Anda di halaman 1dari 11

A.

Definisi Iman
Iman berasal dari bahasa Arab dari kata dasar amana - yu’minu - imanan, yang berarti beriman
atau percaya. Adapun definisi iman menurut bahasa berarti kepercayaan, keyakinan, ketetapan
atau keteguhan hati. Imam Syafi’i dalam sebuah kitab yang berjudul al-‘Umm mengatakan,
sesungguhnya yang disebut dengan iman adalah suatu ucapan, suatu perbuatan dan suatu niat, di
mana tidak sempurna salah satunya jika tidak bersamaan dengan yang lain. Pilar-pilar keimanan
tersebut terdiri dari enam perkara yang dikenal dengan rukun iman yang wajib dimiliki oleh
setiap muslim. Beriman tanpa mempercayai salah satu dari enam rukun iman tersebut maka
gugurlah keimanannya, sehingga mempercayai dan mengimani keenamnya bersifat wajib dan
tidak bisa ditawar sedikit pun. Enam pilar iman itu antara lain adalah:
1) iman kepada Allah Swt.
2) meyakini adanya rasul-rasul utusan Allah Swt.,
3) mengimani keberadaan malaikat-malaikat Allah Swt.,
4) meyakini dan mengamalkan ajaran-ajaran suci dalam kitab-kitab-Nya,
5) meyakini akan datangnya hari akhir dan
6) mempercayai qada dan qadar Allah Swt. Pokok pilar iman ini sebagaimana yang disebutkan
dalam QS. An- Nisa/4:136 yang artinya sebagai berikut:

Artinya: "Wahai orang-orang yang beriman! Tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya
(Muhammad) dan kepada Kitab (Al-Qur’an) yang diturunkan kepada Rasul-Nya, serta kitab
yang diturunkan sebelumnya. Barangsiapa ingkar kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-
kitab-Nya, rasul-rasulNya, dan hari kemudian, maka sungguh, orang itu telah tersesat sangat
jauh." B. Definisi Syu’abul Iman Menurut Syeikh Muhammad Nawawi bin Umar al-Jawi dalam
kitab Qamiuth-Thughyan ‘ala Manzhumati Syu’abu al-Iman, iman yang terdiri dari enam pilar
seperti tersebut di atas, memiliki beberapa bagian (unsur) dan perilaku yang dapat menambah
amal manusia jika dilakukan semuanya, namun juga dapat mengurangi amal manusia apabila
ditinggalkannya. Terdapat 77 cabang iman, di mana setiap cabang merupakan amalan atau
perbuatan yang harus dilakukan oleh seseorang yang
B. Definisi Syu’abul Iman
Menurut Syeikh Muhammad Nawawi bin Umar al-Jawi dalam kitab Qamiuth-Thughyan ‘ala
Manzhumati Syu’abu al-Iman, iman yang terdiri dari enam pilar seperti tersebut di atas, memiliki
beberapa bagian (unsur) dan perilaku yang dapat menambah amal manusia jika dilakukan
semuanya, namun juga dapat mengurangi amal manusia apabila ditinggalkannya. Terdapat 77
cabang iman, di mana setiap cabang merupakan amalan atau perbuatan yang harus dilakukan
oleh seseorang yang mengaku beriman (mukmin). Tujuh puluh tujuh cabang itulah yang disebut
dengan syu’abul iman. Bilamana 77 amalan tersebut dilakukan seluruhnya, maka telah
sempurnalah imannya, namun apabila ada yang ditinggalkan, maka berkuranglah kesempurnaan
imannya. Jika setiap muslim mampu menghayati dan mengamalkan tiap-tiap cabang iman yang
berjumlah 77 tersebut, maka niscaya ia akan merasakan nikmat dan lezatnya
mengimplementasikan hakikat iman dalam kehidupan.

C. Dalil Naqli tentang Syu’abul Iman Amalan-amalan yang merupakan cabang dari iman
sebagaimana sabda Rasulullah Muhammad Saw:

Yang diriwayatkan oleh Muslim dan Abu Hurairah RA: Artinya: Dari Abu Hurairah ra.berkata,
Rasulullah Saw. bersabda: Iman itu 77 (tujuh puluh tujuh) lebih cabangnya, yang paling utama
adalah mengucapkan laa ilaha illallah, dan yang paling kurang adalah menyingkirkan apa yang
akan menghalangi orang di jalan, dan malu itu salah satu dari cabang iman (HR. Muslim). Sabda
Rasulullah Saw. Yang lain terkait dengan cabang-cabang iman adalah sebagai berikut: Dari Anas
r.a., dari Nabi Saw. beliau bersabda, tiga hal yang barang siapa ia memilikinya, maka ia akan
merasakan manisnya iman. (yaitu) menjadikan Allah Swt. dan Rasul-Nya lebih dicintai dari
selainnya, mencintai (sesuatu) semata-mata karena Allah Swt. dan benci kepada kekufuran,
sebagaimana bencinya ia
jika dilempar ke dalam api neraka. (HR. Bukhari Muslim)
CABANG CABANG IMAN
1. Iman kepada Allah Ta'ala
2. Iman kepada Para Rasul Allah Shallallahu'alaihi wa Sallam Ajma'in
3. Iman kepada Para Malaikat
4. Iman kepada Alqur'an dan semua kitab suci yang diturunkan sebelumnya
5. Iman terhadap qadar baik dan buruk bahwa semuanya dari Allah Ta'ala
6. Iman kepada Hari Akhir
7. Iman kepada hari kebangkitan (Al-Ba'ts) setelah kematian
8. Iman akan digiringnya semua manusia setelah dibangkitkan dari kubur-kubur mereka
kesuatu tempat
9. Iman bahwa tempat kembali orrang-orang mukmin adalah surga, dan tempat kembalinya
orang-orang kafir adalah neraka
10. Hendaklah selalu mencintai Allah Ta'ala
11. Memiliki rasa takut kepada Allah Ta'ala (Khauf Minallah)
12. Selalu penuh harap (raja') kepada Allah Ta'ala
13. Selalu tawakkal kepada Allah Ta'ala
14. Selalu mencintai Nabi Shallallahu'alaihi wa Sallam
15. Mengagungkan Nabi Shallallahu'alaihi wa Sallam, memuliakan dan menghormatinya
16. Berpegang teguh terhadap agamanya walaupun ia rela dilempar ke dalam api ia rela
ketimbang menjadi kafir
17. Mencari ilmu pengetahuan
18. Menyebarkan ilmu pengetahuan
19. Mengagungkan Alqur'an yang mulia dengan mempelajari dan mengajarkannya, dan
lainnya
20. Thahara (bersuci)
21. Menjaga shalat lima waktu
22. Zakat
23. Puasa (Ash-Shiyam)
24. I'tikaf
25. Haji
26. Berjihad
27. Memperkuat ikatan di jalan Allah Ta'ala
28. Tegar dalam menghadapi musuh dan larangan lari dari medan pertempuran
29. Seperlima dari bagian rampasan perang untuk imam dan sisanya untuk yang lainnya
(orang ikut dalam perang tersebut)
30. Memerdekakan budak karena mengharap pahala dari Allah Ta'ala
31. Kafarat wajib untuk sebab jinayah (pembunuhan)
32. Mengimani betapa banyaknya nikmat Allah Ta'ala dan kewajiban mensyukurinya
33. Menjaga lisan dari hal yang tidak berfaedah
34. Menjaga amanah dan kewajiban untuk menyampaikan kepada yang berhak
35. Haram membunuh jiwa dan hukum jinayat terhadap pelakunya
36. Menjaga kehormatan dan kesucian diri
37. Haram mengambil harta orang lain
38. Kewajiban berhati-hati dalam hal makanan dan minuman serta menghindari apa saja
yang tidak halal baginya
39. Diharamkan dan dimakruhkan dari jenis pakaian dan wadah (bejana)
40. Haramnya permainan dan hiburan yang menyimpang dari syariat
41. Meninggalkan dendam, hasad, dan sejenisnya
42. Haram melecehkan dan merendahkan harga diri manusia
43. Beramal dengan ikhlas semata hanya untuk Allah Ta'ala
44. Tidak menyakiti atau mengganggu manusia
45. Ikhlas dalam beramal karena Allah semata, dan tidak riya’
46. Senang dan bahagia dengan kebaikan, sedih dan menyesal dengan keburukan
47. Segera bertaubat ketika berbuat dosa
48. Berkurban : hadyu, idul adh-ha, aqiqah
49. Menaati ulul amri
50. Berpegang teguh pada jamaah
51. Menghukumi diantara manusia dengan adil
52. Amar ma’ruf nahi munkar
53. Tolong-menolong dalam kebaikan dan taqwa
54. Malu
55. Berbakti kepada kedua orang tua
56. Menyambung kekerabatan (silaturrahim)
57. Berakhlaq mulia
58. Berlaku ihsan kepada para budak
59. Budak yang menunaikan kewajibannya terhadap majikannya
60. Menunaikan kewajiban terhadap anak dan isteri
61. Mendekatkan diri kepada ahli din, mencintai mereka, dan menyebarkan salam diantara
mereka
62. Menjawab salam
63. Mengunjungi orang yang sakit
64. Mensholati mayit yang beragama Islam
65. Mendoakan orang yang bersin
66. Menjauhkan diri dari orang-orang kafir dan para pembuat kerusakan, serta bersikap tegas
terhadap mereka
67. Memuliakan tetangga
68. Memuliakan tamu
69. Menutupi kesalahan (dosa) orang lain
70. Sabar terhadap musibah ataupun kelezatan dan kesenangan
71. Zuhud dan tidak panjang angan-angan
72. Ghirah dan Kelemahlembutan
73. Berpaling dari perkara yang sia-sia
74. Berbuat yang terbaik
75. Menyayangi yang lebih muda dan menghormati yang lebih tua
76. Mendamaikan yang bersengketa
77. Mencintai sesuatu untuk saudaranya sebagaimana ia juga mencintainya untuk dirinya
sendiri, dan membenci sesuatu untuk saudaranya sebagaimana ia juga membencinya
untuk dirinya sendiri

