Anda di halaman 1dari 23

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Dasar Tumor Payudara Phillodes

2.1.1 Pengertian Tumor Phillodes

Cystosarcoma phyllodes dengan karakteristik gambaran leaf-like


pattern (seperti daun). Istilah tersebut kadang-kadang masih
digunakan pada lesi ini, akan tetapi istilah tumor phyllodes lebih
dinjurkan oleh karena sebagian besar tumor ini berprilaku jinak dan
tidak kistik. Phyllodes termasuk salah satu tumor fibroepitelial yang
terdiri dari proliferasi komponen epitelial dan stromal. Tumor
phyllodes diklasifikasikan menjadi benign, borderline, malignant.
Kategori ini didasarkan pada karakteristik gambaran histologinya
(Mishra et al., 2020).

Bagian-bagian utama payudara wanita dewasa adalah puting susu


(puting payudara), sistem duktus ekskretorius, lobulus dan jaringan
fibroadiposa. Puting payudara terdiri dari epidermis yang berlipat-
lipat dengan unit-unit sebasea (kelenjar Montgomery) dan orifisium
duktus laktiferosa ekskretorik. Selama masa kehamilan kelenjar
Montgomery lebih menonjol dan pada masa laktasi maka kelenjar
Montgomery berfungsi melumasi puting payudara. Duktus-duktus
laktiferosa adalah gabungan / penyatuan dari duktus-duktus
ekskretorius dan pada dasarnya memiliki struktur yang serupa dengan
duktus yang lain(Damjanov I 2020).

2.1.2 Epidemiologi
Ada juga yang menyebutnya sebagai “giantfibroadenoma”, cellular
intercanalicular fibroadenoma”dan masih ada beberapa nama lain tapi
yang sekarang dipakai adalah menurut World Health Organization
yaitu tumor phyllodes (filodes) sebagai penamaan yang paling sesuai.

6
7

Insidensi kejadian tumor filodes <1% dari seluruh neoplasma


payudara yaitu 0,3-0,5%, engan insidensi paling banyak terjadi pada
pada usia 30 hingga 40 tahun, bahkan pada salah satu
literatur menulis pada umur yang lebih tua yaitu 45-54 tahun.28
Kejadian tumor ini meningkat pada negara-negara Asia, dilaporkan di
Singapura kejadian tumor ini adalah 6,92% dari seluruh keganasan di
payudara dan terjadi pada umur yang lebih muda, yaitu 25-30
tahun.Walaupun jarang ditemukan, namun pernah terdapat laporan
tumor filodes pada laki-laki. Frekuensikejadian tumor ini berdasarkan
perubahan gambaran histopatologinya (gradasi) adalah 75% benign,
16% borderline dan 9% malignant.Walaupun pernah dilaporkan,
jarang ditemukan adanya sinkronous atau metakronouspada tumor ini.

Di negara-negara barat, angka kejadian tumor phyllodes 0,3 -1% dari


seluruh tumor primer payudara dan 2,5% dari seluruh tumor
fibroepitelial pada payudara. Tumor phyllodes terjadi pada wanita
usia pertengahan, rata-rata berusia40-50 tahun. Sementara di negara-
negara Asia, tumor phyllodes terjadi pada wanitausia muda, rata-rata
berusia 25-30 tahun.Tumor phyllodesmalignant terjadi ra rata 2-5
tahun lebih lama dibandingkan tumor phyllodes benign. Tumor
phyllodes malignant lebih sering terjadi pada ras Latin yang lahir di
Amerika Tengah dan Amerika Selatan (Djordjevic & Hanna, 2008;
Tan et al 2019).

2.1.3 Etiologi
Etiologi dari tumor filodes sampai sekarang masih belum jelas
apakah berasal dari fibroadenoma yang sudah ada sebelumnya atau
de novo. Beberapa penelitian sebelumnya menduga tumor ini berasal
dari stroma intralobular dan periduktal. Pada penelitian yang
dilakukan oleh Kujiper (2002) menganalisis adanya progresi pada
tumor fibropitelial payudara yaitu fibroadenoma dan tumor filodes
berdasarkan PCR based clonality assay, dan didapatkan model
progresi pada tumor fibroepitelial. Pada penelitian ini, sel epithelial
pada fibroadenoma dapat berubah menjadi hiperplasia dan carcinoma
8

in situ dengan ditemukannya monklonaliti pada sel epitelial,


perubahan klonaliti pada sel stroma mengarah ke bentuk tumor
filodes yang bersifat jinak dan progresi perubahan menjadi
monoklonal pada sel epitelial maupun stromal pada borderline dan
malignant.

