Anda di halaman 1dari 288

PEMIKRAN DAN KIPRAH POLITIK ALI HASJMY

Disertasi
Diajukan kepada Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Doktor Pengkajian
Islam dalam bidang pemikiran politik Islam

Oleh:
MUKHTAR
NIM : 31181200000051

Promotor:
Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA
Prof. Dr. Ali Munhanif, MA

KONSENTRASI PEMIKIRAN POLITIK ISLAM


SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
(UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2021
KATA PENGANTAR

Disertasi ini telah melewati proses yang panjang dalam


penyusunannya. Di bawah asuhan Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA., dan
Prof. Dr. Ali Munhanif, MA., dan telah diuji oleh dewan penguji yang terdiri
dari Prof. Asep Saepudin Jahar, MA., Ph.D., Prof. Dr. Media Zainul Bahri,
MA., Prof. Dr. Iik Arifin Mansurnoor, MA., Prof. Dr. Ahmad Najib Burhani,
MA. Dan disertasi ini telah dinyatakan lulus pada sidang promosi doktor
yang dilaksanakan pada tanggal 2 Juni 2021.
disertasi ini, sebagaimana terlihat pada judul besarnya, A. Hasmy:
Transformasi Nilai Islam Menuju Pemikiran Politik Nasional”, dengan
tujuan untuk mengeksplorasi pemikiran dan kiprah politik A. Hasjmy
menyuguh kembangkan sebuah nilai dalam memahami politik Islam.
Transformasi nilai Islam merupakan sebuah rekontruksi pemikiran untuk
dapat dengan mudah memahami idealitas dan realitas politik ke-Indonesiaan
sebaga negara Islam modern.
Sebagai bidang studi pemikiran, kajian ini berusaha menganalisis
konsep dan praksis politik A. Hasjmy dalam konteks ke-Indonesiaan. Tidak
hanya itu, kajian ini juga berupaya mengungkapkan konteks sosial yang
menjadi akar historis perkembangan intelektual yang melatar belakangi
dibalik konsep dan kiprah politik terhadap paradigma pemikiran tokoh yang
dikaji. Mengingat bidang kajian ini adalah studi pemikiran politik Islam,
maka pemikiran dan kiprah politik A. Hasjmy dianalisis dengan kerangka
studi tersebut sebagai laboratorium, tentu tanpa mengabaikan pendekatan
multidisiplin atau bidang keilmuan lain sesuai kebutuhan riset untuk alat
bantu analisis. Tujuannya adalah memperjelas makna, memperkaya dan
memperkuat serta sedapat munkin mengembangkan paradigma politik Islam
yang memang telah dikonstruk oleh para sarjana sebelumnya. Perspektif
itulah yang diharapkan dan diupayakan meski dengan segala keterbatasan
penulis.
Penulis bersukur kepada Allah Swt., al-Ilah dan Rab penguasa alam
semesta, karena hanya dengan kuasa, bantuan dan izin-Nya penulis hidup
dan dapat menempuh studi ini. Penulis sangat berterima kasih kepada kedua
Guru dan sekaligus promotor penulis; dan Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA.
Prof. Dr. Ali Munhanif, MA. Dua di antara sarjana dan intelektual Indonesia
yang mesti dikaji pemikirannya oleh mahasiswa bidang pemikiran politik
Islam. Penulis bersyukur atas bimbingan dan arahan keduanya tugas akhir
akademik ini dapat diajukan dan sampai pada tahap ujian terbuka. Penulis
juga berterima kasih kepada para Guru yang telah menguji, memberi
masukan dan arahan secara kritis riset disertasi ini dalam proses ujian-ujian
sejak seminar proposal dan WIP 1&2 serta ujian pendahuluan. Terimakasih
Prof. Dr. Didin Saepuddin, MA., Prof. Dr. Zainul Kamal, MA., Prof. Dr.
Sukron Kamil, MA., Prof. Dr. Suparto, M. Ed, Ph. D., Prof. Dr. Asep Usman
Ismail, M. Ag., Prof. Dr. Abudin Nata, MA., Prof. Asep Saepudin Jahar,
MA., Prof. Iik Arifin Mansurnoor, MA., dan Prof. Dr. Amsal Bakhtiar, MA.

ii
Riset ini juga memiliki keterkaitan dengan proses pembelajaran di
dalam kelas dan di luar kelas selama studi di SPs. Dosen dan Guru seperti
yang disebutkan, yang kemudian memiliki peran dan kontribusi tersendiri
dalam riset ini. Karena itu, meski dalam pengantar untuk keperluan ujian
terbuka ini tak diurai secara rinci, penulis berterima kasih kepada Guru-guru
selama kuliah di SPs Syarif Hidayatullah Jakarta sejak September 2018.
Terima kasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA., Prof. Dr.
Masykuri Abdillah, MA., Prof. Dr. Jamhari, MA., Prof. M. Din Syamsuddin,
MA. Ph.D., Prof. Dr. Azis Dahlan,MA., Prof. Dr. Rodoni, MA., Prof. Dr.
Fathurrahman Jamil, MA., Prof. Dr. Syukron Kamil, MA., Prof. Dr. Suwito,
MA., Prof. Dr. Said Aqil Munawar, MA., Prof. Dr. Mohammad Atho
Mudzhar, MSPD., Almarhum Prof. Dr. Suwito, MA., Dr. Fuad Jabali, MA.,
dan Dr. Yusuf Rahman, MA.
Terimakasih kepada keluarga besar penulis (kedua orang tua dan lain-
lain) yang telah banyak membantu, mendukung dan turut berkorban dalam
proses studi di SPs. Akhirnya, terimakasih kepada keluarga Besar UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, terutama Sekolah Pascasarjana. Terima kasih
kepada Rektor, Prof. Dr. Amani Lubis, MA, dan para Wakil Rektor yakni
Prof. Dr. Andi Faisal, MA, Prof. Dr. Rodoni, MA., dan Prof.Dr. Zulkifli,
Ph.D. Penulis juga berterima kasih kepada pimpinan SPs UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, Prof. Asep Saefuddin Jahar, MA., PH.D., Prof. Dr.
Didin Saefuddin, MA., Dr. Hamka Hasan, Lc. MA., Dr. Asmawi, Dr. Arif
dan para Staf SPs UINJKT; Bu Asri, Nurbaini Futuhat Wulansari, Mas
Adam dan Mas Arif, Mas Rofig, Jayadi, Mas Cecep, dan lain-lain yang telah
dengan sepenuh hati membantu mahasiswa SPs. Serta kawan-kawan
seperjuangan semasa menempuh studi, telah banyak diskusi yang dibangun
bersama, sehingga menambah kazanah dalam berfikir, terkait pengembangan
ilmu pengetahuan.

Ciputat, 15 April 2021

Mukhtar

iii
ABSTRAK

Disertasi ini mengkaji pemikiran dan kiprah politik A. Hasjmy. Penelitian ini
menunjukkan bahwa pemikiran politik A. Hasjmy adalah religius moderat
dengan basis kultural yang kuat. Posisi A. Hasjmy tidak hanya hadir sebagai
pemikir, aktivis gerakan kemerdekaan, namun juga berperan sebagai
negosiator integrasi kebangsaan, sehingga dengan kiprahnya mampu
mendamaikan antara idealitas dengan realitas politik ke-Indonesiaan.
Substansi nilai-nilai Islam dalam konteks ke-Indonesiaan menjadi jalan
keluar terhadap polemik kebangsaan. Semakin moderat cara berfikir sebuah
bangsa, maka semakin mudah menyelesaikan persoalan kebangsaan. Kajian
ini tidak hanya mengkaji argumentasi pemikiran politik A. Hasjmy, namun
juga memaparkan praksis politiknya terkait dengan relasi Islam dan politik
dalam konteks ke-Indonesiaan. Ditinjau dari konsepsi politik, pemikiran A.
Hasjmy ter-integrasi dengan Islam, sementara dari sisi praksisnya pemikiran
politik A. Hasjmy adalah moderat. Berdasarkan narasi ke-Islaman yang
modernis, A. Hasjmy berhasil menanamkan nilai-nilai Islam dalam konteks
bernegara bagi masyarakat Aceh, sehingga semangat pembenturan antara
Islam dan negara dapat dipadamkan. Ikrar Lamteh menjadi resolusi konflik
dalam mengakhiri pemberontakan Aceh yang dibangun berdasarkan
semangat Islam terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia, sehingga
Indonesia dipahami sebagai negara Islam modern dengan Pancasila sebagai
dasarnya. Kajian ini mendukung pandangan Syamsuddin Mahmud (1994)
yang menyatakan A. Hasjmy adalah tokoh sosial politik pada masa
kemerdekaan Indonesia. Juga menyetujui dengan Sirajuddin M. (1999),
dalam mengemukakan pemikirannya A. Hasjmy menggunakan pendekatan
multi-disipliner. Dan tidak menolak Hasan Basri (2008) yang menyatakan
negara Islam menurut A. Hasjmy adalah negara yang mengaplikasikan
substansi nilai-nilai Islam. Penelitian ini merupakan studi kepustakaan
dengan metode hermeneutik dan analisis deskriptif kualitatif serta
menggunakan pendekatan sejarah, teologi, filsafat, dan sosial politik.

Kata Kunci; A. Hasjmy, Pemikiran, dan politik.

iv
ABSTRACT

This dissertation examines A. Hasjmy's political thoughts and


progress. This research shows that A. Hasjmy's political thought is
moderate religious with a strong cultural basis. A. Hasjmy's position is
not only present as a thinker, activist of the independence movement,
but also acts as a negotiator for national integration, so that with his
work he is able to reconcile ideals with the reality of Indonesian
politics. The substance of Islamic values in the Indonesian context
becomes a solution to the national polemic. The more moderate the
way of thinking of a nation is, the easier it will be to solve national
problems. This study not only examines the arguments of A. Hasjmy's
political thought, but also describes his political praxis related to the
relationship between Islam and politics in the Indonesian context. In
terms of political conception, A. Hasjmy's thinking is integrated with
Islam, while from the practical side A. Hasjmy's political thought is
moderate. Based on a modernist Islamic narrative, A. Hasjmy
succeeded in instilling Islamic values in the context of a state for the
people of Aceh, so that the spirit of clashes between Islam and the
state could be extinguished. The Lamteh pledge became a conflict
resolution in ending the Aceh rebellion which was built on the spirit of
Islam towards the Unitary State of the Republic of Indonesia, so that
Indonesia was understood as a modern Islamic state with Pancasila as
its basis. This study supports the view of Syamsuddin Mahmud (1994)
which states that A. Hasjmy was a socio-political figure at the time of
Indonesian independence. Also agrees with Sirajuddin M. (1999), in
expressing his thoughts A. Hasjmy uses a multi-disciplinary approach.
And did not reject Hasan Basri (2008) who stated that according to A.
Hasjmy an Islamic state is a country that applies the substance of
Islamic values. This research is a qualitative study using historical
factual methods in examining A. Hasjmy's political thoughts as stated
in his works, and uses historical, theological, philosophical, and
sociopolitical approaches.

Keywords; A. Hasjmy, Thought, and politics.

v
‫ملخص‬
‫حبثت ىذه األطروحة يف أفكار أ‪ .‬ىامشي وأنشطتو السياسية‪ .‬وقد أثبتت الدراسة أن تفكريه‬
‫حاضرا فقط كمفكر‬
‫ً‬ ‫السياسي يعترب دينيا معتدال ذا أساس ثقايف قوي‪ .‬إن موقف أ‪ .‬ىامشي ليس‬
‫أيضا يلعب دورا كمفاوض لالندماج الوطين‪ ،‬حىت يتمكن من‬ ‫وناشط يف حركة االستقالل‪ ،‬ولكنو ً‬
‫خالل عملو من التوفيق بني املثل العليا وواقع السياسة اإلندونيسية‪ .‬يصبح جوىر القيم اإلسالمية‬
‫اعتداال‪ ،‬فحل‬
‫ً‬ ‫يف السياق اإلندونيسي حالً للجدل الوطين‪ .‬كلما كانت طريقة تفكري األمة أكثر‬
‫املشكالت الوطنية كان أسهل‪ .‬ال تبحث ىذه الدراسة يف حجج أفكار أ‪ .‬ىامشي السياسية‬
‫أيضا ممارساتو السياسية املتعلقة باالرتباط بني اإلسالم والسياسة يف السياق‬‫فحسب‪ ،‬بل تعرض ً‬
‫اإلندونيسي‪ .‬من ناحية املفهوم ا لسياسي‪ ،‬فإن تفكري أ‪ .‬ىامشي يتناسب مع اإلسالم بينما من‬
‫الناحية العملية‪ ،‬فإن تفكريه السياسي يعترب معتدال‪ .‬باالعتماد على السرد اإلسالمي احلداثي‪ ،‬فقد‬
‫جنح أ‪ .‬ىامشي يف غرس القيم اإلسالمية يف السياق الدويل لسكان آتشيو حىت يتمكن من إطفاء‬
‫روح النزاع بني اإلسالم والدولة‪ .‬وقد أصبح تعهد "الالمتيو "حالً للنزاع يف إهناء مترد أتشيو املبين‬
‫على روح اإلسالم جتاه الدولة املوحدة جلمهورية إندونيسيا حىت تصبح إندونيسيا كدولة إسالمية‬
‫حديثة حيث كان أساسها باجناسيال‪ .‬دعم ىذه الدراسة وجهة نظر مشس الدين حممود (‪)٤٩٩١‬‬
‫اليت تنص على أن أ‪ .‬ىامشي كان شخصية اجتماعية وسياسية يف وقت االستقالل اإلندونيسي‪.‬‬
‫هنجا متعدد‬
‫أيضا مع سراج الدين م‪ ، )٤٩٩٩( .‬يف التعبري عن أفكاره ‪ ،‬يستخدم أ‪ .‬ىامشي ً‬ ‫يتفق ً‬
‫التخصصات‪ .‬ومل يرفض حسن البصري (‪ )٨٠٠٢‬الذي صرح بأن الدولة اإلسالمية حسب أ‪.‬‬
‫ىامشي ىي دولة تطبق جوىر القيم اإلسالمية‪ .‬يعترب ىذا البحث من الدراسات النوعية باستخدام‬
‫األساليب الوقائعية التارخيية يف الكشف عن أفكار أ‪ .‬ىامشي السياسية كما ورد يف أعمالو‪،‬‬
‫ويستخدم مقاربة تارخيية‪ ،‬والىوتية‪ ،‬وفلسفية‪ ،‬واجتماعية سياسية‪.‬‬

‫الكلمات األساسية‪ :‬أ‪ .‬ىامشي ‪ ،‬أفكار وسياسة‪.‬‬

‫‪vi‬‬
PEDOMAN PENULISAN
KUTIPAN DAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN

Disertasi ini menggunakan sistem penulisan kutipan dan bibliografi


model Turabian, sementara pedoman transliterasi Arab-Latin yang
digunakan adalah ALA-LC Romanization Tables.

A. Konsonan
‫ا‬ = Tak
dilangbangkan
‫ب‬ = b ‫ز‬ = z ‫ف‬ = f
‫ت‬ = t ‫س‬ = s ‫ق‬ = q
‫ث‬ = th ‫ش‬ = sh ‫ك‬ = k
‫ج‬ = j ‫ص‬ = s{ ‫ل‬ = l
‫ح‬ = h ‫ض‬ = d{ ‫م‬ = m
‫خ‬ = kh ‫ط‬ = t{ ‫ن‬ = n
‫د‬ = d ‫ظ‬ = z{ ‫ه‬ = h
‫ذ‬ = dh ‫ع‬ = ‘ ‫و‬ = w
‫ر‬ = r ‫غ‬ = gh ‫ي‬ = y

B. Vokal
1. Vokal Tunggal
Tanda Nama Huruf Latin Nama
‫ــَـ‬ Fathah A A
‫ــِـ‬ Kasrah I I
‫ــُـ‬ Dhammah U U

2. Vokal rangkap
Tanda Nama Huruf Latin Nama
‫ــَـي‬ Fathah dan ya Ai A dan i
‫ــَـو‬ Kasrah dan Au A dan u

vii
wau

Contoh;
‫ حسين‬: H{usain ‫ حول‬: H{aul

C. Maddah
Tanda Nama Huruf Latin Nama
‫ــَا‬ Fathah dan Alif a> a dan garis di
ataas
‫ــِي‬ Kasrah dan ya i> i dan garis di atas
‫ــُو‬ Dhammah dan u> u dan garis di atas
wau

D. D. Ta’ Marbutah
Transliterasi ta’ marbutah ditulis dengan ‚h‛ baik dirangkai
dengan kata sesudahnya maupun tidak. Contoh;
‫ مرأة‬: Mar’ah
‫ مدرسة‬: Madrasah
‫ المدينة المنورة‬: Al-Madinah al-Munawwarah

E. Shaddah
Shaddah atau Tashdid ditransliterasi ini dilambangkan dengan
huruf yang sama dengan huruf yang bershaddad. Contoh;
‫ ربنا‬: Rabbana
‫ نزل‬: Nazzala

F. Kata Sandang
Kata sandang ‚‫ ‛ال‬dilambangkan berdasarkan huruf yang
mengikutinya. Kata sandang dikuti oleh huruf syamsiyah maka
akan ditulis sesuai dengan harus bersangkutan, namun bila
diikuti oleh huruf qamariyah akan ditulis ‚al.‛ Selanjutnya al
ditulis lengkap seperti kata al-Qamaru (‫ )القمر‬dan al-syamsiyah
seperti ar-rajulu (‫)الرجل‬. Contoh:
‫الشمس‬ : ash-Shams ‫ النعيم‬: an-Na'i>m
‫القلم‬ : al-Qalam

G. Pengecualian Transliterasi

viii
Pengecualian transliterasi adalah kata-kata bahasa Arab yang
telah lazim digunakan dalam bahasa Indonesia dan menjadi
bagian dari bahasa Indonesia. Contoh kata dalam bahasa Arab
yang dikecualikan transliterasinya adalah seperti lafaz Allah,
asma’ al-husna, dan ibn. Namun demikian, lafaz-lafaz tersebut
tersebut tetap akan ditransliterasi bila terdapat dalam konteks
aslinya dengan pertimbangan konsistensi dalam penulisan.

ix
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ii
ABSTRAK iv
PEDOMAN TRANSLITERASI vii
DAFTAR ISI x
BAB I : PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang Masalah 1
B. Permasalahan 11
1. Identifikasi Masalah 11
2. Rumusan Masalahan 11
3. Pembatasan Masalah 11
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 12
D. Signifikansi dan Manfaat Penelitian 12
E. Penelitian Terdahulu yang relevan 13
F. Metodelogi Penelitian 15
G. Sistematika Pembahasan 19

BAB II : PERKEMBANGAN INTELEKTUAL DAN KON- 21


TEKS SOSIAL POLITIK
A. Basis Intelektual 22
1. Riwayat Hidup 23
2. Era Pendidikan 26
3. Sebagai Pemimpin Keluarga dan Umat 32
4. Karya-Karya 34
a. Karya di Bidang Sastra 34
b. Karya di Bidang Sejarah dan Agama 35
c. Karya di Bidang Politik 36
d. Karya di Bidang Hukum 37
e. Karya di Bidang Etika 37

B. Konteks Sosial dan Geneologi Pemikiran 37


1. Islam dan Struktur Sosial Masyarakat Aceh 37
2. Basis Sosial Politik 45
3. Literatur Pemikiran Poltik 49
C. Peran Sebagai Ulama dan Umara 51
D. Esensi Manusia Sebagai Khali>fah 56

BAB III : ISLAM DAN PRINSIP DASAR POLITIK 59


A. Islam dan Dasar Pemikiran Politik 59
1 Urgensi Negara Islam dan Hubungan 59
Keduanya
2 Lahirnya Negara Sebagai Produk Kebudayaan 65
3 Urgensi Politik dan Kekuasaan 72

x
B Eksistensi Negara Islam 76
1 Keniscyaan Negara Islam 76
2 Sumber Kekuasaan Negara Islam 80
3 Dasar dan Cita Negara Islam yang Menyeluruh 93
a Nilai Tauhid 97
b Ukhuwah Islamiyah 100
C. Tujuan dan Cita Negara Islam 103

BAB IV KONSEP KEKUASAAN POLITIK DAN SISTEM 111


KEPEMIMPINAN ISLAM
A. Kekuasaan Politik dalam Negara Islam 111
1 Kekuasaan Politik 111
2 Pembagian Kekuasaan dalam Negara Islam 115
3 Islam dan Demokrasi Kekuasaan 120
4 Prinsip dan Tujuan Dasar Negara Islam 126
a. Prinsip Persamaan Umat Manusia 126
b. Prinsip Kebebasan dan Jaminan Sosial 127
Umat Manusia
c. Prinsip Keadilan Sosial dan Hak Asasi 130
Manusia (HAM)
B. Pemerintahan dan Kepemimpinan Politik 136
1 Khali>fah atau ima>mah 136
2 Pemilihan dan Pengangkatan Khali>fah 148
3 Hak dan Kewajiban Khali>fah 158
C. Kedudukan dan Kepemimpinan Perempuan dalam 161
Islam

BAB V : RELASI ISLAM DAN POLITIK DALAM 175


KONTEKS KE-INDONESIAAN
A. Wacana Islam Politik di Indonesia 175
1. Ideologi Islamis/Tradisional 182
2. Ideologi Nasionalis/Sekuler 184
3. Ideologi Sosialis-Ekonomi 186
B. Integrasi Kebangsaan dan Peran Integralistik di 189
Aceh
1. Pemberontakan DI/TII di Aceh 191
2. Peran Integrasi Kebangsaan 197
3. Menuju Ikrar Lamteh 208
C. Relasi Islam dan Pancasila 219
D. Semangat Merdeka dan Nasionalisme Kebangsaan 227

BAB VI : PENUTUP 239


A. Kesimpulan 239
B. Rekomendasi 240

xi
DAFTAR PUSTAKA 242
GLOSARIUM
INDEKS
BIOGRAFI PENULIS

xii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Tanah air Indonesia sejak ratusan tahun yang lalu telah banyak melahirkan
putra-putra terbaiknya, yang kemudian dalam sejarah dunia tercatat sebagai tokoh-
tokoh besar.1 Aceh seperti halnya daerah lain di Indonesia melahirkan banyak tokoh
yang memiliki kontribusi besar terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI), baik dalam pemikiran maupun praksis politik. Salah satunya adalah A.
Hasjmy, di mana pemikiran dan kiprah politiknya dalam upaya memperkuat
nasionalisme ke-Indonesiaan cukup kuat, namun problematik. Sejumlah riset tentang
A. Hasjmy menunjukkan bahwa A. Hasjmy merupakan sosok yang besar dan multi-
talenta, baik dalam bidang pendidikan, dakwah, kesusastraan, dan politik. Kiprah
dan pengaruh politiknya pun cukup signifikan bagi pengokohan Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Pada era awal kemerdekaan Indonesia wacana terkait dengan bentuk negara
menjadi perdebatan panjang. Perdebatan ini tidak hanya berlangsung melalui jalur
konstitusional, melainkan juga mengemuka di luar politik kekuasaan, dengan
hadirnya pemberontakan Darul Islam Indonesia. Menyangkut dengan tema Islam
dan negara di Indonesia transformasi konsep kekuasaan dalam realitas politik
kebangsaan, selama ini dibangun berdasarkan narasi dari atas ke bawah. Artinya,
pemahaman nasionalisme kebangsaan yang dipaksakan dari pusat ke daerah.
Sementara A. Hasjmy melakukan hal sebaliknya, dengan membangun narasi
kebangsaan dari daerah. Dalam prakteknya, A. Hasjmy mencoba untuk
menggelorakan semangat nasionalisme Indonesia dari luar ranah kekuasaan pusat.
Hal ini terbukti dengan keberhasilan A. Hasjmy dalam merobah alur fikir para elit
Aceh di era pra-kemerdekaan yang ingin mendirikan negara Islam, melalui
pemberontakan Darul Islam (DI/TII) Aceh, untuk menerima konsep nasioalisme
kebangsaan dalam bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan Pancasila
sebagai dasar negara.
Menjelang Dekrit Presiden 5 Juli 1959 untuk kembali ke UUD 1945 dengan
dasar Pancasila, A. Hasjmy berusaha keras untuk mengajak gerakan pemberontakan
DI/TI Aceh kembali ke pangkuan negara Republik Indonesia. Yaitu dengan
mengusahakan adanya status keistimewaan untuk Provinsi Aceh, dalam kerangka
Negara Kesatuan Republik Indonesia, di mana diperpadukan semangat
Nasionalisme ke-Indonesiaan dengan jiwa keislaman yang sangat bersejarah di
Aceh. A. Hasjmy melihat adanya realita kekhasan budaya dan adat Aceh yang
bernafaskan Islam. Dan karena Pancasila bertolak dari nasionalisme yang religius-
monoteistis, maka bumi Aceh dan rakyatnya mengandung nafas serta nyawa yang
sama dengan struktur dan kultur seluruh bangsa Indonesia dalam wadah Negara

1
A. Hasjmy, Iskankar Muda Meukuta Alam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), h. 5.

1
Kesatuan dan Persatuan Pancasila, yang menyuburkan ke-Bhinneka Tunggal Ikaan
sosial budaya dan sosial ekonomi.2
Cita Islam, menurut A. Hasjmy menjadi dasar utama dalam hidup
bernegara.3 Memahami Islam secara substansial berperan penting dalam mengajak
manusia untuk membangun kehidupan yang damai. 4 Islam sebagai agama sangatlah
akomodatif dalam mengelola kehidupan manusia, kehadirannya tidak hanya
mengatur urusan vertikal manusia dengan Tuhan semata, melainkan juga menata
kehidupan manusia secara horizontal. 5 Islam telah mengajarkan tentang persatuan,
perdamaian, serta hak kesejahteraan atas manusia. 6 Sebagai makhluk yang berperan
dalam kehidupan sosial, tentunya kehadiran agama yang menekankan pada aspek
moral sangatlah penting. Dengan ini, agama tidak akan bisa mengelola kehidupan
sosial tanpa ditopang oleh keberadaan negara, begitu juga sebaliknya, negara tidak
akan kokoh tanpa eksistensi agama. 7
A. Hasjmy dalam konteks kepemimpinan, ketokohanya dikenal sebagai
birokrat dan politikus yang cermat. Tidak hanya aktif di dunia politik praktis, akan
tetapi juga giat menulis dalam berbagai bidang ilmu, termasuk bidang politik.
Namun, jarang sekali ditemukan kajian komprehensif tentang pemikiran politiknya.
Kematangan politik praktisnya tidak diragukan lagi. Selama tiga zaman, A. Hasjmy
tetap berperan sebagai “pemain” di panggung politik. Namun demikian, terkait
dengan gagasannya mengenai politik, sebagaimana diungkapkan oleh Hasan Basri,
secara teoritis mengenai politik belum banyak diungkapkan. Dapat dilihat dari
beberapa karyanya, mengemukakannya gagasannya tentang politik, terkusus
mengenai konsep negara Islam yang mana dalam konteks akademik patut
diperhitungkan. Kendatipun demikian, dalam dunia kesusastraan Indonesia, A.
Hasjmy lebih dikenal sebagai pujangga baru. Karena itu, aspek pemikirannya
tentang politik hampir tidak pernah disinggung oleh para ahli. Ada kemungkinan
sebagai orang menganggap, A. Hasjmy hanyalah seorang sastrawan, meskipun

22
A. Hasjmy, Aset Sejarah Masa Kini dan Masa Depan: Delapan Puluh Tahun
Melalui Jalan Raya Dunia, Penyusun, Badruzzaman Ismail, dkk, (Jakarta: Bulan Bintang,
1994), h. 19.
3
A. Hasjmy, Di mana Letaknya Negara Islam, (Surabaya: Bina Ilmu, 1984), h. 33.
4
Perdamaian, harmoni, dan hidup berdampingan di antara umat beragama yang
berbeda menurut Azyumardi Azra, merupakan inti dan pokok ajaran agama. Lihat,
Azyumardi Azra, Transformasi Politik Islam: Radikalisme, Khilafatisme, dan Demokrasi,
(Jakarta: Prenadamedia Group, 2016), h. 10.
5
Eugenia Siapera menjelaskan, Islam merupakan agama yang bersifat spritual
sekaligus bersifat temporal. Lihat, Eugenia Siapera, Eugenia, “The Political Subject of
Blogs,” Information Polity,Vol. 13, No. 1–2, (April 24, 2008): 97–109, http:// www. medra.
org/servl et/aliasResolver? alias=ios press& doi=10.3233/IP-2008-0144. Diakses Tanggal 6
Mei 2019.
6
Selanjutnya lihat, A. Hasjmy, Apa Tugas Sastrawan Sebagai Khalifah, ( Surabaya:
Bina Ilmu, 1984), h. 50-51.
7
M. Din Syamsuddin, Islam dan Politik Era Orde Baru, (Jakarta, PT Logos
Wacana Ilmu, 2001), h. xi.

2
publik mengetahui bahwa A. Hasjmy juga seorang ulama dan birokrat. 8 Dikalangan
masyarakat Aceh A. Hasjmy juga dikenal sebagai tokoh pendidikan, dan menjadi
aikon pendidikan “Darussalam” yang mencetuskan Kota Pelajar Mahasiswa, atau
lebih dikenal dengan sebutan KOPELMA Darussalam.
Negara menurut A. Hasjmy tidak harus Islam menjadi dasarnya. 9 Konsep
negara dalam pemikiran politik Islam tidak hanya dipahami berdasarkan
argumentasi politik semata, namun nilai-nilainya juga dapat dipraktekkan secara
praksis dalam kehidupan bernegara. Memahami uraian tentang negara Islam A.
Hajmy adalah termasuk pemikir Islam modern yang tidak hanya memiliki
pandangan tentang konsep negara, namun juga terlibat dalam praksisnya.
Memahami konsep negara Islam, terlebih dahulu yang harus dipahami adalah
terkait dengan “cita Islam” mengenai alam kehidupan dan manusia. Dasar negara
Islam tidak akan dapat dimengerti sebaik-baiknya sebelum “cita Islam” atau ideologi
Islam dimengerti dengan sebenarnya, karena negara itu merupakan cabang dari
pokok utamanya. Islam yang berwenang untuk menyusun segala cabang kehidupan
manusia, tidaklah mengatur sesuatu separuh-separuh. Islam mempunyai cita utama
yang meliputi alam, kehidupan, dan manusia, bahwa segala cabang cita dan cabang
rasa berpangkal pada cita utama, kepadanya pula berpaut segala penelitian dan
perundangannya, ibadat dan muamalahnya, semua terpancar dari cita utama yang
menyeluruh.10
Pada dasarnya Islam sudah mempunyai citanya sendiri yang sempurna dan
berakar, di mana tinjauannya berdasarkan petunjuk Alquran dan hadis serta sirah
dan sunnah amaliah dari Rasulullah.11 Islam datang untuk mempersatukan tujuan.12
Kehadirannya telah menjangkau hubungan Kha>lik dengan makhluk, keaslian
hubungan antara alam, kehidupan dan manusia dengan jiwanya, antara pribadi

8
Hasan basri, Melampaui Islam Substantif: Biografi Politik A. Hasjmy (Langsa: Za
wiyah Serambi Ilmu Pengetahuan, 2015), h. 5.
9
A. Hasjmy, Di Mana Letaknya Negara Islam..., h. 11.
10
A. Hasjmy, Di Mana Letaknya Negara Islam..., h. 34. Lihat juga, Said Agiel
Siradj, Islam Kebangsaan: Fiqh Demokratik Kaum Santri, (Jakarta: Pustaka Cahaya, 1999),
h. 24.
11
Ahmad Rafiki and Kalsom Abdul Wahab, ‚Islamic Values and Principles in the
Organization: A Review of Literature,‛ Asian Social Science, Vol. 10, No. 9 (April 7, 2014)
, http://www.ccsenet.org/journal/index.php/ass/article/view/35858. Diakses Tnggal 13 Juni
2019.
12
Kedatangan Islam bertujuan untuk mempersatukan bumi dengan langit dalam org
anisasi alam semesta, mempersatukan dunia dengan akhirat dalam organisasi agama,
mempersatukan antara rohani dengan jasmani dalam organisasi manusia, mempersatukan
antara ibadat dengan amal dalam organisasi hayat. Dan semua kegiatan tersebut harus
berjalan dengan satu jalan, yaitu jalan menuju kepada Allah swt. Lihat, A. Hasjmy, Di Mana
Letaknya Negara Islam..., h. 40-41. Sesuai dengan pesan yang terkandung dalam Alquran
yang artinya, “sesungguhnya (agama tauhid) ini adalah agama kamu semua, Aku Adalah
Tuhanmu, maka sembah Aku”. Q. S., Al-„Ambiya>‟/112: 92.

3
dengan jamaah, antara rakyat dengan negara, antara keseluruhan masyarakat
manusia, antara angkatan dengan angkatan. 13
A. Hasjmy berpandangan, negara yang di dalamnya termuat unsur-unsur
kekuasaan yang diraih oleh manusia di muka bumi datangnya dari Allah swt., yang
diberi mandat kepada manusia untuk mengurus dunia, agar supaya tidak terjadi
kekacauan dalam pelaksanaan sunnah Allah swt., maka Allah swt. sesuai dengan
hikmah-Nya memberi kuasa pula kepada sebagian manusia untuk menguasai
(memerintah) manusia yang lain dalam arti memimpin negara. Mandat yang
diberikan Allah swt., kepada sebagian manusia untuk memimpin (menguasai)
sebagian yang lainnya, dimaksudkan untuk terciptanya sebuah sistem kehidupan
yang damai, tentram, adil, bermartabat, sehingga kebahagian dan kepentingan
manusia terwujud adanya. 14 Untuk memperkuat argumentasinya A. Hasjmy
mengutip ayat Alquran sebagai landasan pemikirannya akan kepemilikan
kekuasaan.15
Berdasarkan penegasan Alquran di atas, maka dalam pandangan A. Hasjmy
negara adalah kepunyaan Allah swt. Demikian juga kedaulatan negara itu milik
Allah juga. Dengan demikian negara yang mewujud dalam sebuah tatanan yang
didiami oleh sekelompok manusia di muka bumi ini, maka Allah swt. memberikan
mandat-Nya kepada sebagian manusia untuk menjadi pemimpin bagi manusia yang
lainnya.16 Sesuai dengan firman Allah swt. di dalam Alquran.17
Berdasarkan argumentasi kepemimpinan yang dibangun oleh A. Hasjmy
atas dasar dalil Alquran, maka dapat disimpulkan bahwa pandangan politiknya
mengacu kepada teori teokrasi. Namun pada kasus yang lain pandangannya
mengacu, serta mendukung berdirinya sistem demokrasi. Demokrasi yang dimaksud
oleh A. Hasjmy adalah sistem musyawarah yang berlandaskan Syariat Islam. 18 A.
Hasjmy menegaskan bahwa negara sepenuhnya kepunyaan Allah swt., demikian
juga kedaulatan negara ada di tangan-Nya. Yang demikian ini didasarkan atas
kenyataan bahwa Allah swt., adalah pencipta alam semesta. Dia adalah penguasa

13
Semua itu berpangkal pada “cita utama” yang ruhnya menjalar kesegenap cabang
dan ranting. Itulah cita Islam, itulah dia pikiran Islam, dan itulah cita filsafat Islam (that is
the name idea, the Islamic thought and the Islamic philosophy), sebagaimana A. Hasjmy
mengutip surat al-Ikhla>s ayat 1-4 yang artinya, “katakanlah (hai Muhammad) Allah itu Esa,
Allah tumpuan segala cita, tiada berputra dan tiada beribu-bapak, dan tiada siapapun yang
sama dengannya‖. Lihat, A. Hasjmy, Di Mana Letaknya Negara Islam..., h. 34.
14
A. Hasjmy, Di mana Letaknya Negara Islam.., h. 27.
15
Q. S., Al-An„am/006: 132-133. Lihat juga, Q. S., Al-An„am/006 165.
16
A. Hasjmy, Di mana Letaknya Negara Islam.., h. 28.
17
Artinya, “ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: "Sesungguh
nya Aku hendak menjadikan seorang Khali>fah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa
Engkau hendak menjadikan (Khali>fah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan
padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasa bertasbih dengan memuji
Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa
yang tidak kamu ketahui”. Q. S., Al-Baqarah/001: 30. Lihat juga, Q. S., Al-Baqarah/002: 38-
39. Q. S., Al-An„am/006: 165. Q. S., Asy-Syu>ra/042: 49. Q. S., Al-H}adi>d/057: 6. Q.S., Al-
Mulk/067: 1 S., Hu>d/011:61.
18
Hasan Basri, Melampaui Islam Substantif: Biografi Politik A. Hasjmy..., h. 6

4
mutlak, sementara manusia adalah hamba, dan budak-Nya, dan semua manusia sama
dalam pandangan Allah swt., semuanya hidup dalam kerajaan Allah swt., yang harus
patuh dan tunduk atas segala perintah-Nya.
Pandangan A. Hasyimi di atas berbeda dengan Ibnu Khaldun yang
menegaskan prinsip solidaritas sosial sebagai faktor terbentuknya kekuasaan politik
atau negara.19 Berkaitan dengan dasar negara Islam menurut A. Hasjmy, Islam
membangun negara (daulah). Negara tidak tergantung di awang-awang dan tidak
pula hanya terhujam di dalam bumi saja. Islam mendirikan daulah yang urat atau
akarnya mencengkram di bumi dan pucuknya menjangkau „arsy yang tinggi. Dalam
pandangan Islam manusia adalah pemegang amanah Allah swt., untuk mengurus
kerajaan bumi, sementara negara dan kedaulatannya itu sendiri adalah milik-Nya.
Konsep negara yang demikian menurut A. Hasjmy dibangun dengan nama dan
mandat Allah Yang Maha Esa, bertujuan untuk kesejahteraan manusia, baik jasmani,
maupun rohani, serta mencakup dunia dan akhirat. Oleh karena demikian, maka
keberadaan negara mempunyai dua unsur dasarnya. Pertama, tauhid (mengesakan
Allah). Kedua, Ukhuwah Islamiyah (persaudaraan Islam). 20
Kekuasaan dalam negara merupakan bagian yang sangat urgen. Adanya
akan negara sangat membutuhkan akan adanya kekuasaan sebagai alat untuk meraih
tujuan negara. disebabkan kekuasaan itu begitu penting, bahkan tidak bisa
dipisahkan dari negara, dan merupakan hakikat dari negara itu sendiri, sehingga
beberapa pemikir politik berpendapat bahwa negara adalah penjelmaan dari
kekuasaan.21 Dalam hal ini, Machiavelli mengemukakan sebaiknya negara itu adalah
negara kekuasaan.22 Dalam negara kekuasaan kedaulatan berada pada negara itu
sendiri. Hanyalah dengan menjadi negara kekuasaan barulah negara itu memiliki
kekuasaan memaksa yang akan digunakan untuk melindungi, menjaga, dan
mempertahankan keberadaan kekuasaan itu sendiri. 23
Islam sebagai agama dengan ajarannya memiliki derivasi nilai transformasi
politik.24 Bentuk ideal negara Islam yang sesungguhnya adalah “negara Madinah”
karena telah memenuhi syarat-syarat pokok pendirian suatu negara, yaitu adanya

19
Syed Farid Alatas, “Ibn Khaldun (1332-1406),” in Sociological Theory Be yond
the Canon, 2017. http://link.springer.com/10.1057/978-1-137-41134-1_2. Diakses Tanggal 2
Juli 2019. Lihat juga, Navid Hassanzadeh, “Realism and Its Limitations for Ibn Khaldūn,”
The Journal of North African Studies (May 16, 2019): 1–22, https://www.tandfonl
ine.com/doi/fu l l/10.108 0/13629387.2019.1613982. Diakses Tanggal 2 Juli 2019.
20
Hasan Basri, Melampaui Islam Substantif: Biografi Politik A. Hasjmy..., h. 6
21
David Cawthon, “The Divine Right of Kings,” in Philosophical Foundatio ns of
Leadership (Routledge, 2017), 4150,https://w ww.taylorfrancis. com/books/ 978135 132459
5/chapters/10.4324/ 9781351324601-6. Diakses Tanggal 11 Mei 2019.
22
Tamas Bereczkei, “Evolutionary Behavioral Sciences Machiavellian Intelligence
Hypothesis Revisited: What Evolved,” Evolutionary Behavioral Sciences (2017). Vol. 12,
No.1, (2018): 32-51.http://doi.apa.org/getdoi.cfm?doi=10.1037/ebs0000096. Diakses Tang
gal 11 Mei 2019.
23
J. H. Rapar, Filsafat Politik Machiavelli.., h. 57.
24
Muhammad Haniff Bin Hassan, “Explaining Islam‟s Special Position and the
Politic of Islam in Malaysia,” The Muslim World, Vol. 97, No..2 (April 2007): 287–316,
http://doi.wiley.com/10.1111/j.1478-1913.2007.00174.x. Diakses Tanggal 12 Mei 2019.

5
wilayah, rakyat, bahasa, pemerintah, dan undang-undang dasar. 25 Dalam kontek
bai’ah al-‘aqa>bah, penduduk Madinah datang kepada Nabi Muhammad saw., dan
menyerahkan sebagian haknya kepada beliau. Baik sebagai Nabi maupun pemimpin
mereka. Sebagai konsekuensinya, mereka akan mematuhi apa saja yang ditetapkan
Nabi mereka. Sebaliknya, Nabi selaku penerima kekuasaan akan melindungi
mereka, memenuhi kebutuhan mereka, dan membawa mereka ke dalam
kesejahteraan. Dalam perjanjian ini ada hak dan kewajiban secara berimbang antara
kedua belah pihak. Berdasarkan perjanjian ini, Nabi menjalankan perannya sebagai
Kepala Negara Madinah.26
Bentuk negara Madinah dengan sejarah berdirinya, serta Nabi sebagai
Khali>fah pertama menjadi asumsi utama, bahwasanya negara merupakan sebuah
wadah sebagai generator untuk mempersatukan setiap golongan antar kelompok
yang berbeda-beda.27 Perbedaan tersebut merupakan fitrah kemanusian. 28 Arus
utama berdirinya sebuah negara menurut A. Hasjmy sifat dasarnya bertujuan untuk
menciptakan kesejahteraan serta kemaslahatan umum bagi keseluruhan umat
manusia, baik Muslim maupun non-Muslim. Berdasarkan sifat dasar tersebut ajaran-
ajaran tentang ibadah, serta muamalah, sosial, ekonomi, pemerintahan dan politik,
perang dan damai, semuanya ditetapkan sebagai keharusan agama yang wajib di
taati.29 Berdasarkan asumsi tersebut keterkaitan antara Islam dan negara tidak dapat
dipisahkan dari peranan politik.30
A. Hasjmy memandang bahwa dasar-dasar negara yang termuat dalam
Ajaran Islam, berupa sistem pemerintahan, sistem musyawarah, penetapan
pemimpin, pelaksanaan pemerintahan, dan lain sebagainya, dapat dipraktekkan dan
dipergunakan dalam negara manapun di dunia (termasuk negara Indonesia), dengan
tidak perlu mengambil Islam menjadi dasarnya, dan tidak harus negara yang
mengadopsi sistem tersebut, mesti dinamakan dengan negara Islam.31 Dengan
demikian, terminologi politik yang dibangun dalam dunia Islam tidak begitu
menyempit dan interes, tetapi nilai-nilai ajaran bernegara yang dibangun hanya
dalam bentuk pengadopsian sistem saja. Dengan bahasa yang lain identitas Islam
menjadi esensi kedua setelah sistem negara terwujud.
Dengan demikian, kekuasaan dalam pandangan A. Hasjmy adalah sesuatu
yang bersumber dari Tuhan, otoritas keilahian menjadi tolak ukur utama bagi

25
Muhammad Iqbal, Fikih Siyasah Konstektualisasi Dokrin Politik Islam, (Jakarta:
Gaya Media Pratama, 2001), h. 33.
26
Muhammad Iqbal, Fikih Siyasah Konstektualisasi Dokrin Politik Islam..., h. 38.
27
Robingun Suyud El Syam, “Prophetic Leadership: The Leadership Model of
Prophet Muhammad in Political Relation of Social–Ummah,” Jurnal Pendidikan Islam, Vol.
6, No. 2, (December27,2017): 371, http://ejournal.uin-suka.ac.id/tarbiyah/index.php/JP I/arti
ce/view/1663. Diakses Tanggal 15 Juni 2019.
28
Cristina Malcolmson, “ SMITH, Justin E. H. Nature, Human Nature, and Human
Difference: Race in Early Modern Philosophy” Archives of Natural History (2017).http://w
ww.euppub lishing. com/doi/10.3366/anh.2017.0430. Diakses Tanggal 15 Juni 2019.
29
Hasan Basri, Melampaui Islam Substantif: Biografi Politik A. Hasjmy..., h. 6.
30
Hasan Basri, Melampaui Islam Substantif: Biografi Politik A. Hasjmy..., h. 7.
31
Wiryono Prodjodikoro, Asas-Asas Ilmu Negara dan Politik, (Jakarta: Eresco,
1981), h. 1.

6
kekuasaan itu sendiri, ketika kekuasaan itu ada di tangan manusia, bersamaan itu
pula nilai-nilai, visi, dan misi Tuhanlah yang sedang dijalankan oleh para penguasa
di muka bumi. Bagaimana kekuasaan itu menjadi jalan keluar bagi manusia untuk
menyelesaikan setiap persoalan yang ada, mulai dari menyelesaikan persoalan yang
kecil, hingga pada persoalan yang besar. Berdasarkan Alquran manusia tidak
mempunyai kedaulatan akan kekuasaan, jika manusia sanggup memikulnya dalam
hal mengurus negara itu hanya sekedar titah perwakilan saja. Walaupun demikian
adanya Tuhan tidak membatasi kepada manusia untuk menciptakan tata laksana
tersendiri bagi sebuah komunitas untuk menjalankan kekuasaan, dalam rangka
menciptakan pelaksanaan sistem kenegaraan, sehingga cita-cita bersama terwujud.
Keberadaan negara menjadi relasi penting bagi Islam, memahami Islam
sebagai agama yang menganut asas kesejahteraan, maka kehadiran negara sangatlah
diperlukan untuk mengatur sisi-sisi kehidupan manusia, terutama sekali menyangkut
dengan kehidupan sosial politik. Hal ini tentu saja memunculkan tantangan bagi
setiap individu Muslim, bagaimana membumikan Islam sebagai ajaran moral dalam
konteks sosial, termasuk dalam urusan politik. Dalam hal yang disebut terakhir ini,
realitas politik Islam menunjukkan kenyataan yang justru bertentangan dengan
idealisme politik Islam. Turki baru-baru ini menyerbu etnis Islam Kurdi di
perbatasan Suriah, sementara Iran dan Arab Saudi masih terus bersitegang, peristiwa
ini merupakan bukti empiris atas klaim tersebut. 32
Terlepas dari problem empiris tersebut yang jauh dari cita-cita idealisme
Islam,33 identitas Islam menurut Amirul Hadi juga merupakan aspek sentral
kehidupan politik. 34 Islam sendiri merupakan agama yang membuka ruang
perdebatan terkait persoalan politik. 35 Salah satunya adalah tema Islam dan negara

32
Wacana mewujudkan negara Islam mulai bergaung pada saat mayoritas umat
Islam bangkit dari belenggu kolonialisme Barat. Terlebih lagi Turki Usmani yang menjadi
benteng pemerintahan Islam di awal abad-20, telah lebur berubah menjadi negara Republik
Turki di bawah kepemimpinan Kemal Attaturk. Sementara Mesir, sebagai pusat
penggemblengan calon Ulama Islam melalui Universitas Al-Azhar, selepas dari kolonial
Perancis dan Inggris membangun kembali kawasan tersebut dengan konstruksi Republik
Arab Mesir. Begiitu pula Indonesia, pasca pendudukan Belanda dan jepang, kawasan Umat
Islam terbesar di dunia ini membangun suatu Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sedangkan kawasan jazirah Arab, semakin terpisah-pisah dalam suatu pemerintahan
monarchi; seperti kerajaan Arab Saudi, Yordania, Kuwait, dan sebagainya. Barangkali, pasca
penetrasi Barat hanya Pakistan yang secara tegas memproklamirkan sebagai Republik Islam
pada tahun 1948, kemudian disusul Iran di tahun 1979 dan militan Thaliban di Afghanistan
semenjak pertengahan dasawarsa tahun sembilan puluhan. Selanjutnya lihat, Said Agiel
Siradj, Islam Kebangsaan: Fiqh Demokratik Kaum Santri, (Jakarta: Pustaka Cahaya, 1999),
h. 24.
33
Lukis Alam, “Islamization, Piety, Fundamentalism: Religious Movement In
Campus,” Islam Realitas: Journal of Islamic & Social Studies, Vol. 4, No. 2 (December 25,
2018):104,https://ejournal.iainbukittinggi.ac.id/index.php/Islam_realitas/article/view/785. Di
akses Tanggal 27 April 2019.
34
Amirul Hadi, Islam and State in Sumatra: A Study of Seventeenth-Century Aceh,
(Leiden Boston: Brill, 2004), h. 216.
35
C. Christine Fair, Neil Malhotra, and Jacob N. Shapiro, “Faith or Doctrine?
Religion and Support for Political Violence in Pakistan,” Public Opinion Quarterly, Vol. 76,

7
yang hingga kini masih menjadi polemik dan diperdebatkan dalam pemikiran politik
Islam modern. 36 Karena itu, tema Islam dan negara menjadi pusat perhatian para
pemikir dan sarjana Islam,37 sebab keduanya merupakan institusi penting bagi
masyarakat, di mana Islam sebagai agama dan negara berfungsi sebagai
penopangnya. 38 Agama lebih menekankan pada aspek moral, 39 sementara elemen
terpenting dari sebuah negara adalah kekuasaan.40
Agama sebagai sumber etika moral mempunyai kedudukan yang sangat
vital, karena berkaitan erat dengan perilaku seseorang dalam interaksi sosial
kehidupannya, yang mana agama dijadikan sebagai alat ukur atau pembenaran
(justifikasi) dalam setiap langkah kehidupan, baik itu interaksi terhadap sesama
maupun kepada sumber agama tersebut. Sedangkan negara merupakan sebuah
bangunan yang mencakup seluruh aturan mengenai tata kemasyarakatan yang
mempunyai kewenangan dalam memaksakan setiap aturan yang dibuatnya pada
masyarakat. Di sini bisa saja aturan yang dibuat oleh negara sejalan dengan apa yang
menjadi sumber acuan masyarakatnya (agama) tetapi bisa juga apa yang ditetapkan
negara berlawanan atau tidak sejalan dengan agama, tergantung bagaimana sistem
yang dianut oleh sebuah negara tersebut, yang kemudian menimbulkan benturan-
benturan antara agama dan negara. Persinggungan antara agama dan negara
menimbulkan suatu hubungan yang kadang-kadang saling menguntungkan dan bisa
jadi saling mencurigai dan bahkan bisa juga saling menindas.41
Mukti Ali, sebagaimana diungkapkan oleh Ali Munhanif mengakui masalah
keagamaan masyarakat modern tidak hanya menyangkut wilayah iman (faith), tapi
juga bersinggungan dengan persoalan sosial, politik dan kebudayaan. Agama

No. 4 (2012): 688–720, https://academic.oup.com/poq/article-lookup/doi/10.1093/poq/nfs05


3. Diakses Tanggal 27 April 2019.
36
Menurut Azyumardi Azra, Persoalan antara Islam dan negara dalam masa modern
merupakan salah satu subyek penting, meskipun telah diperdebatkan para pemikir Islam
sejak hampir seabad hingga dewasa ini, tetapi belum terpecahkan secara tuntas diskusi
tentang hal ini, bahkan belakangan makin hangat, tatkala antusiasme untuk tidak menyebut
“kebangkitan Islam” melanda hampir seluruh dunia Islam. lihat, Azyumardi Azra,
Pergolakan Politik Islam Dari Fundamentalisme, Modernisme Hingga Posmodernisme,
(Jakarta, Paramadina, 1996), h. 1.
37
Muhammad Nouman Shafique, Iqra, and Naveed Ahmad, “Islamic Values and
Principles in the Organization,” Oman Chapter of Arabian Journal of Business and
Managem ent Review (2016). http://platform.almanhal.com/CrossRef/Preview/?ID=2-75672.
Diakses Tanggal 13 Juni 2019.
38
James Moore, “The Sunni and Shia Schism: Religion, Islamic Politics, and Why
Americans Need to Know the Differences,” The Social Studies (2015). http://www.tandf
online.com/doi/full /10.1080/00377996.2015.1059794. Diakses Tanggal 13 Juni 2019.
39
Fair, Malhotra, and Shapiro, “Faith or Doctrine? Religion and Support for
Political Violence in Pakistan.” Public Opinion Quarterly, 76 (2012): 688-720, https://acade
mic.oup.com/poq/article-lookup/doi/10.1093/poq/nfs053. Diakses Tanggal 16 Okteber 2019.
40
Kohn R. Schemerhorn, at all., Basic Organizational Behavior, (Osborn, 2nd
edition, 1998), h. 195.
41
Abd. Mannan “Islam dan Negara” Islamuna Volume, Vol. 1 No. 2, (2014), h. 188,
http://ejournal.stainpamekasan.ac.id/index.php/ islamuna/ ar ticle/ view/ 566/ 548. Diakses
Pada Tanggal 10 April 2019.

8
mendiskusikan banyak hal seperti tentang iman dan sistem ajaran, tetapi apabila
penganut agama melihat diri dan kelompoknya, maka perilaku keagamaan bermakna
sosial dan politik yang didasarkan pada perasaan solidaritas komunal.42 Dengan kata
lain, dimensi Islam bukan hanya bersifat teosentris, namun juga sekaligus bersifat
antroposentris terutama dalam hal persoalan negara dan kekuasaan atau politik
secara umum.43 Secara umum, yang meliputi semua negara dan kekuasaan yang
melekat padanya, atau memiliki kekuasaan atas umat manusia, baik republik atau
monarki, baik di mana penguasa telah berkuasa selama bertahun-tahun secara turun-
temurun, atau mereka adalah kerajaan terbaru. Kerajaan baru itu sendiri dapat
berbentuk kerajaan yang baru sama sekali, atau dapat berupa negara bagian yang
digabungkan pada kerajaan warisan seorang raja yang telah memperoleh kekuasaan
atas negara-negara bagian tersebut, sehingga diperoleh wilayah kekuasaan. 44
Menurut „Ali „Abdur Ra>ziq, Alquran menafikan bahwa, Nabi Muhammad
saw., adalah seorang penguasa. Demikian pula dengan sunnah dan watak Islam
juga menolak hal tersebut. 45 Namun demikian, Ra>ziq membedakan Kekuasaan
politik Para Rasul dengan kekuasaan politik Para Raja. 46 Dalam bukunya Al-Isla>m
wa Ulul al-H}ukum, mengatakan, Islam tidak membuat dikotomi terhadap suatu
sistem pemerintahan. Umat Islam tidak pernah mendapatkan satu tawaran tentang
satu konsep pemerintahan yang baku dari Rasul. Selebihnya Ra>ziq melanjutkan
bahwa sanya kehadiran Nabi hanya bertugas untuk mendakwahkan hal ihwal yang
menyangkut dengan agama saja, dan tidak terkait dengan masalah kenegaraan.47
Lebih lanjut Ibnu Taimiyah mengutarakan, bahwa keberadaan negara dibutuhkan

42
Ali Munhanif, “Islam and the Struggle for Religious Pluralism in Indonesia: A
Political Reading of the Religious Thought of Mukti Ali,” Studia Islamika, Vol. 3, No. 1,
(March 30, 2014): 79-126, http://journal.uinjkt.ac.id/index.php/studia-islamika/article/view/8
14. Diakses Tanggal 1 Desember 2020.
43
Zulkifli, Pemikiran Politik Islam: Studi Pemikiran Abdullahi Ahmed an-Na‗im
Tentang Relasi Islam dan Negara (Jakarta: Pustakapedia, 2020).
44
Niccolo Machiavelli, The Prince, Translate in To English By Luigi Ricci, (United
State of America, Random House, 1950), h. 5.
45
„Ali „Abdur Raziq, Khilafah dan pemerintahan dalam Islam, Terj. Afif
Mohammad, (Bandung: Pustaka, 1985), h. 98.
46
Kekuasaan seorang Rasul atas kaumnya adalah kekuasaan rohaniah, sumbernya
merupakan keimanan yang ada dalam hati. Ketundukan terhadapnya adalah ketundukan yang
sejati dan sempurna yang disertai pula dengan ketundukan fisik. Sedangkan kekuasaan
seorang raja adalah kekuasaan fisik yang berpijak pada ketundukan jasmaniah tanpa ada
sedikitpun hubungan dengan hati nurani. Disebut pertama adalah kekuasaan dalam bidang
memberi petunjuk menuju agama Allah swt., sedangkan yang disebut kemudian adalah
kekuasaan yang berkenan dengan pengaturan kemaslahatan manusia di muka bumi ini. Yang
pertama untuk agama dan yang kedua untuk urusan dunia. Tujuan yang pertama untuk Allah
swt., dan yang kedua bertujuan untuk manusia. Yang disebut pertama adalah kepemimpinan
agama, sedangkan yang kedua untuk kepemimpinan politik. Dan tentu saja antara agama dan
politik terdapat satu perbedaan yang amat tajam. Lihat, „Ali „Abdur Raziq, Khila>fah dan
pemerintahan dalam Islam..., h. 105-106.
47
Fadzli Adam et al., “Polemics of the Islamic Caliphate: A View From Ali Abd.
Al-Ra>ziq,” Mediterranean Journal of Social Sciences (July 1, 2015), http://www.mcser .org/j
ournal/index.php/mjss/article/view/706. Diakses Tanggal 3 Juli 2019.

9
untuk menegakkan syari„ah. Namun negara hanya sebagai instrumen saja dan bukan
sebagai institusi keagamaan. Mengatur urusan kehidupan yang menyangkut dengan
umat manusia merupakan salah satu kewajiban keagamaan yang dianggap paling
penting. Akan tetapi hal tersebut bukan berarti ketiadaan negara tidak bisa
ditegakkan.48
Negara sebagai struktur sosial dan politik selalu mempengaruhi sejarah
berdasarkan keputusan kekuasaan dan perang, dan agama mempengaruhi sejarah
berdasarkan kesadaran, dengan ini, melahirkan perdebatan ide dalam pembentukan
negara, termasuk Indonesia. Perdebatan Islam dan negara di Indonesia terbagi
kepada tiga varian pemikiran, yakni Islamis, nasionalis, dan sosial ekonomi. Varian
Islamis memandang Islam dan negara adalah satu kesatuan yang terhubung.
Mengingat Islam merupakan agama yang sempurna, lengkap, dan menyeluruh.
Tidak ada satu bagianpun yang tidak dijelaskan dalam ajaran Islam. Termasuk di
dalamnya persoalan negara. Kelompok sekuler berpandangan negara harus
dipisahkan dengan agama. Persoalan agama menjadi masalah privat yang tidak ada
kaitannya dengan negara. Sementara kelompok sosialis memahami agama sebagai
instrumen untuk menindas, Keberadaannya sangat membebani. Terbebani atas dasar
kebiasaan tunduk terhadap hegemoni kaum borjuis terhadap isolasi kelompok yang
lain.
Berdasarkan penjelasan di atas, kajian ini berusaha untuk mengungkapkan,
menjelaskan, dan menganalisa pemikiran A. Hasjmy mengenai Islam dan negara
serta konsep kekuasaan negara. Sebagaimana A. Hasjmy telah menyampaikannnya
dalam berbagai momen, baik di atas mimbar, pengajian, diskusi publik, dan di
Perguruan Tinggi. Lalu, apa yang telah disampaikan tertuang dalam sebuah buku
yang berjudul “Di Mana Letaknya Negara Islam”. Dari pemetaan pemikiran
tersebut akan muncul sebuah gambaran pemikiran politik kekuasaan negara yang
dikemukakan oleh A. Hasjmy menyangkut relasi nilai substantif. Seperti Apakah
relasinya antara agama dan politik serta bagaimana hubungan Islam dan negara,
beserta konsepnya. Apakah mengandung unsur modernisme, sekulerisme,
integralistik, substansial, atau mengandung unsur teo-kralistik kekuasaan. Pada
tahapan substansi politik, konsep kekuasaan yang dibangun oleh A. Hasjmy
mengandung pengaruh terhadap wacana sistem politik kekuasaan negara Islam
kontemporer. Dengan demikian, inplikasi tersebut harus ditelusuri secara mendalam
agar dapat dipahami sejauh mana relevansi pengaruh yang signifikan terhadap
realitas pemikiran Politik Islam hari ini. Yang dikaji dari berbagai aspek kajian
pemikiran politik. Baik pemikiran politik klasik, pemikiran politik abad
pertengahan, pemikiran politik modern, dan pemikiran politik pra-kemerdekaan
dalam konteks ke-indonesiaan.

48
W. R. Roff, “Review: Islam and the State in Indonesia,” Journal of Islamic
Studies, Vol. 16, No. 1 (January 1, 2005): 120–121, https://academic.oup.com/jis/article-look
up/doi/10.1093/jis/16.1.120. Diakses Tanggal 3 Juli 2019.

11
B. Permasalahan
1. Indentifikasi Masalah
Bertolak dari latar belakang masalah, maka penelitian ini dapat di
identifikasi beberapa masalah sebagai berikut: pertama, masalah yang mendasar
bahwasanya tema Islam dan Negara masih menjadi polemik dan diperdebatkan
dikalangan masyarakat akademik. Kedua, pembahasan tentang negara bukanlah
persoalan pokok dalam Islam. Islam memandang persoalan negara merupakan
wilayah cabang atau disebut juga dengan furu‟, di mana keberadaan negara dengan
konsep yang dibangun sesuai berdasarkan kondisi sistem politik wilayah tertentu.
Ketiga, Negara Madinah menjadi asumsi dasar, terbentuknya negara sebagai wadah
pemersatu antar golongan yang berbeda-beda. Keempat, tema hubungan Islam dan
negara bukan hanya memperlihatkan kecenderungan yang berbeda, akan tetapi juga
memperlihatkan batasan yang tidak jelas dan baku di antara ketiga paradigma atau
aliran pemikiran politik Islam. Kelima, Islam disatu sisi murni sebagai agama yang
berfungsi sebagai petunjuk bagi manusia, tidak mungkin menafikan masalah-
masalah mendasar dalam kehidupan manusia, termasuk dalam masalah tatanan
kehidupan sosial politik. Namun di sisi lain Islam sendiri tidak tegas dan rinci
menjelaskan tentang persoalan politik, sehingga menimbulkan keragaman penafsiran
terkait dengan relevansi Islam dan negara. Keenam, secara spesifik keragaman
pemikiran politik tersebut juga dilatarbelakangi dan dipengaruhi atau bahkan
dikonstruksi oleh kontekstual sosial politik yang beragam. Ketujuh, pemikiran A.
Hajsmy tentang politik terkesan kontradiktif. Pada satu sisi cenderung pada
paradigma integralistik, namun di sisi yang lain cenderung pada paradigma
simbiotik.

2. Rumusan Masalah
Bertolak dari identifikasi masalah di atas, maka permasalahan utama
penelitian ini adalah bagaimana pemikiran dan kiprah politik A. Hasjmy terhadap
kontestasi politik Islam di Indonesia. Rumusan masalah ini selanjutnya dapat di rinci
sebagai berikut:
1. Bagaimana konteks sosial pemikiran politik Islam A. Hasjmy?
2. Bagaimana pandangan A. Hasjmy tentang konsep negara Islam?
3. Bagimana kontribusi politik A. Hasjmy dalam dinamika politik
Indonesia?

3. Pembatasan Masalah
Berdasarkan klasifikafisi yang telah dikemukan pada identifikasi masalah,
dalam uraiannya terdapat beberapa latar belakang tentang A. Hasjmy, baik sebagai
ulama, birokrat, cendikiawan, politisi, dan sebagai sastrawan. Mengingat karena
luasnya cakupan pemikiran A. Hasjmy yang terdapat dalam beberapa karyanya.
Maka dalam pembahasan ini perlu dibatasi cakupannya hanya mengkaji tentang:
pertama, penelitian ini fokus pada pemikiran A. Hasjmy terkait dengan tema Islam
dan negara. Kedua, semakna dengan yang pertama, penelitian ini juga berfokus pada
teori atau pemikiran A. Hasjmy tentang tema relasi Islam dan negara, bukan tokoh
yang lain dan tidak terkait dengan aspek pembahasan yang lainnya menyangkut A.
Hasjmy sebagai ulama, cendikiawa, tehnokrat serta sastrawan. Ketiga, berdasarkan

11
penjelasan pada poin kedua, maka pemikiran A. Hasjmy hanya dibatasi pada apa
yang tertuang dalam karyanya yang berjudul “Di Mana Letaknya Negara Islam”.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian


Tujuan utama penelitian ini adalah untuk mengungkapkan corak pemikiran
A. Hasjmy tentang hubungan Islam dan negara dalam peta pemikiran politik Islam
modern. Secara mendetail penelitian ini bertujuan:
1. Mengeksplorasi keterkaitan pemikiran A. Hasjmy dengan realitas sosial
dan politik yang melatarbelakangi akar geneologis ide dan gagasannya.
2. Mengekksplorasikan pandangan A. Hasjmy tentang konsep negara
Islam.
3. Menganalisa pandangan dan kontribusi politik A. Hasjmy dalam
dinamika politik ke-Indonesiaan.

D. Signifikansi dan Manfaat Penelitian


Penelitian ini dimaksudkan sebagai syarat menyelesaikan studi pendidikan
strata tiga di Sekolah Pascasrjana (SPS) pada Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta. Jika dinilai dari gagasan-gagasannya yang cukup berani,
penulis melihat betapa penting mengkaji dan meneliti sosok dan pemikiran politik
A. Hasjmy. Menelusuri pemikiran A. Hasjmy tentang kekuasaan negara tentu sangat
dipengaruhi dari latar belakang tempat, dan kondisi politik. Untuk menemukan
metodologi yang digunakan dalam menela„ah konsep-konsep tentang kekuasaan
negara. Kemudian, dengan corak pemikiran dan gagasan yang sedemikian rupa, dan
apa kontribusinya bagi dunia pemikiran secara umum, terlebih-lebih mengenai
tentang konsep kekuasaan negara yang lebih sempurna.
Secara teoritis sangat diharapkan hasil penelitian ini tentunya menjadi
kazanah perkembangan pemikiran ilmu pengetahuan tentang politik Islam.
Bersamaan dengan itu pula hasil penelitian ini dapat memperkaya dalam tradisi
pengkajiian ilmiah untuk dapat dijadikan sebuah referensi baru sebagai rujukan bagi
peneliti selanjutnya dalam objek pembahasan yang berbeda. Kajian tentang
pemikiran politik antara Islam dan negara akan berterusan menjadi kajian aktual,
walaupun perkembangan masyarakatnya terus berubah. Jika penelitian ini dikaitkan
dengan konteks dunia akademik, tentunya sudah menjadi tradisi dalam menggali
prinsip-prinsip nilai pemikiran lama yang akan ditransformasikan dalam konteks
pemikiran kekinian. Dalam hal ini, tanpa terjadi pengecualian terhadap pemikiran
yang dikemukakan oleh para pemikir disetiap zaman. Justru setiap pemikiran yang
ada akan memperkaya ranah perkembangannya dalam membangun wawasan
pemikiran keilmuan antar generasi terdahulu, saat ini, dan masa yang akan datang.
Sementara dalam konteks praktis keilmuan, tentunya sangat diharapkan
hasil penelitian ini menjadi penting terhadap kehidupan sosial kemasyarakatan. Baik
terhadap umat Islam itu sendiri, maupun terhadap masyarakat pada umumnya.
Sehingga konsep politik kekuasaan negara yang dibangun atas dasar nilai-nilai
keislaman dapat dipahami dengan baik. Dengan demikian, harapan peneliti
dikemudian hari, tulisan ini dapat dijadikan sebagai salah satu barometer
perkembangan konsep pemikiran politik Islam, serta menjadi sumbangan
pengetahuan baru bagi pemimpin negara dalam menerapkan sistem pemerintahan

12
dan konsep ketatanegaraan. Dalam kondisi yang bagaimanapun tentunya tidak dapat
dielakkan bahwa, sumbangsih pemikiran politik yang dikembangkan oleh pemikir
Muslim tetap menjadi model terbaru dalam membimbing manusia untuk mengatur
kehidupan bernegara yang modern, damai, sejahtera, selamat, adil, dan
berkesejahteraan. Pada akhirnya Dialog tentang hubungan agama dan politik selalu
menjadi isu hangat diperbincangkan. Dan Islam merupakan agama yang
memberikan jalan keluar terhadap persoalan politik kekuasaan negara, sebagaimana
A. Hasjmy menjadi salah satu tokoh yang telah ikut menyumbangkan pikirannya
tentang konsep kekuasaan politik dalam bernegara.

E. Peneliitian Terdahulu yang Relevan


Beberapa penulis telah menulis tentang A. Hasjmy, dalam beberapa aspek
kajian, telah dilakukan oleh para sarjana, akan tetapi para peneliti kebanyakan
menitikberatkan kajiannya tentang A. Hasjmy berkisar tentang kehidupan,
pemikiran, dan kegiatan agamanya di antaranya adalah Drs. H.A. Gazali, menulis
buku dengan judul, “Biografi Prof. Teungku Haji A. Hasjmy,” tahun 1978. Buku ini
menceritakan sekelumit riwayat hidup A. Hasjmy serta beberapa pandangannya di
bidang organisasi dan politik. Hasil kajian Gazali meskipun tidak begitu mendetail,
namun sudah memberikan informasi penting tentang perjalanan hidup A. Hasjmy.
Dengan tulisan ringkas tersebut membantu peneliti berikutnya dalam
menghubungkan alur pikir pemikiran A. Hasjmy tentang politik. Dalam
penulisannya buku tersebut sangat minim referensi dalam mengungkapkan sumber
data. Berdasarkan ketidakvalidan data penelitian tersebut kurang deskriptif dan tidak
dilakukan analisa yang memadai. 49
Syabuddin Gade, menulis tentang “Konsep Pendidikan Islam dalam
Perspektif Pemikiran A. Hasjmy (Analisis Hakikat Dan Tujuan Pendidikan Islam)”.
Penelitian hanya menjelaskan tentang hakikat pendidikan dalam pandangan A.
Hasjmy. Penelitian ini menyimpulkan bahwa, hakikat pendidikan tersebut adalah
penanaman rasa kesadaran beriman dan beramal salih yang berdasarkan ilmu
pengetahuan, sehingga karenanya manusia menjadi makhluk sosial yang menghayati
ajaran-ajaran Islam dalam segala kehidupannya, baik kehidupan pribadi ataupun
kehidupan jamaah, baik dalam kehidupan politik, kehidupan ekonomi ataupun
dalam kehidupan sosial. Tujuan pendidikan menurut pandangan A. Hasjmy ialah
mendidik seluruh potensi manusia supaya menjadi manusia yang bertaqwa kepada
Allah, berjiwa besar, berpengetahuan luas dan berbudi luhur, Muslim yang beriman
dan beramal salih, Mukmin yang melakukan amar ma„ruf nahi munkar. Penelitian
ini hanya menyinggung dari sisi aspek pemikiran pendidikan Islam menurut A.
Hasjmy saja, dan tidak menyinggung sama sekali terkait dengan pemikiran politik.50
Penelitian tentang ‚Sosok A. Hasjmy sebagai Pelopor Pembangunan Kota
Pelajar Mahasiswa Darussalam‛ yang ditulis oleh Prof. Dr. Syafwan Idris pada

49
A. Gazali, Biografi Prof. Teungku Haji Ali Hasjmy, (Jakarta: Socialia, 1978), h.
12
50
Syabuddin Gade, “Konsep Pendidikan Islam Dalam Perspektif Pemikiran Ali
Hasjmy: Analisis Hakikat Dan Tujuan Pendidikan Islam”, FITRA, Vol. 1, No. 2, Juli – (Dese
mber 2015), p-ISSN 2442-725Xe-2621-720129. Diakses Tanggal 14 April 2019

13
tahun 1994. Makalah yang disajikan dalam seminar tentang komplek pelajar dan
mahasiswa (kopelma) Darussalam dalam rangka penuluncuran buku 80 tahun A.
Hasjmy. Di sini paparan Safwan Idris menggambarkan tentang Ali Hasjmy sebagai
sosok tokoh yang idealis, romantis, praktis, simbolis, dan republikan. Seperti
penelitian sebelumnya Safwan Idris juga tidak mengupas mengenai Pemikiran
Politik A. Hasjmy. Pemaparan tulisan ini juga berkisar pada aspek akademik dan
sisi-sisi intelektualitasnya saja. Safwan Idris hanya memaparkan aktifitas
pemikiran A. Hasjmy saja dan pengamatannyapun tidak dibarengi dengan sumber
dan data yang menyeluruh, tidak merujuk pada sumber tulisan yang teliti dan
akurat, serta tidak mengkaji dengan analisa latar belakang sosio historis A. Hasjmy
dalam membangun pemikirannya.
Penelitian selanjutnya yang terkait dengan pemikran politik A. Hasjmy yang
ditulis oleh Hasan Basri dengan judul “A. Hasjmy (1914-1998): Kajian Sosial-
Intelektual dan Pemikirannya Tentang Politik Islam (1914-1998), sudah
dipublikasikan. Kajian Sosial-Intelektual dan Pemikirannya Tentang Politik Islam”
Disertasi pada Sekolah Pascasarjana (SPS) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta tahun 2008. Hasil penelitian Hasan Basri juga belum
sepenuhnya mengungkapkan secara eksplisit tentang pemikiran politik A. Hasjmy
tentang Islam dan negara. Hasan Basri dalam menjelaskan sisi-sisi pemikiran A.
Hasjmy lebih pada kondisi sosial historis yang melatar belakangi bangunan
intelektual A. Hasjmy menyangkut dengan Pemikiran Politik. Penjelasan Hasan
Basri tentang intelektualitas A. Hasjmy lebih dominan dilihat dari pengaruh
lingkungan kehidupan A. Hasjmy berdasarkan lingkungan hidupnya di mana ia
dibesarkan, yaitu kondisi historis dan politik di Aceh. Selain dari lingkungan hidup
Hasan Basri juga menjelaskan pengaruh pemikiran A. Hasjmy sangat dipengaruhi
oleh lingkungan intelektual dan budaya, pergaulannya yang luas dengan dunia luar,
guru-gurunya, dan literatur politik yang menjadi bahan bacaannya, baik dari karya-
karya pemikir politik klasik, periode pertengahan, maupun pemikir modern.
Kesimpulannya Hasan Basri dalam melakukan penelitiannya tentang
biografi A. Hasjmy. Kajiannya belum menjelaskan secara konfrehensif dan
menyeluruh menyangkut dengan Islam dan negara. Kajian yang hanya memaparkan
bagaimana sosok A. Hasjmy membangun intelektualnya mengenai Pemikiran politik
Islam. Dalam disertasinya, Hasan Basri menyimpulkan bahwa negara Islam dalam
pandangan A. Hasjmy adalah negara yang mengaplikasikan nilai-nilai Islam dalam
kehidupan bernegara. Substansi Ajaran Islam lebih penting daripada mejadikan
Islam sebagai ideologi negara. Atas prinsip persamaan derajat manusia, prinsip
jaminan sosial, prinsip hak asasi manusia, prinsip keadilan sosial, dan prinsip
ketaatan. Sebab itu dua unsur utama yang dasarnya yaitu, tauhid dan ukhuwah
islamiyyah. Sementara dalam prinsip Pemerintahan Islam negara Islam berbeda
dengan negara manapun di dunia. Negara Islam tidak masuk dalam dalam sistem
pemerintahan otokrasi dan tidak serupa pula pemerintahan konstitusi. 51

51
Hasan Basri dalam, Kajian Sosial-Intelektual dan Pemikirannya Tentang Politik
Islam, (Disertasi Pada Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2008), h. 290

14
Sejauh pengamatan penulis terhadap penelitian kajian sebelumnya
menyangkut dengan tulisan-tulisan tentang A. Hasjmy, penulis berkesimpulan
belum ditemukan sebuah penelitian mengenai A. Hasjmy sebagai tokoh yang
berlatar belakangi kedaerahan. A. Hasjmy sebagai ulama, cendikiawan, ilmuan ,
politisi, dan berokrat, dengan kapasitas tersebut tentunya A. Hasjmy mempunyai
pandangan tersendiri mengenai pemikiran Politik Islam, terutama sekali menyangkut
relasi Islam dan politik dalam konteks ke-Indonesiaan. Rekonsruksi pemikiran
politik A. Hasjmy tidaklah berdiri sendiri. Pemikirannya dibangun atas dasar
perpaduan pemikiran politik, baik pemikiran politik klasik, pemikiran politik Arab,
pemikiran politik pra-kolonial, dan pemikiran politik Islam modern. Kesimpulan
yang keliru disimpulkan oleh para peneliti sebelumnya tentang A. Hasjmy adalah
menempatkan A. Hasjmy sebagai central pemikiran politik Islam, sehingga dengan
ini A. Hasjmy mendapatkan kritikan yang tajam. Para peneliti sebelumnya tidak
menempatkan A. Hasjmy sebagai pemikir yang membangun kontruksi pemikiran
politik berdasarkan argumentasi pemikiran politik Islam global untuk memahami
bangsanya sendiri, sehingga realitas politik jauh lebih penting daripada idealitas.
Dengan ini, agar supaya A. Hasjmy mesti didudukkan pada posisi negosiator
pemikiran. Dengan demikian, untuk peneliti berikutnya terkait dengan kajian politik
mesti menempatkan A. Hasjmy sebagai pemeta jalan damai pemikiran terhadap
polemik kebangsaan, kususnya bagi masyarakat Aceh dan Indonesia pada umumnya
terkait dengan relasi Islam dan Pancasila sebagai ideologi negara Indonesia.
Hasan Basri belum sepenuhnya menjelaskan pemikiran dan kiprah politik
A. Hasymi terkait konsep kekuasaan negara dengan sejarah perkembangan politik
itu sendiri. Titik kelemahan penelitian Hasan Basri, penulis lebih berfokus kajiannya
pada rekonstruksi pemikiran A. Hasjmy berdasarkan kajian sosio-kultural saja, tanpa
menghubungkan pemikiran politik Islam dari beberapa aspek historis. Sementara
penelitian ini akan Menghubungkan lokal pemikiran A. Hasjmy menuju pemikiran
politik nasional. Sosok A. Hasjmy mesti dikaji sebagai sudut pandang transformasi
nilai politik Islam menuju pemikiran politik kebangsaan. Bagaimana politik
dibangun di era klasik, abad pertengahan, modern dan pra-kolonial, dengannya perlu
membangun konvergensi pemikiran. Di samping itu juga, Hasan Basri hanya
mengambil sumber-sumber referensi yang hanya terbatas pada buku-buku lama dan
tidak merujuk pada referensi aktual dan penelitian terbaru menyangkut dengan Islam
dan politik. Seperti jurnal-jurnal terbaru, baik jurnal internasional maupun jurnal
nasional, dan jurnal-jurnal yang ditebitkan pada jurnal kajian-kajian politik. Namun
demikian, hasil kajian yang dilakukan oleh Hasan Basri sudah mendatangkan kajian
yang dapat dijadikan sebagai informasi awal untuk membantu penelitian selanjutnya
mengenai pemikiran A. Hasjmy tentang Islam dan negara.

