Taufiqqurrahman,+##default Groups Name editor##,+M+Rafi-UIN+Yogya
Taufiqqurrahman,+##default Groups Name editor##,+M+Rafi-UIN+Yogya
http://ejournal.iainpurwokerto.ac.id/index.php/raushanfikr
Muhammad Rafi
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
e-mail: rafimuhammad617@gmail.com
Abstract
One interpretation discourse that is echoed by contemporary figures is a
discourse on nasikh and mansukh. Until now, Mansukh's narrative discourse is
still a problem. There are some groups who reject this concept and some groups
accept it. These groups can be classified into 3 groups: 1) Ulama mutaqaddimin
who receive naskh mansukh absolutely without limitations. 2) Ulama
muta'akhkhirin who limits nasikh mansukh to certain verses. 3). contemporary
scholars who reject the existence of mansukh nasikh. One of the scholars who
believed in the concept of nasikh and Mansukh with certain limitations was Shah
Wali Allah Al-Dahlawi. He is an Indian contemporary thinker, whose thinking is
very progressive. In this article we will discuss the concepts of Nasikh and
Mansukh according to Shah Wali Allah Al-Dahlawi and its application. The
method used is a descriptive method in describing the thoughts of Shah Wali
Allah Al-Dahlawi. In the perspective of al-Dahlawi the Mansukh naskh is actually
in the Qur'an, but is only limited to 5 verses of the Qur'an, namely: QS. Al-
Baqarah: 180, QS. Al-Baqarah: 234, QS. Al-Anfal: 65, QS. Al-Ahzab: 52 and QS.
Al-Mujadilah: 12.
Keywords: Al-Dihlawi, Application, Nasikh Mansukh.
Abstrak
batasan tertentu adalah Syah Wali Allah Al-Dahlawi. Ia adalah seorang pemikir
kontemporer berkebangsaan India, yang mana pemikirannya sangatlah
progresif. Dalam artikel ini akan dibahas konsep nasikh dan Mansukh menurut
Syah Wali Allah Al-Dahlawi serta aplikasinya. Adapun metode yang digunakan
adalah metode deskriptif dalam menjabarkan pemikiran-pemikiran Syah Wali
Allah Al-Dahlawi. Dalam perspektif al-Dahlawi naskh Mansukh sebenarnya ada
dalam al-Qur’an, namun hanya terbatas pada 5 ayat al-Qur’an, yaitu: QS. Al-
Baqarah: 180, QS. Al-Baqarah: 234, QS. Al-Anfal: 65, QS. Al-Ahzab: 52 dan QS.
Al-Mujadilah: 12.
Kata kunci: Al-Dihlawi, Aplikasi, Nasikh Mansukh.
Pendahuluan
89
Khairun Nisa, “Shifting Paradigm dalam Dunia Tafsir: Studi atas Interpretasi
Kontekstual dan Hierarki Nilai Abdullah Saeed,” 2016, 34.
90
Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah al-Qur’an (Yogyakarta: Adab Press, 2014), 3–4.
91
Manna Khalil al-Qattan, Mabāhiṣ fi Ulūm al-Qur’ān (Bogor: Litera AntarNusa, 2013), 3–
4.
92
Syah Wali Allah al-Dihlawi, Pengetahuan Suci Dimensi-Dimensi Ruhani Mistisisme
(Surabaya: Risalah Gusti, 2002), v; M. Sharif, History of Muslim Philosophy (Lahore: Pakistan of
Philosophical Conggres, t.t.), 1557; Asmawi, “Penyitaan Harta Dalam Transaksi Bisnis Syariah:
Telaah Pemikiran Syah Waliyullah Ad-Dihlawi,” Epistemé 7, no. 2 (Desember 2012): 366.
93
Syah Wali Allah al-Dihlawi, al-Maswa Syarh al-Muwatha’ (Beirut: Dar al-Kutub Ilmiyah,
1983), 5–6; Syah Wali Allah al-Dihlawi, Fauzul Kabir Fi Ushuli Tafsir, t.t., 5–6.
Historisitas ulama India di masa Shah Wali Allah hidup, tidak dapat
dipisahkan dengan faktor sosial politik di India sendiri. Menjelang era
tranformasi modern di anak benua India ini, Imperium Mughal sebagaimana
imperium Usmani dan Safawiyah merupakan sebuah rezim patrimonial yang
dengan kuat menekankan identitas India dan Persianya yang kosmopolitan.
94
M. Mujeeb, The Indian Muslims (London: George Allen and Unwin Ltd, 1967), 277.
95
Gazali Munir, “Pemikiran Pembaruan Teologi Islam Syah Wali Allah Ad-Dahlawi,”
Teologia 23, no. 1 (Januari 2012): 19.
96
Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Jakarta:
Bulan Bintang, 1982), 6–9.
97
al-Dihlawi, al-Maswa Syarh al-Muwatha’, 8.
98
Ira. M. Lapidos, Sejarah sosial Umat Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), 703.
99
Lapidos, 458.
100
Lapidos, 459.
