kutu yang
sama: maksudnya ialah supaya kutu-kutu penyakit yang masih tahan kuat lagi tidak fanatik atau
“progressif”?. Kasihan bangsa-bangsa jajahan yang dikomedikan, sehingga berkelahi segolongan
melawan segolongan yang lainnya. Walaupun begitu masih juga mereka suka dikomedikan
orang! Mudah-mudahan hal ini dinsafi oleh kaum Muslmin.
B. Islam Liberal
Liberalisme, adalah sebuah istilah asing yang diambil dari bahasa Inggris, yang berarti
kebebasan. Kata ini kembali kepada kata “liberty” dalam bahasa Inggrisnya, atau “liberte”
menurut bahasa Perancis, yang bermakna bebas. [1] Istilah ini datang dari Eropa. Para peneliti,
baik dari mereka ataupun dari selainnya berselisih dalam mendefinisikan pemikiran ini. Namun
seluruh definisi, kembali kepada pengertian kebebasan dalam pandangan Barat. The World Book
Encyclopedia menuliskan pembahasan Liberalism, bahwa istilah ini dianggap masih samar,
karena pengertian dan pendukung-pendukungnya berubah dalam bentuk tertentu dengan
berlalunya waktu.
Syaikh Sulaiman al-Khirasyi menyebutkan, liberalisme adalah madzhab pemikiran yang
memperhatikan kebebasan individu. Madzhab ini memandang, wajibnya menghormati
kemerdekaan individu, serta berkeyakinan bahwa tugas pokok pemerintah ialah menjaga dan
melindungi kebebasan rakyat, seperti kebebasan berfikir, kebebasan menyampaikan pendapat,
kebebasan kepemilikan pribadi, kebebasan individu, dan sejenisnya.
Asas Pemikiran Liberal
Secara umum asas liberalisme ada tiga. Yaitu kebebasan, individualisme, rasionalis (‘aqlani,
mendewakan akal). Asas Pertama, Kebebasan : Yang dimaksud dengan asas ini, ialah setiap
individu bebas melakukan perbuatan. Negara tak memiliki hak mengatur. Perbuatan itu hanya
dibatasi oleh undang-undang yang dibuat sendiri, dan tidak terikat dengan aturan agama. Dengan
demikian, liberalisme merupakan sisi lain dari sekulerisme, yaitu memisahkan dari agama dan
membolehkan lepas dari ketentuan agama. Sehingga asas ini memberikan kebebasan kepada
manusia untuk berbuat, berkata, berkeyakinan, dan berhukum sesukanya tanpa dibatasi oleh
syari’at Allah. Manusia menjadi tuhan untuk dirinya dan penyembah hawa nafsunya. Manusia
terbebas dari hukum, dan tidak diperintahkan mengikuti ajaran Ilahi. Padahal Allah Subhanahu
wa Ta’ala berfirman:
‫ك أململر م‬
‫ت موأممناَ أمسومل اللمملسلللميمن‬ ‫ك لمهم ُ موبلذمذلل م‬
‫ب اللمعاَلملميمن مل مشلريِ م‬
‫ي مومممماَلتيِ لسلل مر ب‬ ‫قملل إلسن م‬
‫صمللتيِ مونممسلكيِ مومملحمياَ م‬
Katakanlah: “Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb
semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku
adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)”. [al-An’âm/6:162-163]
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
‫ك معلمذى مشلريِمعةة بممن اللململر مفاَتسبللعمهاَ مومل تمتسبللع أملهموامء السلذيِمن مل يِملعلمممومن‬ ‫ثمسمْ مجمعللمناَ م‬
Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan agama itu,
maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak
mengetahui. [al-Jâtsiyah/45:18]. Asas Kedua, Individualism (al-fardiyah) : Dalam hal ini
meliputi dua pengertian. Pertama, dalam pengertian ananiyah (keakuan) dan cinta diri sendiri.
Pengertian inilah yang menguasai pemikiran masyarakat Eropa sejak masa kebangkitannya
hingga abad ke-20 Masehi. Kedua, dalam pengertian kemerdekaan pribadi. Ini merupakan
pemahaman baru dalam agama Liberal yang dikenal dengan pragmatisme. Asas ketiga, yaitu
rasionalisme (aqlaniyyun, mendewakan akal). Dalam artian akal bebas dalam mengetahui dan
mencapai kemaslahatan dan kemanfaatan tanpa butuh kepada kekuatan diluarnya.
Hal ini dapat tampak dari hal-hal berikut ini:
1. Kebebasan adalah hak-hak yang dibangun diatas dasar materi bukan perkara diluar materi
yang dapat disaksikan (abstrak). Dan cara mengetahuinya adalah dengan akal, panca indera dan
percobaan.
2. Negara dijauhkan dari semua yang berhubungan dengan keyakinan agama, karena kebebasan
menuntut tidak adanya satu yang pasti dan yakin; karena tidak mungkin mencapai hakekat
sesuatu kecuali dengan perantara akal dari hasil percobaan yang ada. Sehingga –enurut mereka-
manusia sebelum melakukan percobaan tidak mengetahui apa-apa sehingga tidak mampu untuk
memastikan sesuatu. Ini dinamakan ideology toleransi (Mabda’ at-Tasâmuh) [6]. Hakekatnya
adalah menghilangkan komitmen agama, karena ia memberikan manusia hak untuk
berkeyakinan semaunya dan menampakkannya serta tidak boleh mengkafirkannya walaupun ia
seorang mulhid (menentang Allah dan RasulNya). Negara berkewajiban melindungi rakyatnya
dalam hal ini, sebab negara –versi mereka terbentuk untuk menjaga hak-hak asasi setiap orang.
Hal ini menuntut negara terpisah total dari agama dan madzhab pemikiran yang ada. (Musykilah
al-Hurriyah hal 233 dinukil dari Hakekat Libraliyah hal 24). Ini jelas dibuat oleh akal yang hanya
beriman kepada perkara kasat mata. Sehingga menganggap agama itu tidak ilmiyah dan tidak
dapat dijadikan sumber ilmu. Ta’alallahu ‘Amma Yaquluna ‘Uluwaan kabiran (Maha Tinggi
Allah dari yang mereka ucapkan).
3. Undang-undang yang mengatur kebebasan ini dari tergelicir dalam kerusakan –versi seluruh
kelompok liberal – adalah undangundang buatan manusia yang bersandar kepada akal yang
merdeka dan jauh dari syari’at Allah. Sumber hukum mereka dalam undang-undang dan individu
adalah akal.
Islam Dan Liberal
Dari pemaparan diatas jelaslah bahwa Liberal hanyalah bentuk lain dari sekulerisme yang
dibangun di atas sikap berpaling dari syari’at Allah Subhanahu wa Ta’ala , kufur kepada ajaran
dan petunjuk Allah dan rasulNya n serta menghalangi manusia dari jalan Allah Subhanahu wa
Ta’ala. Juga memerangi orang-orang sholih dan memotivasi orang berbuat kemungkaran,
kesesatan pemikiran dan kebejatan moral manusia dibawah slogan kebebasan yang semu. Sebuah
kebebasan yang hakekatnya adalah mentaati dan menyembah syeitan. Lalu bisakah Islam
bergandengan dengan Liberal?
Upaya Menyatukan Islam & Liberal
Pemikiran Liberal masuk ke dalam tubuh kaum muslimin melalui para penjajah kolonial.
Kemudian disambut orang-orang yang terperangah dengan modernisasi Eropa waktu itu.
Muncullah dalam tubuh kaum muslimin madrasah al-Ishlahiyah (aliran reformis) dan madrasah
at-tajdîd (aliran pembaharu) serta al-’Ashraniyûn (aliran modernis) yang berusaha
menggandengkan Islam dengan liberal ditambah dengan banyaknya pelajar muslim yang dibina
para orientalis di negara-negara Eropa. Upaya menyatukan liberalisme ke dalam Islam sudah
dilakukan oleh gerakan ‘Islahiyah’ pimpinan Muhammad ‘Abduh dan para muridnya. Kemudian
pada tahun enampuluhan, muncullah gerakan pembaru (madrasah attajdid) dengan tokoh seperti
Rifa’ah ath-Thahthawi dan Khairuddîn at-Tunîsi. Pemikiran mereka ini tidaklah satu. Namun
mereka menggabungkan ajaran Islam dengan modernisasi Barat dan merekonstruksi ajaran
agama agar sesuai dengan modernisasi Barat (orang-orang kafir). Oleh karena itu, pemikiran
mereka berbeda-beda sesuai dengan pengetahuan mereka terhadap modernisasi di Barat dan
kemajuannya yang terus berkembang. Demikian juga, mereka sepakat menjadikan akal sebagai
sumber hukum sebagaimana akal juga menjadi sumber hukum dalam ajaran Liberal. Dari sini
jelaslah kaum reformis dan modernis ini ternyata memiliki prinsip dan latar belakang serta
orientasi pemikiran yang berbeda-beda. Meskipun mereka sepakat untuk mengedepankan logika
akal daripada al-Qur‘ân dan Sunnah dan pengaruh kuat pemikiran Barat.
Ada di antara mereka yang secara terus terang mengungkapkan niat mereka menghancurkan
Islam karena terpengaruh pemikiran nasionalisme sekuler atau sayap kiri komunis. Ada yang
berusaha memunculkan keraguan ke dalam tubuh kaum muslimin dengan berbagai istilah bid’ah
yang sulit dicerna pengertiannya. Atau dengan cara membolakbalikkan fakta dan realitas ajaran
Islam sejati dengan pemikiran dan gerakannya. Mereka menempatkan orang sesat dan
menyimpang sebagai pemikir yang bijak dan ksatria revolusioner. Sementara para ulama Islam
ditempatkan sebagai kalangan yang kolot konservatif dan tidak tahu hak asasi manusia.
Yang lebih menyakitkan lagi adalah ungkapan sebagian mereka yang menuduh orang yang
kembali merujuk nash syariat sebagai orang yang kolot dan paganis (musyrik). Prof. Fahmi
Huwaidi dalam artikelnya yang berjudul Watsaniyûn Hum ‘Abadatun Nushûsh (Paganis itu
adalah mereka yang menyembah nash-nash Syari’at) menggambarkan hal tersebut sebagai
paganism baru (Watsaniyah jadîdah). Hal itu karena Paganisme tidak hanya berbentuk
penyembahan patung berhala semata. Karena ini adalah paganisme zaman dahulu. Namun
paganisme zaman ini telah berubah menjadi bentuk penyembahan symbol dan rumus pada
penyembahan nash-nash dan ritualisme. [Lihat Al-’Aqlaniyûn Afrâkh al-Mu’tazilah al-‘Ashriyûn
hal.63]
Sebenarnya hakekat usaha mereka ini adalah mengajak kaum muslimin untuk mengikuti ajaran
dan pola pemikiran Barat (westernisasi) dan menghilangkan aqidah Islam dari tubuh kaum
muslimin serta memberikan jalan kemudahan kepada musuh-musuh Islam dalam
menghancurkan kaum muslimin. Sehingga mereka menganggap aturan liberal dan demokrasi
adalah perkara mendesak dan sangat cocok dengan hakekat Islam dan ajarannya serta tidak
mengingkarinya kecuali fondamentalis garis keras.
Demikianlah usaha mereka ini akhirnya menghasilkan penghapusan banyak sekali pokok-pokok
ajaran Islam dan memasukkan nilai-nilai liberalisme dan humanisme kedalam ajaran Islam dan
aqidah kaum muslimin. Karena itu seorang orientalis bernama Gibb menyatakan: “Reformasi
adalah program utama dari liberalisme Barat. Kita tinggal menunggu saja semoga orientasi
tersebut dari kalangan reformis bisa menjadi semacam managerial modern untuk menggali nilai-
nilai liberalisme dan humanisme”.[Menjawab Modernisasi Islam hal 178]
Demikianlah nilai-nilai dan pemahaman liberal masuk ke dalam tubuh kaum muslimin. Kita
berlindung kepada Allah l darinya dan dari semua penyeru ajaran ini.
Liberal Dalam Pandangan Hukum Islam
Liberalisme adalah pemikiran asing yang masuk ke dalam Islam. Pemikiran ini menafikan
adanya hubungan kehidupan dengan agama sama sekali. Pemikiran ini menganggap agama
sebagai rantai pengikat kebebasan hingga harus dibuang jauh-jauh. Para perintis dan pemikir
liberal yang menyusun pokok-pokok ajarannya membentuk liberal berada diluar garis seluruh
agama yang ada dan tidak seorangpun dari mereka yang mengklaim adanya hubungan dengan
satu agama tertentu walaupun yang menyimpang. Sehingga Liberalisme sangat bertentangan
dengan Islam. Tidak sedikit pembatal-pembatal ke-Islaman yang terkandung
dalam arus ideologi yang satu ini. Diantaranya:
1. Kekufuran
2. Berhukum dengan selain hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala
3. Menghilangkan aqidah al-Wala dan bara’.
4. Menghapus banyak sekali ajaran dan hukum Islam.
RANGKUMAN SEJARAH PERADABAN ISLAM
Dosen Pembimbing : Maryamah, M.Si
Ujang Sugara
10210156

