Anda di halaman 1dari 18

Jurnal Ilmiah Mahasiswa Raushan Fikr

http://ejournal.iainpurwokerto.ac.id/index.php/raushanfikr

KONSEP NASIKH WA MANSUKH MENURUT SYAH WALI ALLAH


AL-DAHLAWI DAN IMPLEMENTASINYA

Muhammad Rafi
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
e-mail: rafimuhammad617@gmail.com

Abstract
One interpretation discourse that is echoed by contemporary figures is a
discourse on nasikh and mansukh. Until now, Mansukh's narrative discourse is
still a problem. There are some groups who reject this concept and some groups
accept it. These groups can be classified into 3 groups: 1) Ulama mutaqaddimin
who receive naskh mansukh absolutely without limitations. 2) Ulama
muta'akhkhirin who limits nasikh mansukh to certain verses. 3). contemporary
scholars who reject the existence of mansukh nasikh. One of the scholars who
believed in the concept of nasikh and Mansukh with certain limitations was Shah
Wali Allah Al-Dahlawi. He is an Indian contemporary thinker, whose thinking is
very progressive. In this article we will discuss the concepts of Nasikh and
Mansukh according to Shah Wali Allah Al-Dahlawi and its application. The
method used is a descriptive method in describing the thoughts of Shah Wali
Allah Al-Dahlawi. In the perspective of al-Dahlawi the Mansukh naskh is actually
in the Qur'an, but is only limited to 5 verses of the Qur'an, namely: QS. Al-
Baqarah: 180, QS. Al-Baqarah: 234, QS. Al-Anfal: 65, QS. Al-Ahzab: 52 and QS.
Al-Mujadilah: 12.
Keywords: Al-Dihlawi, Application, Nasikh Mansukh.

Abstrak

Salah satu diskursus penafsiran yang banyak digaungkan oleh tokoh


kontemporer adalah diskursus mengenai nasikh dan mansukh. Hingga saat ini
diskursus nasikh dan Mansukh masih menjadi problematika tersendiri. Ada
sebagian kelompok yang menolak konsep ini dan ada sebagian kelompok yang
menerimanya. Kelompok-kelompok tersebut dapat di klasifikasikan menjadi 3
kelompok: 1) Kelompok yang menerima seutuhnya konsep nasikh dan mansukh
tanpa ada atasan tertentu. Pendapat ini kebanyakan diaplikasikan oleh ulama
mutaqaddimin. 2) Kelompok yang menerima adanya konsep nasikh dan
mansukh, akan tetapi ada batasan tertentu. Pendapat ini kebanyakan dianut
oleh ulama muta’akhkhirin. 3). kelompok yang menolak adanya konsep nasikh
dan Mansukh. Pendapat ini pada umumnya dianut oleh ulama kontemporer.
Salah satu ulama yang meyakini adanya konsep nasikh dan Mansukh dengan

Vol. 9 No. 2 Juli-Desember 2020 112


Jurnal Ilmiah Mahasiswa Raushan Fikr
http://ejournal.iainpurwokerto.ac.id/index.php/raushanfikr

batasan tertentu adalah Syah Wali Allah Al-Dahlawi. Ia adalah seorang pemikir
kontemporer berkebangsaan India, yang mana pemikirannya sangatlah
progresif. Dalam artikel ini akan dibahas konsep nasikh dan Mansukh menurut
Syah Wali Allah Al-Dahlawi serta aplikasinya. Adapun metode yang digunakan
adalah metode deskriptif dalam menjabarkan pemikiran-pemikiran Syah Wali
Allah Al-Dahlawi. Dalam perspektif al-Dahlawi naskh Mansukh sebenarnya ada
dalam al-Qur’an, namun hanya terbatas pada 5 ayat al-Qur’an, yaitu: QS. Al-
Baqarah: 180, QS. Al-Baqarah: 234, QS. Al-Anfal: 65, QS. Al-Ahzab: 52 dan QS.
Al-Mujadilah: 12.
Kata kunci: Al-Dihlawi, Aplikasi, Nasikh Mansukh.

Pendahuluan

Pandangan teologis umat Islam bahwa al-Qur’an Ṣālih li Kulli Zamān wa


Makān menyebabkan al-Qur’an selalu dikaji. Kajian terhadapnya tidak akan
pernah mati dilakukan oleh para pengkaji al-Qur’an dalam setiap pergerakan
waktu, dari era klasik sampai era modern-kontemporer ini.89 Salah satu bentuk
kajian terhadap al-Qur’an yang giat dieksplorasikan oleh para sarjana Muslim
sejak zaman klasik hingga sekarang adalah interpretasi terhadap al-Qur’an yang
tertuang dalam kitab tafsir mereka.
Penafsiran itu sendiri tidak akan lepas dari berbagai pendekatan dan
metode yang ditawarkan oleh sang mufassir. Perbedaan pendekatan akan
melahirkan produk tafsir yang beragam. Ketika al-Qur’an ditafsirkan dengan
pendekatan filsafat, maka akan melahirkan tafsir yang bercorak filosofis.
Demikian pula ketika al-Qur’an ditafsirkan dengan pendekatan gender, maka
bias-bias patriarki dalam tafsirnya akan dieliminasi dan dieksekusi. 90 Demikian
pula ketika pendekatan-pendekatan lain digunakan dalam upaya memahami al-
Qur’an. Metode yang beragam pun turut mewarnai kajian terhadap al-Qur’an,
seperti metode tahlili, mauḍu’i91, muqaran, semantik, dan metode-metode
yang bersifat interdisipliner.
Metode yang digunakan pun berkembang dari masa ke masa. Diskursus
yang dibahas pun ada berbagai macam, mulai dari kebahasaan, kesusteraan
(balaghah), asbabun nuzul, munasabah ayat, makki madani dan masih banyak
lagi. Diantara diskursus yang paling banyak menimbulkan polemik adalah nasikh
wa Mansukh. Diskursus ini hingga sekarang masih menjadi problematika
tersendiri. Ada sebagian kelompok yang menolak konsep ini dan ada sebagian

89
Khairun Nisa, “Shifting Paradigm dalam Dunia Tafsir: Studi atas Interpretasi
Kontekstual dan Hierarki Nilai Abdullah Saeed,” 2016, 34.
90
Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah al-Qur’an (Yogyakarta: Adab Press, 2014), 3–4.
91
Manna Khalil al-Qattan, Mabāhiṣ fi Ulūm al-Qur’ān (Bogor: Litera AntarNusa, 2013), 3–
4.

Vol. 9 No. 2 Juli-Desember 2020 113


Jurnal Ilmiah Mahasiswa Raushan Fikr
http://ejournal.iainpurwokerto.ac.id/index.php/raushanfikr

kelompok yang menerimanya. Kelompok-kelompok tersebut dapat di


klasifikasikan menjadi 3 kelompok: 1) Kelompok yang menerima seutuhnya
konsep nasikh dan mansukh tanpa ada batasan tertentu. Pendapat ini
kebanyakan diaplikasikan oleh ulama mutaqaddimin. 2) Kelompok yang
menerima adanya konsep nasikh dan mansukh, akan tetapi ada batasan
tertentu. Pendapat ini kebanyakan dianut oleh ulama muta’akhkhirin. 3)
kelompok yang menolak adanya konsep nasikh dan Mansukh. Pendapat ini pada
umumnya dianut oleh ulama kontemporer. Dalam artikel ini penulis akan
berusaha menjelaskan secara rinci pemikiran Syah Wali Allah Al-Dahlawi serta
aplikasinya. Adapun metode yang penulis gunakan adalah metode deskriptif
dalam menjelaskan pemikiran Al-Dahlawi.

