A.
tertentu, periodenya tidak dibatasi, lebih spesifik pada area-area pertanggungjawaban yang diduga
mengandung inefisiensi atau indikasi penyalahgunaan wewenang, dengan hasil audit berupa
rekomendasi untuk ditindaklanjuti bergantung pada derajat
ditemukan. Pemeriksaan investigatif bersifat reaktif, yakni pemeriksaan yang dilakukan sesudah
ditemukannya
indikasi
awal
adanya
penyimpangan.
Pemeriksaan
investigatif
merupakan
pemeriksaan lanjutan dari auditing, yang lebih khusus dan mendalam, serta menuju pada
pengungkapan penyimpangan.
Pemeriksaan
investigatif
merupakan
bagian
dari
akuntansi
forensik,
yaitu
aplikasi
keterampilan/keahlian keuangan/akuntansi dan cara berpikir investigatif untuk memecahkan masalahmasalah hukum. Hal ini memiliki makna bahwa hasil akuntansi forensik dapat dijadikan alat bukti
untuk suatu tuntutan di pengadilan atau layak untuk menjadi perdebatan publik.
Tujuan pemeriksaan investigatif berdasarkan Pasal 13 UU No. 15 Tahun 2004 adalah
pemeriksaan yang dilaksanakan guna mengungkap adanya indikasi kerugian negara/daerah dan/atau
unsur pidana.
B.
reguler atau berbasis pada pelaksanaan kerja untuk menemukan indikasi penyimpangan. Bila
ditemukan indikasi penyimpangan maka pemeriksa akan memperluas ruang lingkup pemeriksaan
dan melakukan analisa untuk membuktikan kebenaran indikasi penyimpangan tersebut, dan kegiatan
ini perlu menerapkan keahlian pemeriksaan investigatif. Selain dari hasil pemeriksaan internal BPK,
pemeriksaan investigatif dapat dilaksanakan berdasarkan dari informasi eksternal, contohnya
permintaan instansi yang berwenang atau pengaduan masyarakat.
Secara garis besar langkah langkah pemeriksaan investigatif sebagai berikut:
1.
Menganalisis data yang tersedia. Kegiatan ini dilakukan pada tahapan pra pemeriksaan
investigatif.
2.
3.
Menguji dan memperbaiki hipotesis. Kegiatan ini dilakukan pada tahapan pelaksanaan
pemeriksaan.
Dalam pemeriksaan, pemeriksa harus melakukan penelusuran yang mengarah pada upaya
menemukan fakta serta menghindari pengumpulan fakta dan data yang berlebihan secara prematur.
Penelusuran dapat berdasarkan adanya dugaan, pengaduan, kecurigaan, dan fakta-fakta yang
selanjutnya dianalisa untuk membuktikan kebenaran adanya penyimpangan.
Pemeriksaan investigatif perlu menggali niat pelaku melakukan penyimpangan dan mampu
membuktikan apakah penyimpangan dilakukan di dalam pembukuan atau di luar pembukuan. Secara
teori terdapat empat hal yang dapat menjadi penyebab terjadinya penyimpangan, yaitu motivasi
(motivation), adanya kesempatan (opportunity), rasionalisasi (rationalisation), serta adanya
kemampuan (capability).
C.
Jenis Penyimpangan
Secara skematis Association of Certified Fraud Examiners (ACFE) membahas penyimpangan di
tempat kerja atau penyimpangan terkait dengan pekerjaan/jabatan seseorang (occupational fraud)
dalam fraud tree yang terdiri dari: korupsi (corruption), penyalahgunaan aset (asset misappropriation),
dan salah saji laporan keuangan (fraudulent statements).
1.
Istilah korupsi (corruption) menurut ACFE serupa tetapi tidak sama dengan istilah korupsi dalam
UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001. Istilah korupsi
menurut undang-undang tersebut meliputi 30 Tindak Pidana Korupsi, sedangkan corruption
menurut ACFE adalah empat bentuk yaitu: konflik kepentingan (conflicts of interests), menyuap
(bribery), gratifikasi ilegal (illegal gratuities), dan pemerasan (economic extortion).
2.
Istilah asset misappropriation atau pengambilan aset secara ilegal dalam bahasa seharihari
disebut mencuri. Namun dalam istilah hukum, mengambil aset secara ilegal (tidak sah atau
melawan hukum) yang dilakukan oleh seseorang yang diberi wewenang untuk mengelola atau
mengawasi aset tersebut disebut menggelapkan. Istilah pencurian dalam fraud tree disebut
larceny, yaitu mengambil aset yang dimiliki orang lain dimana si pelaku tidak memiliki wewenang
untuk mengelola atau mengawasi aset tersebut. Istilah penggelapan dalam bahasa Inggrisnya
adalah embezzlement, dimana si pelaku memiliki wewenang untuk mengelola atau mengawasi
aset tersebut tetapi kemudian menyalahgunakan wewenang tersebut untuk menggunakan aset
bagi kepentingan pribadinya.