F. Metode Penelitian
Disertasi ini merupakan penelitian52 kualitatif.53 Analisis terhadap
pemikiran A. Hasjmy juga di telaah dengan menggunakan metode heurmenetik. 54

52
Metode penelitian merupakan ilmu yang mempelajari tentang metode-metode
penelitian, ilmu tentang alat-alat dalam penelitian. Lihat, Noeng Muhadjir, Metodelogi
Penelitian Kualitatif (Yogyakarta: Rake Sarasin, 1990), h. 6. Lihat juga, Krishna Nath

15
Metode analisis ini berusaha memahami simbol data atau narasi teks yang
diungkapkan, sebagaimana teks tersebut dipahami oleh A. Hasjmy sebagai
pengarang teks. Penelitian ini juga menggunakan metode histories factual dengan
menelaah pemikiran A. Hasjmy yang tertuang dalam karya-karyanya.55 Berdasarkan
sumber data dan jenis penelitian, serta metode pengumpulan data, kajian ini
termasuk penelitian kepustakaan (Library Research).56
Berdasarkan metode library research tersebut data primer dalam penelitian
ini adalah semua buku karya A. Hasjmy. Buku-buku yang dimaksud antara lain
berjudul Di Mana Letaknya Negara Islam,57 Nabi Muhammad Sebagai Panglima

Pandey, “Research Methodology,” in Studies in Systems, Decision and Control, 2016, 111–
127, http:// link.springer.com/10.1007/978-81-322-2785-4_4. Bandingkan dengan, Polycarp
Africanus, “Chapter Three Research Methodology,” in Female Genital Cutting and Gender
Relations in Kurya Society (Peter Lang, 2016), https://www.peterlang.com /view/978365304
7455/9783653047455.00014.xml. Diakses Tanggal 16 April 2019.
53
Metode penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang digunakan untuk
meneliti suatu objek yang alamiah. Di mana peneliti merupakan instrumen kunci, tehnik
pengumpulan data dilakukan secara triangulasi (gabungan), analisis data bersifat induktif,
dan penelitian kualitatif lebih menekankan makna daripada generalisasi. Lihat, Afifuddin,
M.M. dan Beni Ahmad Saebani, Metodelogi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Pustaka Setia,
2009), h. 58. Lihat juga, Lexy J Moleong, Metodelogi Penelitian Kualitatif, (Bandung:
Remaja Rosda Karya, 2011), h. 161.
54
Heurmenetik adalah metode ilmu yang mempelajari tentang intepretasi teks.
Pada awalnya berhubungan dengan penafsiran teks kitab suci. Lihat, Susan Crowther et al.,
“Crafting Stories in Hermeneutic Phenomenology Research: A Methodological Device,”
Qualitative Health Research, Vol. 27, No. 6 (May 26, 2017): 826–835, http://journals.sagepu
b.com /doi/10.1177/1049732316656161. Diakses Tanggal 10 Juni 2019. Lihat juga, Mamat
S. Burhanuddin, Hermeunetika Al-Qur‗an Ala Pesantren,: Analisis terhadap Marah Labib,
karya KH. Nawawi Banten, Cet. I, (Yogyakarta: UII Press, 2006), h. 60.
55
Model Penelitian histories factual adalah mengkaji pemikiran tokoh berdasarkan
karyanya, seperti buku menjadikan landasan pemikiran sebagai objek material penelitian.
Lihat, Paul Cairney and Emily St Denny, “What Is Qualitative Research (Bloomsbury),”
International Journal of Social Research Methodology (2015).http://www.tandfonline.com/
doi/ abs/10.1080/13645579.2014.957434. Diakses tanggal 24 juni 2019. Lihat juga, Achmad
Charis Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1990), 61-67.
Bandingkan dengan, Syahrin Harahap, Studi Tokoh dalam Bidang Pemikiran Islam, (Medan:
IAIN Press, 1995), h. 12-20.
56
Kajian kepustakaan merupakan model penelitian yang mengumpulkan data
melalui proses penela„ahan data melalui kegiatan membaca buku-buku serta laporan
penelitian serta bahan kepustakaan yang memuat teori-teori berdasarkan literatur yang sesuai
dengan penelitian yang akan dikaji. Dalam menginformasikannya kajian kepustakaan me
miliki beberapa tujuan. Sebagaimana Cooper mengemukakan bahwa kajian kepustakaan
menginformasikan hasil penelitian kepada pembaca yang berkaitan dengan penelitian yang
dilakukan, menentukan sintesa antara penelitian dengan berbagai literatur yang tersedia, lalu
mengisi kekosongan kemudian memasukkan celah yang berbeda dari penelitian sebelumnya.
Lihat, I. Diane Cooper, “Research: The Opportunity Wheel Keeps Turning,” Journal of the
Medical Library Association : JMLA (2011). http://www.ncbi.nlm.nih.gov/ pmcarticles/PMC
3066575/. Diakses Tanggal 24 Juni 2019.
57
A. Hasjmy, Di Mana Letaknya Negara Islam, (Surabaya: Bina Ilmu, 1984).

16
Perang.58 59 Tahun Aceh Merdeka di Bawah Pemerintahan Ratu.59 Pemimpin dan
Akhlaknya.60 Bunga Rampai Revolusi dari Tanah Aceh.61 Semangat Merdeka: 70
Tahun Menempuh Jalan Pergolakan & Perjuangan Kemerdekaan.62 Sejarah
Kebudayaan Islam di Indonesia. 63 Sejarah Kebudayaan Islam.64 Apa Tugas
Sastrawan Sebagai Khali>fah Allah.65
Metode analisis penelitian ini, menggunakan pendekatan teologi.
Pendekatan ini lebih menekankan pada dogmatis transenden, memahami unsur
ketuhanan secara filosofis dan mitologis. Meskipun memiliki banyak nuansa, dokrin
tetap menjadi elemen yang signifikan. Pendekatan teologi sesungguhnya merupakan
aktivitas (second-order activity) yang muncul dari keimanan dan penafsiran atas
keimanan.66 Unsur keimanan sebagai dokrin memunculkan paham yang didasari atas
nilai-nilai ketuhanan, penafsiran atas keimanan mempengaruhi pemahaman agama
sebagai gejala sosial. Berdasarkan negara dalam pandangan A. Hasjmy didasari atas
nilai ketauhidan, dengan tujuan untuk memperbaiki kerusakan Islam dengan
meluruskan pengertian akan ke-Esaan Tuhan, serta menghapus segala bentuk
perbedaan derajat manusia, menciptakan perdamaian, menegakkan keadilan mutlak
atas umat manusia. Atas dasar dokrin tauhid inilah menurut A. Hasjmy Islam
membangun negara. Negara yang demikian sifatnya dibangun dengan nama dan
mandat Tuhan Esa, untuk kesejahteraan umat manusia, jasmani dan rohani, dunia
dan akhirat. Karena itu, dalam pandangan A. Hasjmy dua unsur utama Islam
menjadi dasar berdirinya negara, yaitu unsur tauhid dan Ukhuwah Islamiyah.67
Di samping menggunakan pendekatan teologis, penelitian ini juga
menggunakan metode pendekatan sejarah. Secara kritis, pendekatan sejarah tidak
sebatas melihat segi pertumbuhan, perkembangan serta keruntuhan mengenai
sesuatu peristiwa, melainkan juga mampu memahami gejala-gejala struktural yang
menyertai peristiwa.68 Dalam konteks ini, melalui pendekatan sejarah pemikiran A.
Hasjmy dikaji sebagai tokoh yang memiliki konsepsi pemikiran secara teoritis, dan

58
A. Hasjmy, Nabi Muhammad Sebagai Panglima Perang, (Jakarta: Mutiara, 1978)
59
A. Hasjmy, 59 Tahun Aceh Merdeka di Bawah Pemerintahan Ratu, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1977).
60
A. Hasjmy, Pemimpin dan Akhlaknya, (Banda Aceh: MUI DI Aceh, 1973).
61
A. Hasjmy, Bunga Rampai Revolusi dari Tanah Aceh, (Jakarta: Bulan Bintang,
1978).
62
A. Hasjmy, Semangat Merdeka: 70 Tahun Menempuh Jalan Pergolakan & Perjua
ngan Kemerdekaan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1985).
63
A. Hasjmy, Sejarah Kebudayaan Islam di Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang,
1990).
64
A. Hasjmy, Sejarah Kebudayaan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1987).
65
A. Hasjmy, Apa Tugas Sastrawan Sebagai Khalifah Allah, (Surabaya: PT. Bina
Ilmu, 1984).
66
Petern Connolly, Aneka Pendekatan Studi Agama, Terj. Imam Khoiri, (Yogyakar
ta, LKiS, 2002), h. 319.
67
A. Hasjmy, Di Mana Letaknya Negara Islam..., h. 50-51.
68
Walim, “Pendekatan Sejarah Dalam Studi Islam,” Tahkim (Jurnal Peradaban dan
Hukum Islam), Vol. 2, No. 1, (2019), https://ejournal.unisba.ac.id/index.php/tahkim/article/vi
ew/4147. Diakses Tanggal 14 Desember 2020.

17
juga sebagai pelaku politik secara praksis. Dengan demikian, seterusnya, konsepsi
pemikiran A. Hasjmy ditelusuri berdasarkan pendekatan filosofis melalui proses
yang cermat, metodis, mendalam, evaluatif, dan kritis, 69 terkait dengan pencarian
kebijaksanaan atau pencarian pengetahuan universal, pada keseluruhan
pengetahuan.70 Sementara melalui kajian Filsafat Politik mengetahui sifat politik dan
kebenaran, atau tatananan politik yang bagaimana yang dianggap baik. 71
Penggunaan pendekatan filsafat didasarkan atas fakta bahwasanya, yang menjadi
objek pengkajiannya menyangkut dengan pemikiran yang dituangkan oleh tokoh,
tentunya setiap apa yang diutarakan memiliki unsur dan bersifat spekulatif. Dengan
demikian, pemikiran A. Hasjmy akan dibaca dan ditelaah secara sistematis, cermat,
mendalam, evaluatif, dan kritis serta saling berhubungan, sehingga terkonsepsi
secara rasional.
Penelitian ini juga menggunakan pendekatan sosial dan politik. 72 Melihat
agama sebagai gejala sosial. Berdasarkan objek kajian yang bernuansa kegamaan,
sisi lain dari penelitian ini, terkait dengan analisa yang objek kajiannya berdasarkan
penelitian keagamaan (research on religion) lebih menekankan di mana agama
dipandang sebagai gejala sosial.73 Sebaliknya penelitian ini tidak melihat objek
agama pada materi sebagai dokrin. 74 Namun demikian, berdasarkan pandangan,
bahwsanya agama dan realitas sosial merupakan dua objek kajian yang tidak bisa
dipisahkan dalam prakteknya. Dengan demikian, penelitian ini akan menjadikan
kedua perspektif tersebut untuk menggali literatur yang ada, sehingga agama sebagai
ajaran dokrin dipahami integral dan tidak dapat dipisahkan dalam kontek realitas
kehidupan sosial dan politik. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa yang
menjadi objek kajian adalah aspek pemikiran, serta gejalanya, terutama pemikiran

69
Petern Connolly, Aneka Pendekatan Studi Agama..., h. 161.
70
Sp. Varma, Teori Politik Modern, ed. Tohir Effendi, 1st ed. (Jakarta: Rajawali
Pers, 2010). H. 153. Lihat Juga, Redaksi Jurnal Filsafat, “Pengantar,” Jurnal Filsafat, Vol.
28, No. 2 (August 31, 2018), https://jurnal.ugm. ac.id/wisdom/ article/view/38471. Diakses
Tanggal 22 April 2019.
71
Sp. Varma, Teori Politik Modern, ed. Tohir Effendi, 1st ed. (Jakarta: Rajawali
Pers, 2010), h. 154. Lihat Juga, Redaksi Jurnal Filsafat, “Pengantar,” Jurnal Filsafat, Vol.
28, No. 2 (August 31, 2018), https://jurnal.ugm. ac.id/wisdom/ article/view/38471. Diakses
Tanggal 22 April 2019.
72
Pendekatan penelitian (research approach) merupakan jalan yang ditempuh
peneliti untuk mendesain riset penelitian yang akan dilakukan. Lihat, Robert Miller and John
Brewer, “Biographical Research,” in The A-Z of Social Research (1 Oliver‟s Yard, 55 City
Road, London England EC1Y 1SP United Kingdom: SAGE Publications, Ltd, 2015), http://s
rmo.sagepub.com/view/the-a-z-of-social-research/n2 5.xml. Diakses Tanggal 27 Juni 2019.
73
M. Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek, (Yogyakar
ta: Pustaka Pelajar, 2002), h. 35-36. Bandingkan dengan, Frank Whaling, “The Undiscovered
Christ. A Review of Recent Developments in the Christian Approach to the Hindu. By
Marcus Braybrooke. Bangalore and Madras, C.L.S., 1973. Pp. 108.,” Scottish Journal of
Theology (1975). https://www.cam bridge.org/core produ ct/identifier/S003693060 0035286/
type/journ al_arti cle. Diakses Tanggal 25 Juni 2019.
74
Mark Hill, “Legal Theology,” Journal of Law and Religion, Vol. 32, No. 1,
(March 5, 2017): 59–63, https://www.cambridge.org/core/product/identifier/S0748081 417 0
00200/type/journal_article. Diakses Tanggal 25 Juni 2019.

18
politik. Selain itu, juga digunakan pula pendekatan sejarah sosial dan politik.
Pendekatan ini penting untuk menganalisis kiprah dan pengaruh politik A. Hasjmy
selama masa hidupnya.

G. Sistematika Pembahasan
Supaya penelitian ini terarah dengan baik, maka dalam penulisannya
diuraikan sistematika penulisannya yang terdiri dari beberapa bab dan sub bab, di
antaranya adalah:
Diawali dengan bab pertama yang memuat latar belakang masalah,
pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, tinjauan
pustaka yang relevan, metodelogi penelitian, sistematika pembahasan.
Bab kedua mengekplorasikan akar geneologi intelektual A, Hasjmy, sejarah
realitas sosial, budaya, dan perkembangan politik yang berkembang di mana A.
Hasjmy lahir, tumbuh, dan mewarnai cakrawala pemikiran politiknya. Mempertajam
uraian menyangkut dengan perkembangan pemikiran A. Hasjmy, terurai pada tiga
sub bab yang saling mempengaruhi, bersinggungan, dan melengkapi. Ada tiga sub
bab utama yang akan dikaji secara berkesinambungan. Pertama, menjelaskan asal
usul keturunan, keluarga, latar belakang pendidikan, dan idealisme ketokohan A.
Hasjmy. Kedua, mengungkapkan akar geneologi Pemikiran Politik A. Hasjmy, yang
meliputi Islam dan struktur sosial masyarakat Aceh, Basis Sosial Politik A. Hasmy,
Ilmu Pengetahuan Kebudayaan A. Hasjmy, serta literatur pemikiran Politik A.
Hasjmy. Ketiga, mengungkapkan realitas manusia pada kenyataannya berfungsi
sebagai Khali>fah, serta pada prosesnya begitu penting politik kekuasaan dalam
menjalankan misi kepemimpinan.
Bab ketiga, pembahasan pada bab ini meliputi Islam dan dasar pemikiran
politik, Islam dan dasar pemikiran politik, eksistensi negara Islam, dan tujuan dan
cita negara Islam.
Bab keempat, mengekplorasikan pemikiran A. Hasjmy terkait dengan
konsep kenegaraan berdasarkan argumentasi pemikiran politik. Konsepsi politik A.
Hasjmy tidaklah lahir hanya berdasarkan dialektika pemikiran politik Islam masa
lalu semata, melainkan juga terkonsepsi berdasarkan dari apa yang sudah menjadi
budaya politik dalam sejarah kerajaan Aceh di masa lampau. Selanjutnya, A.
Hasjmy tidak terlalu kaku dalam memahami dalil pemikiran politik yang dibangun
berdasarkan konteks zaman terkait dengan pemikiran politik, terutama sekali terkait
syarat pemimpin yang harus berasal dari Suku Qurays, serta terkait juga dengan
kepemimpinan perempuan. Pembahasan pada bab ini, pada bagian pertama akan
diawali dengan kekuasaan politik dalam negara Islam yang meliputi kekuasaan
politik, pembagian kekuasaan dalam negara Islam, Islam dan demokrasi kekuasaan,
prinsip dan tujuan dasar negara Islam. Pada bagian kedua bab ini menguraikan
tentang pemerintahan dan kepemimpinan politik yang meliputi Khali>fah dan
ima>mah, pemilihan dan pengangkatan Khali>fah, hak dan kewajiban Khali>fah. Dan
pada bagian ketiga akan menguraikan tentang kedudukan dan kepemimpinan
perempuan dalam Islam.
Bab kelima, membahas tentang pemikiran A. Hasjmy terkait dengan relasi
Islam dan politik dalam konteks Ke-Indonesiaan. Indonesia sebagai negara yang
multi-etnis dan suku, kekuasaan selalu dipahami dari atas ke bawah. Setiap daerah

19
mesti mengikuti transformasi kekuasaan dari pusat. Dan ini berbeda dengan A.
Hasjmy, mencoba untuk menguraikan kekuasaan dari daerah. Transformasi nilai
politik lokal menuju pemikiran politik nasional ditunjukkanya dalam sebuah upaya
mendamaikan pemberontakan DI/TII di Aceh. Usaha A. Hasjmy dalam melerai
konflik diawal kemerdekaan Indonesia, didorong oleh semangat integralistik
Mohammad Natsir. Damainya pemberontakan DI/TII di Aceh telah membawa
perubahan mendasar terhadap nilai tawar posisi politik Aceh dalam wilayah
kekuasaan nasional. Sehingga, Aceh menjadi daerah yang mendapatkan
keistimewaan dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pembahasan
dalam bab ini meliputi wacana Islam politik di Indonesia, mosi integral nasional dan
peran integralistik di Aceh, relasi Islam dan Pancasila, semangat merdeka dan
nasionalisme kebangsaan.
Bab keenam berisi Penutup, meliputi kesimpulan dan rekomendasi.

21
BAB II
PERKEMBANGAN INTELEKTUAL DAN KONTEKS SOSIAL
POLITIK

Bab kedua ini mengeksplorasikan geneologi intelektual A, Hasjmy, sejarah


realitas sosial, budaya, dan perkembangan politik yang berkembang di mana A.
Hasjmy lahir, tumbuh, dan mewarnai cakrawala pemikiran politiknya. Mempertajam
uraian menyangkut dengan perkembangan pemikiran A. Hasjmy, terurai pada tiga
sub bab yang saling mempengaruhi, bersinggungan, dan melengkapi. Ada tiga sub
bab utama yang akan dikaji secara berkesinambungan. Pertama, menjelaskan asal
usul keturunan, keluarga, latar belakang pendidikan, dan idealisme ketokohan A.
Hasjmy. Kedua, mengungkapkan akar geneologi pemikiran politik A. Hasjmy, yang
meliputi, Islam dan struktur sosial masyarakat Aceh, Basis Sosial Politik A. Hasmy,
Ilmu Pengetahuan Kebudayaan A. Hasjmy, serta literatur pemikiran Politik A.
Hasjmy. Ketiga, mengungkapkan realitas manusia pada kenyataannya berfungsi
sebagai Khali>fah, serta pada prosesnya begitu penting politik kekuasaan dalam
menjalankan misi kepemimpinan. Islam tidak hanya membangun kehidupan dengan
pemikiran kebudayaan semata, namun dalam konteks keduanya antara Islam dan
budaya bernegara memiliki hubungan dan relasi penting dalam membangun sosial
politik kekuasaan. Ekplorasi konteks intelektualisme berdasarkan langkah
mengungkapkan pemahaman nilai historis, bertujuan untuk mengkaji serta
menganalisa cakrawala konsep pemikiran A. Hasjmy dalam merekontruksi
pemikirannya. Dalam kajian pemikiran, mengkaji atas konteks sosial historis
bukanlah sesuatu yang baru ada, namun kajiannya telah lama menjadi perhatian para
sarjana, kususnya menyangkut dengan kajian sososiologi pengetahuan dan kajian
pemikiran filsafat.
Suatu perubahan tidak dapat dipisahkan dari perkembangan sosial.
1
Kon- teks sosial menurut Atho‟ Mudhar menjadi latar belakang utama
terbentuknya suatu pemikiran. 2 Pemikiran tidaklah tumbuh semata-mata hadir dalam
bentuk refleksitas dari realitas dunia fisik, akan sistem relasi menyeluruh dari
persepsi manusia menjadi titik tolak sebuah pemikiran. Dan juga tidak hanya
tumbuh dalam realitas yang hampa. Namun realitas dan pemikiran membentuk
urutan, di mana elemen-elemen yang berdekatan tidak tampak berbeda satu sama
lain, meskipun pada kenyataannya sangatlah berbeda. Antara realitas dan pemikiran,
keduanya terjalin dealektis satu sama lain. Walaupun demikian, pemikiran sangat
mendominasi serta memiliki otonomi, ketika berhadapan dengan konteks realitas.

1
Maryanto and Lilis Noor Azizah, “Perubahan Sosial Budaya Masyarakat Desa
Ngebalrejo Akibat Kemajuan Ilmu Pengetahuan Dan Teknologi,” Indonesian Journal of
Social Science Education (IJSSE) Vol. 1, No. 2, Juli 2019. Https://ejournal.iainbengkulu.ac.i
d/index.php/ijsse/article/view/2247. Diakses Tanggal 16 Maret 2020.
2
Atho Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihad: Antara Tradisi dan Liberasi
(Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1998), h. 105.

21
Pemikiran hadir dan berusaha untuk merubah keadaan sesuai dengan kebutuhan dan
kepentingan ketika mencoba untuk memahami realitas. 3
Berdasarkan dialektis sosial dalam memahami realitas, Agama memiliki
peranan yang sangat penting dalam kehidupan manusia dimuka bumi ini. Agama
berfungsi sebagai penyelaras kehidupan. Dalam kontek perubahan sosial, agama
mengarahkan perubahan ke arah yang lebih baik. Ajaran agama memiliki pengaruh
yang besar dalam penyatuan persepsi kehidupan masyarakat. Kehadiran agama
secara fungsional sebagai “perekat sosial”, memupuk rasa solidaritas, menciptakan
perdamaian, kontro sosial, membawa masyarakat menuju keselamatan, mengubah
kehidupan seseorang menjadi kehidupan yang lebih baik, memotivasi dalam bekerja
dan seperangkat peranan yang kesemuanya adalah dalam rangka memelihara
kestabilan sosial. 4 Sementara menurut Clifford Geertz, dari kajian terhadap interaksi
dari berbagai kelompok sosial dapat dipahami bahwa, agama, di samping memiliki
fungsi integrasi (kohesi sosial) juga menjadi penyebab terjadinya konflik dalam
masyarakat.5
Analisis di atas menjadi jalan dalam mengkaji geneologi pemikiran A.
Hasjmy berdasarkan perspektif sosiologi pengetahuan (sosiologi of knowladge).6
Realitas objektif merupakan realitas yang bersifat apa adanya, artinya realitas yang
tidak ada dalam diri manusia, seperti lingkungan tempat manusia berada. Sementara
realitas subjektif merupakan realitas yang berada dalam diri manusia dan
direkonstruksikan berdasarkan pengalamannya seperti sebuah pandangan, konsep,
aturan, dan bahkan analisis sosiologis bukanlah kajian yang bersifat individu hanya
didorong oleh diri dan pengalamannya saja, namun dalam konteks historis akan
memunculkan pemikiran individu secara konkrit.

A. Basis Intelektual
Sosok Prof. Tgk. H. A. Hasjmy sebagaimana yang diutarakan oleh
Syabuddin Gade merupakan figur yang cukup dikenal bukan hanya sebagai
sastrawan, politikus, ulama dan sejarawan, tetapi juga sebagai tokoh dakwah dan
pendidikan. A. Hasjmy dalam beberapa bidang keilmuan yang terkesan
“ensiklopedik” bukanlah “isapan jempol belaka”, tetapi dibuktikan dengan karya
tulis yang mencapai hampir 60 karya dalam berbaga bidang ilmu yang masih dapat
dibaca, dilihat dan dikaji oleh generasi masa kini dan masa yang akan datang. 7

3
Marilyn L. Booth, Issa J. Boullata, and Terri DeYoung, “Tradition and Modernity in
Arabic Literature,” World Literature Today, Vol. 72, No. 2 (1998): 448, https://www.jstor.
org/stab le/10.2307/40153965?origin=crossref. Diakses Tanggal 16 Maret 2020.
4
Middya Boty, “Agama Dan Perubahan Sosial (Tinjauan Perspektif Sosiologi
Agama),” Istinbath/No.15/Th. XIV/Juni/2015/35-50, http://jurnal.radenfatah.ac.id/index.php/
istinbath/a rticle/view/776. Diakses Tanggal 16 Maret 2020.
5
Mahli Zainudin Tago, “Agama Dan Integrasi Sosial Dalam Pemikiran Clifford
Geertz,” KALAM Vol. Vol. 7, No. 1, (Juni, 2017): 79, http://ejournal.radenintan.ac.id/index.p
hp/KALAM/article/view/377. Diakses Tanggal 16 Maret 2020.
7
Syabuddin Gade “Konsep Pendidikan Islam Dalam Perspektif Pemikiran Ali Hasj
my (Analisis Hakikat dan Tujuan Pendidikan Islam)”, FITRA, Vol. 1, No. 2, (Juli-Desember
2015): 29-35, https://docplayer.info/96213061-Konsep-pendidikan-islam-dalam-perspektif-

22
Ketokohan dan intelektual A. Hasjmy dalam perkembangannya sangatlah
dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan serta konsentrasi bidang keilmuan yang
dipelajarinya. Aspek pendidikan menjadi landasan utama yang membentuk
perkembangan pengetahuan dan pemikiran A. Hasjmy, baik pendidikan formal
maupun pendidikan non formal. Pendidikan yang didapatkan A. Hasjmy didorong
dengan semangat belajar yang ditanamkan oleh keluarga, masyarakat, dan
lingkungan sosial yang mengitarinya. Dalam hal ini, selain faktor keluarga,
lingkungan sosial sangatlah mempengaruhi semangat belajar A. Hasjmy, di mana
Aceh pada saat itu adalah sebuah bangsa yang harus membangun dirinya menjadi
lebih baik, salah satu caranya adalah dengan kekuatan intelektual. Dengan demikian,
membahas latar belakang keluarga, pendidikan, dan kondisi sosial merupakan
kebutuhan utama dalam mengungkapkan perkembangan pemikiran intelektualitas A.
Hasjmy sebagai tokoh yang mampu mewarnai dan hadir dalam berbagai momen
baik sebagai ulama, cendikiawan, dakwah, pendidikan, sastrawan, birokrasi, politisi,
dan pemimpin publik, serta konsepsi yang dibangun oleh pemikiran A Hasjmy
menyangkut dengan subjek Islam dan politik.

1. Riwayat Hidup
A. Hasjmy lahir pada tanggal 28 Maret 1914, dan wafat taggal 18 Januari
1998 adalah salah seorang tokoh Aceh abad ke-20 M., yang masyhur di kalangan
masyarakat Aceh dan di luar Aceh. Ia dikenali bukan hanya sebagai mantan
Gabenur Aceh (1957-1964 M.), Dekan Fakultas Dakwah & Publisistik Negeri yang
pertama di Indonesia (1968-1977 M.) dan Rektor IAIN Ar-Raniry (1963 dan 1977-
1982 M.), pejuang kemerdekaan, sastrawan, sejarawan dan ulama, tetapi juga hadir
sebagai tokoh pendidikan dan dakwah di Aceh.8
Secara genealogis A. Hasjmy9 memiliki hubungan darah dengan Arab
Hijaz. Silsilah keturunannya, sebagaimana dijelaskan oleh kakeknya Pang Abbas.

pemikiran-ali-hasjmy-analisis-hakikat-dan-tujuan-pendidikan-islam-syabuddin-gade-1.html.
Diakses 6 Agustus 2020.
8
Syabuddin Gade & Abdul Ghafar Don, “Peranan Ulama dalam Pembinaan Negara
Bangsa: Pengalaman Dakwah A. Hasjmy”, Prosiding Nadwah Ulama Nusantara (NUN), IV,
(25-26 November 2011): 629-644, http://www.ukm.my/nun/pr osiding%20atas %20tali
an.htm. Diakses Tanggal 6 Agustus 2020.
9
Dengan ditawannya Panglima Polem (Sagi 22 Mukim), praktis Perang Aceh
secara total/frontal melawan Belanda berakhir yang telah memakan waktu selama empat
puluh tahun (1873-1914). Panglima Polem sebagai Panglima Sagi (Panglima Besar)
mempunyai beberapa orang panglima kecil (pang) di bawah pimpinannya, antara lain disebut
Pang Abbas dan Pang Husen. Pang Abbas menurunkan tgk. Hasyim (anak laki-laki) dan
Pang Husen yang mati syahid dalam pertempuran di hadapan kota Cut Gli (lampisang, Kec.
Seulimeum) menurunkan Nyak Buleun (anak perempuan), dari perkawinan dua putra
pahlawan Aceh itulah lahir seorang anak dalam tahun dihentikannya Perang Aceh-Belanda.
Putra tersebut oleh orang tuanya dipanggil Moehammad Ali (nama kecil) lahir pada tanggal
28 maret 1914 di Montasik, kab. Aceh Besar. Nama lengkapnya Moehammad Ali Hasyim,
kemudian berubah menjadi Ali Hasjmy (nama dewasa) dan dalam bidang sastra terkenal
dengan nama samaran Aria Hadiningsun, al-Hariry, dan Asmara Hakiki. Selanjutnya Lihat,
A. Ghazaly, Biografi Prof. Tgk. H. Ali Hasjmy, (Jakarta: Sosialia, 1978), h. 3. Baca juga, A.

23
Menurut Pang Abbas, kakek monyang A. Hasjmy berasal dari Arab Hijaz. Baik
Pang Abbas maupun Pang Husen. Kakek dari A. Hasjmy dari pihak ibu adalah
keturunan Pahlawan Muda, ulama besar dari Hijaz, namun asal usulnya tidak
dijelaskan, apakah berasal dari kota Mekkah atau Madinah. Pang Abbas hanya
menceritakan ulama yang dijuluki Pahlawan Muda tersebut datang dari Hijaz (Arab)
ke aceh Darussalam, telah diberi kedudukan terhormat sebagai pejabat tinggi di
kerajaan Aceh Darussalam. Sultan Alaiddin Jihan Syah, seorang raja yang
memerintah, kerajaan Aceh Darussalam pada rentang waktu tahun 1735-1760 M.,
telah mengangkat ulama asal Hijaz tersebut menjadi orang Kaya Di Syahbandar
Agung, dengan gelar Pahlawan Muda yang bertugas memimpin Balai
Pelayaran/Pelabuhan. Ulama yang berasal dari Arab dan bergelar pahlawan muda
tersebut beriistrikan putri bangsawan dalam kerajaan Aceh Darussalam. Dari
pernikahannya dengan putri bangswan tersebut, Pahlawan Muda memperoleh tujuh
orang putra.10
Menurut A. Hasjmy, dari silsilah ulama yang berasal dari Arab, yang
bergelar Pahlawan Muda, dijelaskannya bahwa Pang Husen dan Pang Abbas
keturunan Pahlawan Muda. Dari keturunan Pahlawan Muda tersebut, melahirkan
tujuh orang putra. Di antaranya adalah: pertama, Keucik Pasukan. Kedua, Keucik
Sitam. Ketiga, Ja Bok. Keempat, Keucik Meuredeh. Kelima, Teungku Abu. Keenam,
Teungku Itam Sipijit. Dan ketujuh, Keucik Palela. Adapun Ja Bok mempunyai anak
bernama Keucik Polem, Keucik Polem mempunyai anak bernama Keucik Agam,
Keucik Agam mempunyai anak yang bernama Pang Abbas dan Pang Abdullah, dan
Pang Abbas mempunyai lima orang anak yang bernama Teungku Hasjim, Nyak
Putro, Nyak Neh, Johan, dan Hasan. Sementara Keucik Palela dianugerahi anak
bernama Keucik Mat, dan Pang Hasan. Pang Hasan mempunyai anak Pang Husen,
dan Pang Husen mempunyai putri bernama Njak Bulen, yang ketika dewasa
dinikahkan dengan Teungku Hasjim, putra sulung Pang Abbas. 11
Di era peperangan melawan penjajahan Belanda, Pang Husen aktif
bertempur melawan penjajah. Berdasarkan kisah yang didengar langsung oleh A.
Hasjmy. Berdasarkan kisah yang didengar dari neneknya langsung yang bernama
Nyak Puteh, bahwasanya Pang Husen waktu berangkat ke medan perang, istrinya
Nyak Puteh telah memadu janji dengan suaminya. Ungkapan janji tersebut berbunyi
“kalau suaminya syahid akan menjanda seumur hidup, sebagai tanda cinta dan
setianya kepada suaminya yang pahlawan itu”. Janji itu ditepatinya, ternyata
dikemudian hari Nyak Puteh tidak menikah lagi sampai ia meninggal dunia pada
tahun 1953 di Medan.12

Hasjmy, (penyunting), Ulama Aceh Mujahid Pejuang dan Pembangun Tamaddun bangsa,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1978).
10
Hasan Basri, Melampaui Islam Substantif: Biografi Politik Ali Hasjmy, (Langsa:
Zawiyah, 2015), h. 66.
11
Hasan Basri, Melampaui Islam Substantif: Biografi Politik Ali Hasjmy..., h. 67
12
Selain dari neneknya, A. Hasjmy juga banyak menyerap innformasi tentang
perang kolonial di Aceh dari kakeknya, Pang Abbas. Pang Abbas juga merupakan salah
seorang panglima kemerdekaan di Aceh, di bawah komando Teuku Panglima Polem Muda
Perkasa. Pang Abbas mempunyai anak (putra dan putri) di antaranya, Teungku Hasjim, Nyak

24
Moehammad Ali Hasyim adalah nama lengkapnya yang kemudian nama ini
disingkat menjadi A. Hasjmy, dengan membubuhkan huruf ―y‖ (arab ―ya‖ nisbah)
pada huruuf akhir dari nama ayahnya, untuk mengindikasikan bahwa A. Hasjmy
adalah anak kandung dari Teungku Hasyim. Selain itu penyingkatan nama
memudahkan orang lain memanggil dan mengingatnya. Pada tahun 1930-an dan
1940-an, A. Hasjmy sering memakai nama samaran, terutama dalam karya-karya
cerita pendek, puisi, dam sajaknya, dengan al-Hariry, Aria Hadiningsun, dan
Asmara Hakiki. Nama-nama ini hanyalah bersifat sementara, untuk menjadi daya
tarik bagi pembaca majalah. Majalah yang ditulis A. Hasjmy seperti, Majalah Panji
Islam dan Pedoman Masyarakat, dan surat kabar, seperti Medan Rakyat yang
diterbitkan di Medan pada tahun 1930-an.13
Menjelang usia dewasa mengikuti sunnatullah kefitrahan manusia, tepatnya
tanggal 14 Agustus 1941 A. Hasjmy menikahi seorang gadis yang bernama Zuriah
Aziz. Zuriah Aziz adalah seorang perempuanyang masih segaris keturunan dengan
A. Hasjmy dari pihak saudara sepupu ibunda A. Hasjmy, yang bernama Nyak
Buleun. Hasil pernikahan A. Hasjmy dengan istrinya Zuriah Aziz, dianugerahi tujuh
orang anak, enam orang anak laki-laki (satunya telah meninggal dunia) dan seorang
anak perempuan. Anak laki-laki A. Hasjmy bernama Mahdi (lahir 15 Desember
1942), Surya (lahir 11 Februari 1945), Dharma (lahir 9 Juni 1947), Gunawan (lahir 5
September 1949, meninggal dunia pada tanggal 12 September 1949), Mulya (lahir
23 Maret 1951), dan Kamal (lahir 2 Juni 1955), sementara anak perempuan satu-
satunya diberi nama Dahlia (14 Mei 1953), dan semua anak-anaknya sudah dewasa
dan berkeluarga. 14
Putra-putri A. Hasjmy, sebagaimana telah disebutkan di atas, setelah
menikah dan mempunyai kehidupan masing-masing menempati tempat tinggal di
beberapa daerah seperti, di Medan, Yogya, Pontianak, dan Irian Jaya. Walaupun
putra-putrinya sudah bekerja dan berkeluarga, namun beliau tetap juga memberi
bimbingan kepada anak-anaknya melalui “surat ayah kepada anak”. Dalam surat
tersebut selalu diberi bimbingan dan nasehat serta petunjuk-petunjuk untuk selalu
bersyukur dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Surat-surat tersebut dikirimkan
secara rutin dan temporer, menurut perkembangan yang terjadi dalam keluarga,
seperti ada musibah, berita gembira dan informasi kekeluargaan lainnya.
Surat-surat yang dikirmkan A. Hasjmy kepada anak-anaknya juga berfungsi
sebagai penghubung silaturrahim di antara keluarga yang satu dengan yang lainnya
yang disentralisir oleh beliau, sehingga dengan cara tersebut putra-putri A. Hasjmy
benar-benar merasakan sebagai satu keluarga yang kompak dalam segala hal. Dan
kumpulan-kumpulan surat yang dikirimkan oleh A. Hasjmy kepada anak-anaknya
sebagai media yang digunakan oleh kebanyakan masyarakat secara umum saat itu,
tentunya tidak hanya berfungsi sebagai ajang untuk memberikan nasehat saja,
namun juga berfungsi sebagai penyambung silaturrahim antar keluarga. Diantara
surat-surat yang dikiirimkan A. Hasjmy kepada putra-putrinya telah dikumpulkan

Putroe, Nyak Neh, Johan, dan Nyak Hasan. Lihat, Hasan Basri, Melampaui Islam Substantif:
Biografi Politik Ali HasjmyI..., h. 67.
13
Hasan Basri, Melampaui Islam Substantif: Biografi Politik Ali Hasjmy..., h.68.
14
Hasan Basri, Melampaui Islam Substantif: Biografi Politik Ali Hasjmy.., h.68.

25
dalam sebuah buku diterbitkan oleh Bulan Bintang yang berjudul “Risalah Akhlak:
Surat-Surat dari Ayah kepada Anaknya”. 15
Penting untuk dipahami, sebagai seorang pemikir, cendikiawan, ulama,
praktisi politik, praktisi pendidikan, sastrawan, dan juga seorang birokrat dalam
pemerintahan, tentunya beberapa wilayah pekerjaan yang digeluti oleh A. Hasjmy,
menjadikannya sebagai pribadi yang sangatlah sibuk. Di samping mengurus
pemerintahan yang saat itu belum begitu aman untuk sebuah negara yang baru
merdeka, dan Aceh sebagai daerah dengan wilayah yang masih saja bergejolak
dengan pemberontakan terhadap pemerintah pusat. Di balik kesibukan tersebut A.
Hasjmy mampu menjadi sosok yang berhasil mendidik putra-putrinya dalam
menempuh jalur pendidikan formal. Semua anak-anaknya berhasil menempuh
pendidikan sampai pada pencapaian gelar sarjana 16, tentunya dalam bidang yang
berbeda-beda. Dalam hal mendidik intelektual kepada anak-anaknya A. Hasjmy
sepertinya memberi kebebasan kepada putra-putrinya memilih pendidikan sesuai
dengan minat mereka masing-masing. Di antara anak-anaknya tidak ada yang
mengikuti jejak beliau sebagai pribadi multi talenta, terutama dalam hal menguasai
ilmu keagamaan dan terjun langsung sebagai praktisi dalam bidang politik.

2. Era Pendidikan
Masa kecil A. Hasjmy tidak jauh berbeda dengan anak-anak lainnya, sejak
kecil A. Hasjmy telah belajar membaca huruf Alquran, rukun Islam, dan belajar
mendirikan shalat pada orang tuanya, kemudian melanjutkan pengajian pada
Meunasah di kampungnya sendiri. 17 Kemudian A. Hasjmy memasuki Guvernement

15
A. Ghazaly, Biografi Prof. Tgk. H. Ali Hasjmy, (Jakarta: Sosialia, 1978), h. 4-5.
16
A. H. Mahdi, Laki-laki lahir di Montasik, 15 Desember 1942, Alumni Fakultas
Ekonomi di Tokyo Jepang (Sarjana Ekonomi), saat ini bekerja di pertamina. A. H. Surya,
laki-laki lahir di Montasik 11 Februari 1945, alumni Fakultas Tehnik Jurusan Sipil di
Universitas Gajah Mada Yogyakarta, dengan gelar insinyur (Ir). A. H. Dharma, laki-laki
lahir di Montasik 9 Juni 1947, Alumni Universtas Gajah Mada Yogyakarta Jurusan
Arsitektur, dengan gelar insinyur (Ir). A. H. Mulya, laki-laki lahir di Kuta Raja 23 Maret
1951, mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatra Utara Medan Tingkat VI (telah
Drs. Med). A. H. Dahlia, perempuan lahir di Medan 14 Mei 1953, pendidikan tingkat II F.
K., Jurusan Bahasa Inggris Universitas Syiah Kuala Darussalam, ikut suami ke Irian Jaya. A.
H. Kamal, laki-laki lahir di Jakarta 21 Juni 1955, telah lulus Sekolah Menengah Atas di
Banda Aceh, alumni Fakultas Ekonomi di Jakarta. Lihat, A. Ghazaly, Biografi Prof. Tgk. H.
Ali Hasjmy..., h. 4.
17
Meunasah/meulasah, atau beulasah, berasal dari kata madrasah dalam bahasa
Arab. Ada dua fungsionaris yang mempunyai ikatan kuat dengan Meunasah, yaitu Keuchik
dan Teungku yang diibaratkan Keuchik sebagai “Ku/ Ayah” dan Teungku sebagai”/ Ma/
Ibu”, Dengan demikan Meunasah telah menjadi simbol/ logo kehidupan masyarakat Aceh
dan memiliki fungsi dan peran otoritas otonomi luas yang dinamik untuk
dapat menggerakkan dan menentukan denyut kehidupan masyarakat. Pada setiap Gampong
di Aceh terdapat satu Meunasah. Kalau tidak ada Meunasah belum dinamakan Gampong.
Dengan demikian Gampong, Orang Aceh dan Meunasah merupakan triangle in one idea
(tiga segi, satu perpaduan ideal/cita-cita/ geist) yang melekat pada spirit masyarakat dalam
membangun kehidupan. Lihat, Badruzzaman Ismail, ““Ureung Aceh, Meunasah,

26
Inlandsche School (Sekolah Rendah Negeri di Montasik), dan pada tahun 1931
melanjutkan pendidikan pada Perguruan Tinggi Thawalib Bagian Tsanawiyah di
Padang Panjang (Sekolah Menengah Islam Pertama) dan lulus pada tahun 1935.18
Sejak kala kecil A. Hasjmy sudah menjadi piatu, ibunya meninggal dunia
bersama adiknya yang baru saja dilahirkan. Ditinjau dari perjalanan intelektual dan
edukasinya, guru pertama A. Hasjmy adalah neneknya sendiri, Nyak Puteh (w. 1953
di Medan), neneknyalah yang berperan membesarkan dan mendidik A. Hasjmy
sejak usia kecil, sebagai pengganti ibunya. Selain itu, A. Hasjmy banyak menyerap
informasi tentang sejarah kolonial di Aceh dari kakeknya, Pang Abbas. Dari
kakeknya ini, A. Hasjmy mendengar cerita-cerita tentang semangat para pahlawan
Aceh dalam melawan kafir. Agaknya dari cerita yang diserap sejak kecil ini
menjiwai kepribadian dan semangat A. Hasjmy di kemudian hari. Selain Ayahnya
(Teungku Hasyim), neneknya Nyak Puteh dan kakeknya Pang Abbas merupakan
guru pertama bagi A. Hasjmy, dan merekalah yang mewarnai celah-celah kehidupan
serta membuka cakrawala pemikiran A. Hasjmy untuk mengenal dunia. tentunya
mereka adalah pihak yang sangat berjasa bagi A. Hasjmy. Menurut pengakuannya
A. Hasjmy merasa sangat bahagia, sebab disaat Pang Abbas meninggal dunia pada
tahun 1930-an di Banda Aceh, dalam usia 125 tahun, sempat menjadi Imam shalat
jenazahnya.19
Meranjak usia 7 tahun, pada tahun 1921 Nyak Puteh mengantarkan A.
Hasjmy untuk belajar di sekolah Volkschool (Sekolah Rakyat) di Lampaseh tempat
asalnya. Sekolah volkschool tersebut tenaga pengajarnya berasal dari Mandailing
dan Minangkabau.20 Pada tahun 1928 A. Hasjmy belajar di madrasah dengan sistem
yang baru (Sekolah Islam Modern) yang didirikan oleh Teungku Muhammad Yunus
Reudep.21 Di madrasah inilah A. Hasjmy belajar baris berbaris dan kepanduan

Gampong: Lhee Sagoe Teukurong, Saboh Citra Budaya”, https://maa.acehprov.go.id/news/d


etail/fungsi-meunasah-sebagai-ikon-buda ya-adat-aceh1. Diakses Tanggal 6 Februari 2020.
18
Berangkat ke Minangkabau A. Hasjmy tidaklah sendirian, akan tetapi para
pengantar penuh satu bus, diantaranya adalah Teugku Syeh Ibrahim Lamnga, sebagai
pengantar Teuku Ali Basyah, Teuku Sulaiman, dan Teungku Ali Samalanga. Rombongan ke
Sumatra Barat, adalah ekspedisi kedua putra-putra Aceh keluar daerah, sementara ekspedisi
pertama adalah daerah langkat (Sumatra Utara) disekitar tahun dua puluhan, dan selanjutnya
Pendidikan Tingkat Menengah di Aceh mulai mekar seperti Gelumpang Dua, al-Muslim
Blang Pasih (pidie). Lihat, A. Ghazaly, Biografi Prof. Tgk. H. Ali Hasjmy, (Jakarta: Sosialia,
1978), h. 7.
19
Hasan Basri, Melampaui Islam Substantif: Biografi Politik Ali Hasjmy.., h. 69
20
Memahami kenyataan ini, A. Hasjmy berkesimpulan dikemudian hari bahwa,
para guru yang berasal dari Mandailing dan Minangkabau ini sangat berjasa dalam mencerd
askan “Angkatan Baru Aceh” setelah beberapa dekade rakyat Aceh berperang
mempertahankan sisa-sisa kemerdekaan dan kedaulatan bangsa-bangsa yang mendiami
gugusan kepulauan Nusantara, dan dikemudian hari bangsa-bangsa tersebut menjadi Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang besar. Lebih lanjut baca, A. Hasjmy, Semangat Merdeka:
70 Tahun Menempuh Jalan Pergolakan & Perjuangan Kemerdekaan, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1985), h. 35-37.
21
Madrasah yang didirikan tersebut adalah madrasah yang menggunakan model
pembelajaran klasik, namun pelaksanaannya berbeda dengan sistem pendidikan dayah
tradisional atau dayah. Semangat berubah alur pendidikan dalam Islam akibat dari merespon

27
(kepramukaan). Selanjutnya, A. Hasjmy melanjutkkan ke Gouvernement Inlandsche
School (Sekolah Rendah Negeri), di Montasik pada tahun 1931. Kemudian A.
Hasjmy melanjutkan pendidikan di Perguruan Thawalib Tingkat Tsanawiyah di
Padang Panjang dan lulus pada tahun 1935. Pada tahun itu juga A. Hasjmy kembali
ke Aceh dan mengajar di perguruan Islam Seulimeum, di bawah bimbingan
Teungku Abdul Wahab, seorang ulama Aceh terkenal dari Seulimum Aceh Besar.
A. Hasjmy bersama dengan rekannya Ali Ibrahim yang telah pulang lebih dulu
menyempurnakan sistem baru pendidikan Islam di madrasah tersebut.
Perguruan Islam Seulimeum yang dibina A. Hasjmy bersama teman-
temannya mengalami kemajuan, menjadi dua tingkat yaitu: Tingkat Ibtidaiyah dan
Tingkat Tsanawiyah. Kurikulumnya hampir sama dengan Madrasah Thawalib
Padang Panjang dan Perguruan Muslim Bukit Tinggi, dengan usaha yang sungguh-
sungguh akhirnya Perguruan Islam Seulimeum menjelma menjadi salah satu
“Perguruan Agama” yang berbobot dan termasyur di Tanah Aceh, yang mana
pelajar-pelajarnya datang dari seluruh Aceh.
Setelah perguruan Seulimum berjalan baik dengan kurikulum baru, pada
tahun 1938, A. Hasmy bersama rekannya, Said Abubakar berangkat ke Padang,
untuk melanjutkan pendidikan pada al-Jami‗ah Islamiyah jurusan Adab al-Lughah
wa Ta>ri>kh al-Isla>miyah (Perguruan Tinggi Islam Jurusan Sastra dan Sejarah
kebudayaan Islam) yang dipimpin oleh Mahmud Yunus, Alumnus Da>r al-‘U>lu>m
Kairo. Al-Ja>mi‘ah al-Isla>miyyah, ini setingkat dengan ‚akademi‛ yang mana masa
belajarnya selama empat tahun. Dilihat dari segi hubungan antara guru dan murid,
A. Hasjmy pernah belajar pada Mahmud Yunus selama studi di Padang.
Berdasarkan hubungan tersebut dapat dilihat pada masa berikutnya bahwa, A.
Hasjmy mempunyai semangat pembaharuan dalam bidang pendidikan di Aceh.22
A. Hasjmy melanjutkan studinya ke Padang Panjang, di sekolah Thawalib
School, tingkat menengah Pandang Panjang. A. Hasjmy tidak hanya belajar formal
saja, namun juga aktif pada organisasi kepemudaaan dan pendidikan politik. A.
Hasjmy ikut aktif dalam berbagai organisasi karena pada waktu para pelajar
madrasah-madrasah Islam seperti Thawalib Padang Panjang menjadi pusat
pengembangan kesadaran politik kemerdekaan kepada pelajarnya, sehingga mereka
waktu itu menjadi demam politik. Di madrasah ini pula A. Hasjmy bertemu dan
berteman dengan Imam Zarkasyi (pendiri Pondok Pesantren Gontor Ponorogo).
Mereka satu perguruan dan satu organisasi. Setelah tamat, mereka berdua harus

gencarnya pembaharuan pendidikan dari timur tengah seperti Mesir, serta sebagai bentuk
akomodatif terhadap sistem pendidikan yang diterapkan Belanda di kala itu. Memahami
Islam lewat pendidikan Terpadu, Islam yang dipahami dan diaktualkan adalah Islam yang
inklusif, ramah, tidak kaku, moderat, yakni Islam yang bernuansa perbedaan dan sarat
dengan nilai-nilai multikultural. Mendakwahkan Islam yang seperti inilah yang menjadikan
Islam bisa bersentuhan dengan multikultur. Lebih lanjut baca, Ali Maksum, “Model
Pendidikan Toleransi Di Pesantren Modern Dan Salaf,” Jurnal Pendidikan Agama Islam
(Journal of Islamic Education Studies), Vol. 3, No. 1 (February 7, 2016): 81, http://jurnalpai.
uinsby.ac.id /index.php/jurnalpai/article/view/40. Diakses Tanggal 09 Februari 2020.
22
Hasan Basri, Melampaui Islam Substantif: Biografi Politik Ali Hasjmy.., h. 70-71.
Lebih lanjut lihat, A. Hasjmy, Semangat Merdeka: 70 Tahun Menempuh Jalan Pergolakan
& Perjuangan Kemerdekaan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1985).

28
berpisah, karena masing-masing harus memilih sekolah lanjutan yang lebih cocok
dengan bakat dan minat masing-masing.
Setelah menamatkan Thawalib, A. Hasjmy kembali ke Seulimeum. Ia
mengabdi di perguruan Islam Seulimeum di bawah pimpinan teungku H. Abdul
Wahab Keunaloi selama lebih kurang satu tahun. 23 Selama menempuh pendidikan di
sekolah A. Hasjmy aktif dalam organisasi kepemudaan HPII (Himpunan Pemuda
Islam Indonesia) cabang Padang Panjang (1932-1935), menjabat sebagai sekretaris,
partai politik PERMI (persatuan Muslim Indonesia) cabang Padang Panjang tahun
1932-1935 sebagai anggota. Pada tahun 1936 bersama dengan beberapa orang
pemuda, mendirikan SEPIA (Serikat Pemuda Islam Aceh) yang dalam kongresnya
dirobah menjadi PERAMINDO (Pergerakan Anggota Angkatan Muda Islam
Indonesia). Pada pucuk pimpinan SEPIA, A. Hasjmy menjadi Sekretaris Umum, dan
dalam PERAMINDO menjadi anggota pengurus besarnya. 24
Bersama dengan beberapa pemuda Aceh, setelah menamatkan pelajaran di
Thawalib dan melanjutkan pendidikan pada al-Ja>mi‘ah al-Isla>miyah, kemudian
mendirikan Ikatan Pelajar Pemuda Aceh, dan A. Hasjmy sebagai ketuanya,
sementara sekretaris dijabat oleh Mahyuddin Yasin. Sekitar tahun 1938 pelajar Aceh
di bumi Minangkabau mencapai jumlah seribu orang, sedangkan dikota Padang
tercatat seratus orang, mereka memasuki berbagai perguruan tinggi, terutama sekali
perguruan tinggi yang bernafaskan Islam. Di antara nama-nama yang bisa diingat
antara lain Teungku Ibrahim Amin, Juned Effendi, Teungku Amin, Teungku
Sulaiman Jalil, Muhammad Ali Piyeung, Teungku Sulaiman Ahmad, dan T. R.
Iskandar dari Meulaboh.25
Selama menempuh pendidikan tidak selamanya berjalan sebagaimana yang
diharapkan, A. Hasjmy pernah mengalami kesulitan ekonomi. 26 Dalam masa belajar
di Padang tidak sedikit kesulitan yang diderita dan sebagai puncaknya, sewaktu
beliau duduk di kelas dua, A. Hasjmy menerima surat dari orang tuanya di kampung
yang sekaligus berisi uang. Dalam surat tersebut berisi pesan, bahwa orang tua A.
Hasjmy mengalami kesulitan ekonomi dan tidak mampu lagi membiayai sekolah
anaknya, dan dengan uang yang dikirim bersamaan surat tersebut agar supaya
digunakan untuk menjadi ongkos pulang supaya kembali saja ke kampung, hal ini
menandakan tidak bisa melanjutkan kembali pelajaran. Namun sebaliknya, yang
dilakukan A. Hasjmy dengan bertawakkal kepada Allah swt., sambil berdoa.
Karya-karyanya menjadi salah satu sumber pendapatan bagi A. Hasjmy,
yang menjadi sumber pendapatan terhadap kebutuhan hidupnya. Karya A. Hasjmy
yang pertama berjudul “Kisah Seorang Pengembara” dalam bentuk sajak, diterbitkan
oleh Pustaka Islam Medan pada tahun 1935. Melalui karyanya yang pertama ini, A.
Hasjmy mulai dikenal oleh masyarakat luas. Kegemaran menulis dijadikan sebagai
bagian kehidupan kesehariannya. Daya imajinasi A. Hasjmy, dituangkan dalam
bentuk tulisan, baik berwujud puisi, roman, novel, maupun sajak. Kelihaiannya

23
Priyono B. Sumbogo, Pengagum Soekarno, Murid Daud Beureueh: Dalam
Tempo, Memoar Senerai Kiprah Sejarah, (Jakrta: Pustaka Utama Grafiti, 1993), h. 63.
24
A. Ghazaly, Biografi Prof. Tgk. H. Ali Hasjmy..., h. 7-8.
25
A. Ghazaly, Biografi Prof. Tgk. H. Ali Hasjmy..., h. 9.
26
Hasan Basri, Melampaui Islam Substantif: Biografi Politik Ali Hasjmy.., h. 71.

29
dalam mengolah kata secara puitis dan kecintaannya pada seni dan budaya
mengantarkannya ke dunia sastra. Tidak heran kalau kemudian A. Hasjmy menjadi
sastrawan besar yang tergolong ke dalam kelompok Pujangga Baru. 27
Karya A. Hasjmy berbentuk sajak yang berjudul “ Kisah Seorang
Pengembara” diterbitkan oleh Pustaka Islam Medan pada tahun 1935, membantu
kebutuhan dalam menjalani pendidikan. Demikianlah tiap kesulitan diatasi, berusaha
sambil berdoa, sehingga bisa menyelesaikan pelajaran sampai berhasil. Kegiatan
belajar tidak pernah dihentikan, walaupun sudah bekerja masih saja diteruskan
dengan self study, mengikuti dan memperdalam ilmu karang mengarang dengan
memasuki Kursus Jurnalistik, kemudian dilanjutkan dengan mengikuti kuliah pada
Fakultas Hukum UISU (Universitas Islam Sumatra Utara) Medan pada tahun 1951-
1953.28
Selain sebagai guru, A. Hasjmy juga aktif dalam kepengurusan Persatuan
Ulama Seluruh Aceh (PUSA), pemuda PUSA cabang Aceh Besar dan kepanduan
pemuda PUSA dikenal juga dengan kepanduan Islam yang berkedudukan di
Seulimeum. Dilihat dari segi peranannya, PUSA amat besar jasanya dalam
pembaharuan pendidikan di Aceh, dan dalam salah satu kongresnya, telah dapat
menyatukan kurikulum pelajaran agama seluruh Aceh. 29 Di samping mengajar
sebagai guru, dan menjadi pengurus berbagai organisasi A. Hasjmy juga menjadi
Pemimpin KepanduanPramuka. 30
Secara akademis, puncak karir intelektual A. Hasjmy ditandai ketika dia
dikukuhkan menjadi Guru Besar Luar Biasa (Profesor), dalam Ilmu Dakwah pada
Fakultas Dakwah IAIN Jami„ah ar-Raniry pada tanggal 20 Mei 1976. Dalam
perjalanan kariernya, ilmu dakwah tidak hanya ditekuni sebagai ilmu secara teoritis,
tetapi diaplikasikan dalam kehidupan keseharian dan semangat dakwahpun telah
menyatu dengan dirinya, sehingga jabatan dan peranan apapun yang diembannya,
unsur dakwah tetap mewarnai setiap kegiatan yang dilaksanakan. 31
Sejarah telah melewati masanya, kiprah A. Hasjmy dalam dunia pendidikan
telah merubah wajah Aceh dari konsep pendidikan tradisional dengan dayah-dayah
dan pesantren-pesantren menjadi basic transfer of knowledge, A. Hasjmy hadir
merubah wajah pendidikan Aceh, dengan sistem pendidikan formal, hadirnya
perguruan tinggi Institut Agama Islam Negeri yang mana hari ini telah menjadi
Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry, dan A. Hasjmy menjadi rektornya, serta
Universitas Syiah Kuala, sehingga keberadaan keduanya dengan kurikulum modern
mampu menjawab tantangan zaman. Berdirinya kedua lembaga pendidikan tinggi
tersebut tidak terlepas dari pengaruh dan peran A. Hasjmy. 32
27
Hasan Basri, Melampaui Islam Substantif: Biografi Politik Ali Hasjmy.., h. 72.
28
A. Ghazaly, Biografi Prof. Tgk. H. Ali Hasjmy..., h. 11.
29
Hasan Basri, Melampaui Islam Substantif: Biografi Politik Ali Hasjmy.., h. 72.
30
A. Ghazaly, Biografi Prof. Tgk. H. Ali Hasjmy..., h. 13.
31
Hasan Basri, Melampaui Islam Substantif: Biografi Politik Ali Hasjmy.., h. 73
32
Sebagaimana yang telah diungkapkan oleh Hasan Basri dalam penelitian disertasi
nya, Hasan Basri menyimpulkan, sejauh ini tidak ada konsep pendidikan secara spesifik yang
ditulis A. Hasjmy dalam bentuk buku kecuali beberapa percikikan pemikirannya yang
bertebaran dalam beberapa karyanya. Untuk mengetahui konsep pendidikan menurut A.
Hasjmy, dapat di lihat dalam karyanya yang berjudul “Bunga Rampai Revolusi dari Tanah

31
Membangun Kota Pelajar Mahasiwa pada umumnya, dan pendidikan
kususnya, sebagai Gubernur A. Hasjmy sangat besar peranannya, malah tidak hanya
tindakan atas perbuatan sewaktu-waktu, akan tetapi seluruh jiwa raganya diarahkan
ke sana.33 Sebagai guru dan Pendidik pada sekolah dan madrasah, sudah berusaha
keras memberikan pendidikan agar semua pelajar menjadi manusia yang berguna,
dan seebagai pimpinan telah membuat jasa besar, sebagai Pemerintah Daerah telah
berusaha keras dan menjadikan lahirnya hari pendidikan dan Kopelma Darussalam
pada tanggal 2 September 1959.34
Kerangka pembangunan masyarakat Aceh menurut A. Hasjmy, terkonsepsi
dalam pendidikan Darussalam. Dalam kerangka pembangunan Darussalam, A.
Hasjmy berpegang pada prinsip “tidaklah mudah untuk mengelola kelestarian
masyarakat Darussalam, jika saja Aceh tidak dikelola oleh pikiran-pikaran dan
tangan-tangan cekatan yang berjiwa besar, mempunyai pengetahuan yang luas, serta
berakhlak yang mulia”. Salah satu cara yang ditempuh oleh A. Hasjmy adalah
melalui pendidikan. Sistem pendidikan di Aceh harus diperbaharui dengan sistem
pendidikan modern. Sistem pendidikan modern oleh A. Hasjmy disebut dengan
“Konsepsi Pendidikan Darussalam”, dalam pengertian, pendidikan yang bertujuan
untuk mendidik manusia agar supaya menyadari bahwa, manusia telah diciptakan
Tuhan dalam bentuk yang sangat sempurna. Sempurna dalam beberapa hal seperti,
sempurna bentuk jasmaninya, rohaninya, dan sempurna akal pikiran serta budi
nuraninya.
Kesadaran akan hakikat dirinya akan menghadirkan menanamkan sifat yang
menghadirkan hasrat sejati kepada Allah swt.,sang Maha Pencipta dan keyakinan
atas keesaan-Nya. Rasa tersebut akan menimbulkan sifat logis, serta tumbuhnya
nilai humanisme kemanusiaan yang beradab, lalu kemudian mewujudkan semangat
persatuan yang berlandaskan semangat persaudaraan umat dalam menciptakan dan
membina kehidupan bersama diputuskan melalui azas musyawarah. Selebihnya,
kesadaran hakikat diri akan membuat jiwa manusia menjadi kuat, besar, dan
tangguh. Sehingga kesadaran tersebut menumbuhkan pribadi yang idealis dengan

Aceh (1978), dan Semangat Merdeka, dapat dijadikan sebagai referensi utama. Pejelasan
dalam kedua buku ini, A. Hasjmy mengungkapkan sejarah Pendidikan Islam di Aceh dan
cita-citanya untuk membangun sebuah perguruan tinggi Islam yang refesentatif. Lihat, Hasan
Basri, Melampaui Islam Substantif: Biografi Politik Ali Hasjmy.., h. 98.
33
Sebagaimana yang telah dijelaskan A. Ghazaly, hal ini terbukti ketika berhadapan
langsung dengan A. Hasjmy, jika mulai berbicara tentang Kota Pelajar Mahasiswa jalannya
pembicaraan sangatlah lancar, sebaliknya ketika berbicara masalah yang lain sambutannya
agak dingin, apalagi menjelang masa-masa pemikiran dan pengarahan penciptaan Kota
Pelajar Mahasiswa. Hal ini diperkuat dengan sikap beliau ketika berhadapan dengan orang-
orang yang mencetak kartu nama atau kartu lebaran di Percetakan Negara Banda Aceh,
beliau wajibkan di sebelah belakang memuat kata-kata “Bantulah Pembangunan
Darussalam”. Bukti yang lain sebagaimana beliau katakan sendiri, A. Hasjmy menangis dua
kali. Pertama, A. Hasjmy menangis atas meninggal seorang putranya. Kedua, A. Hasjmy
menangis sewaktu pihak pemberontak mengganggu dalam kompleks pembangunan Kota
Pelajar Mahasiswa Darussalam. Lihat, A. Ghazaly, Biografi Prof. Tgk. H. Ali Hasjmy..., h.
83.
34
A. Ghazaly, Biografi Prof. Tgk. H. Ali Hasjmy..., h. 87.

31
jiwa yang menjulang kelangit bersama pengetahuannya, namun tetap menjadi
pemeluk agama yang menganut prinsip-prinsip moral.35
Pada saat A. Hasjmy menjadi Rektor IAIN Ar-Raniry pada tahun (1977-
1982), A. Hasjmy memainkan peranan penting dalam mengembangkan tradisi
keilmuan dan disiplin akademik. Seminar-seminar dalam berbagai bidang ilmu
digalakkan, para dosen, karyawan, dan mahasiswa berprestasi diberikan
penghargaan, penerbitan jurnal ilmiahpun ditingkatkan. Di waktu yang lain
setelahnya, A. Hasjmy diangkat menjadi Rektor Universitas Muhammadiyah Aceh.
Sejak awal beliau ikut berperan aktif dalam mendirikan universitas ini. Melalui
kreasi A. Hasjmy universitas tersebut berkembang dan masih eksis hingga saat ini.
Kiprah beliau dalam hal ini, patut diberi penghargaan dari peran penting yang
dimainkannya. Pada kenyataannya, A. Hasjmy bukan hanya menjadi inisiator dalam
bidang-bidang yang baru, namun juga sekaligus menjadi motivator serta generator
dalam membangkit semangat berkarya.36
Pengalaman dalam berbagai sisi yang ditempuh oleh A. Hasjmy, terutama
sekali dalam bidang dakwah sangatlah terlihat dalam kiprahnya di berbagai bidang,
sebagai tokoh yang multi talenta terjawab dalam berbagai posisi penting, seperti
jabatan rektor di IAIN Ar-Raniry, sangat mempengaruhi pemikirannya dibidang
pendidikan, sebagai dekan Fakultas Dakwah/Publistik IAIN Ar-Raniry Banda Aceh
pada tahun 1968, dengan Ilmu Dakwah tersebut A. Hasjmy berhasil membangun
komunikasi dengan berbagai pihak, termasuk membangun komunikasi politik
dengan berbagai elemen masyarakat, terutama sekali A. Hasjmy mampu
mendamaikan pemberontakan DI/TI yang dipimpin oleh Teungku Daud Beureueh
dengan pemerintah Indonesia dan menerima Pancasila sebagai dasar dalam
bernegara.

3. Sebagai Pemimpin Keluarga dan Umat


Ketokohan A. Hasjmy secara sosiologis dalam hal tertentu, A. Hasjmy
adalah seorang tokoh yang disegani di tengah-tengah masyarakat Aceh, meskipun
tidak memiliki kharisma seperti pendahulunya, Teungku Muhammad Daod
Beureueh, A. Hasjmy setidaknya diperhitungkan tokoh penting baik tingkat
regional maupun nasional. Hal ini dapatlah dilihat dari aktifitas sehari-hari, baik
sebagai pemimpin formal maupun pemimpin informal, yang menyatu dengan umat.
Secara kasat mata masyarakat Aceh kususnya telah menyaksikan sosok A. Hasjmy
ketika hidupnya, sebagai tokoh yang selalu tampil dalam kehidupan sosial
masyarakat Aceh, dan ikut serta dalam mencari solusi terhadap problema yang
muncul di tengah-tengah kehidupan sosial. Ternyata kiprah A. Hasjmy tidak hanya
hadir sebagai tokoh dalam keluarganya saja, akan tetapi juga hadir dalam mewarnai
kehidupan sosial keagamaan37 yang lebih luas.38

35
A. Hasjmy, Semangat Merdeka: 70 Tahun Menempuh Jalan Pergolakan da
Perjuangan Kemerdekaan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1985), h. 539.
36
Hasan Basri, Melampaui Islam Substantif: Biografi Politik A. Hasjmy..., h. 113-
114.
37
Dalam bidang sosial keagamaan, A. Hasjmy dikenal sebagai ulama yang
berpengaruh, secara konstitusional A. Hasjmy pernah menjadi anggota Dewan Pertimbangan

32
A. Hasjmy sebagai tokoh yang memiliki multitalenta, memiliki latar
belakang pengalaman yang beragam, sebagai seorang guru, da’i, ulama,
cendikiawan, sastrawan, dan politisi. Latar belakang tersebut sangat mempengaruhi
sifat kepemimpinan A. Hasjmy, berdasarkan beragam posisi tersebut membentuk
karakter pemikiran A. Hasjmy yang sangat kontekstual dalam memahami berbagai
hal, terutama sekali pada ranah kepemimpinan. Sebagai pemimpin publik, A.
Hasjmy memiliki leadership yang sangat kuat. Ada tujuh prinsip kepemimpinan
yang melekat pada diri A. Hasjmy.
Pertama, seorang pemimpin harus memiliki rasa tanggung jawab ke luar
dan ke dalam, dengan memiliki sifat merasa bangga dan terhormat apabila
kepemimpinannya berhasil, dan sebaliknya akan merasa terhina dan terpukul
apabila kepemimpinannya gagal. Kedua, sebagai pemimpin yang bertanggung
jawab tidak akan mencari kambing hitam,apabila kepemimpinanya tidak berhasil,
walaupun ada orang-orang yang melakukan kesalahan atau sabotage. Kesalahan
yang dibuat oleh bawahannya yang menyebabkan usahanya gagal diambil alih
tanggung jawab, disamping memperbaiki kesalahan yang diambil oleh bawahannya.
Ketiga, seorang pemimpin yang bertanggung jawab selalu menghormati atasan dan
sayang pada bawahan, bukan menjilat ke atas dan menekan ke bawah. Keempat,
selalu memberi pengertian pada soal-soal yang kecil sekalipun, karena hal-hal yang
besar ditimbulkan atau dimulai dari hal-hal yang kecil. Kelima, selalu
mengusahakan atau mengutamakan kepentingan umum daripada kepentingan diri
sendiri. Keenam, menempati janji dan amanah, jika sudah berjanji harus ditepati,
dan bila saja berhalangan supaya diberitahukan sebelumnya. Dan yang ketujuh,
menjaga dan mengatur waktu sebaik-baiknya; menghadiri acara-acara yang telah
ditentukan tepat waktu (disiplin).39
Menduduki posisi sebagai pemimpin umat, A. Hasjmy merupakan sosok
tokoh yang memiliki idealisme yang tinggi. Di balik ketegasan yang melekat dalam
jiwa kepemimpinannya terdapat kecerdasan intelektual yang berbeda dengan tokoh
yang lainnya. Kecerdasan dan kecemerlangan pikiran A. Hasjmy dituangkan dalam
karya-karyanya. Begitu juga dengan momen-momen pertemuan penting dalam
berbagai bidang, A. Hasjmy selalu menuangkan ide-ide baru, menawarkan konsep-
konsep yang bersifat konstruktif untuk kemajuaan, baik di bidang pendidikan, sosial,
politik, dan agama.40 Untuk mengenang beliau sebagai seorang idealis kiranya

Majelis Ulama Indonesia (MUI) pusat, disamping aktif dalam kepengurusan Majelis Ulama
Daerah Istimewa Aceh, dengan jabatan wakil ketua (sejak tahun 1969) mendampingi
Teungku Abdullah Ujung Rimba sebagai ketuanya. Pada akhir tahun 1982 A. Hasjmy dipilih
menjadi ketua Umum Majelis Ulama Indonesia Provinsi Daerah Istimewa Aceh, dan jabatan
ini terus diduduki sampai menjelamg kewafatan. Lihat, Badruzzaman Ismail et al., Dua
Puluh Tahun Melalui Jalan Raya Dunia: A. Hasjmy Aset Sejarah Masa Kini dan Masa
Depan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), h. 414. Dalam, Hasan Basri, Melampaui Islam
Substantif: Biografi Politik Ali Hasjmy.., h.76.
38
Hasan Basri, Melampaui Islam Substantif: Biografi Politik Ali Hasjmy.., h. 74.
39
Hasan Basri, Melampaui Islam Substantif: Biografi Politik Ali Hasjmy.., h. 75.
40
Pertemuan-pertemuan tersebut tidak hanya dilakukan oleh A. Hasjmy di kalangan
masyarakat Aceh saja, juga disampaikan pada masyarakat Singapura dan Malaysia. Pada

33
cukup jelas, terang dan tunai apabila kita pernah membaca tulisan dan
karangannya.41
Menyangkut dengan kepemimpinan A. Hasjmy tidak diragukan lagi
kepiawaian, hampir seluruh hidupnya didedikasikan untuk agama, nusa, dan bangsa.
Berdasarkan dengan hal tersebut, Syamsuddin Mahmud sebagai gubernur Aceh,
mengomentari sosok A. Hasjmy “A. Hasjmy bukan hanya seorang tokoh yang
langka, tapi ia adalah seorang tokoh yang unik dan spesifik, sehingga di samping
mampu melaksanakan tugas ulama, juga sanggup menangani pekerjaan umara. Ini
tidaklah mengherankan, sebab kenyataan membuktikan bahwa ia pernah menjadi
Gubernur Kepala Daerah Istimewa Aceh, menjadi Rektor Institut Agama Islam
Negeri (IAIN) Ar-Raniry, dan Unversitas Muhammadiyah Aceh, Menjadi Ketua
Majelis Ulama Indonesia (MUI), dan Ketua Lembaga Adat dan Kebudayaan Aceh
(LAKA). A. Hasjmy juga seorang yang berpendirian teguh, amat gigih
melaksanakan keistimewaan Aceh dalam bidang pendidikan, agama, adat istiadat,
serta dalam bidang pemulihan keamanan di Aceh. Di samping seorang kolumnis, A.
Hasjmy juga seorang sastrawan, seniman, sejarawan, budayawan, ilmuan, sekaligus
sebagai praktisi dan politilisi. 42

4. Karya-Karya
Sampai dengan permulaan tahun 1977 A. Hasjmy telah menulis buku
tidak kurang dari 45 judul. Dan supaya tidak hilang pandangan dalam tumpukan
buku-buku karya beliau, walaupun sebagian sudah disebut menurut pengelompokan
yang terdiri dari Prosa, Roman, Essay, Puisi dan Pengetahuan Umum, agama dan
politik. Namun demikian, akan dipaparkan kembali keseluruhanya.

a. Karya di Bidang Sastra


1. Kisah Seorang Pengembara (sajak), (Medan: Pustaka Islam, 1936)
2. Sayap Terkulai (roman perjuangan), 1983, tidak terbit, naskahnya hilang
di Balai Pustaka waktu pendudukan Jepang.
3. Dewan Sajak (puisi), (Medan: Centrale Courant, 1938).
4. Bermandi Cahaya Bulan (roman pergerakan), (Medan: Indische Drukkrij,
1939; Jakarta: Bulan Bintang, 1978).

tahun 1968, masyarakat Islam di Singapura dan Malaysia A. Hasjmy beserta istrinya untuk
melakukan serangkaian dakwah di negara tersebut. Di Singapura antara lain, telah
berdakwah di depan majelis masyarakat Arab, dikalangan para pengurus dan anggota Partai
Agama Islam (PAI), membaca kutbah Juma„at di Masjid Sultan dan Masjid dalam komplek
kedutaan kedutaan besar Republik Indonesia. Di Malaysia, A. Hasjmy telah memberi
ceramah kepada anggota-anggota organisasi Mahasiswa Islam Universitas Malaya,
Mahasiswa Kollege Islam, para pelajar dan guru Taman Pendidikan Putri Islam dan kepada
para pengurus serta anggota organisasi perempuan Malaysia. Lihat, A. Ghazaly, Biografi
Prof. Tgk. H. Ali Hasjmy..., h. 109.
41
A. Ghazaly, Biografi Prof. Tgk. H. Ali Hasjmy..., h. 111-112.
42
Syamsuddin Mahmud, Kata Sambutan, dalam Badruzzaman Ismail, et al. (ed),
delapan puluh tahun. lihat, Hasan Basri, Melampaui Islam Substantif: Biografi Politik Ali
Hasjmy.., h. 129.