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI RADEN FATAH PALEMBANG


FAKULTAS TARBIYAH
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
2011

RIWAYAT HIDUP NABI MUHAMMAD SAW

A. ARAB SEBELUM ISLAM


Ketika Nabi Muhammad Saw dilahirkan yaitu pada (570 M), Makkah adalah sebuah kota
yang sangat penting dan terkenal diantar kota-kota di negeri Arab, baik karena tradisinya maupun
karena letaknya. Kota ini dilalui jalur perdagangan yang ramai menghubungkan yaman di selatan
syiria di utara. Dengan adanya Ka’bah di tengah kota, Makkah menjadi pusat keagamaan Arab.
Ka’bah adalah tempat mereka berziarah. Di dalamnya terdapat 360 berhala, mengelilingi berhala
utama, Hubal. Makkah kelihatan makmur dan kuat. Agama dan masyarakat arab ketika itu
mencerminkan realitas kesukuan masyarakat jazirah arab dengan luas satu juta mil persegi.
Jazirah Arab merupakan tempat kediaman mayotitas bangsa Arab saat itu. Jazirah arab
terbagi menjadi dua bagian besar yaitu, Bagian Tengah dan Bagian Pesisir. Jazirah arab bagian
tengah merupakan Padang Pasir Sahara yang memiliki keadaan dan sifat berbeda. Pendudukanya
sedikit dan mempunyai kebiasaa nomadik yaitu berpindah-pindah daerah guna mencari air.
Sedangkan di Jazirah Arab bagian pesisir, mereka sudah hidup tetap dengan mata pencaharian
bertani dan berniaga.
Bila dilihat dari segi keturunan, Jazirah arab terbeagi menjadi dua golongan besar yaitu,
Qathaniyun yaitu keturunan Qathan dan Adnaniyun yaitu keturunan Ismail bin Ibrahim. Pada
mulanya di bagian utara ditempati golongan Adnaniyun dan dibagian dan diwiliyaha selatan
ditempati golongan Qathaniyun, tetapi lama-lama mereka berbaur dikarenakan yang utara pindah
ke selatan begitu juga sebaliknya.
B. RIWAYAT HIDUP NABI MUHAMMAD SAW : DAKWAH DAN PERJUANGAN
1. Sebelum Masa Kerasulan
Nabi Muhammad lahir dari keluarga terhormat relatif miskin. Ayahnya bernama Abdullah
dan kakenya bernama Abdul Munthalib, seorang kepala suku Quraisy yang besar pengaruhnya.
Dan ibunya bernama Aminah binti Wahab dari bani Zuhrah. Nabi Muhammad lahir pada tahun
570 M, atau sering dikenal dengan tahun gajah. Dinamakan tahun gajah karena pada saat nabi
lahir ada penyerangan dari Gubernur Habsyi (Ethiopia) yang bernama Abrahah dengan
membawa pasukan bergajah yang datang untuk menyerbu Ka’bah.
Nabi Muhammad ditinggal meninggal ayahnya sejak ia masih didalam kandungan. Setelah
ia lahir ia diasuh oleh ibu pengasuh yang bernama Halimatus Sa’diyah. Ia diasuh hingga berusia
4 Tahun. Setalah itu kurang lebih 2 tahun ia diasuh oleh ibu kandungnya. Pada saat ia berusia 6
tahun, ia diajak ibunya untuk berziarah ke makam ayahnya, pada saat dijalan ibunya sakit dan
meninggal dunia. Jadi pada saat ia berusia 6 tahun ia sudah menjadi anak yatim piatu. Setelah
ibunya meninggal Nabi Muhammad diasuh oleh kakeknya yaitu Abdul Munthalib. Namun dua
tahun kemudian Abdul Munthalib meninggal karena sudah tua. Setelah ditinggal kakeknya ia
diasuh oleh pamannya yaitu Abu Tholib, seperti Abdul Munthalib, Abu Tholib juga disegani
disukunya. Pada saat nabi masih muda, ia pernah hidup sebagai pengembala kambing
keluargannya dan penduduk Makkah, pada saat ia berumur 12 tahun ia ikut bekafilah dagang ke
Syria dengan Abu Thalib. Pada saat itu ia bertemu dengan pendeta kristen bernama Buhairah.
Buhairah mengatakan kepada Abu Thalib agar tidak terlalu jauh mengajak Nabi ke dalam daerah
Syam, dikarenakan ditakutkan para penduduk Yahudi mengetahui tanda-tanda kenabian yang ada
pada diri Nabi Muahammad yang menjadikan orang yahudi berbuah jahat kepadanya.
Pada usia 25 tahun ia membawa barang dagangan milik saudagar wanita kaya, yaitu Siti
Khadijah. Setelah ia pulang, ia membawa laba yang sangat besar. Siti Khadijah suka dengan
Nabi dan akhirnya ia melamar Nabi, dan menikah dengan Nabi
2. Masa Kerasulan
Pada saat nabi berusia 40 tahin, ia sering menyepi dari keramaian untuk bertafakur di Gua
Hira, yang bertempat beberapa kilo dari rumahnya, awalnya, Cuma beberapa jam, kamudian
berhari-hari. Pada tanggal 17 Ramadhan 611 M. Malikat jibril muncul dihadapanyya dengan
membwa wahyu pertama dari Allah yaitu surat Al-Alaq ayat 1-5. Awalnya nabi ketakutan pada
saat ia disuruh mengikuti ucapan jibril, ia berkata kalau ia tidak bisa, kemudian ia dipeluk
dengan keras oleh jibril dan disuruh mengulangi lagi apa yang dikatakan jibril. Pada saat ia
sudah bisa mengikuti ucapan jibril nabi dilepaskan oleh jibril, dan Nabi pulang dengan lari
kerumah, Pada saat nabi sampai rumah,dengan wajah yang masih ketakutan ia bicara ke khadijah
kalau ia kedinginan, kemudian ia dihibur oleh khadijah dan dislimuti. Besoknya khadijah
menemui seorang pendeta kristen dan bertanya kenapa nabi seperti itu. Dan si pendeta tahu
bahwa Muhammd sudah diangkat menjadi nabi.
Turunnya surat Al-Alaq menunjukan bahwa pada saat itu nabi masih belum disuruh untuk
berdakwah. Turunnya wahyu kedua yaitu surat Al-Muddatstir ayat 1-7 dengan turunnya wahyu
ini, mulailah Rasulullah SAW berdakwah, pertama dengan sembunyi-sembunyi di lingkungan
sendiri, kemudian di kalangan rekan-rekannya dan kemudian di keluarganya. Mula-mula yang
masuk islam adalah istri Nabi Muhammad SAW, kemudian sepupunya Ali Bin Abi Tholib yang
baru berumur 10 tahun, kemudian Abu Bakar, Zaid, Ymmy Aiman, Usman bin Affan, Zubair bin
Awwam, Abdurrahman bin Auf, Sa’ad bin Abi Waqqash dan Thalhah bin Ubaidillah dan mereka
juga disebut assabighunal awwalun.
Setelah beberapa lama berdakwah secara sembunyi-sembunyi akhirnya turun wahyu yang
menyuruh nabi untuk berdakwah secara terang-terangan. Pertama nabi mengumpulkan
keluarganya dan mengajak mereka masuk islam, tetapi mereka semua menolak kecuali Ali.
Kemudian ia mengajak semua golongan, mulai hamba sahaya hingga bangsawan, mulai dari
daerah makkah hingga ke daerah yang lain. Hasil usaha nabi pun ada hasilnya, sedikit-sedikit
umat nabi bertambah, dari golongan wanita, budak, pekerja dan orang tak punya.
Semakin lama para kafir quraisy semakin kejam. Kemudian nabi mengajak umanya untuk
pergi ke luar Makkah yaitu ke Habsyah (Ethiopia). Kemudian ada banyak orang kuat dari
quraisy masuk islam yaitu Hamzah dan Umar bin Khattab. Posisi islam pun semakin kuat.
Kemudian di boikot mereka, orang-orand dilarang berjual beli dengan kaum muslimin. Setelah
boikot dihentikan pada tahun kesepuluh kenabian nabi ditinggal 2 orang yang disayanginya yaitu
Ali bin Abi Thalib dan Istrinya Siti Khadijah yang meninggal di Tahun yang sama. Untuk
menghibur nabi yang berduka Allah meng Isra’ Mi’rajkan beliau. Dan hal ini menggemparkan
Rakyat Makkah ketika nabi mengumumkan itiu semua ke kaum quraisy, dan mereka mengangap
nabi gila, hanya ada satu yang percata yaitu Abu Bakar yang kemudian mendapat julukan Ash-
Shidiq. Pada tahun ke 12 kenabian ada orang utusan dari Yastrib yang meminta nabi dan
umatnya untuk pindah ke Yastrib (Madinah) kemudian umat nabi yang berjunlah 150 orang
sudah pindah dalam waktu 2 bulan, tinggal nabi, Umar, dan Ali yang tetap di Makkah untuk
menemani Nabi. Kemudian setelah semua urusan selesai, Nabi berangkat menuju Yastrib dengan
ditemani oleh Abu Bakar Ash Shidiq, dan mereka istirahat di Quba dan tinggal di rumah Kalsum
bin Hindun, dan nabi mendirikan Masjid untuk yang pertama kali di depan rumah Kalsum bin
Hindun. Setelah selesai nabi melanjutkan ke Yastrib, sesampainya disana Nabi di elu-elukan oleh
penduduk yastrib dan dan sejak itu kota Yastrib diganti dengan nama Madinatu Nabi atau sering
disebut juga dengan Madinatul Munawwarah.
C. PEMBENTUKAN NEGARA MADINAH
Setelah Nabi hijrah ke Yatstrib, kedatangan Nabi dan umat Islam di Madinah telah
mengubah segalanya dan tak lama setelah hijrah, Nabi menyusun konstitusi madinah.Dengan
demikian madinah berubah menjadi negara dengan Nabi sebagai kepala negara.Menjelang
wafatnya Nabi SAW wilayah kekuasaan negara Islam ini mencakup hampir seluruh wilayah
Arabia dan Madinah merupakan ibu kotanya. Selanjutnya Nabi mempersaudarakan orang islam
Mekah dan Madinah berdasarkan ikatan akidah ukhuwah islamiyah dan pebentukan umat itu
diartikan sebagai proklamasi terbentuknya negara islam dengan piagam madinah.
Dalam rangka mempekokoh masyarakat dan negara baru itu, ia segera meletakkan
dasar-dasar kehidupan masyarakat diantaranya terdapat tiga dasar yaitu:
1. Pembagunan masjid, selain tempat sholat, juga sebagai sarana penting untuk mempersatukan
kaum muslimin.
2. Ukhuwah islamiyah, persaudaraan sesama muslim, antara kaum Muhajirin dan kaum Ansar.
3. Hubungan persahabatan dengan pihak-pihak lain yang tidak beragama islam.
Dengan terbentuknya negara Madinah, islam makin bertambah kuat. Selain tiga dasar di
atas, langkah awal yang ditempuh Rasullullah setelah resmi mengendalikan Madinah adalah
membangun kesatuan internal dengan mempersaudarakan orang muhajirin dan anshar. Langkah
ini dilakukan sejak awal untuk menghindari terulangnya konflik lama diantara mereka. Dengan
cara ini, akan menutup munculnya ancaman yang akan merusak persatuan dan kesatuan dalam
tubuh umat islam. Langkah politik ini sangat tepat untuk meredam efek keratakan sosial yang
ditimbulkan oleh berbagai manuver orang-orang yahudi dan orang-orang munafik (hipokrif)
yang berupaya menyulut api permusuhan antara Aus dan Khazraj, antara muhajirin dan ansar.
Setelah itu Rasulullah juga berupaya menyatukan visi para pengikut Nabi dalam rangka
pembentukan sistem politik baru dan mempersekutukan seluruh masyarakat Madinah, sementara
itu agar bangunan kerukunan menjadi lebih kuat, Rasulullah membuat konvensi dengan orang-
orang yahudi. Dalam konteks ini tampak kepiawaian Nabi dalam membangun sebuah sisem yang
mengantisipasi masa depan. Di Madinah, Nabi bersama semua elemen pendudukk Madinah
berhasil membentuk structur religio politics atau ”Negara Madinah”. Untuk mengatur roda
pemerintahan, semua elemen masyarakat Madinah secara bersama menandatangani sebuah
dokumen yang menggariskan ketentuan hidup bersama yang kemudian lebih dikenal sebagai
konstitusi atau Piagam Madinah (Mi’tsaq Al-Madinah).
Konstitusi Madinah merupakan konstitusi yang mendasari berdirinya negara Madinah.
Negara yang didirikan oleh Nabi Muhammad SAW. Setelah beliau hijrah dari Makkah ke
Yatsrib, yang kemudian menjadi Al-madinah Al-munawwarah kota yang bermandikan cahaya.
Perjanjian politik ini kemudian ditulis dalam sebuah dokumen yang menurut para ahli
merupakan konstitusi tertulis pertama di dunia. Dikeluarkan pada tahun pertam nabi hijrah ke
Yatsrib. Jadi bertepatan dengan dua tahun sebelum terjadi perang badar.
Pemberlakuan konstitusi menjadi salah satu bukti dari kapabilitas Rasulullah sebagai
seorang legisaltor, disamping pengetahuannya yang memadai tentang berbagai aspek kehidupan
sosial. Penulisan konstitusi dalam waktu yang tidak begitu lama setelah hijrah menunjukkah
bahwa negara islam sesungguhnya telah dirancang sebelum hijrah. Dalam konstitusi itu
