Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH EKONOMI LINGKUNGAN

DAMPAK SAMPAH PLASTIK DI PERAIRAN LAUT DAN SUNGAI DITINJAU DARI ASPEK
LINGKUNGAN DAN EKONOMI

Dosen :
Gigih Prihantono, S.E., M.SE

Oleh :
1. Rizky Maharani Putri Y. 081911133003
2. Evi Yunita Sari 081911133005
3. Clairien Michaela Inbertu G. 081911133011

PROGRAM STUDI TEKNIK LINGKUNGAN


DEPARTEMEN BIOLOGI
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS AIRLANGGA
2021
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ....................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .......................................................................................... 2
1.3 Tujuan Penelitian ............................................................................................ 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................... 3
2.1 Plastik............................................................................................................. 3
2.2 Sampah Plastik ............................................................................................... 3
2.3 Lingkungan ...................................................................................................4
2.4 Lingkungan/Ekosistem ................................................................................... 5
2.5 Biota Perairan ................................................................................................. 5
BAB III PEMBAHASAN ..................................................................................... 7
3.1 Keadaan Sampah di Dunia .............................................................................. 7
3.2 Kontaminasi Sampah Plastik di Perairan Dunia .............................................. 7
3.3 Dampak Sampah Plastik bagi Lingkungan/Ekosistem ..................................... 8
3.4 Hubungan Antara Meningkatnya Sampah Plastic Di Perairan Dunia terhadap
Perekonomian Secara Global ....................................................................... 11
BAB IV PENUTUP............................................................................................ 15
4.1 Kesimpulan .................................................................................................. 15
4.2 Saran ............................................................................................................ 15
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 16

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Plastik merupakan suatu bahan pengemas yang mudah didapat dan sangat fleksibel penggunaannya. Saat
ini, plastik merupakan salah satu bahan yang dapat kita temui hampir setiap saat. Plastik dapat digunakan untuk
membungkus barang, menyimpan barang, serta melapisi atau melindungi barang-barang kita dari air karena
memiliki sifat yang kedap air. Penggunaan plastik banyak dipilih karena lebih fleksibel dan simple, selain itu
plastik dapat digunakan untuk membungkus makanan sehingga makanan dapat bertahan lama. Oleh karena itu,
banyak sekali industri makanan, atau bahkan industri-industri lain yang memanfaatkan plastik sebagai bahan
pembungkusnya yang mana hal ini tentu meningkatkan jumlah penggunaan plastik di dunia. Selain itu,
bertambahnya penduduk juga menjadi salah satu penyebab semakin banyaknya plastik di dunia ini, karena tidak
bisa kita pungkiri juga dalam setiap aspek kehidupan manusia juga membutuhkan plastik.

Seiring dengan meningkatnya penggunaan plastic di dunia, tentunya akan menyebabkan permasalahan lain,
yakni meningkatnya sampah plastik. Dilansir oleh BBC News Indonesia, “Sampah plastik sebanyak 1,3 miliar
ton diperkirakan bakal mencemari daratan dan lautan dunia pada 2040 mendatang, kecuali jika khalayak
menggelar aksi global”. Hal ini disebabkan karena ketergantungan manusia pada penggunaan plastik dalam
setiap aspek kehidupan tidak dibarengi dengan kesadarannya untuk melakukan pengelolaan terhadap sampah
yang mereka hasilkan. Masih sedikit negara-negara yang mampu mengelola sampahnya hingga pada tahap daur
ulang. Kebanyakan sampah plastik yang sudah tidak dapat digunakan dibuang begitu saja ke sungai, yang mana
sampah plastik ini akan bermuara ke laut dan tentunya akan berdampak pada lingkungan dan biota perairan.

Sampah plastik sangat berbahaya bagi lingkungan dan biota perairan karena bahan kimia yang
dikandungnya. Biota yang ada di perairan juga akan mengira bahwa plastik ini merupakan makananya sehingga
mereka mengkonsumsinya tanpa sengaja. Ketika sampah plastik ini masuk ke pencernaan, sampah plastik ini
dapat menyebabkan penyumbatan dan kematian pada biota laut. Selain itu, masih banyak sekali dampak negatif
yang dihasilkan oleh sampah plastik ini, antara lain mempengaruhi estetika pantai, mikroplastik, menjadi
tempat berkembang biak bagi vektor penyakit, dan masih banyak lagi. Oleh karena banyaknya dampak yang
disebabkan oleh adanya sampah plastik di lingkungan perairan ini, maka dibuatlah makalah mengenai ‘Dampak
Sampah Plastik di Perairan Laut Ditinjau dari Aspek Lingkungan dan Ekonomi’ agar kita dapat mengetahui
bagaimana keadaan sampah di dunia, kontaminasi sampah plastik di perairan di dunia, dampak sampah plastik
bagi lingkungan/ekosistem, serta hubungan antara meningkatnya sampah plastik di perairan dunia terhadap
perekonomian secara global.

1
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka dapat diambil suatu rumusan masalah dalam makalah ini yaitu:

1. Bagaimana keadaan sampah di dunia?


2. Bagaimana kontaminasi sampah plastic di perairan dunia?
3. Bagaimana dampak sampah plastik bagi lingkungan/ekosistem?
4. Bagaimana hubungan antara meningkatnya sampah plastik di perairan dunia terhadap perekonomian
secara global?
1.3 Tujuan
Adapun tujuan penulisan makalah ini yaitu:

1. Menjelaskan keadaan sampah di dunia

2. Menjelaskan kontaminasi sampah plastik di perairan dunia

3. Menjelaskan dampak sampah plastik bagi lingkungan/ekosistem

4. Menjelaskan hubungan antara meningkatnya sampah plastik di perairan dunia terhadap


perekonomian secara global

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Plastik

Plastik merupakan bahan polimer sintesis yang dibuat melalui proses polimerisasi dimana tidak dapat lepas
dari kehidupan sehari-hari yang umumnya dijumpai dalam bentuk plastik kemasan ataupun penggunaannya
pada alat-alat listrik dan peralatan rumah tangga. Selain bahan dasar monomer, plastik juga mengandung bahan
aditif yang diperlukan untuk memperbaiki sifat fisiko kimia plastik tersebut, dan disebut komponen non plastik.
Kemasan plastik memiliki beberapa keunggulan karena sifatnya yang kuat, tetapi ringan, inert, tidak karatan
dan bersifat termoplastik (heat seal) serta dapat diberi warna. Berdasarkan kegunaannya dan pertimbangan
ekonomis, plastik dibagi menjadi dua klasifikasi utama yaitu plastik komoditi dan plastik teknik. Plastik
komoditi dicirikan oleh volumenya yang tinggi dan harga yang murah. Plastik komoditi sering dipakai dalam
bentuk barang yang bersifat pakai buang seperti lapisan pengemas, namun ditemukan juga pemakaiannya dalam
barang-barang yang tahan lama (Nasution,2015).

