Anda di halaman 1dari 6

Al Azka Zuraida

203232023
Antropologi Budaya - 5B
Kritik

Kegagalan Institusi Punitif Untuk Mengembalikan Keadilan: Cerita Dalam


Lenggokan Badan

Gambar 1. Cais, sequence pertama

Panggung tersebut gelap, tidak ada suara apapun kecuali bisikan para audiens
kepada satu sama lain. Dengan lampu sorot tepat di tengah, sepuluh orang penari
dengan pakaian oranye khas narapidana bergerak mengikuti denyut musik. Parasnya
terganggu, dan setiap gerakannya kaku bukan dalam maksud mengintimidasi.
Terbatas, terkekang. Lalu mereka merekah, lenggokannya halus tapi intens secara
bersamaan, sebelum musik bertambah upbeat, membuat lenggokan mereka mulai
ramai dan cepat, lalu berhenti, mereka bersimpuh.

Dalam posisi bersimpuh, mereka memalingkan kepalanya ke kanan, atas, lalu


kiri, secara perlahan. Tak lama, badan mereka pun mengikuti, lalu melihat kembali ke
atas, beberapa penari mulai berdiri dan saling bersandar, berputar, lalu bergerak
dengan cepat, sedangkan penari yang bersimpuh masih bergoyang ke kanan dan kiri
dengan lambat, nampak seperti jeruji yang mengekang.

Cais adalah judul yang mereka pilih untuk tarian pertama ini. Dibaca terpisah (ca
is), tarian ini menceritakan tentang para pecandu narkoba yang terjebak di balik jeruji
besi. Gerakan-gerakan katarsis yang pada momen tertentu terasa terkekang
merupakan upaya para penari untuk menggambarkan kondisi yang seringkali dialami
oleh mereka yang memiliki hubungan pelik dengan narkoba. Menurut KBBI sendiri, cais
merujuk kepada tali kekang; kendali, dan menjadi penjelasan untuk pemilihan
koreografi para penari ini.

Gambar 2. Tulisan di belakang kostum pemain Cais

Berdasarkan data yang dicatat oleh Direktorat Jenderal Pemasyarakatan


(Ditjenpas) Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) per Agustus 2021, kasus
pemenjaraan akibat narkoba lah yang mendominasi lapas di seluruh Indonesia, dengan
jumlah narapidana sebanyak 145.413 orang atau sekitar 96% dari total narapidana.

Gambar 3. Jumlah narapidana berdasarkan kasus per Agustus 2022, databoks (2021)
Situasi ini mendatangkan problema baru, yaitu jumlah narapidana yang
melampaui kapasitas lapas (over-capacity). Kelebihan kapasitas ini sangat berbahaya,
belum lagi kondisi lapas di Indonesia kebanyakan masih sangat minim fasilitasnya.
Tidak jauh berbeda dengan keadaan di luar lapas, hanya segelintir narapidana yang
bisa tidur tenang. Kenyamanan menjadi salah satu komoditas yang sangat
diperebutkan di dalam ruang jeruji tersebut, siapapun yang dapat menyuap paling
tinggi, mereka yang berhak mendapatkan sel pribadi–sisanya, terutama narapidana
karena kasus yang terbilang cukup ringan dan merupakan masyarakat kelas bawah,
harus tidur berhimpitan dengan yang lainnya, membuat mereka sangat berisiko untuk
terkena penyakit. Belum lagi, akses kesehatan di dalam lapas masih sangat minim.

