Anda di halaman 1dari 71

TINJAUAN YURIDIS ARTIFICIAL INTELLIGENCE (AI) SEBAGAI

PENGHASIL KARYA CIPTA DALAM PERSPEKTIF HUKUM HAK


CIPTA

Skripsi

Disusun untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum

Oleh :

Elvira Purnama Sari

19.0201.0022

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAGELANG

2023
DAFTAR PUSTAKA

DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................2
BAB I................................................................................................................................4
PENDAHULUAN.............................................................................................................4
A. Latar Belakang.........................................................................................................4
B. Rumusan Masalah....................................................................................................8
C. Tujuan Penelitian.....................................................................................................8
a. Tujuan penelitian secara umum..............................................................................8
b. Tujuan penelitian secara khusus.............................................................................8
D. Manfaat Penelitian...................................................................................................8
a. Manfaat teoritis......................................................................................................8
b. Manfaat praktis.......................................................................................................9
BAB II.............................................................................................................................10
TINJAUAN PUSTAKA.................................................................................................10
A. Penelitian terdahulu...........................................................................................10
B. Kerangka Teori..................................................................................................15
a. Hak Eksklusif dalam Hak Cipta.......................................................................15
b. Personality........................................................................................................26
BAB III...........................................................................................................................30
METODE PENELITIAN..............................................................................................30
A. Jenis Penelitian...................................................................................................30
B. Pendekatan Penelitian........................................................................................30
C. Objek penelitian.................................................................................................31
D. Sumber Data.......................................................................................................31
E. Teknik Pengambilan Data.................................................................................31
F. Teknik analisis data...........................................................................................32
BAB IV............................................................................................................................33
HASIL DAN PEMBAHASAN......................................................................................33
A. Kedudukan Hukum AI Sebagai Penghasil Kreasi dan Inovasi Dalam Hukum
Hak Cipta....................................................................................................................33
B. Akibat Hukum Pada Ciptaan Yang Dibuat oleh AI........................................44

2
BAB V.............................................................................................................................54
KESIMPULAN DAN SARAN......................................................................................54
A. Kesimpulan.........................................................................................................54
B. Saran...................................................................................................................55
Daftar Pustaka...............................................................................................................56

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Era transformasi digital merupakan suatu proses dari

perkembangan teknologi pada saat ini, yang mana memberikan dampak

terhadap penerapan teknologi dalam kehidupan masyarakat (Devianto &

Dwiasnati, 2020). Perkembangan teknologi yang semakin meningkat

dibuktikan dengan adanya data IP-TIK (Indeks Pembangunan Teknologi

Informasi dan komunikasi) dari Badan Pusat Statistik yang menunjukan

peningkatan penggunaan teknologi dari yang semula 5,32% pada tahun

2019 hingga mencapai 5,59% pada tahun 2020 (Badan Pusat Statistik,

2021).

Salin itu, perkembangan revolusi industri 4.0 yang terjadi secara

cepat telah mempengaruhi berbagai macam sektor yang semula

menggunakan tenaga manusia dalam proses pemenuhuan kebutuhannya

beralih dengan menggunakan tenaga mesin (Disemadi, 2021). Berbagai

aspek kehidupan tidak dapat dilepaskan dari penggunaan teknologi,

misalnya bidang Industri, Pendidikan, Ekonomi hingga bidang Kesehatan

(Devianto & Dwiasnati, 2020). Salah satu penggunaan teknologi yang

berkembang pada saat ini adalah eksistensi Artificial Intelligence (AI) atau

biasanya disebut dengan kecerdasan buatan.

4
John McCharty tahun 1955 pertama kali memperkenalkan AI yang

didefinisikan sebagai “the science and engineering of creating intelligent

machines (Gema, 2022; Hakim et al., 2021). AI berperan sebagai mesin

untuk menjalankan sebuah pekerjaan yang membutuhkan pemahaman

seperti manusia atau sebuah teknologi yang memungkinkan untuk mesin

merasakan, memahami, dan bertindak (Abdullah, 2020). Kemudian, AI

diciptakan untuk menyesuaikan komunikasi perasaan antara layanan dan

penyelenggaranya, atau sebagai robot cerdas untuk melaksanakan tugas-

tugasnya (Anggraini, 2020).

AI adalah salah satu cabang ilmu komputer yang memiliki

kapabilitas antara lain mesin pintar (smart machine) untuk memecahkan

persoalan yang rumit dengan cara yang lebih tepat dan tetap diarahkan

oleh keperluan manusia (Karim et al., 2020; Neary & Chen, 2017). Hal ini

biasanya dilakukan oleh AI dengan mencontoh karekteristik dan analogi

proses dan subtansi berfikir dari kecerdasan manusia, dengan menerapkan

algoritma (prosedur yang teratur) yang dikenal oleh komputer (Manarep

Pasaribu & Widjaja, 2022; Wijaya, 2013).

Kemudian, di tengah perkembangan zaman dan perkembangan

teknologi yang sangat pesat, penggunaan AI dimanfaatkan oleh banyak

orang dalam menghasilkan sebuah karya semakin dominan (Effendi &

Satwiko, 2021). Hingga pada suatu masa bahwa tidak hanya karya

manusia saja yang menghasilkan atau menciptakan karya seni yang

inovatif dan kreatif tetapi juga hasil karya dari AI.

5
Era perkembangan teknologi saat ini yang semakin meningkat

mendorong masyarakat lebih memilih menggunakan teknologi sebagai alat

untuk mengefensiensi dan mempermudah pekerjaannya. Karena sejatinya

AI adalah ide untuk membuat komputer cerdas atau ilmu komunter yang

fokus pada desain sistem komputer yang meniru kecerdasan manusia (M.

P. Indah, 2015). Lain daripada itu, cara kerja AI adalah menerima input

data yang telah dimasukkan kemudian akan diproses hingga menghasilkan

sebuah output (Merta et al., 2015). AI juga berfungsi untuk membalas

sebuah percakapan manusia dengan sistem kerja meniru manusia ketika

berbicara atau ketika saat mengirim pesan (Lestari et al., 2022).

Perkembangan AI saat ini sampai pada tahap dimana kecerdasan

buatan tersebut dapat menghasilkan sebuah karya. Salah satu AI yang

menghasilkan sebuah karya yaitu robot Ai-Da. Ai-Da merupakan sebuah

robot yang mampu mengartikulasikan dan mengimplementasikan dari apa

yang Ai-Da lihat dan amati sehingga Ai-Da mampu menghasilkan karya

cipta serta seni. Ai-Da berhasil melukis dirinya sendiri dengan

menggunakan metode kecerdasan buatan yang dimilikinya dengan yang

sangat cepat sekitar satu jam saja (Romic, 2021).

Selain Ai-Da, terdapat robot kecerdasan buatan lainnya yang

menghasilkan karya cipta lukisan hanya dengan memasukan kriteria-

kriteria yang diinginkan oleh si pembuat sehingga akan menghasilkan

sebuah karya. DaLL-E adalah robot AI lainnya yang mampung

menghasilkan sebauh karya lukisan. Cara kerja kecerdasan buatan satu ini

6
menggunakan pola menggambarkan atau mengidentifikasi serta

menerjemahkan dari teks ke sebuah gambar (Revell, 2022). Selain itu,

pengguna juga dapat menyunting sesuai selera yang disukai oleh mereka

sehingga tercipta sebuah karya seni yang indah. Setelah adanya

pembaharuan terhadap DaLL-E, pengguna tidak hanya memasukan teks

agar mendapatkan gambar yang mereka sukai, namun juga dapat

menggunggah gambar yang nantinya akan diproses dan menghasilkan

gambar-gambar lainnya yang masih sejenis.

Namun demikian, pemanfaatan AI dalam menghasilkan sebuah

karya memunculkan berbagai persoalan. Dalam perspektif hak cipta,

karya-karya tersebut bisa saja dikategorikan sebagai ciptaan yang

dilindungi. Namun, kreasi yang dihasilkan oleh AI masih dipertanyakan

terkait status ciptaannya. Dalam Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014

tentang Hak Cipta (UUHC 2014) disebutkan bahwa ciptaan adalah setiap

hasil karya cipta di bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra yang

dihasilkan atas inspirasi, kemampuan, pikiran, imajinasi, kecekatan,

keterampilan, atau keahlian yang diekspresikan dalam bentuk nyata.

Sedangkan pencipta adalah seseorang atau beberapa orang yang secara

sendiri-sendiri atau bersama-sama menghasilkan suatu ciptaan yang

bersifat khas dan pribadi.

Secara implisit, tidak terdapat ketentuan mengenai status ciptaan

yang dihasilkan oleh AI dalam UUHC 2014. Ketiadaan aturan tersebut

berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum, mengingat salah tujuan

7
dari adanya perlindungan Hak Cipta adalah sebagai stimulus inovasi dan

kreasi baru dan pemenuhan hak eksklusif dari Pencipta. Berdasarkan

uraian diatas perlu adanya sebuah penelitian untuk mengkaji secara yuridis

kedudukan hukum AI dan status hukum ciptaan yang dihasilkan oleh AI.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana kedudukan Hukum AI sebagai penghasil kreasi dan

inovasi dalam hukum hak cipta?

2. Apa akibat hukum pada ciptaan yang dibuat oleh AI?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah diatas, maka tujuan yang ingin

dicapai dalam penulisan ini adalah :

a. Tujuan penelitian secara umum

Untuk mendapatkan kepastian hukum pada karya dan inovasi yang

dihasilkan oleh AI.

b. Tujuan penelitian secara khusus

1. Untuk menganalisis kedudukan hukum dari karya cipta yang

dihasilkan oleh AI dalam perspektif hukum hak cipta.

2. Untuk mengidentifikasi akibat hukum dari hasil karya ciptaan AI.

8
D. Manfaat Penelitian

Dari tujuan penelitian yang ingin dicapai, maka adapun manfaat

yang ingin diperoleh dari penelitian ini baik untuk peneliti maupun

pembaca yaitu :

a. Manfaat teoritis

Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat memberikan

manfaat bagi pengembangan keilmuan khususnya dalam bidang hak

cipta.

b. Manfaat praktis

Penelitian ini dapat memberikan manfaat secara praktis kepada :

1. Praktisi di bidang hak cipta untuk menentukan kedudukan hukum

AI dalam menghasilkan karya cipta.

2. Pemerintah dalam merevisi UU Hak Cipta 2014 dengan

menyertakan ketentuan status ciptaan yang dihasilkan oleh AI.

9
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Penelitian terdahulu

Penelitian Disemadi et al., (2021) yang berfokus kepada suatu

karya berupa lukisan atau gambar yang dihasilakan oleh media digital atau

biasa disebut dengan digital painting yang merupakan salah satu dari

perkembangan AI, menegaskan bahwa karya tersebut dapat dikategorikan

ke dalam bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra yang merujuk pada

huruf p UUHC 2014 yang berbunyi kompilasi Ciptaan atau data, baik

dalam format yang dapat dibaca dengan Program Komputer maupun

media lainnya. Pada penelitian ini peneliti juga membandingkan dengan

UUHC 2002 sebelumnya, pada pasal yang mencantumkan mengenai

ciptaan-ciptaan yang dilindungi, belum tercantum mengenai ciptaan yang

dikasilkan oleh program komputer yang kemudian hasil karya ciptannya

dapat diakui sebagai sebuah karya intelektual. Kemudian dengan adanya

UUHC 2014 menjadi pelangkap di UUHC sebelumnya. Dengan

pertimbangan tersebut penelitih berani menggambil kesimpulan bahwa

hasil karya cipta digital painting merupakan sebuah hasil dari format

pemrograman komputer.

Kemudian, ada juga sebuah penelitian yang dilakukan oleh Fauzi et

al., (2022) dengan tujuan untuk mengetahui keabsahan hasil karya

kecerdasan artificial yang berdasarkan kapada UUHC 2014. Serta untuk

mengetahui lebih lanjut mengenai masa depan hukum Hak Cipta di

10
Indonesia dengan adanya perkembangan teknologi. Dalam penelitian

tersebut disimpulkan bahwa suatu karya yang dalam proses pembuatannya

dihasilkan atau melibatkan intervensi manusia tidak memiliki keabsahan

untuk dilindungi hak ciptanya. Adapula, beberapa tahapan untuk menilai

keabsahan hasil karya tersebut, dengan cara melihat jenis karyanya,

menelaah intervensi intelektualitas manusia dan ekspresi personalitas

terhadap karya, serta dapat juga meninjau keaslian dari karya tersebut

dikemudian hari. Dengan demikian, Perlu adanya aturan hukum yang pasti

khususnya untuk mengatur hasil karya AI selain mengandalkan UU Hak

Cipta 2014. Hal tersebut dapat merujuk kepada Uni Eropa dengan

menggunakan risiko serta doktrin Three Step Test dan menggunakan

Techmological Protection Measure berdasarkan Lex Informatica.

Dalam sebuah penelitian yang mengkaji secara lebih mendalam

mengenai apakah AI dapat dijadikan sebagai subjek hukum dalam

perspektif hukum positif di Indonesia menyimpulkan bahwa, bilamana AI

melakukan sebuah kesalahan yang berakibat hukum, maka pemilik AI-lah

yang bertanggungjawab secara penuh atas segala kerusakan yang

ditimbulkan oleh AI. Hal ini berdasarkan pada beberapa kriteria subjek

hukum yaitu:

1) sesuatu yang menurut hukum berhak atau berwenang untuk

melakukan perbuatan hukum atau berhak dan cakap bertindak

menurut hukum.

