Anda di halaman 1dari 16

FILSAFAT DAKWAH

Hakikat Manusia Sebagai Objek Dakwah


Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah filsafat dakwah
Dosen Pengampu: Drs. Study Rizal, LK

Disusun Oleh:

Kelompok 10

Manajemen Dakwah/ 3. B

Akmal Ghifari 11220530000049


Baihaqi Hakim 11220530000051
Fiki Al-Malik 11220530000008

PROGRAM STUDI MANAJEMEN DAKWAH


FAKULTAS ILMU DAKWAH ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2023 M/1444 H
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT. atas berkat serta karunia-Nya
kelompok kami mampu menuntaskan makalah yang berjudul “Hakikat Manusia Sebagai
Objek Dakwah” ini dengan baik. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada
Rasulullah SAW. Kepada para keluarganya, sahabat, dan kepada seluruh pengikutnya hingga
akhir hayat nanti.

Kami ucapkan terima kasih pada Bapak Drs. Study Rizal, LK, M.A. selaku
dosen mata kuliah Filsafat Dakwah yang telah membimbing kami pada perkuliahan ini.
Serta kepada seluruh rekan yang telah mendukung terselesaikannya makalah ini. Kami
menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari kata sempurna.

Oleh karena itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran upaya kedepannya
kami bisa menyusun makalah yang lebih baik lagi. Semoga makalah ini bisa menjadi bahan
pembelajaran, wawasan serta bermanfaat untuk meningkatkan pengetahuan kita.

Tangerang, 08 November 2023

Penyusun, kelompok 10

ii
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Konteks Manusia sebagai objek dakwah merupakan konsep yang sangat mendasar
dalam Islam. Konsep ini berasal dari pemahaman umat Islam tentang nilai dan peran manusia
di dunia serta tujuan akhir keberadaannya. Untuk memahami konteks hakikat manusia sebagai
objek dakwah, kita harus memperhatikan beberapa faktor penting yang membentuk
pemahaman tersebut dalam konteks Islam:
1. Penciptaan Manusia Manusia dalam Islam: Dalam Islam, manusia dianggap ciptaan
Allah SWT yang sangat istimewa. Allah menciptakan manusia dengan tangannya
sendiri dan meniupkan ruh ke dalamnya (QS. Sad: -72). Kehadiran ruh inilah yang
memberikan manusia akal, nafs (jiwa) dan fitrah (niat baik) yang membedakannya
dengan makhluk lain. Kehormatan ini menjadikan manusia sebagai obyek dakwah yang
sangat berharga.
2. Peranan manusia sebagai raja : Manusia dalam Islam dianggap sebagai raja Allah di
muka bumi. Artinya manusia adalah wakil Tuhan yang bertanggung jawab menjaga
dan merawat alam semesta menurut tata cara Islam. Sebagai Khalifah, manusia
mempunyai tanggung jawab moral untuk menjaga keadilan, kebaikan, dan keberkahan
di muka bumi.
3. Tujuan akhir manusia : Tujuan akhir keberadaan manusia dalam Islam adalah
beribadah kepada Allah. Manusia diciptakan untuk mengenal dan beribadah kepada
Tuhan dengan segenap hatinya. Dakwah merupakan salah satu alat yang digunakan
untuk mencapai tujuan mengajak manusia kepada keimanan dan ibadah yang benar
kepada Allah.
4. Ajaran dan Amalan Islam : Islam mempunyai ajaran dan nilai-nilai yang wajib
dipahami, diterima dan diamalkan oleh manusia agar dapat mencapai keselamatan
dunia dan akhirat. Oleh karena itu, menyebarkan pesan-pesan Islam dan mengajak
masyarakat untuk memahaminya adalah kewajiban umat Islam.
5. Konsep Dakwah : Dakwah dalam Islam adalah upaya menyampaikan pesan-pesan
keagamaan kepada individu atau masyarakat dengan tujuan untuk mengarahkannya ke
jalan yang benar, yaitu jalan Allah.

iii
Sifat manusia sebagai subjek dakwah menyoroti pentingnya perannya sebagai penerima
pesan dakwah, sekaligus penyebar pesan tersebut kepada orang lain. Dalam konteks ini
kita dapat melihat bahwa pemahaman hakikat manusia sebagai objek dakwah merupakan
hasil pemahaman umat Islam terhadap manusia, peranannya di dunia, dan tujuan akhir
keberadaannya. Dalam konteks ini, dakwah menjadi sarana yang sangat penting untuk
membimbing umat ke jalan yang benar sesuai ajaran Islam.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Islam memandang fitrah manusia sebagai objek dakwah dan apa
landasan teologisnya?
2. Apa peran manusia sebagai subjek dakwah dalam menyebarkan risalah Islam
kepada masyarakat?
3. Bagaimana cara dan strategi yang efektif untuk menyampaikan risalah dakwah
kepada masyarakat yang menjadi sasaran dakwah?