Gambar 4. Lautan merah

Tidak jarang, para narapidana ini harus meregang nyawa bahkan ketika
hukuman mereka bukan hukuman mati. Hasil riset dan observasi yang dilakukan tim
penari tercerminkan lewat adegan ketiga mereka, ketika mereka semua terjebak di
dalam kain merah secara tiba-tiba. Kain merah yang terbentang tersebut digerakkan
bak lautan penuh darah yang bergelombang, ditemani alunan musik yang
menegangkan. Beberapa penari muncul ke permukaan lewat lubang kain merah,
seperti mencoba meraih kebebasan, namun akhirnya ikut tertelan, meninggalkan
teriakan lirih sebelum panggung menjadi gelap total.
Setelah Cais selesai, panggung kembali diisi dengan sepuluh orang penari,
menggunakan kaus warna putih alih-alih oranye pada saat itu. Secara komposisi,
mereka mempunyai guidelines yang terbilang sama; dibagi menjadi tiga babak, dengan
durasi yang tidak jauh berbeda. Jika pada Cais kita bisa melihat pose-pose yang
menggambarkan tahanan seperti tangan dilipat ke belakang sambil bersimpuh, atau
jeruji yang terdiri dari badan penari, dalam pertunjukan kedua ini, Sasar memulai
dengan membentuk formasi seperti segitiga di tengah panggung.

Gambar 5. Formasi Sasar

Gerakannya lebih terlihat seperti sentakan dibanding geliat, dan terasa lebih
playful. Jika Cais menekankan kepada olah tarian yang nampak mengekang, Sasar
terlihat lebih bebas, berantakan dan kliyengan tapi indah, juga bersemangat. Dalam
beberapa sequence, mereka tertawa secara histeris, menepuk tangan, memainkan
rambut dan berlari-lari.

Di babak terakhir, mereka keluar dari panggung, menyambut beberapa applause


dari audiens sebelum kembali ke panggung membawa berbagai macam properti mulai
dari boneka, sprei Inter Milan, dan benda-benda aneh lainnya sambil dimainkan. Di sisi
lain, beberapa penari yang tidak memegang properti meringkuk di lantai, menangis dan
ketakutan. Sekilas, adegan itu seakan memperlihatkan gejolak jiwa yang seringkali

Gambar 6. Babak ketiga Sasar

Yang awalnya terlihat seperti sebuah ruangan rekreasi di dalam RSJ mulai
menjelma menjadi kengerian ketika interaksi satu sama lain mulai intens. Mereka saling
berteriak kepada satu sama lain, dan bertengkar. Pertengkaran ini menjadi semakin
sengit dan teriakan menjadi semakin melengking sebelum panggung menjadi gelap.
Terdengar satu teriakan terakhir sebelum semuanya menjadi senyap–bahkan saya saja
sampai bisa mendengar suara napas terengah-engah audiens di sekitar saya. Kami
semua langsung menyambut mereka dengan tepuk tangan yang meriah, bahkan
beberapa ada yang mengambil standing ovation.

Seminggu setelah pertunjukan, saya mendapat kesempatan untuk


mewawancarai salah satu penari dari bagian Sasar, yaitu Ikhwan Kamaludin, atau yang
dikenal sebagai Ciwan. Berdasarkan wawancara tersebut, pemilihan kata ‘sasar’
berasal dari tema yang hendak mereka angkat, yaitu tentang skizofrenia. Waktu
persiapan dan observasi yang mereka butuhkan hingga dihasilkan bagal kurang lebih
sekitar 3 minggu, dengan lokasi observasi di RSJ Jawa Barat.
Baik Cais maupun Sasar mengangkat sebuah diskusi penting tentang
masyarakat yang termarjinalkan, terlebih karena sistem punitif yang memberikan
pelaku kejahatan ataupun yang dinilai melanggar norma dengan hukuman setimpal
untuk memberikan efek jera. Meskipun begitu, hukum punitif juga seringkali tidak
efektif karena tidak memperhatikan faktor-faktor sosial dan psikologis yang mendasari
terjadinya kejahatan. Tanpa menangani akar permasalahan, hukuman tidak akan
mampu mengurangi kejahatan secara signifikan. Problematika ini diangkat dengan baik
oleh Cais dan Sasar lewat gerakan-gerakan yang sarat dengan emosi dan teknik yang
setara.

Anda mungkin juga menyukai