Anda di halaman 1dari 2

Berdasarkan Pasal 1 angka 16 KUHAP yang berbunyi:

Penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di
bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk
kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan.

Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak
yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik
terpidana di mana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang menggantikan
barang-barang tersebut.

Pasal 38 B ayat 2 UU 20/2001, perampasan aset dapat dilakukan sebagai berikut:

Dalam hal Terdakwa tidak dapat membuktikan bahwa harta benda sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) diperoleh bukan karena tindak pidana korupsi, harta benda tersebut dianggap diperoleh juga
dari tindak pidana korupsi dan hakim berwenang memutuskan seluruh atau sebagian harta benda
tersebut dirampas untuk negara.

Dengan demikian, penyitaan aset korupsi atau harta kekayaan merupakan upaya paksa dari tindakan
penyidik yang bertujuan untuk mencegah hilangnya harta kekayaan negara akibat tindak kejahatan.

Sedangkan perampasan aset atau harta kekayaan yang disita dari hasil tindak pidana korupsi
berdasarkan putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap yang merupakan upaya
pengembalian kerugian keuangan negara atau sebagai pidana tambahan.

Jenis Aset Koruptor yang Dapat Dirampas oleh Negara

Harta kekayaan atau barang yang dapat disita menurut Pasal 39 ayat 1 KUHAP adalah sebagai
berikut:

1. Benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh
dari tindakan pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana;
2. Benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk
mempersiapkannya;
3. Benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak pidana;
4. Benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana;
5. Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan.

Adapun menurut Bahder Johan Nasution, harta benda selain dari hasil tindak pidana korupsi yang
dapat dirampas adalah harta benda seseorang atau suatu badan yang dengan sengaja tidak
diterangkan olehnya atau oleh pengurusnya, harta yang tidak jelas siapa pemiliknya dan harta benda
seseorang yang kekayaannya setelah diselidiki dianggap tidak seimbang dengan penghasilan mata
pencahariannya.

Bahwa dalam perkara tindak pidana korupsi, dikenal juga dengan istilah pengembalian aset atau
asset recovery yang bertujuan untuk membekukan atau mengembalikan aset yang di dapat dari hasil
kegiatan tindak kejahatan atau melawan hukum.

Adapun perampasan aset harus berdasarkan putusan pengadilan yang tertuang dalam amar putusan
dengan penetapan pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti sejumlah atau senilai yang
dinikmati oleh terpidana. Berdasarkan Pasal 18 ayat 2 UU Tipikor, dalam jangka waktu 1 bulan sejak
putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka aset atau harta kekayaan dapat disita
oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti guna pengembalian aset dalam kerugian
negara.

Sebagai contoh dalam praktik kasus korupsi Jiwasraya dalam kurun waktu 10 tahun sejak 2008-2018,
aset koruptor disita oleh jaksa sebesar Rp18,4 triliun. Sedangkan hasil audit dari Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK) jumlah kerugian negara sebesar Rp16,8 triliun.

Jumlah harta yang disita lebih besar dari jumlah kerugian negara dengan tujuan agar aset atau harta
yang disita tersebut nantinya akan dimintakan ke pengadilan untuk dirampas negara dan
dikembalikan ke Jiwasraya untuk membayar ganti kerugian dan pengembalian uang nasabah
Jiwasraya.

Aset atau harta kekayaan yang dimiliki atas nama istri selama perkawinan sejak tahun 2015 sampai
tahun 2019, atau sebelum terjadinya tindak pidana korupsi yang diduga dilakukan oleh suami, maka
aset tersebut tidak dapat dirampas untuk negara.

Hal ini juga ditegaskan di dalam Pasal 19 ayat (1) UU Tipikor bahwa pengadilan tidak dapat
menjatuhkan putusan perampasan barang yang bukan milik terdakwa korupsi jika hak pihak ketiga
yang beriktikad baik akan dirugikan.

Akan tetapi jika aset tersebut didapat setelah tahun 2019 sebagai hasil dari tindak pidana korupsi dan
tidak dapat dibuktikan sebaliknya serta setelah diselidiki dianggap tidak seimbang dengan
penghasilan mata pencaharian, maka jaksa berdasarkan perintah hakim dalam putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht) dapat melakukan perampasan aset sebagai
bentuk pengembalian terhadap kerugian negara yang timbul akibat dari tindak pidana korupsi.

Anda mungkin juga menyukai