Beberapa contoh jenis plastik komoditi serta penggunaannya antara lain : LDPE (low density polyethylene)
sebagai lapisan pengemas, isolasi kawat dan kabel, barang mainan, botol fleksibel, HDPE (high density
polyethylene) digunakan sebagai botol, drum, pipa saluran, lembaran, film, issebolasi kawat dan kabel, PP
(polyprophylene) digunakan sebagai bagian dan perkakas mobil, tali, anyaman, karpet, PVC (poly vynil
chloride) digunakan sebagai bahan bangunan, pipa, bahan untuk lantai dan PS (poly styrene) digunakan sebagai
bahan pengemas (busa dan film), perkakas, perabotan rumah dan barang mainan. Plastik-plastik teknik yang
utama, diantaranya adalah : poliformaldehida, poliamida, poliester. Beberapa penggunaan dari plastik teknik
terutama dalam bidang transportasi, konstruksi, barang-barang listrik dan elektronik serta mesin industry
(Nasution,2015).

2.2 Sampah Plastik

Sampah plastik merupakan sampah yang paling banyak dibuang oleh manusia karena banyak orang yang
menggunakan plastik untuk keperluannya sehari-hari entah itu perorangan, toko, maupun perusahaan besar.
Sampah plastik adalah bahan buangan yang terbuat dari plastik yang sudah tidak terpakai dan tidak bermanfaat
lagi bagi kehidupan manusia. Sampah plastik dapat menjadi berguna kembali setelah sampah plastik tersebut
didaur ulang. Daur ulang plastik dilakukan untuk mengolah sampah plastik menjadi pellet atau bijih plastik
yang merupakan bahan dasar pembentuk plastik menurut produk yang diinginkan (Lokajaya dkk, 2019).
Sampah plastik dapat bertahan hingga bertahun-tahun sehingga menyebabkan pencemaran terhadap
lingkungan. Oleh karena itu pemakaian plastik yang jumlahnya sangat besar tentunya akan
berdampak siqnifikan terhadap kesehatan manusia dan lingkungan karena plastik mempunyai sifat

3
sulit terdegradasi (non-biodegradable), plastik diperkirakan membutuhkan 100 hingga 500 tahun hingga
dapat terdekomposisi (terurai) dengan sempurna (Dewi dan Trisno Raharjo, 2019).

2.3 Ekosistem Perairan: Laut dan Sungai

Ekosistem perairan atau ekosistem akuatik adalah tipe ekosistem yang sebagaian besar lingkungan fisiknya
didominasi oleh air. Ekosistem akuatik dipengaruhi oleh empat faktor yaitu penetrasi cahaya matahari, substrat,
temperatur dan jumlah material terlarut. Akan tetapi, faktor penentu utama dari ekosistem perairan adalah
jumlah garam terlarut di dalam air. jika mengandung kadar garam yang tinggi, maka disebut ekosistem laut
Sebaliknya, Jika perairan tersebut sedikit mengandung garam terlarut maka disebut ekosistem air tawar
(Firdhausi dkk, 2018).

Laut adalah sebuah perairan asin besar yang dikelilingi secara menyeluruh atau sebagian oleh daratan.
Secara umum perairan laut mempunyai fungsi sebagai cadangan sumber air di dunia, pengatur iklim dunia,
habitat berbagai jenis biota, lahan dan mata pencaharian penduduk terutama yang bermukim di sekitar pantai,
dan bahan makanan dari berbagai ragam biota laut. Habitat air laut (oceanic) ditandai oleh salinitas yang tinggi
dengan ion Cl- mencapai 55% terutama di daerah laut tropik, karena suhunya tinggi dan penguapan besar. Di
daerah tropik, suhu laut sekitar 25°C. Perbedaan suhu bagian atas dan bawah tinggi. Batas antara lapisan air
yang panas di bagian atas dengan air yang dingin di bagian bawah disebut daerah termocline. Adapun ciri-ciri
dari ekosistem laut, yaitu variasi temperature atau suhu bervariasi, kadar garam atau salinitas atau tingkat
keasinan tinggi, penetrasi daeri cahaya matahari tinggi, ekosistem tidak dipengaruhi oleh iklim dan cuaca alam
sekitar, aliran atau arus laut terus bergerak karena perbedaan iklim, temperature dan rotasi bumi, habitat di laut
saling berhubungan atau berkaitan satu sama lain, dan komunitas air asin terdiri dari produsen, konsumen,
zooplankton dan decomposer (Baransano Dan Jubhar C. Mangimbulude, 2011).

Sungai merupakan salah satu wadah tempat berkumpulnya air dari suatu kawasan. Sungai merupakan badan
air yang berbentuk memanjang pada permukaan bumi yang terbentuk secara alamiah, mulai dari yang
berukuran kecil di bagian hulu, sampai ukuran besar bagian hilir. Fungsi sungai yaitu, untuk menampung air
hujan yang jatuh diatas permukaan bumi dan mengalirkanya beserta material yang ada di dalamnya ketempat-
tempat yang lebih rendah dan terus mengalir ke laut. Sungai sebagai salah satu badan perairan sangat
dipengaruhi oleh banyak faktor, baik faktor alam maupun aktivitas manusia. Adanya masukan limbah atau
sampah dari kegiatan manusia di sekitar badan sungai secara langsung atau tidak langsung dapat mempengaruhi
kondisi fisika dan kimia air sungai, yang akhirnya dapat mempengaruhi kehidupan biota di dalam maupun di
sekitar sungai tersebut (Firdhausi dkk, 2018).

2.4 Lingkungan

Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada di sekitar individu, baik lingkungan fisik, biologis, maupun
sosial. Terdapat hubungan timbal balik antara manusia dengan lingkungannya yang saling mempengaruhi.
Hubungan antara manusia dengan lingkungannya ini bersifat dinamis, dimana ketika terjadi perubahan aktifitas
4
manusia maka terjadi pula perubahan pada lingkungan hidupnya. Lingkungan sering juga disebut dengan
lingkungan hidup. Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup, lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk
hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan,
dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain.

2.5 Biota Perairan

Biota perairan menempati kawasan permukaan air dalam badan perairan dan menempati kawasan dasar
perairan. Biota yang hidup di permukaan perairan dan dalam badan perairan terdiri dari fitoplankton,
zooplankton dan nekton. Sementara itu biota dasar perairan menempati kawasan dasar perairan, terutama di atas
dasar perairan, menempel pada permukaan perairan, dan menempati dalam dasar perairan (Sarong dkk, 2019).
Biota dasar perairan ini sering disebut dengan benthos, yang terdiri dari fitobenthos dan zoobenthos (Barus,
2004).