Biografi Syah Wali Allah Al-Dahlawi

Syah Wali Allah Al-Dahlawi92 (1114 H/1704M-1176H/1768M)9, dilahirkan di


Delhi India dengan nama lengkap Wali Allah Ahmad ibn Abd Rahim Ibn Wajih al-
Din al-Syahid ibn Mu’dham ibn Mansur ibn Ahmad ibn Mahmud ibn Qiwam al-Din
ibn Qasim ibn kabir al-Din ibn Abd al-Malik Ibn Qutb al-Din ibn Kamal al-Din ibn
Syams al-Din Ibn Shayr al-Malik ibn Muhamad ibn Abi al-Fath ibn Umar ibn Adil
ibn Faruq ibn Jurjesh ibn Ahmad ibn Muhamad ibn Utsman ibn Mahan ibn
Hamayun ibn Qurays ibn Sulayman ibn Affan ibn Abdillah Ibn Muhamad ibn
Abdillah ibn Umar ibn Khatab al-Adawi al-Quraysh. Dilihat dari runtut nasab
tersebut Shah Wali Allah bernasab kepada khalifah kedua, yaitu Umar bin
Khattab ra. Keluarganya sebagai keturunan yang mempunyai status sosial di
masyarakatnya. Ini dapat dilihat dari sisi keilmuwan ayahnya (Syaikh Abd.
Rahim/1054-1131 H) sehingga dapat menduduki posisi Qadhi’ (hakim), juga
sebagai ustaz di madrasahnya sendiri al-Rahimiyah.93

Dengan dibekali ilmu yang diberikan oleh ayahnya, ad-Dahlawi tumbuh


sebagai seorang yang mampu mengajari semua aspek ajaran Islam. Umur 5
tahun ia sudah menekuni ilmu di Madrasah milik ayahnya dan umur 7 tahun ia
telah hafal al-Qur’an seluruhnya. Pada tahun 1731 M, ia pergi ke Hijaz untuk
memperdalam ilmu-ilmu keagamaan seperti hadis, fiqh dan tasawuf. Untuk
ilmu yang terakhir itu ia telah mendapatkan ‘ijazah’ dari seorang gurunya yang
bernama Syaikh Abu Tahir al-Madani seorang ulama sufi terkenal. Mengenai
perjalanannya ke Hijaz tersebut, menurut M. Mujeeb karena ingin

92
Syah Wali Allah al-Dihlawi, Pengetahuan Suci Dimensi-Dimensi Ruhani Mistisisme
(Surabaya: Risalah Gusti, 2002), v; M. Sharif, History of Muslim Philosophy (Lahore: Pakistan of
Philosophical Conggres, t.t.), 1557; Asmawi, “Penyitaan Harta Dalam Transaksi Bisnis Syariah:
Telaah Pemikiran Syah Waliyullah Ad-Dihlawi,” Epistemé 7, no. 2 (Desember 2012): 366.
93
Syah Wali Allah al-Dihlawi, al-Maswa Syarh al-Muwatha’ (Beirut: Dar al-Kutub Ilmiyah,
1983), 5–6; Syah Wali Allah al-Dihlawi, Fauzul Kabir Fi Ushuli Tafsir, t.t., 5–6.

Vol. 9 No. 2 Juli-Desember 2020 114


Jurnal Ilmiah Mahasiswa Raushan Fikr
http://ejournal.iainpurwokerto.ac.id/index.php/raushanfikr

menghindarkan diri dari ancaman ulama-ulama tradisional India, karena ad-


Dahlawi telah memberanikan diri menerjemahkan al-Qur’an ke dalam bahasa
Persia, suatu usaha yang dianggap masih tabu pada saat itu.94 Namun pendapat
ini banyak yang menentangnya, karena Syah Wali Allah sendiri tidak bercerita,
sebagaimana ia banyak menceritakan pengalamannya melalui beberapa
kitabnya. Ada satu hal menarik dari perjalanan ad-Dahlawi tersebut, menurut
penuturannya dalam kitab Fuyu’ al-H{ara>main dan at-Tafhimat, ia telah bertemu
dengan ruh Nabi Muhammad saw. dan memperoleh ma’rifah, ilmu dan
bimbingan serta berbagai keistimewaan dari Nabi. Dengan pengalamannya ini
ia menggunakan gelar Uwaisy dan Wasi, bahkan menyebutnya sebagai
mujaddid. Cerita yang hampir sama juga dituturkan dalam kitabnya H{ujjah Alla>h
al-Ba>ligah bahwa suatu ketika ia bermimpi bertemu dengan al-Hasan dan al-
Husain, keduanya seakan memberi sebuah pena (qalam) seraya mengatakan
bahwa pena itu mereka dapatkan dari Rasulullah saw.95

Tahun 1145 H, ad-Dahlawi kembali ke India, tepatnya setelah selama 14


bulan berada di Hijaz. Dengan kekuatan ilmu dan keyakinannya bahkan dengan
pengalaman-pengalaman spiritual yang ia dapatkan sewaktu berada di Makkah,
ia mulai bertambah gencar melakukan gerakan-gerakan pembaharuan di India.
Ia meneruskan pekerjaannya yang lama sebagai guru dan banyak mengarang
buku.96 Karyanya cukup banyak tak kurang dari 50 karangan dari berbagai
disiplin ilmu telah ia tulis. Mulai al-Qur’an hadis, sejarah atau tarikh, fikih, Usl
al-Fiqh, tasawuf, filsafat dan sebagainya. Di antaranya adalah Fath al-Rahman
bi Tarjamat al-Qur’an, al-Fawz al-Kabir, Fath al Kabir bima Labuda min
Hifzhihi fi al-Tafsir, al-Maswa min Ahadits al-Muwatha’, al-Musaffa, Hujat
Allah al-Balighah, al-Inshaf fi Bayani Asbab al-Ikhtilaf, ‘Iqd al-Jid fi al-Ijtihad
wa al-Taqlid, Izalat al-Khafa ‘an Khilafat al-Khulafa’, Qurat al-Ayn fi Tafdhil
al-Shaikhain, al-Irshad ila Muhimat Ilm al-Isnad dan sebagainya.97

Kondisi Sosial-Keagamaan dan Politik di India Pada Abad XVIII

Historisitas ulama India di masa Shah Wali Allah hidup, tidak dapat
dipisahkan dengan faktor sosial politik di India sendiri. Menjelang era
tranformasi modern di anak benua India ini, Imperium Mughal sebagaimana
imperium Usmani dan Safawiyah merupakan sebuah rezim patrimonial yang
dengan kuat menekankan identitas India dan Persianya yang kosmopolitan.

94
M. Mujeeb, The Indian Muslims (London: George Allen and Unwin Ltd, 1967), 277.
95
Gazali Munir, “Pemikiran Pembaruan Teologi Islam Syah Wali Allah Ad-Dahlawi,”
Teologia 23, no. 1 (Januari 2012): 19.
96
Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Jakarta:
Bulan Bintang, 1982), 6–9.
97
al-Dihlawi, al-Maswa Syarh al-Muwatha’, 8.

