Anda di halaman 1dari 77

KEWENANGAN PENJABAT NEGERI DALAM

PENGANGKATAN DAN PEMBERHENTIAN


SANIRI NEGERI LAHA KABA KECAMATAN
TELUTIH KABUPATEN MALUKU TENGAH

OLEH

ABDUL LATIF KORANELAO


NIM: 201821400

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat ujian guna


memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Program Studi Ilmu
Hukum

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS PATTIMURA


AMBON
2023
i

KEWENANGAN PENJABAT NEGERI DALAM PENGANGKATAN


DAN PEMBERHENTIAN SANIRI NEGERI LAHA KABA
KECAMATAN TELUTIH KABUPATEN MALUKU TENGAH

OLEH:

ABDUL LATIF KORANELAO


NIM: 201821400

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat ujian guna


memperoleh gelar Sarjana Hukum pada
Program Studi Ilmu Hukum

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS PATTIMURA

AMBON

2023
ii
iii
iv
v

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji dan Syukur selalu penulis panjatkan kepada Allah SWT, Tuhan

Yang Maha Esa, atas berkat rahmat serta kasih sayang-Nya sehingga penulis

mampu menyelesaikan penulisan Skripsi dengan judul “Kewenangan Penjabat

Negeri dalam Pengangkatan dan Pemberhentian Saniri Negeri Laha Kaba

Kecamatan Telutih Kabupaten Maluku Tengah” sebagai salah satu syarat

memperoleh gelar Sarjan Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Pattimura.

Dalam penulisan Skeipsi ini Penulis menyadari bahwa mungkin masih

ada kesalahan, baik dalam penyusunan kata, kalimat maupun secara struktural

penulisan skripsi yang bisa dibilang jauh dari kata sempurna. Sehingga kritik

dan saran yang sangat membangun dari semua pihak sangat diharapkan dari

penulis, guna memperbaiki penulisan skripsi ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini tidak terlepas dari

bimbingan, bantuan, petunjuk dan saran dari berbagai pihak. Pada kesempatan

ini penulis mengucapkan terima kasih yang tulus dari lubuk hati yang paling

dalam kepada:

1. Prof. Dr. Marthinus Johanes Saptenno, S.H., M.Hum. selaku pimpinan

rektor Universitas Pattimura

2. Dr. Rory Jeff Akyuwen, S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Pattimura yang telah membantu dalam seluruh proses

pendidikan selama ini.


vi

3. Dr. E. R. M. Toule, S.H., M.S. selaku Wakil Dekan I Bidang Akademik

Fakultas Hukum Universitas Pattimura yang telah meluangkan waktu

untuk mengajar, mendidik dan membina penulis selama ini.

4. Dr. H. Salmon, S.H., M.H. selaku Wakil Dekan II Bidang Umum dan

Keuangan Fakultas Hukum Universitas Pattimura atas segala didikan

dan binaan yang telah diberikan selama ini.

5. Dr. S. S. Alfons, S.H., M.H. selaku Wakil Dekan III Bidang

Kemahasiswaan dan alumni Fakultas Hukum Universitas Pattimura

yang telah mendidik dan membina penulis selama ini, yang juga

merupakan Penguji I dalam ujian akhir yang telah memberikan bantuan

dan arahan selama studi.

6. Dr. Renny H. Nendissa, S.H., M.H. selaku Ketua Bagian Hukum Tata

Negara/Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas

Pattimura dan juga sebagai Pembimbing I yang telah membantu dan

mengarahkan penulis dalam penyelesaian skripsi ini.

7. Dr. Miracle Soplanit, S.H., M.H selaku Pembimbing II yang telah

memberikan ilmu serta bimbingan dalam menyelesaikan skripsi ini.

8. Dr. Dezonda Rosiana Pattipawae, S.H., M.H sebagai Penguji II dan Ibu

Heillen M.Y. Tita, S.H., M.H sebagai Penguji III dalam ujian akhir yang

telah memberikan kritikan, saran dan masukan yang sangat membangun

dalam memperbaiki penulisan skripsi ini.

9. Bapak dan Ibu Dosen bagian Hukum Tata Negara/Hukum Administrasi

Negara yang tidak sempat penulis sebutkan namanya satu per satu yang
vii

telah mendidik dan membekali penulis dengan ilmu hukum selama

penulis menumpuh pendidikan pada Fakultas Hukum Universitas

Pattimura.

10. Bapak dan Ibu Dosen Bagian Hukum Pidana, Bagian Hukum Perdata

dan Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas

Pattimura yang telah banyak memberikan ilmu sebagai salah satu acuan

dalam penulisan Skripsi ini, yang tidak dapat menyebutkan nama satu

demi satu.

11. Staff Akademik Fakultas Hukum Universitas Pattimura yang telah

membantu dan memfasilitasi semua proses selama studi penulis.

12. Kedua orang tua tercinta, Ayah penulis Burhan Mahmud dan Ibu

penulis Wa Ani atas kasih sayang dan dukungan yang diberikan dari

kecil hingga saat ini serta motivasi, didikan dan nasehat sebagai salah

satu bekal penulis menempuh pendidikan dan terus optimis dan

semangat dalam belajar, terima kasih yang tidak terhingga atas segala

didikan, doa, dan nasehatnya kepada penulis selama hidup ini.

13. Kepada saudara penulis Abang Rajes Koranelao dan adik-adikku

tercinta Nurfadila Koranelao, Sulaiman Koranelao, Aisyah Koranelao

dan Jihan Koranelao serta keluarga besar penulis yang senantiasa

memberikan doa dan dukungan.

14. Kepada keluarga besar Himpunan Mahasiswa Islam Komisariat Hukum

Unpatti yang selalu memberikan doa, dukungan selama penulis

menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Pattimura.


viii

Terkhusunya untuk Kanda Gaf Waliulu yang senantiasa memberikan

motivasi dan semangat kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan

studi ini.

15. Teman-teman Pengurus HMI Komisariat Hukum Unpatti periode

2022/2023 yang saling memotivasi dan membantu dalam menyelsaikan

studi ini. Dan Kepada teman-teman angkatan 18 yang tidak sempat

disebutkan namanya satu per satu yang sudah saling mendukung satu

dengan yang lain, dalam proses studi sampai pada tahap akhir ini.

16. Almamater penulis, Fakultas Hukum Universitas Pattimura yang telah

menjadi wadah bagi penulis untuk menimbah ilmu.

Semoga Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa memberikan balasan dan

dukungan yang telah diberikan kepada penulis dan semoga skripsi ini dapat

bermanfaat untuk menambah wawasan keilmuan bagi pembaca pada umumnya

dan bagi penulis pada khususnya.

Ambon, 3 Agustus 2023

Abdul Latif Koranelao


ix

Abdul Latif Koranelao, 201821400, Kewenangann Penjabat Negeri dalam


Pengangkatan dan Pemberhentian Saniri Negeri Laha Kaba Kecamatan
Telutih Kabupaten Maluku Tengah, dibimbing oleh Renny H. Nendissa,
selaku Pembimbing I dan Miracle Soplanit, selaku Pembimbing II

ABSTRAK
Penjabat Negeri melakukan tindakan sewenang-wenang dalam mengangkat
dan memberhentikan Saniri tanpa adanya musyawarah dari setiap marga atau
soa yang mempunyai hak dan kewenangan dalam mengangkat dan
memberhentikan Saniri Negeri Peraturan Daerah Kabupaten Maluku Tengah
No. 04 Tahun 2006 Tentang Pedoman Penataan Saniri Negeri/Badan
Pemusyawaratan Desa menjelaskan pada Pasal 19 Poin 1 “Saniri Negeri dipilih
berdasarkan keterwakilan sesuai adat istiadat, hukum adat dan budaya
setempat”.

Dalam penulisan ini membahas dua masalah yaitu: 1) Apakah Penjabat Negeri
berwenang dalam mengangkat dan memberhentikan Saniri Negeri sesuai
dengan Peraturan perundang-undangan. 2) Apa akibat hukum Pengangkatan
Saniri oleh Penjabat Negeri. Tujuan penelitian ini untuk mengkaji dan
menganalisis kewenangan Penjabat Negeri dalam mengangkat dan
memberhentikan Saniri Negeri dan Akibat hukum Pengangkatan Saniri oleh
Penjabat Negeri. Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode
penelitian hukum normatif.

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa pengangkatan dan pemeberhentian


Saniri Negeri oleh Penjabat Negeri tidaklah sesuai dengan adat istiadat negeri
setempat atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Surat
Keputusan bupati Maluku Tengah tentang Pengkatan Saniri Negeri adalah tidak
sah atau cacat hukum.

Kata kunci : Kewenangan Penjabat Negeri, Pengangkatan dan


Pemberhentian, Saniri Negeri
x

DAFTAR PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 Tentang Ombudsman.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah.

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan.

Undang-Undang Nomor 06 Tahun 2014 Tentang Desa.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2015 Tentang Aparatur Sipil Negara.

Peraturan Daerah Kabupaten Maluku Tengah Nomor 01 Tahun 2006 Tentang


Negeri.

Peraturan Daerah Kabupaten Maluku Tengah Nomor 06 Tahun 2006 Tentang


Pedoman Penataan Saniri Negeri/Badan Pemusyawaratan Negeri.
xi

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i

LEMBARAN PENGESAHAN ..................................................................... ii

LEMBARAN KEASLIAN NASKAH .......................................................... iii

UCAPAN TERIMA KASIH ........................................................................ iv

ABSTRAK ................................................................................................ viii

DAFTAR PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN ............................. ix

DAFTAR ISI ................................................................................................ x

BAB I PENDAHULUAN ...................................................................... 1


A. Latar Belakang ..................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................ 8
C. Tujuan Penelitian ................................................................. 8
D. Manfaat Penelitian ............................................................... 9
E. Kerangka Konseptual ......................................................... 10
F. Metode Penelitian .............................................................. 20

1. Jenis Penelitian............................................................. 20

2. Pendekatan masalah ..................................................... 20

3. Sumber Bahan Hukum ................................................. 21

4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ............................ 22

5. Analisa Bahan Hukum.................................................. 22

BAB II KEWENANGAN PENJABAT NEGERI DALAM


PENGANGKATAN DAN PEMBERHENTIAN SANIRI
NEGERI ................................................................................... 23
A. Pengangkatan Penjabat Negeri oleh Kepala Daerah ............ 23
1. Pengertian Penjabat Negeri ......................................... 23
xii

2. Prosedur Pengangkatan Penjabat Negeri oleh Kepala


Daerah ........................................................................ 26
B. Kedudukan dan Funsi Saniri Negeri dalam Peraturan
Perundang-Undangan ......................................................... 30
1. Pengertian Saniri Negeri.............................................. 30
2. Kedudukan dan Fungsi Saniri Negeri dalam Peraturan
Daerah Kabupaten Maluku Tengah ............................. 32
C. Kewenangang Penjabat Negeri dalam Pengangkatan dan
Pemberhentian Saniri Negeri .............................................. 35
BAB III AKIBAT HUKUM PENGANGKATAN SANIRI NEGERI
OLEH PENJABAT NEGERI .................................................... 42
A. Hakikat Tindakan Pemerintahan ......................................... 42
B. Pengangkatan Saniri Negeri oleh Penjabat Negeri .............. 51
C. Akibat Hukum Pengangkatan Saniri Negeri oleh Penjabat

Negeri ................................................................................ 54

BAB IV PENUTUP ................................................................................ 59


A. Kesimpulan ........................................................................ 59
B. Saran.................................................................................. 60

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 61


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia sebagai sebuah negara yang lahir pada abad ke-20,

mengadopsi konsep bernegara hukum sesuai prinsip konstitualisme. Hal ini

bisa diamati dari kesepakatan (consensus) bangsa Indonesia semenjak UUD

1945 sebagai konstitusi negara Indonesia. Kesepakatan inilah yang pada

perkembanganya menjadi cita-cita bersama yang umum juga disebut falsafah

kenegaraan staatside (cita negara) yang berfungsi sebagai filosofische

grondslag dan common platforms atau kalimatun diantara sesama warga

masyarakat dalam konteks kehidupan bernegara.1

Makna kesatuan di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 sebelum Amendemen, sebagaimana termaktub dalam

ketentuan pasal 18 ayat 1 ataupun perubahan kedua Undang-Undang Dasar

Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 BAB VI yang mengatur

terkait dengan pemerintah daerah Pasal 18 ayat (1) , sebenarnya gagasan

Negara kesatuan bukan bersifat sentralistik. Perubahan kedua tersebut dalam

Pasal 18 ayat (1) menegaskan “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi

atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan

1
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitualisme Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta:
2010, hlm. 22
2

kota, tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota itu mempunyai pemerintah

daerah yang diatur dengan undang-undang”.2

Pertama kali disebutkan Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 Tentang

Pemerintah Daerah di dalam Pasal 1 ayat (5). “yang dimaksud otonomi daerah

adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan

mengurus sendiri perihal urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat

setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan”. Wajah daerah

otonom memberikan cirikhas tersendiri bahwa bangsa Indonesia memiliki

keanekaragaman suku etnis, adat istiadat, bahasa, warna kulit, pakaian, dan

sebagainya. Sehingga frasa “Bhineka” dalam Bhineka Tunggal Ika

merupakan wujud perlambangan terhadap multiragam tersebut. Dan itu juga

sebabnya, dalam realitas terdapat keanekaragaman dalam kesatuan

masyarakat yang terendah.3

Desa secara istilah dalam kacamata hukum tata negara tidaklah di

maksud untuk menunjukan atau memberikan pemahaman bahwa terdapat

keseragaman, ataukah persamaan pendapat bahwa pengertian Desa di

Indonesia barat dan diluar jawa atau Indonesia timur sama. Daerah otonom

terendah atau kesatuan masyarakat hukum dalam pemerintahan terkecil atau

yang disebut desa memang telah menjadi istilah umum. 4 Pertama kalinya

disebut Undang-Undang No.6 Tahun 2014 Tentang Desa Pasal 1 ayat (1),

2
Titik Triwulan dan Tutik., Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca
Amendemen UUD 1945, Kencana Pramedia Group Jakarta: 2010, hlm.243.
3
Moh Kusnardi dan Harmaily Ibrhim, Pengantar HukumTata Negara
Indonesia,cet.VIII, CV. Sinar Bakti, Jakarta: 1998 .hlm.284.
4
Titik Triwulan, op.cit., hlm.276
3

bahwa Desa dibagi menjadi Desa dan Desa adat. Desa menjalankan

pemerintahanya sesuai dengan ketentuan di dalam undang-undang terkait

Desa, sedangkan pemerintahan Desa adat melaksanakan kompetensinya

dalam setiap bidang pemerintahan desa sesuai dengan hak asal-usul serta adat

istiadat yang mengakar dan hidup di masyarakat.

