Anda di halaman 1dari 39

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Efisiensi Penyisihan Chemical Oxygen Demand (COD)

Hasil uji karakteristik awal konsentrasi COD limbah cair yang berasal dari

hasil pengolahan IPAL pabrik gula belum memenuhi baku mutu. Oleh karena itu,

limbah cair tersebut tidak diperbolehkan untuk langsung dibuang ke lingkungan.

Limbah cair hasil pengolahan pabrik gula perlu melalui tahap pengolahan lanjutan

agar tidak mencemari lingkungan terutama badan air. Pengolahan lanjutan yang

dapat digunakan yaitu pengolahan menggunakan sistem constructed wetland.

Penelitian ini menggunakan sistem constructed wetland dengan aliran subsurface

dalam menyisihkan konsentrasi COD limbah cair hasil pengolahan IPAL pabrik

gula. Sedangkan tanaman yang digunakan antara lain yaitu T. angustifolia dan E.

palaefolius.

Penelitian menggunakan variasi jumlah tanaman dan waktu kontak untuk

mengetahui besarnya penyisihan konsentrasi COD limbah cair hasil pengolahan

IPAL pabrik gula. Variasi jumlah tanaman yang digunakan antara lain yaitu 2, 4,

dan 6 individu tanaman, sedangkan waktu kontak yang digunakan yaitu 15 dan 30

hari. Perlakuan jumlah tanaman dan waktu kontak yang bervariasi akan

menghasilkan penyisihan konsentrasi COD yang berbeda-beda. Setelah tanaman T.

angustifolia dan E. palaefolius dikontakkan dengan limbah cair hasil pengolahan

IPAL pabrik gula selama 15 hari dan 30 hari, maka akan didapatkan hasil rata-rata

efisiensi penyisihan COD pada setiap pengulangan.

64
65

4.1.1 Karakteristik Awal Limbah Cair Hasil Pengolahan IPAL Pabrik Gula

Limbah cair hasil pengolahan IPAL pabrik gula yang digunakan dalam

penelitian berasal dari salah satu pabrik gula yang terletak di Provinsi Jawa Timur.

Limbah cair yang diambil berasal dari titik outlet Instalasi Pengolahan Limbah

(IPAL) pabrik gula tersebut. Limbah cair hasil pengolahan IPAL pabrk gula yang

didapatkan perlu diuji karakteristik awalnya untuk mengetahui kandungan awal

pencemar yang terdapat dalam limbah tersebut dan kemudian disesuaikan dengan

baku mutu yang telah ditetapkan. Baku mutu yang digunakan terdapat dalam

Peraturan Gubernur Jawa Timur Nomor 52 Tahun 2014 Tentang Baku Mutu Air

Limbah Bagi Industri dan/atau Kegiatan Usaha Lainnya pada bagian baku mutu air

limbah bagi pabrik gula dengan kapasitas antara 2.500 sampai dengan 10.000 ton

tebu yang diolah per hari untuk parameter COD, BOD5, TSS dan pH.

Sedangkan untuk parameter lainnya seperti suhu, DO, kekeruhan, amonia,

nitrat, nitrit, total N dan fosfat menggunakan Peraturan Pemerintah Nomor 22

Tahun 2021 tentang penyelenggaraan perlindungan dan pengelolaan lingkungan

hidup dengan kelas air yang dipilih yaitu kelas 3. Kelas air yang dipilih disesuaikan

dengan peruntukan air sungai yang menjadi tempat buangan limbah hasil

pengolahan IPAL pabrik gula. Peruntukan sungai digunakan untuk pengairan lahan

pertanian dan perkebunan serta budidaya ikan air tawar. Penggunaan peraturan

baku mutu yang berbeda disebabkan karena parameter suhu, DO, kekeruhan,

amonia, nitrat, nitrit, total N dan fosfat tidak diatur dalam Peraturan Gubernur Jawa

Timur Nomor 52 Tahun 2014 Tentang Baku Mutu Air Limbah Bagi Industri
66

dan/atau Kegiatan Usaha Lainnya. Hasil uji karakteristik awal limbah cair hasil

pengolahan IPAL pabrik gula dapat dilihat pada Tabel 4.1.

Tabel 4.1 Hasil Uji Karakteristik Awal Limbah Cair Hasil Pengolahan IPAL Pabrik
Gula
No. Parameter Nilai Satuan Baku Keterangan
Mutu
1. pH 6,7 - 6-9* Memenuhi
2. Suhu 28,9 ℃ Dev 3** Memenuhi
3. DO 1,8 mg/L 3** Tidak Memenuhi
4. COD 460 mg/L 100* Tidak Memenuhi
5. BOD5 254 mg/L 60* Tidak Memenuhi
6. Kekeruhan 266 NTU - -
7. TSS 161 mg/L 50* Tidak Memenuhi
8. Amonia 3,34 mg/L NH3-N 0,5** Tidak Memenuhi
9. Nitrat 39,61 mg/L NO3-N 20** Tidak Memenuhi
10. Nitrit 0,115 mg/L NO2-N 0,06** Tidak Memenuhi
11. Total N 47,10 mg/L NH3-N 25** Tidak Memenuhi
12. Fosfat 0,71 mg/L PO4-P 1** Memenuhi
Sumber: *Peraturan Gubernur Jawa Timur Nomor 52 Tahun 2014
**Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021

Berdasarkan Tabel 4.1, hasil uji karakteristik awal limbah cair hasil

pengolahan IPAL pabrik gula untuk parameter COD, BOD, dan TSS tidak

memenuhi baku mutu Peraturan Gubernur Jawa Timur Nomor 52 Tahun 2014

Tentang Baku Mutu Air Limbah Bagi Industri dan/atau Kegiatan Usaha Lainnya

pada pada bagian baku mutu air limbah bagi pabrik gula dengan kapasitas antara

2.500 sampai dengan 10.000 ton tebu yang diolah per hari. Parameter DO,

Turbiditas, Amonia, Nitrat, Nitrit dan Total N juga tidak memenuhi baku mutu

Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang penyelenggaraan

perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Terdapat sembilan parameter

yang tidak memenuhi baku mutu yang telah ditetapkan, sehingga limbah cair hasil

pengolahan IPAL pabrik gula tidak bisa langsung dibuang ke lingkungan.

Parameter DO, COD, BOD, Turbiditas, dan TSS yang tidak memenuhi baku mutu
67

menunjukkan bahwa kandungan bahan organik dalam limbah cair masih cukup

tinggi.

Kandungan bahan organik yang tinggi dapat berpotensi menggangu

ekosistem perairan. Kandungan bahan organik yang cukup tinggi akan membuat

perairan memiliki kondisi kesuburan yang berlebihan sehingga akan menyebabkan

eutrofikasi atau ledakan populasi tumbuhan perairan, sehingga akan mengganggu

kelangsungan hidup biota air (Ismoyo et al., 2017). Selain itu, kandungan bahan

organik yang tinggi dapat menyebabkan penurunan kualitas air akibat adanya

proses dekomposisi bahan organik yang terjadi di dalam ekosistem perairan. Proses

dekomposisi bahan organik yang terjadi secara aerob dapat menyebabkan

kandungan oksigen terlarut didalam perairan menjadi rendah atau bahkan habis.

Kandungan oksigen terlarut rendah di dalam perairan dapat membuat proses

dekomposisi akan berlangsung secara anaerob sehingga akan menghasilkan

senyawa-senyawa yang tidak stabil dan bersifat toksik. Kondisi perairan yang

demikian dapat menyebabkan kematian bagi biota perairan (Faiz, 2010).

4.1.2 Hasil Uji Range Finding Test (RFT)

Uji Range Finding Test (RFT) dilakukan untuk mengetahui batas kritis

konsentrasi limbah cair yang tidak memberikan efek kematian pada tanaman.

Konsentrasi tersebut yang kemudian akan digunakan dalam penelitian utama.

