Anda di halaman 1dari 4

STUDI PEMIKIRAN TOKOH-TOKOH ISLAM

By: Asmaji Muchtar

Pengantar
Studi pemikiran tokoh-tokoh Islam adalah sebuah materi kajian yang
mengangkat tokoh-tokoh terkemuka Islam yang berkonstibusi besar terhadap dunia
Islam, dalam memajukan peradaban dan ilmu pengetahuan (sains). Ada banyak
bidang keilmuan yang mereka tekuni hingga melahirkan rumus-rumus baru dalam
ilmu pengetahuan, baik keilmuan bidang agama atau umum, yang berimbas pada
kemajuan peradaban umat manusia. Di masa tabi’it-tabi’in muncul ilmuan-ilmuan
besar yang menjadi tonggak lahirnya ilmu hadis, tasawuf, theologi dan tawsawuf,
seperti: Said bin Musayyab bin Hazn (637-715 M), Hasalal-Bashri (641-728 M) dan
Uwais al-Qarni (594-657 M). Beberapa ulama tabiin ini sering disebut para
sejarahwan sebagai golongan tabi’in yang istimewa minus Uwais al-Qarni, karena
al-Qarni diketahui hidup semasa Nabi saw tetapi belum pernah berjumpa Nabi saw.
Pasca munculnya beberapa ulama besar itu disusul kelahiran Abu Hanifah, Imam
Malik bin Anas yang berlanjut dengan lahirnya Imam Syafi’i yang diikuti Imam
Hanbali, Abul Hasan al-Asy’ari dan ulama-ulama besar sesudahnya.
Beberapa abad paska periode tabit’tabin muncul nama-nama besar lain yang
bukan hanya melahirkan ilmu-ilmu agama, tetapi juga ilmu-ilmu lain yang masuk
kategori sainstifik modern, semisal: Ibnu Sina seorang peletak dasar-dasar ilmu
kedokteran yang terkenal dengan karya besarnya al-Qanun fii at-Tibb. Ibnu Sina
atau di Eropa dikenal dengan Avicenna lahir tahun 980 M di Afshona Uzbekistan
dan wafat tahun 1037 M di Hamedan, Iran. Sebelumnya lahir seorang ulama besar
dan filosuf terkenal pada 1056-1111 M di Thus, Persia (Iran). Beliau adalah hujjatul
Islam Imam Abu Hamid al-Ghazali, seorang ulama produktif dengan berbagai karya
besarnya meliputi bidang tasawuf, theologi, filsafat, etika, Pendidikan hingga
metafisika. Tentu masih banyak ilmuan-ilmuan lain yang lahir dari “Rahim” Islam
yang berkontribusi besar terhadap kemajuan ilmu dan pengetahuan, semisal: Ibnu
Rush dengan karya besarnya Bidayatul Mujtahid dan Tahafu-Tahafutul Falasifah;
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, Ibnu Bajjah, al-Biruni, Ibnu Taimiyah, Ibnu Khaldun
dan sebagainya.
Dalam kajian ini penulis hanya akan fokus pada dua pemikir Islam terbesar
sepanjang sejarah yang oleh barat dikenal sebagai pintu masuk menuju keilmuan
Islam. Hingga dikatakan: setiap kali orang meneliti Islam hampir dipastikan
menjumpai dua nama besar ini, yaitu Imam al-Ghazali dan Syaikh Abdul Qadir al-
Jilani.
1. Al- Ghazali
Nama lengkap beliau adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-
Ghazali al-Thusi asy-Syafi’i. Al-Ghazali adalah seorang ulama besar berlaqab

