Anda di halaman 1dari 48

TINJAUAN PUSTAKA II

PEMANFAATAN ARTIFICAL INTELLIGENCE UNTUK PELAYANAN

KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI

Disusun oleh:

dr. Indah Armeilia

C215221005

Pembimbing:

dr. Husnul Mubarak, Sp.K.F.R, N.M(K)

DEPARTEMEN ILMU KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI

FAKULTYAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2023
ii

HALAMAN PENGESAHAN

Nama PPDS : dr. Indah Armeilia

NIM : C215221005

Judul : Pemanfaatan Artifical Intelligence (AI) Untuk Pelayanan

Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi (KFR)

Telah disetujui untuk dibawakan sebagai salah satu syarat akademik Program Studi

Ilmu Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi Universitas Hasanuddin.

Makassar, Mei 2023

Supervisor Pembimbing

dr. Husnul Mubarak, Sp.KFR, NM(K)

ii
iii

DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN....................................................................... ii

DAFTAR ISI .......................................................................................................... iii

DAFTAR SINGKATAN ......................................................................................... v

DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. vi

BAB 1 PENDAHULUAN .................................................................................... 1

BAB 2 ARTIFICIAL INTELLIGENCE (AI) ......................................................... 3

2.1 Pengertian Artificial Intelligence (AI) .......................................................... 3

2.2 Sejarah Perkembangan Artificial Intelligence............................................... 4

2.2.1 Era 1950 - 1970an .................................................................................. 6

2.2.2 Era 1970 - 2000an .................................................................................. 8

2.2.3 Era 2000 - 2020: Kemajuan penting di AI ............................................. 9

2.3 Cara Kerja Artifical Intelligence ................................................................. 10

2.3.1 Supervised Learning ............................................................................ 12

2.3.2 Unsupervised Learning ........................................................................ 13

2.3.3 Reinforcement Learning ....................................................................... 13

2.3.4 Deep Learning (DL)............................................................................. 14

2.4 Peran AI pada Layanan Kesehatan .............................................................. 17

BAB 3 ARTIFICIAL INTELLIGENCE DI BIDANG KEDOKTERAN FISIK

DAN REHABILITASI .......................................................................................... 20

iii
iv

3.1 Ambient Intelligence (AmI)......................................................................... 21

3.2 Intelligence Mobile dan Wearable Devices ................................................ 24

3.3 Intelligent Virtual Agents (IVA) .................................................................. 27

3.4 Virtual and Augmented Reality Berbasis Artificial Intelligence ................. 29

3.5 Robotic ........................................................................................................ 32

BAB 4 TANTANGAN PENGGUNAAN AI PADA LAYANAN KFR .............. 35

4.1 Explainability .............................................................................................. 35

4.2 Augmented Intelligence ............................................................................... 36

4.3 Isu privasi .................................................................................................... 36

4.4 Isu legalitas.................................................................................................. 37

4.5 Kepercayaan ................................................................................................ 37

BAB 5 PENUTUP .............................................................................................. 39

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 40

iv
v

DAFTAR SINGKATAN

AI = Aritificial Intelligence

EHR = Electronic Health Records

ICTs = Information and Communication Technologies

ML = Machine Learning

DL = Deep Learning

IMU =

NLP = Natural Language Process

AIM = Artificial Intelligence in Medicine

EHR = Electronic Health Records

AmI = Ambient Intelligence

BCI = Brain-Computer Interfaces

FDS = Fall Detection System

v
vi

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Timeline perkembangan AI (Kaul et al., 2020) ................................... 6

Gambar 2.2 Ilustrasi metode ML dan DL (Meskó & Görög, 2020) ..................... 16

Gambar 2 3 Grafik perkembangan publikasi mengenai AIM (Secinaro et al., 2021)

............................................................................................................................... 17

Gambar 2 4 Potensi peran AI di layanan kesehatan (He et al., 2019b) ................. 18

Gambar 3.1 Publikasi tentang AI sesuai spesialisasi tahun 2018-2021 (Mathur et

al., 2022)………………………………………………………………………….20

Gambar 3.2 Grafik publikasi AI (Mathur et al., 2022).......................................... 21

Gambar 3.3 Integrasi smart encironment system (Luxton & Riek, 2019) ............ 22

Gambar 3.4 Pengaturan kamera smartphone dengan aplikasi Motion Coach (Biebl

et al., 2021)\........................................................................................................... 27

Gambar 3.5 Contoh titik tubuh yang akan diinterpretasikan dalam aplikasi Motion

Coach (Biebl et al., 2021) ..................................................................................... 27

Gambar 3 6 Gambar depan perangkat Muscle Rehab (Zhu et al., 2022) .............. 30

Gambar 3.7 Latihan dengan pelatih robot (Simonov & Delconte, 2015) ............. 32

Gambar 3.8 Knee exoskeleton (Furukawa et al., 2022) ........................................ 34

Gambar 4.1 Black box (Kaul et al., 2020) ……………………………………36

vi
BAB 1

PENDAHULUAN

Artifical Intelligence (AI) telah mengalami masa-masa sukses dan kegagalan

dalam memperoleh tempatnya sebagai salah satu teknologi paling menarik dan

menjanjikan saat ini. AI semakin mendapatkan popularitas di berbagai bidang, dan

kompetisi sedang berlangsung untuk pengembangan aplikasi nyata yang memiliki

potensi untuk mengubah kehidupan sehari-hari dan masyarakat secara keseluruhan

(Gennatas & Chen, 2020).

Perusahaan teknologi terkenal seperti Apple, Google, dan Amazon dengan

aktif menyoroti penggunaan AI dalam peluncuran produk mereka dan mengakuisisi

startup yang menggunakan AI. AI oleh Apple yaitu Siri dan Alexa yaitu Amazon

merupakan contoh AI dalam hal personal assistant. Google menggunakan AI untuk

meningkatkan filter spam, perusahan Kartu Kredit menggunakan AI untuk

mengidentifikasi transaksi yang curang, Netflix dan Pandora menggunakan AI

untuk menentukan rekomendasi apa yang akan mereka berikan untuk penggunanya.

(Agrawal et al., 2017; Anderson, 2019).

Potensi AI terdapat dalam bidang kedokteran, desain obat, dan pelayanan

kesehatan, namun belum ada bukti yang cukup bagi masyarakat umum dan

komunitas medis untuk mengadopsi teknologi ini. Teknologi ini masih dalam tahap

awal perkembangannya dan setiap tahun semakin banyak studi yang dipublikasikan

dibandingkan tahun sebelumnya (Meskó & Görög, 2020).

Tidak diragukan bahwa AI akan memiliki peran yang bermanfaat dalam

pelayanan kesehatan dan dapat diterapkan secara luas hanya jika para profesional

1
2

medis menjadi pemandu dan pemimpin yang berpengetahuan dan mendukung

dalam proses ini. Untuk itu, penting bagi dokter untuk memahami dasar-dasar

teknologi sehingga mereka dapat menilai dengan objektif, mampu mengevaluasi

studi dan validasi klinis berbasis AI, serta mengetahui keterbatasan dan peluang

yang dimiliki AI (Meskó & Görög, 2020).

Tinjauan pustaka ini dibuat sebagai salah satu sumber informasi yang perlu

diketahui petugas kesehatan, khususnya dokter spesialis kedokteran fisik dan

rehabilitasi, di era AI. Di sini juga saya akan menjelaskan definisi dan cara kerja AI,

contoh pengaplikasi AI dalam layanan, potensi keuntungan, bahaya, tantangan AI,

dan juga mencoba memberikan pandangan penggunaan AI di layanan sehari-hari.


BAB 2

ARTIFICIAL INTELLIGENCE (AI)

2.1 Pengertian Artificial Intelligence (AI)

Alan Turing mendefinisikan AI sebagai berikut: "Jika ada perangkat di

balik tirai dan manusia berinteraksi dengan itu (dengan cara apa pun,

misalnya audio atau melalui pengetikan, dll.) dan jika manusia merasa seperti

dia sedang berinteraksi dengan manusia lain, maka mesin tersebut dianggap

sebagai kecerdasan buatan." Ini merupakan cara yang unik untuk

mendefinsikan AI (Joshi, 2020).