Berbagai jenis plankton, benthos hingga ikan di perairan akan tetap hidup dan berkembang pada
perairan yang kualitas airnya mendukung kehidupan mereka. Sebaliknya, perairan yang tercemar airnya akan
meracuni kehidupan biota perairan, sehingga menyebabkan menurunnya tingkat keanekaragaman maupun
produktivitas biota perairan. Maka dari itu, perairan dengan kualitas air yang baik akan memberikan ruang
hidup atau habitat yang baik bagi berkembangnya berbagai jenis biota air. Sebaliknya pada perairan yang
tercemar, hanya sedikit biota air yang dijumpai mampu bertahan hidup (Hill, 2004)

Tumbuhan yang hidup di air tawar umumnya bersel satu serta dinding selnya kuat misalya pada
beberapa alga biru dan alga hijau. Tumbuhan tingkat tinggi, seperti teratai (Nymphaea gigantea), mempunyai
akar jangkar). Bioma air tawar juga terdapat oleh nekton. Nekton adalah hewan yang bergerak aktif
menggunakan otot yang kuat. Hewan tingkat tinggi yang hidup di ekosistem air tawar, contohnya ikan, dalam
mengatasi perbedaan tekanan osmosis melakukan osmoregulasi untuk memelihara keseimbangan air dalam
tubuhnya melalui sistem ekskresi, insang, dan pencernaan. Hewan dan tumbuhan tingkat rendah yang hidup di
habitat air tawar, tekanan osmosisnya sama dengan tekanan osmosis lingkungan atau isotonis. (Dewiyantasari,
2015)

Ekosistem perairan tawar secara umum dibagi menjadi 2 yaitu perairan mengalir (lotic water) dan
perairan menggenang (lentic water). Perairan lotik dicirikan adanya arus yang terus menerus dengan kecepatan
bervariasi sehingga perpindahan massa air berlangsung terus – menerus, contohnya adalah sungai. Perairan
menggenang disebut juga perairan tenang yaitu perairan dimana aliran air lambat atau bahkan tidak ada dan
masasa air terakumulasi dalam periode waktu yang lama, misalnya danau. Komunitas yang berada di sungai
berbeda dengan danau. Air sungai yang mengalir deras tidak mendukung keberadaan komunitas plankton untuk
berdiam diri, karena akan terbawa arus. Sebagai gantinya terjadi fotosintesis dari ganggang yang melekat dan
tanaman berakar, sehingga dapat mendukung rantai makanan. (Siahaan,2012)
5
Laut merupakan bagian yang paling banyak menutupi bumi kita, dimana kurang lebih 71% dari
permukaan bumi ini adalah lautan. Laut juga memiliki karakter yang berbeda pada setiap sudut di dunia
sehingga tercipta berbagai macam biota laut yang terdapat pada lautan. Karakter laut yang berbeda tersebut
akhirnya membuat lingkungan laut dapat dibagi-bagi menjadi zona-zona yang berbeda. Berbagai tipe makhluk
hidup terdapat pada lautan, bahkan keanekaragaman makhluk hidup di lautan justru lebih beragam. Maka dari
itu, setiap zona tersebut memiliki jenis-jenis biota laut yang berbeda satu sama lain (Awaluddin, 2011)

Banyak dasar klasifikasi yang dilakukan oleh para ahli untuk mengklasifikasikan makhluk hidup pada
laut. Dasar klasifikasi ini ada mulai dari tingkat kerumitan morfologi dan anatomi tubuh sampai berdasar
habitat hidupnya. Berdasarkan dari tempat/cara hidupnya biota laut dapat dibagi menjadi dua yaitu benthos dan
plankton. Benthos adalah makhluk hidup laut yang hidup di permukaan dasar laut atau di dalam permukaan laut
atau menempel pada substrat. Sedangkan plankton merupakan biota laut yang hidup di/ dengan cara
mengambang di permukaan peraiaran. Plankton hidup dengan hanya mengikuti arus, berbeda dengan benthos
yang pada umumnya dapat bergerak sesuai keinginannya (Romimohtarto, 2007).

6
BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Keadaan Sampah di Dunia


Sampah merupakan salah satu permasalahan kompleks yang saat ini dihadapi oleh negara-negara
berkembang dan juga negara-negara maju di dunia. Berdasarkan pada penilaian yang dilakukan oleh GWMO
(Global Waste Management Outlook) pada tahun 2015, untuk total sampah ataupun limbah padat yang berasal
dari rumah tangga, perdagangan, industri, dan konstruksi, mencapai 7 hingga 10 milyar ton (Wilson D, 2015).
Dari jumlah tersebut, sekitar 2 milyar ton merupakan sampah perkotaan yang menjadi tanggung jawab
pemerintah kota dan sekitar setengah dari masing-masing total ini dihasilkan di negara-negara maju
berpenghasilan tinggi yang telah lama berdiri (Eropa Barat, AS, Kanada, Jepang, Australia, Selandia Baru).
Dalam pengelolaannya, GWMO juga menyebutkan bahwa sekitar 2 milyar orang di seluruh dunia masih
kekurangan akses ke pengumpulan sampah secara teratur. Sementara jumlah yang lebih besar, sekitar 3 milyar
orang di seluruh dunia tidak memiliki akses ke layanan pembuangan terkontrol untuk sampah perkotaan.

Permasalahan sampah saat ini menjadi masalah lingkungan global karena konstribusinya yang signifikan
dalam perubahan iklim. Emisi yang dihasilkan dari adanya sampah ini sedikit banyak juga menjadi salah satu
penyebab meningkatnya gas rumah kaca yang disebabkan oleh gas beracun hasil dari pembakaran sampah-
sampah organik dan plastik. Selain itu, pengelolaan akan sampah yang masih minim juga menyebabkan banyak
sekali sampah-sampah, khususnya sampah plastik yang dibuang ke sungai ataupun hanya dibiarkan tergeletak
dan menumpuk. Sampah plastik yang dibuang ke sungai ini kemudian akan mencemari perairan sungai juga
perairan laut, karena seperti yang kita tahu bahwasanya air sungai akan bermuara ke laut. Pencemaran perairan
sungai dan laut akibat sampah ini juga akan memberi dampak yang buruk bagi lingkungan dan biota perairan
yang ada di dalamnya. Oleh karena itu, perlu dilakukan adanya suatu langkah spesifik guna mengurangi
timbunan sampah di dunia, misalnya saja dengan mengatur kebijakan yang tegas mengenai pengelolaan
sampah, serta kewajiban untuk melakukan 3R (reuse, reduce, recycle) pada sampah sebelum akhirnya dibuang
ke TPA.

3.2 Kontaminasi Sampah Plastik di Perairan Dunia


Eriksen et al. (2014) dalma Hiwari et al. (2019) mengemukakan lebih dari 250.000 ton sampah plastik telah
terapung di lautan. Haward (2018) dalam Hiwari et al. (2019) penelitiannya menyimpulkan bahwa sebanyak
4.8-12.7 juta ton teridentifikasi berada di lautan. Dapat disimpulkan selama kurun waktu 4 tahun ini, terjadi
peningkatan massa plastik yang sangat signifikan yaitu sebesar 16-48 kali lipat dari sebelumnya. Pencemaran
sampah plastik di laut disebabkan oleh tempat pembuangan akhir limbah yang tidak dikelola dengan baik di
wilayah pesisir. Cina merupakan negara yang memiliki pengelolaan sampah terburuk, lebih dari seperempat
sampah plastik di tempat pembuangan limbah di wilayah pesisir Cina tercemar ke laut. Bahkan empat negara di

7
Asia Tenggara yaitu Indonesia, Filipina, Vietnam, dan Thailand, tercatat menyumbang hingga 60 persen
dari sampah plastik yang bocor ke laut. Angka ini berdasarkan laporan Ocean Conservancy dan McKinsey
Center for Business and Environment pada tahun 2015.