Vol. 9 No. 2 Juli-Desember 2020 115


Jurnal Ilmiah Mahasiswa Raushan Fikr
http://ejournal.iainpurwokerto.ac.id/index.php/raushanfikr

Kehidupan keagamaan Muslim di anak benua ini sangat pluralistik. Demikian


juga struktur komunal keagamaan khususnya Muslim sebagai kaum minoritas di
India tidak terbentuk dalam komunitas tunggal, melainkan terdiri dari berbagai
kelompok etnis, nasab dan sejumlah kelas penduduk, bahkan terdiri dari
beberapa kasta.98

Muslim India membentuk sejumlah badan keagamaan berdasarkan


persekutuan terhadap mazhab hukum, tarekat sufi dan persekutuan terhadap
ajaran syaikh, ulama dan wali individual. Sebagian mereka adalah warga Sunni
dan sebagian Syi’i, meskipun ini bukan sebagai pembeda yang absolut, lantaran
kuatnya simpati warga Sunni terhadap keluarga Ali. Warga Sunni sendiri
dibedakan antara mereka yang komitmen terhadap skripturalis dan mereka
yang berprinsip terhadap sufisme populer,99 sebuah bentuk keagamaan di mana
pemujaan terhadap wali baik yang masih hidup atau yang sudah meninggal
dengan penggabungan sejumlah seremoni zikir, penyesalan dan seremoni
perkawinan dan pemakaman merupakan prinsip utama dari ekspresi keagamaan
mereka.

Pada periode Mughal ini terjadi disposisi pengaruh tarekat


Naqshabandiyah dan Qadiriyah yang menggantikan pengaruh tarekat
Suhrawardiyah dan Chistiyah. Pengikut tarekat Naqshabandiyah
mengembangkan sebuah disiplin spiritual yang mengarah kepada penglihatan
(vision) terhadap Allah, tetapi mereka juga bersikeras akan pentingnya
keterlibatan aktif dalam urusan duniawi. Pemimpin dari tarekat ini di India
adalah Mirza Mazhar (1700-1781M), kemudian dilanjutkan Ghulam Ali (1753-
1824) yang menekankan peranan sosial dan politik seorang syaikh
Naqsyabandiyah, mengorganisir Khanqah, mengirimkan murid-muridnya
menyusup ke Iran dan Afghanistan, memanfaatkan pengaruh moralnya terhadap
tokoh-tokoh politik.100

Mungkin lantaran doktrin inilah yang memuluskan konversi penguasa


dalam sistem keagamaan Muslim di India. Sehingga pada pada masa ini ulama
adalah ilmuwan-ilmuwan Muslim yang mengabdikan kepada negara yang masuk
pada sistem administrasi birokrasi keagamaan seperti Qadhi yang menguasai
peradilan, sadr propinsial yang mengepalai para hakim, mubaligh, imam salat
dan mu’adzin, bertanggung jawab terhadap pengangkatan mufti serta menjaga
hubungan antara pemerintah dan ulama. Berbeda dengan pola Naqshabandiyah,

98
Ira. M. Lapidos, Sejarah sosial Umat Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), 703.
99
Lapidos, 458.
100
Lapidos, 459.

Vol. 9 No. 2 Juli-Desember 2020 116


Jurnal Ilmiah Mahasiswa Raushan Fikr
http://ejournal.iainpurwokerto.ac.id/index.php/raushanfikr

tarekat yang lain menekankan pemujaan para wali, yang mengesampingkan


aspek duniawi dan ajaran syariat sebagai langkah awal untuk menuju hakikat.

Pengaruh Syi’i di India juga sangat besar karena ada penguasa Muslim
yang berasal dari aliran ini. Golconda dan Kashmir diperintah oleh rezim Mughal
yang mempunyai seorang istri Syi’i dan sejumlah kaum Syi’i yang menduduki
jabatan tinggi. Pengikut Syi’i di India tidak hanya dari Syiah dua belas tetapi
juga dari Nizariyah dan Bohras.101

Keragaman keagamaan Muslim dan sejumlah kelompok sosial di India


melahirkan sejumlah konsep yang bertabrakan sekitar makna sosial keyakinan
agama Islam (the social meaning of Islamic religious belief).102 Kelompok
Syariah minded memahami masyarakat Muslim sebagai sebuah garis nasab dan
garis kelas yang tidak linier (terputus-putus). Mereka mendefinisikan Muslim
tidak pada garis keturunan Nasab, tidak berdasarkan posisi dalam negara, atau
berdasarkan pekerjaan tetapi berdasarkan keyakinan individual terhadap Islam
yang melampaui seluruh ikatan sosial dan memandang manusia sederajat dan
saling bersaudara dalam agama. Muslim Syariah juga memberlakukan hukum
Islam oleh negara dan penyerahan perkara warga Hindu kepada pemerintahan
Muslim dengan diskriminasi pajak dan sejumlah pembatasan. Sebaliknya
sufisme yang berkembang pada saat itu memperlakukan Islam sebagai sebuah
aspek integral ikatan keturunan, pekerjaan, atau ikatan ketetanggaaan. 103

Perbedaan orientasi keagamaan tersebut merupakan sebuah


permasalahan politik yang sangat penting pada abad-17 dan 18, ketika pihak
penguasa atau negara mencapai kebijakan konsiliasi antarbeberapa kelompok
Muslim yang berbeda, antara kelompok Muslim dan Hindu. Ini disebabkan
adanya tantangan oleh tokoh-tokoh dari Syariah orientied dan ulama-ulama non
Syariah. Penentang terbesar dari kebijakan imperial adalah Syaikh Ahmad
Sirhindi yang mengklaim sebagai mujtahid.104 Sebagai figur Naqshabandiyah, ia
menyuarakan ide-ide pembaruan atas sudut pandang Syariah dan kaum
reformis. Serta memodifikasi doktrin wahdatul wujud Ibn ‘Arabi dan landasan
metafisika ajaran sinkretisme agama menjadi wahdat al-syuhud (kesatuan
pandangan).

Demikian juga idenya tentang konsep negara Islam. Menurut


pandangannya, Hinduisme dan Islam merupakan sebuah hubungan mutual yang
sifatnya dualisme. Adalah menjadi kewajiban Muslim untuk menundukkan non-

101
Lapidos, 460.
102
Lapidos, 710.
103
Lapidos, 765.
104
Lapidos, 709.

Vol. 9 No. 2 Juli-Desember 2020 117


Jurnal Ilmiah Mahasiswa Raushan Fikr
http://ejournal.iainpurwokerto.ac.id/index.php/raushanfikr

Muslim. Oleh karena itu, ia selalu menganjurkan para penguasa untuk


memberlakukan pajak kepala kepada non-Muslim, membebaskanya dari jabatan
politik dan memberlakukan syariat dalam semua bidang.