11
2) Sesuatu yang mendukung hak yang menurut undang-undang

menpunyai kewenangan/kekuasaan untuk bertindak sebagai

pendukung hak.

3) Segala sesuatu yang menurut hukum mempunyai hak dan

kewajiban.

Kemudian, peneliti menyimpulkan bahwa berdasarkan Pasal 1368

KUHPdt jika AI dianalogikan maka akan seperti hewan peliharaan

sedangkan pencipta AI sebagai pemiliknya, secara perdata jika hewan

peliharaan menyebabkan kerugian baik dalam pengawasan pemilik atau

pengguna, atau bila hewan lepas dari pengawasan, maka yang

bertanggungjawab atas kehilangan tersebut adalah pemilik atau

penggunanya. Dalam konteks ini AI adalah subjek hukum dalam

pengawasan dan kepemilikan pemilik AI yang kemudian digunakan untuk

kepentingan dan tujuan tertentu bagi orang lain. Sebagai subjek hukum

buatan yang memiliki sifat otonom jika AI melakukan sebuah kesalahan

dan melakuakan perbuatan yang merugikan orang lain di luar dugaan,

pemilik AI yang diminta bertanggungjawab secara perdata, jelas Puspita

Sari & Harwika, (2022).

Adapun penelitian yang dilakukan oleh Putranti & Anggraeny,

(2022) meneganai Tanggung Jawab Hukum Penemu atas Penemuan

Kecerdasan Buatan Di Indonesia. Peneliti berpendapat bahwa AI dapat

dianalogikan sebagai tubuh manusia yang memiliki organ dengan berbagai

peran dan fungsi tertentu. Kemudian peneliti juga menyampaikan bahwa

12
AI dapat diberikan status sebagai subjek hukum, hal tersebut berdasarkan

dengan UUHC 2014 yang mendevinisikan pencipta adalah seorang atau

sekelompok orang, baik secara sendiri-sendiri, maupun bersama-sama,

menghasikan ciptaan yang memiliki ciri khas tertentu dan bersifat privat.

Dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 (UU Paten), Inventor

diartikan sebagai seseorang atau sekelompok orang yang secara bersama-

sama melaksanakan suatu gagasan dalam bentuk kegiatan yang

menghasilkan satu ivensi. Secara umum, AI adalah perangkat

lunak/program komputer. Dalam pasal 1 angka 9 UUHC, penemu program

komputer didefinisikan sebagai sekumpulan instruksi yang dinyatakan

dalam bentuk bahasa, kode, skema atau bentuk apapun yang bertujuan agar

komputer dapat berkerja sesuai fungsinya untuk menghasilkan produk

tertentu. Sedangkan dari segi hukum, program komputer yang berisi

penemuan teknologi dapat dilindungi melalui hak paten, meskipun

program komputer tersebut telah dilindungi melalui mekanisme hak cipta.

Penemu yang menemukan dan memegang hak paten atau hak cipta

memperoleh hak eksklusif untuk mengkomersialkan ciptaan atau

penemuan tersebut. Dalam pertanggungjawaban pasal 1 ayat (3) UU Paten

investor harus orang. Oleh karena itu, AI dikategorikan sebagai objek jika

penemu mengacu pada penemuan sistem AI dalam konsep

pertanggungjawaban. Pengertian pertanggungjawaban pidana dibebankan

kepada pelaku kejahatan berdasarkan keadaan kejiwaan dan kehendak

orang yang melakukan kejahatan. Berdasarkan teori vicarious liability

13
untuk kejahatan atau perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh AI

dapat dibebankan kepada penemu paten. Penelitipun menyimpulkan bahwa

AI tidak dapat diperlakukan sebagai penemu, setidaknya dalam undang-

undang yang berlaku tentang paten. Kemudian, bilamana AI melakukan

tidak pidana di Indonesia , penciptalah yang harus bertanggunugjawab,

baik secara pidana maupun perdata.

Kemudian pada penelitian yang dilakukan oleh Jaya & Goh (2021),

berpendapat bahwa dalam hukum progresif, perkembangan AI merupakan

salah satu contoh terobosan yang baru yang dari tidak logika menjadi

logika, yang dari tidak mungkin menjadi mungkin. AI yang bisa bertindak

tanpa kesadaran humanis yang melekat pada diri AI setelah membuktikan

dirinya mampu melampaui manusia dalam melakukansuatu tindakan. Hal

tersebut juga telah memungkinkan AI dapat ditempatkan sebagai subyek

hukum dalam perkembangan hukum positif Indonesia. Sama dengan

badan hukum, AI juga mempunyai penanggung jawab yaitu Pencipta AI

dan Pengguna AI yang mempunyai hak dan kewajiban masing-masing.

Agar lebih jelas dalam kepastian hukum terhadap pertanggungjawaban

atas perbuatan hukum yang dilakukan oleh AI, Pengguna AI dan Pencipta

AI dapat membuat akta otentik sebagai identitas AI. Selain itu pihak

instansi pemerintahan juga dapat mendirikan departemen khusus AI guna

untuk menangani sengketa AI yang terjadi.

Berdasarkan penelitihan terdahulu fokus penelitian yang dilakukan

oleh peneliti berfokus pada pembahasan mengenai kedudukan hukum

14
karya cipta yang dihasilkan oleh AI dan akibat hukum ciptaan yang

dihasilkan oleh AI.

B. Kerangka Teori

a. Hak Eksklusif dalam Hak Cipta

Hak cipta adalah bagian dari sekumpulan hak yang dinamakan hak-

hak atas kekayaan intelektual, yang secara deskriptif dapat dikatakan

bahwa hak atas kekayaan intelektual adalah sebagai hak atas harta

kekayaan yang merupakan produk pikiran manusia atau kemampuan

intelektual manusia (Rofidah, 2015).

Berbicara mengenai hak cipta pertama kali pasti akan tertuju pada

karya cipta lagu, lukisan dan sebagainya yang dihasilkan oleh manusia.

Pada pasal 40 UUHC 2014 telah dijelaskan beberapa kategori yang dapat

dikatakan sebagai ciptaan, yaitu:

a) Buku, pamflet, perwajahan karya tulis yang diterbitkan, dan semua

hasil karya tulis lainnya:

b) Ceramah, kuliah, pidato, dan Ciptaan sejenis lainnya;

c) Alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu

pengetahuan;

d) Lagu dan/atau musik dengan atau tanpa teks;

e) Drama, drama musikal, tari, koreografi, pewayangan, dan

pantomim;

f) Karya seni rupa dalam segala bentuk seperti lukisan, gambar,

ukiran, kaligrafi, seni pahat, patung, atau kolase;

15
g) Karya seni terapan;

h) Karya arsitektur;

i) Peta;

j) Karya seni batik atau seni motif lain;

k) Karya fotografi;

l) Potret;

m) Karya sinematografi;

n) Terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, basis data, adaptasi,

aransemen, modifikasi dan karya lain dari hasil transformasi;

o) Terjemahan, adaptasi, aransemen, transformasi, atau modihkasi

ekspresi budaya tradisional;

p) Kompilasi Ciptaan atau data, baik dalam format yang dapat dibaca

dengan Program Komputer maupun media lainnya;

q) Kompilasi ekspresi budaya tradisional selama kompilasi tersebut

merupakan karya yang asli;

r) Permainan video;

s) Program Komputer.

Pengelompokan suatu karya seni dengan kedudukan pencipta atau

pemegang hak semata-mata dengan tujuan untuk memberikan

perlindungan Hak Moral bagi pencipta (Margono, 2015). Bilamana

suatu ciptaan yang dihasilakan tanpa diketahui pemiliknya menurut

pasal 11 UUHC 2014, yang berbunyi:

16
1) Jika suatu Ciptaan tidak diketahui Penciptanya dan Ciptaan itu

belum diterbitkan, Negara memegang Hak Cipta atas Ciptaan

tersebut untuk kepentingan Penciptanya.

2) Jika suatu Ciptaan telah diterbitkan, tetapi tidak diketahui

Penciptanya atau pada Ciptaan tersebut hanya tertera nama

samaran Penciptanya, Penerbit memegang Hak Cipta atas Ciptaan

tersebut untuk kepentingan Penciptanya.

3) Jika suatu Ciptaan telah diterbitkan tetapi tidak diketahui

Penciptanya dan/atau Penerbitnya, Negara memegang Hak Cipta

atas Ciptaan tersebut untuk kepentingan Penciptanya.

Hak cipta timbul dan lahir dari suatu hasil dan fikiran manusia

dalam bidang seni, sastra dan ilmu pengetahuan yang memiliki sifat

otomatis (Simanjuntak, 2017). Pada pasal 1 angka 3 UUHC

diisyaratkan adamya suatu kriteria khusus agar suatu ciptaan dapat

dinilai sebagai ciptaan yang dilindungi hak ciptanya.

Dalam memenuhi kriteria tersebut dapat dibedakan menjadi 3

(tiga) komponen penting yang menjadi syarat substantif Hak Cipta atas

suatu Ciptaan yaitu dengan adanya keaslian (originality), reativitas

(creativity), dan bersifat khas (fixation). ketiganya disebut sebagai

standards of copyrights ability. Keaslian (originality) sebagai syarat

bahwa ciptaan benar adalah karya pencipta. Menurut Berne

Convention, syarat ini bersifat esensial untuk memastikan lingkup

kekayaan pencipta (Komuna et al., 2020).

17
Jened (2007) berpendapat bahwa Konsepsi Hak Cipta sebagai

property (kekayaan) adalah terkait dengan syarat keaslian (originality).

Ciptaan tersebut harus benar-benar hasil dari Pencipta. Hanya ciptaan

milik pribadi yang dapat dilindungi oleh Hak Cipta, sedangkan yang

tidak mendapat perlindungan adalah milik umum (public domain).

Adanya kreasi intelektual pribadi adalah kaitannya dengan pemenuhan

persyaratan kreativitas yaitu ciptaan yang dibuat dengan kemampuan,

pikiran, dan rasa individu, bukan ciptaan dari komputer atau binatang.

Sedangkan tujuan perlindungan dari hak cipta sebagai syarat

pemenuhan perwujudan (fixation) yaitu melalui konsep bentuk

material (material form) atas suatu ciptaan. Hak cipta melindungi

ekspresi dari suatu ide dalam bentuk material, bukan idenya atau

informasinya.

Perihal ciptaan menurut Adisumarto & Harsono (1990): Disebut

suatu ciptaan apabila terkandung dua hal yakni: ekspresi dari suatu ide;

originalitas dari suatu ide. Inspirasi seseorang atau beberapa orang

berdasarkan pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan atau keahlian

masih berupa ide. Pada fase ini belum memperoleh perlindungan

hukum. Apabila ide tersebut diekspresikan atau dituangkan dalam

suatu bentuk tertentu, terbentuk ciptaan dan memperoleh perlindungan

hukum, Ekspresi atau penuangan ide dalam bentuk yang khas dan

bersifat pribadi, tidak boleh meniru ide orang lain, berarti ciptaan

disyaratkan harus original atau asli dari karya pencipta sendiri.

18
Hal yang paling mendasar dalam kriteria perlindungan hak cipta

telah disebutkan diatas, bahwa ciptaan harus memenuhi kriteria

orisinal. Orisinal yang dimaksud adalah menyiratkan kepada

kepemilikan hak cipta atau mengklam asal karya (Putri, 2021).

Hak Kekayaan Intelektual adalah suatu hak kebendaan, hak atas

suatu benda yang bersumber dari hasil otak manusia (Labetubun,

2019). Kelahiran dan perkembangan hak cipta dalam ranah hukum

memiliki kronologis perjalanan yang Panjang dan mengalami masa-

masa yang kelam dalam sejarah, secara umum sejarah perkembangan

hak cipta dianggap bermulai di Inggris pada abad ke 17 dan di Prancis

pada abat ke 17 akhir (Iswahyudi & Cipta, 2014).

Sedangkan di Indonesia hak cipta pertama kali dikenal pada tahun

1912 masa hindia belanda, pemberlakuan tersebut karena pada saat ini

berlaku asas konkordansi yang berarti bahwa sesuatu asas yang

melandasi hukum Eropa atau hukum di Belanda pada masa itu. Sampai

pada tahun 1982, pemerintah Indonesia mengeluarkan undang-undang

No. 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta yang mengadopsi dari

Auteurswet 1912. Mengalami beberapa kali amandeman sesuai dengan

kebutuhan dan perkembangan, yaitu UU No. 7 tahun 1987 kemudian

UU No. 12 tahun 1997 yang disempurnakan melalui UU No. 19 tahun

2002 dan yang terakhir UU No. 28 tahun 2014 (Prabandari, 2013).

19
Kecerdasan intelektual masyarakat dalam suatu bangsa memang

sangat ditentukan oleh seberapa jauh penguasaan ilmu pengetahuan

dan teknologi oleh individu suatu bangsa. Kreativitas manusia untuk

melahirkan suatu karya-karya intelektual yang bermutu seperti hasil

penelitian, karya sastra, yang bernilai tinggi serta apresiasi budaya

yang memiliki kualitas seni yang tinggi tidak lahir begitu saja

(Sulaiman et al., 2018).