Selain mengkontaminasi wilayah perairan laut, sampah plastik juga banyak mengkontaminasi wilayah
perairan tawar seperti sungai. Bahkan 90% sampah plastik di dunia berasal dari sungai-sungai besar di Asia dan
Afrika, salah satunya adalah Sungai Mekong yang melintasi beberapa negara ASEAN seperti Kamboja, Laos,
Vietnam, dan Myanmar. Sungai Brantas di Indonesia pun juga tidak luput menyumbang pencemaran plastik di
dunia. Sejumlah faktor telah diperkirakan sebagai penyebab sampah plastik yang ada di lingkungan
perairan tawar. Beberapa di antaranya adalah perbandingan populasi manusia dibandingkan dengan
jumlah sumber air, letak pusat perkotaan, waktu tinggal air, ukuran sumber air, jenis pengolahan limbah,
dan jumlah saluran pembuangan. Sampah plastik yang telah mengkontaminasi sungai, pada akhirnya juga
akan bermuara ke laut. Oleh karena itu distribusi sampah plastik antara di lingkungan perairan laut dengan
lingkungan perairan sungai sangat terkait satu sama lain (Victoria, 2016).

Sampah plastik telah menyebar secara luas di seluruh wilayah perairan dunia. Sampah plastik dapat
ditemukan dalam berbagai ukuran, mulai dari mikroskopik hingga makroskopik. Dampak kontaminasi
sampah plastik pada kehidupan di perairan dipengaruhi oleh ukuran sampah tersebut. Sampah plastik yang
berukuran besar atau makroplastik, seperti benang pancing dan jaring, seringkali menyebabkan hewan-
hewan terbelit. Sampah plastik yang lebih kecil, seperti tutup botol, korek api, dan pelet plastik, dapat
tertelan oleh organisme perairan dan menyebabkan penyumbatan usus serta potensi keracunan bahan
kimia. Sementara itu, sampah plastik dalam ukuran kecil atau mikroplastik dapat dicerna bahkan oleh
organisme terkecil di habitat tersebut dan menimbulkan masalah yang lebih serius yang belum dapat
diketahui secara pasti. Mikroplastik yang berada di perairan dapat mengalami degradasi dan perubahan
komposisi karena cahaya matahari, radiasi panas, oksidasi, dan pertumbuhan biofilm sinar matahari. Proses
degradasi ini menyebabkan perubahan bentuk ukuran menjadi lebih kecil (size reduction), terjadi perubahan
densitas dan warna, perubahan morfologi permukaan, dan perubahan kristalinitas (Mardiyana dan Ari
Kristiningsih, 2020).

3.3 Dampak Sampah Plastik bagi Lingkungan/Ekosistem

Plastik merupakan jenis makromolekul yang dibentuk dengan proses polimerisasi, yaitu proses
penggabungan beberapa molekul sederhana (monomer) melalui proses kimia menjadi molekul besar
(makromolekul atau polimer). Dalam pembuatan plastik, salah satu bahan baku yang sering digunakan adalah
naphta, yaitu bahan yang dihasilkan dari penyulingan minyak bumi atau gas alam (Plastics Europe, 2013).
Plastik hadir dalam setiap aspek kehidupan kita sehari-hari, sebab sifat plastik yang menguntungkan
diantaranya serbaguna, ringan, kuat, tahan lama dan juga murah. Plastik digunakan dalam berbagai aplikasi
kehidupan, mulai dari rumah tangga dan barangbarang pribadi, pakaian dan kemasan untuk bahan bangunan

8
dan transportasi, serta lain sebagainya Sampah plastik merupakan masalah besar, bukan hanya di Indonesia,
tetapi di seluruh dunia. Menurut Kemenperin (2013), sekitar 1,9 juta ton plastik diproduksi selama tahun 2013
di Indonesia, dengan rata-rata produksi 1,65 juta ton/tahun. Thompson et al. (2009) memperkirakan bahwa 10%
dari semua plastik yang baru diproduksi akan dibuang melalui sungai dan berakhir di laut. Hal ini berarti sekitar
165 ribu ton plastik/tahun akan bermuara ke perairan laut Indonesia. Data tahun 2015 mengidentifikasi bahwa
sampah plastik di lautan tidak saja bersumber dari sampah domestik, sekitar 20% berasal dari sektor pelayaran
dan perikanan, namun 80% berasal dari darat bersumber dari aliran sungai yang bermuara di laut dan kawasan
pesisir, dimana wilayah peisisir Indonesia mencakup 50% areal daratan, dengan tingkat populasi 70% tinggal di
wilayah ini (Arifin, 2017).

Menurut NOAA (2013) sampah laut (marine debris) ialah benda padat yang kuat dan tahan lama,
diproduksi atau diproses oleh manusia, secara langsung atau tidak langsung, sengaja atau tidak sengaja,
dibuang atau ditinggalkan di dalam lingkungan laut. Tipe sampah laut di antaranya plastik, kain, busa,
styrofoam (gabus), kaca, keramik, logam, kertas, karet, dan kayu. Sampah plastik merupakan salah satu jenis
plastik yang mencemari laut. Penggunaan plastik dalam berbagai kegiatan manusia menyebabkan produksi
plastik semakin meningkat, sehingga plastik merupakan tipe sampah laut yang dominan). Polusi plastik telah
ditemukan dalam habitat laut dari kutub ke khatulistiwa dan dari garis pantai ke laut dalam (Browne et al.,
2011). Penelitian terbaru mendokumentasikan peningkatan sampah di Samudera Pasifik (Eriksen et al., 2013).
Sampah plastik yang bervariasi diklasifikasikan menurut ukuran, asal, bentuk, dan komposisi. Kategori ukuran
digunakan untuk mengklasifikasikan marine debris, yaitu mega plastik debris (> 100 mm), makro plastik debris
(> 20-100 mm), meso plastik debris (> 5-20 mm), dan mikro plastik debris (0.3-5 mm). Sampah plastik
menunjukkan berbagai bentuk, selain benda-benda plastik dikenali, bentuk yang paling umum adalah potongan
(fragmen), film, garis, serat, filamen, dan butiran (Andrady, 2011).

