Anda di halaman 1dari 4

https://tirto.

id/mengapa-mi-instan-kerap-diidentikkan-dengan-kemiskinan-f4oi

Mengapa Mi Instan Kerap Diidentikkan dengan Kemiskinan?


Oleh: Suliana Khusnulkhatimah - 19 September 2020

Mi instan kerap diidentikkan dengan kemiskinan. Belakangan justru masuk restoran-restoran


kelas menengah.
tirto.id - Sejak kelahirannya 62 tahun silam, mi instan telah mengglobal dan begitu dicintai
dunia. Chicken Ramen, mi instan pertama mahakarya Momofuku Ando berhasil mengubah pola
konsumsi masyarakat. Awalnya, mi instan diciptakan untuk mengatasi krisis pangan
berkepanjangan di Jepang setelah kalah pada Perang Dunia II. Namun siapa sangka mi instan
justru melejit? Kepraktisan, sifatnya yang tahan lama, dan kemudahannya menyatu dengan cita
rasa lokal, merupakan tiga kunci utama keberhasilan mi instan merambah pasar global. Di
Indonesia, mi instan menjadi komoditas pangan penting yang dinikmati berbagai kalangan lintas
generasi. Sejak 2015, Indonesia telah tercatat sebagai konsumen mi instan terbesar kedua di
dunia setelah Tiongkok. World Instant Noodles Association (WINA) merangkum sebanyak
12.520 juta porsi mi instan dikonsumsi penduduk Indonesia pada 2019. Di Indonesia, tak ada
waktu khusus untuk menyantap semangkuk mi instan, mulai dari sarapan hingga makan malam,
baik sebagai hidangan utama, lauk maupun sekedar cemilan.
Berbagai merek mi instan siap mengisi perut dengan varian rasanya yang teramat
banyak. Lucunya, di Indonesia pula mi instan acapkali diasosiasikan dengan kemiskinan.
Hargamurah membuat mi instan disebut sebagai makanan penyelamat akhir bulan, hingga
makanan spesial anak rantau. Mari tengok iklan e-commerce terbesar Indonesia yang
diluncurkan Maret lalu. Dalam iklan berdurasi 15 detik itu, mi instan dihadirkan sebagai
‘penyelamat’ kala sang bintang iklan diharuskan berhemat demi membeli gawai impian.
Memang ada produsen mi instan yang menarget kelompok konsumen ekonomi bawah dengan
menawarkan harga yang lebih murah. Wings Food misalnya, setelah sukses dengan Mie Sedaap,
produsen makanan dan minuman siap saji dalam kemasan itu kembali meluncurkan mi instan
dengan merek dagang Mie Suksess pada 2015. Walaupun harganya tak jauh berbeda dengan
para pendahulunya, porsi Mie Suksess jauh lebih banyak: dua keping mi sekaligus dalam satu
kemasan, selaras namanya Mie Suksess Isi Dua. Dari segi pemasaran pun, Wings Food memakai
konser dangdut, genre musik yang sering diidentikkan dengan masyarakat miskin perkotaan.
Kendati demikian, Berita Statistik “Profil Kemiskinan di Indonesia” yang dirilis BPS setiap
tahun, justru mencatatkan hal lain. Alih-alih dikonsumsi untuk menolong perekonomian rumah
tangga miskin, konsumsi mi instan justru bersumbangsih terhadap kemiskinan itu sendiri
setidaknya dalam satu dekade terakhir. Di antara 52 komoditas pangan lain, mi instan selalu
berada di peringkat 4-7 dengan persentase konstribusi yang selalu berkisar di angka 2 persen
setiap tahunnya, kecuali 2010. Pada tahun itu, konstribusi mi instan terhadap garis kemiskinan
mencatatkan angka yang besar yakni 3,42 persen di perkotaan dan 2,61 persen di pedesaan.
Setahun setelahnya, persentase konstribusi mi instan menurun 0,68 persen di perkotaan dan
0,28 persen di pedesaan. Pada Maret 2015, mi instan menyumbang 2,77 persen terhadap garis
kemiskinan di perkotaan, 0,33 persen lebih tinggi dari kawasan pedesaan yakni 2,44 persen.
Angkanya kemudian menurun menjadi masing-masing 2,37 dan 2,13 persen pada September di