Ini tidak secara langsung bertujuan pada konsep kecerdasan, melainkan

lebih fokus pada perilaku yang menyerupai manusia. AI tidak berarti

membangun perangkat sangat cerdas yang dapat menyelesaikan masalah apa

pun dalam waktu singkat, tetapi lebih berarti membangun perangkat yang

mampu melakukan perilaku yang menyerupai manusia. Dalam perspektif

modern, setiap kali kita berbicara tentang AI, maksudnya adalah perangkat

yang mampu melakukan satu atau beberapa tugas seperti: memahami bahasa

manusia, melakukan tugas mekanis yang melibatkan manuver yang kompleks,

menyelesaikan masalah kompleks berbasis komputer yang mungkin

melibatkan data besar dalam waktu singkat dan memberikan jawaban dengan

cara yang menyerupai manusia, dan lain-lain (Joshi, 2020).

Ada dua aspek dalam AI yang dipandang dari sudut pandang perilaku

mirip manusia. Yang pertama adalah mesin cerdas yang mampu

berkomunikasi dengan manusia, tetapi tidak memiliki aspek pergerakan.

3
4

Aspek lainnya melibatkan interaksi fisik dengan kemampuan pergerakan

mirip manusia, yang merujuk pada bidang robotika (Joshi, 2020)

2.2 Sejarah Perkembangan Artificial Intelligence

Meskipun sulit menentukan titik tepatnya, munculnya AI bisa ditelusuri

dari tahun 1940-an, tepatnya 1942, dimana penulis American Science Fiction,

Isaac Asimov, menerbitkan cerita pendeknya Runaround. Cerita pendek ini

berkisah tentang robot yang dikembangkan oleh teknisi Gregory Powell dan

Mike Donavan, berkembang di sekitar Three Laws of Robotics: (1) robot tidak

mencederai manusia, secara tidak langsung, membiarkan manusia cedera; (2)

robot harus mematuhi perintah yang diberikan padanya oleh manusia kecuali

dimana perintah itu mengalami konflik dengan aturan pertama; dan (3) robot

harus melindungi eksistensinya sendiri selama tidak bertentangan dengan

aturan pertama dan kedua. Karya Asimov inilah yang menginspirasi ilmuwan

di bidang robotik, AI, dan computer science, dan diantara mereka yaitu

ilmuwan kognitif Amerika Marvin Minsky (salah satu yang mendirikan MIT

AI laboratory nantinya (Haenlein & Kaplan, 2019).

Pada waktu yang sama, tetapi berjarak lebih dari 3.000 mil jauhnya,

seorang matematikawan Inggris bernama Alan Turing bekerja pada masalah

yang jauh lebih nyata dan mengembangkan mesin pembobol kode yang

disebut The Bombe untuk pemerintah Inggris, dengan tujuan untuk

menguraikan kode Enigma yang digunakan oleh tentara Jerman dalam Perang

Dunia II. Sebuah tugas yang sebelumnya tidak mungkin dilakukan oleh

matematikawan manusia terbaik namun mampu diselesaikan oleh mesin,


5

membuat Turing heran akan kepintaran mesin tersebut. Pada tahun 1950, ia

menerbitkan artikel pentingnya yang berjudul "Computing Machinery and

Intelligence" di mana ia menjelaskan bagaimana menciptakan mesin cerdas

dan khususnya bagaimana menguji kecerdasan mereka. Tes Turing ini masih

dianggap sebagai tolok ukur untuk mengidentifikasi kecerdasan dari sebuah

sistem buatan: jika seorang manusia berinteraksi dengan manusia lain dan

mesin, dan tidak dapat membedakan mesin tersebut dari manusia, maka mesin

tersebut dianggap cerdas (Haenlein & Kaplan, 2019).

Kata AI kemudian secara resmi diciptakan sekitar enam tahun

kemudian, pada tahun 1956 ketika Marvin Minsky dan John McCarthy

(seorang ilmuwan komputer di Stanford) menyelenggarakan Dartmouth

Summer Research Project on Artificial Intelligence (DSRPAI) selama sekitar

delapan minggu di Universitas Dartmouth di New Hampshire. Tujuan dari

DSRPAI adalah untuk menyatukan para peneliti dari berbagai bidang dengan

tujuan menciptakan area penelitian baru yang bertujuan untuk membangun

mesin yang mampu mensimulasikan kecerdasan manusia (Haenlein &

Kaplan, 2019).

Secara umum, sistem pakar cenderung kehilangan popularitas dalam

penelitian AI. Sebaliknya, minat berkembang untuk prosedur pembelajaran

berbasis data yang murni, yang menghindari pembuatan aturan secara manual

yang memakan waktu. Machine Learning (ML), juga dikenal sebagai

pembelajaran statistik, dikembangkan dari bidang statistik dan ilmu komputer,

seringkali secara paralel atau mandiri, untuk memungkinkan mesin belajar

dari data tanpa pemrograman eksplisit (Gennatas & Chen, 2020).


6

Gambar 2.1 Timeline perkembangan AI (Kaul et al., 2020)

2.2.1 Era 1950 - 1970an

Pada awal perkembangannya, AI difokuskan pada pengembangan

mesin yang memiliki kemampuan untuk membuat keputusan yang

sebelumnya hanya bisa dilakukan oleh manusia. Robot arm industri pertama

bergabung dengan jalur perakitan otomotif di General Motors pada tahun

1961 dan melakukan perakitan secara otomatis. Beberapa tahun kemudian

(1964), Eliza diperkenalkan oleh Joseph Weizenbaum. Dengan menggunakan

Natural Language Processing (NLP), Eliza mampu berkomunikasi

menggunakan metode pencocokan pola dan penggantian untuk meniru

percakapan manusia (komunikasi yang simpel), berfungsi sebagai kerangka

kerja untuk chatterbot di masa depan (Kaul et al., 2020).

Pada tahun 1966, Shakey, "the first electronic person," dikembangkan.

Diciptakan di Stanford Research Institute, ini adalah robot bergerak pertama

yang mampu menginterpretasikan instruksi. Daripada hanya mengikuti

perintah satu langkah, Shakey mampu memproses instruksi yang lebih


7

kompleks dan melakukan tindakan yang sesuai. Ini merupakan tonggak

penting dalam bidang robotika dan AI (Kaul et al., 2020).

Meskipun adanya inovasi di bidang engineering, bidang medis lambat

dalam mengadopsi AI. Namun, periode awal ini merupakan waktu penting

untuk mendigitalisasi data yang kemudian menjadi dasar bagi pertumbuhan

dan pemanfaatan AI pada bidang medis di masa depan. Pengembangan sistem

analisis dan pemulihan literatur medis serta mesin pencarian berbasis web,

PubMed, oleh National Library of Medicine pada tahun 1960-an menjadi

sumber daya digital penting untuk percepatan biomedis di kemudian hari.

Pangkalan data informatika klinis dan sistem catatan medis juga

dikembangkan pada periode ini dan membantu membangun dasar bagi

perkembangannya di masa depan (Kaul et al., 2020).

Keberhasilan awal dicapai oleh AI dengan menggunakan penalaran

simbolik dan sistem pakar, yang merupakan jenis implementasi utamanya.

Sistem-sistem ini bergantung pada aturan yang dikodekan secara jelas yang

dirancang oleh para ahli untuk mengatasi masalah yang ditentukan dengan

jelas dan terbatas. Sistem ini sangat efektif untuk pengaplikasian yang

spesifik. Namun memiliki keterbatasan yaitu membutuhkan sumber daya

manusia yang banyak untuk memasukkan semua data dan melakukan update

data secara berkelanjutan. Penggunaannya terbatas di bidang medis dimana

ilmu pengetahuan yang berlimpah dan selalu mengalami pembaharuan

(Gennatas & Chen, 2020).


8

2.2.2 Era 1970 - 2000an

Sebagian besar periode waktu ini disebut sebagai "AI winter," yang

menandakan periode penurunan pendanaan dan minat serta kemudian

perkembangan yang kurang signifikan. Penyebab penurunan ini terjadi

karena biaya yang berlebihan dalam mengembangkan dan memelihara sistem

ahli (Kaul et al., 2020).

Contoh AI di bidang medis yang menggunakan sistem pakar yaitu

sistem MYCIN, yang dirancang untuk merekomendasikan pengobatan

antibiotik yang tepat untuk infeksi bakteri berdasarkan gejala dan informasi

pasien yang dimasukkan pengguna, jaringan kausal-asosiatif CASNET yang

diterapkan dalam pengelolaan glaukoma, dan INTERNIST-I, sebuah sistem

konsultasi kedokteran umum (Gennatas & Chen, 2020).