34
5. Melalui Jalan Raya Dunia (roman masyarakat), (Medan: Indische
Drukkrij, 1939)
6. Suara Azan dan Lonceng Gereja (roman antar agama), (Medan: Syarikat
Tapanuli, 1940): (Jakarta: Bulan Bintang, 1978): Singapura: Pustaka
Nasional, 1982).
7. Cinta Mendaki (roman filsafat/perjuangan), naskah ini hilang pada Balai
Pustaka, Jakarta pada saat pendudukan Jepang.
8. Dewi Fajar (roman politik), (Banda Aceh: Aceh Sinbun, 1943).
9. Rindu Bahagia (kumpulan sajak dan cerpen), (Banda Aceh: Pustaka
Putro Cande, 1963).
10. Jalan Kembali (sajak bernafaskan Islam), (Banda Aceh: Pustaka Putro
Cande, 1963), telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Hafiz
Arif (Harry Aveling).
11. Semangat Kemerdekaan dalam Sajak Indonesia Baru (analisa sastra),
(Banda Aceh: Pustaka Putro Cande, 1963).
12. Hikayat Perang Sabil: Menjiwai Perang Aceh Lawan Belanda, (Banda
Aceh: Firma Pustaka Faraby, 1971).
13. Ruba„i Hamzah Fansury, Karya Sastra Sufi Abad XVII, (Kuala Lumpur,
Dewan Bahasa dan Pustaka, 1974).
14. Sumbangan Kesusasteraan Aceh dalam Pembinaan Kesusasteraan
Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang, 1977).
15. Tanah Merah (roman perjuangan), (Jakarta: Bulan Bintang, 1977).
16. Meurah Johan (roman sejarah Islam di Aceh), (Jakarta: Bulan Bintang,
1950).
17. Sastra dan Agama, (Banda Aceh: BHA Mejelis Ulama Daerah Istimewa
Aceh, 1980).
18. Apa Tugas Sastrawan Sebagai Khali>fah Allah, (Surabaya: Bina Ilmu,
1984).
19. Kebudayaan Aceh dalam Sejarah, (Jakarta: Penerbit Beuna, 1983).
20. Hikayat Pocut Muhammad dalam Analisa, (Jakarta: Penerbit Beuna,
1983).
21. Kesasteraan Indonesia dari Zaman ke Zaman, (Jakarta: Penerbit Beuna,
1983).
22. Sejarah Kesusasteraan Islam Arab (tidak diterbitkan).

b. Karya di Bidang Sejarah dan Agama


1. Kerajaan Saudi Arabia (riwayat perjalanan), (Jakarta: Bulan Bintang,
1957).
2. Pahlawan-pahlawan Islam yang Gugur (saduran dari bahasa Arab),
(Jakarta: Bulan Bintang, 1981).
3. Sejarah Kebudayaan dan Tamaddun Islam, (Banda Aceh: Lembaga
Penerbit IAIN Jami„ah Ar-Raniry, 1969).
4. Yahudi Bangsa Terkutuk, (Banda Aceh: Pustaka Faraby, 1970).
5. Islam dan Ilmu Pengetahuan Moderen, Terjemahan dari bahasa Arab),
(Singapura: Pustaka Nasional, 1972).
6. Dustur Dakwah Menurut Alquran, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974).

35
7. Sejarah Kebudayaan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975 dan 1993).
8. Cahaya Kebenaran Terjemahan Alquran, Juz Amma, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1979).
9. Iskandar Muda Meukuta Alam: Sejarah Hidup Sultan Iskandar Muda,
Sultan Aceh Terbesar, (Jakarta: Bulan Bintang, 1977).
10. Surat-surat dari Penjara, catatan sewaktu ia dalam penjara berupa surat-
surat kepada anak-anaknya kurun waktu tahun 1953-1954, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1978)
11. Peranan Islam dalam Perang Aceh, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978).
12. 59 Tahun Aceh Merdeka di Bawah Pemerintahan Ratu, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1978).
13. Langit dan Para Penghuninya Terjemahan dari bahasa Arab, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1978).
14. Apa Sebab Alqur„an tidak Bertentangan dengan Akal, Terjemahan dari
Bahasa Arab, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978).
15. Mengapa Ibadah Puasa Diwajibkan Akal, Terjemahan dari Bahasa Arab,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1978).
16. Mengapa Ummat Islam Mempertahankan Pendidikan Agama dalam
Sistem Pendidikan Nasional, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979).
17. Nabi Muhammad Sebagai Panglima Perang, (Jakarta: Mutiara, 1978).
18. Dakwah Islamiyah dan Kaitannya dengan Pembangunan Manusia,
(Jakarta: Mutiara, 1978).
19. Pokok Pikiran Sekitar Dakwah Islamiyah, (Banda Aceh: Majelis Ulama
Daerah Istimewa Aceh, 1981).
20. Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, (Bandung: Al-
Ma„arif, 1981).
21. Syiah dan Ahlussunnah Saling Rebut Pengaruh di Nusantara, (Surabaya,
Bina Ilmu, 1984).
22. Bernarkah Dakwah Islamiyah Bertugas Membangun Manusia,
(Bandung: Al-Ma„arif, 1983).
23. Publisistik dalam Islam, (Jakarta: Penerbit Beuna, 1983).
24. Sejarah Kebudayaan Islam di Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang, 1990).
25. Malam-malam Sepi di Rumah Sakit MMC Kuningan, Jakarta, (Banda
Aceh: Yayasan Pendidikan Ali Hasjmy, 1992).
26. Mimpi-mimpi Indah di Rumah Sakit MMC Kuningan Jakarta, (Banda
Aceh: Yayasan Pendidikan Ali Hasjmy, 1993).
27. PerempuanIndonesia sebagai Negarawan dan Panglima Perang (belum
diketahui data penerbitnya).

c. Karya di Bidang Politik


1. Di Mana Letaknya Negara Islam, (Singapura: Pustaka Nasional, 1970).
2. Pemimpin dan Akhlaknya, (Banda Aceh: Majelis Ulama Indonesia
Daerah Istimewa Aceh, 1973).
3. Apa Sebab Rakyat Aceh Sanggup Berperang Puluhan Tahun Melawan
Agresi Belanda, berasal dari buku Hikayat Perang Sabil Menjiwai Perang

36
Aceh Lawan Belanda, setelah ditambahkan dan disempurnakan, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1979).
4. Bunga Rampai Revolusi dari Tanah Aceh, (Jakarta: Bulan Bintang,
1980).
5. Perang Gerilya dan Pergerakan Politik di Aceh untuk Merebut
Kemerdekaan Kembali, (Banda Aceh: Majelis Ulama Daerah Istimewa
Aceh, 1980).
6. Mengenang Kembali Perjuangan Misi Hardi, (Bandung: Al-Ma„arif,
1983).
7. Ulama Indonesia sebagai Pejuang Kemerdekaan dan Pembangunan
Tamaddun Bangsa (belum diketahui data penerbitnya).
8. 50 Tahun Aceh Membangun, (Banda Aceh: MUI Aceh, 1995)

d. Karya di Bidang Hukum


1. Sejarah Hukum Islam, (Banda Aceh: Majelis Ulama Daerah Istimewa
Aceh, Banda Aceh, 1970).

e. Karya di Bidang Etika


1. Risalah Akhlak, (Jakarta: Bulan Bintang, 1977).
Karya di Media Massa, A. Hasjmy aktif menulis di berbagai majalah dan
harian yang terbit di Banda Aceh, Medan, Padang Panjang, Padang, Jakarta,
Bandung, Surabaya, Singapura, dan Malaysia. Berikut ini adalah daftar media massa
yang pernah ditulisnya:
Sebelum Perang Dunia II: Pujangga Baru (Jakarta), Angkatan Baru
(Surabaya), Pahlawan Muda (Padang), Kewajiban (Padang Panjang), Raya,
Matahari Islam, Pemimpin Redaksi (Padang), Panji Islam, Pedoman Masyarakat,
Gubahan Maya, Suluh Islam, Miami (Medan), Fajar Islam (Singapura). Setelah
Perang Dunia II: Dharma, Pahlawan, Widjaya, Bebas, Sinar Darussalam, Majalah
Puwan, Gema Ar-Raniry, Serambi Indonesia (Banda Aceh), Nusa Putera, Karya
Bakti, Majalah Amanah, Panji Masyarakat, Harmonis, Mimbar Ulama (Jakarta),
Harian Waspada (Medan).

B. Konteks Sosial dan Geneologi Pemikiran


1. Islam dan Struktur Sosial Masyarakat Aceh
Pada masa pra-kolonial, struktur masyarakat Aceh terdiri dari empat
kelompok besar. Pertama, sultan. Kedua, ulama. Ketiga, Ule>balang. Keempat,
rakyat biasa. Sesuai dengan urutannya, kelompok sultan memiliki porsi kekuasaan
yang paling besar. Sementara kelompok ulama dan Ule>balang yang hampir sama.
Namun, karena pengaruh sistem negara kerajaan Aceh yang berhaluan agama, maka
kelompok ulama menempati posisi kedua setelah sultan. Kaum Ule>balang, oleh
karena penguasaan sektor-sektor ekonomi yang produktif di sepanjang pesisir
pantai, menjadi kekuatan politik ketiga atau mungkin sama dengan kelompok ulama.
Kelompok sultan, ulama dan Ule>balang, karena kekuasaan yang dimilikinya, dapat
kita sebut sebagai kelompok penguasa (the rulers). Sementara kelompok rakyat
biasa, oleh karena kejelataannya, seperti terdapat di mana pun, memiliki porsi

37
kekuasaan yang lebih kecil atau tidak memiliki kekuasaan sedikitpun (the ruled
groups).43
Sementara itu, kalangan ulama dan Ule>balang melanjutkan perjuangan jihad
melawan kaphe (kafir) Belanda. Sehingga, yang tinggal hanyalah komposisi tiga
struktur kekuasaan saja. Pertama, Ule>balang. Kedua, ulama. Ketiga, rakyat biasa.
Mulai saat itulah kohesi sosial politik golongan-golongan masyarakat yang
mendukung struktur sosial Aceh menjadi retak. Keretakan ini kemudian terus-
menerus berimplikasi terhadap dinamika dan pergolakan politik di Aceh. Retakan
kohesi sosial-politik ini sangat jelas terlihat pada pergeseran afiliasi politik di antara
tiga golongan utama masyarakat Aceh. Sebagian besar golongan Ule>baling, sesuai
dengan politik pecah belah Belanda, lebih berafiliasi pada pemerintah kolonial.
Sementara, golongan ulama cenderung tetap bersatu dengan sultan. Bahkan dalam
beberapa hal fungsi kepemimpinan sultan cenderung berpindah ke tangan para
ulama. Terutama gejala ini terlihat dalam gerakan-gerakan perlawanan melawan
pemerintah kolonial. Meskipun demikian, harus pula diingat bahwa tidak semua
golongan Ule>baling cenderung berafiliasi dengan pemerintah kolonial. Sebab,
seperti tercatat dalam sejarah, banyak pula terdapat kaum Ule>balang menjadi
pemimpin perlawanan yang gigih terhadap Belanda seperti Teuku Umar dan Cut
Nyak Dhien di Aceh Barat, Cut Meutia di Aceh Utara, serta beberapa orang
lainnya.44
Mengungungkap akar geneologi pemikiran politik A. Hasjmy, terutama di
bidang pemikiran politik Islam tidak hanya dikaji berdasarkan sejarah masuknya
Islam di Aceh dan pengaruh pemikiran intelektual Muslim Timur Tengah pada abad
klasik, pra-modern, dan modern. Sebaliknya pemikiran politik A. Hasjmy juga
dipengaruhi oleh akar sejarah peradaban kepemimpinan Aceh itu sendiri sepanjang
abad hingga pra-kemerdekaan. Berdasarkan letak geografis, semenjak Aceh
bergabung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, Aceh mengalami beberapa
kali perubahan status, baik status yang berkaitan dengan administratif kenegaraan
maupun dalam penyebutan nama. 45 Secara historis Aceh dikenal salah satu negara
Islam yang berpengaruh di Nusantara. Pada masa lalu di Aceh terdapat kerajaan-
kerajaan Islam Peurelak (840 M), Kerajaan Islam Samudra Pasai (1166), Kerajaan
Islam Tamiang, Pedir dan Meurehom Daya. Kemudian, oleh Sultan Alahuddin
Johan Syah Berdaulat (1205 M), kerajaan-kerajaan tersebut disatukan menjadi
Kerajaan Aceh Darussalam dengan Ibu Kota Bandar Aceh. Pada masa Sultan
Alauddin al-Kahhar, Kerajaan Aceh Darussalam memperluas wilayah
penaklukannya ke negeri-negeri Melayu sampai ke Semenanjung Malaka. Oleh
karena itu, pada abad ke 16 Aceh menjadi Kerajaan Islam terbesar di Nusantara, dan

43
Ti Aisyah Subhani Al Chaidar, Darul Islam Di Aceh: Analisis Sosial-Politik Pem
berontak an Regional Di Indonesia, 1953-1964, (Lokseumawe: Uimal Press, 2008), h. 53.
44
Ti Aisyah Subhani Al Chaidar, Darul Islam Di Aceh: Analisis Sosial-Politik
Pemberontakan Regional Di Indonesia, 1953-1964..., h. 54-55.
45
Dari penyebutan nama Provinsi Daerah Istimewa Aceh, Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam, dan Aceh tanpa menyematkan kembali kata provinsi.

38
termasuk salah satu dari lima kerajaan terbesar di dunia. Kemudian Kerajaan Aceh
Darussalam mencapai puncak kegemilangannya pada masa Sultan Iskandar Muda.46
Konteks sosial yang mengitari kehidupan A. Hasjmy tidak bisa dipisahkan
dari sejarah pergerakan masyarakat Aceh di era penjajahan dan awal kemerdekaan,
sebagai seorang yang berjiwa organisatoris, aktifitas A. Hasjmy selalu berhubungan
dengan dua hal yang saling terkait, baik pergerakan yang bersifat politik maupun
sosial keagamaan. Aktifitas organisasi dilakukan mengikuti alur kondisi dan situasi
yang berkembang, sehingga A. Hasjmy melibatkan dirinya dalam organisasi atau
pergerakan yang berbeda sesuai dengan tuntutan politik dan perubahan sosial. Ini
mengindikasikan naluri politik A. Hasjmy yang kelak dikemudian hari menjadi
prinsip hidupnya dalam membaca tanda-tanda zaman.47 Berdasarkan kenyataan
tersebut geneologi pemikiran A. Hasjmy dapat dilihat berdasarkan struktur sosial
dan keagamaan masyarakat Aceh.
Masyarakat Aceh dalam sejarah memiliki struktur sosial tersendiri.48
Berdasarkan struktur sosial tersebut, masyarakat Aceh terdapat beberapa sebutan
yang secara adat melekat dalam beberapa strata, di antaranya. Pertama, masyarakat
umum yang terdiri dari berbagai suku atau bangsa yang menetap di Aceh. Kedua,
kaum hartawan, atau orang-orang kaya yang memiliki harta dan dekat dengan pusat
kekuasaan. Ketiga, kaum Bangsawan atau dikenal dengan sebutan “Teuku”49 yang
mendapat kekuasaan dari sultan untuk menguasai wilayah-wilayah tertentu.
Keempat, kelompok h}abi>b (jamaknya h}aba>ib), yaitu mereka yang mengkleim diri
sebagai keturunan Nabi Muhammad saw., mereka datang dari Mekkah, Madinah,
Yaman, dan Hadhramaut, yang mana kedudukan mereka sangatlah terhormat di
mata masyarakat Aceh, secara kusus mereka sering dipanggil dengan sebutan
sayyid. Kelima, kaum ulama atau cendikiawan, 50 yaitu alumni pendidikan

46
Hasan Basri, Melampaui Islam Substantif: Biografi Politik Ali Hasjmy.., h.19-20.
Selanjutnya lihat, A. Hasjmy, Semangat Merdeka: 70 Tahun Menempuh Jalan Pergolakan
& Perjuangan Kemerdekaan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1985).
47
Hasan Basri, Melampaui Islam Substantif: Biografi Politik Ali Hasjmy.., h. 85
48
Struktur ini diatur berdasarkan Qanun Meukuta Alam al-Asyi, (Undang-undang
kerajaan Aceh). Qanun tersebut menegaskan bahwa kekuasaan tertinggi berada di tangan
sultan, sedangkan kekuasaan agama berada di tangan ulama. Di bawah sultan ada Ule>balang
yang membawahi beberapa Imum Mukim, dan di bawah Imum Mukim terdapat beberapa
Keucik (kepala desa), Keucik dipilih oleh Tuha Peut dan Tuha Lapan yang terdiri atas tokoh-
tokoh desa. Lihat, A. K. Jakobi, Aceh Daerah Modal. Dalam, Hasan Basri, A. Hasjmy (1914-
1998): Kajian Sosial-Intelektual dan Pemikirannya Tentang Politik Islam, (Disertasi Pada
Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008), h. 53
49
Sebutan Teuku untuk kaum bangsawan ini, dalam penulisannya di awal
penyebutan nama sering ditulis dan disingkat dengan huruf “T”.
50
Umara (pemimpin) dan ulama (sarjana Islam) adalah dua grup elit yang
menampilkan instrumen dasar dari perkembangan Aceh Darussalam. Di masa Sultan
Iskandar Muda banyak ditemukan produk-produk kerja sosial dari kerjasama mereka. Di Ibu
Kota kerajaan, Hamzah Fansuri dan Syamsuddin as-Sumatrani memainkan peran multi aspek
guna mengembangkan Aceh sebagai pusat keilmuan dan sastra Melayu di Asia Tenggara.
Mereka dikenal sebagai sarjana Islam, diplomat, dan Syaikhul Islam. keberadaan mereka di
istana Aceh ikut membantu Sultan dalam memecahkan pelbagai masalah sosial, termasuk
menyusun undang-undang, menerbitkan kebijakan dan lain sebagainya. Di sisi lain,

39
tradisional, Dayah manyang (Pendidikan Tinggi) mereka biasanya dipanggil dengan
sebutan Teungku,51 sebab ahli dalam bidang agama.52 Sementara terkait dengan
struktur pemerintahan, sistem pemerintahan Aceh pada kerajaan Aceh Darussalam
tersusun, dimulai dari struktur pemerintahan pusat kerajaan sampai dengan struktur
pemerintahan gampong.
Pertama, tingkat pusat disebut dengan kerajaan, dengan nama lengkap
Kerajaan Aceh Darussalam, yang dipimpin oleh seorang raja yang bergelar “sultan”
Imam Malik al-„Adil, dan dibantu oleh seorang Qadhi kerajaan yang bergelar Qadhi
Malik al-„Adil. Kedua, disebut dengan sagoe. Sagoe merupakan federasi dari
beberapa nanggroe, setiap nanggroe dipimpin oleh satu panglima, panglima digelari
dengan Panglima Sagoe, dalam bahasa Aceh disebut dengan Pang Sagoe. Ketiga,
disebut dengan “nanggroe” sering juga disebut dengan daerah Ule>balang terdiri dari
tiga sampai dengan sembilan mukim. Nanggroe dipimpin oleh seorang Ule>balang
dan dibantu oleh seorang Qadhi Nanggroe. Ule>balang mempunyai hak otonomi
kusus dalam batas-batas tertentu. Keempat, disebut dengan mukim. Mukim dalam
strukturnya terdiri atas beberapa gampong. Minimal dalam satu mukim terdiri atas
delapan gampong. Satu mukim dipimpin oleh beberpa Imum Mukim, dan seorang
Qadhi Mukim (hakim tingkat mukim), serta dibantu oleh beberapa wakil. Setiap
mukim didirikan satu masjid, yang digunakan untuk shalat lima waktu secara
berjamaah, serta menjadi standar pelaksanaan shalat jum„at. Kelima, pada struktur
paling rendah dalam sistem pemerintahan Kerajaan Aceh Darussalam adalah
gampong (desa). Gampong dipimpin oleh oleh seorang keucik (kepala kampung),

hubungan umara dan ulama juga terlihat di pedesaan Aceh. Di sana terdapat sistem sosial
yang terbentuk karena keduanya. Di mata orang Aceh, kedudukan mereka diakui sebagai
pemimpin dalam kehidupan sosial dan spiritual. Lihat, Gazali, “Hubungan Umara Dan
Ulama dalam Membentuk Kehidupan Sosio-Relijius di Aceh Darussalam Masa Sultan
Iskandar Muda”, (The Relation of Umara and Ulama in Shaping Socio-Religious life in Aceh
Darussalam under Sultan Iskandar Muda‟s Period), Jurnal Penelitian Hukum DE JURE,
ISSN 1410-5632 Vol. 16 No. 2, Juni 2016 : 173 – 185, https://ejournal.balitbangham.go.id/i
ndex.php/dejure/a rticl e/vi ew/55/7. Diakses Tanggal 26 Februari 2020.
51
Dalam tradisi intelektual keagamaan di aceh, bagi yang memiliki ilmu agama,
dipanggil dengan Teungku. Gelar Teungku hanya dilakabkan pada orang-orang yang
memiliki ilmu pengetahuan agama, berakhlak mulia, serta pada momen tertentu pernah
menuntut ilmu di Dayah. Namun, dalam perkembangan selanjutnya, Teungku dianggap
sebagai penggilan kehormatan terhadap orang-orang tertentu yang dianggap atau dirasa perlu
untuk dihormati. Lebih lanjut lihat, Alfian, The Ulama in Acehnese Society: A Preliminary,
Observation, (Banda Aceh: Pusat Latihan Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial Aceh, 1975), h. 2.
Panggilan terhormat kepada pemuka agama juga terdapat di beberapa daerah di Nusantara.
Seperti masyarakat Jawa menyebutnya dengan sebutan Kyai, di Sunda disebut dengan
Ajengan, di Sumatra Barat dikenal dengan Buya, di Nusa Tenggara Barat dikenal dengan
sebutan Tuan Guru, di Sulawesi Selatan dikenal dengan sebutan Topandita, di Madura
dikenal dengan sebutan Nun atau Bandara. Lihat, Subhan SD., Ulama-Ulama Opposan,
(Bandung: Pustaka Hidayah, 2000), h. 21.
52
Syarifuddin Tippe, Aceh di Persimpangan Jalan. Lihat dalam, Hasan Basri, A.
Hasjmy (1914-1998): Kajian Sosial-Intelektual dan Pemikirannya Tentang Politik Islam...,
h. 53.

41
pada setiap kampung terdapat satu meunasah,53 setiap meunasah dipimpin oleh
seorang Imum (imam), pada pelaksanaannya gampong diberi hak otonomi kusus. 54
Islam di Aceh mulai berkembang dan eksis sejak abad ke 6 M., dimulai dari
kalangan istana kerajaan, lalu kemudian Islam dianut oleh kalangan masyarakat
diluar istana. Berkembangnya Islam menjadi ajaran yang diyakini oleh masyarakat
Aceh dikemudian hari, ditandai dengan masuknya sistem nilai kehidupan
masyarakat Aceh dalam pola kehidupan yang ril, manifestasi nilai keislaman
terwujud pada kesadaran pemerintah kerajaan mendirikan institusi negara yang
berdasarkan basis Hukum Islam. 55 Kenyataan ini, berdasarkan pembuktian
berdirinya beberapa kerajaan Islam dikemudian hari seperti kerajaan Perlak 56,
Lamuri,57 dan Kerajaan Islam Pasai.

53
Meunasah, suatu tempat yang biasa digunakan untuk beribadah sehari-hari,
belajar ilmu-ilmu agama dan bermusyawarah, diramaikan oleh aktivitas mereka. Teungku
Meunasah, ulama yang betanggung jawab di meunasah, adalah orang yang dimulyakan di
lingkungannya. Bersama dengan keuchik, Imum Mukim dan Ule>balang, mereka
mengaplikasikan gagasan untuk mengembangkan kemanusiaan. Hubungan mereka
dilingkupi oleh suatu kepaduan dalam bertindak. Lihat, Gazali, “Hubungan Umara Dan
Ulama Dalam Membentuk Kehidupan Sosio-Relijius Di Aceh Darussalam Masa Sultan
Iskandar Muda”, (The Relation of Umara and Ulama in Shaping Socio-Religious life in Aceh
Darussalam under Sultan Iskandar Muda‟s Period), Jurnal Penelitian Hukum DE JURE,
ISSN 1410-5632 Vol. 16 No. 2, Juni 2016 : 173 – 185, https://ejournal.balitbangham.go.id/i
ndex.php/dejure/articl e/vi ew/55/7. Diakses Tanggal 26 Februari 2020.
54
Selengkapnya mengenai struktur pemerintahan Kerajaan Aceh Darussalam, baca
A. Hasjmy, Kebudayaan Aceh dalam Sejarah, (Jakarta: Beuna, 1983), h. 67-87.
55
Gazali, “Hubungan Umara Dan Ulama Dalam Membentuk Kehidupan Sosio-
Relijius Di Aceh Darussalam Masa Sultan Iskandar Muda”, (The Relation of Umara and
Ulama in Shaping Socio-Religious life in Aceh Darussalam under Sultan Iskandar Muda‟s
Period), Jurnal Penelitian Hukum DE JURE, ISSN 1410-5632 Vol. 16 No. 2, Juni 2016 : 173
– 185, https://ejournal.balitbangham.go.id/i ndex.php/dejure/articl e/vi ew/55/7. Diakses
Tanggal 26 Februari 2020.
56
Menurut catatan sejarah, sebagaimana A. Hasjmy mengemukakan dalam bukunya
“Kebudayaan Aceh Dalam Sejarah” , sebelum Islam datang, negeri Pereulak telah lama
berdiri, dan raja-rajanya berasal dari turunan raja-raja Siam. Dalam masa kurang dari
setengah abad, dalam kerajaan Islam telah berdiri masyarakat Islam dengan anggota-
anggotanya yang terdiri dari turunan asli, turunan campuran, yaitu peranakan Arab, Persia,
dan Gujarat. Pada hari selasa tanggal 1 Muharram 222 H. (840 M) diproklamirkan berdirinya
kerajaan Peurelak, diangkatnya Sultan yang pertama Sayyid Maulana Abdul Aziz Syah,
dengan Ibu Kota Negara Bandar Peurelak, dirobah menjadi “Bandar Khali>fah”, perobahan
tersebut sebagai kenang-kenangan bagi Nakhoda Khali>fah. Selengkapnya lihat, A. Hasjmy,
Kebudayaan Aceh dalam Sejarah..., h. 45-47. Lihat juga, Mohammad Said, Aceh Sepanjang
Abad, Jilid I, (Medan: Harian Waspada, 2007), h. 69-110.
57
Kerajaan Lamuri yang terletak di lokasi Banda Aceh sekarang adalah salah satu
negeri yang tercantum pada prasasti Tanjore, di India Selatan. Ada beberapa ejaan tentang
nama Lamuri. Menurut versi Marco Polo, orang-orang Arab menggunakan istilah-istilah
Ramini, Ramni, Lamuri, atau Lameri. Istilah Lamuri juga terdapat dalam istilah buku sejarah
Melayu. Orang-orang Tiong Hoa menyebutnya Lan-Li, Lan-Wuli, dan Nan Poli.
Berdasarkan catatan Arab Ibn Khurdadhbeh, yang meninggal tahun 885 M., menyebut nama
Rami (artinya, di situ terdapat binatang Badak), letaknya lewat Sailan, penghasil kemenyan,

41
Menurut A. Hasjmy58, hampir semua ahli sejarah beresepakat bahwa daerah
yang mula-mula masuknya Islam adalah di Aceh. Berkenaan dengan waktu
kepastian kapan Islam masuk, pada poin inilah terdapat perbedaan pendapat para
ahli. Sejak zaman pemerintahan Kerajaan Peurelak dan Samudra/Pase sampai ke
zaman kerajaan Aceh Darussalam, hubungan dengan negara-negara tetangga dan
negara-negara asing lainnya telah terjadi, yang berarti bahwa kerajaan-kerajaan di
Aceh itu telah menjalankan politik luar negeri. Sejak berdirinya Kerajaan Peurelak
telah terjadi hubungan luar negeri dengan beberapa negara seperti negara Parsia,
Gujarat (India Melaka). Begitu juga dengan Kerajaan Islam Samudra/Pase,
hubungan luar negeri dengan negara lain sudah terjadi semenjak hari jadinya, antara
lain dengan negeri-negeri Arab, Parsia, India (Gujarat), Kerajaan-Kerajaan di
Semenanjung Malaya, Kerajaan- Kerajaan di Jawa, Cina, dan negara-negara
lainnya.59 Berdasarkan telaah hubungan luar negeri dengan negara-negara Islam
dunia sebagai bukti bahwa, hubungan Aceh dan Islam sudah terjadi semenjak awal
Kerajaan Aceh berdiri.
Masyarakat Aceh dikenal karena ketaatan pada agama dan menjunjung
tinggi budaya dan adat istiadat. 60 Pengaruh ajaran Islam di Nusantara, proses
islamisasinya dimulai sejak abad ke 13 M. Terdapat perbedaaan pendapat kapan
mulanya Islam masuk ke Nusantara. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Leur
Islam ke bagian Barat Sumatra, Leur menyebutkan istilah ―wider influence‖ dalam
pengertian pengaruh lebih luas Islam baru berkembang pada abad ke 14 M.,yang
dipengaruhi oleh masuknya orang-orang Arab dan Parsi.61
Tercatat dalam sejarah bahwa, dalam rentang waktu sejak abad ke-17
sampai dengan pertengahan abad ke-19 Nanggroe Aceh Darussalam mencapai
kejayaannya dalam bidang ilmu pengetahuan, politik, hukum, pertahanan, dan
ekonomi. Puncak keemasan Nanggroe Aceh Darussalam tersebut tidak dapat
dilepaskan dari pemberlakuan Syariat Islam sebagai pedoman hidup rakyat

buah kelapa, gula, beras, dan kayu cendana. Lamuri merupakan kerajaan yang sudah ada
sejak abad ke 9. Dalam catatan Ibnu Batutah, Lamuri sudah ada setengah abad setelah
Macopolo. Dua abad kemudian nama Lamuri disebut dalam catatan perjalanan Marcopolo.
Memerhatikan beberapa nama kota yang disebutnya, cukup alasan mempercayai bahwa,
Marcopolo sudah berkunjung ke Sumatra, dia menyebutnya dengan Lamuri: Lambri.
Selanjutnya baca, Mohammad Said, Aceh Sepanjang Abad..., h. 103-108. Lihat juga, A.
Hasjmy, Sejarah Kebudayaan Islam di Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), h. 7-8.
58
A. Hasjmy, Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, (Bandung:
Al-Ma„arif, 1993), h. 38.
59
A. Hasjmy, Kebudayaan Aceh dalam Sejarah..., h. 100-101.
60
Muhammad Arifin and Khadijah Binti Mohd Khambali Hambali, “Islam Dan
Akulturasi Budaya Lokal Di Aceh (Studi Terhadap Ritual Rah Ulei Di Kuburan Dalam
Masyarakat Pidie Aceh),” Jurnal Ilmiah Islam Futura, Vol. 15, No. 2 (1 Februari 2016): 251,
http://jurnal.ar-raniry.ac.id/index.php/islamfutura/article/view/545. Diakses Tanggal 26
Februari 2020.
61
Sejarah panjang kapan awal mula Islam masuk ke Indonesia, kususnya Aceh,
selengkapnya lihat, Mohammad Said, Aceh Sepanjang Abad, Jilid I, (Medan: Harian
Waspada, 2007), h. 45-68.

42
Nanggroe Aceh Darussalam dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara.62
Pelaksanaan hukum berdasarkan syariat Islam bagi masyarakat Aceh, dalam
proses pelaksanaannya, di format dalam bentuk ungkapan majas, yang mana dalam
tradisi dakwah sering dirangkum dalam kalimat bersajak, atau dalam bahasa Aceh
lebih dikenal dengan ungkapan ―Hadeh Maja”, formulasi ini menjadi filsafat hidup
bagi masyarakat Aceh untuk mempererat pemahaman dan pengalaman dalam rangka
penegakan hukum pada masyarakat sosial. Sebagaimana Rusydi Ali Muhammad
merangkumnya, dengan ungkapan.―Adat bak Poteu Meurehom, Hukom bak Syiah
Ulama, Kanun bak Putrou Phang, Reusam bak Lakseumana, Hukom ngon Adat,
Lage Zat ngon Sifeut‖.63.
Seluruh ungkapan tersebut menjadi cerminan bahwa, syariat Islam telah
menyatu dan menjadi pedoman hidup bagi masyarakat Aceh melalui tangan Para
Ulama, sebagai pewaris Para Rasul. Falsafah tersebut dalam pandangan masyarakat
Aceh, dewasa ini masih dapat diartikulasikan dalam perspektif kontemporer
kehidupan bernegara dan mengatur pemerintahan yang demokratis dan bertanggung
jawab. Tatanan kehidupan yang demikian itu masih mungkin untuk dilestarikan
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan demikian pelaksanaan syariat
Islam di Aceh merupakan refleksi dari kesinambungan proses sejarah masa lalu, di
mana generasi saat ini mendambakan kemapanan hukum Islam pada masa kini
seperti sediakala. 64
Memahami makna filosofis Hadeh Maja di atas, dalam pelaksaannya A.
Hasjmy mengutarakan, secara politis dalam Kerajaan Aceh Darussalam telah
digariskan pembagian kekuasaan secara rinci. Pertama, Sultan Malikul Adil sebagai
Kepala Negara adalah pemegang kekuasaan eksekutif.65 Hukum adat merupakan
hukum pemerintahan, yang mana pelaksanaannya dijalankan oleh raja.66 Kedua,
Qadhi Malikul Adil (ulama) sebagai Ketua Mahkamah Agung, merupakan

62
Rusjdi Ali Muhammad, Revitalisasi Syariat Islam di Aceh: Problem Sosial dan
Implementasinya Menuju Pelaksanaa Hukum Islam di Nanggroe Aceh Darussalam, (Banda
Aceh: Logos Wacana Ilmu, 2003), h. xxvi.
63
Otoritas hukum dan pelaksanaan hukum adat berada di tangan sultan, wewenang
hukum keagamaan dipegang oleh ulama (Syiah), etika dan moral dalam pergaulan dan
komunikasi diatur oleh putri Pahang, peraturan dan hukum peperangan dan yang sejenis
dengannya diatur oleh sang panglima “Lakseumana”. Sementara menyangkut dengan hukum
dan adat menyatu dalam satu wujut interval, bagaikan zat dengan sifat.
64
Rusjdi Ali Muhammad, Revitalisasi Syariat Islam di Aceh: Problem Sosial dan
Implementasinya Menuju Pelaksanaa Hukum Islam di Nanggroe Aceh Darussalam..., h. Xvi-
xvii.
65
Negara berbentuk kerajaan, di mana Kepala negara bergelar sultan yang diangkat
secara turun temurun, dalam keadaan dari turunan tertentu, tidak ada yang memenuhi syarat-
syarat, maka boleh diangkat dari yang bukan turunan raja. Lihat, A. Hasjmy, Kebudayaan
Aceh dalam Sejarah..., h. 77. Lebih lanjut lihat, A. Hasjmy, Di Mana Letaknya Negara
Islam..., h. 235-236.
66
Kekuasaan politik adalah kekuasaan adat, yang mana kekuasaan ini, dipegang
oleh sultan sebagai Kepala Pemerintahan. Oleh karena sultan yang menciptkan sistem ini,
maka dinisbatkan kepadanya dengan sebutan “Poteu Meurehom”.

43
pemegang kekuasaan hukum (yudikatif)67. Ketiga, undang-undang kekuasaan negara
berada di tangan rakyat, kekuasaan dalam bidang legislatif ini dipegang oleh Putrou
Phang.68 Keempat, posisi keamanan negara, dipegang oleh laksamana, ketika
terjadinya kekacauan dalam negara seperti peperangan, maka hak penuh
pengendalian ada di tangan Panglima Besar Angkatan Perang, sebagaimana lakab
ini pernah ditabuhkan kepada Laksaman Malahayati, atau disebut juga dengan
Mentri Peperangan “wazi>r al-Harb‛.69
Memahami makna dari struktur falsafah kekuasaan politik yang terbagi
dalam beberapa bagian, sebagaimana telah disebutkan di atas, sistem
pelaksanaannya tidak boleh terlepas dari hubungan yang saling mempengaruhi
antara keberadaan adat dan hukum. Dalam bahasa Hadih Maja “hukom ngon adat,
lage zat ngon sifet”. Memaknai hubungan keduanya menurut A. Hasjmy,
keberadaan adat dan hukum benar-benar saling mempengaruhi dan tidak boleh
terpisahkan, atau berjalan pincang. Sehingga antara pelaksanaan kekuasaan adat atau
politik, dengan penegakan hukum berjalan beriringan seperti halnya zat dan sifat.
A. Hasjmy melanjutkan keberadaan keduanya dapat dipahami melalui
beberapa hal. Pertama, setiap aspek kehidupan yang dijalankan oleh negara dalam
membangun masyarakat sosial, haruslah bersendikan nilai keislaman. Kedua,
perspektif politik masyarakat Aceh dalam membangun sistem kekuasaan negara
dengan nilai-nilai keislaman sudah seperti batang tubuh yang satu. Ketiga, sifat
saling membantu telah menjadi tabiat hidup masyarakat Aceh, sistem bergotong-
royong adalah tata nilai yang kuat dalam Islam yang menjadi landasan berpijak
Kerajaan Aceh Darussalam. Oleh karena itulah, sistem perundangan semenjak
berdirinya Kerajaan Aceh Darussalam adalah hukum Islam yang bersumber pada
Alquran, Hadis, Ijma„, dan Qias. Dengan demikian, sintesis dari ungkapan Hadeh
Maja tersebut menjadi penuntun dan dasar semangat Kerajaan Aceh Darussalam
dalam membangun masyarakatnya terpenetrasi dalam bentuk adat 70, budaya, seni,

67
Orang-orang kedua dalam kerajaan, yaitu Qadhi Malikul Adil, dengan empat
orang pembantunya yang bergelar sebagai “Mufti Empat”, yang bertugas membantu Qadhi
Malikul Adil dalam mengeluarkan fatwa, yang masing-masingnya bermazhab Syafe‟i,
Mazhab Maliki, Mazhab Hanafi, dan Mazhab Hambali, yang bekerja kusus membantu Qadhi
Malikul Adil, dalam masalah keagamaan ditetapkan seorang ulama besar yang bergelar
Syaikul Islam. Lihat, A. Hasjmy, Kebudayaan Aceh dalam Sejarah..., h. 77.
68
Kekuasaan legislatif yang melahirkan undang-undang kenegaraan dinisbatkan
kepada Putroe Phang, dan sekaligus yang telah menginisiasikan terbentuknya Majelis
Permusyawaratan Rakyat, yang diberi nama dengan Balai Majelis Mahkamah Musyawarah
Rakyat.
69
A. Hasjmy, Kebudayaan Aceh dalam Sejarah..., h. 4.
70
Masyarakat Aceh kaya dengan adat istiadatnya, kesenian, dan tari-tarian. Setiap
kabupaten mempunyai perbedaan serta varian masing-masing. Hal tersebut, dapat dilihat
pada upacara-upacara adat seperti upacara perkawinan, sunatan, kenduri adat persawahan,
kenduri hari-hari besar keagamaan seperti maulid, Israk Mi„raj, Nuzul Qura„an, Keunduri
Kematian, turun ke sawah, turun laut, dan lain sebagainya. Bentuk budaya juga dapat dilihat
dari ornamen/kaligrafi, rumah-rumah adat, bale, dayah, meunasah, rangkang, dengan
kesenian dala>il khaira>t, zikir, barzanji, nasyi>d/rebana. Sementara motif-motif adat lain dapat
dilihat pada perhiasan emas, perak, keramik, dan ukir-ukiran pada berbagai ornamen,

44
dan juga menjadi sumber cita dan cinta. Sehingga itulah Menurut A. Hasjmy Aceh
menjadi wilayah yang disebut dengan “Seuramo Mekah”.71

2. Basis Sosial Politik


A. Hasjmy sebagai tokoh yang dilahirkan dan dibesarkan dalam kondisi
masyarakat yang sedang bergejolak, terutama sekali dibidang politik. Aceh
merupakan wilayah yang sedang menghadapi masa perang dan era kemerdekaan
disaat A. Hasjmy lahir, tumbuh, dan berkembang. Hal ini seiring dengan apa yang
diungkapkan oleh Ibnu Khaldun,72 “iklim dapat mempengaruhi karakter seseorang”.
Kenyataan sosial ke-Acehan sangat mempengaruhi pola pikir A. Hasjmy dalam
berbagai ranah. Baik ranah kepribadian, keluarga, agama, sosial, dan pemikiran
politik. Gejolak politik yang dihadapi oleh A. Hasjmy sangat mempengaruhi rekam
jejaknya, sudut pandang, pemikiran, dan gerakan intelektualnya yang kemudian
dituangkan dalam karya-karyanya. Berdasarkan sudut pandang yang lahir dari
proses gejolak sosial tersebut A. Hasjmy mencoba merespon dengan sangat berani,
kritis, dan responsif terhadap gejala sosial yang sedang dihadapi oleh umat.
Responsif A. Hasjmy terhadap fenomena tersebut, tertuang dalam banyak karyanya,
dan tidak mengherankan pada akhirnya, jika A. Hasjmy merupakan penulis yang
sangat produktif di eranya. Karya-karyanya, seperti yang sudah disinggung pada
awal pembahasan yang meliputi berbagai disiplin ilmu, terutama sekali di bidang
Politik Islam dan ketatanegaraan, yang tertuang dalam bukunya Di Mana Letaknya
Negara Islam.
Lingkungkan sosial yang mengitari kehidupan A. Hasjmy sangat
mempengaruhi pola pemikirannya, proses yang membentuk kepribadian, karakter
sangat dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan, organisasi pergerakan yang
pernah diikutinya, yang mana pergerakan tersebut dapat mempengaruhi dan
menjadikan lebih matang dalam memahami dunia politik. Demikian juga peranan A.
Hasjmy sebagai birokrat dalam tiga zaman telah membawanya pada kesadaran yang
tinggi akan pentingnya dedikasi kepada umat, agama dan negara. Tidak cukup
dengan itu, A. Hasjmy juga berkiprah sebagai guru atau dosen di beberapa madrasah
dan perguruan tinggi, semuanya menyemangati dirinya untuk menyelami kedalaman
Ilmu Pengetahuan. Nilai-nilai kesejarahan sejak kecil telah membangkitkan
semangat heroik dalam jiwa raganya. 73

termasuk pada batu nisan Aceh, ruang pelaminan dan aneka pakaian adat. Lihat,
Badruzzaman Isma„il, Masjid dan Adat Meunasah Sebagai Sumber Energi Budaya Aceh,
(Banda Aceh: Majelis Pendidikan Daerah, 2002), h. 69. Dalam Hasan Basri, Melampaui
Islam Substantif: Biografi Politik A. Hasjmy..., h. 40-41.
71
A. Hasjmy, Peranan Islam dalam Perang Aceh dan Perjuangan Kemerdekaan
Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), h. 10-11.
72
Samsinas, “Ibnu Khaldun: Kajian Tokoh Sejarah Dan Ilmu-Ilmu Sosial,”
HUNAFA: Jurnal Studia Islamika, Vol. 6, No. 3, (December 15, 2009): 329, http://jurnalhu
nafa.org/index.php/hunafa/article/view/143. Diakses Tanggal 24 Februari 2020. Selengkap-
nya bacanya, ‚Abd-al-Rah}ma>n ibnu Khaldun, Muqaddimah ibnu Khaldun, (al-Qa>hirah: Da>r
al-Fajr li al-Tura>ts, 2004).
73
Roeslan Abdulgani, menceritakan tentang A. Hasjmy, “lingkungan alam, serta
sosial Aceh yang penuh dengan sejarah kepahlawanan dalam melawan penjajahan Belanda

45
Hikayat Perang fi> sabilillah yang diterjemahkan secara realistis kepada
Perang Aceh membuat pikiran A. Hasjmy begitu terpengaruh, hingga menimbulkan
hasrat untuk selalu membacanya. Tidak hanya hikayat Perang Sabi saja, buku-buku
roman, buku-buku sejarah dan kebudayaan74 Aceh, dan juga kebudayaan Islam.75
Yang kelak mengambil tempat dalam perjuangan pergerakan kemerdekaan. 76
Bahkan akhirnya membentuk postulasi pemikiranya tentang kenegaraan dalam
Islam. Karena nilai-nilai kebudayaan ini telah tertananam dan mengambil tempat
dalam hati A. Hasjmy, sehingga ketika ia melanjutkan studinya di Ja>mi‘ah al-
Isla>miyyah di Sumatra Barat, ia cenderung memilih jurusan Tsaqa>fah Isla>miyyah
(kebudayaan Islam). Kemudian, pada kenyataannya ia tertarik pada kebudayaan
Aceh.77

nampak jelas dalam jiwa keislamannya dan semangat nasionalismenya. Akhirnya faktor
didaktisme yang sangat menarik sekali, yaitu suka membaca, gemar membanding, halus
dalam mengutarakan pikiran dan perasaannya, baik secara lisan maupun tulisan, baik dalam
bentuk novel maupun dalam bentuk sajak dan puisi. Semua isi mengandung getaran dalam
jiwanya, terdapat dambaan idealismenya, dan juga terdapat pesan religiusnya. Lihat,
Roeslan Abdulgani, “Prof. A. Hasjmy Sebagai Pembangun Jembatan Kepercayaan Pusat dan
Daerah”. Dalam Badruzzaman Ismail, at al. (ed), Delapan Puluh Tahun Melalui Jalan Raya
Dunia: A. Hasjmy Aset Sejarah Masa Kini dan Masa Depan. Sebagaimana dikutip oleh
Hasan Basri dalam bukunya, Melampaui Islam Substantif: Biografi Politik Ali Hasjmy..,
h.119.
74
Kebudayaan di sini, menurut A. Hasjmy merupakan sesuatu yang menjelma dari
serba kebutuhan manusia, yang dihasilkan dari manifestasi akal budi dan hati nurani
manusia, sehingga dengan demikian kebudayaan meliputi tiga penjelamaan yaitu,
penjelmaan akal, penjelmaan rasa, dan penjelamaan cita. Lihat, A. Hasjmy, Kebudayaan
Aceh dalam Sejarah, (Jakarta: Beuna, 1983), h. 55.
75
Menurut A. Hasjmy, kebudayaan Islam bersumber pada orang-orang Islam,
sehingga defenisinya berbunyi, kebudayaan Islam adalah penjelamaan iman dan amal saleh
seorang Muslim, atau segolongan kaum Muslimin. Defenisi ini, menurut A. Hasjmy,
berlandaskan pada Alquran surat Azzumar ayat 56, yang artinya “Jin dan manusia semata-
mata Kujadikan untuk beribadah kepadaku”. Pada surat At-Tin ayat 4-6, yang artinya
”Sesungguhnya manusia telah kami jadikan dalam bentuk yang maha indah; kemudian kami
lemparkan kembali ke dalam kawah yang sangat hina; kecuali mereka yang beriman dan
beramal salih; untuk mereka tersedia pahala berganda‟‟. Lihat, A. Hasjmy, Kebudayaan
Aceh dalam Sejarah..., h. 36.
76
Sayed Mudhahar Ahmad, “A. Hasjmy: Antara Teungku Chik Di tiro dan Teung
ku Daud Beureueh”. Dalam Badruzzaman Ismail, at al. (ed), Delapan Puluh Tahun Melalui
Jalan Raya Dunia: A. Hasjmy Aset Sejarah Masa Kini dan Masa Depan. Sebagaimana
dikutip oleh Hasan Basri dalam bukunya, Melampaui Islam Substantif: Biografi Politik Ali
Hasjmy.., h.119.
77
Ketertarikan A. Hasjmy tentang kebudayaan Aceh dibuktikannya dengan menyu
sun sebuah buku dengan “Kebudayaan Aceh Dalam Sejarah”, risalah ini selesai disusun oleh
A. Hasmy, menjelang berlangsungnya Pekan Kebudayaan Aceh kedua, yang dilaksanakan
pada tanggal 20 Agustus s/d 2 September 1972, sebagaimana anggapannya bahwa, usaha
Pemerintah Daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh mengadakan Pekan Kebudayaan Aceh
kedua, dan usaha A. Hasjmy menyusun risalah tersebut bertujuan sama, yaiitu
mengetengahkan kembali Kebudayaan Aceh dalam rangka membina Kebudayaan Indonesia
yang lengkap dan menyeluruh. Lihat, A. Hasjmy, Kebudayaan Aceh dalam Sejarah..., h, 14.

46
Aspek yang lebih dominan dari unsur budaya tersebut terdapat pada dimensi
sastra dan tradisi kerajaan. Dalam budaya sastra, Aceh telah mengadopsi bahasa
Melayu sebagai bahasa resmi kerajaan. Aceh dalam hal ini, tidak hanya telah secara
sukses mempertahankan bahasa Melayu sebagai lingua franca di Nusantara, akan
tetapi yang terlebih penting bahwa, Aceh telah berhasil membawa bahasa ini sebagai
bahasa intelektual Islam. Aceh seketika itu menjadi pusat kajian Islam yang
menghasilkan berbagai karya keislaman dalam bahasa Melayu. Di samping
berkembangnya kesustraan Melayu di kerajaan ini secara signifikan. Hal ini, juga
terlihat dalam budaya dan tradisi kerajaan. 78
Kebudayaan Aceh tidak bisa dilepaskan dari sejarah kebudayaan Islam itu
sendiri, hal ini tercermin dari filosofi yang berkembang bahwa, keberadaan kedua
budaya tersebut saling memperkuat dan saling mempengaruhi, 79 “Adat ngon hukom
Lage zat ngon sifet” (adat, hukum, zat, dan sifat). 80 Lebih kusus A. Hasjmy
menyimpulkan bahwa, salah satu segi kebudayaan Islam yaitu masalah yang
berhubungan dengan ketatanegaraan Islam pada umumnya, dan ketatanegaraan
Islam pada kususnya. 81 Dalam membangun pemikirannya yang berazaskan
kebudayaan Islam, A. Hasjmyi tidak hanya sekedar mengajarkan secara teoritis saja,
lebih daripada itu A. Hasjmy mencoba untuk memahami dan menganalisis beberapa
praktek kenegaraan di masa lampau dalam sejarah Islam. Praktek kenegaraan ini,
ditelusuri sejak dari masa Nabi Muhammad saw., yang mulai membangun Negara
Madinah, kemudian dilanjutkan oleh al-Khulafa> al-Rasyidu>n sampai pada jatuh
bangunnya negara Islam di segala bidang.82
Pandangan ini, telah disampaikan oleh A. Hasjmy ketika memberikan kuliah
kebudayaan pada tahun 1966 dibeberapa fakultas di kampus Perguruan Tinggi
Darussalam Banda Aceh. Salah satu segi dari kebudayaan Islam, yaitu masalah yang
berhubungan dengan ketatanegaraan, di samping masalah ekonomi, sosial,

78
Amirul Hadi, Aceh: Sejarah, Budaya dan Tradisi..., h. 167.
79
Sri Waryanti, “Makna Rencong Bagi Ureueng Aceh,” Patanjala : Jurnal Peneli
tian Sejarah dan Budaya, Vol. 5, No. 3 (August 4, 2017): 403, http://ejurnalpatanjala. kemdi
kbud.go.id/patanjala/index.php/patanjala/article/view/86. Diakses Tanggal 24 Februari 2020.
80
Sangat percaya diri, A. Hasjmy menafsirkan filosofi kehidupan Aceh sebagai
filsafat politik, adat menurut A. Hasjmy adalah politik, kekuasaan politik ada di tangan
sultan (yang dimaksud di sini adalah Po teu Meureuhom, sistem kerajaan oleh A. Hasjmy
dianggap relevan dengan sistem republik, wilayah kesultanan dianggap sebagai wilayah
eksekutif. Lihat, Arief Muammar, Amroeni Drajat, and Katimin Katimin, “The Relevance of
Ali Hasjmy‟s Thoughts on Islamic Country of Islamic Sharia Implementation in Aceh,”
Budapest International Research and Critics Institute (BIRCI-Journal) : Humanities and
Social Science s, Vol. 2, No. 2 (May 14, 2019): 228–240, http://bircu-journal.com/index.php/
birci/a rt icle/vi ew/255. Diakses Tanggal 25 Februari 2020.
81
A. Hasjmy, “K. H. Imam Zarkasyi Ibarat Laut Tenang, Tetapi dalam”. Dalam
Amir Hamzah Wiryo Sukarto et. all. (ed), Autobiografi K. H. Imam Zarkasyi Di Mata
Ummat. Sebagaimana dikutip oleh Hasan Basri dalam bukunya, Melampaui Islam
Substantif: Biografi Politik Ali Hasjmy.., h.120.
82
Hasan Basri, Melampaui Islam Substantif: Biografi Politik Ali Hasjmy.., h.120.

47
pendidikan ilmu pengetahuan, dan kesenian dalam Islam. 83 A. Hasjmy memandang,
jika membahas masalah Kebudayaan Islam, berarti membahas alam pikiran Islam,
alam perasaan Islam, dan alam cita Islam, yang meliputi bidang-bidang politik,
ekonomi dan sosial. Oleh sebab itu, memberi ceramah atau kuliah tentang
kebudayaan Islam, berarti mengajar dasar-dasar Negara Islam,84 yang meliputi
politik, ekonomi, dan sosial. Dengan demikian juga membahas kehidupan politik
Islam, kehidupan ekonomi Islam, dan kehidupan sosial keislaman. 85
Keterkaitan dengan pendekatan sejarah dan kebudayaan, A. Hasjmy melihat
dengan hadirnya Islam ke dunia ini, tidak lain dan tidak bukan untuk memperbaiki
akidah manusia. Apabila hubungan manusia dengan Tuhan rusak maka, rusaklah
masyarakat yang menghubungkan antara manusia dengan manusia. Di sini, jelas
menurut A. Hasjmy bahwa, kedatangan Islam untuk mempertegas semangat tauhid
yang disampaikan dan diwariskan dari Para Rasul sampai kepada Rasul terakhir.86
Maka dalam hal ini, tujuan tauhid adalah untuk meng-Esakan Tuhan serta
mempersatukan manusia. 87 Islam membawa pesan universal yang abadi, yakni:
keadilan, persamaan, penghargaan, dan kemanusiaan. Pesan universal inilah yang
sebenarnya Sunnah Nabi yang suci. Namun problem terkini umat manusia begitu
variatif, dengan semakin majunya informasi dan teknologi. Problem tersebut bisa
menjadi positif jika semua orang benar-benar memahami pesan universal kenabian
dengan selalu memihak kepada sosial-kemanusiaan. Urusan kemanusiaan adalah
urusan bersama tanpa memandang kepentingan apapun, baik agama, politik, budaya,
bahkan pengetahuan. Jika tidak adanya keharmonisan dan kesepahaman antara
konsep kemanusiaan dalam bingkai keagamaan atau tauhid, maka pemahaman
tentang kemanusiaan haruslah dibebaskan dari segala bentuk kepentingan identitas. 88
Menurut A. Hasjmy atas dasar tauhidlah Islam membangun negara. Ada dua
unsur yang melekat di dalamnya, serta menjadi dasar utama berdirinya negara.
83
Baca A. Hasjmy, Sejarah Kebudayaan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975). Dan
baca juga, A. Hasjmy, Kebudayaan Aceh dalam Sejarah, (Jakarta: Beuna, 1983).
Bandingkan dengan, A. Hasjmy, Sejarah Kebudayaan Islam di Indonesia, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1990).
84
Menyangkut dengan konsep negara Islam A. Hasjmy menurut Farid Wajdi,
pemikiran A. Hasjmy tentang Negara Islam, baik dalam bentuk buku, artikel dan ceramah
sangat jelas. Aturan teknisnya juga jelas. Lihat, Arief Muammar, Amroeni Drajat, and
Katimin Katimin, “The Relevance of Ali Hasjmy‟s Thoughts on Islamic Country of Islamic
Sharia Implementation in Aceh,” Budapest International Research and Critics Institute
(BIRCI-Journal) : Humanities and Social Sciences 2, no. 2 (May 14, 2019): 228–240,
http://bircu-journal.com/index.php/birci/a rticle/view/255. Diakses Tanggal 25 Februari 2020
85
A. Hasjmy, Di mana Letaknya Negara Islam, (Surabaya: Bina Ilmu 1984), h. 7.
86
Hasan Basri, Melampaui Islam Substantif: Biografi Politik Ali Hasjmy.., h.120.
87
Susani Triwahyuningsih, “Perlindungan Dan Penegakan Hak Asasi Manusia (Ha
m) Di Indonesia,” Legal Standing : Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 2, No. 2 (October 23, 2018):
113, http://journal.umpo.ac.id/index.php/LS/article/view/1242. Diakses Tanggal 25 Februari
2020.
88
Febri Hijroh Mukhis, “International Human Right and Islamic Law: Sebuah
Upaya Menuntaskan Wacana-Wacana Kemanusiaan,” Muslim Heritage, Vol. 2, No. 1
(Augus t 16, 2017):1,http://jurnal.stainponorogo.ac.id/index.php/muslimheritage/article/view
/1043. Diakses tanggal 25 Februari 2020.

48
Pertama, menurut A. Hasjmy berdirinya negara atas dasar tauhid (pengesaan Allah)
dan Kedua, atas dasar ukhuwah Islamiyah.89 Berdasarkan persamaan tersebut,
berdiri sebuah negara bukanlah tujuan akhir, melainkan hanya sebagai sarana saja
untuk mencapai tujuan ideal dari politik Islam itu sediri, menyangkut dengan
keadilan, kesetaraan, serta kemakmuran bagi umat manusia. 90 A. Hasjmy melihat,
Islam melebihi ideologi manapun di dunia ini, A. Hasjmy tidak memandang bahwa
Islam setara dengan ideologi sebuah negara, suatu ideologi yang sesuai dengan
agama adalah bagian dari Islam itu sendiri. Islamlah yang seharusnya menjadi
sumber ideologi, bukan menyetarakan agama dengan ideologi.
Berdasarkan kajian sosial politik, pemikiran politik A. Hasjmy, sebagai
mana diungkapkan oleh Hasan Basri dalam bukunya yang berjudul Melampaui
Islam Substantif: Biografi Politik Ali Hasjmy,91 dalam mengemukakan gagasannya
tentang pemikiran politik Islam, A. Hasjmy tidak sepenuhnya terpengaruh dengan
praktek atau peran politik yang sedang digelutinya. Lingkungan intelektual A.
Hasjmy diawali dari kegemarannya membaca, berbagai literatur dalam berbagai
bidang disiplin ilmu, serta peran sosial politik yang dimainkannya. Hal ini, telah
mengantarkan A. Hasjmy kepada pengembaraan intelektual ke alam Pemikiran
Islam dalam hubungannya dengan sejarah dan kebudayaan. Pengembaraan
intelektual ini, kemudiian membentuk pandangan dunia (world view) A. Hasjmy
dalam melihat dasar-dasar negara dalam Islam.92

3. Literatur Pemikiran Poiltik


Berdasarkan tinjauan literatur pada umumnya tulisan A. Hasjmy jarang
mencantumkan tempat penerbit, serta tempat penerbitan dari buku-buku yang
menjadi rujukannya, kadang-kadang A. Hasjmy hanya menyebutkan buku dan
lamannya saja, bahkan terdapat kutipan yang panjang tidak disertai catatan kaki
yang jelas. Berdasarkan kenyataan tersebut terdapat kelamahan dari karya tulis A.
Hasjmy. Menakar geneologi pemikiran A. Hasjmy dapat ditelusuri berdasarkan
literatur yang menjadi rujukannya, tentunya ide pemikiran dari pengarang-
pengarang buku tersebut ikut mempengaruhi basic pemikiran A. Hasjmy. Di
samping membangun argumentasi pemikiran berdasarkan pengaruh pemikiran
tokoh-tokoh yang menjadi rujukannya, pemikiran politik A. Hasjmy juga
dipengaruhi oleh kenyataan sejarah Aceh pada kerajaan masa lampau.
Ketika A. Hasjmy membahas mengenai syarat-syarat tentang Kepala
Negara, A. Hasjmy merujuk pada karya Abu Hasan al-Mawardi “al-Ah}ka>mus

89
Dua unsur tersebut, menurut A. Hasjmy sebagaimana Firman Allah swt., di dalam
Alquran. Q. S. Ali-Imran/003: 103-104.
90
Nurrohman Syarif, “Syariat Islam Dalam Perspektif Negara Hukum Berdasar
Pancasila,” Pandecta: Research Law Journal, No. 2, Vol. 1, (2017): 160-173, https://journal.
unnes.ac.id/nju/index.php/pandecta/article/view/7829. Diakses Tanggal 25 Februari 2020.
91
Buku ini, pada mulanya adalah sebuah disertasi yang ditulis oleh Hasan Basri,
sebagai tugas akhir dalam menyelesaikan studi doktoralnya, pada Sekolah Pascasarjana di
Universitas Islam negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, dengan judul lengkapnya, A.
Hasjmy (1914-1998): Kajian Sosial-Intelektual dan Pemikiranny tentang Politik Islam, pada
tahun 2008.
92
Hasan Basri, Melampaui Islam Substantif: Biografi Politik Ali Hasjmy.., h.120.

49
Sult}aniyah‛, ketika membahas masalah persamaan sosial dan keadilan, A. Hasjmy
merujuk pada Karya Sayyid Qutb ‚al-‘Adalah al-Ijtima‘iyah fi Islam‛, Mah}mud
Syalt}ut ‚al-Isla>m ‘Aqidah wa syari‘ah‛, dan Tjokroaminoto sebagai referensinya.
Kajian yang menyangkut tentang pentingnya Khilafah dalam Islam A. Hasjmy
merujuk pada karya Muh}ammad Rasyid Ridha> ‚al-Khila>fah‛, mengenai dasar
negara Islam A. Hasjmy mengutip karya Muh}ammad ‘Izzah Duruzah dalam
bukunya ‚ad-Dustur Alqurani fi Shu‘unil H>}ayah, kajian tentang prinsip negara dan
pertahanan keamanan negara A. Hasjmy mengacu pada karya Majid Khadduri
dalam bukunya ‚War and Peace in The Law of Islam‛, mengenahi urgensi negara
dalam Islam beserta argumentasinya A. Hasjmy lebih banyak dipengaruhi oleh
pemikiran Ibnu Khaldu>n dalam karyanya Muqaddimah Ibnu Khaldu>n.
Berdasarkan literartur tersebut A. Hasjmy mengemukakan dan membangun
argumentasinya tentang politik Islam, yang mana kadangkala A. Hasjmy
menyetujui pandangan para pemikir politik Islam tersebut, dan tidak jarang kadang
kala berbeda pendapat dengan mereka.93 Terutama sekali menyangkut dengan
konsep kepemimpinan perempuan A. Hasjmy lebih cenderung menyetujuinya
dengan alasan persamaan derajat manusia, dan juga membangun argumentasi
pemikirannya berdasarkan konteks politik masa kerajaan Aceh yang pernah
dipimpin oleh para ratu. Mengenai konsep kepemimpinan perempuan akan dibahas
dalam sub bab kusus pada bab berikutnya.
Sisi lain yang melatarbelakangi pemikiran Politik A. Hasjmy adalah
berdasarkan pijakan ilmu pengetahuan kebudayaan, serta konteks sejarah cukup
menjadi pengaruh terhadap pikiran dan tindakannya. Pada peristiwa Aceh bergolak,
sebagaimana diungkapkan oleh Ainal Mardhiah Ali menggambarkan bahwa, A.
Hasjmy adalah sosok yang meneladani beberapa sahabat Rasulullah seperti „Abdur
Rah}man ibnu „Auf, Ibn „Abbas, dan Ammar ibn Yassir, ketika „Ali> ibn Tha>lib
bersengketa dengan Mu„awiyah ibnu Abi> Sufya>n, mereka menyuruh umat untuk
tidak melibatkan diri, mereka yakin bahwa setiap sengketa tidak mungkin
diselesaikan dengan senjata, akan tetapi harus dengan musyawarah.94
Berdasarkan kisah tersebut untuk meredam konflik pada saat Aceh
melakukan pemberontakan, A. Hasjmy sebagai sosok yang berjiwa sastra dan
berfikir bijak, ditunjuk sebagai penengah dalam menangani kedua kelompok yang
sedang bertikai. Dengan sekuat tenaga A. Hasjmy mencoba untuk menjembatani
antara pihak Darul Islam Aceh dengan pemerintah pusat. Usaha A. Hasjmy tidaklah
sia-sia, dan terbukti pada akhirnya Pemerintah Pusat dapat membaca secara positif
buah pikirannya. Akhirnya A. Hasjmy diangkat menjadi gubernur Aceh pada tahun
1957. Sebenarnya berat bagi A. Hasjmy menerima tugas tersebut, sebab pada saat
itu Aceh sedang dalam kondisi Da>r al-H}arb dan ia harus berhadapan dengan para

93
Hasan Basri, A. Hasjmy (1914-1998): Kajian Sosial-Intelektual dan Pemikirann-
ya Tentang Politik Islam, (Disertasi Pada Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008), h. 102.
94
Ainal Mardhiah Ali, Az. Hasjmy Bapak Untuk Semua, dalam, Hasan Basri, A.
Hasjmy (1914-1998): Kajian Sosial-Intelektual dan Pemikirannya Tentang Politik Islam,
(Disertasi Pada Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,
2008), h. 98.

51
seniornya yang ‚membangkang‛, seperti Teungku Muhammad Daud Beureueh,
Hasan Ali, Hasan Saleh, Amir Husein al-Mujahid, Ayah Gani, dan yang lainnya,
namun karena tugas ini sangat mulia, untuk mengakiri pertumpahan darah, A.
Hasjmy menjalankannya dengan penuh antusias. 95
Buku utama dalam penulisan disertasi ini berjudul Di Mana Letaknya
Negara Islam. Sebuah buku “Ilmu Pengetahuan” yang membahas hukum
ketatanegaraan menurut ajaran Islam, yang meliputi dasar-dasar negara
Islam, sistem pemerintahan, ekonomi/keuangan, sosial/politik, dan sebagainya.
Buku ini ditulis oleh A. Hasjmy sebagaimana disampaikannya dalam bab
muqaddimah untuk menjawab persoalan kebudayaan dalam Islam terkait
dengan politik. Membahas masalah kebudayaan Islam berarti membahas alam
pikiran Islam, alam perasaan Islam, alam cita Islam. Sebelum buku ini ditulis
terlebih dahulu A. Hasjmy telah menyampaikan ceramah-ceramah tentang
kenegaraan dalam Islam ke berbagai wilayah seperti Jakarta, Jawa Barat,
bahkan di Aceh.
Pada tahun 1970 buku ini telah diterbitkan oleh Pustaka Nasional di
Singapura, dan telah beredar luas di Singapura, Malaysia, Brunai Darussalam,
dan Thailand Selatan. Dan telah menjadi bahan bacaan yang luas dalam
masyarakat, serta juga dipergunakan pada beberapa Perguruan Tinggi
(Universitas) sebagai buku teks hukum ketatanegaraan/dasar-dasar negara
menurut ajaran Islam. Serta juga diterbitkan di Indonesia oleh PT Bina Ilmu
pada tahun 1984. Dalam setiap penulisan karya ilmiah tentunya tidak terlepas
dari kelebihan dan kekuarangannya. Kelebihan buku ini telah berhasil
menyuguhkan informasi dalam bahasa yang dimengerti oleh masyarakat
Nusantara tentang ketatanegaraan dalam Islam. Kelemahan buku ini, A.
Hasjmy tidak terlalu rinci menyebutkan buku-buku yang menjadi rujukannya
dalam membangun argumentasi, seperti tidak menyebutkan secara rinci
identitas kutipannya, kecuali nama penulis, judul, dan halamannya saja.
Kekurangan ini bukan pada persoalan yang substansial, sehingga menjadikan
keberadaan buku ini diragukan keabsahannya.

C. Peran Sebagai Ulama dan Umara


Sejarah memberi petunjuk bahwa, perjuangan dan pergerakan bangsa
Indonesia tidak pernah lepas dari peranan Para Ulama dan pimpinan umat. Dengan
penuh keikhlasan dan kesungguhan, mereka membimbing dan memimpin umat agar
menjadi insan yang beriman dan bertakwa kepada Allah swt., serta memperoleh

95
Deskripsi tersebut adalah analogi kebijakan yang diambil oleh A. Hasjmy ketika
membujuk Daud Beureueh dan pengikutnya agar ikut bergabung kembali dengan Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) atau istilah yang lazim disebut saat itu kembali ke
pangkuan Ibu Pertiwi, padahal Daud Beureueh dan kawan-kawannya ingin mendirikan
“Negara Islam”. Sebagai reaksi protes terhadap Pemerintah Pusat karena mengingkari
janjinya. Namun A. Hasjmy justru mengambil sikap netral dan bahkan memprakarsai untuk
mengadakan musyawarah antara pihak pemerintah dengan pihak Daud Beureueh. Akhirnya
peristiiwa dapat diselesaikan secara bijaksana tanpa “kehilangan muka” kedua belah pihak.
Lihat, Hasan Basri, Melampaui Islam Substantif: Biografi Politik Ali Hasjmy.., h. 128-129.

51
kesempurnaan hidup lahir dan batin di dunia dan akhirat. Sejarah juga telah
memberi petunjuk bahwa, peran ulama dan pimpinan umat bukan hanya dalam segi
kehidupan beragama, tetapi juga dalam perjuangan bangsa untuk merebut dan
mempertahankan kemerdekaan, bahkan berperan pula dalam meletakkan dasar-dasar
pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan mengisi kemerdekaan.
Keberadaan para ulama dan pimpinan umat bukanlah melalui proses yang singkat
dan pengangkatan melalui surat keputusan, tetapi ia lahir melalui proses panjang dan
telah teruji dalam pergaulan masyarakat. Maka pada tahap berikutnya masyarakat
memberi gelar dan kehormatan pada mereka sebagai ulama dan pimpinan umat.
dalam pembangunan sekarang ini, setidaknya ada tiga hal penting yang harus
dilakukan oleh Para Ulama dan pimpinan umat. Pertama, memberikan bimbingan
dan pembinaan kepada umat dalam melaksanakan ajaran Islam dengan baik dan
benar. Kedua, memberikan penerangan dan motivasi keagamaan dalam
melaksanakan pembangunan. Ketiga, memberikan petunjuk dan pengarahan kepada
umat dalam menghadapi tantangan zaman, agar mereka tetap tegak secara Islam di
tengah-tengah modernisasi. 96
Masyarakat Aceh terkenal dengan ketaatannya terhadap agama.97 Tidak
dipungkiri bahwa agama adalah elan vital dari kehidupan manusia, baik sebagai
individu maupun sebagai anggota komunitasnya, mengorbankan sebagian besar
hidup dan perhatiannya demi keyakinan dan dogma yang dianutnya. Secara naluriah,
manusia memiliki keyakinan akan adanya kebenaran dari Tuhan yang Maha Kuasa
dan Maha benar. Karena itu, hampir seluruh aspek kehidupan manusia disandarkan
pada prinsip, nilai dan norma-norma agama.98 Islam sebagai agama yang mengatur
sisi politik, dalam sejarahnya tidak terlepas dari persoalan kepemimpinan. Pengaruh
agama yang dipelopori oleh ulama dalam sejarah kepemimpinan di Aceh sudah
berlangsung sejak abad ke-13, di masa kesultanan Malik as-Sha>lih.99 Pada abad ke
16 dan 17 M. Pengaruh dan kekuasaan kerjaan Aceh telah sangat terasa di kepulauan
Sumatera dan Semenanjung Tanah Melayu. Dalam rentan waktu ini pula, kerajaan
Aceh telah mencapai banyak kemajuan, terutama dalam bidang pendidikan,
perkembangan pemikiran, serta penghayatan terhadap ajaran Islam. Nuruddin Ar-
Raniri merupakan salah satu ulama pendatang yang ikut mewarnai perkembangan
Islam di Aceh.100

96
A. Hasjmy, Aset Sejarah Masa Kini dan Masa Depan: Delapan Puluh Tahun
Melalui Jalan Raya Dunia, Penyusun, Badruzzaman Ismail, dkk, (Jakarta: Bulan Bintang,
1994), h. 48-49.
97
Muhammad Arifin, “Islam dan Akulturasi Budaya Lokal di Aceh: Studi Terhadap
ritual Rah Ulei di Kuburan Dalam Masyarakat Pidie Aceh”, Islam Futura, Vol. 15, No.
(Februari 2016): 251-284, https://jurnal.ar-raniry.ac.id/index.php/islamfutura/article /view/54
5/451. Diakses Tanggal 6 Desember 2020.
98
Andi Aderus Banua at. all, Konstruksi Islam Moderata: Menguak Prinsip
Rasionalitas, Humanitas, dan Universalitas Islam, (Yogyakarta: ICATT Press, 2012), h. 35
99
Hasan Basri, Melampaui Islam Substantif: Biografi Politik A. Hasjmy..., h. 53
100
Rusdiyanto and Musafar Musafar, “Ajaran Wujudiyah Menurut Nuru- ddin Ar-
Raniri,” Potret Pemikiran, Vol. 22, No. 1 (July 1, 2018), http://journal.iain-manado.ac.id/in
dex.php/PP/article/view/756. Diakses Tanggal 6 Desember 2020.

52
Berdasarkan aspek politik, menurut Amirul Hadi “seorang penguasa
memiliki otoritas “politik” dan “agama.” Nilai agamis dari posisi ini sesungguhnya
sama dengan yang diformulasikan oleh para pemikir Islam. Adalah melalui lembaga
kenegaraan (kekhalifahan dan kesultanan) ajaran-ajaran Islam dapat dilaksanakan
dengan baik.101 Kitab ‚Busta>n al-S}ala>t}i>n‛102 menjelaskan bahwa, seorang penguasa
yang adil memiliki kecenderungan keagamaan yang tinggi, dan respek terhadap
ulama mampu mencapai tingkat kemakmuran yang tinggi. Sebaliknya seorang
penguasa yang tiran, melanggar ajaran agama, dan tidak menghormati Para Ulama
mendapat kendala yang signifikan dalam pemerintahanya, dan bahkan kekuasaannya
berakhir secara tragis. 103
Tradisi harmonisasi kerja sama antara ulama dan umara diteruskan oleh
sultan-sultan berikutnya. Abad ke-16 dan 17 merupakan masa puncak kemajuan dan
kegemilangan kerajaan Aceh dalam berbagai bidang kehidupan, seperti bidang
agama, sosial, politik, ekonomi, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan. Keharmonisan
antara ulama dan umara ditandai pada kebaikan pihak istana yang memberikan
tempat terhormat kepada ulama. Ulama memainkan peranan penting dalam
pengembangan ilmu pengetahuan, serta penyebaran agama Islam tidak saja dalam
wilayah kerajaan, terutama dalam keluarga istana, melainkan juga ke wilayah-
wilayah yang lebih luas, yaitu wilayah nusantara seperti pesisir Timur dan Barat
Pulau Sumatra , Jawa, Ternate, Bugis/Sulawesi, Malaka, dan Kedah/Malaysia. Pada
masa-masa ini, kerajaan Aceh dapat dikatakan sebagai pusat pemerintahan, pusat
ilmu pengetahuan, dan sekaligus sebagai pusat penyebaran agama Islam di
Nusantara. Bagi sultan, ulama dipandang sebagai panutan dan pembimbing
kehidupan, penasehat sultan, pembawa ke arah yang benar, dan pengendali
kekuasaan. karena itu, kekuasaan peradilan atau jabatan qa>dhi (hakim) dipegang
oleh ulama. keputusan qa>dhi merupakan keputusan terakhir, dengan sendirinya
menjadi kuat, dan harus dijalankan sebagaimana mestinya. 104
Ulama dalam proses politik merupakan refresentatif dari agama, 105
sementara negara merupakan suatu lembaga yang penting, karena ia sebentuk
dengan pergaulan manusia dalam suatu komunitas. Negara juga berfungsi sebagai
penjaga untuk menjalankan syariat agama yang kokoh. Agama merupakan landasan
kehidupan kehidupan dunia yang mengantarkan kebahagiaan hakiki. Dalam

101
Kamaruzzaman Bustamam Ahmad, “Relasi Islam Dan Politik Dalam Sejarah
Poli tik Aceh Abad 16-17,” Al-Tahrir: Jurnal Pemikiran Islam, Vol. 16, No. 2 (October 28, 2
016): 267, http://jurnal.stainponorogo.ac.id/i ndex.php/tahrir/article/view/494. Diakses Tang-
gal 10 Desember 2020.
102
Busta>n al-S}ala>t}i>n (Taman Raja-raja) adalah buku yang dikarang oleh Nuruddin
ar-Raniri pada tahun 1636 M.
103
Amirul Hadi, Aceh, Sejarah, Budaya, dan Tradisi..., h. 161.
104
A. Hasjmy, Bunga Rampai Revolusi dari Tanah Aceh, (Jakarta: Bulan Bintang,
1978), 56. Dalam, Hasan Basri, Melampaui Islam Substantif: Biografi Politik A. Hasjmy..., h.
53.
105
Dinul Husnan and Muhammad Sholihin, “Ulama, Islam, Dan Gerakan Sosial-
Politik: Reposisi Ulama Dalam Gerakan Sosio-Politik Islam Indonesia,” FOKUS Jurnal
Kajian Keislaman dan Kemasyarakatan, Vol. 2, No. 1 (June 12, 2017): 1, http://journ al.iain
curup.ac.i d/index.php/JF/article/view/203. Diakses Tanggal 10 Desember 2020.

