Anda di halaman 1dari 2

Ketika berbicara masalah bank, hal terpikirkan dalam benak orang banyak adalah suatu tempat

terjadinya transaksi uang, baik berupa aktivitas menabung, mentransfer, atau mengambil uang.

Namun, tidak demikian halnya untuk bank yang ini. Bank ini adalah bank sampah. Bank yang
bernama Bank Sampah Gemah Ripah, kini sudah diterapkan di 20 desa di Bantul, DI Yogyakarta.

Bank ini lahir dari ide seorang dosen di Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan di Yogyakarta
bernama Bambang Suwerda. Keaktifannya mengajar sebagai dosen tak membuat Bambang terjebak
rutinitas. Ketika ide itu muncul, langsung dia berusaha mewujudkannya.

Sebagai dosen kuliah kesehatan masyarakat, dia menginginkan masyarakat di sekitar rumahnya
hidup sehat. Begitu demam berdarah dengue (DBD) menyerang kampungnya, Bambang resah. Dia
lantas menggagas pembentukan bengkel kesehatan lingkungan.

Dalam benak Bambang, dengan membentuk bengkel kesehatan lingkungan, ia bisa mengajak warga
untuk lebih peduli pada kebersihan lingkungan. Dengan kepedulian itu, kasus DBD otomatis akan
turun jumlahnya.

”Saya mulai dari hal sederhana, yakni membuang sampah, seperti kaleng bekas, pada tempatnya
agar tidak menampung air. Masyarakat saya ajak untuk mengumpulkan sampah dan memilahnya.
Awalnya respons masyarakat tidak terlalu bagus karena mereka menilai sampah adalah urusan
cetek yang tak perlu dibuat serius,” kata Bambang.

Respons warga yang tidak menggembirakan itu membuat dia harus berpikir keras. Sampai suatu saat
ia melihat tayangan televisi yang menceritakan aktivitas sebuah komunitas dalam membangun bank
sampah.

”Namun, konsep mereka baru sebatas mengumpulkan, lalu mengolahnya menjadi produk yang lebih
bermanfaat,” katanya.

Istilah bank sampah membuat dia langsung teringat pada aktivitas perbankan. Meski latar belakang
pendidikannya adalah teknik lingkungan, Bambang mencoba mengadopsi konsep bank konvensional
pada bank sampah yang digagasnya.

”Waktu itu saya kepikiran bagaimana mengelola sampah seperti mengelola uang di bank. Gagasan
itu kemudian saya lontarkan kepada anggota kelompok dan mereka menerima,” katanya.

Setelah digagas cukup matang, momentum peringatan dua tahun gempa yang melanda Yogyakarta
pada 2008 dimanfaatkan untuk meluncurkan gerakan bank sampah.

Pada masa awal banyak warga yang masih bingung dengan konsep tersebut sehingga gerakan bank
sampah kurang berjalan efektif. Baru sekitar sebulan kemudian, masyarakat bisa menerimanya.

Para peserta bank sampah disebut nasabah. Setiap nasabah datang dengan tiga kantong sampah
yang berbeda. Kantong pertama berisi sampah plastik; kantong kedua adalah sampah kertas; dan
kantong ketiga berisi sampah kaleng dan botol.

Setelah ditimbang, nasabah akan mendapatkan bukti setor dari petugas yang diibaratkan
sebagai teller bank. Bukti setoran itu menjadi dasar penghitungan nilai rupiah sampah yang
kemudian dicatat dalam buku tabungan nasabah.

Setelah sampah yang terkumpul cukup banyak, petugas bank sampah akan menghubungi
pengumpul barang bekas. Pengumpul barang bekas yang memberikan nilai ekonomi setiap kantong
sampah milik nasabah. Catatan nilai rupiah itu lalu dicocokkan dengan bukti setoran, baru kemudian
dibukukan.

Harga sampah dari warga itu bervariasi, tergantung klasifikasinya. Kertas karton, misalnya, dihargai
Rp 2.000 per kilogram dan kertas arsip Rp 1.500 per kg. Sedangkan plastik, botol, dan kaleng
harganya disesuaikan dengan ukuran.

Setiap nasabah memiliki karung ukuran besar yang ditempatkan di bank untuk menyimpan sampah
yang mereka tabung. Setiap karung diberi nama dan nomor rekening masing-masing nasabah.
Karung-karung sampah itu tersimpan di gudang bank yang terletak tak jauh dari rumah Bambang.

Tak jauh berbeda dengan bank konvensional umumnya, bank sampah juga menerapkan sistem bagi
hasil dengan memotong 15 persen dari nilai sampah yang disetor individu nasabah. Sedangkan
sampah suatu kelompok dipotong 30 persen. Dana itu digunakan untuk biaya operasional bank
sampah.

Jika nasabah bank konvensional bisa mengambil dananya setiap saat, nasabah bank sampah hanya
bisa menarik dana setiap tiga bulan sekali. Tujuannya agar dana yang terkumpul bisa lebih banyak
sehingga uang tersebut bisa dimanfaatkan sebagai modal kerja atau keperluan yang sifatnya
produktif.

”Kalau dibebaskan (nasabah bisa mengambil kapan saja), mereka bisa jadi konsumtif. Dana baru
terkumpul Rp 20.000-Rp 30.000, mereka sudah tergiur mengambilnya. Dengan aturan sekali dalam
tiga bulan, mereka bisa menarik dananya Rp 100.000-Rp 200.000, tergantung banyaknya sampah
yang ditabung,” kata Bambang.

Tak semua sampah nasabah disetorkan kepada pengumpul barang bekas. Sebagian di antaranya,
seperti sampah plastik bekas pembungkus makanan dan gabus, diolah sendiri oleh bank sampah.
Plastik diolah menjadi aneka produk, seperti tas, dompet, dan rompi.

Kesuksesan Bank Sampah Gemah Ripah di Dusun Bandegan, Bantul, Yogyakarta, itu menginspirasi
daerah lain. Kini, bank sampah telah diterapkan di 20 desa di Bantul, melibatkan sekitar 1.000
keluarga.

Dengan moto ”Menabung sampah, hidup lebih bersih dan hari esok lebih baik”, bank sampah
menjadi solusi penanganan sampah yang selama ini menumpuk. Sebagai daerah yang memiliki
tempat pembuangan akhir (TPA), setiap hari Bantul menerima 350-400 ton sampah.

”Gerakan bank sampah ini seharusnya menjadi gerakan kolektif penanganan sampah. Tak bisa
masing-masing kita bergerak sendiri-sendiri,” ujar Bambang yang tengah sibuk menjadi relawan bagi
para korban letusan Gunung Merapi.

Anda mungkin juga menyukai