Anda di halaman 1dari 19

Sidang Tesis

PERLINDUNGAN TERHADAP PELAKU TINDAK


PIDANA KORUPSI DALAM PELAKSANAAN
PERAMPASAN ASET SECARA TIDAK WAJAR

Oleh :
Silva Da Rosa
110120130039

Pembimbing
Prof.Dr.Komariah E. Sapardjaja, S.H
Widati Wulandari S.H., M.Crim Program Studi Magister Ilmu Hukum
Fakultas Hukum
Universitas Padjadjaran
Latar Belakang
Tindak pidana korupsi merupakan tindak pidana yang merugikan
keuangan negara

Upaya pemberantasan tindak pidana korupsi difokuskan untuk


memulihkan kerugian Negara

Perampasan aset merupakan salah satu upaya dalam pengembalian


kerugian negara akibat tindak pidana korupsi

Aset tidak wajar yang dimiliki pelaku tipikor menjadi landasan komisi
pemberantasan korupsi (KPK) dalam Melakukan Perampasan Aset
Beberapa kasus yang terkait dengan perampasan aset
menunjukan adanya kesalahan KPK dalam merampas aset

Pelaku tindak pidana korupsi mempunyai hak dalam


mempertahankan hak miliknya yang diduga sebagai hasil
tindak pidana korupsi

Perampasan terhadap aset yang diduga tidak wajar


menimbulkan pelanggaran atas hak milik. Apabila aset yang
dimiliki melebihi jumlah dari pendapatannya, maka pelaku
berkewajiban membuktikan bahwa aset tersebut diperoleh
secara legal
Identifikasi Masalah

1.Bagaimana penerapan kriteria aset


tidak wajar dalam perampasan aset
milik pelaku tindak pidana korupsi?
2.Bagaimana penerapan asas praduga
tak bersalah pada perampasan tidak
wajar terhadap aset sebagai bentuk
perlindungan terhadap pelaku tindak
pidana korupsi ?
 
Tujuan Penelitian
1.Menunjukan penerapan kriteria aset tidak
wajar dalam perampasan aset milik pelaku
tindak pidana korupsi.
2.Menunjukkan penerapan asas praduga tak
bersalah pada perampasan tidak wajar
terhadap aset sebagai bentuk
perlindungan terhadap pelaku tindak
pidana korupsi.
Penerapan Kriteria Aset Tidak Wajar Dalam Perampasan
Aset Milik Pelaku Tindak Pidana Korupsi

Kriteria aset tidak wajar menjadi pedoman KPK dalam menentukan


aset tidak wajar hasil tindak pidana korupsi

Kriteria aset tidak wajar akan membantu KPK dalam melakukan


penelusuran dan identifikasi kepemilikan aset dan transaksi
mencurigakan yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana korupsi

Terdapat tiga kriteria aset tidak wajar


Kriteria Pertama

Penilaian jumlah transaksi mencurigakan yang dilakukan oleh


pelaku tindak pidana korupsi

a. Menyimpang dari profil, karakteristik, atau kebiasaan pola


transaksi dari yang bersangkutan;
b. Patut diduga dilakukan dengan tujuan untuk menghindari
pelaporan transaksi yang bersangkutan yang wajib dilakukan
oleh Penyedia Jasa Keuangan sesuai dengan ketentuan
Undang-Undang;
c. Dilakukan dengan menggunakan Harta Kekayaan yang diduga
berasal dari hasil tindak pidana.
Kriteria Kedua

Kriteria dinilai dari Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) yang
dilaporkan pelaku tindak pidana sebelum menempati suatu jabatan

Berdasarkan pada jumlah aset dalam LHKPN akan dinilai kewajaran transaksi dan
bertambahnya jumlah aset yang dimiliki tindak pidana korupsi. KPK akan melakukan
perampasan aset tidak wajar berdasarkan hasil analisa aset tidak wajar pada tahap
penyidikan

Nilai wajar tersebut adalah nilai di mana suatu aset diperoleh dari suatu kewajiban atau
pekerjaan dan diketahui memiliki transaksi keuangan secara wajar
Nilai Kewajaran

Nilai kewajaran
1.  Receipt (penerimaan),
transaksi yang dimiliki 2. Expenditure (Pengeluaran),
pelaku tindak pidana 3. Asset (Aset/kekayaan),
korupsi dapat dilihat 4. Liability (Kewajiban)

dari sebagai berikut :

“Penilaian standar tidak wajar tersebut secara eksplisit di lihat


nilai berdasarkan, kesesuaian pendapatan asli yang dapat
diverifikasi atau pendapat sah yang diperoleh pelaku.”
Kriteria Ketiga
Kriteria aset tidak wajar diidentifikasi berdasarkan pembayaran pajak penghasilan dan
pajak terhadap aset yang dimiliki pelaku tindak pidana korupsi.