C. Tujuan Penelitian
1. Memperdalam pemahaman tentang konsep hakikat manusia yang menjadi subjek
dakwah dalam Islam, serta menggali landasan teologis di baliknya.
2. Menganalisis peran manusia sebagai subjek dakwah dalam menyampaikan risalah
Islam kepada individu dan masyarakat.
3. Mengidentifikasi metode dan strategi yang efektif dalam menyampaikan risalah
dakwah kepada manusia sebagai subjek dakwah.

iv
BAB II

PEMBAHASAN

A. Hakikat Manusia Dalam Islam

Hakikat manusia dalam Islam adalah konsep sentral yang menjadikan manusia
sebagai objek formal dan material dalam setiap disiplin ilmu sosial kemanusiaan. Konsep
ini didasarkan pada pemahaman tentang manusia yang diberikan oleh Allah melalui al-
Qur'an. Dalam al-Qur'an, terdapat empat kata yang digunakan untuk menggambarkan
manusia, yaitu al-Insan, al-Basyar, Bani Adam, Dzurriyat Adam, dan al-Nas.
Para ahli kerohanian Islam, seperti para ahli ilmu tasawuf, memandang manusia
bukan hanya sebagai makhluk lahir yang berakal, tetapi juga sebagai seorang hamba Allah
Ta'ala yang memiliki dua dimensi, yaitu dimensi lahiriyah dan batiniah. Dalam hal ini,
manusia dianggap sebagai makhluk yang paling sempurna dan sebaik-baik ciptaan yang
dilengkapi dengan akal pikiran.

1. Manusia Sebagai Khalifah


Dalam konsep Islam, manusia dipandang sebagai khalifah di bumi, yaitu
sebagai wakil, pengganti, atau duta Tuhan di muka bumi. Sebagai khalifah, manusia
memiliki peran dan tugasnya tersendiri. Berikut adalah beberapa tugas manusia
sebagai khalifah di muka bumi:
a. Menjaga keadilan dalam segala aspek kehidupan, termasuk dalam
hubungan sosial, ekonomi, dan politik.
b. Menjadi pemimpin dalam memutuskan perkara secara adil di antara
semua makhluk-Nya.
c. Menjaga lingkungan dan alam semesta yang ada di bumi.
d. Beribadah dan mengenal Allah SWT.

Dalam menjalankan tugasnya sebagai khalifah, manusia harus memiliki


kemampuan mengelola alam semesta sesuai amanat yang diemban. Allah SWT
telah menetapkan visi manusia sebagai khalifah di muka bumi sebelum
menciptakan alam semesta dan isinya. Tugas manusia sebagai khalifah di muka
bumi dapat dimaknai secara luas dengan interpretasi yang berbeda, seperti tugas

