2) Lidah; dan
20) Sabar.
24) Tawakkal.
35) Berdoa.
Sumber: http://imanyakin.wordpress.com
Ibarat sebuah pohon, iman itu memiliki cabang-cabang. Dalam salah satu haditsnya, Rasulullah saw
bersabda: “Iman memiliki lebih dari tujuh puluh atau enam puluh cabang. Cabang yang paling tinggi
adalah perkataan 'La ilaha illallah' (tauhid), dan yang paling rendah adalah menyingkirkan duri
(gangguan) dari jalan. Dan malu adalah salah satu cabang iman." [HR. Bukhari, Muslim]
Diantara yang bisa kita pahami dari hadits tersebut adalah, bahwasanya cabang-cabang iman itu amat
banyak. Angka-angka dalam hadits tersebut bisa kita pahami - tentu saja - secara literal, namun bisa
juga kita pahami dengan makna "banyak". Wallahu a'lam. Hal lain yang bisa kita pahami dari hadits
diatas adalah, bahwa cabang-cabang iman itu bertingkat-tingkat. Ada yang tinggi dan ada yang
rendah.
Imam Al-Baihaqi, salah seorang terkemuka, mendaftar 77 cabang iman. Anda tinggal mencocokkan
apakah semuanya ada dalam diri Anda. Ataukah masih banyak yang belum melekat pada diri
Anda. Mari kita lihat apa sajakah ketujuh puluh tujuh cabang tersebut.
http://menaraislam.com/content/view/23/27/
Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah saw bersabda, “Iman itu memiliki tujuh puluh cabang (riwayat lain
tujuh puluh tujuh cabang) dan yang paling utama ialah Laa ilaaha illa Allah, dan yang terendah ialah
mebuang duri dari jalan. Dan malu juga merupakan salah satu cabang iman.” (Ashhabus Sittah).
Banyak ahli hadits yang menulis risalah mengenai cabang iman di antaranya ialah : Abu Abdillah
Halimi rah a dalam Fawaidul Minhaj, Imam Baihaqi rah a dalam Syu’bul Iman, Syaikh Abdul Jalil rah
a dalam Syu’bul Iman, Ishaq bin Qurthubi rah a dalam An Nashaih, dan Imam Abu Hatim rah a
dalam Washful Iman wa Syu’buhu.
Para pensyarah kitab Bukhari rah a menjelaskan serta mengumpulkan ringkasan masalah ini dalam
kitab-kitab tersebut. Walhasil pada hakikatnya iman yang sempurna itu mempunyai 3 (tiga) bagian :
2) Lidah; dan
6) Beriman kepada takdir yang baik maupun buruk, bahwa semua itu dating dari Allah.
7) Beriman kepada hari Kiamat, termasuk siksa dan pertanyaan di dalam kubur, kehidupan
setelah mati, hisab, penimbangan amal, dan menyeberangi shirat.
8) Meyakini akan adanya Syurga dan Insya Allah semua mukmin akan memasukinya.
12) Mencintai Rasulullah saw, termasuk siapa saja yang memuliakan beliau, bershalawat atasnya,
dan mengikuti sunnahnya.
14) Bertaubat, menyesali dosa-dosanya dalam hati disertai janji tidak akan mengulanginya lagi.
18) Syukur.
20) Sabar.
24) Tawakkal.
25) Meninggalkan sifat takabbur dan membanggakan diri, termasuk menundukkan hawa nafsu.
29) Tidak menipu, termasuk tidak berburuk sangka dan tidak merencanakan keburukan atau maker
kepada siapapun.
30) Mengeluarkan segala cinta dunia dari hati, termasuk cinta harta dan pangkat.
35) Berdoa.
40) Bersedekah. Termasuk zakat fitrah, zakat harta, member makan, memuliakan tamu, serta
membebaskan hamba sahaya.
44) Menjaga agama dan meninggalkan rumah untuk berhijrah sementara waktu.
49) Berkorban hewan, termasuk memperhatikan hewan korban yang akan disembelih dan
menjaganya dengan baik.
55) Menunaikan hak keluarga dan sanak kerabat, serta menunaikan hak hamba sahaya.