Tumor phyllodes berbeda dengan tumor payudara yang lain, pada


tumor phyllodes pertumbuhan tumor terjadi diluar duktus dan lobulus
di dalam jaringan ikat payudara disebut sebagai stroma termasuk
jaringan lemak dan ligament disekitar duktus, lobules, pembuluh
darah dan kelenjar limfe dipayudara. Diantarasel stroma pada tumor
phyllodes terdiri dari sel-sel ductus dan lobules. Penyebab tumor
phyllodes belum diketahui bahkan adanya hubungan dengan
fibroadenoma, sampai saat ini belum jelas. Apakah tumor phyllodes
berkembang dari fibroadenoma atau de novo masih perlu diteliti lebih
lanjut. Noguchi dan kawan- kawan menyampaikan bahwa
fibroadenoma merupakan elemen polyclonal sedangkan tumor
phyllodes adalah polyclonal pada sel epithelial dan monoclonal pada
sel stroma. Fibroadenoma lebih baik dianggap sebagai lesi
hyperplasia daripada neoplasma. Adanya dugaan bahwa
fibroadenoma merupakan mutasi somatik yang menghasilkan
proliferasi monoclonal dengan gambaran histolologi sulit dibedakan
dari elemen polyclonal tetapi memiliki kecenderungan untuk kambuh
dan progresif menjadi tumor phyllodes dan hal ini didukung
berdasarkan analisis clonal. Induksi stroma pada tumor phyllodes
merupakan dihasilkan dari faktor pertumbuhan epitel payudara (Jara-
lazaro & Tan, 2009; Mishra et al., 2013).

2.1.4 Manifestasi Klinis

Tumor phyllodes terjadi pada wanita diatas 45 tahun dengan ukuran


tumoryang sangat besar, rata-rata 4 cm, dapat mencapai ukuran tumor
>10 cm sehingga disebut sebagai tumor phyllodes giant. Tumor
phyllodes yang giant sebanyak 20%,karena ukuran tumor yang besar
9

maka vena mengalami dilatasi. Banyaknya vena yang berdilatasi


menyebabkan warna kulit payudara tersebut menjadi biru. Adanya
nipple retraction dan ulserasi tetapi keduanya jarang terjadi pada
tumor phyllodes. Tumor phyllodes dapat terjadi pada pasien yang
pernah memiliki riwayat fibroadenoma sebelumnya. Pada umumnya
terjadi pada regio quadrant lateral atasdan dapat terjadi pada kedua
payudara tetapi kejadian ini jarang terjadi (Mishra et al., 2013).

Gambar 2. 1 Giant phyllodes tumor

2.1.5 Pemeriksaan Penunjang


a. USG payudara. Ultrasonografi 3 dimensi akan sangat membantu
dalam memvisualisasikan kelainan intraduktus. Usg juga dapat
digunakan untuk penuntun biopsi.
b. Mamografi, direkomendasikan mamografi digital. Mamografi
konvesional tidak dapat mengidentifikasi papilloma intraduktal.
Hanya untuk pasien usia diatas 35 tahun.
c. Duktulografi. Tehnik ini cukup aman dan mudah untuk
memvisualisasikan kelainan dalam duktus. Papilloma intraduktal
digambarkan oleh adanya filling defek didalam duktus yamg
melebar. Papilloma soliter selalu terlihat dalam collecting duct,
sementara papilloma multiple sering terlihat dalam cabang-cabang
duktus. Namun pemeriksaan ini merupakan prosedur yang sangat
nyeri dan memiliki keterbatasan yaitu dalam mendeteksi lesi
multiple dalam satu duktus atau mendeteksi lesi pada duktus yang
10

obstruksi total. Oleh karena itu periksaan ini tidak gunakan secara
luas.
d. Sitologi dari Nipple Discharge. Pemeriksaan ini dapat memberikan
informasi tentang normalitas, sel atipik, malignasi dan
pertumbuhan papiler. Tanda karakteristik dari papilloma
intraduktal adalah adanya ‘tightly connected ductal cell clumps’
(kelompok sel duktus yang saling berhubung erat)’. Ukuran sel-sel
dan inti-inti sel seragam dan non mitosis. Eritrosit terlihat lebih
sering, namun terkadang papilloma sulit dibedakan dengan
carcinoma in situ.
e. MRI. Walaupun MRI lebih superior dibanding mamografi dan Usg
untuk skrining kanker payudara, namun peranannya dalam
penatalaksanaan papilloma masih terbatas. Papoloma intraduktal
pada MRI memiliki gambaran yang bervariasi mulai dari occult,
small luminal mass sampai ke lesi irregular tumbuh cepat yang sulit
dibedakan dari karsinoma duktal invasif. Karena tingginya
sensitivitas MRI dan tidak adanya gambaran tipikal malignansi
pada wanita papilloma, pemeriksaan ini dapat mendukung dalam
pemilihan terapi konservatif. MRI masih belum digunakan secara
luasoleh karena biaya mahal, pengalaman yang terbatas, dan
spesifisitas yang subobtimal.