Demikian juga sama halnya untuk menghasilkan sebuah karya

yang memiliki kualitas baik pastinya akan memerlukan biaya yang

tidak sedikit. Hal tersebut menunjukan bertapa rumit dan berat beban

yang ditanggung oleh segenap-segenap pihak terkait untuk melahirkan

suatu karya cipta. Dengan begitu, pantas untuk menerima hak yang

dirumuskan sebagai property rights yang bersifat eksklusif dan diberi

penghargaan yang setinggi-tingginya dalam wujud perlindungan

hukum (Sulaiman et al., 2018).

Hak ekslusif yang diberikan oleh hukum merupakan reward yang

sesuai bagi para investor dan pencipta HKI. Melalui rewards tersebut

orang-orang yang kreatif didorong untuk terus mengasah kemampuan

intelektualnya agar dapat dipergunakan untuk membantu peningkatan

kehidupan manusia (Sufiaria, 2012).

Hak eksklusif adalah hak untuk mengecualikan pihak lain dalam

jangka waktu tertentu dengan memperhitungkan pembatasan yang

20
berlaku (Hanoraga & Prasetyawati, 2015). Sebagai hak eksklusif

(exclusive rights), hak cipta mengandung dua esensi hak, yaitu: hak

ekonomi (economic rights) dan hak moral (moral rights). Kandungan

hak ekonomi meliputi hak untuk mengumumkan (performing rights)

dan hak untuk memperbanyak (mechanical rights). Adapun hak moral

meliputi hak pencipta untuk dicantumkan namanya dalam ciptaan dan

hak pencipta untuk melarang orang lain untuk menggubah ciptaannya,

termasuk judul ataupun anak judul ciptaan (Dewi, 2009). Hak cipta

memiliki prinsip dasar, diantaranya (Damian, 2003):

1. Yang dilindungi dalam hak cipta ialah ide yang telah diwujudkan

dan asli. Suatu ciptaan harus mempunyai keaslian (orisinal), suatu

ciptaan mempunyai hak cipta jika ciptaan yang bersangkutan

diwujudkan dalam bentuk tulisan atau bentuk material yang lain.

Hal tersebut dikatenakan hak cipta merupakan hak ekslusif yang

tidak boleh orang lain melakukan perbanyakan tanpa seizin

pencipta.

2. Hak cipta timbul secara sendirinya atau otomatis. Hak cipta akan

terbentuk dengan sendirinya ketika seorang pencipta mewujudkan

idenya dalam bentuk yang berwujud. Suatu ciptaan akan lahir

dengan adanya suatu wujud dari sebuah ide ciptaan. Ciptaan yang

telah dilahirkan maka akan diumumkan (to make

public/openbaarmaken) dan tidak dilahirkan. Merskipun suatu

21
ciptaan yang telah dihasilkan tidak diumumkan maka hak ciptannya

tetap akan melekat.

3. Tidak perlu diumumkan suatu ciptaan untuk mendapatkan hak

cipta. Suatu ciptaan yang diumumkan maupun tidak diumumkan

(published/published works) keduannya tetap akan memprtoleh hak

cipta.

4. Hak cipta dalam suatu ciptaan merupakan hak yang diakui oleh

hukum (legal right) yang kemudian penguasaan fisik suatu ciptaan

harus dibedakan.

5. Hak cipta bukan hak mutlak (absolute).

Hak moral merupakan hak yang menjadi suatu bagian dari pencipta

atas karya yang telah diciptakan dan tidak dapat dipindahkan,

diserahkan atau diperjual-belikan. Hak moral hanya dimiliki oleh

individu sang pencipta, hal tersebut berhubungan dengan karya hak

cipta yang mereka ciptakan (Sulistyo, 2011). Hak moral juga dapat

dikatakan integritas dari seorang pencipta, dimana hak ini bersifat

menunggal antara pencipta dan diri pencipta (Mailangky, 2017).

Pada UUHC 2014 Pasal 5 hak yang melekat secara abadi pada diri

Pencipta yaitu sebagai berikut

a. Tetap mencantumkan atau tidak mencantumkan namanya pada

salinan sehubungan dengan pemakaian Ciptaannya untuk umum;

b. Menggunakan nama aliasnya atau samarannya;

c. Mengubah Ciptaannya sesuai dengan kepatutan dalam masyarakat;

22
d. Mengubah judul dan anak judul Ciptaan; dan

e. Mempertahankan haknya dalam hal terjadi distorsi Ciptaan,

mutilasi

Ciptaan, modifikasi Ciptaan, atau hal yang bersifat merugikan

kehormatan diri atau reputasinya.

Kemudian, Hak moral sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak

dapat dialihkan selama Pencipta masih hidup, tetapi pelaksanaan hak

tersebut dapat dialihkan dengan wasiat atau sebab lain sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan setelah Pencipta meninggal

dunia.

Aspek Hak Moral lainnya adalah the right to object any distortion

mutilation, or other modification of the work. Hak moral ini sering

diistilahkan dengan right og integrity yang memiliki makna hak untuk

melarang orang lain mengubah, mendistrorsi atau memutilasi ciptaan

orang lain yang berakibat pada martaban pencipta (Hapsari, 2012).

Hak ekonomi adalah suatu hak yang dimiliki oleh seorang pencipta

untuk mendapatkan keuntungan atas ciptaannya dan memberian izin

kepada seseorang yang ingin menggunakannya sehingga mendapatkan

royalty dari orang yang menggunaka miliknya (Guswandi et al., 2021).

Adapun 3 macam hak pencipta untuk mengumumkan sebuah

ciptaan, yaitu (Praja & Riswadi, 2018):

23
a. Hak untuk mempublikasikan atau menerbitkan (right to publish),

biasanya berhubungan dengan ciptaan yang berupa karya tulis

(literary works).

b. Hak untuk menunjukan (right to perform), biasanya berhubungan

dengan ciptaan yang berupa karya music atau yang berisi visual

(musical and visual works).

c. Hak untuk mendistribusikan (right to distribute), pencipta memiliki

hak untuk mengedarkan, menjual, mengimport atau menyewakan

ciptaannya

Dalam UUHC 2014 Pasal 9 Hak ekonomi merupakan Pemegang

Hak Cipta untuk atas Ciptaan. Pencipta atau Pemegang Hak Cipta

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 memiliki hak ekonomi untuk

melakukan:

a. Penerbitan Ciptaan;

b. Penggandaan Ciptaan dalam segala bentuknya;

c. Penerjemahan Ciptaan;

d. Pengadaplasian, pengaransemenan, pentransformasian Ciptaan;

e. Pendistribusian Ciptaan atau salinannya;

f. Pertunjukan Ciptaan;

g. Pengumuman Ciptaan;

h. Komunikasi Ciptaan; dan

i. Penyewaan Ciptaan.

24
Apabila diuraikan, hak Moral dalam Konvensi Bern meliputi:

a. Hak untuk mendapatkan pengakuan sebagai pencipta dengan

menyebutkan atau menyantumkan nama Pencipta (The right to

claim authorship).

b. Hak Pencipta untuk menolak tindakan yang dapat mendistrosi,

memotong atau menghilangkan sebagian dari ciptaan atau

memodifikasi ciptaan (The right object any distribution,

mutilatiom, or other modification of the work).

c. Hak pencipta untuk menolak segala bentuk tindakan atau

perlakuan yang dapat mengganggu atau merendahkan reputasi

pencipta (the right to object other derogatory action relation

to the said work).

Kemudian dalam UUHC 2014 juga dijelaskan bahwa Setiap

Orang yang melaksanakan hak ekonomi wajib mendapatkan izin

Pencipta atau Pemegang Hak Cipta dan setiap orang yang tanpa

izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta dilarang melakukan

Penggandaan dan/atau Penggunaan Secara Komersial Ciptaan.

Untuk memahami konsepsi hak ekonomi dalam hak cipta,

dapat dikemukakan beberapa hak ekonomi yang ada dibeberapa

negara, diantarannya hak reproduksi atau penggadaan, hak

adaptasi, hak distribusi, hak pertunjukan, hak penyiaran, hk

25
program kabel, Droit de Suite, hak pinjam masyarakat (Djumhana,

2014).

Dengan demikian, hak ekonomi pencipta secara garis besar

mencakup (Praja & Riswadi, 2018):

a. Hak Perbanyakan (Reproduktion Right atau Mechanical Right)

b. Hak Adapsi (Adaptation Right)

c. Hak Distribusi (Distribution Right)

d. Hak Pertunjukan (Performing Right)

e. Hak Publikasi (Publication Right)

Dari uraian hak moral dan hak ekonomi yang terkandung

didalam hak cipta, keduanya memiliki pemaknaan yang berbeda

tetapi saling berkaitan satu sama lain. Pemisahan antara kedua hak

tersebut dikarenakan adanya pemahaman antara sifat hak cipta

yang merupakan hak atas suatu kekayaan atau kepemilikan

kebendaan yang tidak berwujud (Djaja, 2014).

b. Personality

Teori kepribadian digunakan untuk memberikan sebuah

perbenaran atas hak cipta. Pada teori ini timbul pernyataan bahwa

hak milik pribadi seorang pecipta sangat penting untuk kepuasaan

dirinya sendiri (Riswadi, 2016). Teori kepribadian atau legal

personality merupakan prinsip dari kekayaan intelektual yang

mengutamakan sudut pandang individu penemu, penulis, atau

26
seniman dari pada masyarakat secara keseluruhan saat

menganalisis hak atas kekayaan intelektual (Uslegal, 2020).

Di dalam teori personality, bahwa kepribadian memiliki aspek

yang lebih dominan. Karena terjadinya hubungan yang erat antara

si pencipta dan ciptaan. Terlihat dalam rezim hak cipta di negara

Jerman dan Prancis, hal ini terbentuk dari tulisan-tulisan Kant dan

Hegel. Pengaruh lainnya yang tampak terdapat pada perlindungan

"hak moral" dan hak-hak seniman yang diberikan oleh negara-

negara tersebut. Hegel juga membenarkan setidaknya pada karya

intelektual tersebut hak milik di mana kepribadian terlibat secara

kreatif (Davis & Boone, 2021; Fauzi et al., 2022; Fisher, 2016).

Kemudian, teori kepribadian memberikan pembenaran yang

lebih baik dan langsung untuk kekayaan intelektual, terutama pada

salinan ciptaan. Melakukan salinan merupakan cara yang paling

rasional untuk mendapatkan pengkuan dari ide-ide seseorang. Hal

ini merupakan bentuk gagasan pengakuan non-ekonomis, dan

mungkin lebih tinggi dari rasa hormat, kehormatan, dan

kekaguman. Bahkan bagi seniman untuk mendapatkan sebuah

penghargaan, pengakuan semacam ini mungkin jauh lebih berharga

dari pada penghargaan ekonomi (Hughes, 1988).

Teori kepribadian bertujuan untuk memberikan sebuah

pembenaran untuk hak moral yang kuat dalam bentuk hak cipta

serta untuk menangkis potensi pelanggara pada hak cipta. Jika teori

27
kepribadian bertujuan untuk memberikan pelindungan bagi

kepribadian penulis atau penemu, maka hal tersebut harus menjaga

kepentingan mereka terhadap segala jenis penyalahgunaan barang

intelektual seperti halnya ciptaan AI nantinya (Uszkai, 2017).

Adapun menurut Hughes, (1998)Teori kepribadian bertujuan

untuk melindungi kepentingan pribadi pencipta, terutama untuk

menutupi ciptaan pikiran manusia atas kekayaan intelektualnya.

Sejalan dengan hal tersebut, dapat kita pahami bahwa dukungan

atas kepribadian seseorang dimana hak moral menjadi hal yang

diutamakan dalam pribadi seorang pencipta.

Menurut Riswadi (2016) yang mendasari dalam persfektif teori

kepribadian (personality) adalah untuk mendorong seseorang

membutuhkan beberapa pengawasaan terhadap sumber daya di

lingkungan eksternal. Pembenaran terkuat dari teori ini adalah

untuk hak kekayaan menekankan sejauh mana hak kekayaan

sebagai suatu objek atau gagasan yang memiliki hubungan erat

dengan identitas pribadi seseorang, dimana hak kekayaan

intelektual dihargai dari seseorang.

Teori kepribadian berguna untuk memastikan bahwa adanya

seseorang yang akan diberikan suatu penghargaan bilamana segala

sesuatu dapat berjalan dengan baik atas ciptaannya. Begitupun

sebaliknya, bilamana terjadi suatu kesalahan maka seseorang yang

akan disalahkan. Dengan demikian, teori kepribadian hukum

28
mengantarkan seseorang untuk mendapatkan apa yang menjadi hak

dan kewajibannya (Chesterman, 2020). Selain itu, teori kepribadian

hukum menghubungkan hati nurani manusia. (Papakonstantinou &

De Hert, 2020).

29
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode yuridis

normatif, Penelitian hukum normatif pada dasarnya mengkaji sebuah

hukum yang dikonsepkan sebagai norma atau kaidah yang berlaku dalam

masyarakat dan menjadi acuan perilaku setiap orang (Muhaimin, 2020).