53
mewujudkan hal itu, negara sangat diperlukan. Dengan kata lain, agama menjadi
fondasi sebuah bangunan, sedangkan negara sebagai penyangganya. Setiap
bangunan tanpa ada fondasi akan tumbang, begitu juga dengan bangunan tanpa ada
penyangga akan sia-sia. Persoalan asal mula negara itu demikian penting, karena hal
itu bertalian erat dengan cara manusia menyusun dan menjalankan perintah agama.
Dikatakan demikian, sebab negara ialah pranata mala yatimm al-din illa bih.106
Dengan kehidupan bersama dalam bernegara tersebut, manusia bisa sebagaimana
pesan Alquran, saling tolong menolong dan saling bergantung. 107
Keberadaan ulama dilingkaran istana, sebagaimana Amirul Hadi
menjelaskan, Hamzah Fansuri, semenjak pemerintahan sultan „Ala>’ al-Di>n Ri‘a>yat
Sha>h al-Mukammil (1589)-(1604), dan barangkali hingga memasuki bagian awal
pemerintahan Iskandar Muda (1607-1636). Hal ini, dapatlah dilihat dalam sajaknya
yang berjudul Ikatan-ikatan ‗Ilmi al-nisa>‗. Hamzah mengatakan, “hamba mengikat
sha„i>r ini, di bawah had}rat raja yang wafi”. Pada bait yang lain Hamzah menulis
“Sha>h „A>lam raja yang „a>dil, raja qut}ub sempurna ka>mil, wafi> Alla sempurna wa>sil,
raja ‘A>rif lagi mukammil‛. Bait-bait ini secara ekplisit memeberi pesan bahwa
hubungan antara Hamzah dengan sultan adalah harmonis. Hamzah mengakui bahwa
sultan adalah pemimpin politik tertinggi kaum Muslimin, sebagaimana juga sebagai
pemimpin Sufi. Pengakuan Hamzah sultan sebagai ‚Wali Allah‛ sebagaimana
disebutkan, gelar ‚Wali Allah‛ yang diberikan kepada sultan berimplikasi bahwa dia
memiliki “otoritas sufistik keagamaan” (religio-sufistic authority). Istilah ‚wafi>‛
dalam Islam bermakna seorang yang saleh yang dianugerahi seorang kekuatan
mu„jizat dan berfungsi sebagai “perantara antara Tuhan dan manusia”. 108
Melihat hubungan agama dan negara pada masa pra-modern, dapat dilihat
dari kecenderungan juristik, kecenderungan administratif-birokratis, dan
kecenderungan filosofis. Ciri lainnya dapat juga dilihat dari struktural dan non-
struktural, atau mereka yang terlibat langsung dalam struktur pemerintahan atau
kekuasaan109 dan mereka yang berada di luar struktur pemerintahan. 110 Ciri pertama
lebih melihat pada sosok pribadi pemikir dari sisi profesi, sedangkan ciri kedua lebih
melihat pada sosok pemikir dari sisi keterlibatannya dalam pemerintahan.
Pendekatan ini digunakan untuk melihat apakah posisi kedekatan mereka di dalam
struktur kekuasaan, atau yang berada di luar struktur kekuasaan berpengaruh
terhadap konsepsi negara yang mereka rumuskan. 111 Sebagai ulama, A. Hasjmy
tidak hanya hadir sebagai pemikir profesi, namun juga telah menempati sebagai
106
Qamaruz Zaman, “Pemikiran Politik Ibnu Taimiyah,” Politea : Jurnal Politik
Islam, Vol. 2, No. 2 (December 2, 2019): 111–129, https://journal.uinmataram.ac.id/i ndex.p
hp/politea/article/view/1507. Diakses Tanggal 10 Desember 2020.
107
Moh. Asy „ari Muthhar, The Ideal State: Perspektif al-Farabi Tentang Konsep
Negara Ideal, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2018), h. 55.
108
Amirul Hadi, Aceh, Sejarah, Budaya, dan Tradisi..., h. 73-74.
109
Di antara ulama yang menduduki pemikiran kenegaraan struktural adalah Ibnu
Abi> Rabi>„, al-Mawardi, dan Ibnu Khaldun.
110
Ulama yang menduduki pemikiran kenegaraan non struktural di antaranya, al-
Ghazali, Ibnu Taymiyah, dan al-Fara>bi.>
111
Katimin, Politik Islam: Studi Tentang Azas, Pemikiran, dan Praktik dalam
Sejarah Politik Umat Islam, (Medan, Perdana Publishing, 2017), h. 15.

54
pemikir politik modern struktural. Kiprahnya sebagai pimpinan rohani, A. Hasjmy
menjadi anggota Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia, di samping juga
aktif dalam kepengurusan Majelis Ulama Daerah Istimewa Aceh, dengan jabatan
Wakil Ketua, mendampingi Teungku A. H. Abdullah Ujong Rimba112 sebagai Ketua
Majelis.
Dikenal sebagai sastrawan, sejak berumur 16 tahun, A. Hasjmy muda telah
menulis karya sastra dan dimuat dalam berbagai majalah dan surat kabar. 113 Namun
demikian, sisi lain dari A. Hasjmy juga dapat dilihat keberadaannya sebagai pemikir
politik modern yang menawarkan sebuah konsep negara Islam baru berdasarkan
fakta politik dan sejarah politik itu sendiri. Aceh sebagai daerah yang memiliki
sejarah panjang tentang relasi Islam dan politik, dapat mempengaruhi pemikiran
politik Islam modern. Keberadaan A. Hasjmy sebagai ulama kontemporer telah
mewarnai kiprah di antara ulama-ulama Aceh lainnya. Seorang politikus yang telah
melewati hidup di era tiga zaman, dimulai sejak Belanda, Jepang, dan zaman
kemerdekaan Indonesia (orde lama dan orde baru). Selain dikenal sebagai birokrat
yang sarat dengan ide-ide brilian, A. Hasjmy juga termasuk orang yang berjasa
dalam merekat hubungan ulama-ulama di Aceh, terutama sekali, pada era awal pasca
kemerdekaan.114 Dalam hal ini, peran A. Hasjmy sebagai ulama sangatlah dominan,
kiprahnya sebagai pemikir politik Islam modern tidak hanya terlihat dari sisi
normatif saja, melainkan juga berpengaruh pada sisi praksisnya. Berdasarkan sisi
keulamaan, A. Hasjmy mendapat kepercayaan dari pimpinan DI/TII Aceh yang
dipimpin oleh Teungku Muhammad daud Beureueh yang nota benenya adalah
ulama terkemuka, dan sekaligus menjadi pimpinan tertinggi DI/TII di Aceh, di
matanya keberadaan sebagai ulama dan kiprah politik A. Hasjmy sangat
berpengaruh sebagai negosiator perdamaian antara pemberontak DI/TII Aceh
dengan pemerintah Republik Indonesia.
Menelusuri sisi normatif pemikiran politik Islam modern, A. Hasjmy
bukanlah orang yang pertama dalam membangun konsepsi tentang negara Islam.
Selain melihat pemikiran politik berdasarkan konteks sejarah politik dan
kebudayaan Islam, pemikirannya banyak dipengaruhi oleh para pemikir politik
Islam abad pertengahan dan era modern , seperti, al-Mawardi, Kalam al-Assad,
Thaha Husein, Sayyid Qut}ub, Muhammad Rasyid Ridha, al-Maududi. Berdasarkan
pemahaman tersebut A. Hasjmy memahami bangsanya sendiri. Bangsa yang sudah
ditakdirkan Tuhan dalam penciptaannya yang multi-kultural, mesti memahami
kenyataan ini dengan pemikiran moderat. Konflik yang sulit untuk dikonvergensikan
dalam memahami relasi Islam dan negara dalam konteks ke-Indonesiaan adalah
terkait dengan Pancasila sebagai dasar negara. Dengan demikian, A. Hasjmy telah
membangun pemikirannya berdasarkan konsepsi pemikiran tokoh-tokoh politik

112
Teungku Haji Abdullah Ujong Rimba merupakan ulama Aceh kelahiran Pidie
pada tahun 1907. Nama Abdullah Ujong Rimba merupakan gelar yang diberikan oleh
masyarakat Aceh berdasarkan tempat kelahirannya yang yang terletak di kabupaten Pidie,
bernama Ujong Rimba. Selengkapnya lihat, Ali Hjsmy, Ulama Aceh: Mujahid Pejuang
kemerdekaan dan Penbangunan Tamadun Bangsa, (Jakarta: Bulan Bintang, 1997).
113
A. Ghazali, Biografi Prof. Tgk. H. Ali Hasjmy..., h. 29-31.
114
Hasan Basri, Melampaui Islam Substantif: Biografi Politik A. Hasjmy..., h. 3.

55
Timur-Tengah untuk memahami bangsanya sendiri. Oleh karena itu, simbiotisme
pemikiran politik Islam yang ditawarkan A. Hasjmy dalam konteks kenegaraan
dapat melerai pembenturan Islam dan politik di Indoneisa.

D. Esensi Manusia Sebagai Khali>fah


Menurut al-Farabi, manusia termasuk dalam spesies yang tidak dapat
menyelesaikan urusan-urusan penting mereka, ataupun mencapai keadaan terbaik
mereka, kecuali melalui asosiasi (perkumpulan) banyak kelompok dalam satu
perkumpulan yang sama. 115 Manusia dalam perjalanan masa sudah ditakdirkan Allah
swt., untuk menempati planet bumi, bersama dengan makhluq-makhluq lainnya.
Bumi yang ditempati manusia ini disiapkan Allah swt., mempunyai kemampuan
untuk bisa menyangga kehidupan manusia dan makhluk-makhluk lainnya. Akan
tetapi sesuai pula dengan sunnatullah (hukum Allah), bumi juga mempunyai
keterbatasan, sehingga bisa mengalami kerusakan bahkan kehancuran. Konsep inilah
yang di dalam beberapa ayat Alquran dinyatakan bahwa setiap sesuatu ciptaan Allah
swt., mempunyai “ukuran” (qadr). Oleh karena demikian, bersifat relatif dan
tergantung kepada Allah swt., jika sesuatu ciptaan Allah swt., (termasuk manusia)
melakukan pelanggaran terhadap hukum-hukum yang telah ditetapkan baginya dan
melampaui “ukuran-nya”, maka alam semesta ini akan kehilangan
keseimbangannya.116
Alam ini merupakan sesuatu yang berada di luar dari Tuhan itu sendiri,
Allah swt., menciptakannya untuk menjadi wadah bagi manusia dalam mengelola
kehidupannya, tempat bagi manusia untuk mejalankan misi kekhalifahanya, dan di
alam ini juga manusia mendirikan negara. Artinya, di alam inilah manusia
menjalankan misinya sebagai pemimpin, dan hakikat kepemimpinan tersebut berdiri
dan berjalannya sistem kepemimpinan yang dipayungi dalam sebuah negara.
Berdasarkan negara berada di atas bumi, menurut A. Hasjmy, 117 terdapat hubungan
yang saling terkait antara manusia, negara, dan alam. Dalam pandangan Islam, alam
dan segala isinya, di mana manusia menjalankan kehidupannya, menempatkan diri
menjadi Khali>fah di bumi,118 merupakan ciptaan Tuhan, dan bukan hasil karya
manusia. Bahkan tidak ada sedikitpun kemampuan manusia yang diberikan Tuhan

115
Yamani, Antara al-Farabi dan Khomeini: Filsafat Politik Islam, (Bandung:
Mizan, 2002), h. 60.
116
Jumarddin La Fua, “Aktualisasi Pendidikan Islam Dalam Pengelolaan Lingkungan
Hidup Menuju Kesalehan Ekologis”, Jurnal Al-Ta‟dib Vol. 7, No. (1 Januari-Juni 2014): 19-
36, https://media.neliti.com/media/publications/235728-aktualisasi-pendidikan-islam-dalam-
penge-123d49ab.pdf. Diakses Tanggal 12 Maret 2020.
117
A. Hasjmy, Di Mana Letaknya Negara Islam..., h. 24.
118
Kesadaran manusia yang lebih menitikberatkan posisinya sebagai Khali>fah, akan
menyebabkan manusia merasa paling berhak untuk menguasai dan mengeksploitasi alam
dalam rangka memenuhi segala kebutuhanya. Namun manusia seringkali bertindak
mengeksploitasi alam melebihi batas kebutuhanya. Tindakan manusia tersebut pada akhirnya
menciptakan krisis-krisis global. Lihat, Jumarddin La Fua, “Aktualisasi Pendidikan Islam
Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup Menuju Kesalehan Ekologis”, Jurnal Al-Ta‟dib Vol.
7 No. (1 Januari-Juni 2014): 19-36, https://media.neliti.com/media/publications/235728-
aktualis asi-pendidikan-islam-dalam-penge-123d49ab.pdf. Diakses Tanggal 12 Maret 2020

56
untuk menciptkan alam ini. Tidak juga untuk masa yang lalu, masa kini, dan masa
yang akan datang. Penjelasan tentang bahwa, jika manusia adalah makhluk yang
diciptkan dari zat yang “Ada” lalu menjadi ada.119 Berdasarkan keberadaan manusia
sebagai makhluk yang diciptkan, tentunya di luar kemampuan manusia untuk
menciptakan alam ini. Bahkan tidak akan pernah mampu menciptakan seumpama
yang serupa dengan alam ini, walaupun hanya untuk menciptakan makhluk semisal
lalat, walaupun mereka bersekutu dengan sesamanya makhluk yang lainnya,
termasuk jin.120
Proses penciptaan manusia sangatlah detail, Allah swt., menciptakannya dari
tanah, dengan masa yang ditentukan, lalu kemudian membentuknya dalam bentuk
sesempurna mungkin,121 menciptakan manusia secara berpasang-pasangan,122 lalu
kemudian Tuhan memperlengkapi penciptaan manusia dengan mata, telinga, hati,
otak, dan akal pikiran, dengan tujuan agar supaya manusia menyadari bahwa
keberadaan dirinya tidak terlepas dari rahmat Allah swt., dan tahu bagaima caranya
bersyukur kepada Tuhan. 123 Allah swt., adalah maha pencipta atas segala sesuatu
yang ada di alam ini, ciptaannya ada yang dapat dilihat dan ada yang tidak bisa
dijangkau oleh indra, dan ilmu pengetahuan manusia. Dunia ini diciptakan oleh-Nya
dalam berbagai macam bentuk dan ragamnya, ada yang sudah diketahui dan mulai
dipahami oleh manusia, dan ada juga yang sampai saat ini belum dipahami. Manusia
diciptakan Tuhan sebagai makhluk yang terbatas, sementara Allah swt., adalah zat
yang tak terbatas.124
Alquran menjelaskan bahwa, seluruh kekuasaan dan kerajaan, baik dilangit
maupun di bumi adalah milik Allah swt., semata. Kekuasaan-kekuasaan yang lain
hanyalah percikan kekuasaan_Nya, yang diberikan kepada makhlukh-Nya dan
bersifat sementara serta terbatas. Oleh karena demikian, sebuah kekuasaan bukanlah
alat untuk menghalalkan segala cara, akan tetapi lebih pada pelaksanaan amanah
Allah swt., di muka bumi. Maka dengan demikian kekuasaan tersebut akan
diberikan oleh Allah swt., kepada siapa saja yang dikehendaki_Nya. Demikian juga,
akan dicabut kepada siapa yang dikehendaki_Nya pula. 125 Dengan demikian,
kekuasaan dalam pandangan Islam adalah karunia Allah swt., yang dititipkan kepada
manusia (amanah) untuk digunakan sebaik-baiknya sesuai dengan prinsip dasar
yang digariskan Allah swt., dalam Alquran dan sunnah Rasulullah. Setiap orang
yang diberikan kekuasaan pada tahap manapun harus senantiasa berada pada koridor
hukum atau aturan Allah swt., yang menjadi sumber kekuasaan. Penyalahgunaan

119
Q. S. Al-Maidah/05: 18.
120
Q. S. Al-Hajj/22: 73.
121
Q. S. At-Tin/95: 4.
122
Q. S. Ar-Rum: 21.
123
Q. S. Fathir/035: 11. Q. S. Al-Infitha>r/085: 5-8. Q. S. Al-Mukmin/040: 64. Q. S.
Al-Naml/027: 78.
124
Q. S. Al-An„am/006: 102. Lihat juga, Q. S. Al-Maidah/005: 17. Q. S. Al-
Anbiya>/021: 33. Q. S. Al-Mulk/067: 1-2. Lebih lanjut lihat, A. Hasjmy, Di Mana Letaknya
Negara Islam...., h. 25.
125
Q. S. Ali-Imran/003: 26.

57
kekuasaan merupakan bentuk kezaliman. Kemudian kekuasaan itu akan diminta
pertanggung jawabannya pada hari kiamat nanti. 126
Menyangkut dengan pertanggung jawaban manusia terhadap alam ini, A.
Hasjmy menjelaskan kedudukan manusia sebagai Khali>fah, pada saat manusia
mendapatkan hak untuk menguasai alam, manusia diwajibkan mencari format dalam
tata kelola alam untuk menghindari terjadinya kekacauan dalam menjalankan
sunnatullah. Dengan demikian, Allah swt., sesuai dengan hikmah-Nya memberi
kuasa dan kesempatan kepada sebagian manusia untuk mengusai sebagian yang
lainnya, dalam artian memerintah.127 Hak yang telah diberikan oleh Allah swt.,
kepada sebagian manusia untuk menguasa (memerintah) sebagian yang lainnya
bertujuan untuk mengatur dan menciptakan sistem kehidupan yang menghadirkan
kebahagiaan serta mengurus kepentingan manusia itu sendiri untuk bersama-sama
mendapatkan kesejahteraan.128 Berangkat dari pemahaman ayat di atas A. Hasjmy
memahami ada tiga titik penting yang harus dipahami esensi manusia sebagai
Khali>fah. Pertama, alam semesta yang didiami oleh manusia merupakan ciptaan
Allah swt. Kedua, manusia mendapat mandat atau amanah kekuasaan untuk
menguasai seluruh isi alam. Ketiga, manusia diberi hak kuasa oleh Allah swt., untuk
menguasai, memimpin, dan mengurus manusia yang lainnya, dalam artian
menjalankan sistem pemerintahan. 129
Pembahasan pada bab ini menegaskan bahwa, biografi sosial intelektual A
Hasjmy sangatlah kompleks. Sebagai tokoh yang hadir dalam wilayah multi-
dimensi, menjalani hidup selama tiga zaman, telah banyak mengahsilkan buah
pemikiran, baik dalam bentuk karya nyata maupun pemikiran yang terkonsepsi
dalam bentuk tulisan. Sebagai tokoh yang hadir di mana Aceh dalam kondisi
bergejolak, pada kenyataan ini, mempengaruhi karakter pemikiran A. Hasjmy. Akar
geneologi pemikiran A. Hasjmy juga dipengaruhi oleh konteks budaya, dan pada
dasarnya Islam sebagai agama yang hadir tidak hanya di ruang yang hampa dan
kosong akan tradisi, akan tetapi Islam juga hadir dalam masyarakat yang sudah
mengakar dengan adat, budaya dan kebiasaan masyarakat yang mengitarinya. Aceh
merupakan wilayah di mana dalam sejarah perkembangannya, kekuasaan sudah
melekat dengan nilai-nilai keislaman. Akar budaya keislaman sangat mendominasi
bagi terbentuknya pemikiran A. Hasjmy menyangkut dengan budaya, agama,
pendidikan, sosial, politik, serta relasi Islam dan negara. A. Hasjmy adalah tokoh
yang hidup sampai berakhir abad ke dua puluh, dan juga hadir sebagai generator
penggerak harmonisasi komunikasi politik antara Aceh dengan pemerintah Republik
Indonesia.

126
Badan Rehabilitasi dan rekonstruksi (BRR) Aceh Nias, Pencerahan Intelektual:
Referensi Bagi Khatib, Penceramah, dan Da‗i..., h. 148.
127
Q. S. Az-Zukhruf/043: 32.
128
Q. S. Al-An„am/006: 132. Lihat juga, Q. S. Al-An„am/006: 133-165.
129
A. Hasjmy, Di Mana Letaknya Negara Islam..., h. 27.

58
BAB III
ISLAM DAN PRINSIP DASAR POLITIK

Bab ketiga ini menguraikan tentang Islam dan prinsip dasar pemikiran
politik. Sebagaimana telah dijelaskan pada bab sebelumnya, A. Hasjmy adalah
tokoh yang dilahirkan di mana Aceh adalah wilayah yang bergejolak, baik gejolak
melawan penjajahan dan juga dihadapkan dengan gerakan pemberontakan Darul
Islam Aceh DI/TII, yang dimotori oleh Teungku Muhammad Daod Beureueh. A.
Hasjmy merupakan tokoh yang memahami bahwa, pemikiran politik adalah produk
kebudayaan dalam sejarah politik Islam. Pada abad pertengahan, sebagaimana Philip
K. Hitti mengutarakan, di semenanjung Arab melahirkan sebuah bangsa yang
menaklukkan sebagian besar wilayah dunia yang kelak menjadi pusat-pusat
peradaban, serta melahirkan sebuah agama, yang bernama Islam.130 Bangsa Arab
tidak hanya hadir membangun kerajaan, melainkan juga membangun kebudayaan. 131
Sebagai pewaris peradaban kuno yang berkembang pesat di tepi sungai Tigris dan
Efrat, di daratan sekitar Sungai Nil, dan di pantai sebelah Timur Mediterania,
mereka juga menyerap dan memadukan beragam unsur budaya Yunani dan
Romawi, berperan sebagai pembawa gerakan intelektual ke Eropa abad pertengahan
yang memicu kebangkitan dunia Barat, dan melapangkan jalan bagi proses
modernisasi bagi dunia Barat. 132 Pembahasan pada bab ini meliputi Islam dan dasar
pemikiran politik, Islam dan dasar pemikiran politik, eksistensi negara Islam, dan
tujuan dan cita negara Islam.

A. Islam dan Dasar Pemikiran Politik


1. Urgensi Negara Islam dan Hubungan Keduanya
Berbicara hubungan politik antara Islam dan negara menurut A. Hasjmy
sering kali muncul dari pandangan-pandangan tertentu yang dirumuskan dengan
cara sedemikian rupa, sehingga Islam disejajarkan secara konfrontatif dengan
negara. Demikianlah adanya, seolah-olah Islam tidak mungkin dibangun hubungan
yang saling melengkapi. Karena itu, setidaknya, pada awalnya, kandungan ideologis
dan kerangka konstitusional menjadi faktor-faktor yang sangat penting dalam
menentukan watak sebuah negara Islam.133
Islam adalah sistem ajaran yang bersifat universal. Sistem ajarannya
mencakup berbagai aspek kehidupan, seperti aspek aqidah, ibadah, akhlak,
muamalah, dan sisasah. Aspek yang disebut terakhir masih terjadi perdebatan, baik
dari kalangan Muslim maupun dari kalangan non-Muslim. Sebagian sarjana
mengkleim bahwa, Islam bagaimanapun juga tidak dapat dipisahkan dari politik.
Kelompok ini diwakili oleh Syaikh H}asan al-Banna, Sayyid Qut}ub, Syaikh

130
Philip K. Hitti, History of The Arab, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2002), h. 3.
131
Eman Sulaki-lakitna, “Islam Dan Kebudayaan,” Jurnal Soshum Insentif (October
20, 2019): 282–287, https://jurnal.lldikti4.or.id/index.php/jurnalsoshum/art icle/vie w/178.
Diak- ses Tanggal 18 Maret 2020.
132
Philip K. Hitti, History of The Arab..., h. 4.
133
Bahtiar Effendi, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik politik
Islam di Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1998), h. 6.

59
Muhammad Rasyid Ridha, dan Abul A„la al-Maudu>di>. Selanjutnya Islam tidak ada
hubungannya dengan politik, dengan kata lain negara harus dipisahkan dengan
agama. Kelompok ini diwakili oleh Ali Abdul al-Ra>ziq. Sementara kelompok ketiga
dalam Islam tidak memuat sistem politik atau sistem ketatanegaraan, akan tetapi
Islam memuat substansi, seperangkat tata nilai, dan etika bernegara. Kelompok ini
diwakili oleh Muhammad Husein Haikal.134 Perdebatan tentang hubungan Islam dan
negara tidak hanya menjadi perdebatan di berbagai belahan dunia Islam semata,
namun juga terjadi di Indonesia. Di Indonesia perdebatan tersebut menguat di era
pra-kemerdekaan hingga era kemerdekaan untuk mencari format sistem politik
kenegaraan yang melampaui batas suku, ras, agama, dan antar golongan.
Keberadaan negara dan kekuasaan menurut Islam merupakan sebuah
keharusan. Islam sebagai agama yang bukan hanya berbicara tentang ibadah, namun
juga membahas yang terkait dengan muamalah. Ibadah merupakan aktifitas
keagamaan yang menyangkut dengan Tuhan, sementara mualamah adalah ibadah
yang menyangkut dengan tata kelola kehidupan manusia sebagai makhluk sosial.
Dengan demikian, negara bersamaan dengan sistem pemerintahanya menjadi media
utama dalam menerjemahkan nilai-nilai Islam yang menyangkut dengan keadilan,
kesejahteraan, dan persamaan hak yang terkait dengan hajat hidup manusia.
Berdasarkan asumsi tersebut, keberadaan Islam menurut A. Hasjmy menjadi
keharusan. Pandangan ini, A. Hasjmy mengajukan sebuah pertanyaan, “merasa
penting tidak adanya negara” ketika momen sejarah bagi dunia Islam, setelah
berjuang sekian lama dengan penuh pengorbanan dan perjuangan dengan harapan
dan kecurangan, sebagian besar negara yang berpenduduk Muslim melepaskan diri
dari kekuasaan penjajah. Dalam hal ini, A. Hasjmy berpandangan bahwa keberadaan
negara menurut pandangan Islam adalah sebuah kewajiban 135.
Wacana terkait dengan hubungan antara Islam dan negara, dalam sejarah
perkembangan sosial, seakan-akan tidak pernah habis untuk dibahas. Agama dan
negara merupakan dua institusi yang sangat penting bagi masyarakat, dan keduanya
saling mempengaruhi. 136 Agama dipahami sebagai sumber moral, sangat
berpengaruh sebab terkait dengan prilaku individu dalam menjalin interaksi sosial
dalam kehidupannya, di mana agama dijadikan tolak ukur pembenaran (justifikasi),
baik pembenaran dalam berinteraksi dengan sesama manusia maupun dengan

134
Badan Rehabilitasi dan rekonstruksi (BRR) Aceh Nias, Pencerahan Intelektual:
Referensi Bagi Khatib, Penceramah, dan Da‗i, (Nanggroe Aceh Darussalam: BRR-
BKPRMI, 2007), h. 143.
135
A. Hasjmy, Di Mana Letaknya Negara Islam..., h. 14.
136
Institusi-institusi keislaman juga wajar mendapat perhatian dalam pembahasan
ini. Ulama adalah yang pertama disinggung dalam hal ini. Peran ulama tidak dapat disangkal
adalah sangat signifikan, karena mereka adalah pemegang otoritas keislaman yang
sesungguhnya di kerajaan. Memang, seperti yang telah disebutkan di awal, seorang penguasa
memiliki otoritas politik dan keagamaan. Namun, otoritas keagamaan ini tidak bermakna
bahwa, ia ahli dalam bidang agama dan pemimpin spritual, akan tetapi seseorang yang
memiliki “otoritas yang diberi sanksi keagamaan” (religiously sanctioned authority), di mana
ia berkewajiban mengimplementasikan syariat Islam di wilayah kekuasaannya. Untuk itu
keberadaan ulama merupakan keniscayaan. Lihat, Amirul Hadi, Aceh: Sejarah, Budaya dan
Tradisi..., h. 253.

61
sumber agama itu sendiri. Sementara negara berfungsi sebagai wadah yang meliputi
beberapa aturan dalam mengelola kehidupan masyarakat, dan memiliki kewenangan
yang memaksa dengan aturan yang dibuat dalam rangka mengelola kehidupan
masyarakat. Dengan ini, aturan yang dibuat dalam sebuah negara bisa jadi
bersesuaian dengan apa yang menjadi rujukan masyarakat beragama, dan bisa
sebaliknya, aturan yang dibuat tidak sejalan, atau bertentangan dengan agama. Hal
ini, sangatlah tergantung bagaimana sistem yang disepakati dan dianut sebagai
ideologi negara, sehingga menimbulkan pertentangan antara agama dan negara.
Persinggungan ini, akan berakhir dengan benturan-benturan yang kadang-kadang
tidak lagi harmonis, saling menguntung-kan, dan bahkan saling mencurigai dan pada
akhirnya saling menekan. 137
Berdasarkan pengkajian tentang pemikiran politik Islam modern yang
dilakukan oleh sarjana-sarjana Muslim, kususnya yang dikaji oleh intelektual
Indonesia, yang menyangkut dengan pembahasan Islam dan negara, maka dengan
demikian, katagorisasi teori pemikiran politik Islam modern dibagi kepada tiga
paradigma pemikiran politik yaitu, paradigma simbiotik, paradigma integrasi, dan
paradigma sekuler. Kecenderungan tipologi ini dipilih oleh karena tipologi ini dalam
pengkajiannya lebih menghadirkan sorotan filosofis. Kajian filosofis lebih fokus
pada pemikiran, dibandingkan dengan katagori lainnya. Adapun ketiga paradigma
tersebut kajiannya lebih fokus, serta wacana yang dibangun lebih relevan dengan
Islam dan negara, jika dibandingkan dengan tipologi oleh sarjana Barat, di mana
penjelasan katagorisasi yang di bangun sangatlah umum.138
Pertama, paradigma simbiotik (symbiotik Padigm). Paradigma simbiotik
memandang bahwasanya, ajaran Islam kususnya masalah kenegaraan hanya diatur
secara garis besar saja, sementara penjabarannya secara tehnis bisa mengadopsi
sistem lain, kususnya Barat yang sudah menampakkan keunggulannya. 139
Hubungan antara agama dan negara dalam konteks paradigma simbiotik
sebagaimana Ibnu Taimiyah mengutarakan bahwa, keberadaan negara dengan
kekuasaannya yang mengatur kehidupan manusia, hal ini adalah fungsinya agama.
Oleh sebab tanpa keberadaan penuh kekuasaan negara, maka nilai-nilai ajaran
agama tidak akan berkembang. Dengan demikian, mejadi legitimasi keberadaan
keduanya, walaupun berbeda entitasnya, namun keberadaan keduanya saling
membutuhkan.140 Tentunya pendapat tersebut memperkuat asumsi bahwa, konstitusi
sebuah negara tidak hanya berasal dari penekanan teori kontrak sosial, namun dapat

137
Hilmi Muhammadiyah, “The Relation between Religion and State in Indonesia,”
Asian Social Science, Vol. 11, No. 28 (November 22, 2015): 98, http://www.ccsenet.org/jour
nal/index.php/ass/article/view/50649. Diakses Tanggal 10 Februari 2020.
138
Setiawan, T., & Risnandar, A. (2019). Negara Modern, dan Utopia Negara
Khilafah(?). Jurnal Kajian Peradaban Islam, 2(2), 6-12. https://doi.org/https://doi.org/10.47
076/jkpis.v2i2.14. Diakses Tanggal 18 Juni 2021.
139
H. Katimin, Politik Islam: Studi Tentang Azas, Pemikiran, dan Praktik dalam
Sejarah Politik Umat Islam..., h. 32.
140
Anton Afrizal Candra, “Pemikiran Siyasah Syar‟iyah Ibnu Taimiyah (Kajian
Terhadap Konsep Ima>mah Dan Khila>fah Dalam Sistem Pemerintahan Islam),” UIR LAW
REVIEW, Vol. 1, No. 02, (Oktober 25, 2017): 161, http://journal.uir.ac.id/index.php/uirlawre
view/article/view/956. Diakses Tanggal 1 Desember 2019.

61
dipengaruhi oleh hukum agama. Dengan penjelasan yang lain agama menjadi
wilayah individu (private), sementara negara berbicara masalah publik (sosial).
Para cendikiawan Muslim, dalam rangka menemukan konsep tentang relasi
Islam dan negara, landasan awalnya adalah untuk menemukan kedudukan negara
dilihat dari sudut pandang Islam dalam aspek teoritis formalnya. Dan juga berusaha
untuk merumuskan letak idealisasi terhadap proses penyelenggaraan negara yang
menekankan pada praksis substansinya.141 Menurut Din Syamsuddin katagorisasi
simbiotik memandang bahwa sanya terjalin hubungan timbal balik antara agama dan
negara. Negara memerlukan agama sebagai landasan moral, sementara agama
menjadikan negara sebagai wadah transformasi nilai. 142
Kedua, paradigma integrasi (integral paradigm). Paradigma ini berbeda
dengan paradigma simbiotik yang memandang agama dan negara merupakaan dua
elemen yang saling memperkuat. Sementara paradigma integralistik memandang,
bahwa sanya antara agama dan negara merupakan elemen yang tidak terpisah.
Keduanya sangatlah inheren dan organis.143 Paradigma organis dalam pandangan
Smit, sifat Integrasi Islam berbeda dengan tipologi integrasi gereja. 144
Mohammad Natsir mengatakan Islam adalah sistem yang menyeluruh bisa
mengatur seluruh kehidupan umat manusia. Mengakui ide yang mengatakan bahwa
Islam tidak bisa mengontrol seluruh bilik kehidupan sosial, berarti menolak holisme
Islam.145 Sementara, Bahtiar Effendi menjelaskan, Paradigma ini memahami bahwa
agama dan negara menyatu (intregated), wilayah agama meliputi politik atau negara.
Negara merupakan lembaga politik dan keagamaan sekaligus. Karenanya, menurut
paradigma ini Kepala Negara adalah pemegang kekuasaan agama dan kekuasaan
politik. Pemerintahannya dilaksanakan atas dasar kedaulatan Ilahi (divine

141
Sumper Mulia Harahap, “Epistemologi Kekuasaan Dalam Sistem Politik Islam,”
FITRAH:Jurnal Kajian Ilmu-ilmu Keislaman, Vol. 8, No. 1, (2014): 37, http://jurnal.iain-pad
angsidimpuan.a c.id/index.php/F/article/view/337. Diakses Tanggal 1 Desember 2019.
142
Din Syamsuddi, Etika Agama dalam Membangun Masyarakat Madani, (Jakarta:
Logos 2000), h. 42.
143
Al Makin, “„Not a Religious State,‟” Indonesia and the Malay World 46, no. 135
(May 4, 2018): 95–116, https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/13639811.20 17 .138
0279. Diakses Tanggal 05 Desember 2019.
144
Sistem yang dibangun gereja membedakan dua lembaga, yakni lembaga
pemerintahan dan lembaga keagamaan. Yang mana kedua lembaga tersebut dapat bertukar
fungsi yang saling menjangkau antara politik dan keagamaan. Struktur kelembagaan gereja
mempunya eksistensi tersendiri, keberadaannya terpisah dari masyarakat atau pemerintah.
Hubungan Gereja dengan pemerintah hanya terjalin dalam tiga bentuk. Pertama, dominasi
gereja di atas pemerintah. Kedua, dominasi pemerintah di atas gereja. Ketiga, terjadinya
hubungan keseimbangan antara gereja dan pemerintah. Lihat, Donald Eugene Smith,
Religion and Political Development; An Analytic Study (Boston: Brown and Company,
1970).
145
Robert W. Hefner, Civil Islam: Islam dan Demokrasi di Indonesia,Terj.
(Yogyakarta: LKiS,2000), h. 207.

62
sovereignty). Sekalipun ada beberapa istilah yang diganti misal negara (ad daulah)
diganti dengan Ima>mah (kepemimpinan).146
Ketiga, paradigma sekulerisme (unified paradigm). Paradigma ini
memandang bahwa antara Islam dan politk merupakan dua persoalan yang tidak
terkait dan terpisah.147 Paradigma ini serius memisahkan antara kedudukan agama
dan negara dua hal yang berbeda. Islam dipahami sebagai agama murni, yang hanya
mengurus persoalan yang menyangkut dengan ketuhanan semata, sementara
persoalan negara dan poiltik dipandang murni dipahami sebagai persoalan sosial
berdasarkan eksistensi ijtihad.
Pemikir politik Islam yang bermazhab sekuler adalah ‘Ali> ‘Abd al-Ra>ziq.
Pemikirannya tentang relasi Islam dan negara tertuang dalam karyanya berjudul al-
Isla>m wa Us}u>l al-H{ukm yang pertama kali diterbitkan di Mesir tahun 1925.
Setidaknya terdapat tiga pemikiran utama al-Ra>ziq tentang relasi Islam dan politik
atau negara dalam bukunya tersebut. Pertama; al-khila>fah bukan suatu kewajiban
dalam Islam. Gagasan ini merupakan anti tesis dari teori Khali>fah yang
diketengahkan oleh kaum tradisionalis seperti Rashi>d Rid}a>. Al-Ra>ziq menyatakan
bahwa tidak ada satu ayat pun dari Alquran dan hadis yang menyatakan kewajiban
menegakkan al-khila>fah.
‘Al-Ra>ziq, memahami kekuasaan yang diberikan kepada Nabi Muhammad
saw., adalah kekuasaan yang berbentuk risalah. Kekuasaan risalah hanya
diperuntukkan kepada hamba-hamba yang dipilih-Nya menjadi Rasul. Kekuasaan
ini sama sekali tidak ada kemiripannya dengan kekuasaan Para Raja ataupun
bentuk-bentuk kekuasaan lainnya di dunia ini. Kepemimpinan Para Nabi adalah
kepemimpinan dakwah menuju agama Allah swt., dan tugas menyampaikan risalah-
Nya. Kepemimpinan Nabi bukanlah kepemimpinan seorang raja, melainkan risalah
sekaligus agama. Pemerintahan kenabian bukanlah pemerintahan Para Kaisar.
Kekuasaan seorang Rasul atas kaumnya adalah kekuasaan rohaniah, sumbernya
adalah keimanan yang ada dalam hati. Ketundukan terhadapnya adalah ketundukan
yang sejati dan sempurna yang tidak disertai pula dengan ketundukan fisik.
Sedangkan kekuasaan raja adalah kekuasaan fisik yang berpijak pada ketundukan
jasmaniah tanpa ada sedikitpun hubungan dengan hati nurani. Yang disebutkan
pertama adalah kekuasaan dalam bidang menuju petunjuk kepada Agama Allah

146
Bahtiar Efendy, Islam dan Negara, Tranformasi Pemikiran Dan Praktik
Politik Islam Di Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1998), h. 5.
147
Menurut Yusuf al-Qaradhawi, paham sekuler mengatakan bahwa hubungan
antara agama dan politik adalah hubungan yang saling berlawanan dan juga betentangan,
kaum sekuleris menganggap agama sebagai lawan dari poilitik, dan sampai kapanpun
keduanya tidak akan bisa bertemu. Sebab sumber ciri dan tujuan keduanya berbeda. Agama
berasal dari Allah swt., sementara politik berasal dari manusia. Agama bersifat sakral, suci,
dan lurus, sementara politik bersifat kotor dan kejam. Agama bertujuan untuk akhirat,
sementara politik untuk kepentingan dunia. sebab itu agama harus diserahkan kepada ahli
agama, begitu juga dengan politik yang harus dserahkan kepada politikus. Lihat, Yusuf Al-
Qaradhawi, Meluruskan Dikotomi Agama dan Politik: Bantahan Tuntas Terhadap
Sekulerisme dan Liberalisme, (Jakarta: Pustaka Al- Kaursar, 2008), h. 63-64.

63
swt., sedangkan yang disebut kemudian adalah kekuasaan yang berkenaan dengan
pengaturan kemaslahatan manusia di muka bumi.148
Pemikran A. Hasjmy mengenai negara dan kekuasaan, terkonsepsi dalam
dua pandangan. Satu sisi pemikirannya cenderung mendukung bentuk-bentuk
masyarakat politik, seperti eksisnya sistem politik Islam, kemasyarakatan budaya
Islam, dan eksperimentasi sistem ketatanegaraan Islam. Sementara aspek lainnya
dalam menggunakan terminologi politik terhadap ideologi Islam dalam konteks
suatu negara tidak begitu interes. Bagi A. Hasjmy simbol “negara Islam” bukanlah
suatu konsep yang baku. Menurut A. Hasjmy ajaran Islam yang berupa dasar-dasar
negara, dan sistem musyawarah dapat dipraktekkan di negara manapun tanpa harus
mengambil bentuk negara menjadi negara Islam. Dalam hal ini, pemikiran politik A.
Hasjmy dilihat dari segi konsepsinya terintegrasi dengan Islam, sementara dalam
praksisnya pemikiran politik A. Hasjmy tergolong moderat, sehingga dengan sudut
pandang simbiotik A. Hasjmy menerima konsep Negara Kesatuan Republik
Indonesia dipahami sebagai negara Islam modern dengan Pancasila sebagai
dasarnya.
Idealnya negara Islam menurut A. Hasjmy tercermin pada negara Madinah
yang didirikan Nabi Muhammad saw., tidak dapat dibandingkan dengan negara
manapun yang ada. Negara Madinah mempunyai karakter tersendiri dalam akar
sosio-historis di mana tidak terdapat pada negara lain. Dengan demikian, negara
Madinah menjadi acuan dasar dalam mencari substansi hubungan antara agama dan
negara. Oleh karena itu, A. Hasjmy melihat adanya pertautan yang erat antara
agama dan negara. A. Hasjmy ingin memberikan muatan keagamaan dalam
kehidupan bernegara. Bagi A. Hasjmy manusia adalah pemegang amanah Allah
swt., untuk mengurus kerajaan bumi sedangkan negara dan kedaulatan adalah milik
Allah swt.149 Keberadaan negara mesti dipertajam, oleh karena fungsi negara sebagai
integrasi kekuasaan politik yang mengatur kehidupan masyarakat. Muncul berbagai
macam tanggapan dari para tokoh tentang fungsi dan keberadaan negara sebagai
sarana yang menghubungkan manusia dengan kehidupan sosial.
Berdasarkan hubungan Islam dan negara inilah A. Hasjmy, membangun
kerangka pemikirannya tentang pentingnya negara dalam Islam. Hubungan
keduanya menurut A. Hasjmy seperti dua sisi mata uang yang tidak dapat
dipisahkan antara satu dengan yang lain. Menurut A. Hasjmy, 150 agama akan
pincang jika tidak diatur dengan kekuasaan negara, demikian juga dengan agama
akan lumpuh tanpa diperkuat dengan aturan agama di dalamnya. Islam dengan
sifatnya yang khas, bertujuan menciptakan kesejahteraan umum bagi umat manusia

Ali> ‘Abd al-Ra>ziq, Khilafat dan Pemerintahan dalam Islam, Terj. Afif Muham-
148

mad, (Bandung: Pustaka, 1985), h. 105-106.


149
Nuraini A. Manan, “Sekilas Tentang Konsepsi Kenegaraan Dalam Pandangan
Ali Hasjmy”, SUBSTANTIA, Vol. 12, No. (1April 2010): 141, https://jurnal.ar-raniry.ac.id/in
dex .php/substantia/article/view/3783/2539. Diakses Tanggal 9 Maret 2020.
150
Hasan Basri, Melampaui Islam Substantif: Biografi Politik A. Hasjmy..., h. 134.

64
seluruhnya, baik Muslim maupun non-Muslim.151 Ajaran-ajarannya tentang ibadah,
muamalah, sosial, ekonomi, pemerintahan, politik, perang, dan damai. Semuanya
ditetapkan sebagai keharusan agama yang wajib di taati, tanpa adanya pilihan untuk
menerima atau tidak. Karena itu unsur ilza>m (keharusan) dalam penetapan Islam
tentang tatanan kehidupan lebih kuat dibandingkan dengan penetapan tatanan yang
diciptkana manusia. Tatanan kehidupan yang diciptkan Islam merupakan “penetapan
dari Tuhan” yang sudah pasti kebenarannya dan sudah pasti pula kemanfaatannya
untuk kesejahteraan umat manusia, maka pada dasarnya tatanan yang harus diikuti
manusia adalah aturan baku yang telah digariskan Allah swt., dan Rasulnya.
Berdasarkan kenyataan tersebut, maka sukarlah dalam Islam untuk
menamakan suatu “agama” saja, atau “politik”, oleh sebab menyangkut dengan
beberapa hal. Pertama, tiap-tiap yang berhubungan dengan akidah dan ibadah
adalah agama, dan dapat juga disebut dengan “Politik Islam” dalam memperbaiki
akidah dan ibadah. Kedua, tiap-tiap yang bersangkutan dengan moral dan
pendidikan adalah agama, dan dapat disebut “Politik Islam” dalam bidang
pendidikan dan moral. Ketiga, tiap-tiap yang bertalian dengan muamalah adalah
agama, dan dapat disebut dengan “Politik Islam” dalam bidang ekonomi dan Islam.
Keempat, tiap-tiap yang bersangkutan dengan pemerintahan dan pentadbiran
kesejahteraan kaum Muslimin adalah agama, dan juga dapat disebut sebagai “Politik
Islam” dalam bidang pemerintahan dan tata usaha negara.
A. Hasjmy menegaskan bahwa hubungan agama dengan negara, menurut
ajaran Islam sangatlah erat, dan sama eratnya antara pertautan tiang dengan gedung,
sebab karena agama merupakan tiang negara. Oleh karena itu, konsepsi negara Islam
tanpa agama tidaklah mungkin, seperti tidak mungkinnya konsepsi agama Islam
yang kosong dari cita kemasyarakatan dan politik negara, oleh sebab demikian
halnya, maka tidak lagi disebut Islam. Demikian pentingnya hubungan antara agama
dan negara, sehingga Islam mengatur umatnya untuk bersatu dalam menegakkan
kebenaran dan keadilan, serta menegakkan syariat secara paripurna tidak dapat
terwujud tanpa diatur dengan kekuasaan negara.152
Pada kenyataannya Islam tidak hanya dilihat dari konsepsi normatif semata,
namun juga dipahami sebagai agama yang mempunyai seperangkat nilai yang
mengatur sisi-sisi praksis, di mana sisi praksis ini mengemuka sepanjang sejarah
peradaban manusia sesuai dengan kondisi zamannya. Dalam hal ini, berdasarkan
kenyataan tersebut, pejelasan terkait dengan kedudukan Islam pada sisi normatif dan
praksisinya sudah panjang lebar dijelaskan pada bab sebelumnya, mengupas tentang
sisi-sisi teori pemikiran politik Islam modern dari berbagai pendapat para tokoh.

2. Lahirnya Negara Sebagai Produk Kebudayaan


Proses lahirnya negara Islam menurut A. Hasjmy tidaklah sama seperti
proses lahirnya negara selain Islam. Kelahiran negara-negara lain berdasarkan

151
Joseph Lowry, “The Fall and Rise of the Islamic State,” Islamic Law and
Society, Vol. 18, No. 1 (2011): 124–126, https://brill.com/view/journals/ils/18/1/article-
p124_6.xml. Diakses Tanggal 10 Maret 2020.
152
Hasan Basri, Melampaui Islam Substantif: Biografi Politik A. Hasjmy..., h. 138-
139.

65
konfrontasi dari teori-teori politik dan hukum. Berbeda dengan negara Islam yang
lahir dari belasan abad yang lalu, bila dibandingkan dengan negara-negara yang
muncul pada abad-abad berikutnya. Hal ini memungkinkan dari pendapat para ahli
mengenai wujud politik Islam itu sendiri. Pendapat sebagian ahli mengatakan
bahwa, wujud politik Islam pada dasarnya tidak ada. Sementara sebagian yang
lainnya mengatakan bahwa, wujud politik Islam terkait dengan negara sudah ada
dalam wujud nyata yang didirikan oleh Rasulullah, dalam konteks negara
Madinah.153
A. Hasjmy, menjelaskan bahwa cara-cara yang ditempuh untuk membangun
suatu negara pada masa saat ini bermacam-macam, ada yang mengikuti proses
berdiri negara secara tertib, dengan cara lembaga politik mengadakan sidang untuk
membahas nama negara, bentuk negara, asas, ibu kota negara, dan Kepala Negara.
Adapula yang menempuh cara perjuangan dalam memperebutkan kemerdekaan dari
tangan penjajah. 154 Dan juga ada negara yang berdiri oleh karena memperoleh
kemerdekaan dari negara lain yang sebelumnya menguasai suatu negara.155 Dari
pemaparan tersebut dapat dipahami bahwa berdirinya negara Indonesia adalah hasil
dari perjuangan anak-anak bangsa dengan semangat melawan penjajahan.
Lahirnya Islam membawa perobahan cepat (revolusi) dalam pikiran Arab
pada kususnya dan alam pikiran dunia pada umumnya. 156 Timbulnya revolusi dalam
“dunia pikiran” berarti akan terjadi revolusi dalam segala bidang kehidupan

153
A. Hasjmy, Nabi Muhammad saw., Sebagai panglima Perang, (Jakarta: Mutiara
Sumber Widya, 1998), h. 20.
154
Negara yang berdiri dengan menempuh kemerdekaan melalui perjuangan yang
dilakukan oleh masyarakatnya dalam mempertahankan hak atas tanah airnya dengan
mengusir penjajahan, diantaranya adalah negara Republik Indonesia, Afganistan, Bahrain,
Irak, Iran, Kuwait, Myanmar, Yordania, Amerika Serikat, Mesir, dan Sudan.
155
Negara-negara yang berdiri atas persmakmuran, tanpa melalui proses perjuangan
merebut dari dengan cara peperangan di antaranya adalah Brunai Darussalam, India,
Maladewa, Malaysia, Pakistan, Singapura, Siprus, Sri langka, Anguilla, Antigua, Bahama,
Barbados, Kanada, Dominika, Grenada, Jamaika, Saint Kitts dan Nevis, Saint Lucia, Saint
Vincen dan Grenadines, Trinidad dan Tobago, Guyana, Afrika, Botswana, Gambia, Ghana,
Kamerun, Kenya, Leshoto, Malawi, Mauritius, Namibia, Nigeria, Seychelles, Sierra Leone,
Swaziland, Tanzania, Uganda, Zambia, Australia, Fiji, Kiribati, Nauru, Selandia Baru,
Samoa, Kepulauan Solomon, Tonga, Tuvalu, Kepulauan Cook, Niue, Papua Nugini,
Republik Irlandia, dan Malta.
156
Sejak revolusi Iran meletus tahun 1979 perhatian Para Sarjana terhadap gejolak
Islam politik yang terjadi di berbagai belahan dunia Islam terus meningkat. Revolusi ini tak
hanya mengirimkan sinyal kekuatan nyata Islam politik, tetapi sekaligus mentransformasikan
mimpi dan menyediakan blueprint bagi pendirian negara Islam. Memang, dunia Islam pasca-
revolusi Iran menyaksikan letupan-letupan demonstrasi dan gairah menggebu-gebu menuntut
reposisi peran Islam di dalam landskap politik kenegaraan. Islam ditegaskan bukan sekadar
agama, tapi juga ideologi politik. Lihat, Noorhaidi Hasan, “Book Review: Islam Politik,
Teori Gerakan Sosial, Dan Pencarian Model Pengkajian Islam Baru Lintas-Disiplin,” Al-
Jami‟ah: Journal of Islamic Studies, Vol. 44, No. 1 (June 1, 2006): 241, http:// www.al jamia
h.or.id/index.php/AJIS/article/view/56. Diakses Tanggal 18 Maret 2020.

66
manusia,157 seperti halnya bidang agama, bidang politik, bidang ekonomi, dan
bidang sosial budaya, bahkan juga dalam bidang bahasa dan ilmu pengetahuan.
Kedatangan Islam membawa perubahan besar dalam segala bidang, terutama sekali
di Jazirah Arabia. Selama masa Nabi dan khula>fa ar rasyidi>n, dan pada umumnya
mereka sibuk dengan dakwah, jihad, dan penaklukan. Islam datang dengan konsep
Alqur„an dan Hadis, kedua ajaran ini menyelundup dalam lubuk hati Para Sahabat,
dan bersemi abadi dalam zahiri mereka. Sehingga sangat cepat merubah adat
istiadat, budi, dan akhlak. Bahkan tidak hanya sampai di situ juga merubah seluruh
bidang kehidupan, sehingga perubahan berpengaruh terhadap pengembangan ilmu
pengetahun, tata cara hidup, tata cara berfikir, atau dengan kata lain berbekas pada
pembentukan kebudayaan baru dalam kehidupan mereka. Revolusi Islam yang
bernafaskan Alqur„an dan as-Sunnah, telah membangun suatu kebudayaan baru, di
atas puing-puing kebudayaan Jahiliyah. 158
Sebagai sebuah kerajaan Islam, pertanyaan mengenai sejauh mana hukum
Islam telah diaplikasikan di Aceh pada abad ke-17 dan di mana peran “adat” dalam
proses judicial merupakan isu yang menarik untuk dikaji, kususnya dalam konteks
keislaman di Asia Tenggara yang diduga bahwa dalam praktiknya “adat”
memainkan peran penting, bahkan dominan. C. Snouck Hurgronje telah menggaris
bawahi dominasi “adat” dalam proses judical di daerah ini pada akhir abad ke-17.
Pertanyaan ini, menurut Amirul Hadi penting untuk diangkat, karena hukum Islam
juga dianggap sebagai “parameter” dalam melihat Islami atau tidak sebuah
masyarakat. Joseph Shacht159 menegaskan bahwa, “hukum Islam merupakan
manifestasi yang paling tipikal dari pandangan hidup yang Islami. Ia merupakan
pusat dan inti dari Islam itu sendiri. 160
Kata “adat” yang digunakan di kawasan nusantara berasal dari bahasa Arab,
yang disebut dengan ‗a>dah (yang juga dikenal sebagai ‗urf) tidak pernah menjadi
sumber resmi hukum Islam. Namun, dalam praktiknya ‗a>dah sering dimasukkan ke
dalam salah satu rujukan hukum. ‗A>dah terkadang digunakan ketika sumber-sumber
utama hukum Islam (Alquran, hadis, Ijma‟, dan qiyas) tidak berbicara mengenai hal
yang dimaksud. Meskipun ini tidak berarti bahwa, hukum yang berasal dari ‗a>dah
bertentangan dengan spirit Islam, seperti yang tertuang dalam Alquran dan hadis.
Selanjutnya ‗a>dah sering berperan sebagai satu-satunya rujukan terbaik yang
digunakan ketika muncul interpretasi yang beragam tentang ayat-ayat Alquran.
Dalam hal ini, rujukan pada hukum adat merupakan refleksi dari waktu dan tempat

157
Daniel Kaufman, “Redating the Social Revolution: The Case for the Middle
Paleolithic,” Journal of Anthropological Research, Vol. 58, No. 4, (December 2002): 477–49
2,https://www.journals.uchicago.edu/doi/10.1086/jar.58.4.3630676. Diakses Tanggal 25
Maret 2020.
158
A. Hasjmy, Sejarah Kebudayaan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), h. 42.
159
Nur Aziz Muslim, “Hukum Islam Dalam Prespektif Orientalis: Menelusuri Jejak
Pemikran Joseph Shacht,” Ahkam: Jurnal Hukum Islam, Vol. 5, No. 2, (November 1, 2017),
http://ejournal.iain-tulungagung.ac.id/index.php/ahkam/article/view/784. Diakses Tanggal 30
November 2020.
160
Amirul Hadi, Aceh: Sejarah, Budaya dan Tradisi..., h. 171-172.

67
tertentu.161 Budaya asli masyarakat Asia Tenggara pra-Islam menurut Ira M. Lapidus
menjadi landasan untuk peradaban Islam pada era berikutnya. 162
Demikianlah adat yang dipahami oleh masyarakat Aceh ketika itu. ketika
berbicara mengenai “adat” pada abad ke-19, sebagaimana dijelaskan oleh Amirul
Hadi, Snouck Hurgronje memahaminya sebagai “kebiasaan” (coustum) dan “hukum
adat” (coustomary law), dengan menekankan bahwa adat lebih banyak digunakan
daripada syari„ah (yang dikenal sebagai hukum). Dalam hal ini, “adat” memiliki
konsekuensi hukum. Beranjak dari kenyataan ini, Vollenhoven menawarkan istilah
“hukum adat” (adat law) untuk mengatasi kerancuan yang muncul dari istilah “adat”
yang berarti etika semata dan “adat” yang bermakna hukum. Vollenhoven 163 juga
memahami kemungkinan terjadinya tumpang tindih makna antara “adat” dan
“hukum adat”, namun keduanya masih dapat dibedakan, karena dalam banyak hal,
adalah mudah untuk membedakan antara adat yang memiliki konsekuensi hukum
dari yang tidak.
“Adat” yang memiliki karatkter hukum di Aceh pada abad ke-17 sering
ditemukan. Namun di sini harus ditekankan bahwa „adat” pada masa ini juga
mencakup perundang-undangan kerajaan (baik yang tertulis maupun tidak) dan
berbagai hukum lain yang diterapkan oleh pihak istana tanpa memiliki keterkaitan
dengan ajaran Islam. “Sarakata” (royal edicts) merupakan bentuk utama dari “adat
kerajaan” (royal adat). Istilah adat digunakan secara jelas di dalam “sarakata” dan
juga di dalam kitab “Adat Aceh”, media bagi penguasa memaparkan berbagai aturan
kerajaan. Dalam konteks ini, istilah populer “Adat Meukuta Alam” dipahami
sebagai segala aturan kerajaan yang dibuat oleh Sultan Iskandar Muda.164 Tradisi
intelektual sangat terkait dengan berbagai faktor dalam sebuah komunitas atau
negara, termasuuk politik, ekonomi, dan sosial kemasyarakatan. Hal-hal inilah yang
akan menjadi pijakan historis. Dikatan historis, karena ia bersifat gradual dan
evolutionary. Oleh karena itu, berbicara mengenai tradisi intelektual di kerajaan
Aceh pada abad ke-17 mengharuskan kita memusatkan perhatian pada pembahasan
mengenai sebuah proses.165
Membangun tradisi intelektual Aceh yang mana pemahamannya tidak
terlepas dari nilai-nilai budaya dalam memahami hukum Islam telah sampai pada
seorang tokoh modern Aceh, adalah A. Hasjmy melatar belakangi pemikirannya
berdasarkan ilmu pengetahuan budaya. Kebudayaan cukup memberi pengaruh
terhadap pikiran dan tindakannya. Pada peristiwa Aceh bergolak, sebagaimana

161
Amirul Hadi, Aceh: Sejarah, Budaya dan Tradisi..., h. 173.
162
Bruce Lawrence, Edmund Burke, and Ira M. Lapidus, “Islam, Politics, and
Social Movements.,” Pacific Affairs, Vol. 64, No. 1 (1991): 86, https://www.jstor.org/stable/
27603 65?origin=crossref. Diakses Tanggal 11 Desember 2020.
163
Ronald F. van Vollenhoven, “Treatment of Rheumatoid Arthritis: State of the Art
2009,” Nature Reviews Rheumatology, Vol. 5, No. 10 (October 2009): 531–541, http://www.
nature.com/articles/nrrheum.2009.182. Diakses Tanggal 30 November 2020. Lihat juga, J. F.
Holleman, ed., Van Vollenhoven on Indonesian Adat Law, Van Vollenhoven on Indonesian
Adat Law (Dordrecht: Springer Netherlands, 1981), http://link.springer.com/1 0.1007/978-
94-017-5878-9. Diakses Tanggal 30 November 2020.
164
Amirul Hadi, Aceh: Sejarah, Budaya dan Tradisi..., h. 173-174.
165
Amirul Hadi, Aceh: Sejarah, Budaya dan Tradisi..., h. 155.

68
digambarkan oleh Ainal Mardhiah, A. Hasjmy sebagai sosok yang meneladani
beberapa sahabat Rasulullah saw., seperti „Abd ar-Rah}man bin „Auf, Ibn „Abbas,
dan „Ammar ibn Yassir. Ketika „Ali> ibn Abi> Tha>lib bersengketa dengan Mu„awiyah
ibn Abi> Sufya>n mereka malah menyuruh umat agar tidak melibatkan diri, dan
mereka yakin bahwa setiap sengketa tidak mungkin diselesaikan dengan senjata,
tetapi harus dengan cara musyawarah. Padahal banyak tokoh kharismatik Aceh yang
terlibat pada masa itu. Sebagai orang yang berjiwa sastra dan berfikir bijak, A.
Hasjmy ditunjuk sebagai penengah kedua kelompok yang sedang bertikai. Dengan
sekuat tenaga A. Hasjmy mencoba menjembatani antara pihak “Darul Islam” dengan
pemerintah pusat. Usaha A. Hasjmy tidak sia-sia, dan terbukti pada akhirnya,
pemerintah pusat dapat membaca secara positif buah pikirannya. 166 Peritiwa
tah}kim/arbitrase merupakan catatan pertama dalam kebudayaan Islam, tentang
peristiwa perdamain, yang mana dengannya mengakibatkan lahirnya berbagai aliran
kalam dalam Islam.
Melewati transformasi dan sosialisasi ajaran Islam yang dilakukan oleh para
guru agama, atau ulama sejak masuknya Islam di Aceh, maka respon rakyat Aceh
sangatlah fanatik kepada Islam. Sikap fanatik ini telah menggerakkan rakyat Aceh
melawan penajajahan Belanda selama puluhan tahun. Dan sikap fanatik ini juga
telah mempengaruhi keberanian orang Aceh untuk melawan segala bentuk
kebathilan dan anti Islam. A. Hasjmy menggambarkan keberanian masyarakat Aceh
karena dimotivasi oleh semangat agama yang mereka anut. Dengan semangat
melawan kafir,167 sebagai musuh Islam. Orang-orang Aceh yang mati dalam
peperangan disebut dengan “syahid”, dan sekaligus meyakininya mereka akan
memperoleh syurga, sebagai tempat peristirahatan yang penuh dengan segala
kenikmatan.168
Memahami Islam, terutama dalam memahami konsep politik Islam, unsur
kebudayaan juga mempengaruhi latar belakang pemikiran A. Hasjmy. Berbagai
macam defenisi yang yang telah dikemukakan oleh Para Ahli tentang pengertian
kebudayaan. Dari semua defenisi yang telah dibuat oleh Para Ahli, dapat
disimpulkan bahwa, kebudayaan menurut A. Hasjmy merupakan penjelamaan
(manifestasi) akal dan rasa manusia, hal mana berarti pula, bahwa manusialah yang
menciptakan kebudayaan, atau dengan kata yang lain, kebudayaan bersumber
kepada manusia. Dengan demikian jelaslah kebudayaan yang melekat pada Islam

166
Ainal Mardhiah Ali, A. Hasjmy Bapak Untuk Semua. Dalam, Hasan Basri,
Melapaui Islam Substantif: Biografi Politik A. Hasjmy..., h. 128.
167
Kebiasaan masyarakat Aceh dalam menuturkan tentang kata kafir dengan
sebutan kaphe, atau dengan kata yang lebih spesifik sebutannya kaphe Belanda. Kata kaphe
yang disematkan kepada Belanda, sebagai bentuk perwujudan perlawanan nyata terhadap
pendudukan dan penjajahan Belanda.
168
Tentunya perjuangan melawan penjajahan Belanda dengan harapan mendapatkan
ridha Allah swt., dan syurga-Nya dikobarkan melalui sya„ir perjuangan yang mampu
menggerakkan keberanian juang masyarakat Aceh melalui semangat hikayat Prang Sabi
(hikayat perang di jalan Allah swt.). lihat, Hasan Basri, Melampaui Islam substantif: Biografi
Politik A. Hasjmy...., h. 43.

69
merupakan hasil dari penjelmaan dan rasa masyarakat Muslim dan bersumber
kepada masyarakat Muslim. 169
Membangun pemikiran yang berdasarkan kebudayaan Islam A. Hasjmy
tidak hanya mengajarkan dan mendakwahnya saja. Lebih dari itu ia mencoba
memahami, menganalisa beberapa eksperimentasi kenegaraan di masa lampau
dalam sejarah Islam. Islam mengandung unsur transenden dan non-transenden
seperti politik, ekonomi dan social. Semua ini muncul dari pemikiran kenegaraannya
lewat pemahaman terhadap dasar-dasar kebudayaan Islam. Keyakinannya yang
tinggi terhadap Islam yang dilihat dari pendekatan kebudayaan ternyata
mempengaruhi pikiran dan perilakunya. Hal ini relevan dengan satu teori yang
mengatakan bahwa “keyakinan seseorang mempengaruhi perilakunya”.170
Sejarah kebudayaan Aceh, sebagai tempat pertama bertapak Islam di
Indonesia, identik dengan sejarah kebudayaan Islam di Nusantara, atau dengan
ibarat yang lain, sejarah kebudayaan Aceh adalah awal sejarah kebudayaan Islam di
Indonesia, bahkan di Asia Tenggara. Karena Acehlah tempat di mana memulai
sejarahnya di Asia Tenggara. A. Hasjmy membangun Argumentasi sejarah
kebudayaan Islam berdasarkan filosofi Alquran surat al-‘Alaq ayat 1-5.
Berdasarkan ayat tersebut A. Hasjmy mengemukakan bahwa dasar kebudayaan
berpangkal pada keimanan dan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, ilmu
pengetahuan, mempunyai wawasan yang luas yang mencakup tentang manusia dan
seluruhnya, kebudayaan yang beradab dan bertamassun, dan kasih sayang atau
persaudaraan umat manusia.171
Manusia sebagai pencipta kebudayaan dalam mencapai hajat hidup secara
individual maupun secara berkelompok-kelompok, yang menyebabkan harus
terpeliharanya hubungan antar sesama manusia. Demikian juga, untuk memelihara
hajat hidup, manusia tidak boleh lepas dari bimbingan dan aturan Tuhan Yang Maha
Esa, yang telah mengutus Para Rasul untuk menyampaikan agama (Islam) kepada
mereka sebgai pengikat hubungan yang tetap kepada Kha>liknya.172 Dengan
demikian, kebudayaan yang mereka cipta semata-mata untuk memenuhi hajat
hidupnya akan menjadikan hidup bahagia, rukun,damai, dan sejahtera. Dalam
perjalanannya pencipta kebudayaan itu adalah manusia. Hal itu sebab manusia
diciptakan Tuhan dalam wujud amat sempurna, baik wujud jasmani, wujud rohani,
hajat hidup ijtima„i, maupun wujud akal budi.173

169
A. Hasjmy, Sejarah Kebudayaan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), h. 2.
170
Sayed Mudhahar Ahmad, A. Hasjmy: Antara Teungku Chik di Tiro dan Teungku
Daud Beureueh, dalam Badruzzaman at.al. (ed), A. Hasjmy, h. 339. Sebagaimana dikutip
oleh, Nuraini A. Manan, “Sekilas Tentang Konsepsi Kenegaraan Dalam Pandangan Ali
Hasjmy”, SUBSTANTIA Vol. 12, No. (1April 2010): 141, https://jurnal.ar-raniry.ac.id/index
.php/substantia/article/view/3783/2539. Diakses Tanggal 9 Maret 2020.
171
A. Hasjmy, Sejaraha Kebudayaan Islam di Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang,
1990), h. 76.
172
Alwi Shihab, dkk., Islam & Kebinekaan, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
2014), h. 121.
173
A. Hasjmy, Sejarah Kebudayaan Islam..., h. 11-12.

71
Kemuliaan manusia oleh karena ke-Maha sempurnaan penciptaannya, akan
hancur berantakan apabila mereka tidak beriman dan tidak beramal bakti lagi,
demikian pula kedudukan mereka sebagai Khali>fah Allah akan berubah menjadi
Khali>fah yang durhaka. Kebudayaan ciptaan Khali>fah yang durhaka itu, tidak akan
membuat manusia menjadi bahagia, rukun, damai, sejahtera, dan tentram, sebab
kebudayaan yang diciptakan itu adalah kebudayaan yang durjana. Khali>fah yang
durhaka itu sama seperti binatang, bahkan lebih sesat lagi dari binatang. 174
Kebudayaan yang diciptakan oleh Khali>fah Allah Yang beriman dan beramal saleh
untuk memenuhi hajat hidup Umat Manusia adalah manifestasi keimanan dan amal
saleh, hatta kebudayaannya dapat disebut kebudayaan amal saleh.
Berdasarkan alur pikir kebudayaan tersebut menurut A. Hasjmy fungsi
syariat, agama, atau risalah yang disampaikan Allah swt., kepada manusia dengan
perantara Para Rasul-Nya, meliputi atas dua ajaran dasar, yaitu ibadah dan syari„ah.
Akidah dan ibadah mengatur hubungan manusia dengan Kha>liknya, Allah swt., yang
hikmahnya juga membina hubungan manusia sesama manusia dalam kehidupan
bermasyarakat. Ajaran syari„ah mengatur hubungan manusia dengan dirinya sendiri,
dengan keluarganya, dengan sesama manusia, dengan alam lingkungan, masyarakat,
dan dengan negara, bahkan syariat mengatur hubungan antar lingkungan/masyarakat
dan antar negara, hubungan yang diatur syariat ini berlaku dalam segala kehidupan
dan penghidupan.
Pada hakikatnya, bahwa kebudayaan (kebudayaan Iman dan Amal Saleh),
adalah manifestasi dari hubungan-hubungan yang diatur oleh dua ajaran dasar
agama, yaitu akidah dan ibadah, serta amal saleh. Dari akidah dan ibadah yang
mengatur hubungan manusia dengan Kha>liknya, Allah swt., menjelma jenis-jenis
kebudayaan, di antaranya. Pertama, mendekatkan diri kepada Allah swt., melalui
tariqat-tariqat (bukan aliran kepercayaan/kebathinan) yang didirikan oleh Ulama
Sufi yang tidak puas dengan kenyataan hidup disekelilingnya. Kedua, dalam rangka
mendekatkan diri dengan Allah swt., manusia membangun rumah-rumah ibadah.
Ketiga, memuliakan Kitab Suci Alquranul Karim dengan menciptakan Khattun
Jamilun (tulisan indah) menakjubkan yang menjadi hiasan dinding di masjid-masjid
dan gedung-gedung maupun lainnya.
Sementara dalam konteks syari„ah yang mengatur hubungan antar manusia
pribadi dan antar kelompok menjelaskan jenis-jenis kebudayaan duniawi, di
antaranya adalah pertama, akad nikah yang diatur dalam syariat yang pada asalnya
hanya “ijab kabul” yang mana oleh manusia dijadikan peristiwa penting dalam
perjalanan hidupnya yang diabadikan lewat prosesi adat dan budaya. Kedua, Sunat
Rasul (khitan) yang menjadi sunnah dalam syri„at dengan berbagai upacara adat,
baik sebelum dan sesudahnya. Ketiga, para pelaksana jamaah haji yang menunaikan
ibadah wajibnya dengan prosesi pelepasannya dengan berbagai prosesi adat yang
pada akhirnya membudaya dalam masyarkat. Keempat, menjelang akan datangnya
bulan suci ramadhan, kaum Muslimin sama-sama akan menziarahi makam-makam
orang tuanya atau keluarganya yang telah meninggal, dan ini juga membudaya
dalam masyarakat.

174
Q. S: al-A‟raf/ 07: 179.

71
Penegasan syariat bahwa manusia dijadikan terdiri dari berbangsa-bangsa
(kaum), dan bangsa-bangsa tersebut terdiri dari suku-suku (kabilah), memberi
kemungkinan bagi lahirnya (kebudyaan suku/daerah), di samping tumbuhnya
kebudayaan bangsa/nasional bahkan juga kebudayaan antar bangsa/internasional. 175
Berdasarkan narasi keagamaan bahwa, kebudayaan yang paling sempurna adalah
kebudayaan yang memancarkan nilai takwa yang paling tinggi. Untuk memenuhi
hajat hidup sosialnya, dalam pandangan A. Hasjmy syariat menyuruh manusia
sebagai Khali>fah Allah swt., yang bertugas membangun kebudayaan di atas bumi,
agar mereka mendirikan organisasi negara (ummah/daulah) yang diperlengkap
dengan berbagai peraturan perundangan, lembaga-lembaga, dan tata cara menjadi
hajat hidup negara/ummah.176
Berdasarkan uraian-uraian di atas, A. Hasjmy memahami, bahwa
kebudayaan bukan saja tidak bertentangan dengan Islam, 177 bahkan ajaran-ajaran
dasar Islam itu sendiri memberi jalan kepada manusia untuk mendapatkan segala
hajad hidupnya, yang mana daripadanya menjelma berbagai jenis kebudayaan, yang
mendukung tujuan risalah/agama secara umum, yaitu pembinaan kebahagiaan dan
kesejahteraan umat manusia, bahkan alam semesta. Dalam hubungan ini, maka
masuk akal kalau kebudayaan yang dijelmakan oleh tindak laksana ajaran-ajaran
dasar agama (akidah, ibadah, syari„ah, muamalah, dan akhlak) dapat menjelma
menjadi kebudayaan suku bangsa/daerah dan kebudayaan bangsa/nasional, bahkan
kebudayaan antar bangsa/dunia internasional. 178 Dengan ini A. Hasjmy telah
memaklumi hadirnya negara Indonesia merupakan manifestasi dari revolusi budaya
yang berkembang dari pemikiran konteks zaman. Sehingga, Islam tidak perlu hadir
sebagai dasar negara, namun cukup menjalankan nilai-nilai yang terkandung di
dalamnya menjadi aturan/qanun/peraturan sebagai alat kerja dalam membangun
kebangsaan.

3. Urgensi Politik dan Kekuasaan


Bertolak dari peryataan tentang perlukah adanya negara menurut pandangan
Islam, melahirkan momen bebas memilih bagi umat Islam, semasa seabad penuh
umat Islam melakukan perlawanan terhadap penjajahan Barat di dunia-dunia Islam,
termasuk Indonesia, berjuang dengan harapan mencapai kebebasan hidup, harap-
harap cemas, namun pada akhirnya kemerdekaan diperoleh oleh sebagian besar
negeri-negeri yang berpenduduk Muslim berhasil memperoleh kemerdekaan
seutuhnya dari hegemoni penjajah. Semasa dan setelahnya, di mana perjuangan
kemerdekaan diperjuangkan, terlebih dahulu muncul wacana, seperti apakah bentuk
negara yang akan di bangun dalam memerintah diri sendiri untuk mencapai tujuan

175
Q. S. Al-Hujarat/49: 13.
176
Q. S. Ali „Imran/03: 103-104.
177
Islam merupakan agama samawi yang datangnya dari Allah swt., dengan tujuan
mengatur dam membimbing manusia untuk mencapai kebahagiaan dan kesejahteraan,
sehingga agama menjadi rahmat bagi kehidupan umat manusia, bahkan alam semesta.
Sebagaimana Allah swt., menegaskan dalam firmannya. Q. S. Al-Anbiya/21: 105-108.
178
A. Hasjmy, Sejarah Kebudayaan Islam..., h. 9-17.

72
hidup bersama dalam rangka mengantarkan kebahagiaan dan kesejahteraan bagi
rakyat.179
Terhadap pertanyaan di atas A. Hasjmy menanggapai persoalan tersebut
dengan mencari akar geneologi mengenai pemikiran Politik Islam, terutama sekali
menyangkut dengan relasi Islam dan negara. A. Hasjmy menggambarkan bagaimana
dasar-dasar negara menjadi problem pokok bagi pemimpin-pemimpin Islam di
mana-mana. Menurut A. Hasjmy, adanya negara menurut hukum Islam adalah
wajib, beradasarkan tiga dalil, yaitu: Dalil ‗Aqli, Dalil Syar‗i, Dalil Tarikhi.180
Pertama, Dalil „Aqli. Sebelumnya A. Hasjmy mengutip penjelasan dari Ibnu
Khaldun, Madjid Khadduri, dan Al-Farabi. Dalam pandangan Ibnu Khaldun,181
“Manusia adalah makhluk sosial, demikian kata Ibnu Khaldun. Berdasarkan
sunnatullah, maka manusia tidaklah mungkin hidup terasing sendirian, tidak
memerlukan kepada manusia yang lain. Oleh sebab manusia memerlukan manusia
yang lain, maka dengan sendirinya akan lahir masyarakat manusia”. Adanya
masyarakat manusia merupakan suatu keharusan, hal ini diibaratkan oleh ahli pikir
dengan istilah “watak manusia senantiasa berhaluan maju”, yang berarti bahwa
adanya masyarakat adalah suatu keharusan bagi mereka yang disebut dengan “al-
Madaniyah”.
Manusia menurut Al-Farabi, merupakan makhluk sosial yang tidak mungkin
hidup dengan sendiri-sendiri. Manusia hidup bermasyarakat dan saling membantu
untuk kepentingan hidup bersama, dalam mencapai tujuan hidup yakni kebahagiaan.
182
Setelah masyarakat manusia terbentuk dan sempurna kemajuan dunia menurut
Ibnu Khaldun, sebagaimana dikutip oleh A. Hasjmy, maka menjadi keharusan pula
adanya seorang pemimpin dalam kalangan mereka untuk menghindari percecokan,
yang ditimbulkan oleh mereka yang suka bermusuhan dan kejam. Dengan demikian
menjadi keharusan pula adanya suatu keharusan yang lain melindungi manusia dari
permusuhan sesamanya dan sesuatu itu tidak akan ada pada hewan bukan manusia,

179
Kiranya perdebatan (diskursus) wacana tentang politik Islam yaitu “hubungan
antara Islam dan Negara” menjadi pemicu adanya pro dan kontra terhadap pemberlakukan
demokrasi di Indonesia,. Tema tersebut menjadi tema perdebatan yang belum terselesaikan.
Perbedaan yang mendasar dikalangan internal yang diikuti oleh sikap antagonistik sejumlah
kelompok Islam yang secara aksiomatik menolak dan menerima gagasan demokrasi di
Indonesia ini saling beradu konsep dan gerakan dengan mengusung isu yang berbeda. Bagi
kelompok fundementalis mengusung isu Khila>fah dan atau syariat Islam sedang kelompok
Islam modernis mengusung isu demokrasi sebagi jargon idiologi gerakan politiknya. Lihat,
Kunawi Basyir, “Ideologi Gerakan Politik Islam Di Indonesia,” Al-Tahrir: Jurnal Pemikiran
Islam, Vol. 16, No. 2 (December 22, 2016): 339, http://jurnal.stainponorogo.ac .id/index.php/
tahrir/article/view/423. Diakases Tanggal 22 Februari 2020.
180
A. Hasjmy, Di Mana Letaknya Negara Islam..., h. 14.
181
Ibnu Khaldun, Muqaddimah, Dalam, A. Hasjmy, Di mana Letaknya Negara
Islam..., h. 15-17. Selengkapnya baca, Ibnu Khaldun, Muqaddimah Ibnu Khaldun, Terj.
Ahmadie Thoha, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008).
182
Moh. Asy„ari Muthhar, The Ideal State: Perspekti Al-Farabi Tentang Konsep
Negara Ideal, (Yogyakarta: IRCiSod, 2018), h. 15. Selengkapnya lihat juga, Al-Farabi,
Ar„Ah al-Madinah al-Fadhilah, (Beirut: Dar al-Masyriq, 1996), h. 69 dan 118. Bandingkan
dengan, Al-Farabi, al-Millah wa Nususun Ukhra, (Beirut: Dar al-Masyriq, 1986), h. 53.