3.
penyimpangan dalam menyusun laporan keuangan yang terdiri dari: 1) menyajikan aset atau
pendapatan lebih tinggi dari yang sebenarnya, dan 2) menyajikan aset atau pendapatan lebih
rendah dari yang sebenarnya. Yang kedua adalah penyimpangan dalam menyusun laporan non
keuangan secara menyesatkan, yang disajikan lebih bagus dari keadaan yang sebenarnya dan
seringkali merupakan pemalsuan atau pemutarbalikan keadaan. Keduanya bisa tercantum
dalam dokumen yang dipakai untuk keperluan intern maupun ekstern.
D.
1.
Tidak sama dengan kejahatan lainnya, pada hakekatnya penyimpangan itu disembunyikan
keberadaannya. Perampok bank menggunakan ancaman atau paksaan, sementara pelaku
penyimpangan perbankan, mereka tidak saja mencuri uang bank, tetapi juga menutupi jejak
pencuriannya. Sehingga, tidak ada satu pernyataan dari seseorang bahwa penyimpangan telah
atau tidak terjadi dalam situasi khusus. Cara untuk menyembunyikan penyimpangan amat
banyak dan kadangkadang amat kreatif sehingga setiap orang bahkan seorang pemeriksa
dapat melakukan kecurangan. Karena penyimpangan itu disembunyikan teknik pemeriksaan
yang non konvensional sesuai dengan kewenangan harus digunakan secara optimal, misalnya
dengan menggunakan keahlian komputer forensik (forensic computer).
2.
Terkait dengan perolehan bukti, pemeriksa melakukan pembuktian dua sisi (reverse proof).
Untuk membuktikan bahwa penyimpangan telah terjadi, pemeriksa juga mencoba membuktikan
bahwa penyimpangan tidak terjadi. Demikian juga dalam usaha membuktikan penyimpangan
tidak terjadi, maka pemeriksa juga harus mencoba membuktikan bahwa penyimpangan telah
tejadi.
Karena
melakukan
pembuktian
bersifat
dua
sisi,
teknik
pemeriksaan
dalam
mengumpulkan informasi/data harus diperoleh baik dari pihak yang memberatkan dan pihak
yang meringankan si pelaku penyimpangan.
3.
Untuk mendapatkan bahwa penyimpangan telah terjadi, pemeriksa harus juga berupaya
membuktikan penyimpangan tidak terjadi. Pemeriksaan agar dimulai dengan preposisi bahwa
penyimpangan telah terjadi atau sebaliknya hal itu tidak terjadi. Artinya dalam melakukan
pembuktian seorang pemeriksa agar mempertimbangkan kemungkinan adanya penyangkalan
dari pihak lain.
4.
bersalahnya seseorang atau pihak tertentu, pemeriksa harus mengembangkan sebuah teori
bersalah atau tidak bersalah dalam upaya membuktikan teori tersebut. Dengan asumsi bahwa
kasus tersebut akan dilimpahkan ke tingkat litigasi maka dalam melakukan pengujian seorang
pemeriksa harus mempertimbangkan kemungkinan - kemungkinan yang terjadi di pengadilan.
Pemeriksaan harus dilandasi praktik-praktik terbaik yang diakui, dengan cara membandingkan
antar praktik yang ada dengan merujuk kepada yang terbaik pada saat itu. Upaya ini dilakukan
terus menerus untuk mencari solusi terbaik.
2.
Pemeriksaan investigatif adalah upaya mencari kebenaran, dengan memperhatikan keadilan dan
berdasarkan pada ketentuan peraturan perundang undangan yang berlaku.
3.
4.
Pastikan bahwa seluruh dokumentasi dalam keadaan aman, terlindungi dan diberi indeks dan
jejak pemeriksaan tersedia. Hal ini diperlukan jika digunakan sebagai referensi atas penyidikan
kasus di kemudian hari.
5.
Pastikan bahwa pemeriksa investigatif mengerti hak-hak asasi pegawai dan senantiasa
menghormatinya guna menghindari kemungkinan penuntutan dari yang bersangkutan.
6.
Semakin dekat selang waktu antara terjadinya penyimpangan dengan saat meresponnya, maka
kemungkinan peluang penyimpangan dapat terungkap semakin besar.
7.
8.
Informasi diperoleh dari hasil wawancara dengan saksi akan dipengaruhi oleh kelemahan
manusia. Sepanjang diperlukan konfirmasi kembali dilakukan pada setiap pernyataan dan
keterangan yang diberikan oleh saksi.
9.