ditemukan kaidah-kaidah umum yang mampu mengakomudasi berbagai hak dan kewajiban para
warga. Piagam ini memuat hak-hak golongan minoritas, diantaranya mengakui kebebasan
beragama. Yakni sebuah kebebasan menghormati keaneka ragaman agam dan menjamin para
pemeluknya untuk menjalankan agamanya.
MASA KEMAJUAN ISLAM I
(650-1000 M)
A. KHULAFAURRASYIDDIN
Nabi Muhammad tidak meninggalkan wasiat tentang siapa yang mengantikan beliau
setelah beliau wafat. Sepertinya nabi menyerahkan hal tersebut ke kaum muslimin sendiri untuk
memilihnya. Karena itulah tidak lama setelah beliau wafat , belum lagi jenazahnya dimakamkan,
sejumlah tokoh Muhajirin dan Anshar berkumpul di balai kota Bani Sa’idah, Madinah. Mereka
memusyawarahkan siapa yang akan dipilih jadi pemimpinnya. Musyawarah itu berjalan cukup
alot karena masing-masing pihak, baik muhajirin maupun anshar, sama-sama merasa berhak
menjadi pemimpin umat Islam. Namun dengan semangat Ukhuwah Islamiyah yang tinggi,
akhirnya Abu Bakar terpilih. Rupanya semangat keagamaan yang tinggi dari Abu Bakar
mendapat penghargaan yang tinggi dari masing-masing pihak menerima dan membaiatnya.
Pada masa Abu Bakar, beliau bukan hanya dikatakan sebagai Khalifah, namun juga
sebagai penyelamat Islam dari kehancuran karena beliau telah berhasil mengembalikan ummat
Islam yang telah bercerai berai setelah wafatnya Rasulullah SAW. Disamping itu beliau juga
berhasil memperluas wilayah kekuasaan Islam.Jadi letak peradaban pada masa Abu Bakar adalah
dalam masalah agama (penyelamat dan penegak agama Islam dari kehancuran serta perluasan
wilayah) melalui sistem pemerintahan (kekhalifahan) Islam.
Pada masa Umar bin Khatab Mengenai ilmu keIslaman pada saat itu berkembang
dengan pesat. Para ulama menyebarkan ke kota-kota yang berbeda, baik untuk mencari ilmu
maupun mengajarkannya kepada muslimin yang lainnya.Hal ini sangat berbeda dengan sebelum
Islam datang, dimana penduduk Arab, terutama Badui, merupakan masyarakat yang terbelakang
dalam masalah ilmu pengetahuan.Buta huruf dan buta ilmu adalah sebuah fenomena yang biasa.
Pada masa Khalifah Ustman kedudukan peradaban Islam tidak jauh berbeda demikian
juga pendidikan Islam tidak jauh berbeda dengan masa sebelumnya.Para sahabat diperbolehkan
dan diberi kelonggaran meninggalkan Madinah untuk mengajarkan ilmu-ilmu yang
dimiliki.Dengan tersebarnya sahabat-sahabat besar keberbagai daerah meringankan umat Islam
untuk belajar Islam kepada sahabat-sahabat yang tahu banyak ilmu Islam di daerah mereka
sendiri atau daerah terdekat. Ustman pun medapat gelar Dzun nurain yang berarti pemilik dua
cahaya. Ustman mendapatkan gelar ini karena Ustman pernah menikahi 2 putri nabi.
Pada masa Khalifah Ali Ali melakukan pembasmian terhadap pembangkang, dan
memecat gubernur-gubernur yang diangkat pada masa sebelumnya.
B. KHILAFAH BANI UMMAYAH
Kekuasaan Muawiyah menjadi awal kekuasaan Bani Umayyah.Pemerintahan yang
bersifat demokratis di masa khulafaurrasyidin berubah menjadi kerajaan turun
temurun.Kekhalifahan Muawiyah diperoleh melalui kekerasan, diplomasi dan tipu daya, tidak
dengan pemilihan atau suara terbanyak.Suksesi kepemimpinan secara turun temurun dimulai
ketika Muawiyah mewajibkan seluruh rakyatnya untuk menyatakan setia terhadap anaknya,
Yazid.
Muawiyah bermaksud mencontoh monarkhi di Persia dan Bizantium.Dia memang tetap
menggunakan istilah khalifah, namun dia memberikan interprestasi baru dari kata-kata itu untuk
mengagungkan jabatan tersebut.Dia menyebutnya “khalifah Allah” dalam pengertian “penguasa”
yang diangkat oleh Allah.”
Kekuasaan Bani Umayyah berumur ± 90 tahun. Ibu kota negara dipindahkan Muawiyah
dari Madinah ke Damaskus. Khalifah-khalifah besar Bani Umayyah:
1. Muawiyah ibn Abi Sufyan (41 – 61 H/ 661 -680 M)
Ekspansi yang terhenti pada masa khalifah Usman dan Ali dilanjutkan kembali oleh
dinasti ini. Di zaman Muawiyah, Tunisia dapat ditaklukkan. Di sebelah timur, Muawiyah dapat
menguasai daerah Khurasan sampai ke sungai Oxus dan Afganistan, sampai ke Kabul. Angkatan
lautnya melakukan serangan-serangan ke ibu kota Bizantium, Konstantinopel.
Meskipun keberhasilan banyak dicapai dinasti ini, namun tidak berarti bahwa politik
dalam negeri dapat dianggap stabil. Muawiyah tidak mentaati isi perjanjiannya dengan Hasan ibn
Ali ketika dia naik tahta, yang menyebutkan bahwa persoalan penggantian pemimpin setelah
Muawiyah diserahkan kepada pemilihan umat Islam. Deklarasi pengangkatan anaknya Yazid
sebagai putera mahkota menyebabkan munculnya gerakan-gerakan oposisi di kalangan rakyat
yang mengakibatkan terjadinya perang saudara beberapa kali dan berkelanjutan.
2. Yazid Ibn Muawiyah (61 – 66 H / 680 – 685 M)
Ketika Yazid naik tahta, sejumlah tokoh terkemuka di Madinah tidak mau menyatakan
setia kepadanya. Yazid kemudian mengirim surat ke gubernur Madinah, untuk memaksa
penduduk sumpah setia kepadanya. Dengan cara ini, semua orang terpaksa tunduk, kecuali
Husein ibn Ali dan Abdullah ibn Zubair. Bersamaan dengan itu, kelompok Syi’ah melakukan
(penggabungan) kekuatan kembali.
Perlawanan terhadab Bani Umayyah dimulai oleh Husein ibn Ali. Pada tahun 680 M, ia
pindah dari Mekah ke Kufah atas permintaan golongan Syi’ah yang ada di Irak. Dalam
pertempuran yang tidak seimbang di Karbala, sebuah daerah di dekat Kufah. tentara Husein
kalah dan Husein sendiri mati terbunuh. Kepalanya dipenggal dan dikirim ke Damaskus, sedang
tubuhnya dikubur di Karbala (wilayah Iraq sekarang).
Perlawanan orang-orang Syi’ah tidak padam dengan terbunuhnya Husein. Gerakan
mereka bahkan menjadi lebih keras, lebih gigih dan tersebar luas. Banyak pemberontakan yang
dipelopori kaum Syi’ah terjadi.
3. Abd al-Malik ibn Marwan (66 – 87 H / 685-705M)
Pada masa ini, pemberontakan-pemberontakan kaum Syiah masih berlanjut. Yang
termasyhur di antaranya adalah pemberontakan Mukhtar di Kufah pada tahun 685 – 687 M.
Mukhtar mendapat banyak pengikut dari kalangan kaum Mawali, yaitu umat Islam bukan Arab,
berasal dari Persia, Armenia dan lain-lain yang pada masa Bani Umayyah dianggap sebagai
warga negara kelas dua.
Mukhtar terbunuh dalam peperangan melawan gerakan oposisi lainnya, yaitu gerakan
Abdullah ibn Zubair. Namun, ibn Zubair juga tidak berhasil menghentikan gerakan
Syi’ah.Abdullah ibn Zubair membina gerakan oposisinya di Mekah setelah dia menolak sumpah
setia terhadapYazid. Akan tetapi, dia baru menyatakan dirinya secara terbuka sebagai khalifah
setelah Husein ibn Ali terbunuh. Tentara Yazid kemudian mengepung Mekah. Dua pasukan
bertemu dan pertempuran pun tak terhindarkan. Namun, peperangan terhenti karena Yazid wafat
dan tentara Bani Umayyah kembali ke Damaskus. Gerakan Abdullah ibn Zubair baru dapat
dihancurkan pada masa kekhalifahan Abd al-Malik. Tentara Bani Umayyah dipimpin al-Hajjaj
berangkat menuju Thaif, kemudian ke Madinah dan akhirnya meneruskan perjalanan ke Mekah.
Ka’bah diserbu. Keluarga Zubak dan sahabatnya melarikan diri, sementara ibn Zubair sendiri
dengan gigih melakukan perlawanan sampai akhirnya terbunuh pada tahun 73 H / 692M.
Pada masanya, Abd al-Malik mengubah mata uang Bizantium dan Persia yang dipakai di
daerah-daerah yang dikuasai Islam. Untuk itu, dia mencetak uang tersendiri dengan memakai
kata-kata dan tulisan Arab.
4. Al-Walid ibn Abdul Malik (87 – 97 H / 705-715M)
Ekspansi ke barat secara besar-besaran dilanjutkan di zaman Al-Walid ibn Abdul Malik.
Masa pemerintahan Walid adalah masa ketenteraman, kemakmuran, dan ketertiban. Umat Islam
merasa hidup bahagia. Pada masa pemerintahannyayang berjalan kurang lebih sepuluh tahun itu
tercatat suatu ekspedisi militer dari Afrika utara menuju wilayah barat daya, benua Eropa, yaitu
pada tahun 711 M. Setelah al-Jazair dan Marokko dapat ditundukan, Tariq bin Ziyad, pemimpin
pasukan Islam, dengan pasukannya menyeberangi selat yang memisahkan antara Marokko
dengan benua dan mendarat di suatu tempat yang sekarang dikenal nama Gibraltar (Jabal Tariq).
Tentara Spanyol dapat dikalahkan. Dengan demikian, Spanyol menjadi sasaran ekspansi
selanjutnya. Ibu kota Spanyol, Kordova, dengan cepat dapat dikuasai. Menyusul setelah itu kota-
kota lain seperti Seville, Elvira, dan Toledo yang dijadikan ibu kota Spanyol yang baru setelah
jatuhnya Kordova. Pasukan Islam memperoleh kemenangan dengan mudah karena mendapat
dukungan dari rakyat setempat yang sejak lama menderita akibat kekejaman penguasa.
5. Sulaiman bin Abd al-Malik(97 – 98H / 715 – 717 M)
6. Umar ibn Abd al-Aziz(98-101 H / 717-720 M)
Dengan keberhasilan ekspansi ke beberapa daerah, baik di timur maupun barat, wilayah
kekuasaan Islam masa Bani Umayyah ini betul-betul sangat luas. Daerah-daerah itu meliputi
Spanyol, Afrika Utara, Syria, Palestina, Jazirah Arabia, Irak, sebagian Asia Kecil, Persia,
Afganistan, daerah yang sekarang disebut Pakistan, Purkmenia, Uzbek, dan Kirgis di Asia
Tengah.
Di zaman Umar ibn Abd al-Azis serangan dilakukan ke Prancis melalui pegunungan
Piranee. Serangan dipimpin oleh Abd al-Rahman ibn Abdullah al-Ghafiqi. Ia mulai dengan
menyerang Bordeau, Poitiers, Tours. Namun, dalam peperanganyang terjadi di luar kota Tours,
al-Qhafiqi terbunuh, dan tentaranya mundur kembali ke Spanyol. Di samping daerah-daerah
tersebut di atas, pulau-pulau yang terdapat di Laut Tengah juga jatuh ke tangan Islam pada
zaman Bani Umayyah ini.
Meskipun masa pemerintahannya sangat singkat, dia berhasil menjalin hubungan baik
dengan golongan Syi’ah. Dia juga memberi kebebasan kepada penganut agama lain untuk
beribadah sesuai dengan keyakinan dan kepercayaannya. Pajak diperingan. Kedudukan mawali
disejajarkan dengan muslim Arab.
7. Yazid ibn Abd al-Malik (101 – 105 H / 720-724 M)
Sepeninggal Umar ibn Abd al-Aziz, kekuasaan Bani Umayyah berada di bawah khalifah
Yazid ibn Abd al-Malik (720-724 M). Penguasa yang satu ini terlalu gandrung kepada
kemewahan dan kurang memperhatikan kehidupan rakyat. Masyarakat yang sebelumnya hidup
dalam ketenteraman dan kedamaian, pada zamannya berubah menjadi kacau. Dengan latar
belakang dan kepentingan etnis politis, masyarakat menyatakan konfrontasi terhadap
pemerintahan Yazid ibn Abd al-Malik.
8. Hisyam ibn Abd al-Malik (105 – 125 H / 724-743 M)
Kerusuhan terus berlanjut hingga masa pemerintahan Khalifah berikutnya, Hisyam ibn Abd
al-Malik. Bahkan muncul satu kekuatan baru yang menjadi tantangan berat. Kekuatan itu berasal
dari kalangan Bani Hasyim dan didukung oleh golongan mawali dan merupakan ancaman yang
sangat serius. Dalam perkembangan berikutnya kekuatan baru ini, mampu menggulingkan
dinasti Umawiyah dan menggantikannya dengan dinasti baru, Bani Abbas.
Sepeninggal Hisyam ibn Abd al-Malik, khalifah-khalifah Bani Umayyah yang tampil
bukan hanya lemah tetapi juga bermoral buruk. Hal ini makin memperkuat golongan oposisi.
9. Marwan bin Muhammad (…- 132 H / … – 750 M)
Akhirnya, pada tahun 132H/750 M, daulat Umayyah digulingkan Bani Abbas yang