2.2 Penatalaksanaan
2.2.1 Pembedahan
Prinsip utama dalam terapi adalah eksisi lokal dengan batas sayatan
bebas tumor. Umumnya peneliti merekomendasi batas sayatan minimal
1 cm namun beberapa Penulis menganjurkan batas sayatan 2 cm. Batas
sayatan 2- 3cm di dalam praktisnya sulit dilakukan untuk mendapatkan
kosmetik yang baik, kecuali jika ukuran payudara besar dan lokasi
tumor memungkinkankan. Berdasarkan usia penderita
direkomendasikan bahwa:
11

A. Usia di bawah 20 tahun dilakukan eksisi dengan batas sayatan 1


cm.
B. Usia diatas 20 tahun dilakukan eksisi luas dengan batas sayatan 2
cm.
C. Mastektomi simpel dilakukan pada tumor yang besar atau tumor
yang kambuh (rekurensi). Rekonstruksi dipertimbangkan untuk
tumor yang besar. Rekonstruksi ini sebaiknya segera dilakukan
jika pasien berkenan. Penatalaksanaan yang optimal tergantung
pada diagnosis preoperasi dan eksisi yang adekuat pada operasi
pertama.

2.3 Definisi Nyeri


Nyeri adalah sensasi yang sangat tidak menyenangkan dan sangat indvidual
yang tidak dapat dibagi dengan orang lain. Nyeri dapat memenuhi seluruh
pikiran seseorang, mengubah kehidupan orang tersebut. Akan tetapi, nyeri
adalah konsep yang sulit dikomunikasikan oleh klien (Berman, 2009). Menurut
International Association for the Studi of Pain (IASP), penyebab nyeri tidak
hanya dari penyakit yang mengancam jiwa seperti kanker, tetapi juga cidera,
operasi, luka bakar, infeksi, dan efek kekerasan. Seseorang juga mengalami
nyeri dari banyak prosedur dan penyelidikan yang digunakan oleh dokter dan
perawat untuk menyelidiki dan mengobati penyakit (Finley, 2005). Respon
perilaku terhadap nyeri diantaranya yaitu mimik wajah, perubahan nada suara
da aktivitas, serta menangis, menunjukkan sikap menjauh dari stimulus nyeri
dan aneka vokalisasi dan mengutarakan intensitas nyerinya. Karena itu
membutuhkan beberapa teknik yang mampu untuk mengatasi atau
meringankan intensitas nyeri. Dalam penyuluhan ini akan dijelaskan beberapa
teknik distraksi dan relaksasi untuk mengurangi nyeri.
Berikut adalah klasifikasi tingkatan dalam nyeri:
a. Nyeri akut adalah sensasi jangka pendek kurang 3 bulan yang
menyadarkan kita akan adanya cedera. Seringkali nyeri diabaikan dan
hanya dianggap sebagai gejala, bukan sebagai penyakit yang harus diobati
sehingga menjadi nyeri kronis.
12

b. Nyeri kronis adalah nyeri yang berlangsung lebih dari 3 bulan. Sistem saraf
anda menerima sinyal rasa sakit dan nyeri yang konstan dari tubuh
selama berbulan bulan bahkan bertahun tahun. Nyeri kronis dapat
menimbulkan rasa terbakar, mati rasa, rasa seperti diiris atau ditusuk. Hal
ini terjadi karena kerusakan pada saraf. Tingkatan nyeri tterdiri dari skala
2.3.1 Penilaian Nyeri
Penilaian nyeri dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa
skala. Menurut Kyle & Carman (2015), terdapat beberapa skala
yang dapat digunakan untuk menilai nyeri seorang pasien, antara
lain:
2.3.1.1 Pengukuran Intensitas Nyeri Secara Kategorikal
Pengukuran skala nyeri tipe ini disebut sebagai pengukuran
satu dimensi. Umumnya pengukuran kategorikal ini
menepatkan klien pada beberapa kategori umum yang
digambarkan dengan angka 0-4, yaitu:
0: Tidak nyeri (Normal)
1-3: Nyeri ringan (Dapat melakukan kegiatan sehari-hari
dengan sedikit rasa nyeri)
4-7: Nyeri sedang (Aktivitas terganggu tetapi tidak sampai
mengalami hambatan, kegiatan aktivitas sehari-hari
normal (tidak membutuhkan istirahat)
8-10: Nyeri berat dan tidak tertahankan (Tidak dapat
melakukan atau meneruskan aktivitas kerja normal
sehari-harinya. Tidak mampu lagi untuk menahannyeri,
memerlukan istirahat tidur, jika perlu individu yang
mengalami nyeri dirujuk kerumah sakit untuk
mendapatkan perawatan dan pemberian terapi
farmakologi dan terapi non farmakologi).
13

Gambar 2.2 Likert Pain Scale

2.3.1.2 Numerical Rating Scales (NRS)


Pasien menyebutkan intensitas nyeri berdasarkan angka 0-10.
Titik 0 berarti tidak nyeri, 5 nyeri sedang, dan 10 adalah nyeri
berat yang tidak tertahankan. NRS digunakan jika ingin
menentukan berbagai perubahan pada skala nyeri, dan juga
menilai respon turunnya nyeri pasien terhadap terapi yang
diberikan.