56) Berbakti dan menunaikan hak orang tua.
59) Taat kepada orang tua atau yang dituakan dalam agama.
72) Menyumbangkan harta pada tempatnya, termasuk menghindari sifat boros dan kikir.
http://imanyakin.wordpress.com/2010/01/18/cabang-iman/
Diantara khazanah klasik yang sangat menarik adalah karya-karya yang memaparkan karakter
manusia-manusia unggul. Tentu saja, yang dimaksud disini adalah unggul menurut ukuran dan
kriteria Islam, bukan peradaban industri yang berpijak pada materialisme semata. Salah satu
karya paling komprehensif di bidang ini adalah al-Jami’ li Syu’abi al-Iman, karya al-Hafizh Abu
Bakr Ahmad bin al-Husain bin ‘Ali bin Musa al-Khasrujardi al-Baihaqi (lh. 384 H, w. 458 H),
atau kita biasa menyebutnya Imam al-Baihaqi saja. Karya ini merupakan salah satu kutub al-
mutun atau literatur induk di bidang hadits, karena isi kandungannya yang sangat luar biasa dan
seringkali memiliki jalur-jalur periwayatan tersendiri yang berbeda dengan karya lain. Dalam
Ilmu Hadits, perbedaan jalur ini sangat penting, karena bisa dipergunakan untuk memeriksa
otentisitas riwayat melalui metode perbandingan.
Judul kitab ini berarti “Kumpulan Cabang-cabang Iman”, yang didasarkan pada hadits riwayat
Bukhari-Muslim yang menyatakan bahwa iman memiliki cabang lebih dari 60, atau lebih dari
70. Imam al-Baihaqi, berbekal penguasaan beliau terhadap tafsir, hadits, atsar, dan ilmu-ilmu
lainnya, kemudian menelusuri cabang-cabang-cabang tersebut dan mengumpulkannya dalam
sebuah karya besar. Dari penelusuran tersebut, beliau menemukan 77 cabang, yang seluruhnya
didukung oleh ayat-ayat Al-Qur’an, hadits, dan atsar. Ketika menyadari kehebatan karya ini,
Ustadz Muhaimin Iqbal, pemimpin Gerai Dinar, pernah menyebutnnya sebagai “77 Habits :
More Then Just Highly Effective People…” (77 Kebiasaan: Lebih dari Sekedar Orang-orang
yang Sangat Efektif). Beliau merujuk pada buku-buku Steven R. Covey yang berjudul The Seven
Habits of Highly Effective People, dan kemudian dilengkapi oleh The 8th Habits.
Hanya saja, bagi pembaca modern – apalagi kaum awam – karya Imam al-Baihaqi ini memiliki
“kekurangan”, yakni ukurannya yang sangat tebal dan metode penyitiran sanad-nya yang sangat
detil. Sebagai gambaran, salah satu edisi modern kitab ini diterbitkan pada tahun 2003 oleh
Maktabah Ar-Rusyd, Riyadh, dalam 14 juz (termasuk indeks), dengan ketebalan total diatas
7.820 halaman. Menurut penghitungan para editornya, kitab ini memuat tidak kurang dari 10.752
riwayat, dari berbagai jenis dan tingkatan. Selain itu, betapa sering beliau menyitir tiga atau
empat baris rangkaian isnad, padahal riwayat yang dinukil hanya beberapa kata saja, atau sama
dengan riwayat sebelumnya. Tentu saja, nilai-nilai agung dalam karya ini seperti berada diatas
menara gading, indah namun tidak membumi. Bahkan, hampir bisa dipastikan, sangat sedikit
diantara kita yang memiliki copy naskahnya, apalagi yang telah tuntas menelaahnya.