Variasi konsentrasi yang akan digunakan diperoleh dengan cara melakukan

pengenceran limbah cair kemudian diujikan pada tanaman T. angustifolia dan E.

palaefolius. Variasi konsentrasi limbah cair pabrik gula yang digunakan dalam

penelitian antara lain yaitu konsentrasi 0% (kontrol), 20%, 40%, 60%, 80%, dan
68

100%. Uji RFT dilakukan selama 7 hari dengan parameter yang diamati berupa

morfologi tanaman T. angustifolia dan E. palaefolius yang meliputi kondisi

tanaman, jumlah daun, warna daun, dan ketinggian tanaman. Media yang

digunakan pada uji RFT yaitu kerikil setinggi 10 cm dan pasir setinggi 8 cm.

Masing-masing reaktor berisi 8 Liter limbah cair dengan variasi konsentrasi yang

telah ditetapkan. Hasil uji RFT tanaman T. angustifolia dapat dilihat pada tabel 4.2

dan tabel 4.3, sedangkan hasil uji RFT tanaman E. palaefolius dapat dilihat pada

Tabel 4.4 dan Tabel 4.5.

Tabel 4.2 Gambar Hasil Pengamatan Fisik Uji RFT Tanaman T.angustifolia
Hari Gambar
Ke- 0% 20% 40% 60% 80% 100%
1

Tabel 4.3 Hasil Uji RFT Tanaman Tanaman T.angustifolia


Konsentrasi Jumlah Jumlah Pertumbuhan Jumlah Jumlah Tunas
Tanaman Tanaman Tanaman Daun Daun yang
Awal Hidup Awal Menguning

0% 4 4 4 tanaman 5-6 helai - 1


mengalami
penambahan
tinggi

20% 4 4 4 tanaman 5-6 helai 1 1


mengalami
penambahan
tinggi
69

Konsentrasi Jumlah Jumlah Pertumbuhan Jumlah Jumlah Tunas


Tanaman Tanaman Tanaman Daun Daun yang
Awal Hidup Awal Menguning

40% 4 4 4 tanaman 5-6 helai 1 1


mengalami
penambahan
tinggi

60% 4 4 4 tanaman 5-6 helai 1 1


mengalami
penambahan
tinggi

80% 4 2 2 tanaman 5-6 helai 5-6 helai -


mengalami
penambahan
tinggi

100% 4 0 Tidak ada 5-6 helai 6 helai -


tanaman yang
mengalami
penambahan
tinggi

Tabel 4.4 Gambar Hasil Pengamatan Fisik Uji RFT Tanaman E. palaefolius
Hari Gambar
Ke- 0% 20% 40% 60% 80% 100%
1

7
70

Tabel 4.5 Hasil Uji RFT Tanaman E. palaefolius


Konsentrasi Jumlah Jumlah Pertumbuhan Jumlah Jumlah Daun
Tanaman Tanaman Tanaman Daun Daun yang Baru
Awal Hidup Awal Menguning

0% 4 tanaman 5-7
4 4 mengalami helai - 1
penambahan
tinggi

20% 4 tanaman 5-7


4 4 mengalami helai 1 helai 1
penambahan
tinggi

40% 4 tanaman 5-7


4 4 mengalami helai 1 helai 1
penambahan
tinggi

60% 4 tanaman 5-7


4 4 mengalami helai 1 helai 1
penambahan
tinggi

80% 2 tanaman 5-7


4 2 mengalami helai 6-7 helai -
penambahan
tinggi

100% 1 tanaman 5-7


4 1 mengalami helai 6-7 helai -
penambahan
tinggi

Berdasarkan hasil pengamatan uji RFT selama 7 hari, terlihat bahwa tanaman

T. angustifolia maupun E. palaefolius mampu hidup dengan baik pada konsentrasi

limbah cair sebesar 60%. Jumlah tanaman pada reaktor yang berisi limbah cair

dengan konsentrasi 60% baik tanaman T. angustifolia maupun E. palaefolius pada


71

hari ke 7 tetap berjumlah 4 individu dan memiliki kondisi yang segar. Meskipun

ada satu daun dalam satu reaktor yang memiliki ujung kuning, tetapi kondisi semua

daun yang lain tetap hijau. Semua individu tanaman pada konsentrasi 60% tetap

mengalami pertambahan tinggi dan muncul tunas baru untuk tanaman T.

angustifolia serta muncul daun baru untuk tanaman E. palaefolius. Hal tersebut

menandakan bahwa kedua tanaman tersebut pada konsentrasi limbah sebesar 60%

masih bisa bertahan hidup dengan baik. Oleh karena itu, konsentrasi limbah cair

yang digunakan pada penelitian utama adalah 60%.

Pada konsentrasi 80% dan 100%, T. angustifolia dan E. palaefolius tidak

dapat hidup dengan baik. Pada konsentrasi 80%, dua individu tanaman yang berada

di reaktor T. angustifolia mengalami kematian. Hal tersebut ditandai dengan

tanaman yang mengering bewarna coklat dan tidak adanya pertambahan tinggi.

Pada reaktor yang berisi tanaman E. palaefolius, dua individu dalam satu reaktor

mengalami kematian. Sedangkan kondisi tanaman lainnya dalam satu reaktor tidak

tampak segar ditandai dengan semua daun yang menguning dan tidak adanya

pertumbuhan tunas bagi tanaman T. angustifolia maupun daun baru bagi tanaman

E. palaefolius.

Pada konsentrasi 100%, semua tanaman yang berada di reaktor berisi T.

angustifolia mengalami kematian. Hal tersebut ditandai dengan tanaman yang

mengering bewarna coklat dan tidak adanya pertambahan tinggi. Sedangkan reaktor

yang berisi E. palaefolius pada konsentrasi limbah 100%, tiga individu tanaman

mengalami kematian. Sedangkan satu individu yang tersisa juga tidak dalam

kondisi yang baik yaitu ditandai dengan semua daun yang menguning dan tidak
72

adanya pertumbuhan daun baru. Oleh karena itu, konsentrasi limbah cair 80% dan

100% tidak dapat digunakan dalam penelitian utama.

4.1.3 Efisiensi Penyisihan Chemical Oxygen Demand (COD) pada Variasi

Waktu Kontak Dan Jumlah Tanaman

Pada Penelitian utama, menggunakan dua jenis tanaman yaitu T. angustifolia

dan E. palaefolius dengan menggunakan variasi perlakuan berupa variasi jumlah

tanaman dan waktu kontak. Variasi jumlah tanaman yang digunakan antara lain

yaitu 0 (sebagai kontrol), 2, 4, dan 6 individu tanaman. Sedangkan variasi waktu

kontak yang digunakan yaitu 15 dan 30 hari. Parameter yang diukur selama

penelitian utama yaitu COD, pH, suhu, DO, berat basah tanaman dan berat kering

tanaman. Parameter tersebut diukur pada hari ke-0 (sebelum perlakuan), hari ke-15

(setelah perlakuan) dan hari ke-30 (setelah perlakuan).

Morfologi tanaman yang diamati selama penelitian utama antara lain yaitu

warna daun, tinggi tanaman, terbentuknya daun baru untuk tanaman E. palaefolius,

dan terbentuknya tunas untuk tanaman T. angustifolia. Selama proses penelitian

utama berlangsung, setiap reaktor dilakukan penyiraman 3-4 hari sekali. Hal

tersebut bertujuan untuk menyuplai air yang hilang selama proses fotosintesis dan

menjaga tanaman agar tetap segar. Selain itu, penyiraman juga bertujuan untuk

menjaga aliran air di dalam reaktor tetap bertipe subsurface. Efisiensi penyisihan

COD tanaman T. angustifolia dan E. palaefolius pada limbah cair hasil pengolahan

IPAL pabrik gula dihitung dari nilai COD sebelum dan sesudah perlakuan 15 hari

serta sebelum dan sesudah perlakuan 30 hari. Adapun hasil efisiensi penyisihan
73

COD oleh tanaman T. angustifolia dan E. palaefolius dapat dilihat pada Gambar

4.1 dan Gambar 4.2.