5
manusia dalam memimpin dirinya, keluarga, masyarakat, dan negara.1

2. Manusia Sebagai Makhluk yang Mulia


Manusia adalah makhluk yang paling mulia dalam pandangan Islam Dalam
pandangan Islam, manusia dianggap sebagai makhluk paling mulia di antara
ciptaan Tuhan. Konsep manusia sebagai makhluk mulia mempunyai landasan
teologis, moral dan etika yang mendalam dalam ajaran Islam.
Hakikat manusia sebagai makhluk mulia dalam Islam diantaranya:
a. Penciptaan Manusia Dalam Islam, manusia dianggap sebagai makhluk yang
diberkahi Tuhan dan diciptakan dengan sifat-sifat yang sangat istimewa.
Allah menciptakan manusia dengan tangannya sendiri dan meniupkan ruh
ke dalamnya (QS. Sad: 72). Dalam penciptaan ini, Allah menunjukkan
bahwa manusia menempati tempat yang mulia dan istimewa di antara
makhluk-Nya.
b. Kehormatan manusia Kehormatan manusia dalam Islam berkaitan dengan
penciptaannya. Manusia dikaruniai akal (aqliyah), nafs (jiwa), dan fitrah
(niat baik), sehingga menjadikannya unik di antara makhluk Allah. Akal
memungkinkan manusia berpikir, merenung dan memahami ajaran Tuhan.
Nafs mewakili aspek spiritual dan moral yang membedakan manusia
dengan makhluk hidup lainnya. Fitrah menginspirasi manusia untuk
mengenal dan mencari Allah.
c. Tanggung jawab moral manusia Karena kedudukannya yang mulia, laki-
laki muslim mempunyai tanggung jawab moral yang besar. Manusia
mempunyai akal dan kebebasan berpikir dan memilih antara yang baik dan
yang jahat. Mereka mempunyai kemampuan memahami ajaran Tuhan dan
berperilaku sesuai dengan nilai-nilai agama. Tanggung jawab moral ini
meliputi beribadah kepada Allah, berbuat adil, dan beramal shaleh dalam
kehidupan sehari-hari.
d. Wujudkan Potensi Diri Islam mengajarkan bahwa manusia mempunyai
potensi yang luar biasa untuk mencapai kesempurnaan dunia dan akhirat.
Potensi tersebut meliputi pengembangan akal, pertumbuhan spiritual, dan

1
Rahmat Ilyas, “Manusia Sebagai Khalifah Dalam Perspektif Islam”, Jurnal Muwa’izh, Vol. 1, No. 7. 2016.
Hal. 178

6
pencapaian kebaikan moral. Manusia terpanggil untuk mengupayakan
perbaikan diri dan menjalani kehidupan yang bermakna, mencapai
keselamatan dunia dan akhirat.
e. Harga diri dan kesetaraan Islam menekankan bahwa semua manusia
mempunyai martabat yang sama di hadapan Allah. Tidak ada perbedaan
berdasarkan ras, warna kulit, etnis atau status sosial. Semua orang dianggap
saudara seiman. Konsep kesetaraan ini ditekankan dalam ajaran Islam
untuk menghindari diskriminasi dan ketidakadilan.
f. Melindungi Hak Asasi Manusia Hak Asasi Manusia dalam Islam dianggap
sakral. Islam menjamin hak-hak individu, seperti hak untuk hidup,
kebebasan berpikir, hak milik, dan keadilan. Perlindungan hak asasi
manusia merupakan salah satu nilai fundamental ajaran Islam. Oleh karena
itu, dalam pandangan Islam, manusia adalah makhluk mulia yang
mempunyai kecerdasan, fitrah dan kodrat yang unik.

Hakikat manusia sebagai makhluk yang mulia memerlukan tanggung jawab


moral, pengembangan potensi dirinya dan perlindungan hak asasi manusia yang kuat.
Dalam Islam, manusia harus hidup sesuai dengan ajaran Allah dan mencapai kebaikan
serta keamanan di dunia dan akhirat.2

B. Manusia Sebagai Sasaran Dakwah


Manusia sebagai sasaran dakwah adalah konsep yang penting dalam Islam.
Dakwah adalah upaya untuk menyampaikan ajaran agama kepada orang lain dengan
tujuan agar mereka memahami dan mengikuti ajaran tersebut. Dalam konteks ini,
manusia yang belum mengenal atau belum mengikuti ajaran Islam dianggap sebagai
sasaran dakwah.
Dalam berdakwah, seorang muslim seharusnya tidak memandang pemeluk
agama lain sebagai musuh, tetapi sebagai sasaran yang perlu diajak untuk memahami
dan mengikuti ajaran Islam. Dakwah yang berhasil membutuhkan pendekatan yang
lembut, simpatik, dan menarik. Seorang dai harus mampu mengubah pandangan keliru
tentang agama Islam dan menunjukkan kebaikan ajaran tersebut.