Menurut Soekanto & Mamudji (2015) mendefinisikan penelitihan hukum

normatif adalah suatu penelitihan hukum yang dilakukan dengan cara

meneliti bahan pustaka atau data sekunder.

Kemudian, penelitian normatif objek kajiannya adalah dokumen

peraturan perundang-undangan dan bahan pustaka. Berdasarkan uraian

diatas penelitian ini mengkaji dari segi aturan hukum yang berlaku pada

saat ini mengenai kedudukan hukum hasil karya cipta artificial

intelligence (AI).

B. Pendekatan Penelitian

Pendekatan penelitian adalah metode atau cara mengadakan Penelitian

(Arikunto, 2002). Dalam penelitian ini digunakan pendekatan perundang-

undangan dan pendekatan konsep. Pendekatan perundang-undangan

dilakuakan untuk meneliti aturan perundang-undangan yang mengatur

mengenai hak cipta secara umum diantaranya Undang-Undang Hak Cipta

2014, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Undang-Undang Informasi

30
dan Elektronik 2008. Sedangkan, pendekatan Konseptual yaitu

pendekatan yang berasal dari pandangan doktrin-doktrin yang berkembang

di dalam ilmu hukum (Ishaq, 2017). Pada penelitian ini menggunakan

doktrin pelindungan hak cipta personality theory.

C. Objek penelitian

Objek penelitian pada skripsi ini adalah kedudukan hukum dan akibat

hukum dari hasil ciptaan yang dihasilkan oleh AI.

D. Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data

primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari hasil wawancara

dengan bapak M. Resa Arif Yudianto, M.Kom selaku Dosen Teknik

Informatika pada mata kuliah kecerdasan buatan di Universitas

Muhammadiyah Magelang. Sedangkan data sekunder diperoleh dari:

a) Bahan hukum primer yang terdiri dari peraturan perundang-undangan

mencakup Undang-Undang Hak Cipta 2014, Undang-Undang

Informasi dan Elektronik 2008, Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata, dan peraturan hukum lainnya yang relevan.

b) Bahan hukum sekunder terdiri dari jurnal hukum, buku, media internet

dan dokumen lainnya yang relevan dengan topik penelitian ini.

c) Bahan hukum tersier terdiri dari kamus dan ensiklopedia.

31
E. Teknik Pengambilan Data

Teknik pengambilan data pada penelitian ini diperoleh dari data primer

dan data sekunder. Data primer berupa data yang didapat dari wawancara

bapak M. Resa Arif Yudianto, M.Kom selaku Dosen Teknik Informatika

pada mata kuliah kecerdasan buatan di Universitas Muhammadiyah

Magelang untuk mendapatkan informasi langsung terkait dengan AI

sebagai penghasil karya cipta. Adapun data sekunder diperoleh dari data

kepustakaan (library research) dengan mempelajari literatur dan aturan

hukum yang berlaku tentang perundang-undangan, buku, artikel dan

jurnal.

F. Teknik analisis data

Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif,

yaitu analisis dengan cara menguraikan data dengan kalimat yang teratur,

logis dan tidak tumpang tindih. Data tersebut bersumber dari bahan hukum

berdasarkan konsep, dan peraturan perundang – undangan. Data yang telah

dianalisis kemudian disajikan secara deskriptif.

32
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Kedudukan Hukum AI Sebagai Penghasil Kreasi dan Inovasi Dalam

Hukum Hak Cipta

Kedudukan hukum merupakan istilah yang sering digunakan dalam

hukum untuk menggambarkan status atau posisi hukum yang merupakan

suatu tindakan atau peristiwa dalam suatu sistem hukum yang berlaku.

Kedudukan hukum juga dapat memutuskan suatu tindakan yang dianggap

sah atau tidak dalam sistem hukum. Kedudukan hukum bergantung dari

beberapa faktor yang mempengaruhi. Seperti: faktor politik, faktor sosial

dan faktor ekonomi serta pandangan dari beberapa para ahli hukum. Serta

putusan peradilan dan peraturan perundang-undangan juga memiliki peran

yang sangat penting dalam menentukan kedudukan hukum pada suatu

tindakan atau peristiwa (Kusnadi, 2015).

Menurut Alatas, (2015), kedudukan hukum adalah sebuah tindakan

atau keputusan yang dilihat dari sudut pandang legitimasi yaitu

masyarakat mengakui kewenangan dan keputusan yang dianggap sah dan

diterima dalam sistem hukum yang berlaku. Dalam sistem hukum yang

berlaku kedudukan hukum memiliki keterkaitan dengan subjek hukum,

subjek hukum harus memiliki kedudukan yang jelas dan diakui oleh

hukum untuk memiliki dan melaksanakan hak serta kewajiban. Hak dan

kewajiban ini diakui oleh hukum untuk memberikan suatu kepastian

33
subjek hukum pada posisi hukum yang jelas dalam masyarakat (Chen,

2018).

Istilah subjek hukum berasal dari bahasa Belanda yaitu

rechtsubject atau subject of law secara umum diartikan sebagai pendukung

hak dan kewajiban yaitu manusia dan badan hukum (Tutik, 2008).

Sedangkan menurut Mertokusumo, (2002) subjek hukum merupakan

segala sesuatu yang dapat memperoleh hak dan kewajiban.

Untuk menjalankan perbuatan hukum, subjek hukum memiliki

sebuah wewenang. Wewenang subjek hukum terbagi menjadi dua yaitu

hak dan kewajiban dalam menjalankan perbuatan hukum dan berbagai

faktor yang mempengaruhinya. Sedangkan menurut Utrecht, (1996) subjek

hukum adalah suatu pendukung hak yaitu manusia dan badan hukum yang

berkuasa menjadi pendukung hak. Subjek hukum juga memiliki kegunaan

untuk mendukung suatu hak.

Maenusia merupakan salah satu pendukung hak dan kewajiban,

dengan begitu manusia merupakan subjek hukum yaitu manusia sebagai

objek, subjek dan relasi. Manusia sebagai objek yang berwujud lahiriah

dengan tubuh sehingga dapat mengisi ruang. Selain itu, manusia sebagai

objek juga dapat mewujudkan subjek yang berarti memiliki kehendak dan

kewajiban serta kebebasan dalam menciptakan atau mengambil keputusan.

Manusia sebagai subjek hukum tidak dapat berdiri sendiri tetapi selalu

terikat dengan realitas. Kebebasan manusia sebagai subjek hukum

34
memiliki tanggung jawab serta hubungan timbal balik dengan

lingkungannya. Dengan begitu manusia dapat dikatakan sebagai objek-

subjek dan relasi (M. Indah, 2011).

Menurut Paul Scholten dalam sudut pandang hukum pengertian

manusia adalah orang atau persoon yang mengandung 2 (dua) dalil yaitu;

1. Sewajarnya manusia dalam hukum diakui sebagai yang berhak atas

hak subjektif dan diakui sebagai pihak atau pelaku dalam hukum

objektif. Pada dalil ini perkataan manusia memiliki nilai etis.

2. Persoon dalam hukum positif merupakan subjek hukum yang

memiliki wewenang. Pada dalil ini menunjukan bahwa tempat

manusia dalam system hukum dan dengan demikian manusian

dinyatakan sebagau suatu kategori hukum (Ali, 1991).

Subyek hukum yang merupakan orang, sering juga disebut sebagai

subyek kodrati atau purusa kodrat karena pada kodratnya manusia adalah

subyek hukum, sehingga sangat berbeda dengan subyek hukum lainnya

yang mendapatkan kewenangan hukum dari hukum positif. Namun

pendapat ini tidaklah tepat, karena:

1. Kewenangan hukum bukanlah sifat bawaan manusia, melainkan

kualitas yang diberikan oleh hukum positif;

2. Kualitas itu hanya dapat diberikan kepada manusia (Widianto, 2019).

Dalam Pasal 6 Universal Declaration of Human Rights, dirumuskan

bahwa setiap orang berhak atas pengakuan di depan hukum sebagai

35
pribadi dimana saja dia berada. Perumusan universal ini pada hakekatnya

merupakan batasan tentang subyek hukum, yaitu pribadi manusia ada dan

diakui di depan hukum yang merupakan suatu asas hukum

(rechtsbeginsel) (Nations, 1972).

Selain manusia sebagai subjek hukum, hukum juga mengakui

eksistensi badan hukum yang memiliki kedudukann sebagai pendukung

hak dan kewajiban. Badan-badan atau perkumpulan tersebut dinamakan

badan hukum (rechtpersoon) yang berarti orang (persoon) yang

diciptakan oleh hukum (Kansil, 1989). Menurut Salim, (2005) teori

konsensi memiliki pengaruh yang sangat besar dalam hukum positif.

Teori konsesnsi mengajarkan bahwa badan hukum dalam negara tidak

dapat memiliki kepribadian hukum yaitu hak dan kewajiban serta harta

kekayaan yang kemudian kecuali di perkenankan oleh hukum dalam hal

ini negara sendiri.

Ketentuan umum mengenai badan hukum ialah ada pada Bab

Kesembilan Buku Ketiga KUHPerdata yaitu Pasal 1653 tentang Zedelijk

lichmen atau badan hukum. Pada pasal 1653 menyebutkan: ”selainnya

perseorangan yang sejatinya oleh undang-undang diakui pula

perhimpunan-perhimpunan orang sebagai perkumpulan-perkumpulan,

baik perkumpulan-perkumpulan itu yang diadakan atau diakui sebagai

demikian oleh kekuasaan umum maupun perkumpulan-perkumpulan itu

diterima sebagai diperolehkan atau telah didirikan untuk suatu maksud

tertentu yang tidak bertentangan dengan undang-undang dan kesusilaan.”

36
Sedangkan menurut teori fiksi, badan hukum merupakan hasil

rekaan manusia yang berupa konstruksi hukum yang pada sebelumnya

belum ada, hal tersebut sengaja diciptakan dengan menganalogikan

manusia. singkatnya badan hukum dianggap sama dengan manusia oleh

hukum, menjadi subjek hukum untuk pengakuan hak dan kewajiban.

Menurut teori organ, badan hukum bukan merupakan rekaan atau

kontruksi hukum abstrak atas dasar pemikiran manusia, tetapi badan

hukum benar-benar ada pada kehidupan sehari-hari, seperti halnya dengan

manusia. bila pada manusia, ia bertindak untuk dirinya sendiri maka bila

badan hukum ia bertindak atas nama organnya (Bintang, 2016).

Badan hukum menurut Van Apeldoorn, (2005) yaitu sebagai

berikut:

1. Tiap-tiap persekutuan manusia, yang bertindak dalam pergaulan

hukum yang seolah-olah hal tersebut merupakan suatu badan hukum

yang tunggal.

2. Tiap-tiap harta dengan tujuan yang tertentu, tetapi dengan tiada yang

empunya, dalam pergaulan hukum diperlukan yang seolah olah ia

suatu badan hukum.

Selanjutnya badan hukum adalah orang yang diciptakan oleh

hukum dan mampu melakukan perbuatan-perbuatan hukum yang

memiliki kekayaan sendiri. Sedangkan menurut pendapat Molengraaff

merupakan hak dan kewajiban dari para anggotanya secara bersama-sama,

37
yang kemudian di dalamnya terdapat harta bersama-sama yang dapat

dibagi-bagi. Suatu pemilik tidak hanya menjadi bagian yang terbagi tetapi

juga sebagai pemilik bersama untuk keseluruhan harta kekayaan yang

terorganisasikan dalam badan hukum (Asshiddiqie, 2006).

Menurut Soekanto & Purbacaraka, (1993) menjelaskan bahwa

subjek hukum merupakan pihak yang berhubungan dengan sistem hukum

yang berlaku. Adapun sifat-sifat hukum meliputi hal-hal yang berkaitan

antara lain:

1. Mandiri karena mempunyai kemampuan penuh untuk bersikap tindak

2. Terlindung karena (dianggap) tidak mampu bersikap tindak

3. Perantara yang walaupun berkemampuan penuh sikap tindakanya

dibatasi, sebagai kepentingan pihak yang ditengahi (diantarai).

Berdasarkan pandangan tentang badan hukum di atas, dapat

dikatakan bahwa tidak ada keraguan sedikit pun tentang kepribadian badan

hukum, karena badan hukum merupakan lembaga yang berdiri sendiri,

mempunyai hak dan kewajiban serta dapat bertindak terhadap badan

hukum. Tidak tergantung pada kehendak pendiri atau lembaga, tetapi

ditentukan oleh undang-undang. Saat ini Subjek hukum hanya terbatas

pada manusia dan badan hukum yang berkuasa dan berwewenang menjadi

suatu hak. Subjek hukum juga merupakan segala sesuatu yang secara

hukum memiliki hak dan kewajiban (Syamsudin, 2019)

38
Apabila dikaitkan dengan penjabaran yang telah dijelaskan di latar

belakang dapat disimpulkan bahwa AI diciptakan sedemikian rupa dengan

tujuan untuk sama seperti manusia bahkan dapat melebihi dari manusia

dalam membantu atau sebagai pengganti manusia untuk melakukan suatu

perbuatan hingga menghasilkan karya cipta. Dengan begitu, Jika merujuk

pada pengertian pencipta dalam Pasal 1 angka 2 UUHC 2014 yaitu

pencipta adalah seorang atau beberapa orang yang secara sendiri-sendiri

atau bersama-sama menghasilkan suatu ciptaan yang bersifat khas dan

prbadi. Maka, AI tidak dapat diakui sebagai pencipta karena bukan

merupakan orang atau bukan juga merupakan hasil karya cipta dari

beberapa orang.