bersekutu dengan Abu Muslim al-Khurasani. Marwan binMuhammad,khalifah terakhir Bani
Umayyah, melarikan diri kemesir, ditangkap dan dibunuh di sana.
C. KHILAFAH BANI ABBASIYAH
Dinamakan khilafah bani Abbasiyah karena para pendiri dan penguasanya adalah
keturunan al Abbas paman Nabi Muhammad SAW.Dinasti ini didirikan oleh Abdullah al-Saffah
ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn Abbas.Berdirinya Dinasti ini tidak terlepas dari
keamburadulan Dinasti Umaiyah.Pada mulanya ibu kota negera adalah al-Hasyimiyah dekat
kufah. Namun untuk lebih memantapkan dan menjaga setabilitas Negara al-Mansyur
memindahkan ibu kota Negara ke Bagdad. Dengan demikian pusat pemerintahan dinasti
Abasiyah berada di tengah-tengah bangsa Persia.Al-Mansyur melakukan konsolidasi dan
penertiban pemerintahannya.Dia mengangkat sejumlah personal untuk menduduki jabatan di
lembaga eksekutif dan yudikatif.Puncak perkembangan dinasti Abbasiyah tidak seluruhnya
berawal dari kreatifitas penguasa Bani Abbasiyah sendiri.Sebagian diantaranya sudah dimulai
sejak awal kebangkitan Islam.Dalam bidang pendidikan misalnya di awal Islam, lembaga
pendidikan sudah mulai berkembang.Namun lembaga-lembaga ini kemudian berkembang pada
masa pemerintahan Bani Abas dengan berdirinya perpustakaan dan akademi.Pada beberapa
dekade terakhir, daulah Abbasiyah mulai mengalami kemunduran, terutama dalam bidang
politiknya, dan akhirnya membawanya pada perpecahan yang menjadi akhir sejarah daulah
abbasiyah.Faktor internal yang menyebabkan Daulah Abbasiyah Hancur yaitu :
a. Mayoritas kholifah Abbasyiah periode akhir lebih mementingkan urusan pribadi dan melalaikan
tugas dan kewajiban mereka terhadap negara.
b. Luasnya wilayah kekuasaan kerajaan Abbasyiah, sementara komunikasi pusat dengan daerah
sulit dilakukuan.
c. Semakin kuatnya pengaruh keturunan Turki, mengakibatkan kelompok Arab dan Persia menaruh
kecemburuan atas posisi mereka.
d. Dengan profesionalisasi angkatan bersenjata ketergantungan khalifah kepada mereka sangat
tinggi.
e. Permusuhan antar kelompok suku dan kelompok agama.
f. Merajalelanya korupsi dikalangan pejabat kerajaan.
Dan faktor eksternalnya adalah:
a. Perang Salib yang berlangsung beberapa gelombang dan menelan banyak korban.
b. Penyerbuan Tentara Mongol dibawah pimpinan Hulagu Khan yang menghancurkan Baghdad.
Jatuhnya Baghdad oleh Hulagu Khan menandai berakhirnya kerajaan Abbasyiah dan muncul
Kerajaan Syafawiah di Iran, Kerajaan Usmani di Turki, dan Kerajaan Mughal di India
MASA DISINTEGRASI
(1000 – 1250 M)
A. DINASTI-DINASTI YANG MEMERDEKAKAN DIRI DARI BAGHDAD
Perbedaan dalam bidang politik antara bani ummayah dengan bani abbasiyah sudah
terlihat sejak awal. Pada saat bani ummayah hancur kekuasaannya tetap tidak berkurang tetapi
pada saat bani abbsiyah hancur, kekuasaanya berkurang. Hal ini dikarenakan bani abbasiyah
cukup puas dengan bayaran upeti yang lancar tanpa memikirkan apakah mereka masih setia.
Akibat dari kebijaksanaan yang lebih menekankan pembinaan peradaban dan kebudayaan
Islam daripada persoalan politik itu, propinsi-propinsi tertentu di pinggiran mulai lepas dari
genggaman penguasa Bani Abbas. Ini bisa terjadi dalam salah satu dari dua cara: Pertama,
seorang pemimpin lokal memimpin suatu pemberontakan dan berhasil memperoleh kemerdekaan
penuh, seperti daulat Umayyah di Spanyol dan Idrisiyyah di Marokko. Kedua, seseorang yang
ditunjuk menjadi gubernur oleh khalifah, kedudukannya semakin bertambah kuat, seperti daulat
Aghlabiyah di Tunisia dan Thahiriyyah di Khurasan.
Keruntuhan bani ummayah sudah terlihat sejak awal abad ke 9. Hal ini dikarenakan
pemimpin-pemimpin didaerah tertentu memiliki kekuatan militer yang independen. Kekuatan
militer Abbasiyah waktu itu mulai mengalami kemunduran. Sebagai gantinya, para penguasa
Abbasiyah mempekerjakan orang-orang profesional di bidang kemiliteran, khususnya tentara
Turki. Pengangkatan anggota militer Turki ini, dalam perkembangan selanjutnya teryata menjadi
ancaman besar terhadap kekuasaan khalifah. Pada periode pertama pemerintahan dinasti
Abbasiyah, sudah muncul fanatisme kebangsaan berupa gerakan syu'u arabiyah (kebangsaan/anti
Arab). Gerakan inilah yang banyak memberikan inspirasi terhadap gerakan politik, disamping
persoalan-persoalan keagamaan. Nampaknya, para khalifah tidak sadar akan bahaya politik dari
fanatisme kebangsaan dan aliran keagamaan itu, sehingga meskipun dirasakan dalam hampir
semua segi kehidupan, seperti dalam kesusasteraan dan karya-karya ilmiah, mereka tidak
bersungguh-sungguh menghapuskan fanatisme tersebut, bahkan ada diantara mereka yang justru
melibatkan diri dalam konflik kebangsaan dan keagamaan itu.
Dinasti-dinasti yang lahir dan melepaskan diri dari kekuasaan Baghdad pada masa
khilafah Abbasiyah, diantaranya adalah:
1. Yang berbangsa Persia:
a. Thahiriyyah di Khurasan, (205-259 H/820-872 M).
b. Shafariyah di Fars, (254-290 H/868-901 M).
c. Samaniyah di Transoxania, (261-389 H/873-998 M).
d. Sajiyyah di Azerbaijan, (266-318 H/878-930 M).
e. Buwaihiyyah, bahkan menguasai Baghdad, (320-447 H/ 932-1055 M).
2. Yang berbangsa Turki:
a. Thuluniyah di Mesir, (254-292 H/837-903 M).
b. Ikhsyidiyah di Turkistan, (320-560 H/932-1163 M).
c. Ghaznawiyah di Afghanistan, (351-585 H/962-1189 M).
d. Dinasti Seljuk dan cabang-cabangnya:
1. Seljuk besar, atau seljuk Agung, didirikan oleh Rukn al-Din Abu Thalib Tuqhrul Bek ibn
Mikail ibn Seljuk ibn Tuqaq. Seljuk ini menguasai Baghdad dan memerintah selama
sekitar 93 tahun (429-522H/1037-1127 M).
2. Seljuk Kinnan di Kirman, (433-583 H/1040-1187 M).
3. Seljuk Syriaatau Syam di Syria,(487-511 H/1094-1117 M).
4. Seljuk Irak di Irak dan Kurdistan, (511-590 H/1117-1194 M).
5. Seljuk Rum atau Asia kecil di Asia Kecil, (470-700 H/1077-1299 M).
3. Yang berbangsa Kurdi:
a. al-Barzuqani, (348-406 H/959-1015 M).
b. Abu Ali, (380-489 H/990-1095 M).
c. Ayubiyah, (564-648 H/1167-1250 M).
4. Yang berbangsa Arab:
a. Idrisiyyah di Marokko, (172-375 H/788-985 M).
b. Aghlabiyyah di Tunisia (184-289 H/800-900 M).
c. Dulafiyah di Kurdistan, (210-285 H/825-898 M).
d. Alawiyah di Tabaristan, (250-316 H/864-928 M).
e. Hamdaniyah di Aleppo dan Maushil, (317-394 H/929- 1002 M).
f. Mazyadiyyah di Hillah, (403-545 H/1011-1150 M).
g. Ukailiyyah di Maushil, (386-489 H/996-1 095 M).
h. Mirdasiyyah di Aleppo, (414-472 H/1023-1079 M).
5. Yang mengaku dirinya sebagai khilafah:
a. Umawiyah di Spanyol
b. Fathimiyah di Mesir.
Dari latar belakang dinasti-dinasti itu, nampak jelas adanya persaingan antarbangsa, terutama
antara Arab, Persia dan Turki. Disamping latar belakang kebangsaan, dinasti-dinasti itu juga
dilatarbelakangi paham keagamaan, ada yang berlatar belakang Syi'ah, ada yang Sunni.
B. PEREBUTAN KEKUASAAN DI PUSAT PEMERINTAHAN
Sisi lain yang menyebabkan peran politik abbasiyah tergeser menurun adalah perebutan
kekuasaan di pusat pemerintahan, hal ini sebenarnya juga terjadi pada pemerintahan-
pemerintahan Islam sebelumnya. Tetapi, apa yang terjadi pada pemerintahan Abasiyah berbeda
dengan yang terjadi sebelumnya.
Pada ahir masa pemerintahan bani abbasiyah, sudah tidak ada perebutan khalifah bani
abbasiyah, hal ini dikarenakan khalifah adalah jabatan yang sakral dan tidak bisa diganggu gugat
lagi. Yang ada mereka merebut kekuasaan dari bani abbasiyah tetapi tetap membiarkan khalafiha
abbsiyah tetap dipegang bani abbas.
Tentara turki berhasil merebut kekuasaan, dan khalifah bagaikan boneka menurut mereka
yang tak bisa berbuat apa-apa. Mereka bisa mengatur khalifah menurut kesukaan mereka. Dan
akhirnya Abbasiyah ada dibawah kekuasaan Buwaehi. Buwaehi menuju baghdad dan merebut
kekuasaan pusat.
Setelah Buewaehi menguasai Bagdad, para khalifah Abbasiyah benar-benar tinggal
namanya saja, pelaksanaan pemerintahan sepenuhnya berada ditangan amir-amir Buwaehi.
Keadaan khalifah lebih buruk dari masa sebelumnya terutama karena Buwaehi penganut Syi’ah.
Sementara bani Abbas adalah Sunni, karena itu sering terjadi kerusuhan-kerusuhan antara
kelompok ahli Sunnah dan Syi’ah, pemberontakan tentara dan lain sebagainya.
Jatuhnya kekuasaan Buwaehi ketangan Saljuk berawal dari perebutan kekuasan didalam
negeri, ketika al-Maliik al-Rahim memegang jabatan amir al-Umara, kekuasaannya dirampas
oleh panglimanya sendiri, Arselan dari Basasiri. Dengan kekuasaan yang ada ditangannya al-
Basasiri berbuat sewenag-wenang terhadap al-Malik al-Rahim dan khalifah al-Qoim dari bani
Abbas, bahkan ia mengundang khalifah bani Fatimiyah, untuk menguasai Bagdad. Pada 447 H.
pimpinan Saljuk itu memasuki Baghdad, al-Malik al-Rahim, Amir al Umara bani Buwaehi yang
terakhir dipenjarakan. Dengan demikian berakhirlah kekuasaan bani Buwaehi dan berdirilah
dinasti Saljuk..
Pososi dan kedudukan khalifah lebih baik setelah dinasti Saljuk berkuasa, paling tidak
kewibawaannya dibidang agama dikembalikan setelah beberapa lama dirampas oleh orang-orang
syi’ah.
Disaat dinasti itu mengalami kelemahan karena konflik yang ada, Hilagu Khan dengan
pasukannya menyerbu kedalam kota setelah membunuh khalifah yang terakhir yaitu al-
Musta’shim. Hulagu Khan menyerbu ke kota baghdad empat puluh hari lamanya berlangsung
rebut rampas, pembakaran penghancuran, pembunuhan masal terhadap penduduk lelaki, wanita,
anak-anak, bayi-bayi di dalam gendongan, wanita-wanita hamil ditusuki perutnya, rumah-rumah
ibadah dan perpustakaan diobrak-abrik hingga sungai Tigris (Dajlah) merah oleh darah dan
penuh oleh lembaran-lembaran ilmu pengetahuan. Tragedi yang dasyiat ini mengakhiri riwayat
daulah Abasiyah (750-1258 M.) yang berkedudukan di Baghdad.
C. PERANG SALIB
1. Periode Pertama
Disebut periode penaklukkan (1096-1144). Akibat pidato Paus Urbanus II pada konsiliasi
Clermont berhasil membangkitkan semangant umat Kristen. Hassan Ibrahim ( sejarawan yang
menulis buku sejarah islam) menggambarkan gerakan ini sebagai gerombolan rakyat jelata yang
tidak mempinyai pengalaman berperang, tidak disiplin, dan tanpa memiliki persiapan.Gerakan
ini dipimpin oleh Pierre I ‘ermite.Akhirnya dengan mudah pasukan salib dapat dikalahkan
Dinasti Seljuk.
Perang salib angkatan berikutnya dipimpin oleh God Frey Of Bouillon. Gerakan kali ini
lebih merupakan ekspedisi militer yang terorganisasi rapi. Mereka berhasil menduduki kota suci
Palestina pada tanggal 7 juni 1099. pasukan ini melakukan pembantaian besar-besaran selama
lebih kurang seminggu terhadap umat islam tanpa membedakan laki-laki dan perempuan, anak-
anak dan dewasa, serta tua dan muda. Disamping itu mereka membumihasungkan bangunan-
bangunan umat islam. Berdirilah beberapa kerajaan latin Kristen timur, yaitu kerajaan Baitul
Maqdis (1099) di bawah pemerintahan raja God Frey, Edessa (1098) diperintah oleh raja
Baldwin, dan Tripoli (1109) dibawah kekuasaan raja Raymond.
2. Periode Kedua
Di bawah komando Imaduddin Zangi, gubernur Mosul, kaum muslimin maju