100
Penyisihan COD (%)
Rata-Rata Efisiensi
80
60
40
20
0
0 Tanaman 2 Tanaman 4 Tanaman 6 Tanaman
(Kontrol)
15 Hari 30 Hari

Gambar 4.1 Efisiensi Penyisihan COD pada Limbah Cair Hasil Pengolahan
IPAL Pabrik Gula Menggunakan Tanaman T. angustifolia

Berdasarkan Gambar 4.1 di atas, efisiensi penyisihan konsentrasi COD oleh

tanaman T. angustifolia pada waktu kontak 15 hari dengan variasi jumlah tanaman

0 (kontrol), 2, 4, dan 6 individu tanaman secara berturut-turut sebesar 7,64%;

42,38%; 56,03%; dan 67,51%. Sedangkan efisisensi penyisihan konsentrasi COD

pada waktu kontak 30 hari dengan variasi jumlah tanaman tanaman 0 (kontrol), 2,

4, dan 6 individu tanaman secara berturut-turut sebesar 24,70%; 57,69%; 71,24%;

dan 77,53%. Berdasarkan variasi waktu kontak, efisiensi penyisihan konsentrasi

COD tertinggi pada waktu kontak 15 hari terdapat pada reaktor dengan variasi 6

individu tanaman yaitu sebesar 67,51%. Efisiensi penyisihan konsentrasi COD

tertinggi pada variasi waktu kontak 30 hari juga terdapat pada reaktor dengan

variasi 6 individu tanaman yaitu sebesar 77,53%. Efisiensi penyisihan konsentrasi

COD tertinggi ada pada variasi waktu kontak 30 hari. Berdasarkan variasi jumlah

tanaman, reaktor dengan variasi 6 individu tanaman memiliki nilai persentase


74

penyisihan konsentrasi COD yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan reaktor

yang menggunakan variasi 2 individu dan 4 individu tanaman.

100
Penyisihan COD (%)
Rata-Rata Efisiensi

80
60
40
20
0
0 Tanaman 2 Tanaman 4 Tanaman 6 Tanaman
(Kontrol)
15 Hari 30 Hari

Gambar 4.2 Efisiensi Penyisihan COD pada Limbah Cair Hasil Pengolahan
IPAL Pabrik Gula Menggunakan Tanaman E. palaefolius

Berdasarkan Gambar 4.2 di atas, dapat dilihat bahwa efisiensi penyisihan

konsentrasi COD oleh E. palaefolius pada waktu kontak 15 hari dengan variasi

jumlah tanaman 0 (kontrol), 2, 4, dan 6 individu tanaman yaitu sebesar 10,88%;

44,92%; 59,44%; dan 73,26%. Sedangkan efisisensi penyisihan konsentrasi COD

pada waktu kontak 30 hari dengan variasi jumlah tanaman tanaman 0 (kontrol), 2,

4, dan 6 individu tanaman yaitu sebesar 27,63%; 63,14%; 74,26%; dan 83,80%.

Apabila ditinjau dari variasi waktu kontak, efisiensi penyisihan COD tertinggi pada

waktu kontak 15 hari adalah pada reaktor dengan variasi 6 individu tanaman yaitu

sebesar 73,26%. Pada variasi waktu kontak 30 hari, efisiensi penyisihan tertinggi

juga ada pada reaktor dengan variasi 6 individu tanaman yaitu sebesar 83,80%.

Efisiensi penyisihan konsentrasi COD tertinggi ada pada variasi waktu kontak 30
75

hari. Apabila ditinjau dari variasi jumlah tanaman, reaktor dengan variasi 6 individu

tanaman memiliki nilai persentase penyisihan COD yang lebih tinggi.

Nilai efisiensi penyisihan konsentrasi COD pada reaktor kontrol jauh lebih

rendah bila dibandingkan dengan reaktor perlakuan, baik dengan perlakuan

tanaman T. angustifolia maupun E. palaefolius. Hal tersebut mengindikasikan

bahwa baik tanaman T. angustifolia dan E. palaefolius berperan dalam proses

penyisihan konsentrasi COD pada limbah cair hasil pengolahan IPAL pabrik gula.

Kenaikan penyisihan terjadi pada setiap reaktor perlakuan. Semakin banyak

tanaman yang diguankan, maka efisiensi penyisihan konsentrasi COD semakin

tinggi. Hal tersebut dibuktikan dalam hasil penelitian, dimana efsiensi penyisihan

COD pada reaktor yang berisi 6 individu tanaman jauh lebih besar dibandingkan

dengan reaktor yang berisi 2 individu tanaman dan 4 individu tanaman. Pada sistem

constructed wetland yang menggunakan tanaman T. angustifolia, efisiensi tertinggi

terdapat pada reaktor yang berisi 6 individu tanaman begitupun juga reaktor yang

berisi tanaman E. palaefolius. Semakin banyak tanaman yang digunakan, maka

semakin banyak dan dalam jaringan akar tanaman yang bekerja dalam media

constructed wetland. Hal tersebut dapat membuat penyisihan bahan pencemar

menjadi lebih tinggi (Elystia et al., 2014).

Apabila dilihat dari variasi waktu kontak, efisiensi penyisihan COD tertinggi

ada pada waktu kontak 30 hari baik pada sistem constructed wetland yang

menggunakan tanaman T. angustifolia maupun tanaman E. palaefolius. Pernyataan

ini sesuai dengan penelitian constructed wetland yang dilakukan oleh Nono et al.

(2020), menyimpulkan bahwa semakin lama waktu kontak yang digunakan, maka
76

semakin banyak pula kesempatan bagi tanaman uji dan mikroorganisme untuk

mendegradasi bahan pencemar organik yang ada didalam limbah cair. Hal tersebut

juga didukung oleh hasil penelitian Nasrullah et al. (2017), yang menyatakan bahwa

semakin lama waktu kontak dengan limbah cair menyebabkan proses degradasi

bahan pencemar organik dapat berlangsung lebih lama sehingga kinerja reaktor

sistem constructed wetland menjadi lebih baik dan konsentrasi pencemar pada hasil

pengolahan limbah juga semakin rendah.

Pada reaktor kontrol yang hanya berisi media dan limbah cair hasil

pengolahan IPAL pabrik gula juga mengalami kenaikan nilai efisiensi penyisihan

COD. Tetapi, nilai efisiensi penyisihan COD pada reaktor kontrol masih berada

dibawah nilai efisiensi penyisihan COD pada masing-masing reaktor perlakuan

dengan tanaman T. angustifolia dan tanaman E. palaefolius. Kenaikan nilai efisiensi

penyisihan COD pada reaktor kontrol terjadi akibat adanya proses filtrasi yang

terjadi pada media, selain itu juga adanya peran mikroorganisme yang tumbuh pada

media dalam mendegradasi kandungan bahan pencemar pada limbah cair (Hidayah

et al., 2018).

Limbah cair hasil pengolahan IPAL pabrik gula sebagian besar mengandung

bahan organik yang terdiri atas karbohidrat (Tugiyono et al., 2009). Oleh karena

itu, nilai konsentrasi COD pada limbah cair hasil pengolahan IPAL pabrik gula

cukup besar. Penyisihan bahan pencemar organik dalam suatu sistem constructed

wetland dapat dilakukan melalui proses fisik, kimia dan biologi yang cukup

kompleks dimana terdapat hubungan yang sinergis antara media, tanaman, dan

mikroorganisme (Hidayah dan Aditya, 2010). Bahan pencemar organik yang tidak
77

terlarut sebagian besar akan disisihkan melalui proses fisik oleh substrat media,

sedangkan bahan pencemar organik yang terlarut akan disisihkan melalui proses

kimia dan biologi oleh mikroorganisme dan tanaman. Bahan pencemar organik

terlarut mudah diserap dan dimanfaatkan oleh mikroorganisme dan tanaman.

Sebaliknya, bahan pencemar organik yang tidak larut lebih sulit untuk

dimanfaatkan (Shi et al., 2011).

Media merupakan elemen kunci dalam sistem constructed wetland karena

menghubungkan semua komponen yaitu tanaman dan mikroorganisme. Media

memberikan dukungan secara fisik pada pertumbuhan akar tanaman dan

mikrooganisme. Selain itu, media juga memainkan peran penting dalam penyisihan

bahan pencemar karena sebagian besar proses fisik terjadi di lapisan media. Proses

fisik yang terlibat dalam pengolahan limbah cair melalui media yaitu filtrasi

(Hdidou et al., 2022). Filtrasi adalah proses pemisahan padatan dan cairan dengan

menggunakan penyaring (filter) (Purnama, 2017).