Begitu juga dengan unsur subjek hukum yang dijelaskan oleh

pakar hukum serta kitab undang-undang hukum perdata diatas pada bagian

pertama dijelaskan bahwa dapat dikatakan sebagai subjek hukum jika

mandiri dan mempunyai kemampuan penuh untuk bersikap. Maka, AI

tidak dapat dikatakan sebagai subjek hukum karena tidak memenuhi unsur

mandiri.

Hal tersebut diperkuat dengan wawancara bersama bapak M. Resa

Arif yudianto, M.Kom yang merupakan salah satu dosen Teknik

informatika di Universitas Muhammadiyah Magelang khususnya

kecerdasan buatan menjelaskan bahwa AI pada saat ini umumnya masih

bergantung pada pelatihan dan pengawasan manusia dalam memproses

pengembangan dan pengujian. Meskipun ada kemajuan dalam

39
pengembangan AI yang dapat melakukan tugas-tugas tertentu dalam

tingkat otonomi yang lebih tinggi, akan tetapi pengawasan serta

pengaturan manusia masih dianggap penting dan diperlukan dalam

memastikan keadaan, etika dan keamanan.

Penjelasan diatas dapat dimengerti bahwa AI memang tidak dapat

dipersamakan persis dengan manusia yang memiliki hak dan kewajiban

yang tindakannya harus diatur oleh norma hukum. AI juga tidak dapat

memiliki sifat yang humanis layaknya seperti manusia hal tersebut

berdasarkan lanjutan wawancara dengan bapak M.Resa Arif yudianto

M.Kom yang dijelaskan bahwa AI adalah produk pemrograman dan

algoritma yang dirancang untuk melakukan tugas tertentu, meskipun AI

dapat menunjukan kecerdasan dan kemampuan yang luar biasa dalam

tugas-tugas yang telah ditentukan, AI tidak memiliki kesadaran, emosi,

atau pemahaman seperti halnya manusia.

Begitupun dengan badan hukum, AI tidak dapat disamakan dengan

badan hukum karena AI hanya sebuah alat atau teknologi yang diciptakan

oleh manusia melalui mesin komputer. Bila mana AI disamakan dengan

badan hukum maka AI harus memenuhi unsur yang salah satunya harus

memenuhi hak dan kewajiban secara bersama-sama dan membagi seluruh

hak materil secara rata. Sesuai penjelasan diatas badan hukum meliputi

perkumpulan orang-orang yang kemudian badan hukum dianggap sama

dengan manusia oleh hukum, menjadi subjek hukum untuk pengakuan hak

dan kewajiban.

40
Melihat teknologi AI yang dapat melakukan tindakan dan

perbuatan layaknya manusia, tentunya hal tersebut yang melandasi suatu

pengaturan hukum di sebuah negara untuk memiliki pengaturan secara

khusus terkait dengan AI (Kiki Amaruly Utami, 2022). Dalam hal ini AI

memiliki hubungan yang sangat erat dengan hak cipta, dimana nantinya

dapat menimbulkan persoalan yang baru terkait dengan perlindungan hak

cipta. Timbulnya karya cipta yang dihasilkan oleh AI tidak hanya

mendisrupsi konsep hak cipta, tetapi juga mengarah pada munculnya

pertanyaan terkait relevansi terhadap UUHC yang bagaimanapun dinilai

dalam posisi tertinggal dalam merespon perkembangan AI ini terlebih lagi

hal tersebut mengindikasikan munculnya potensi ancaman baru bagi para

pelaku ekonomi kreatif dari sisi orisinalitas dan hak cipta atas kemajuan

teknologi tersebut, di mana aturan hukum yang mengatur mengenai

pelindungan hak cipta yang dibuat oleh AI masih nihil (Levendowski,

2018).

Hukum positif Indonesia sendiri pada dasarnya tidak menyebutkan

secara jelas apakah suatu program komputer dapat diterima sebagai

pencipta suatu karya yang berhak mendapatkan perlindungan hak cipta

atas karyanya. UUHC Indonesia saat ini belum mengakui revolusi kerja

komputer, seperti AI. Di Indonesia, UUHC tidak secara tegas membahas

tentang penciptanya karya oleh AI. Namun, pada dasarnya hak cipta

diberikan kepada pencipta karya yang menghasilkan suatu karya yang

orisinal dan memiliki kreatif (Kusumawardani, 2019).

41
Berdasarkan seminar dengan pemateri Laurensia Andrini dengan

judul Distrupsi terhadap system kekayaan intelektual. Disampaikan bahwa

dalam proses menciptakan suatu karya cipta yang dihasilkan oleh AI perlu

menggunakan software terlebih dahulu dimana pada saat menciptakan

sebuah karya masih ada campur tangan manusia, sehingga AI dapat

menghasilkan sebuah karya cipta. Karya cipta yang dihasilkan oleh AI

perlu melewati proses create, train, operate.

Create merupakan tahapan awal dalam sebuah proses pembuatan

AI. Programmers atau developer program AI pada tahapan ini merancang

bentuk model AI yang akan digunakan dan memilih bahasa pemograman

apa yang efektif untuk kemudian digunakan dalam membangun sistem AI

(Norvig & Russell, 2020). Selanjutnya masuk pada tahapan train

(pelatihan), train merupakan tahapan dimana developer melatih AI dalam

mengembangkan data yang telah dimasukan. Data-data tersebut berisi

mengenai informasi yang nantinya akan dikelolah oleh AI serta

mengajarkan pada AI untuk memecahkan masalah tertentu. Tujuan pada

system train ini yaitu untuk meningkatkan kemampuan pada AI dalam

menerima pola atau data yang diberikan (Peter Norvig & Stuart Russell,

2020). Setelah melalui tahap train atau pelatihan, sistem AI siap untuk

dioperasikan oleh operator. Pada tahap ini, sistem AI akan diuji coba

dengan data yang dimasukan dan belum pernah dilihat sebelumnya.

Tujuan dari tahap ini adalah untuk memastikan bahwa sistem AI dapat

42
menghasilkan hasil yang akurat dan konsisten dalam memecahkan

masalah yang diberikan (Heaton, 2013).

Salah satu aspek penting dalam penggembangan AI adalah sebuah

create (pembuatan) dan train (pelatihan data). Oleh karena itu, penulis

mengunakan teori personality untuk dapat mengetahui lebih jelas

kedudukan hukum AI sebagai penghasil kreasi dan inovasi dalam hukum

hak cipta.

Chesterman, (2020) menekankan bahwa pencipta dalam teori

personality memiliki hak dan kewajiban untuk mengendalikan

penggunaan dan pemanfaatan karya tersebut karena sebuah karya

merupakan ekspresi dari kepribadian dan kreatifitas penciptanya. Dalam

teori personality hak tersebut berupa hak moral yang mana hak untuk

diakui sebagai pencipta karya, hak untuk menjaga itergritas karya dan

untuk menentukan cara dan tempat penggunaan karya (OK Saidin, 2007).

Hak moral merupakan salah satu bagian dari pencipta atas karya

yang telah diciptakan dan hanya dapat dimiliki oleh individu sang

pencipta. Hak moral menyangkut segala bentuk sikap dan perlakuan

dengan intergritas atau martabat pencipta yang disebut juga dengan right

of integrity, hak tersebut dapat diekspresikan dalam bentuk larangan untuk

mengubah, mengurangi, atau merusak ciptaan yang dapat menghancurkan

intergritas pencipta. Suatu ciptaan haruslah utuh sesuai dengan ciptaan

aslinya (Soelistyo, 2011).

43
Teori personality dalam hak cipta memberikan sebuah

perlindungan terhadap karya-karya seni yang tidak dapat atau sulit untuk

diukur secara ekonomi. Dalam hal ini karya cipta yang dihasilkan oleh AI

termasuk sebagai karya yang sulit untuk diukur secara ekonomi. Pada

dasarnya hak cipta melindungi ilmu pengetahuan, sastra dan seni yang

dihasilkan d ari imajinasi serta kemampuan kreatifitasnya (Rahman et al.,

2014).

Pada teori ini menyatakan bahwa hak milik perseorangan atau

pribadi lebih penting untuk kepuasan pribadi. Dimana seseorang memiliki

hak secara penuh terhadap ciptaannya, hal tersebut terjadi kerena si

pencipta dan ciptaanya memiliki hubungan yang sangat erat (Uslegal,

2020,Fisher, 2016). Dalam proses pembuatan AI create dan train berperan

penuh terhadap ciptaannya. Bilamana AI melakukan sebuah kesalahan

yang berakibat hukum maka yang bertanggungjawab secara penuh adalah

pencipta yang juga disebut sebagai seorang create dan train.

Dengan begitu teori personality memberikan pelindungan yang

lebih komprehesif terhadap hak-hak pencipta karya dan memberikan

pandangan yang lebih luas terhadap hak cipta sebagai pengakuan atas

karya yang diciptakan oleh individu pencipta. Dan berdasarkan

kesimpulan yang dapat diambil dari penjelasan create, train dan operate,

serta wawancara yang telah dilakukan bahwa AI hanyalah cabang ilmu

komputer yang sistem serta menjalankan tugas melalui perintah manusia,

hal ini dicapai melalui penggunaan sebuah algoritma pemograman

44
komputer dan melibatkan pelatihan komputer untuk pengenalan dan

memprediksi serta mengambil suatu keputusan. Hal tersebut yang

medasari bahwa AI tidak dapat dikatakan sebagai subjek hukum

melainkan hanya sebagai pemograman komputer.

B. Akibat Hukum Pada Ciptaan Yang Dibuat oleh AI

Akibat suatu tindakan yang dilakukan untuk memperoleh suatu

akibat yang dikehendaki oleh pelaku dan yang diatur oleh hukum disebut

dengan akibat hukum. Tindakan yang dilakukannya merupakan tindakan

yang berguna untuk memperoleh suatu tindakan yang dikehendaki hukum

(Soeroso, 2015). Jika dijelaskan lebih singkat akibat hukum adalah segala

perbuatan hukum yang dilakukan oleh subjek hukum terhadap objek

hukum atau suatu akibat lain yang disebabkan atas terjadinya suatu

kejadian tertentu oleh hukum yang bersangkutan yang telah ditentukan

atau dianggap sebagai akibat hukum (Syarifin, 1999).

Menurut UU No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

konsekuensi atau akibat hukum dari suatu pelanggaran atau tindakan yang

bertentangan dengan hukum adalah sanksi pidana pelanggar hukum bisa

dikenakan sanksi pidana seperti halnya penjara, denda atau pembebasan

besyarat. Hal tersebut tergantung dengan jenis pelanggaran yang dilakukan

oleh peraturan hukum yang berlaku.

Konsekuensi hukum atau akibat hukum dalam hukum perdata

dapat diartikan sebagai dampak atau hasil dari pelanggaran suatu norma

45
hukum. Norma hukum merupakan suatu penilaian yang membahas

perbuatan hukum tertentu yang terlarang (Raharjo, 2000). Sedangkan

dalam hak cipta konsekuensi hukum yang diterima berupa sanksi ganti

rugi yang terdapat pada pasal 113 UUHC 2014 yang menyatakan bahwa

setiap orang yang melanggar hak cipta dapat dikenakan sanksi berupa

pembayaran kerugian materill berupa uang pengganti atas kerugian yang

diterima oleh pencipta.

Namun demikian, menurut sumber hukum yang berlaku di

Indonesia yang berkaitan dengan pengaturan teknologi yaitu Undang-

undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-undang

Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang

kemudian selanjutnya disebut “UU ITE”. Dalam pengaturan tersebut lahir

sebagai bentuk negara menanggapi perkembangan teknologi yang begitu

pesatnya di Indonesia (Novita & Santoso, 2021). Adanya UU ITE sendiri

diharapkan dapat menyelesaikan segala permasalahan teknologi dan sistem

informasi di Indonesia untuk mewujudkan kepastian hukum serta

memberikan kemanfaatan dalam penyelesaian permasalahan teknologi.

Namun, pada kenyataannya dalam UU ITE tidak secara jelas

mendefinisikan AI dalam pengaturannya yang mana hal tersebut kemudian

menimbulkan ketidak pastian hukum (Haris & Tantimin, 2022).

Berdasarkan Pasal 1 Angka 5 UU ITE, yang dimaksud dengan

Sistem Elektronik adalah serangkaian perangkat dan prosedur elektronik

yang berfungsi mempersiapkan, mengumpulkan, mengolah, menganalisis,

46
menyimpan, menampilkan, mengumumkan, mengirimkan, dan/atau

menyebarkan Informasi Elektronik. Kemudian Pasal 1 Angka 8

mendefinisikan Agen Elektronik sebagai perangkat dari suatu Sistem

Elektronik yang dibuat untuk melakukan suatu tindakan terhadap suatu

Informasi. Elektronik tertentu secara otomatis yang diselenggarakan oleh

Orang.