Desa adat merupakan masyarakat dengan bangunan bersejarah yang

harus dijaga dan dilestarikan karena sudah ada sejak lama. pengaturan

masyarakat hukum adat sesuai dengan ketentuan Pasal 18B ayat (2) untuk

diatur dalam suatu pemerintahan sesuai dengan ketentuan Pasal 18 ayat (7)

UUD 1945, namun kewenangan kesatuan masyarakat hukum adat mengenai

pengaturan hak ulayat mengacu pada ketentuan peraturan perundang-

undangan yang bersangkutan. 5

Masyarakat yang diatur oleh hukum adat kadang-kadang dikenal

sebagai "masyarakat tradisional" atau "masyarakat adat", istilah yang lebih

sering digunakan dalam percakapan sehari-hari. 6 Serikat hukum, juga dikenal

sebagai (rechtsgemeenschap), adalah sekelompok orang yang memiliki

ikatan yang kuat satu sama lain dan yang bekerja sebagai unit yang kohensif.

Beberapa anggota serikat hukum memiliki wewenang untuk bertindak atas

5
Muhamad A. Rauf, Politik Hukum Pembentukan Desa Adat dalam Sistem
Pemerintahan di Indonesia, De Lega Lata: Jurnal Hukum Vol.1 No.2, 2016 hlm. 415.
6
Djamanat Samosir. HukumAdat Indonesia, CV Nuansa Aulia, Medan. 2013, hlm.
69.
4

nama kelompok secara keseluruhan. Hal itu dilakukan untuk memajukan

tujuan dan kepentingan bersama.7

Peneliti tidak panjang lebar mengkaji tentang pemerintahan Desa adat

yang ada di Indonesia secara umum, namun peneliti lebih memfokuskan atau

membatasi objek kajiannya pada pemerintahan Desa adat yang ada di Maluku

terkhususnya Maluku Tengah, sebagaimana masalah yang peneliti ambil

untuk di teliti berkaitan dengan Saniri Negeri.

Saniri Negeri adalah lembaga adat yang berperan mengayomi adat

istiadat dan hukum adat. Dalam hal mengatur pemerintahan dalam lingkup

Negeri atau dusun, Saniri membantu Raja atau Kepala Pemerintahan Negeri.

Sekelompok orang yang dikenal dengan Saniri Negeri terdiri dari kepala soa,

atau pemimpin dari berbagai marga atau fam (kata untuk sistem keluarga di

Maluku, yang biasanya berdasarkan garis keturunan ayah dan ditentukan dari

generasi ke generasi).8

Saniri Negeri hanya dapat ditemukan di desa adat/Negeri di wilayah

Maluku. Saniri Negeri memiliki beberapa aturan tersendiri dalam sistem

pemerintahannya yang bersumber dari tradisi atau kebiasaan yang telah

mereka lakukan selama bertahun-tahun dan aturan ini tidak melanggar aturan

7
H. Erwin Owan Hermansyah dkk, Buku Ajar Hukum Adat, Madza Media, Malang,
2021, hlm. 45.
8
Ronald Alfredo, Lembaga Adat “saniri” Sebagai Forum Komunikasi Dalam
Penyelesaian Masalah Publik Di Ambon, Jurnal Komunikasi Kareba, Ambon, Universitas
Pattimura,Vol. 1 No. 3 2011, hlm 336.
5

hukum formal dalam undang-undang sementara tidak berjalan dari jalan satu

pedoman dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.9

Pertama kalinya disebut Saniri Negeri dalam Peraturan Daerah

Kabupaten Maluku Tengah Nomor 04 Tahun 2006 Tentang Pedoman

Penataan Saniri Negeri atau Badan Pemusyawaratan Negeri. Di dalam BAB

I Pasal 1 Poin O mengatakan bahwa:

“SANIRI Negeri adalah lembaga/badan yang merupakan perwujudan


demokrasi dalam penyelenggaran pemerintahaan Negeri dan sebagai
unsur penyelenggara pemerintahaan Negeri, berfungsi sebagai badan
legislatif yang bersama-sama kepala pemerintah Negeri membentuk
Peraturan Negeri, mengawasi pelaksanaan tugas dari kepala
pemerintahaan Negeri serta merupakan badan yang mendampingi
kepala pemerintahaan Negeri dalam memimpin Negeri, sesuai tugas
dan wewenang yang dimilikinya”.

Penyelenggaran pemerintahan desa dimaksud melingkupi

penyelenggaraan urusan bidang eksekutif, yaitu pemerintah desa melakukan

pengurusan administrasi pemerintahan melalui kepala desa dan perangkat

desa sebagai kepala pemerintahan dan pelaksana pemerintahan tingkat desa.

Penyelenggaraan urusan bidang legislatif, sebagai fungsi pembentukan dan

pengawasan kebijakan urusan penyelenggaraan pemerintahan desa oleh

pemerintah desa sesuai dengan prinsip (check and blances). Dalam hal ini

Saniri Negeri dan atau Badan Permusyawaratan Negeri (BPN) untuk

pemerintahan desa adat atau istilah lainya.

9
Suharno dan Milwan Milwan, Ketahanan Saniri Dalam Dinamika Kebijakan
Monokultural, Jurnal Internasional Rehabilitasi Psikososial, Vol. 24, Edisi 09, 2020, hlm. 2653.
6

Hak asal-usul yang melekat pada kesatuan masyarakat hukum adat

untuk melaksanakan tradisi berdasarkan konvensi adat setempat sampai pada

ruang lingkup administrasi yang menjadi bagian dari nilai-nilai sakral

peninggalan leluhur yang masih hidup sampai saat ini. Berbagai dinamika

yang sering bahkan marak terjadi berkaitan dengan tindakan pemerintahan

yang inkonstitusional yang lumrah terhadap melaksanakan fungsi, tugas,

kewenangan serta tanggungjawabnya, tindakan demikian seringkali timbul

dari perintah undang-undang bahkan tidak sama sekali.

Kasus posisi yang peneliti angkat yang terjadi di Desa/Negeri Laha

Kaba Kecamatan Telutih, Kab Maluku Tengah. Pada tanggal 09 April 2022

terjadinya pelantikan Saniri Negeri oleh Camat Telutih dan Surat

Keputusanya di terbitkan oleh Bupati Maluku Tengah dalam hal pergantian

antar waktu Saniri baru terhadap Saniri lama Negeri Laha Kaba. Penjabat

Negeri dengan kuasanya menunjuk Saniri Negeri baru dan memberhentikan

Saniri Negeri lama tanpa adanya musyawarah dari setiap marga/soa yang

mempunyai hak dan wewenang dalam pengangkatan Saniri Negeri. Tentu ini

menjadi persoalan sebab kedudukan Penjabat Negeri dan Saniri Negeri

sederajat atau seimbang. Dalam artian Penjabat Negeri tidak bisa

membekukan atau membubarkan Saniri Negeri.

Penjabat dengan mengandalkan kuasanya melakukan tindakan tersebut

untuk memuluskan saudaranya agar bisa menjadi satu-satunya calon Raja

Definitif Negeri Laha Kaba, dampak dari tindakan tersebut terjadinya

anarkisme yang dilakukan oleh masyarakat Negeri Laha Kaba dengan


7

melempar batu ke rumah penjabat dan terjadi kerusuhan antar saudara di

Negeri tersebut.

Berdasarkan tata hukum pengangkatan Saniri Negeri adat di Negeri

Laha Kaba, yang mana pengangkatan Saniri Negeri dilakukan melalui

musyawarah setiap marga atau soa dan berhak mengusulkan satu nama untuk

menjadi Saniri Negeri. Hal tersebut juga dipertegas dalam Peraturan Daerah

Kabupaten Maluku Tengah Nomor 04 Tahun 2006 tentang Pedoman

Penataan Saniri Negeri atau Badan Pemusyawaratn Negeri terdapat dalam

BAB VI Tata Cara Pemilihan Anggota Saniri Bagian Kedua Pasal 19 Poin 1

“Saniri Negeri dipilih berdasarkan keterwakilan sesuai adat istiadat, hukum

adat dan budaya setempat” serta dalam BAB VIII Pemberhentian dan

Pergantian Bagian Kedua Pasal 25 Poin 1 “Pergantian antar waktu

anggota/pimpinan Saniri Negeri atau Badan Pemusyawaratan Negeri, karena:

(a) meninggal dunia. (b) permintaan sendiri; (c) tidak lagi memenuhi syarat

yang ditentukan.

Penjabat Negeri melaksanakan tugas, wewenang dan larangan serta

memperoleh hak yang sama dengan kepala Desa/Negeri. Dalam hal

menyelenggarakan pemerintahan Desa/Negeri, wewenang serta tugas Kepala

Desa/Penjabat Negeri berdasarkan Undang-Undang No 6. Tahun 2014

Tentang Desa; a. memimpin penyelenggara Desa/Negeri, b. membina

kehidupan masyarakat Desa/Negeri, c. membina ketentraman dan ketertiban

masyarakat Desa/Negeri dst. Larangan Kepala Desa/Penjabat Negeri; a.

merugikan kepentingan umum, b. membuat keputusan yang menguntungkan


8

diri sendiri, anggota keluarga, pihak lain, dan golongan tertentu, melakukan

tindakan meresahkan kelompok massyarakat Desa/Negeri dst. Sanksi jika

melanggar larangan Kepala Desa/Penjabat Negeri dikenai sanksi

administrative berupa teguran.

Berdasarkan uraian serta penjabaran diatas antara fakta dan yang

seharusnya atau perintah undang-undang maupun secara konsepsionil teoritis

mengalami kesenjangan atau bertentangan, olehnya itu peneliti tertarik

melakukan penelitian hukum dengan judul “Kewenangan Penjabat Negeri

Dalam Pengangkatan Dan Pemberhentian Saniri, Negeri Laha Kaba

Kecamatan Telutih Kabupaten Maluku Tengah”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan penjabaran latar belakang diatas maka rumusan masalah

yang dikemukakan oleh peneliti dalam penelitian ini adalah:

1. Apakah Penjabat Negeri berwenang dalam pengangkatan dan

pemberhentian Saniri Negeri?

2. Apa akibat hukum dalam pengangkatan Saniri Negeri oleh Penjabat

Negeri?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengkaji dan menganalisis kewenangan Penjabat Negeri dalam

pengangkatan dan pemberhentian Saniri Negeri.

2. Untuk mengkaji dan menganalisis akibat hukum yang ditimbulkan dalam

pengangkatan Saniri Negeri oleh Penjabat Negeri.


9

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini dupayakan bisa memberikan manfaat baik manfaat

secara teoritis maupun manfaat praktis:

1. Manfaat Teoritis

Dalam penelitian ini mampu memberikan manfaat dan perkembangan

bagi pengetahuan ilmu hukum pada umumnya dan Hukum Tata Negara/

Hukum Administrasi Negara pada khususnya, serta manfaat terhadap

pemerintah dalam pengambilan kebijakan maupun masyarakat luas yang

berminat mengetahui persoalan tentang Kewenangan Penjabat Negeri

dalam Pengangkatan dan Pemberhentiann Saniri di Negeri Laha Kaba

Kecamatan Telutih Kabupaten Maluku Tengah.

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini juga diharapkan dapat membantu memberikan

pemahaman dalam perkembangan ilmu pengetahuan, serta bagi

masyarakat pada umunya dan praktisi hukum maupun bagi mahasiswa

pada khususnya berkaitan dengan Saniri Negeri. Menjadi rujukan bagi

pemerintah dalam menjalankan kewenangan baik itu yang diperoleh

melalui atribusi, delegasi, dan mandat serta berlandaskan pada ketentuan

perundang-undangan maupun asas-asas pemerintahan yang baik.


10

E. Kerangka Konseptual

1. Kewenangan

Istilah wewenang atau kewenangan disejajajrkan dengan “authority”

dalam bahasa inggris.10 Authority dalam Black’s Law Dictionary diartikan

sebagai “Legal power; a right to command or act; the right and power of

public officers to require obedience to their orders lawfully issued in scope

of their public duties". Wewenang atau kewenangan ialah kedaulatan

hukum, hak dalam bertindak atau memerintah; hak ataupun kedaulatan

penjabat publik mematuhi produk hukum dalam rangka melakukan

keharusan atau kewajiban publik.

Istilah kewenangan dalam bermacam literatur tak jarang

dipersamakan dengan istilah kekuasaan dan wewenang, dan kekuasaan tak

jarang dipertukarkan dengan istilah kewenangan, dan sebaliknya. Pada

kenyataannya, kekuasaan sering dikacaukan dengan otoritas. Biasanya,

hubungan kekuasaan terdiri dari satu orang yang memerintah dan yang

lainnya tunduk pada aturan itu (the rule and the ruled).11 Menurut undang-

undang, wewenang adalah kekuasaan untuk menjatuhkan akibat-akibat

yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan.12

10
Abdul Latif, Hukum Administrasi Dalam Praktik Tindak Pidana Korupsi, Pernada
Media Grup, Jakarta, 2014, hlm. 6
11
Miriam Budiarjo Dasar-Dasar Ilmu politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,
1998, hlm. 35-36
12
Indroharto, Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, dalam Paulus Efendie
Lotulung, Himpunan Makalah Asas-Asas Pemerintahan yang Baik, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1994, hlm. 65
11

Prajudi Atmosudirjo berpendapat tentang pengertian wewenang

dalam kaitannya dengan kewenangan sebagai berikut: “kewenangan

adalah apa yang disebut kekuasaan formal, kekuasaan yang berasal dari

kekuasaa lagislatif (diberi oleh undang-undang) atau dari kekuasaan

eksekutif/administrative. Kewenangan adalah kekuasaan terhadap

sekelompok orang tertentu atau atau atas suatau wilayah (atau bidang

urusan) pemerintahan tertentu, sedangkan wewenang hanya menyangkut

bagian-bagian tertentu saja. Di dalam kewenangan terdapat wewenang-

wewenang. Wewenang adalah kekuasaan untuk melakukan sesuatu

tindakan hukum publik.13

Secara teoritis, kewenangan yang bersal dari peraturan perundang-

undangan bisa dimiliki dengan tiga cara, yaitu kewenangan atribusi,

kewenangan delegasi, dan kewenangan mandat.14 Lebih lanjut, H.D. van

Wijk/ Willem Konijnenbelt dalam Ridwan HR kemudian mendefinisikan

atribusi, delegasi, dan mandat sebagai berikut:15

a. Attributie (toekenning van een bestuursbevoegheid door een wetgever

aan een bestuursorgaan): atribusi merupakan pelimpahan wewenang

pemerintahan dari pembuat undang-undang kepada institusi

pemerintahan;.