Meskipun kurangnya minat umum pada periode waktu ini, kolaborasi

di antara para pionir di bidang AI tetap berlanjut. Hal ini mendorong

pengembangan The Research Resource on Computers in Biomedicine oleh

Saul Amarel pada tahun 1971 di Universitas Rutgers. Stanford University

Medical Experimental–Artificial Intelligence in Medicine, sebuah sistem

komputer bersama, dibuat pada tahun 1973 dan meningkatkan kemampuan

jaringan antara peneliti klinis dan biomedis dari beberapa institusi. Sebagian

besar sebagai hasil dari kolaborasi ini, workshop Artificial Intelligence in

Medicine (AIM) yang disponsori oleh National Institutes of Health pertama

kali diadakan di Universitas Rutgers pada tahun 1975. Peristiwa-peristiwa ini

merupakan kolaborasi awal di antara para pionir dalam bidang AIM (Kaul et

al., 2020).
9

Pada akhir tahun 1990-an, minat terhadap ML kembali bangkit,

terutama di dunia medis, yang bersama dengan perkembangan teknologi di

atas menetapkan panggung bagi era modern AIM (Kaul et al., 2020).

2.2.3 Era 2000 - 2020: Kemajuan penting di AI

Pada tahun 2007, IBM menciptakan sistem pertanyaan-jawaban di

domain terbuka, yang diberi nama Watson, yang berkompetisi dengan peserta

manusia dan memenangkan tempat pertama dalam acara permainan

televisi ”Jeopardy!” pada tahun 2011. Teknologi ini, yang disebut DeepQA,

menggunakan NLP dan pencarian berbagai sumber untuk menganalisis data

pada konten yang tak terstruktur guna menghasilkan jawaban yang mungkin.

Sistem ini lebih mudah tersedia untuk digunakan, lebih mudah dipelihara, dan

lebih efisien biaya (Kaul et al., 2020).

Dengan menggunakan informasi dari catatan medis elektronik pasien

dan sumber elektronik lainnya, seseorang dapat menerapkan teknologi

DeepQA untuk memberikan respons berbasis bukti dalam pengobatan

berdasarkan bukti. Dengan demikian, sistem ini membuka kemungkinan baru

dalam pengambilan keputusan klinis berbasis bukti (Kaul et al., 2020).

Dengan momentum ini, bersama dengan perangkat keras dan program

perangkat lunak komputer yang lebih baik, kedokteran digital menjadi lebih

mudah tersedia, dan AIM mulai tumbuh dengan cepat. Pemrosesan bahasa

alami mengubah chatbot dari komunikasi simpel (Eliza) menjadi antarmuka

berbasis percakapan yang bermakna. Teknologi ini diterapkan pada asisten

virtual Apple, Siri, pada tahun 2011, dan asisten virtual Amazon, Alexa, pada
10

tahun 2014. Pharmabot adalah chatbot yang dikembangkan pada tahun 2015

untuk membantu pendidikan obat bagi pasien anak-anak dan orang tua

mereka (Kaul et al., 2020).

Deep Learning (DL) menandai kemajuan penting dalam AIM. DL dapat

dilatih untuk mengklasifikasikan data secara mandiri. Overfitting terjadi

ketika ML terlalu fokus pada satu set data tertentu dan tidak dapat memproses

dataset baru dengan akurasi, yang dapat disebabkan oleh kapasitas komputasi

yang tidak mencukupi dan kurangnya data pelatihan. Batasan-batasan ini

berhasil diatasi pada tahun 2000-an dengan tersedianya dataset yang lebih

besar dan peningkatan daya komputasi yang signifikan (Kaul et al., 2020).

2.3 Cara Kerja Artifical Intelligence

Berbeda dengan generasi pertama AI yang mengandalkan pengetahuan

medis oleh para ahli, penelitian AI terkini memanfaatkan metode ML yang

dapat memperhitungkan interaksi kompleks untuk mengidentifikasi pola dari

data. Karena tantangan dan tugas yang begitu rumit dalam bidang medis,

penggunaan algoritma tradisional untuk menyelesaikannya tidak lagi cukup

dan diperlukan metode baru. ML memberikan kemampuan komputer untuk

secara otomatis belajar dari data sebelumnya untuk memperoleh pengetahuan

dari pengalaman pengetahuan dari pengalaman dan secara bertahap

meningkatkan perilaku pembelajarannya untuk membuat prediksi

berdasarkan data baru (Holzinger et al., 2019; Meskó & Görög, 2020; Yu et

al., 2018)
11

Jika saya ingin menulis program yang dapat mendeteksi kucing pada

foto, lebih baik menggunakan ML. Bagaimana cara Anda mendeteksi kucing

pada foto? Jika Anda merancang fitur-fitur yang Anda anggap

menggambarkan kucing secara mudah seperti memiliki dua telinga, dua mata,

empat kaki, dan sebagainya, Anda akan menemukan diri Anda dalam situasi

di mana Anda juga harus mendefinisikan semua ekspresi tersebut. Apa itu

telinga bagi sebuah program yang hanya "melihat" piksel-piksel pada foto?

(Meskó & Görög, 2020)

Oleh karena itu, cara yang paling efisien adalah menginput data

algoritma ML dengan gambar-gambar yang berisi kucing, idealnya dengan

kucing yang telah dianotasi secara manual oleh manusia untuk memastikan

bahwa gambar-gambar tersebut memang berisi kucing. Semakin banyak

gambar yang diberikan kepada algoritma dengan anotasi semacam itu,

algoritma tersebut akan menjadi semakin baik dalam mengenali kucing pada

gambar. Meskipun algoritma tersebut tidak akan memahami apa itu kucing,

namun ia pasti akan dapat mengenali apa yang kita anggap sebagai kucing

pada foto-foto dengan tingkat efisiensi yang semakin meningkat (Meskó &

Görög, 2020).

Tidak peduli apa tugas yang ingin kita selesaikan, kita memberi input

algoritma ML yang lebih sederhana dengan data dan terus mengulanginya

untuk meningkatkan kemampuannya dalam menyelesaikan tugas tersebut.

Dengan algoritma yang lebih kompleks seperti neural network dan DL,

mungkin saja algoritma tersebut mulai menciptakan aturan dan strategi

sendiri tanpa campur tangan manusia. Dari sinilah, bahkan para


12

pengembangnya mungkin tidak memahami bagaimana algoritma tersebut

menyimpulkan atau strategi apa yang digunakan untuk unggul dalam sebuah

tugas (Meskó & Görög, 2020).

Ketika berbicara tentang teknologi yang digunakan dalam pengambilan

keputusan medis, memang diinginkan untuk memahami mekanisme yang

mendasarinya atau setidaknya memiliki penjelasan fisik atau biologis

untuknya. Namun, dengan algoritma AI yang canggih, seperti DL, memang

benar bahwa cara kerjanya bisa menjadi sangat kompleks dan sulit untuk

diinterpretasikan (Meskó & Görög, 2020).

ML memiliki beberapa subtipe dan metode kombinasi, namun yang

paling umum digunakan yaitu supervised learning, unsupervised learning,

dan reinforcement learning, disamping itu ada metode yang lebih

berkembang yaitu deep learning (Meskó & Görög, 2020; Yu et al., 2018)

2.3.1 Supervised Learning

Metode ini digunakan ketika kita dapat secara tepat mendefinisikan

tugas yang ingin kita ajarkan pada algoritma berdasarkan data yang kita miliki.

Mari kita ambil contoh berikut. Kita memiliki dua set catatan medis pasien,

yaitu kelompok A dan B. Pada satu set, kita memiliki riwayat keluarga,

penanda laboratorium, dan detail lainnya dengan diagnosis. Pada set lainnya,

kita memiliki jenis data yang sama namun tanpa diagnosis. Kita ingin

membangun model yang dapat belajar untuk memberikan diagnosis yang

tepat kepada pasien dalam kelompok B berdasarkan asosiasi dan label yang

dipelajari oleh algoritma pada kelompok A. Hal ini seperti belajar dengan
13

seorang guru karena kita tahu dengan pasti apa yang seharusnya algoritma

pelajari, dan ini adalah mode pelatihan yang paling sering digunakan (Meskó

& Görög, 2020).