Proses filtrasi dilakukan oleh media yang terdapat dalam reaktor. Filtrasi

dapat terjadi karena kemampuan media dalam menahan partikel-partikel berukuran

besar yang terdapat dalam air limbah. Mekanisme filtrasi dapat terbagi menjadi dua

macam yaitu filtrasi permukaan (surface filtration) dan filtrasi kedalaman (depth

filtration). Filtrasi permukaan terjadi karena partikel pencemar memiliki ukuran

yang lebih besar daripada ukuran pori media, sehingga tertahan pada pori-pori

media. Partikel-partikel bahan organik yang lolos pada proses filtrasi, kemudian

akan mengalami mekanisme filtrasi kedalaman dengan cara tertahan dan terikat

pada biofilm yang terdapat di dalam media maupun akar tanaman (Purnama, 2017).
78

Mikroorganisme membantu proses degradasi bahan pencemar organik

terlarut melalui proses kimia dan biologi. Mikroorganisme memainkan peran

sentral dalam proses biokimia dalam sistem constructed wetland. Mikroorganisme

dapat mendegradasi bahan pencemar organik baik secara aerob maupun anaerob.

Bahan pencemar organik mengandung sekitar 45-50% karbon (C) yang digunakan

oleh berbagai mikroorganisme sebagai sumber energi (DeBusk, 1999). Bahan

pencemar organik pada limbah cair akan dirombak oleh mikroorganisme yang

berada di akar tanaman dan di permukaan media menjadi senyawa terlarut

sederhana yang tidak berbahaya dan diserap oleh tanaman sebagai nutrien bagi

tanaman tersebut (Hidayah & Aditya, 2010). Mikroorganisme yang bekerja dalam

sistem constructed wetland antara lain yaitu bakteri; yeast; fungi; protozoa; dan

algae; dengan bakteri sebagai mikroorganisme utama dalam proses penyisihan

bahan pencemar (Choudhary et al., 2011).

Pada media maupun akar tanaman, kumpulan mikroorganisme akan

membentuk suatu lapisan tipis yang disebut sebagai biofilm. Partikel bahan organik

yang lolos pada proses filtrasi media, akan tertahan dan terikat pada lapisan biofilm.

Pada lapisan biofilm tersebut, bahan pencemar organik yang berbentuk koloid

maupun terlarut akan diuraikan oleh mikroorganisme (Agustina et al., 2016). Pada

zona aerobik, bahan organik akan diuraikan menjadi senyawa yang lebih sederhana

misalnya CO2 , H2 O, atau NO-3 oleh bakteri aerobik. Pada zona anaerob, bahan

organik akan diuraikan menjadi CH4 , CO2 , atau N2 oleh bakteri anaerob (Qin dan

Chen, 2016). Zona aerobik terbatas pada zona yang berdekatan dengan daerah

rizosfer dan pada lapisan permukaan media tempat difusi oksigen dari atmosfer
79

berlangsung (Vymazal dan Kropfelova, 2009). Semakin dalam dan jauh dari

jangkauan rizosfer akar, maka akan semakin banyak keberadaan mikroorganisme

anaerobik. Suplai oksigen yang terbatas pada daerah tersebut menyebabkan

mikroorganisme anaerob akan lebih dominan (Effendi dan Sandi, 2018).

Gambar 4.3 Mekanisme Penyisihan Bahan Organik pada Constructed


Wetland
(Sumber: Feng et al., 2022)
Selain media dan mikroorganisme, tanaman juga memegang peranan penting

dalam penyisihan bahan pencemar organik pada sistem construted wetland. Proses

penyisihan bahan pencemar organik oleh tanaman terjadi melalui mekanisme

rhizofiltrasi, fitodegradasi, rhizodegradasi, dan fitovolatilisasi. Partikulat pencemar

organik selain terfiltrasi oleh permukaan substrat media, juga dapat terfiltrasi oleh

akar tanaman. Mekanisme rhizofiltrasi merupakan proses penjerapan bahan

pencemar agar menempel pada akar tanaman. Permukaan akar tanaman pada

constructed wetland dilapisi oleh lapisan biofilm aktif yang disebut sebagai

perifiton. Lapisan biofilm inilah yang dapat menjerap bahan pencemar pada akar

tanaman (USEPA, 1999 dalam Kumar et al., 2018). Akar tanaman yang lebih
80

berserabut akan membantu proses filtrasi lebih optimum karena dapat menjangkau

area yang lebih luas (Ulfah et al., 2010). Akar tanaman pada zona rizosfer

menyediakan lingkungan baik bagi mikroorganisme yang mampu menguraikan

bahan pencemar melalui aktivitas metabolismenya. Proses dimana tanaman dapat

menghasilkan substrat untuk merangsang pertumbuhan komunitas mikroorganisme

di rizosfer disebut sebagai mekanisme rhizodegrdasi. Pada proses rhizodegradasi

ini, tanaman melepaskan unsur hara berupa eksudat akar. Keberadaan eksudat

tersebut membuat komunitas mikroorganisme dan aktivitasnya di zona rizosfer

dapat meningkat, sehingga dapat mengakibatkan peningkatan degradasi bahan

pencemar organik. Hasil degradasi kemudian akan diserap oleh tanaman sebagai

sumber nutrisi (Vishnoi dan Shrivastava 2008).

Selain bersimbiosis dengan mikroorganisme, tanaman dapat langsung

mendegradasi bahan pencemar organik melalui mekanisme fitodegradasi.

Fitodegradasi, disebut juga sebagai fitotransformasi, merupakan penguraian bahan

pencemar yang dilakukan oleh tanaman melalui proses metabolisme di dalam

tanaman, atau penguraian bahan pencemar di luar tanaman melalui efek senyawa

seperti enzim yang diproduksi oleh tanaman. Bahan pencemar yang terdegradasi

kemudian dimasukkan ke dalam jaringan tanaman dan digunakan sebagai nutrisi

(USEPA, 1999 dalam Kumar et al., 2018). Penyisihan bahan pencemar juga dapat

melalui mekanisme fitovolatilisasi. Bahan pencemar yang telah diserap dan diubah

menjadi senyawa yang tidak berbahaya melalui sistem perakaran akan dipindahkan

ke atmosfer melalui proses transpirasi (Choudhary et al., 2011).


81

Zona tanaman yang paling reaktif pada sistem constructed wetland berada di

rizosfer akar tempat semua proses fisik, kimia dan biologi berlangsung. Proses ini

disebabkan oleh interaksi antara tanaman, mikroorganisme, media dan bahan

pencemar (Mthembu et al., 2013). Oleh karena itu, reaktor constructed wetland

yang ditanami oleh T. angustifolia maupun E. palaefolius memiliki efisiensi

penyisihan COD yang lebih tinggi daripada reaktor kontrol yang tidak ditanami.

Hal tersebut terjadi karena zona rizosfer tanaman merangsang kepadatan dan

aktivitas komunitas mikroorganisme dengan menghasilkan eksudat dan metabolit

serta adanya lingkungan aerobik sebagai akibat adanya oksigen dari proses difusi

dengan atmosfer (Vymazal dan Kropfelova, 2009). Hal tersebut juga didukung oleh

pernyataan Ma et al. (2017), dimana pengaruh zona rizosfer pada tanaman membuat

penyisihan bahan pencemar lebih tinggi daripada sistem constructed wetland yang

tidak ditanami oleh vegetasi.

Oksigen yang dibutuhkan untuk proses degradasi bahan pencemar organik

disuplai langsung dari atmosfer dengan cara disfusi (Rehman et al., 2016). Adanya

suplai oksigen pada zona rizosfer sistem perkaran tanaman akan memungkinkan

menjadi habitat bagi mikroorganisme aerob. Rizosfer merujuk pada wilayah media

yang dipengaruhi langsung oleh sekresi akar, di mana menjadi habitat yang cocok

untuk pertumbuhan mikroorganisme dan transformasi biokimia (Man et al., 2020).