73
karena mereka tidak punya perlengkapan otak yang dimiliki manusia. Pemimpin
yang dimaksud mesti salah seorang di antara mereka yang berwibawa dan
berpengaruh, sehingga sanggup mencegah timbulnya permusuhan. 183
Selain pendapat Ibnu Khaldun, A. Hasjmy juga mengutip penjelasan Majid
Khadduri, seorang sarjana Pakistan yang hidup diabad dua puluh, Khadduri
menyimpulkan, setelah alam pikiran nenek moyang orang Yunani, menganggap
seperti sudah semestinya, bahwa menurut tabi‗i manusia adalah makhluk sosial.
Manusia hanya bisa hidup sebagai anggota masyarakat. Tidak seorangpun dari
makhluk yang bisa hidup sendirian, kecuali Allah swt., sudah menjadi fitranya
manusia diciptakan untuk hidup bersama. 184 Dalam hal ini, al-Farabi menambahkan
telah menjadi dasarnya bahwa, manusia tidak diperlengkapi untuk melengkapi
semua kebutuhan hidupnya, tanpa bantuan orang lain. Jika seseorang pernah
mencapai kebutuhan hidup, pasti ia telah ikut dalam masyarakat dan bergotong
royong dengan teman-temannya. Tidak hanya masyarakat dipandang sebagai suatu
keharusan untuk kelanjutan hidup umat manusia, tetapi juga tak dapat disangkal lagi
bahwa masyarakat itu adalah pengertian kekuasaan. Oleh karena itu, masyarakat
tidak akan dapat hidup tanpa kekuasaan.
Menurut A. Hasjmy argumentasi yang dibangun oleh Majid Khadduri dan
Ibnu Khaldun bersesuaian dengan apa yang dipahaminya, kecenderungan pemikiran
A. Hasjmy terpengaruh berdasarkan pemikiran kedua sarjana Islam tersebut,
disebabkan oleh karena keberadaan negara dibangun berdasarkan argumentasi akal.
Walaupun kedua sarjana Islam yang disebutkan di atas hidup dalam berbeda zaman
yang sangat berjauhan, namun bagi A. Hasjmy cukup menjadi dalil keharusan
adanya negara. Menurut A. Hasjmy, dalil ‗aqli pada hakikatnya adalah dalil syar‗,
oleh karena bagi Islam itu sendiri, keharusan mempergunakan akal adalah sangat
mutlak. Membangun argumentasi berdasarkan akal, sehingga berkembang dan
berfikir merupakan satu di antara tugas-tugas Islam. Menguatkan argumentasinya A.
Hasjmy menegaskan bahwasanya, Alquran dan hadis penuh dengan ajaran-ajaran
yang merangsang akal. Hal ini tercermin dari apa yang dipahami oleh A. Hasjmy
berdasarkan dalil Alquran.185
Kedua, Dalil Syar„i. Menurut A. Hasjmy, sebagaimana yang telah
disebutkan di atas bahwa, dalil naqli adalah bagian dari dalil syar„i, yakni

183
Mengenai supremasi kepemimpinan selengkapnya lihat, Alireza Nader, David
Thaler, and S. Bohandy, The Next Supreme Leader: Succession in the Islamic Republic of
Iran, The Next Supreme Leader: Succession in the Islamic Republic of Iran (RAND
Corporation, 2011), https://www.rand.org/pubs/monographs/MG1052.html. Diakses Tanggal
22 Februari 2020.
184
A. Hasjmy, Di mana Letaknya Negara Islam..., h. 17., Lihat juga, Majid
Khadduri, “JEAN and SIMONNE LACOUTURE. Egypt in Transition. Translated by Francis
Scarfe. Pp. 532. New York: Criterion Books, 1958. $7.50,” The ANNALS of the American
Academy of Political and Social Science, Vol. 323, No. 1 (May 8, 1959): 169–169,
http://journals.s age pub.com/doi/10.1177/000271625932300130. Diakses Tanggal 22
Februari 2020.
185
Hal ini tercermin dari apa yang dipahami oleh A. Hasjmy berdasarkan dalil
Alquran yang artinya, “perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi”. Q. S. Yunus/10:
101

74
keterangan-keterangan yang diambil melalui Alquran. A. Hasjmy memandang
bahwa, Alquran dengan sangat tegas telah menetapkan keharusan adanya “negara”,
dan telah menggariskan pula tujuan daripada berdirinya negara. Allah swt.,
memerintahkan Rasul-Nya untuk membiasakan dan melatih diri dalam urusan-
urusan kenegaraan, sebagaimana halnya perintah yang serupa juga ditujukan kepada
segenap kaum Muslimin. Dalam hal ini, A. Hasjmy mengutip ayat dalam Alquran.186
Keterangan dari ayat di atas menyatakan bahwa, menurut A. Hasjmy tertera
janji Allah swt., kepada kaum Mukmin yang berbakti akan diangkat menjadi
pemimpin di dunia (Khali>fah), Islam akan kekal abadi, kehidupan cemas akan
diganti dengan kehidupan damai bahagia, ini semua tidak akan berlaku tanpa ada
negara dan pemerintahan. Dalam hal ini, A. Hasjmy menguatkan argumentasinya
berdasarkan firman Tuhan dalam Alquran.187 Ayat-ayat tersebut ditujukan kepada
Nabi Muhammad saw., membawa berita agar Nabi Muhammad saw., membiasakan
diri dengan berbagai urusan yang menyangkut dengan ketatanegaraan seperti:
peradilan, peperangan, administrasi pemerintahan, politik, ekonomi, keamanan,
hubungan antar negara, dan musyawarah. Dan semua itu baru akan terwujud serta
dapat dilaksanakan dengan adanya negara dan pemerintahan. 188 Terdapat beberapa
ayat Alquran yang yang memperkuat A. Hasjmy dalam membangun argumentasi
politiknya berdasarkan wacana yang terdapat dalam Alquran.189
Ayat-ayat yang telah disebutkan mengandung ketentuan-ketentuan hukum
yang berekenaan dengan qishash, kewajiban berjihad, ketaatan kepada Allah swt.,
ketaatan kepada Rasul, dan ketaatan kepada Kepala Pemerintahan, memotong
tangan yang mencuri, memperlengkap diri menghadapi musuh, dan menunaikan
janji dengan pihak lawan. Dengan demikian, semua urusan tersebut adalah urusan
negara dan urusan pemerintahan. Berdasarkan dalil-dalil tersebut menurut A.
Hasjmy, jelas bahwa berdirinya negarabagi kaum Muslimin adalah wajib
hukumnya.190
Ketiga, Dalil tarikhi. Mengenai dalil tarikhi A. Hasjmy menjelaskan, yang
dimaksud dengan dalil tarikhi adalah pengutaran sejarah dalam Alquran dan hadis,
tentang adanya negaradan pemerintahan, pada zaman-zaman sebelum Islam hadir
yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw., hal ini, tentunya banyak sekali kisa-kisah
yang diceritakan dalam Alquran mengenai kisah-kisah Para Nabi masa lalu.191

186
Q. S. An-Nur/024: 55.
187
Q. S. Ali-Imran/003: 159.
188
A. Hasjmy, Di mana Letaknya Negara Islam..., h.19-20.
189
Q. S. Al-Baqarah/002: 190. Q. S. An-Nisak/004: 58-59. Q. S. Al-Maidah/005: 38.
Q. S. Al-Anfal/008: 60. Q. S. At-Taubah/009: 4.
190
A. Hasjmy, Di mana Letaknya Negara Islam..., h. 21.
191
Kisah-kisah tersebut di antaranya adalah Kisah Nabi Nuh as., yang diutus kepada
suatu kaum di mana pemerintah dan kaumnya telah sangat durjana, mereka terus menerus
membangkang kepada Allah dan rasulnya. Kisah Nabi Hud, pada zaman yang telah lampau
di sebelah Selatan Jazirah Arab, berdiam suatu bangsa yang berpemerintahan kuat, kaya
mewah dan makmur. Karena kekayaan itu mereka lupa kepada Allah swt., membangkang
kepada kebenaran. Mereka menyembah patung. Kepada merekalah berturut-turut diutusnya
Nabi, seperti Nabi Hud as., Nabi Shalih as., Nabi Luth as., Nabi Shu„aib as. Sebab kaum
tersebut membanngkang, maka akhirnya mereka musnah. Kisah Nabi Ibrahim as., juga

75
Beberapa kisah masa lalu yang telah diceritakan dalam Alquan tentang kerajaan dan
negara yang pernah ada dan diperintahkan oleh manusia, bukanlah hanya sekedar
menjadi bahan bacaan semata, melainkan kisah-kisah tersebut menjadi pelajaran dan
patron bagi umat manusia berikutnya, termasuk menjadi pedoman ketatanegaraan
bagi Nabi Muhammad saw., itu sendiri, dan juga bagi umat manusia setelahnya
sepanjang masa hingga kini dan masa yang akan datang.

B. Eksistensi Negara Islam


1. Keniscayaan Negara Islam
Islam datang pada dasarnya untuk membebaskan manusia dari kerusakan
melaui segala penjuru. 192 Kehidupan setiap bangsa pada prosesnya, sebagaimana
yang dikemukakan oleh Muhammad Asad,193 cepat atau lambat, pasti akan datang
suatu masa, di mana kiranya bangsa tersebut akan mendapatkan kebebasan untuk
menentukan nasibnya sendiri, suatu masa di mana akan datang suatu kepastian
kearah mana akan dituju, serta masa yang akan datang sebagaimana yang akan
dicapai. Di sa‟at akan terbebas dari tekanan nasib malang, dan disuatu waktu nanti
tak akan ada satu kekuatan apapun di atas permukaan bumi ini yang sanggup
menahan suatu bangsa dari memilih jalan hidup yang disukainya. Momen sejarah
yang demikian sangatlah jarang bisa terjadi, dan proses kejadiannyapun sangatlah
cepat, dan kemungkinan jika saja suatu bangsa gagal mempergunakan masa
kesempatan baik, niscaya momen tersebut tidak akan kembali untuk berabad-rabad
lamanya.
Islam dengan sifat-sifat khasnya, menurut A. Hasjmy, bertujuan
menciptakan kesejahteraan umum bagi umat manusia seluruhnya, baik Muslim
ataupun bukan.194 Para sarjana studi Islam pada umumnya berpendapat bahwa, pada
waktu Nabi Muhammad saw., hijrah dari Mekkah ke Madinah, biasanya dikatakan

menghadapi bangsa yang sangat bejat, baik pribadi-pribadi ataupun pemerintahanya. Dengan
tabah Nabi Ibrahim as., menghadapi kedhaliman kaumnya, dan akhirnya kebenaran yang
dibawa Nabi Ibrahim as., menang. Kisah Nabi Yusuf as., riwayatnya sangatlah menarik,
setelah Nabi Yusuf as., menghadapi cobaan sejak dari kecil hingga dewasa, maka akhirnya
beliau menjadi Perdana Mentri di Mesir, dan memimpin pemerintahan dengan bijaksana
dengan keahlian yang luar biasa, sehingga negara menjadi kuat dan makmur. Kisah Nabi
Musa as., pada kisah Nabi Musa as., Allah swt., menggambarkan betapa angkuh dan
sombongnya Fir„un sebagai Kepala Negara sampai dia menuhankan diriinya sendiri,
akhirnya Fir„un itu dikalahkan oleh Nabi Musa as., dan dia berasa kerajaan dan
keangkuhanya musnah ditelan Laut Merah. Kisah Nabi Sulaiman as., dengan Ratu Balqis
sebagai Kepala Negara dari Negeri Saba‟ di Yaman sekarang, cukup menggairahkan dan
cukup berkesan. Negara Ratu Balqis yang adil dan bijaksana, Allah swt., melukiskan dalam
Alquran dengan “negara yang indah makmur dan Tuhan yang pengampun”. Lihat, A.
Hasjmy, Di mana Letaknya Negara Islam..., h. 21-22.
192
A. Hasjmy, Di Mana Letaknya Negara Islam..., h. 50.
193
Talal Asad, “Muhammad Asad between Religion and Politics,” İnsan & Toplum
Dergisi (The Journal of Human & Society), Vol. 1, No. 2, (2011), http://insanvetoplum.org/e
n/issues/2/r0001. Diakses Tanggal 24 April 2020. Lihat juga, A. Hasjmy, Di Mana Letaknya
Negara Islam, (Surabaya: Bina Ilmu, 1984), h. 13.
194
A. Hasjmy, Di Mana Letaknya Negara Islam..., h. 52-53.

76
bahwa beliau telah mendirikan “negara”.195 Kajian dalam pemikiran politik Islam,
berbicara negara dan pemerintahan oleh ahli teori politik Islam menyebabkan dua
Tujuan. Pertama, untuk menemukan cita-cita Islam pada negara atau mendirikan
pemerintah (menekankan aspek teoritis dan formal). Kedua, untuk melakukan
idealisasi dari perspektif Islam pada proses pelaksanaan negara atau pemerintah
(menekankan aspek praktis dan substansial). Jika pendekatan pertama didasarkan
pada asumsi, berarti Islam memiliki konsep tertentu terkait negara dan
pemerintahan. Pendekatan kedua didasarkan pada asumsi, bahwa Islam tidak
membawa konsep tertentu dari bentuk sebuah negara atau pemerintahan, tetapi
hanya membawa prinsip-prinsip dasar dalam bentuk nilai-nilai etika dan moral. 196
Negara dalam konsep ilmu politik menjadi kajian yang paling urgen, sebab
wilayah kekuasaan selalu menjadi pergulatan dalam kajian ilmu politik. Lebih lanjut
negara merupakan wilayah kajian yang mempunyai unit kohesi tunggal yang
terintegrasi dengan kekuasaan politik.197 Menurut Ahmad Syafi'i Ma„arif, negara
adalah organisasi tertinggi yang memiliki wewenang untuk mengatur dan mengelola
hajat kehidupan orang banyak, mempunyai kewajiban dalam hal mengatur,
melindungi, serta menciptakan kesejahteraan bagi kehidupan masyarakat yang
bernaung di bawahnya. 198 Berdasarkan sifatnya, negara dengan berbagai macam
struktur organisasinya dan dengan wilayah kekuasaan tertentu, memiliki wewenang
yang sah untuk memaksa setiap golongan, suku, dan daerah dalam rangka mencapai
tujuan hidup bersama-sama.199
Islam memandang tujuan berdinya negara untuk melakukan sebuah usaha
yang menghadirkan kemaslahatan bagi umat.200 Sementara kaum sosialis memahami
berdirinya sebuah negara untuk meniadakan ketimpangan kelas sosial.201

195
A. Rahman Zainuddin, Kekuasaan dan Negara: Pemikiran Politik Ibnu Khaldun,
(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1992), h. 159.
196
Harahap, Sumper Mulia, “Epistemologi Kekuasaan Dalam Sistem Politik Islam,”
FITRAH:Jurnal Kajian Ilmu-ilmu Keislaman, Vol. 8, No. 1, (2014): 37, http://jurnal.iain-pad
angsidimpuanac.id/index.php/F/article/view/337. Diakses Tanggal 26 Maret 2020.
197
Abu Bakar Abyhara, Pengantar Ilmu Politik, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2010),
h. 229. Lihat Juga, Budiardjo, Miriam, Dasar Dasar Ilmu Politik, ed. Ryan Pradana, Edisi
Revisi, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008).
198
Ahmad Syafi'i Maarif, Islam dan Cita-cita dan Masalah Kenegaraan, (Jakarta:
LP3ES, 1985), h. 12.
199
T. Camber Warren, “Not by the Sword Alone: Soft Power, Mass Media, and the
Production of State Sovereignty,” International Organization, Vol. 68, No. 1 (January 24, 20
14): 111–141, https://www.cambridge.org/core/product/identifier/S0020818313000350/ty
pe/j ournal_article. Diakses Tanggal 25 Maret 2020.
200
“Adhdharu>rat wa Mutathalliba>t wa Atharahuma fil Fikri Siyasi Al-Isla>mi”,
International Journal on Humanities and Social Sciences 11 (March 2, 2020): 74–98, https://
www.ijohss.com/Papers/“Adhdharu>rat wa Mutathalliba>t wa Atharahuma fil Fikri Siyasi Al-
Isla>mi. Diakses Tanggal 26 Maret 2020. Lihat juga, Muhammad Baqir al-Bahadili, "The
Theoretical Basis of the Concept of the State in the Political Islamic Modern Ideology,” The
Scientific Journal Arab Academy in Denmark, No. 20 (January 2017): 129–167, http://platfor
m.almanhal.com/MNHL/Preview/?ID=2-100666. Diakses Tanggal 26 Maret 2020.
201
Secara umum perkembangan ilmu-ilmu sosial, politik, dan humaniora tidak lepas
dari sumbangsih pemikir besar Karl Marx. Hasil karya pikirnya menjadi referensi para

77
Terlaksananya hal yang demikian, oleh karena negara mempunyai alat-alat dan
perangkat yang dikuasai dari struktur negara itu sendiri, seperti aparatur-aparatur
hukum, sosial, dan politik. Bagi pengikut Marxisme negara hadir dalam bentuk
pertentangan kelas sosial.
Terbentuknya sebuah negara tidak terlepas dari pandangan, tentang
bagaimana sejarah mencatat munculnya masyarakat yang terorganisir dalam bentuk
organisasi kenegaraan, dan bagaimana unsur dasarnya sehingga lahirnya suatu
negara. Pada dasarnya, masyarakat sudah terbentuk kelompok-kelompok tertentu
yang bernaung di bawah lembaga-lembaga yang ada, namun lembaga tersebut tidak
dapat disebut sebagai negara.202 Pada waktu Islam datang umat manusia sedang
terkepung dengan kerusakan dari segala penjuru, rusak aqidah dalam hubungan
manusia dengan Tuhan dan rusak masyarakat yang menghubungkan manusia
dengan manusia, sehingga masyarakat manusia lebih buas dari masyarakat binatang.
Islam datang memperbaiki akidah, dengan memastikan keesaan Allah swt., dalam
arti seluas kata, serta memperbaiki kerusakan masyarakat dengan menghapus segala
bentuk perbedaan derajat manusia, dan seterusnya Islam membimbing manusia
kearah cinta kasih, kerja sama untuk mencapai kebahagiaan dan perdamaian serta
keadilan mutlak bagi umat manusia sendiri. Maka atas dasar dan tujuan inilah, Islam
membangun daulah atau negara. Negara menurut cita Islam tidaklah tergantung di
awang dan tidak pula hanya terhujam di bumi saja. Akan tetapi Islam mendirikan
“daulah” yang urat buminya mencengkam di bumi dan pucuknya menjangkau
„Arasy tinggi.203
Sejarah mencatat, bahwa “Politik Negara” yang dijalankan oleh khulafa> ar-
rasyidu>n, bersendikan pada persatuan Arab, keadilan, cinta kasih, dan kesentausaan.
Dengan politik tersebut mereka taklukkan dunia, dan juga membina “Daulah
Islamiyah” dalam waktu dua puluh tahun lebih. Haluan berfikir yang mereka bangun
dengan keagamaan, senjata mereka taqwa dan kebenaran, mereka beramal dengan
kitab dan sunnah, tujuan mereka mengembangkan Islam dan mengejar pahala di

ilmuwan diseluruh dunia. Sebut saja karyanya yang paling monumental salah satu nya
adalah „Das Capital‟. Karya yang telah banyak mengilhami lahirnya gerakan ekonomi dan
revolusi dibeberapa negara. Dialektika Marx yang dikembangkan melalui pemikiran Hegel
menjadi sangat fenomenal berkontribusi dalam ranah metode berfikir kritis melalui sebuah
tahapan dialektika dalam rangka menemukan kebenaran. Namun, terdapat satu konsep
pemikiran Marx yang hampir tidak terbaca dan luput dari perhatian yakni konsep „keadilan‟.
Menjadi penting dan menarik untuk menelusuri dan pada intinya memahami bagaimana Karl
Marx mengkonstruksi konsep keadilan di dalam pemikirannya. Lihat, Ibnu Asqori Pohan,
Talitha Talitha, and Yudia, “Eksplorasi Kontemporer Konsep Keadilan Karl Marx,”
Dialektika : Jurnal Ekonomi dan Ilmu Sosial, Vol. 3, No. 2 (October 17, 2018): 19–33,
http:// www.ejournal.uniramalang.ac.id/index.php/dialektika/artic le/view/149. Diakses Tang
gal 26 Maret 2020.
202
Negara adalah asosiasi yang menyelenggarakan penertiban di dalam suatu
masyarakat dalam suatu wilayah berdasarkan sistem hukum yang diselenggarakan oleh suatu
pemerintah yang diberi kekuasaan yang bersifat memaksa. Lihat, Miriam Budiardjo, Dasar-
dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia, 1984), h. 40.
203
A. Hasjmy, Di Mana Letaknya Negara Islam..., h. 50-54.

78
akhirat, sementara pemerintahan mereka dijalankan dengan sistem pemilihan dan
musyawarah.204
Ahli pikir Islam yang datang setelah alam pikiran nenek moyang orang
Yunani, beranggapan bahwa, menurut kebiasaannya manusia adalah makhluk sosial,
keberlangsungan hidupnya hanya sangatlah dipengaruhi oleh adanya anggota dan
kelompok masyarakat. 205 Tidak ada satu makhlukpun yang dapat hidup sendirian
kecuali Tuhan Yang Maha Esa. Manusia secara natural diciptakan untuk hidup
bersama.206 Para pemikir Islam sejak Nabi Muhammad saw., (632 M) sampai pada
era Ibnu Khaldun (1406 M) menyimpulkan bahwa, hak dan kepentingan pribadi
senantiasa harus dileburkan ke dalam kepentingan masyarakat. Dalam sejarah
perkembangannya sudah menjadi tradisi bahwa, Nabi Muhammad saw., telah
melukiskan masyarakat Islam sebagai genggaman tangan, laksana dinding tembok
yang padat, di mana batu-batu bata diikat mengikut satu-sama lain. Dan juga di
dalam Alquran telah dilukiskan sebagai suatu bangsa yang nyata atau umat, atau
persaudaraan yang diikat oleh suatu kewajiban serupa terhadap kekuasaan tertinggi.
Konsepsi umat atau persaudaraan meletakkan dasar bagi masyarakat Islam. Di mana
para anggotanya adalah melulu orang-orang yang percaya akan mencapai
kemakmuran di dunia ini dan kebahagiaan di akhirat nanti.207
Menjadi keharusan dan sangatlah logis bahwa, manusia yang dikuasakan
untuk memerintah bumi raya ini, mereka diwajibkan tunduk kepada ajaran Allah
swt., baik yang mengenai perintah ataupun larangan, baik yang berkaitan dengan
urusan pribadi maupun yang berkaitan dengan urusan masyarakat, dan lain
sebagainya. Hal ini merupakan syarat bagi kelanjutan mandat yang telah diberikan
kepada mereka. Pemberian kuasa (mandat) kepada manusia untuk mengurus
memerintah bumi ini, seperti yang telah diuraikan di atas, ada yang bersifat umum
dan ada pula yang bersifat kusus.
Pemberian kuasa kepada manusia sebagai Khali>fah untuk memakmurkan
bumi ini, tidaklah dimaksudkan supaya mereka boleh berbuat sesuka hati tanpa
adanya sesuatu ketentuan hukum. Mereka tidak akan dibiarkan berbuat sesuka
hatinya tanpa adanya pengawasan. Mandat yang diberikan kepada mereka itu
dengan ketentuan, supaya mereka beribadat kepada Allah swt., saja, melaksanakan
perintah-Nya, menjauhi larangannya. Jika saja dengan pemberian mandat tersebut,

204
A. Hasjmy, Sejarah Kebudayaan Islam..., h. 155.
205
Perubahan sosial budaya merupakan sebuah gejala berubahnya struktur sosial
dan pola budaya dalam suatu masyarakat. Perubahan sosial budaya merupakan gejala umum
yang terjadi sepanjang masa dalam setiap masyarakat. Perubahan itu terjadi sesuai dengan
hakikat dan sifat dasar manusia yang selalu ingin mengadakan perubahan. Hirschman
mengatakan bahwa kebosanan manusia sebenarnya merupakan penyebab dari perubahan.
Lihat, Baharuddin, “Bentuk-Bentuk Perubahan Sosial Dan Kebudayaan,” Al-Hikmah, Vol. 9,
No. 2, (2015). https://jurnaliainpon tianak.or.id/inde x.php/alh ikmah/articl e/view/323. Diak-
ses Tanggal 24 April 2020.
206
Richard Gross, “The Social Psychology of Good and Evil,” in Being Human
(Routledge, 2019), 158–181, https://www.taylorfrancis.com/books/9780429621918/chapte
rs/10.4324/9780429055003-8. Diakses Tanggal 24 April 2020.
207
A. Hasjmy, Di Mana Letaknya Negara Islam..., h. 17.

79
kepada manusia telah diberikan beberapa hak, maka dengan itu pula kepada mereka
diberikan lebih banyak kewajiban. 208

2. Sumber Kekuasaan Negara Islam


Berdasarkan pengertian dan penjelasan yang berpaham organisme tentang
kenegaraan, dapat dipahami bahwa kenegaraan merupakan suatu instrumen yang
hidup, tumbuh dan berkembang, dan pada akhirnya akan mencapai masa di mana
negara akan vakum, mundur, dan lenyap sekalipun. 209 Dengan demikan, pengertiian
dasar negara meliputi pengertian tentang basis atau fundamental negara, tujuan yang
menentukan arah negara, dan sistem, arah serta pedoman yang dapat menentukan
arah bagaimana negara tersebut menjalan fungsinya untuk mencapai tujuan yang di
cita-citakan.210
Para pemikir politik Islam tentang kenegaraan, menempatkan persoalan ini
berdasarkan argumen-argumen yang cukup ditail, bahkan sangking dianggap
penting serta urgen persoalannya, tidak segan-segan, dengan tegas mengkafirkan,
jika saja konsep kedaulatan dan kekuasaan negara tidak sesuai dengan konsep yang
dibangun oleh para tokoh dan pemikir politik Islam. Tokoh yang begitu tajam
mengomentari persoalan ini adalah Abu> al-A‘la> al-Maudu>di >.211 Abu> al-A‘la> al-
Maudu>di menguraikan demokrasi adalah syirk sebab menafikan kedaulatan Tuhan,

208
A. Hasjmy, Di Mana Letaknya Negara Islam..., h. 27-32.
209
Jarji Zaidan dalam kitabnya Tarikh at-Tamaddun al-Islami, sebagaimana dikutib
oleh A. Hasjmy menjelaskan, sejarah politik menceritakan bahwa seorang pembaharu dari
suatu negara, dan pengganti-penggantinya dizaman permulaan adalah seorang ekonom, dan
organisator. Jika bukan demikian, negara tidak akan terbangun atau tidak akan kuat dasar-
dasarnya. Lihat, A. Hasjmy, Sejarah Kebudayaan Islam..., h. 237.
210
T. M. Vinod Kumar, “State of the Art of E-Democracy for Smart Cities,” 2017,
1–47, http://link.springer.com/10.1007/978-981-10-4035-1_1. Diakses Tanggal 25 April
2020. Lihat juga, Kaelan, Pendidikan Pancasila, (Yogyakarta: Paradigma, 2003).
211
Al-Maudu>di> berpandangan bahwa, konsep segala sesuatu ada dalam norma
ajaran agama Islam, sehingga tidak perlu mengadopsi ajaran-ajaran di luar Islam termasuk
dari Barat. Konsep negara Islam adalah salah satu aspek yang menjadi pusat perhatiannya.
Baginya, sistem kenegaraan Islam tidak dapat disebut “demokrasi” karena dalam sistem
demokrasi kekuasaan negara itu sepenuhnya di tangan “rakyat”, dalam arti bahwa suatu
undang-undang atau hukum itu diundangkan, diubah, dan diganti semata-mata berdasarkan
pendapat dan keinginan rakyat. Sistem politik Islam lebih tepat disebut “teokrasi” yang
pengertian teokrasi di sini sama sekali berbeda dengan teokrasi di Eropa. Teokrasi Eropa
adalah suatu sistem di mana kekuasaan negara berada pada kelas tertentu, kelas pendeta,
yang dengan atas nama Tuhan menyusun dan mengundangkan suatu undang-undang atau
hukum kepada rakyat sesuai dengan keinginan dan kepentingan kelas itu dan memerintah
negara dengan berlindung di belakang “hukum-hukum Tuhan”. Sedangkan teokrasi dalam
Islam, kekuasaan Tuhan itu berada di tangan umat Islam yang melaksanakannya sesuai
dengan apa yang telah disampaikan oleh Alquran dan Sunnah Nabi. Atau mungkin dapat
diciptakan istilah baru dalam hal ini, yaitu “teodemokrasi” karena dalam sistem ini umat
Islam memiliki kedaulatan rakyat yang terbatas. Lihat, Abu Dzarrin Al-Hamidy, “Landscape
Pemikiran Abu> al-A‘la> al-Maududi> (1903-1979) Tentang Konsep Negara Islam,” al-Daulah:
Jurnal Hukum dan Perundangan Islam, Vol. 1, No. 2 (October 1, 2011): 207–239, http://jurn
alfsh.uinsby.ac.id/index.php/ald aulah/ article/view/45. Diakses Tanggal 25 April 2020.

81
kekuasaan berasal dari rakyat semata. Menurut al-Maududi>, Khali>fah bukanlah
orang yang menikmati kekuasaan diluar haknya, melainkan hanya sekedar
menjalankan titah atas kekuasaan Tuhanya. Khali>fah tidak dibenarkan untuk
bertindak sesuka hatinya, tindakannya sesuai dengan perintah dan prinsip
ketuhanan.212
Dasar pemikiran al-Maudu>di >, dibangun atas dasar Alquran,213 menjadi
landasan teori tentang negara Islam. Menurut al-Maududi>, ada dua hal yang
mengemuka dalam ayat tersebut: pertama, Islam tidak menggunakan istilah
kedaulatan, tetapi istilah kekhalifahan. Hal ini menegaskan bahwa kedaulatan benar-
benar hanya milik Allah swt, dan kekuasaan di bumi seperti negara atau
pemerintahan yang sesuai dengan hukum ilahiah merupakan Khali>fah dari penguasa
tertinggi. Kedua, ayat tersebut mengungkap bahwa kekuasaan di bumi dijanjikan
kepada seluruh masyarakat Muslim. Berdasarkan hal ini, maka semua orang yang
beriman adalah Khali>fah sesuai dengan kemampuan individunya, bukan suatu ras,
kelompok tertentu. Bertolak dari teori kekhalifahan tersebut muncullah teori
demokrasi perspektif Islam menurut al-Maudu>di>. Demokrasi yang dimaksud yaitu
pertama, Islam menolak kediktatoran oleh seseorang maupun kelompok. Kedua,
Islam memberikan kebebasan kepada setiap Muslim untuk mengemukakan
pendapatnya. Ketiga, kesetaraan sosial dan hukum, dan keempat kesejahteraan
ekonomi dan sosial.
Sepaham dengan al-Maudu>di>, H{asan al-Banna>, di dalam Majmu>‘at Rasa>’il
mengemukan konfrehensifitas ajaran Islam dengan mengemukan sejumlah dali-dalil
dalam Alquran dan Hadis.214 Selain daripada itu, al-Banna> juga menunjukkan
bagaimana ajaran Islam menjelaskan tentang bagaimana Islam berperan dalam
konteks sejarah. Awal generasi Islam (salaf) prakteknya menurut al-Banna> menjadi
Islam sebagai referensi mengenai hukum. Praktek keislaman di masa tersebut
menjadi dasar perjuangan, kaedah berinteraksi serta menjadi batasan dalam setiap
urusan kehidupan di dunia sebelum persoalan di akhirat yang bersifat utuh. 215
Berangkat dari konsep kekhalifahan dan teori mandat, A. Hasjmy
mengemukan bahwa, mandat yang diberikan Allah swt., bagi sebagian manusia
untuk memimpin sebagian yang lain, dimaksudkan untuk kebahagiaan dan
kepentingan manusia itu sendiri. Konsep kedaulatan berdasarkan Alquran sangatlah
sederhana, Tuhan adalah pencipta alam semesta, Dia adalah pemelihara dan
penguasa sejati. Dengan demikian, setiap makhluk yang ada adalah milik-Nya.

212
Selengkapnya Lihat, Abu> al-A„la> al-Maududi, Nazariyyah al- Isla>m wa Hadyih fi
al-Siyasa>h al-Qa>nu>n al-Dustur, (tt: al-Da>r al-Sa„u>diyyah, 1985), h. 36-38. Lihat juga, Munir
Ahmad Mughal, “Comparative Study of Western Concept of Law and Islamic Concept of
Law,” SSRN Electronic Journal (2012), http://www.ssrn.com/abstract=2055906. Diakses
Tanggal 25 April 2020.
213
Q. S. An-Nu>r/024: 55.
214
Q. S. Al-Maidah/005: 48-50. Q. S., Al-Bayyinah/098: 5. Tentang Politik dan
huk um dan pemerintahan, Q. S. An- Nisa>’/004: 102. Tentang ekonomi dan keuangan, Q.
S., Al-baqarah/002: 282. Tentang Jihad dan Peperangan, Q. S., An-Nisa>’/004: 102.
215
H{asan al-Banna>, Majmu>‘at Rasa>’il, (Jakarta: al-I’tishom, 2007), 185-188 dan
254.

81
Allah swt., memberi mandat kepada manusia, untuk menguasai alam agar tidak
terjadi kekacauan dalam pelaksanaan sunnah-Nya. Sesuai dengan hikmah-Nya,
Allah swt., pula yang memberikan kekuasaan kepada sebagian untuk menguasai
(memerintah) manusia yang lain dalam artian memimpin. 216
Para pemikir Politik Islam kontemporer yang berpendapat bahwa sistem
kepemimpinan bersifat theokasi adalah Abu> al-A‘la> al-Maudu>di >. Struktur negara
Islam menurut al-Maudu>di> dalam pandangan Islam hanya Allah swt., yang memiliki
kedaulatan penuh. Keutamaan yang mendasar bagi negara adalah al-h}a>kimiyah yang
mana kedaulatan hukum tertinggi berada di tangan Allah swt.217 Al-Maudu>di>
menamakan teori ini dengan Theo-Demokrasi.218 Bersamaan dengan al-Maudu>di>,
tokoh pemikiran politik Islam kontemporer lainnya adala Ayatullah Khomeini.
Dalam hal ini, Khomeini juga berpandangan bahwa, pemerintahan Islam merupakan
pemerintahan yang berlandaskan hukum. Tuhan memiliki kedaulatan mutlak atas
sebuah pemerintahan. Dari Nabi Muhammad saw., dan siapapun yang menjadi
pemimpin, kepemimpinannya merupakan pendelegasian dari Allah swt.219
Salah seorang dari ulama yang menonjol dan berpengaruh dalam legitimasi
teoritis dikalangan fuqaha Sunni adalah Abu al-H}asan al-Mawardi (w. 1058) yang
terkenal dengan karyanya al-ah}ka>m al-sult}a>niyyah, al-Mawardi adalah yang pertama
sekali melakukan deduksi komprehensif prinsip-prinsip syari„ah yang berkaitan
dengan masalah pemerintahan. Inti dari teori al-Mawardi adalah bahwa institusi

216
Hasan Basri, Melampaui Islam Substantif: Biografi Politik A. Hasjmy..., h. 159.
Lihat juga, Abid Rahmanu, “Human Agent Dalam Tradisi Fikih: Studi Relasi Hukum Islam
Dan Moralitas Perspektif Abou El Fadl,” Kodifikasia, Vol. 7, No. 1 (November 24, 2015), htt
p://ojs.stainponorogo.ac.id/index.php/kodifikasia/article/view/209. Diakses Tanggal 25 April
2020.
217
Awad, “Model Hubungan Islam Dan Negara,” ITTIHAD, Vol. 14, No. 25
(December 29, 2016), http://jurnal.uin-antasari.ac.id/index.php/ittihad/article/view/86 7.
Diakses Tang- gal 26 April 2020. Lihat Juga, Abu> al-A„la> al-Maududi, Khilafah dan
Kerajaan, Terj. Muhammad al-Baqir, (Bandung: Kharisma, 2007), h. 85. Bandingkan
dengan, Hasan Basri, Melampaui Islam Substantif: Biografi Politik A. Hasjmy..., h. 160.
218
Di tengah sistem demokrasi yang tidak stabil, gagasan tentang negara Islam atau
Khila>fah, merujuk pada pandangan beberapa pemikir Muslim, mulai mendapat angin segar.
Pandangan al-Maudu>di> tentang negara Islam dan sistem khila>fah yang berpusat pada theo-
demokrasi yang masih belum jelas bagaimana diterapkan dalam praktik nyata, terutama
dalam situasi kita sekarang. Secara substansial, ide-ide dasarnya dapat diterima, misalnya
pemikirannya tentang tujuan dan fungsi pembentukan negara. Namun, pandangannya bahwa
hanya laki-laki yang berhak menjadi amir sulit diterima untuk umum hari ini. Al-Maudu>di>
adalah salah satu cendekiawan Muslim yang gigih membangun negara Islam berdasarkan
Alquran dan hadis. Pada dasarnya, al-Maudu>di> menyetujui segala bentuk negara, namun, ia
menekankan pentingnya model negara theo-demokrasi sebagai karakteristik negara Islam
yang berbeda dari sistem republik yang menerapkan demokrasi di Barat. Lihat, Arsyad
Sobby Kesuma, “Menilai Ulang Gagasan Negara Khilâfah Abû Al-A’la> al-Maudu>di>,”
Ulumuna, Vol. 12, No. 2, (November 5, 2017): 275–300, http://ul umuna.or.id/i ndex.php/uji
s/article/view/175. Diakses Tanggal 26 April 2020.
219
Nurkhalis, “Representasi Khila>fah Dalam Pemerintahan Republik Spiritual,”
AKADEMIKA: Jurnal Pemikiran Islam, Vol. 23, No. 2 (2018): 283. http://e-journ al.metroun
iv.ac.id/index.php/akademika/article/view/1109. Diakses Tanggal 26 April 2020.

82
Ima>mah yang dianggap sebagai kepemimpinan Nabi untuk menyelenggarakan
masalah-masalah keagamaan, ataupun yang bersifat temporal, adalah niscaya, dan
keniscayaannya didasarkan atas syari„ah dan akal melalui ijma„ dari umat. 220
Suatu kebenaran yang tidak dapat dibantah bahwa Nabi Muhamad saw.,
dilahirkan untuk menjadi pemimpin, bahkan menjadi pemimpin dunia yang terbesar.
Karena itu, Nabi Muhammad saw., boleh disebut dengan “pemimpin kelahiran”
yaitu pemimpin yang telah membawa bakat dan sifat-sifat utama dari kandungan
ibunya. Kepemimpinan agung yang dimilikinya adalah bawaan dari alam barzakh,
kurnia kusus baginya dari Allah swt., maha pencipta. Kepemimpinannya meliputi
segala bidang rohani dan bidang jasmani, bidang mental dan bidang fisik, bidang
politik dan bidang ekonomi, bidang sosial dan bidang kebudayaan, bidang aqidah
dan bidang syari„ah.221
Pada hakikatnya bahwa maksud pokok dari gerakan kaum Muslimin, pada
mulanya adalah untuk mengembangkan Islam dan meratakan ajararannya kepada
umat manusia, sedangkan membangun negara yang khas untuk mereka adalah suatu
keharusan sosial yang terpaksa harus dikerjakan, di samping harus diakui di mana
menurut ajaran Islam tidak ada pemisahan antara agama dengan politik, seperti yang
dilakukan oleh orang-orang kristen. 222
Sesungguhnya orang-orang Islam pada mulanya yang merupakan golongan
minoritas di Mekkah, tidak mempunyai kekuatan apa-apa, bahkan mereka menjadi
sasaran kedhaliman, dan penindasan kaum Qurays yang mengepung mereka dari
segala jurusan, mereka dilarang tidak boleh memperlihatkan syi„ar agamanya,
bahkan mereka dipaksa untuk kembali pada zaman Jahiliyah. Keadaan menjadi
berubah setelah kaum Muslimin, di mana mereka dapat mengecap kemerdekaan
sepenuhnya, dapat melahirkan pendapat dan kepercayaan pribadinya tanpa adanya
kekuatiran dan tanpa adanya paksaan, di samping mereka dapat dengan bebas
menunaikan kewajiban agamanya di masjid yang baru yang kemudian belum lagi
lewat tiga belas tahun, mereka telah dapat pula mendirikan masjid yang serupa di
Mekkah. Inilah kemerdekaan beragama, mereka berkumpul dan bermusyawarah,
berdebat dan bertukar pikiran untuk menyusun rencana-renacana yang akan
digunakan untuk menyiarkan agama dan mengikat perjanjian dengan kafilah-kafilah
yang bertetangga dengan mereka. Dan inilah yang disebut dengan kemerdekaan
politik.223
Pilihan al-Mawardi atas kata-kata Khila>fah an-Nubuwwah (kepemimpinan
kenabian) dariapada Khila>fah Alla>h (kepemimpinan Allah) menunjukkan
penolakannya atas penunujukan Khali>fah atas Khali>fah Allah. Istilah terakhir sering
digunakan untuk menekankan pentingnya kepatuhan kepada Khali>fah, dan akan
berakibat serius bila membangkanginya, sebab ia menyiratkan jaminan kekuasaan

220
Din Syamsuddin, Islam dan Politik Era Orde Baru, (Jakarta, Logos Wacana
Ilmu, 2001), h. 94-95.
221
A. Hajsmy, Nabi Muhammad Sebagai Panglima Perang..., h. 95.
222
Nor Hasan, “Agama Dan Kekuasaan Politik Negara,” KARSA: Jurnal Sosial dan
Budaya Keislaman, Vol. 22, No. 2 (March 12, 2015): 260, http://ejournal.stainpamekasan.ac.
id/index.php/k arsa/article/vi ew/532. Diakses Tanggal 26 April 2020.
223
A. Hajsmy, Nabi Muhammad Sebagai Panglima Perang..., h.22.

83
yang terlalu besar pada penguasa. Bagian lain yang penting dari teori politik al-
Mawardi berkenaan dengan pandangannya tentang mekanisme suksesi dan metode
pemilihan. Menurut al-Mawardi Khali>fah dapat dipilih baik melalui pemilihan oleh
ah}l al al h}al wa al ‘aqdi (konsensus elit), atau melalui penunjukan oleh Khali>fah
sebelumnya. Mengenai tuntutan minimal dari jumlah pemilih, al-Mawardi
menyatakan bahwa pemilihan Khali>fah adalah sah sekalipun dilakukan secara
tunggal oleh seseorang yang memenuhi kualifikasi. Ini berarti bahwa setiap
Khali>fah, yang merupakan pemilih yang memenuhi kualifikasi, boleh menunjuk atau
memilih penggantinya langsung, karena itu sifat institusi yang elektif boleh
diabaikan.224
Pendelegasian kekuasaan manusia sebagai Khali>fah di muka bumi ini, maka
menjadi jelas bahwa Tuhanlah sebenarnya yang menjadi kedaulatan. Dalam kontek
kenegaraan, dapat dipahami bahwa kekuasaan pertama-tama bersumber dari
kekuasaan Tuhan. Tuhanlah sebenarnya yang berdaulat atas manusia. A. Hasjmy
mengatakan bahwa negara pada dasarnya kepunyaan Allah swt. Demikian pula
kedaulatan negara adalah milik Allah swt. hal ini menurutnya didasarkan pada
firman Allah swt., yang menegaskan, kerajaan (al-mulk) langit dan bumi adalah
kepunyaan Allah swt.225
Kata al-mulk (kerajaan) menurut A. Hasjmy, disebut sebagai “negara”.
Untuk mengurus negara (kerajaan) Allah di atas muka bumi, Allah swt.,
mendelegasikan kekuasaan-Nya kepada manusia dalam kapasitasnya sebagai
Khali>fah.226 Menurut A. Hasjmy, realisasi pemberian kekuasaan kepada manusia
melalui pemberian “mandat” sekaligus sebagai ujian dan cobaan. Jika saja tugas-
tugas kepemimpinan tetap pada keinginan-Nya, berarti terpenuhilah syarat bagi
kelanjutan “mandat”. Namun bila saja terjadi penyelewengan, maka Allah swt.,
berhak mencabut “mandat” tersebut dan kemudian diserahkan kepada umat atau
pribadi yang lain.227 Ayat tersebut menunjukkan bahwa, manusia tidak memiliki
sumber kekuasaan. Walaupun manusia menjadi penguasa atau pemimpin dalam
suatu masyarakat dan negara, berarti kepemimpinan dan kekuasaan itu datang dari
Allah swt. Kepercayaan atau amanat kekuasaan dijalankan sesuai kehendak Allah
swt. Dengan demikian, kekuasaan dipahami sebagai titipan, hal ini berarti sewaktu-
waktu dapat ditinggalkan, ketika pemegang kekuasaan tidak amanah. Pokok-pokok
pikiran A. Hasjmy tentang kedaulatan Tuhan sebagai sumber dan legitimasi
kekuasaan mirip dengan “teori kedaulatan Tuhan”, meskipun sebenarnya A.
Hasjmy tidak pernah mengatakannya. 228
A. Hajmy memahami mandat kekuasaan yang diberikan kepada manusia
ada yang bersifat umum, 229 dan ada yang bersifat kusus. 230 sebagaimana kekuasaan

224
Din Syamsuddin M., Islam dan Politik Era Orde Baru..., h. 96.
225
Q. S. Al-Hadi>d/057: 5. Q. S. al-Mulk/067: 1.
226
Q. S. Al-Baqarah/002: 30.
227
Q. S. „Ali Imra>n/003: 26.
228
Hasan Basri, Melampaui Islam Substantif: Biografi Politik A. Hasjmy..., h. 161-
162.
229
Q. S. Al-Qasas/028: 5. Q. S. As-Sajadah/032: 24.
230
Q. S. Hud/011: 61.

84
yang diberikan kepada Nabi Adam as. 231 Sementara yang bersifat kusus adalah
pemberian Yang Maha Kuasa dalam bidang hukum, seperti yang diberikan kepada
negara, serta mandat yang diberikan kepada pribadi. Pemberian mandat kepada
negara berarti manusia diberi hak memerintah diri sendiri dengan cara mendirikan
negara yang bertujuan untuk melindungi kepentingan rakyat serta mendirikan
derajat manusia, serta juga diberikan hak perluasan kekuasaan negara atas
keseluruhannya.232
Menurut perspektif politik Islam, pada hakikatnya hukum yang muncul dari
kekuasaan itu tidak sama dengan teori Barat. Alquran secara eksplisit menerangkan
bahwa sumber dan cakupan kekuasaan adalah kepunyaan Allah swt. Allah swt.,
memberikan peluang kepada manusia untuk berkuasa, dan sekaligus dinyatakan
bahwa suatu saat kekuasaan itu akan musnah dari penguasa. Allah swt., juga
memuliakan seseorang, 233 dan juga menjatuhkan seseorang menjadi hina. 234 Dan
selanjutnya ditegaskan bahwa Allah swt., memiliki kerajaan langit dan bumi, dan
Dia Maha Perkasa atas segala sesuatu. 235
Ayat-ayat tersebut menegaskan bahwa Allah swt., adalah sumber kekuasaan.
Dengan demikian, dalam Islam tidak ada seorangpun yang mempunyai kekuasaan
mutlak, seperti yang terdapat dalam sistem monarki. Kemudian Alquran
menjelaskan bahwa, Allah Swt., adalah pemilik kekuasaan mutlak yang
menghendaki manusia agar mampu berperan sebagai Khali>fah di bumi. Karena itu
manusia dapat menyatakan dirinya mempunyai kekuasaan tak terbatas sepanjang
digunakan hanya untuk mematuhi kehendak-Nya.236 Konsep kekuasaan yang
dikemukakan tersebut semakin meperjelas bahwa, tidak ada pertentangan antara
kekuasaan Allah swt., dan kebutuhan manusia akan adanya pemerintahan. Allah
swt., tetap menempati posisi sebagai satu-satunya pemilik segala kekuatan dan
kekuasaan. Namun, uji coba kekuatan dan kekuasaan itu didelegasikan kepada Nabi
Muhammad saw., atau Khali>fah Allah swt., di bumi, yang mendapatkan instruksi
untuk menegakkan pemerintahan yang adil. 237
Melalui konsep kekuasaan, peran manusia sebagai Khali>fah, menurut A.
Hasjmy,238 manusia berkewajiban mengatur dan memanfaatkan alam dengan segala
isinya. Allah swt., telah menciptakan alam ini, berkebijaksanaan memberi kuasa
kepada manusia untuk mengolah segala isinya, dengan mempergunakan segenap
perlengkapan yang dimiliki oleh manusia seperti mata, telinga, akal, dan sebagainya
yang akan membantu manusia untuk mengambil manfaat dari kandungan isi alam.239
Manusia yang hidup di atas bumi, di mana Allah swt., telah menguasakan kepada
231
Q. S. Al-Baqarah/002: 30.
232
A. Hasjmy, Di Mana Letaknya Negara Islam..., h. 30-31.
233
Q. S. Al-Isra/017: 70.
234
Q. S. „Ali Imra>n/003: 26.
235
Q. S. „Ali Imran/003: 189.
236
Q. S. Al-An„am/006: 165.
237
Majid Khadduri, The Islamic Conception of Justice, (London: The Johns
Hopkins, 1984), h. 227-228. Dalam Hasan Basri, Melampaui Islam Substantif: Biografi
Politik A. Hasjmy..., h.162-163.
238
A. Hasjmy, Di Mana Letaknya Negara Islam..., h. 25-26.
239
Q. S. Lukman/031: 20.

85
mereka segala isi langit dan bumi, baik yang berada di laut maupun yang di darat.
Kepada manusia telah diberi hak untuk menyelidiki rahasia langit dan rahasia bumi,
diberi hak untuk menggali segala apa yang bermanfaat bagi mereka, artinya kepada
manusia telah mendapat keizinan umum dari allah swt.240
Kedudukan negara dalam pemikiran politik Barat semenjak dari masa
Yunani Kuno sampai sekarang, jelas terlihat bahwa konsep negara selalu mendapat
tempat yang istimewa dalam pemikiran para pemikir. Di dunia Yunani kuno kita
dapati seperti Sokrates, yang berbicara dalam buku “Republik” tulisan Plato,
memperlihatkan bagaimana cara membangun sebuah negara idaman yang akan
memberikan kepuasan dan kehidupan yang baik bagi manusia. Plato mencoba
menggambarkan siapa saja dalam negara itu yang akan memainkan peranan yang
menentukan, apa tugas orang yang bertanggung jawab tentang keamanan dan
kemajuan negara itu, dan terutama sekali siapa yang akan menjadi penguasa dalam
negara tersebut.241 Jadi, negara adalah sebuah biduk, dianggap penting dalam
kancah pertarungan kekuasaan, karena sumber negara yang relatif dan kleimnya
sangat eklusif untuk mengatur alat-alat kekerasan fisik yang hebat, sehingga barang
siapa yang mengendalikan negara sudah pasti memiliki kekuasaan. 242
State of Nature sebagaimana dipahami oleh John Locke,243 Untuk
memahami kekuasaan politik secara benar, dan mengambilnya dari yang asli, kita
harus memperhatikan dalam keadaan bagaimana semua orang berada secara wajar,
yaitu suatu “keadaan kebebasan sempurna” untuk mengatur tindakan-tindakan
mereka, menyelesaikan hak milik mereka, dan diri mereka sebagaimana yang
mereka anggap cocok, di dalam batas-batas hukum alam, tanpa meminta izin atau
tergantung pada kehendak manusia lain yang manapun. Juga suatu “keadaan
persamaan” di mana semua kekuasaan dan yurisdiksi adalah timbal balik, yang satu
tidak memiliki lebih daripada semua makhluk dari jenis dan golongan yang sama
tanpa dibeda-bedakan, dan dilahirkan dengan memiliki keuntungan-keuntungan
yang sama dari alam, dan penggunaan kemampuan yang sama, harus pula sama
antara satu dengan yang lain tanpa dibawahkan atau ditundukkan, kecuali apabila
Tuhan dan tuan dari mereka semua, dengan suatu deklarasi yang jelas tentang
kehendaknya menempatkan yang satu di atas yang lain, dan memberikan kepadanya
dengan ketentuan yang jelas dan terang suatu hak yang tidak dapat diragukan lagi
untuk berkuasa dan berdaulat. 244

240
Q. S. Al Ja>tsiyah/045: 12-13. Q. S. Ibrahim/014: 32-34.
241
A. Rahman Zainuddin, Kekuasaan dan Negara: Pemikiran Politik Ibnu
Khaldun..., h. 142.
242
A. Rahman Zainuddin, Kekuasaan dan Negara: Pemikiran Politik Ibnu
Khaldun..., h. 105.
243
John Locke, Two Treaties of Government, (New York: A. Mentor Book, 1965),
h. 309. Dalam A. Rahman Zainuddin, Kekuasaan dan Negara: Pemikiran Politik Ibnu
Khaldun..., h. 112.
244
Istilah mengenai kedaulatan memiliki berbagai macam pengertian, dan masing-
masing pengertian mempunyai perbeadaan pengertian yang bersifat prinsipil. Sebagaimana
pengertian kedaulatan ditinjau dari perspektif hukum internasioanl, maka kedudukannya
sering dipandang sebagai hubungan eksteren, atau juga disebut sebagai hubungan antar
negara, sementara jika ditinjau berdasarkan perspektif hukum tata negara dipahami sebagai

86
Berdasarkan “keadaan kebebasan sempurna”, State of Nature sebagaimana
dipahami oleh John Locke untuk mengatur tindakan-tindakan manusia, A. Hasjmy
melerai tentang penguasaan manusia atas manusia, apabila Allah swt., telah
memberikan mandat kepada manusia untuk menguasai alam, supaya tidak terjadi
kekacauan dalam pelaksanaan sunnatullah tersebut, maka Allah swt., sesuai dengan
hikmah-Nya memberi kuasa pula kepada sebagian manusia untuk menguasai
(memerintah) manusia yang lain dalam artian memimpin. 245 Mandat yang diberikan
oleh Allah swt., kepada sebagian manusia untuk memimpin (menguasai) sebagian
yang lain dimaksudkan untuk mewujudkan kebahagiaan dan kepentingan manusia
itu sendiri.246 Dari urain dan dalil yang berdasarkan Alquran, sebagaimana yang
telah dijelaskan oleh A Hasjmy247, jelaslah bahwa menurut ajaran Islam, alam
semesta ini adalah ciptaan Allah swt., manusia mendapat mandat dari Allah swt.,
untuk menguasai alam, dan juga manusia dikuasakan oleh Allah swt., untuk
memimpin atau mengurus sesama manusia dengan pengertian, sebagiannya menjadi
pemimpin bagi sebagian yang lainnya.
Sementara al-Rais berpendapat tentang kedaulatan Tuhan dengan
mengatakan bahwa Islam tidak identik dengan sistem pemerintahan manapun. Islam
memandang bahwa, seorang pemimpin bukanlah pemilik kedaulatan, di mana Islam
bukan agama yang mengajarkan sistem politik autokrasi (autocracy)248, bukan
dokrin kependetaan, dan juga tidak berpaham teokrasi. Sistem pemerintahan Islam
juga bukan nomokrasi (nomocracy)249. Nomokrasi merupakan istilah yang paling
tepat untuk menjuluki "negara hukum" dalam versi hukum Islam. Nomokrasi Islam
mencakup prinsip kekuasaan sebagai kepercayaan, prinsip konsultasi, prinsip
keadilan, prinsip kesetaraan, prinsip pengakuan dan perlindungan semua hak asasi
manusia, prinsip pengadilan yang adil, prinsip perdamaian, prinsip kepatuhan dan
prinsip kesejahteraan rakyat. 250 Pemerintahan Islam juga tidak bertitik tolak pada

hubungan intern, atau hubungan dalam negara. Lihat, Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok
Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, (Jakarta: BIP, 2007), h. 143.
245
Q. S. az-Zukhruf/043: 32.
246
Q. S. al-An „am/006: 165.
247
A. Hasjmy, Di Mana Letaknya Negara Islam..., h. 26-27.
248
Otokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan yang kekuasaan politiknya dipegang
oleh satu orang. Istilah ini diturunkan dari bahasa Yunani autokratôr yang secara harfiah
berarti "berkuasa sendiri" atau "penguasa tunggal". Otokrasi biasanya dibandingkan
dengan oligarki (kekuasaan oleh minoritas, oleh kelompok kecil) dan demokrasi (kekuasaan
oleh mayoritas, oleh rakyat). Lihat, https://id.wikipedia.org/wiki/Autokrasi. Diakses Tanggal
27 April 2020.
249
Nomokrasi adalah sistem pemerintahan yang bersifat teokrasi, di mana
peraturannya berdasarkan pada hukum syariat. Atau lebih lanjut dipahami sebagai sebuah
sistem pemerintahan, yang tidak menjadikan rakyat sebagai pemilik kedaulatan seperti
halnya sistem yang berlaku pada politik demokrasi. Namun pemilik kedaulatan tertinggi ada
pada hukum itu sendiri. Lihat, Aleksandar D. Slaev, “The Theory of Nomocracy as a Useful
Method of Analysis and Managing Private, Common, as Well as Mixed Real-World Property
Rights,” Planning Theory, Vol. 17, No. 2 (May 19, 2018): 301–304, http://journals.sagepub.c
om/doi/10.1177/1473095218763622. Diakses Tanggal 27 April 2020.
250
Zuhraini, “Kontribusi Nomokrasi Islam (Rule Of Islamic Law) Terhadap Negara
Hukum Pancasila”, AL-‗ADALAH, Vol. 7, No. 1 (Juni 2014): 171-190. https://media.nelit i.c

87
umat semata, dan juga tidak sejalan dengan sistem demokrasi sempit. Al-Rais
menekankan bahwa, pemilik kedaulatan dalam sistem pemerintahan Islam tidak
hanya satu, namun terdapat dua kepemilikan yang saling mempengaruh satu sama
lain. Keberlangsungan sistem kenegaraan tidak akan berjalan tanpa adanya
sinergisitas yang saling berhubungan antara dua komponen pemiliki kedaulatan
dalam negara Islam, yaitu keberadaan umat (rakyat), dan syariat Islam (undang-
undang).251 M. Tahir Azhary, dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa, negara
Madinah disebut dengan nomokrasi Islam.252
Berbeda dengan H>}asan al-Banna>,253 A. Hasjmy memandang bahwa teori
kedaulatan Tuhan tidak dipahami sebagai bayang-bayang Tuhan di muka bumi.
Oleh sebab itu A. Hasjmy menggunakan istilah “mandat‟ 254. Dalam pengertian
penyerahan kekuasaan yang diberikan oleh Tuhan kepada manusia untuk
memakmurkan bumi dalam arti yang seluas-luasnya. Proses penyerahan kedaulatan
ini, oleh A. Hasjmy dibagi dalam dua sifat pemberian kuasa. Pertama, kuasa yang
bersifat kusus, dan Kedua, kuasa yang bersifat umum. Mandat yang bersifat umum
adalah pemberian kuasa yang seluas-luasnya menjadi pemimpin untuk
memakmurkan bumi.255 Kedua, mandat yang bersifat kusus yaitu pemberian kuasa

om/media/publications/57705-ID-kontribusi-nomokrasi-islam-rule-of-islam.pdf. Diakses Tan


ggal 27 April 2020.
251
Muh}ammad Diya> al-Di>n al-Rayis, al-Nazhariyya>t al-siya>siyyah al-Isla>miyyah,
(Al-Qa>hirah: Maktabah al-Anjlu), h. 312.
252
Perkataan nomokrasi berasal dari kata nomi (hukum) dan krasi (kekuasaan).
Nomokrasi Islam adalah suatu negara yang sistem pemerintahannya didasarkan atas asas-
asas dan kaedah-kaedah hukum Islam (syari„ah) atau disebut juga dengan rule of Islamic
law. Dalam demokrasi Islam penguasa adalah orang-orang biasa yang tidak merupakan
lembaga kekuasaan rohani, dengan satu ciri yang sangat menonjol yaitu “egalitaire”, yaitu
persamaan hak antara penduduk, baik rakyat biasa maupun ulama, baik yang beragama Islam
maupun yang bukan Islam. Lihat, Mardani, Pendidikan Agama Islam Untuk Perguruan
Tinggi, (Depok: Kencana, 2017), h. 309-310.
253
H}asan al-Banna> berpendapat bahwa ajaran Islam pada hakikatnya adalah
tanggung jawab negara dan para pemimpinnya. Apa saja boleh dilakukan oleh pimpinan
negara asalkan keputusan tersebut untuk kepentingan umat. Seandainya saja, apa yang
diputuskan oleh Kepala Negara mendatangkan kebaikan bagi umat, maka rakyat harus
mendukungnya. Namun jika saja mendatangkan keburukan, maka rakyat harus
meluruskannya. Lihat, Ahmad Sanusi, “Konsep Negara Menurut Ihkwanul Muslimin,” Al-
Ahkam, Vol. 14, No. 2 (December 31, 2018): 1, http://jurnal.uinbanten.ac.id/index.php/ahkm/
articl e/view/142 6. Diakses Tanggal 27 April 2020.
254
Mandat adalah perintah atau arahan yang diberikan oleh orang banyak (rakyat,
perkumpulan, dan sebagainya) kepada seseorang (beberapa orang) untuk dilaksanakan sesuai
dengan kehendak orang banyak, atau kekuasaan untuk melakukan kewenangan kekuasaan
dari suatu badan atau organ kekuasaan atas nama badan atau organ kekuasaan tersebut.
Instruksi atau wewenang yang diberikan oleh organisasi (perkumpulan dan sebagainya)
kepada wakilnya untuk melakukan sesuatu dalam perundingan, dewan, dan sebagainya.
255
A. Hasjmy, Di Mana Letaknya Negara Islam..., h. 29.

88
dalam bidang hukum, yang dibagi menjadi dua yaitu: mandat secara kusus diberikan
kepada kelompok masyarakat (negara) dan mandat yang diberikan kepada pribadi.256
Dua mandat yang diberikan Tuhan kepada manusia, baik mandat yang
bersifat umum dan mandat yang bersifat kusus bertujuan untuk menjaga
keseimbangan alam. Mandat yang bersifat umum adalah sebagai mana Allah swt.,
telah memberikan kuasa atas Nabi Adam as., untuk menjadi Khali>fah di muka bumi
dalam rangka. Pertama, sebagai Khali>fah untuk menjadi mengelola dan mengolah
alam semesta. Kedua, untuk memimpin dan mengurus kehidupan sesama manusia
dalam arti luas, dengan cara sebagiannya menjadi penjaga atau pemimpin bagi
sebagian yang lain. Sementara kekuasaan yang bersifat kusus yang diberikan Tuhan
kepada manusia untuk menegakkan keadilan bagi manusia yang lain. Menegakkan
keadilan di sini adalah perintah tesirat untuk mendirikan negara, juga sekalian
mandat kuasa yang bersifat kusus, yang disebut dengan Khali>fah, sebagaimana
Allah swt., berkata kepada Nabi Daud as.257, sementara kekuasaan yang pernah
diberikan kepada Nabi Ibrahim Tuhan menggelarinya dengan nama ima>m li al-
na>s,258 pada waktu yang lain Allah swt., menamakan madataris-Nya dengan sebutan
Ma>lik, seperti halnya kekuasaan yang pernah diberikan kepada Nabi Musa as.,
disebut dengan Ma>lik,259 malik juga disematkan kepada Thalut. 260 Kekuasaan
tersebut mesti diraih dengan cara bekerja keras (beramal saleh) dan menanamkan
keimanan yang kokoh.261
Mandat yang bersifat kusus dan pemberian kekuasaan dalam bidang hukum,
ada dua jenis mandat. Pertama, mandat yang diberikan kepada negara. Kedua,
mandat yang diberikan kepada pribadi. Pemberian kuasa dalam bidang hukum ini,
baik kepada negara ataupun kepada pribadi merupakan suatu karunia dari Allah
swt., kepada manusia, setelah mereka diberi kuasa secara umum. Pemberian mandat
kepada negara berarti pembebasan dan pemberian hak kepada umat untuk
memerintah diri sendiri dengan mendirikan negara untuk melindungi segenap
kepentingan rakyat, dan meninggikan derajat bangsa, dan juga untuk memperluas
kekuasaan negara atas keseluruhanya. Pemberian mandat untuk mendirikan negara
dipermukaan bumi ini bagi sesuatu umat, dengan syarat bekerja keras dan keimanan
sejati, yaitu perpaduan amal dan iman.262 Tidak akan diberi kuasa kepada umat yang
duduk malas, dan tidak mau berjuang, tidak mau berjihad, baik dengan harta, tenaga,
dan jiwa. Sementara memberi kuasa dan mandat kepada pribadi yaitu menguasakan

256
Hasan Basri, Melampaui Islam Substantif: Biografi Politik A. Hasjmy..., h. 165.
Lebih lanjut baca, A. Hasjmy, Di Mana Letaknya Negara Islam..., h.30.
257
Q. S. S}a>d/038: 26.
258
Q. S. Al-Baqarah/002: 124.
259
Q. S. Al-Maidah/005: 20.
260
Q. S. Al-Baqarah/002: 247.
261
Q. S. An-Nur/024: 55.
262
Fondasi agama Islam, sebagaimana diungkapkan oleh seorang teolog, meliputi
tiga prinsip yang berbeda, yaitu iman (keyakinan agama), ibadah (peribatan, kewajiban
agama), dan ihsan (prilaku baik), yang mana ketiganya tercakup dalam makna ad-di>n
(agama). Lihat, Philip K. Hitti, History of The Arab..., h. 160.

89
kepada seseorang untuk menjadi pemimpin negara. Orang yang diberi kuasa
adakalanya Allah swt., menamakan dengan Khali>fah, Ima>m, dan Ma>lik.263
Proses pemberian mandat dalam pandangan A. Hajsmy, tidak perlu
penerapan teori ketuhanan secara langsung, sebagaimana pengertian yang
terkandung di dalam teori tersebut. Di satu pihak A. Hajmy beranggapan bahwa
negara adalah milik Allah swt., akan tetapi “kepemilikan” dan pendelegasiannya
melalui “mandat” dan bukan pula wakil-Nya dalam bentuk materi, melainkan
mandat tersebut sebagai amanah yang harus dijalankan oleh hamba-hamba-Nya
yang terpilih menjadi pemimpin. Itu sebabnya A. Hasjmy membagi proses
pengalihan kekuasaan kepada yang bersifat umum dan yang bersifat kusus.
Kekuasaan yang bersifat umum, dapat dilihat dari konsep Khali>fah yang mengacu
pada tugas manusia secara keseluruhan. Hal ini menjadi sebab kepada manusia
diberi tanggung jawab penuh untuk mengurus serta memakmurkan bumi ini seluas-
luasnya, juga berlaku bukan hanya dalam hubungan dengan urusan kenegaraan
semata, akan tetapi juga mencakup seluruh aspek kehidupan. 264
Kekuasan yang bersifat kusus adalah terkait langsung dengan kekuasaan
negara yang harus terjamin terlaksananya hukum-hukum Tuhan. Hukum-hukum ini
bisa berlangsung jika ada seorang pemimpin yang diangkat oleh sekelompok orang
dari mereka yang bertindak sebagai pengemban amanah. Sebab Tuhan tidak bisa
dijangkau dengan panca indra, dikarenakan, hanya hukum-hukum-Nyalah yang
nyata tertulis, maka “Kedaulatan hukum” sebagai predikat sebutan negara dalam
Islam. Sebagaimana dijelaskan oleh Taqi> al-Di>n al-Nabha>ni, kedaulatan syariat,
artinya yang mengendalikan aspirasi individu adalah syariat, bukan individu dengan
sesuka hatinya. Oleh karena itu, tidak ada tempat demokrasi yang lepas dari ruh
syariat yang dikendalikan berdasarkan petunjuk-petunjuk hukum-Nya.265 Inilah yang
di maksud A. Hasjmy, bahwa kekuasaan yang diemban oleh Kepala Negara adalah
kekuasaan melaksanakan hukum Allah swt.266 kekuasaan tersebut merupakan

263
A. Hasjmy, Di Mana Letaknya Negara Islam..., h. 30.
264
Hasan Basri, Melampaui Islam Substantif: Biografi Politik A. Hasjmy..., h.166.
265
Taqi> al-Di>n al-Nabha>ni, al-Daulah al-Isla>miyyah, (Beirut: Da>r al-Ummah,
2002), h. 139-145. Sebagaimana dikutip oleh Hasan Basri, Melampaui Islam Substantif:
Biografi Politik A. Hasjmy..., h.166-167.
266
Syariat Islam ditetapkan untuk memberi kemudahan kepada pemeluknya tidak
mempersulit dalam pelaksanaanya, selama tidak mendatangkan mudharat dan tidak
bertentangan dengan prinsip-prinsip syari„ah. Syari„ah terbagi kepada dua macam, yaitu
syari„ah dalam makna yang luas dan syari„ah dalam makna yang sempit. Syari„ah dalam
makna yang luas, mencakup aspek akidah, akhlak dan amaliah, yaitu mencakup keseluruhan
norma agama Islam, yang meliputi seluruh aspek doktrinal dan aspek praktis. Adapun
syariah dalam makna yang sempit merujuk kepada aspek praktis (amaliah) dari ajaran Islam,
yang terdiri dari norma-norma yang mengatur tingkah laku konkrit manusia seperti ibadah,
nikah, jual beli, berperkara di pengadilan, menyelenggarakan negara dan lain-lain. Lihat,
Huzaemah Tahido Yanggo, “Moderasi Islam Dalam Syariah,” Al-Mizan: Jurnal Hukum dan
Ekonomi Islam al-Mizan, Vol. 2, No. 2, (September 2018): 1-132,https://ejurnal.iiq.ac.id/ind
ex.php/al mizan/article/view/41/27. Diakses Tanggal 27 April 2020.

91
aplikasi dari mandataris kekuasaan Allah swt., bukan kekuasaan teokrasi yang pada
puncaknya berdiri seorang wakil Tuhan dipermukaan bumi. 267
Beberapa literatur tentang Islam sering dijumpai suatu asumsi yang keliru
bahwa, negara Madinah yang didirikan oleh Nabi Muhammad saw., sebagai negara
teokrasi. Padahal dari hasil penelitian yang dilakukan, dalam Islam negara teokrasi
tidak pernah dikenal baik dalam teori maupun dalam praktek. 268 Kedaulatan atas
kekuasaan Tuhan yang dimandatkan kepada manusia, yang disebut sebagai umat
atau rakyat. Dalam pandangan A. Hasjmy umat atau rakyat yang dimaksudkan di
sini adalah sekelompok orang beriman dan bekerja keras dengan beramal saleh.269
Kelompok orang-orang yang beramal saleh,270 menurut A. Hasjmy disebutkan ah}l
al-h}alli wa ‘aqdi. Golongan inilah yang akan menjalankan bai„ah ketika proses
pemberian kekuasaan yang bersifat kusus. Kelompok ini akan secara langsung
mengawasi jalannya roda pemerintahan yang dijalankan oleh orang yang kepadanya
sudah dimandatkan amanah kuasa. Pertanggung jawaban akan kekuasaan bukanlah
langsung ditujukan kepada Allah swt., yang mana proses seperti ini akan
mengaburkan makna tanggung jawab, sebagaimana halnya pertanggungjawaban
yang dipraktekkan oleh sistem pemerintahan berdasarkan “teori kedaulatan raja”. 271
Istilah kedaulatan berasal dari bahasa Arab, dengan kata daulah atau dulah.
Kata daulah bermakna putaran atau giliran. Sebagaimana Alquran menggambarkan
bahwa kekuasaan itu akan diputar atau digilirkan pada setiap masanya atas
kekuasaan manusia. 272 Perbedaan keduanya, kata dulah terkait dengan perputaran
harta, sementara kata daulah terkait dengan giliran bagi manusia untuk menguasai
manusia lainnya dalam persoalan kekuasaan politik. 273. Setiap negara berdaulat

267
Hasan Basri, Melampaui Islam Substantif: Biografi Politik A. Hasjmy..., h.166-
167. lebih lanjut lihat, A. Hasjmy, Di Mana Letaknya Negara Islam..., h.31.
268
Konsep negara teokrasi adalah suatu negara yang dipimpin oleh orang atau
sekelompok orang yang mengaku dirinya wakil Tuhan. Perkataan teokrasi berasal dari kata
theos (Tuhan), dan krotos (kekuasaan). Menurut Ryder Smith, teokrasi adalah suatu negara
yang diperintah oleh Tuhan, atau Tuhan-Tuhan. Sementara dalam Oxford Dictionary,
teokrasi dirumuskan sebagai suatu pemerintahan yang mengakui Tuhan dan dewa sebagai
raja atau penguasa. Sedangkan menurut Majid Khudduri kata “teokrasi” ciptaan Flavius
Josephus (37-100 M.), dengan maksud untuk menggambarkan karakteristik negara Israel
ketika itu sebagai suatu negara teokrasi. Istilah ini disetujui oleh J. Wellhausen yang ia
gunakan sebagai negara Arab. Lihat, Mardani, Pendidikan Agama Islam Untuk Perguruan
Tinggi..., h. 309.
269
A. Hasjmy, Di Mana Letaknya Negara Islam..., h. 30.
270
Pengertian amal saleh mempunyai arti yang sangat luas, yaitu semua perbuatan
atau pelaksanaan amal yang benar dan baik, sesuai dengan dasar-dasar keimanan. Dengan
melaksanakan amal saleh bukti dari keimanan seseorang. Dengan kata lain, semakin banyak
amal saleh dilaksanakan, dengan sendirinya semakin kokoh iman seseorang. Oleh karena
iman yang mendorong seseorang untuk melaksanakan amal saleh tersebut. Lihat, Mardani,
Pendidikan Agama Islam Untuk Perguruan Tinggi, (Depok: Kencana, 2017), h. 31.
271
Hasan Basri, Melampaui Islam Substantif: Biografi Politik A. Hasjmy..., h. 167.
272
Q. S. „Ali-Imran/003: 140.
273
Kedaulatan dalam bahasa Inggris disebut dengan sovereignty, yang asal-usulnya
dari bahasa latin superanu” yang artinya dalam bahasa Indonesia “teratas”. Lihat, M. Iman
Santoso, “Kedaulatan Dan Yurisdiksi Negara Dalam Sudut Pandang Keimigrasian ”,

91
memiliki hak eksklusif atau exclusive right, yaitu kekuasaan untuk mengatur
pemerintahanya, membuka hubungan diplomatik dengan negara lain, menerima atau
menolak kedatangan orang asing ke negaranya dan yurisdiksi penuh atas tindak
pidana yang terjadi di wilayah negara. Negara dikatakan berdaulat atau (sovereign)
karena kedaulatan merupakan suatu sifat atau ciri hakiki negara. Apabila
dikatakan bahwa suatu negara itu berdaulat, dimaksudkan bahwa negara itu mem-
punyai kekuasaan tertinggi. Walaupun demikian, kekuasaan tertinggi ini mempunyai
batas-batasnya. Ruang keberlakuan kekuasaan tertinggi ini dibatasi oleh batas
wilayah negara tersebut. Artinya suatu negara hanya memiliki kekuasaan terting-
gi di dalam batas wilayahnya. Jadi, pengertian kedaulatan sebagai kekuasaan
tertinggi mengandung dua pembatasan penting dalam dirinya yaitu pertama,
kekuasaan terbatas pada batas wilayah negara yang memiliki kekuasaan. Kedua,
kekuasaan itu berakhir ketika kekuasaan suatu negara lain dimulai.274
Teori kedaulatan raja menurut A. Hasjmy, sangat berbeda dengan sifat
kusus yang diberikan kepada pribadi, seperti halnya yang telah diberikan kepada
Nabi Daud as., Nabi Ibrahim as., dan Nabi Musa as., meskipun Allah swt., sendiri
menggelarnya Nabi Musa as., sebagai raja. 275 Pemberian kuasa (mandat) kepada
manusia sebagai Khali>fah untuk memakmurkan bumi, tidaklah dimaksudkan agar
supaya mereka bisa berbuat sesuka hati tanpa adanya suatu ketentuan hukum,
mereka tidak akan berbuat sesuka hatinya tanpa adanya pengawasan. Mandat kuasa

Binamulia Hukum, Vol. 7, No. 1, (Juli 2018), http://fh-unkris.com/journal/ind ex.php/binam


ulia/article/view/11. Diakses Tanggal 27 April 2020.
274
M. Iman Santoso, “Kedaulatan Dan Yurisdiksi Negara Dalam Sudut Pandang
Keimigrasian ”, Binamulia Hukum, Vol. 7No. 1, (Juli 2018), http://fh-unkris.com/journal/ind
ex.php/binam ulia/article/view/11. Diakses Tanggal 27 April 2020.
275
Raja di sini merupakan personal yang diberikan amanat kusus untuk
menjalankan syariat-Nya. Sebagaimana yang telah dijelaskan pada sebelumnya, bahwa
pemikiran A. Hasjmy tentang sumber kedaulatan dan kekuasaan negara, maka konsep
kedaulatan Tuhan (divine right of kings) dan konsep kedaulatan hukum (popular theistic
nomocracy) tampak berjalan secara berimbang. Keseimbangan ini terjadi karena tiga faktor.
Pertama, mengacu pada proses pendelegasian kekuasaan yang bersifat umum. Di mana
manusia yang mendapat gelar Khali>fah tidak terlepas dari otoritas Tuhan yang mempunyai
kedaulatan mutlak. Sementara kedaulatan nisbi/insani dianugerahkan kepada manusia/rakyat
sebagai Khali>fah Allah swt., untuk merealisasikan kehendak-Nya di muka bumi. Kedua,
karena wujud Tuhan yang abstrak, sedangkan kekuasaan didasarkan pada hukum-hukumnya
yang konkrit, maka berlaku pada supremasi syaria„at yang berimplikasi terhadap pemberi
wewenang yang bersifat kusus kepada manusia agar menata kehidupannya dengan
menerapkan hukum-hukum Allah swt., dalam hal ini dimaknai dengan hakikat kekuasaan
adalah kewenangan untuk menjalankan tertib masyarakat berdasarkan hukum-hukum Tuhan.
Ketiga, wujud kekuasaan bisa berjalan apabila mengangkat seorang pemimpin negara untuk
melakssanakan hukum-hukum-Nya, dan juga disebut “mandataris Allah swt.,” di muka
bumi, sebab kekuasaan diserahkan melalui pemberian mandat atau “kontrak sosial” yang
pada hakikatnya merupakan restrukturisasi sosial menurut hukum Allah swt. mengenai
sumber kedaulatan dan kekuasaan negara dalam konsepsi A. Hasjmy lebih mengacu pada
“teo-demokrasi”. Sedangkan untuk menyebut predikat negara lebih dekat kepada “nomokrasi
Islam”. Sebagaimana disebut Majid Khuddari dan Muhammad Tahir Azhary. Lihat, Hasan
Basri, Melampaui Islam Substantif: Biografi Politik A. Hasjmy..., h.167-168.