2.3.2 Unsupervised Learning

Ini seperti belajar tanpa seorang guru. Kita memiliki sekelompok pasien

dengan berbagai set data, tetapi kita tidak mengetahui diagnosis individu

mereka. Kita membangun sebuah model, lalu mencoba mengelompokkan

pasien berdasarkan atribut-atribut serupa seperti gejala yang mereka alami,

penanda laboratorium, atau usia dan jenis kelamin. Kita mungkin akan

menemukan asosiasi-asosiasi baru yang sebelumnya belum kita lihat. Pada

contoh lain, metode ini juga dapat berguna dalam mengelompokkan sampel

jaringan berdasarkan nilai ekspresi gen yang serupa, atau dalam menemukan

interaksi obat-obatan yang baru. Secara ringkas, kita merancang aturan-

aturan tertentu, membiarkan algoritma belajar sendiri, dan tidak mengubah

algoritma berdasarkan hasil yang diperoleh (Meskó & Görög, 2020).

2.3.3 Reinforcement Learning

Metode ini memungkinkan algoritma belajar bagaimana menyelesaikan

tugas dengan urutan keputusan sendiri tanpa diberitahu bagaimana

melakukannya. Guru hanya dapat memberikan umpan balik setelah

serangkaian tindakan, bukan untuk setiap item seperti pada pembelajaran

terpandu. Model mulai melakukan tugas hanya dengan mengetahui beberapa

aturan dasar, dan setelah gagal atau berhasil menyelesaikan tugas, guru
14

memberikan pengarahan untuk menggunakan strategi yang berhasil lebih

sering. Dengan cara ini, program dapat membangun pengalaman sendiri saat

melakukan tugas tersebut secara berulang-ulang. Hal ini mirip dengan cara

kita melatih anjing. Dalam sebuah contoh, penulis menggunakan metode ini

untuk menentukan dosis uji klinis, di mana algoritma belajar rejimen dosis

yang tepat untuk mengurangi diameter tumor rata-rata pada pasien yang

menjalani terapi kemoterapi dan radiasi. Tantangan utama dalam menerapkan

reinforcement learning dalam bidang medis adalah kita tidak dapat mencoba

banyak skenario karena nyawa pasien berada dalam bahaya (Meskó & Görög,

2020).

2.3.4 Deep Learning (DL)

Deep learning merupakan subset dari ML, dan meskipun memiliki

fungsi yang serupa, kemampuannya berbeda. DL menggunakan struktur

berlapis dari artificial neural network yang terinspirasi dari jaringan saraf

otak manusia. Model DL memiliki kemampuan untuk memproses gambar,

suara, dan data dengan dimensi tinggi lainnya dengan hasil yang baik,

sementara model ML lainnya mungkin lebih baik dalam memproses data

yang terorganisir dalam spreadsheet (Meskó & Görög, 2020).

Deep learning menjadi sangat populer saat ini karena mencapai

hasil yang mengagumkan bahkan selevel dengan kinerja manusia.

Sebagai contoh, kelompok Thrun baru-baru ini berhasil mencapai

kinerja yang setara dengan dokter menggunakan pendekatan DL,

menunjukkan bahwa pendekatan tersebut mampu mengklasifikasikan


15

kanker kulit dengan tingkat kompetensi yang sebanding dengan

dermatologis (Holzinger et al., 2019)

Misalnya, kita ingin membangun sebuah model yang akan

menyalakan lampu jika kita berteriak kata "gelap". Model DL, seiring

waktu, akan belajar bahwa mengatakan "saya tidak bisa melihat" atau

"di sini gelap" juga harus menyalakan lampu (Meskó & Görög, 2020).

Meskipun contoh ini memperlihatkan kemajuan signifikan dan

manfaat dari AI, bahkan para pendukung terkemuka dari pendekatan

otomatis ini menekankan tantangan dalam mencapai AI yang dapat

digunakan. Ini tidak hanya tentang belajar dari data masa lalu,

mengekstraksi pengetahuan, menggeneralisasi, dan mengatasi

keterbatasan data kompleks, tetapi juga tentang memahami faktor-

faktor mendasar yang menjelaskan data untuk memahami konteks

dalam domain aplikasi tertentu. Dalam hal ini, keterlibatan seorang

dokter dalam proses pengambilan keputusan tetap penting dan tidak

dapat diabaikan (Holzinger et al., 2019).


16

Gambar 2.2 Ilustrasi metode ML dan DL (Meskó & Görög, 2020)


17

2.4 Peran AI pada Layanan Kesehatan

Minat dan kemajuan dalam aplikasi AI di bidang medis meningkat pesat

dalam beberapa tahun terakhir, berkat peningkatan daya komputasi yang

signifikan pada komputer modern dan jumlah data digital yang sangat besar

yang tersedia untuk pengumpulan dan pemanfaatan. Meskipun masih sedikit

contoh praktis yang dapat digunakan dalam bidang medis dengan bukti yang

cukup, antusiasme seputar topik ini sangat luar biasa. Daftar publikasi

mengenai subjek semakin bertambah, baik dalam bentuk artikel akademik,

laporan kebijakan kesehatan, pernyataan dari organisasi profesi, bahkan

liputan media populer (Meskó & Görög, 2020; Secinaro et al., 2021).

Gambar 2 3 Grafik perkembangan publikasi mengenai AIM (Secinaro et al., 2021)

Era kesehatan digital saat ini menawarkan berbagai macam

kemungkinan untuk meningkatkan pelayanan medis. Tujuan umum teknologi

AI ini di bidang medis adalah menggunakan algoritma komputer untuk

mengungkapkan informasi yang relevan dari data dan membantu

pengambilan keputusan klinis. Teknologi-teknologi AI dapat melaksanakan

beragam fungsi, seperti membantu dalam pembentukan diagnosis dan


18

pemilihan terapi, membuat prediksi risiko dan melakukan stratifikasi

penyakit, mengurangi kesalahan medis, dan meningkatkan produktivitas (He

et al., 2019b).

Gambar 2 4 Potensi peran AI di layanan kesehatan (He et al., 2019b)

Data kesehatan pribadi dapat meliputi demografi, catatan penyedia

layanan kesehatan, gambar, hasil laboratorium, data pengujian genetik, dan

rekaman dari perangkat medis atau sensor yang dipakai. Banyak platform

teknologi yang dapat terlibat dalam penghasilan atau pengumpulan data ini,

termasuk server jaringan, Electronic Health Records (EHR), data genomik,

komputer pribadi, smartphones dan aplikasi seluler, serta wearable devices

dan wearable sensors. Dengan meningkatnya konektivitas global melalui

Internet dan teknologi dengan cloud-based capabilities, akses dan distribusi

data menjadi lebih mudah. Integrasi big data tentang kesehatan dan penyakit

akan memberikan peluang luar biasa dalam pengelolaan informasi kesehatan

pada pasien, dokter, rumah sakit, otoritas kesehatan, dan badan regulasi (He

et al., 2019a).

Ada beberapa cara penerapan teknologi AI dalam layanan kesehatan.

Pertama adalah sebagai alat skrining atau triase. Contohnya, AI bisa

menganalisa gambar radiologis dan menggunakan probabilitas penyakit

sebagai dasar untuk memutuskan gambar mana yang harus diinterpretasikan


19

terlebih dahulu oleh dokter radiologis, atau AI dapat memeriksa gambar retina

untuk menentukan pasien mana yang memiliki kondisi yang mengancam

penglihatan dan harus dirujuk ke dokter mata. Demikian pula, aplikasi

Babylon, chatbot berbasis AI yang sedang diuji coba di Inggris, pada

dasarnya adalah alat triase yang digunakan untuk membedakan pasien yang

hanya membutuhkan penghiburan dari mereka yang membutuhkan rujukan

untuk pemeriksaan langsung. Triase berbasis AI secara teoritis akan

mengurangi beban pada sistem kesehatan dan mengarahkan sumber daya ke

pasien yang kemungkinan besar memiliki kebutuhan medis yang sebenarnya

(He et al., 2019a).