13
Prajudi Atmosudirjo, Hukum Administrrasi Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta,
1981, hlm. 29
14
Aminudin Ilmar, Hukum Tata Pemerintahan, Prenanda Media Grup,
Jakarta,2014.hlm.111.
15
Ridwan H.R, Hukum Administrasi Negara, Rajawali Pers, Jakarta, 2018, hlm.102.
12

b. Delegatie: (overdracht van een bevoegheid van het ene

bestuursorgaan aan een ander), ;delegasi merupakan penyerahan

wewenang pemerintahan dari satu organ atau institusi pemerintahan

kepada organ atau institusi pemerintahan lainnya;

c. Mandaat: (een bestuursorgaan laat zijn bevoegheid namens hem

uitoefenen door een ander) ;mandat terjadi apabila pemerintahan

mengizinkan kewenangannya dijalankan oleh lembaga lain atas

namanya;

Kemudian daripada itu, pengertian kewenangan juga telah diatur

dalam Pasal 1 Angka 6 selanjutnya disingkat UU No. 30/2014 Tentang

Administrasi Pemerintahan yang menyatakan bahwa: “Kewenangan

Pemerintahan yang selanjutnya disebut Kewenangan adalah kekuasaan

Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya

untuk bertindak dalam ranah hukum publik”.

Penggunaan kewenangan dalam penyelenggaraan pemerintahan

fungsi, tugas serta peran pemerintah pada dasarnya perlu adanya di

lakukan pembatasan. Hal ini sangat urgen dilaksanakan sehingga tindakan

atau perbuatan pemerintah tidak berpotensi menyalahgunakan

kewewenangan (detournement de pouvoir), melanggar hukum

(onrechtmatige overheidsdaad) baik secara formil maupun materiil dalam

arti kompleks, dan tindakan kesewenang-wenangan. Pembatasan pada

penggunaan wewenang tersebut membuka ruang lingkup terhadap


13

legalitas keabsahan tindakan pemerintah yang mencakupi wewenang,

prosedur, dan substansi. 16

Pada prinsipnya urgensi kerja dan fungsi pemerintah adalah

merupakan terselesainya aspek kesejahteraan atau keselamatan dan juga

kebahagiaan segenap masyarakat di suatu wilayah negaranya dalam hal ini

Negara Kesatuan Republik Indonesia. 17

Kewenangan adalah ciri khas inti dari suatu negara, yang mana

kewenangan ini merupakan kuasa yang dimiliki oleh perorangan atau

golongan orang untuk mengendalikan, menyuruh dan melakukan tugas

yang diberikan di bidang masing-masing. Dalam melaksanakan tugas

biasanya seseorang atau golongan orang yang mengendalikan kuasa akan

berwenang untuk menjalankan kuasanya sesuai dengan wewenang yang

sudah dikasih padanya.

2. Tanggung Jawab Hukum

Liability (tanggung jawab hukum ) adalah istilah hukum yang meluas

yang menunujuk hampir segala resiko atau tanggung jawab, yang mungkin

mencakup segala karakter hak dan keharusan secara aktual dan potensial

seperti kerugian, ancaman, melanggar hukum, biaya atau situasi yang

menciptakan tugas untuk melaksanakan undang-undang dengan segera

atau pada masa yang akkan datang. Responsibility berarti hal yang bisa

dipertanggungjawabkan atas keharusan, dan termasuk putusan,

16
Aminudin Ilmar, Op.Cit, hlm.118-120.
17
Renny Heronia Nendissa, Eric Stenly Holle, Hukum Kewenangan, Pattimura
Univesitas Press, Ambon, 2023, hlm. 23
14

keterampilan, kesanggupan dan kecakapan meliputi juga keharusan

bertanggungjawab atas undang-undang yang dikerjakan. Dalam

pengertian dan penggunaan praktis, istilah liability menunjuk pada

pertanggung jawaban hukum, sedangkan responsibility menunjuk pada

pertanggungjawaban politik. 18

Menurut Hans Kelsen dalam teorinya perihal tanggung jawab hukum

menyatakan bahwa, seseorang bertanggung jawab secara hukum atas suatu

tindakan tertentu atau bahwa dia memikul tanggung jawab hukum subyek

berarti bahwa dia bertenggung jawab atas suatu hukuman dalam hal

tindakan yang bertentangan. 19

Ridwan Halim mendefinisikan tanggung jawab hukum sebagai akibat

tambahan dari pemenuhan suatu peran, baik hak dan kewajiban maupun

kekuasaan. Secara umum tanggung jawab hukum diartikan sebagai

kewajiban untuk melakukan sesuatu atau berperilaku menurut cara tertentu

yang tidak menyimpang dari undang-undang yang ada. Sementara itu,

Purbacaraka berkeyakinan bahwa tanggung jawab hukum timbul atau lahir

dari pembebasan kemampuan setiap orang untuk melaksanakan haknya

dan/atau memenuhi kewajibannya. Di samping itu ditegaskan bahwa

segala pelaksanaan tugas dan segala penggunaan hak yang baik, yang

18
Ridwan H.R, Op.Cit hlm. 249-250
19
Hans Kelsen, sebagaimana diterjemahkan oleh Somardi, General Theory Of Law
and State, teori Umum Hukum dan Negara, Dasar-Dasar Ilmu Hukum normative Sebagai Ilmu
Hukum Deskriptif Empirik, BEE Media Indonesia, Jakarta, 2007, hlm. 81
15

sebenarnya dilaksanakan dengan baik, tetap harus disertai dengan

tanggung jawab dan pelaksanaan kekuasaan. 20

Menurut Abdulkadir Muhammad teori tanggung jawab dalam

perbuatan melanggar hukum (tort liability) dibagi menjadi beberapa teori,

yaitu.21

a. Untuk dapat dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan

melawan hukum yang dilakukan dengan sengaja (internal tort

liability), tergugat harus melakukannya dengan maksud untuk

merugikan penggugat atau mengetahui bahwa perbuatannya akan

menimbulkan kerugian.

b. Pengertian kekeliruan moral dan hukum yang telah dikacaukan

mendasari tanggung jawab atas perbuatan melawan hukum yang

dilakukan sebagai akibat kecerobohan (negligence tort liability)

c. Tanggung jawab mutlak atas perbuatan pidana tanpa ruang untuk

kesalahan (stirck culpability), yang didasarkan atas perbuatannya,

baik disengaja maupun tidak.

Konsep tanggung jawab hukum berkaitan dengan konsep kewajiban

hukum, bahwa seseorang bertanggung jawab secara hukum atas perbuatan

tertentu, dan pertanggungjawabannya secara hukum berarti ia dihukum

jika ia bertindak berlawanan arah. Tanggung jawab hukum bisa dibedakan

20
Julista Mustamu, Pertanggungjawaban Hukum pemerintah. Jurnal Sasi, Vol. 20,
No. 2 2014, hlm. 22
21
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perusahaan Indonesia, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2010, hlm. 336
16

atas pertanggungjawaban individu dan pertanggungjawaban kolektif.

Pertanggungjawaban individu merupaakan tanggung jawab seseorang atas

pelanggaran yang dijalankannya sendiri, sedangkan pertanggungjawaban

kolektif merupakan tanggung jawab seorang individu atas suatu

pelanggaran yang dijalankan oleh orang lain. 22

3. Perbuatan Melawan Hukum Pemerintah

Perbuatan hukum yang memenuhi norma hukum berarti perbuatan itu

tergolong perbuatan yang sah secara hukum (rechtmatig daad), sedangkan

perbuatan hukum yang tidak memenuhi atau bertentangan dengan norma

hukum berarti perbuatan itu tergolong perbuatan melawan hukum atau

suatu tindakan yang melanggar hukum.

Onrechmatige overheidsdaad atau perbuatan melawan hukum

pemerintah, demikian sebutan dalam sejarah hukum Indonesia, bermula

dari Pasal 1365 KUH Perdata yang juga memuat hukum perdata.23 Namun

Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara belum secara tegas

merumuskan atau memahami perbuatan melawan hukum (PMH) yang

dilakukan Badan atau Penguasa Negara. Ketentuan Pasal 1365

KUHPerdata telah mengalami berbagai penafsiran.

Munculnya perubahan penafsiran ini secara garis besar dapat dibagi

menjadi dua periode, yaitu periode sebelum tahun 1919 dan periode

22
Titik Triwulan dan Shinta, Perlindungan Hukum Bagi Pasien, Prestasi Pustaka,
Jakarta, 2010, hlm. 48
23
T. Bustomi. Hukum Perdata dan Hukum Tata Negaradalam Teori Praktik. Alumni,
Bandung,1994. hlm. 19
17

setelah tahun 1919. Sebelum tahun 1919, ketentuan Pasal 1365 KUH

Perdata ditafsirkan secara sempit dan mengandung unsur-unsur sebagai

berikut: Tindakan melawan hukum; menimbulkan kerugian; hubungan

sebab akibat antara pelanggaran dan kerugian; dan menyalahkan pelaku.24

Berdasarkan penafsiran tersebut nampaknya perbuatan melawan

hukum mempunyai pengertian yang sama dengan perbuatan bertentangan

dengan undang-undang (onrechtmatigedaad is onwetmatigedaad).

Penjelasan mengenai perbuatan melawan hukum sama dengan penjelasan

tentang perbuatan bertentangan dengan undang-undang yang diberikan

oleh mazhab legisme yang dominan pada saat itu. Mazhab ini

berpandangan bahwa hukum hanyalah apa yang dikatakan dalam undang-

undang, diluar undang-undang tidak ada hukum. Penafsiran yang sempit

mengenai apa yang dimaksud dengan perbuatan melawan hukum

mengakibatkan sempitnya perlindungan hukum yang dapat diberikan

kepada warga negara.

Selanjutnya disingkat UU No. 30/2014 tentang Administrasi

Pemerintahan Pasal 17 menjelaskan, Badan dan/atau pejabat pemerintah

dilarang menyalahgunakan kewenangannya. Larangan ini meliputi

larangan penyalahgunaan wewenang, larangan pencampuran kekuasaan,

dan/atau larangan tindakan sewenang-wenang. Badan dan/atau pejabat

pemerintah dianggap melampaui kewenangan apabila keputusan dan/atau

24
Ridwan H.R. Op.Cit. hlm. 272
18

tindakan diambil melampaui masa jabatannya atau jangka waktu

pelaksanaan kewenangannya, di luar lingkup kewenangan yang ada,

dan/atau melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan.

Badan dan/atau pejabat pemerintah digolongkan mencapmpuradukan

kewenangan apabila keputusan dan/atau tindakan yang diambil tidak

berada dalam ruang lingkup atau subjek kewenangan yang diberikan

dan/atau tidak sesuai dengan tujuan pemberian kewenangan tersebut.

Badan dan/atau pejabat negara dianggap bertindak sewenang-wenang jika

keputusan dan/atau tindakan diambil tanpa kewenangan mengeluarkan

instruksi dan/atau bertentangan dengan keputusan pengadilan yang telah

mempunyai kekuatan hukum tetap.

Unsur “melawan hukum” dalam penyelesaian sengketa administrasi

lahir setelah tahun 1919, dan kriteria penanganan pelanggaran hukum yang

ditentukan dalam Pasal 1365 KUHPerdata telah berubah penjelasannya,

khususnya sebagai berikut: pertama, menimbulkan gangguan terhadap

hajat hidup orang banyak. Yang lainkedua, bertentangan dengan

kewajiban hukum pencipta; ketiga adalah ketidaksopanan; Keempat,

bertentangan dengan sikap benar, hati-hati dan hati-hati yang harus

dimiliki seseorang ketika berhubungan dengan sesame warga negaranya

atau dengan urusan orang lain. 25

25
Soerjono Soekanto, Penegakan Hukum, Bina Cipta, Bandung. 1983, hlm. 47
19

Seiring dengan meluasnya penafsiran tersebut, perlindungan hukum

yang diberikan kepada warga negara juga semakin luas. Perluasan

interpretasi ini dalam praktik peradilan menimbulkan banyak kesulitan.

Menurut Indroharto, kesulitan tersebut bermula dari cara pemerintah

melakukan interaksi sosial yang dilakukan dengan cara yang sangat

spesifik, sedangkan standar kepantasan yang ingin diterapkan justru hanya

berlaku pada interaksi antar anggota masyarakat. Hampir tidak dapat

dikatakan bahwa norma-norma telah berevolusi dan berkembang norma-

norma perilaku dalam interaksi antara warga negara dan pemerintah. 26

Di Indonesia, terdapat dua kasus Mahkamah Agung yang

menunjukkan perubahan kriteria tindakan ilegal yang dilakukan pihak

berwenang; Pertama, putusan Mahkamah Agung dalam perkara Kasum

(Putusan Nomor 66K/Sip/1952), dimana Mahkamah Agung menyatakan

perbuatan melawan hukum terjadi apabila pemerintah bertindak

sewenang-wenang atau tidak mendapat publisitas yang cukup; Kedua,

putusan Mahkamah Agung dalam perkara Josopandojo (putusan no.

