Anda di halaman 1dari 9

BAB I

GAMBARAN UMUM PEMERIKSAAN INVESTIGATIF

A.

Pengertian dan Tujuan Pemeriksaan Investigatif


Pemeriksaan investigatif (audit investigasi) adalah kegiatan pemeriksaan dengan lingkup

tertentu, periodenya tidak dibatasi, lebih spesifik pada area-area pertanggungjawaban yang diduga
mengandung inefisiensi atau indikasi penyalahgunaan wewenang, dengan hasil audit berupa
rekomendasi untuk ditindaklanjuti bergantung pada derajat

penyimpangan wewenang yang

ditemukan. Pemeriksaan investigatif bersifat reaktif, yakni pemeriksaan yang dilakukan sesudah
ditemukannya

indikasi

awal

adanya

penyimpangan.

Pemeriksaan

investigatif

merupakan

pemeriksaan lanjutan dari auditing, yang lebih khusus dan mendalam, serta menuju pada
pengungkapan penyimpangan.
Pemeriksaan

investigatif

merupakan

bagian

dari

akuntansi

forensik,

yaitu

aplikasi

keterampilan/keahlian keuangan/akuntansi dan cara berpikir investigatif untuk memecahkan masalahmasalah hukum. Hal ini memiliki makna bahwa hasil akuntansi forensik dapat dijadikan alat bukti
untuk suatu tuntutan di pengadilan atau layak untuk menjadi perdebatan publik.
Tujuan pemeriksaan investigatif berdasarkan Pasal 13 UU No. 15 Tahun 2004 adalah
pemeriksaan yang dilaksanakan guna mengungkap adanya indikasi kerugian negara/daerah dan/atau
unsur pidana.

B.

Konsep Pemeriksaan Investigatif


Pemeriksaan reguler merupakan pengujian prosedural yang pelaksanaannya dilakukan secara

reguler atau berbasis pada pelaksanaan kerja untuk menemukan indikasi penyimpangan. Bila
ditemukan indikasi penyimpangan maka pemeriksa akan memperluas ruang lingkup pemeriksaan
dan melakukan analisa untuk membuktikan kebenaran indikasi penyimpangan tersebut, dan kegiatan
ini perlu menerapkan keahlian pemeriksaan investigatif. Selain dari hasil pemeriksaan internal BPK,
pemeriksaan investigatif dapat dilaksanakan berdasarkan dari informasi eksternal, contohnya
permintaan instansi yang berwenang atau pengaduan masyarakat.
Secara garis besar langkah langkah pemeriksaan investigatif sebagai berikut:
1.

Menganalisis data yang tersedia. Kegiatan ini dilakukan pada tahapan pra pemeriksaan
investigatif.

2.

Mengembangkan hipotesis. Kegiatan ini dilakukan pada tahapan persiapan pemeriksaan.

3.

Menguji dan memperbaiki hipotesis. Kegiatan ini dilakukan pada tahapan pelaksanaan
pemeriksaan.

Dalam pemeriksaan, pemeriksa harus melakukan penelusuran yang mengarah pada upaya
menemukan fakta serta menghindari pengumpulan fakta dan data yang berlebihan secara prematur.
Penelusuran dapat berdasarkan adanya dugaan, pengaduan, kecurigaan, dan fakta-fakta yang
selanjutnya dianalisa untuk membuktikan kebenaran adanya penyimpangan.
Pemeriksaan investigatif perlu menggali niat pelaku melakukan penyimpangan dan mampu
membuktikan apakah penyimpangan dilakukan di dalam pembukuan atau di luar pembukuan. Secara
teori terdapat empat hal yang dapat menjadi penyebab terjadinya penyimpangan, yaitu motivasi
(motivation), adanya kesempatan (opportunity), rasionalisasi (rationalisation), serta adanya
kemampuan (capability).

C.