membendung serangan kaum salib. Bahkan mereka berhasial kembali merebut Allepo dan edessa
(Arruha) pada tahun 1144. setelah Imadudin Zangi wafat pada tahun 1146, posisinya digantikan
oleh putranya Nuruddin Zangi. Dibawah kepemimpinannya ia meneruskan citi-cita ayahnya
untuk membebaskan negeri-negeri islam dari serangan kaum salib. Kota-kota yang berhasial ia
dapatkan kembali adalah:
1. Damaskus (1147)
2. Antiokia (1149)
3. Mesir (1169)
Keberhasilan kaum muslimin dalam merebut kembali beberapa kota islam yang telah
diduduki oleh kaun salib adalah setelah munculnya pejuang islam yang bernama salahuddin
Yusuf Al-Ayyubi (saladin) di Mesir yang berhasil membebaskan Baitul Maqdis pada tanggal 2
Oktober 1187, telah membangkitkan kembali semangat kaum salib untuk mengirim ekspedisi
militer yang lebih kuat. Ekspedisi dibawah pimpinan raja-raja Eropa seperti:
1. FrederickI
2. Richard I
3. Philip I
Ekspedisi militer salib kali ini dibagi dalam beberapa divisi.Ekspedisi darat gagal karena
pemimpinyya tewas tenggelam di sungai Armenia, dan pasukannya kembali. Dan kedua pemipin
lainnya lewat jalur laut dan bertemu di cicilia, akibat terjadi salah paham, mereka kembali
dengan jalan yang berbeda. Richard menuju Cyprus dan mendudukinya, kemudian melanjutkan
perjalanannya ke Syam (Syuriah) adapun Philip langsung ke Acre.Disana terjadi pertempuran
yang akhirnya saladin memilih mundur untuk mempertahankan Mesir. Setelah itu diadakan
perjanjian gencatan senjata.
3. Periode Ketiga
Pada periode ini kaum salib hanncur dikarenakan pada masa ini disemnagayi oleh politik dan
kekuasaan yang menyebabkan mereka terpecah belah. Hal ini terlihat ketika tentara salib yang
akan menyerang Mesir berbelok ke Konstantinopel. Kota ini direbut dan diduduki oleh Baldwin
sebagai rajanya.Ia merupakan raja Roma Latin pertama yang berkuasa di Konstantinopel.Dalam
periode ini telah terukir dalam sejarah pahlawan wanita yang tekenal gagah berani, yaitu Syajar
Ad-durr.Ia berhasil menghancurkan pasukan raja Louis IX dari prancis dan sekaligus menangkap
raja tersebut, bukan hanya itu sejarah juga telah mencatat bahwa pahlawan wanita yang gagah
berani itu telah mampu menunjukan kebesaran islam dengan membebaskan dan mengizinkan
kembali raja Louis IX kembali ke negerinya, perancis. Banyak yang ditemukan dunia barat, yaitu
masalah militer, penggunaan alat rebana untuk penyemangat. Melatih burung merpati untuk
mengirim surat, masalah pertanian, alat jual beli uang. Itulah yang didapat dunia barat dari
Timur.
D. SEBAB-SEBAB KEMUNDURAN PEMERINTAHAN BANI ABBASIYAH
Di samping kelemahan khalifah, banyak faktor lain yang menyebabkan khalifah
abbasiyah menjadi mundur, masing-masing faktor tersebut berkaitan satu sama lain. Beberapa
diantaranya adlah sebagai berikut :
1. Persaingan antar bangsa
2. Kemerosotan Ekonomi
3. Konflik keagamaan
4. Ancaman dari luar
ISLAM DI SPANYOL DAN PENGARUHNYA TERHADAP RENAISANS DI EROPA
A. MASUKNYA ISLAM KE SPANYOL
Dalam proses penaklukan spanyol terdapat tiga pahlawan islam yang dikatakan paling
berjasa memimpin satuan-satuan pasukan kesana, mereka adalah tharif ibnu malik,thariq ibn
ziyad,musa ibn nushair. Tharif dapat disebut sebagai perintis dan penyelidik dengan membawa
pasukan 500 orang diantaranya adalah tentara berkuda
Thariq ibn ziyad lebih banyak dikenal sebagai penakluk spanyol,karena pasukannya
lebih banyak.tempat yang pertama kali dilewati olehnya adalah Gilbatar (jabal thariq),dengan
dikuasainya daerah ini,maka terbukalah luas untuk memasuki spanyol.Dalam pertempuran di
suatu tempat yang bernama Bakkah Raja Roderich dapat dikalahkan dan dari situlah thariq terus
menaklukan kota-kota penting seperti Cordova,Granada,dan Toledo.Kemenangan pertama yang
dicapai thariq membuka jalan yang lebih luas lagi untuk menaklukan wilayah-wilayah yang
lainnya sehingga Musa ibn nushair merasa perlu melibatkan diri dalam gelanggang pertempuran
dengan maksud membantu perjuangan Thariq,setelah musa berhasil menaklukan
Sidonia,Karmona,Seville dan Merida serta mengalahkan penguasa kerajaan Ghotic,Theodomir di
Orihuela ia bergabung dengan Thariq di Toledo.
Gelombang perluasan wilayah berikutnya muncul pada masa pemerintahan Khalifah
Umar ibn Abdil Aziz tahun 99 H /717 M,kemudian gelombang yang kedua terbesar dari
penyerbuan kaum muslimin yang dimulai pada permulaan abad ke-8,telah menjangkau seluruh
spanyol yang melebar jauh menjangkau prancis tengah dan bagian-bagian penting dari
Italia,kemenangan yang dicapai umat islam nampak begitu mudah karma terdapat faktor
eksternal dan internal yang menguntungkan.
B. PERKEMBANGAN ISLAM DI SPANYOL
1. Periode pertama [711-755 M] dibawah pemerintahan para wali yang diangkat Khalifah Bani
Umayah.
2. Periode kedua [755-912M] dibawah pemerintahan seorang yang bergelar Amir,Amir pertama
adalah Abdur rahman 1.
3. Periode ketiga [912-1013 M] berlangsung dari pemerintahan Abd Al-Rahman 3,yang bergelar
An-Nasir sampai munculnya raja-raja kelompok yang dikenal sebagai sebutan Muluk Al-
Thawaif dan masa periode ini bergelar Khalifah.
4. Periode keempat [1013-1086 M] pada periode ini spanyol terpecah menjadi lebih dari 30 negara
kecil,dibawah pemerintahan raja-raja golongan atau Al-Mulukuth Thawaif.
5. Periode kelima [1086-1248 M] dalam periode ini terdapat satu kekuatan yang dominant yaitu
dinasti Murabithun [1086-1143 M] yang didirikan oleh Yusuf ibn Tasyfin dan Muwahhidun
[1146-1235 M] didirikan oleh Muhammad ibn Tumart.
6. Periode keenam [1248-1492 M] islam hanya berkuasa di daerah Granada dibawah Dinasti Bani
Ahmar [1232-1492 M].
C. KEMAJUAN PERADABAN
Dalam masa lebih dari tujuh abad, kekuasaan islam di Spanyol, umat islam telah mencapai
kejayaan disana. Banyak prestasi yang mereka peroleh, bahkan, pengaruhnya membawa eropa
dan kemudian dunia, kepada kemajuan yang lebih kompleks
1. Kemajuan intelektual
Masyarakat spanyol islam merupakan masyarakat majemuk yang terdiri dari komunitas-
komunitas arab, barbar, al-shaqalibah, yahudi, kristen muzareb yang berbudaya arab, dan kristen
yang masih menentang kehadiran Islam. Komunitas itu, kecuali yang terakhir, memberikan
saham intelektual terhadapa terbentuknya lingkungan budaya Andalus yang melahirkan
kebangkitan ilmiah, sastra dan pembangunan fisik di Spanyol.
a. Filsafat
b. Sains
c. Fiqih
d. Musik dan Kesenian
e. Bahasa dan Sastra
2. Kemegahan Pembangunan Fisik
a. Cordova
Di antara kebangaan Cordova lainnya adalah Masjid Cordova
b. Granada
Granada adalah tempat pertahanan terakhir umat islam di spanyol. Disana berkumpul sisa-sisa
kekuatan arab dan pemikir Islam. Istana Al-Hamra yang indah
D. PENYEBAB KEMUNDURAN DAN KEHANCURAN
1. Konflik islam dan Kristen.
2. Tidak adanya Ideologi pemersatu.
3. Kesulitan ekonomi.
4. Tidak jelasnya sistem peralihan kekuasaan.
5. Keterpencilan.
MASA KEMUNDURAN
(1250-1500 M)
Diawali dengan jatuhnya Baghdad ke tangan bangsa Mongol pimpinan Hulagu Khan
dengan menghancurkan perdaban dan kebudayaan serta khasanah ilmu pengetahuan di Baghdad.
Setelah itu Hulagu Khan memantapkan kekuasaanya di Baghdad selama 2 tahun sebelum
melanjutkan gerakan ke Syria dan Mesir. Baghdad dan darah-daerah yang ditaklukan Hulagu
Khan diperintah dinasti Ilkhan. Hanya pada masa Mahmud Ghozan (1295-1304 M) yang
memperhatikan peradaban dan kebudayaan seperti membangun perguruan tinggi Madzhab
Syafi'i dan Hanafi, Observatorium dan gedung-gedung umum lainnya.
Setelah Islam berusaha bangkit dari kehancuran serangan Mongol, serangan datang lagi dari
keturunan Mongol Jengis Khan pimpinan Timur Lenk. Timur Lenk berusaha mewujudkan
ambisinya menjadi penguasa besar dengan menaklukan daerah-daerah yang pernah dikuasi
Jengis Khan. Dan memperluas wilayahnya ke Afghanistan, Persia, Kurdistan, Syria, Moskow
sampai India. Di setiap negeri yang ditaklukan ia membantai penduduk yang melakukan
perlawanan.Sekalipun terkenal kejam dan ganas sebagai Muslim Timur Lenk tetap
memperhatikan pengembangan Islam dengan mendirikan masjid di beberapa wilayah yang
ditaklukannya, selalu membawa ulama, satrawan dan seniman dalam perjalanannya. Samarkand
dijadikan pasar Internasional dan membuka rute-rute perdagangan baru antara India dan Persia,
bahkan konon ia penganut Syi'ah yang taat dan pengikut tarekat Naqsabandiyah.
Satu-satunya negeri Islam yang selamat dari srangan Mongol adalah Mesir yang dikuasai
dinasti Mamalik. Dinasti Mamalik didirikan para budak (mamluk) yang ditawan kemudian
dididik dan dijadikan tentara Ayyubiyah. Pemerintahan mamalik bersifat Oligarki militer yang
banyak mendatangkan kemajuan Mesir. Para Amir berkompetisi dalam prestasi karena mereka
adalah kandidat sultan.
Kemajuan-kemajuan yang dicapai antara lain :
 Bidang pemerintahan berhasil mengalahkan Mongol di 'Ayn yang menjadi modal besar
menguasai daerah-daerah sekitarnya.
 Bidang ekonomi membuka hubungan dagang dengan Prancis dan Italia, serta membangun
jaringan transportasi dan komunikasi antar kota baik darat maupun laut.
 Bidang ilmu pengetahuan, Mesir jadi pelarian ilmuwan-ilmuwan Baghdad dari serangan
Mongol sehingga ilmu-ilmu banyak berkembang di Mesir. Contoh : Dalam bidang keagaman
muncul Ibnu Taimiyah, As-Sayuthi dan lain-lain. Ilmu sejarah : Ibnu Khladun. Ilmu Kedokteran :
Ar-Rozi (perintis psiko terapi ) dan lain-lain.
MASA TIGA KERAJAAN BESAR
(1500-1800 M)
A. KERAJAAN USMANI
Dinasti ini berasal dari suku Qoyigh Oghus. Yang mendiami daerah Mongol dan
daerah utara negeri Cina kurang lebih tiga abad. Kemudian mereka pindah ke Turkistan, Persia
dan Iraq. Mereka masuk Islam pada abad ke-9/10 ketika menetap di Asia Tengah. Pada abad ke-
13 M, mereka mendapat serangan dan tekanan dari Mongol, dan melarikan diri ke Barat dan
mencari perlindungan di antara saudara-saudaranya yaitu orang-orang Turki Seljuk, di dataran
tinggi Asia kecil. Dibawah pimpinan Ertoghrul, mereka mengabdikan diri kepada Sultan Alaudin
II yang sedang berperang melawan Bizantium. Karena bantuan mereka inilah, Bizantium dapat
dikalahkan. Kemudian Sultan Alauddin memberi imbalan tanah di Asia kecil yang berbatasan
dengan Bizantium. Sejak itu mereka terus membina wilayah barunya dan memilih kota Syukud
sebagai ibukota. Ertoghrul meninggal dunia tahun 1289. Kepemimpinan dilanjutkan oleh
puteranya, Usman. Putera Ertoghrul inilah yang dianggap sebagai pendiri kerajaan Usmani
(1290-1326 M). Tahun 1300 M, bangsa Mongol kembali menyerang Kerajaan Seljuk, dan dalam
pertempuran tersebut Sultan Alaudin terbunuh. Setelah itu, Usman I memproklamasikan
kemerdekaannya dan berkuasa penuh atas daerah yang didudukinya.
Akibat kegigihan dan ketangguhan yang dimiliki oleh para pemimpin dalam
mempertahankan Turki Usmani membawa dampak yang baik sehingga kemajuan-kemajuan
dalam perkembangan wilayah Turki Usmani dapat di raihnya dengan cepat. Dan diikuti pula oleh
kemajuan dalam bidang kemajuan lain. Diantaranya:

1. Bidang kemiliteran dan pemerintahan.

2. Bidang Ilmu Pengetahuan dan Budaya

3. Bidang Keagamaan

B. KERAJAAN SAFAWI DI PERSIA


Pada waktu kerajaan Turki Usmani sudah mencapai puncak kejayaannya, kerajaan
Safawi di Persia baru berdiri. Namun pada kenyataannya, kerajaan ini berkembang dengan cepat.
Nama Safawi berasal dari sebuah gerakan tarekat yang berdiri di Ardabil, yaitu tarekat Safawiah
sesuai dengan nama pendirinya Safi Al-Din, salah satu keturunan Imam Syi'ah yang keenam
"Musa al-Kazim" . Nama ini terus di pertahankan sampai tarekat ini memjadi suatu gerakan
politik dan menjadi sebuah kerajaan yang disebut kerajaan Safawi. Dalam perkembangannya,
kerajaan Safawi sering berselisih dengan kerajaan Turki Usmani. Kerajaan ini menyatakan
sebagai penganut Syi'ah dan dijadikan sebagai madzhab negara.
Berikut urutan penguasa kerajaan Safawi :
1. Isma'il I (1501-1524 M)
2. Tahmasp I (1524-1576 M)
3. Isma'il II (1576-1577 M)
4. Muhammad Khudabanda (1577-1587 M)
5. Abbas I (1587-1628 M)
6. Safi Mirza (1628-1642 M)
7. Abbas II (1642-1667 M)
8. Sulaiman (1667-1694 M)
9. Husein I (1694-1722 M)
11. Abbas III (1732-1736 M)
Puncak kejayaan masa kerajaan Persia: Kondisi kerajaan Safawi yang memprihatinkan
dapat diatasi setelah raja Safawi kelima, Abbas I naik tahta (1588-1628 M). Langkah-langkah
yang ditempuh oleh Abbas I dalam rangka memulihkan kerajaan Safawi adalah:
1. Berusaha menghilangkan dominasi pasukan Qizilbash dengan membentuk pasukan baru
2. Mengadakan perjanjian damai dengan Turki Usmani dengan jalan menyerahkan wilayah
Azerbaijan, Georgia.
Kemajuan Peradaban Islam Masa Kerajaan Safawi:
1. Bidang Ekonomi
2. Bidang Ilmu Pengatahuan
3. Bidang Pembangunan Fisik dan Seni
C. KERAJAAN MUGHAL DI INDIA
Kerajaan Mughol berdiri seperempat abad sesudah berdirinya kerajaan
safawi.Kerajaan Mughol di India dengan Delhi sebagai ibu kota kerajaan, di dirikan oleh
Zahirrudin Babur ( 1482-1530 M ) salah satu dari cucu Timur lenk. Ayahnya bernama Umar
Mirza, penguasa Ferghana. Babaur mewarisi daerah Ferghana dari orang tuanya pada Usia 11
tahun. Karena dari kecil di didik sebagai seorang panglima, ia bertekad dan berambisi akan
menaklukan kota terpenting di Asia Tengah yaitu Samarkand. Pada mulanya Babur mengalami
kekalahan, tetapi karena mendapat bantuan dari Raja Safawi, Ismail I, akhirnya berhasil
menaklukan Samarkand. Tahun 1504 M, ia menduduki Kabul (Afganistan). Babur menguasai
Punjab, kemudian menguasai Delhi setelah bertempur di Panipat sebagai pemenang.
Pada tahun 1530 M, Babur meninggal Dunia dalam Usia 48 tahun setelah memerintah
Mughol selama 30 tahun dengan mewarisi kejayaan-kejayaan yang cemerlang. Pemerintahan
selanjutnya di pegang oleh anaknya Humayyun.
Sepanjang masa pemerintahan Humayyun selama 9 tahun ( 1530-1539 M ) Negara
tidak pernah Aman. Pada tahun 1540 M terjadi pertempuran dengan Sher Khan di Kanauj. Dalam
pertempuran ini Humayyun mengalami kekalahan. Ia pun kembali menduduki kerajaan Mughol
pada tahun 1555 M. setelah tahun itu ( 1556 M), ia meninggal Dunia karena jatuh dari tangga
perpustakaannya.
Pada tahun 1556 M terjadilah peperangan yang dahsyat, di sebut Panipat II yang di
menangkan Akbar (putra sekaligus pengganti Humayun).
Kemajuan Peradaban Islam Masa Kerajaan Mughol:
D. PERBEDAAN KEMAJUAN PERADABAN PADA MASA INI DENGAN ERA
KLASIK
Pada masa kejayaan tiga kerajaan besar, umat Islam kembali mengalami kemajuan. Akan tetapi
kemajuan yang dicapai berbeda dengan kemajuan yang dicapai pada masa klasik Islam.
kemajuan pada masa klasik jauh lebih kompleks. Di bidang intelektual, kemajuan pada masa tiga
kerajaan tidak sebanding dengan kemajuan di zaman klasik. Filsafat dianggap bid’ah. Kalau pada
masa klasik, umat Islam maju dalam bidang politik, peradaban, dan kebudayaan, seperti dalam
bidang ilmu pengetahuan dan pemikiran filsafat.
Beberapa alasan mengapa kemajuan yang dicapai itu tidak setingkat dengan kemajuan yang
dicapai pada masa klasik:
1. Metode berfikir dalam bidang teologi yang berkembang pada masa ini adalah metode berpikir
tradisional, sehingga cara berfikir ini mempengaruhi perkembangan peradaban dan ilmu
pengetahuan.
2. Pada masa klasik Islam, kebebasan berfikir berkembang dengan masuknya pemikiran filsafat
Yunani.
3. Al-Ghazali bukan hanya menyerang pemikiran filsafat pada masanya, tetapi juga menghidupkan
ajaran tasawuf dalam Islam.
4. Sarana-sarana untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan pemikiran yang disediakan masa
klasik, seperti perpustakaan, karya-karya ilmiah dan lain sebagainya banyak yang hancur dan
hilang akibat serangan bangsa Mongol ke beberapa pusat peradaban dan kebudayaan Islam.
5. Kekuasaan Islam pada masa tiga kerajaan besar di pegang oleh bangsa Turki dan mongol yang
lebih dikenal sebagai bangsa yang suka perang ketimbang bangsa yang suka ilmu.
KEMUNDURAN TIGA KERAJAAN BESAR
A. KEMUNDURAN DAN KEHANCURAN KERAJAAN SAFAWI
Sepeninggal Abbas I Kerajaan Safawi berturut-turut Diperintah oleh enam raja, yaitu safi
mirza, abas II, sulaiman, Husain, Tahmasp II, dan abas III pada masa raja-raja tersebut kerajaan
safawi tidak menunjukan grafik naik dan berkembang, tetapi justru memperlihatkan kemunduran
yang akhirnya membawa kepada kehancuran.
Sebab-sebab kemunduran Kerajaan Safawi, antara lain:
1. Para pemimpin yang lemah.
2. Para pemimpin suka minum-minuman keras.
3. Adanya dekadensi moral yang melanda sebagian pemimpin.
4. Konflik yang berkepanjangan dengan kerajaan usmani yang beraliran syi’ah.
5. Adanya konflik internal kerajaan,
B. KEMUNDURAN DAN RUNTUHNYA KERAJAAN MUGHAL
Ada bebrapa faktor juga yang menyebabkan kekuasaan dinasti mughal mundur pada satu
setengah abad terakhir dan membawa kepada kehancuran pada tahun 1858 M, yaitu
1. Kemerosotan moral dan hidup mewah dikalangan elit politik.
2. Pendekatan Aurangzeb yang terlampau ”kasar” dalam melaksanakan ide-ide puritan.
3. Semua pewaris tahta kerajaan pada paruh terakhir adalah orang-orang lemah dalam
kepemimpinan.
4. Terjadi stagnasi dalam pembinaan militer
C. KEMUNDURAN KERAJAAN USMANI
Banyak faktor yang menyebabkan Kerajaan Usmani itu mengalami kemundruan,
diantaran adalah :
a. Wilayah kekuasaan yang sangat luas.
b. Heterogenitas penduduk.
c. Kelemahan para penguasa.
d. Pemberontakan tentara Jenissari.
e. Merosotnya ekonomi.
f. Terjadinya stagnasi dalam lapangan ilmu dan teknologi.
D. KEMAJUAN EROPA (BARAT)
Bersama waktunya dengan kemunduran tiga kerajaan Islam di periode pertengahan
sejarah Islam, Eropa Barat (biasa disebut dengan ”Barat” saja). Sedangkan mengalami kemajuan
dengan pesat. Hal ini berbanding terbalik dengan masa klasik sejarah Islam. Ketika itu,
perabadan Islam dapat dikatakan paling maju, memamncarkan sinarnya ke seluruh dunia,
sementara Eropa sedang berada dalam kebodohan dan keterbelakangan.
Kemajuan Eropa (Barat) memang bersumber dari khazanah ilmu pengetahuan dan
metode berpikir Islam yang rasional. Di antara saluran masuknya peradaban Islam ke Eropa itu
adalah perang Salib, Sacilia, dan yang penting adalah Spanyol Islam. Ketika islam mengalami
kejayaan di Spanyol, banyak orang eropa yang belajar ke sana kemudian menerjemahkan karya –
karya ilmiah umat islam. Hal ini dimulai sejak abad ke-12 M. Setelah mereka pulang ke negeri
masing-masing, mereka mendirikan universitas dengan meniru pola islam dan mengejarkan ilmu
yang dipelajari di universitas-universitas islam itu. Dalam perkembangan selanjutnya keadaan ini
melahirkan renaissance, repormasi, dan rasionalisme di Eropa.
Gerakan-gerakan renaisans melahirkan perubahan-perubahan besar dalam sejarah dunia.
Abad ke -16 dan 17 merupakan abad yang paling penting bagi Eropa, sementara pada akhir abad
ke-17 itu pula, dunia islam mulai mengalami kemunduran. Dengan lahirnya renaisans, eropa
bangkit kembali untuk mengejar ketinggalan mereka pada masa kebodohan dan kegelapan.
Benturan-benturan antara kerajaan Islam dengan kekuatan eropa itu menyadarkan umat
islam bahwa mereka memang sudah jauh tertinggal dari Eropa. Kesadaran itulah yang
menyebabkan umat islam terpaksa harus banyak belajar dari Eropa. Perimbangan kekuatan umat
islam dan eropa berubah dengan cepat. Di antara kemajuan Eropa dan kemunduran islam
terbentang jurang yang sangat lebar dan dalam. Dalam perkembangan berikutnya, daerah-daerah
Islam hampir seluruhnya berada di bawah kekuasaan bangsa Eropa.
PENJAJAHAN BARAT ATAS DUNIA ISLAM DAN PERJUANGAN KEMERDEKAAN
NEGARA-NEGARA ISLAM
A. RENAISANS DI EROPA
Eropa menghadapi tantangan yang sangat berat. Terutama kerajaan usmani yang
perpusat di Turki. Mereka melakukan berbagai penelitian tentang rahasia alam, berusaha
menaklukkan lautan, dan menjelajahi benua yang sebelumnya masih diliputi oleh kegelapan.
Setelah christoper colombus menemukan benua amerika (1492 M) dan vasco da gama
menemukan jalan ke timur melalui tanjung harapan (1498 M), benua amerika dan kepulauan
hindia segera jatuh ke bawah kekuasaan eropa.
Eropa menjadi maju dalam dunia perdagangan. L. stoddard menggambarkan, dengan
sekejap mata dinding laut itu berubah menjadi jalan raya dan eropa yang semula terpojok segera
menjadi yang dipertuankan di laut dan dengan demikian, yang dipertuan di dunia. Perekonomian
bangasa–bangsa eropa pun semakin maju karena daerah–daerah baru terbuka baginya.
Tak lama stelah itu, mulailah kemajuan barat melampaui kemajuan islam yang sejak
lama mengalami kemunduran. Kemajuan barat itu dipercepat oleh penemuan dan perkembangan
dalam bidang ilmu pengetahuan. Penemuan mesin uap yang kemudian melahirkan revolusi
industri di eropa semakin memantapkan kemajuan mereka. Teknologi perkepalan dan militer
berkembang dengan pesat.
Eropa menjadi penguasa lautan dan bebas melakukan kegiatan ekonomi dan
perdangan ke seluruh dunia. Negeri–negeri islam yang pertama kali jatuh ke bawah kekuatan
eropa adalah negeri–negeri yang jauh dari pusat kekuasaan kerajaan usmani, Negeri – negeri
islam yang pertama dapat dikuasai barat itu adalah negeri – negeri islam di asia tenggara dan di
anak benua india. Sementara, negeri–negeri islam di timur tengah yang berada di bawah
kekuasaan kerajaan usmani, baru diduduki eropa pada masa berikutnya.
B. PENJAJAHAN BARAT TERHADAP DUNIA ISLAM DI ANAK BENUA INDIA DAN
ASIA TENGGARA
Invasi Eropa terhadap dunia Islam tidak pernah sama, tetapi selalu secara menyeluruh
dan efektif. Penetrasi Barat terhadap dunia Islam di Timur Tengah pertama-tama dilakukan oleh
dua bangsa Eropa terkemuka, Inggris dan Perancis. Inggris terlebih dahulu mencoba menguasai
kerajaan Mughal India. Selama pertengahan terakhir abad ke-18, para pedagang Inggris telah
memantapkan diri di Benggali. Rentang waktu antara 1798 – 1818, dengan perjanjian atau aksi
militer, pemerintahan kolonial Inggris tersebar ke seluruh India, kecuali lembah Indus, yang baru
menyerah pada tahun 1843 – 1849.
Sementara itu Perancis merasa perlu memutuskan hubungan komunikasi antara
Inggris di barat dan India di timur. Oleh karena itu, pintu gerbang ke India, yakni Mesir berhasil
ditaklukkan dan dikuasai oleh Napoleon Bonaparte pada tahun 1798 M. Alasan lain Perancis
menaklukkan Mesir adalah untuk memasarkan hasil-hasil industrinya. Mesir, di samping mudah
dicapai dari Perancis juga dapat menjadi sentral aktivitas untuk mendistribusikan barang-barang
ke Turki, Syiria hingga ke timur jauh.
Faktor utama yang menarik kehadiran kekuatan-kekuatan Eropa ke negara-negara
muslim adalah ekonomi dan politik. kemajuan Eropa dalam bidang industri menyebabkannya
membutuhkan bahan-bahan baku, di samping rempah-rempah. Mereka juga membutuhkan
negeri-negeri tempat memasarkan hasil industri mereka. Untuk menunjang perekonomian
tersebut, kekuatan politik diperlukan sekali.
Asia Tenggara, negeri tempat Islam baru berkembang, yang merupakan daerah
penghasil rempah-rempah terkenal pada masa itu, menjadi ajang perebutan negara-negara Eropa.
Kerajaan-kerajaan Islam di wilayah ini lebih lemah dibandingkan dengan kerajaan Mughal,
sehingga lebih mudah ditaklukkan oleh bangsa Eropa.
Kerajaan Islam Malaka yang berdiri pada awal abad ke-15 M di Semenanjung Malaya
yang strategis merupakan kerajaan Islam kedua di Asia Tenggara setelah Samudera Pasai,
ditaklukkan Portugis pada tahun 1511 M. Sejak itu peperangan-peperangan antara Portugis
melawan kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia seringkali berkobar. Pedagang-pedagang Portugis
berupaya menguasai Maluku yang sangat kaya akan rempah-rempah.
Pada tahun 1521 M, Spanyol datang ke Maluku dengan tujuan dagang. Spanyol
berhasil menguasai Filipina, termasuk di dalamnya beberapa kerajaan Islam, seperti Kesultanan
Maguindanao, Buayan dan Kesultanan Sulu. Akhir abad ke-16 M, giliran Belanda, Inggris,
Denmark dan Perancis, datang ke Asia Tenggara. Namun, Perancis dan Denmark tidak berhasil
menguasai negeri di Asia Tenggara dan hanya datang untuk berdagang. Kekuasaan politik
negara-negara Eropa di negara-negara Asia berlanjut terus hingga pertengahan abad ke-20.
C. KEMUNDURAN KERAJAAN USMANI DAN EKSPANSI BARAT KE TIMUR TENGAH
Kemajuan-kemajuan Eropa dalam teknologi militer dan industri perang membuat kerajaan
Usmani menjadi kecil di hadapan Eropa. Akan tetapi nama besar Turki Usmani masih membuat
Eropa segan untuk menyerang atau menguasai wilayah-wilayah yang berada di bawah kekuasaan
kerajaan Islam. Namun kekalahan besar Turki Usmani dalam peperangan di Wina pada tahun
1683 M, membuka mata Barat bahwa Turki Usmani telah benar-benar mengalami kemunduran
jauh sekali.
Sejak kekalahan dalam peperangan Wina itu, kerajaan Turki Usmani menyadari akan
kemundurannya dan kemajuan Barat. Usaha-usaha pembaharuan mulai dilaksanakan dengan
mengirim duta-duta ke negara Eropa, terutama Perancis, untuk mempelajari kemajuan mereka
dari dekat. Pada tahun 1720 M, Celebi Muhamad diutus ke Paris dan diinstruksikan untuk
mengunjungi pabrik-parbik, benteng-benteng pertahanan dan institusi-institusi lainnya. Ia
kemudian memberi laporan tentang kemajuan teknik, organisasi angkatan perang modern, dan
kemajuan lembaga-lembaga sosial lainnya. Laporan-laporan tersebut mendorong Sultan Ahmad
III (1703 – 1730 M) untuk memulai pembaharuan. Untuk tujuan itu, didatangkanlah ahli-ahli
militer Eropa, salah satunya adalah De Rochefort, Pada tahun 1717, ia datang ke Istambul dalam
rangka membentuk korps artileri dan melatih tentara Usmani dalam ilmu-ilmu kemiliteran
modern.
Usaha pembaruan yang dilakukan tidak terbatas pada bidang milliter. Dalam bidang-
bidang lain pembaharuan juga dilaksanakan, seperti pembukaan percetakan di Istanbul pada
tahun 1737 M, untuk kepentingan kemajuan ilmu pengetahuan. Demikian juga gerakan
penerjemahan buku-buku Eropa ke dalam bahasa Turki, sebagaimana telah dilakukan oleh para
penguasa Abbasiyah ketika menerjemahkan buku-buku Yunani ke dalam bahasa Arab.
Meskipun demikian, usaha-usaha pembaharuan itu bukan saja gagal menahan kemunduran
Turki Usmani, tetapi juga tidak membawa hasil yang diharapkan. Penyebab kegagalan tersebut
karena kelemahan raja-raja Turki Usmani karena wewenangnya sudah menurun. Di samping itu,
keuangan negara yang terus mengalami kebangkrutan, tidak mampu menunjang usaha
pembaharuan. Faktor terpenting yang menyebabkan kegagalan usaha pembaharuan adalah
karena ulama dan tentara Yenissari yang sejak abad ke-17 M menguasai suasana politik kerajaan