838K/Sip/1970), dimana Mahkamah Agung dalam hal ini menyatakan

bahwa kriteria onrechmatige overheidsdaad adalah peraturan perundang-

undangan formal yang sah dan kesusilaan dalam masyarakat, apa Hal-hal

yang diperlukan harus dipatuhi oleh pihak yang berwenang, dan tindakan

26
Indoharto, Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha
Negara, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta. 1993, hlm 248
20

politik pemerintah tidak termasuk dalam yurisdiksi pengadilan..27 Putusan

Mahkamah Agung ini jelas menunjukkan bahwa kriteria perbuatan

melawan hukum yang dilakukan penguasa adalah:

a) Perbuatan penguasa itu melanggar undang-undang dan peraturan

formal yang berlaku.

b) Perbuatan penguasa melanggar kepentingan dalam masyarakat yang

seharusnya dipatuhi.

F. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Penelitian dalam penulisan ini yaitu penelitian yuridis normatif yang

dilakukan dengan cara menelusuri peraturan-peraturan yang berkaitan

dengan Saniri Negeri. Soerjono Soekanto mendefinisikan penelitian

yuridis normatif sebagai penelitian hukum yang menggunakan bahan

kepustakaan sebagai landasannya serta melibatkan pencarian hukum dan

literatur yang relevan dengan masalah yang diteliti.28

2. Pendekatan Masalah

Dalam suatu penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan yang

digunakan, yaitu pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan

pendekatan konseptual (conceptual approach). Menurut Peter Mahmud

27
Philipus M. Hadjon, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta, 1993, hlm. 124
28
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudja , Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan
Singkat), Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, hlm. 13-14
21

Marzuki Pendekatan perundang-undangan ini dilakukan dengan menelaah

semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan persoalan

atau masalah hukum yang diteliti, dan Pendekatan konseptual ini

berangkat dari pandangan dan doktrin yang berkembang dalam ilmu

hukum sehingga melahirkan pengertian hukum, konsep hukum, dan asas

hukum yang relevan dengan persoalan yang dihadapi.29

3. Sumber Bahan Hukum

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer terdiri atas peraturan perundang-undangan,

yurisprudensi, atau putusan pengadilan. Bahan hukum primer adalah

bahan hukum yang bersifat otoritatif yang artinya mempunyai otoritas.

Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintah

Daerah.

3) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa.

4) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi

Pemerintahan.

5) Peraturan Daerah Kabupaten Maluku Tengah Nomor 04 Tahun

2006, Tentang Pedoman Penataan Saniri Negeri atau Badan

Pemusyawaratan Negeri.

29
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, 2017, hlm. 133-135
22

b. Bahan Hukum Sekunder

Setiap karya hukum yang bukan catatan resmi. Publikasi hukum dapat

ditemukan di buku (teks), kamus hukum, jurnal hukum, makalah

akademik, dan berbagai situs online yang berkaitan dengan topik

tersebut di atas.

c. Bahan Hukum Tersier

Adalah informasi hukum yang menjelaskan atau memberikan petunjuk

penggunaan sumber hukum primer dan sekunder yang meliputi kamus,

ensiklopedia, jurnal, dan surat kabar.

4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Sebagaimana telah disebutkan diatas, penelitian hukum normatif

adalah penelitian dengan menganalisis masalah dengan pendekatan asas-

asas dan mengacu pada standar hukum yang terdapat dalam peraturan

perundang-undangan Indonesia. Penelitian initerdiri dari bahan pustaka

otoritatif yang berupa bahan hukum primer, sekunder dan tersier.

5. Analisa Bahan Hukum

Penelitian ini menggunakan metode analitik deduktif. Dalam hal ini,

sumber-sumber penelitian diperoleh melalui inventarisasi dan penelaahan

studi kepustakaan, dokumen-dokumen yang menafsirkan peraturan

perundang-undangan, dan standar-standar terkait, selanjutnya sumber-

sumber tersebut diolah dan dianalisis untuk menjawab permasalahan yang

diteliti. Dalam penelitian ini, penulis menganalisis permasalahan hukum

dengan menggunakan metode deduktif.


23

BAB II

KEWENANGAN PENJABAT NEGERI DALAM PENGANGKATAN

DAN PEMBERHENTIAN SANIRI NEGERI

A. Pengangkatan Penjabat Negeri oleh Kepala Daerah

1. Pengertian Penjabat Negeri

Pejabat adalah orang yang menduduki jabatan tertentu dan

mempunyai wewenang tersendiri dalam jabatannya. Dalam arti luas,

pejabat dapat dibedakan menjadi dua pengertian, yaitu pejabat yang

diangkat dan pejabat yang dipilih. Pejabat terpilih dapat direkrut melalui

beberapa cara pemilu, antara lain pemilihan umum langsung (directly

elected by the peoples), pemilihan umum langsung yang tidak disebut

pemilihan umum, pemilihan tidak langsung atau semi langsung yaitu

(Electoral College), atau biasa disebut dengan nama lain, atau bisa juga

melalui pemilihan tidak langsung melalui lembaga perwakilan seperti

DPR (Parlemen). sedangkan pejabat publik direkrut berdasarkan

penunjukan untuk mengisi jabatan-jabatan di pemerintahan, baik sipil

maupun militer, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

yang mengaturnya, sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 2015 tentang Aparatur Sipil Negara.30

30
Juang Rambe, “Kewenangan Penjabat Sementara Kepala Desa dalam
Menjalankan Pemerintahan Desa Silangge Kec. Dolok Kab. Padang Lawas Utara”, Skripsi,
Medan: Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara Medan, 2017, hlm. 12
24

Penyelenggaraan pemerintahan desa tidak dapat dipisahkan dari

pelaksanaan otonomi tingkat kabupaten. Pemerintahan desa merupakan

unit utama (ujung tombak) dalam memberikan pelayanan kepada

masyarakat, sekaligus merupakan ujung tombak strategis bagi

keberhasilan otonomi daerah.31 Secara struktural pemerintahan desa yang

menjadi kewenangan kabupaten/kota menjadi bagian dari

penyelenggaraan pemerintahan daerah kabupaten/kota, namun

pemerintahan desa dikelola secara mandiri, provinsi hanya berperan

sebagai pengawas dan pengawas dalam mencapai tujuan pembangunan

daerah melalui pemberdayaan desa.32

Desa merupakan otonomi murni yang sudah ada secara turun-temurun

dan berdasarkan demokrasi komunal. Unsur demokrasi diwujudkan

melalui sistem pemilihan pemimpin di lingkungan desa, termasuk dalam

pemilihan kepala desa. Sementara itu, pemilihan alat lainnya diputuskan

oleh kepala desa berdasarkan pertimbangan yang matang.

Penyelenggaraan pemerintahan desa akan membantu terciptanya

pelayanan publik, sehingga perlu diperhatikan koordinasi yang baik antara

pemimpin dan perangkatnya. Dari sudut pandang administrasi publik,

pelayanan yang diberikan oleh negara sebagai pelaku penyelenggara

31
Nuraini dan Irwan Nasution, “Kinerja Aparat Desa Dalam Penyelenggaraan
Pemerintahan Desa Pantai Labu Pekan”, Jurnal Ilmu Pemerinahan dan Sosial Politik Vol. 2
No.2 2014, hlm. 100.
32
Agus Adhari, “Analisis Hukum Pembentukan Badan Usaha Milik Desa Dalam
Upaya Meningkatkan Pendapatan Asli Desa di Kecamatan Babalan Kabupaten Langkat”,
Dialogia Lulidca: Jurnal Hukum Bisnis dan Inverstasi, Vol. 9 No. 1, 2017, hlm. 14
25

negara kepada masyarakat yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan

masyarakat dan juga untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Pengangkatan suatu jabatan merupakan bagian penting dari hukum

tata negara. Tanpa adanya pejabat mustahil dapat menjalankan fungsi

jabatan pemerintahan daerah atau desa seperti biasanya. Dalam sistem

ketatanegaraan Indonesia diatur bahwa jika ada kepala daerah atau

pimpinan organisasi tertentu tidak mampu menjalankan tugasnya, maka

ada mekanisme pengangkatan pejabat negara yang akan menerima tugas

dan kewajiban kepala desa bersifat sementara atau yang mungkin kita

ketahui sebagai penjabat kepala desa/negara.

Lebih lanjut bagi pemegang jabatan, Kamus Besar Bahasa Indonesia

menjelaskan bahwa pemegang jabatan sementara adalah orang yang untuk

sementara waktu menjalankan atau menggantikan jabatan orang lain. 33

Dapat kita ketahui bahwa penjabat adalah pejabat sementara yang diberi

wewenang untuk mengisi suatu jabatan tertentu, dimana jabatan tersebut

sedang kosong atau ada lowongan karena pejabat sebelumnya

mengundurkan diri atau dipecat karena suatu sebab.

Berbagai hal mengenai berhentinya kepala Desa Definitif karena

berbagai hal di atas, baik karena kepentingan pribadinya maupun karena

secara Undang-Undang tidak layak lagi memimpin Pemerintahan Desa,

maka untuk kekosongan kekuasaan tersebut harus segera terisi.

33
Poerwasunata, Kamus Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, Jakarta: Balai Pustaka,
2003, hlm. 25
26

Selanjutnya disingkat UU No. 6/2014 tentang Desa menyatakan bahwa

pengganti kepala desa tetap adalah pejabat sementara atau biasa disebut

penjabat kepala desa, yang merupakan pejabat pemerintah daerah

kabupaten/kota sampai dengan terpilihnya kepala desa yang baru.

Pejabat yang ditunjuk sebagai penjabat kepala desa paling sedikit

harus mempunyai pengetahuan di bidang teknik kepemimpinan dan

manajemen. Penjabat Kepala desa melaksanakan tugas, wewenang,

kewajiban dan tanggung jawab serta mempunyai hak yang sama dengan

kepala desa.

Penjabat Kepala Desa/Negeri bertanggung jawab penuh terhadap

pemerintahan desa dan juga bertanggung jawab jika melakukan

penyimpangan dari batas kewenangannya sebagai Penjabat Kepala Desa,

yaitu ruang lingkup kekuasaan untuk melaksanakan tanggung jawabnya,

jadi kita bisa melihatnya dari tugas dan wewenangnya. Upacara pelantikan

resmi ini merupakan proses penataan organisasi di tingkat desa, seiring

berakhirnya tugas akhir kepala desa.

2. Prosedur Pengangkatan Penjabat Negeri oleh Kepala Daerah

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang

Pemerintahan Daerah, hal tersebut merupakan wujud demokrasi di tingkat

daerah. Salah satu prinsip demokrasi, pejabat pemerintah dipilih oleh

rakyat. Legitimasi suatu pemerintahan tidak didasarkan terutama pada

kompetensi dan kecerdasannya, namun pada keputusan-keputusan


27

masyarakat. Oleh karena itu, suatu negara dapat dikatakan demokratis jika

negara tersebut dapat menyelenggarakan pemilihan umum yang bebas,

adil, kompetitif, dan teratur.

Diberikannya kebebasan tersebut, Kepala daerah mempunyai

kewenangan mengambil keputusan dalam bentuk kebijakan, misalnya

kewenangan mengeluarkan keputusan Bupati terhadap suatu hal yang

dianggap penting. Praktek pengangkatan Penjabat Kepala Desa dan

Pelaksana Tugas Harian (PLT) di pemerintahaan desa masih berlaku

hingga saat ini. Penjabat Kepala desa biasanya diangkat apabila kepala

desa tidak dapat melaksanakan tugasnya karena dugaan adanya

permasalahan hukum. Untuk memimpin dan mengurus pemerinntahan

desa diangkatlah seorang pejabat yang melaksanakan tugas kepala desa,

yaitu, Penjabat Kepala Desa.

Penjabat kepala desa adalah orang yang ditunjuk oleh pejabat yang

berwenang seperti Bupati atau Walikota untuk melaksanakan tugas,

wewenang, dan kewajiban kepala desa untuk jangka waktu tertentu.

Penjabat kepala desa diangkat oleh Bupati/Walikota yang dipilih dari

Pegawai Negeri Sipil pejabat pemerintah kabupaten/kota. Penjabat Kepala

desa dipilih apabila Kepala Desa Definitif mengundurkan diri atau

diberhentikan dengan sisa masa jabatan kurang dari satu tahun atau sisa

masa jabatan lebih dari satu tahun, sebelum pemilihan kepala desa

dilaksanakan.
28

Adapun prosedur pengangkatan Penjabat Kepala Desa ditetapkan

melalui Peraturan Daerah. Petama kalinya disebut Peraturan Daerah

Kabupaten Maluku Tengah Nomor 01 Tahun 2006 tentang Negeri Pasal

29 dijelaskan Apabila Kepala Pemerintahan Negeri /Negeri Administratif

diberhentikan sebagaimana dimaksud. Bupati mengangkat Penjabat

Kepala Pemerintahan Negeri/Negeri Administratif dengan tugas pokok

menyelenggarakan pemilihan Kepala Pemerintahan Negeri/Negeri

Administratif paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak putusan

pengadilan yang memperoleh kekuatan hukumtetap.

Pemberhentian Kepala Desa dikarenakan sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 54 Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang

Peraturan Pelaksana selanjutnya disingkat UU No. 6/2014 tentang Desa

yang menyatakan:

1. Kepala Desa berhenti karena;

a. Meninggal dunia;

b. Permintaan sendiri, atau

c. Diberhentikan.

2. Kepala Desa diberhentikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf

c karena:

a. Berakhir masa jabatannya;

b. Tidak dapat melaksankan tugas secara berkelanjutan atau

berhalangan tetap secara berturut-turut selama enam(6) bulan;

c. Tidak lagi memenuhi syarat sebagai Kepala Desa;


29

d. Adanya perubahan status Desa menjadi Kelurahan, penggabungan 2

(dua) Desa atau lebih menjadi 1 (satu) Desa baru, atau pengahapusan

Desa;

e. Dinyatakan sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang

telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

3. Apabila Kepala Desa Berhenti sebagaimana dimaksud pada ayat (1),

Badan Permusyawaratan Desa melaporkan kepada Bupati/Walikota

melalui camat atau sebutan lain.