92
yang telah diberikan kepada mereka tersebut dengan ketentuan, agar supaya mereka
beribadah kepada Allah swt., saja, melaksanakan perintah-Nya, menjauhi
larangannya. Jika saja dengan pemberian mandat tersebut, kepada manusia sudah
diberikan beberapa hak, maka dengan itulah kepada mereka diberikan lebih banyak
kewajiban.276
Berdasarkan firman Tuhan,277 bagi yang telah diberikan kekuasan yang
bersifat kusus untuk mengemban amanah di muka bumi A Hasjmy menjelaskan, 278
bagi penguasa terdapat tiga kewajiban yang meliputi tiga bidang. Pertama,
kewajiban beribadah kepada allah swt., sebagai contoh ibadah shalat, karena shalat
adalah penting, tidak hanya ditinjau dari hubungan manusia dengan Tuhan,
melainkan juga menyangkut dengan hubungan kemasyarakatan dan kenegearaan.
Kedua, kewajiban beramal sosial, yang diketengahkan sebagai contoh menunaikan
zakat, zakat tidak hanya urgen dilihat dari makna ibadah, melainkan juga penting
ditinjau dari segi pengembangan sosial, ekonomi, dan perbendaharaan negara.
Ketiga, kewajiban berdakwah, yang diistihkan dengan amar ma‘ruf nahi munkar,
oleh sebab dakwah sangatlah penting bagi suatu negara, serta menyentuh
kepentingan segala bidang yang menyangkut dengan kenegaraan dan
kemasyarakatan.

3. Dasar dan Cita Negara Islam yang Menyeluruh


Telah berlalu zaman yang lama, di mana menurut A. Hasjmy manusia belum
mendapati cita menyeluruh tentang alam dan manusia. telah berwaktu-waktu mereka
memisahkan antara rohani dengan daya kebendaan, yang satu ditentang untuk
membenarkan yang lain, atau mengakui wujud keduanya dalam keadaan
bertentangan dan bermusuhan satu sama lain. Maka mereka buatlah satu ketentuan
pokok, bahwa antara daya rohani dengan daya kebendaan terdapat pertentangan
asasi, membenarkan yang satu terletak pada menyalahkan yang lain, dan tidak ada
jalan keluar kecuali dengan memberatkan satu daun timbangan dan meringankan
sebelah yang lain, karena adanya pertentangan asasi dalam diri alam dan manusia itu
sendiri. Agama masehi adalah paling nyata, yang berpendapat adanya pertentangan
asasi (kontradiksi) dalam diri manusia. Dalam hal ini, agama Islam sama pendapat
dengan agama Hindu, dan Budha. Menurut mereka kebebasan jiwa tergantung pada
pemusnahan dan penyiksaan jasad, atau melengahkan kesenangan jasmani.
Prinsip pokok agama Masehi ini, dan agama-agama lain yang serupa
dengannya, telah menimbulkan aneka rupa pandangan terhadap hidup dan
kesenangannya, terhadap budi pekerti, pribadi dan jamaah, terhadap manusia dan
daya tenaga yang bergejolak di dalam dirinya. Sehingga Islam datang yang
mendadak membawa cita baru yang lengkap padu, tidak terdapat di dalamnya
kegoncangan dan pertentangan. Islam datang untuk menyatukan segala daya dan
tenaga untuk menyatukan rindu, cinta, dan kasih, serta mengarahkan semuanya pada
satu tujuan, serta mengakui adanya satu kesatuan yang sempurna dalam alam,
kehidupan, dan manusia. Kedatangan Islam adalah untuk mempersatukan bumi,

276
Q. S. Al-Hajj/022: 41.
277
Q. S. Al-Hajj/022: 41.
278
A. Hasjmy, Di Mana Letaknya Negara Islam..., h. 32.

93
mempersatukan dunia dan akhirat dalam organisasi agama, mempersatukan rohani
dengan jasmani dalam organisasi manusia, mempersatukan ibadat dengan amal
dalam organisasi hayat. Dan semua itu berada pada satu jalan, yakni jalan Tuhan. 279
Sebelum lebih jauh menjelaskan dasar dan cita negara Islam yang
menyeluruh dalam pandangan A. Hasymi, terlebih dahulu yang harus dikemukakan
adalah mengenai hakikat dari keberadaan negara. Dalam hal ini, apakah negara
mengandung pengertian yang luas, sehingga dapat digunakan dalam mengahadapi
setiap kenyataan yang bersifat negara, yang mungkin terdapat dalam hampir seluruh
sejarah manusia, ataukah hanya terbatas pada kenyataan yang ada pada suatu tahap
dari perkembangan sejarah manusia saja. Dalam pengertian yang pertama, istilah
negara mencakup setiap bentuk pemerintahan manusia, baik dalam peradaban
Yunani Kuno atau dalam peradaban India, dan Cina Lama, serta Aztec, dan lain
sebagainya. Setiap sekali terdapat kumpulan manusia yang cukup besar, serta
mempunyai pemerintahan yang teratur, kita dapat mengatakan bahwa kelompok
manusia itu mempunyai negara.280 Akan tetapi, dalam pengertian yang kedua,
pengertian istilah negara menjadi yang terbatas, atau dibatasi hanya pada bentuk
negara yang kita kenal dewasa ini saja. Dengan demikian pengertian negara yang
sesungguhnya hanya terdapat dalam sejarah modern saja. 281
Gagasan negara modern mengambil bentuk dan perwajahannya dimulai
dengan Machiavelli di abad ke enam belas, 282 negara modern tentu saja mempunyai
pendahulunya yang mencapai jauh ke belakang, sampai kepada polis Yunani, dan

279
A. Hasjmy, Di Mana Letaknya Negara Islam..., h. 40-41.
280
Politik pada dasarnya merupakan suatu fenomena yang sangat berkaitan dengan
manusia, yang pada kodratnya selalu hidup bermasyarakat. Manusia adalah makhluk sosial,
makhluk yang dinamis dan berkembang, serta selalu menyesuaikan keadaan sekitarnya.
Sebagai anggota masyarakat, seseorang atau kelompok tentu terikat oleh nilai-nilai dan
aturan-aturan umum yang diakui dan dianut oleh masyarakat. Oleh karena itu, politik akan
selalu menggejala, mewujudkan dirinya dalam rangka proses perkembangan manusia.
Dengan keterkaitan hal di atas, maka manusia inti utama realitas politik, apapun alasannya
pengamatan atau analisa politik tidak dapat begitu saja meninggalkan manusia. Ini
menunjukkan bahwa hakekat politik adalah perilaku manusia, baik berupa aktivitas atau pun
sikap yang bertujuan mempengaruhi atau mempertahankan tatanan sebuah masyarakat
dengan menggunakan kekuasaan. Penyelenggaraan kekuasaan secara konstitusional adalah
mencakup pembagian kekuasaan politik yang mencakup masalah: sumber kekuasaan politik,
proses legitimasi, pemegang kekuasaan tertinggi, penyelenggaraan kekuasaan, fungsi-fungsi
kekuasaan/tugas ringan dan tujuan politik yang mudah dicapai. Lihat, Abdul Kadir Nambo
and Muhamad Puluhuluwa, “Memahami Tentang Beberapa Konsep Politik (Suatu Telaah
Dari Sistem Politik),” MIMBAR : Jurnal Sosial dan Pembangunan, Vol. 21, No. 2(Juni 2005
): 262-285, https://ejournal.unisba.ac.id/index.php/mimbar/article/view/177/pdf. Diak- ses
Tanggal 29 April 2020.
281
A. Rahman Zainuddin, Kekuasaan dan Negara: Pemikiran Politik Ibnu
Khaldun..., h. 156.
282
Salah satu bentuk negara modern adalah negara hukum yang dianggap lebih
modern dan manusiawi dibandingkan dengan konsepsi kuno mengenai negara kekuasaan.
lihat, Ibnu Sina Chandranegara, “Fungsi Falsafah Negara Dalam Penerapan Konsep Negara
Hukum,” JURNAL CITA HUKUM, Vol. 2, No. 1 (June 1, 2014), http://journal.uinjkt.ac.id/in
dex.php/citahukum/article/view/1448. Diakses Tanggal 29 April 2020.

94
malah lebih jauh dari itu lagi. Istilah negara sering sekali digunakan terhadap setiap
bentuk pemerintahan manusia, yang sekurang-kurangnya memperlihatkan bentuk-
bentuk awal sentralisasi dan kesinambungan. Kendati demikian, untuk maksud kita
sekarang ini, konsep negara yang berfungsi sebagai formula preskriptif 283 bagi dunia
politik kontemporer haruslah menjadi fokus perhatian kita. 284
Menurut A. Hasjmy, Kehidupan dunia adalah satu kesatuan antara bagian-
bagian alam dan daya kekuatannya, kesatuan antara segala daya hidup, kesatuan
antara manusia dengan dirinya, antara kenyataan dengan khayalannya. 285 Sebagai
makhluk yang berakal setiap orang yang tergabung dalam sebuah komunitas dan
saling berinteraksi, baik itu komunitas kecil, menengah, maupun besar (ummat),
ketika komunitas itu berkembang menjadi lebih besar dan membentuk organisasi
negara dan orang itu sebagai warganya, setelah saling memenuhi kebutuhan
pokoknya, mereka memiliki tujuan utama yang ingin dicapai. Tujuan utama itu
merupakan cerminan tujuan hidup yang ingin diraihnya. Setelah tujuan awal diraih,
akan muncul dalam jiwanya perasaan puas, bermanfaat, terhormat, dan lain
sebagainya. Namun setelah itu, ada sesuatu yang belum diperoleh dan dirasakan
sebagai faktor yang menyebabkan ketidaktentraman dalam jiwanya. Itulah yang
mereka ingin raih selanjutnya. Keadaan semacam itu membuat mereka pada
akhirnya berpaling dari tujuan pertama ke tujuan lain, setelah keperluan pokoknya
teratasi. Tujuan yang ingin diraih itu diyakini lebih baik dari tujuan pertama dapat
membawanya kepada ketentraman, dan menjadikan hidup mereka bahagia dalam
arti yang sebenarnya. 286
Secara garis besar, dewasa ini ada dua spektrum pemikiran politik Islam
yang berbeda. Sementara sama-sama mengakui pentingnya prinsip-prinsip Islam
dalam setiap aspek kehidupan, keduanya mempunyai pemikiran yang jauh berbeda
atas ajaran-ajaran Islam dan kesesuaiannya dengan kehidupan modern. Karenanya,
bagi sebagian, ajaran-ajaran itu harus lebih ditafsirkan kembali melampuai makna
tekstualnya, serta aplikasinya dalam kehidupan yang nyata. Pada ujung satu
spektrum beberapa kalangan Muslim beranggapan bahwa, Islam harus menjadi dasar
negara, di mana syari„ah harus diterima sebagai konstitusi negara, bahwa kedaulatan
politik ada di tangan Tuhan, gagasan tentang negara bangsa (nation state)
bertentangan dengan konsep ummah (komunitas Islam) yang tidak mengenal batas-
batas politik atau kedaerahan, Sementara mengakui prinsip-prinsip syu>ra>
(musyawarah), aplikasi prinsip itu berbeda dengan gagasan demokrasi yang dikenal

283
Preskriptif di sini adalah formula yang bersifat memberi petunjuk atau ketentuan,
yang bergantung pada atau menurut ketentuan resmi yang berlaku. Artinya, dalam konteks
politik, hadirnya sistem kenegaraan yang berjalan sesuai formasi dengan ketentuan yang
berlaku pada zaman yang mengitarinya.
284
A. Rahman Zainuddin, Kekuasaan dan Negara: Pemikiran Politik Ibnu
Khaldun..., h. 147-145.
285
A. Hasjmy, Di Mana Letaknya Negara Islam..., h. 41.
286
Al-Farabi, Kitab As-Siyasah Al-Madaniyah, Tahqiq Oleh Fauzi Mitri Najjar. II,
(Beirut: Dar Almasyriq, 1993), h. 44. Dalam, Imam Sukardi , “Negara Dan Kepemimpinan
Dalam Pemikiran Al-Farabi,” Al-A‘raf : Jurnal Pemikiran Islam dan Filsafat, Vol. 14, No. 2,
(Juli–Desember 2017): 283, http://ejournal.ia insurakarta.ac.id/index. php/al -araf/article/vi
ew/959. Diakses Tanggal 30 April 2020.

95
dalam diskursus politik modern dewasa ini. Dengan kata lain, dalam konteks
pandangan semacam ini, sistem politik modern, di mana banyak negara Islam yang
baru merdeka telah mendasarkan bangunan politiknya diletakkan dalam posisi yang
saling berlawanan dengan ajaran-ajaran Islam.287
Terdapat beberapa pendapat dari kalangan sarjana Muslim yang
menyatakan bahwa sanya Islam bukanlah agama yang telah menetapkan suatu pola
baku tentang teori kenegaraan, yang mana keberadaannya harus dijalankan oleh
umat Islam. Islam hanya meletakkan dasar-dasarnya yang dilengkapi dengan
seperangkat nilai, tanpa merincikannya secara detail mengenai konsepsi negara yang
harus dibangun. 288 Seorang pemikir Muslim asal Mesir, Muh}ammad ‘Ima>rah289
mengutarakan “Islam sebagai agama tidak menentukan satu sistem pemerintahan
tertentu bagi kaum Muslimin, karena logika tentang kesesuaian agama ini untuk
sepanjang masa dan tempat menuntut agar soal-soal yang selalu berubah oleh
kekuatan evolusi harus diserahkan kepada akal manusia (untuk memikirkannya),
dibentuk menurut kepentingan umum dan dalam kerangka prinsip-prinsip umum
yang telah digariskan agama ini”.
Menurut aliran pemikiran para tokoh yang mengatakan bahwa Isam tidak
menentukan dalam ajarannya sebuah sistem pemerintahan yang baku, bahkan
menurut aliran pemikiran ini, istilah negara (daulah) pun tidak dapat ditemukan
dalam Alquran. Meskipun terdapat berbagai ungkapan dalam Alquran yang
merujuk, atau seolah-olah merujuk kepada kekuasaan politik dan otoritas, akan
tetapi ungkapan-ungkapan ini hanya bersifat insidental dan tidak ada pengaruhnya
bagi teori politik, bagi kelompok ini jelas bahwa Alquran bukanlah buku tentang
ilmu politik. Walaupun demikian, penting untuk dicatat bahwa pendapat seperti ini
juga mengakui jika Alquran mengandung nilai-nilai dan ajaran yang bersifat etis,
yang menyangkut dengan aktifitas sosial dan politik umat manusia. Ajaran-ajaran ini
mencakup tentang prinsip-prinsip keadilan, persamaan, persaudaraan, dan
kebebasan.290 Untuk itu bagi kalangan yang berpendapat demikian, sepanjang negara

287
Bahtiar Effendi, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik politik
Islam di Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1998), h. 12-13.
288
Cesari, Jocelyn Ozkan, Muh}ammad Fateh, ‚S}ah}watu al dimuqratiyat} al-
Isla>miyyah: al-Di>n walh}adathat wa al-Daulah‛, Majalatu ar-Rukyat Turkia, (2016): 196,
https://search.mandumah.com/Record/853727. Diakses Tanggal 30 April 2020.
289
Muh}ammad ‘Ima>rah, al-Isla>m wa al-Sult}ah al-Diniyah, (Kairo: Da>r al-T>}aqa>fah
al-Jadi>dah, 1979), h. 76-77. Dalam, Bahtiar Effendi, Islam dan Negara: Transformasi
Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia..., h. 13.
290
Ahmad Syafii Ma„arif, Islam as The Basic of State: Study of The Islamic
Political Ideas as Reflected in The Konstituent Assembly Debates in Indonesia, (Disertasi
Doktor: University of Chicago, 1986), h. 33. Jika dokumen politik yang paling awal dalam
sejarah Islam diteliti secara cermat, dapat dilihat bahwa prinsip-prinsip tersebut telah
ditegaskan dalam Piagam Madinah (Mi>tsa>q al-Madi>na>h). Konstitusi tersebut mencakup, di
antaranya prinsip kesamaan, partisipasi, dan keadilan. Mengenai Piagam Madinah lihat,
Muhammad Husayn Haykal, The life of Muhammad, Translate by Isma„il Razi al-Faruqi,
(North America Publication, 1976), h. 180-183. Ibnu Hisyam, The Life of Muhammad, a
Translation of Ishaq„s Sirat al-Rasul Allah, with Introduction and note by A. Guillaume,
(Lahore, Karachi, Dacca: Oxford University Press, 1970), h. 231-233. W. Montgomery Watt,

96
berpegang pada prinsip-prinsip, sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, maka
mekanisme yang diterapkannya adalah sesuai dengan ajara-ajaran Islam.291
Islam telah menetapkan sistem nilai menyangkut dengan tatanan politik.
Kewajiban mendirikan sebuah negara merupakan sebuah keniscayaan. Dalam hal
ini, kehadiran negara bukan hanya untuk membangun peradaban masyarakat
manusia saja, namun lebih daripada itu, negara menjadi penopang berkembangnya
ajaran Islam, jika saja sistem politik yang mana keberadaannya mempekuat tatanan
negara, maka Islam hadir sebagai penopang dalam tatanan moral masyarakatnya.
Dengan demikian, berdasarkan prinsip-prinsip dasar ajaran Islam sebagaimana yang
telah disebutkan di atas, persoalan yang mendasar dari prinsip menyangkut dengan
dasar dan cita negara Islam, berdasarkan Syariatnya, maka hal yang fundamental
dari kehidupan sosial manusia adalah berangkat dari kehidupan individu,
berdasarkan nilai tauhid dan ukhuwah Islamiyah.

a. Nilai Tauhid
Kalimat tauhid (la> ilaha il lalla>h) merupakan deklarasi keyakinan akan ke-
esaan Tuhan “tidak ada Tuhan selain Allah”. Pernyataan ini dikenal dengan “kalimat
tauhid”. Pada aspek esetoris, seseorang melafalkan kata-kata ini untuk
membebaskan jiwa dari penyerahan diri kepada objek-objek yang menipu, berbagai
berhala, atau dewa-dewi dunia. Pada bentuk eksoteris, pernyataan ini menyiratkan
“kesatuan gerak dan tujuan”. Dalam manajemen strategis, kalimah ini berfungsi
sebagai “penyatu” arah tujuan organisasi. Setiap orang dalam organisasi harus
bergerak pada tujuan yang sama, tidak bermain sendiri-sendiri. Kita semua pada
prinsipnya “satu” tidak boleh terpecah, karena kalimah “la> ilaha il lalla>h” adalah
desain “kesatuan” tujuan perjuangan. Pernyataan ini mencerminkan kesatuan
tindakan, kesatuan semua etnis dan ras, mengakui adanya keragaman dengan
meniadakan individualisme. 292 “Kalimah Tauhid” menyiratkan kesatuan sistem,
keunikan tim anggota organisasi adalah “satu” sebagai kelompok “satu”, sebagai tim
“satu” dalam semangat. Ikatan “satu” ikatan satu melampaui sekat-sekat agama dan
kesukuan. Nama ilahiyah ini menjadi dasar untuk membangun the unity of team
work.293
Sejarah panjang perkembangan Islam, Terkait dengan dasar dan tujuan
negara, A. Hasjmy mengemukan bahwa pada sa‟at Islam mulai mewarnai isi jagad
raya, umat manusia sedang terkepung dengan kerusakan dari berbagai penjuru, rusak
akidah dalam hubungan manusia dengan Tuhan, dan rusaknya masyarakat yang
menghubungkan manusia dengan manusia, sehingga masyarakat manusia lebih buas
daripada binatang. Islam datang dengan memperbaiki aqidah dengan memastikan

Muhammad at Medina, (Oxford: The Clarendon Press, 1956), h. 221-228. Dalam Bahtiar
Effendi, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik politik Islam di
Indonesia..., h. 13.
291
Bahtiar Effendi, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik politik
Islam di Indonesia..., h. 13-14.
292
Q. S. Al-H}ujara>t/049: 13.
293
Saed Muniruddin, Bintang ‗Arasy: Tafsir Filosofis-Gnostik Tujuan HMI, (Banda
Aceh: Syiah Kuala University Press, 2014), h. 248.

97
keesaan Allah swt., dalam pengertian luas, dan memperbaiki kerusakan masyarakat
dengan menghapus segala bentuk perbedaan derajat manusia, dan seterusnya Islam
membimbing manusia kearah cinta kasih, bekerja sama untuk mencapai
kebahagiaan, dan perdamaian, serta keadilan mutlak bagi umat manusia sendiri. 294
Maka atas dasar dan tujuan inilah Islam membangun daulah atau negara. A. Hasjmy
memahami bahwa, berdirinya negara bersesuaian dengan cita Islam, di mana negara
yang dibangun tidak tergantung di awang-awang, dan tidak pula hanya terhujam di
bumi saja.295 Dalam hal ini, keberadaan Negara Islam (daulah) mesti seperti pohon
yang besar, yang mana akarnya mencengkam di bumi, dan dahanya mencakar
langit. A. Hasjmy melanjutkan, negara Islam dengan urat buminya mencengkam di
bumi, dan pucuknya menjangkau „arasy tinggi. 296
A. Hasjmy memandang bahwa, menurut ajaran Islam diciptakannya
manusia adalah untuk mengemban amanah. Hal ini, sesuai dengan firman Tuhan. 297
Dalam proses penciptaannya, tujuan utama diciptakan manusia adalah sebagai
Khali>fah untuk mengurus kerajaan bumi. 298 Sedangkan negara dan kedaulatan-Nya
menurut A. Hasjmy adalah miliknya Allah swt. Negara dan sifatnya dibangun
dengan nama dan mandat ketuhanan, yang bertujuan untuk membangun
kesejahteraan umat manusia, membangun jasmani, dan rohaninya, mencapai
kebahagiaan akhirat. 299 Pandangan teologis yang menyatakan bahwa, perluasan
Islam merupakan kehendak Tuhan, mirip dengan tafsir perjanjian lama terhadap
bangsa Ibrani, dan dengan pandangan abad pertengahan, tentang sejarah agama
Kristen, tidak memiliki landasan filosofi yang kokoh. Istilah “Islam” bisa digunakan
dalam tiga pengertian awalnya merupakan sebuah agama, kemudian menjadi negara,
dan akhirnya budaya. 300 Dengan demikian, jelaslah bahwa bagi Islam negara
bukanlah tujuan terakhir, negara hanyalah alat dan jalan untuk mencapai tujuan,
yaitu keadilan dan kemakmuran bagi masyarakat dan umat. 301

294
Hasan Basri, Melampaui Islam Substantif: Biografi Politik A. Hasjmy..., h.171.
295
A. Hasjmy, Di Mana Letaknya Negara Islam..., h. 50.
296
A. Hasjmy, Di Mana Letaknya Negara Islam..., h. 50.
297
Q. S. An-Nisa>‟/004: 58.
298
Manusia berbeda dengan makhluk yang lain, termasuk dengan malaikat, iblis
dan juga binatang, adalah karena manusia memiliki akal dan hikmah serta tabiat dan nafsu.
Ilmuan barat menganggap manusia sebagai makhluk materi yang dapat dibentuk dan
menafikan keberadaan Sang Pencipta. Perilaku manusia seperti perilaku binatang yang
terbentuk sejak tahun-tahun awal. Karena itu, manusia sepenuhya dikendalikan oleh insting,
libido ataupun nafsu agresifnya. Menurut Alquran, manusia terdiri dari jasmani dan rohani,
diciptakan sebagai Khali>fah dan untuk mengabdi kepada Allah swt. Dalam Alquran terdapat
tiga hakekat manusia; pertama, Basyar, bahwa manusia adalah makhluk biologis. Kedua, al-
Insan, bahwa manusia adalah Khali>fah atau pemikul amanah. Ketiga, al-Nas, bahwa manusia
adalah makhluk sosial. Lihat, Afrida, “Hakikat Manusia dalam Perspektif Alquran”, AL-
QISTHU, Vol.16, No.2, (December 2018): 54-59, http://jurnal.fs.iainkerinci.ac.id/index.php/
alqisthu. Diakses Tanggal 01 Mei 2020.
299
A. Hasjmy, Di Mana Letaknya Negara Islam..., h.51.
300
K, Philip Hitti, History of The Arab..., h. 181.
301
Hasan Basri, Melampaui Islam Substantif: Biografi Politik A. Hasjmy..., h. 177.
Selengkapnya lihat, A. Hasjmy, Di Mana Letakny Negara Islam..., h.51. lihat juga, Farida

98
Tauhid dalam pandangan A. Hasjmy merupakan prinsip dasar berdirinya
negara Islam. Kehadiran Alquran mengarahkan dan membimbing manusia ke arah
pembebasan akal dari belenggu kejumudan yang terwarisi secara turun temurun,
sehingga dengan terbebasnya akal, berarti sempurnalah pengertian tentang ke-Esaan
Allah swt.302 Dengan demikian tercapailah empat tujuan misi Islam menurut A.
Hasjmy. Pertama, penghapusan kemusyrikan yang berarti perbaikan akidah. Kedua,
penghapusan perbedaan derajat manusia, yang berarti menyangkut dengan perbaikan
keadaan sosial. Ketiga, akal tidak lagi menyembah, kecuali Allah swt. Keempat, akal
tidak lagi membeda-bedakan manusia dari segi status sosial, pangkat, kekayaan dan
jabatannya, dan juga tidak membeda-bedakan, baik dalam kejadiannya maupun
ibadahnya.303
Memahami makna tauhid dalam menegakkan prinsip dasar negara Islam, A.
Hasjmy mendasari konsep berfikirnya berdasarkan firman Tuhan. 304 Sebagaimana
yang dikemukakan oleh M. Tahir Azhary dan Munawir Syadzali 305 bahwa, prinsip-
prinsip negara yang menganut azas keadaulatan hukum bermuara pada sepuluh azas
prinsip dasar. Pertama, kekuasaan adalah amanah. 306 Kedua, prinsip musyawarah.307
Ketiga, prinsip keadilan. 308 Keempat, prinsip persamaan. 309 Kelima, pengakuan dan
perlindungan terhadap HAM.310 Keenam, peradilan bebas. 311 Ketujuh, prinsip
perdamaian.312 Kedelapan, prinsip kesejahteraan.313 Kesembilan, Ketaatan rakyat
kepada pemimpin.314 Kesepuluh, hubungan antara umat dari berbagia agama. 315
Berdasarkan prinsip kekuasaan yang dibangun atas dasar tauhid dengan ini
menurut A. Hasjmy, 316 maka setiap manusia dipandang sama, ukuran sama dan

Rukan Salikun, “Summary for Policymakers,” in Climate Change 2013 - The Physical
Science Basis, ed. Intergovernmental Panel on Climate Change (Cambridge: Cambridge
University Press, 2015), 1–30, https://www.cambridge.org/core/product/identifier /CBO9781
107415324A009/type/book_part. Diakses Tanggal 01 Mei 2020.
302
A. Hasjmy, Di Mana Letaknya Negara Islam..., h.54.
303
Hasan Basri, Melampaui Islam Substantif: Biografi Politik A. Hasjmy..., h. 172.
Selengkapnya lihat, A. Hasjmy, Di Mana Letaknya Negara Islam..., h. 54-55.
304
Q. S. An-Nisa>‟/004: 1.
305
Mardani, Pendidikan Agama Islam Untuk Perguruan Tinggi..., h. 310-321.
306
Q. S. An-Nisa>‟/004: 58. Q. S. Ali-„Imran/003: 26. Q. S. Al-H}adi>d/057: 5. Q. S.
Al-‘An‘a>m/006: 165. Q. S. Yunus/010: 14.
307
Q. S. „Ali-„Imran/003: 159. Q. S. Asy-Syura>/042:38.
308
Q. S. An-Nah}l/016: 90. Q. S. An-Nisa>’/004: 58. Q. S. An-Nisa>’/004:135. Q. S.
Al-Ma>idah/005: 8.
309
Q. S. Al-H}ujura>t/049: 13.
310
Q. S. Al-Isra>/017: 70. Q. S. Al-Isra>/017: 70. Q. S. Al-Ma>„idah/005: 32. Q. S. Al-
Baqarah/002: 25. Q. S. An-Nisa>’/004: 32. Q. S. Al-Mulk/067: 15.
311
Q. S. An-Nisa>’/004: 57.
312
Q. S. Al-Baqarah/002: 190. Q. S. Al-Baqarah/002: 194. Q. S. Al-H}ajj/022: 39.
Q. S. Al-Anfa>l/008: 61-62.
313
Q. S. Saba„/034:15.
314
Q. S. An-Nisa>’/004: 90. Q. S. An-Nisa>’/004: 59.
315
Q. S. Al-Baqarah/002: 256. Q. S. Yunus/010: 99. Q. S. „Ali-„Imran/003: 64. Q.
S. Al-Mumtahanah/060: 8-9.
316
A. Hasjmy, Di Mana Letaknya Negara Islam..., h. 55.

99
mulia dilihat dari tindakan amaliahnya. Manusia yang paling utama adalah manusia
yang paling melekat dan kuat ajaran agama dalam dirinya, serta paling bermanfaat
bagi manusia yang lainnya. Sementara orang yang paling celaka adalah orang yang
paling banyak mencelakakan orang lain. Dengan jalan ini, dasar tauhid mewujudkan
kemerdekaan bagi manusia, tegaklah di tengah-tengah manusia persaudaraan, dan
menjadi sempurna persaudaraan itu. Maka dengan itu, terlaksanalah kebebasan yang
sejati antara manusia, serta terwujudlah persaudaraan dan persamaan antara mereka.

b. Ukhuwah Islamiyah
Dasar sosialisme dalam Islam memaknai, sesungguhnya seluruh umat
manusia itu bersaudara/bersatu, begitulah pengajaran di dalam Alquran. oleh karena
demikian, sebagai wujud persatuan tersebut setiap manusia wajib berusaha untuk
mencapai keselamatan untuk semuanya.317 Islam dengan sifat khasnya bertujuan
menciptakan kesejahteraan umum bagi umat manusia seluruhnya, baik Muslim
ataupun bukan.318 Ajaran-ajarannya tentang ibadat dan mu„amalat, tentang sosial
dan ekonomi, tentang pemerintahan dan politik, tentang damai dan perang,
semuanya ditetapkan sebagai suatu keharusan agama yang wajib ditaatinya, tanpa
adanya pilihan menerima atau tidak. Karena itu unsur ilzam (keharusan) dalam
penetapan-penetapan Islam lebih kuat dibandingkan dengan penetapan-penetapan
buatan manusia, karena penetapan-penetapan Islam adalah “penetapan dari Tuhan”
yang sudah pasti kebenarannya, dan sudah pasti pula pemanfaatannya untuk
kesejahteraan umat manusia. Atas dasar kenyataan itu, oleh karena beberapa hal,
maka sukarlah dalam Islam untuk menamakan suatu “agama” saja, atau “politik”
saja. Pertama, tiap-tiap yang berhubungan dengan akidah dan ibadah adalah agama,
dan dapat juga disebut dengan proses “Politik Islam” dalam memperbaiki akidah
dan ibadah. Kedua, tiap-tiap yang bersangkutan dengan moral dan pendidikan
adalah “agama”, dan dapat juga disebut sebagai “Politik Islam” dalam bidang
pendidikan dan moral. Ketiga, tiap yang bersangkutan dengan mu„amalat adalah
“agama” dan dapat juga disebut “Politik Islam” dalam bidang ekonomi dan sosial.
Keempat, tiap-tiap yang bersangkutan dengan pemerintah dan pentadbiran

317
HOS. Tjokroaminoto, Islam dan Sosialisme, (Bandung: SEGA ARSY, 2010), h.
37.
318
Psikologi menjelaskan kebahagiaan dengan dua pendekatan yang berbeda yaitu
tercapainya kepuasaan hidup secara subyektif dan tercapainya kualitas hidup yang bermakna.
Di sisi lain Islam sebagai sebuah agama menjadi kerangka kerja untuk pencarian tujuan dan
makna hidup. Religiusitas sebagai pengikatan diri seseorang terhadap Sang Kha>lik beserta
ajaran-Nya membawa manusia kepada kebahagiaan. Religiusitas Islam bisa saja
berkontribusi secara langsung terhadap kebahagiaan seseorang atau secara tidak langsung
melalui pemberian makna dan tujuan hidup manusia. Religiusitas Islam tampak lebih dekat
dengan konsep kesejahteraan psikologis yang menekankan kebahagiaan terhadap adanya
hidup yang bermakna (meaning life). Lihat, Ros Mayasari, “Religiusitas Islam Dan
Kebahagiaan (Sebuah Telaah Dengan Perspektif Psikologi),” Al-Munzir Vol. 7, No. 2,
(Nove mber 2014), ht tp://ejournal.iainkendari.ac.id/al-munzir/article/view/281. Diakses
Tanggal 02 Mei 2020.

111
kesejahteraan kaum Muslimin adalah agama, dan dapat disebut “Politik Islam”
dalam bidang pemerintahan dan tata usaha negara.319
Islam menetapkan hukum-hukumnya dalam bidang-bidang sosial, ekonomi,
dan politik sesuai dengan ajaran Kha>lik tentang kesejahteraan umat manusia. Ini
berarti bahwa Islam membangun perundang-rundangan untuk segala bidang
kehidupan manusia atau dasar menyadari manusia akan eratnya hubungan mereka
dengan Kha>lik, memberi pengertian kepada umat akan kebaikan ibadat dan
mu„amalat, serta menyelamatkan dari segala bentuk kejahatan. Ini berarti pula
bahwa Islam menegakkan perundang-rundangan atas dasar moral, karena itu negara
menurut pandangan Islam adalah negara moral yang berundang-undang dasar
tertulis, yaitu Alquran yang memiliki tentara tersendiri, itu semua orang Mukmin
yang sanggup memanggul senjata, serta memiliki politik luar negeri yang berintikan
perdamaian. 320
Masyarakat yang dibangun atas dasar-dasar Islam, terjalin ikatan padu
antara para anggotanya, karena beberapa hal. Pertama, pengakuan mereka akan
kedaulatan mutlak bagi Allah swt., pencipta semesta alam. Kedua, pengakuan akan
persaudaraan umat manusia seluruhnya, karena mereka berasal dari bapak dan ibu
yang satu. Ketiga, pengakuan akan persaudaraan Islam dengan kesatuan cita dalam
mengembangkan Islam dan keasatuan tugas. Dalam hal menjalankan tugas semua
orang sama, semua mereka tidak lepas dari tanggung jawab terhadap kemajuan
agama, kesejahteraan pribadi dan jamaah.321
Tauhid telah meleburkan umat manusia menjadi satu tujuan, yaitu dengan
memahami Tuhan itu satu, konsekuensi dari ini terjalinlah ibadah mahdah di dalam
ajaran Islam, sementara Ukhuwah Islamiyah meleburkan sekian keberagaman
menjadi satu kesepakatan, yaitu bergerak bersama-sama atas dasar persaudaraan
yang dibangun berdasarkan ajaran Islam. Hal ini tersimpul dalam ayat-ayat
Alquran.322 Kedua ayat tersebut tidak hanya menggariskan dasar-dasar negara, akan
tetapi juga sekaligus menggambarkan tujuan dari negara itu sendiri. Jelaslah bahwa
bagi Islam negara bukanlah tujuan akhir, melainkan keberadaan negara hanyalah alat
untuk mencapai tujuan, yaitu keadilan dan kemakmuran dan bagi masyarakat umat.
Ukhuwah Islamiyah323 merupakan ikatan persaudaraan umat yang dengan sendirinya

319
A. Hasjmy, Di Mana Letaknya Negara Islam..., h. 52-53.
320
A. Hasjmy, Di Mana Letaknya Negara Islam..., h. 54.
321
A. Hasjmy, Di Mana Letaknya Negara Islam..., h. 55.
322
Q. S. „Ali-„Imran/003: 103-104.
323
Ukhwah Islamiyah adalah hubungan yang dijalanin oleh rasa cinta dan didasari
oleh akidah dalam bentuk persahabatan bagaikan satu bangunan yang kokoh. Ukhuwah
berarti persaudaraan, dari akar kata yang mulanya berarti memperhatikan. Ukhuwah Fillah
atau persaudaraan sesama Muslim adalah suatu model pergaulan antar manusia yang
prinsipnya telah digariskan dalam Alquran dan hadis, yaitu suatu wujud persaudaraan karena
Allah swt., maka kewajiban pertama umat Islam itu ialah menggiatkan dakwah agar agama
dapat berkembang dan sempurna, sehingga banyak pemeluk-pemeluknya. Dengan dorongan
agama akan tercapailah bermacam-macam kebaikan sehingga terwujud persatuan yang
kokoh dan kuat. Dari persatuan yang kokoh tersebut akan timbullah kemampuan yang besar
untuk mencapai kemenangan dalam setiap perjuangan. Mereka yang memenuhi syarat-syarat
perjuangan itulah orang-orang yang sukses dan beruntung. Lihat, Cecep Sudirman Anshori,

111
terpadu oleh keimanan semata. 324 Sesuai dengan yang disebutkan dalam Alquran,325
sebagaimana telah dijelaskan bahwa, umat manusia yang terdiri dari berbagai unsur
bangsa haruslah bersatu dengan saling megenal antara satu sama lain, dan mereka
semua mempunyai derajat yang sama dalam kedudukan sosialnya. Jika pun terdapat
kekurangan itu hanyalah perbedaan tentang kemampuan bertakwa saja. 326 Betapa
kuatnya ukhuwah Islamiyah, persaudaraan yang telah dapat mengalahkan
persaudaraan yang lain, hatta persaudaraan darah turunan, sebagaimana
digambarkan dalam Alqura„an. 327 Demikian ketatnya hubungan ukhuwah Islamiyah,
sehingga Allah swt., mengajari orang-orang Islam hanya kepada diri sendiri dan
kepada sesama saudara seagama dengannya. 328 Tauhid dan Ukhuwah Islamiyah
yang menjadi dasar negara Islam, telah menjadikan agama dan negara menjadi satu
kesatuan yang padu dan tidak dapat dipisahkan. 329
Perintah melakukan amar ma‗ruf nahi munkar atau menyebar luaskan
kebajikan dan menangkal kemungkaran atau kemaksiatan sudah merupakan dalil
baku Islam. Itu semua merupakan makna dakwah, yakni membawa kebenaran Islam
ke sekitar kita dengan motif utama menyelamatkan manusia dan lingkungannya dari
kerusakan dan terjadinya ukhuwah Islamiyyah. Ukhuwah Islamiyah atau
persaudaraan Islam adalah sarana efektif dalam dakwah fardhiyah. Selain itu, ia juga
memberikan sekaligus manfaat duniawi, ukhrawi, dan diniyah. Persatuan dan
persaudaraan yang paling kekal adalah jika didasari kesamaan dan kesatuan akidah.
Jadi, asas pemersatu yang paling kuat dan langsung adalah kesatuan aqidah
Islamiyyah.330
Komunitas keagamaan yang dibangun atas dasar ukhuwah Islamiyah, yang
kemudian melahirkan negara Islam di Madinah. Masyarakat baru yang terdiri atas
orang-orang Muhajirin dan Ansar ini dibangun atas dasar agama, bukan hubungan
darah. Allah swt., menjadi perwujudan supremasi negara. Nabi-Nya, ketika masih
hidup adalah wakil-Nya dan penguasa tertinggi di dunia. Dengan demikian, Nabi
Muhammad saw., di samping menjalankan fungsi keagamaan, juga memegang
otoritas duniawi seperti yang dimiliki oleh Kepala Negara dewasa ini. Semua yang
hidup dalam komunitas itu, tanpa melihat afiliasi kesukuan dan loyalitas lama, dan
kini menjadi saudara. 331

“Ukhuwah Islamiyah Sebagai Fondasi Terwujudnya Organisasi Yang Mandiri Dan


Profesional,” jurnal pendidikan agama islam (2016).Jurnal Pendidikan Agama Islam -Ta‟lim
Vol. 14 No. 1, (2016): 117-125, http://jurnal.upi.edu/file/08_Ukhuwah_Islamiy ah_Sudirman
.pdf. Diakses Tangg al 03 Mei 2020.
324
Q. S. Al-H}ujara>t/049: 10.
325
Q. S. Al-H}ujara>t/049: 13.
326
A. Hasjmy, Di Mana Letaknya Negara Islam..., h. 51.
327
Q. S. Al-Muja>dilah/058: 22.
328
Q. S. Al-H}ashr/059: 10.
329
A. Hasjmy, Di Mana Letaknya Negara Islam..., h. 52.
330
I Kholid, “Dakwah Dan Ukhuwah Dalam Bingkai Ibadah Dan „Ubudiyah ,”
Orasi Jurnal Dakwah dan Komunikasi, Vol 7, No 2 (2016): 1-21, https://www.syekhnurjati.a
c.id/jurnal/in dex.php/orasi/arti cle/view/1009/758. Diakses Tanggal 03 2020.
331
Sebagaimana Nabi Muhammad saw., dalam sebuah khutbah terkenal yang
disampaikan disaat haji perpisahan: “wahai manusia! Perhatikan kata-kataku, dan camkan

112
Nabi Muhammad saw., mempersaudarakan antara kaum Muslimin yang
berbeda-beda suku dan bangsa, yang berlain-lainan warna kulit dan rupanya: al-
wahdatul Islamiyah menggantikan al-wahdatul qaumiyah. Dengan demikian,
muncullah azas baru, bahwa semua mereka menjadi bersaudara dan sederajat.332 Hal
ini, sesuai dengan firman Allah swt., bahwa keanekaragaman penciptaan manusia
merupakan keniscayaan. 333 Demikianlah, bahwa sesungguhnya agama telah menjadi
pengikat satu-satunya antara pemerintah dengan rakyat, dan juga antara pribadi-
pribadi rakyat. Oleh karena itu, menurut A. Hasjmy334 ditegakkannya negara Islam
untuk mewujudkan kesejahteraan bagi umat manusia dalam rangka membangun
jiwa dan raganya agar mendapatkan kesejahteraan di dunia dan kebahagiaan di
akhirat. Dalam hal ini, A. Hasjmy berpandangan bahwa negara wajib ditegakkan
atas dasar moral. A. Hasjmy melanjutkan bahwa negara dalam perspektif Islam
adalah negara moral, yang berdasarkan undang-undang tertulis yaitu Alquran.
Negara Islam mempunyai hubungan politik luar negeri, yang berintikan perdamaian.
Berkaitan dengan ini, Negara Islam juga bertujuan untuk mewujudkan peradamaian
abadi , bersendikan pada keadilan universal.

C. Tujuan dan Cita Negara Islam


Menurut A. Hasjmy, dasar-dasar negara Islam tidak dapat dimengerti
sebaik-baiknya sebelum “cita Islam” (Ideologi Islam) dimengerti dengan benar, oleh
negara adalah cabang dari pokok utama. Islam yang berwenang mengatur kehidupan
manusia tidaklah mengatur sesuatu separuh-separuh keping demi keping atau
kepalang tanggung. Islam mempunyai cita utama yang meliputi alam, kehidupan,
dan manusia, dan manusia bahwa, segala “cabang cita” dan “cabang rasa”
berpangkal kepada cita utama”. Kepadanya pula berpaut segala penelitian dan
perundang-undangannya, ibadat dan mu„amalatnya, dan semua terpancar dari cita
utama yang menyeluruh. Dengan demikian, mengetahui cita Islam yang menyeluruh
ini, sangatlah mudah bagi para peneyelidik dan para pembahas untuk mengetahui
usul pokok dan kaedah-kaedahnya, mudah pula menempatkan sesuatu pada
tempatnya, mengembalikan bagian-bagian (juz„iyat) kepada induknya (kulliyat),
akan dapat mengikuti dengan bahagia segala garis nyata dan arah tujuannya, dan
akhirnya nyatalah bahwa cita Islam kokoh padu bertaut sempurna, bulat padat tidak
pecah terpecah belah.335
Sebagaimana Para Sarjana Islam menjelaskan bahwa, pada kata Islam
sendiri telah mengandung pengertian ad-di>n, daulah, siyasah, syari„ah, aqidah, dan
akhlak. Artinya, telah tersimpul di dalamnya pembentukan masyarakat Islam.

dalam hatimu! Ketahuilah bahwa setiap Muslim adalah saudara bagi Muslim lainnya, dan
bahwa kalian berada dalam satu persaudaraan. Karena itu, kalian tidak boleh mengambil
sesuatu yang menjadi milik saudaranya, kecuali jika ia memberikannya dengan rela”. Lihat,
Philip K. Hitti, History of The Arab..., h. 151.
332
Q. S. Al-Hujarat/049: 13.
333
Dan diperkuat dengan hadis yang artinya, “tidak ada kelebihan orang Arab atas
orang ‗Ajam”.
334
Hasan Basri, Melampaui Islam Substantif: Biografi Politik A. Hasjmy..., h. 174.
Selengkapnya baca, A. Hasjmy, Di Mana Letaknya Negara Islam..., h. 53-54.
335
A. Hasjmy, Di Mana Letaknya Negara Islam..., h. 33.

113
Dengan demikian adanya, dan memang demikian, maka tiap-tiap masyarakat
memerlukan peraturan-peraturan yang akan mengaturnya. Oleh sebab itu, adanya
tasyri‗ merupakan satu kebutuhan sosial bagi umat Islam. Atas pengertian dan
kesimpulan ini, maka pada waktu Allah swt., mengangkat Nabi Muhammad saw.,
menjadi Nabi dan Rasul untuk membawa agama universal bagi dunia seluruhnya,
yaitu Islam, juga telah mengandung pengertian bahwa Nabi Muhammad saw.,
sekaligus menjadi pimpinan dari masyarakat Islam. Kepala masyarakat Islam,
Ra>isud Daulah Islamiyah. Dalam hubungan ini, bersamaan dengan pengangkatan
tersebut Allah swt., telah menyerahkan kepada Nabi Muhammad saw., melalui
malaikat Jibril secara beransur-ansur selama dua puluh tiga tahun, yaitu “Alqur‘a>n al
Kari>m”.336
Menurut A. Hasjmy, bagi seseorang penyelidik Islam atau seorang
penyelam ajaran Islam, pertama-tama sekali dalam usahanya itu haruslah dipelajari
dan diselidiki cita utamanya yang menyeluruh tentang alam, kehidupan, dan
manusia. Sebelum dibahasnya pendapat Islam mengenai negara, baik dalam bidang
politik, bidang ekonomi (keuangan), ataupun dalam bidang sosial, ataupun pendapat
Islam tentang hubungan pribadi, hubungan bangsa, dan hubungan internasional.
Karena semua ini adalah cabang-cabang yang keluar dari cita utama yang
menyeluruh. Cita Islam bukanlah warisan alam pikiran Yunani (filsafat Yunani) dan
bukanlah warisan filsafat bangsa apapun. Islam mempunyai citanya sendiri yang
sempurna dan berakar, di mana pokok studi dan tinjauannya adalah Alquan dan
hadis, sirah, dan Ssnnah amaliah dari Rasulullah. Ini semua cukup bagi penyelidik
yang teliti untuk mengetahui cita Islam yang merupakan sumber dari pendidikan,
pengajaran, perundang-undangan, dan tata cara pergaulannya. 337
Pada hakikatnya maksud pokok dari gerakan kaum Muslimin pada mulanya
adalah untuk mengembangkan Islam, dan meratakan ajarannya kepada umat
manusia, sedangkan membangun negara yang khas untuk mereka adalah suatu
keharusan sosial yang terpaksa harus dilakukannya. Di samping harus diakui bahwa,
sebagaimana telah dijelaskan pada sebelumnya tidak ada pemisahan antara Islam
dan politik. Sesungguhnya pada mulanya orang-orang Islam merupakan kaum
minoritas di Mekkah, dan tidak mempunyai kekuatan apa-apa, bahkan mereka
menjadi sasaran kedhaliman, dan penindasan kaum Qurays. Kaum Qurays dikepung
dari berbagai arah, termasuk melarang untuk mensyiarkan ajaran Islam, dan bahkan
dipaksa untuk kembali pada agama mereka sebelumnya.
Menurut A. Hasjmy, organisasi kehidupan manusia tidak akan tegak,
sebelum sempurna gotong royong dan asimilasi ini, dan pelaksanaannya adalah satu
keharusan untuk kebaikan umat manusia seluruhnya, sehingga diperbolehkan
menggunakan kekerasan untuk menyadarkan orang-orang yang menyeleweng dari
jalan ini.338 Dasar pokoknya menurut A. Hasjmy adalah bergotong royong, saling
mengenal dan berasimilasi. Siapa saja yang menyeleweng dari dasar pokok ini,
haruslah digunakan segala cara untuk mengembalikan orang tersebut ke jalan yang
sebenarnya, karena sunnah alam raya lebih patut diikuti daripada hawa nafsu pribadi

336
A. Hasjmy, Sejarah Kebudayaan Islam..., h. 96.
337
A. Hasjmy, Sejarah Kebudayaan Islam..., h.34.
338
Q. S. Al-Maidah/005: 33. Q. S. Al-H}ujurat/049: 9. Q. S. Al-Baqarah/002: 251.

114
dan kelompok. Sedangkan saling menjalin hubungan antar semuanya adalah sesuai
dengan tujuan alam yang satu, dan maksud Kha>lik yang Esa. Apabila kita telah
sampai kepada manusia sebagai bangsa atau sebagai pribadi, bahwa dia adalah satu
kesatuan yang lengkap, dan kekuatan yang nampaknya berbeda, akan tetapi pada
hakikatnya bertujuan satu, keadaannya dalam hal yang demikian adalah sama
dengan keadaan alam semesta, semuanya punya daya kekuatan satu, yang berbeda
tapi nyata.339
Telah berlalu zaman yang lama, di mana manusia belum mendapat cita
menyeluruh tentang alam dan manusia. Telah berwaktu-waktu mereka memisahkan
antara daya rohani dengan daya kebendaan yang satu ditentang untuk membenarkan
yang lain atau mengakui wujud keduanya dalam keadaan bertentangan dan
bermusuhan satu sama lain. Maka, mereka buatlah ketentuan-ketentuan pokok,
bahwa antara daya rohani dengan daya kebendaan terdapat pertentangan asasi,
membenarkan yang satu terletak pada menyalahkan yang lain, dan tidak ada jalan
keluar, kecuali dengan memberatkan satu daun timbangan dan meringankan sebelah
yang lain, karena adanya pertentangan asasi dalam diri alam dan manusia itu
sendiri.340
Agama atau risalah yang disampaikan oleh Allah swt., kepada manusia,
dengan perantara Para Rasul-Nya, terdiri dari dua ajaran yaitu akidah/ibadah, dan
syari„ah. Akidah dan ibadah bertugas mengatur hubungan manusia dengan
Kha>liknya, Allah Yang Maha Esa, yang mana hikmahnya juga membina hubungan
manusia sesama manusia dalam kehidupan masyarakat. Sementara ajaran syari‟ah
mengatur hubungan manusia dengan dirinya sendiri, dengan keluarga, dengan
sesama manusia, dengan alam lingkungan/masyarakat, dan dengan negara. Syariat
juga mengatur hubungan keluarga dengan keluarga, dengan alam lingkungan,
masyarakat dan dengan negara, bahkan syariat mengatur hubungan antar
lingkungan/masyarakat dan antar negara. Hubungan yang diatur syariat ini berlaku
dalam segala kehidupan dan penghidupan. 341
Islam mengatur satu negara dan masyarakat atas tiga prinsip fundamentalis:
pertama, negara dan masyarakat harus ditegakkan atas dasar keadilan (al-‘ada>lah).
Dalam pandangan Islam pendirian suatu negara harus melaksanakan keadilan dalam
arti seluas-luasnya. Tidak saja keadilan hukum, melainkan juga kedilan sosial dan
ekonomi. Dengan demikian, negara harus memberantas fenomena dan bentuk
ekploitasi yang muncul di tengah-tengah masyarakat. Kedua, negara harus
dijalankan atas prinsip musyawarah (syu>ra>), musyawarah di sini sesuai dengan yang
diajarkan Islam, konsep musyawarah yang mencegah terbentuknya sifat
penyelewengan negara yang mengarah pada sifat otoriteriarisme, despotisme,
diktatorianisme, serta bentuk-bentuk lain yang dapat membunuh partisipasi politik
kerakyatan. Dalam hal ini, sistem politik kerajaan secara turun temurun telah
mengangkangi sifat politik musyawarah. Ketiga, negara harus dijalankan dalam
bentuk persaudaraan hak dan persamaan derajat (ukhuwah dan musa>wah). Dalam
konsep pelaksanaannya, ajaran Islam tidak pernah membeda-bedakan manusia

339
A. Hasjmy, Di Mana Letaknya Negara Islam..., h. 39.
340
A. Hasjmy, Di Mana Letaknya Negara Islam..., h. 40.
341
A. Hasjmy, Sejarah Kebudayaan Islam..., h. 13.

115
berdasarkan jenis kelamin, asal-usul, etnis, warna kulit, latar belakang sejarah, strata
sosial, ekonomi serta berbagai macam bentuk perbedaan lainnya. Persamaan hak dan
persaudaraan yang dibangun oleh Islam tidak hanya kepada sesama Muslim saja,
namun sebaliknya juga kepada non-Muslim.342
Agama Masehi adalah contoh yang paling nyata yang berpendapat adanya
pertentangan asasi (kontradiksi) dalam diri manusia. Dalam hal ini, agama masehi
sependapat dengan agama Hindu, dan agama Budha. Menurut mereka, kebebasan
jiwa tergantung pada penyiksaan dan permusuhan jasad, atau paling kurang
melengahkan kesenangan jasmani. Prinsip pokok agama masehi ini, dan agama-
agama yang lain serupa dengannya telah menimbulkan aneka rupa pandangan
terhadap hidup dan kesenangannya, terhadap budi pekerti, pribadi, dan jamaah
terhadap manusia dan tenaga yang bergolak dalam dirinya. Telah lama terjadi
pertentangan antara daya, dan telah lama pula manusia terjepit dalam pertarungan
yang serupa, dan mereka bingung tidak mendapat jalan pemecahan masalah,
sehingga datanglah Islam yang mendadak membawa cita baru yang lengkap padu,
tidak terdapat di dalamnya kegoncangan dan pertentangan. Islam datang untuk
menyatukan segala daya dan tenaga, untuk memadukan rindu, cinta, kasih, dan
mengerahkan semuanya ke arah satu tujuan, serta mengakui adanya satu kesatuan
yang sempurna dalam alam, kehidupan, dan manusia. 343
Islam telah menjangkau keaslian hubungan Kha>lik dengan makhluk,
keaslian hubungan antara alam, kehidupan, dan manusia, keaslian hubungan antara
manusia dengan jiwanya, antara pribadi dengan jamaah, antara rakyat dengan
negara, antara keseluruhan masyarakat manusia, antara angkatan dengan angkatan.
Semua itu berpangkal pada cita utama yang menyeluruh, yang mana ruhnya
menjalar ke setiap cabang dan ranting. Itulah dia cita Islam, Itulah dia pikiran Islam,
dan itulah dia filsafat Islam (that is the Islamic Ide, the Islamic Thought, and the
Islamic Philosophy).344
Berdasarkan azas hukum Islam, hal yang medasar adalah prinsip keadilan
dan kesadaran. Cukup banyak ayat-ayat dalam Alquran yang menetapkan prinsip-
prinsip tersebut, dalam segala bentuk dan cara, dan begitu juga dalam segala
kesempatan. Dengan cara membimbing, menakuti akan akibat, dengan lemah
lembut, dan adakalanya dengan mengancam. Alquran mengarahkan manusia untuk
tidak berbuat munkar, 345 untuk tidak melakukan tindak pidana. Bagi Islam mengadili
seseorang bukanlah karena benci atau marah, akan tetapi untuk memberi kesadaran
kepada manusia untuk tidak melakukan kejahatan, sehingga kembali menjadi
baik.346 Dan begitu juga kepada hakim ditekankan untuk melaksanakan tugas seadil-

342
Hasan Basri, Melampaui Islam Substantif: Biografi Politik Ali Hasjmy..., h. 136.
Selengkapnya lihat, M. Amin Rais, Cakrawala Islam: Antara Cinta dan Fakta, (Bandung:
Mizan 1991).
343
A. Hasjmy, Di Mana Letaknya Negara Islam..., h. 40.
344
A. Hasjmy, Sejarah Kebudayaan Islam..., h.34.
345
Q. S. An-Nisa>’/004: 29.
346
Q. S. An-Nisa>’/004: 58. Q. S. An-Nisa>’/004: 105-112.

116
adilnya,347 yang didasarkan atas rasa cinta kasih kepada mereka yang diadili.
Dengan demikian, azas dan tujuan hukum Islam untuk menjadikan kebenaran,
keadilan, dan keinsafan sebagai raja dalam segala keadaan dan waktu, dan juga
dalam segala keadaan dan peristiwa.348 Setelah Nabi Muhammad saw., membangun
masyarakat Arab dengan mendirikan negara Madinah, tersebarlah Islam menuju
Eurasia, Palestina, Suriah, Irak, Mesir, Persia, dan Oxus, dan mencapai ke wilayah
Atlantik dan Indus. Tidak ada wilayah yang dapat direbut kembali. Semua capaian
itu dibangun atas dasar sebuah agama dan gagasan baru yang dengan khas
menggabungkan iman dengan kekuasaan politik. 349 Umat Islam mengatur sebuah
masyarakat besar yang telah mereka kuasai sesuai dengan sebuah rancangan yang
sebagiannya telah dibentuk dan sebagian lainnya disusun kemudian sesuai dengan
perkembangan zaman.
Hadirnya gagasan Islam menjadi dobrakan yang menentukan dalam sejarah
pemikiran manusia tentang politik dan masyarakat. Ketika Nabi Muhammad saw.,
melahirkan sebuah ummah (masyarakat bangsa) baru, mereka sekaligus
memunculkan rasa kebangsaan Arab dan sekaligus satu bentuk komunitas
internasional baru. Untuk pertama dan hanya sekali dalam sejarah manusia, sebuah
bangsa yang langsung meleset diawal kemunculannya. Di jantung proyek itu
berlangsung peralihan kekuasaan dari kerajaan kepada Nabi, dan kemudian kepada
umat. Komunitas baru ini didasarkan atas syariat yang dirancang untuk menetapakan
aturan-aturan tentang moral, hukum, keyakinan, dan ritual agama, perkawinan, jenis
kelamin, perdagangan dan masyarakat. 350
A. Hasjmy, menjelaskan bahwa, Kedatangan Islam adalah untuk
mempersatukan bumi dengan langit dalam organisasi alam semesta, mempersatukan
dunia dan akhirat dalam organisasi agama, mempersatuan rohani dengan jasmani
dalam organisasi manusia, mempersatukan ibadat dengan amal dalam organisasi
hayat. Semua itu, dituntun untuk berjalan di atas satu jalan, yaitu jalan menuju
kepada Allah swt. Alam semesta adalah satu kesatuan yang tersusun dari benda
nyata yang dikenal dan benda gaib yang tidak diketahui. Kehidupan adalah satu
kesatuan yang terangkai dari daya rohani dan daya jasmani, yang mana jikalau
terpisah pasti akan terjadi kegoncangan dan kehancuran. Manusia adalah satu
kesatuan yang terpilih, rindu rohani mengawang ke langit tinggi, dan cinta jasmani
yang bersemanyam di bumi, tidak ada pemisahan antara satu dengan yang lainnya,
menurut tabiat insan itu sendiri, karena tidak ada pemisahan antara langit dan bumi,
serta antara ma‗lim dan majhul menurut watak alam semesta, dan tidak ada

347
Q. S. Al-Ma>idah/005: 8. Q. S. Al-An„an/006: 152. Q. S. An-Nah}l/016: 90. Q. S.
Al-H}ujura>t/049: 6.
348
A. Hasjmy, Sejarah Kebudayaan Islam..., h. 96.
349
Patricia Crone, Medieval Islamic Political Thought, Medieval Islamic Political
Thought, Die Welt des Islams, Vol. 49, No. 3-4, (2014): 479-480, https://brill.com/v
iew/jour nals/wdi/4 9/3-4/article-p479_10.xml. Diakses Tanggal 04 Mei 2020.
350
Antony Black, Pemikiran Politik Islam: Dari Masa Nabi Hingga Masa Kini,
Terj. Abdullah Ali Mariana Ariestyawati, (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2006), h. 36.

117
pemisahan antara dunia dengan akhirat, atau antara suluk dengan ibadat menurut
tabiat agama.351
Nabi Muhammad saw., sejak Piagam Madinah dan fase paling awal
dakwahnya di Madinah, mempunyai targed dan tujuan untuk mengubah konfederasi
kesukuan menjadi sebuah masyarakat baru yang dikendalikan oleh ajarannya
tentang moral. Agama yahudi telah menkhotbahkan suatu tatanan hukum yang
meliputi semua etnis, sementara Kristen mendakwahkan persaudaraan spritual
(universal), akan tetapi keduanya tidak ada yang serius berbicara tentang kekuatan
militer dan kekuasaan politik, keduanya menerima kehidupan di bawah
pemerintahan pagan. Sedangkan Nabi Muhammad saw., mendakwahkan
persaudaraan spritual plus hukum-hukum yang menyangkut semua golongan, serta
mengatakan bahwa kendali politik universal harus diraih oleh umat Islam, bahkan
bila perlu dengan kekuatan militer. Kebangkitan Islam, berikut perkembangan
budayanya yang terbentuk kemudian, paling mudah dipahami bila kita memandang
agama, apa pun yang diajarkannya sebagai sesuatu yang bisa memenuhi kebutuhan-
kebutuhan sosial. Nabi Muhammad saw., menciptakan monoteisme baru yang cocok
dengan kebutuhan kontemporer masyarakat kesukuan, selama masyarakat itu
memang ingin berkembang menjadi lebih besar. Sampaí di sini, ia menyadur
gagasan-gagasan yang dikenal di Timur Tengah. Ia menyajikan berbagai alasan
untuk menegaskan posisi Arab sebagai masyarakat pilihan dan memberi mereka
misi untuk mengubah atau menaklukkan dunia. Ia memungkinkan mereka mencapai
transisi itu secara berkelanjutan dari politeisme ke monoteisme, dan dari kesukuan
menuju nasionalisme, kemudian internasionalisme. 352
Aristoteles dalam bukunya yang berjudul “politics” menganggap bahwa,
negara kota sebagai tempat untuk memenuhi kebutuhan manusia, dan yang
menganjurkan demokrasi konstitusional tidak pernah diterjemahkan. Salah satu hal
yang menarik filsuf Islam adalah pandangan Yunani tentang masyarakat ideal,
legislator sebagai sumber hukum, dan tentang hubungan antara penguasa dan
hukum, serta strategi agar rakyat menerima pandangan yang benar, dan
melaksanakannya. Para filsuf Islam bersepakat bahwa, akal memiliki kedudukan
yang tinggi “jadikan akal sebagai Khali>fah jiwamu”. Akal yang mereka maksudkan
di sini adalah silogisme dan dialektika, serta gagasa-gagasan dari pikiran yang
terlatih dan termurnikan. Para filsuf Islam seperti neo-Platonis awal, berpendapat
bahwa mereka bisa melakukan deduksi untuk mengetahui sebab pertama (causa
prima) dan keteraturan semesta melalui uji pengalaman rasional. 353
Karena itu menurut A. Hasjmy, alam ini bukanlah musuh kehidupan
manusia, bukan nature (menurut Barat modern) seteru manusia yang melawan dan
mengalahkannya, bahkan alam ini adalah teman karib yang arah tujuannya tidak
berbeda dengan arah tujuan kehidupan manusia. Bukan pula tugas orang yang hidup
untuk menentang alam, sedangkan mereka hidup dalam pangkuan alam itu sendiri,

351
A. Hasjmy, Di Mana Letaknya Negara Islam..., h. 41.
352
Antony Black, Pemikiran Politik Islam: Dari Masa Nabi Hingga Masa Kini.., h.
37.
353
Antony Black, Pemikiran Politik Islam: Dari Masa Nabi Hingga Masa Kini.., h.
130.

118
mereka dan alam berasal dari wujud yang satu, yang menjelma dari iradat yang
satu.354 Pada hakikatnya manusia hanya hidup dalam udara yang bersahabat dan di
tengah-tengah maujudat yang merupakan teman karibnya.355 Langit dengan bintang-
bintang yang gemerlapan adalah bagian dari alam semesta yang menjadi lengkap
bersama dengan bagian-bagiannya yang lain. Segala isi langit dan isi bumi adalah
sahabat yang bergotong royong dan bertautan dengan afradnya yang lain. 356 Dan
Kha>lik dalam keadaan demikian tidak membiarkan kehidupan manusia terserah
bulat kepada alam yang bersahabat itu tanpa pimpinan langsung dan perhatian yang
kontinyu. Maka dengan itu, iradat-Nya langsung bertautan dengan tiap-tiap pribadi
dari maujudat pada waktu itu juga. 357 Manusia adalah sebagian dari alam yang
bergotong rotong, serta bertautan dengan bagian-bagian yang lainnya, karena
pribadi-pribadi manusia adalah sel-sel yang bergotong royong, serta bertautan
dengan alam semesta, yang tak dapat tidak karena itu harus bergotong royong dan
berasimilasi antara sesamanya. 358
Menurut A. Hasjmy cita Islam yang menyeluruh adalah terjalinnya
perdamaian abadi yang didasari berdasarkan norma keadilan dan persamaan antar
jamaah, thaifah, umat, dan generasi. 359 Dalam hal ini, pemahaman A. Hasjmy
Selaras dengan pemikiran Sayyid Quthub, yang berbicara tentang al-‗adalah al-
ijtima‗iyah fil Islam. Semuanya tunduk pada satu peraturan yang bertujuan satu,
yaitu pembebasan kegiatan pribadi dan kegiatan jamaah (yang tidak bertentangan),
perjuangan angkatan dan generasi untuk membina dan memupuk kehidupan, dan
akhirnya dengan semua itu menuju kepada Allah swt., pencipta kehidupan itu
sendiri. Islam hadir sebagai agama kesatuan antara semua kekuatan alam, karena
Islam itu adalah agama tauhid, yang meng-Esakan Tuhan, menyatukan semua agama
ke dalam agama Allah swt., menyatukan Para Rasul dalam memproklamirkan satu
agama (Agama Islam) sejak adanya hidup. 360
Menutup pembahasan ini, menurut A. Hasjmy, menjelaskan cita dan tujuan
Islam adalah beramal untuk mewujudkan persamaan antara umat manusia,
membebaskan akal mereka dari kejahilan, jiwa mereka dari kehinaan, dan kekuatan
mereka dari belenggu, sebagaimana Islam menegakkan keadilan di tengah-tengah
pribadi dan jamaah. Islam mengarahkan usahanya untuk mendirikan satu masyarakat
yang berdasarkan gotong royong, saling menjamin, cinta kasih dan saling berkorban.
Itulah sebagian cita-cita Islam, atau sebagian atas tegaknya masyarakat Islam, yang
pada hakikatnya adalah prinsip-prinsip kemanusiaan, yang menjadi semua harapan
untuk manusia yang mencapainya.361 Islam adalah agama kesatuan antara ibadah
dan mu„amalah, antara keyakinan dan kesopanan, antara jiwa dan benda, antara nilai

354
A. Hasjmy, Sejarah Kebudayaan Islam..., h.36-37.
355
Q.S. An-Nah}l/016: 15. Q. S. Ar-Rah}man/055: 10-15. Q. S. Al-Mulk/067: 15. Q.
S. Al-Baqarah/002: 29.
356
Q. S. Fusilat/041: 12. Q. S. An-Naba„/078: 6-12.
357
Q. S. Hud/011: 6. Q. S. Qaf/050. Q. S. Al-An„am/006:151.
358
A. Hasjmy, Di mana Letaknya Negara Islam..., h. 37-38.
359
A. Hasjmy, Di mana Letaknya Negara Islam..., h. 42.
360
Q. S. Al-Anbiya>‘/021: 92.
361
A. Hasjmy, Di Mana Letaknya Negara Islam..., h. 90.

119
ekonomi dan nilai rohani, antara dunia dan akhirat, antara bumi dan langit. Dari
kesatuan raksasa itu, menjelmalah perundang-undangan, dan peraturan-peraturan
Islam, keluarlah anjuran-anjuran dan batas-batasnya, lahirlah pendapat-pendapatnya
dalam bidang politik, ekonomi, dan sosial. Dan dalam rumpun yang besar itu,
terkandung segala bagian dan segala uraian.

111
BAB IV
KONSEP KEKUASAAN POLITIK DAN SISTEM KEPEMIMPINAN ISLAM

Bab ini, mengeksplorasikan pemikiran A. Hasjmy terkait dengan konsep


kenegaraan berdasarkan argumentasi pemikiran politik. Konsepsi politik A. Hasjmy
tidaklah lahir hanya berdasarkan dialektika pemikiran politik Islam masa lalu semata,
melainkan juga terkonsepsi berdasarkan dari apa yang sudah menjadi budaya politik
dalam sejarah kerajaan Aceh di masa lampau. A. Hasjmy juga tidak terlalu kaku
dalam memahami dalil pemikiran politik yang dibangun berdasarkan konteks zaman,
terutama sekali terkait dengan syarat pemimpin yang harus berasal dari Suku Qurays,
serta terkait juga dengan kepemimpinan perempuan. Dalam memahami konsep
negara A. Hasjmy membangun interkoneksi antara Islam, politik, dan fakta yang
berkembang dalam konteks sejarah politik Aceh, dan fakta-fakta yang harus dihadapi
umat Islam di Indonesia pada awal kemerdekaan. Pembahasan pada bab ini akan
diawali dengan kekuasaan politik dalam negara Islam yang meliputi kekuasaan
politik, pembagian kekuasaan dalam negara Islam, Islam dan demokrasi kekuasaan,
prinsip dan tujuan dasar negara Islam. Pada pembahasan berikutnya menguraikan
tentang pemerintahan dan kepemimpinan politik, yang meliputi Khali>fah dan
ima>mah, pemilihan dan pengangkatan Khali>fah, hak dan kewajiban Khali>fah, dan
uraian tentang kedudukan kepemimpinan perempuan dalam Islam.

A. Kekuasaan Politik dalam Negara Islam


1. Kekuasaan Politik
Persoalan dasar-dasar negara menjadi problem pokok bagi pemimpin-
pemimpin Islam di man-mana.436 Mengkaji serta memetakan pemikiran politik A.
Hasjmy mesti dilihat dari sisi normatif dan sisi empirik. Sisi normatif mengacu pada
nilai-nilai dasar dan prinsip-prinsip pokok yang berlaku umum mengenai sistem
kenegaraan, sedangkan sisi empirik merupakan pemikiran politik sebagai gerak dan
proses yang terkait dengan lokal dan pengalaman, sebagai realisasi dan implikasi dari
perkembangan sistem politik itu sendiri, sebagaimana dapat ditelusuri bahwa, A.
Hasjmy dalam konteks politik, ternyata tidak hanya aktif dalam kegiatan politik
praktis, tetapi juga secara konseptual, bahkan pada tataran tertentu secara partikal,
mengemukan gagasan-gagasan tentang politik Islam.437
A. Hasjmy memahami bahwa, kekuasaan adalah mutlak milik Allah swt.,
yang menguasai langit dan bumi, dengan segala kedaulatannya dalam mengelola dan
mengurus isi alam jagad raya. Sementara kekuasaan yang menjelma dalam kehidupan
manusia adalah sekedar menjalani tugas mandataris semata, untuk menjaga
keseimbangan, agar supaya tidak terjadi kekacauan di bumi. Sebagaimana yang telah
dipaparkan pada bab sebelumnya A. Hasjmy mengutarakan sebagian manusia diberi
hak kuasa untuk memerintah sebagian yang lainnya dalam pengertian mengurus
kehidupan dunia yang beraturan berdasarkan nilai-nilai syari„ah, dan berdasarkan

436
A. Hasjmy, Di Mana Letaknya Negara Islam, (Surabaya: Bina Ilmu, 1984), h. 14.
437
Hasan Basri, Melampaui Islam Substantif: Biografi Politik A. Hasjmy,
(Langsa: Zawiyah Serambi Ilmu Pengetahuan, 2015), h. 1-2.

111
ketetapan yang telah ditetapakan dalam Alquran dan hadis.438 Walaupun A. Hasjmy
memahami bahwa, kekuasaan sepenuhnya adalah milik Allah swt., namun
pelaksanaan kekuasaan di wilayah publik menjadi urusan manusia, untuk memerintah
sebagiannya di antara mereka. Dan pelaksanaan kekuasaan tersebut tidak harus
berada di bawah negara dengan ideoligi Islam. Artinya, kekuasaan tersebut tidak
harus dikontrol oleh negara dengan ideologi Islam sebagai dasarnya.439 Memahami
Islam sebagai ideologi negara, keberadaan Pancasila sebagai dasar negara Indonesia
telah cukup menjadi syarat untuk disebut bahwa Indonesia adalah negara Islam
modern abad ini.
Defenisi terkait dengan kekuasaan cukup banyak telah dikemukakan oleh
intelektual pemikiran politik terkait dengan kekuasaan. Namun satu hal yang menjadi
ketidaksepakatan tentang pemaknaan kekuasaan itu sendiri, sehingga maknanya
menjadi kabur.440 Berdasarkan Alquran A. Hasjmy menegaskan bahwa, Allah swt.,
adalah pencipta alam semesta, Tuhan segala yang ada dan penguasa mutlak,
sedangkan manusia adalah hamba-Nya. Sementara untuk mengurus kerajaan di atas
bumi, Allah swt., memberi mandat kepada manusia. sebagaimana Allah swt., telah
menciptakannya Adam untuk menjadi Khali>fah (raja) di muka bumi untuk mengurus
kerajaan bumi dari bangsa manusia. 441 Kekuasaan adalah kemampuan atau skil dalam
mempengaruhi orang lain, agar supaya ikut melakukan sesuatu sesuai dengan yang
diinginkan oleh peguasa, atau kemampuan untuk membuat sesuatu yang terjadi pada
orang lain menurut keinginan penguasa. 442 Kekuasaan dan negara merupakan satu
kesatuan yang mengikat, dan dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Kekuasaan tidak
mungkin terwujud jika negara tidak ada, dan begitu juga sebaliknya, sebuah negara
tidak akan sempurna tanpa adanya kekuasaan. Dikarenakan kekuasaan dan negara
merupakan satu elemen yang saling mempengaruhi. Terjadi banyak perbedaan
pendapat tentang konsep kekuasaan yang dipersepsikan oleh setiap tokoh politik.
Perbedaan itu muncul dari setiap zaman yang berbeda, tentu berbeda pula
pemahaman konsep yang dikemukakan. Perbedaan pemahaman ini sangat
dipengaruhi oleh kondisi sosial yang mengitarinya.
Pemberian kuasa (mandat) kepada manusia sebagai Khali>fah untuk
memakmurkan bumi, dan tidaklah dimaksudkan supaya mereka boleh berbuat sesuka
hati tanpa adanya sesuatu ketentuan hukum. Mereka tidak akan dibiarkan berbuat
sesuka hatinya tanpa adanya pengawasan. Yang diberikan kepada sebagian dari
manusia dengan ketentuan supaya manusia beribadat kepada Allah swt., saja,
melaksanakan perintahnya dan menjauhi larangan-Nya. Dengan pemberian mandat
tersebut kepada manusia telah diberikan beberapa hak, maka dengan itu pula kepada
mereka diberikan lebih banyak kewajiban. Sesuai dengan Firman Tuhan Pada surat

438
A. Hasjmy, Di Mana Letaknya Negara Islam..., h. 26-27.
439
A. Hasjmy, Di Mana Letaknya Negara Islam..., h. 12.
440
Ahmad Syafii Maarif, Muhammadiyah Dan Politik Islam Inklusif, Cet. I, (Jakarta:
Maarif Institute for culture And Humanity, 2005), h. 67.
441
A. Hasjmy, Di Mana Letaknya Negara Islam..., h. 27-28.
442
John R. Schemerhorn, at all., Basic Organizational Behavior, (Osborn, 2nd
edition, 1998), h. 195.