Jawaban yang benar akan diperoleh jika pertanyaan yang diajukan cukup jumlahnya dan
pertanyaan tersebut disampaikan kepada orang yang juga cukup jumlahnya.
10. Karena informasi sangat penting dalam pemeriksaan investigatif, maka segala kemungkinan
upaya untuk memperoleh informasi harus dipertimbangkan.
E.
1.
Pasal 13 UU No. 15 Tahun 2004 yang mengatur kewenangan BPK untuk melakukan
pemeriksaan investigatif.
b.
Pasal 10, Pasal 24 ayat (1), (2), (4) UU No.15 Tahun 2004 jo. Pasal 9 ayat (1) huruf b, c,
dan d UU No. 15 Tahun 2006 yang mengatur kewenangan meminta informasi atau
dokumen.
c.
Pasal 10 huruf d, Pasal 11, Pasal 24 ayat (3) UU No. 15 Tahun 2004 yang mengatur
permintaan keterangan dan pemanggilan.
d.
Pasal 11 huruf c UU No. 15 Tahun 2006 yang mengatur pemberian keterangan ahli tentang
kerugian negara dalam proses peradilan.
e.
Pasal 16 ayat (3) dan Pasal 17 ayat (5) UU No. 15 Tahun 2004 yang mengatur laporan hasil
pemeriksaan.
f.
Pasal 25 ayat (1), (2), dan Pasal 26 ayat (1) UU No. 15 Tahun 2004 yang mengatur tentang
sanksi pidana bagi pemeriksa yang melanggar UU No. 15 Tahun 2004 dan UU No. 15
Tahun 2006.
2.
UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah
diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001.
b.
UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan dan UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia sebagaimana telah diubah dengan UU No. 3 Tahun 2004.
c.
UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana
diubah beberapa kali terakhir dengan UU No. 28 Tahun 2007.
d.
e.
UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana diubah
dengan UU No. 25 Tahun 2003.
f.
3.
F.
b.
c.
d.
e.
perbuatan melawan hukum yang berindikasi tindak pidana korupsi yang mengakibatkan kerugian
negara/daerah, untuk selanjutnya dalam juknis ini akan disebut sebagai TPKKN.
Ruang lingkup pemeriksaan investigatif adalah TPKKN pada seluruh entitas pemeriksaan BPK,
meliputi pengungkapan fakta dan proses kejadian, sebab dan akibat, dan menentukan pihakpihak
yang diindikasikan terlibat dan atau bertanggung jawab atas TPKKN pada unit organisasi Pemerintah
Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara lainnya, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara,
Badan Layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang mengelola
keuangan negara.
G.
ada/tidaknya TPKKN dan apabila dalam pemeriksaan tersebut ditemukan TPKKN, maka pemeriksa
BPK melalui Ketua BPK melaporkan hal tersebut kepada instansi yang berwenang sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan. Kewajiban pemeriksa investigatif antara lain:
1.
Menaati kebijakan dan prosedur pemeriksaan yang telah ditetapkan dalam juknis ini.
2.
Menyampaikan situasi atau permasalahan yang tidak biasa dalam pemeriksaan untuk
mendapatkan arahan dari pejabat BPK terkait.
3.
Selalu menjaga kerahasiaan informasi dan data yang diperoleh selama melakukan pemeriksaan.
H.
Linquist (Fraud Auditing and Forensic Accounting: New Tools and Techniques, hal 48-49), kualitas
yang harus dimiliki oleh seorang akuntan forensik adalah:
1.
Kreatif (Creative). Kemampuan untuk melihat sesuatu, yang orang lain menganggap situasi
tersebut adalah normal. Dengan intepretasinya ia yakin bahwa situasi tersebut adalah tidak
normal.
2.
Rasa ingin tahu (Curious). Keinginan untuk menemukan apa yang sesungguhnya terjadi dalam
rangkaian situasi.
3.
Tak menyerah (Persistance). Kemampuan untuk maju terus pantang mundur walaupun fakta
(seolah-olah) tidak mendukung, ketika dokumen atau informasi sulit diperoleh.
4.
Akal sehat (Common Sense). Kemampuan untuk mempertahankan perspektif dunia nyata, yang
mengerti betul kerasnya kehidupan.
5.
6.
Percaya diri (Self Confidence). Kemampuan untuk mempercayai diri akan temuannya, sehingga
dapat bertahan pada saat diuji dengan pertanyaan silang dari Jaksa Penuntut Umum dan
Pembela.
7.
Investigatif (Investigative). Kemampuan untuk melakukan investigasi dan bagaimana bukti dapat
diperoleh, selain ahli dalam bidang akuntansi dan audit.
8.
I.
berikut:
1.
Jika dilihat dari waktu pemeriksaan, audit keuangan dilakukan secara regular dan berulang,
sedangkan audit investigatif dilakukan jika telah terdapat bukti dan atau prediksi yang cukup dan
memadai.