Pencemaran laut adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen
lain ke dalam lingkungan laut oleh kegiatan manusia, sehingga kuantitasnya turun sampai ke tingkat tertentu
yang menyebabkan lingkungan laut tidak sesuai lagi dengan baku mutu dan/atau fungsinya (PP-RI 19/1999).
Bahan pencemar termasuk partikel kimia, limbah industri, limbah pertanian dan perumahan, yang masuk ke
dalam laut memiliki dampak yang bermacam-macam. Sampah plastik yang dibuang, terapung dan akan
terendap di lautan juga merupakan pencemaran laut. Massa plastik di lautan diperkirakan menumpuk hingga
seratus juta metrik ton. Kondisi ini sangat berpengaruh buruk, dan sangat sulit terurai oleh bakteri. Sumber
sampah plastik di laut juga berasal dari jaring ikan yang sengaja dibuang atau tertinggal di dasar laut.

Potensi masuknya mikroplastik ke dalam biota laut atau ikan serta adanya pengaruh dan interaksi secara
biologi dijabarkan oleh Wright et al., (2013). Dalam penelitiannya dijelaskan bahwa mikroplastik dapat
terbentuk karena adanya pengaruh dari paparan sinar matahari, adanya arus, serta adanya pengaruh dari
mikroba yang dapat menyebabkan degradasi. Mikroplastik dengan densitas yang tinggi akan mengendap
kebawah dan akan terakumulasi dalam sedimen laut, sedangkan mikroplastik dengan densitas yang kurang dari
9
densitas air laut akan melayang. Ukuran yang sangat kecil dan melayang dalam perairan menjadikan biota laut
secara tidak langsung menelan mikroplastik tersebut. Mulai dari zooplankton hingga biota seperti ikan akan
tercemar dengan adanya limbah plastik. Limbah plastik yang terkumpul di laut secara alami dapat terurai
menjadi beberapa bagian yang lebih kecil karena ada faktor dari aktivitas sinar UV serta adanya abrasi yang
dihasilkan dari suatu aksi gelombang sehingga dengan adanya faktor tersebut sampah plastik yang bermuara di
laut dengan ukuran yang besar akan terdegradasi dan berukuran kurang dari 5 mikrometer (mikroplastik) (Law
dan Thompson, 2014). Dampak plastik pada ekosistem laut berkisar dari efek kesehatan langsung organisme,
karena menelan atau terjerat dalam sampah dan peralatan memancing, untuk menumpang (yaitu, menempel dan
mengambang dengan plastik) organisme, termasuk spesies invasif dan patogen, hingga dampak pada perikanan
(termasuk peralatan yang rusak, penurunan tangkapan), hingga hilangnya layanan ekosistem.

Sampah plastik dapat memiliki dampak ekologi dan ekonomi yang luas di perairan tawar dan
lingkungan laut. Dampak negatif langsung dari perkembangan jumlah plastik yang sangat banyak tentu ada
pada organisme laut, seperti terjerat oleh plastik dan membuat penyumbatan pada saluran pencernaan. Sekitar
370 spesies hewan laut telah ditemukan terjerat dalam atau telah menelan sampah laut di seluruh dunia (Galgani
et al., 2013). Sampah plastik ukuran besar, megaplastik dan makroplastik dapat menimbulkan resiko kesehatan
secara langsung bagi hewan air, termasuk ikan, penyu, burung, serta penyu laut, karena salah konsumsi
(Boerger et al., 2010). Konsumsi plastik oleh hewan air dapat menyebabkan pendarahan internal dan bisul, serta
penyumbatan pada saluran pencernaan (Wright et al., 2013). Efek negatif dari plastik juga dapat memberikan
dampak lain seperti terikatnya invertebrata bentik, burung, ikan, mamalia dan penyu oleh kabel plastik bahkan
jaring. Sampah plastic juga dapat bertindak sebagai vektor untuk kontaminan, termasuk polutan organik
persisten (POPs), polychlorinated biphenyls (PCB), hidrokarbon aromatik polisiklik (PAH),
dichlorodiphenyltrichloroethane (DDT), difenileter bifenil (PBDE), dan bisphenol A (BPA) dan logam berat
(Zarfl & Matthies, 2010). Hal tersebut menunjukkan pentingnya meneliti plastik sebagai media transportasi
polutan dari lingkungan perairan ke biota laut dan manusia. Thompson et al., (2009) menyebutkan bahwa pada
umumnya polimer plastik diberi bahan tambahan untuk menghasilkan produk plastik dengan karakteristik yang
baik. Namun, bahan tambahan kimia tersebut dapat tersebar dan terakumulasi di lingkungan yang dapat
berdampak buruk untuk biota dan konsumsi manusia pula. Sisi estetika pencemaran plastik juga mengotori
saluran air, sungai dan laut, serta memiliki dampak visual yang dramatis, dari kumpulan sampah yang
mengapung, serta banyaknya plastik mikro yang terjebak pada jalur-jalur air, batu karang, padang rumput laut
dan garis pantai.

10
3.4 Hubungan Antara Meningkatnya Sampah Plastik di Perairan Dunia terhadap Perekonomian Global

Gambar 3.1. Ecosystem Service Impact of Marine Plastic


Sumber : M. Cordier et al, 2021.
Dampak jasa ekosistem (Gambar 3. 1) dapat digunakan untuk menginformasikan penilaian awal tentang
biaya ekonomi plastik laut sebagai modal alam tomarine terkait (stok aset alam dunia). Berdasarkan penelitian
yang tersedia, belum mungkin untuk secara akurat menghitung penurunan dalam penyampaian jasa ekosistem
tahunan terkait dengan plastik laut dimana dampak negatif yang substansial ada pada hampir semua jasa
ekosistem pada skala global. Berdasarkan bukti ini, dianggap masuk akal untuk mendalilkan penurunan 1-5%
dalam penyampaian jasa ekosistem laut sebagai akibat dari stok plastik laut di samudra pada tahun 2011.
Dugaan semacam itu bersifat konservatif jika dibandingkan dengan penurunan layanan ekosistem darat karena
gangguan antropogenik yang tersedia dalam literatur, misalnya penurunan 11–28% dari jasa ekosistem darat
global (berdasarkan nilai) yang timbul dari perubahan penggunaan lahan antara tahun 1997 dan 2011
(Constanza et al., 2014) dan penurunan hingga 31% (berdasarkan nilai) karena urbanisasi di China (Hoornweg,
2012). Dalam skala global, diperkirakan bahwa untuk tahun 2011 layanan ekosistem laut memberikan manfaat
bagi masyarakat sekitar $ 49,7 triliun per tahun (Constanza et al., 2014). Sebagian besar nilai di mana
pendekatan ini dihitung didasarkan pada penggunaan berkelanjutan maksimum (aktual atau hipotetis) dari
sistem alam (atau semi-alami), yang mencerminkan bioma yang berfungsi dengan gangguan antropogenik
minimal. Sementara batasan dalam keakuratannya diakui, gambar ini dianggap untuk memberikan ketepatan
yang cukup untuk analisis global dan perkiraan penurunan nilainya, karena adanya plastik laut, dapat diambil
sebagai perkiraan urutan pertama dari biaya ekonomi.