Teknologi AI juga dapat berfungsi sebagai pengganti. Meskipun tidak

mungkin sepenuhnya menggantikan penyedia layanan kesehatan manusia, AI

dapat melakukan tugas-tugas tertentu dengan lebih konsisten, cepat, dan

dapat diproduksi ulang daripada manusia. Contohnya termasuk estimasi usia

tulang pada pemeriksaan radiografi. Dengan mengotomatisasi tugas-tugas

yang tidak kompleks secara teoretis namun memakan waktu lama dan tenaga

yang banyak, penyedia layanan kesehatan dapat dibebaskan untuk menangani

tugas yang lebih kompleks (He et al., 2019a).

Mungkin peran paling kuat bagi AI adalah sebagai tambahan atau

peningkatan penyedia manusia. Studi telah menunjukkan efek sinergis ketika

klinisi dan AI bekerja sama, menghasilkan hasil yang lebih baik daripada

keduanya sendiri. Teknologi berbasis AI juga dapat meningkatkan dukungan

keputusan klinis real-time, yang menghasilkan upaya yang lebih baik menuju

kedokteran presisi (He et al., 2019a).


BAB 3

ARTIFICIAL INTELLIGENCE DI BIDANG KEDOKTERAN FISIK DAN

REHABILITASI

Gambar 3.1 Publikasi tentang AI sesuai spesialisasi tahun 2018-2021 (Mathur et al., 2022)

20
21

Publikasi penelitian tetang pemanfaatan AI di berbagai bidang spesialiasi

mengalami peningkatan sejak tahun 2018, dengan tahun 2020 tercatat sebagai tahun

yang mengalami peningkatan berkali lipat (Mathur et al., 2022)

Gambar 3.2 Grafik publikasi AI (Mathur et al., 2022)

3.1 Ambient Intelligence (AmI)

Menurut Tim Rehabilitasi dan Disabilitas dari World Health

Organization (WHO), jumlah orang yang membutuhkan layanan rehabilitasi

terus bertambah (sekitar 1,5% dari seluruh populasi dunia). Namun demikian,

solusi dan teknologi perawatan kesehatan yang ada saat ini masih jauh dari

mencukupi untuk memenuhi kebutuhan rehabilitasi. Dalam situasi seperti itu,

AmI dapat menciptakan pendekatan rehabilitasi inovatif yang mendukung

individu untuk mendapatkan akses ke sumber daya rehabilitasi. Hal ini dapat

dicapai dengan mengembangkan sistem rehabilitasi khusus berdasarkan


22

jaringan sensor dan pendekatan teknologi lainnya seperti robotika dan brain-

computer interfaces (BCI) (Acampora et al., 2013).

Gambar 3.3 Integrasi smart encironment system (Luxton & Riek, 2019)

Jaringan sensor memiliki potensi untuk berdampak besar pada banyak

aspek perawatan medis, termasuk rehabilitasi. Sebagai contoh, Jarochowski

et al. mengusulkan implementasi sistem, yaitu Ubiquitous Rehabilitation

Center, yang mengintegrasikan jaringan nirkabel berbasis Zigbee dengan

sensor yang memantau pasien dan mesin rehabilitasi. Sensor-sensor ini

berinteraksi dengan Zigbee motes yang pada gilirannya terhubung dengan

aplikasi server yang mengelola semua aspek pusat rehabilitasi dan

memungkinkan para spesialis rehabilitasi untuk memberikan resep kepada

pasien. Sistem lain yang diusulkan oleh Piotrowicz et al. menggambarkan

persyaratan sistem untuk tele-rehabilitasi jantung di rumah, dan khususnya

membahas komponen-komponen yang mengendalikan sesi latihan fisik, yang

perlu mengenali dan mengidentifikasi kondisi kritis pasien melalui

pemantauan terus-menerus (berbasis teknologi AmI) dan bereaksi sesuai.

Sebagai efeknya, data terkait kesehatan yang dikumpulkan selama sesi tele-
23

rehabilitasi digunakan untuk memberikan informasi berguna bagi kardiolog

untuk perawatan pasien. Sistem rehabilitasi yang diusulkan oleh Helmer et al.

meningkatkan kualitas hidup pasien yang menderita penyakit paru obstruktif

kronis (PPOK). Sistem ini mencakup komponen untuk memantau pelatihan

rehabilitasi secara otomatis. Sebagai konsekuensinya, sistem ini mengontrol

beban target untuk latihan berdasarkan data vital pasien (Acampora et al.,

2013).

Selain itu, dengan melengkapi pasien dengan sensor tanda vital nirkabel,

pengumpulan data real-time bisa dilakukan secara terperinci tentang status

fisiologis yang memungkinkan kegiatan inovatif seperti rehabilitasi mandiri

dan terapi. Pelatih Stroke Rehab Exerciser, Philips Research, memandu

pasien melalui serangkaian latihan untuk melatih ulang motorik yang

diresepkan oleh fisioterapis dan diunggah ke unit pasien. Sistem ini

menggunakan sistem sensor inersial nirkabel yang bertujuan untuk merekam

gerakan pasien, menganalisis data untuk deviasi dari target gerakan personal,

dan memberikan umpan balik kepada pasien dan terapis. Stroke Rehab

Exerciser memberikan bimbingan kepada pasien melalui serangkaian latihan

untuk melatih ulang motorik yang diresepkan oleh fisioterapis dan diunggah

ke unit pasien. Sistem sensor inersial nirkabel merekam gerakan pasien,

menganalisis data untuk deviasi dari target gerakan personal, dan

memberikan umpan balik kepada pasien dan terapis (Acampora et al., 2013).

Karya menarik lainnya yang berbasis pada jaringan sensor terkait

dengan desain sistem rehabilitasi untuk penyakit degeneratif seperti penyakit

Parkinson. Pada pasien parkinson yang memakai sensor gerakan berbasis


24

algoritme ML, sehingga membantu mengidentifikasi adanya Freezing of Gait

(FOG). Sensor ini lebih lanjut disebut sebagai FoG aware audio cueing

system dan terbukti menunjukkan keakuratan yang tinggi (Gokul et al., 2020).

Sistem terintegrasi, seperti contoh kami pada gambar 3.3, dapat

mengumpulkan data secara mudah dari beberapa jenis sensor dan masukan

data. Data dapat dikumpulkan dari jaringan sensor yang tertanam dalam

lingkungan (misalnya, sensor gerak) atau dipakai oleh pengguna (misalnya,

sensor fisiologis) dan dikirim melalui koneksi nirkabel ke perangkat seluler

lainnya, komputer desktop, atau sistem pemrosesan pusat lainnya untuk

analisis. Sistem yang sepenuhnya otomatis dapat dibangun untuk

menganalisis dan memantau data secara 24/7 dan memberi peringatan kepada

para profesional perawatan kesehatan dan/atau anggota keluarga jika

diperlukan. Layanan telehealth berbasis video secara sinkron juga dapat

disediakan. Selain itu, robot yang menyediakan fungsi bantuan fisik

(misalnya, mengangkat barang, membuka pintu), pemantauan, dan fungsi

sosial terapeutik juga dapat ditempatkan di lingkungan ini. Care-O-bot 4, dari

Fraunhofer IPA, misalnya, adalah robot yang tersedia secara komersial yang

dirancang untuk menyediakan fungsi bantuan di rumah (Luxton & Riek,

2019).

3.2 Intelligence Mobile dan Wearable Devices

Intelligence obile dan wearable devices menjadi platform pengumpulan

data yang sangat baik untuk data terkait kesehatan, serta data kontekstual

yang relevan selama rehabilitasi. Wearable devices konsumen dari


25

perusahaan seperti Apple, Fitbit, Jawbone, atau Nike dapat digunakan untuk

mengumpulkan data fisiologis, perilaku, lingkungan (misalnya, dari sensor

lingkungan), biologis, dan penilaian yang dilaporkan sendiri. Keuntungan

utama dari teknologi wearable, seperti smart watches, adalah bahwa mereka

berada dalam kontak fisik dengan pengguna untuk jangka waktu yang lama

dan tidak memerlukan interaksi pengguna dengan keyboard atau layar sentuh

saat digunakan (Luxton & Riek, 2019).