Pengaruh Syi’i di India juga sangat besar karena ada penguasa Muslim
yang berasal dari aliran ini. Golconda dan Kashmir diperintah oleh rezim Mughal
yang mempunyai seorang istri Syi’i dan sejumlah kaum Syi’i yang menduduki
jabatan tinggi. Pengikut Syi’i di India tidak hanya dari Syiah dua belas tetapi
juga dari Nizariyah dan Bohras.101
101
Lapidos, 460.
102
Lapidos, 710.
103
Lapidos, 765.
104
Lapidos, 709.
Di sinilah posisi Shah Wali Allah dalam kancah dinamika keagamaan dan
politik di India abad-18. Sebagai seorang pembaru (reformer) dan pengikut
Sirhindi105 ia mencoba mengadaptasikan hukum-hukum Islam terhadap kondisi
lokal. Dengan berusaha mensistesakan perbedaan mazhab hukum, berusaha
meredam perselisihan antara mazhab di kalangan Muslim India, juga penerapan
syariat Islam untuk menjalankan roda ketatanegaraan dengan menggunakan
sistem khalifah.106
105
Lapidos, 710.
106
Lapidos, 769.
107
Qatadah, Nasikh wa Mansukh (Kairo: Muassasah al-Risalah, 1998), 5–6.
108
M Shihab Quraisy, Membumikan al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1994), 143.
109
Qatadah, Nasikh wa Mansukh, 6.
110
al-Qattan, Mabāhiṣ fi Ulūm al-Qur’ān, 232.
111
Muhammad Abdul Adzim al-Zarqoni, Manahil al-„Irfan fi Ulumil Qur‟an (Beirut: Dar
al-Fikr, t.t.), 151.
112
Muhammad Abu Zahroh, Ushul Fiqh (Beirut: Dar al-Fikr, 1958), 60.
memuat amr (perintah) dan nahyu (larangan) ataupun khabar yang bermakna
perintah ataupun larang, tidak pada tempat selain ketiganya.113
113
Qatadah, Nasikh wa Mansukh, 6.
114
Moh. Nor Ichwan, Studi Ilmu-Ilmu al-Quran (Semarang: RaSail Media Group, 2002),
108.
115
Shihab, Membumikan al-Qur’an, 143.
116
Abu Bakar az-Zuhri, Nasikh Wa Mansukh Fi Al-Qur’an (Kairo: Dar Ibn Affan, 2007), 24.
c. Pernyataan Ali bin Abī Thālib kepada seorang hakim “Apakah kamu
mengerti tentang naskh mansūkh? Tidak, jawabnya. (kalau begitu) kamu
binasa dan membinasakan orang lain, ujar Ali”117
d. Karena adanya kontradiksi antara satu ayat dengan ayat lainnya, jika
dilihat dari segi makna yang tersurat, seperti ayat tentang wasiyyat
dengan ayat tentang mawaris.
Menurut Subhi Shalih Allah sejak azali telah mengetahui soal naskh
dan mansūkh sebelum kedua soal itu disyari’atkan bagi hamba-hamba-Nya,
bahkan sebelum manusia, langit, dan bumi diciptakan-Nya. Allah Maha
Mengetahui bahwa pen-naskh-an hukum yang pertama (ketentuan hukum
yang di-naskh) adalah untuk kepentingan suatu hikmah atau suatu
kemaslahatan hingga waktu tertentu. Kemudian hukum yang keduapun
(yang menaskh hukum yang pertama) ditetapkan untuk kepentingan suatu
hikmah atau kemaslahatan yang lain. Ketentuan baru yang me-naskh
ketentuan lama tidak lain hanyalah penampilan sesuatu bagi manusia, bukan
penampilan sesuatu bagi Allah.118
117
Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011),
117.
118
Subhi ash-Shalih, Membahas Ilmu-ilmu al-Qur’ān (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004),
385.
119
Ahmad Izzan, Ulumul Quran: Telaah Tekstual dan Kontekstuals al-Quran (Bandung:
Tafakur, 2009), 187.
120
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008), 120.
ayat-ayat tersebut, yang lebih dahulu ditetapkan sebagai mansukh dan yang
datang kemudian sebagai nasikh.
a. Jika dalam al-Qur’ān terdapat ayat yang telah mansūkh (dihapus), maka
sebagian ayat al-Qur’ān ada yang dibatalkan. Dengan demikian, maka
sebagian isi al-Qur’ān ada yang batil, padahal Allah telah menegaskan
dalam firman-Nya:: “Yang tidak datang kepadanya (al-Qur’ān) kebatilan
baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Rabb
yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji” (QS. Fushshilat [41]: 42).
b. Tidak adanya kesepakatan para ulama berapa jumlah ayat yang telah di-
naskh. Demikian pula para sahabat, tampaknya hanya Ali saja yang
berwanti-wanti tentang naskh
c. Tidak ada penegasan Nabi tentang ada atau tidaknya naskh. Sekiranya
telah terjadi naskh dalam al-Qur’ān, tentunya Nabi sebagai pemegang
otoritas utama dari al-Qur’ān menjelaskannya dengan tegas.
d. Tidak jelasnya hikmah adanya naskh.121
Golongan ulama yang menolak adanya nasakh dalam al-Quran
berusaha mengkompromikan ayat-ayat yang kelihatan bertentangan
sehingga tidak perlu dinasakh. Kelompok penolak yang dipelopori oleh Abu
Muslim al-Isfahani, yang menyatakan bahwa dalam al-Quran tidak terdapat
nasakh. Jika mengakui adanya nasakh berarti mengakui adanya kebatilan
dalam al-Quran.122
a. Firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 106 “Ma nansakh min ayatin
au nunsiha” tidaklah menunjukkan adanya naskh dalam al-Qur’ān, sebab
lafal “āyah” yang terdapat dalam firman Allah tersebut, dapat diartikan
“mu’jizat”. Dan dapat juga diartikan kitab-kitab sebelum al-Qur’ān .