11
Penurunan 1-5% ini dalam pemberian jasa ekosistem laut sama dengan kerugian tahunan sebesar $ 500–
$ 2500 miliar dalam nilai manfaat yang diperoleh dari jasa ekosistem laut. Dengan stok plastik tahun 2011 di
lingkungan laut diperkirakan antara 75 dan 150 juta ton (Ostle et al, 2019), ini akan sama dengan tahun 2011, di
bawah tingkat polusi plastik laut tahun 2011 dan berdasarkan jasa ekosistem 2011 nilai untuk setiap ton plastik
di laut memiliki biaya tahunan dalam hal pengurangan modal alam laut antara $ 3300 dan $ 33.000. Postulasi
biaya ekonomi ini hanya berkaitan dengan dampak plastik laut pada modal alam laut dan dengan demikian
merupakan 'pelemahan' dari biaya ekonomi penuh plastik laut.

Sebagai pengakuan atas keterbatasan biaya ekonomi ini, teridentifikasi empat bidang utama penelitian
untuk mengembangkan lebih lanjut biaya ekonomi dari pencemaran plastik di perairan: (1) Menyadari bahwa
biaya ekonomi yang disajikan adalah perkiraan yang lemah karena terdapat biaya sosial dan ekonomi yang
lebih luas yang perlu dihitung dan termasuk, misalnya, dampak langsung dan tidak langsung pada sektor
pariwisata, transportasi dan perikanan serta kesehatan manusia. Selain itu, ada celah data yang jelas dalam basis
bukti saat ini dan bias publikasi yang jelas terhadap spesies dan wilayah geografis tertentu, yang membawa
beberapa ketidakpastian pada kesimpulan global apa pun. Terdapat juga kerumitan yang cukup besar dalam
data ekologi, misalnya dalam suatu subjek ekologi terdapat banyak spesies, yang kesemuanya memiliki
kontribusi variabel terhadap penyediaan jasa ekosistem (2) Biaya ekonomi yang disajikan adalah rata-rata per
ton plastik, sedangkan pada kenyataannya biaya per ton akan bervariasi bergantung pada tempat emisi, tempat
perpindahan dan akumulasi, ukuran dan jenisnya, serta jumlah yang sudah ada di ekosistem. Oleh karena itu,
setiap ton plastik di perairan kemungkinan memiliki biaya yang lebih besar atau lebih kecil daripada rata-rata
karena plastik tidak 'tercampur dengan sempurna'. Emisi plastik, akumulasi dan kerusakan ekologi yang
diakibatkannya akan heterogen secara spasial dan ini harus dipertimbangkan dalam pengembangan dan
penggunaan nilai biaya per ton untuk plastik; (3) Nilai biaya per ton adalah rata-rata global, ini tidak setara
dengan anggapan bahwa setiap ton masa depan yang ditambahkan ke stok ini akan memiliki biaya rata-rata
yang sama. Ada kemungkinan bahwa biaya kerusakan setiap ton marjinal akan meningkat, yang berarti
hubungan antara nilai biaya per ton dan peningkatan jumlah plastik laut tampaknya tidak linier. (4) Sebuah
komplikasi terakhir terkait plastik adalah bahwa satu bagian melewati 'tahap kehidupan' yang berbeda, dari
makro ke mikro, dengan akumulasi dan pelepasan racun dan bahan biologis, dan idealnya perubahan ini harus
dimasukkan dalam biaya berapa pun per ton nilai yang dikaitkan dengan plastik (M. Cordier et al, 2021).

12
Saat ini akhirnya terbentuk suatu kebijakan global yaitu Extended Producer Responsibility (EPR) untuk
berkontribusi pada pengelolaan polusi plastik.

Gambar 3.2 EPR as a policy toward creating a circular economy.


Sumber : Wall, 2006
EPR adalah kebijakan lingkungan yang memperluas tanggung jawab produsen atas produk ke tahap
pascakonsumen produk. Melalui cara ini, EPR mengalihkan tanggung jawab ke hulu dari kotamadya (dan
pembayar pajak) kepada produsen, dan memberikan insentif bagi produsen untuk mempertimbangkan dampak
lingkungan dari desain produk mereka (Organisation for Economic Co-operation and Development, 2001).
Lebih khusus lagi, EPR membutuhkan produsen untuk membiayai pengumpulan, daur ulang, dan / atau
pembuangan produk yang aman. Walls (2006) mendaftar beberapa tujuan lingkungan untuk EPR: pengurangan
penggunaan perawan material, penyediaan insentif yang meningkat untuk ecodesign, pengurangan polusi di
tahap produksi, pengurangan komponen berbahaya, pengurangan volume limbah, dan pengurangan limbah
dibuang. Secara historis, aliran produk bersifat linier, dari ekstraksi bahan mentah hingga menghasilkan limbah,
seperti yang diilustrasikan di bagian atas gambar 3.2 (yang menunjukkan linier ekonomi, dari kiri ke kanan).
Secara teori, EPR mengubah aliran linier ini, menstimulasi searah jarum jam aliran melingkar. Mengalihkan
tanggung jawab dan biaya pengelolaan tahap post consumer suatu produk dari kotamadya ke produsen (yang
lulus sebanyak biaya penanganan kepada konsumen), EPR memotivasi produsen untuk mengurangi biaya dan
menangani limbah. Idealnya dapat mencapai keenam tujuan EPR. Namun, untuk mengurangi biaya, perusahaan
dalam suatu industri sering kali berbagi biaya EPR persyaratan dengan membentuk organisasi tanggung jawab
produsen. Kerja sama semacam itu mungkin mengakibatkan kerugian kesejahteraan jika perusahaan juga
bekerja sama (berkolusi) dalam masalah lain, seperti harga konsumen (Walls, 2006). Berbagi biaya antar
perusahaan juga mengurangi insentif untuk ecodesign, yang menunjukkan kebutuhan akan tanggung jawab
produsen yang lebih individu (Lifset, Atasu, and Tojo, 2013). EPR digunakan secara luas di Uni Eropa (UE)
dan diterapkan pada berbagai produk, termasuk peralatan listrik dan elektronik, baterai, aki dan kendaraan,
pengemasan limbah, ban, limbah oli, kertas dan kartu, serta limbah konstruksi dan pembongkaran. Faktanya,
EPR adalah sekarang merupakan elemen penting dari tujuan UE untuk menciptakan circular economy.
Peraturan Uni Eropa sekarang termasuk skema EPR wajib untuk semua kemasan dan target eksplisit untuk
tingkat daur ulang untuk berbagai jenis sampah. Target daur ulang umum untuk semua kemasan adalah 65

13
persen pada tahun 2025, dan untuk plastik targetnya adalah 50 persen pada tahun 2025. Peralatan makan plastik
sekali pakai, piring, sedotan, kapas tongkat pucuk yang terbuat dari plastik, dan cangkir polistiren yang
diperluas dilarang mulai tahun 2021 (European Parliament, 2019). Jika target-target tersebut tercapai,
diharapkan mereka akan mendorong seluruh dunia untuk melakukan upaya serupa sehingga MPP menjadi
masalah yang lebih bisa ditangani termasuk jumlah plastik yang ada dilingkungan terutama perairan dan segala
impact negatifnya.