4. Pemberhentian Kepala Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (3)

ditetapkan dengan keputusan Bupati/Walikota.

Berbagai pertanyaan terkait pengunduran diri kepala desa terakhir karena

banyak alasan yang disebutkan di atas, baik untuk kepentingan pribadi

maupun karena menurut undang-undang, ia tidak lagi memenuhi syarat untuk

memimpin pemerintahan desa, maka untuk kekosongan kekuasaan tersebut

harus segera terisi Selanjutnya disingkat UU No. 6/2014 Tentang Desa

menyebutkan bahwa pengganti Kepala Desa Definitif adalah pejabat

sementara atau biasa disebut Penjabat Kepala Desa yang merupakan Pegawai

Negeri Sipil dari kalangan pemerintah daerah kabupaten/kota sampai dengan

terpilihnya Kepala Desa yang baru nantinya. 34

34
Abdul Rohman, “Kewenangan Penjabat Kepala Desa dalam Mengangkat
Perangkat Desa”, Syiar Hukum Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 18, No. 1, hlm. 69
30

B. Kedudukan dan Fungsi Saniri Negeri dalam Peraturan Perundang-

Undangan

1. Pengertian Saniri Negeri

Desa merupakan kesatuan masyarakat yang menduduki daerah

tertentu memiliki batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus

urusan pemerintahan. Penyelenggaran Pemerintahan Desa dalam

melaksanakan tugas pembangunan dan penyelengaraan pelayanan kepada

masyrakat harus benar-benar memperhatikan prinsip demokrasi,

pemerintahan, keadilan, serta potensi dalam sistem Negara Kesatuan

Republik Indonesia.

Pemerintahan Desa terkait erat dengan keberadaan masyarakat hukum

adat di Indonesia yang merupakan sebuah hal keniscayaan yang tidak

dapat terbantahkan. Selnjutnya disingkat UU No. 6/2014 tentang Desa,

disebutkan bahwa:

“Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama
lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum
yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan
mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat
berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak
tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan
Negara Kesatuan Republik Indonesia”

Daerah Maluku, khususnya Maluku Tengah dan Pulau Ambon Desa

lazimnya disebut “Negeri”, yang didalamnya termasuk Pemerintah Negeri.

Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, Lembaga

adat seperti Saniri diakui keberadaannya dan disahkan menjadi lembaga

yang diakui eksistensinya dengan sebutan Saniri atau Badan


31

Permusyawaratan Negari. Namun dari sudut pandang sosial politik,

terdapat beberapa faktor yang secara mendasar mempengaruhi tugas,

peran dan fungsi Badan Saniri, seperti yang berkaitan dengan rekrutmen

anggota dan pimpinan lembaga Saniri, Fungsi Saniri dalam proses

pelaksanaan roda pemerintahan. 35

Desa/Negeri dipimpin oleh seorang Raja (sebutan Kepala Desa di

Maluku Tengah), dalam penyelenggaraan pemerintahan desa Raja dibantu

oleh staf Negeri dan juga Badan Saniri Negeri/BPN. Selanjutnya disingkat

Perda Kab Maluku Tengah No. 04 Tahun 2006 tentang Pedoman Penataan

Saniri Negeri menjelaskan:

“SANIRI Negeri adalah lembaga atau badan yang merupakan


perwujudan demokrasi dalam penyelenggaraan Pemerintah Negeri ,
berfungsi sebagai badan legislatif yang bersama-sama Kepala
Pemerintahan Negeri (Raja) membentuk peraturan negeri, megawasi
pelaksanaan tugas dari Kepala Pemerintah Negeri serta merupakan
badan yang mendampingi Kepala Pemerintahan Negeri dalam
memimpin negeri, sesuai tugas dan wewenang yang dimilikinya”

Saniri Negeri merupakan badan yang menjalankan roda pemerintahan

Negeri bersama-sama dengan Kepala Pemerintahan Negeri yang berperan

mengayomi adat istiadat dan hukum adat, mengawasi Kepala

Pemerintahan Negeri dalam menjalankan tugas serta membentuk

peraturan Negeri.

35
Farah Dessy Tuasamu, Kedudukan Dan Fungsi Badan Saniri Negeri (Badan
Permusyawaratan Desa) Di Kecamatan Salahutu, Kabupaten Maluku Tengah, Jurnal Caraka
Prabu , Vol.1, No.1 2017, hlm. 39
32

2. Kedudukan dan Fungsi Saniri Negeri Dalam Peraturan Daerah

Kabupaten Maluku Tengah

Di Maluku secara umum, struktur sosialnya bersifat demokratis,

dimana dewan adat (pemimpin adat) merupakan badan pemerintahan yang

melaksanakan dan melestarikan nilai-nilai tradisional. Kehidupan

lingkungan mempunyai standar nilai tersendiri, namun pola umum siklus

hidup manusia menurut pandangan/kepercayaan tentang kehidupan

dikendalikan oleh suatu kekuatan diluar kemampuan manusia pada zaman

dahulu adalah sama dimanapun di dunia. Inilah sebabnya mengapa

terdapat keseragaman/kesamaan di lingkungan geografis yang berbeda.36

Badan Saniri Negeri merupakan bagian dari lembaga demokrasi

dalam penyelenggaraan pemerintahan Negeri. Peran Saniri Negeri sangat

penting, karena sebagai bagian dari lembaga yang paling dekat dengan

masyarakat, oleh karena itu sesuai dengan peran terbentuknya Saniri

Negeri diharapkan dapat terwujudnya suatu proses demokrasi yang baik di

mulai dari sistem pemerintahan terkecil yaitu Negeri.

Saniri Negeri sebagai Badan Perwakilan atau yang merupakan

lembaga legislative Desa/Negeri yang memiliki tugas sebagai lembaga

pengawas dalam hal pelaksanaan peraturan Negeri sangat berperan dalam

kelancaran pelaksanaan pembangunan di Negeri itu sendiri. Demikian juga

Saniri Negeri sejajar dan menjadi mitra pemerintah Negeri. Fungsinya

36
Farah Dessy Tuasamu, Ibid., hlm. 44
33

antara lain melindungi adat istiadat, merumuskan peraturan desa,

menanggapi dan menyampaikan aspirasi masyarakat, serta memantau

penyelewengan yang dilakukan aparat desa.

Saniri Negeri lengkap terdiri dari: anggota Saniri, para tua-tua adat

dan tokoh-tokoh masyarakat yang berpengarus seperti guru, pegawai

tokoh agama, (imam/pendeta), kewang/penjaga keamanan Negeri dan

pengawas hutan ataupun laut, kapitan/pimpinan perang, marinyo/orang

yang bertanggung jawab untuk menginformasikan keputusan pemerintah

(Raja) kepada staf pemerintahan Negeri maupun kepada masyarakat, Tuan

Negeri sebagai pimpiinan pelaksana adat dalam negeri dan tuan tanah.

Tugas Saniri Negeri Lengkap sebagai badan legislative dalam hal

menentukan kebijaksanaan dan mengeluarkan peraturan-peraturan

bersama-sama dengan Saniri Rajapatti, Saniri Rajapatti dalam melakukan

sesuatu hal di Negeri harus berkonsultasi terlebih dahulu dengan Saniri

Negeri Lengkap untuk meminta persetujannya. Pimpinan Saniri Negeri

Lengkap ini adalah Raja. 37

Lembaga Saniri Negeri yang merupakan “parlemen-nya” desa. Di era

otonomi daerah ini pemerintah daerah diberi keleluasaan untuk mengurus

daerahnya masing-masing sesuai dengan prinsip demokrasi. Dalam

mewujudkan prinsip demokrasi tersebut maka di dalam pemerintahan

37
Farah Fahmi Namakule, Saniri Negeri Dalam Tata Hukum Nasional, Jakarta, Zahir
Publishing, 2022, hlm. 3
34

Negeri dibentuklah suatu badan yang dapat mewujudkan aspirasi dari

masyarakat desa.

Badan Saniri Negeri adalah lembaga perwujudan masyarakat hukum

adat. Dalam penyelengaraan pemerintahan Negeri, Saniri Negeri memiliki

kedudukan yang sama dengan Kepala Pemerintahan Negeri

menyelenggarakan pemerintahan negeri. Selanjutnya disingkat Perda Kab.

Maluku Tengah No. 04 Tahun 2006 tentang Pedoman Penataan Saniri

Negeri menjelaskan bahwa:

1. Saniri Negeri berkedudukan sejajar dan merupakan unsur

penyelenggaraan Pemerintahan Negeri.

2. Saniri Negeri mempunyai fungsi:

a. Menjaga, memelihara, mengayomi dan melestarikan adat istiadat,

hukum adat dan budaya masyarakat dilingkungnnya yang hidup,

tumbuh dan berkembang.

b. Menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat.

c. Menetapkan peraturan negeri bersama-sama Kepela Pemerintahan

Negeri.

d. Melakukan pengawasan dan Penetapan Anggaran Pendapatan dan

Belanja Negeri.
35

C. Kewenangan Penjabat Negeri dalam Pengangkatan dan Pemberhentian

Saniri Negeri

Kewenangan (authority) adalah hak untuk melakukan sesuatu atau

memerintahkan orang lain untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu

untuk mencapai tujuan tertentu. Kewenangan sering dikaitkan dengan

kekuasaan. Penggunaan kekuasaan yang tepat merupakan elemen penting

dalam efektivitas organisasi. Kekuasaan digunakan untuk mencapai tujuan

pihak yang berwenang. Oleh karena itu, kewenangan sering dikaitkan dengan

kekuasaan. Wewenang adalah kekuasaan formal yang bersumber dari

undang-undang, wewenang merupakan hasil delegasi atau pelimpahan

wewenang dari atasan kepada bawahan dalam organisasi. Dengan otoritas,

semua peraturan dan standar akan dihormati oleh setiap komunitas. Dengan

demikian akan tampak wewenang yang berkaitan dengan kewenangan yang

dimiliki oleh pemimpin, yang dapat bersifat lisan atau tertulis, berdasarkan

hukum yang berlaku dan diterima oleh semua pihak.38

Wewenang setidaknya mencakup tiga unsur, yaitu: pengaruh, dasar

hukum dan kepatuhan terhadap hukum. Komponen pengaruh berarti

penggunaan kekuasaan untuk mengendalikan perilaku subjek hukum; Unsur

hukum dasar artinya kewenangan harus didasarkan pada hukum yang jelas;

dan komponen kepatuhan hukum mensyaratkan instansi yang berwenang

mempunyai standar yang jelas (untuk otoritas umum) dan standar khusus

38
Nurjanah Ohorella, Victor Juzuf Sedubun, Reny Heronia Nendissa, Kewenangan
Penetapan dan Pelantikan Raja Negeri Tulehu oleh Kepala Pemerintah Kabupaten Maluku
Tengah, Jurnal Tatoho Ilmu Hukum, Vol. 2 No. 03. 2022, hlm. 310
36

(untuk jenis otoritas tertentu). Dalam istilah hukum, kewenangan adalah

kemampuan yang ditentukan oleh undang-undang untuk melakukan tindakan

yang menimbulkan akibat hukum.39

Setiap perbuatan penggunaan kewenangan harus mempunyai dasar

hukum positif untuk mencegah tindakan sewenang-wenang. Pelaksanaan

wewenang pemmerintah selalu berlangsung sekurang-kurangnya dalam

batas-batas yang ditetapkan oleh hukum positif; dalam kaitannya dengan

gagasan negara hukum, pelaksanaan kewenangan dibatasi atau selalu

mengikuti hukum tertulis dan tidak tertulis, 40 yang selanjutnya untuk hukum

tidak tertulis di dalam hukum pemerintahan di Indonesia disebut dengan

“asas-asas umum pemerintahan yang baik” hal ini sesuai dengan penjelasan

Pasal 4 huruf a Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman,

yang berbunyi : “Negara hukum adalah Negara yang dalam segala aspek

kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara, termasuk dalam

penyelenggaraan pemerintahan harus berdasarkan hukum dan asas-asas

umum pemerintahan yang baik yang bertujuan untuk meningkatkan

kehidupan demokratis yang sejahtera, berkeadilan dan bertanggung jawab”. 41

Penjabat Negeri adalah seseorang yang diberikan jabatan Kepala Desa

dalam menyelenggarakan Pemerintahan Negeri. Penjabat Negeri diangkat

39
Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha
Negera, Op. Cit. hlm. 12
40
Indroharto, Ibid. hlm. 69
41
Nurjanah Ohorella, Victor Juzuf Sedubun, Reny Heronia Nendissa, Kewenangan
Penetapan dan Pelantikan Raja Negeri Tulehu oleh Kepala Pemerintah Kabupaten Maluku
Tengah, Op.Cit. hlm. 307
37

dari seorang PNS oleh Bupati/Walikota karena sebab berhenti atau

diberhentikannya seorang Kepala Desa definitive, meskipun berstatus

sebagai Penjabat Negeri. Penjabat Negeri mempunyai tugas, tanggungjawab

serta kewenangan yang sama dengan Kepala Desa definitif.

Desa/Negeri juga memiliki kewenangan penuh terhadap Pemerintahan

Desa. Tugas, wewenang dan kewajiban Penjabat Kepala Desa/Negeri sama

dengan tugas dan wewenang Kepala Desa. Berikut adalah merupakan

Penjabaran Wewenang Penjabat Kepala Desa/Negeri adalah sebagai berikut:

1. Memimpin dan menyelenggarakan Pemerintahan Desa

Penjabat Kepala desa/negeri dalam menjalankan tugasnya didukung

oleh (satu) orang sekretaris, 3 (tiga) orang kepala urusan dan beberapa

orang pimpinan dusun sebagai bagian dari staf. Penjabat penyelenggara

desa/negeri mengoordinasikan, mendelegasikan, dan memberikan

petunjuk kepada sekretaris desa tentang penyelenggaraan pemerintahan

desa, khususnya di bidang pemerintahan.