Gambar 2.3 Numeric Rating Scale


Keterangan:
0 : Tidak nyeri
1-3 : Nyeri ringan (secara obyektif klien dapat ber- komunikasi
dengan baik).
4-6 : Nyeri sedang (secara obyektif klien mendesis, menyeringai,
dapat menunjukan lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya,
dapat mengikuti.
7-10 : Nyeri berat (Secara obyektif terkadang tidak dapat
mengikuti perintah tapi masih respon terhadap tindakan,
dapat menunjukan lokasi nyeri, tidak dapat
mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi dengan alih posisi
nafas panjangdan distraksi).
14

2.3.1.3 Skala Wajah (Face Scale)


Gambar pertama tidak nyeri, kedua sedikit nyeri, dan selanjutnya
lebih nyeri dan gambar paling akhir, adalah Pasien disuruh
melihat skala gambar wajah. Orang dengan ekpresi nyeri yang
sangat berat. Setelah itu, pasien disuruh menunjuk gambar yang
cocok dengan nyerinya. Metode ini digunakan untuk pediatri,
tetapi juga dapat digunakan pada geriatri dengan gangguan
kognitif.

Gambar 2.4 Skala wajah

Karakteristik paling subjektif pada nyeri adalah tingkat keparahan


atau intensitas nyeri tersebut. Klien seringkali diminta untuk
mendeskripsikan nyeri sebagai yang ringan, sedang atau parah.
Namun, makna istilah-istilah ini berbeda bagi perawat dan klien.
Dari waktu ke waktu informasi jenis ini juga sulit untuk
dipastikan.

Skala nyeri harus dirancang sehingga skala tersebut mudah


digunakan dan tidak mengkonsumsi banyak waktu saat klien
melengkapinya. Apabila klien dapat membaca dan memahami
skala, maka deskripsi nyeri akan lebih akurat. Skala deskripstif
bermanfaat bukan saja dalam upaya mengkaji tingkat keparahan
nyeri, tapi juga mengevaluasi perubahan kondisi klen. Perawat
dapat menggunakan setelah terapi atau saat gejala menjadi lebih
memburuk atau menilai apakah nyeri mengalami penurunan atau
peningkatan (Potter& Perry, 2012)
15

2.3.1.4 Visual Analogue Scale (VAS)


Skala analogue visual adalah suatu garis lurus/horizontal
sepanjang 10 cm, yang mewakili intensitas nyeri yang terus
menerus dan pendekripsian verbal pada setiap ujungnya. Pasien
diminta untuk menunukan titik garis tersebut. Ujung kiri biasanya
menandakan “tidak ada” atau “tidak nyeri” sedangkan uung kanan
biasanya mendakan “berat” atau “nyeri paling buruk”. Untuk
menilai hasil, sebuah penggaris diletakkan sepanjang garis dan
jarak yang dibuat pasien pada garis dari ”tidak ada nyeri” diukur
dan ditulis dalam sentimeter.

Gambar 2.5 Skala Analog Visual (VAS)

Keterangan:
0 : Tidak nyeri
1-3 : Nyeri ringan (secara obyektif klien dapat berkomunikasi
dengan baik).
4-6 : Nyeri sedang (secara obyektif klien mendesis, menyeringai,
dapat menunjukan lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya,
dapat mengikuti perintah dengan baik).
7-9 : Nyeri berat (Secara obyektif terkadang tidak dapat mengikuti
perintah tapi masih respon terhadap tindakan, dapat
menunjukan lokasi nyeri, tidak dapat mendeskripsikannya,
tidak dapat diatasi dengan alih posisi nafas panjang dan
distraksi).
10 : Nyeri berat tidak terkontrol (Pasien tidak mampu lagi
berkomunikasi, memukul).
16

2.3.1.5 Skala Deskriptif


Skala nyeri deskriptif merupakan alat pengukuran tingkat
keparahan nyeri yang objektif. Skala ini juga disebut sebagai skala
pendeskripsian verbal/Verbal Descriptor Scale (VDS) merupakan
garis yang terdiri tiga sampai lima kata pendeskripsian yang
tersusun dengan jarak yang sama disepanjang garis.
Pendeskripsian ini mulai dari “tidak terasa nyeri” sampai “nyeri
tak tertahankan”, dan pasien diminta untuk menunjukkan keadaan
yang sesuai dengan keadaan nyeri saat ini.

Gambar 2.6 Skala Intensitas Nyeri Deskriptif


Keterangan:
0 : Tidak nyeri.
1-3 : Nyeri ringan (secara obyektif klien dapatberkomunikasi
dengan baik).
4-6 : Nyeri sedang (secara obyektif klien mendesis, menyeringai,
dapat menunjukan lokasi nyeri,dapat
mendeskripsikannya,dapat mengikuti perintah dengan
baik).
7-9 : Nyeri berat (Secara obyektif terkadang tidak dapat
mengikuti perintah tapi masih respon terhadap tindakan
dapat menunjukan lokasi nyeri, tidak dapat nafas panjang dan
distraksi).
10 : Nyeri berat tidak terkontrol (Pasien tidak mampu
berkomunikasi, memukul).
17

2.3.2 Tanda gejala nyeri


1. Suara :
a. Menangis,
b. Merintih,
c. Menarik/menghembuskan nafas.
2. Ekspresi Wajah :
a. Meringis,
b. Menggigit lidah, mengatupkan gigi,
c. Tertutup rapat/membuka mata atau mulut,
d. Menggigit bibir.
3. Pergerakan Badan :
a. Kegelisahan,
b. Mondar-mandir,
c. Gerakan menggosok atau berirama,
d. Melindungi tubuh,
e. Otot tegang.
4. Interaksi Sosial :
a. Mengihndari percakapan atau kontak social,
b. Berfokus pada aktivitas untuk mengurangi nyeri,
c. Disorientasi waktu.