Di sinilah posisi Shah Wali Allah dalam kancah dinamika keagamaan dan
politik di India abad-18. Sebagai seorang pembaru (reformer) dan pengikut
Sirhindi105 ia mencoba mengadaptasikan hukum-hukum Islam terhadap kondisi
lokal. Dengan berusaha mensistesakan perbedaan mazhab hukum, berusaha
meredam perselisihan antara mazhab di kalangan Muslim India, juga penerapan
syariat Islam untuk menjalankan roda ketatanegaraan dengan menggunakan
sistem khalifah.106

Dari beberapa deskripsi analitis tentang kondisi sosial keagamaan dan


politik di India abad-18 di masa Shah Wali Allah hidup, dapat dipahami bahwa
sebagai konsekuensi dari pluralisme, di India tidak berkembang sebuah naluri
identitas Muslim yang bersifat universal dan menyatu. Hubungan imperium
Mughal dan kehidupan keagamaan Muslim terjaga melalui pluralisme ini.
Meskipun negara melindungi sekelompok kecil ulama, namun pihak ulama dan
sufi, keduanya secara umum bergantung kepada negara.

Ulama reformis minded yang mewakili citra Islam universalistis seringkali


bersikap kritis terhadap negara Mughal lantaran kultur kosmopolitan dan kultur
imperial yang dikembangkanya, elit Hindu terlibat di dalamnya, serta sikap
loyalitas patrimonial terhadapnya. Sebaliknya para pemimpin tarekat sufi,
cenderung sebagai kelompok akomodasionis, mendukung negara dan
membenarkan legitimasi rezim Mughal, atau mereka bersikap menghindar diri
sepenuhnya dari konsepkonsep politik. Demikianlah dinamika keagamaan
Muslim India premodern yang tidak mewariskan doktrin tentang kekuasaan
negara serta tidak juga sejarah pembentukan mazhab hukum atau ulama,
melainkan masih dalam bentuk gerakan kegamaan Muslim oleh para ulama yang
bersifat otonom dan kompetitif.

Pengertian Nasikh dan Mansukh

Secara etimologis, kata “nasikh” dan “mansukh” merupakan bentuk isim


failnya dan maf‘ul dari kata naskh. Kata ini mempunyai arti yang beragam,
antara lain: menghilangkan, menghapuskan, membatalkan. Artinya, naskh
berarti membatalkan.107 Disamping itu juga nāskh berarti memindah dari satu
wadah ke wadah yang lain, atau juga berarti penukilan dan penyalinan. Kata

105
Lapidos, 710.
106
Lapidos, 769.
107
Qatadah, Nasikh wa Mansukh (Kairo: Muassasah al-Risalah, 1998), 5–6.

Vol. 9 No. 2 Juli-Desember 2020 118


Jurnal Ilmiah Mahasiswa Raushan Fikr
http://ejournal.iainpurwokerto.ac.id/index.php/raushanfikr

nāsikh menurut sifat sendiri memiliki banyak makna, bisa berarti:


Menghilangkan (al-Izālah), Menggantikan (at-Tabdīl), at-Tahwil (peralihan),
dan Naql artinya memindahkan dari satu tempat ketempat yang lain. Jadi
“na>sikh” adalah sesuatu yang membatalkan, menghapus, memindahkan dan
mengubah, sedang “mansu>kh” adalah sesuatu yang dibatalkan. dihapus.
dipindahkan. dirubah dan lain sebagainya.108

Sedang menurut istilah ulama’ ushul, na>sikh adalah membatalkan


pelaksanaan hukum syara’ yng telah ada sebelumnya dengan dalil yang datang
kemudian,109 yang menunjukkan penghapusannya secara jelas ataupun implisit
(Dzanni), baik penghapusan itu secara keseluruhan atau sebagian menurut
kepentingan yang ada. Adanva fenomena na>sikh dan mansu>kh dalam al-
Qur’an dan al-Sunnah, menurut logika dapat diterima, sebab turunnya ayat
maupun wurudnya al-Hadis itu terkadang merespon langsung kebutuhan umat
yang tergantung oleh kondisi sosio-kultural. Bisa terjadi ayat yang turun
kemudian telah membatalkan kandungan ayat sebelumnya akibat perubahan
kondisi sosial.

Sebagaimana dalam pengertian etimologi, nāskh dalam pengertian


secara terminologi pun memiliki pengertian yang berbeda-beda, ada yang
pendapat yang mengatakan bahwa nāskh adalah mengangkat atau menghapus
hukum syara‟ dengan dalil hukum (khitab) yang lain sebagaimana yang
disebutkan sebelumnya.110 Sementara al-Zarqani mengatakan bahwa definisi
nāskh menurut istilah adalah mengangkat hukum syar’i dengan dalil syara’ yang
lain, ini dapat dipandang sebagai definisi yang cermat.111 Dan menurut Abu
Zahroh mendefinisikan nāskh dengan penghapusan hukum syar’i oleh Syāri’
(Allah) dengan dalil yang datang kemudian.112

Dengan demikian, nāskh secara singkat dapat dipahami sebagai


pembatalan atau pemindahan suatu hukum syariat ditandai dengan adanya dalil
syariat setelahnya yang menunjukkan pembatalan atau pemindahan hukum
tersebut. Hal ini dikarenakan perubahan konteks dan kondisi sosial-kultural
pada saat syariat tersebut diberlakukan. Berdasarkan argumentasi Qatadah,
penulis menyimpulkan bahwa nāskh hanya terjadi pada ayat atau hadis yang

108
M Shihab Quraisy, Membumikan al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1994), 143.
109
Qatadah, Nasikh wa Mansukh, 6.
110
al-Qattan, Mabāhiṣ fi Ulūm al-Qur’ān, 232.
111
Muhammad Abdul Adzim al-Zarqoni, Manahil al-„Irfan fi Ulumil Qur‟an (Beirut: Dar
al-Fikr, t.t.), 151.
112
Muhammad Abu Zahroh, Ushul Fiqh (Beirut: Dar al-Fikr, 1958), 60.

Vol. 9 No. 2 Juli-Desember 2020 119


Jurnal Ilmiah Mahasiswa Raushan Fikr
http://ejournal.iainpurwokerto.ac.id/index.php/raushanfikr

memuat amr (perintah) dan nahyu (larangan) ataupun khabar yang bermakna
perintah ataupun larang, tidak pada tempat selain ketiganya.113

Terdapat perbedaan pendapat antara ulama mutaqaddimin dan


mutaakhirin dalam mendefinisikan nasakh secara terminologi. Perbedaan
pendapat tersebut bersumber pada banyaknya pengertian nasakh secara
etimologi sebagaimana dijelaskan di atas. Cakupan makna yang ditetapkan
ulama mutaqaddimin di antaranya: 1) Pembatalan hukum yang ditetapkan
sebelumnya dengan hukum yang ditetapkan kemudian; 2)
Pengecualian/pengkhususan hukum bersifat `am/umum oleh hukum yang lebih
khusus yang datang setelahnya; 3) Bayan atau penjelasan yang datang kemudian
terhadap hukum yang bersifat samar; 4) Penetapan syarat terhadap hukum
terdahulu yang belum bersyarat.114

Berdasarkan pada gugusan paparan di atas, ulama mutaqaddimin secara


terminologis mengusung makna nasakh secara luas, yaitu tidak terbatas pada
berakhir atau terhapusnya suatu hukum baru yang ditetapkan. Namun
interprestasi nasakh yang diusung oleh mereka juga menyangkut yang bersifat
pembatasan, pengkhususan, bahkan pengecualian. Sementara menurut ulama
mutaakhirin, nasakh adalah dalil yang datang kemudian, berfungsi untuk
menggugurkan dan menghilangkan hukum yang pertama.115 Dengan demikian
mereka mempersempit ruang lingkup nasakh dengan beberapa syarat, baik yang
menasakh maupun yang dinasakh.