Pajak yang dibayarkan pelaku tindak pidana korupsi menjadi acuan jumlah aset tidak
wajar yang dimiliki.

Untuk penerapan kriteria ini diperlukan pendataan jumlah pendapatan dan aset yang
dimiliki pelaku dan orang dekat pelaku tindak pidana korupsi.

Adanya selisih antara nilai pendapatan dan nilai hasil revaluasi pembayaran pajak
menjadi ladasan bahwa aset yang dimiliki tersebut wajar atau tidak.
Penerapan Perampasan Aset Oleh KPK

Meskipun sudah ada kriteria


aset tidak wajar, namun dalam
penerapannya KPK masih
belum objektif dan cermat
dalam merampas aset hasil KPK melakukan
tindak pidana korupsi. perampasan aset
KPK turut merampas aset yang yang melanggar
diperoleh secara sah dan aset hak milik
yang diperoleh sebelum terjadi
tindak pidana yang dilakukan
oleh pelaku.
Kasus Luthfi Hasan Ishaaq dan Akil Mochtar

1. Pada kasus Luthfi Hasan Ishaaq terdapat aset yang diperoleh secara sah
yang turut dirampas oleh KPK. Padahal aset tersebut telah diperoleh
sebelum terjadi tindak pidana korupsi, aset tersebut antara lain, Satu
Rumah Bagus Residence +/- 290 m2 yang terletak di Jalan Kebagusan
Dalam I RT 007/04, Lenteng Agung Jakarta Selatan, dengan nilai
perolehan sebesar Rp. 2.490 milyar, Satu Tanah dan Bangunan yang
terletak di Jl. Loji Barat No 24 RT 17 RW 02 Desa Cipanas Kec. Pacet
Kab. Cianjur, dan beberapa bidang tanah yang terletak Leuwiliang, Kab.
Bogor .
2. Pada kasus Akil Mochtar, KPK turut merampas aset sebelum pelaku
menjabat sebagai Hakim Konstitusi pada tahun 2010-2013, yaitu
beberapa aset yang diperoleh pada tahun 2003-2009, yang dicurigai
sebagai aset tidak wajar, sehingga dirampas oleh KPK.
KPK wajib melakukan analisa secara akurat mengenai aset tidak
wajar hasil tindak pidana korupsi

a. Analisa terhadap korelasi kesesuaian waktu (tempus) perolehan aset dengan


tempus terjadinya tindak pidana (tempus delicti);
b. Analisa terhadap cara perolehan aset misanya terkait dengan proses
pembelian aset, proses pembayaran atas pembelian aset (cara pembayaran,
pihak yang melakukan pembayaran, asal usul dana pembayaran, dll.)
c. Analisa terhadap rekening koran, khususnya terkait: Posisi saldo; Pola
transaksi keuangan; Waktu (tempus) transaksi; Pihak-pihak yang terkait
dengan proses transaksi (transaksi asal dan transaksi lanjutan); Keterkaitan
(Link) transaksi antar rekening; Rekening turunan atau rekening lain yang
terafiliasi dengan rekening induk guna mengetahui korelasi pihak-pihak
yang diduga terkait dengan tindak pidana
Penerapan Asas Praduga Tak Bersalah Pada Perampasan Tidak
Wajar Terhadap Aset Dalam Tindak Pidana Korupsi Dihubungkan
Dengan Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi

Perlindungan hukum merupakan hak setiap warga Negara yang erat kaitannya dengan
hak asasi manusia (HAM)

Asas praduga tak bersalah atau presumption of innocence menjadi prinsip negara yang
menjunjung tinggi perlindungan terhadap HAM

Dengan menerapkan asas praduga tak bersalah pada setiap tahapan dalam sistem
peradilan pidana, mulai dari tahap penyidikan, penetapan aset tidak wajar dan
perampasan aset menjadi upaya perlindungan hukum bagi pelaku tindak pidana dalam
sistem peradilan pidana
Pembuktian Terbalik Merupakan Bentuk Penerapan Asas
Praduga Tak Bersalah Terhadap Aset

Pelaksanaan pembuktian terbalik memiliki kepentingan dalam


proses pembuktian asal usul perolehan aset yang dimiliki pelaku.