2.
Dari segi lingkup pemeriksaan, lingkup audit keuangan adalah pengujian secara umum
mengenai data keuangan, sedangkan audit investigatif dilakukan khusus untuk menyelesaikan
dugaan adanya fraud.
3.
Secara umum audit keuangan dilakukan untuk memberikan opini terhadap kewajaran penyajian
laporan keuangan yang dibuat oleh suatu entitas, sedangkan tujuan dari audit investigatif adalah
untuk membuktikan apakah kecurangan telah terjadi atau tidak, dan siapa yang bertanggung
jawab.
4.
Dari segi hubungan dengan hukum, proses pemeriksaan keuangan bersifat non adversarial,
yang berarti sifatnya tidak berkaitan dengan proses hukum, sedangkan pemeriksaan investigatif
berupaya untuk mengungkap adanya tindak penyimpangan dan korupsi, sehingga proses
pemeriksaannya bersifat adversarial atau berkaitan dengan proses hukum yang berlaku.
5.
Dilihat dari metodologi yanga digunakan, audit keuangan menggunakan teknik pemeriksaan, di
mana pelaksanaan pemeriksaan secara primer dilakukan dengan pengujian data keuangan.
Sedangkan audit investigatif menggunakan teknik fraud examination, di mana pengujian data
keuangan hanya merupakan sebagian dari teknik pengujian dokumen. Selain itu teknik yang
dilakukan adalah reviu atas data eksternal dan melakukan interviu/wawancara.
6.
Anggapan yang digunakan dalam audit keuangan adalah skeptisme professional yang menjadi
dasar pendekatan dalam melakukan pemeriksaan, sedangkan presumsi dalam audit investigatif
adalah bukti, di mana pendekatan dalam penyelesaian masalah tindak kecurangan adalah
dengan mendapatkan alat bukti untuk membuktikan fraud.
J.
umum
investigasi, kecuali
tidak
ada
perbedaan
beberapa bagian
yang
mendasar
dapat
antara
audit
membedakan
forensic dengan
audit
keduanya. Perbedaannya
adalah,dasar kewenangan audit invetigasi ada pada organisasi / lembaga / unit audit, misalnya
audit internal, dewan komisaris / komite audit, atau ketentuan lain yang dapat menjadi dasar
pemeriksaan. Sedangkan dasar kewenangan pada audit forensic adalah KUHAP, yakni jika
penyidik menganggap perlu minta bantuan pendapat ahli ( dalam hal ini auditor ). Misalnya untuk
menghitung keruguan yang terjadi, menjadi saksi ahli dan sebagainya.
Dengan demikian pada audit forensic , tanggung jawab ada pada individu auditor yang
bersangkutan ,yang dalam hal ini bertindak sebagai saksi ahli. Yang dipahami disini bahwa
peran auditor ialah sebagai saksi ahli ( yang melakukan penyelidikan ) bukan penyidik yang
mempunyai kewenangan untuk menyampaikan tuntutan hukum.
Secara lebih rinci , perbedaan- perbedaan antara audit investigasi dengan audit forensic
dapat di lihat dari berbagai aspek sebagai berikut :
1.
Tanggungjawab pelaksanaan
Tanggungjawab audit investigasi ada pada unit audit, sedangkan
Tujuan audit
Tujuan audit investigasi ialah menindaklanjuti indikasi / temuan kecurangan pada audit
sebelumnya,atau untuk membuktikan kebenaran brdasarkan pengaduan. Sedangkan audit
forensic
dalam
suatu
kegiatan hokum.
3.
4.
profeionalisme dan azas praduga tak bersalah ( bahkan pendekatan kemitraan ). Dalam
audit forensic penyidik telah memperoleh bukti awal bahwa tersangka telah melakukan
perbuatan melawan hukum.
5.
Tim audit investigasi sebaiknya adalah tim yang mengaudit sebelumnya,paling tidak salah
satu auditornya. Sedangkan dalam audit forensic auditor tersebut akan menjadi saksi ahli
di siding pengadilan .
6.
Pelaporan
Laporan audit investigasi menetapkan siapa yang terlibat atau bertanggung jawab, dan
ditandatangani kepala unit audit ( satuan pengawas intern ). Dalam laporan audit forensic
auditor berkewajiban membuat menandatangani keterangan ahli atas nama auditor.
Referensi:
1. Petunjuk Teknis Pemeriksaan Investigatif atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang
Mengakibatkan Kerugian Keuangan Negara/Daerah
2. http://www.slideshare.net/ikhavirginia/audit2-audit-forensik diakses pada 10 Januari 2015
3. https://www.scribd.com/doc/174890622/Beberapa-Perbedaan-Antara-Audit-InvestigasiDengan-Audit-Forensik diakses pada 10 Januari 2015