Fall Detection System (FDS) adalah contoh teknologi yang relevan

dengan rehabilitasi yang menggunakan sensor cerdas yang ditempatkan

dalam lingkungan dan/atau sebagai wearable devices. Tujuan dari sistem-

sistem ini adalah mendeteksi jatuh dan secara otomatis memberi peringatan

kepada staf medis, layanan darurat, atau anggota keluarga jika dibutuhkan

bantuan. Casilari dan Oviedo-Jiménez melakukan uji coba sistem tersebut

yang menggunakan algoritma deteksi jatuh yang diimplementasikan dalam

aplikasi smartphone dan smartwatch (keduanya dilengkapi dengan

accelerometer dan giroskop terintegrasi) untuk melacak dan menganalisis

gerakan pasien simulasi. Sistem ini dirancang untuk membedakan jatuh dari

aktivitas konvensional sehari-hari dengan secara bersamaan dan independen

menganalisis data dari kedua perangkat tersebut (mereka dapat berinteraksi

melalui koneksi Bluetooth). Algoritma ML memungkinkan sistem-sistem ini

belajar pola perilaku dan karakteristik individu dari waktu ke waktu dan

dengan demikian membantu mengurangi hasil positif palsu. Selain itu, sistem

dapat dirancang untuk menilai risiko lingkungan, seperti lampu rumah yang

mati atau jarak dekat dengan bahaya jatuh (misalnya, tangga) dan
26

memberikan peringatan secara preventif kepada penghuni atau penyedia

perawatan (Luxton & Riek, 2019).

Sejumlah aplikasi seluler yang berkembang untuk digunakan dalam

rehabilitasi kini tersedia bagi para profesional perawatan kesehatan, klien,

dan anggota keluarga. Ini termasuk alat-alat untuk mengakses informasi

terkait kesehatan, alat bantu pengambilan keputusan klinis, pencitraan medis,

pelacak mood dan perilaku (misalnya, catatan nyeri), pemantau fisiologis, dan

alat bantu. Perangkat seluler juga menawarkan cara untuk memfasilitasi

obrolan langsung dengan tenaga medis atau profesional dukungan lainnya,

intervensi pesan teks (misalnya, pengingat perilaku), pengingat jadwal dan

janji, serta layanan tele-rehabilitasi berbasis video secara sinkron (Luxton &

Riek, 2019).

Sebuah penelitian yang menggunakan aplikasi smartphone, Motion

Coach, diuji pada pasien osteoarthritis hip atau knee yang sedang menjalani

program rehabilitasi. Didapatkan hasil bahwa Motion Coach tidak inferior

terhadap evaluasi fisioterapis sehingga bisa mendeteksi pasien selama latihan

dan memberikan tanggapan audiovisual balik terkait latihan yang dilakukan

pada pasien kelainan muskuloskeletal (Biebl et al., 2021)


27

Gambar 3.4 Pengaturan kamera smartphone dengan aplikasi Motion Coach (Biebl et al., 2021)\

Gambar 3.5 Contoh titik tubuh yang akan diinterpretasikan dalam aplikasi Motion Coach (Biebl et al., 2021)

3.3 Intelligent Virtual Agents (IVA)

Intelligent Virtual Agents adalah karakter virtual buatan yang dihasilkan

oleh komputer, diilustrasikan secara animasi, dan menggunakan kecerdasan

buatan. IVA dapat dirancang untuk memiliki penampilan visual seperti

manusia, hewan, atau bentuk lain yang dapat dibayangkan. IVA dapat

digunakan pada komputer pribadi, ponsel seluler, dan tablet, atau bahkan pada

robot. Pengenalan suara dan NLP memungkinkan agen virtual untuk

berkomunikasi dengan pengguna melalui antarmuka teks sederhana atau

percakapan verbal. IVA biasanya memiliki mesin pengetahuan dengan

informasi yang digunakan dalam percakapan untuk memungkinkannya


28

memahami, beralasan, dan kadang-kadang menunjukkan emosi (Luxton &

Riek, 2019).

Terdapat empat kemampuan yang diperlukan oleh IVA dalam domain

perawatan kesehatan saat berinteraksi dengan pasien:

 Perencanaan: Agen cerdas harus membangun program pelatihan atau

perawatan dinamis yang dipersonalisasi untuk setiap pasien (Kraus,

2015).

 Pemantauan: Agen harus memantau aktivitas pasien dan

mengidentifikasi aktivitas yang bermasalah serta keberhasilan.

Aktivitas tersebut dapat menjadi bagian dari program pelatihan

(misalnya, mengangkat lengan dalam latihan fisioterapi virtual) atau

aktivitas sehari-hari (misalnya, memakai kaus kaki). Laporan

pemantauan ini akan digunakan oleh modul perencanaan, intervensi,

dan penguatan (Kraus, 2015).

 Intervensi: Ketika pasien mengalami kesulitan, agen harus

mempertimbangkan untuk melakukan intervensi dengan menunjukkan

masalah tersebut, mendemonstrasikan tindakan yang benar, atau

bahkan lebih baik lagi, dengan membimbing pasien untuk

mengidentifikasi perbaikan yang diperlukan (Kraus, 2015).

 Penguatan: Tugas utama agen cerdas adalah memotivasi pasien untuk

berlatih dan berpartisipasi dalam terapi. Agen penguatan juga dapat

mendukung pasien sepanjang proses rehabilitasi; program pelatihan

otomatis dapat membantu pasien mencapai tujuan rehabilitasi yang sulit

dan menyakitkan serta meningkatkan kepatuhan medis. Motivasi


29

terhadap pasien dapat dicapai melalui hadiah, diskusi, dan argumentasi

(Kraus, 2015).

Penerapan IVA yang "menggantikan" tenaga profesional rehabilitasi

manusia menunjukkan bahwa mereka dapat menjadi pesaing bagi tenaga

kerja rehabilitasi. Memang, ada kekhawatiran dan bukti yang semakin

meningkat di banyak industri, termasuk perawatan kesehatan, bahwa AI akan

menggantikan tenaga profesional manusia. Namun, kemungkinan besar, IVA

akan digunakan untuk membantu tenaga profesional rehabilitasi dan

meningkatkan apa yang mereka lakukan, bukan menggantikan mereka. Ada

juga peluang bagi psikolog rehabilitasi untuk berkontribusi dalam desain dan

pengujian IVA serta memastikan bahwa IVA digunakan secara etis dan efektif

dalam meningkatkan hasil bagi klien (Luxton & Riek, 2019).

3.4 Virtual and Augmented Reality Berbasis Artificial Intelligence

Orang dapat menggunakan Virtual Reality (VR) untuk merasakan

pengalaman yang mendalam dan berinteraksi dengan lingkungan simulasi

tiga dimensi. Hal ini juga memungkinkan pembuatan manusia virtual atau

bentuk kehidupan virtual yang mana individu dapat berkomunikasi dalam

dunia virtual. VR memungkinkan penciptaan dan pengelolaan rangsangan

lingkungan dalam aplikasi terapeutik, memungkinkan latihan dan pencatatan

respons perilaku untuk evaluasi klinis dan pencapaian tujuan pengobatan

(Pattanshetty & Khan, 2022).

Dalam Augmented Reality (AR), VR yang dihasilkan secara digital

dapat ditempatkan pada gambar video "dunia nyata" yang sedang


30

berlangsung. Hal ini membuat informasi tentang lingkungan sekitar pengguna

bisa ikut terlibat, sehingga meningkatkan cara berpikir peserta. Pendekatan

VR dalam augmented reality telah diimplementasikan untuk meningkatkan

keterampilan motorik, pengelolaan nyeri, dan rehabilitasi pasca stroke

(Pattanshetty & Khan, 2022).

Sebuah perangkat, MuscleRehab, yang dirancang dengan

menyandingkan teknologi VR berbasis AI telah dilakukan pada 10 pasien

paska total knee arthroplasty. Hasil penelitian ini menunjukkan peningkatan

eksekusi latihan terapeutik sebesar 15% dibanding kelompok yang menjalani

protokol rehabilitasi tradisional. Alat yang digunakan tergolong mahal

sehingga penelitian lebih lanjut masih diperlukan untuk mencoba komponen

perangkat yang lebih terjangkau. (Zhu et al., 2022).

Gambar 3 6 Gambar depan perangkat Muscle Rehab (Zhu et al., 2022)

Perbedaan antara VR yang berbasis AI dan VR biasa terletak pada

integrasi teknologi AI dalam pengalaman VR (Pattanshetty & Khan, 2022).


31

 Interaksi yang lebih cerdas: VR yang berbasis kecerdasan buatan dapat

menggunakan teknik-teknik seperti pemrosesan bahasa alami,

pengenalan wajah, atau analisis emosi untuk memungkinkan interaksi

yang lebih cerdas antara pengguna dan lingkungan virtual. Ini dapat

menciptakan pengalaman yang lebih realistis dan responsif

(Pattanshetty & Khan, 2022).