Oksigen dapat digunakan sebagai sumber energi atau katalis untuk proses

metabolisme mikroorganisme (Suprihatin, 2014). Pada Gambar 4.4 dan 4.5, dapat

dilihat bahwa pada zona rizosfer yang kaya akan oksigen akan membentuk zona
82

aerob dan yang jauh dari sistem perkaran tersebut akan membentuk zona anaerob

(Suprihatin, 2014).

Gambar 4.4 Zona Rizosfer pada Gambar 4.5 Zona Aerob dan Anaerob
Sistem Perakaran Tanaman pada Sistem Perakaran Tanaman
(Sumber: Wetland International, 2003) (Sumber: Suprihatin, 2014)

Penyisihan COD pada limbah cair hasil pengolahan IPAL pabrik gula juga

dipengaruhi oleh parameter pendukung seperti Dissolve Oxygen (DO), suhu, dan

pH. Oksigen terlarut merupakan parameter yang penting dalam suatu sistem

constructed wetland. Adanya kandungan DO yang cukup dalam sistem constructed

wetland dapat mendukung aktivitas mikroorganisme dalam mendegradasi bahan

organik didalam limbah cair. Peningkatan proses degradasi bahan organik oleh

mikroorganisme membuat konsentrasi COD menjadi menurun. Berdasarkan

penelitian yang dilakukan oleh Salim (2021), bahan organik yang semakin menurun

menyebabkan penggunakan oksigen terlarut dalam sistem constructed wetland

menjadi berkurang. Oleh karena itu, semakin besar penurunan konsentrasi COD

maka semakin besar pula kandungan DO pada limbah cair. Hal ini dapat terlihat

pada data hasil pengukuran nilai DO pada Gambar 4.6 dan Gambar 4.7.
83

8
7

DO (mg/L)
6
5
4
3
2
1
0

2 Tanaman

6 Tanaman
0 Tanaman

4 Tanaman

6 Tanaman
0 Tanaman

2 Tanaman

4 Tanaman
(Kontrol)

(Kontrol)
15 Hari 30 Hari
Sebelum Perlakuan Sesudah Perlakuan

Gambar 4.6 Rata-Rata Konsentrasi DO pada Penelitian Constructed


Wetland Menggunakan Tanaman T. angustifolia

8
7
DO (mg/L)

6
5
4
3
2
1
0
2 Tanaman

4 Tanaman
0 Tanaman

2 Tanaman

4 Tanaman

6 Tanaman
0 Tanaman

6 Tanaman
(Kontrol)
(Kontrol)

15 Hari 30 Hari
Sebelum Perlakuan Sesudah Perlakuan

Gambar 4.7 Rata-Rata Konsentrasi DO pada Penelitian Constructed


Wetland Menggunakan Tanaman E. palaefolius

Berdasarkan Gambar 4.6 dan Gambar 4.7, terlihat bahwa baik reaktor yang

berisi tanaman T. angustifolia maupun E. palaefolius akan memiliki nilai

konsentrasi DO yang tinggi sejalan dengan semakin banyak tanaman dan lama

waktu kontak yang digunakan. Semakin banyak tanaman dan lama waktu kontak
84

yang digunakan membuat penyisihan konsentrasi COD akan semakin tinggi. Hal

tersebut sesuai dengan teori yang telah dijelaskan bahwa semakin besar efisiensi

penyisihan konsentrasi COD yang terjadi, maka kandungan oksigen yang terlarut

juga akan semakin meningkat.

Derajat keasaman atau pH merupakan tingkat keasaman atau kebasaan dari

suatu larutan dengan cara mengukur konsentrasi ion hidrogen (H+) yang terdapat

pada larutan tersebut. Kadar ion H+ yang semakin tinggi, maka semakin asam

larutan tersebut (Nono et al., 2020). Kehidupan mikroorganisme dapat berlangsung

secara normal pada kisaran pH 6-9. Nilai pH mempengaruhi kemampuan

mikroorganisme dalam mengatur fungsi sel, transport membran dan kesetimbangan

reaksi katalis (Devianasari dan Laksmono, 2011). Pada suatu sistem constructed

wetland, nilai pH cenderung mengalami kenaikan. Adanya suplai oksigen ke dalam

sistem constructed wetland dapat membuat proses degradasi bahan-bahan organik

menjadi lebih cepat. Saat konsentrasi bahan pencemar organik menurun, gas CO2

dan H2 O yang dihasilkan dari proses penguraian bahan organik juga akan sedikit,

sehingga asam karbonat yang terbentuk akan berkurang. Berkurangnya asam

karbonat menyebabkan terjadinya peningkatan nilai pH (Nasrullah et al., 2017).

Hasil proses degradasi bahan organik yaitu CO2 akan bergabung dengan

H2 O membentuk asam karbonat. Asam karbonat tersebut kemudian berdisosiasi

menjadi H+ dan HCO− +


3 . Ion H yang terbentuk akan ditukar dengan kation yang

teradsorpsi pada substrat media untuk membentuk bikarbonat yang lebih larut.

Bikarbonat yang terbentuk kemudian diserap oleh sel tanaman melalui dinding sel
85

yang cenderung semi permeabel terhadap senyawa ionik. Reaksi pembentukan

bikarbonat tersebut tergambar pada persamaan berikut (Wijanarko et al. 2007):

CO2 + H2 O → H2 CO3 → HCO3−+ H+ (4.1)

10
8
6
pH

4
2
0

4 Tanaman
0 Tanaman

2 Tanaman

4 Tanaman

6 Tanaman

0 Tanaman

2 Tanaman

6 Tanaman
(Kontrol)

15 Hari (Kontrol) 30 Hari


Sebelum Perlakuan Sesudah Perlakuan

Gambar 4.8 Rata-Rata pH pada Penelitian Constructed Wetland


Menggunakan Tanaman T. angustifolia

10
8
6
pH

4
2
0
0 Tanaman

2 Tanaman

4 Tanaman

6 Tanaman

0 Tanaman

2 Tanaman

4 Tanaman

6 Tanaman
(Kontrol)

(Kontrol)

15 Hari 30 Hari
Sebelum Perlakuan Sesudah Perlakuan

Gambar 4.9 Rata-Rata pH pada Penelitian Constructed Wetland


Menggunakan Tanaman E. palaefolius

Berdasarkan hasil penelitian pada Gambar 4.8 dan Gambar 4.9, didapatkan

bahwa pH pada masing-masing reaktor baik yang menggunakan tanaman T.


86

angustifolia maupun E. palaefolius cenderung naik setelah perlakuan. Semakin

banyak jumlah tanaman dan lama waktu kontak yang digunakan, maka nilai pH

akan semakin meningkat. Naiknya nilai pH dapat terjadi karena berkurangnya

kandungan CO2 yang dihasilkan oleh proses degradasi bahan pencemar organik

oleh mikroorganisme.

Suhu juga merupakan variabel penting yang mempengaruhi proses yang ada

di dalam limbah cair. Suhu dapat mempengaruhi kinerja pengolahan limbah cair

yang ada di dalam reaktor constructed wetland karena suhu berpengaruh terhadap

aktivitas mikroorganisme dan tanaman. Suhu yang konstan akan meningkatkan laju

degradasi bahan organik karena aktivitas mikroorganisme yang ada akan

meningkat. Mikroorganisme dapat hidup dan berkembang biak dengan baik pada

rentang suhu 25-35°C. Selain itu, Suhu juga berpengaruh terhadap kemampuan

penyerapan yang dilakukan oleh tanaman, karena suhu berkaitan dengan proses

metabolisme pada tanaman (Ningrum et al., 2022).

Suhu limbah cair akan mengalami penurunan setelah melalui proses didalam

sistem constructed wetland (Suwandhi et al., 2022). Berdasarkan hasil penelitian,

didapatkan bahwa suhu pada masing-masing reaktor baik yang menggunakan

tanaman T. angustifolia maupun E. palaefolius cenderung menurun setelah

perlakuan. Semakin banyak jumlah tanaman dan lama waktu kontak, suhu limbah

cair mengalami penurunan. Data suhu hasil pengukuran pada penelitian dapat

dilihat pada Gambar 4.10 dan Gambar 4.11.