Kenyataan ini disadari sepenuhnya oleh al-Qadhi Abul Ma’ali ‘Umar bin Sa’duddin Abul Qasim
‘Abdurrahman bin Abu Hafsh ‘Umar bin Ahmad bin Muhammad al-Qazwini asy-Syafi’i (lh. 653
H, w. 699 H). Maka, beliau pun memburu keberadaan naskah asli kitab tersebut, mengambil
bacaannya dari dua jalur, lalu membawanya ke Damaskus. Setelah tuntas mengkaji kitab yang –
pada masa itu – dicatat dalam 6 jilid besar, beliau bertekad meringkasnya, sebab: “…saya
mendapati (cabang-cang iman) itu terpencar-pencar pada seluruh kitab. Beliau tidak
mengumpulkannya terlebih dahulu pada kata pengantar dan tidak pula pada jilid pertama. Beliau
langsung berfokus untuk merinci penjelasan cabang-cabang iman itu, namun beliau
memencarnya di seluruh kitab. Maka, didorong oleh kebutuhan, saya pun mengumpulkannya dan
meringkasnya sebagai pokok-pokok persoalan. Saya mencukupkan diri dengan menyitir satu
ayat dari Kitabullah, atau satu hadits yang paling shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam. Dalam beberapa cabang iman, terkadang saya menambahkan satu atau beberapa ayat;
atau satu hadits; atau beberapa kalimat; satu atau beberapa kisah; satu atau beberapa bait syair;
yang tidak disebutkan oleh Imam al-Baihaqi. Saya telah membaginya menjadi 77 bab.”
Kitab terakhir ini diberi judul Mukhtashar Syu’abul Iman, dan menjadi intisari luar biasa dari
karya lain yang juga luar biasa. Bayangkan, kitab setebal lebih dari 7.820 halaman berhasil
diringkas menjadi 176 halaman saja (sudah termasuk pengantar, indeks, apendiks, dan daftar isi).
Menurut hemat kami, peringkasan ini samasekali tidak menghilangkan tujuan utama
penyusunannya! Salah satu edisi modern dari karya ini diterbitkan oleh Dar Ibnu Katsir,
Damaskus-Beirut, tahun 1985, yang diedit dan di-takhrij oleh Syaikh ‘Abdul Qadir al-Arna’uth.
Tentu saja, kitab Mukhtashar ini tidak lagi memuat deretan-deretan sanad yang panjang, namun
cukup disitir nama Sahabat dan sumber aslinya dari kitab induk hadits tertentu. Syaikh al-
Arna’uth kemudian merujukkan lokasi dari sumber-sumber asli tersebut, dan menyebutkan status
sanad-nya, sehingga nilai ilmiahnya semakin tinggi tanpa harus bertele-tele mengikuti analisis
para Ahli Hadits. Tentu saja, kitab ini sangat cocok bagi kita kaum awam yang terkadang
“merasa tidak punya cukup waktu” untuk meng-upgrade keimanan kita dengan menambah ilmu
dari sumber-sumber terpercaya.
Menurut hemat kami, daripada membaca ulasan karakter manusia unggul yang bersumber dari
penulis-penulis Barat, seribu kali jauh lebih baik kita menelaah karya ini. Ada banyak faidah
sekaligus, seperti mendekatkan dengan Kitabullah, karena di dalamnya banyak disitir ayat-ayat
Al-Qur’an; kemudian mendengarkan wejangan Rasulullah melalui hadits-hadits beliau.
Membaca ayat dan menelaah hadits jelas bernilai ibadah dan mengandung dzikir, sesuatu yang
tidak akan kita dapatkan dari karya-karya berbasis psikologi materialis-sekuler yang seringkali
anti-tuhan, menolak metafisika, dan tidak sedikit pun berbicara tentang akhirat. Karya ini juga
disertai syair, kisah dan kalimat hikmah dari para ulama’ yang mengabdikan hidupnya untuk
Allah, bukan manusia-manusia yang menyembah dunia dan menjadi budak materi.
Mengapa kami menilai karya ini sangat bagus untuk ditelaah? Sebab, selain ukurannya yang
ringkas, maka seperti dinyatakan al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuiddin, bahwa diantara metode
terbaik untuk menguatkan iman adalah membaca Al-Qur’an dan tafsirnya, mendengar hadits dan
maknanya, menunaikan tugas-tugas ibadah, dan bergaul atau mengenal kisah orang-orang shalih.