tahun yang sama dan kembali naik pada Maret 2016.
Pola naik turun yang terjadi pada bulan Maret dan September ini terus terjadi hingga
2019. Pada September tahun lalu, persentase konstribusi mi terhadap garis kemiskinan berada
di angka 2,32 persen, turun 0,08 persen dari persentase Maret 2019 yang mencapai 2,40
persen. Pola seperti ini lazim terjadi, menurut BPS dalam “Pola Pengeluaran dan Konsumsi
Penduduk Indonesia 2013”, pada kurun waktu Juni-Agustus, penduduk Indonesia lebih
mengalokasikan pengeluaran mereka untuk kebutuhan non-makanan karena dihadapkan
dengan tahun ajaran baru bagi anak sekolah dan hari raya idul fitri. Inilah alasan mengapa
angka persentase konstribusi mi instan terhadap garis kemiskinan selalu menurun setiap
September. Artinya, sumbangan mi instan terhadap kemiskinan sebenarnya tetap tinggi dan
mengalami penurunan baik di perkotaan maupun di pedesaan sejak 2015. Angka konstribusi ini
diperoleh BPS dengan menghitung jumlah nilai pengeluaran dari 52 komoditas pangan yang riil
dikonsumsi oleh 20 persen penduduk yang berada di atas garis kemiskinan sementara.
Hasilnya kemudian disetarakan dengan kebutuhan 2.100 kilokalori per kapita setiap
harinya. Inilah yang kemudian disebut sebagai indikator garis kemiskinan makanan (GKM).
Penghitungan GKM sendiri digunakan BPS bersama garis kemiskinan non-makanan (GKNM)
untuk mengukur garis kemiskinan dengan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar.
Dengan konsep ini, BPS kemudian menerjemahkan kemiskinan seabagai ketidakmampuan
ekonomi suatu rumah tangga dalam memenuhi kebutuhan dasar yang diukur dari sisi
pengeluaran. Pada September 2019, penduduk dalam kategori miskin merupakan penduduk
yang rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan: Rp440.538,00.
Sumbangsih GKM terhadap garis kemiskinan selalu lebih besar daripada GKNM setiap tahun.
Angkanya pun mengalami peningkatan 0,44 persen pada tiga tahun terakhir, dari 73,31 persen
pada 2017 menjadi 73,75 persen atau sekitar Rp324.911,00 pada 2019. Ini artinya, penduduk
miskin lebih banyak mengalokasikan pengeluaran mereka untuk memenuhi kebutuhan pangan.
Untuk dua komoditas teratas yakni beras dan rokok, besarnya angka konstribusi
disebabkan oleh harga kedua komoditas yang tinggi dan cenderung mengalami kenaikan.
Belum lagi laju inflasi yang menghantui kedua komoditas tersebut. Sementara pada kasus mi
instan, konstribusi disebabkan oleh tingginya pengeluaran akibat konsumsi mi instan. Ditambah
jumlah kalori dalam setiap bungkus mi instan yang mencapai 300-500 kcal atau kilokalori.
Menurunnya laju sumbangsih mi instan terhadap kemiskinan juga selaras dengan menurunnya
tren konsumsi mi instan sejak 2015. WINA memperkirakan, permintaan mi instan di Indonesia
berkurang 680 juta porsi dari konsumsi mi instan pada 2015 yang mencapai 13.200 juta porsi.
Tak bisa dipungkiri memang apabila konsumsi mi instan sangat erat kaitannya dengan
kemiskinan. Namun, tingginya permintaan akan mi instan di Indonesia tak hanya dipelopori
alasan ekonomi. Dalam survey perusahaan jasa keuangan terkemuka Credit Suisse terhadap
pasar mi instan “Indonesia Consumer Survey 2017” terlihat mayoritas penikmat mi instan di
Indonesia justru berasal dari kelompok ekonomi menengah dengan kisaran pendapatan Rp5-7
juta per bulan.
Mi instan bahkan mengalahkan konsumsi komoditas pangan lain seperti, air mineral
kemasan, rokok, produk susu dan minuman berkarbonasi pada kelompok pendapatan tersebut.
Pola konsumsi yang sama terlihat dari tingginya konsumsi mi instan di Kepulauan Riau. Pada