Ibnu al-Barizi berkata dalam kitabnya “Nasikh al-Qur’an al-Aziz Wa


Mansukhuhu” bahwasanya ulama mutaqaddimin seperti Ibnu Abbas dan
selainnya, mereka menggunakan istilah naskh pada pembahasan takhsis,
itstisna dan hal-hal yang musykil seperti perintah berperang setelah
diperintahkan untuk bersabar. Hal ini mereka lakukan karena kesemuanya itu
sama-sama terkait mengenai menghapus hukum yang terdahulu. Sedangkan
ulama mutaakhirin tidak menganggap takhsis, itstisna dan hal-hal yang musykil
sebagai naskh, karena naskh bagi mereka adalah penghapusan hukum yang
tsabit secara nash dengan nash lainnya yang datang setelahnya.116 Pada
umumnya, para ulama membagi nasakh menjadi empat bagian, yaitu nasakh
sunnah dengan sunnah, nasakh sunnah dengan al-Qur’an, nasakh al-Qur’an
dengan al-Qur’an, dan nasakh al-Qur’an dengan sunnah.

113
Qatadah, Nasikh wa Mansukh, 6.
114
Moh. Nor Ichwan, Studi Ilmu-Ilmu al-Quran (Semarang: RaSail Media Group, 2002),
108.
115
Shihab, Membumikan al-Qur’an, 143.
116
Abu Bakar az-Zuhri, Nasikh Wa Mansukh Fi Al-Qur’an (Kairo: Dar Ibn Affan, 2007), 24.

Vol. 9 No. 2 Juli-Desember 2020 120


Jurnal Ilmiah Mahasiswa Raushan Fikr
http://ejournal.iainpurwokerto.ac.id/index.php/raushanfikr

Pro Kontra Naskh Mansūkh dalam Al-Qur’ān

Eksistensi naskh mansūkh dalam al-Qur’ān merupakan sebuah persoalan


yang tiada henti-hentinya mengundang untuk didiskusikan. Pertanyaannya
adalah bisakah suatu ayat dinaskh oleh ayat yang lainnya yang dianggap
kontradiksi (ta’ārudl). Secara garis besar pandangan ulama mengenai naskh
mansūkh dalam al-Qur’ān dapat dibagi menjadi dua, yaitu pandangan pro naskh
mansūkh dalam al-Qur’ān dan pandangan kontra naskh mansūkh dalam al-
Qur’ān. Berikut penjelasan argumentasi dua kelompok pro dan kontra ini.

1. Hujjah Kelompok yang Pro Naskh Mansūkh


Ulama yang mendukung eksistensi naskh-mansūkh menyatakan bahwa
naskh (penghapusan) sebagian ayat al-Qur’ān oleh ayat yang lainnya adalah
boleh dan telah terjadi. Alasan mereka adalah:

a. Firman Allah dalam QS. Al-Baqarah: 106:


‫اَّللا اعلاى ُك ِل اش ْي ٍء قا ِد ٌير‬
َّ ‫ان‬َّ ‫ْت َِبا ٍْي ِم ْن اها أ ْاو ِمثْلِ اها أااَلْ تا ْعلا ْم أ‬
ِ ‫ما نا ْنس ْخ ِمن آي ٍة أاو نُ ْن ِس اها اَن‬
ْ ‫ا ا ْ ا‬
]١0٦ :‫[البقرة‬
“Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan
(manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik
daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu
mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala
sesuatu?” (QS. Al-Baqarah [2]: 106).
Ayat tersebut dijadikan dasar naqli bagi mayoritas ulama yang
mendukung adanya nasakh dalam al-Quran. Mayoritas ulama tanpa
keraguan menetapkan ayat-ayat yang termasuk nasakh dan mansukh
tetap berlaku, akan tetapi segi hukum yang berlaku menyeluruh sampai
waktu tertentu tidak dapat dibatalkan kecuali oleh syara`. Jadi menurut
mereka, nasikh mansukh bisa diterima oleh akal dan telah terjadi dalam
hukum syara` sesuai dalil di atas.

b. Firman Allah dalam QS. An-Nahl: 101:


َّ ‫اوإِذاا با َّدلْناا آياةا ام اكا ان آياٍة او‬
‫اَّللُ أا ْعلا ُم ِِباا يُنا ِز ُل قاالُوا إِ ََّّناا أانْ ا‬
‫ت ُم ْف اٍَت با ْل أا ْكثا ُرُه ْم اال يا ْعلا ُمو ان‬
]١0١ :‫[النحل‬
“Dan apabila Kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain
sebagai penggantinya padahal Allah lebih mengetahui apa yang
diturunkan-Nya, mereka berkata: "Sesungguhnya kamu adalah
orang yang mengada-adakan saja". Bahkan kebanyakan mereka
tiada mengetahui.”

Vol. 9 No. 2 Juli-Desember 2020 121


Jurnal Ilmiah Mahasiswa Raushan Fikr
http://ejournal.iainpurwokerto.ac.id/index.php/raushanfikr

c. Pernyataan Ali bin Abī Thālib kepada seorang hakim “Apakah kamu
mengerti tentang naskh mansūkh? Tidak, jawabnya. (kalau begitu) kamu
binasa dan membinasakan orang lain, ujar Ali”117
d. Karena adanya kontradiksi antara satu ayat dengan ayat lainnya, jika
dilihat dari segi makna yang tersurat, seperti ayat tentang wasiyyat
dengan ayat tentang mawaris.

Menurut Subhi Shalih Allah sejak azali telah mengetahui soal naskh
dan mansūkh sebelum kedua soal itu disyari’atkan bagi hamba-hamba-Nya,
bahkan sebelum manusia, langit, dan bumi diciptakan-Nya. Allah Maha
Mengetahui bahwa pen-naskh-an hukum yang pertama (ketentuan hukum
yang di-naskh) adalah untuk kepentingan suatu hikmah atau suatu
kemaslahatan hingga waktu tertentu. Kemudian hukum yang keduapun
(yang menaskh hukum yang pertama) ditetapkan untuk kepentingan suatu
hikmah atau kemaslahatan yang lain. Ketentuan baru yang me-naskh
ketentuan lama tidak lain hanyalah penampilan sesuatu bagi manusia, bukan
penampilan sesuatu bagi Allah.118

Ulama yang melopori konsep nasakh mansukh dalam al-Quran


menurut Ahmad Izzan, adalah asy-Syafi`i, al-Suyuti, al-Nahas, dan al-
Syaukani.119 Persoalan nasakh bagi kelompok pendukungnya merupakan
salah satu cara menyelesaikan beberapa dalil tersebut. Apabila tidak bisa
dikompromikan, salah satunya dinasakhan atau dibatalkan. Di samping itu,
mereka berpendapat bahwa dalam al-Quran secara implisit memang
mengandung konsep nasakh. Oleh karen itu jika seseorang ingin menafsirkan
al-Quran, menurut M. Abu Zahrah, harus terlebih dahulu mengetahui
tentang nasikh dan mansukh.120

Menurut kelompok ini keberadaan nasakh dalam al-Quran selain


memiliki dasar dari al-Quran, secara praktis juga nyata dalam sejarah Islam,
dan naskh disebut secara eksplisit di dalam al-Quran. Rachmat Syafe`i
memberikan batasan terhadap ayat yang dinasakh, yaitu : (1) ayat al-Quran
yang konsekuensi hukumnya saling bertolak belakang dan tidak dapat
dikompromikan, (2) harus diketahui secara meyakinkan urutan turunnya

117
Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011),
117.
118
Subhi ash-Shalih, Membahas Ilmu-ilmu al-Qur’ān (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004),
385.
119
Ahmad Izzan, Ulumul Quran: Telaah Tekstual dan Kontekstuals al-Quran (Bandung:
Tafakur, 2009), 187.
120
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008), 120.