1
Hujjatul Islam yang produktis. Karya-karya Al-Ghazali yang ditulis selama kurang
lebih 25 tahun berjumlah sekitar 500 buku/kitab dengan judul yang variative dan
lintas disiplin keilmuan. Karya-karya terbesar al-Ghazali yang tetap eksis hingga
sekarang dan menjadi literatur rujukan kaum akademisi dan santri msalnya seperti
Ihya Ulumuddin, Minhajul Abidin, Kimiatus Sa’adah, Tahafutul Falasifah, al-
Munqidu minadh-dhalal, al-Iqtishad fil-I’tiqad dan sebagainya. Secara umum karya-
karya tulis al-Ghazali berbicara tentang ibadah, muamalah, tasawuf, akhlak, theologi,
filsafat dan bahkan ada juga yang berbicara tentang mistisisme (kitab al-Wifiq). Di
bidang fikih, ibadah, muamalah, tasawuf dan akhlak, al-Ghazami menuangkan
pokok-pokok pikirannya dalam sebuah karya besar bertajuk Ihya’ Ulumuddin
(menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama). Kitab ini meskipun telah berusia 1000-an
tahun, tetapi magnetic isinya tetap menarik bagi para ilmuan, akademisi dan kaum
santri untuk mengkajinya. Banyak pendapat mengatakan bahwa pokok-pokok
pikiran al-Ghazali dipengaruhi oleh pandangan Asy’ariah-Maturidiah di bidang
theologi dan madzhab Syafi’i-Hambali dibidang fikih. Sedangkan di bidang tasawuf
(sufistik) banyak dipengaruhi oleh pemikiran Hasan al-Bashri dan beberapa ulama
sufi yang lain. Yang menarik dari pemikiran lain al-Ghazali adalah ketika Hujjatul
Islam ini menulis sebuah kitab kecil (tipis) bertajuk al-Wifiq (jawa: rajah). Hingga
sekarang belum ada penjelasan yang memadai tentang kebenaran kitab yang
beraroma mistik itu diisbatkan pada imam al-Ghazali.
Pemikir Islam terkemuka ini selain dikenal sebagai ulama yang piawi
membahas tasawuf, theologi dan filsafat, juga memiliki perhatian yang tinggi
terhadap dunia pendidikan. Di bidang Pendidikan, al-Ghazali menempatkan pengajar
(ustadz, guru, dosen, kiyai dll) sebagai agen yang sangat strategis dalam merubah
akal pikiran anak didik melalui pengajaran dan transfer ilmu. Dalam kitab Minhajul
Abidin, al-Ghazali menekankan bahwa kedudukan seorang ustadz ada tiga, yaitu: a)
pembuka (al-fatih); b) memberi kemudahan (saahil); 3) mengantar menuju sukses
(tahshil). Teori al-Ghazali ini sekalipun terasa singkat dan padat tetapi memiliki
makna yang sangat tinggi dan mendalam sebagai fondasi untuk membangun system
pendidikan yang tepat dan akurat.
Pertama, faatih. Yang dimaksud faatih dalam diksi ini adalah pembuka akal
dan cakrawala berfikir anak didik dari tidak tahu menjadi tahu. Dari tidak mengerti
menjadi mengerti. Dari tidak memahami menjadi memahami. Yakni mengerti,
mengetahui dan memahami ilmu dan pengetahuan yang sedang dipelajari. Dalam
sistim pengajaran modern tiga aspek ini tercakup dalam kognisif, afektif dan
psikomotorik. Kognitif adalah perilaku yag menekankan pada intelektual, seperti
pengetahuan dan ketrampilan berfikir. Afektif menekankan pada aspek perasaan,
seperti minat dan sikap. Psikomotorik lebih menekankan pada aspek ketrampilan
motorik, yakni domain yang mencakup perilaku, gerakan dan koordinasi jasmani,
ketrampilan motorik dan kemampuan fisik seseorang. Ketrampilan ini akan terus
berkembang jika sering diasah dan dipraktikkan. Sedemikian penting fungsi faatih
dalam Pendidikan, pengajaran dan transfer ilmu, maka seorang ustadz (guru, dosen
dll) harus memahami benar materi apa yang diajarkan kepada anak didik (siswa,

2
mahasiswa dan sebagainya). Guru akan mengalami kegagalan dalam transfer ilmu
dan pengajaran jika materi ajar yang disampaikan tidak difahami secara benar.
Kedua, saahil. Pengertian saahil adalah kemudahan. Yaitu kemudahan yang
diberikan oleh seorang pendidik atau guru bagaimana cara yang tepat dan cepat
untuk memahami suatu masalah (ilmu) kepada anak didik. Aspek yang kedua yang
ditawarkan al-Ghazali ini menurut kajian modern arahnya tertuju pada metode dan
metodologi. Metode adalah proseduk, Teknik atau langkah untuk melakukan sesuatu
terutama untuk mencapai tujuan tertentu. Metodologi adalah prosdur ilmiah yang
didalamnya termasuk pembentukan onsep, preposisi, model, hipotesis, teori dan
termasuk metode (cara) itu sendiri. Tentu akan berbeda hasilnya bagi anak didik saat
memperoleh pengajaran dan transfer ilmu dari guru yang kurang memahami metode
dan metodologi dalam menyampaikan materi ajar dibanding guru yang memahami
materi ajar yang diberikan di kelas.
Ketiga, tahshiil. Secara leksikal arti tahshiil adalah keberhasilan. Artinya
guru berhasil mengantarkan anak didik mencapai keberhasilan dalam mempelajari
ilmu pengetahuan hingga terjadi perubahan pada cara pandang, cara berfikir dan cara
mengambil keputusan anak didik terhadap suatu objek persoalan. Teori ketiga yang
ditawarkan al-Ghazali ini adalah buah (hasil) dari suatu pengajaran yang hanya dapat
dicapai manakala ustadz, guru, dosen dan sejenisnya mampu menerapkan teori
pengajaran secara umum. Seorang murid (anak didik) yang masih memiliki minat
untuk belajar (sekolah) dari segala jenjang, pada prinsipnya masih dapat dipoles dan
menerima transfer ilmu pengetahuan, bilamana praktik pengajaran yang
disampaikan ustadz menggunakan pola pendekatan, bahasa dan metode yang tepat.
Arti tepat di sini tentu bersentuhan dengan masing-masing psikologi anak didik.
Konsep teori yang ditawarkan al-Ghazali itu terasa sekali relevansinya
dengan konsep pengajaran yang dipraktikkan dalam pendidikan di era modern.