2
Abdu Rahmat Rosyadi, Biografi Manusia Sebagai Wakil Tuhan di Planet Bumi, (Bogor, Uika Press: 2017),
Hal. 31

7
Namun, dakwah tidak selalu berhasil dilakukan dalam waktu singkat.
Mengubah pandangan dan keyakinan seseorang, terutama dalam jumlah besar,
memerlukan waktu yang lama. Selain itu, ada kemungkinan bahwa orang yang diajak
akan menolak dan bahkan memusuhi. Dalam menyampaikan kebenaran, tidak boleh
menggunakan cara kekerasan atau berbalik memusuhi.
Dalam konteks ini, manusia sebagai makhluk individu, sosial, dan khalifah
memiliki peran penting dalam menjalankan dakwah. Sebagai makhluk individu,
manusia perlu menjaga dan mempertahankan harkat dan martabatnya, serta memenuhi
hak-hak dasarnya. Sebagai makhluk sosial, manusia membutuhkan interaksi dengan
manusia lainnya, gotong royong, mentaati peraturan, tegur sapa, memiliki rasa empati
dan simpati, serta membantu orang lain. Sebagai khalifah, manusia memiliki tanggung
jawab untuk menjaga bumi dan segala isinya, serta menggunakan potensi yang
diberikan oleh Allah dengan baik. Dalam konteks dakwah, peran manusia sebagai
khalifah adalah untuk menyampaikan ajaran agama kepada orang lain dengan cara yang
baik dan benar.

1. Tujuan Dakwah
Tujuan dakwah sebagaimana dikemukakan oleh Ahmad Ghallusy
adalah membimbing orang menuju kebaikan hingga mencapai kebahagiaan.
Sementara itu, Ra'uf Syalaby mengatakan bahwa tujuan dakwah adalah untuk
mempersatukan Allah SWT, menundukkan manusia dihadapan-Nya dan mawas
diri terhadap apa yang telah dilakukan.
Tujuan dakwah sebagaimana dikemukakan oleh Ahmad Ghallusy dan
Ra 'uf Syalaby dapat disajikan dalam tiga bentuk, yaitu:
a. Tujuan Praktis
Tujuan Praktis adalah tujuan awal yaitu untuk menyelamatkan umat
manusia dari lembah kegelapan dan membawa umat manusia ke tempat
terang, dari tersesat menuju jalan lurus, dari lembah kemusyrikan dengan
segala bentuk kesengsaraan menuju kepada tauhid yang menjanjikan
kebahagiaan.
b. Tujuan Realistis
Tujuan sebenarnya adalah tujuan antara yaitu pelaksanaan seluruh ajaran
Islam yang benar dan berlandaskan keimanan, ditujukan untuk

8
mewujudkan masyarakat yang menghargai kehidupan beragama melalui
penerapan penuh ajaran Islam secara utuh dan menyeluruh.
c. Tujuan Idealistis
Tujuan idealistis adalah tujuan akhir pelaksanaan dakwah, yaitu
terwujudnya masyarakat muslim yang diidam-idamkan dalam suatu tatanan
hidup berbangsa dan bernegara, adil, makmur, damai, dan sejahtera di
bawah limpahan rahmat, karunia dan ampunan Allah SWT.
Selain itu, dakwah juga bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup
dan kebahagiaan manusia dengan membimbing mereka untuk hidup dengan
prinsip-prinsip moral dan etika yang tinggi. Dengan demikian, tujuan utama
dakwah adalah untuk memberikan arahan dan petunjuk kepada manusia agar
mereka dapat mencapai pemahaman yang benar tentang Islam, hidup dengan
nilai-nilai yang baik, dan mencapai keselamatan dunia dan akhirat.3

2. Peran Manusia Dalam Dakwah


Peran manusia dalam dakwah sangatlah penting dalam Islam. Manusia
mempunyai tanggung jawab moral dan agama untuk menularkan ajaran Islam
kepada sesama manusia. Mereka adalah utusan Allah yang mengemban tugas
suci menyebarkan kebenaran, membimbing orang lain ke jalan yang benar dan
mengajak mereka menuju kesadaran Allah.
Orang yang berperan dalam dakwah harus berperilaku sebagai teladan
yang baik dan mencerminkan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari. Mereka
juga bertanggung jawab untuk memahami ajaran Islam sehingga dapat
menjelaskan keyakinan dan praktik Islam dengan jelas dan akurat.
Selain itu, mereka yang berperan sebagai dakwah harus bersabar dan
bijaksana dalam berinteraksi dengan orang lain, terutama ketika menghadapi
tantangan, keraguan, atau penolakan. Oleh karena itu peran umat dalam dakwah
adalah sebagai agen penyampai risalah Islam, dan sebagai teladan yang
memberikan inspirasi bagi orang lain untuk mengetahui dan menerima ajaran
Islam.4

3
Fahrurrozi, “Ilmu Dakwah”, (Jakarta, Prenada Media Group: 2019), Hal. 35
4
Meroni, “Konsep Dakwah Humanis Menurut KH. Ahmad Mustofa Bisri Dalam Buku Membuka Pintu Langit”,
Juurnal Skripsi, 2018, Hal. 36