2.3.3 Manejemen Nyeri


1. Distraksi
Distraksi adalah teknik untuk mengalihkan perhatian terhadap
hal-hal lain sehingga lupa terhadap nyeri yang dirasakan.
Contohnya:
1) Membayangkan hal-hal menarik dan indah,
2) Membaca buku, koran sesuai dengan keinginan,
3) Menonton TV,
4) Mendengarkan musik, radio dll .
2. Relaksasi
Teknik relaksasi memberi individu kontrol diri ketika terjadi rasa
tidak nyaman atau nyeri, stres fisik dan emosi pada nyeri. Sejumlah
18

teknik relaksasi dapat dilakukan untuk mengendalikan rasa nyeri


dengan meminimalkan aktivitas simpatik dalam sistem syaraf
otonom. Teknik relkasasi dapat dilakukan dengan:
1) Teknik massase/ pemijatan,
2) Teknik relaksasi benson,
3) Kompres panas atau dingin,
4) Teknik relkasasi napas dalam.

2.4 Definisi Benson


Relaksasi benson dikembangkan oleh Benson di Havard’s Thorndike
Memorial Laboratory dan Benson’s Hospital. Relaksasi benson dapat
dilakukan sendiri, bersama-sama atau bimbingan mentor. Relaksasi benson
merupakan teknik relaksasi yang digabungkan dengan keyakinan yang dianut
oleh pasien. Benson dan Proctor menjelaskan bahwa formula kata-kata atau
kalimat tertentu yang dibaca berulang-ulang dengan melibatkan unsur
keimanan dan keyakinan akan menimbulkan respon relaksasi yang lebih kuat
dibandingkan dengan hanya relaksasi tanpa melibatkan unsur, keyakinan
pasien tersebut memiliki makna 21 menenangkan sehingga nyeri dapat
berkurang (Tri & Siti, 2015). Relaksasi benson terdiri dari empat komponen
dasar yaitu :
1) Suasana tenang Suasana yang tenang membantu efektifitas pengulangan
kata atau kelompok kata dan demikian mempermudah menghilangkan
pikiran pikiran yang mengganggu.
2) Perangkat mental Untuk memindahkan pikiran-pikiran yang berorientasi
pada hal-hal yang logis dan yang berada di luar diri harus ada suatu
rangsangan yang konstan yaitu satu kata atau fase singkat yang diulang-
ulang dalam hati sesuai dengan keyakinan. Kata atau frase yang singkat
merupakan fokus dalam melakukan relaksasi benson. Fokus terhadap
kata atau frase singkat akan meningkatkan dasar respon relaksasi dengan
memberi kesempatan faktor keyakinan untuk memberi pengaruh
terhadap penurunan aktivitas saraf simpatik. Mata biasanya terpejam
apabila tengah mengulang kata atau frase singkat. Relaksasi benson
19

dilakukan 1 atau 2 kali sehari selama antara selama 10 menit. Waktu yang
baik untuk mempraktekan relaksasi benson adalah sebelum makan atau
beberapa jam sesudah makan, karena selama melakukan relaksasi, darah
akan dialirkan ke kulit, otot -otot ektermitas, otak dan menjauhi daerah
perut sehingga efeknya akan bersaing dengan proses makan.
3) Sikap pasif Apabila pikiran-pikiran yang mengacaukan muncul, pikiran
tersebut harus diabaikan dan perhatian diarahkan lagi ke pengulangan
kata atau frase singkat sesuai dengan keyakinan. Tidak perlu cemas
seberapa baik melakukannya karena hal itu akan mencegah terjadinya
respon relaksasi benson. Sikap pasif dengan membiarkan hal itu terjadi
merupakan elemen yang paling penting dalam mempraktekan relaksasi
benson.
4) Posisi nyaman Posisi tubuh yang nyaman adalah penting agar tidak
menyebabkan ketegangan otot-otot. Posisi tubuh yang digunakan,
biasanya dengan duduk atau berbaring di tempat tidur.
Cara kerja teknik relaksasi benson ini adalah berfokus pada kata atau
kalimat tertentu yang diucapkan berkali-kali dengan ritme teratur.
Relaksasi diperlukan pengendoran fisik secara sengaja, dalam relaksasi
benson akan digabungkan dengan sikap pasrah, sikap pasrah ini
merupakan respon relaksasi yang tidak hanya terjadi pada tataran fisik
saja tetapi juga psikis yang lebih mendalam. Sikap pasrah ini merupakan
sikap menyerahkan atau menggantungkan diri secara totalitas, sehingga
ketegangan yang ditimbulkan oleh permasalahan hidup dapat ditolelir
dengan sikap ini. Anjuran untuk mengulang kata-kata yang diyakini
diharapkan dapat memberikan sugesti atau mendistraksi nyeri sehingga
didapatkan penurunan tingkat persepsi nyeri dengan media relaksasi
benson ini.