Jenis Penyimpangan
Secara skematis Association of Certified Fraud Examiners (ACFE) membahas penyimpangan di

tempat kerja atau penyimpangan terkait dengan pekerjaan/jabatan seseorang (occupational fraud)
dalam fraud tree yang terdiri dari: korupsi (corruption), penyalahgunaan aset (asset misappropriation),
dan salah saji laporan keuangan (fraudulent statements).
1.

Istilah korupsi (corruption) menurut ACFE serupa tetapi tidak sama dengan istilah korupsi dalam
UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001. Istilah korupsi
menurut undang-undang tersebut meliputi 30 Tindak Pidana Korupsi, sedangkan corruption
menurut ACFE adalah empat bentuk yaitu: konflik kepentingan (conflicts of interests), menyuap
(bribery), gratifikasi ilegal (illegal gratuities), dan pemerasan (economic extortion).

2.

Istilah asset misappropriation atau pengambilan aset secara ilegal dalam bahasa seharihari
disebut mencuri. Namun dalam istilah hukum, mengambil aset secara ilegal (tidak sah atau
melawan hukum) yang dilakukan oleh seseorang yang diberi wewenang untuk mengelola atau
mengawasi aset tersebut disebut menggelapkan. Istilah pencurian dalam fraud tree disebut
larceny, yaitu mengambil aset yang dimiliki orang lain dimana si pelaku tidak memiliki wewenang
untuk mengelola atau mengawasi aset tersebut. Istilah penggelapan dalam bahasa Inggrisnya
adalah embezzlement, dimana si pelaku memiliki wewenang untuk mengelola atau mengawasi
aset tersebut tetapi kemudian menyalahgunakan wewenang tersebut untuk menggunakan aset
bagi kepentingan pribadinya.

3.

Istilah fraudulent statements adalah penyimpangan berkaitan dengan penyajian laporan


keuangan. Terdapat dua kelompok dalam

penyimpangan ini. Yang pertama adalah

penyimpangan dalam menyusun laporan keuangan yang terdiri dari: 1) menyajikan aset atau
pendapatan lebih tinggi dari yang sebenarnya, dan 2) menyajikan aset atau pendapatan lebih
rendah dari yang sebenarnya. Yang kedua adalah penyimpangan dalam menyusun laporan non

keuangan secara menyesatkan, yang disajikan lebih bagus dari keadaan yang sebenarnya dan
seringkali merupakan pemalsuan atau pemutarbalikan keadaan. Keduanya bisa tercantum
dalam dokumen yang dipakai untuk keperluan intern maupun ekstern.

D.

Aksioma dan Prinsip Pemeriksaan Investigatif


Beberapa aksioma dalam pemeriksaan investigatif antara lain :

1.

Tidak sama dengan kejahatan lainnya, pada hakekatnya penyimpangan itu disembunyikan
keberadaannya. Perampok bank menggunakan ancaman atau paksaan, sementara pelaku
penyimpangan perbankan, mereka tidak saja mencuri uang bank, tetapi juga menutupi jejak
pencuriannya. Sehingga, tidak ada satu pernyataan dari seseorang bahwa penyimpangan telah
atau tidak terjadi dalam situasi khusus. Cara untuk menyembunyikan penyimpangan amat
banyak dan kadangkadang amat kreatif sehingga setiap orang bahkan seorang pemeriksa
dapat melakukan kecurangan. Karena penyimpangan itu disembunyikan teknik pemeriksaan
yang non konvensional sesuai dengan kewenangan harus digunakan secara optimal, misalnya
dengan menggunakan keahlian komputer forensik (forensic computer).

2.

Terkait dengan perolehan bukti, pemeriksa melakukan pembuktian dua sisi (reverse proof).
Untuk membuktikan bahwa penyimpangan telah terjadi, pemeriksa juga mencoba membuktikan
bahwa penyimpangan tidak terjadi. Demikian juga dalam usaha membuktikan penyimpangan
tidak terjadi, maka pemeriksa juga harus mencoba membuktikan bahwa penyimpangan telah
tejadi.