112
Al-Hajj,443 terkandung tiga kewajiban yang meliputi. Pertama, kewajiban beribadah
kepada Allah swt., seperti shalat. Kedua, kewajiban beramal sosial seperti zakat, dan
yang sangat penting terkait dengan pengembangan ekonomi dan perbendaharaan
negara. Ketiga, kewajiban berdakwah, yang diistilahkan dengan amar ma‗ru>f nahi
munkar. Karena dakwah sangat penting bagi suatu negara, dan menyentuh
kepentingan segala bidang kenegaraan dan kemasyarakatan444.
Islam menetapkan hak dan kewajiban bagi Khali>fah (Kepala Negara),
demikian juga bagi masyarakatnya (umat). 445 Berkuasa dan berkehendak hanya milik
Allah swt.,446 dengan nash yang jelas Tuhan mengatakan bahwa, Dialah yang
mempunyai kekuasaan dan yang mempunyai hak mengurus serta menyelasaikan
segala rupa urusan, Allah swt., sendirilah yang mempunyai kekuasaan yang paling
tinggi dan yang mempunyai hak mutlak dalam men-tasharruf-kan segala macam
urusan, dalam menegakkan hukum untuk alam ini. 447
Menurut Ibnu Khaldun kekuasaan menjadi benang merah yang menelusuri
hampir seluruh pemikirannya, sebagaimana tertera dalam bukunya Muqaddimah. Hal
ini, sudah dapat diperhatikan semenjak dari kata pengantar isi bukunya tersebut.
Buku-buku yang yang ditulis para pemuka Islam di abad-abad terdahulu, perhatian
dan masalah pokok yang dikemukakan oleh penulis telah mulai tergambar sejak ia
mengucapkan hamdalah dan syahadah. Ketika menulis kata pengantar dari buku
Muqaddimah, Ibnu Khaldun menyatakan, 448 “puji-pujian bagi Allah swt., yang
memiliki kemegahan (al-‗izzah) dan kekuasaan (al-jabaru>t). Di tangan-Nya terdapat
kekuasaan dunia nyata (al-mulk) dan kekuasaan di dunia gaib (al-malakut)”.
Pada konsepsi negara yang diperintahkan oleh raja atau diktator yang
mempunyai kekuasaan mutlak, menurut A. Hasjmy seluruh kekuasaan negara berada
pada tangan Kepala Negara, bahkan perkataan dan perbuatannya menjadi undang-
undang, dan sering juga perkataan para pembantunya dipandang sebagai peraturan
pelaksana.449 Kekuasaan kerap diperbincangkan dalam wacana politik atau sosiologi
politik. Dalam konteks ini, kekuasaan dipahami sebagai kualitas, kapasitas atau
modal untuk mencapai tujuan tertentu dari pemiliknya. Foucault tidak menolak cara
pandang semacam ini, tapi hal itu tidak cukup untuk memahami praktik penundukan
yang tak kasat mata. Pandangan yang lebih kritis tentang kekuasaan muncul dalam
kajian budaya.450 Konsep Gramsci tentang hegemoni sering digunakan untuk
membongkar kemapanan budaya dalam proses dominasi yang terselubung. Dalam

443
Q. S. Al-Hajj/022: 41.
444
A. Hasjmy, Di Mana Letaknya Negara Islam..., h. 32.
445
A. Hasjmy, Di Mana Letaknya Negara Islam..., h. 204.
446
Q. S. Ali-„Imran/003: 26-27.
447
Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Al-Islam, (Semarang: Pustaka Rizki
Putra, 2001), h. 174-175.
448
A. Rahman Zainuddin, Kekuasaan dan Negara: Pemikiran Politik Ibnu Khaldun...,
h. 110.
449
A. Hasjmy, Di Mana Letaknya Negara Islam..., h. 233.
450
Abdil Mughis Mudhoffir, “Teori Kekuasaan Michel Foucault: Tantangan Bagi
Sosiologi Politik,” Jurnal Sosiologi Masyarakat Vol. 18, No. 1, (Januari 2013): 75-100,
http://journal.ui.ac.id/index.php/mjs/article/view/3734. Diakses Tanggal 06 Mei 2020.

113
penjelasan yang lebih canggih, kekuasaan bekerja melampaui cara-cara hegemonik,
yang mana hal ini dikonsepsikan Foucault sebagai governmentality.
Mengkaji tentang politik kekuasaan, Niccolo Machiavelli memiliki gagasan
kekuasaan tersendiri, setidaknya kekuasaan dikarenakan oleh dua alasan: Pertama,
gagasannya telah menjadi sumber inspirasi yang tak pernah kering bagi banyak
penguasa sejak awal gagasan itu dipopulerkan hingga abad XX. Kedua, ditinjau dari
perspektif sejarah pemikiran politik, gagasannya itu merupakan pemutusan hubungan
total masa kini dengan masa lalu, suatu ciri penting abad Renainsans.451 Dalam
pandangan Bertrand Russell, kekuasaan adalah suatu pola tindakan yang
menginginkan hasil dari tindakan tersebut. Seseorang yang memiliki kekuasaan
mengharapkan menerima kekuasaan tersebut dari orang lain, sehingga pemilik
kekuasaan memiliki pengakuan/ legitimasi untuk melakukan berbagai tindakan yang
sesuai dengan legitimasi tersebut.452 Menurur Max Weber kekuasan adalah terdapat
dalam berbagai bentuk dan dalam semua lingkungan masyarakat. Lembaga-lembaga
terpenting, yang oleh masyarakat diakui sebagai hukum yang sah, seperti keluarga
(kekuasaan orang tua), agama (kekuasaan rohani), lembaga-lembaga fungsional
seperti hubungan kerja dan perkumpulan-perkumpulan bebas (kekuasaan berdasarkan
peraturan-peraturan fungsional) dan negara (kekuasaan politik). 453 Sementara, Van
Doorn memahami bahwa, kekuasaan adalah kemungkinan membatasi alternatif-
alternatif tingkah-laku orang-orang atau kelompok-kelompok lain sesuai dengan
tujuan-tujuan seseorang atau suatu kelompok.454 Sedangkan menurut Valkenburgh
kekuasaan adalah suatu hubungan yang melahirkan kemungkinan membatasi
alternaitif-alternatif tingkah-laku dari (orang-orang atau kelompok) yang lain.455
Kekuasaan memang sesuatu yang sangat ajaib seseorang yang sedang
menggenggam kekuasaan biasanya menjadi tokoh yang disegani, dihormati, ditakuti,
dan tidak jarang pula dibenci dan dicaci maki. Namun selama kekuasaan itu masih
melekat kuat pada diri seseorang, orang tersebut punya kedigdayaan untuk berbuat
banyak hal. Ia dapat memaksa orang lain untuk menyatakan ketundukan dan kadang-
kadang kepasrahan. 456 Kekuasaan menurut Machiavelli bersandar pada pengalaman
manusia. Kekuasaan memiliki otonomi terpisah dari nilai moral. Karena menurutnya,
kekuasaan bukanlah alat untuk mengabdi pada kebajikan, keadilan dan kebebasan
dari Tuhan, melainkan kekuasaan sebagai alat untuk mengabdi pada kepentingan
negara. Dalam pemikiran Machiavelli kekuasaan memiliki tujuan menyelamatkan
kehidupan negara dan mempertahankan kemerdekaan.457

451
Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat, (Jakarta: Raja Grafindo, 2002), h. 132.
452
Bertrand Russell, Power: A New Social Analysis, (London, Routledge, 1960). h.
25.
453
Marbun, B. N, Kamus Politik, (Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, Cet. I, 1996), h.
315-316.
454
Hoogerwerf A. Politikologi Pengertian Dan Problem-Problemnya, (Jakarta,
Erlangga, 1985), h. 144.
455
Hoogerwerf A. Politikologi Pengertian Dan Problem-Problemnya..., h. 144.
456
M, Amien Rais, Suksesi dan Keajaiban Kekuasaan, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar,
1997), h. 35-36.
457
J. H. Rapar, Filsafat Politik Plato, Aristotales, Agustinus, Machiavelli, (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2002), h. 430.

114
Menurut A. Hasjmy, 458 kekuasaan tidak boleh mengedepankan sifat-sifat
amoral. Kejahatan sosial harus ditekan dengan adanya kekuasaan. Dalam Alquran
banyak ayat-ayat yang melukiskan kehidupan kaum pengacau, perusak, pengganas,
munafik, penghasut, dan lain sebagainya. Dan Tuhan telah mengabarkan kabar siksa
kepada mereka. Alquran juga mengabarkan bagaimana kejahatan dan kerusakan yang
mereka timbulkan, seperti penipuan, permusuhan, dan pengacauan terhadap
keamanan umum, dan kehidupan masyarakat yang menimbulkan bencana dahsyat
kepada sendi-sendi Islam, baik negara, masyarakat, ataupun pribadi, seperti halnya
melawan perintah-perintah Allah swt., mengancam keselamatan jiwa dan harta,
berkelompok untuk melawan Allah dan Rasul-Nya, menyebarkan desas-desus yang
dapat menimbulkan kegoncangan, dan melemahkan keseimbangan, serta merusak
kepentingan umum. Dengan demikian kekuasaan menurut A. Hasjmy harus hadir
dengan kekuatan hukumnya untuk mencegah prilaku kejahatan dalam masyarakat
sosial.

2. Pembagian Kekuasaan dalam Negara Islam


Prinsip bernegara disebutkan dalam Alquran terkandung dalam bentuk kisah
umat terdahulu, dan terkadang pula dalam bentuk dialog langsung. Begitu globalnya
prinsip-prinsip bernegara dalam risalah, sehingga tidak ada pembicaraan tentang
bentuk negara, bentuk pemerintahan, pengangkatan Kepala Negara, dan sebagainya.
Itu semua diserahkan kepada manusia untuk disesuaikan dengan perkembangan
zaman dengan catatan tidak menyimpang dari prinsip umum. Oleh karena itu, dalam
sejarah politik Islam terjadilah perbedaan bentuk pemerintahan seperti masa khulafa>
ar-rasyidu>n dengan sistem "demokrasi" dengan generasi sesudahnya dengan sistem
monarchi.459
A. Hasjmy, dalam kontek kekuasaan dalam negara-negara yang diperintah
oleh raja atau para diktator yang mempunyai kekuasaan mutlak, seluruh kekuasaan
negara berada di tangan Kepala Negara, bahkan perkataan dan perbuatannya,
sementara para pelakunya akan dipandang sebagai peraturan pelaksanaan. 460 John
Locke dalam bukunya “Two Treatises of Government”, membagi kekuasaan negara
dalam tiga fungsi, tetapi berbeda isinya. Menurut Locke fungsi-fungsi kekuasaan
negara terdiri dari; fungsi legislatif, fungsi eksekutif, dan fungsi federatif. Dengan
mengikuti jalan pikiran John Locke, Montesquieu dalam bukunya “L‟Espirit des
Lois” yang ditulis tahun 1784 atau versi bahasa Inggrisnya dikenal “The Spirit of The
Laws“, mengklasifikasikan kekuasaan negara ke dalam tiga cabang, yaitu: pertama,
Kekuasaan legislatif sebagai pembuat undang-undang. Kedua, Kekuasaan eksekutif
untuk melaksanakan undang-undang. Ketiga, Kekuasaan untuk menghakimi atau
yudikatif.461

458
A. Hasjmy, Di Mana Letaknya Negara Islam...., h. 252.
459
Muhammad Zuhri, “Sejarah politik Islam”, Tarjih: Jurnal Politik Islam, Vol.
3, No. 1 (1016): 1-16, https://jurnal.tarjih.or.id/index.php/tarjih/article/v iew/3101. Diakses
Tanggal 08 Agustus 2020.
460
A. Hasjmy, Di Mana Letaknya Negara Islam..., h. 233.
461
Ahmad Yani, “Sistem Pemerintahan Indonesia: Pendekatan Teori Dan Praktek
Konstitusi Undang-Undang Dasar 1945,” Jurnal LEGISLASI INDONESIA, Vol. 15, No. 2 (

115
A. Hasjmy, dalam hal ini, negara Islam sukar dibandingkan dengan negara
manapun juga, baik yang memakai sistem “Trias Politica” ataupun bukan, karena
menurut ajaran Islam bahwa, negara dan kedaulatannya adalah kepunyaan Allah swt.,
sedangkan manusia hanya mendapat mandat dari Allah swt., untuk mengurus negara
sesuai dengan ketentuan hukum-Nya. Untuk negara Islam yang mempunyai “filsafat”
demikian, telah ada undang-undang dasar dan undang-undang penafsir serta
pelaksanaan undang-undang dasar, yaitu Alquran dan Sunnah Rasul. Karena itu,
kekuasaan dalam negara Islam baik eksekutif (Khali>fah atau ima>m) ataupun legislatif
(ah}l al-h}illi wal ‘aqdi atau ah}l al ra‘yi) merupakan amanah Allah swt., yang
dikuasakan untuk menjalankannya kepada orang-orang yang telah mendapatkan
mandat (ulil amri) kepada mereka seharusnya menjalankan ajaran-ajaran dan hukum-
hukum yang terkandung dalam Alquran dan Sunnah, yang mana dalam menjalankan
“Amanah Kekuasaan Allah”, maka rakyat diwajibkan mentaati mereka, seperti
wajibnya mentaati Allah dan Rasul. 462
Menurut pejelasan Alquran,463 bahwa taat kepada Allah swt., sebagai pemilik
sah dari negara dan kedaulatannya, kepada Rasul sebagai pemegang amanah Allah
swt., (risalah) untuk menjalankan segala kekuasaan (eksekutif dan legislatif) dalam
negara dan kepada para Ulil amri yang menjadi khila>fahnya Rasulullah setelah beliau
wafat. Seperti halnya Rasulullah yang memegang dan menjalankan kekuasaan
eksekutif dan legislatif, maka demikian pulalah Ulil amri memegang dan
menjalankan kedua kekuasaan itu. Jika saja dalam menjalankan kekuasaan, terjadi
perselisihan dan perbedaan pendapat, maka haruslah dikembalikan masalahnya
kepada ketentuan Kitab Allah dan Sunnah Rasulnya.464
Rasulullah sebagai pemegang kekuasaan eksekutif meletakkan Alquran dan
sunnahnya dalam melaksnakan tugas sebagai penguasa. Adapun para Khali>fah
setelah Rasulullah wafat, juga memegang dua kekuasaan, legislatif dan eksekutif.
Khali>fah sebagai pemegang kekuasaan legislatif, bersama-sama dengan ah}l al h}illi
wal ‘aqdi, atau diserahkan kepada mereka saja, membuat ketetapan-ketetapan cara
melaksanakan hukum dasar (Alquran) dan Undang-undang penjelasan (Sunnah),
yang dinamakan dengan fiqh. Adapun Khali>fah sebagai pemegang kekuasaan
eksekutif, bersama-sama dengan para pembantunya menjalankan segala ajaran dan
hukum Kitab Allah, Sunnah Rasul, dan hukum fikih yang telah dibuat atau
disetujuinya. Dalam hal-hal yang tidak ada nash pasti dalam Alquran dan sunnah,
Khali>fah sebagai penguasa legislatif diharuskan meminta pendapat dan
bermusyawarah dengan para ulama atau ah}l al h}illi wal ‘aqdi dan begitu juga
sebaliknya, para ulama dan ah}l al h}illi wal ‘aqdi diwajibkan memberi pendapat dan
bermusyawarah dengan Khali>fah. Dengan demikian, berkuranglah beban Khali>fah
sebagai penguasa legislatif, oleh karena undang-undang dasar (Alquran) dan undang-
undang penjelasan atau pelaksanaan (Sunnah) sifatnya tetap, tidak boleh diubah,
dikurangi, ditambah, dan tidak boleh diamandemen dalam bentuk apapun. Karena itu,

Juli 2018): 55-68, http://ejournal.balitbangham.go.id/index.php/kebijakan/article/view/405.


Diakses Tanggal 11 Agustus 2020.
462
Q. S. An-Nisa>„/004: 59.
463
Q. S. An-Nisa>„/004: 59.
464
A. Hasjmy, Di Mana Letaknya Negara Islam..., h. 234.

116
tugas legislatif hanya sebagai pembuat undang-undang penjelasan tambahan dan
peraturan tata cara pelaksanaan sesuai dengan perubahan masa dan perkembangan
keadaan, di samping mengawasi dan mengontrol eksekutif. 465
Berdasarkan ajaran Islam dan kenyataan sejarah A. Hasjmy dalam hal
pembagian kekuasaan dalam Islam sejalan dengan apa yang diutarakan oleh Abdul
Kadir Audah, seorang politikus Islam kenamaan membagi kekuasaan dalam Islam ke
dalam lima bidang. Petama, Sultah Tanfiziyah (kekuasaan penyelenggara undang-
undang), di tangan Khali>fahlah kendali pimpinan umat segala kekuasaan berpunca
padanya, dan segala garis politik, agama, dan dunia bercabang dari jabatannya.
Karena itu, Khali>fah adalah Kepala Pemerintahan yang bertugas menyelenggarakan
undang-undang untuk menegakkan Islam dan mengurus negara dalam batas-batas
garis Islam. Menurut ajaran Islam Khali>fah adalah Kepala Negara yang bertugas
melaksanakan segala urusan negara. Tanggung jawab Khali>fah tidak terbatas, namun
memiliki tanggung jawab penuh. Khali>fah bersama ahl al ra‗yi menetapkan haluan
politik negara, dan kemudian Khali>fah sendiri yang bertugas menjalankannya.466.
Kedua, Sultah Tasyri„iyah (kekuasaan pembuat undang-undang),
sebagaimana telah diketahui bahwa Islam telah meletakkan dasar-dasar musyawarah
sebagai salah satu ajarannya yang penting dalam kehidupan umat. Rasulullah telah
mempraktekkan, demikian pula khulafa ar ra>syidu>n telah mempraktekkannya. Azas
ini terutama dipakai oleh khulafa ar ra>syidu>n dalam bidang perundang-undangan, di
mana tidak ada nash Alquran dan sunnah yang pasti. Tidak dapat dipastikan lagi
bahwa, kepentingan dan urusan umat banyak cabang dan seginya, seperti banyaknya
unsur-unsur dalam kehidupan. Dalam hal ini, berdasarkan kecakapan yang Allah
swt., bagikan kepada manusia secara berkelompok, dan msing-masing kelompok
menguasai secabang atau lebih ilmu, dan keahlian kusus.
Urusan kemashlahatan umat dan negara banyak bidangnya, seperti
pertahanan, ekonomi, sosial, politik dalam dan luar negeri, pendidikkan dan
kebudayaan. Untuk tiap bidang ini, baik kekuasaan eksekutif dan kekuasaan legislatif
memerlukan tenaga-tenaga ahli yang telah matang. Syariat tidaklah datang dengan
uraian-uraian terperinci, yang menjelaskan segala macam hukum juziyah dan
far„iyah. Dalam banyak hal syariat mencukupkan dengan hukum-hukum yang
bersifat luas (kulli) dan prinsip-prinsip umum. Berdasarkan inilah Sultah Tasyri„iyah
diperlukan dalam ketatanegaraan Islam. Berdasarkan fungsinya tugas ini hanya
dibatasi pada dua bidang saja. Pertama, tasyri„at tanfiziyah (undang-undang
pelaksanaan), yaitu undang-undang yang menjamin terlaksananya nash Syariat Islam.
Pelaksanaannya hanya boleh dilakukan oleh Ima>m itu sendiri. Kedua, tasyri„
tandhimiyah (undang-undang kemasyarakatan), yaitu undang-undang yang sifatnya
mengatur masyarakat, melindungi dan menjamin hajat kebutuhannya yang harus
didasarkan atas prinsip-prinsip Syariat Islam. Perundangan ini hanya berlaku dalam
keadaan tertentu saja, di mana syariat tidak bicara apa-apa tentangnya, dan tidak ada
pula nash kusus. Perundang-undangan ini dilaksanakan oleh Ima>m bersama-sama

465
A. Hasjmy, Di Mana Letaknya Negara Islam..., h. 235-237.
466
A. Hasjmy, Di Mana Letaknya Negara Islam..., h. 238 .

117
ahli syu>ra dalam batas-batas musyawarah dengan ikatan-ikatan yang terkait
dengannya.467
Ketiga, Sultah Qadha„iyah (kekuasaan kehakiman), lembaga ini berfungsi
untuk menyelesaikan perkara-perkara perbangkangan serta permusuhan, pidana dan
penganiayaan, mengambil hak-hak dari orang-orang durjana dan mengembalikannya
kepada yang punya, melindungi orang-orang yang kehilangan mampu dan orang
sedai, mengawasi harta wakaf, serta menyangkut dengan persoalan lainnya yang
disampaikan di pengadilan. Lembaga kehakiman ini meliputi prinsip keadilan dan
keinsyafan, menguatkan hak negara, kejahatan sosial, ancaman dua siksa: siksa dunia
dan akhirat, pelaksanaan keadilan, lembaga-lembaga kehakiman, hisbah,
madhalim,468
Keempat, Sultah Maliyah (kekuasaan keuangan), demikianlah, Islam telah
membentuk Lembaga Kekuasaan Keuangan dalam negara Islam semenjak hari
lahirnya, lembaga itu berdiri sendiri, dan mempunyai kekuasaan sendiri, terlepas dari
pengaruh lembaga yang lain. Sebagaimana Rasulullah saw., telah mengkususkan
beberapa petugas dalam bidang kehakiman dan tata usaha negara, maka demikian
pula mengkususkan beberapa petugas dalam bidang kehakiman dan petugas kusus
untuk mengumpulkan dan mengurus berbagai jenis sedekah dari para hartawan di
berbagai tempat, kemudian dibagi-bagi kepada fakir miskin setempat dan selebihnya
harus dipindahkan ke dalam kas Negara (Baitul Mal). Tatkala kemenangan nyata
telah datang, dan daerah kekuasaan negara Islam telah menjadi luas, maka menjadi
luas pulalah bidang tugas dalam Lembaga Kekuasaan Keuangan, sehingga meliputi
sedekah, pajak hasil bumi, pajak jiwa, tebusan tawanan, harta rampasan, dan
sebagainya. Segala kekayaan yang pernah diperoleh dari sumber-sumber ini,
dipergunakan sesuai dengan hukum yang terdapat dalam Alquran atau sunnah. Jika
saja yang menjadi hak pribadi atau jamaah, terus akan dibagi-bagikannya, dan yang
menjadi hak negara disimpan dalam Baitul Mal469.
Kelima, Sultah Muraqabbah wa Taqwim (kekuasaan pengawasan masyarkat),
kekuasaan ini bertugas mengawasi pemerintahan dan pembentukannya. Dalam
menjalankan kekuasaan ini, umat diwakili oleh ahli syu>ra, ulama, dan fuqaha. Sultah
Muqarabah dan Taqwim ini dapat diartikan dengan Kekuasaan Pengawasan
Masyarakat, atau dalam bahasa yang lain disebut dengan Sosial Kontrol Power.
Lihat, 470 Dalam hal ini, Khali>fah sebagai wakil umat haruslah memimpin langsung
segala kekuasaan yang melekat padanya, dengan pedoman dasar, bahwa segala
urusan haruslah dirundingkan antara kaum Muslimin dan Kepala Negara harus selalu
meminta pendapat ah}l al ra‘yi. Dan lima kekuasaan ini, menurut Abdul Kadir Audah
dinamakan dengan Panca Kekuasaan sebagai imbangan Trias Politica.471

467
A. Hasjmy, Di Mana Letaknya Negara Islam..., h. 243-247.
468
A. Hasjmy, Di Mana Letaknya Negara Islam..., h. 249-259. Lihat juga, Yani,
“Sistem Pemerintahan Indonesia: Pendekatan Teori Dan Praktek Konstitusi Undang-Undang
Dasar 1945.”, Jurnal Ilmiah Kebijakan Hukum, Vol. 12, No. 2 (2018): 119, http://ejournal.bal
itban gham.go.id/inde x.php/kebijakan/article/vi ew/405. Diakses Tanggal 13 Agustus 2020
469
A. Hasjmy, Di Mana Letaknya Negara Islam..., h. 260-263.
470
A. Hasjmy, Di Mana Letaknya Negara Islam..., h. 264-270.
471
A. Hasjmy, Di Mana Letaknya Negara Islam..., h. 238.

118
Menurut ajaran Islam, bahwa Khali>fah adalah Kepala Negara yang bertugas
melaksanakan segala urusan negara, dan penanggung jawab tunggal atas segala
urusan negara. Tanggung jawab Khali>fah tidak terbatas, tetapi bertanggung jawab
penuh. Khali>fah bersama ah}l al-ra‘yi menetapkan haluan politik negara, dan
kemudian Khali>fah sendiri yang bertugas menjalankannya. Dalam menjalankan
tugasnya sebagai kepala eksekutif, Khali>fah boleh membentuk badan-badan dan
lembaga-lembaga negara, serta mengangkat pejabat-pejabat yang memimpinnya
sesuai dengan perkembangan masa dan keadaan serta kebutuhan yang timbul. 472
Menurut Mariadas Ruthnaswamy, sebagaimana Ali Zainl Abidin mengutip
dalam bukunya, mengatakan bahwa bukanlah banyaknya departemen-departemen
pemerintah (the multiplication of goverment departement) yang diperlukan, karena
terbukti bahwa zaman Nabi Muhammad saw., belumlah diatur departemen-
departemen yang demikian itu. adapun yang penting adalah pemerintahan Islam di
zaman Nabi Muhammad saw., sudah memenuhi tugas-tugas kemasyarakatan yang
menjadi syarat dari “demokrasi yang komplit”. Berulah dibelakangnya negara Islam
mengatur tugas-tugas itu, di dalam departemen-departemen sebagai layaknya suatu
pemerintahan yang sempurna yang komplit. 473 Demikianlah dalam sejarah
pertumbuhan dan perkembangan negara dan pemerintahan Islam, kita dapati
beberapa badan dan lembaga dalam bidang kekuasaan eksekutif, yang dibentuk oleh
Khali>fah berdasarkan kebutuhan waktu dan keadaan. Menurut A. Hasjmy, Ada lima
organisasi (badan) pemerintahan dalam negara Islam, sebagaimana diuraikan oleh
Hasan Ibrahim Hasan, guru besar Sejarah Islam dan Ketua Jurusan Sejarah pada
universitas Kairo.
Pertama, Organisasi Politik yang mencakup instansi-instansi Kepala Negara,
kementerian, Sekretariat Negara, dan jabatan yang pejabatnya kira-kira hampir
serupa dengan Sekretariat Negara dewasa ini. Kedua, Organisasi Tata Usaha Negara
yang mencakup urusan Pemerintahan Daerah, Dewan-dewan Negara, seperti Dewan
Urusan Pajak, Dewan Urusan Persuratan, Dewan Khatim (urusan arsip negara),
Dewan Urusan Pos, dan Dewan Urusan Polisi. Ketiga, Organisasi Keuangan yang
mencakup urusan Baitul Mal, seperti uang masuk dan uang keluar, segala macam
sumber keuangan negara, urusan tanah dan sebagainya. Keempat, Organisasi
Pertahanan yang mencakup urusan ketentaraan, perbentengan, persenjataan, dan lain-
lainnya. Kelima, Organisasi Kehakiman yang mencakup bidang-bidang pengadilan,
kejaksaan, pengadilan banding (madhalim) dan hisbah, yaitu satu badan yang
tugasnya berusaha supaya tidak terjadi kejahatan dan sifat pekerjaannya preventif,
antara lain dengan dakwah (menyuruh amar ma„ruf nahi munkar). Dengan demikian,
Organisasi Politik, Organisasi Tata Usaha Negara, dan Organisasi Pertahanan,
semuanya termasuk dalam bidang Kekuasaan Eksekutif. Sedangkan, Organisasi
Keuangan dan Organisasi Kehakiman, masing-masing termasuk dalam bidang
Kekuasaan Keuangan dan Kekuasaan Yudikatif.474

472
A. Hasjmy, Di Mana Letaknya Negara Islam..., h. 231-239.
473
Zainal Abidin Ahmad, Ilmu Politik Islam II: Konsepsi Politik dan Ideologi Islam,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1979), h. 24.
474
A. Hasjmy, Di Mana Letaknya Negara Islam..., h. 239.

119
3. Islam dan Demokrasi Kekuasaan
Kedatangan Islam dengan ajaran syu>ranya bukanlah karena tuntutan zaman,
karena pada waktu Islam lahir, keadaan bangsa Arab adalah paling mundur di dunia.
menurut A. Hasjmy, hanya Islam yang telah membawa “cita syu>ra‛ untuk
mengangkat derajat jamaah agar ikut memikirkan masalah umum, dan
memperhatikan hari depan umat, serta bersekutu dalam urusan-urusan negara secara
langsung. Di samping itu, untuk ikut dengan aktif mengawasi para pimpinan negara
supaya tidak menyeleweng dari batas-batas yang telah ditentukan syari„ah. Dengan
ini jelas bahwa, “cita syu>ra” adalah kelengkapan dari syariat Islam yang bertujuan
membimbing umat dalam persoalan politik, ekonomi, dan sosial, yang mana dengan
demikian mengangkat derajat mereka. Seperti halnya Islam mengemukakan “cita
syu>ra” sebagai suatu prinsip umum, maka juga Islam mengiringi dengan kaedah-
kaedah asasi bagi pelaksanaan syu>ra. Artinya, tidak menyerahkan semata-mata
kepada para pimpinan negara dan rakyat, sekalipun kaedah yang lebih kusus karena
perkembangan zaman dan berlainan tempat, diserahkan kepada masyarakatnya. 475
Zainal Abidin Ahmad mengemukakan bahwa, negara yang pernah
dipraktekkan oleh Nabi Muhammad saw., dan para khula>fa ar-syidi>n adalah negara
musyawarah, yang mana di dalam istilah sekarang dinamakan dengan “negara
demokrasi”. Sesudah berpuluh abad lamanya teori tentang demokrasi itu dikeluarkan
oleh Plato dan Aristoteles dari Yunani, pelaksanaannya belumlah pernah diwujudkan
di dalam praktek, selain di zaman Nabi dan khula>fa ar-syidi>n.476
Tidaklah ada suatu defenisi yang dapat meliputi arti demokrasi di dalam
perjalanan sejarah yang panjang yang merupakan suatu konsep. Ia adalah bentuk
pemerintahan, dan ia juga sebagai pandangan hidup. Orang dapat mencari esensinya,
di dalam karakter pemilihan, hubungan pemerintah dengan rakyat, terhapusnya
segala perbedaan di dalam wadah ekonomi warga negara, ditolaknya pengakuan atas
hak-hak istimewa karena kelahiran atau karena kekayaan, karena ras dan suku atas
kepercayaan. 477 Tidak dapat disangkal bahwa, demokrasi itu menghadapi perubahan
tentang istilah-istilah wujudnya menurut waktu dan tempat. Apakah demokrasi itu
terdapat pada kelas penguasa, begitu juga pada rakyat yang miskin, adalah sempit
dan tidak dapat dipertahankan. Demokrasi merupakan penghubung di dalam setiap

475
A. Hasjmy, Di Mana Letaknya Negara Islam..., h. 90-91.
476
Adapun di Barat sendiri yang membanggakan diri sebagai pewaris pemikiran
Yunani, sampai sekarang belum pernah dapat diwujudkan. Bahkan untuk memberi
defenisinya saja belum ada seorangpun sarjana yang berani memberikannya. Seorang
pujangga demokrasi yang terkenal dari perancis bernama “Jean Jacques Rousseau” masih
tetap berkata “jika saja berpegang pada arti kata sebagaimana yang diartikan umum, maka
“demokrasi yang sesungguhnya tidak pernah ada. Adalah berlawanan dengan kodrat alam,
bahwa jumlah yang besar memerintah, sedangkan yang paling sedikit jumlah harus
diperintah”. Lihat, Zainal Abidin Ahmad, Ilmu Politik Islam II: Konsepsi Politik dan Ideologi
Islam..., h. 11.
477
L. Carl Brown, Shireen T. Hunter, and Huma Malik, “Modernization, Democra
cy, and Islam,” Foreign Affairs, Vol. 84, No. 3 (2005): 147, https://www.jstor.org/stable/1
0.2307 /20034395?origin=crossref. Diakses Tanggal 8 September 2020.

121
suasana hidup, di dalam segala suasana ia menimbulkan soal-soal yang diakui tidak
memuaskan atau persoalan-persoalan dunia seluruhnya.478
Adapun demokrasi sosial bertujuan memberi kebahagiaan kepada rakyat
secara nyata dan benda. Menurut teori demokrasi sosial, negara harus menjamin
persamaan nyata dalam penghidupan, makanan, pakaian, tempat tinggal, pekerjaan,
pendidikan, dan sebagainya. Dengan demikian, beralihlah negara dari tempatnya
yang negatif kepada kewajiban-kewajiban yang positif, sebagaimana beralihnya
pandangan dari persamaan dalam perjuangan politik kearah persamaan dalam
perjuangan merebut rezeki dan kedudukan-kedudukan yang bersifat benda. Karena
itu, manusia tidak lagi dipandang sebagai pribadi, tetapi seorang penghasil (produser)
atau anggota dalam kesatuan sosial dan kesatuan ekonomi. Demokrasi sosial yang
menitik beratkan pandangannya pada kebendaan, kadang-kadang mengorbankan hak-
hak milik pribadi dan kehormatan jiwa sebagai manusia. 479
A. Hasjmy memahami, Islam telah menetapkan prinsip syu>ra bagi kaum
Muslimin dalam hidup bermasyarakat, akan tetapi yang menjadi perdebatannya
adalah ketika Islam tidak menentukan tata cara, atau sistem yang baku untuk
menerapkan, dan menetapkan pelaksanaan syu>ra. Dengan demikian, oleh karena
ketiadaan pelaksanaan yang baku, maka cara dan pelaksanaan sistem musyawarah
tersebut terserah pada perkembangan zaman dan keadaan setempat. 480 Sebagaimana
yang telah dilaksanakan oleh Abu Bakar ash-Siddiq, telah menetapkan jalan
musyawarah sebagai pemutus perkara dan mengangkat Dewan syu>ra. Abu Bakar
memilih Umar bin Khattab sebagai pemimpin Dewan syu>ra. Jika sekarang posisi dari
Umar bin Khattab sama dengan ketua dewan legislatif.481
Musyawarah atau syu>ra adalah satu sendi keimanan dan sifat kusus kaum
Muslimin. Begitu penting menghidupkan syu>ra dalam kehidupan manusia, apalagi
pada kehidupan sosiologi politik, sehingga Alquran sendiri menurut A. Hasjmy
terdapat satu surat yang kusus dan dinamakan dengan asy-syu>ra. Penetapan surat asy-
syu>ra di dalam Alquran menjadi salah satu unsur orang-orang yang beriman. Dan
tidak cukup sampai di situ, Alquran dalam pembahasannya telah mensejajarkan kata
syu>ra, dengan kata shalat, dan infaq.482 Pada ayat tersebut Allah swt., menjelaskan
bahwa tanda dari penerimaan panggilan Tuhan, yaitu mendirikan sembahyang,
bermusyawarah, dan berderma. Apabila syu>ra menjadi bagian dari iman, maka tidak
sempurnalah imannya suatu bangsa yang meninggalkan ajaran musyawarah, dan
tidak lengkap Islamnya apabila mereka tidak menegakkan syu>ra.483

478
Zainal Abidin Ahmad, Ilmu Politik Islam II: Konsepsi Politik dan Ideologi
Islam..., h. 12-13.
479
A. Hasjmy, Di Mana Letaknya Negara Islam..., h. 99.
480
A. Hasjmy, Di Mana Letaknya Negara Islam..., h. 89.
481
Nurmala Rahmawati etal., “Sistem Pemerintahan Islam Di Bawah Kepemim
pinan Khali>fah Utsman Bin Affan Tahun 644-656”, UNEJ JURNAL PENDIDIKAN, Vol. 1,
No. 1 (2015): 1-12, https://repository.unej.ac.id/bitstream/h andle/123456789/68506/NURMA
LA%20 RAHMAWATI.pdf?sequence=1.Diakses Tanggal 06 Mei 2020
482
Q. S. Asy-syu>ra/042: 38.

121
Masykuri Abdillah dalam hal ini menyatakan bahwa, berdirinya
pemerintahan di dunia ini tidaklah sempurna. Berdirinya sebuah negara sebagai
pemenuhan dari kebutuhan manusia dalam menjalankan misi sosialnya dalam rangka
mempertahankan hidup. Salah satunya terkait dengan anggota komunitas negara di
mana penduduknya menikmati kebebasan hidup sepenuhnya. Komunitas masyarakat
ini sangatlah egalitarian, dan bebas mau melakukan apa saja, asalkan keinginan
bebasnya terpenuhi, dan mereka tidak mengakui hak siapapun untuk menjadi
pemimpin, mereka akan mengakui kepemimpinan yang berjanji dan mampu
menghadirkan kebebasan dan kesempatan yang lebih besar. Subordinasi mereka pada
kepemimpinan politik sepenuhnya bersifat sukarela, dan pemerintah tergantung pada
kehendak rakyat. Di antara semua negara yang tidak sempurna itu, negara ini tampak
pada siapapun yang memiliki konstitusi paling berharga, dalam hal ini rakyat berada
di luar.
Hal ini memicu semacam campuran rasial dan diversitas kultural yang sangat
diharapkan, dengan membatasi harapan tentang penampakan yang cepat dalam
negara yang menonjolkan personalitas, seperti para filusuf, pengkhotbah, dan
budayawan. Negara inilah yang mendekati kesempurnaan negara, atau paling tidak
mempersiapkan untuk itu. Semua bentuk pemerintahan yang ada bisa mengandung
kemungkinan kebaikan, tapi bisa pula kejahatan yang besar. Para pembaca modern,
menurut Masykuri dapat dikatakan hampir gagal mengungkapkan bahwa filsuf
Muslim itu telah berhasil memberikan deskripsi yang benar tentang demokrasi.
Masykuri juga memahami sepenuhnya pengertian dan signifikansi konsep kebebasan
politik untuk kebahagiaan dan perkembangan individual.484
Sebagaimana halnya syu>ra harus menjadi sifat pasti seorang Muslim, maka
syu>ra menjadi keharusan Islam mutlak bagi para pimpinan pemerintah dan rakyat.485
Rakyatlah yang berwenang merencanakan, mengatur, melaksanakan, dan melakukan
pengawasan serta penilaian terhadap pelaksanaan fungsi-fungsi kekuasaan itu.
Bahkan lebih jauh lagi, untuk kemanfaatan bagi rakyatlah sesungguhnya segala
kegiatan ditujukan dan diperuntukkannya segala manfaat yang didapat dari adanya
dan berfungsinya kegiatan bernegara itu. Inilah gagasan kedaulatan rakyat atau
demokrasi yang bersifat total dari rakyat untuk rakyat, oleh rakyat, dan bersama
rakyat.486 A. Hasjmy menekankan bahwa, demokrasi tidak boleh tegak atas dasar
kecurangan, penipuan, pemaksaan, dan penyuapan. Yang demikian semua dilarang
oleh Islam, dan siapa saja yang melakukannya, maka berarti dia telah berkhianat

484
Masykuri Abddillah, Demokrasi di Persimpangan Makna, (Yogyakarta: Tiara
Wacana, 2004), h. 137-138. Dalam, Sukardi, Imam, “Negara Dan Kepemimpinan Dalam
Pemikiran Alfarabi,” Al-A‘raf : Jurnal Pemikiran Islam dan Filsafat, Vol. 14, No. 2, (Juli–
Desember 2017): 283, http://ejournal.ia insurakarta .ac.id/index. php/al -araf/article/view/959.
Diakses Tanggal 17 Mei 2020.
485
Imam Jalaluddin Abdurrahman Ibn Abi Bakar al-Suyuti, al-Asybah wa anNazair
Fi al- Furu', (Beirut: Dar al-Fikr, 1995 M/1415 H), h. 84-85.
486
Cora Elly Noviati, “Demokrasi Dan Sistem Pemerintahan,” Jurnal Konstitusi,
Vol. 10, Nomor 2, (Juni 2017), https://media.neliti.com/media/publicati ons/108628-ID-demo
krasi-dan-sistem-pemerintahan.pdf. Diakses Tanggal 17 Mei 2020.

122
kepada Allah dan Rasul-Nya,487 berkhianat kepada amanat rakyat, yang berarti pula
telah melakukan pelanggaran besar. 488
Setelah syu>ra maka hak asasi manusia489 adalah dasar yang penting bagi tiap-
tiap negara. Adapun hak asasi manusia dalam demokrasi Islam yaitu. Pertama,
persamaan di depan undang-undang. Islam semenjak empat belas abad yang lalu
telah menempatkan hak yang sangat asasi, ayat-ayat Alquran dan hadis Nabi dalam
hal ini tidak terhitung banyaknya. Kedua, persamaan di depan pengadilan. Menurut
hukum Islam, semua orang sama di depan pengadilan, dalil-dalil untuk ini banyak
dalam Alquran dan Hadis, serta sejarah perjalanan para Khali>fah. Hukum dasar
dalam Demokrasi Islam, Kepala Negara atau Khali>fah, tidak boleh mencampuri
urusan pengadilan. Ketiga, persamaan dalam jabatan. Islam menetapkan, tidak boleh
adanya perbedaan antara golongan manapun dalam haknya untuk menjadi pegawai
negeri atau menjabat sesuatu jabatan negara, dalam sejarah Islam, terutama di zaman
Rasul, dan khulafa ar rasyidi>n menjadi saksi. Keempat, persamaan dalam kewajiban.
Sepertinya Islam telah menetapkan prinsip persamaan hak, maka juga Islam
menetapkan prinsip persamaan kewajiban dalam segala bidang, seperti bidang ibadah
dan bidang mu„amalah. Dalam hal ini, A. Hasjmy memberi perumpaan bahwa, semua
kaum Muslimin wajib membayar zakat. 490
Menurut ajaran Islam, A. Hasjmy menjelaskan, seorang Kepala Negara atau
pembantu-pembantunya diwajibkan bermusyawarah dalam segala urusan kenegeraan,
di antaranya adalah urusan politik, ekonomi, sosial, dan perundang-undangan, dalam
segala hal yang menyentuh hubungan pribadi dan umum. Demikian pula, diwajibkan
kepada rakyat (wakil-wakil rakyat) untuk memberi nasehat kepada Kepala Negara,
dan para pembantunya dalam hal-hal tersebut, baik diminta atau tidak. Dalam hal ini,
Allah swt., telah mewajibkan Rasul-Nya supaya bermusyawarah dengan kaum
Muslimin.491 Pada ayat ini, dengan pasti Allah swt., memerintahkan Nabi
Muhammad saw., supaya bermusyawarah dengan kaum Muslimin. Allah saw.,
memerintahkan seperti ini, bukanlah bertujuan hendak meminta pendapat mereka,
akan tetapi yang menjadi tujuan pokok adalah mengajari mereka akan pentingnya
musyawarah, mendorong mereka untuk mencontoh Rasul, mengangkat derajat
mereka dengan mengikutsertakan dalam urusan-urusan negara, membiasakan mereka
untuk mengawasi para pimpinan negara supaya tidak menyeleweng. A. Hasjmy juga
menyebutkan beberapa hadis yang memperkuat akan pentingnya musyawarah.492 atas
ayat dan hadis tersebut, maka para ahli hukum Islam (fuqaha) telah menetapkan,
bahwa syu>ra adalah salah satu dasar syariat Islam, para pimpinan negara yang
meninggalkan musyawarah wajib dipecat. 493

487
Q. S. Al-Anfa>l/008: 27.
488
A. Hasjmy, Di Mana Letaknya Negara Islam..., h. 92.
489
M.P. Pangaribuan, “Hak Asasi Manusia,” Jurnal Hukum & Pembangunan, Vol. 19,
No. 6 (June 13, 2017): 519, http://jhp.ui.ac.id/index.php/ho me/article/view/1180. diakses
Tanggal 01 Mei 2020.
490
A. Hasjmy, Di Mana Letaknya Negara Islam..., h. 100.
491
Q. S. Ali-„Imran/003: 159.
492
A. Hasjmy, Di Mana Letaknya Negara Islam..., h. 89.
493
A. Hasjmy, Di Mana Letaknya Negara Islam..., h. 88-89.

123
Kaedah asasi yang berupa prinsip-prinsip tempat tegaknya “cita syu>ra”
adalah sama dengan sifat “ajaran dasar syu>ra” itu sendiri, yang tidak boleh
diamandemenkan. Untuk mejelaskan hal ini, A. Hasjmy mengutip interpretasi yang
disampaikan oleh Abdul Qadir Audah, yang mengutarakan bahwa kaedah yang
menjadi dasar asas syu>ra ada lima asas. Pertama, syu>ra hak yang ditetapkan bagi
pemerintah dan rakyat. Dalam hal ini, kedua belah pihak sama kedudukanya, tidak
ada satu pihak yang berhak lebih dari yang lain. Sebagaimana halnya para pemimpin
negara, dibolehkan kapan saja menyatakan pendapatnya dalam urusan-urusan
pemerintahan, maka demikian pula rakyat (wakil-wakil rakyat), hak syu>ra bagi
pemerintah dan rakyat bersendikan pada Firman Allah swt.,494
Kedua, kewajiban pemerintah bermusyawarah dengan rakyat, kaedah ini
bersendikan pada firman Allah swt.,495 yang mana nash ini mewajibkan kepada
pemerintah, untuk bermusyawarah dengan rakyat dalam urusan-ursan negara, baik
pada urusan yang besar maupun urusan yang kecil. Dan rakyat dapat menggunakan
haknya kapan saja untuk memberi nasehat kepada pemerintah, atau mengajukan
peraturan-peraturan, dan dapat menuntut pemerintah untuk melaksanakan syariat
Islam. Ketiga, syu>ra bersendikan ikhlas lillah, cita syu>ra haruslah dilaksanakan
dengan ikhlas karena Allah swt., untuk menegakkan kebenaran Islam, dengan tidak
terpengaruh oleh warisan dan kepentingan pribadi, tidak pula oleh kepentingan
golongan, dan kepentingan daerah. Allah swt., tidak akan menerima amalan apa dan
siapapun yang tidak bersendikan ikhlas. Kaedah ini bersendikan pada firman Allah
swt.496 Dan pada ayat yang lain disebutkan, 497 syu>ra tidak boleh tegak atas dasar
kecurangan, penipuan, pemaksaan, dan penyuapan. Dikarenakan yang demikian itu
dilarang oleh Islam, dan siapa saja yang melakukannya, maka berarti dia telah
berkhianat kepada Allah dan Rasul-Nya, berkhianat kepada amanat rakyat, yang
berarti pula melakukan pelanggaran besar. 498
Keempat, syu>ra bukanlah kebulatan suara, tidak menjadi satu keharusan agar
supaya semua orang (wakil-wakil rakyat) bersepakat atas satu pendapat. Keputusan
adalah pendapat terbanyak dari rakyat (wakil-wakil rakyat), setelah bertukar pikiran
secara bebas, tanpa tekanan apapun. Yang dimaksud dengan suara terbanyak, yaitu
jamaah (kebanyakan) kaum Muslimin. Dalam hal ini, A. Hasjmy, menarik
pemahaman pada hadis Hudzaifah yang termasyur, di mana Rasulullah menceritakan
tentang fitnah-fitnah yang mungkin timbul dalam kalangan umat. Hudzaifah
bertanya, “apa yang akan Rasul perintahkan kepada kami, andai kata terjadi yang
demikian?” Nabi menjawab, “engkau harus mengikuti jamaah kaum Muslimin dan
pemimpin mereka”, Hudzaifah bertanya lagi, “kalau sekiranya tidak ada jamaah, dan
tidak ada ima>m bagaimana?” Rasul menjawab, “hindarkanlah dirimu dari semua
golongan itu”. Jamaah yang dimaksud dalam hadis ini, yaitu “kebanyakan kaum
Muslimin” bukan semuanya. Mungkin juga suara terbanyak itu benar, selama mereka
tetap ikhlas kepada Allah swt., dan Rasul-Nya, dan tidak terpengaruh oleh golongan.

494
Q. S. Asy-Syu>ra/042: 38.
495
Q. S. „Ali-„Imran/003: 159.
496
Q. S. Az-zumar/039: 3.
497
Q. S. An-Nisa>‘/004: 146.
498
Q. S. Al-anfal/008: 27.

124
Kelima, keharusan pelaksanaan keputusan oleh golongan sedikit, setelah
bermusyawarah dengan bebas, maka semua golongan harus menjalankan keputusan
itu, terutama oleh golongan kecil yang kalah suara. Begitulah ajaran Islam yang
diajarkan oleh Rasul yang sekalian menjadi tauladannya. 499. Dalam hal ini, A.
Hasjmy mengambil contoh, ketika Nabi Muhammad saw., melakukan perundingan
ketika terjadinya perang Uhud, di mana pada saat itu Rasul tunduk pada kehendak
orang kebanyakan yang ingin menyongsong musuh ke bukit Uhud, sementara Nabi
sendiri berpendapat lebih baik bertahan di Madinah. Setelah menjadi keputusan
dengan suara terbanyak, maka pada saat itu juga Rasul segera memakai baju besinya
dan keluar memimpin orang banyak dan golongan sedikit menuju medan perang.
Nabi sebagai golongan sedikit dalam keputusan musyawarah saat itu, adalah orang
yang pertama melaksanakan keputusan. 500
Sistem musyawarah terwujud tidak hanya dari pihak pemerintah dan
penguasa yang mengajak umat untuk melaksanakannya, namun juga dapat terjadi
sebaliknya, yaitu dari pihak rakyat yang memulai dengan cara mengajak, atau
mengoreksi serta mengawasi jalannya pemerintahan. Apabila pemimpin
pemerintahan meninggalkan musyawarah, menurut A. Hasjmy wajib diberhentikan
dari jabatannya, karena Kepala Negara bukanlah orang suci. 501 Mengenai tehnik
pelaksanaan musyawarah, A. Hasjmy menyerahkan kepada kebutuhan zaman dan
tempat. Artinya, A. Hasjmy tidak membatasi sistem pelaksanaannya, apakah melalui
sistem perwakilan yang dikenal dengan ah}lu al h}alli wal ‘aqdi, yang mana oleh A
Hasjmy disebut dengan syu>ra. Namun dengan demikian, A. Hasjmy lebih cenderung
membenarkan sistem perwakilan, semacam Dewan Perwakilan Rakyat, meskipun
dalam pelaksanaannya tidak sama dengan trias politica.502
Memahami demokrasi sosial pada penerapannya A. Hasjmy menjelaskan
bahwa,503 demokrasi sosial yang berarti pemerintahan untuk rakyat dalam teori dan
praktek, ini tidak akan berwujud kecuali apabila dilaksanakan kemashlahatan umum
dan keadilan merata, serta menetapkan garis-garis positif untuk mencapai itu,
sebagaimana Islam menjamin kehidupan politik bagi manusia, maka Islam juga
menjamin agar manusia mendapat kehidupan sosial yang aman, dan kehidupan
ekonomi yang makmur. Menurut pandangan Islam, pemerintah bertanggung jawab
terhadap kesejahteraan sosial dan kemakmuran rakyat. Ayat Alquran dan Hadis Nabi
serta praktek khulafa ar rasyidi>n cukup banyak menjadi dalil untuk persoalan
tersebut. Apabila nyata bahwa demokrasi Islam adalah pusaka mulia, dalam hal ini,
sehingga hampir meliputi seluruh tujuan demokrasi sosial modern, maka tidak boleh
kita lupakan adanya perbedaan nyata, yaitu jaminan terbesar bagi negara dalam
demokrasi Islam di bidang politik dan sosial adalah bimbingan agama, dan yang
menonjol yaitu ibadat. Karena itu, sebagian Kepala Negara Islam, telah
mengorbankan segala kepentingan pribadinya untuk berkhidmat kepada masyarakat.

499
Q. S. Al-h}asyr/059: 7. Q. S. Al-ah}zab/033: 21.
500
A. Hasjmy, Di Mana Letaknya Negara Islam..., h. 91-93.
501
A. Hasjmy, Di Mana Letaknya Negara Islam..., h. 89.
502
Hasan Basri, Melampaui Islam Substantif: Biografi Politik A. Hasjmy..., h. 214.

125
4. Prinsip dan Tujuan Dasar Negara Islam
a. Prinsip Persamaan Umat Manusia
Memaknai manusia dalam hirarki kesempurnaan, menyimak pemikiran para
filsuf dan sufi tentang Insan Kamil (manusia sempurna), kelihatannya konsep
sempurna sangat utopis, hanya ada dalam tataran ide, dan sulit direalisasikan. Namun
tidak demikian, sempurna itu sendiri sebuah konsep yang memiliki gradasi. Di atas
sempurna ada yang lebih sempurna, sehingga konsepsi Insan Kamil juga dipahami
sebagai “manusia menyempurna”, sempurna dan semakin sempurna, sama dengan
makna ihsan, semakin lama semakin baik. Puncak dari kesempurnaan itu adalah
Kha>lik itu sendiri.504
Sebelum mendirikan suatu pemerintahan, 13 tahun lebih dahulu Nabi
Muhammad saw., mempermatang ideologi di Mekkah. Ini menjadi kesan,
bahwasanya pendirian masyarakat atau negara dimulai dari dalam, dari jiwa, dari
dhamir yang bersih, sehingga keinsafan bernegara bukan hanya dinyatakan dan
disemirkan dari luar, tetapi masyarakat dan negara timbul dari dalam. Sifat-sifat dan
kelemahan diri manusia, hawa nafsu dan syahwatnya yang senantiasa bergelora
dalam dirinya, dialirkan, dikanalisasi di dalam ajaran-ajaran yang suci untuk
menimbulkan masyarakat yang adil. Hawa nafsu manusia menyebabkan dia ingin
mempunyai banyak , “kalau adalah pada anak Adam as., suatu lembah penuh emas,
dia ingin sebuah lembah lagi", (demikian jiwa manusia menurut perkataan Nabi
Muhammad saw), tetapi diujungnya dikatakannya pula : “Dan tidaklah ada yang akan
memenuhi perut anak Adam, selain tanah". Dengan dasar penyelidikan seksama atas
jiwa manusia itu, maka dengan tuntutan wahyu suci, Nabi Muhammad saw.,
membawa syariat, bagaimana hendaknya supaya kelobaan dan kerakusan hendak
mempunyai banyak itu, dari setiap orang, dapat diatur. 505
Apabila jiwa manusia telah mencapai kebebasan penuh, maka terlepaslah dia
dari segala bentuk penghambaan, aman, tentram dari gangguan rasa takut, terhindar
dari cengkraman nilai-nilai sosial dan harta, tersisih dari penyerahan hina kepada
kebutuhan dan pengemisan, nafsu loba, dan tertujulah segala cita dan harapnya
kepada Kha>lik Yang Esa, akhirnya didapati dalam dirinya sendiri kekayaan dan
kebahagiaan tiada bertara. Apabila jiwa manusia telah mencapai kebebasan demikian,
maka dia tidak memerlukan lagi kepada lagu-lagu persamaan yang kosong dan
hampa, karena lagu-lagu itu telah menjadi kenyataan dalam jiwa dan dalam
kehidupannya, bahkan ia akan tahan menderita untuk memperjuangkan persamaan
itu, serta akan mempertahankannya setelah tercapai. Dalam keadaan demikian tidak
hanya rakyat tertindas yang merasa butuh kepada persamaan, tetapi juga orang kaya
dan yang berkuasa. Sungguhpun demikian, Islam tidak mencukupkan rasa persamaan
yang tumbuh dari kebebasan jiwa, akan tetapi Islam menegaskannya dalam kata-kata
pasti dan nash yang qat‗i.506
Menurut A. Hasjmy, diketika manusia masih dalam masa kegelapan berfikir,
manusia mengkleim dirinya sebagai turunan Tuhan, berasal dari darah yang suci,

504
Saed Muniruddin, Bintang ‗Arasy: Tafsir Filosofis-Gnostik Tujuan HMI, (Banda
Aceh: Syiah Kuala University Press, 2014), h. 214.
505
Hamka, Keadilan Sosial Dalam Islam, (Djakarta: Widjaya, 1951 ), h. 5.
506
A. Hasjmy, Di Mana Letaknya Negara Islam..., h. 68.

126
kasta tinggi, mental bertuan yang memahami diri boleh membunuh budak, dan
kedudukan perempuantidak mempunyai nilai apa-apa. Dalam kondisi seperti ini
datanglah Islam membawa segala persamaan antara segala manusia, dan Islam
menetapkan kesatuan jenis turunan manusia, kesatuan hidup dan mati, kesatuan hak
dan kewajiban, kesatuan di depan undang-undang dan Tuhan, di dunia dan di akhirat,
serta tiada siapapun yang lebih atas yang lain, kecuali dengan amal salih dan takwa.
Dan dengan tandas Islam menyuarakan lewat kitab sucinya Alquran.507 Jika saja rasa
lebih karena darah telah hilang dalam hati pribadi, maka tidak adalagi suatu kaum
atau bangsa yang rasa dirinya lebih dari yang lainnya, karena unsur ketururunan.
Manusia menurut A. Hasjmy berasal dari satu unsur, setiap manusia bersaudara
seunsur dan berkedudukan sama pada asal kejadian. 508 Persamaan yang diajarkan
Islam, berdasarkan “cita perikemanusiaan lengkap” bersih dari unsur-unsur turunan
darah, bahkan bersih dari ashabiyah diniyah, bahkan melebihi dari itu, Islam
memberi hak yang sama kepada orang-orang Musyrik dalam bidang pidana, selama
perjanjian mereka dengan kaum Muslimin masih terpelihara. Hal ini sesuai dengan
firman Tuhan.509
Berbicara kesempurnaan manusia, dan keharusan menjunjung tinggi
kesamaan hak ini, menurut A. Hasjmy, Islam sangat berhati-hati dan teliti. Tiap
lubang yang memungkinkan rasa perbedaan kasta ditutupnya rapat-rapat. Nabi
Muhammad saw., sendiri dinyatakan sebagai manusia biasa, dan Rasul sendiripun
kuatir akan disucikan oleh para pengikutnya, akan dijadikan sebagai manusia luar
biasa.510 Bangsa manusia seluruhnya memiliki kemuliaan dan kehormatan yang
sama, yang mulia bukan pribadinya, bukan bangsanya, dan bukan pula unsurnya,
namun kemuliaan untuk jenis manusia dalam taraf yang sama. 511 Tiap-tiap pribadi
mempunyai kehormatan yang tidak boleh dilanggar oleh pribadi yang lain, satu sama
lain harus saling menghormati. 512 Islam memberi pengertian pada tiap-tiap pribadi
bahwa kehormatan seseorang tidak boleh dirusak oleh yang lain. Kehormatan
seseorang tidak berkurang oleh kehormatan yang lain, dalam hal ini mereka
mempunyai hak yang sama, dan sama-sama terjamin kehormatannya. 513

b. Prinsip Kebebasan dan Jaminan Sosial Umat Manusia


Kebebasan jiwa manusia tanpa sesuatu ikatan dan persamaan tanpa suatu
ketentuan, tidak akan menguntungkan pribadi dan masyarakat, bahkan akan
mengakibatkan kehancuran total. 514 John Rawls, menjelaskan bahwa, setiap invidu
memiliki hak yang setara dengan kebebasan dasar yang luas, dan sama dengan
kebebasan yang lainnya. Rawls juga memahami bahwa, ketidaksetaraan sosial dan

507
Q. S. Maryam/019: 88-95. Q. S. Al-Mursala>t/077: 20-23. Q. S. Ath- Tha>riq/086:
5-7. Q. S. Al-Mu„min/040: 12-14.
508
Q. S. An-Nisa>‟/004: 1. Q. S. Al-Hujarat/049: 13.
509
Q. S. An-Nisa>‘/004: 92.
510
Q. S. Al-Kahfi/018: 110.
511
Q. S. Al-Isra/017: 70.
512
Q. S. Al-H}ujarat/049: 11. Q. S. An-Nur/024: 27-28. Q. S. Al-H}ujarat/049: 12.
513
A. Hasjmy, Di Mana Letaknya Negara Islam..., h. 72.
514
A. Hasjmy, Di Mana Letaknya Negara Islam..., h. 73.

127
ekonomi, mesti diatur dengan baik, sehingga keberadaan keduanya mendapatkan
keuntungan bersama, atau keuntungan semua individu melekat pada posisi jabatan
untuk semua.515 Kepentingan masyarakat menurut A. Hasjmy, adalah kepentingan
tertinggi. Oleh karenanya, kepentingan pribadi harus dileburkan. Kepentingan-
kepentingan pribadi haruslah berhenti pada batas-batas yang telah ditetapkan, supaya
tidak tertubruk dengan kepentingan pribadi yang lain atau kepentingan masyarakat.
Islam telah memberi kemerdekaan pribadi dalam suatu konsepsi yang sempurna,
demikian pula Islam telah menganugerahkan persamaan umat manusia dalam arti
seluas kata. Akan tetapi Islam tidak membiarkan hak persamaan tersebut berjalan
tanpa batas, karena yang demikian akan membawa kepada huru-hara, chaus, dan
kacau balau.
Bagi masyarakat terdapat ketentuan-ketentuan, yang harus diindahkan oleh
manusia, sementara bagi cita agama yang tertinggi ada nilainya. Oleh karena
demikian, ditetapkanlah prinsip “tanggung jawab masyarakat” yang meliputi
tanggung jawab pribadi dan jamaah dengan segala tugas-tugasnya, dan inilah
menurut A. Hasjmy disebut dengan “jaminan sosial”. Islam menetapkan prinsip
jaminan dalam segala bentuknya dengan konsepsi yang jelas tegas antara jaminan
pribadi dengan zatnya, antara pribadi dengan keluarga, antara pribadi dengan jamaah,
antara bangsa dengan bangsa, dan jaminan antara angkatan dengan angkatan-
angkatan mendatang.516
Menurut A. Hasjmy Islam menetapkan tiga prinsip dasar jaminan sosial.
Pertama, yaitu jaminan antara pribadi dengan zatnya, bahwa tiap-tiap pribadi
diharuskan menahan dirinya dari pengaruh hawa, membersihkan diri dan jiwanya
dari segala macam kejahatan dan membimbing dirinya ke jalan keselamatan. 517
Dalam pada itu, Islam mengharuskan pula bagi tiap-tiap pribadi untuk mengenyam
kesenangan hidup dalam batas-batas yang tidak merusak kemanusiaan.518 Tanggung
jawab pribadi adalah lengkap dan menyeluruh, amal perbuatannya, baik atau buruk,
dia sendiri yang akan bertanggung jawab, bukan orang lain. 519 Dengan ajaran Islam
demikian, maka tiap orang menjadi pengawas untuk dirinya sendiri, jika saja sesat
ditunjukkan dan jika salah diperbakinya. Islam memberi kepada tiap-tiap pribadi dua
fungsi, fungsi pelaksana dan fungsi pengawas, intip-mengintip, bantu membantu
dalam menjaga keseimbangan prinsip, kebebasan jiwa dan persamaan manusia.
Kemerdekaan dan tanggung jawab, haruslah bahu membahu. 520
Kedua, jaminan antara pribadi dengan keluarga, hal ini mengharuskan tiap
keluarga haruslah menjamin kelanjutan hidupnya, dengan terpeliharanya jaringan
timbal-balik antara anggota keluarga sesuai dengan kedudukan masing-masing dalam

515
Pan Mohamad Faiz, “Teori Keadilan John Rawls (John Rawls‟ Theory of
Justice),” SSRN Electronic Journal, Vol. 6, No. 15, (Mei, 2017), https://www.ssrn.com/abstr
act=2847573, Diakses Tanggal 18 2020.
516
A. Hasjmy, Di Mana Letaknya Negara Islam..., h. 73.
517
Q. S. An Nazi„at/079: 37-41. Q. S. Asy-Syams/091: 7-10. Q. S. Al-Baqarah/002:
195.
518
Q. S. Al Qashash/028: 77. Q. S. Al A„ra>f/007: 31.
519
Q. S. Al-Muddatstsir/074: 38. Q. S. Az-Zumar/039: 41. Q. S. An-Nisa>/004: 111.
520
A. Hasjmy, Di Mana Letaknya Negara Islam..., h. 73-75.

128
keluarga tersebut. 521 Nilai yang demikian dalam keluarga adalah nilai yang
menentukan bagi kelangsungan hidup sesuatu keluarga, sedangkan keluarga itu
adalah batu dasar bagi bangunan masyarakat. Nilai keluarga yang sedemikian rupa,
suka tidak suka, harus diakuinya, karena adanya keluarga bersendikan keinginan
pasti dalam fitrah kehidupan manusia. Di antara kenyataan-kenyataan adanya
jaminan keluaarga dalam Islam, yaitu adanya peraturan warisan yang menentukan
untuk siapa harta kekayaan seseorang yang sudah meninggal. 522 Peraturan-peraturan
Islam ini, bertujuan untuk memelihara terjaminnya hubungan antara anggota-anggota
keluarga.523
Ketiga, jaminan antara pribadi dengan jamaah, mempunyai pengertian, baik
pribadi atau jamaah, masing-masing ada tanggung jawabnya terhadap satu pada yang
lain, demikian pula haknya. Untuk terlaksananya dengan baik prinsip “jaminan
timbal balik” antara pribadi dengan jamaah, Islam bertindak sampai pada batas
mempersatukan antara kepentingan pribadi dengan kepentingan jamaah, baik yang
bersifat maddi atau ma‗nawi. Tiap pribadi diharuskan memperbaiki usaha-usaha
kususnya, yaitu amal ibadah, karena buah dari amal khasnya akan mempengaruhi
masyarakat.524 Tiap orang ditugaskan untuk memelihara kepentingan jamaah, karena
tiap pribadi itu adalah polisinya jamaah. Demikianlah ajaran Islam. Kehidupan ini
ibarat kapal di tengah samudra, dan para penumpang sekalian bertanggung jawab atas
keselamatan kapal. Siapapun tidak boleh melubangi kapal atas kepentingan
pribadinya. Kerja sama dan gotong royong antara semua pribadi wajib hukumnya,
demi untuk kepentingan masyarakat, dalam batas-batas ketaatan dan kebajikan.525
Tiap pribadi bertanggung jawab terhadap terlaksanya amar ma‗ruf, sehingga
dianggap berdosa bagi yang tidak melaksanakannya. 526 Tidak bertindak untuk
menggairahkan manusia kearah memberi makan orang-orang melarat, dianggap sama
dengan sikap kekafiran dan pendustaan terhadap agama. 527 Tiap pribadi diwajibkan
untuk mencegah perbuatan munkar bila dilihatnya.528
Negara dan bangsa menurut A. Hasjmy akan menghadapi kehancuran dan
bencana besar di dunia dan di akhirat, jika saja membiarkan sebagian warga
negaranya berbuat munkar. Negara dan umat dipertanggung jawabkan untuk
melarang tiap-tiap warga negara melakukan kejahatan.529 Andai kata ada di antara
umat yang tidak ikut berbuat jahat, tapi diam saja tidak berbuat sesuatu, maka
merekapun akan ikut mendapatkan bencana. 530 Umat seluruhnya bertanggung jawab
terhadap pemeliharaan dan perlindungan terhadap orang-orang miskin dan orang-
orang tertindas, baik terhadap jiwanya, maupun terhadap harta bendanya.531 Umat
521
Q. S. Luqman/031: 14. Q. S. Al-Baqarah/002: 233.
522
Q. S. An-Nisa>„/004: 11-12. Q. S. An-Nisa>„/004: 176.
523
A. Hasjmy, Di Mana Letaknya Negara Islam..., h. 75-77.
524
Q. S. At-Taubah/009: 105.
525
Q. S. Al Ma>-idah/005: 2. Q. S. Ali-„Imran/003: 104.
526
Q. S. Al-Ha>qqah/069: 30-37.
527
Q. S. Al-Ma>‘u>n/107: 1-3.
528
A. Hasjmy, Di Mana Letaknya Negara Islam..., h. 77-78.
529
Q. S. Al-Isra>„/017: 16.
530
Q. S. Al-Anfa>l/008: 25.
531
Q. S. An-Nisa>„/004: 6. Q. S. An-Nisa>„/004: 75.

129
Islam diibaratkan laksana satu tubuh. Atas dasar prinsip “jaminan timbal balik ini”,
maka Islam menetapkan hukum hudud terhadap tindak pidana sosial, karena kerja
sama hanya boleh atas dasar menjamin keselamatan hidup tiap pribadi dan harta serta
keselamatannya. Untuk menjaga keselamatan prinsip ini, maka Islam menetapkan
hukum qishash dalam pembunuhan dan penganiayaan. 532
Sementara terhadap perbuatan terkutuk sebagaimana halnya zina, Islam
mengadakan hukuman yang keras sekali, karena kejahatan zina tidak saja
mengganggu kehormatan rumah tangga orang, tetapi juga merusakkan masyarakat,
membinasakan keturunan dan membinasakan bangsa. 533 Sementara menuduh orang
baik-baik berzina dipandang satu kejahatan besar, karena yang demikian merusak
kehormatan dan nama baik orang. Terhadap para penuduh itu juga dijatuhi
hukumannya.534 Terhadap pencurian, Islam menetapkan hukuman yang berat pula,
karena tindak pidana mencuri, di samping mengganggu keamanan pribadi, juga
menghancurkan keselamatan masyarakat.535 Adapun terhadap orang-orang yang
mengganggu keamanan umum, maka hukumannya dibunuh, disalib, atau dipotong
kaki tangannya berselang seling, atau dibuang dari negeri (taqtil, taslib, taqti„ aidi wa
al-arjul, an-nafyu minal aldhi). 536 Demikianlah Islam telah menetapkan dasar-dasar
“jaminan sosial” dengan segala segi dan bentuknya. Atas dasar kebebasan jiwa
manusia, persamaan manusia, dan jaminan sosial, akan terbangun keadilan sosial dan
akhirnya akan menjelma ketahap peri-kemanusiaan.537

c. Prinsip Keadilan Sosial dan Hak Asasi Manusia (HAM)


Tauhid dan Ukhuwah Islamiyah yang menjadi dasar negara Islam kecuali
melahirkan peri-kemanusiaan, juga menjamin hak-hak manusia. Dalam masyarakat
berkeadilan sosial, hak-hak Asasi Manusia terjamin, bahkan Hak-hak Asasi Manusia
adalah satu ciri dari keadilan sosial. 538 Negara-negara Barat yang dominan secara
politik dan ekonomi berusaha mendesakan kebudayaannya terhadap negara-negara
berkembang, tak terkecuali terhadap negara-negara Muslim. Salah satu produk
kebudayaan Barat yang kini menjadi perdebatan sengit di kalangan intelektual
Muslim adalah mengenai Hak-hak Asasi Manusia (HAM).539 Dalam hal ini, khutbah
wada„ yang disampaikan oleh Nabi Muhammad saw., menurut beberapa negarawan
terkemuka dipandang sebagai pernyataan Hak-hak Asasi Manusia yang pertama
(The First Declaration of Human Right) di dunia, telah menggariskan hak-hak dan
kewajiban pokok bagi tiap-tiap manusia.540

532
Q. S. Al-Baqarah/002: 178. Q. S. Al-Isra>„/017: 33. Q. S. Al Ma>-idah/005: 45. Q.
S. Al-Baqarah/002: 179.
533
Q. S. An-Nu>r/024: 2.
534
Q. S. An-Nu>r/024: 4.
535
Q. S. Al Ma>-idah/005: 38.
536
Q. S. Al Ma>-idah/005: 23.
537
A. Hasjmy, Di Mana Letaknya Negara Islam..., h. 78-81.
538
A. Hasjmy, Di Mana Letaknya Negara Islam..., h. 58.
539
Mohamad Hudaeri, “Islam Dan Hak Asasi Manusia,” ALQALAM. Vol. 24, No. 3
(December 31, 2007): 363, http://jurnal.uinbanten.ac.id/index.php/alqalam/article/view/1664.
Diakses Tanggal 20 Agustus 2020.
540
A. Hasjmy, Di Mana Letaknya Negara Islam..., h. 58.

131
Di dunia Barat, ide tentang Hak Asasi Manusia merupakan hasil dari
perjuangan kelas sosial yang menuntut tegaknya nilai-nilai dasar kebebasan dan
persamaan. Perjuangan kelas tersebut secara kronologis tercermin dengan lahirnya
“Magna Charta” (Piagam Agung) pada 15 Juli 1215 M., di Inggris sebagai bagian
pemberontakan para baron Inggris terhadap Raja John. Perjuangan yang nyata dari
Hak-hak Asasi Manusia tercermin dengan ditanda tanganinya “Bill of Rights” oleh
Raja Willem II di Britania Raya pada tahun 1689 sebagai hasil dari Glorius
Revolution. Pada tahun 1948 majelis Perserikatan Bangsa-Bangsa telah
memplokamirkan “Universal Declaration of Human Right” yang terdiri dari 30 pasal
dan masih mengikat secara moral, bukan yuridis. Kemudian pada tanggal 16
Desember 1966 lahir “convenant”541
Menurut A. Hasjmy, terdapat beberapa hal yang dapat diambil intisari dari
khutbah wada‟ yang dipandang sebagai “pernyataan Hak-hak Asasi Manusia”
sebagai berikut. Pertama, keharusan menjamin jiwa, harta dan kehormatan tiap-tiap
orang. Kedua, keharusan memelihara amanah. Ketiga, keharusan membersihkan
modal manusia daripada riba. Keempat, penetapan hak dan kewajiban timbal balik
bagi suami istri. Kelima, pernyataan semua manusia Muslim bersaudara dan sama
derajat di sisi Allah swt. Selain dari kelima pesan yang menyangkut dengan
pernyataan yang mengandung unsur perlindungan Hak-hak Asasi Manusia, Nabi
Muhammad saw., juga memperingatkan dalam khutbah Wada„ akan bahayanya bujuk
rayu setan yang berwujud manusia, serta pertanggung jawaban tiap-tiap pribadi
manusia di depan mahkamah Allah swt., di akhirat nanti.542
Menurut HAMKA, Islam memperbaiki masyarakat dan meratakan keadilan
sosial dengan menekankan terlebih dahulu dasar sendi pertama sosial (masyarakat).
Dasar sendi pertama ialah jiwa seseorang. Ditanamkan terlebih dahulu dalam jiwa
seseorang berdasarkan iman kepada Allah swt., dan hari akhirat. Lalu iman itu
menimbulkan rasa kasih-sayang dan dermawan. 543 A. Hasjmy, memahami keadilan
yang dihantarkan Islam tentang kehidupan manusia telah mengubah keadilan sosial
menjadi peri-kemanusiaan yang meliputi segala bidang kehidupan, tidak hanya di
bidang kebendaan dan ekonomi. Menurut kajian Filsafat Islam, bahwa nilai-nilai
hidup ini adalah sekaligus “maddi dan ma‗nawi”, tidak terpisah kesatuan dua sifat
itu, karena kemanusiaan adalah kesatuan yang terjalin rapat, bukan gabungan yang
berserak bercerai. 544 Kejahatan yang dipandang Islam sebagai hakikat, bukanlah
kenyataan pribadi, bukan kenyataan bangsa, dan bukan pula kenyataan angkatan,
melainkan kenyataan kecil yang terbatas waktu, yang dapat dijangkau

541
Covenant merupakan istilah yang digunakan untuk menyebutkan suatu perjanjian
internasional yang membentuk dan mengatur Liga Bangsa-bangsa.
542
A. Hasjmy, Di Mana Letaknya Negara Islam..., h. 58.
543
Abdul Hafiz bin Hj. Abdullah, “Islam Dan Keadilan Sosial Menurut Pandangan
Hamka Dalam Tafsir Al-Azhar: Tumpuan Khusus Kepada Kepentingan Zakat”, Seminar
Sarantau Islam & Kesejahteraan Sejagat, Anjuran Fakulti Usuluddin, Universiti Islam Sultan
Sharif Ali, Brunei Darul Salam, (2010): 1-10, http://eprints.um.edu.my/11264/1/A14. pdf.
Diakses Tanggal 21 Agustus 2020.
544
A. Hasjmy, Di Mana Letaknya Negara Islam..., h. 59.