87

29

Suhu (ͦC)
28
27
26
25

4 Tanaman
0 Tanaman

2 Tanaman

4 Tanaman

6 Tanaman

0 Tanaman

2 Tanaman

6 Tanaman
(Kontrol)

(Kontrol)
15 Hari 30 Hari
Sebelum Perlakuan Sesudah Perlakuan

Gambar 4.10 Rata-Rata Suhu pada Penelitian Constructed Wetland


Menggunakan Tanaman T. angustifolia

29
Suhu (ͦC)

28
27
26
25
2 Tanaman
0 Tanaman

2 Tanaman

4 Tanaman

6 Tanaman

0 Tanaman

4 Tanaman

6 Tanaman
(Kontrol)
(Kontrol)

15 Hari 30 Hari
Sebelum Perlakuan Sesudah Perlakuan

Gambar 4.11 Rata-Rata Suhu pada Penelitian Constructed Wetland


Menggunakan Tanaman E. palaefolius

Suhu limbah cair dapat diturunkan oleh vegetasi pada sistem constructed

wetland sekitar 2°C (Panrare et al., 2015). Hal tersebut dapat terjadi karena adanya

perpindahan panas sebagai efek tidak langsung dari proses evapotranspirasi.

Rangkaian proses evapotranspirasi didorong oleh radiasi matahari. Radiasi

matahari yang masuk ke sistem constructed wetland sebagian dipantulkan, sisanya

diserap oleh limbah cair yang ada di dalam media dan tanaman. Radiasi bersih yang
88

sebagian ditangkap oleh tanaman akan mendorong terjadinya proses transpirasi.

Sedangkan sebagian dari radiasi bersih diserap oleh limbah cair akan mendorong

terjadinya penguapan atau evaporasi (Kadlec, 2006). Uap air yang dihasilkan pada

proses transpirasi dan evaporasi dapat menurunkan suhu di sekitar vegetasi dengan

cara adsorpsi panas untuk transformasi fasa dari bentuk cair menjadi uap. Laju

evapotranspirasi ditentukan oleh berbagai faktor seperti energi surya, kelembaban

udara, ketersediaan air, dan tekanan atmosfer (Panrare et al., 2016).

4.2 Penentuan Beda Signifikan Efisiensi Penyisihan COD Berdasarkan

Variasi Waktu Kontak dan Jumlah Tanaman

Nilai efisiensi penyisihan COD yang didapatkan dari hasil penelitian

kemudian dianalisis secara statistik untuk mengetahui apakah terdapat beda

signifikan antara efisiensi penyisihan COD oleh tanaman T. angustifolia dan E.

palaefolius berdasarkan variasi jumlah tanaman dan waktu kontak. Analisis statistik

yang pertama kali dilakukan adalah uji normalitas yang bertujuan untuk mengetahui

apakah data penelitian yang ada telah terdistribusi normal atau tidak. Berdasarkan

uji normalitas menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov, didapatkan nilai signifikansi

sebesar 0,200 baik pada data tanaman T. angustifolia maupun E. palaefolius. Nilai

signifikansi 0,200 tersebut menunjukkan bahwa data telah berdistribusi normal

karena nilai signifikansinya lebih dari 0,05.

Selanjutnya data diuji homogenitasnya menggunakan uji Levene. Hasil dari

uji Levene menunjukkan bahwa data tanaman T. angustifolia bersifat homogen

karena memiliki nilai signifikansi lebih dari 0,05 yaitu sebesar 0,721. Begitupun

juga data tanaman E. palaefolius juga telah memenuhi nilai signifikasi lebih dari
89

0,05 yaitu sebesar 0,847. Hasil analisis statistik menunjukkan data tanaman T.

angustifolia dan E. palaefolius telah memenuhi uji normalitas dan uji homogenitas.

Maka dari itu data bisa dilanjutkan dengan untuk uji parametrik. Uji parametrik

bertujuan untuk mengetahui nilai beda signifikansi pada variasi perlakuan jumlah

tanaman dan waktu kontak. Uji beda menggunakan uji Two Way ANOVA untuk

mengetahui adanya perbedaan nilai efisiensi penyisihan COD. Kemudian

dilanjutkan dengan uji Duncan untuk mengetahui nilai beda signifikan dalam

penyisihan konsentrasi COD.

Hasil yang didapatkan dari uji beda untuk tanaman T. angustifolia pada

variasi jumlah tanaman nilai yaitu memiliki nilai signifikasi <0,001. Hasil nilai

signifikansi tersebut menunjukkan bahwa terdapat beda pada efisiensi penyisihan

COD berdasarkan variasi jumlah tanaman karena nilai signifikasi kurang dari 0,05.

Begitupun juga uji beda pada variasi waktu kontak memiliki nilai signifikansi

kurang dari 0,05 yaitu sebesar <0,001. Hal tersebut menunjukkan bahwa terdapat

beda efisiensi penyisihan COD berdasarkan waktu kontak. Selanjutnya variasi

jumlah tanaman dihubungkan dengan variasi waktu kontak mendapatkan nilai

signifikansi 0,114 yang artinya tidak terdapat beda efisiensi penyisihan COD pada

variasi hubungan jumlah tanaman dan waktu kontak karena nilai signifikansi lebih

dari 0,05.

Nilai signifikansi uji beda pada tanaman E. palaefolius pada variasi jumlah

tanaman sebesar <0,001. Hasil nilai signifikansi tersebut menunjukkan bahwa

terdapat beda pada efisiensi penyisihan COD berdasarkan variasi jumlah tanaman

karena nilai signifikasi kurang dari 0,05. Begitupun juga uji beda pada variasi waktu
90

kontak memiliki nilai signifikansi kurang dari 0,05 yaitu sebesar <0,001. Hal

tersebut menunjukkan bahwa terdapat beda efisiensi penyisihan COD berdasarkan

waktu kontak. Hasil uji beda hubungan variasi jumlah tanaman dan variasi waktu

kontak sebesar 0,084 yang artinya tidak terdapat beda efisiensi penyisihan COD

pada variasi hubungan jumlah tanaman dan waktu kontak karena nilai signifikansi

lebih dari 0,05.

Nilai efisiensi penyisihan COD berdasarkan Variasi jumlah tanaman dan

variasi waktu kontak baik pada tanaman T. angustifolia maupun E. palaefolius

terdapat beda, maka uji dilanjutkan untuk mengetahui manakah variasi yang

memiliki nilai beda signifikan terhadap efisiensi penyisihan COD.

80 d
Rata-Rata Efisiensi Penyisihan

70 c
60 b
50
COD (%)

40
30
a
20
10
0
0 Individu 2 Individu 4 Individu 6 Individu
Variasi Jumlah Individu Tanaman

Gambar 4.12 Hasil Uji Beda Signifikansi Terhadap Variasi Jumlah


Tanaman T. angustifolia

Keterangan:

Huruf (a, b , c, d) menunjukkan beda signifikan


91

Berdasarkan hasil uji Duncan pada Gambar 4.12, tampak bahwa penambahan

jumlah tanaman T. angustifolia (2, 4, dan 6 individu tanaman) berbeda signifikan

terhadap tanpa tanaman (kontrol). Variasi tanaman T. angustifolia dengan 2, 4, dan

6 individu tanaman memberikan efisiensi penyisihan yang berbeda signifikan. Hal

tersebut menunjukkan bahwa secara statistik, semakin banyak tanaman yang

digunakan maka efisiensi penyisihan COD oleh tanaman T. angustifolia akan

semakin meningkat dengan beda yang signifikan antara penggunaan variasi 2

individu tanaman, 4 individu tanaman, dan 6 individu tanaman.