Dalam bukunya yang berjudul Relaxation Response, benson menunjukan


bahwa ternyata mantra-mantra atau dalam islam disebut dzikir yakni
formula tertentu yang dibaca berulang-ulang mempunyai efek
menyembuhkan berbagai penyakit, khususnya tekanan darah tinggi dan
20

penyakit jantung (Melva, Tumpal & Perawaty, 2019).

2.4.1 Prosedur Relaksasi Benson.


Langkah-langkah relaksasi benson adalah sebagai berikut:
1) Ambil posisi yang dirasakan paling nyaman.
2) Pejamkan mata dengan pelan tidak perlu dipaksakan sehingga tidak
ada ketegangan otot sekitar mata.
3) Kendurkan otot-otot serileks mungkin mulai dari kaki, betis, paha,
perut dan dilanjutkan ke semua otot tubuh. Tangan dan lengan,
diulurkan kemudian lemaskan dan biarkan terkulai wajar disisi
badan, usahakan tetap rileks.
4) Mulai dengan bernapas yang lambat dan wajar setelah itu
mengucapkan dalam hati satu kata atau kalimat sesuai keyakinan
pasien, kalimat yang digunakan berupa kalimat pilihan pasien. Pada
saat menarik napas disertai dengan mengucapkan kalimat pilihan
pasien di dalam hati. Sembari terus mengucapkan, lemaskan seluruh
tubuh disertai dengan sikap pasrah kepada Allah.
5) Teruskan selama 10 menit, bila sudah merasa nyaman bukalah mata
perlahan-lahan.

2.4.2 Manfaat relaksasi benson


Relaksasi benson lebih mudah dilakukan bahkan dalam kondisi apapun
serta tidak memiliki efek samping apapun. Disamping itu kelebihan dari
relaksasi ini lebih mudah dilaksanakan oleh pasien, dapat menekan biaya
pengobatan, (Novitasari & Aryana, 2014)
21

2.4.3 Standar Prosedur Operasional (SPO)


STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR (SOP) TEKNIK
RELAKSASI BENSON

No. Prosedur tindakan Keteranga


n
A. Tahap persiapan
1. Memberikan salam teraupetik
2. Menyediakan lingkungan yang
tenang
3. Memvalidasi kondisi pasien
4. Menjaga privasi pasien
5. Memilih kalimat allah untuk
memfokuskan
perhatian saat relaksasi
B. Tahap
kerja
1. Posisikan pasien pada posisi
duduk yang paling nyaman

Instruksikan pasien memejamkan


2. Mata
3. Instruksikan pasien agar tenang
dan mengendorkan otot-otot
tubuh dari ujung kaki sampai
dengan otot wajah dan rasakan
rileks

4. Instruksikan kepada pasien agar


menarik nafas dalam lewat
Menarik
hidung, tahan 3 detik lalu
napas
hembuskan lewat mulut disertai
dengan mengucapkan
Kalimat allah atau kata yang sudah
dipilih
5. Instruksikan pasien untuk Hembuska
membuang pikiran negatif, dan n napas
tetap fokus pada nafas dalam dan perlahan
22

kalimat allah atau kata-kata yang


diucapkan.

6. Lakukan selama kurang lebih 10


Menit

7. Instruksikan pasien untuk


mengakhiri relaksasi dengan tetap
menutup mata selama 2 menit, lalu
membukanya dengan perlahan

C. Tahap Terminasi
1. Evaluasi perasaan pasien
2. Lakukan kontrak pertemuan
Selanjutnya
3. Akhiri dengan salam

2.5 Tinjauan Tioritis Asuhan Keperawatan

2.5.1 Pengkajian keperawatan


Pengkajian yaitu tahapan awal dari proses keperawatan, data
dikumpulkan secara sistematis yang digunakan untuk menentukan
status kesehatan pasien saat ini. Pengkajian harus dilaksanakan secara
komprehensif terkait dengan aspek biologis, psikologis, sosial, dan
spiritual. Pengkajian keperawatan pada ibu post operasi tumor
phillodes mamae menurut Sagita (2019) adalah sebagai berikut :

2.5.2 Identitas.
Pada pengkajian identitas pasien berisi tentang: Nama, Umur,
Pendidikan, Suku, Agama, Alamat, No. Rekam Medis, Nama Suami,
Umur, Pendidikan, Pekerjaan, Suku, Agama, Alamat, Tanggal
Pengkajian.
23