Vol. 9 No. 2 Juli-Desember 2020 122


Jurnal Ilmiah Mahasiswa Raushan Fikr
http://ejournal.iainpurwokerto.ac.id/index.php/raushanfikr

ayat-ayat tersebut, yang lebih dahulu ditetapkan sebagai mansukh dan yang
datang kemudian sebagai nasikh.

2. Hujjah Kelompok yang Kontra Naskh Mansūkh


Tidak sependapat tentang adanya naskh dalam al-Qur’ān sebagian
ulama yang lain berpendapat bahwa tidak ada naskh (penghapusan) ayat
dengan ayat lainnya dalam al-Qur’ān. Ulama yang menyatakan demikian
diantaranya adalah Abu Muslim alAsfahaniy (w.322 H) yang kemudian diikuti
oleh ulama mutaakhirin. Diantara argumentasi ulama-ulama yang
menyatakan tidak ada naskh dalam al-Qur’ān adalah:

a. Jika dalam al-Qur’ān terdapat ayat yang telah mansūkh (dihapus), maka
sebagian ayat al-Qur’ān ada yang dibatalkan. Dengan demikian, maka
sebagian isi al-Qur’ān ada yang batil, padahal Allah telah menegaskan
dalam firman-Nya:: “Yang tidak datang kepadanya (al-Qur’ān) kebatilan
baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Rabb
yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji” (QS. Fushshilat [41]: 42).
b. Tidak adanya kesepakatan para ulama berapa jumlah ayat yang telah di-
naskh. Demikian pula para sahabat, tampaknya hanya Ali saja yang
berwanti-wanti tentang naskh
c. Tidak ada penegasan Nabi tentang ada atau tidaknya naskh. Sekiranya
telah terjadi naskh dalam al-Qur’ān, tentunya Nabi sebagai pemegang
otoritas utama dari al-Qur’ān menjelaskannya dengan tegas.
d. Tidak jelasnya hikmah adanya naskh.121
Golongan ulama yang menolak adanya nasakh dalam al-Quran
berusaha mengkompromikan ayat-ayat yang kelihatan bertentangan
sehingga tidak perlu dinasakh. Kelompok penolak yang dipelopori oleh Abu
Muslim al-Isfahani, yang menyatakan bahwa dalam al-Quran tidak terdapat
nasakh. Jika mengakui adanya nasakh berarti mengakui adanya kebatilan
dalam al-Quran.122

Selanjutnya, kelompok kontra ini juga mengkritisi alasan-alasan yang


digunakan ulama yang menetapkan adanya naskh dan mansūkh dalam al-
Qur’ān, yaitu:

a. Firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 106 “Ma nansakh min ayatin
au nunsiha” tidaklah menunjukkan adanya naskh dalam al-Qur’ān, sebab
lafal “āyah” yang terdapat dalam firman Allah tersebut, dapat diartikan
“mu’jizat”. Dan dapat juga diartikan kitab-kitab sebelum al-Qur’ān .

121
Rofiq Nurhadi, “Pro-Kontra Naskh Dan Mansūkh Dalam Al-Qur’ān: Sebuah Kajian
Terhadap Prosedur Penyelesaian Ta’ārudl Al-Adillah,” Cakrawala 10, no. 1 (Juni 2015): 66.
122
Rachmat Syafe`i, Pengantar Ilmu Tafsir (Bandung: Pustaka Setia, 2006), 87.

Vol. 9 No. 2 Juli-Desember 2020 123


Jurnal Ilmiah Mahasiswa Raushan Fikr
http://ejournal.iainpurwokerto.ac.id/index.php/raushanfikr

Lafal “naskh” pada ayat tersebut bukanlah berarti “mengahapuskan”,


melainkan berarti “memindahkan atau menyalin” ayat dari lauh al-
mahfuz kepada kitab lainnya. Ayat tersebut di atas sebenarnya tidak
menunujukkan bahwa naskh telah terjadi dalam al-Qur’ān melainkan
hanya memberikan penjelasan bahwa apabila terjadi naskh, maka akan
diganti dengan yang lebih baik.123
b. Mengenai ayat “Wā idzā baddalnā āyatan makāna ayatin” dapat ditakwil
sesuai dengan konteks ayat-ayat sesudah dan sebelumnya. Dalam ayat
diceritakan keadaan umat Islam yang masih banyak yang ragu bahwa al-
Qur’ān yang demikian dapat keluar dari mulut seorang yang ummi yang
dapat menggantikan wakyu-wahyu dari para Nabi Yahudi yang telah
mereka yakini dan hormati selama ini. Maka ayat ini (QS an-Nahl
[16]:101) menegaskan apa yang mereka ragukan itu. Hal ini dapat
dibandingkan dengan ayat 38 dan 39 surat ar-Ra’d.124
c. Adanya ayat yang tampaknya bertentangan dan yang mungkin belum
dapat dikompromikan, belum dapat menjadi jaminan tentang adanya
nask.

Nasikh dan Mansukh Menurut Syah Wali Allah Al-Dahlawi

Menurut al-Dahlawi, diskursus naskh dan mansukh adalah salah satu


diskursus yang sulit dan banyak pembahasannya serta banyak terjadi ikhtilaf
ulama di dalamnya, khususnya berkenaan dengan perbedaan penggunaan istilah
di antara ulama mutaqaddimin dan ulama mutaakhirin.

Secara umum al-Dahlawi menjelaskab bahwa ulama mutaqaddimin


memaknai naskh dengan makna lugawi, yakni menghapus atau menghilangkan
sesuatu dengan sesuatu, tidak dengan makna istilah ushul yang khas. Maka
makna naskh di sisi mereka adalah menghapus sebagian ketetapan-ketetapan
dalam suatu ayat dengan ayat lainnya. Baik itu penjelasan berkenaan dengan
berakhirnya masa atau jangka waktu suatu perbuatan, perubahan kalam dari
makna yang terdahulu menuju makna yang terbaru, takhsis bagi ayat am,
penghapusan tradisi jahiliyah atau mengangkat salah satu syariat yang
terdahulu.125 Atas dasar inilah, diskursus naskh di kalangan mutaqaddimin
sangatlah luas dan banyak,dan karenanya ayat yang dinasakh menurut mereka
mencapai 500 ayat, bahkan tidak terbatas bilangannya.

123
Nurhadi, “Pro-Kontra Naskh Dan Mansūkh Dalam Al-Qur’ān: Sebuah Kajian Terhadap
Prosedur Penyelesaian Ta’ārudl Al-Adillah,” 66.
124
Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, 178.
125
al-Dihlawi, Fauzul Kabir Fi Ushuli Tafsir, 53.