 Personalisasi yang lebih baik: Dengan menggunakan kecerdasan buatan,

VR dapat mengumpulkan dan menganalisis data pengguna untuk

mempersonalisasi pengalaman VR sesuai dengan preferensi dan

kebutuhan individu. Hal ini memungkinkan penyampaian konten yang

lebih relevan dan efektif dalam VR (Pattanshetty & Khan, 2022).

 Kemampuan belajar dan adaptasi: VR yang berbasis kecerdasan buatan

dapat belajar dari interaksi pengguna dan secara dinamis beradaptasi

dengan preferensi dan tingkat keterampilan individu. Ini

memungkinkan pengalaman VR untuk mengoptimalkan tingkat

kesulitan, memberikan panduan dan umpan balik yang lebih efektif, dan

secara keseluruhan meningkatkan pembelajaran dan pelatihan dalam

lingkungan virtual (Pattanshetty & Khan, 2022).

 Pengambilan keputusan cerdas: Integrasi kecerdasan buatan dalam VR

dapat memungkinkan pengambilan keputusan cerdas berdasarkan

analisis data dan konteks lingkungan virtual. Ini dapat digunakan dalam

skenario seperti simulasi medis, pelatihan industri, atau pengambilan

keputusan dalam permainan VR yang lebih kompleks (Pattanshetty &

Khan, 2022).
32

 Fleksibilitas dan adaptabilitas: Keberadaan kecerdasan buatan dalam

VR memberikan fleksibilitas dan adaptabilitas yang lebih besar dalam

menghadirkan pengalaman yang dinamis dan sesuai dengan situasi

yang berubah. Sistem VR yang berbasis kecerdasan buatan dapat secara

otomatis menyesuaikan konten, tantangan, dan lingkungan berdasarkan

interaksi dan respons pengguna (Pattanshetty & Khan, 2022).

Secara keseluruhan, VR yang berbasis kecerdasan buatan

menghadirkan pengalaman VR yang lebih cerdas, personal, adaptif, dan

interaktif. Dengan integrasi kecerdasan buatan, VR menjadi lebih responsif,

mampu belajar, dan dapat memberikan pengalaman yang lebih kaya dan

efektif dalam berbagai konteks (Pattanshetty & Khan, 2022).

3.5 Robotic

Gambar 3.7 Latihan dengan pelatih robot (Simonov & Delconte, 2015)

Sebuah penelitian dengan sampel pasien yang mengidap penyakit paru

obstruktif kronik menunjukkan bahwa melakukan latihan fisik dengan robot

meningkatkan kepatuhan pasien. Robot akan memperagakan gerakan latihan

fisik kemudian mengaktifkan sensornya untuk memastikan gerakan

dilakukan oleh pasien dengan benar (Simonov & Delconte, 2015).


33

Sebuah studi terapi fisik pada pasien paska stroke dengan bantuan AI

dan robot pelatif. Terapis dan pasien sama-sama menunjukkan respon positif

6 fungsional utama AI dan robot pelatif dengan semua aspek evaluasi

(ekspektasi, komprehensi, dan kegunaan). Secara khusus, pasien paska-stroke

menggambarkan manfaat potensial dari AI dan pelatih robotik kami yang


34

dapat mendukung manajemen sistematis untuk sesi rehabilitasi mandiri yang

lebih koordinatif, menginstruksikan latihan dengan meyakinkan dan jelas

untuk membuat pasien merasa lebih aman dan termotivasi untuk melakukan

latihan. Namun, mereka juga mengungkapkan beberapa kekhawatiran: (1)

kemungkinan kesulitan berinteraksi bagi pasien paska-stroke dengan

gangguan kognitif, (2) portabilitas, dan (3) biaya (Lee et al., 2022).

Peneliti menggunakan kombinasi exoskeleton dari material ringan dan

AI untuk menciptakan robot exoskeleton yang mampu menolong orang

dengan gangguan mobilisasi. Bagian penting dari alat baru ini yaitu teknologi

yang mampu membiarkan skeleton secara efektif menebak keinginan

pengguna (Furukawa et al., 2022)

Gambar 3.8 Knee exoskeleton (Furukawa et al., 2022)


BAB 4

TANTANGAN PENGGUNAAN AI PADA LAYANAN KFR

4.1 Explainability

Para profesional medis cenderung membuat keputusan berdasarkan

data yang diperoleh melalui teknologi yang mereka pahami atau setidaknya

mereka memahami dasar-dasarnya sehingga cukup percaya padanya. Namun,

dalam kasus AI, hal ini bisa jadi tidak memungkinkan. Namun demikian,

jutaan parameter yang dipelajari (bobot koneksi dalam jaringan) menentukan

keluaran dari DL, yang membuatnya sulit dipahami dalam proses

pengambilan keputusan (Meskó & Görög, 2020).

AI berdasarkan algoritma deep learning tidak transparan, membuat para

klinisi ragu tentang tanda-tanda diagnosis. Pertanyaan kunci kemudian adalah

bagaimana seseorang dapat memberikan bukti yang meyakinkan tentang

responsnya. Namun, ada kesenjangan antara model AI dan pemahaman

manusia, yang saat ini dikenal sebagai transparansi "kotak hitam". Oleh

karena itu, banyak penelitian yang berfokus pada penyederhanaan model AI

agar lebih mudah dipahami oleh para klinisi, guna meningkatkan kepercayaan

dalam penggunaan model AI (Kaul et al., 2020).

35
36

Gambar 4.1 Black box (Kaul et al., 2020)

4.2 Augmented Intelligence

Ini adalah istilah yang sering dipromosikan oleh organisasi seperti

American Medical Association. Istilah ini menekankan peran bantu AI dalam

bidang medis dengan penekanan bahwa desain AI meningkatkan kecerdasan

manusia daripada menggantikannya. Istilah ini juga merujuk pada nilai yang

dapat diberikan oleh AI melalui kombinasi kemampuan unik para ahli dengan

AI untuk memberikan perawatan yang lebih baik bagi pasien. Istilah serupa

yang terkait dengan augmented intelligence adalah "human-centered AI" yang

menjelajahi kebutuhan pengembangan sistem berbasis AI yang belajar dan

bekerja sama dengan manusia secara dalam dan bermakna (Meskó & Görög,

2020).

4.3 Isu privasi

AI dalam bidang medis membutuhkan akses terhadap catatan medis,

data dari sensor kesehatan, algoritme medis, aplikasi, dan sumber informasi

lainnya. Data dapat berasal dari lembaga kesehatan atau individu. Meskipun
37

lembaga kesehatan membuat data menjadi anonim, telah terbukti dalam

banyak kasus bahwa profil individu dapat dilacak kembali (Meskó & Görög,

2020).

4.4 Isu legalitas

Bagaimana jika algoritma DL gagal mendiagnosis, dokter menerima

penilaian tersebut, dan pasien menderita konsekuensinya? Bagaimana jika

sebuah robot bedah otonom melukai seorang pasien selama prosedur? Sedang

berlangsung perdebatan tentang siapa yang akan bertanggung jawab di masa

depan ketika robot dan AI, yang bertindak secara otonom, menyebabkan

kerugian pada pasien. Konsensus saat ini menyatakan bahwa profesional

tersebut akan terbuka untuk tanggung jawab jika ia menggunakan alat

tersebut dalam situasi di luar cakupan persetujuan regulasi, atau salah

menggunakannya, atau mengaplikasikannya meskipun memiliki keraguan

profesional yang signifikan terhadap validitas bukti yang mengelilingi alat

tersebut, atau dengan pengetahuan bahwa pembuat alat tersebut

menyembunyikan fakta negatif. Dalam kasus lainnya, tanggung jawab jatuh

pada para pencipta dan perusahaan di balik mereka (Meskó & Görög, 2020).

4.5 Kepercayaan

Dibutuhkan waktu yang cukup lama bagi kita untuk mempercayai

mobil otomatis, melihat bagaimana mobil tersebut bereaksi dalam situasi

yang kita kenal atau apakah mobil tersebut membuat keputusan serupa dalam

keadaan darurat. Oleh karena itu, dibutuhkan waktu yang lebih lama tidak
38

hanya bagi pasien, tetapi juga bagi para profesional medis untuk

mempercayai AI dalam diagnosis medis, mendukung pengambilan keputusan

medis, atau merancang obat-obatan baru. Hal ini harus dipertimbangkan

ketika kita memutuskan untuk mengadopsi teknologi ini dalam pengaturan

perawatan kesehatan (Meskó & Görög, 2020).