121
Rofiq Nurhadi, “Pro-Kontra Naskh Dan Mansūkh Dalam Al-Qur’ān: Sebuah Kajian
Terhadap Prosedur Penyelesaian Ta’ārudl Al-Adillah,” Cakrawala 10, no. 1 (Juni 2015): 66.
122
Rachmat Syafe`i, Pengantar Ilmu Tafsir (Bandung: Pustaka Setia, 2006), 87.
123
Nurhadi, “Pro-Kontra Naskh Dan Mansūkh Dalam Al-Qur’ān: Sebuah Kajian Terhadap
Prosedur Penyelesaian Ta’ārudl Al-Adillah,” 66.
124
Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, 178.
125
al-Dihlawi, Fauzul Kabir Fi Ushuli Tafsir, 53.
126
al-Dihlawi, 54.
Ada hal yang menarik dari penjelasan al-Dihlawi berkenaan dengan ayat
apa saja yang telah dinaskh, di mana ia tidak memasukkan ayat al-kamr ke
dalam kategori ayat yang di nasakh sebagaimana yang dilakukan sebagian ulama
lainnya.
Dalam tafsir Ibnu Wahab, beliau berpendapat bahwa ayat al-Quran yang
berbicara tentang pertanyaan para sahabat Muhammad saw, kepada beliau
yang tertera pada surat al-Baqarah ayat 219 telah dihapus dengan ayat 90 di
surat al-Maidah.127 Sedikit berbeda dengan apa yang dicantumkan Abdu Ar-
Razzaq dalam tafsirnya, ketika ayat ini (al-Baqarah: 219) turun, sebahagian
manusia meminum khamar dan sebahagiannya yang lain meninggalkannya.
127
Ibnu Wahab, Tafsir Alquran min al-Jami’ li Ibni Wahab, bab an-Nasikh, wahadza kitab
an Nasikh (Beirut, t.t.).
karena ada shigat baik sebagai lawannya khamar yang berarti buruk. Secara
implisit ayat ini sebenarnya menunjukkan bahwa khamar tidak baik bagi
manusia. Kemudian, ayat khamar lainnya, surat al-Baqarah: 219 dan an-Nisaa’:
43 dan al-Ma’idah ayat ke-90 bukan berlaku sebagai penaskah, akan tetapi
penegas tentang keharaman khamar. Dengan kata lain ayat-ayat ini sebenarnya
memiliki tujuan yang sama namun dalam konteks yang berbeda.
Simpulan
128
al-Dihlawi, Pengetahuan Suci Dimensi-Dimensi Ruhani Mistisisme, v; Sharif, History of
Muslim Philosophy, 1557; Asmawi, “Penyitaan Harta Dalam Transaksi Bisnis Syariah: Telaah
Pemikiran Syah Waliyullah Ad-Dihlawi,” 366.
Daftar Pustaka
Asmawi. “Penyitaan Harta Dalam Transaksi Bisnis Syariah: Telaah Pemikiran
Syah Waliyullah Ad-Dihlawi.” Epistemé 7, no. 2 (Desember 2012).
Dihlawi, Syah Wali Allah al-. al-Maswa Syarh al-Muwatha’. Beirut: Dar al-Kutub
Ilmiyah, 1983.
Ichwan, Moh. Nor. Studi Ilmu-Ilmu al-Quran. Semarang: RaSail Media Group,
2002.
Lapidos, Ira. M. Sejarah sosial Umat Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2000.
Mujeeb, M. The Indian Muslims. London: George Allen and Unwin Ltd, 1967.
Munir, Gazali. “Pemikiran Pembaruan Teologi Islam Syah Wali Allah Ad-
Dahlawi.” Teologia 23, no. 1 (Januari 2012).
Nisa, Khairun. “Shifting Paradigm dalam Dunia Tafsir: Studi atas Interpretasi
Kontekstual dan Hierarki Nilai Abdullah Saeed,” 2016.
Qattan, Manna Khalil al-. Mabāhiṣ fi Ulūm al-Qur’ān. Bogor: Litera AntarNusa,
2013.
Wahab, Ibnu. Tafsi>r Alquran min al-Ja>mi’ li Ibni Wahab, bab an-Na>sikh,
waha>dza kita>b an Na>sikh. Beirut, t.t.
Zuhri, Abu Bakar az-. Nasikh Wa Mansukh Fi Al-Qur’an. Kairo: Dar Ibn Affan,
2007.