2. Syaikh Abdul Qadir al-Jilani


Nama lengkap beliau adalah Sayid Muhyiddin Abu Muhammad Abdul Qadir
al-Jilani (ada yang membaca al-Jailani). Beliau lahir tahun 1078 M dan wafat tahun
1166 M. Syaikh Abdul Qadir adalah seorang ulama besar beraliran madhzab Syafi’i-
Hanbali yang terkenal di dunia Islam di dunia Islam karena maqam kewaliannya
yang sangat tinggi. Kum sufi menyebutnya sebagai sulthanul awliya’ (pemimpin
para wali) dan kaum orientalis menyabutnya dengan grand master (ghauts al-
a’dham) atau penolong besar. Justru dengan sebutan ini kemudian menimbulkan
kontroversi. Di Indonesia khususnya, Abdul Qadir Jailani sangat dikenal melalui
sebuah buku manaqib bertajuk Lubabul Ma’ani Fii Karamaati Syaikh Abdul Qadir
Al-Jiilani atau buku-buku cerita yang lain. Dalam pandangan penulis dan pembaca
buku Lubabul Ma’ani, Syaikh Abdul Qadir Jailani Digambarkan sosok manusia
sempurna yang memiliki kedekatan hubungan dengan Tuhan (Allah). Sedemikian
dekatnya hubungan antara Tuhan dan hamba ini maka syaikh Abdul Qadir al-Jiilani
diberi banyak keistimewaan (karamah) yang tidak dimiliki oleh ulama terkemuka
lainnya hingga melampaui nalar. Misalnya Syaikh Abdul Qadir dalam satu malam
bermimpi yang menyebabkan inzal hingga 40x mandi junub. Masifnya tekanan

3
cerita-cerita yang mendekati israiliyat inilah yang justru menempatkan nama ulama
besar dan penulis produktif sejumlah kitab tasawuf itu sebagai wali yang sangat
kesohor di masyarakat muslim. Disisi lain masyarakat muslim banyak yang tidak
tahu (atau belum mengerti) bagaimana perjuangan beliau dalam membina
masyarakat di bawah tekanan pemerintahan korup dan fasis, menjaga Islam dari
serbuan khurafat dan bid’ah serta dakwah beliau terhadap kaum paganis (Yahudi,
Kristen dan Majusi) yang masih tumbuh di Baghdad saat itu.
Dalam catatan sejarah yang diunggah oleh Abul Hasan Ali al-Hasani an-
Nadawi dalam buku Rijalul Fikri wad Da’wah fil Islam disebutkan bahwa syaikh
Abdul Qadir adalah seorang ulama besar penggerak dakawah Islamiah di saat para
ulama di masanya bertiarap karena tekanan penguasa (kerajaan). Al-Jilani juga
dikenal sebagai ulama produktif dengan sejumlah karya menumental yang dapat
dipelajari hingga kini. Di antara karya-karya beliau adalah: Al-Fathur Rabbani wa
al-Faidhur-Rahman, al-Fathul Ghaib, Sirrul Asrar, Tafsir al-Jailani dan al-
Ghuniyah Li-thaalibi Thariqi al-Haqq.
Kiprah syaikh abdul qadir al-jiani dalam dunia dakwah dimulai setelah
beliau memasuki usia 51 tahun pasca tazkiyatun-nafs, yakni proses pemjernihan jiwa
melalui berbagai kontemplasi yang ketat. Fadlur Rahman Anshari menggambarkan
proses capaian ini melalui sebuah tulisannya dalam bukunya Konsepsi Masyarakat
Islam Modern (Bandung 1983): “Satu-satunya kimia yang dapat merubah
kepribadian manusia menjadi emas murni adalah kimia disiplin tazkiyah; yang
keketatannya memperbesar ketinggian hasil kerja yang dikehendaki. Inilah
pendekatan yang dipraktekkan di segala ajaran Islam oleh orang-orang yang benar-
benar mendalami dinamika kepemimppinan dalam Islam dan sebagai akibatnya
mampu mencapai keberhasilan. Salah satu diantaranya yang tercatat dalam sejarah
adalah sayid Abdul Qadir al-Jilani dari Baghdad yang berhasil membangun
dinamisme spiritualitas kepribadiannya tanpa melalui kekuatan politik sama sekal”.

Dalam magnum opus al-Fathur-Rabbni wa al-Faidhur-Rahman yang dicatat


oleh salah seorang puteranya yakni Syaikh Abdul Wahab dari hasil ceramah-
ceramahnya selama beberapa tahun, terlihat jelas bahwa Syaikh Abdul Qadir al-Jilani
adalah seorang orator ulung yang menguasai berbagai disiplin ilmu termasuk
menguasai ilmu komunikasi massa. Dalam setiap ceramah (orasi ilmiah) yang beliau
sampaikan sering membuat audience terperangah dan teraduk-aduk perasannya
antara kebenaran dan ketakutan menghadapi penguasa yang zalim saat itu serta
praktik keagamaan yang tidak benar.

Anda mungkin juga menyukai