BAB 5

PENUTUP

Artificial Intelligence adalah salah satu teknologi yang sangat

berkembang dalam satu dekade terakhir. Teknologi ini bisa dimanfaatkan

dalam berbagai sektor, termasuk salah satunya adalah sektor kesehatan. Pada

tahun 2018 terjadi peningkatan drastis dalam hal publikasi mengenai

pemanfaat AIM, dan bidang Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi juga termasuk

di dalamnya. Artificial Intelligence bisa membantu meningkatkan kepada

pasien, beradaptasi dengan kebutuhan pasien, dan lebih interaktif sehingga

dalam beberapa penelitian pendahulu didapatkan bahwa layanan kesehatan

yang dikombinasikan dengan AI lebih unggul dibanding masing-masing

digunakan sendiri. Integrasi teknologi-teknologi ini juga menghadirkan

beberapa tantangan, termasuk risiko privasi (misalnya, keamanan data).

Teknologi dan metode baru terus-menerus diperkenalkan ke pasar, dan

meskipun kemajuan ini merupakan hal yang baik, hal tersebut juga

membutuhkan penelitian baru untuk membuktikan keefektivitannya.

39
40

DAFTAR PUSTAKA

Acampora, G., Cook, D. J., Rashidi, P., & Vasilakos, A. V. (2013). A Survey on
Ambient Intelligence in Health Care NIH Public Access. Proc IEEE Inst
Electr Electron Eng, 101(12), 2470–2494. https://doi.org/10.1109/JPROC
Agrawal, A., Gans, J. S., & Goldfarb, A. (2017). What to Expect From Artificial
Intelligence. http://mitsmr.com/2jZdf1Y
Anderson, D. (2019). Artificial Intelligence and Applications in PM&R. American
Journal of Physical Medicine & Rehabilitation, 98(11), e128–e129.
https://doi.org/10.1097/PHM.0000000000001171
Biebl, J. T., Rykala, M., Strobel, M., Bollinger, P. K., Ulm, B., Kraft, E., Huber,
S., & Lorenz, A. (2021). App-based feedback for rehabilitation exercise
correction in patients with knee or hip osteoarthritis: Prospective cohort
study. Journal of Medical Internet Research, 23(7).
https://doi.org/10.2196/26658
Furukawa, J. I., Okajima, S., An, Q., Nakamura, Y., & Morimoto, J. (2022).
Selective Assist Strategy by Using Lightweight Carbon Frame Exoskeleton
Robot. IEEE Robotics and Automation Letters, 7(2), 3890–3897.
https://doi.org/10.1109/LRA.2022.3148799
Gennatas, E. D., & Chen, J. H. (2020). Artificial intelligence in medicine: past,
present, and future. In Artificial Intelligence in Medicine: Technical Basis
and Clinical Applications (pp. 3–18). Elsevier Applied Science.
https://doi.org/10.1016/B978-0-12-821259-2.00001-6
Gokul, H., Suresh, P., Hari Vignesh, Pravin Kumaar, P., & Vijayaraghavan, V.
(2020). Gait Recovery System for Parkinson’s Disease using Machine
Learning on Embedded Platforms. 2020 IEEE International Systems
Conference (SysCon), 1–8. http://arxiv.org/abs/2004.05811
Haenlein, M., & Kaplan, A. (2019). A brief history of artificial intelligence: On
the past, present, and future of artificial intelligence. California Management
Review, 61(4), 5–14. https://doi.org/10.1177/0008125619864925
He, J., Baxter, S. L., Xu, J., Xu, J., Zhou, X., & Zhang, K. (2019a). The practical
implementation of artificial intelligence technologies in medicine. In Nature
Medicine (Vol. 25, Issue 1, pp. 30–36). Nature Publishing Group.
https://doi.org/10.1038/s41591-018-0307-0
He, J., Baxter, S. L., Xu, J., Xu, J., Zhou, X., & Zhang, K. (2019b). The practical
implementation of artificial intelligence technologies in medicine. In Nature
Medicine (Vol. 25, Issue 1, pp. 30–36). Nature Publishing Group.
https://doi.org/10.1038/s41591-018-0307-0
41

Holzinger, A., Langs, G., Denk, H., Zatloukal, K., & Müller, H. (2019).
Causability and explainability of artificial intelligence in medicine. In Wiley
Interdisciplinary Reviews: Data Mining and Knowledge Discovery (Vol. 9,
Issue 4). Wiley-Blackwell. https://doi.org/10.1002/widm.1312
Joshi, A. V. (2020). Machine Learning and Artificial Intelligence. Springer
International Publishing. https://doi.org/10.1007/978-3-030-26622-6
Kaul, V., Enslin, S., & Gross, S. A. (2020). History of artificial intelligence in
medicine. In Gastrointestinal Endoscopy (Vol. 92, Issue 4, pp. 807–812).
Mosby Inc. https://doi.org/10.1016/j.gie.2020.06.040
Kraus, S. (2015). Intelligent Agents for Rehabilitation and Care of Disabled and
Chronic Patients *. Proceedings of the AAAI Conference on Artificial
Intelligence. https://doi.org/https://doi.org/10.1609/aaai.v29i1.9770
Lee, M. H., Siewiorek, D. P., Smailagic, A., Bernardino, A., & Badia, S. B. i.
(2022). Enabling AI and Robotic Coaches for Physical Rehabilitation
Therapy: Iterative Design and Evaluation with Therapists and Post-stroke
Survivors. International Journal of Social Robotics.
https://doi.org/10.1007/s12369-022-00883-0
Luxton, D. D., & Riek, L. D. (2019). Artificial intelligence and robotics in
rehabilitation. In Handbook of rehabilitation psychology (3rd ed.). (pp. 507–
520). American Psychological Association. https://doi.org/10.1037/0000129-
031
Mathur, P., Mishra MTech, S., Awasthi, R., Khanna, A. K., Maheshwari MPH, K.,
Papay, F. A., Naylor, A. J., Abdallah, N., Weight, C. J., Bhattacharyya, A.,
Khare, A., Singh, G., Reddy MBBS, S., Cha, J., Anand, A., Nguyen, H.,
Tandon, A., Mamillapalli, C., Pozdeyev, N., … Author Bios BrainX, F.
(2022). Artificial Intelligence in Healthcare: 2021 Year in Review.
https://www.brainxai.org
Meskó, B., & Görög, M. (2020). A short guide for medical professionals in the era
of artificial intelligence. In npj Digital Medicine (Vol. 3, Issue 1). Nature
Research. https://doi.org/10.1038/s41746-020-00333-z
Pattanshetty, R. B., & Khan, S. (2022). A Shifting Paradigm from Human
Intelligence to Artificial Intelligence in Rehabilitation: A Descriptive Review.
https://doi.org/10.4103/ijptr.ijptr_43_21
Secinaro, S., Calandra, D., Secinaro, A., Muthurangu, V., & Biancone, P. (2021).
The role of artificial intelligence in healthcare: a structured literature review.
BMC Medical Informatics and Decision Making, 21(1), 125.
https://doi.org/10.1186/s12911-021-01488-9
42

Simonov, M., & Delconte, G. (2015). Humanoid assessing rehabilitative


exercises. Methods of Information in Medicine, 54(2), 114–121.
https://doi.org/10.3414/ME13-02-0054
Yu, K. H., Beam, A. L., & Kohane, I. S. (2018). Artificial intelligence in
healthcare. In Nature Biomedical Engineering (Vol. 2, Issue 10, pp. 719–
731). Nature Publishing Group. https://doi.org/10.1038/s41551-018-0305-z
Zhu, J., Lei, Y., Shah, A., Schein, G., Ghaednia, H., Schwab, J., Harteveld, C., &
Mueller, S. (2022, October 29). MuscleRehab: Improving Unsupervised
Physical Rehabilitation by Monitoring and Visualizing Muscle Engagement.
UIST 2022 - Proceedings of the 35th Annual ACM Symposium on User
Interface Software and Technology. https://doi.org/10.1145/3526113.3545705

Anda mungkin juga menyukai