Vol. 9 No. 2 Juli-Desember 2020 124


Jurnal Ilmiah Mahasiswa Raushan Fikr
http://ejournal.iainpurwokerto.ac.id/index.php/raushanfikr

Sedangkan makna naskh di sisi ulama mutaakhirin adalah membatalkan


pelaksanaan hukum syara’ yng telah ada sebelumnya dengan dalil yang datang
kemudian. Impikasinya, ayat yang dinasakh bagi mereka sangatlah sedikit
terutama dalam pandangan yang al-dahlawi pilih.126 Dari sini kita dapat
mengetahui bahwasanya al-Dahlawi secara umum mengikuti metode yang
digunakan ulama mutaakhirin, meskipun secara khusus ia mempunyai metode
dan bilangan tersendiri mengenai ayat yang dinasakh.

Dalam kitabnya fauzul Kabir Fi Ushul al-Tafsir al-Dahlawi menjadikan as-


Syuyuti sebagai acuan utama dalam menjelaskan ayat-ayat yang dinasakh,
namun dengan beberapa perbedaan yang mendasar. Al-Dahlawi menyebutkan,
bahwasanya as-Syuyuti dalam kitabnya al-Itqan mendeskripsikan dengan rinci
ayat-ayat yang telah dinasakh dan ayat yang menasakhnya. Jumlah ayat yang
dinasakh ini sejumlah 21 ayat dan hal ini juga sesuai dengan pendapat Ibnu
Arabi.

Dari 21 ayat yang dianggap as-syuyuti dinasakh, al-Dahlawi hanya


mengakui 5 sebagai ayang yang dinasakh. Berikut beberapa ayat yang dinasakh
menurut al-Dihlawi.
ِ
1. Menurut as-Syuyuti firman Allah pada QS. Al-Baqarah: 180 ََ َ َ َ َ َ‫ض‬ َ ‫ب عَلَْي ُك ْم إِذَا َح‬
َ ‫ُكت‬
ُ ْ َ َ َ َ َْ‫ أَ َحَ َ َ َ َا ُكَ َ ُم ا‬dinasakh dengan ayat waris, dikatakan juga ayat ini dimasakh
dengan hadis “tidak ada wasiat bagi ahli waris” dan dikatakan juga dengan
ijma’. Dalam hal ini, al-Dihlawi setuju dengan pendapat as-Syuyuti bahwa
ayat ini dinasakh, akan tetapi ia secara tegas menyebutkan bahwa ayat ini
dinasakh dengan ayat waris, bukan dengan hadis yang disebutkan as-Syuyuti
sebelumnya, karena hadis tersebut merupalan penjelasan bagi naskh bukan
sebagai ayat yang menasakh.
2. Menurut as-Syuyuti firman Allah pada QS. Al-Baqarah: 234 “ ‫“ الََِّّينَ ي ََو ييفوِ َف ي‬
dinasakh dengan ayat waris, dan as-sukni tetap ada bagi mereka yang
menganggap ayat ini telah dinasakh, karna ada hadis “lak sukna”. Sedangkan
menurut al-Dahlawi ayat ini memang dinasakh dengan ayat waris sebagainya
pendapat jumhur ulama, akan tetpi juga bisa dimaknai dengan makna
bahwasanya disunnahkan atau dibolehkan bagi orang yng akan meninggal
untuk memberi wsiat akan tetapi bagi wanita tidak wajib untuk berdiam
atau tinggal sebagaimana wasiatnya dan inilah pendapat Ibnu Abbas.
3. As-Syuyti firman Allah pada QS. Al-Anfal: 65 “ ‫رَََََّّّّّ ن َ ف ي‬ َ ‫”إن َي َك نمن َك َم ع‬
‫نشَََََّّّّّ َ ف ي ي‬
dinasakh dengan ayat setelahnya. Dalam hal ini al-Dahlawi sepakat
seutuhnya dengan pendapat al-Syuyuyi.

126
al-Dihlawi, 54.

Vol. 9 No. 2 Juli-Desember 2020 125


Jurnal Ilmiah Mahasiswa Raushan Fikr
http://ejournal.iainpurwokerto.ac.id/index.php/raushanfikr

4. Menurut as-Syuyuti QS. Al-Ahzab: 52 dinaskah dengan QS. Al-Ahzab: 50.


Sependapat dengan a-Syuyuti, al-Dahlawi berpendapat bahwa mungkin saja
yang menasakh pembacaanya terdahulu dibanding ayat yang dinasakh.
5. Menurut as-Syuyuti QS. Al-Mujadilah: 12 dinasakh dengan ayat setelahnya.
Dalam hal ini al-Dahlawi seutuhnya setuju dengan s-Syuyuti.

Dari pembacaan penulis terhadap konsep nasikh mansukh al-Dahlawni


penulis menemukan bahwa ad-Dahlawi mempunyai pendapat yang mirip dengan
ulama mutaakhirin, yakni menggunakan istilah naskh dalam hal penghapusan
hukum syariat dengan syariat yang datang setelahnya. Dari penjelasannya juga,
penulis menemukan adl-Dahlawi tetap mengakui adanya naskh al-Qur’an bi
Sunnah as-Sahihah sebagaimana yang dilakukan as-Syuyuti. Akan tetaapi ada
perbedaan antara keduanya, di mana analisa al-Dahlawi lebih presisi dibanding
analisa al-Syuyuti di mana ia sanggup menjelaskan hal-hal yang Syuyuti anggap
bertentangan padahal itu sebenarnya hanya konteksnya yang berbeda.

Ada hal yang menarik dari penjelasan al-Dihlawi berkenaan dengan ayat
apa saja yang telah dinaskh, di mana ia tidak memasukkan ayat al-kamr ke
dalam kategori ayat yang di nasakh sebagaimana yang dilakukan sebagian ulama
lainnya.

Jika kita lihat dalam buku-buku tafsir yang memakai metode


tahlili/analitik dan berlandaskan sumber yang ma’tsur, buku-buku itu
mengemukakan bagaimana perjalanan pengharaman khamar. Dimulai dari
sekedar pemberitahuan minuman baik dan yang memabukkan/yang tidak baik,
hingga manfaat dan mudharat khamar, dan akhirnya penetapan secara mutlak
pengharaman khamar.

Dalam tafsir Ibnu Wahab, beliau berpendapat bahwa ayat al-Quran yang
berbicara tentang pertanyaan para sahabat Muhammad saw, kepada beliau
yang tertera pada surat al-Baqarah ayat 219 telah dihapus dengan ayat 90 di
surat al-Maidah.127 Sedikit berbeda dengan apa yang dicantumkan Abdu Ar-
Razzaq dalam tafsirnya, ketika ayat ini (al-Baqarah: 219) turun, sebahagian
manusia meminum khamar dan sebahagiannya yang lain meninggalkannya.