9
C. Tanggung Jawab Dalam Dakwah
Tanggung jawab dakwah merupakan kewajiban yang harus diemban oleh setiap
individu dalam mengemban misi menyebarkan ajaran agama kepada masyarakat.
Dakwah tidak hanya sekedar menyampaikan informasi tentang kebenaran ajaran agama
saja, namun juga menyangkut aspek moral dan etika yang tinggi.
Pertama, tanggung jawab dakwah meliputi pemahaman mendalam terhadap
ajaran agama yang dianut, sehingga seorang khatib atau khatib dapat menyampaikan
informasi secara akurat dan konsisten. Selain itu, tanggung jawab dakwah juga
mencakup kemampuan komunikasi yang baik. Seorang misionaris harus memiliki
kemampuan berbicara dan mendengarkan agar pesan yang disampaikannya dapat
dipahami dengan jelas oleh masyarakat.
Selain itu, keberanian dan keteguhan dalam menyebarkan ajaran agama juga
merupakan bagian dari tanggung jawab dakwah, tidak meninggalkan sikap menghargai
perbedaan pendapat dan keyakinan. Selain aspek komunikasi, tanggung jawab dakwah
juga menyangkut sikap dan perilaku yang mencerminkan ajaran agama yang dianutnya.
Khatib harus menjadi teladan yang baik bagi masyarakat dalam kehidupan sehari-hari,
menunjukkan keselarasan antara perkataan dan perbuatan.
Kesadaran akan dampak sosial dari dakwah juga menjadi bagian penting dari
tanggung jawab ini, dimana seorang dakwah harus memahami bahwa dakwah bukan
hanya untuk kebaikan dirinya sendiri tetapi juga untuk kebaikan bersama dan
pembangunan masyarakat yang lebih baik. Dengan demikian, tanggung jawab dakwah
tidak hanya sebatas menyampaikan ajaran agama saja, tetapi mencakup pemahaman
yang mendalam, kemampuan komunikasi yang baik, sikap etis yang tinggi dan
kesadaran akan dampak masyarakat terhadap dakwah.
Dengan memahami dan menjalankan tanggung jawab tersebut, maka
pengkhotbah dapat menjalankan misinya secara efektif dan memberikan kontribusi
positif dalam membangun masyarakat yang lebih baik.5

1. Kesadaran akan Tanggung Jawab Dakwah


Kesadaran akan tanggung jawab dakwah merupakan landasan penting bagi
setiap individu yang terlibat dalam upaya penyebaran ajaran agama. Kesadaran ini tidak

5
Kabir Al Fadly Habibullah, “Kewajiban Dakwah Dalam Al-Qur’an antara Fardu Ain dan Fardu Kifayah”,
Jurnal Studi Komparatif, 2021, Hal. 25

10
hanya melibatkan pemahaman tentang tugas yang harus dilakukan tetapi juga rasa etika
dan tanggung jawab moral yang mendalam.
Pertama-tama, khatib harus mempunyai pemahaman menyeluruh terhadap
ajaran agama yang disampaikannya, sehingga pesan yang disampaikan tidak hanya
benar secara teologis, tetapi juga sesuai dengan konteks dan kehidupan sehari-hari
khatib. Kesadaran akan tanggung jawab dakwah juga mencakup pemahaman konteks
sosial di mana dakwah dilakukan.
Seorang misionaris harus peka terhadap kebutuhan dan permasalahan orang-orang di
sekitarnya dan mampu menyesuaikan pesannya untuk menawarkan perspektif dan
solusi keagamaan yang tepat.
Dalam konteks ini, kesadaran akan tanggung jawab dakwah mengandung
makna partisipasi aktif dalam membangun kehidupan beragama yang toleran dan
harmonis. Lebih lanjut, persepsi tanggung jawab dakwah juga mencakup aspek moral
dan etika. Para pengkhotbah harus menyadari dampak dari setiap perkataan dan
tindakannya terhadap masyarakat. Menghargai perbedaan keyakinan, keberagaman dan
toleransi merupakan nilai-nilai yang harus dijaga dalam menjalankan dakwah.
Oleh karena itu, kesadaran akan tanggung jawab berdakwah bukan hanya
tentang kebenaran ajaran agama, namun juga sejauh mana dakwah tersebut dapat
membawa kedamaian, pemahaman, dan kebaikan bagi masyarakat. Dengan sadar akan
tanggung jawab dakwah, seorang dakwah tidak hanya menjadi penyampai pesan-pesan
agama, namun juga menjadi agen perubahan yang membawa nilai-nilai luhur dan
positif dalam kehidupan bermasyarakat.
Kesadaran ini memberikan landasan yang kokoh untuk menjalankan misi
dakwah dengan integritas, keberanian dan kepekaan terhadap kebutuhan masyarakat.
Kesadaran akan tanggung jawab dalam berdakwah sangat penting bagi seorang da'i.
Seorang da’i harus memahami bahwa dakwah tidak hanya menyampaikan pesan-
pesan agama saja, tetapi juga mempunyai tanggung jawab yang besar terhadap diri
sendiri, masyarakat, dan agama Islam.
Seorang da'i harus memahami bahwa dakwah merupakan suatu kehormatan dan
tanggung jawab yang harus dipenuhi dengan baik. Dalam melakukan dakwah, seorang
dakwah harus mampu menunjukkan perilaku yang baik dan sesuai dengan ajaran agama
Islam agar dapat menjadi teladan yang baik bagi masyarakat. Selain itu, khatib juga
harus memperhatikan persatuan umat, ketertiban dan keamanan masyarakat, kesehatan
dan keselamatan masyarakat, kehormatan dan harkat dan martabat agama Islam serta