Karena

melakukan

pembuktian

bersifat

dua

sisi,

teknik

pemeriksaan

dalam

mengumpulkan informasi/data harus diperoleh baik dari pihak yang memberatkan dan pihak
yang meringankan si pelaku penyimpangan.
3.

Untuk mendapatkan bahwa penyimpangan telah terjadi, pemeriksa harus juga berupaya
membuktikan penyimpangan tidak terjadi. Pemeriksaan agar dimulai dengan preposisi bahwa
penyimpangan telah terjadi atau sebaliknya hal itu tidak terjadi. Artinya dalam melakukan
pembuktian seorang pemeriksa agar mempertimbangkan kemungkinan adanya penyangkalan
dari pihak lain.

4.

Penetapan adanya penyimpangan adalah mutlak tanggung jawab pengadilan. Dalam


pelaksanaan pemeriksaan tanggung jawab pemeriksa adalah untuk mengungkap fakta kejadian,
dalam proses penyidikan tanggung jawab aparat penyidik adalah untuk mengumpulkan bukti
untuk menyusun tuntutan; dan dalam proses pengadilan, tanggung jawab hakim adalah untuk
menyatakan bersalah atau tidak bersalahnya terdakwa.
Oleh karena itu, pemeriksa tidak boleh menyatakan pendapat mengenai salah atau tidak

bersalahnya seseorang atau pihak tertentu, pemeriksa harus mengembangkan sebuah teori
bersalah atau tidak bersalah dalam upaya membuktikan teori tersebut. Dengan asumsi bahwa
kasus tersebut akan dilimpahkan ke tingkat litigasi maka dalam melakukan pengujian seorang
pemeriksa harus mempertimbangkan kemungkinan - kemungkinan yang terjadi di pengadilan.

Beberapa prinsip dalam melakukan pemeriksaan yang perlu diperhatikan adalah:


1.

Pemeriksaan harus dilandasi praktik-praktik terbaik yang diakui, dengan cara membandingkan
antar praktik yang ada dengan merujuk kepada yang terbaik pada saat itu. Upaya ini dilakukan
terus menerus untuk mencari solusi terbaik.

2.

Pemeriksaan investigatif adalah upaya mencari kebenaran, dengan memperhatikan keadilan dan
berdasarkan pada ketentuan peraturan perundang undangan yang berlaku.

3.

Kegiatan pemeriksaan termasuk pengumpulan buktibukti dengan prinsip kehatihatian sehingga


bukti tersebut dapat diterima di pengadilan.

4.

Pastikan bahwa seluruh dokumentasi dalam keadaan aman, terlindungi dan diberi indeks dan
jejak pemeriksaan tersedia. Hal ini diperlukan jika digunakan sebagai referensi atas penyidikan
kasus di kemudian hari.

5.

Pastikan bahwa pemeriksa investigatif mengerti hak-hak asasi pegawai dan senantiasa
menghormatinya guna menghindari kemungkinan penuntutan dari yang bersangkutan.

6.

Semakin dekat selang waktu antara terjadinya penyimpangan dengan saat meresponnya, maka
kemungkinan peluang penyimpangan dapat terungkap semakin besar.

7.

Pelaksanaan pemeriksaan harus dapat mengumpulkan faktafakta sehingga bukti yang


diperoleh dapat memberikan kesimpulan sendiri, yaitu telah terjadi penyimpangan dan pihak
yang diindikasikan terlibat teridentifikasi.

8.

Informasi diperoleh dari hasil wawancara dengan saksi akan dipengaruhi oleh kelemahan
manusia. Sepanjang diperlukan konfirmasi kembali dilakukan pada setiap pernyataan dan
keterangan yang diberikan oleh saksi.

9.

Jawaban yang benar akan diperoleh jika pertanyaan yang diajukan cukup jumlahnya dan
pertanyaan tersebut disampaikan kepada orang yang juga cukup jumlahnya.