14
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Berdasarkan dari uraian penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan antara lain:

1. Sampah merupakan salah satu permasalahan kompleks yang saat ini dihadapi oleh semua negara di dunai.
Pada tahun 2015, untuk total sampah ataupun limbah padat yang berasal dari rumah tangga, perdagangan,
industry, dan konstruksi mencapai 7 hingga 10 milyar ton, dimana dalam pengelolaannya masih banyak
orang yang tidak memiliki akses ke layanan pembuangan terkontrol. Hal ini menyebabkan timbunan sampah
menjadi semakin meningkat. Oleh karena itu perlu dilakukan adanya suatu Langkah spesifik guna
mengurangi timbunan sampah di dunia.

2. Sampah plastik telah menyebar secara luas di seluruh wilayah perairan dunia baik perairan tawar dan
laut. Kontaminasi sampah plastik di laut disebabkan oleh tempat pembuangan akhir limbah yang tidak
dikelola dengan baik di wilayah pesisir selain itu sampah plastik yang ada di laut dapat berasal dari sampah
plastik yang berada di sungai. Sedangkan faktor yang menyebabkan kontaminasi sampah plastik di
wilayah perairan sungai antara perbandingan populasi manusia dengan jumlah sumber air, letak pusat
perkotaan, waktu tinggal air, ukuran sumber air, jenis pengolahan limbah, dan jumlah saluran
pembuangan.

3. Sampah plastik yang memiliki dampak secara signifikan terhadap perairan. Dampak tersebut
diantaranya Kesehatan langsung organisme, karena menelan atau terjerat dalam sampah dan peralatan
memancing, dampak pada perikanan, bahan tambahan kimia pada palstik dapat tersebar dan
terakumulasi di lingkungan yang akhirnya berdampak buruk untuk biota dan konsumsi manusia hingga
hilangnya layanan ekosistem.

4. Penurunan 1-5% dalam pemberian jasa ekosistem laut sama dengan kerugian tahunan sebesar $500-
$2500 miliar dalam nilai manfaat yang diperoleh dari jasa ekosistem laut. Dengan stok plastik tahun
2011 di lingkungan laut diperkirakan antara 75-150 juta ton akan sama dengan tahun 2011, berdasarkan
jasa ekosistem 2011 nilai untuk setiap ton plastik laut memiliki biaya tahunan dalam hal pengurangan
modal alam laut antara $3300 dan $33000. Saat ini akhirnya terbentuk suatu kebijakan global yaitu
Extended Producer Responsibility (EPR) untuk berkontribusi pada pengelolaan polusi plastik dimana
EPR merupakan kebijakan lingkungan yang memperluas tanggung jawab produsen atas produk ke
tahap pasca konsumen produk.

4.2 Saran

Penulis tentu menyarankan supaya beberapa hal yang berhubungan dengan Sampah Plastik di Perairan
dunia di masa mendatang, seperti:

1. Himbauan kepada masyarakat untuk mengurangi penggunaan plastik sekali pakai

2. Penyusunan kebijakan yang jelas dan tegas mengenai pembuangan hingga pengolahan sampah plastik
terutama di perairan

3. Pembangunan ekonomi demi menjaga lingkungan, perlu diperhatikan pada penggunaan energi, ketersediaan
air bersih, dan manajemen penggunaan lahan.

15
DAFTAR PUSTAKA

Andrady, A.L. 2011. Microplastics in the Marine Environment. Mar. Poll. Bull. 62: 1596-1605.

Arifin, M. Z. 2017. Dampak Sampah Plastik Bagi Ekosistem Laut. Jurnal Maritime Vol. 14 No. 1 Juni 2017
(14), 44–48.

Awaluddin, M. Y. (2011). Introduksi Konsep Bersih Pantai (Coastal Cleanup) di Pantai Sindangkerta,
Kecamatan Cipatujah, Kabupaten Tasikmalaya. Jurnal Harpodon Borneo. 4(2): 1-6.

Baransano, Hengky K Dan Jubhar C. Mangimbulude. 2011. Eksploitasi Dan Konservasi Sumberdaya Hayati
Laut Dan Pesisir Di Indonesia. Jurnal Biologi Papua Issn: 2086-3314 Volume 3, Nomor 1 April
2011 Halaman: 39–45.

Barus, T.A. 2004. Pengantar Limnologi Studi Tentang Ekosistem Air Daratan. Medan: USU Press.

Boerger, C.M., G.L. Lattin, S.L. Moore and C.J. Moore. 2010. Plastic Ingestion By Planktivorous Fishes in The
North Pacific Central Gyre. Mar. Poll. Bull. 60 (12): 2275–2278.

Browne, M.A., P. Crump, S.J. Niven, E. Teuten, A. Tonkin, T. Galloway and R.C.Thompson. 2011. Ac-28
cumulation of Microplastic on Shorelines Worldwide: Sources and Sinks. Env. Sci. and Tech. 45: 9175-9179

Costanza, R., McGlade, J., Lovins, H., Kubiszewski, I., 2014a. An overarching goal for the UN sustainable
development goals. Solutions 5 (4), 13–16http://thesolutionsjournal. com/node/237220.

Dewi, Yusma Dan Trisno Raharjo. 2019. Aspek Hukum Bahaya Plastik Terhadap Kesehatan Dan Lingkungan
Serta Solusinya. Jurnal Kosmik Hukum Vol. 19 No. 1 Januari 2019.

Dewiyanti, Diasari. G. 2015. “Kepadatan dan Keanekaragaman Plankton di Perairan Mangetan Kanal
Kabupaten Sidoarjo Provinsi Jawa Timur dari Daerah Hulu, Daerah Tengah dan Daerah Hilir Bulan
Maret 2014”. Jurnal Ilmiah Biologi. Vol. 3. No. 1.

European Parliament. 2019. Available from http:// www.europarl.europa.eu/news/en/press-room/


20190321IPR32111/parliament-seals-ban-onthrowaway-plastics-by-2021 (Accessed April 17, 2021).

Eriksen, M., N. Maximenko, M. Thiel, A. Cummins, G. Lattin, S. Wilson and S. Rifman. 2013. Plastic
Pollution in The South Pacific Subtropical Gyre. Mar. Poll. Bull. 68 (1): 71–76.

Firdhausi, Nirmala Fitria Dkk. 2018. Kajian Ekologis Sungai Arbes Ambon Maluku. Jurnal Biology Science &
Education 2018.

Galgani, F., G. Hanke, S. Werner and L. De Vrees. 2013. Marine Litter Within The European Marine Strategy
Framework Directive. ICES Journal of Marine Science 70 (6): 1055–1064.

16
Hill, KM. 2004. Understanding Environmental Pollution. New York: Cambridge University Press

Hiwari, Azman Dkk. 2019. Kondisi Sampah Mikroplastik Di Permukaan Air Laut Sekitar Kupang Dan Rote,
Provinsi Nusa Tenggara Timur. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 5 (2): 165-171, Juni 2019.