Berdasarkan Pasal-Pasal tersebut yang mendefinisikan Sistem

Elektronik dan Agen Elektronik memang memiliki karakteristik yang

sesuai dengan AI, yakni serangkaian perangkat elektronik yang

mengumpulkan, mengolah, menganalisis, menyimpan suatu data untuk

melakukan suatu tindakan terhadap suatu informasi elektronik secara

otomatis. Akan tetapi, dalam pengaturan AI menurut UU ITE hanya

memberlakukan AI sebagai objek hukum dan bukan sebagai subjek hukum

(Zahrasafha & Prinscha, 2022). Berdasarkan Pasal 1 UU ITE yang disebut

sebagai subyek hukum meliputi: Pengirim, Penerima, Orang, Badan

Usaha, dan Pemerintah.

Sedangkan dalam UUHC pada dasarnya tidak menyebutkan

secara jelas apakah suatu program komputer dapat diterima sebagai

pencipta suatu karya yang berhak mendapatkan perlindungan hak

cipta atas karyanya (Novita & Santoso, 2021). Pada pasal 4 ayat (1)

UUHC menyebutkan bahwa hak cipta atau suatu ciptaan yang dihasilkan

oleh pencipta dilindungi secara otomatis tanpa ada syarat apapun.

Sedangkan pada pasal 7 ayat (1) bahwa pencipta adalah perorangan atau

47
beberapa orang yang secara bersama-sama menghasilkan suatu ciptaan.

Dengan begitu hingga saat ini hak cipta hanya mengakui orang

perseorangan atau beberapa orang secara Bersama-sama dalam

menghasilkan ciptaan, bukan bagi AI atau mesin komputer. Meskipun

dalam prakteknya AI dapat bertindak dan berpikir selayaknya manusia

dengan mengerjakan tugas-tugas dengan tujuan yang jelas

Menurut pembahasan diatas, bahwa hukum hak cipta hanya

mengakui dan memberikan hak cipta kepada pencipta yang merupakan

individu atau kelompok manusia yang melakukan ekspresi kreatif dalam

hak cipta. Hasil karya cipta yang dihasilkan oleh AI tanpa melibatkan

manusia sangat sulit untuk diberikan hak cipta. Hal tersebut sesuai

penjelasan pada rumusan masalah pertama bahwa AI tidak bisa dianggap

sebagai subjek yang memiliki hak cipta. AI sebagai entitas bukan manusia

tidak dapat dianggapb sebagai subjek yang dapat mendapatkan hak

eksklusif.

AI diciptakan oleh keterampilan manusia dalam mengolah data

untuk menjadi pintar dan cerdas agar bisa mengerjakan tugas-tugas

layaknya manusia seiring dengan meniru fungsi dari otak manusia dalam

halnya penalaran, pemikiran, pengetahuan, pengertian, Bahasa,

pengambilan keputusan serta penyelesaian masalah (Siahaan et al., 2020).

Dengan input big data yang dimasukkan oleh manusia, AI dapat

mengetahui pengetahuan dengan simulasi berbagai proses penalaran yang

nantinya akan dihasilkan oleh AI. Melalui berbagai upaya yang dilakukan

48
oleh manusia, AI mampu menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang

ada dengan cara menerima permasalahan dan pengetahuan yang kemudian

diteliti layaknya manusia (Yulianti, 2016).

Meskipun AI berkerja layaknya manusia yang mampu

menyelesaikan segala masalah dan menghasilkan sebuah ciptaan, namun

masih banyak memiliki kelemahan. Adapun kelemahan yang dimiliki oleh

AI yaitu masih bergantung pada pelatihan data yang ada pada AI. Training

(pelatihan) merupakan salah satu tahap penting dalam penggembangan AI.

Pencipta AI harus melakukan pelatihan data untuk mengajarkan AI dalam

memahami data dan AI mampu memberikan respon terhadap situasi yang

telah diberikan oleh pencipta AI. Dataset yang telah diberikan oleh

pencipta AI akan diolah dan digunakan sebagai refrensi dan membuat

keputusan serta akan menghasilkan AI yang mampu memiliki akurasi dan

sebuah keandalan yang tinggi. Dengan begitu AI masih memerlukan

bantuan manusia (pencipta AI) dalam melakukan pelatihan data dan

pengolahan data (Fitriani et al., 2020).

Menurut Bostrom & Yudkowsky (2018), menjelaskan bahwa AI

tidak dapat memiliki atau merasakan emosi dan nurani. DNengan

algoritma yang telah dibuat oleh pencipta AI, AI mampu memberikan

keputusan secara cepat dan akurat. Namun sangat disayangkan data yang

diberikan oleh AI tidak melibatkan faktor-faktor etika dan norma yang

dapat mempengaruhi hasil karya yang diciptakan. Untuk itu perlu adanya

49
pengawasan dan pengendalian dari pencipta AI untuk memastikan bahwa

AI tidak melakukan hal-hal yang merugikan dan diluar kendali.

AI tidaklah memiliki kreatifitas dan inovasi layaknya manusia,

meskipun AI mampu menciptakan karya yang menyerupai dengan karya

manusia. Namun, pada dasarnya AI tetap tidak mampu memiliki

kreativitas dan inovasi yang sama seperti yang dimiliki oleh manusia. Hal

tersebut dikarenakan AI hanya menghasilkan karya dengan berdasarkan

data, aturan dan algoritma yang dimasukan oleh manusia. AI tidak dapat

menghasilkan suatu karya yang benar-benar unik yang berasal dari idenya

sendiri melaikan harus melalui inovasi dan kreativitas yang bersumber dari

fikiran manusia (Esling & Devis, 2020). Dengan perkembangan teknologi

pada rancangan kreativitas tetap akan berpusat pada manusia, jikapun

nantinya AI dimasa yang akan datang dapat menggantikan, merancang dan

menambahkan kreatifitas manusia tentunya harus tatap memperhatikan

etika yang ada (Anantrasirichai & Bull, 2022).

Kelemahan AI ini sejalan dengan kriteria copyright ability, dimana

suatu ciptaan harus memenuh kriteria tersebut untuk mendapatkan atau

untuk diakui dalam hak cipta. Copyright ability dalam hak cipta meliputi

(Praja & Riswadi, 2018):

1. Originalitas

Originalitas berasal dari kata originality yang kata asalnya adalah

origin. Origin menurut Oxford Dictionary adalah the point or place

50
where somothing begins, arises or is derived dimana jika kemudian

diterjemahkan dalam bahasa Indonesia titik atau tempat sesuatu

dimulai, muncul atau berasal sehingga originalitas menitik beratkan

pada asal mulai sesuatu (Aditya & Sardjono, 2014). Sebagai salah

satu prinsip dari syarat dimana suatu karya mendapatkan hak cipta,

maka dapat dikatakan bahwa suatu ciptaan harus memiliki keaslian

atau orisinil. Dengan begitu nantinya suatu ciptaan dapat menikmati

hak-hak yang diberikan undang-undang, karena suatu keaslian sangat

erat hubungannya dengan bentuk perwujudan suatu ciptaan (Damian,

2005).

Dalam US Copyright Law menyatakan bahwa Originality does not

mean novelty, uniqueness on artistic merit, rather, a wor is ‘original’

if it is independently created (Mann & Denoncourt, 2009). Menurut

Damar Sasongko Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI)

originalitas berasal dari seseorang sebagai pencipta dimana ciptaan

tersebut dapat merefleksikan kepribadian penciptanya dengan dibuat

sendiri dan bersifat khas. (Ver, 2023)

Suatu karya tidak dapat ditiru atau di produksi ulang dari karya

lainnya. Pencipta telah menggunakan tingkat pengetahuan, keahlian,

kreatifitas dan suatu penilaian yang cukup tinggi dalam proses

menciptakan suatu karya. Dengan begitu sudah dapat cukup

memenuhi sifat keaslian guna untuk mendapatkan perlindungan hak

51
cipta (Lindsay, 2003). Dapat disimpulkan bahwa suatu karya yang

original adalah tidak meniru sebuah karya orang lain.

2. Kreatifitas

Dengan menggunakan ide, gagasan serta pikiran yang dimiliki

maka manusia mampu menciptakan sebuah karya. Ciptaan yang

berasal dari hasil pemikiran dan kreatifitas inilah yang akan menjadi

milik pencipta. (Merges, 2011). Kreatifitas merupakan salah satu

syarat bahwa suatu ciptaan benar-benar berasal dari ide pencipta dan

memiliki peran penting dalam suatu karya cipta. Dalam hak cipta

kreatifitas yang memiliki keunikan dan keaslian menjdai kator

penting agar dapat dilindungi oleh hak cipta (Praja & Riswadi, 2018;

Santya, 2017).

3. Fiksasi

Konsep bahwa hak cipta hanya berkenaan dengan bentuk

perwujudan atau fiksasi dari suatu ciptaan menjadi salah satu prinsip

dasar hak cipta dan merupakan prinsip yang paling fundamental dari

perlindungan hak cipta. Prinsip fundamental ini digunakan hampir di

setiap negara yang mengacu pada Konvensi Bern tahun 1886 tanpa

memandang sistem hukum yang digunakan menganut civil law

ataupun common law. Negara yang menganut sistem common law,

seperti Amerika Serikat misalnya, dalam hak cipta originalitas dan

52
fiksasi ditentukan sebagai syarat untuk memperoleh hak cipta

(copyright) (Suherman, 2005).

Menurut Sarjono, (2008) inti dari fiksasi adalah melindungi ide hak

cipta yang harus diwujudkan terlebih dahulu dalam suatu bentuk

kesatuan yang nyata. Fiksasi dijelaskan pasal 1 angka 5 UUHC 2014

yang berarti tindakan merekam atau menuliskan suatu karya atau

hasil karya ke dalam media yang dapat dibaca atau dilihat langsung

atau dengan bantuan alat.

Fiksasi menjadi salah satu tahapan yang penting dalam hak cipta

karena karya yang belom difiksasi tidak dapat dilindungi oleh hak

cipta. Dalam hal ini, fiksasi menjadi bukti yang menyakinkan bahwa

karya tersebut merupakan hasil karya yang orisinal dan memiliki nilai

kreatif yang kemudian menjadi bukti bahwa pencipta memiliki hak

eksklusif atas karya tersebut (Hartati et al., 2020).

Dengan demikian, fiksasi merupakan tahap penting dalam hak

cipta yang memungkinkan karya dapat dilindungi oleh hak cipta.

Fiksasi menjadi bukti bahwa karya tersebut orisinal dan memiliki

nilai kreatif serta menjadi bukti bahwa pencipta memiliki hak

eksklusif atas karya tersebut.

Dari pemaparan terkait dengan copyright ability yang mencangkup

mengenai originalitas, kreatifitas dan fiksasi dan dalam konteks AI yang

telah dijelaskan pada rumusan masalah pertama menyebutkan bahwa AI

hanyalah sebuah alat hasil dari pemograman komputer yang dirancang

53
untuk melakukan tugas layaknya manusia, AI pun tidak memiliki

kesadaran, emosi dan pemahamaman seperti halnya manusia.

Pada konsep originalitas, AI tidak dapat memenuhi unsur

originalitas dikarenakan hasil karya AI merupakan sebuah hasil karya yang

dihasilkan melalui pemograman data dan algoritma yang sebelumnya

sudah diatur. Argument penulis berpendapat bahwa originalitas sejatinya

hanya dapat berasal dari kreatifitas manusia yang memiliki keaslian

sehingga nantinya mendapatkan hak yang diberikan oleh undang-undang.

Sama halnya dengan unsur kreatifitas pada hak cipta, AI sebagai

entitas non-manusia yang dihasilkan dari pemograman komputer dan

algoritma tidak dapat memenuhi unsur kreatifitas. Pada unsur kreatifitas

yang telah disebutkan di atas menjelaskan bahwa suatu ciptaan benar-

benar berasal dari ide pencipta yang kemudian unsur kreatifitas sejatinya

berasal dari manusia.

Mengacu pada unsur copyright ability, karya cipta yang dihasilkan

oleh AI tidak dapat memenuhi unsur originalitas dan kreatifitas. Maka dari

itu, AI tidak memiliki hak eksklusif atas karya yang dihasilkannya

tersebut. Penciptalah yang berhak mendapatkan hak eksklusif dikarenakan

pencipta yang memasukan big data dan membuat algoritma yang nantinya

akan di analisis oleh AI.

Tidak hanya itu, membuat sebuah karya seni menggunakan AI

dapat melibatkan hal yang sangat penting bagi hukum hak cipta. Karena

54
pada dasarnya program yang dihasilkan oleh komputer hanyalah alat yang

mendukung proses kreatifitas saja seperti halnya pena dan kertas

(Guadamuz, 2017).

Bantuan program komputer AI hanya sebuah alat kreatifitas yang

digunakan untuk membuat sebuah karya. Hak cipta pada karya yang

proses pembuatannya dihasilkan oleh AI dengan sebagian besar

keorisinilannya tetap akan melibat manusia (pencipta AI). Sebagian besar

yurisdiksi, termasuk negara Spanyol dan Jepang menyatakan bahwa hanya

karya yang dibuat manusia yang dapat dilindungi ciptaannya (Andres

Guadamuz, 2017).