10. Karena informasi sangat penting dalam pemeriksaan investigatif, maka segala kemungkinan
upaya untuk memperoleh informasi harus dipertimbangkan.

E.

Peraturan Terkait Pemeriksaan Investigatif

1.

Peraturan yang terkait dengan pelaksanaan pemeriksaan investigatif, antara lain :


a.

Pasal 13 UU No. 15 Tahun 2004 yang mengatur kewenangan BPK untuk melakukan
pemeriksaan investigatif.

b.

Pasal 10, Pasal 24 ayat (1), (2), (4) UU No.15 Tahun 2004 jo. Pasal 9 ayat (1) huruf b, c,
dan d UU No. 15 Tahun 2006 yang mengatur kewenangan meminta informasi atau
dokumen.

c.

Pasal 10 huruf d, Pasal 11, Pasal 24 ayat (3) UU No. 15 Tahun 2004 yang mengatur
permintaan keterangan dan pemanggilan.

d.

Pasal 11 huruf c UU No. 15 Tahun 2006 yang mengatur pemberian keterangan ahli tentang
kerugian negara dalam proses peradilan.

e.

Pasal 16 ayat (3) dan Pasal 17 ayat (5) UU No. 15 Tahun 2004 yang mengatur laporan hasil
pemeriksaan.

f.

Pasal 25 ayat (1), (2), dan Pasal 26 ayat (1) UU No. 15 Tahun 2004 yang mengatur tentang
sanksi pidana bagi pemeriksa yang melanggar UU No. 15 Tahun 2004 dan UU No. 15
Tahun 2006.

2.

Peraturan yang terkait tindak pidana khusus antara lain :


a.

UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah
diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001.

b.

UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan dan UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia sebagaimana telah diubah dengan UU No. 3 Tahun 2004.

c.

UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana
diubah beberapa kali terakhir dengan UU No. 28 Tahun 2007.

d.

UU No. 17 Tahun 2006 tentang Kepabeanan.

e.

UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana diubah
dengan UU No. 25 Tahun 2003.

f.
3.

F.

UU No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal.

Peraturan yang terkait dengan proses penegakan hukum, antara lain :


a.

UU No. 8 Tahun 1981 mengenai KUHAP.

b.

UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian.

c.

UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan.

d.

UU No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung.

e.

UU No. 35 Tahun 1999 tentang Ketentuan - Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.

Sasaran dan Ruang Lingkup Pemeriksaan Investigatif


Sasaran pemeriksaan investigatif yang diatur dalam juknis Pemeriksaan Investigatif BPK yaitu

perbuatan melawan hukum yang berindikasi tindak pidana korupsi yang mengakibatkan kerugian
negara/daerah, untuk selanjutnya dalam juknis ini akan disebut sebagai TPKKN.

Ruang lingkup pemeriksaan investigatif adalah TPKKN pada seluruh entitas pemeriksaan BPK,
meliputi pengungkapan fakta dan proses kejadian, sebab dan akibat, dan menentukan pihakpihak
yang diindikasikan terlibat dan atau bertanggung jawab atas TPKKN pada unit organisasi Pemerintah
Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara lainnya, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara,
Badan Layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang mengelola
keuangan negara.

G.

Kewajiban Pemeriksa Investigatif


Kewajiban pemeriksa investigatif BPK adalah melaksanakan pemeriksaan guna mengungkap

ada/tidaknya TPKKN dan apabila dalam pemeriksaan tersebut ditemukan TPKKN, maka pemeriksa
BPK melalui Ketua BPK melaporkan hal tersebut kepada instansi yang berwenang sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan. Kewajiban pemeriksa investigatif antara lain:
1.

Menaati kebijakan dan prosedur pemeriksaan yang telah ditetapkan dalam juknis ini.

2.

Menyampaikan situasi atau permasalahan yang tidak biasa dalam pemeriksaan untuk
mendapatkan arahan dari pejabat BPK terkait.

3.