Hoornweg, D. & Bhada-Tata, P. What a Waste: A Global Review of Solid Waste Management (World Bank,
2012).

Kementerian Perindustrian dan Perdagangan. 2013. Konsumsi plastik 1,9 juta ton [Internet].
http://www.kemenperin.go.id/ artikel/6262/Semester-I,-Konsumsi-Plastik-1,9-Juta-Ton. Diakses pada
tanggal 17 April 2021

Law dan Thompson, 2014. Microplastics in the seas. Journal of Science 11 Jul 2014: Vol. 345, Issue 6193, pp.
144-145

Lifset, R., A. Atasu, and N. Tojo. 2013. Extended producer responsibility. Journal of Industrial Ecology
17:162–66.

Lokajaya, I Nyoman Dkk. 2019. Pengolahan Limbah Plastik Menjadi Produk Kerajinan Tangan Untuk
Meningkatkan Ekonomi Masyarakat Sendang Dajah. Jurnal Karya Pengabdian Dosen Dan
Mahasiswa Oktober 2019 Vol 03 No 04.

M. Cordier et al. Plastic pollution and economic growth: The influence of corruption and lack of education.
Ecological Economics Vol. 182, April 2021, 106930

Mardiyana Dan Ari Kristiningsih. 2020. Dampak Pencemaran Mikroplastik Di Ekosistem Laut Terhadap
Zooplankton : Review. Jurnal Pengendalian Pencemaran Lingkungan (Jppl) Vol.2 No.01 Maret 2020.

Nasution, Reni Silvia. 2015. Berbagai Cara Penanggulangan Limbah Plastik. Journal of Islamic Science and
Technology Vol. 1, No.1, Juni 2015.

National Oceanic and Atmospheric Administration. 2013. Programmatic Environmental Assessment (PEA) for
the NOAA Marine Debris Program (MDP). Maryland (US): NOAA. 168 p.

Organisation for Economic Co-operation and Development. 2001. Extended producer responsibility: a guidance
manual for governments. Paris: Organisation for Economic Co-operation and Development.

Ostle, C., Thompson, R.C., Broughton, D., Gregory, L., Wootton, M., Johns, D.G., 2019. The rise in ocean
plastics evidenced from a 60-year time series. Nat. Commun. 10 (1), 1622.

Plastics Europe. 2013. Plastics the Facts 2013. An Analysis of European Latest Plastics Production, Demand
and Waste Data. Plastics Europe: Association of Plastic Manufacturers, Brussels, p. 40

[PP-RI] Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 1999 Tentang : Pengendalian Pencemaran Dan/Atau Perusakan
Laut

17
Romimohtarto, K. (2007). Biologi Laut: Ilmu Pengetahuan tentang Biota Laut. Jakarta: Djambatan.

Sarong, M.A. Supriatno. Asiah. Mimie S. Asri M. dan Zulfikar. 2019. The Development of Learning Receurces
Throught Benthic Spesies Study in Mangrove Ekosistem reuleung Leupung for Invertebrate Zoology
Learning. Jurnal of Physic: (1): 2-9.

Siahaan, R. 2012. Keanekaragaman Makrozoobentos sebagai Indikator Kualitas air Sungai Cisadane, Jawa
Barat – Banten, Jurnal Bioslogos. 2(1):p.1-9.

Thompson, R.C, C.J Moore, F.S vom Saal and S.H Swan. 2009. Plastics, The Environment and Human Health:
Current Consensus and Future Trends. Philos. Trans. R. Soc. Lond. B 364: 2153–2166.
http://dx.doi.org/10.1098/ rstb.2009.0053. [UNEP] United Nations

Victoria, Agnes Veronica. 2016. Kontaminasi Mikroplastik Di Perairan Tawar. Jurnal Teknik Kimia, Institut
Teknologi Bandung.

Victoria Gill. BBC News Indonesia: 'Mengerikan', sampah plastik sebanyak 1,3 miliar ton akan mencemari
lingkungan pada 2040. Diakses pada 16 April 2021, pukul 22.00, melalui
https://www.bbc.com/indonesia/majalah-53522290.

Walls, M. A. 2006. Extended producer responsibility and product design: economic theory and selected case
studies. RFF Discussion Paper 06-08. Available at SSRN: https://ssrn.com/ abstract¼901661 or
http://dx.doi.org/10.2139/ ssrn.901661

Wilson D. 2015. Waste Management – Still a Global Challenge in the 21 st Century: An Evidence-based Call for
Action. Waste Management & Research, 33(2): 1049-1051.

Wright, S.L., R.C. Thompson and T. S. Galloway. 2013. The Physical Impact of Microplastics On Marine
Organisms: A Review. Env. Poll. 178: 483-492.

Zarfl, C. and M. Matthies. 2010. Are Marine Plastic Particles Transport Vectors for Organic Pollutants to The
Arctic? Mar. Poll. Bull. 60 (10): 1810-1814

18
Statement of Authorship

“Kami yang bertandatangan dibawah ini menyatakan bahwa makalah/tugas terlampir adalah murni
hasil pekerjaan kami sendiri. Tidak ada pekerjaan orang lain yang kami gunakan tanpa menyebutkan
sumbernya. Materi ini belum pernah disajikan/digunakan sebagai bahan untuk makalah/tugas pada
mata ajaran lain kecuali kami menyatakan dengan jelas bahwa kami menyatakan menggunakannya.
kami memahami bahwa tugas yang kami kumpulkan ini dapat diperbanyak dan atau dikomunikasikan
untuk tujuan mendeteksi adanya plagiarisme.”

Nama : Rizky Maharani Putri Y.


NIM : 081911133003
Tandatangan :

Mata Ajaran : Ekonomi Lingkungan


Judul Makalah/Tugas : Dampak Sampah Plastik Di Perairan Laut dan Sungai Ditinjau Dari Aspek
Linkungan Dan Ekonomi
Tanggal : 22 April 2021
Dosen : Gigih Prihantono, S.E., M.SE

Nama : Evi Yunita Sari


NIM : 081911133005
Tandatangan :

Mata Ajaran : Ekonomi Lingkungan


Judul Makalah/Tugas : Dampak Sampah Plastik Di Perairan Laut dan Sungai Ditinjau Dari Aspek
Linkungan Dan Ekonomi
Tanggal : 22 April 2021
Dosen : Gigih Prihantono, S.E., M.SE

Nama : Clairien Michaela Inbertu G.


NIM : 081911133011
Tandatangan :

Mata Ajaran : Ekonomi Lingkungan


Judul Makalah/Tugas : Dampak Sampah Plastik Di Perairan Laut dan Sungai Ditinjau Dari Aspek
Linkungan Dan Ekonomi
Tanggal : 22 April 2021
Dosen : Gigih Prihantono, S.E., M.SE

Anda mungkin juga menyukai