2.5.3 Riwayat Kesehatan Pasien


a. Keluhan utama. Untuk mengetahui masalah yang dihadapi yang
berkaitan dengan post op tumor phillodes mamae, pasien tampak
meringis menahan nyeri setelah post opsakit pada bagian
payudarahkarena adanya luka insisi jahitan.
b. Riwayat kesehatan masa lalu. Untuk mengetahui tentang
pengalaman perawatan kesehatan pasien mencakup riwayat
penyakit yang pernah dialami pasien, riwayat rawat inap atau
rawat jalan, riwayat alergi obat, kebiasaan, dan gaya pola hidup.
c. Riwayat kesehatan keluarga. Data ini diperlukan untuk
mengetahui kemungkinan adanya riwayat penyakit akut atau
kronis, seperti: penyakit jantung, DM, Hipertensi, dan Asma yang
dapat mempengaruhi masa nifas.

2.5.4 Pola kebutuhan dasar (Bio-Psiko-Sosial-Kultural-Spiritual)


a. Pola manajemen kesehatan dan persepsi : persepsi sehat dan sakit
bagi pasien, pengetahuan status kesehatan pasien saat ini,
perlindungan terhadap kesehatan (kunjungan ke pusat pelayanan
kesehatan, manajemen stres), pemeriksaan diri sendiri (riwayat
medis keluarga, pengobatan yang sudah dilakukan), perilaku
untuk mengatasi masalah kesehatan.
b. Pola nutrisi-metabolik : menggambarkan tentang pola makan dan
minum, frekuensi, banyaknya, jenis makanan, serta makanan
pantangan. Pola nutrisi- metabolik.
c. Pola eliminasi : menggambarkan pola fungsi sekresi yaitu
kebiasaan buang air besar, meliputi frekuensi, konsistensi, dan
bau, serta kebiasaan buang air kecil meliputi, frekuensi, warna,
dan jumlah.
d. Pola aktivitas-latihan : menggambarkan pola aktivitas pasien
sehari-hari. Pada pola ini yang perlu dikaji pengaruh aktivitas
terhadap kesehatannya. Mobilisasi sedini mungkin dapat
mempercepat proses pengembalian pergerakan pasca post op .
24

e. Pola istirahat-tidur : menggambarkan pola istirahat dan tidur


pasien, berapa jam pasien tidur, kebiasaan tidur siang, serta
penggunaan waktu luang seperti pada saat menidurkan bayi, ibu
juga harus ikut tidur sehingga istirahat-tidur terpenuhi. Istirahat
yang cukup dapat mempercepat pemulihan.
f. Pola persepsi-kognitif : menggambarkan tentang pengindraan
(pengelihatan, pendengaran, penciuman, perasa, dan peraba).
Biasanya ibu setelah post op merasa pusing dan mual maka peran
perawat sangat penting membantu pasien pemulihan setelah post
op.
g. Pola konsep diri-persepsi diri : menggambarkan tentang keadaan
sosial (pekerjaan, situasi keluarga, kelompok sosial), identitas
personal (kelebihan dan kelemahan diri), keadaan fisik (bagian
tubuh yang disukai dan tidak), harga diri (perasaan mengenai diri
sendiri), riwayat yang berhubungan dengan masalah fisik atau
psikologis pasien.
h. Pola hubungan-peran : menggambarkan peran pasien terhadap
keluarga, kepuasan atau ketidakpuasan menjalankan peran,
struktur dan dukungan keluarga, proses pengambilan keputusan,
hubungan dengan orang lain.
i. Pola seksual-reproduksi : masalah pada seksual-reproduksi,
menstruasi, jumlah anak, pengetahuan yang berhubungan dengan
kebersihan reproduksi.
j. Pola toleransi stress-koping : menggambarkan tentang penyebab,
tingkat, respon stress, strategi koping yang biasa dilakukan untuk
mengatasi stress
k. Pola keyakinan-nilai : menggambarjan tentang latar belakang
budaya, tujuan hidupp pasien, keyakinan yang dianut, serta adat
budaya yang berkaitan dengan kesehatan disini peran perawat di
butuhkan bisa mengunakan tehnik relaksasi benson.
25

2.5.5 Pemeriksaan fisik


a. Keadaan umum : tingkat kesadaran, jumlah GCS, tanda- tanda
vital (tekanan darah, frekuensi nadi, frekuensi pernafasan, suhu
tubuh,PQRST), berat badan, tinggi badan.
b. Pemeriksaan Head to Toe)
1) Kepala : amati wajah pasien (pucat atau tidak), adanya
kloasma.
2) Mata : Sectio Caesarealera (putih atau kuning), konjungtiva
(anemis atau tidak anemis).
3) Leher : adanya pembesaran kelenjar tiroid atau tidak, adanya
pembengkakan kelenjar limpha atau tidak.
4) Dada : payudara (warna areola (menggelap atau tidak)),
putting (menonjol atau tidak), pergerakan dada (simetris atau
asimetris), ada benjolan di bawah payudara pasien.
5) Abdomen : adanya linea atau striae, keadaan uterus (normal
atau abnormal), kandung kemih (bisa buang air kecil atau
tidak).
6) Genetalia : kaji kebersihan genetalia, lochea (normal atau
abnormal), adanya hemoroid atau tidak.
7) Ekstremitas : adanya oedema, varises, CRT, dan refleks
patella.