Pencipta AI atau pengguna AI memiliki tanggungjawab yang besar

dalam hukum terhadap ciptaan yang dihasilkan oleh AI. Hak tersebut

terjadi jika berkaitan dengan pelanggara hak kekayaan intelektual yang

kemungkinan nantinya akan dilakukan oleh AI (Putranti & Anggraeny,

2022). Menurut penjelasan Neri et al., (2020) Pertanggung jawaban AI

tetap berada ditangan pencipta AI, hal tersebut untuk memungkinkan

pencipta AI dapat dengan mudah mengontol penggunaan algoritma dalam

menghasilkan sebuah ciptaan.

55
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

AI telah berkembang pesat dan menghasilkan banyak karya, termasuk

gambar dan karya lainnya. Suatu ciptaan dapat dinilai sebagai ciptaan yang

dilindungi oleh hak cipta jika ciptaan tersebut memenuhi kriteria Standard of

Copyright Ability yaitu ciptaan harus original dengan tidak meniru karya

orang lain, kreatifitas yang berasal dari ide pencipta serta fiksasi yang berarti

suatu karya harus diwujudkan dalam bentuk nyata.

Berdasarkan penjelaskan tentang AI sebagai cabang ilmu komputer, AI

hanya merupakan sebuah program komputer yang menjalankan tugas-tugas

melalui perintah manusia. hal ini dapat tercapai melalui penggunaan algoritma

program komputer dan pelatihan yang dapat mengenali, prediksi dan

pengambilan keputusan. Oleh karena itu, AI tidak dapat dianggap sebagai

subjek hukum, tetapi hanya sebagai pemrograman komputer.

Pencipta AI atau pengguna AI memiliki tanggung jawab yang besar

dalam hukum terhadap ciptaan yang dihasilkan oleh AI. Hal tersebut berkaitan

dengan pelanggaran hak kekayaan intelektual yang kemungkinan akan

dilakukan oleh AI. Hak-hak tersebut dapat muncul dalam konteks pelanggaran

hak kekayaan intelektual yang dilakukan oleh AI. Hal tersebut memungkinkan

pencipta AI dengan mudah mengontrol penggunaan algoritma dalam

menghasilkan ciptaan

56
B. Saran

Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis, penulis menemukan

bahwa belum adanya kepastian hukum suatu karya cipta yang dihasilkan oleh

AI. Pemerintah perlu meninjau kembali terkait aturan mengenai kepemilikan

hak cipta atas karya yang dihasilkan oleh AI. Perlu dibuat regulasi yang jelas

dan spesifik mengenai karya cipta yang dihasilkan oleh AI. Regulasi tersebut

harus mencakup aspek-aspek seperti pengertian hak cipta secara luas,

kepemilikan, tanggung jawab. Regulasi yang jelas dan spesifik akan

memberikan kepastian hukum bagi semua pihak. Pemerintah juga perlu

mempertimbangkan siapa yang akan memiliki hak cipta terhadap karya cipta

yang dihasilkan oleh AI.

Untuk mengatasi ketidakjelasan akibat hukum dari hasil karya cipta

yang dihasilkan oleh AI yaitu pemerintah dapat membentuk badan pemerintah

yang khusus mengatur dan menyelesaikan masalah-masalah hukum terkait

karya cipta yang dihasilkan oleh AI. Pemerintah dapat mengeluarkan

kebijakan atau peraturan yang jelas mengenai kepemilikan hak cipta untuk

karya cipta yang dihasilkan oleh AI. Kebijakan tersebut dapat mengatur

tentang siapa yang berhak memiliki hak cipta atas karya cipta tersebut, apakah

pencipta manusia atau pemilik mesin AI yang menghasilkan karya cipta

tersebut.

57
Daftar Pustaka

Abdullah, A. (2020). Public Relations in The Era of Artificial Intelligence:

Peluang atau Ancaman? Jurnal Aristo (Sosial, Politic, Humaniora), 8(2),

406. https://doi.org/10.24269/ars.v8i2.2629

Adisumarto, & Harsono. (1990). Hak Milik Intelektual Khususnya Hak Cipta.

Akademika Pressindo.

Aditya, B., & Sardjono, A. (2014). Penentuan Originalitas Ciptaan Libretto Sang

Kuriang Karya Utuy Tatang Sontani. In Fh Ui.

Alatas, S. F. (2015). Ilmu Poltik dan Hukum : Pengantar Pemikiran Kontemporer.

Rajawali Press.

Ali, C. (1991). Badan hukum. Alumni.

Anantrasirichai, N., & Bull, D. (2022). Artificial intelligence in the creative

industries: a review. In Artificial Intelligence Review (Vol. 55, Issue 1).

Springer Netherlands. https://doi.org/10.1007/s10462-021-10039-7

Andres Guadamuz. (2017). Artificial intelligence and copyright. Wipo Magazine.

https://www.wipo.int/wipo_magazine/en/2017/05/article_0003.html

Anggraini, D. (2020). Kecerdasan Buatan (Ai) Dan Nilai Co-Creation Dalam

Penjualan B2B (Business-To-Business). Jurnal Sistem Informasi, Teknologi

Informasi, Dan Edukasi Sistem Informasi, 1(2), 63–69.

https://doi.org/10.25126/justsi.v1i2.7

58
Arikunto, S. (2002). Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek. Rineka

Cipta.

Asshiddiqie, J. (2006). Perkembangan & Konsolidasi Lembaga Negara Pasca

Reformasi. In Sekretaris Jenderal & Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI.

Badan Pusat Statistik. (2021). Berita Resmi Statistik. In Bps.Go.Id (Vol. 19, Issue

27, pp. 1–16).

Bintang, S. (2016). Daerah sebagai Pihak dalam Kontrak Penanaman Modal

Internasional (Studi Kasus Provinsi Aceh). Jurnal Konstitusi, 13(4), 849.

https://doi.org/10.31078/jk1348

Bostrom, N., & Yudkowsky, E. (2018). Intelligence, The Ethics of ArtificialNo

Title. Chapman and Hall.

Chen, J. (2018). Reconsidering the Analytical Foundation of Public Law. Legal

Subject and Legal Status, 6(1), 1–21.

Chesterman, S. (2020a). Artificial intelligence and the limits of legal personality.

International and Comparative Law Quarterly, 69(4), 819–844.

https://doi.org/10.1017/S0020589320000366

Chesterman, S. (2020b). Artificial Intelligence and The Limits of Legal

Personality. International and Comparative Law Quarterly, 69(4), 819–844.

https://doi.org/10.1017/S0020589320000366

Damian, E. (2003). Hukum Hak Cipta. Alumni.

Damian, E. (2005). Hukum Hak Cipta. sinar grafika.

59
Davis, D. R., & Boone, W. (2021). Using Rasch Analysis to Evaluate the

Psychometric Functioning of the Other-Directed, Lighthearted, Intellectual,

and Whimsical (OLIW) Adult Playfulness Scale. International Journal of

Educational Research Open, 2(June), 100054.

https://doi.org/10.1016/j.ijedro.2021.100054

Devianto, Y., & Dwiasnati, S. (2020). Kerangka Kerja Sistem Kecerdasan Buatan

dalam Meningkatkan Kompetensi Sumber Daya Manusia Indonesia. Jurnal

Telekomunikasi Dan Komputer, 10(1), 19.

https://doi.org/10.22441/incomtech.v10i1.7460

Dewi, C. I. D. L. (2009). Penyelesaian Sengketa Terhadap Pelanggran Moral

dalam Kerangka Perlindungan Hak Cipta. Yustitia, 12(1), 1–30.

Disemadi, H. S. (2021). Urgensi Regulasi Khusus dan Pemanfaatan Artificial

Intelligence dalam Mewujudkan Perlindungan Data Pribadi di Indonesia.

Wawasan Yuridika, 5(2), 177–199. https://doi.org/10.25072/jwy.v5i2.460

Disemadi, H. S., Yusuf, R. R., Wira, N., & Zebua, S. (2021). Perlindungan Hak

Eksklusif Atas Ciptaan Digital Painting dalam Tatanan Hak Kekayaan

Intelektual di Indoensia. Widya Juridika, 4(1), 41–52.

Djaja, E. (2014). Hukum Hak Kekayaan Intelektual. Sinar Grafika.

Djumhana, M. (2014). Hak Milik Intelektual Sejarah: Teori, dan Praktiknya di

Indonesia. Citra Aditya Bakti.

Effendi, A. C., & Satwiko, P. (2021). Peran Artifical Intelligence dalam Tahap

60
Perencanaan dan Perancangan Desain Arsitektur. JoDA Journal of Digital

Architecture, 1(1), 52. https://doi.org/10.24167/joda.v1i1.3682

Esling, P., & Devis, N. (2020). Creativity in the era of artificial intelligence.

Arxive, 10(8), 12. http://arxiv.org/abs/2008.05959

Fauzi, R., Ramli, T. S., & Perata, R. R. (2022). Masa Depan Hak Cipta: Tinjauan

Keabsahan Hasil Karya Kecerdasan Artifisial di Indonesia. Citizen: Jurnal

Ilmiah Multidisiplin Indonesia, 2(1), 118–128.

https://doi.org/10.53866/jimi.v2i1.51

Fisher, W. (2016). Theories Of Intellectual Property. 1–23.

Fitriani, R. A., Purnomo, M. H., Yang, H. S., & Sarno, R. (2020). Pelatihan Data

Berbasis Algoritma Genetika untuk Meningkatkan Akurasi Pengenalan Teks

dengan Kamera Smartphone. Urnal Teknologi Dan Sistem Komputer, 8(3),

117-124.

Gema, A. J. (2022). Masalah Penggunaan Ciptaan Sebagai Data Masukan Dalam

Pengembangan Artificial Intelligence di Indonesia. Technology and

Economics Law Journal, 1(1), 1–18.

Guadamuz, A. (2017). Artificial Intelligence and Copyright. Wipo Magazine.

https://www.wipo.int/wipo_magazine/en/2017/05/article_0003.html

Guswandi, C. P., Ghafila Romadona, H., Ariani, M., & Disemadi, H. S. (2021).

Pengaruh Revolusi Industri 4.0 Terhadap Perlindungan Hukum Hak Cipta di

Indonesia. CoMBInES - Conference on Management, Business, Innovation,

61
Education and Social Sciences, 1(1), 277–283.

https://journal.uib.ac.id/index.php/combines

Hakim, H. A., Praja, C. B. E., & Djanggih, H. (2021). Legal Urgency on

Designing The Legislation for The Use of Artificial Intelligence in

Indonesian Medical Practice. Jurnal Penelitian Hukum De Jure, 21(4), 541.

https://doi.org/10.30641/dejure.2021.v21.541-550

Hanoraga, T., & Prasetyawati, N. (2015). Lisensi Wajib Paten Sebagai Salah Satu

Wujud Pembatasan Hak Eksklusif Paten. Jurnal Sosial Humaniora, 8(2),

160. https://doi.org/10.12962/j24433527.v8i2.1250

Hapsari, F. T. (2012). Eksistensi Hak Moral dalam Hak Cipta di Indonesia.

Masalah-Masalah Hukum, 41(3), 460–464.

https://ejournal.undip.ac.id/index.php/mmh/article/view/5777

Haris, M. T. A. R., & Tantimin. (2022). Analisis Pertanggungjawaban Hukum

Pidana Terhadap Pemanfaatan Artificial Intelligence Di Indonesia. Jurnal

Komunikasi Hukum (JKH), 8(1), 307–316.

https://ejournal.undiksha.ac.id/index.php/jkh/article/view/44408

Hartati, R., Maru, S., & Supriana, S. (2020). Perwujudan dalam Bentuk

Nyata(Fixation) atas Karakter Fiksi pada Karya Sinematografi Film dalam

Hukum Hak Cipta. Krisna Law, 2(1), 77–94.

Heaton, J. (2013). Artificial Intelligence for Humans, Volume 1: Fundamental

Algorithms (WordsRU.co). Heaton Research.

http://matt-versaggi.com/mit_open_courseware/Artificial_Intelligence_for_H

62
umans/aifh_vol1_fundamental_20131209.pdf

Hughes, J. (1988). The Philosophy of Intellectual Property. Georgetown Law

Journal, 77(2), 287. https://doi.org/287, 330-350

Hughes, J. (1998). The Personality Interest of Artists and Inventors in Intellectual

Property. Cardozo Arts, 16, 81–181.

Indah, M. (2011). Refleksi Pemikiran O. Notohamidjojo untuk Mewujudkan Cara

Berhukum Humanis. Seminar Nasional Refleksi Pemikiran O.

Notohamidjojo Terhadap Perkembangan Hukum Di Indonesia, 8(1), 2–15.

http://downloads.esri.com/archydro/archydro/Doc/Overview of Arc Hydro

terrain preprocessing

workflows.pdf%0Ahttps://doi.org/10.1016/j.jhydrol.2017.11.003%0Ahttp://

sites.tufts.edu/gis/files/2013/11/Watershed-and-Drainage-Delineation-by-

Pour-Point.pdf%0Awww

Indah, M. P. (2015). Kecerdasan Buatan Pada Teknologi Informasi. In Paper

Knowledge . Toward a Media History of Documents (Vol. 3, Issue April, pp.

49–58).

Ishaq. (2017). Metode Penelitihan Hukum dan Penulisan Skripsi, Tesis serta

Disertasi. Alfabeta.