11
kepercayaan masyarakat.
Dengan menyadari tanggung jawabnya terhadap dakwah, maka seorang dakwah
dapat menunaikan dakwah dengan baik dan membawa kemaslahatan bagi masyarakat
dan agama Islam.6

2. Dakwah Berdasarkan Ilmu


Dakwah berbasis ilmu pengetahuan adalah dakwah yang dilakukan dengan
memperhatikan pengetahuan dan keahlian yang dimiliki seorang da’i. Untuk
melakukan dakwah berdasarkan ilmu, seorang dakwah harus mempunyai ilmu agama
yang tinggi, luas dan mendalam. Selain itu, seorang dakwah juga harus mampu
menerapkan ilmu dan seni manajemen dalam pengelolaan lembaga dan kegiatan
dakwah.
Dalam dakwah berbasis ilmu pengetahuan, seorang dakwah harus mampu
menguasai konsep-konsep manajemen dakwah secara umum, nilai-nilai Islam dalam
manajemen, fungsi manajemen dakwah, manajemen personalia lembaga dakwah, dan
Pengelolaan haji dan umroh.
Dengan melakukan dakwah berbasis ilmu pengetahuan, para dakwah dapat
membawa kemaslahatan yang lebih besar bagi masyarakat dan agama Islam. Dakwah
berbasis ilmu pengetahuan merupakan metode yang mengutamakan ilmu pengetahuan
yang mendalam dan akurat dalam menyampaikan ajaran agama. Pendekatan ini
menekankan pentingnya ilmu pengetahuan dalam menjawab tantangan kontemporer
dan memberikan jawaban yang masuk akal atas pertanyaan-pertanyaan yang muncul di
masyarakat.
Pertama, dakwah berbasis ilmu pengetahuan menuntut khatib memiliki
pemahaman menyeluruh terhadap teks suci dan asal usul ajaran agama. Pemahaman
yang kuat tentang prinsip-prinsip agama memungkinkan para misionaris memberikan
penjelasan yang jelas dan rinci. Selain itu, dakwah berbasis sains mencakup
pemahaman tentang konteks sosial dan budaya di mana dakwah disebarkan.
Seorang misionaris harus memahami realitas sosial masyarakatnya untuk dapat
menghubungkan ajaran agama dengan kebutuhan dan permasalahan nyata yang
dihadapi masyarakat. Oleh karena itu, ilmu pengetahuan tidak hanya berfokus pada
aspek teologis saja, namun juga mencakup pemahaman mendalam mengenai dinamika

6
Aep Kusnawan, “Tekhnik Menulis Dakwah”, (Bandung, Simbiosa Rekatama Media: 2016), Hal. 8

12
sosial.Dakwah berbasis sains juga menekankan pada keberanian mencari solusi dan
jawaban atas pertanyaan-pertanyaan kontemporer dengan menggunakan pengetahuan
ilmiah. Hal ini melibatkan keterlibatan dalam dialog dan diskusi terbuka dengan
berbagai pemikiran dan perspektif.
Para misionaris sains akan mendorong pemahaman yang lebih mendalam antara
agama dan sains, menghilangkan kesenjangan yang mungkin timbul di antara
keduanya. Dengan mengedepankan ilmu, dakwah tidak hanya sekedar sarana transmisi
ajaran agama namun juga upaya menerapkan nilai-nilai agama dalam konteks
kehidupan sehari-hari. Pendekatan ini mempertegas kualitas dakwah sebagai ikhtiar
yang cerdas, berwawasan luas, dan relevan dengan dinamika zaman, menjadikan ajaran
agama sebagai sumber inspirasi dan pedoman menghadapi perubahan zaman.7