90 d
Rata-Rata Efisiensi Penyisihan

80
c
70
60 b
COD (%)

50
40
30 a
20
10
0
0 Individu 2 Individu 4 Individu 6 Individu
Variasi Jumlah Individu Tanaman

Gambar 4.13 Hasil Uji Beda Signifikansi Terhadap Variasi Jumlah


Tanaman E. palaefolius

Keterangan:

Huruf (a, b , c, d) menunjukkan beda signifikan

Hasil uji Duncan pada Gambar 4.13 menunjukkan bahwa variasi jumlah

tanaman E. palaefolius (2, 4, dan 6 individu tanaman) berbeda signifikan terhadap

tanpa tanaman (kontrol). Variasi tanaman E. palaefolius dengan 2, 4, dan 6 individu


92

tanaman memberikan efisiensi penyisihan yang berbeda signifikan. Hal tersebut

menunjukkan bahwa secara statistik, semakin banyak tanaman yang digunakan

maka efisiensi penyisihan COD oleh tanaman E. palaefolius akan semakin

meningkat dengan beda yang signifikan antara penggunaan variasi 2 individu

tanaman, 4 individu tanaman, dan 6 individu tanaman. Variasi waktu kontak baik

tanaman T. angustifolia maupun E. palaefolius tidak dapat dilanjutkan dengan uji

post hock, karena hanya terdiri dari dua kategori saja yaitu 15 hari dan 30 hari.

4.3 Hasil Pengolahan Limbah Cair Hasil Pengolahan IPAL Pabrik Gula

Dibandingkan dengan Peraturan Baku Mutu

Efisiensi penyisihan COD dengan menggunakan metode subsurface

constructed wetland memberikan hasil yang berbeda untuk disetiap variasi

perlakuan jumlah tanaman dan variasi waktu kontak. Hasil penyisihan COD

tertinggi oleh tanaman T. angustifolia dan E. palaefolius ada pada variasi 6 individu

tanaman dalam waktu kontak 30 hari. Adapun persentase efisiensi penyisihan

konsentrasi COD tertinggi oleh T. angustifolia yang didapat yaitu sebesar 77,53%

dengan rerata konsentrasi akhir sebesar 61,77 mg/L. Begitupun juga dengan

efisiensi penyisihan COD tertinggi pada limbah cair hasil pengolahan IPAL pabrik

gula oleh tanaman E. palaefolius sebesar 83,80% dengan rerata konsentrasi akhir

sebesar 44,53 mg/L. Konsentrasi COD hasil penyisihan oleh tanaman T.

angustifolia dan E. palaefolius telah memenuhi baku pada Peraturan Gubernur Jawa

Timur Nomor 52 Tahun 2014 Tentang Baku Mutu Air Limbah Bagi Industri
93

dan/atau Kegiatan Usaha Lainnya pada pada bagian baku mutu air limbah bagi

pabrik gula dengan kapasitas antara 2.500 sampai dengan 10.000 ton tebu yang

diolah per hari.

Parameter pendukung seperti DO, pH, dan suhu hasil pengolahan limbah cair

baik menggunakan tanaman T. angustifolia maupun E. palaefolius juga telah

memenuhi baku mutu yang ada. Hasil pengolahan limbah cair hasil pengolahan

IPAL pabrik gula oleh tanaman T. angustifolia untuk parameter DO sebesar 7,13

mg/L dan untuk suhu 26,4 ℃. Kedua parameter tersebut telah memenuhi baku mutu

pada Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang penyelenggaraan

perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dengan kelas air yang dipilih yaitu

kelas 3. Parameter pH juga telah memenuhi baku mutu pada Peraturan Gubernur

Jawa Timur Nomor 52 Tahun 2014 Tentang Baku Mutu Air Limbah Bagi Industri

dan/atau Kegiatan Usaha Lainnya yaitu sebesar 8. Begitupun dengan hasil

pengolahan limbah cair dengan tanaman E. palaefolius telah memenuhi baku mutu,

dimana nilai parameter DO sebesar 7,51 mg/L; parameter pH sebesar 8,53; dan

parameter suhu 26,2 ℃. Adapun hasil pengolahan limbah cair hasil pengolahan

IPAL pabrik gula dengan metode subsurface constructed wetland oleh tanaman T.

angustifolia dan E. palaefolius dapat dilihat pada Tabel 4.6 dan 4.7.
94

Tabel 4.6 Hasil Pengolahan Limbah Cair Hasil Pengolahan IPAL Pabrik Gula
dengan Tanaman T. angustifolia
No. Parameter Nilai Satuan Baku Mutu Keterangan
1. COD 61,77 mg/L 100* Memenuhi
2. DO 7,13 mg/L 3** Memenuhi
3. pH 8 - 6-9* Memenuhi
4. Suhu 26,4 ℃ Dev 3** Memenuhi
Sumber: *Peraturan Gubernur Jawa Timur Nomor 52 Tahun 2014
**Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021

Tabel 4.7 Hasil Pengolahan Limbah Cair Hasil Pengolahan IPAL Pabrik Gula
dengan Tanaman E. palaefolius
No. Parameter Nilai Satuan Baku Mutu Keterangan
1. COD 44,53 mg/L 100* Memenuhi
2. DO 7,51 mg/L 3** Memenuhi
3. pH 8,53 - 6-9* Memenuhi
4. Suhu 26,2 ℃ Dev 3** Memenuhi
Sumber: *Peraturan Gubernur Jawa Timur Nomor 52 Tahun 2014
**Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021

4.4 Perbandingan Kemampuan Tanaman T. angustifolia dan E. palaefolius

dalam Menyisihkan Konsentrasi COD pada Limbah Cair Hasil

Pengolahan IPAL Pabrik Gula Menggunakan Subsurface Constructed

Wetland

Penyisihan konsentrasi COD limbah cair hasil pengolahan IPAL pabrik gula

oleh tanaman T. angustifolia dan E. palaefolius menunjukkan hasil yang berbeda.

Kedua tanaman tersebut diidentifikasi dengan melakukan uji independent sample t-

test untuk mengetahui beda antara hasil penyisihan konsentrasi COD oleh tanaman

T. angustifolia dan E. palaefolius. Uji independent sample t-test digunakan karena

merupakan uji parametrik yang digunakan untuk mengetahui perbedaan mean

antara dua kelompok bebas atau tidak berpasangan.


95

85

Rata-Rata Efisiensi Penyisihan


84
83
82
COD (%) 81
80
79
78
77
76
75
74
T. angustifolia E. palaefolius
Jenis Tanaman

Gambar 4.14 Perbandingan Rata-Rata Efisiensi Penyihan Konsentrasi

COD oleh T. angustifolia dan E. palaefolius

Berdasarkan hasil uji, didapatkan bahwa hasil signifikansi baik T.

angustifolia dan E. palaefolius < 0,05 yaitu masing-masing 0,006 dan 0,007. Nilai

signifikansi menunjukkan bahwa terdapat beda antara hasil penyisihan COD yang

dilakukan oleh tanaman T. angustifolia dan E. palaefolius. Berdasarkan Gambar

4.14, terlihat bahwa tanaman E. palaefolius memiliki nilai efisiensi penyisihan yang

lebih tinggi. Tanaman E. palaefolius memiliki kemampuan yang lebih baik dalam

penyisihan konsentrasi COD limbah cair hasil pengolahan IPAL pabrik gula

dibandingkan dengan tanaman T. angustifolia. Hal tersebut dapat terjadi karena

perbedaan morfologi dari masing-masing tanaman, dimana akar pada tanaman E.

palaefolius lebih panjang, kuat, dan menjalar daripada akar tanaman T. angustifolia,

sehingga mampu menjadi tempat bagi mikroorgonisme untuk melekat lebih banyak

dan mampu mendegradasi bahan pencemar lebih banyak pula (Hadi dan Pungut,
96

2022). Pernyataan tersebut diperkuat oleh Masturah et al. (2014), dimana struktur

tanaman E. palaefolius memiliki akar yang lebih berserabut.

Berdasarkan hasil penelitian, baik tanaman T. angustifolia maupun E.

palaefolius mampu tumbuh dengan baik selama proses penyisihan berlangsung

dengan ditandai adanya pertambahan berat dan tinggi tanaman. Pengukuran berat

basah dan berat kering tanaman dilakukan untuk mengetahui penambahan berat

tanaman selama proses pengolahan air limbah. Pertumbuhan T. angustifolia dan E.

palaefolius yang baik ditandai dengan bertambahnya berat, dimana berat basah dan

berat kering tanaman akan mengalami peningkatan. Berat tanaman yang semakin

bertambah seiring dengan perlakuan waktu kontak, menandakan tanaman dapat

beradaptasi dengan baik di lingkungan tanpa mengganggu siklus hidupnya.