2. Membina kehidupan masyarakat Desa.

Berkembangnya kehidupan masyarakat di desa dengan adanya

penjabat kepala desa/negeri yang berarti penjabat kepala desa/negeri yang

berkuasa tidak membuat program kerja jangka panjang dan jangka pendek

misalnya menyangkut pembangunan jalan dan jembatan. untuk

memudahkan akses ekonomi bagi masyarakat desa. Masyarakat, dengan

membangun pasar desa sebagai tempat jual beli hasil pertanian.

Melaksanakan konsultasi berkala, peningkatan sumber daya manusia


38

perangkat desa dan perangkat masyarakat secara bertahap, konsultasi

spiritual, sosialisasi program KB, pembinaan masyarakat dalam kegiatan

yang positif, efektif serta memperkuat dan menumbuhkan semangat

gotong royong dalam masalah sosial masyarakat di lingkungan tempat

tinggalnya (RT) masing-masing.

3. Membina Perekonomian Desa

Masyarakat desa sadar bahwa kehidupan atau penghidupan keluarga

mereka bergantung pada hasil pertanian, perkebunan dan juga

perdagangan. Tentunya dalam hubungan ini, sebagai pemimpin dan

penyelenggara pemerintahan desa, jika mengingat fungsi kepala desa,

maka penjabat kepala desa/negeri bertanggung jawab terhadap

pembangunan perekonomian masyarakat desa.

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa yang dalam isinya

mengenai Tugas Penjabat Kepala Desa/Negeri antara lain;

1. Mempunyai tugas menyelenggarakan urusan Pemerintahan.

2. Pembinaan Kemasyarakatan atau Membina Masyarakat menuju arah yang

lebih baik dari sebelumnya.

3. Pembangunan kemasyarakatan dengan mendorong masyarakat dengan

membangun desa dengan baik.

4. Dalam melaksanakan tugasnya, Pejabat Kepala Desa/Negeri memiliki

wewenang diantaranya:

a. Meimpin penyelenggaraan pemerintahan desa berdasarkan kebijakan

yang ditetapkan bersama BPD/Saniri Negeri.


39

b. Mengajukan rancangan Peraturan Desa dan bersama BPD/Saniri

Negeri menetapkannya sebagai Peraturan Daerah.

c. Menyusun dan mengajukan rancangan Peraturan Desa mengenai APB

Desa untuk dibahas dan ditetapkan bersama BPD/Negeri.

d. Memperdayakan masyarakat dan kelembagaan desa.

e. Membina kehidupan masyarakat desa.

f. Membina perekonomian.

g. Mewakili desanya didalam dan diluar pengadilan dan dapat menunjuk

kuasa hukumnya.

h. Menjaga kelestarian adat istiadat yang hidup dan berkembang di desa

yang bersangkutan.

i. Mengkoordinasikan pembangunan desa secara partisipatif.

Penyelenggaraan Pemerintahan Negeri, Penjabat Negeri menjalankan

tugas serta tanggung jawab sebagai Kepala Pemerintahan Negeri, seperti yang

dijelaskan tugas serta tanggung jawab Penjabat Negeri diantaranya

menyelenggarakan Pemerintahan Desa, melaksanakan Pembangungan, dan

pemberdayaan masyarakat Desa. Memimpin dan menyelenggarakan

pemerintahan desa.

Dalam hal Pengangkatan dan Pemberhentian Saniri Negeri oleh

Penjabat Negeri, Penjabat Negeri tidak mempunyai hak serta kewenangan

dalam mengangkat dan memeberhentikan serta menggantikan Saniri Negeri,


40

yang mempunyai hak itu diangkat dari perwakilan musyawarah marga/soa

Negeri Laha Kaba.

Terbentuknya atau perubahannya soal Saniri Negeri yang kategori ini

merupakan bagian dari nilai-nilai tradisional Negeri Laha Kaba sebagai

Negeri adat yang mempunyai hak asal usul, batas wilayah, dan

sebagainya.mSelain itu, hal ini dapat dilihat selanjutnya disingkat Peraturan

Daerah Pemerintahan Daerah Maluku Tengah Nomor 6 Tahun 2004 tentang

Petunjuk Susunan Negara Saniri tentang Pengangkatan, Pemberhentian, dan

Penggantian, Pasal 19, 24, dan 25 peraturan tersebut:

Pasal 19:

1) Anggota Saniri Negeri dipilih berdasarkan keterwakilan sesuai adat

istiadat, hukum adat dan budaya setempat, dan diatur dalam

Peraturan Negeri.

Pasal 24:

Anggota saniri negeri atau badan permusyawaratan negeri

diberhentikan karena:

b) Meninggal Dunia

c) Mengajukan Pengunduran Diri

d) Tidak Lagi Memenuhi syarat sebagaimana ditetapkan

e) Telah berakhir masa baktinya

f) Melakukan perbuatan tercela yang bertentangan dengan norma-

norma yang hidup dan berkembang di dalam masyarakat.

Pasal 25:
41

(1) Pergantian antar waktu anggota/pimpinan Saniri Negeri atau Badan

Permusyawaratan Negeri Karena:

a) Meninggal Dunia

b) Mengajukan Pengunduran Diri

c) Tidak Lagi Memenuhi syarat sebagaimana ditetapkan

(2) Tata cara Pergantian antar waktu anggota/pimpinan Saniri Negeri

atau Badan Permusyawaratan Negeri sebagaimana dimaksud dalam

ayat (1) diatur lebih lanjut dalam peraturan tata tertib Saniri Negeri

atau Badan Permusyawaratan Negeri.

Berdasarkan uraian pembahasan Pasal 19 di atas, dalam memilih

Saniri Negeri. Saniri Negeri diangkat melalui keterwakilan marga/soa yang

mempunyai hak dengan mengusulkan satu nama menjadi perwakilan

marga/soa untuk menjadi anggota atau ketua Saniri Negeri. Penulis

menganalisis bahwa dalam hal kewenangan Penjabat Kepala Pemerintahan

Desa/Negeri sebagaimana penjelasan didalam Undang-Undang Nomor 6

Tahun 2014 Tentang Desa menjelaskan bahwa kewenangan Penjabat Negeri

hanyalah untuk: Memimpin dan menyelenggarakan Pemerintahan Desa;

Membina kehidupan Masyarakat Desa; dan Membina Perekonomian Desa.


42

BAB III

AKIBAT HUKUM PENGANGKATAN SANIRI NEGERI OLEH

PENJABAT NEGERI

A. Hakikat Tindakan Pejabat Pemerintahan

Istilah tindakan pemerintah dan istilah perbuatan pemerintahan sama-

sama digunakan dalam mengidentifikasi suatu kegiatan yang dilakukan oleh

pemerintah, sehingga istilah tersebut memeliki penafsiran yang sama. Istilah

tindakan pemerintah merupakan terjemahan dari istilah bestuurhandelingen

dalam bahasa belanda. Para pakar berbeda-beda dalam menggunkan

istilahnya, ada yang memakai istilah perbuatan dan ada pula yang memakai

menggunakan kata tindakan, bahkan terdapat yg memakai ke 2 istilah yang

terdapat yakni perbuatan atau tindakan. Tindakan pemerintahan ialah tiap-

tiap tindakan asal suatu indera administrasi administrasi negara

(bestuursorgan), melingkupi juga tindakan ataupun hal-hal yang berada

diluar lapangan hukum administrasi negara, misalnya keamanan serta yang

lainya. Tindakan ini dimaksudkan mengakibatkan dampak aturan pada

bidang hukum administrasi, atau tindakan pemerintahan artinya tindakan yg

dilakukan sang pejabat tata usaha negara dalam rangka melaksanakan urusan

pemerintahan.42 Dalam hal ini penulis menggunakan istilah tindakan

42
Muh. Jufri Dewa, Hukum Adminiatrasi Negara, Unhalu Press, Kendari, 2011.
hlm.246
43

sehingga konsisten peristilahannya dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun

2014 tentang Administrasi Pemerintahan.

Tidak sedikit dari kalangan msyarakat luas kurang memahami apa itu

tindakan pemerinthan dan apa bentuk atau wujud dari tindakan tersebut.

Seringkali tindakan pemerintah hanya ditafsirkan sebagai kebijakan tertulis

yang mengikat masyarakat untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan

sesuatu, padahal ruang lingkup tindakan pemerintahan lebih luas dari itu,

ketika dilihat lebih dalam, masyarakat sebagai pihak yang dikenakan tindakan

seharusnya dapat lebih sensitif terhadap bentuk dari tindakan pemerintahan

dan akibat hukum yang timbul. Kondisi ini semata-semata hanya sebagai

upaya memberikan perlindungan hukum atas tindakan yang berdampak pada

segala aspek kehidupan masyarakat yang diatur dan diurus oleh pemerintah.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa pengertian

tindakan merupakan sesuatu perbuatan atau tindakan yang dilaksanakan

untuk mengatasi sesuatu. Jika hanya kata tindak yang dipakai, maka hanya

diartikan sebagai langkah atau perbuatan. Secara prinsip, setiap subjek hukum

sebagai pendukung/penyandang hak dan kewajiban dapat melakukan suatu

tindakan yang berimplikasi atas adanya hubungan hukum. Jika keberadaan

dari pemerintah dikorelasikan dengan tindakan pemerintahan, pemerintah

atau administrasi pemerintahan diartikan sebagai dragger van de rechten en

plichten, atau pendukung hak dan kewajiban. Memposisikan diri sebagai

subjek hukum, pemerintah memeliki wewenang melakukan ragam tindakan,

yaitu tindakan nyata (feitelijkhandelingen) dan tindakan hukum


44

(rechthandelingen). Tindakan nyata merupakan tindakan-tindakan yang

tidak ada relevansinya dengan hukum dan oleh karenanya tidak menimbulkan

akibat-akibat hukum. 43 Adapun tindakan hukum pemerintahan, Romejin

menyebutkan sebagai suatu pernyataan kehendak yang muncul dari organ

administrasi dalam keadaan khusus, dimaksudkan untuk menimbulkan akibat

hukum dalam bidang Hukum Administrasi Negara. 44 Akibat yang

ditimbulkan memeliki relevansi dengan hukum, seperti penciptaan hubungan

hukum baru, perubahan, atau pengakhiran hubungan hukum yang ada. Secara

normatif, pengertian tindakan didasarkan pada ketentuan peraturan

perundang-undangan Pasal 1 ayat (8) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014

Tentang Administrai Pemerintahan yang berbunyi bahwasanya tindakan

adalah perbuatan Pejabat Pemerintahan atau penyelenggara negara lainya

untuk melakukan dan/atau tidak melakukan perbuatan kongkret dalam rangka

penyelenggaran pemerintahan. Adapun Administrasi Pemerintahan adalah

tata laksana dalam pengambilan keputusan dan/atau tindakan oleh badan

dan/atau pejabat pemerintahan.

Lebih lanjut dalam Pasal 6 Undang-Undang Administrasi

Pemerintahan, pejabat pemerintahan memeliki hak untuk menggunakan

kewenangan dalam mengambil keputusan dan/atau tindakan berupa:

43
C.J.N Versteden dan H.D. van Wijk./Willem Konijnenbelt dalam Ridwan
H.R.,2018,Op.Cit.,hlm.109
44
Huisman,R.J.H.M., Algemeen Bestuursrecht, een Inleiding, Kobra, Amsterdam ,
1983. hlm, 111
45

1. Melaksanakan kewenangan yang dimilki berdasarkan ketentuan peraturan

perundang-undangan dan AUPB;

2. Menyyelenggarakan aktivitas pemerintahan berdasarkan kewenangan

yang dimiliki;

3. Menetapkan keputusan berbentuk tertulis atau elektronis dan/atau

menetapkan tindakan;

4. Menerbitkan atau tidak menerbitkan, mengubah, mengganti, mencabut,

menundah, dan/atau membatalkan, keputusan dan/atau tindakan;

5. Menggunakan diskresi sesuai tujuanya;

6. Mendelegasikan dan memberikan mandate kepada pejabat pemerintahan

lainya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

7. Menunjuk pelaksana harian atau pelaksana tugas untuk melaksanakan

tugas manakala pejabat definitif sedang berhalangan;

8. Menerbitkan izin,despinisasi,dan/atau konsesi sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan;

9. Memperoleh perlindungan hukum dan jaminan keamanan dalam

menjalankan tugasnya;

10. Memperoleh bantuan hukum dalam pelaksanaan tugasnya;

11. Menyelesaikan sengketa kewenangan dilingkungan wilayah

kewenanganya;

12. Menyelesaikan upaya administratif yang diajukan masyarakat atas

keputusan dan/atau tindakan yang dibuatnya; dan


46

13. Menjatuhkan sanksi administratif kepada bawahan yang melakukan

pelanggaran.

Hak menjalankan kewenangan tidak dapat dipisahkan dari keberadaan

pemerintahan dalam hukum administrasi sebagai suatu kesatuan yang diberi

wewenang. Oleh karena itu, pemerintah mempunyai kekuasaan untuk

memutuskan tindakan dan dengan demikian mempengaruhi situasi atau

kondisi hukum orang/badan hukum lain. Antara pemerintah sebagai

pemerintah dalam penyelenggara negara mengambil keputusan dengan

kewenangan yang sama yaitu lembaga negara atau otoritas publik.

Terkait hal ini, pemerintah dapat mengambil tindakan hukum dan

sebagai regulator dapat mengambil tindakan administratif. Selanjutnya

perbuatan hukum yang dilakukan adalah pelaksanaan atau eksekusi (poletieke

daad) terhadap undang-undang dan kewenangan negara, sedangkan tindakan

administratif berupa tindakan eksekusi/penindakan (daad Materil). Kegiatan

pemerintahan yang diemban oleh badan-badan penyelenggara negara tidak

lepas dari landasan yang mendasari tindakan-tindakan badan-badan

penyelenggara negara tersebut. Tentu saja tindakan yang diambil oleh badan

tata usaha negara didasarkan pada ketentuan hukum tata usaha negara

(administrateve rechtsregels) yang secara yuridis membenarkan tindakan

tersebut (juridische rechtsvaardiging). Peraturan perundang-undangan

(rechtsregels) tersebut menyangkut penyelenggaraan lembaga penyelenggara

negara (organische rechtsregels) dan fungsi penyelenggaraan negara

(functionele rechtsregels).
47

Van Vollenhoven berpendapat bahwa tindakan pemerintah

(bestuurhandelingen) ialah tindakan dalam rangka melindungi kepentingan

negara dan masyarakat secara impulsif dan mencakup otoritas yang lebih

tinggi dan lebih rendah. Komisi Van Poelje, menurut laporannya pada tahun

1972, mendefinisikan rechtelijkehandeling publik (perbuatan yang berkaitan

dengan hukum publik) sebagai perbuatan hukum yang dilakukan oleh pejabat

yang berwenang dalam menjalankan fungsinya. Lebih lanjut Romeijn

berpendapat bahwa tindakan pemerintah berarti setiap perbuatan atau

tindakan aparatur administrasi negara (bestuursorgan) termasuk perbuatan

atau kejadian yang tidak termasuk dalam lingkup hukum perdata

administratif, seperti keamanan, keadilan, dan lain-lain, yang bertujuan untuk

menimbulkan pengaruh hukum di bidang hukum administrasi.