Turki Usmani menolak pembaharuan.
Usaha pembaruan Turki Usmani baru mengalami kemajuan setelah Sultan Mahmud II
membubarkan tentara Yenissari pada tahun 1826 M. Struktur kerajaan dirombak, lembaga-
lembaga pendidikan moderen didirikan, buku-buku Barat diterjemahkan, siswa berbakat dikirim
belajar ke Eropa, dan sekolah-sekolah kemiliteran didirikan. Akan tetapi, meski banyak
mendatangkan kemajuan, hasil yang diperoleh dari gerakan pembaharuan tetap tidak berhasil
menghentikan gerakan Barat terhadap dunia Islam. Selama abad ke-18, Barat menyerang
wilayah kekuasaan Turki Usmani di Eropa Timur. Akhir dari serangan itu adalah
ditandatanganinya Perjanjian San Stefano (Maret 1878 M) dan perjanjian Berlin (Juli 1878 M),
antara kerajaan Turki Usmani dengan Rusia.
Di pihak lain, satu demi satu daerah-daerah kekuasaan Turki Usmani di Asia dan Afrika
melepaskan diri dari Konstantinopel. Hal ini disebabkan timbulnya nasionalisme pada bangsa-
bangsa yang ada di bawah kekuasaan Turki. Bangsa Armenia dan Yunani yang beragama Kristen
berpaling ke Barat, memohon bantuan Barat untuk kemerdekaan tanah airnya, bangsa Kurdi di
pegunugan dan Arab di padang pasir dan lembah-lembah juga bangkit untuk melepaskan diri dari
cengkeraman penguasa Turki Usmani.
D. BANGKITNYA NASIONALISME DI DUNIA ISLAM
Sebagaimana telah disebutkan di atas, benturan-benturan antara Islam dan kekuatan
Eropa telah menyadarkan umat Islam bahwa, mereka memang jauh tertinggal dari Eropa. Hal ini
dirasakan dan disadari pertama kali oleh Turki, karena kerajaan inilah yang pertama dan utama
dalam usaha menghadapi kekuatan Eropa. Kesadaran itu memaksa penguasa dan pejuang-
pejuang Turki untuk banya belajar dari Eropa.
Usaha untuk memulihkan kembali kekuatan Islam pada umumnya didorong oleh dua
faktor, yakni pertama: permurnian ajaran Islam dari unsur-unsur asing yang dipandang sebagai
penyebab kemunduran Islam, seperti gerakan Wahhabiyah yang dipelopori oleh Muhammad bin
Abd al-Wahhab di Saudi Arabia, Syah Waliyullah di India dan gerakan Sanusiyah di Afrika Utara
yang dipimpin oleh Said Muhammad Sanusi dari Aljazair. Kedua: Menimba gagasan-gagasan
pembaruan dan ilmu pengetahuan dari Barat. Hal ini tercermin dalam pengiriman para pelajar
muslim oleh penguasa Turki dan Mesir ke negara-negara Eropa untuk menimba ilmu
pengetahuan dan dilanjutkan dengan gerakan penerjemahan karya-karya Barat ke dalam bahasa
mereka. Pelajar-pelajar India juga banyak yang menuntut ilmu ke Inggris.
Gerakan pembaharuan itu, dengan segera juga memasuki dunia politik, karena Islam
memang tidak bisa dipisahkan dengan politik. Gagasan politik yang pertama kali muncul adalah
gagasan Pan-Islamisme (Persatuan umat Islam Sedunia) yang pada awalnya didengungkan oleh
gerakan Wahhabiyah dan Sanusiayah. Namun, gagasan ini baru disuarakan dengan lantang oleh
tokoh pemikir Islam terkenal, Jamaludin al-Afghani. Al-Afghani-lah orang pertama yang
menyadari sepenuhnya akan dominasi Barat dan bahayanya. Oleh karena itu, dia mengabdikan
dirinya untuk memperingatkan dunia Islam akan hal tersebut dan melakukan usaha-usaha untuk
pertahanan. Umat Islam, menurutnya, harus meninggalkan perselisihan-perselisihan dan
berjuang di bawah panji bersama. Ia juga berusaha membangkitkan semangat lokal dan nasional
negeri-negeri Islam. Karena itu, al-Afghani dikenal sebagai Bapak Nasionalisme dalam Islam.
Semangat Pan-Islamisme yang bergelora itu mendorong Sultan Hamid II, untuk
mengundang al-Afghani ke Istanbul. Gagasan ini dengan cepat mendapat sambutan hangat dari
negeri-negeri Islam. Akan tetapi, semangat demokrasi al-Afghani tersebut menjadi duri bagi
kekuasaan sultan, sehingga al-Afghani tidak diizinkan berbuat banyak di Istanbul. Setelah itu,
gagasan Pan-Islamisme dengan cepat redup, terutama setelah Turki Usmani bersama sekutunya
Jerman, kalah dalam Perang Dunia I dan kekhalifahan dihapuskan oleh Mustafa Kemal, tokoh
yang justru mendukung nasionalisme, rasa kesetiaan kepada negara kebangsaan.
Gagasan nasionalisme yang berasal dari Barat tersebut masuk ke negeri-negeri Islam
melalui persentuhan umat Islam dengan Barat yang menjajah mereka dan dipercepat oleh
banyaknya pelajar Islam yang menuntut ilmu ke Eropa atau lembaga-lembaga pendidikan barat
yang didirikan di negeri mereka. Gagasan kebangsaan ini pada mulanya banyak mendapat
tantangan dari pemuka-pemuka Islam, karena dipandang tidak sejalan dengan semangat uóuwaú
al-Islamiyaú. Akan tetapi, gagasan ini berkembang dengan cepat setalah gagasan Pan-Islamisme
redup.
Di Mesir, benih-benih nasionalisme tumbuh sejak masa al-Tahtawi dan Jamludin al-
Afghani. Tokoh pergerakan terkenal yang memperjuangkan gagasan ini adalah Ahmad Urabi
Pasha. Gagasan tersebut menyebar dan mendapat sambutan hangat, sehingga nasionalisme
tersebut terbentuk atas dasar kesamaan bahasa. Hal itu terjadi di Mesir, Syiria, libanon, Palestina,
Irak, Bahrain, dan Kuwait. Semangat persatuan Arab tersebut diperkuat pula oleh usaha barat
untuk mendirikan negara Yahudi di tengah-tengah bangsa Arab.
Di India, sebagaimana di Turki dan Mesir, gagasan Pan-Islamisme yang dikenal
dengan gerakan óilafaú juga mendapat pengikut. Syed Amir Ali adalah salah seorang pelopornya.
Namun, gerakan ini pudar setelah usaha menghidupkan kembali khilafah yang dihapuskan
Mustafa Kemal tidak memungkinkan lagi. Yang populer adalah gerakan nasionalisme, yang
diwakili oleh Partai Kongres Nasional India. Akan tetapi, gagasan nasionalisme itu segera pula
ditinggalkan sebagian besar tokoh-tokoh Islam, karena kaum muslim yang minoritas tertekan
oleh kelompok Hindu yang mayoritas.
Persatuan antar kedua komunitas besar Hindu dan Islam sulit diwujudkan. Oleh
karena itu, umat Islam di anak benua India tidak lagi semangat menganut nasionalisme, tetapi
Islamisme, yang dalam masyarakat India dikenal dengan nama komunalisme. Gagasan
Komunalisme Islam disuarakan oleh Liga Muslimin yang merupakan saingan bagi Partai
Kongres Nasional. Benih-benih gagasan Islamisme tersebut sebenarnya sudah ada sebelum Liga
Muslimin berdiri, yang disuarakan oleh Sayyid Ahmad Khan, kemudian mengkristal pada masa
Iqbal dan Muhammad Ali Jinnah.
E. KEMERDEKAAN NEGARA-NEGARA ISLAM DARI PENJAJAHAN BARAT
Munculnya gagasan nasionalisme yang diikuti dengan berdirinya partai-partai politik
merupakan modal utama umat Islam dalam perjuangannya untuk mewujudkan negara merdeka.
Dalam kenyataannya, partai-partai itulah yang berjuang melepaskan diri dari kekuasaan penjajah.
Perjuangan tersebut terwujud dalam beberapa bentuk kegiatan antara lain:
1. Gerakan politik, baik dalam bentuk diplomasi maupun perjuangan bersenjata.
2. Pendidikan dan propaganda dalam rangka mempersiapkan masyarakat menyambut dan mengisi
kemerdekaan.
Negara berpenduduk mayoritas Muslim yang pertama kali memproklamasikan
kemerdekaannya adalah Indonesia, yaitu tanggal 17 Agustus 1945. Indonesia merdeka dari
pendudukan Jepang setelah Jepang dikalahkan oleh Sekutu. Disusul oleh Pakistan tanggal 15
Agustus 1947, ketika Inggris menyerahkan kedaulatannya di India kepada dua Dewan
Konstitusi, satu untuk India dan satunya untuk Pakistan.
Tahun 1922, Timur Tengah (Mesir) memperoleh kemerdekaan dari Inggris,
namun pada tanggal 23 Juli 1952, Mesir menganggap dirinya benar-benar merdeka. Pada tahun
1951 di Afrika, tepatnya Lybia merdeka, Sudan dan Maroko tahun 1956, Aljazair tahun 1962.
Semuanya membebaskan diri dari Prancis. Dalam waktu yang hampir bersamaan, Yaman Utara,
Yaman selatan dan Emirat Arab memperoleh kemerdekaannya pula. Di Asia tenggara, Malaysia,
yang saat itu termasuk Singapura mendapat kemerdekaan dari Inggris tahun 1957, dan Brunai
Darussalam tahun 1984 M.
Demikianlah, satu persatu negeri-negeri Islam memerdekakan diri dari
penjajahan. Bahkan, beberapa diantaranya baru mendapat kemerdekaan pada tahun-tahun
terakhir, seperti negera Islam yang dulunya bersatu dalam Uni Soviet, yaitu Uzbekistan,
Turkmenia, Kirghistan, Kazakhtan, Tasjikistan dan Azerbaijan pada tahun 1992 dan Bosnia
memerdekakan diri dari Yugoslavia pada tahun 1992 (Yatim, 2003:187-189).
KEDATANGAN ISLAM DI INDONESIA
A. KONDISI DAN SITUASI POLITIK KERAJAAN-KERAJAAN DI INDONESIA
Cikal bakal kekuasaan Islam telah dirintis pada periode abad 1-5 H/7-8 M, tetapi
semuanya tenggelam dalam hegemoni maritim Sriwijaya yang berpusat di kerajaan Hindu-Jawa
seperti Singasari dan Majapajit di Jawa Timur. Dan para pedagang islam membentuk komunitas
dan mengajarkan ke penduduk lokal tentang Islam, dan menjelaskan tidak adanya sistem kasta di
Islam, hal ini yang membuat orang tertarik dengan Islam.
Islam masuk ke Indonesia tidak bersamaa, dan keadaan politik di setiap daerah tidak
sama. Pada abad ke 7-10 M, kerajaan sriwijaya memperluas kekuasaannya sampai ke malaka.
Hal itubertujuan untuk menguasai selat malaka yang merupakan jalur dagang yang ramai.
Kedatangan orang muslim terlihat dalam keterlibatan di bidang politik baru pada abad ke 9 M,
ketika terlibat dalam pemberontakan orang China. Akibatnya banyak orang muslim dibunuh, dan
lainnya melarikan diri ke Keddah dan Palembang.
Pada akhir abad ke-12 M kerajaan ini mulai memasuki masa kemundurannya.
Kemunduran politik dipercepat dengan kemajuan kerajaan Singasari di Jawa. Kelamahan
sriwijaya dimanfaatkan pula oleh para pedagang untuk mendapatkan keuntungan.
Karena kekacauan akibat perebuatn kekuasaan di istana, kerajaan Singasari, dan
Majapahit, tidak mampu mengontrol daerah melayu dan selat malaka, sehingga kerajaan
Samudra Pasai dapat berkembang dan mencpai puncak kejayaan hingga abad ke 16 M.
B. MUNCULNYA PEMUKIMAN-PEMUKIMAN MUSLIM DI KOTA-KOTA PESISIR
Menjelang abad ke-13 M, di pesisir Aceh sudah ada pemukiman muslim. Persentuhan
adanya penduduk pribumi, arab, persia, dan india. Itulah sebabnya mengapa kerajaan Islam
pertama di Nusantara berada di Aceh.
Dan di Jawa proses islamisasi beralngsung sejak abad ke-11 M, terbukti ditemukannya
makam Fatimah binti Maimun di Gresik yang berangka tahun 475 H (1082 M). Bahkan menurut
berita Ma Huan 1416 M, di pusat Majapahit, maupun pesisir, terutama di kota-kota pelabuhan,
telah terjadi proses islamisasi dan sudah pula terbentuk masyarakat muslim.
Pengaruh Islam di Daerah Timur khususnya Maluku, tidak bisa dipisahkan dari Jalur
Perdagangan. Menurut tradisi setempat, Raja Ternate yang kedua belas Molometa bersahabat
karib dengan orang Arab yang memberinya petunjuk cara pembuatan kapal. Hal ini menunjukan
bahwa di Ternate sudah ada masyarakat Islam.
Kalimantan Timur pertamakali di Islamkan oleh Datuk Ri Bandang dan Tunggang
Parangan. Mereka datang dari Kutai setelah orang Makasar masuk Islam. Pada abad ke-16 M di
Sulawesi di kerajaan Gowa sudah ada masyarakat Muslim, hal itu membuktikan bahwa Islam
sudah masuk di sana.
C. SALURAN DAN CARA-CARA ISLAMISASI DI INDONESIA
Menurut Uka Tjandrasasmita, saluran-saluran Islamisasi yang berkembang ada 6, yaitu:
1. Saluran Perdagangan
Kesibukan lalu lintas perdagangan pada abad ke-7 hingga ke-16 M, membuat para
pedagang Muslim dari Atab, Persia, dan India turut ikut ambil bagian dalam perdagangan di
Asia.
2. Saluran Perkawinan
Dari sudut ekonomi pedagang lebih baik dari ekonomi, hal ini membuat mereka tertarik
menjadi istri saudagar-saudagar itu, kemudian para saudagar itu mengislamkan calon istrinya
sebelum menikah.
3. Saluran Tasawuf
Pengajar tasawuf atau para sufi, mengajarkan teosofi yang bercampur dengan ajaran yang
sudah dikenal di Indonesia, dan ada pula yang mengajari anak bangsawan dan kemudian di
nikahkan.
4. Saluran Pendidikan
Islamisasi juga melalui pendidikan, salah satunya adalah berdirinya pesantren sebagai
pusat pendidikan.
5. Saluran Kesenian
Saluran islamisasi dari segi Kesenian yang paling terkenal adalah dari seni wayang yang
sering dibawakan oleh Sunan Kalijaga.
6. Saluran Politik
Di Maluku dan Sulawesi Selatan, kebnyakan rakyat masuk Islam setelah para rajanya
masuk islam. Hal ini membantu tersebarnya Islam di Maluku dan Sulawesi Selatan.
KERAJAAN-KERAJAAN ISLAM SEBELUM PENJAJAHN BELANDA
A. KERAJAAN-KERAJAAN ISLAM PERTAMA DI SUMATERA
1. Samudra Pasai
Kerajaan islam pertama di indonesia adalah samudra Pasai. Terletak di pesisir timur laut aceh.
Diperkirakan berdiri awal atau pertengahan abad ke-13 M. Bukti berdirinya kerajaan Samudra
Pasai pada abad ke-13 M didukung oleh adanya nisan kubur terbuat dari bahan granit buatan
Samudra Pasai.
Malik Al-Shaleh adalah raja pertama dan pendiri kerajaan tersebut. Kerajaan Samudra Pasai
berlangsung sampai Tahun 1524 M, dan ditaklukan portugis pada 1521 M.
2. Aceh Darussalam
Kerajaan Aceh terletak di Kabupaten Aceh Besar. Kurang diketahui kapan kerajaan ini berdiri.
Anas Machmud berpendapat, kerajaan Aceh berdiri padaabad ke-15 M, diatas puing-puing
kerajaan Lamuri. Puncak Keemasannya ada pada saat di Pimpin oleh Sultan Iskandar Muda
dengan tangan besinya. Kemudian pada abad ke-18 M Aceh Darussalam mulai turun setelah
dipimpin oleh sultan perempuan.
B. TUMBUH DAN BERKEMBNAGNYA KERAJAAN-KERAJAAN ISLAM DI JAWA
1. Demak.
Di bawah pimpinan Sunan Ampel Denta, Walisongo bersepakat mengangkat Raden Patah untuk
menjadi Raja Pertama Kerajaan Demak. Dalam menjalankan pemerintahan, terutama dalam hal
agama dibantu oleh Walisongo. Pemerintahan Raden Patah berlangsung hingga awal abad ke-16
M. Ia digantikan oleh anaknya Pati Unus, kemudian Pati unus digantikan oleh Trenggono dan
dilantik sebagai sultan oleh Sunan Gunug Jati. Pada tahun 1546, dalam penyerbuan ke
blambangan, Sultan Trenggono terbunuh, dan digantikan oleh adiknya. Setelah itu, terjadi
pemberontakan oleh adipati sekitar demak. Dan Sunan Prawoto terbunuh. Hal ini adalah akhir
dari kerajaan demak.
2. Pajang
Kesultanan Pajang adalah penerus kerajaan Islam Demak. Dipimpin oleh Jaka Tingkir yang
sebelumnya diangkat oleh Sultan Trenggono untuk memimin Pajang dan setelah dinikahkan
dengan anak dari Sultan trenggono.
Riwayat kerajaan pajang berakhir pada tahun 1618 M. Kerajaan Pajang waktu itu memberontak
terhadap Mataran yang pada waktu itu dibawah Sultan Agung, Pajang dihancurkan, dan rajanya
melarikan diri ke Giri dan Surabaya.
3. Mataram
Awal dari kerajaan Maatarm adalah ketika Sultan Adiwijaya meminta bantuan Ki Pamanahan
yang berasal dari daerah pedalaman untuk menghadapi dan menumpas pemberontak Aria
Panangsang. Dan kemudian di beri hadiah daerah Mataram, yang kemudian mmenurunukan
raja-raja Mataram Islam.
Pada tahun 1677 M dan 1678 M, pemberontakan para ulama muncul dengan tokoh spiritual
Raden Kajoran. Pemberontakan-Pemberontakan seperti ini yang mengakibatkan runtuhnya
Kraton Mataram.
4. Cirebon
Kesultanan Cirebon didirikan oleh Sunan Gunug Jati. Setelah Cirebon resmi berdirisebagai
sebuah kerajaan Islam yang bebas dari kekuasaan Pajajaran, Sunan Gunung Jati berusaha
meruntuhkan Kerajaan Pajajaran yang belum menganut Islam. Setelah Sunan Gunung Jati wafat
ia digantikan oleh cicitnya yaitu Panembahan Ratu. Keutuhan kerajaan Cirebon hanya sampai
Pangeran Girilaya.
5. Banten
Pada tahun 1524 M, Sunan Gunung Jati Cirebon meletakan dasar bagi pengembangan agama
dan Kerajaan islam. Pada tahun 1568, disaat kekuasaan Demak beralih ke Pajang, Sultan
Hasanudin memerdekakan Banten. Pada saat Banten dipimpin oleh Sultan Abdulfath ini tterjadi
beberapa peperangan antara Banten dengan VOC yang berakhir dengan ditandantanganinya
perjanjian perdamaian tahun 1659 M.