Selalu menjaga kerahasiaan informasi dan data yang diperoleh selama melakukan pemeriksaan.

H.

Kualitas Pemeriksa Investigatif


Pemeriksa investigatif tak ubahnya seperti seorang akuntan forensik dan menurut Robert J.

Linquist (Fraud Auditing and Forensic Accounting: New Tools and Techniques, hal 48-49), kualitas
yang harus dimiliki oleh seorang akuntan forensik adalah:
1.

Kreatif (Creative). Kemampuan untuk melihat sesuatu, yang orang lain menganggap situasi
tersebut adalah normal. Dengan intepretasinya ia yakin bahwa situasi tersebut adalah tidak
normal.

2.

Rasa ingin tahu (Curious). Keinginan untuk menemukan apa yang sesungguhnya terjadi dalam
rangkaian situasi.

3.

Tak menyerah (Persistance). Kemampuan untuk maju terus pantang mundur walaupun fakta
(seolah-olah) tidak mendukung, ketika dokumen atau informasi sulit diperoleh.

4.

Akal sehat (Common Sense). Kemampuan untuk mempertahankan perspektif dunia nyata, yang
mengerti betul kerasnya kehidupan.

5.

Pengetahuan Bisnis (Bussines Accument). Kemampuan untuk memahami bagaimana bisnis


sesungguhnya berjalan, dan bukan sekedar memahami bagaimana transaksi dicatat.

6.

Percaya diri (Self Confidence). Kemampuan untuk mempercayai diri akan temuannya, sehingga
dapat bertahan pada saat diuji dengan pertanyaan silang dari Jaksa Penuntut Umum dan
Pembela.

7.

Investigatif (Investigative). Kemampuan untuk melakukan investigasi dan bagaimana bukti dapat
diperoleh, selain ahli dalam bidang akuntansi dan audit.

8.

Kompetensi gabungan (Mixed Competency). Memiliki pengetahuan yang memadai sebagai


pemeriksa investigatif seperti akuntansi, hukum, permintaan keterangan, dan teknologi informasi.

I.

Perbedaan Audit Investigatif dan Audit Keuangan


Beberapa perbedaan antara audit investigatif dan audit keuangan dapat dijelaskan sebagai

berikut:
1.

Jika dilihat dari waktu pemeriksaan, audit keuangan dilakukan secara regular dan berulang,
sedangkan audit investigatif dilakukan jika telah terdapat bukti dan atau prediksi yang cukup dan
memadai.

2.

Dari segi lingkup pemeriksaan, lingkup audit keuangan adalah pengujian secara umum
mengenai data keuangan, sedangkan audit investigatif dilakukan khusus untuk menyelesaikan
dugaan adanya fraud.

3.

Secara umum audit keuangan dilakukan untuk memberikan opini terhadap kewajaran penyajian
laporan keuangan yang dibuat oleh suatu entitas, sedangkan tujuan dari audit investigatif adalah
untuk membuktikan apakah kecurangan telah terjadi atau tidak, dan siapa yang bertanggung
jawab.

4.

Dari segi hubungan dengan hukum, proses pemeriksaan keuangan bersifat non adversarial,
yang berarti sifatnya tidak berkaitan dengan proses hukum, sedangkan pemeriksaan investigatif
berupaya untuk mengungkap adanya tindak penyimpangan dan korupsi, sehingga proses
pemeriksaannya bersifat adversarial atau berkaitan dengan proses hukum yang berlaku.

5.

Dilihat dari metodologi yanga digunakan, audit keuangan menggunakan teknik pemeriksaan, di
mana pelaksanaan pemeriksaan secara primer dilakukan dengan pengujian data keuangan.
Sedangkan audit investigatif menggunakan teknik fraud examination, di mana pengujian data
keuangan hanya merupakan sebagian dari teknik pengujian dokumen. Selain itu teknik yang
dilakukan adalah reviu atas data eksternal dan melakukan interviu/wawancara.

6.