2.5.6 Data penunjang


Rontgen : dada, terdapat benjolan di bawah bagian payudara kiri
Di butuhkan tindakan pembedahan.

2.6 Diagnosa Keperawatan


Diagnosis yang muncul pada pasien post op yang berhubungan dengan
tumor phillodes mamae menurut Nanda (2021-2023).
26

2.6.1 Nyeri akut : pengalaman sensorik dan emosional tidak menyenagkan


berkaitan dengan kerusakan jaringan aktual atau potensial.

2.6.2 Hambatan rasa nyaman : merasa kurang nyaman, lega dan sempurna
dalam di mensi fisik, psikopiritual, lingkungan budaya.

2.6.3 Gangguan pola tidur : keterbatasan waktu terjaga karena faktor


eksternal.

2.7 Intervensi Keperawatan


2.7.1 Pada masalah yang pertama nyeri akut tindakan keperawatan yang di
lakukan adalah mengurangi rasa nyeri yang timbul tindakan utama
yang di lakukan pemberian tehnik relaksasi benson kepada pasien
untung mengurangi rasa nyeri pasien.

2.7.2 Pada masalah kedua hambatan rasa nyaman di lakukan tindakan


keperawatan dengan tujuan meningkatkan rasa nyaman, Adapun
rencana tindakan yang dilakukan untuk mencapai tujuan yaitu
mengatur posisi senyaman mungkin dan lingkungan pasien agar tidak
menggangu pasien, monitor tv pasien dan diskusikan kepada pasien
untuk mengatur posisi senyaman mungkin.(contohnya mengunakan
tehnik relaksasi benson) dengan posisi yang nyaman.

2.7.3 Pada masalah ketiga gangguan pola tidur dilakukan tindakan


keperawatan dengan tujuan meningkatkan istirahat pasien agar dapat
merasa nyaman agar masalah teratasi Adapun rencana tindakan yang
dilakukan untuk mencapai tujuan yaitu mengedukasikan kepada
pasien agar tidak terlalu banyak pikiran dan memberitahukan untuk
tetap terjaga pada ke imanan pasien dengan mengunakan tehnik
relaksasi benson.
27

2.8 Implementasi
1. Menurut (Kozier, 2010) Implementasi keperawatan adalah sebuah fase
dimana perawat melaksanakan intervensi keperawatan yang sudah
direncanakan sebelumnya. Berdasarkan terminologi NIC, implementasi
terdiri atas melakukan dan mendokumentasikan yang merupakan
tindakan keperawatan khusus yang digunakan untuk melaksanaan
intervensi. Implementasi keperawatan adalah pengelolaan dan
perwujudan dari rencana keperawatan yang telah disusun pada tahap
perencanaan (Setiadi, 2019).
2. Pelaksanaan atau implementasi keperawatan merupakan komponen dari
proses keperawatan yang merupakan kategori dari perilaku keperawatan
dimana tindakan yang diperlukan untuk mencapai tujuan dan hasil yang
diperkirakan dari asuhan keperawatan dilakukan dan diselesaikan
(Andarmoyo, 2019).

2.9 Evaluasi
Evaluasi merupakan tahap akhir dari proses keperawatan, dimana perawat
akan mengevaluasi respon pasien terhadap tindakan keperawatan yang telah
diberikan untuk memastikan bahwa hasil yang diharapkan telah dicapai.
Evaluasi adalah kegiatan terus-menerus yang dilakukan untuk menentukan
apakah rencana keperawatan efektif dan bagaimana rencana keperawatan
dilanjutkan, merevisi rencana atau menghentikan rencana keperawatan.
Walaupun evaluasi dilakukan pada akhir proses keperawatan, namun evaluasi
sebaiknya dilakukan secara terusmenerus selama pasien dirawat (Manurung,
2011).
Menurut Faisaldo (2014) evaluasi dapat dibagi menjadi 2 jenis yaitu:
2.11.1 Evaluasi Berjalan (Evaluasi Formatif)
Evaluasi yang dikerjakan dalam bentuk pengisian catatan
perkembangan berorientasi pada masalah yang dialami pasien .
Format yang digunakan dalam evaluasi formatif adalah SOAP.
28

2.11.2 Evaluasi akhir (Sumatif)


Evaluasi yang dikerjakan dengan membandingkan antara tindakan
yang telah dikerjakan dengan tujuan yang ingin dicapai. Jika terjadi
kesenjangan, maka proses keperawatan dapat ditinjau kembali untuk
mendapatkan data guna memodifikasi perencanaan. Format yang
digunakan dalam evaluasi sumatif adalah SOAPIER.

Anda mungkin juga menyukai