Dalam hal mengenai tindakan pemerintah dapat dijelaskan bahwa

terdapat beberapa aspek dalam tindakan pemerintah tersebut yang perlu

dipahami, yaitu sebagai berikut:

1. Tindakan Faktual (Feitelijkhandalingen)

Tindakan faktual atau Feitelijkhandalingen (bisa disebut tindakan

material, tindakan faktual, atau perbuatan konkret-vide Pasal 1 angka 8 jo.

Pasal 87 Undang-Undang Administrasi Pemerintahan) sebagai perbuatan

pejabat pemerintaan atau penyelenggara negara lainnya untuk melakukan

dan/atau tidak melakukan perbuatan konkret dalam rangka


48

penyelenggaraan pemerintahan. Tindakan faktual merupakan tindakan

nyata atau fisik yang dilakukan oleh pemerintah.

Pada umumnya, tindakan faktual ini selalu dimaknai sebagai jenis

tindakan pemerintahan yang berdiri sendiri dan dikategorisasikan terpisah

dari pengelompokan tindakan hukum (rechshandelingen) pemerintahan.

Namun bisa saja seorang warga negara/badan hukum perdata mengalami

kerugian berkenaan dengan tindakan faktual. Sebagai contoh tindakan

penutupan jalan karena adanya pembangunan jembatan. Adakalanya

tindakan faktual ini merupakan onrechmatig overheidsdaad (perbuatan

penguasa yang melanggar hukum). Namun secara konseptual tidak dapat

disangkal bahwa tindakan faktual ini tidak terlepas dari wewenang publik

yang melekat pada jabatan aparatur pemerintahan, dan dasar

wewenangnya dari peraturan perundang-undangan.45

Secara prinsip, tindakan ini tidak terbatas pada tindakan aktif saja

namun juga tindakan pasif. Yang dimaksud tindakan pasif berupa sikap

diam pemerintah akan sesuatu hal. Contoh dari pendiaman/ tindakan pasif

adalah membiarkan fasilitas umum rusak. Adapun untuk tindakan faktual

yang bersifat aktif, secra prosedural didahului penetapan tertulis,

sedangkan untuk perbuatan pasif tidak melalui penatapan tertulis.

Tindakan faktual (Feitelijkhandalingen) akan selalu bersegi satu

(eenzijdige) karena bersifat sepihak saja.

45
Philipus M.Hadjon, Op,Cit.,hlm.176-178
49

2. Tindakan Hukum ( Rechtshandelingen)

Tindakan hukum (Rechtshandelingen) memiliki implikasi hukum

secra admistarasi. Tindakan hukum ada yang bersegi satu (eenzijdige)

karena bersifat sepihak saja, dan ada yang bersegi dua

(tweezijdigelmeerzijdige). Indroharto menyatakan bahwa

bestuurhandelingen atau tindakan admistrasi pemerintahan haruslah selalu

bersifat sepihak dan bersegi satu oleh karena yang masuk kedalam ranah

hukum admistrasi hanya tindakan hukum sepihak dan bersegi satu.

Sedangkan tindakan hukum yang bersegi dua masuk kedalam perbuatan

hukum perdata (atau campuran publik-perdata).

Dalam melaksanakan hubungan hukum (rechtsbetrekking), subjek

hukum adalah pelindung hak dan kewajiban (de dragger van de rechten n

plichten), baik itu manusia (naturlijke Person), maupun badan hukum

(rechtpersoon), suatu posisi (ambt). Dapat melakukan perbuatan

berdasarkan kesanggupan (bekwaan) atau wewenang (bevoegdheid) yang

dimilikinya. Dalam pergaulan sosial dalam masyarakat, banyak terjadi

hubungan hukum yang timbul akibat perbuatan hukum yang dilakukan

oleh subjek hukum. Perbuatan hukum ini menandai dimulainya lahirnya

hubungan-hubungan hukum (rechtsbetrekking), khususnya interaksi

antara subyek-subyek hukum yang ada hubungannya dengan hukum atau

mempunyai akibat hukum. Agar hubungan hukum antar subjek hukum

dapat harmonis, seimbang, dan setara dalam arti setiap subjek hukum

menerima apa yang menjadi haknya dan memenuhi kewajiban yang


50

dibebankan kepadanya, maka hukum muncul sebagai suatu peraturan

permainan dalam mengatur hubungan hukum tersebut.46 Hal inilah yang

mendasari timbulnya hubungan hukum antara pemerintah dan warga

negaranya melalui sebuah aktivitas yang dinamakan tindakan hukum

pemerintah.

Tindakan hukum pemerintahan menciptakan akibat hukum tertentu

dan dituangkan dalam berbagai instrument hukum dalm pemerintahan

seperti halnya pembuatan peraturan perundang-undangan, peraturan

kebijakan, norma jabatan, rencana, dan keputusan. Salah satu contoh dari

tindakan hukum adalah pembuatan keputusan. Berdasrkan akibat yang

ditimbulkan, suatu keputusan dapat bersifat positif dan negatif. 47

Keputusan yang bersifat positif dapat dibagi dalam 4 (empat)

golongan yaitu sebagai berikut:

a. Keputusan yang umumnya melahirkan /menimbulkan keadaan hukum

baru, seperti halnya pemberiaan ijazah atas kelulusan dijenjang

pendidikan di perguruan tinggi;

b. Keputusan mendirikan/ membubarkan suatu badan hukum ;

c. Keputusan menimbulkan hak yang menguntungkan, atau

d. Keputusan membebankan kewajiban baru.

46
Ridwan H.R.,Op.Cit.,hlm.265
47
S,F.Marbun., Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administrasi di
Indonesia.Liberty.Yogyakarta, 1997. hlm.103.
51

Adapun keputusan negatif adalah keputusan untuk tidak

melakukan suatu tindakan dalam suatu hubungan hukum atau penolakan

terhadapa suatu permohonan untuk melakukan atau mengubah suatu

keadaan hukum tertentu yang sudah ada. Bentuk keputusan negatif berupa:

a. Suatu pernyataan tidak berwenang (onbevoegheid) ;

b. Suatu pernyataan tidak di terima (niet antvangkelij verklaring); atau

c. Suatu penolkan.48

Mencermati pola dari tindakan hukum, jelas bahwa dalam setiap

tindakan hukum pemerintahan terkandung subjek hukum yang dikenakan

objek hukum yang jelas, terdapatnya hubungan hukum, yang di dalamnya

berimplikasi perestiwa hukum dan menimbulkan akibat hukum.

B. Pengangkatan Saniri Negeri oleh Penjabat Negeri

Pentingnya menyelenggarakan pemerintahan yang mencerminkan

pelayanan publik, perlu diselenggarakan pemerintahan desa dengan

perangkat desa yang lengkap, hal ini akan menciptakan tata kelola

pemerintahan yang baik. Asas umum penyelenggaraan pemerintahan yang

baik adalah yang mendukung standar kesusilaan, kepatutan, dan hukum untuk

mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan yang bersih serta bebas dari

korupsi, kolusi, dan nepotisme. 49

48
S.F. Marbun, Ibid, hlm 151
49
Pipin Syarifin dan Dedah Jubaedah, Hukum Pemerintahan Daerah, Pustaka Bani
Quraisy, Bandung, 2005, hlm.80
52

Dalam pelaksanaan pemerintahan Desa/Negeri, ada kemungkinan

Kepala Desa tidak melaksanakan tugasnya sesuai dengan tenggat waktu, hal

ini disebabkan oleh beberapa faktor sebagaimana dijelaskan dalam Undang-

Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, Kepala Desa berhenti karena:

1. Kepala Desa berhenti karena:

a. meninggal dunia;

b. permintaan sendiri; atau

c. diberhentikan.

2. Kepala Desa diberhentikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c

karena:

a. Berakhir masa jabatannya;

b. Tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan

tetap secara berturut-turut selama 6 (enam) bulan;

c. Tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon Kepala Desa; atau

d. Melanggar larangan sebagai Kepala Desa.

Seperti yang dijelaskan bahwa Penjabat Negeri merupakan Pejabat

yang diangkat oleh Kepala Daerah Bupati/walikota untuk mengisi

kekosongan jabatan Kepala Pemerintahan Negeri definitif dalam

menyelenggarakan Pemerintahan Desa/Negeri. Kekosongan kekuasaan

jabatan Kepala Desa/Negeri dikarenakan berakhirnya masa jabatan Kepala

Pemerintahan Desa/Negeri, pernah terjadi di Pemerintahan Desa/Negeri

tempat tinggal penulis, yaitu Desa Laha Kaba Kecamatan Telutih Kabupaten
53

Maluku Tengah pada tahun 2021, Bapak M. Nur Lapelelo selaku Kepala

Pemerintahan Negeri berhenti dikarenakan telah berakhir masa jabatannya.

Kekosongan jabatan tersebut diangkatlah Penjabat Kepala

Pemerintahan Negeri dalam memimpin Negeri selama kurun waktu yang

ditentukan. Penjabat Negeri dalam menjalankan Pemerintahan mengangkat

dan memberhentikan Saniri Negeri yang bukan Kewenangannya.

Saniri Negeri selaku Badan Perwakilan dalam menjalankan

Pemerintahan Negeri memiliki kedudukan sama dengan Penjabat Kepala

Pemerintahan Negeri yang merupakan perwujudan masyarakat hukum adat

dengan peran mengayomi adat istiadat dan hukum adat, mengawasi Kepala

Pemerintahan Negeri dalam menjalankan tugas serta membentuk peraturan

Negeri.

Sebagaimana telah dijelaskan Pengangkatan dan Pemeberhentian Saniri

Negeri dilakukan oleh Penjabat Negeri yang terjadi di Negeri Laha Kaba,

dengan jabatan yang dimiliki Penjabat Negeri menggantikan dan mengangkat

Saniri Negeri baru tanpa adanya musyawarah dari setiap marga atau soa yang

memiliki hak dan kewenangannya dalam mengangkat Saniri Negeri tertuang

dalam Peraturan Daerah Kabupaten Maluku Tengah Nomor 6 Tahun 2004

Tentang Pedoman Penataan Saniri Negeri serta adat istiadat Negeri Laha

Kaba yang diakui dan dihormati.

Penyimpangan kewenangan yang dilakukan oleh Penjabat Negeri Laha

Kaba, dalam mengangkat dan menggantikan Saniri Negeri memiliki dampak

luar biasa kepada masyarakat. Dalam perjalannya karena Penjabat Negeri


54

telah berakhir masa jabatannya, Penjabat Negeri dengan kelompoknya

menggugat Mata Rumah Parentah dan Kepala Pemerintahan Negeri

sebelumnya berkaitan dengan Peraturan Negeri.

C. Akibat Hukum Pengangkatan Saniri Negeri oleh Penjabat Negeri

Dalam kegiatan kita sehari-hari, tanpa kita sadari telah terbentuk suatu

peristiwa atau gejala hukum yang berupa suatu perbuatan hukum, yang tentu

saja merupakan akibat dari perbuatan hukum itu, sehingga menimbulkan

akibat hukum yang diinginkan dan yang tidak diinginkan. Menurut

pengertiannya, akibat hukum adalah segala akibat, akibat yang timbul dari

segala perbuatan hukum yang dilakukan oleh subjek hukum terhadap subjek

hukum atau akibat lain yang disebabkan oleh suatu peristiwa tertentu, sebab

yang telah ditetapkan atau dianggap sebagai akibat hukum oleh undang-

undang yang bersangkutan. Atau hasil suatu perbuatan yang dilakukan untuk

mencapai hasil yang diinginkan oleh penciptanya dan ditentukan oleh

undang-undang. Singkatnya akibat hukum adalah akibat yang ditimbulkan

oleh peristiwa hukum. 50

Berdasarkan penjelasan tersebut, bisa diketahui bahwa akibat hukum

ialah segala akibat yg timbul dari segala perbuatan hukum yg dilakukan oleh

subyek hukum terhadap obyek hukum atau akibat-akibat lain yg ditimbulkan

sebab insiden-peristiwa tertentu oleh hukum yg bersangkutan sudah

50
Muhamad Sadi Is, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana, Jakarta, 2015, hlm. 90.
55

ditentukan atau diklaim menjadi akibat hukum. Sehubungan menggunakan

istilah perkataan akibat hukum, hal tadi bisa dikenakan di tindakan hukum

atau perbuatan aturan, delik baik delik dibidang hukum pidana (perbuatan

pidana) maupun pelanggaran hukum dibidang hukum privat (perbuatan

melawan hukum). Akibat hukum ada tiga macam, yaitu akibat hukum berupa

lahirnya, berubahnya, atau hilangnya suatu norma hukum tertentu. akibat

hukum berupa lahirnya, berubahnya atau hilangnya suatu korelasi hukum

tertentu. serta akibat hukum berupa hukuman, baik sanksi pidana maupun

sanksi di bidang hukum keperdataan. 51

Akibat hukum sendiri ialah suatu akibat dari tindakan yang dilakukan

untuk memperoleh suatu akibat yang dibutuhkan oleh pelaku hukum. Akibat

yg dimaksud, adalah akibat yang dtentukan oleh hukum, sedangkan tindakan

yg dilakukan, yaitu tindakan yg sesuai menggunakan hukum yang berlaku.