Iswahyudi, F., & Cipta, H. (2014). Konstitusionalitas masa perlindungan hak cipta

dalam perspektif prinsip deklaratif. Grondwet, 1(6), 107–118.

Jaya, F., & Goh, W. (2021). Analisis Yuridis Terhadap Kedudukan Kecerdasan

63
Buatan atau Artificial Intelligence sebagai Subjek Hukum pada Hukum

Positif Indonesia. Supremasi Hukum, 17(2), 1–11.

Jened, R. (2007). Hak Kekayaan Intelektual: Penyalahgunaan Hak Eksklusif.

Airlangga University Press.

Kansil, C. S. . (1989). Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Balai

Pustaka.

Karim, A., Bangun, B., Kusmanto, & Purnama, I. (2020). Pengantar Teknologi

Informasi (Tim YLBG (ed.); 1st ed.). Yayasan Labuhan Batu Berbagi

Gemilang. https://books.google.co.id/books?

id=Z7YSEAAAQBAJ&printsec=frontcover&hl=id#v=onepage&q&f=false

Kiki Amaruly Utami. (2022). Artificial Intelligence dan Perlindungan Kekayaan

Intelektual. Muc Consulting. https://mucglobal.com/id/news/2759/artificial-

intelligidce-dan-perlindungan-kekayaan-intelektual

Komuna, A. P., Putra, A. A., Terbuka, U., & Tarakan, U. B. (2020). Pelanggaran

Hak Cipta Nonliteral Terhadap Karya Sinematografi di Indonesia. Alauddin

Law Devlovement Journal, 2(November 2020), 465–472.

Kusnadi. (2015). Pemikiran Hukum: Suatu Pengantar. PT Gramedia Pustaka

Utama.

Kusumawardani, Q. D. (2019). Hukum Progresif Dan Perkembangan Teknologi

Kecerdasan Buatan. Veritas et Justitia, 5(1), 166–190.

https://doi.org/10.25123/vej.3270

64
Labetubun, M. A. H. (2019). Aspek Hukum Hak Cipta Terhadap Buku Elektronik

(E-Book) Sebagai Karya Kekayaan Intelektual. SASI, 24(2), 138.

https://doi.org/10.47268/sasi.v24i2.128

Lestari, M. A., Ramli, A. M., & Ramli, T. S. (2022). Telaah Yuridis

Penyelenggaraan Teknologi 5G di Indonesia: Langkah Transformasi Menuju

Era Society 5.0. Citizen: Jurnal Ilmiah Multidisiplin Indonesia, 2(1), 129–

137. https://doi.org/10.53866/jimi.v2i1.49

Levendowski, A. (2018). How Capyright Law Can Fix Artificial Intelligence’s

Implicit Bias Problem. Washington Law Review, 93(2).

http://arxiv.org/abs/1607.05620

Lindsay, T. (2003). Hak Kekayaan Intelektual Suatu Pengantar. Asia Law Group.

Mailangky, F. (2017). Kajian Hukum Tentang Hak Moral Pencipta dan Pengguna

Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta. Lex

Privatum, V(4), 138–144.

Manarep Pasaribu, & Widjaja, A. (2022). Kajian Akademis dan Praktik Artificial

Intelligence Perspektif Manajemen Strategis (2022nd ed.). Gramedia.

https://books.google.co.id/books?

hl=id&lr=&id=KzFfEAAAQBAJ&oi=fnd&pg=PP1&dq=pengertian+artifici

al+intelligence&ots=db6V3jAyU3&sig=YU4U0ehHOR_Ory084q5uQgKK

Nq4&redir_esc=y#v=onepage&q&f=false

Mann, P., & Denoncourt, J. (2009). Copyright issues on the protection of

architectural works and designs. In University of Reading.

65
Margono, S. (2015). Prinsip Deklaratif Pendaftaran Hak Cipta: Kontradiksi

Kaedah Pendaftaran Ciptaan dengan Asas kepemilikan Publikasi Pertama

Kali. Rechtsvinding, 1(2), 237–255.

Merges, R. P. (2011). Locke for the Masses: Property Rights and the Products of

Collective Creativity. Hofstra Law Review, 36(4).

https://doi.org/10.2139/ssrn.1323408

Merta, I. P. W., Sunarya, I. M. G., & Arthana, I. K. R. (2015). Handgesture To

Text Dengan Metode Artificial Intelligence KNN (K-Nearest Neighbour).

KARMAPATI (Kumpulan Artikel Mahasiswa Pendidikan Teknik

Informatika), 4(1), 18–27.

https://ejournal.undiksha.ac.id/index.php/KP/article/view/19789

Mertokusumo, S. (2002). Mengenal Hukum (suatu Pengantar). Liberty

Yogyakarta.

Muhaimin. (2020). Metodelogi Penelitihan Hukum. Mataran Uviversitas Press.

Nations, U. (1972). Universal Declaration of Human Rights.

https://www.ohchr.org/en/human-rights/universal-declaration/translations/

indonesian

Neary, M. A., & Chen, S. X. (2017). Artificial intelligence: Legal research and

law librarians. AALL Spectrum 21, 5(6), 16–20.

Neri, E., Coppola, F., Miele, V., Bibbolino, C., & Grassi, R. (2020). Artificial

intelligence: Who is responsible for the diagnosis? Radiologia Medica,

66
125(6), 517–521. https://doi.org/10.1007/s11547-020-01135-9

Norvig, P., & Russell, S. (2020). Artificial Intelligence: A Modern Approach

(Michael Hi). Pearson Education Inc.

https://inabaacid-my.sharepoint.com/personal/naidi_inaba_ac_id/_layouts/

15/onedrive.aspx?id=%2Fpersonal%2Fnaidi_inaba_ac_id%2FDocuments

%2FWORK FROM HOME%2FDFWFH101.pdf&parent=%2Fpersonal

%2Fnaidi_inaba_ac_id%2FDocuments%2FWORK FROM HOME&ga=1

Novita, Y. D., & Santoso, B. (2021). Urgensi Pembaharuan Regulasi

Perlindungan Konsumen di Era Bisnis Digital. Jurnal Pembangunan Hukum

Indonesia, 3(1), 46–58. https://doi.org/10.14710/jphi.v3i1.46-58

OK Saidin. (2007). Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual. Raja Grafindo

Persada.

Papakonstantinou, V., & De Hert, P. (2020). Refusing to Award Legal Personality

to AI: Why the European Parliament got it wrong. Ai-Regulation.Com.

Peter Norvig, & Stuart Russell. (2020). Artificial Intelligence: A Modern

Approach (MIchael Hi).

https://inabaacid-my.sharepoint.com/personal/naidi_inaba_ac_id/_layouts/

15/onedrive.aspx?id=%2Fpersonal%2Fnaidi_inaba_ac_id%2FDocuments

%2FWORK FROM HOME%2FDFWFH101.pdf&parent=%2Fpersonal

%2Fnaidi_inaba_ac_id%2FDocuments%2FWORK FROM HOME&ga=1

Prabandari, A. P. (2013). Komparasi Pengaturan Hak Cipta Di Indonesia dan

Amerika Serikat. Ejournal.Undip.Ac.Id, 42(2), 162–171.

67
Praja, C. B. E., & Riswadi, B. A. (2018). Mengenak Hak Kekayaan Intelektual.

Unimma Press.

Puspita Sari, A., & Harwika, D. M. (2022). Legal Liability of Artificial

Intelligence in Perspective of Civil Law in Indonesia. International Journal

of Social Science Research and Review, 5(2), 57–60.

https://doi.org/10.47814/ijssrr.v5i2.191

Putranti, D., & Anggraeny, K. D. (2022). Inventor’s Legal Liability Upon the

Invention of Artificial Intelligence in Indonesia. Varia Justicia, 18(1), 71–83.

Putri, K. W. A. A. (2021). Tinjauan Yuridis Komersialisasi Fanart Idol K-pop

Pada Unofficial Merchandise Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun

2014 Tentang Hak Cipta. Unizar Law Review, 4(2), 145–156.

Raharjo, S. (2000). Ilmu Hukum. Citra Aditya Bakti.

Rahman, R. F., Cipta, H., Fiktif, K., Geografis, I., Tata, D., & Sirkuit, L. (2014).

Perlindungan hak cipta atas karakter fiktif. Jurnal Ilmu-Ilmu Informatika

Dan Manajemen STMIK, 16(1).

Revell, G. (2022). Madeleine: Poetry and Art of an Artificial Intelligence.

Independet Musician and Artist, 1–22.

Riswadi, B. A. (2016). Doktrin Perlindungan Hak Cipta Di Era Digital. FH UII

Press.

Rofidah, I. (2015). Penyalahgunan Perjanjian Lisensi Merek dalam Praktek Bisnis

Hak Atas Kekayaan Intelektual. In Institutional Repository (Vol. 151). UIN

68
Syarif Hidayatullah.

Romic, B. (2021). Negotiating anthropomorphism in the Ai-Da robot.

International Journal of Social Robotics, 1–11.

https://doi.org/10.1007/s12369-021-00813-6

Salim. (2005). Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW). sinar grafika.

Santya, R. (2017). Perlindungan Hukum Costume Play (COSPLAY) Terhadap

HAk Cipta Karakter Animasi dan Konflik.

Sarjono, A. (2008). Hak Cipta dalam Desain Grafis. Yello Dot.

Siahaan, M., Jasa, C. H., Anderson, K., & Valentino, M. (2020). Penerapan

Artificial Intelligence ( AI ) Terhadap Seorang Penyandang Disabilitas

Tunanetra. Information System and Technology, 01(02), 186–193.

Simanjuntak, I. A. (2017). Perlindungan Hukum Akibat Pembatalan Pendaftaran

Hak Cipta (Studi kasus Pembatalan Pendaftaran Hak Cipta Seni Motif

Sampul Buku Tulis di Pengadilan Niaga Semarang). Diponegoro Law

Journal, Volume 6, Nomor 2, 6, 1–13.

Soekanto, S., & Mamudji, S. (2015). Penelitian hukum normatif : suatu tinjauan

singkat. Rajawali Press.

Soekanto, S., & Purbacaraka, P. (1993). Sendi-Sendi Ilmu Hukum dan Tata

Hukum. Citra Aditya Bakti.

Soelistyo, H. (2011). Hak Cipta Tanpa Hak Moral. Rajawali Press.

69
Soeroso, R. (2015). Pengantar Ilmu Hukum. sinar grafika.

Sufiaria. (2012). Hak Prioritas dan Hak Ekslusif dalam Perlindungan HKI. Adil

Jurnal Hukum, 3(2), 266–281.

Suherman, A. M. (2005). Aspek Hukum dalam Ekonomi Global. Ghalia Indonesia.

Sulaiman, M., Al Hamdani, M. D., & Aziz, A. (2018). Emotional Spiritual

Quotient (ESQ) dalam Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Kurikulum

2013. Jurnal Penelitian Pendidikan Islam, 6(1), 77.

https://doi.org/10.36667/jppi.v6i1.156

Sulistyo, H. (2011). Plagiarisme: Pelanggaran Hak Cipta dan Etika. Kanisius.

Syamsudin, R. (2019). Pengantar Hukum Indonesia. Prenadamrdia Group.

Syarifin, P. (1999). Pengantar lmu Hukum. Pustaka Setia.

Tutik, T. T. (2008). Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional. kencana.

Uslegal. (2020). Personality Theory [Intellectual Property] Law and Legal

Definition. Uslegal.Com. https://definitions.uslegal.com/p/personality-

theory-intellectual-property/#:~:text=Personality theory is a principle,while

analyzing intellectual-property rights.

Uszkai, R. (2017). Intellectual Property Has No Personality. Annals, LXVI(2),

181–205.

Utrecht, E. (1996). Pengantar dalam Hukum Indonesia. Ichtiar.

Van Apeldoorn. (2005). pengantar Ilmu Hukum. PT Prandnya Paramita.

70
Ver. (2023). Orisinalitas Kunci Karya Mendapat Pelindungan Hak Cipta.

Direktorat Jendral Kekayaan Intelektual.

https://www.dgip.go.id/artikel/detail-artikel/orisinalitas-kunci-karya-

mendapat-pelindungan-hak-cipta?kategori=agenda-ki#:~:text=“Salah satu

substansi yang mengikat,orang lain%2C” kata Agung.

Widianto, M. W. (2019). Subjek dan Objek Hukum Dagang.

Wijaya, E. (2013). Analisis Penggunaan Algoritma Breadth First Search Dalam

Konsep Artificial Intellegencia. Jurnal TIME, II(2), 18–26.

https://ejournal.stmik-time.ac.id/index.php/jurnalTIMES/article/view/6

Yulianti, W. (2016). Aptitude Testing Berbasis Case-Based Reasoning Dalam

Sistem Pakar Untuk Menentukan Minat Dan Bakat Siswa Sekolah Dasar.

Rabit : Jurnal Teknologi Dan Sistem Informasi Univrab, 1(2), 104–118.

https://doi.org/10.36341/rabit.v1i2.28

Zahrasafha, & Prinscha, A. (2022). Pengaturan Hukum Artifical Intelligence

Indonesia Saat Ini. Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

https://law.ui.ac.id/pengaturan-hukum-artifical-intelligence-indonesia-saat-

ini-oleh-zahrashafa-pm-angga-priancha/

71

Anda mungkin juga menyukai