Berat Basah tanaman merupakan berat total hasil fotosintesis beserta

kandungan air didalam tanaman. Sedangkan Berat kering tanaman merupakan berat

akumulasi hasil fotosintesis yang berupa protein, karbohidrat dan lemak (Ahmad et

al., 2016). Tanaman membutuhkan air dalam jumlah besar, kurang lebih 80% berat

basah sel dan jaringan tanaman terdiri dari air. Pengeringan tanaman bertujuan

untuk menghilangkan semua kandungan air yang berada didalam tanaman dan

dilakukan pada suhu yang relatif tinggi. Berat kering mencerminkan status nutrisi

pada tanaman (Sitompul dan Guritno, 1995).


97

80

Berat Basah (g)


60
40
20
0
2 4 6 2 4 6
Tanaman Tanaman Tanaman Tanaman Tanaman Tanaman
15 Hari 30 Hari
Sebelum Perlakuan Sesudah Perlakuan

Gambar 4.15 Rata-Rata Berat Basah Tanaman T. angustifolia

200
Berat Basah (g)

150

100

50

0
2 4 6 2 4 6
Tanaman Tanaman Tanaman Tanaman Tanaman Tanaman
15 Hari 30 Hari
Sebelum Perlakuan Sesudah Perlakuan

Gambar 4.16 Rata-Rata Berat Basah Tanaman E. palaefolius

Berdasarkan Gambar 4.15 dan 4.16, terlihat bahwa tanaman T. angustifolia

dan E. palaefolius setelah digunakan dalam pengolahan air limbah mengalami

peningkatan berat sejalan dengan perlakuan waktu kontak. Semakin lama waktu

kontak, maka berat basah tanaman cenderung mengalami peningkatan. Peningkatan

tersebut menandakan tanaman T. angustifolia dan E. palaefolius dapat tumbuh

dengan sangat baik dengan penambahan limbah cair. Bahan organik yang terdapat
98

pada limbah cair digunakan oleh tanaman T. angustifolia dan E. palaefolius sebagai

sumber nutrien untuk keberlangsungan hidupnya. Peningkatan berat basah tanaman

T. angustifolia dan E. palaefolius sebanding dengan peningkatan berat keringnya

yang ditunjukkan pada Gambar 4.17 dan 4.18.

20
Berat Kering (g)

15

10

0
2 4 6 2 4 6
Tanaman Tanaman Tanaman Tanaman Tanaman Tanaman
15 Hari 30 Hari
Sebelum Perlakuan Sesudah Perlakuan

Gambar 4.17 Rata-Rata Berat Kering Tanaman T. angustifolia

30
Berat Kering (g)

25
20
15
10
5
0
2 4 6 2 4 6
Tanaman Tanaman Tanaman Tanaman Tanaman Tanaman
15 Hari 30 Hari
Sebelum Perlakuan Sesudah Perlakuan

Gambar 4.18 Rata-Rata Berat Kering Tanaman E. palaefolius

Gambar 4.17 dan 4.18 merepresentasikan bahwa berat kering baik tanaman

T. angustifolia maupun tanaman E. palaefolius mengalami peningkatan sejalan


99

dengan peningkatan berat basah tanaman. Semakin lama waktu kontak, berat kering

tanaman cenderung mengalami peningkatan. Berdasarkan berat basah dan berat

kering sebelum dan sesudah perlakuan apabila diamati pada setiap reaktor maka

hasil keseluruhan reaktor mengalami peningkatan berat basah dan berat kering.

Berat basah baik tanaman T. angustifolia maupun E.palaefolius lebih besar

daripada berat keringnya dikarenakan adanya kandungan air. Rata-Rata berat basah

dan kering tanaman E. palaefolius lebih besar dibandingkan dengan rata-rata berat

basah dan kering tanaman T. angustifolia. Ukuran berat suatu tanaman nyatanya

dapat mempengaruhi kinerja penyisihan bahan-bahan pencemar di dalam limbah

cair.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Ningrum et al. (2022),

tanaman E. palaefolius dengan berat basah 200 g memiliki efisiensi penyisihan

yang lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman E. palaefolius dengan berat basah

100 g. Hal tersebut disebabkan karena tanaman E. palaefolius yang memiliki berat

basah lebih besar cenderung memiliki ukuran morfologi yang lebih besar. Tanaman

E. palaefolius yang memiliki berat basah lebih besar akan memiliki akar yang lebih

panjang dan lebat menyebabkan jangkauan areanya lebih dalam dan luas sehingga

memungkinkan mikroorganisme tumbuh di dasar media (Ningrum et al., 2022).

Adapun perbandingan morfologi T. angustifolia dan E. palaefolius dapat dilihat

pada Gambar 4.19 dan Gambar 4.20.


100

Gambar 4.19 Morfologi Tanaman E. Gambar 4.20 Morfologi Tanaman T.

palaefolius angustifolia

(Sumber: Rizki et al., 2022) (Sumber: Sesin et al., 2023)

Penyisihan konsentrasi COD pada sistem constructed wetland terjadi karena

adanya peran akar dan mikroorganisme pada zona rizosfer untuk mendegradasi

bahan organik di dalam limbah cair. Akar tanaman yang lebih panjang dan lebat

menyebabkan jangkauan areanya lebih dalam dan luas, sehingga keberadaan

mikroorganisme pendegradasi juga akan semakin banyak. Jumlah mikroorganisme

dan akar tanaman yang banyak membuat proses penguraian bahan pencemar

organik menjadi lebih baik, sehingga dapat menurunkan konsentrasi COD yang

ada. Bahan pencemar organik yang diuraikan oleh mikroorganisme akan dirubah

menjadi senyawa lain yang lebih sederhana sehingga dapat diserap oleh tanaman

untuk proses metabolismenya (Sungkowo et al., 2015).

Selain berat basah dan berat kering, tinggi tanaman merupakan ukuran

tanaman yang sering diamati. Selama proses penyisihan COD berlangsung, tinggi

tanaman T. angustifolia dan E. palaefolius cenderung mengalami kenaikan setelah


101

diberi perlakuan. Hal tersebut menunjukkan bahwa baik tanaman T. angustifolia

maupun E. palaefolius dapat tumbuh dengan baik pada reaktor. Adapun rata-rata

tinggi tanaman T. angustifolia dan E. palaefolius dapat dilihat pada Gambar 4.21

dan Gambar 4.22.

90
Tinggi Tanaman (cm)

80
70
60
50
40
30
20
10
0
2 4 6 2 4 6
Tanaman Tanaman Tanaman Tanaman Tanaman Tanaman
15 Hari 30 Hari
Sebelum Perlakuan Sesudah Perlakuan

Gambar 4.21 Rata-Rata Tinggi Tanaman T. angustifolia

80
Tinggi Tanaman (cm)

70
60
50
40
30
20
10
0
2 4 6 2 4 6
Tanaman Tanaman Tanaman Tanaman Tanaman Tanaman
15 Hari 30 Hari
Sebelum Perlakuan Sesudah Perlakuan

Gambar 4.22 Rata-Rata Tinggi Tanaman E. palaefolius


102

Gambar 4.21 dan 4.22 menunjukkan bahwa tinggi tanaman baik T.

angustifolia maupun E. palaefolius mengalami peningkatan sejalan dengan

perlakuan waktu kontak. Semakin lama waktu kontak, tinggi tanaman akan semakin

meningkat. Penambahan tinggi tanaman tersebut diakibatkan bagian tanaman

mengalami pertumbuhan sehingga mengalami penambahan tinggi. Tinggi tanaman

yang semakin bertambah seiring dengan perlakuan waktu kontak, menandakan

tanaman dapat beradaptasi dengan baik di lingkungan tanpa mengganggu siklus

hidupnya.

Anda mungkin juga menyukai