Berdasarkan tindakan hukum yang dilakukan oleh Penjabat Kepala

Pemerintahan Negeri, yang telah mengangkat dan memberhentikan Saniri

Negeri merupakan suatu tindakan yang tentunya menimbulkan akibat hukum.

Selanjutnya disingkat UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi

Pemerintahan (selanjutnya disebut UUAP), pada Pasal 1 ayat (8), mengatur

bahwa tindakan administrasi pemerintahan adalah tindakan pejabat

pemerintah atau penyelenggara negara lainnya untuk melakukan dan/atau

tidak melakukan tindakan tertentu dalam menjalankan pemerintahan. Lebih

51
Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum, Kencana, Jakarta, 2015, hal. 275-276.
56

lanjut dalam Pasal 8 ayat (1) undang-undang yang sama juga menyatakan

bahwasanya setiap keputusan dan/atau tindakan harus ditetapkan dan/atau

dilaksanakan oleh instansi dan/atau pejabat pemerintah yang mempunyai

yurisdiksi. Keputusan akan diambil berdasarkan ketentuan peraturan

perundang-undangan serta Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB),

sebagaimana disyaratkan dalam Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30

Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Oleh karena itu, sah atau

tidaknya suatu keputusan yang dikeluarkan oleh Penjabat Sementara harus

memenuhi syarat-syarat yang di tentukan oleh undang-undang sebagaimana

diatur dalam Pasal 52 ayat (1) Undang-Undang Administrasi Pemerintahan,

yang dengan jelas menyatakan syarat sahnya suatu keputusan meliputi:

a) Ditetapkan oleh pejabat yang berwenang;

b) Dibuat sesuai prosedur; dan

c) Subtansi yang sesuai dengan obyek keputusan.

Telah diuraikan pada penjelasaan sebelumnya , bahwa Penjabat Kepala

Pemerintahan Negeri adalah Pejabat yang mengisi kekosongan jabatan

Pemerintahan Desa/Negeri dikarenakan Kepala Pemerintahan Negeri

sebelumnya telah habis masa jabatannya atau diberhentikan berdasarkan

Pasal 40 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang

Desa dan Pasal 24 Peraturan Daerah Kabupaten Maluku Tengah Nomor 04

Tahun 2006 Tentang Negeri


57

Diketahui Penjabat Kepala Pemerintahan Desa/Negeri mempunyai

kewenangan yang sama dengan Kepala Pemerintahan Desa/Negeri deffinitif

dalam urusan menyelenggarakan Pemerintahaan Desa Negeri. Namun, dalam

hal pengangkatan dan pemberhentian Saniri Negeri Penjabat maupun Kepala

Pemerintahan Desa/Negeri tidak memliki kewenangan tersebut seperti yang

dijellaskan dalam Peraturan Daerah Kabupaten Maluku Tengah Nomor 04

Tahun 2006 Tentang Pedoman Penataan Saniri Negeri.

Pengangkatan dan Pemberhentian Saniri Negeri oleh Penjabat Kepala

Pemerintahan Negeri menjadi tidak sah dan cacat hukum, dikarenakan Saniri

Negeri mempunyai kedudukan yang sama dengan Penjabat Kepala

Pemerintahan Negeri dalam menjalankan roda Pemerintahan Desa/Negeri.

Dampak Hukum daripada Pengangkatan Pemberhentian Saniri Negeri

dan SK Pengesahan Saniri Negeri Baru antara lain: Melakukan pergantian

nama saniri negeri yang bertentangan dengan Peraturan Daerah Nomor 4

Tahun 2006 tentang Pedoman Penataan Saniri Negeri atau Badan

Permusyawaratan Desa yang menyebutkan:

“Anggota Saniri Negeri atau Badan Permusyawaratan Negeri


diberhentikan karena: Meninggal Dunia; Mengajukan Pengunduran
Diri; Tidak Lagi Memenuhi syarat sebagaimana ditetapkan; Telah
berakhir masa baktinya; Melakukan perbuatan tercela yang
bertentangan dengan norma-norma yang hidup dan berkembang di
dalam masyarakat.”

Dengan adanya Pengangkatan dan Pemberhentian Saniri Negeri

memberikan ruang kepada Penjabat Negeri dalam memuluskan saudaranya


58

untuk menjadi Raja Definitif tanpa pemilihan berdasarkan Peraturan Negeri

Laha Kaba.

Berdasarkan pembahasan di atas, penulis menganalisis, bahwa yang

dilakukan oleh Penjabat Negeri Laha Kaba adalah cacat hukum dalam arti

bertentangan dengan asas-asas hukum adat masyarakat Negeri Laha Kaba dan

Peraturan Daerah Nomor 04 Tahun 2006 tentang Pedoman Penataan Saniri

Negeri dalam hal melakukan Pengangkatan dan Pemberhentian Saniri Negeri

yang akan berakibat pencalonan Kepala Pemerintahan Negeri tidak sesuai

dengan Peraturan Negeri.


59

BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa Penjabat

Kepala Pemerintahan Negeri merupakan seorang pejabat yang ditunjuk oleh

pejabat yang berwenang yaitu Bupati/Walikota untuk melaksanakan tugas,

hak dan wewenang serta kewajiban Kepala Pemerintahan Negeri dalam kurun

waktu yang ditentukan. Penjabat Kepala Pemerintahan Negeri yang diangkat

oleh Bupati ini berasal dari Pegawai Negeri Sipil dari Pemerintah Daerah

Kabupaten/Kota.

1. Terkait dengan pengangkatan dan pemberhentian Saniri Negeri di

Negeri/Desa Laha Kaba Kecamatan Telutih Kabupaten Maluku Tengah

tidak lah sesuai atau bertentangan dengan sejumlah Peraturan Perundang-

Undangan. Hal ini dikarenakan apabila ditinjau dari Undang-Undang

Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa mengatakan bahwa kewenangan

Penjabat Kepala Pemerintahan Negeri hanyalah menyelenggarakan

Pemerintahan Negeri bersama Perangkat Negeri dan Badan Saniri Negeri.

Badan Saniri Negeri memiliki kedudukan sejajar dengan Kepala

Pemerintahan Negeri maka dari itu Penjabat Kepala Pemerintahan Negeri

tidak mempunyai hak dan kewenangan dalam mengangkat dan

memberhentikan Saniri Negeri. Pengangkatan Saniri oleh Penjabat Kepala

Pemerintahan Negeri dimaksudkan untuk memuluskan jalan pemilihan

Kepala Pemerintahan yang baru secara sepihak yaitu saudaranya sendiri.


60

2. Peraturan Daerah kabupaten Maluku Tengah Nomor 04 Tahun 2006

menjelaskan Pengangkatan Saniri Negeri itu melalui mekanisme

keterwakilan adat istiadat Negeri setempat. Pengangkatan dan

Pemberhentian Saniri Negeri di Negeri Laha Kaba melalui musyawarah

dari setiap marga/soa yang menunjuk satu orang perwakilan untuk menjadi

anggota atau ketua Badan Saniri Negeri. Surat Keputusan Bupati Maluku

Tengah tentang Pengangkatan Saniri baru Negeri Laha Kaba adalah tidak

sah dan cacat hukum.

B. Saran

1. Pemerintahan Negeri Laha Kaba dalam menyelenggarakan Pemerintahan

Negeri masih berpegang pada adat istiadat maka perlu adanya Peraturan

Negeri yang mengatur tentang hal itu. Terhadap Pemerintahan Negeri

Laha Kaba dalam mengahadapi masalah tentang Saniri Negeri, secara

praktik dapat memberikan pemahaman terhadap masyarakat atas

kebijakan-kebijakan mengenai Pengangkatan dan Pemberhentian Saniri

Negeri agar tidak terjadi masalah demikian kedepannya.

2. Untuk mendapatkan kepastian hukum berkaitan dengan pengangkatan dan

pemberhentian Saniri Negeri, maka penulis menyarankan agar Surat

Keputusan Bupati Maluku Tengah Tentang Penangkatan dan

Pemberhentian Saniri Negeri Laha Kaba diajukan ke Pengadilan Tata

Usaha Negara Surat Keputusan Bupati Maluku Tengah tentang

Pengangkatan dan Pemberhentian Saniri Negeri tersebut dinyatakan batal

demi hukum atau tidak sah.


DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU-BUKU

Abdul Latif, Hukum Administrasi Dalam Praktik Tindak Pidana Korupsi,


Pernada Media Grup, Jakarta, 2014

Abdulkadir Muhammad, Hukum Perusahaan Indonesia, Citra Aditya Bakti,


Bandung, 2010

Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum, Kencana, Jakarta, 2015

Aminudin Ilmar, Hukum Tata Pemerintahan, Prenanda Media Grup,


Jakarta,2014

Djamanat Samosir. HukumAdat Indonesia, CV Nuansa Aulia, Medan. 2013

Farah Fahmi Namakule, SANIRI Negeri Dalam Tata Hukum Nasional,


Jakarta, Zahir Publishing, 2022

H. Erwin Owan Hermansyah dkk, Buku Ajar Hukum Adat, Madza Media,
Malang, 2021

Hans Kelsen, sebagaimana diterjemahkan oleh Somardi, General Theory Of


Law and State, teori Umum Hukum dan Negara, Dasar-Dasar Ilmu
Hukum normative Sebagai Ilmu Hukum Deskriptif Empirik, BEE Media
Indonesia, Jakarta, 2007

Huisman,R.J.H.M, Algemeen Bestuursrecht, een Inleiding,Kobra,


Amsterdam , 1983

Indoharto, Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata


Usaha Negara, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta. 1993

Indroharto, Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, dalam Paulus


Efendie Lotulung, Himpunan Makalah Asas-Asas Pemerintahan yang
Baik, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1994

Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitualisme Indonesia, Sinar Grafika,


Jakarta: 2010

Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama,


Jakarta, 1998
Moh Kusnardi dan Harmaily Ibrhim, Pengantar HukumTata Negara
Indonesia,cet.VIII, CV. Sinar Bakti, Jakarta: 1998

Muh. Jufri Dewa, Hukum Adminiatrasi Negara, Unhalu Press, Kendari, 2011

Muhamad Sadi Is, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana, Jakarta, 2015

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, 2017

Philipus M. Hadjon, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gadjah Mada


University Press, Yogyakarta, 1993

Pipin Syarifin dan Dedah Jubaedah, Hukum Pemerintahan Daerah, Pustaka


Bani Quraisy, Bandung, 2005

Poerwasunata, Kamus Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, Jakarta: Balai Pustaka,


2003

Prajudi Atmosudirjo, Hukum Administrrasi Negara, Ghalia Indonesia,


Jakarta, 1981

Renny Heronia Nendissa, Eric Stenly Holle, Hukum Kewenangan, Pattimura


Univesitas Press, Ambon, 2023

Ridwan H.R, Hukum Administrasi Negara, Rajawali Pers, Jakarta, 2018

S,F.Marbun, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administrasi di


Indonesia.Liberty.Yogyakarta, 1997

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudja, Penelitian Hukum Normatif (Suatu


Tinjauan Singkat), Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006

Soerjono Soekanto, Penegakan Hukum, Bina Cipta, Bandung. 1983

T. Bustomi. Hukum Perdata dan Hukum Tata Negaradalam Teori Praktik.


Alumni, Bandung,1994

Titik Triwulan dan Shinta, Perlindungan Hukum Bagi Pasien, Prestasi


Pustaka, Jakarta, 2010

Titik Triwulan dan Tutik., Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca
Amendemen UUD 1945, Kencana Pramedia Group Jakarta: 2010
B. JURNAL Dan SKRIPSI

Abdul Rohman, “Kewenangan Penjabat Kepala Desa dalam Mengangkat


Perangkat Desa”, Syiar Hukum Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 18, No. 1,
2020

Agus Adhari, “Analisis Hukum Pembentukan Badan Usaha Milik Desa


Dalam Upaya Meningkatkan Pendapatan Asli Desa di Kecamatan
Babalan Kabupaten Langkat”, Dialogia Lulidca: Jurnal Hukum Bisnis
dan Inverstasi, Vol. 9 No. 1, 2017

Farah Dessy Tuasamu, Kedudukan Dan Fungsi Badan SANIRI Negeri


(Badan Permusyawaratan Desa) Di Kecamatan Salahutu, Kabupaten
Maluku Tengah, Jurnal Caraka Prabu , Vol.1, No.1 2017

Juang Rambe, “Kewenangan Penjabat Sementara Kepala Desa dalam


Menjalankan Pemerintahan Desa Silangge Kec. Dolok Kab. Padang
Lawas Utara”, Skripsi, Medan: Universitas Muhammadiyah Sumatera
Utara Medan, 2017

Julista Mustamu, Pertanggungjawaban Hukum pemerintah. Jurnal Sasi, Vol.


20, No. 2 2014

Muhammad A. Rauf, Politik Hukum Pembentukan Desa Adat dalam Sistem


Pemerintahan di Indonesia, De Lega Lata: Jurnal Hukum Vol.1 No.2,
2016

Nuraini dan Irwan Nasution, “Kinerja Aparat Desa Dalam Penyelenggaraan


Pemerintahan Desa Pantai Labu Pekan”, Jurnal Ilmu Pemerinahan dan
Sosial Politik Vol. 2 No.2 2014

Nurjanah Ohorella, Victor Juzuf Sedubun, Reny Heronia Nendissa,


Kewenangan Penetapan dan Pelantikan Raja Negeri Tulehu oleh
Kepala Pemerintah Kabupaten Maluku Tengah, Jurnal Tatoho Ilmu
Hukum, Vol. 2 No. 03. 2022

Ronald Alfredo, Lembaga Adat “SANIRI” Sebagai Forum Komunikasi


Dalam Penyelesaian Masalah Publik Di Ambon, Jurnal Komunikasi
Kareba, Ambon, Universitas Pattimura, Vol. 1 No. 3 2011.

Suharno dan Milwan Milwan, Ketahanan SANIRI Dalam Dinamika


Kebijakan Monokultural, Jurnal Internasional Rehabilitasi Psikososial,
Vol. 24, Edisi 09, 2020.

Anda mungkin juga menyukai