Definisi Mahabbah
Secara etimologi, mahabbah adalah bentuk masdar dari kata: ‫ حب‬yang mempunyai arti:
a) membiasakan dan tetap, b) menyukai sesuatu karena punya rasa cinta.
Dalam bahasa Indonesia kata cinta, berarti:
a) suka sekali, sayang sekali, b) kasih sekali, c) ingin sekali, berharap sekali, rindu, makin
ditindas makin terasa betapa rindunya, dan d) susah hati (khawatir) tiada terperikan lagi.
Berdasarkan pengertian di atas, dapat dipahami bahwa mahabbah (cinta) merupakan keinginan
yang sangat kuat terhadap sesuatu melebihi kepada yang lain atau ada perhatian khusus, sehingga
menimbulkan usaha untuk memiliki dan bersatu dengannya, sekalipun dengan pengorbanan.
Sedangkan secara terminologi, terdapat perbedaan defenisi di kalangan ulama.
Pendapat teologi yang dikemukakan oleh Webster bahwa mahabbah berarti; a) keredaan Tuhan
yang diberikan kepada manusia, b) keinginan manusia menyatu dengan Tuhan, dan c) perasaan
berbakti dan bersahabat seseorang kepada yang lainnya. Pengertian tersebut bersifat umum,
sebagaimana yang dipahami masyarakat bahwa ada mahabbah Tuhan kepada manusia dan
sebaliknya, ada mahabbah manusia kepada Tuhan dan sesamanya.
Imam al-Gazāli mengatakan bahwa mahabbah adalah kecenderungan hati kepada sesuatu.
Kecenderungan yang dimaksud oleh al-Gazali adalah kecenderungan kepada Tuhan karena bagi
kaum sufi mahabbah yang sebenarnya bagi mereka hanya mahabbah kepada Tuhan. Hal ini dapat
dilihat dari ucapannya, “Barangsiapa yang mencintai sesuatu tanpa ada kaitannya dengan
mahabbah kepada Tuhan adalah suatu kebodohan dan kesalahan karena hanya Allah yang berhak
dicintai.”
Sementara itu, Harun Nasution (w.1998 M) mengemukakan bahwa mahabbah mempunyai
beberapa pengertian:
Memeluk kepatuhan pada Tuhan dan membenci sifat melawan pada-Nya.
Menyerahkan seluruh diri kepada yang dikasihi.
Mengosongkan hati dari segala-galnya kecuali dari diri yang dikasihi. Yang dimaksud dengan
kekasih ialah Allah.
Pengertian tersebut di atas sesuai dengan tingkatan kaum muslimin dalam pengalamannya
terhadap ajaran agama, tidak semuanya mampu menjalani hidup kesufian, bahkan hanya sedikit
saja yang menjalaninya, yang terbanyak adalah kelompok awam mahabbah-nya termasuk pada
pengertian yang pertama.