Berdasarkan hal itu penulis menyimpulkan bahwa ad-Dihlawi tidak


menganggap rentetan ayat khamar sebagai bentuk naskh-menasakh, akan
tetapi melihatnya sebagai satu kesatuan dengan konteksnya tersendiri, di mana
ayat an-Nahl ayat ke-67 tidak menunjukkan bahwa khamar boleh diminum

127
Ibnu Wahab, Tafsir Alquran min al-Jami’ li Ibni Wahab, bab an-Nasikh, wahadza kitab
an Nasikh (Beirut, t.t.).

Vol. 9 No. 2 Juli-Desember 2020 126


Jurnal Ilmiah Mahasiswa Raushan Fikr
http://ejournal.iainpurwokerto.ac.id/index.php/raushanfikr

karena ada shigat baik sebagai lawannya khamar yang berarti buruk. Secara
implisit ayat ini sebenarnya menunjukkan bahwa khamar tidak baik bagi
manusia. Kemudian, ayat khamar lainnya, surat al-Baqarah: 219 dan an-Nisaa’:
43 dan al-Ma’idah ayat ke-90 bukan berlaku sebagai penaskah, akan tetapi
penegas tentang keharaman khamar. Dengan kata lain ayat-ayat ini sebenarnya
memiliki tujuan yang sama namun dalam konteks yang berbeda.

Simpulan

Syah Wali Allah Al-Dahlawi128 (1114 H/1704M-1176H/1768M)9, dilahirkan


di Delhi India dengan nama lengkap Wali Allah Ahmad ibn Abd Rahim.
Historisitas ulama India di masa Shah Wali Allah hidup, tidak dapat dipisahkan
dengan faktor sosial politik di India sendiri. Menjelang era tranformasi modern
di anak benua India ini, Imperium Mughal sebagaimana imperium Usmani dan
Safawiyah merupakan sebuah rezim patrimonial yang dengan kuat menekankan
identitas India dan Persianya yang kosmopolitan. Kehidupan keagamaan Muslim
di anak benua ini sangat pluralistik. Demikian juga struktur komunal keagamaan
khususnya Muslim sebagai kaum minoritas di India tidak terbentuk dalam
komunitas tunggal, melainkan terdiri dari berbagai kelompok etnis, nasab dan
sejumlah kelas penduduk, bahkan terdiri dari beberapa kasta

Secara etimologis, kata “na>sikh” dan “mansu>kh” merupakan bentuk


isim failnya dan maf‘ul dari kata naskh. Kata ini mempunyai arti yang beragam,
antara lain: menghilangkan, menghapuskan, membatalkan. Artinya, naskh
berarti membatalkan. Sedang menurut istilah ulama’ ushul, na>sikh adalah
membatalkan pelaksanaan hukum syara’ yng telah ada sebelumnya dengan dalil
yang datang kemudian, yang menunjukkan penghapusannya secara jelas
ataupun implisit (Dzanni), baik penghapusan itu secara keseluruhan atau
sebagian menurut kepentingan yang ada

Dalam kitabnya fauzul Kabir Fi Ushul al-Tafsir al-Dahlawi al-Dahlawi


hanya mengakui 5 sebagai ayat yang dinasakh dari sekian banyak ayat al-
Qur’an, yaitu: QS. Al-Baqarah: 180, QS. Al-Baqarah: ٢34, QS. Al-Anfal: 65, QS.
Al-Ahzab: 52 dan QS. Al-Mujadilah: 12 .

128
al-Dihlawi, Pengetahuan Suci Dimensi-Dimensi Ruhani Mistisisme, v; Sharif, History of
Muslim Philosophy, 1557; Asmawi, “Penyitaan Harta Dalam Transaksi Bisnis Syariah: Telaah
Pemikiran Syah Waliyullah Ad-Dihlawi,” 366.

Vol. 9 No. 2 Juli-Desember 2020 127


Jurnal Ilmiah Mahasiswa Raushan Fikr
http://ejournal.iainpurwokerto.ac.id/index.php/raushanfikr

Daftar Pustaka
Asmawi. “Penyitaan Harta Dalam Transaksi Bisnis Syariah: Telaah Pemikiran
Syah Waliyullah Ad-Dihlawi.” Epistemé 7, no. 2 (Desember 2012).

Baidan, Nashruddin. Wawasan Baru Ilmu Tafsir. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,


2011.

Dihlawi, Syah Wali Allah al-. al-Maswa Syarh al-Muwatha’. Beirut: Dar al-Kutub
Ilmiyah, 1983.

———. Fauzul Kabir Fi Ushuli Tafsir, t.t.

———. Pengetahuan Suci Dimensi-Dimensi Ruhani Mistisisme. Surabaya: Risalah


Gusti, 2002.

Ichwan, Moh. Nor. Studi Ilmu-Ilmu al-Quran. Semarang: RaSail Media Group,
2002.

Izzan, Ahmad. Ulumul Quran: Telaah Tekstual dan Kontekstuals al-Quran.


Bandung: Tafakur, 2009.

Lapidos, Ira. M. Sejarah sosial Umat Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2000.

Mujeeb, M. The Indian Muslims. London: George Allen and Unwin Ltd, 1967.

Munir, Gazali. “Pemikiran Pembaruan Teologi Islam Syah Wali Allah Ad-
Dahlawi.” Teologia 23, no. 1 (Januari 2012).

Mustaqim, Abdul. Dinamika Sejarah al-Qur’an. Yogyakarta: Adab Press, 2014.

Nasution, Harun. Pembaharuan dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan.


Jakarta: Bulan Bintang, 1982.

Nisa, Khairun. “Shifting Paradigm dalam Dunia Tafsir: Studi atas Interpretasi
Kontekstual dan Hierarki Nilai Abdullah Saeed,” 2016.

Nurhadi, Rofiq. “Pro-Kontra Naskh Dan Mansūkh Dalam Al-Qur’ān: Sebuah


Kajian Terhadap Prosedur Penyelesaian Ta’ārudl Al-Adillah.” Cakrawala 10, no.
1 (Juni 2015).

Qatadah. Nasikh wa Mansukh. Kairo: Muassasah al-Risalah, 1998.

Qattan, Manna Khalil al-. Mabāhiṣ fi Ulūm al-Qur’ān. Bogor: Litera AntarNusa,
2013.

Vol. 9 No. 2 Juli-Desember 2020 128


Jurnal Ilmiah Mahasiswa Raushan Fikr
http://ejournal.iainpurwokerto.ac.id/index.php/raushanfikr

Shalih, Subhi ash-. Membahas Ilmu-ilmu al-Qur’ān. Jakarta: Pustaka Firdaus,


2004.

Sharif, M. History of Muslim Philosophy. Lahore: Pakistan of Philosophical


Conggres, t.t.

Shihab, M, Quraisy. Membumikan al-Qur’an. Bandung: Mizan, 1994.

Syafe`i, Rachmat. Pengantar Ilmu Tafsir. Bandung: Pustaka Setia, 2006.

Wahab, Ibnu. Tafsi>r Alquran min al-Ja>mi’ li Ibni Wahab, bab an-Na>sikh,
waha>dza kita>b an Na>sikh. Beirut, t.t.

Zahrah, Muhammad Abu. Ushul Fiqih. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008.

Zahroh, Muhammad Abu. Ushul Fiqh. Beirut: Dar al-Fikr, 1958.

Zarqoni, Muhammad Abdul Adzim al-. Manahil al-„Irfan fi Ulumil Qur‟an.


Beirut: Dar al-Fikr, t.t.

Zuhri, Abu Bakar az-. Nasikh Wa Mansukh Fi Al-Qur’an. Kairo: Dar Ibn Affan,
2007.

Vol. 9 No. 2 Juli-Desember 2020 129

Anda mungkin juga menyukai