Anggapan yang digunakan dalam audit keuangan adalah skeptisme professional yang menjadi
dasar pendekatan dalam melakukan pemeriksaan, sedangkan presumsi dalam audit investigatif
adalah bukti, di mana pendekatan dalam penyelesaian masalah tindak kecurangan adalah
dengan mendapatkan alat bukti untuk membuktikan fraud.

J.

Perbedaan Audit Investigasi dan Audit Forensik


Secara

umum

investigasi, kecuali

tidak

ada

perbedaan

beberapa bagian

yang

mendasar
dapat

antara

audit

membedakan

forensic dengan

audit

keduanya. Perbedaannya

adalah,dasar kewenangan audit invetigasi ada pada organisasi / lembaga / unit audit, misalnya
audit internal, dewan komisaris / komite audit, atau ketentuan lain yang dapat menjadi dasar
pemeriksaan. Sedangkan dasar kewenangan pada audit forensic adalah KUHAP, yakni jika
penyidik menganggap perlu minta bantuan pendapat ahli ( dalam hal ini auditor ). Misalnya untuk
menghitung keruguan yang terjadi, menjadi saksi ahli dan sebagainya.
Dengan demikian pada audit forensic , tanggung jawab ada pada individu auditor yang
bersangkutan ,yang dalam hal ini bertindak sebagai saksi ahli. Yang dipahami disini bahwa
peran auditor ialah sebagai saksi ahli ( yang melakukan penyelidikan ) bukan penyidik yang
mempunyai kewenangan untuk menyampaikan tuntutan hukum.
Secara lebih rinci , perbedaan- perbedaan antara audit investigasi dengan audit forensic
dapat di lihat dari berbagai aspek sebagai berikut :
1.

Tanggungjawab pelaksanaan
Tanggungjawab audit investigasi ada pada unit audit, sedangkan

pada audit forensic

ada pada pribadi auditor.


2.

Tujuan audit
Tujuan audit investigasi ialah menindaklanjuti indikasi / temuan kecurangan pada audit
sebelumnya,atau untuk membuktikan kebenaran brdasarkan pengaduan. Sedangkan audit
forensic

bertujuan membantu penyidik

dalam pencarian bukti bukti

dalam

suatu

kegiatan hokum.
3.

Prosedur dan teknik


Prosedur dan teknik audit investigasi mengacu pada standar audit, sedangkan audit
forensic mengacu standar audit dan kewenangan penyidik .Dengan demikian auditor dapat
menggunakan prosedur / teknik audit yang lebih luas .

4.

Perencanaan dan pelaksanaan


Dalam

merencanakan / melaksanakan audit investigasi auditor menggunakan skeptic

profeionalisme dan azas praduga tak bersalah ( bahkan pendekatan kemitraan ). Dalam
audit forensic penyidik telah memperoleh bukti awal bahwa tersangka telah melakukan
perbuatan melawan hukum.
5.

Tim pelaksana dan persyaratan Auditor

Tim audit investigasi sebaiknya adalah tim yang mengaudit sebelumnya,paling tidak salah
satu auditornya. Sedangkan dalam audit forensic auditor tersebut akan menjadi saksi ahli
di siding pengadilan .
6.

Pelaporan
Laporan audit investigasi menetapkan siapa yang terlibat atau bertanggung jawab, dan
ditandatangani kepala unit audit ( satuan pengawas intern ). Dalam laporan audit forensic
auditor berkewajiban membuat menandatangani keterangan ahli atas nama auditor.

Referensi:
1. Petunjuk Teknis Pemeriksaan Investigatif atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang
Mengakibatkan Kerugian Keuangan Negara/Daerah
2. http://www.slideshare.net/ikhavirginia/audit2-audit-forensik diakses pada 10 Januari 2015
3. https://www.scribd.com/doc/174890622/Beberapa-Perbedaan-Antara-Audit-InvestigasiDengan-Audit-Forensik diakses pada 10 Januari 2015

Anda mungkin juga menyukai