Al-Sarraj (W. 377 H) Membagi Mahabbah Kepada Tiga Tingkatan Yaitu:


-Cinta biasa, yaitu selalu mengingat Tuhan dengan zikir, senantiasa menyebut nama-nama Allah
dan memperoleh kesenangan dalm berdialog dengan Tuhan.
-Cinta orang siddiq, yaitu orang yang kenal kepada Tuhan, pada kebesaran-Nya tabir yang
memsahkan diri seseorang dari Tuhan dan denagn demikian dapat melihat rahasia-rahasia pada
Tuhan
-Cinta orang ‘arif, yaitu mengetahui betul Tuhan, yang dilihat dan yang dirasa bukan lagi cinta,
tetapi diri yang dicintai. Akhirnya sifat-sifat yang dicintai masuk ke dalam ciri yang mencintai.
Terlepas dari banyaknya penjelasan mengenai defenisi dan “seluk-beluk” cinta atau mahabbah
tersebut, namun yang pasti, mahabbahpada dasarnya merupakan sebuah sikap operasional.
Dengan kata lain, konsep mahabbah (cinta kepada Allah) adalah salah satu ajaran pokok yang
memungkinkan Islam membawa rahmat bagi seluruh isi alam.
Cinta pada hakikatnya bukanlah sebutan untuk emosi semata-mata yang hanya dipupuk di dalam
batin saja, akan tetapi ia adalah cinta yang memiliki kecenderungan pada kegiatan nyata
sekaligus menjadi sumber keutamaan moral. Hanya saja dalam perjalanan sejarah umat Islam,
term “cinta” atau “mahabbah” telah menjadi salah satu pokok pembicaraan orang-orang sufi.
Mereka menggeser penekanan cinta kea rah idealism emosional yang dibatinkan secara murni.
Sehingga di kalangan sufi, mahabbah adalah satu istilah yang hampir selalu berdampingan
dengan makrifat, baik dalam penempatannya maupun dalam pengertiannya.
Kalau makrifat merupakan tingkat pengetahuan tentang Tuhan melalui hati, sedang mahabbah
adalah merupakan perasaan kedekatan dengan Tuhan melalui cinta. Seluruh jiwa terisi oleh rasa
kasih dan kasih dan cinta kepada Tuhan. Rasa cinta yang tumbuh dari pengetahuan dan
pengenalan kepada Tuhan, sudah sangat jelas dan mendalam, sehingga yang dilihat dan dirasa
bukan cinta, tetapi”diri yang dicintai”.
Oleh karena itu menurut al-Gazali, mahabbah itu adalah manifestasi dari makrifat kepada Tuhan.
Demikian cintanya orang-orang sufi kepada Tuhan, mereka rela mengorbankan dirinya demi
memenuhi keinginan Tuhannya.
Olehnya itu, cinta atau mahabbah pada hakikatnya adalah lupa terhadap kepentingan diri sendiri,
karena mendahulukan kepentingan yang dicintainya yaitu Tuhan. Mahabbah adalah suatu ajaran
tentang cinta atau kecintaan kepada Allah. Tetapi bagaimana bentuk pelaksanaan kecintaan
kepada Allah itu tidak bisa dirumuskan secara pasti karena hal itu menyangkut perasaan dan
penghayatan subyektif tiap sufi.
Dalil Mahabbah
Orang beriman adalah orang yang percaya kepada Allah, Malaikat, Kitab Allah, para Rasul, hari
akhir dan takdir.
Orang beriman menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya karena itu bentuk
aplikasi dari keimanan

wa minan-nāsi may yattakhiżu min dụnillāhi andāday yuḥibbụnahum kaḥubbillāh, wallażīna


āmanū asyaddu ḥubbal lillāhi walau yarallażīna ẓalamū iż yaraunal-'ażāba annal-quwwata lillāhi
jamī'aw wa annallāha syadīdul-'ażāb
"Dan di antara manusia ada orang yang menyembah tuhan selain Allah sebagai tandingan, yang
mereka cintai seperti mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman sangat besar cintanya
kepada Allah. Sekiranya orang-orang yang berbuat zalim itu melihat, ketika mereka melihat azab
(pada hari Kiamat), bahwa kekuatan itu semuanya milik Allah dan bahwa Allah sangat berat
azab-Nya (niscaya mereka menyesal)." (Q.S. Al Baqarah: 165)
Khauf
Khauf adalah perasaan takut terhadap siksa dan keadaan yang tidak mengenakkan karena
kemaksiatan dan dosa yang telah diperbuat. Selain itu, perasaan khauf ini juga bisa timbul karena
merasa lemah kendati yang ditakuti pun hal remeh.
Menurut Isfaroh dalam buku Dear God: Renungan Seorang Hamba yang Lelah, khauf juga dapat
diartikan sebagai kegalauan hati akibat membayangkan sesuatu yang tidak disukai atau
hilangnya sesuatu yang disukainya. Dalam Islam, rasa takut harus bersumber pada Allah. Hanya
Allah yang berhak ditakuti oleh setiap orang yang mengaku beriman kepada-Nya
Dikisahkan dalam buku La Tahzan Innallaha Ma’ana oleh K.h. Choer Affandi, Rabiah al-
Adawiyyah adalah seorang sufi yang banyak menangis dan bersedih. Jika dia mendengar tentang
neraka, maka dia akan jatuh pingsan dalam waktu yang cukup lama.
Rahasia dari khauf tersebut adalah keyakinan bahwa setiap bala selain neraka adalah perkara
mudah, dan setiap bencana selain kejauhan dari Allah adalah perkara yang gampang.
Penyebab Orang Merasa Khauf:
Menjauhi segala larangan yang dibenci Allah.
Karena mengenal Allah (ma’rifatullah)
Karena dosa-dosa yang dilakukan, takut akan adzab Allah
Dalil Tentang Khauf Q.S Al-Hajj 1-2:

“Wahai manusia! Bertakwalah kepada Tuhanmu; sungguh, guncangan (hari) Kiamat itu adalah
suatu (kejadian) yang sangat besar. (Ingatlah) pada hari ketika kamu melihatnya (goncangan itu),
semua perempuan yang menyusui anaknya akan lalai terhadap anak yang disusuinya, dan setiap
perempuan yang hamil akan keguguran kandungannya, dan kamu melihat manusia dalam
keadaan mabuk, padahal sebenarnya mereka tidak mabuk, tetapi azab Allah itu sangat keras.”
Roja
ROJA' menurut bahasa artinya berharap, sedangkan menurut istilah ialah dengan senang hati
menunggu sesuatu yang dicintai setelah syarat-syarat yang mampu diusahakan telah terpenuhi.
Roja' berarti mengharapkan sesuatu dari Allah Subhanahu Wa Ta'ala.

Manfaat sifat ROJA

Roja` yang menjadikan pelakunya terpuji, pertama: seseorang mengharap disertai dengan
amalan taat kepada Allah, di atas cahaya Allah, ia senantiasa mengharap pahalaNya; kedua:
seseorang yang berbuat dosa lalu bertaubat darinya, dan ia senantiasa mengharap ampunan
Allah, kebaikan-Nya dan kemurahan-Nya.

DALIL TENTANG ROJA:

‫َقاُلْو ا َبَّش ْر ٰن َك ِباْلَح ِّق َفاَل َتُك ْن ِّم َن اْلٰق ِنِط ْيَن‬
55. (Mereka) menjawab, “Kami menyampaikan kabar gembira kepadamu dengan benar, maka
janganlah engkau termasuk orang yang berputus asa.”(Al-Hijr: 55)

‫َقاَل َو َم ْن َّيْقَنُط ِم ْن َّرْح َم ِة َر ِّبٖٓه ِااَّل الَّض ۤا ُّلْو َن‬


56. Dia (Ibrahim) berkata, “Tidak ada yang berputus asa dari rahmat Tuhannya, kecuali orang
yang sesat.”(Al-Hijr: 56)
Tawakal

Pengertian Tawakal adalah berserah diri kepada Allah. Dalam agama Islam, pengertian tawakal
berarti berserah diri sepenuhnya kepada Allah dalam menghadapi atau menunggu hasil suatu
pekerjaan, atau menanti akibat dari suatu keadaan

Sikap Tawakal menjadi salah satu penilaian tingkat keimanan seorang muslim. Sebab tak bisa
dipungkiri di berbagai situasi, bertawakal mungkin jadi hal yang terasa berat dilakukan. Karena
sebagai manusia biasa, masih banyak hal yang tanpa disadari membuat kita tergantung pada
orang lain. Meski dalam lubuk hati terdalam, seorang muslim tentu meyakini bahwa Allah SWT
adalah Sang Maha Kuasa.

‫ َّو َيْر ُز ْقُه ِم ْن َح ْيُث اَل َيْح َتِس ُۗب َو َم ْن َّيَتَو َّك ْل‬.
‫َع َلى ِهّٰللا َفُهَو َح ْس ُبٗه ۗ ِاَّن َهّٰللا َباِلُغ َاْم ِر ٖۗه َقْد‬
‫َجَعَل ُهّٰللا ِلُك ِّل َش ْي ٍء َقْد ًر ا‬
3. dan Dia memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya. Dan barangsiapa
bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya
Allah melaksanakan urusan-Nya. Sungguh, Allah telah mengadakan ketentuan bagi setiap
sesuatu. ( QS At-Talaq: 3)

Anda mungkin juga menyukai