Dengan penerapan asas balanced probability of principles


memberikan jaminan perlindungan terhadap aset yang dimiliki
pelaku tindak pidana korupsi
Dasar Hukum Pembuktian Terbalik

Pembuktian terbalik diatur dalam Pasal 37 a ayat (1) Undang-


Undang Nomor 31 Tahun 1999

Merujuk pada Pasal 37 ayat (2) Undang-Undang Tipikor,


apabila pelaku tindak pidana korupsi dapat membuktikan
bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, maka
keterangan tersebut dipergunakan sebagai hal yang
menguntungkan baginya.
Namun sebaliknya, dalam Pasal 37 ayat (4) menyatakan
bahwa, dalam hal pelaku tindak pidana korupsi tidak dapat
membuktikan kekayaan yang tidak seimbang dengan
penghasilannya atau sumber penambah kekayaannya, maka
keterangan tersebut dapat digunakan untuk memperkuat alat
bukti yang sudah ada bahwa pelaku telah melakukan tindak
pidana korupsi.
Pembuktian terbalik diharapkan dapat memberikan petunjuk
bagi hakim dalam memutus aset tidak wajar hasil tindak
pidana korupsi

Pertanggung jawaban terhadap kepemilikan aset berkaitan


dengan pemilik sah aset tersebut, apabila diketahui bahwa
aset diperoleh dari tindak pidana korupsi maka pemilik
bertanggung jawab secara pidana atas aset
Kesimpulan
1. Analisa secara cermat dan objektif harus dilakukan oleh KPK
sebelum melakukan perampasan aset. Hal tersebut guna
mencegah perampasan aset yang melanggar hak milik pelaku
tindak pidana korupsi. Selain itu belum adanya pengaturan
mengenai kriteria aset tidak wajar dan penerapannya dalam
Undang-Undang Tipikor dan Rancangan Undang-Undang
Perampasan Aset menjadi kelemahan dalam pelaksanaan
perampasan aset tidak wajar oleh KPK.
2. Pembuktian terbalik menjadi bentuk penerapan asas praduga
tak bersalah. Pembuktian terbalik oleh pelaku tindak pidana
korupsi pada tahap awal, yaitu sebelum pelaksanaan
perampasan dapat menjadi upaya pencegahan perampasan
aset yang melanggar hak milik pelaku tindak pidana korupsi.
Saran

1. Perampasan terhadap aset tidak wajar yang dimiliki pelaku tindak pidana
korupsi harus melalui kajian yang sangat teliti dan objektif. Mengingat
perampasan aset merupakan bagian penting dalam upaya pemulihan
kerugian keuangan Negara. Oleh karena itu, pemerintah perlu mendorong
agar pembahasan RUU Perampasan Aset menjadi prioritas utama dan
segera disahkan dalam waktu yang tidak terlalu lama, guna menjadi
landasan bagi penegak hukum, khususnya KPK dalam melaksanakan
perampasan aset tidak wajar hasil tindak pidana korupsi.
2. KPK wajib menerapkan asas praduga tak bersalah dalam melakukan
perampasan terhadap aset tidak wajar. Pembuktian terbalik pada tahap
awal, menjadi bentuk penerapan asas praduga tak bersalah terhadap aset
yang miliki oleh pelaku tindak pidana korupsi. Maka dari itu, untuk
menunjang perampasan aset yang cermat dan akurat diperlukan penegak
hukum yang memiliki intelektual tinggi, integritas tinggi dan profesionalitas
dalam menjalankan tugasnya, yang sesuai dengan ketentuan dalam
perundang-undangan.

Anda mungkin juga menyukai