C. TUMBUH DAN BERKEMBANGNYA KERAJAA-KERAJAAN ISLAM DI


KALIMANTAN, MALUKU DAN SULAWESI
1. Kalimantan
a. Berdirinya Kerajaan banjar Di Kalimantan
Kerajaan Banjar merupakan kelanjutan dari Kerajaan Daha yang beragama Hindu. Peristiwa ini
diaja sukarama meninggal anak tertuanya yang menggantikannya, yaitu Pangeran Mangkubumi,
setelah Mangkubumi wafat, pangeran tumenggung yang menggantikannya.
b. Kutai di Kalimantan Timur
Menurut cerita, Kerajaan Kutai berubah menjadi Islam ketika ada dua orang penyebar Islam ke
Kutai yang bernama Dato’ Ri Bandang, dan Tuan Parangan. Setelah pengislaman Dato’ Ri
Bandang kembali ke Makassar dan Tuan Parangan tetap di Kutai. Mulai yang terakhir inilah Raja
Mahkota tunduk pada Islam
2. Maluku
Raja pertama di maluku yang benar-benar muslim adalah Zayn Al-‘Abidin (1486-1500 M). Di
masa itu gelombang perdagangan muslim terus meningkat sehingga raja menyerah kepad
tekanan pedagang islam dan belajar tentang islam di Madrsah Giri.
Karena usia islam masih muda, portugis berusah mempengaruhi mereka untuk masuk Kristen,
tetapi usah mereka tak menghasilkan banyak.
3. Sulawesi (Gowa-Tallo, Bone, Wajo, Soppeng dan Luwu)
Kerajaan Gowa dan Tallo merupakan kerajaan kembar yang saling berbatasan. Dan terletak di
semenanjung barat sulawesi.
Penyebaran islam dengan tradisiyang telah lama diterima oleh para raja, kneurunan To
manurung. Tradisi itu mengharuskan raja untuk memberitahukan hal baik kepada semua orang.
Karena itu memberitahukan pesan Islam ke kerajaan yang lain seperti Luwu, Wajo, Soppeng, dan
bone. Meskipun akhirnya semua mau masuk Islam, tetapi peperangan masih belranjut untuk
mendapatkan keuntungan.
KERAJAAN-KERAJAAN ISLAM ZAMAN PENJAJAHAN BELANDA
A. SITUASI DAN KONDISI KERAJAAN-KERAJAAN ISLAM DI INDONESIA KETIKA
BELANDA DATANG
Keadaan kerajaan-kerajaan islam menjelang datangnya Belanda di akhir abad ke 16
dan awal abad ke 17 ke indonesia berbeda-beda bukan hanya berkenaan dengan kemajuan
politik, tetapi juga proses islamisasinya.
Di Sumatra, setelah malaka jatuh ketangan portugis percaturan politik di kawasan
selat malaka merupakan pertjuangan segitiga: Aceh, Portugis, dan Johor. Pada abad ke16
tampaknya aceh menjadi dominan terutama karena para pedagang muslim menghindar dari
malaka dan memilih aceh sebagai pelabuhan transit. Selain itu ekspansi aceh ketika itu berhasil
menguasai perdagangan pantai barat Sumatra. Ketika itu aceh memang sedang berada dalam
masa kejayaan dibawah pimpinan Sultan Iskandar Muda. Dan ketika sultan iskandar muda telah
wafat kemudian di gantikan oleh Sultan Iskandar Tsani. Sultan ini masih mampu
mempertahankan kebesaran aceh. Setelah ia meninggal dunia aceh secara bedrturut-turut di
pimpin oleh tiga orang wanita selama 59 tahun. Ketika itulah aceh mulai mengalami
kemunduran.
Di jawa, pusat kerajaan islam sudah pindah dari pesisir kedalam, yaitu dari Demak ke
Pajang kemudian Ke Mataram. Berpindahnya pusat pemerintahan itu membawa pengaruh besar
yang sangat menentukan perkembangan sejarah islam di Jawa.
Sementara itu di Banten, di pantai Jawa Barat muncul sebagai simpul penting antara
lain karena perdagangan adanya dan tempat penampungan pelarian dari pesisir Jawa Tengah dan
Jawa Timur. Mrosotnya peran pelabuhan-pelabuhan Jawa Timur akibat politik mataram dan
munculnya makasar sebnagai pusat perdagangan membuat jaringan perdagangan dan rute
pelayaran dagang di Indonesia bergeser.
Di sulawesi, pada akhir ke 16 pelabuhan makasar berkembang dengan pesat akan
tetapi ada factor- factor historis lain yang mempercepat perkembangan.
B. LATAR BELAKANG KEDATANGAN BELANDA, VOC, HINDIA BELANDA
Tujuan Belanda datang ke Indonesia, untuk mengembangankan usaha perdangan,
yaitu mendapatkan rempah-rempah yang mahal harganya di Eropa. Dan perseruan Amsterdam
mengirim beberapa armada kapal dagangannya ke Indonesia, dan diikuti banyak perseroan lain
yang juga ingin berdagang dan berlayar ke Indonesia. Kemudian perseroan-perseroan itu
bergabung dan di sahkan oleh Staten General Republik dengn satu piagam yang memberi hak
kusus untuk berdagang, berlayar dan memegang kekuasaan di kawasan Kepulauan Nusantara.
Perseroan itu bernama VOC.
Dalam usaha mengembangkan usaha perdagangannya. VOC nampak ingin melakukan
Monopoli, karena itu, aktivitas ingin menguasai perdagangan Indonesia menimbulkan
perlawanan pedagang-pedagang pribumi karena merasa terancam. Pada tahun 1798 VOC
dibubarkan karena sebelumnya pada 1795 izin operasinya di cabut. Dibubarkannya VOC
disebabkan beberapa factor. Dengan bubarnya VOC pada pergantian abad ke 18 secara resmi
Indonesia berpindah ketangan pemerintahan Belanda, karena pemerintahan belanda
memanfaatkan daerah jajahan untuk memberi keuntungan sebanyak-banyaknya kepada negri
induk, guna menanggulangi masalah ekonomi Belanda yang sedang mengalami kebangkrutan
akibat perang. Pada tahun 1830 pemerintah hindia-belanda menjalankan system tanam paksa.
Dan pada tahun 1901 belanda menerapkan politik etis atau politik balas budi.
C. PENETRASI POLITIK BELANDA
VOC sejak semula memang diberi izin oleh pemerintah belanda untuk melakukan
kegiatan politik dalam rangka mendapatkan hak monopoli dagang di Indonesia. Oleh karena itu,
VOC dibantu oleh kekuatan militer dan armada tentara serta hak-hak yang bersifat kenegaraan
mempunyai wilayah mengadakan perjanjian politik, dan sebagainya. Dengan perlengkapan yang
lebih maju VOC, melakukan politik ekspansi. Dengan kata lain abad ke 17 dan 18 adalah priode
ekspansi dan monopoli dalam sejarah kolonial di Indonesia. Menjelang akhir abad ke 18
ekspansi di wilayah iniberhasil di jawa.
Penetrasi politik belanda juga terjadi di kerajaan banjarmasin. Belanda pertama kali
datang ke kerajaan ini pada abad ke 17. untuk memperkokoh kedudukannya belanda mengangkat
seorang gubernur di daerah itu. Ini berarti secara de facto, belanda sudah menjadi penguasa
politik. Ini pula yang menjadi latar belakang terjadinya perang banjarmasin yang di pimpin
pangeran Antarsari.
D. PERLAWANAN TERHADAP PENJAJAHAN BELANDA
Terdapat beberapa perlawanan-perlawanan dan perlawanan yang terbesar dan terlama
ada empat :
1. Perang Paderi di Minang Kabau
Pada perang paderi ini Balanda berkali-kali mendapatkan kesulitan dalam
melawan kaum paderi, dan kaum paderi sendiri lolos berkali-kali dari tipuan penghianatan
Belanda. Akan tetapi pada akhirnya kaum paderi itu kalah karena Belanda membuat tipuan
muslihat dengan jebakan-jabakannya.
2. Perang Diponegoro
Perang Diponegoro adalah perang terbesar yang dihadapi pemerintah colonial
Belanda di jawa. Pemicu terjadinya perang ini adalah rencana pemerintah Hindia Belanda untuk
membuat jalan yang menerobos tanah milik pangeran diponegoro dan harus membongkar
makam keramat. Patok-patok yang ditanam oleh pemerintah dicabut oleh pihak Diponegoro.
Pihak Belanda ingin mengadakan perundingan dengan pangeran Diponegoro, setelah itu
pangeran Diponegoro pindah ke selarong untuk memimpin perlawanan Belanda dengan
menggariskan maksud dan tujuan. Dalam perang Diponegoro di nobatkan sebagai pemimpin
tertinggi jawa dengan gelar Sultan Ngabdulhamid Herucakra Kabiril Mukminin Kholifatullah
Ing Tanah Jawa.
Pada suatu keteka pangeran Diponegoero diundang oleh risiden untuk
melanjutkan rundingan.akan tetapi pada rundingan ini pangeran Diponegoro malah di tangkap
dan diasingkan karena ingin tetap mempertahankan agar di beri kebebasan untuk mendirikan
Negara yang merdeka berdasarkan islam
3. Perang Banjarmasin
Perang banjarmasin ini dilatar belakangi karma adanya campur tangan belanda
dalam pemilihan sultan muda, karena sultan yang berkuasa pada masa itu sudah tua. Yang mana
jabatan itu akan diserahkan pada putranya yang bernama Abdurrahman akan tetapi ia tidak
berusia panjang. Dan sebagai penggantinya sultan menunjuk cucunya yang bernama Hidayat.
Akan tetapi belanda kurang setuju drngan pilihan sultan yang mana belanda lebih berpihak pada
pangeran Tamjid. Dari terpilihnya pangeran Tamjid ini rakyat kurang setuju timbullah kericuan
diberbagai wilayah banjarmasin. Ketika itulah perang banjarmasin di anggap dimulai.
4. Perang Aceh
Pada awal abad ke 19, sebenarnya hegemoni kerajaan aceh di Sumatra utara
sudah sangat menurun, tatapi kedaulatanya masih di akui oleh Negara-negara barat. Pada tanggal
30 maret 1857 di tanda tangani kontrak antara aceh dan pemerintah hindia belanda yang berisi
kebebasan perdagangan kontrak itu memberi kedudukan kepada belanda disana dan di perkuat
oleh traktat siak yang di tanda tangani pada tahun itu juga.
Setelah terusan suez dibuka, pelabuhan aceh menjadi sangat strategis, karena
berada dalam urat nadi pelayaran internasional. Berdasarkan traktat Sumatra 2 nopember 1871,
pihak belanda di beri kebebasan memperlus daerah kekuasaany di aceh, sedangkan inggris
memperoleh kebebasan berdagang di daerah siak. Itulah yang menyebabkan perang aceh
5. Politik Islam Hindia Belanda
Indonesia merupakan negeri berpenduduk mayoritas muslim. Agama islam secara terus
menerus menyadarkan pemeluknya bahwa mereka harus membebaskan diri dari cengkraman
pemerintah kafir. Perlawanan dari raja-raja islam terhadap pemerintahan kolonial bagai tak
pernah henti. Padam di suatu tempat muncul di tempat lain. Belanda menyadari bahwa
perlawana itu di inspirasi oleh ajaran islam.
Oleh karena itu, agam islam dipelajari secara ilmiah di negeri belanda. Seiring dengan itu,
disana juga di selenggarakan indologie, ilmuuntuk mengenal lebih jauh seluk beluk penduduk
Indonesia. Semua itu di maksudkan untuk mengukuhkan kekuasan belanda di Indonesia. Hasil
dari pengkajian itu, lahirlah apa yang di kenal dengan "politik islam". Tokoh utama dan peletak
dasarnya adalah Prof. Snouck hurgronje . dia berada di Indonesia antara tahun 1889 dan 1906.
Berdasarkan analisisnya, islam dapat dibagi menjadi dua bagan, yang satu islam religius
dan yang lain islam politik terhadap masalah agama, pemerintah belanda di sarankan agar
bersikap toleran yang di jabarkan di dalam sikap netral terhadap kehidupan keagamaan.

DAFTAR PUSTAKA

Yatim Badri, 2008. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta : Bumi Aksara

Anda mungkin juga menyukai