Kisah dan kata-kata orang yang tidak beriman kepada Allah, apalagi yang memusuhi-Nya, tentu
tidak akan steril dari keyakinan mereka. Bukankah keyakinan yang melatari setiap hati pasti
terefleksikan melalui kata-kata dan tindakan pemiliknya? Nah, kitab ini telah memuat tiga
diantaranya: ayat, hadits, dan kisah.
Sebelum menutup ulasan ringkas ini, kami pikir ada baiknya jika 77 cabang iman tersebut disitir
sekarang, sebagai gambaran ringkas. Siapa tahu, sebagian besar sudah kita laksanakan, sehingga
kita semakin termotivasi untuk menggenapkan cabang-cabang lainnya, dan kemudian diberkahi
menjadi manusia yang berkarakter unggul, dengan izin Allah.
5. Beriman kepada qadar (ketentuan) dari Allah, yang baik maupun yang buruk
8. Beriman bahwa manusia akan dikumpulkan (di mahsyar) setelah mereka dibangkitkan, sampai
mereka dipanggil satu per satu menghadap Allah
9. Beriman bahwa tempat tinggal kaum beriman di akhirat adalah surga, sementara tempat
tinggal kaum kafir adalah neraka
11. Beriman kepada wajibnya khauf (merasa takut) kepada Allah ta’ala
14. Beriman kepada wajibnya mencintai Nabi shalla-llahu ‘alaihi wa aalihi wasallam
15. Beriman kepada wajibnya mengagungkan, menghormati dan memuliakan Nabi shalla-llahu
‘alaihi wa aalihi wasallam
16. Tidak rela melepas agamanya, sampai tingkatan lebih suka dilemparkan ke dalam api
daripada menjadi kafir
20. Bersuci
21. Shalat lima waktu
22. Zakat
23. Puasa
24. I’tikaf
25. Hajji
26. Jihad
28. Teguh menghadapi musuh dan tidak melarikan diri (desersi) dari medan perang
29. Bagi yang mendapat ghanimah, menyerahkan seperlima darinya untuk imam dan para
pejabat yang ditunjuk untuk mengumpulkannya
31. Menunaikan kaffarat yang wajib bagi yang melanggar hukum jinayat
37. Mengharamkan kemaluan dari hal terlarang dan berusaha mejaga kehormatan diri
39. Wajib bersikap wara’ dalam hal makanan, minuman, dan menjauhi hal-hal yang tidak
dihalalkan
40. Tidak mengenakan pakaian atau menggunakan wadah-wadah yang haram atau makruh
41. Mengharamkan permainan dan kegiatan selingan yang bertentangan dengan syari’at
42. Berhemat dalam membelanjakan harta dan mengharamkan makan harta secara batil
44. Mengharamkan merusak kehormatan orang lain dan tidak menodainya dengan cara apapun
45. Mengikhlaskan amal semata-mata untuk Allah dan tidak riya’
48. Berkurban, termasuh kurban dalam rangkaian ibadah haji, sembelihan kurban di luar ibadah
haji, dan akikah
50. Berpegang teguh terhadap apa yang dipegangi oleh jamaah kaum muslimin
54. Malu
61. Bergaul akrab dengan orang yang taat beragama, mencintai mereka, menebarkan salam
kepada mereka, berjabat tangan dengan mereka, dan beragam tindakan lain yang dapat
mempererat jalinan cinta kasih dengan mereka
66. Menjauhi orang-orang kafir dan orang-orang yang suka menebar kerusakan, serta bersikap
keras kepada mereka
70. Bersabar menghadapi musibah dan segala yang menarik bagi jiwa, yakni kelezatan dan
syahwat
75. Menyayangi yang lebih kecil dan menghormati yang lebih tua
77. Mengharap agar saudaranya sesama muslim memperoleh sesuatu yang dia pun sangat
mengharapkannya untuk dirinya sendiri, juga membenci jika saudaranya mendapat sesuatu yang
ia sangat membencinya jika menimpa dirinya sendiri
Inilah 77 cabang iman yang dipaparkan dalam kitab Mukhtashar Syu’abul Iman. Semoga Allah
membimbing kita untuk mengamalkannya. Amin. Wallahu a’lam.
https://gatot9budi.wordpress.com/2013/03/03/77-cabang-iman-mnt-albaihaqi/