3. Dakwah dengan Kesabaran dan Hikmah


Dakwah dengan Sabar dan Hikmah merupakan suatu pendekatan yang
mencerminkan nilai-nilai ajaran agama yang menekankan pada aspek kesabaran,
hikmah dan hikmah dalam proses penyampaian risalah agama kepada masyarakat.
Kesabaran dalam dakwah mencakup ketabahan dan ketangguhan dalam menghadapi
cobaan atau tantangan yang mungkin timbul dalam proses penyebaran ajaran agama.
Pendakwah yang sabar akan mampu dengan tenang menghadapi berbagai reaksi dan
sikap masyarakat, tanpa melupakan tujuan utama dakwah, yaitu menyebarkan nilai-
nilai kebenaran agama.
Selain itu, berdakwah yang bijak juga mengandung hikmah dalam
menyampaikan pesan keagamaan. Kecerdasan meliputi kecerdasan dalam memilih
kata, menyesuaikan pesan dengan konteks sosial, dan kemampuan menyampaikan
pesan keagamaan dengan cara yang dapat dimengerti. Hikmah dalam berdakwah juga
mencerminkan kebijaksanaan dalam memilih waktu yang tepat, metode yang tepat, dan
pendekatan yang konstruktif dalam berinteraksi dengan masyarakat.
Dalam konteks kesabaran, dakwah menjadi sebuah perjalanan panjang yang
memerlukan ketekunan dan ketekunan. Kesabaran tidak hanya diperlukan untuk
menghadapi kemungkinan penolakan atau kesalahpahaman dari masyarakat tetapi juga
untuk meningkatkan kesadaran dan membawa perubahan yang langgeng. Kesabaran
inilah yang merupakan salah satu nilai utama yang diajarkan agama dan menjadi kunci

7
Ropingi el Ishaq, “Pengantar Ilmu Dakwah” (Malang: Madani, 2016), Hal. 77

13
keberhasilan dakwah yang mendalam. Dakwah dengan kesabaran dan kebijaksanaan
juga mengedepankan sikap inklusif dan menghargai perbedaan pendapat. Para
misionaris yang menerapkan nilai-nilai tersebut akan mampu menjalin hubungan baik
dengan masyarakat sekitar tanpa menimbulkan konflik atau polarisasi.
Kesabaran dan hikmah menciptakan ruang dialog dan saling pengertian,
menguatkan hakikat dakwah sebagai upaya membangun kerukunan dan keharmonisan
dalam masyarakat. Dengan memadukan kesabaran dan kebijaksanaan dalam
berdakwah, seorang penginjil dapat memberikan dampak yang positif dan bertahan
lama di masyarakat, menjadikan proses dakwah sebagai sarana untuk saling
menguatkan nilai-nilai kebaikan dan toleransi dalam hidup.
Dalam berdakwah, para da'i harus mampu menyampaikan pesan-pesan
keagamaan dengan penuh kesabaran dan hikmah. Kesabaran dan hikmah merupakan
dua hal yang sangat penting dalam berdakwah. Dalam Al-Quran, Allah SWT
menegaskan pentingnya berdakwah dengan sabar dan hikmah dalam surat An-Nahl
ayat 125:
‫س ُۗنُ ا َِّن َربَّكَ ه َُو‬ َ ‫سنَ ِة َو َجاد ِْل ُه ْم ِبالَّ ِت ْي ه‬
َ ْ‫ِي اَح‬ َ ‫ظ ِة ْال َح‬ َ ‫ا ُ ْدعُ ا ِٰلى‬
َ ‫س ِب ْي ِل َر ِبكَ ِب ْال ِح ْك َم ِة َو ْال َم ْو ِع‬
َ‫س ِب ْي ِل ٖه َوه َُو اَ ْع َل ُم ِب ْال ُم ْهتَ ِديْن‬
َ ‫ع ْن‬
َ ‫ض َّل‬َ ‫اَ ْعلَ ُم ِب َم ْن‬