2017, Kepulauan Riau mencatatkan diri sebagai provinsi dengan konsumsi mi instan tertinggi di
Indonesia. BPS mencatat, konsumsi mi instan di provinsi yang berbatasan dengan sejumlah
negara tetangga itu mencapai 5,20 bungkus per kapita perbulan. Fakta ini tidak mencerminkan
adanya keterkaitan konsumsi mi instan dengan kemiskinan mengingat Kepulauan Riau sendiri
bukanlah provisi miskin. Persentase tingkat kemiskinan Kepulauan Riau sendiri hanya berkisar
pada angka 6,06 persen pada 2017. Jauh lebih rendah dari persentase rata-rata tingkat
kemiskinan nasional yakni 10,64 persen. Rata-rata pengeluaran per kapita perbulan masyarakat
Kepulauan Riau pada tahun tersebut juga tergolong tinggi yakni Rp1.670.865,00, lebih besar
Rp575.189,00 dari rata-rata nasional yang senilai Rp1.095.676,00.
Tingginya konsumsi mi instan di perkotaan ketimbang wilayah pedesaan juga
mengindikasikan hal serupa. Kawasan perkotaan di Indonesia memiliki tingkat kesejahteraan
yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan pedesaan. Hal demikian terukur dari lebih kecilnya
proporsi pengeluaran untuk makanan pada kelompok masyarakat kota. Proporsi pengeluaran
pangan terhadap total pengeluaran memang menjadi salah satu indikator tingkat kesejahteraan
yang digunakan BPS. Menurut Hukum Engel yang menjadi rujukan dasar BPS, pengeluaran
untuk makanan akan menurun seiring dengan naiknya pendapatan seseorang. Dengan kata
lain, seseorang dengan pendapatan yang besar akan lebih membelanjakan uangnya untuk
komoditas non-makanan dan/atau tabungan. Selain itu, besarnya pengeluaran per kapita yang
dialokasikan untuk makanan daripada non-makanan mengisyaratkan perekonomian seseorang
sangat rentan terdampak oleh kenaikan harga komoditas pangan. Kendati demikian,
perbandingan konsumsi mi instan di perkotaan dan pedesaan juga mungkin disebabkan faktor
lain seperti ketersediaan dan akses terhadap mi instan di masing-masing daerah.
Sejak diperkenalkan pada akhir 1960-an oleh PT Lima Satu Sankyo melalui merek dagang
Supermi, industri mi instan terus tumbuh dan berinovasi. Tak puas hanya dengan
mengembangkan varian rasa baru, para produsen mi instan kini memasuki babak baru:
‘premiumisasi’ mi instan. Inilah cara baru menyasar konsumen menengah atas melalui
tambahan daging ayam, sapi maupun jamur sebagai pelengkap, seperti yang dilakukan Indomie
Real Meet, Tasty dari Wings Food, juga Bakmie Mewah produksi PT Mayora Indah Tbk. Hadir
juga mi instan yang diklaim sehat tanpa bahan pengawet dan MSG. Di tengah persaingan dalam
negeri, merek mi instan asing seperti ramen Korea dan Jepang juga mencoba merambah pasar
Indonesia, salah satunya Samyang. Merek ramen pedas Korea itu bahkan telah mengantongi
sertifikasi halal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk menarget lebih banyak penjualan dari
masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim. Pola konsumsi mi instan juga ‘naik kelas’, dari
produk yang disantap di rumah kini menyentuh meja-meja rumah makan kelas menengah.
Warung-warung kecil di pinggir jalan, kafe juga restoran menengah memasukkan mi instan ke
daftar menu atau bahkan menjadikannya menu andalan. Para juru masak berlomba menyajikan
mi instan dengan ciri khasnya masing-masing, mulai dari disajikan bersama telur, keju, dan
kornet, dibuat pedas sedemikian rupa, sampai diolah menjadi hidangan Jepang seperti sushimi
atau pilihan kuah sukiyaki.
Penulis: Suliana Khusnul khatimah Editor: Windu Jusuf

Anda mungkin juga menyukai