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik,
dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu,
Dialah yang lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih
mengetahui siapa yang mendapat petunjuk.”
Dalam dakwah, dengan penuh kesabaran, seorang khatib harus mampu
menghadapi berbagai tantangan dan hambatan yang muncul selama menjalankan
ibadah haji. Dakwah Seorang dakwah harus mampu bersabar menghadapi berbagai
reaksi masyarakat terhadap dakwah yang ditugaskan.Sedangkan dalam dakwah dengan
hikmah, seorang khatib harus mampu menyampaikan pesan-pesan keagamaan dengan
bijaksana dan Lembut Dalam dakwah yang penuh hikmah, seorang da'i harus mampu
memilih kata-kata yang tepat dan cara penyampaian yang tepat agar pesan yang
disampaikan dapat diterima oleh masyarakat. Dengan berdakwah yang penuh
kesabaran dan hikmah, seorang dai dapat membawa kemaslahatan yang besar bagi
masyarakat dan agama Islam.8

8
Nia Kurniati, “Al-Hikmah Dalam Dakwah Islamiyah”, Jurnal Dakwah dan Sosial, Vol. 1, No. 1, 2021, Hal. 11

14
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Hakikat manusia sebagai subjek dakwah menjadi landasan filosofis yang
mendasari upaya penyampaian ajaran agama kepada individu. Manusia sebagai
makhluk rasional, bermoral, dan bebas sangat mampu menyerap dan memahami pesan-
pesan agama. Dakwah sebagai upaya menyampaikan nilai-nilai agama yang
sebenarnya kepada manusia, mengakui bahwa manusia mempunyai potensi untuk
berkembang dan mencapai kesempurnaan melalui bimbingan ajaran agama.
Sifat manusia dalam konteks dakwah menekankan perlunya pendekatan penuh
hormat, pengertian dan penyampaian pesan yang relevan dengan kehidupan sehari-hari.
Manusia sebagai subjek dakwah memerlukan pendekatan yang menghargai keunikan,
keberagaman, dan kompleksitas individu tersebut.
Selain itu, dakwah juga berpandangan bahwa manusia cenderung mencari
makna dalam hidupnya dan kebutuhan spiritualnya, sehingga pesan-pesan keagamaan
dapat membawa arah dan tujuan yang bermakna dalam hidupnya. Sifat manusia sebagai
objek dakwah juga mengandung makna bahwa dakwah tidak sebatas penyampaian
informasi tetapi juga menyangkut proses pendidikan, pengembangan moral, dan
pembentukan karakter.
Manusia sebagai subjek dakwah mempunyai potensi untuk mengembangkan
dan meningkatkan kualitas hidupnya dengan menerima dan mengamalkan ajaran
agama. Singkatnya, fitrah manusia sebagai subjek dakwah menyatakan bahwa upaya
penyebaran ajaran agama harus selalu menghormati harkat, martabat, hak, dan potensi
manusia. Dakwah tidak hanya menyampaikan informasi keagamaan tetapi juga
pemahaman, inspirasi dan bimbingan umat menuju kehidupan yang lebih baik secara
moral dan spiritual.

15
DAFTAR PUSTAKA

Habibullah, Kabir Al Fadly, 2021, Kewajiban Dakwah Dalam Al-Qur’an antara Fardu Ain
dan Fardu Kifayah, Jurnal Studi Komparatif

Meroni, 2018, Konsep Dakwah Humanis Menurut KH. Ahmad Mustofa Bisri Dalam Buku
Membuka Pintu Langit, Jurnal Skripsi

Rosyadi, Abdu Rahmat, 2017, Biografi Manusia Sebagai Wakil Tuhan di Planet Bumi, Bogor:
Uika Press

Ilyas, Rahmat, 2016, Manusia Sebagai Khalifah Dalam Perspektif Islam, Jurnal Muwa’izh

Kusnawan, Aep, 2016, Tekhnik Menulis Dakwah, Bandung: Simbiosa Rekatama Media

Kurniati, Nia, 2021, Al-Hikmah Dalam Dakwah Islamiyah, Jurnal Dakwah dan Sosial

Ishaq, Ropiqi el, 2016, Pengantar Ilmu Dakwah, Malang: Madani

Fahrurrozi, 2019, Ilmu Dakwah, Jakarta: Prenada Media Group

16

Anda mungkin juga menyukai