131
pencapaiannya manusia fana, pada waktu tinjauan mereka tidak tertembus untuk
melihat kehidupan manusia yang lebih besar dan lengkap. 545
Kesadaran pribadi setiap orang dalam hubungannya dengan Allah swt.,
manusia, alam sekitar, dan kedudukan dirinya di tengah semuanya itu, di sanalah
sumber keadilan sosial.546 Adapun Islam mengarahkan pandangannya ke segala
penjuru dan meneliti segala daya cipta untuk mencapai cita kemanusiaan yang
menyeluruh. Ada yang kadang-kadang sifatnya kontras dalam kenyataan terbatas,
tidak demikianlah halnya setelah kita dapat menembus ke sebelah “kenyataan tiada
bertepi”, yaitu kenyataan seluruh kemanusiaan. Pandangan menyeluruh ini tentang
keadilan sosial berwujud kemudiannya dalam berbagai perundang-rundangan Islam
yang menyentuh masalah-masalah pribadi, masyarakat, bangsa, dan angkatan.547
Dengan demikian, kedatangan Islam adalah plokamasi kemerdekaan berfikir dan
penggunaan akal, karena Islam dengan keras menyerang kurafat dan taklid serta
menolak segala yang tidak sesuai dengan akal. 548
Menurut ajaran Islam Hak Asasi Manusia yang terpenting adalah persamaan
dan kemerdekaan. Kemerdekaan dan persamaan hak manusia dalam kehidupan
individual, sosial, dan politik dapat terjamin apabila masyarakat manusia sendiri itu
kuat, sehingga sanggup menjalankan asas-asas yang mulia, dan sanggup pula
mencegah orang-orang jahat dalam segala kaliber dari tindakan memperkosa hak-hak
tersebut. Menurut A. Hasjmy, Hak Asasi Manusia adalah dasar yang amat penting
bagi negara. Hak Asasi Manusia dalam sistem negara Islam mencakup empat aspek.
Pertama, setiap manusia memiliki hak yang sama di depan undang-undang. Kedua,
setiap orang mempunyai hak yang sama di depan pengadilan. Ketiga, setiap manusia
memiliki hak yang sama dalam jabatan. Keempat, setiap orang mempunyai hak yang
sama dalam melaksanakan kewajiban. 549
Sebelum revolusi Islam lahir dalam abad ke-6 M., tidak pernah satu agama
manapun memproklamirkan Hak-hak Asasi Manusia secara luas, karena manusia
sendiri belum pernah terbentuk sebagai suatu umat, sehingga agama dapat
menetapkan hak asasi secara umum dan menyeluruh. Barulah manusia lahir sebagai
suatu “umat”, setelah manusia beriman kepada Allah swt., bersama ajaran-Nya
mempersamakan derajat manusia seluruhnya dan merangkaikan hak dan kewajiban
tanpa membedakan suku dengan suku, warna kulit dengan warna kulit. Semenjak
lahirnya Islam, Islam telah menetapkan hak asasi bagi tiap pribadi manusia. hak asasi
yang pernah dikenal undang-undang bikinan manusia. Hak-hak yang diatur Islam
untuk tiap pribadi umat ditujukan untuk mengangkat derajat manusia dan
memungkinkan mereka beramal bersama-sama buat kebaikan dan kebahagiaan

545
A. Hasjmy, Di Mana Letaknya Negara Islam..., h. 59.
546
Abdul Hafiz bin Hj. Abdullah, “Islam Dan Keadilan Sosial Menurut Pandangan
Hamka Dalam Tafsir Al-Azhar: Tumpuan Khusus Kepada Kepentingan Zakat”, Seminar
Sarantau Islam & Kesejahteraan Sejagat, Anjuran Fakulti Usuluddin, Universiti Islam Sultan
Sharif Ali, Brunei Darul Salam, (2010): 1-10, http://eprints.um.edu.my/11264/1/A14. pdf.
Diakses Tanggal 21 Agustus 2020.
547
A. Hasjmy, Di Mana Letaknya Negara Islam..., h. 59.
548
A. Hasjmy, Di Mana Letaknya Negara Islam..., h. 224.
549
Hasan Basri, Melampaui Islam Substantif: Biografi Politik A. Hasjmy..., h. 179.

132
jamaah, bahkan untuk memelihara kehormatan umat manusia, memperkembangkan
bakat pribadi dan memanfaatkan kekuatan akal dan jasmani mereka. 550
Menurut A. Hasjmy, adalah benar dan tepat sekali orang-orang yang
mengatakan bahwa, kedatangan Islam adalah lahirnya revolusi jiwa yang amat luas,
yang mana kekuasaannya tidak dapat diukur dengan lebarnya tempat dan banyaknya
bilangan, karena apabila revolusi tumbuh dalam jiwa, maka lebih luas dari alam yang
ada dan menjelma sebagai suatu kekuatan dahsyat dalam satu kerajaan, yaitu
kerajaan jiwa. 551 Setelah lebih kurang seribu tahun kaum Muslimin mengenyam hak-
hak kemanusiaannya yang diberikan Islam, maka barulah pada akhir abad ke-delapan
belas dunia ribut membicarakan “Hak Asasi Manusia” yaitu setelah pecahnya
Revolusi Perancis pada tahun 1789 M., sampai saat ini, dunia ribut
memperbincangkan Hak Asasi Manusia, dan Perserikatan Bangs-Bangsa pun telah
membuat hak-hak tersebut. Kendatipun demikian, sampai sekarang masih terdapat
perbedaan-perbedaan tentang batas-batas Hak Asasi Manusia di antara berbgai
bangsa yang mengakui hak tesebut. Adanya perbedaan-perbedaan batas tentang Hak
Asasi Manusia itu, membuktikan bahwa, pikiran manusia belum cukup mampu untuk
menggariskan hak-hak yang sangat penting itu bagi pribadi mereka masing-
masing.552 Sehingga pada Perang Dunia II dan fasisme yang memproduksi puluhan
juta korban jiwa, semata- mata karena kebijakan yang rasis dan mengekang
kebebasan fundanmental. DUHAM 553 ini dianggap merupakan salah satu cara dari
komunitas internasional untuk mencegah terulangnya kembali praktek serupa di
kemudian hari. 554
Keadilan sosial tidak akan terwujud, dan terlaksana selama tidak bersendikan
pada “perasaan tersembunyi” dan “benda nyata”. Sesuatu perundang-rundangan tidak
akan terlaksana dan terpelihara selama tidak ada akidah (keyakinan) dan imkaniyah
amaliah (kemungkinan kerja) yang menguatkan. Islam menyatakan kebutuhan jasadi
dan kerinduan rohani dalam satu peraturan. Dengan demikian, kebebasan jiwa
terjamin dengan rasa tak nyata dan kemungkinan nyata. Adapun apabila “persamaan”
didasarkan pada kebebasan perasaan dan undang-undang pelaksanaannya, maka rasa
yang berkepentingan dengan persamaan itu sama kuatnya dalam diri tiap-tiap pribadi,
baik orang kaya maupun orang miskin, baik orang berkuasa atau rakyat jelata.
Persamaan akan bertemu dalam diri pribadi dalam kepercayaa kepada Allah swt.,
kepercayaan kepada kesatuan umat dan kepercayaan kepada kesatuan manusia. Inilah
tujuan Islam ketika memberi kebebasan penuh kepada perasaan manusia, serentak
dengan menjamin kebutuhan jasad dan kepentingan hidup dengan hukum undang-
undang dan hukum jiwa. 555
Menurut A. Hasjmy, Islam memulai dengan membebaskan perasaan manusia
dari beribadat dan kusyu„ kepada sesuatu yang bukan dari Allah swt. Allah Esa dan

550
A. Hasjmy, Di Mana Letaknya Negara Islam..., h. 218-219.
551
A. Hasjmy, Di Mana Letaknya Negara Islam..., h. 218.
552
A. Hasjmy, Di Mana Letaknya Negara Islam..., h 219.
553
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia.
554
Tim Kontras, Panduan Untuk Pekerja HAM: Pemantauan dan Investigasi Untuk
Pemandu Hak Asasi Manusia..., h. 31.
555
A. Hasjmy, Di Mana Letaknya Negara Islam..., h. 65.

133
Maha Kuasa. Hanya Allah-lah yang berkuasa mutlak atas manusia, menghidupkan
dan mematikannya, memberi kesenangan dan memberi kemelaratan kepadanyanya,
tidak ada perantara antara Allah swt., dengan manusia. 556 Ayat-ayat yang dimaksud
serupa ini, banyak sekali dalam Alquran, banyak sekali dalam Alquran, bahkan Allah
swt., dengan tegas memperingatkan bahwa Para Rasul dan Ambiya-pun tidak boleh
disembah (beribadat). Islam sangat tegas dalam hal membebaskan perasaan manusia
dari beribadah bukan kepada Allah swt.557 Terhadap mereka yang menuhankan Isa
as., Putra Maryam Allah swt., membantah. 558 Dengan demikian Alquran menurut A.
Hasjmy, terus menerus menanamkan keyakinan tauhid, agar perasaan manusia
terbebas dari belenggu keragu-raguan tentang “uluhiyah” (ketuhanan). Islam
mengajarkan, bahwa hubungan manusia dengan Allah swt., sifatnya langsung, tidak
ada perantara, dan bahwa Allah swt., cinta kasih dan sanggup menolong hamba-
hamba-Nya.559 Demikianlah, Allah swt., telah mewajibkan sembahyang lima waktu
sehari semalam, dalam waktu-waktu tersebut seorang hamba berdiri di depan
Tuhanya, berhubungan seorang makhluk dengan Kha>liqnya. Bukanlah dimaksud
dengan sembahyang sekedar adanya ucapan dan gerakan, tetapi yang menjadi tujuan
sembah yang yaitu penyerahan sepenuh hati, budi dan jasadi kepada Allah swt.,
dalam waktu yang satu, sesuai dengan “cita Islam” yang menyeluruh tentang
kesatuan manusia dalam kejadiannya, kesatuan Kh>aliq dalam uluh}iyah-Nya.560
Salah satu asas penting lain dari “Keadilan Sosial” A. Hasjmy juga
menyatakan bahwa, pembebasan perasaan manusia dari segala macam rasa takut, di
antaranya. Pertama, rasa takut mati. Kedua, rasa takut hilangnya kekayaan. Ketiga,
rasa takut hilangnya kedudukan. 561 Dengan keterangan ayat-ayat Alquran, jelaslah
bahwa, manusia tidak usah terganggu dengan rasa ketakutan, karena Allah swt.,
berkuasa atas segala-galanya. Islam mengajarkan supaya manusia berdo„a dan
beramal untuk menghindari dari tri-rasa takut itu. manusia diharuskan bekerja dengan
ketentuan-ketentuan umum dari Allah swt. (qadha dan qadarnya). 562
A. Hasjmy juga melihat, bahwa jiwa manusia harus dibebaskan dari
pengaruh nilai benda. Ini adalah salah satu penyakit jiwa manusia yang sangat
berbahaya, yaitu rasa berubudiyah kepada nilai-nilai sosial, nilai harta dan pangkat,
nilai bangsa dan darah keturunan. Apabila nilai manusia telah berhamba diri kepada
salah satu nilai sosial tersebut, maka dia tidak akan memiliki lagi kemerdekaan sejati
dan persamaan sempurna. Islam menetapkan nilai-nilai sosial tersebut pada tempat
yang sebenarnya, tidak menganggap remeh dan pula terlalu mengagung-
ngagungkannya. Islam mengembalikan nilai sejati kepada ukuran rohani yang
556
Q. S. Al-Ikhlas/112: 1-4.
557
Q. S. Ali-„Imran/003: 144. Q. S. Ali-„Imran/003: 138. Q. S. Al-Isra/017: 74-75.
Q. S. Al-Jin/072: 20-22.
558
Q. S. Al-Ma>idah/005: 116-118.
559
Q. S. Asy-Syu>ra/042: 19. Q. S. Al-Baqarah/002: 186. Q. S. Az-Zumar/039: 53.
560
Q. S. 107. Al-Ma>‘u>n/107: 4-5.
561
Q. S. Al-An„Am/006: 14. Q. S. Ali-„Imran/003: 145. Q. S. At-Taubah/009: 51. Q.
S. Yunus/010: 49. Q. S. Al-Fa>thir/035: 3. Q. S. Al-An„Am/006: 151. Q. S. At-Taubah/009:
28. Q. S. Ali-„Imran/003: 26. Q. S. Ali-„Imran/003: 160. Q. S. Al-Fa>thir/035: 10. Q. S. Al-
Muna>fiqu>n/063: 8.
562
Q. S. Al-baqarah/002: 201. Q. S. Al-Zalzalah/099: 7-8.

134
tersembunyi dalam diri pribadi manusia yang nyata pada amalannya, sebagai jalan
ke-arah kebebasan jiwa sempurna. 563 Menurut ajaran Islam, bahwa harta dan putra
tidak punya nilai apa-apa dalam menentukan tinggi rendahnya seseorang, kecuali
yang bernilai demikian itu adalah iman dan amal salih. Iman adalah nilai yang
terpendam dalam jiwa, sedangkan amal salih adalah nilai nyata dalam kehidupan, dan
keduanya itulah yang mempunyai nilai penentu. Dalam pada itu, Islam tidak
memicingkan mata sama sekali dari nilai harta dan nilai putra, itu semua bukanlah
nilai penentu melainkan nilai tambahan. 564 Pada suatu ketika Rasulullah lalai akan
nilai budi dan terpengaruh dengan nilai sosial. Nabi Muhammad saw., sibuk
melayani seorang Kepala Kaum yang bernama al-Wahid Ibnu Mughirah, sehingga
Nabi acuh tak acuh kepada seorang buta yang bernama Ibnu Ummi Maktum. Dalam
peristiwa ini Allah swt., memperingatkan Nabi Muhammad saw., dengan keras
sekali, dan ini diabadikan di dalam Alquran.565
Pembebasan jiwa manusia dari belenggu dirinya sendiri, dan ini merupakan
salah satu penyakit jiwa yang membelenggu kebebasan jiwa manusia, yaitu rasa
menyerah kepada zatnya sendiri, kepada kesenangan dan syahwatnya, kepada
keinginan hawa nafsunya. Pada saat itu muncullah belenggu dari dalam, sedangkan
belenggu di luar telah dipecahkannya, maka terbelenggulah kebebasan jiwa yang
sedang menuju perwujudan keadilan sosial bagi seluruh umat manusia. Islam tidak
lengah terhadap bahaya tersembunyi ini, yang mengancam kebebasan jiwa manusia.
Islam berulang-ulang memperingatkan umat manusia akan bahaya yang
menghancurkan ini. 566 Demikianlah, dalam satu ayat Allah swt., mengumpulkan
segala jenis kesenangan dunia dan titik-titik kelemahan diri manusia, dan disejajarkan
dengan kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya, kecintaan kepada jihad di jalan Allah
swt. Adapun jiwa yang sanggup membebaskan dirinya dari semua belenggu ini,
menurut A. Hasjmy, itulah jiwa yang merdeka. 567
Dengan demikian, hak merupakan unsur normatif yang melekat pada diri
setiap manusia, yang mana dalam penerapannya berada pada ruang lingkup hak
persamaan dan hak kebebasan yang terkait dalam interaksinya antara individu atau
instansi. Hak Asasi Manusia adalah hak dasar yang dimiliki manusia sejak manusia
itu dilahirkan. Hak asasi Manusia dapat dirumuskan sebagai hak yang melekat pada
kodrat hidup sebagai manusia. Hak ini dimiliki oleh manusia semata-mata ia
manusia, bukan karena pemberian masyarakat atau pemberian negara. Maka Hak
Asasi Manusia itu tidak tergantung dari pengakuan manusia lain, masyarakat lain,
atau negara lain. Masalah Hak Asasi Manusia adalah sesuatu hal yang sering kali
dibicarakan dan lebih diperhatikan dalam era reformasi ini. Hak Asasi Manusia lebih
dijunjung tinggi dan lebih diperhatikan dalam era reformasi daripada era sebelumnya.
Perlu diingat bahwa dalam hal pemenuhan hak, kita hidup tidak sendiri dan kita
hidup bersosialisasi dengan orang lain. Jangan sampai kita melakukan pelanggaran

563
Q. S. Al-Hujura>t/ 049: 13. Q. S. Saba„/34: 35-37.
564
Q. S. Al-Kahfi/018: 46.
565
Q. S. „Abasa/080: 1-12.
566
Q. S. At-Taubah/009: 24.
567
A. Hasjmy, Di Mana Letaknya Negara Islam..., h. 60-67.

135
Hak Asasi Manusia terhadap orang lain dalam usaha memperoleh atau pemenuhan
Hak Asasi Manusia pada kita sendiri. 568

B. Pemerintahan dan Kepemimpinan Politik


1. Khali>fah atau Ima>mah
A. Hasjmy berpandangan bahwa, adanya Khila>fah dan Ima>mah perlu
menurut hukum syariat Islam, di mana syara„ telah mewajibkan atas setiap orang
Islam memilih dan mengankat Khali>fah. Apabila pekerjaan ini telah selesai
dilakukannya, selesai pulalah hukum wajib atas mereka, sampai datang saatnya lagi
Khali>fah itu dipecat atau wafat. Adapun dalil yang berdasarkan syariat ini ada enam.
Pertama, Khila>fah adalah Sunnah Fi„liyah yang telah digariskan Rasulullah dengan
amal perbuatan, sehingga menjadi kewajiban kaum Muslimin untuk
melaksanakannya. Kedua, kesepakatan para sahabat, telah ijma„ kaum Muslimin
bahwa para sahabat yang paling mengetahui tujuan Islam, akan keharusan
mengangkat Kepala Negara yang akan menggantikan Rasulullah. Ketiga,
pelaksanaan hukum syariat tergantung pad Khali>fah. Keempat, nash Alquran dan
Sunnah telah mewajibkan pengangkatan Ima>m bagi jamaah.569 Kelima, umat Islam
hanya satu, sesungguhnya Allah swt., telah menjadikan kaum Muslimin sebagai satu
umat, sekalipun berbeda bahasa, jenis, dan bangsa. 570 Keenam, Keharusan satu
negara, sesungguhnya Allah swt., telah menciptakan kaum Muslimin sebagai satu
umat, dan Allah swt., mengharuskan pula hanya ada satu negara dalam kalangan
mereka, yang mana segala pengurusannya harus pula dengan musyawarah. 571 A.
Hasjmy melanjutkan, apabila kaum Muslimin ditetapkan menjadi satu umat dan
mendirikan satu negara, serta memilih seorang pemimpin yang akan mengurus
mereka, maka ditentukan pula kepada mereka supaya terus mengisi lowongan Kepala
Negara Islam kapan saja kosong. Sebagai satu umat dan satu negara, mereka hanya
boleh memilih dan mengangkat seorang Khali>fah (Kepala Negara).572
Menurut Abu H>}asan Ali bin Muh}ammad, atau yang lebih populer dengan al
–Mawardi, sebagaimana telah dikutip oleh A. Hasjmy, menjelaskan bahwa, al-
Ima>mah573 merupakan kepemimpinan yang berlangsung setelah Nabi Muhammad

568
Susani Triwahyuningsih, “Perlindungan Dan Penegakan Hak Asasi Manusia
(Ham) Di Indonesia,” Legal Standing : Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 2, No. 2 (October 23, 2018):
113, http://journal.umpo.ac.id/index.php/LS/article/view/1242. Diakses Tanggal 16 Agustus
2020.
569
Q. S. An-Nisa>„/004: 59.
570
Q. S. Al-Mukminun/023: 52. Q. S. Al-Ambiya„/021: 92.
571
Q. S. Ash-Syu>ra>/026: 38.
572
A. Hasjmy, Di Mana Letaknya Negara Islam..., h. 158-164.
573
Kata Khali>fah dalam wacana fikih siyasah, dan kata Ima>mah biasanya
diidentikkan dengan Kha>lifah. Keduanya menunjukkan pengertian kepemimpinan tertinggi
dalam negara Islam. Istilah Ima>mah lebih banyak digunakan oleh kalangan Syi„ah, sedangkan
istilah Khila>fah lebih cenderung penggunaan dikalangan Sunni. Lihat, Yesi Lisnawati, Aam
Abdussalam, and Wahyu Wibisana, “Konsep Khalīfah Dalam Al-Qur`Ᾱn Dan Implikasinya
Terhadap Tujuan Pendidikan Islam (Studi Maudu‟i Terhadap Konsep Khalīfah Dalam Tafsir
Al-Misbah),” TARBAWY : Indonesian Journal of Islamic Education, Vol. 2, No. 1 (May 5,

136
saw., yang diteruskan oleh para sahabat dan pemimpin umat manusia setelahnya.
Tujuan daripadanya adalah untuk menjaga agama dan mengurus kehidupan dunia. 574
Masalah kepemimpinan atau Ima>mah telah mendapat perhatian besar di kalangan
pemikir dan tokoh agama, sebab menjadi tema penting dalam keberlangsungan umat
agama dari masa-kemasa. Utusan Tuhan (Rasul) penerima wahyu telah menjadi
tokoh utama dibalik konsep kepemimpinan setiap agama, termasuk Islam yang
mendudukkan Rasulullah Saw., sebagai figur sentral dalam memimpin suatu
masyarakat, baik dari lingkup kecil seperti keluarga sampai yang luas setingkat
negara sekalipun. Imam al-Mawardi seorang intelektual Muslim briliant yang pernah
dimiliki kaum Muslimin di era dinasti Abbasiyyah termasuk yang memberi perhatian
penuh terhadap konsep kepemimpinan dalam Islam lewat karya terbaiknya al-ah}ka>m
as-sult}aniyah.
Mengingat semakin berat dan kompleksnya tantangan zaman, di mana para
ulama dan pimpinan umat memegang peranan dan memikul tanggung jawab. Untuk
mengantisipasinya, A. Hasjmy telah hadir sebagai pimpinan dari kalangan ulama
yang memiliki bobot dan kualitas tertentu, di antaranya: pertama, memikili
pengetahuan yang mendalam tentang ilmu agama (tafaquh fiddi>n), terutama masalah
sosial yang berkaitan dengan ajaran agama yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Di samping itu A. Hasjmy juga telah menampilkan
ulama sebagai pemimpin harus menguasai ilmu perkembangan masyarakat dengan
segala kecenderungannya. Ulama dan umara harus tanggap terhadap perubahan-
perubahan sosial, mengikuti perkembangan ilmu dan teknologi serta mampu
menyerap arus informasi. Dalam hubungan ini, para ulama dan pimpinan umat harus
mempunyai kemampuan dalam menguasai bahasa dunia, sehingga mengetahui
berbagai informasi yang tepat dan cepat. Kedua, mampu mengamalkan ilmunya
(ajaran Islam) dan memiliki semangat keagamaan Islam yang tinggi. Jika tidak
demikian, sama saja seperti orientalis yang mengkaji keislaman. Para orientalis
merupakan Islamolog yang mana menurut A. Hasjmy hanya memiliki pengetahuan
yang mendalam tentang Islam, namun mereka bukanlah Islamis, karena tidak
memiliki semangat keislaman, dan tidak melaksanakan ajaran Islam. Dengan
demikian ulama dan pimpinan-pimpinan umat adalah Islamolog dan sekaligus
Islamis. Manifestasinya adalah amal saleh, budi luhur, dan akhlak mulia
Ketiga, mempunyai pendirian yang tetap (istiqamah) terhadap ilmu dan
keyakinannya. Namun dalam semangat yang tinggi dalam membela kebenaran, juga
memiliki toleransi, lapang dada, dan penuh kasih-sayang. Dapat menerima pemikiran
dan gagasan orang lain jika memang baik, benar dan berdasarkan fakta yang sah dan
data yang akurat yang dimiliki orang lain baik dari pemikiran dan gagasannya. 575
Keempat, mampu mengajak dan mempengaruhi masyarakat agar dengan
penuh kesadaran dan kemauan untuk memberikan sumbangan kepada negara dan
bangsanya. Dengan kata lain, mampu mengerahkan dan mengarahkan segenap

2015): 47, http://ejournal.upi.edu/index.php/tarbawy/article/view/3377. Diakses Tanggal 03


Juni 2020.
574
Imam al-Mawardi, al-Ah}kam as-S}ult}aniyah..., h. 5. Lihat, A. Hasjmy, Di Mana
Letaknya Negara Islam..., h. 153.
575
Q. S. An-Nah}l/016: 125.

137
potensi umat dalam menyukseskan pembangunan. Untuk itu pemimpin harus
memiliki tiga kemampuan, yaitu berkomunikasi, memotivasi, dan mengambil
keputusan. Oleh karena itu, ulama sebagai pemimpin masa mendatang, sebagai
pemimpin masyarakat tidak cukup hanya mengandalkan kharisma, tetapi juga
melengkapi diri dengan kemampuan manajerial. Kelima, ulama dan umara sebagai
pimpinan umat adalah tokoh panutan dan juga panutan masyarakat, menjadi tempat
bertanya serta tumpuan dalam setiap menghadapi permasalahan kehidupan.
Keberadaannya diakui serta dihormati oleh masyarakat karena integritas ilmu dan
kepribadian serta kepemimpinannya. Dan juga mampu memberikan jalan keluar dan
kemudahan kepada masyarakat untuk mengatasi permasalahannya. Keenam, para
ulama dan pimpinan umat juga harus memiliki sifat-sifat kepemimpinan, seperti kuat
dalam aqidah, adil dan jujur, berpandangan luas dan tidak fanatik golongan,
mencintai dan mengutamakan kepentingan umat daripada kepentingan pribadi dan
golongan, serta mampu menumbuhkan kerja-sama ide, saran dan kritik, ikhlas dan
bertanggung jawab, serta juga tidak terlepas dari sifat-sifat kepemimpinan lainnya.576
Khila>fah dan Ima>mah577 adalah dua terma yang terkadang diartikan sama,
yaitu mengacu kepada makna kepemimpinan. Istilah Khila>fah lebih banyak dikenal
dipakai untuk mengistilahkan kepemimpinan di dunia Islam Sunni, sedangkan
Ima>mah lebih banyak dipakai di dunia Islam Syi‟ah. Khali>fah dipilih oleh rakyat
ataupun ah}l al h}illi wa al-‘aqdi dan ini bersifat ijtihadi. Adapun Ima>m merupakan
ketetapan Tuhan yang dititipkan kepada Nabi untuk menentukan penerusnya.
Kemudian penentuan selanjutnya ditunjuk oleh Ima>m sebelumnya sesuai dengan
wasiat yang diterimanya. 578 Berbeda dengan A. Hasjmy yang mengatakan bahwa
Khali>fah adalah suatu jabatan pengganti Nabi dalam kepemimpinan negara, di mana
Nabi berfungsi sebagai penyampai amanah dari Allah swt., dan fungsinya sebagai
pelaksana perintah Allah swt., dalam memimpin dunia. Tatkala Rasulullah wafat,
maka berakhirlah fungsinya sebagai Rasul, sementara fungsinya yang kedua masih
tetap, yang harus dilanjutkan oleh umatnya yang sanggup untuk melanjutkan tugas
Rasul dalam persoalan kepemimpinan, maka ia dinamakan dengan Kha>lifah. Atas
dasar inilah Abu Bakar dinamakan dengan “Kha>lifah Rasulullah”, sementara
sebagian ulama menamakannya dengan “Khali>fah Allah”, mengingat Rasul adalah
orang yang menjalankan perintah Allah swt., dan Abu Bakar demikian pula. Karena
itu, baik Rasulullah saw., dan Abu Bakar keduanya adalah Kha>lifah Allah, dan
sementara Abu Bakar sendiri juga memilih nama dengan sebutan “Kha>lifah
Rasulullah”.579
Masyarakat Aceh dalam memahami sejarah kepemimpinan, kecenderungan
dalam mendudukkan keberadaan ulama dengan umara dipahami sebagai dua unsur

576
A. Hasjmy, Aset Sejarah Masa Kini dan Masa Depan: Delapan Puluh Tahun
Melalui Jalan Raya Dunia, Penyusun, Badruzzaman Ismail, dkk, (Jakarta: Bulan Bintang,
1994), h. 51-53.
577
, M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran, (Bandung: Mizan, 1996), h. 422- 424.
578
Ahmad Anas, “Konsep Ima>mah Dalam Perspektif Syi‟ah Ima>miyah,” Empirisma,
Vol. 27, No. 1 (January 11, 2018), https://jurnal.iainkediri.ac.id/inde x.php/empirism a/article
/vie w/739. Diakses Tanggal 06 Juni 2020 .
579
A. Hasjmy, Di Mana Letaknya Negara Islam..., h. 156.

138
yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan kerajaan. Hal ini, dapat dilihat secara
tidak langsung dalam berbagai karya historigrafi tradisional, misalnya busta>n al-
s}alat}i>n, menegaskan bahwa seorang penguasa yang adil, memiliki kecenderungan
keagamaan yang tinggi, dan respek terhadap ulama mampu mencapai tingkat
kemakmuran yang tinggi. Sebaliknya seorang penguasa yang tiran, melanggar ajaran
agama, dan tidak menghormati para ulama mendapat kendala yang signifikan dalam
pemerintahanya, dan bahkan kekuasaannya berakhir secara tragis. Dalam pandangan
dunia masayarakat Aceh, sebagaimana yang diutarakan oleh para ulama, jabatan
seoorang raja/sultan berimplikasi politis dan agama. Artinya seorang penguasa
memiliki otoritas “politik” dan “agama”. Nilai agamis dari posisi ini sesungguhnya
sama dengan yang diformulasikan oleh para pemikir Islam. Adalah melalui lembaga
kenegaraan (kekhalifahan atau kesultanan) ajaran-ajaran Islam dapat dilaksanakan
dengan baik.580
Di salah satu babakan sejarah kebudayaan dan peradaban Islam, peristiwa
arbitrase (tah}kim) pada masa kekhalifahan „Ali ibn Abi Thalib menjadi kulminasi
geliat nalar politik-sektarian Arab-Islam. Peristiwa tersebut seolah menegaskan
adanya pergeseran paradigma politik Islam, dari awalnya sebagai strategi dakwah
menjadi patron bagi geliat konflik sektarian yang lamat-lamat telah menggeliat sejak
kekhalifahan Uthman ibn Affan. Dalam perkembangannya, imajinasi politik-
sektarian dikonstruksi sedemikian rupa melalui justifikasi wacana keagamaan, baik
melalui diskursus tafsir, hadis, teologi, hingga filsafat. Dengan kata lain, konstelasi
politik-sektarian ini terbingkai dalam kerangka teologis. 581
Sementara Harun Nasution memahami, pemicu masalah utama dalam Islam
terkait dengan politik, dan pemicunya bukan karena persoalan teologi. Namun tidak
bisa dipungkiri, ternyata dari persoalan politik. Hal ini, memicu munculnya berbagai
macam aliran dalam pembahasan teologi Islam. 582 Dari persoalan politik inilah,
pemikiran kelompok Kha>warij melahirkan teori “pemberontakan”. 583 Memahami
sifat kepemimpinan seideal mungkin, kelompok Khawa>rij sangat sensitif dalam
memahami konteks dosa, sehingga kesalahan kecil yang dilakukan oleh penguasa
dengan mudah dikatagorikan sebagai orang yang sudah keluar dari dasa-dasar
keislaman, pelaku dosa besar menjadi salah satu pemicu kekuasaan harus dicopot
dari pemimpin terpilih. Persoalan lain yang membuat kelompok ini sangatlah ideal
adalah terkait dengan konsep “persamaan hak” atau disebut dengan al-musa>wah,
serta demokratis dalam memahami nilai-nilai kepemimpinan. Sifat persamaan hak ini
berlaku untuk siapa saja, dari kelompok bangsawan sampai pada seorang budak
hitam sekalipun, baik laki-laki maupun perempuan, keberadaan mereka dipersilahkan

580
Amirul Hadi, Aceh: Sejarah, Budaya dan Tradisi..., h. 161.
581
Fahmy Farid Purnama, “Khawarijisme: Pergulatan Politik Sektarian Dalam Bing-
kai Wacana Agama” Al-A'raf: Jurnal Pemikiran Islam dan Filsafat, Vol. 14, No 2, (Juli-
Desember 2016): 214-232, http://ejournal.iainsurakarta.ac.id/index.php/al-araf/article/vi ew/1
56. Diakses Tanggal 10 Juni 2020.
582
Harun Nasution, Teologi Islam, (Jakarta: Yayasan Penerbit Universitas Indonesia,
1978), h.1.
583
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan,
(Jakarta: UI Perss, 1986), h. 11-12.

139
untuk menduduki posisi di pemerintahan selama mereka punya kecakapan, serta
mampu menjalankan ajaran Islam sebaik mungkin. Pemikiran yang dianggap ekstrem
dari mereka adalah ketika sistem pemerintahan yang dijalankan tidak berpijak pada
dasar-dasar ajaran Islam, memahami ajaran Islam secara literalis juga memicu
kelompok dengan mudah memicu tindakan memberontak kepada penguasa.
Teori Ima>mah, teori ini diperkenalkan oleh kaum Syi„ah, asumsi yang
berkembang dari kalangan Syi„ah berkesimpulan bahwa syariat Islam tidak akan
tegak tanpa berdirinya Ima>mah. Konsep ini memahami tanpa adanya Ima>mah, maka
penafsiran yang lurus akan syariat tidak akan terwujud.584 Ajaran-ajaran yang kita
kenal saat ini sebagai ajaran Syi„ah Dua Belas (itsna> ‘asy‘ariyah), penganut Ima>m
keduabelas, atau Syi„ah Ima>miyah belum dikenal hingga abad ke-10 dan ke-11. Pada
awalnya yang disebut Syi„ah adalah orang yang menolak Umayyah dan Abbasiyah
sebagai pemimpin umat yang sah, karena keduanya dianggap tidak beriman dan
bermoral. Alasan lainnya mereka mengakui sejak wafatnya Nabi Muhammad saw.,
kepemimpinan telah diwariskan kepada Ali dan keturunannya. Mazhab-mazhab
Syi„ah yang ada meyakini berbagai opini yang berbeda, seperti tentang siapa yang
seharusnya menjadi Ima>m pada masa tertentu, dan bagaimana memilih seorang
Ima>m. Satu-satunya persamaan adalah mereka meyakini bahwa Ima>mah merupakan
suatu keniscayaan dalam keyakinan dan prilaku Muslim.585
Berlawanan dengan pendapat Syi„ah yang mengharuskan Kepala Negara
Islam adalah orang yang terbebas dari dosa (ma„sum). Dalam hal ini, A. Hasjmy
menekankan bahwa, Kepala Negara Islam adalah pelaksana ajaran Islam, yang tidak
sunyi dari kesalahan dan kekhilafan, sebagaimana halnya manusia lain. Islam tidak
membebaskan Khali>fah dari tanggung jawab pelaksanaan hukum agama. Khali>fah
dalam kedudukan hukumnya sama dengan semua warga negara yang lain, yang kalau
berbuat kesalahan akan dihukum sesuai dengan besar kecil kesalahanya. Rasulullah
saw., adalah seorang Nabi juga merangkap seorang Kepala Negara Islam. Dalam hal
ini, beliau tidak pernah menyatakan kesucian dirinya, ataupun keistimewaan sifat-
sifat manusianya. 586
Adapun Khila>fah, Mulk, dan Ima>mah, menurut A. Hasjmy adalah kata-kata
yang serupa dalam pengertian “kepemimpinan tertinggi bagi negara”.587 A. Hasjmy
mengemukakan, ditinjau dari konteks sejarah, lahirnya teori tentang Ima>mah,
dipelopori oleh kelompok Syi„ah. Mereka berpendapat bahwa, Ima>mah tidak hanya
berbicara tentang konsep pemerintahan, melainkan juga dipahami sebagai
rangcangan dari Tuhan, suatu kepercayaan yang dianggap sebagai penegasan
keimanan. Dalam catatan-catatan literasi kaum Syi„ah, nyaris secara konsisten
mengulang-ngulang pernyataan tentang pentingnya Ima>mah yang absolut dengan

584
James Moore, “The Sunni and Shia Schism: Religion, Islamic Politics, and Why
Americans Need to Know the Differences,” The Social Studies, Vol. 106, No. 5 (2015): 226-
235, http://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/00377996.201 5.1059794. Diakses Tangg
al 6 Juni 2020.
585
Antony Black, Pemikiran Politik Islam: Dari Masa Nabi Hingga Masa Kini..., h.
89.
586
A. Hasjmy, Di Mana Letaknya Negara Islam..., h. 200-201.
587
A. Hasjmy, Di Mana Letaknya Negara Islam..., h. 96.

141
bersandar pada hadis kontroversil yang menyebutkan, “siapapun yang meninggal
dunia tanpa mengenal Ima>mah yang benar pada masanya, berarti ia meninggal
sebagai orang yang tidak beriman”.588
Menurut A. Hasjmy, Khali>fah dalam istilah Syi„ah yang disebut dengan
Ima>m dikuasai oleh Sayyidina „Ali setelah wafatnya Rasulullah saw., dan berturut-
turut Ima>m telah ditetapkan oleh Allah swt., dari turunan „Ali. Penekanan dokrin
Syi„ah mentaati Ima>m sebagian daripada iman. Ima>m menurut ajaran mereka adalah
guru tertinggi yang terbebas dari dosa (ma„sum). Ima>m yang pertama adalah Ali
telah mewarisi ilmu dari Nabi, dia manusia luar biasa yang tidak mungkin salah.
Menurut ajaran Syi„ah, ada dua macam ilmu yang dipahami oleh mereka, ilmu lahir
dan ilmu batin. Nabi telah mengajarkan kepada Ali kedua macam ilmu ini, telah
memperlihatkan kepadanya segala rahasia alam, yang sudah berlalu dan yang akan
datang. Kelompok Syi„ah yang mulanya hanya bergerak dalam bidang politik,
kemudian lama kelamaan mereka juga mempunyai mazhab dalam fiqh (hukum),
pendapat dalam filsafat, ajaran dalam tasawuf, dan keyakinan dalam aqidah. 589
Teorisasi politik Sunni dimulai sejak abad XI dan XII, ditandai dengan
berlimpahnya produksi karya tulis dalam bidang politik, dan ini menjadi fenomena
yang cukup unik dalam sejarah Islam. Hal ini, terjadi mungkin karena pilihan-pilihan
politik yang strategis mulai terbuka lebar, dan masyarakat pembaca menyambut baik
karya-karya semacam itu. Islam tradisionalis (Sunni) telah mengembangkan struktur
bersel-selnya pada masa Abbasiyah dan pada masa Dinasti Buwaih yang Syi„ah.
Sebuah strategi politik keagamaan yang bercakupan luas dimasukkan ke dalam
sistem hukum dan peraturan yang dijalankan oleh rezim-rezim penguasa. Sampai saat
ini telah nyata terlihat, bagaimana pasal-pasal yang mendasar telah disusun di dalam
ilmu fiqh, sementara strategi kekhalifahan dibuat frustasi oleh perlawanan dari
kalangan Ahlussunnah, dan oleh pencaplokan kekuasaan yang dilakukan oleh
pasukan pengawal Turki. Kaum Sunni mengembangkan strategi pemisahan radikal
antara otoritas agama dan otoritas politik. Otoritas agama membentuk sebagian besar
tubuh sosial dan menjadi wilayah kekuasaan Para Ulama, sedangkan otoritas politik
didukung oleh kekuatan militer. 590
Memahami teori Khila>fah kelompok Sunni, pandangan kekhalifahan
Ahlussunah dikembangkan lebih jauh oleh seorang pengikut as-Syafi„i, yaitu Abu
H}asan Ali al-Mawardi. Bertolak belakang dengan Hambali, al-Mawardi berusaha
mengatasi kesenjangan yang sangat tajam antara kepemimpinan agama dan
kekuasaan koersif,591 dengan cara menghubungkan kembali para penguasa de-facto
para Sultan dan Amir dengan kekhalifahan Abbasiyah. Al-Mawardi berusaha

588
Hasan Basri, Melampaui Islam Substantif: Biografi Politik A. Hasjmy..., h. 227.
589
A. Hasjmy, Syi‗ah dan Ahlussunnah: Saling Rebut Pengaruh dan Kekuasaan Sejak
Awal Sejarah Islam di Kepulauan Nusantara..., h. 39-40.
590
Antony Black, Pemikiran Politik Islam: Dari Masa Nabi Hingga Masa Kini..., h.
163.
591
Coercif Power merupakan kekuasan yang diperoleh karena seseorang atau sekelo-
mpok orang yang mempergunakan kekerasan dan kekuatan fisik serta senjatanya untuk
memerintah pihak lain. Lihat, Inu Kencana Syafe‟I, Filsafat Politik (Bandung, bandar Maju,
2005), h. 215-216.

141
menjelaskan antara keduanya dalam kerangka syariat, sehingga memasukkan
keduanya ke dalam sistem agama. Al-Mawardi merupakan seorang ahli hukum
reformis, yang punya obsesi untuk menghadaptasikan selama dimungkinkan syariat
dengan keadaan masyarakat. 592
Al-Mawardi beserta para ahli hukum teoritis dari kalangan Sunni yang
muncul belakangan telah merumuskan kualifikasi keistimewaan dan fungsi seorang
Khali>fah. Kualifikasi seorang Khali>fah yang dikemukakan oleh al-Mawardi di
antaranya berketurunan Qurays, laki-laki dewasa, sehat badan dan pikiran, berani,
bertenaga, serta sifat-sifat utama lainnya yang dipandang penting untuk
mempertahankan wilayah, serta memperoleh pengakuan dari masyarakat melalui
bai„at. Di sisi lain, kalangan Syi„ah yang tidak memiliki konsep kekhalifahan, tapi
Ima>mah membatasi jaban kekhalifahan hanya untuk keturunan Ali yang mereka
kleim telah ditunjuk oleh Nabi Muhammad saw., sebagai penerusnya berdasarkan
ketentuan Tuhan (nash). Kualifikasi ini diwariskan secara turun temurun kepada
turunannya yang telah ditakdirkan oleh Tuhan untuk menduduki jabatan
kekhakifahan. Di antara fungsi-fungsi Khali>fah menurut mazhab Sunni adalah,
pertama, melindungi dan mempertahankan keimanan dan wilayah Islam 593 (terutama
didua tempat suci al-h}aramayn-Mekkah dan Madinah), serta jika dalam keadaan
memaksa, menyatakan Perang Suci (jiha>d). Kedua, mengangkat pejabat negara.
Ketiga, menarik pajak dan mengatur dana masyarakat. Keempat, menghukum orang-
orang yang melanggar hukum dan menegakkan keadilan. Sementara keismtimewaan
seorang Kha>lifah meliputi, pertama, penyebutan namanya disetiap khutbah jum„at
dan pada keping mata uang. Kedua, penggunaan burdah (jubah Nabi) dalam berbagai
perhelatan penting kenegaraan. Ketiga, pengurusan relik-relik suci seperti perabotan,
stempel, sepatu, gigi, dan rambut yang dikleim sebagai milik Nabi Muhammad
saw.594
Menurut kelompok Sunni, mengangkat Kepala Negara merupakan kewajiban
berdasarkan syariat. Untuk melegitimasi pandangan tersebut, kelompok Sunni
mengemukakan tiga argumentasi yaitu: Pertama, berdasarkan Alquran.595 Kedua,
berdasarkan Hadist Nabi.596 Ketiga, berdasarkan ijma‟ sahabat dan tabi„in. Dalil

592
Antony Black, Pemikiran Politik Islam: Dari Masa Nabi Hingga Masa Kini..., h.
170.
593
Dalam Bahasa Arab, kata “wilayah” berakar dari kata wali yang menurut istilah
kalangan leksikograf Arab terkemuka merupakan unit terkecil dalam bahasa yang
mengandung makna tunggal; kedekatan daya tarik/hubungan dekat/persamaan/pertalian.
Dalam bahasa Arab terdapat tiga makna yang tercatat untuk kata “wali” pertama, bermakna
teman. Kedua, bermakna setia/berbakti. Ketiga, Pendukung atau Penyokong. Di samping
ketiga arti ini, dua arti lain disebutkan untuk kata “wilayah”. Pertama kekuasaan (tertinggi)
dan penguasaan. Kedua, kepemimpinan dan pemerintahan. Lihat, Teherani, Negara Ilahiyah:
Suara Tuhan, Suara Rakyat, (Jakarta: Al-Huda, 2005), h. 38.
594
Philip K. Hitti, History of The Arab..., h. 231-232.
595
Q. S. An-Nisa„/004: 59.
596
Artinya, “Tidak boleh tiga orang berada di suatu tempat di muka bumi ini,
kecuali bila mereka memilih salah seorang di antaranya sebagai pemimpinnya‛. (H.R
Ahmad). Lihat, Ibnu Ahmad bin Hambal, Musnad al-Ima>m Ah}mad Ibnu Hambal, jilid 2.
(Cairo: Dar al-Fikr, t.th), h. 177. Dalam, Muhammad Amin, “Pemikiran Politik Al-Mawardi”,

142
ketiga ini disepakati saat Abu Bakar berpidato di Masjid, bertepatan dengan
pelantikannya oleh seluruh umat Islam, guna mempertegas pembai„atannya yang
telah dilakukan oleh para sahabat lain, di Tsaqifah Bani Saidah. 597 Al-Mawardi,
menguraikan argumentasinya bahwa, sumber kekuasaan tidak dilihat dari perspektif
teokrasi, melainkan berdasarkan perjanjian antara pemimpin negara dengan rakyat.
Sekilas seperti teori kontrak sosial. 598 Berdasarkan perjanjian tersebut akan terbentuk
hubungan timbal balik. Dari hubungan timbal balik tersebut menjadikan posisi
kekuasaan tidak dipahami sakral, sebagaimana kekuasaan yang dipahami dalam
konsep teokrasi. Dari hubungan timbal balik ini, kekuasaan yang telah diberikan oleh
rakyat kepada penguasa dipahami sebagai hak pengelola, ketika Kepala Negara tidak
mampu menjalankan roda pemerintahan sesuai dengan perjanjian sebelumnya, maka
rakyat memiliki hak untuk menurunkan Kepala Pemerintahan yang telah dipilih.
Sebaliknya, al-Mawardi juga beranggapan taat kepada pemimpin merupakan
kewajiban bagi rakyat, walaupun pemimpin terpilih adalah seorang yang jahat. 599
Dengan demikian, jabatan Kepala Negara dianggap sah dengan dua cara pertama,
pemilihan oleh ah}l al h}alli wa al ‘aqdi (majlis syu>ra). Kedua, penunjukan oleh Kepala
Negara sebelumnya.600
Gagasan Sunni yang paling jelas tentang kehidupan politik dijelaskan dalam
sebuah buku yang berjudul bah}r al-fawa‗id,601 menurut buku ini, pemerintahan harus
dilaksanakan sesuai dengan syariat, raja tidak boleh mengambil pajak di luar syariat,
ia harus menerapkan keadilan dalam sidang terbuka, dan seperti yang dikatakan
orang, tidak bertindak berdasarkan aturan yang dibuat sekehendak hatinya sendiri.
Dalam hal ini, penulis mengutarakan “wahai Amir, seluruh keadilan raja terangkum
dalam satu rumusan, dalam urusan perpajakan dan peradilan, ia harus menghargai
hak setiap orang, dan bertindak menurut ketentuan syariat”. Ungkapan bahwa agama
dan negara sodara kembar bermakna bahwa, ulama dan raja harus bekerja sama. Raja

Vol. 4, No. 2 (2016): 117-136, https://journal.uin-alauddin.ac.id/index.php/jpp/art icle/view/2


744. Diakses Tanggal 15 Juni 2020.
597
Muhammad Amin, “Pemikiran Politik Al-Mawardi”, Vol. 4, No. 2 (2016): 117-
136, https://journal.uin-alauddin.ac.id/index.php/jpp/article/view/2 744. Diakses Tanggal 15
Juni 2020.
598
Menurut Rousseau teori Kontrak Sosial adalah masing-masing individu
melimpahkan segala hak perorangannya kepada komunitas sebagai satu keutuhan. Dengan itu,
segala hak alamiah, termasuk kebebasan penuh untuk berbuat sekehendak hati seseorang
pindah ke komunitas, atau dengan kata lain, kehidupan bersama dengan sendirinya menuntut
kebebasan masing-masing orang dibatasi demi hak dan kebebasan orang lain yang sama
bersarnanya, juga oleh tuntutan kehidupan bersama. Lihat, Idrus Ruslan, “Pemikiran “Kontrak
Sosial” Jean Jacques Rousseau Dan Masa Depan Umat Beragama” AL-ADYAN, Vol. 8, N0. 2,
(Juli-Desember 2013), https://www.nelit i.com/id/publications/56540/pemikira n-kontrak-sosi
al-jean-jacques-rousseau-dan-masa-depan-umat-beragama. Diakses Tanggal 15 Juni 2020
599
Al-Mawardi, Al-Ah}ka>mu Al-Sulthaniyah, (Beirut: Dar Al-Fikr, TT), h. 5.
600
Muhammad Amin, Pemikiran Politik Al-Mawardi, Vol. 4, No. 2 (2016): 117-136,
https://journal.uin-alauddin.ac.id/index.php/jpp/article/view/2744. Diakses Tanggal 15 Juni
2020.
601
“Lautan kebijakan”, karya yang ditulis dalam bahasa persia pada tahun 1159-1162
di Suriah oleh seorang Sunni bermazhab Syafe„i.

143
harus menghormati ulama sebagai pewaris Nabi dengan berkonsultasi kepada mereka
secara teratur. Bahkan dalam hal ini, Para Raja-raja Romawi dan bangsa Franka
melakukan segala sesuatu yang dilakukan oleh tokoh agama mereka.602
Teori-teori politik Sunni berangkat dari pemikiran yang dituangkan oleh al-
Mawardi dalam karya monumentalnya, al-ah}ka>m al-Sultha>niyyah.603 Secara garis
besar, sketsa teori Khi>lafah dalam Islam. Pertama, landasan konstitusional bahwa,
lembaga-lembaga kekhalifahan dianggap sebagai suatu tuntutan syariat, bukan
kehendak akal manusia. Kedua, proses konstitusi menegaskan bahwa, lembaga
kekhalifahan diatur dengan tata cara pemilihan, namun pemilihan itu terbatas pada
dewan pemilih yang terdiri dari orang-orang tertentu dengan syarat-syarat yang telah
ditentukan seperti jujur, berpengetahuan luas, dan adil. Dalam hal ini, dibenarkan
adanya pemilihan calon yang kurang memenuhi syarat, meski ada calon lain yang
lebih memenuhi syarat. Kemudian Khali>fah dipilih,604 dan dilantik karena dia
ditunjuk oleh Khali>fah yang sedang berkuasa.
Ketiga, berbagai syarat dan kewajiban Khali>fah. Untuk mengendalikan
pemerintahan secara efesien, maka Khali>fah harus memenuhi tujuh kriteria: adil,
berpengetahuan luas, sehat mental dan fisik, berani, cepat mengambil keputusan, dan
berasal dari suku Qurays. Seorang Khali>fah atau Ima>m disyaratkan juga wajib
melaksanakan sepuluh tugas utama: membela dan mempertahankan prinsip-prinsip
agama, mengutamakan keadilan yang sesuai dengan syariat, memelihara hukum dan
tata tertib, mensyaratkan hukum-hukum Alquran, mengorganisir dan melaksanakan
jihad, menangkal atau mempertahankan serbuan musuh dari luar, menghimpun pajak
menurut syariat, memungut uang dari Bait al Ma>l (khas negara) untuk didistribusikan
kepada yang berhak menerimanya (mustah}iq), menunjuk para pegawai pemerintah
yang jujur dan ikhlas, dan memberikan petunjuk serta melaksanakan pengawasan
(supervisi). Keempat, hak untuk menentang kekuasaan. jika seorang Khali>fah dan
memegang kekuasaan, maka kepatuhan kepadanya tidak hanya dalam tugas politik,
tetapi juga dalam kewajiban agama. Namun seorang Khali>fah juga dapat kehilangan

602
Antony Black, Pemikiran Politik Islam: Dari Masa Nabi Hingga Masa Kini..., h.
214.
603
Karya utamanya tentang politik, kita>b al-Ah}kam al-Sultha>niyyah (Prinsip-Prinsip
ordonansi/peraturan Kekuasaan), merupakan karya dari genre fikih, yang ditulis antara tahun
1045 dan 1058, persis ketika Saljuk menduduki kekuasaan di jantung negara Abbasiyah.
Dalam kitabnya al-Mawardi mengatakan bahwa, ia menulis karya itu berdasarkan perintah al-
Qa>„im, yang ingin “memahami pandangan para fukaha dan prinsip-prinsip yang menetapkan
hak-haknya, agar ia bisa menjalankan dengan tepat, dan mengetahui kewajibannya, agar ia
bisa melaksanakan dengan sempurna, semua itu bertujuan untuk menunjukkan keadilan dalam
pelaksanaan dan penilaian hukum, serta didorong oleh keinginan untuk menghargai hak-hak
setiap orang dalam hubungan yang saling menguntungkan”. Ungkapan ini merupakan bagian
dari strategi al-Qa>im untuk membela kekuasaannya dalam kerangka fikih, namun dalam
karyanya itu, tampak bahwa, al-Mawardi semata-mata mengekspresikan pandangannya
sendiri. Lihat, Antony Black, Pemikiran Politik Islam: Dari Masa Nabi Hingga Masa Kini...,
h. 170.
604
M Al Qautsar Pratama, “Kepemimpinan Dan Konsep Ketatanegaraan Umar Ibn Al-
Khattab,” JUSPI (Jurnal Sejarah Peradaban Islam), Vol. 2, No.. 1 (July 31, 2018): 5 9, http:/
/jurnal.uinsu.ac.id/index.php/juspi/article/view/1496. Diakses Tanggal 16 Juni 2020.

144
kekuasaannya jika terdapat perobahan moral yang menodai kepribadian dan akhlak
serta keimanannya, atau bila ia mengalami gangguan mental dan fisik. Di sini al-
Mawardi tidak mempercayai hak pemerintahan yang mutlak, menurutnya ketaatan
merupakan suatu keharusan. 605
Masalah yang sering diperselisihkan oleh umat adalah tentang siapa yang
berhak memimpin, dan bagaimana cara memilihnya. Kedua persolan ini tidak hanya
menjadi sumber perpecahan antara dua aliran utama dalam Islam sepanjang sejarah
sampai masa sekarang yakni Sunni dan Syi„ah, tetapi juga menjadi pokok masalah
bagi beberapa sekte lainnya yang sebagian di antaranya bertahan selama berabad-
abad, sekte-sekte itupun menyatakan keberadaan mereka dengan merujuk pada
peristiwa-peristiwa itu. perpecahan ini menyiratkan karakter politik yang mendasari
periode awal sejarah Islam. 606
Khali>fah yang telah diberikan amanah dalam memimpin, untuk memimpin
dan mengurus urusan manusia dalam suatu wilayah tidaklah diangkat tanpa
berdasarkan kriteria tertentu. Mengangkat seorang Khali>fah memiliki alasan yang
mendasar. Beberapa alasan dan keutamaan yang harus dimiliki oleh seorang Khali>fah
sebagaimana yang diinformasikan dalam Alquran. Terdapat beberapa faktor utama,
di antaranya. Pertama, Khali>fah harus memiliki dan mendapatkan pengajaran dan
hikmah dari Allah swt., sebagaimana Nabi Adam as., sebelum diangkat menjadi
Khali>fah sudah mendapatkan pembekalan ilmu.607 Dan begitu juga dengan Nabi
Daud as.608 Kedua, yang memiliki fisik yang kuat serta memiliki sifat kejujuran. 609
Ketiga, memiliki sifat keadilan dan mampu mengarahkan kepada jalan yang lurus. 610
Kaum Sunni (tradisionalis) yang meyakini bahwa, pemimpin harus dipilih
(dalam beberapa pengertian) dari suku Qurays, pada akhirnya menjadikan periode
Madinah dan masa kekuasaan empat pemimpin “yang benar” (khulafa> al-ra>syidu>n)
sebagai model dan standar bagi perkembangan politik Islam. Sedangkan kaum Syi„ah
meyakini bahwa Ali merupakan satu-satunya pengganti Nabi Muhammad saw., yang
sah dengan dasar bahwa ia telah ditetapkan oleh Nabi sebagai penerusnya melalui
“penunjukan nash”. Mereka meyakini bahwa, kepemimpinan (Ima>mah) yang
merupakan milik keturunan langsung Nabi Muhammad saw., yang dimulai dari
Husain putra Ali dan seterusnya telah dirancang dan ditetapkan oleh
pendahulunya.611
Adapun kriteria kepemimpinan yang berhak untuk dipilih menjadi pemimpin
(Ima>m) menurut al-Mawardi. Pertama, bersifat adil. Kedua, mempunyai kapasitas
keilmuan berkapasitas ijtihad, dalam rangka mampu menempatkan permasalahan

605
Hasan Basri, Melampaui Islam Substantif: Biografi Politik A. Hasjmy..., h. 230-
231.
606
Antony Black, Pemikiran Politik Islam: Dari Masa Nabi Hingga Masa Kini..., h.
47-48.
607
Q. S. Al-Baqarah/002: 31.
608
Q. S. Al-Baqarah/002: 251.
609
Q. S. Al-Qas}as}/028: 26.
610
Q. S. S}ad/038: 22.
611
Antony Black, Pemikiran Politik Islam: Dari Masa Nabi Hingga Masa Kini..., h.
48.

145
hukum-hukum dan menjawab persoalan kontemporer. Ketiga, Sehat jasmani, seperti
lisan, penglihatan, pendengaran, supaya tidak mendapatkan kendala psikologis
dalam menjalankan tugas kepemimpinan. Keempat, normal dalam pengertian tidak
cacat fisik yang mengganggu dalam bergerak. Kelima, memiliki sifat kebijaksanaan
dalam hal berfikir, mengurus, dan mengatur sesuatu yang menyangkut dengan
kepentingan rakyat. Keenam, memiliki sifat keberanian, baik dalam melindungi
kedaulatan negara maupun menghadapi musuh. Ketujuh, memiliki nasab yang berasal
dari suku Qurays. Dalam hal ini, al-Mawardi berpedoman pada hadis Nabi
Muhammad saw., ‫" األئمة من قريش‬Pemimpin-pemimpin itu berasal dari Quraisy".612
Pada umumnya ulama yang dikutip oleh A. Hasjmy, dalam mengungkapkan
tentang konsep kepemimpinan dalam Islam, sepaham tentang syarat-syarat umum
untuk menjadi Khali>fah, kecuali tentang syarat-syarat turunan Qurays dan prinsip.
Mengenai dengan syarat ini, tidak semua ulama menyetujuinya sebagai syarat
mutlak, namun hanya disetujui sebagai syarat tambahan yang bersifat kesempurnaan.
A. Hasjmy, salah satu yang berprinsip tidak menyetujui kedua syarat tersebut sebagai
syarat mutlak, karena bertentangan dengan prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia yang
diakui Islam dengan nash yang pasti. Di sini A. Hasjmy berbeda dari pakar-pakar
politik sebelumnya, semisal al-Mawardi, ibnu Khaldun, dan Muhammad Rasyid
Ridha. Perbedaan pendapat A. Hasjmy, dengan para pendahulunya menjadikannya
sebagai tokoh akomodatif dan responsif terhadap perkembangan zaman, dan
sekaligus memahami syariat Islam sebagai ajaran yang universal. Dengan demikian,
A. Hasjmy menetapkan kriteria calon pemimpin secara umum dengan tiga
kualifikasi. Pertama, keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Kedua, mempunyai
ilmu pengetahuan yang luas. Ketiga, mempunyai amal saleh dan berakhlak mulia. 613
Sebagaimana dipahami oleh A. Hasjmy, jika saja terdapat beberapa hadis
yang pada lahirnya nampak seakan-akan mensyaratkan kusus turunan Qurays dan
laki-laki yang boleh menjadi Khali>fah, maka hadis-hadis tersebut kemungkinan untuk
maksud terbatas, baik terbatas dengan waktu dan kondisional, serta tempat. Jika saja
bukan demikian, keberadaan hadis tersebut bertentangan dengan nash-nash Alquran
dan hadis-hadis Nabi yang lain, yang dengan tegas mempersamakan derajat dan
kedudukan laki-laki dan perempuandalam masyarakat, kecuali dalam hal-hal
teretentu yang berhubungan dengan perbedaan fisik dan watak. Di sini, A. Hasjmy
menekankan bahwa, hadis-hadis seakan-akan menjadikan turunan Qurays dan laki-
laki sebagai syarat-syarat bagi seorang Khali>fah adalah dimaksud untuk hal-hal kusus
dalam jangka waktu tertentu.614
Menurut ketentuan syariat Islam, A. Hasjmy mengutarakan bahwa, Khali>fah
adalah wakil dan abdi rakyat, yang bertugas menjalankan hukum Allah swt., dan
memimpin umat dalam batas ajaran Islam. Kedua tugas Khali>fah ini sifatnya tetap,
selama umat Islam masih ada. Karena itu, jabatan Khali>fah wakil umat tiada terbatas
dengan waktu, tetap terus bisa berlanjut sepanjang umur Khali>fah dan selama dia
masih sanggup serta tidak dilakukan hal-hal yang mengharuskan dia dipecat. Dalam

612
Imam al-Mawardi, al-Ah}kam as-S}ult}aniyah, (Beirut: Da>r el-Fikri, 1960), h. 6.
613
A. Gazhazali, Biografi Prof. Tgk. H. Ali Hasjmy, (Jakarta: Socialia, 1978), h. 118.
Dalam, Hasan Basri, Melampaui Islam Substantif: Biografi Politik A. Hasjmy..., h. 237.
614
A. Hasjmy, Di Mana Letaknya Negara Islam..., h. 169.

146
pada itu, Khali>fah sendiri boleh meminta berhenti kapan dia merasa tidak sanggup
lagi atau ada alasan-alasan yang lain. Demikian pula rakyat, kapan saja boleh
memecat Khali>fah apabila dilihatnya telah berubah dari keadaan semula. Seseorang
baru boleh dipilih dan diangkat menjadi Khali>fah apabila syarat-syarat tertentu.
Maka, jika saja syarat-syarat tersebut sudah tidak adalagi, berhaklah rakyat
memberhentikan Khali>fah itu kembali. 615
Menurut A. Hasmy, Sebagaimana telah dijelaskan dalam sejarah pemikiran
politik Islam, kehadiran Nabi Muhammad saw., bukan hanya sebagai Rasul, namun
juga hadir sebagai Kepala Pemerintahan atau Kepala Negara. Sebagai seorang Nabi,
Nabi Muhammad saw., adalah sebagai penyampai wahyu Ilahi, dan ajaran yang
diterimanya dari Allah swt., kepada manusia. Dan sebagai Kepala Negara Nabi
Muhammad saw., bertugas untuk menegakkan agama dan hukum syariat dalam
rangka membimbing pribadi dan jamaah umat, serta mengurus kepentingan mereka
dalam batas-batas ajaran Allah swt. Setelah Rasulullah saw., wafat, maka wahyu pun
berhenti, dan sempurnalah Islam dengan syariat-Nya, Alquran dan sunnah menjadi
pedoman dasar mutlak. Posisi Nabi Muhammad saw., sebagai Rasul tidak boleh
diganti. Sementara tugas yang belum selesai, dan tidak akan selesai selama dunia
masih berkembang, yaitu tugasnya sebagai Kepala Negara. Selama umat manusia
masih ada, selama itu pula Islam dengan syariatnya perlu ditegakkan, untuk
kebahagiaan mereka di dunia dan di akhirat, untuk melaksanakan tugasnya yang
kedua ini, yang mana pada hakikatnya menjadi inti tujuan Islam. Maka dengan
demikian, perlu ada pengganti Nabi Muhammad saw., terus menerus yang bertugas
memimpin umat, rohani, dan jasmani. Pengganti Rasul sebagaimana yang sudah
dipaparkan, dalam istilah Islam dinamakan Khali>fah, dan jabatannya bermakna
khila>fah (al-ima>mah al-kubra>).616
Terkait dengan kedudukan Khali>fah, menurut A. Hasjmy dalam Islam tidak
dipahami sebagai kelompok orang suci. Kepala Negara Islam adalah pelaksana ajaran
Islam, yang mana keberadaan Khali>fah tidak sunyi dari kesalahan dan kesilapan,
sebagaimana halnya manusia yang lain. Islam tidak membebaskan Khali>fah dari
tanggung jawab pelaksanaan hukum agama. Khali>fah dalam kedudukan hukumnya
sama dengan semua warga negara yang lain, yang mana jika saja berbuat kesalahan
akan dihukum, sesuai dengan besar dan kecil kesalahan tersebut.617 Untuk menjadi
Ima>m seseorang tidak perlu, seperti kata Syi„ah, terbebas dari kemungkinan
melakukan kesalahan (ma‘shu>m) atau memiliki karakter yang istimewa, menurut al-
Baqillani, “cukup memiliki pandangan yang tegas tentang perang, dan mampu
menenganahi perselisihan”. Karena itu, dasar-dasar untuk memecat Khali>fah, banyak
dikurangi. Al-Baqillani melanjutkan bahwa, bai‗at dapat dicabut kembali hanya jika
Khali>fah melakukan bid„ah, melakukan kejahatan serius, (yang tidak dapat diterima
oleh kebanyakan fuqaha Sunni), secara fisik tidak mampu, atau karena ditawan
(sebuah pertimbangan yang berhubungan dengan ancaman dari Fathimiyah).
Karakteristik umum dan signifikan dari pemikiran Sunni adalah bahwa tak ada
prosedur baku untuk memecat Khali>fah. Pendekatan mereka yang kering dan tentu

615
A. Hasjmy, Di Mana Letaknya Negara Islam..., h. 203.
616
A. Hasjmy, Di Mana Letaknya Negara Islam..., h. 152.
617
A. Hasjmy, Di Mana Letaknya Negara Islam..., h. 200.

147
saja, legalistik bertolak belakang dengan teori ima>mah yang cenderung metafisik
yang diyakini oleh para pengikut Syi„ah dan sebagian filsuf.

2. Pemilihan dan Pengangkatan Khali>fah


A. Hasjmy mengutarakan, pemilihan Khali>fah yang telah terjadi dalam
sejarah politik Islam pada garis besarnya melalui tiga jalan. Pertama, pemilihan oleh
mereka yang berhak memilih. Kedua, penyerahan kekuasaan oleh Khali>fah terdahulu
kepada putranya atau anggota keluarganya yang lain, atau lazim disebut wali> al-‘ahdi
(putra mahkota). Dan ketiga, perebutan jabatan jabatan Khali>fah oleh seseorang
dengan kekerasan. Yang demikian adalah cara yang pernah terjadi sepanjang
perjalanan sejarah Islam. Pada kenyataannya jabatan Khali>fah, menurut pandangan
Islam merupakan hak semua Muslim. Berdasarkan hak tersebut kaum Muslimin
mempunyai hak untuk memilih Khali>fahnya sesuai dengan ajaran yang tidak
bertentangan dengan ketetapan prinsip yang telah digariskan oleh Islam. 618
Persoalan krusial yang dihadapi oleh umat Islam setelah Nabi Muhammad
saw., wafat adalah masalah kepemimpinan. Siapa yang bakal menggantikannya
sebagai pemimpin umat. Persoalan ini, dikarenakan Alquan dan hadis Nabi tidak
tegas dan rinci menjelaskan bagaimana dan bentuk pemerintahan yang harus
dijalankan oleh umat Islam setelah Nabi wafat. Hal ini, menimbulkan berbagai
penafsiran dan pendapat yang pada giliran berikutnya akan mempengaruhi substansi
pemikiran mereka mengenai konsepsi tentang negara.619 Mengenai konstitusi
pemerintahan al-Ghazali mengatakan bahwa Khali>fah sebaiknya dipilih, bahkan bila
hanya oleh satu pemilih saja. 620 Pemilihan harus dilanjutkan dengan membuat
kontrak setia (bai„ah) dari tokoh-tokoh penting kelompok orang yang melepas dan
mengikat (ah}lu al h}illi wal ‘aqdi)”.621 Lambton, sebagaimana dikutip oleh Antony
Black, “dalam peristilahan konkritnya” menyatakan bahwa, Khali>fah yang
penunjukannya sebagai pemimpin diakui oleh Raja Saljuk, para komandan, dan
pejabat tinggi birokrasi, pada akhirnya juga harus disetujui oleh para ulama. Dengan
proses formalnya mengikuti syariat, namun kekuatan konstituennya tetap berada di
tangan Sultan.622
Setelah Nabi Muhammad saw., wafat, diasumsikan bahwa seseorang harus
menggantikan perannya sebagai pemimpin (Ima>m) komunitas sekaligus sebagai
618
A. Hasjmy, Di Mana Letaknya Negara Islam..., h. 169-170. Dalam, Hasan Basri,
Melampaui Islam Substantif: Biografi Politik A. Hasjmy..., h. 237.
619
Usman, “Negara Dan Fungsinya (Tela 'Ah Atas Pemikiran Politik,” Al-Daulah,
Vol. 4, No. 1 (Juni 2015): 130-139 http://journal.uin-alauddin.ac.id/index.php/al_daulah/artic
le/download/1506/1445. Diakses Tanggal 11 Mei 2020.
620
Antony Black, Pemikiran Politik Islam: Dari Masa Nabi Hingga Masa Kini..., h.
202.
621
Mazro‟atus Sa‟adah, “Pemikiran Suksesi Dalam Politik Islam Masa Pra Modern,”
Al-Tahrir: Jurnal Pemikiran Islam, Vol. 16, No. 2 (December 27, 2016): 363, http://jurnal.sta
in ponorogo.ac.id/index.php/tahrir/articl e/view/469. Diakses Tanggal 11 Mei 2020.
622
Lambton, Ann K. S., State and Government in Medieval Islam: an Introduction
to the Study of Islamic Political Thought: the Jurists, (Oxford: University Press, 1981), h.
114-117. Dalam, Antony Black, Pemikiran Politik Islam: Dari Masa Nabi Hingga Masa
Kini..., h. 203.

148
Khali>fah. Selain asumsi itu, nyaris tidak ada pesan lain terhadap tentang masalah
kepemimpinan politik, atau struktur negara. Penetapan masalah itu hanya bisa
dilakukan oleh seorang Rasul yang memimpin konfederasi berbagai suku
berdasarkan wahyu dari Tuhan. Nabi Muhammad saw., menunjukkan bakat istimewa
sebagai seorang pemimpin, dan panglima militer, akan tetapi tidak membuat
ketetapan tentang suksesi. Pada gilirannya, hal ini, berakibat pada lumpuhnya dinasti
Islam. Pesan yang sampai kepada Umat Islam hanyalah yang bisa ditangkap dari ayat
Alquran.623
Sejarah politik Islam telah meletakkan cara dalam proses pengangkatan
Khali>fah, tiga cara yang berkembang menjadi rujukan dalam sistem pengangkatan
kepemimpinan dari masa ke-masa. Pertama, pemilihan dilaksanakan oleh mereka-
mereka yang berhak untuk memilih. Kedua, penyerahan kepemimpinan oleh
Khali>fah terdahulu kepada putra mahkotanya, atau kepada seseorang familinya yang
lain, yang lazim disebut “waliyatul „ahdi” (putra mahkota). Ketiga, melalui jalur
perebutan Khali>fah oleh seseorang dengan kekerasan. Ketiga cara tersebut
merupakan cara yang terjadi sepanjang perjalanan sejarah Islam, sementara Islam
sendiri mempunyai tata cara tersendiri dalam menentukan jabatan Khali>fah.
Sepanjang ajaran Islam, kedudukan Khali>fah merupakan hak bagi setiap orang Islam.
Oleh karena itu, kaum Muslimin berhak menentukan dan memilih Khali>fah-nya
sepanjang cara-cara tersebut tidak bertentangan dengan dua prinsip. Hal ini,
sebagaimana yang diutarakan oleh al-Mawardi bahwa, jabatan Ima>mah terisi dengan
dua jalan. Pertama, dengan pemilihan oleh ah}lu al h}illi wal ‘aqdi. Kedua, dengan
janji penyerahahan dari Ima>m sebelumnya.624
Para fuqaha secara kusus membicarakan cara-cara penetapan Khali>fah,
sekaligus dasar-dasar untuk memecat atau membatalkan kekuasaannya. Menurut al-
Baqillani (w. 1013, seorang pengikut al-„Asy„ari), pengetahuan tentang Khali>fah
tentang keistimewaan sifat-sifat pribadi seorang calon penggantinya tidak bisa
dijadikan dasar untuk mengangkatnya sebagai Khali>fah (seperti pendapat Syi„ah).
Namun pengangkatan bisa dilakukan melalui penunjukan yang disertai perjanjian
(‗ahd). Sebagai langkah alternatif, Khali>fah dapat dipilih oleh kelompok yang
melepas dan dan mengikat (ah}l al h}illi wa al-‘aqdi) kemungkinan terdiri atas Ima>m
ahlisunnah, siapapun mereka, namun bisa dipastikan meliputi ulama senior.
Pemilihan (ikhtiya>r) semacam ini, dianggap sah. Bahkan hanya dilaksanakan oleh
satu orang selama disaksikan oleh banyak umat Islam. 625
Sementara „Abdul al-Qa>dir „Audah jabatan Ima>mah hanya satu jalan saja
yang telah ditetapkan syara‟. Jalan yang satu itu adalah pemelihan yang dilakukan
oleh ah}lu al h}illi wal ‘aqdi untuk memilih Khali>fah, dan penerimaan dari orang yang

623
Q. S. An-Nisa>’/004: 59. Dengan cara yang serupa, sebuah hadis (sebagian hadis
dikumpulkan agak terlambat terutama pada 720-770) menegaskan bahwa “ia yang mena‗ati
pemimpinnya berarti mena‗ati Tuhanya”. Lihat, V. L. Menage, “Three Ottoman Treatises on
Europe, dalam Antony Black, Pemikiran Politik Islam: Dari Masa Nabi Hingga Masa Kini...,
h. 45.
624
A. Hasjmy, Di Mana Letaknya Negara Islam..., h. 178-179.
625
Antony Black,, Pemikiran Politik Islam: Dari Masa Nabi Hingga Masa Kini..., h.
169.

149
dipilih akan jabatan Khali>fah. Ima>mah atau Khila>fah menurut „Audah adalah satu
akad yang mempunyai dua dimensi. Pertama, dimensi Khila>fah sebagai yang
menerima pengangkatan. Kedua, ah}lu al h}illi wal ‘aqdi dari pihak rakyat yang
mengangkatnya. Akad tidak akan terjadi kecuali dengan ‘ija>b dan qa>bul, yaitu ija>b
dari pihak ah}lu al h}illi wal ‘aqdi atau ahli syu>ra>, dan itulah yang dimaksud dengan
pemilihan Khali>fah. Sedangkan qa>bul dari pihak Khali>fah yang telah dipilih oleh
ah}lu al h}illi wal ‘aqdi yang merupakan wakil rakyat. 626 Berdasarkan sistem
pengangkatan Khali>fah seperti inilah khulafa‘ al-Ra>syidu>n, untuk mengisi jabatan
Khali>fah setelah sepeninggalannya Nabi Muhammad saw.627 Ketegangan dalam
bernegara muncul manakala tradisi yang sudah mapan mulai bergeser, apalagi
prinsip-prinsip di atas diabaikan. Pasang surut pengamalan prinsip-prinsip berpolitik
Islami mendorong para ulama untuk mengemukakan pendapat tentang berbagai hal,
seperti pengangkatan Kepala Negara, pemilahan kekuasaan, dan bentuk
pemerintahan.628
Setiap ada peristiwa pengangkatan pemimpin tertinggi negara, dalam
pemilihan Khali>fah terjadi pula peristiwa bai‗ah, yakni bai‗ah timbal balik .629 Yaitu
bai„atnya lembaga yang ditugaskan negara (sekelompok orang) yang mengangkat
dengan orang yang sudah dipilih dan diangkat. Adapun bai„at menjadi salah satu
syarat dari pengangkatan. 630 A. Hasjmy memahami bahwa, bai‗ah ‗aqabah
merupakan peristiwa yang sangat penting dalam sejarah pengembangan Islam. Bai
‗ah berarti janji taat dan setia, seakan-akan para pengangkat berjanji kepada
pemimpinnya bahwa, mereka akan menyerahkan perhatian dan pembelaan umat dan
negara kepada amir, Khali>fah, atau Ima>m. Selama penyerahan tersebut mereka tidak
akan menentang Khali>fah dalam setiap urusan, bahkan akan ditaatinya atas segala
perintah, baik dalam keadaan senang maupun susah. Proses pembai„atan tersebut

626
„Abdul al-Qa>dir „Audah, Al-Islam, dalam, Hasan Basri, Melampaui Islam
Substantif: Biografi Politik A. Hasjmy..., h. 238.
627
Pemerintah khulafa‘ al-Ra>syidu>n, terutama zamannya Abu Bakar dan Umar,
merupakan pemerintahan idaman, demikianlah kata ahli sejarah. Betapa tidak! Bukankan
dalam zaman yang indah itu telah berlaku dalam kenyataan prinsip-prinsip negara seperti
yang ditentukan oleh Alqur an. Prinsip musyawarah dalam pemilihan Khali>fah telah berjalan
dengan baik, prinsip Ukhuwah Islamiyah, Musawah, Tammah, dan syu>ra> telah dipraktekkan
dalam kehidupan sehari-hari. Lihat, A. Hasjmy, Di Mana Letaknya Negara Islam..., h. 183.
628
Muh. Zuhri, “Sejarah Politik Islam,” Tarjih: Jurnal Politik Islam (2016): 1-16,
https://jurnal.tarjih.or.id/index.php/tarjih/article/view/3101/29. Diakses Tanggal 19 Maret
2020.
629
Bai„ah adalah semacam perjanjian atau sumpah, yang sangat terkenal dalam
Islam. Bai„ah yang termasyur dalam sejarah Politik Islam dikenal dengan “bai‗ah al ‗aqabah”
yang merupakan peristiwa yang sangat penting dalam sejarah perkembangan Islam. Lihat, A.
Hasjmy, Di Mana Letaknya Negara Islam..., h 176.
630
Akad tidak akan terjadi kecuali dengan ‘ija>b dan qa>bul, yaitu ija>b dari pihak ah}lu
al h}illi wal ‘aqdi atau ahli syu>ra>, dan itulah yang dimaksud dengan pemilihan Khali>fah.
Sedangkan qa>bul dari pihak Khali>fah yang telah dipilih oleh ah}lu al h}illi wal ‘aqdi yang
merupakan wakil rakyat. Lihat, ‘Abdul al-Qa>dir ‘Audah, Al-Islam, dalam, Hasan Basri,
Melampaui Islam Substantif: Biografi Politik A. Hasjmy..., h. 238.

151
akan dilakukan dengan berjabat tangan dengan Khali>fah terpilih, sebagai bukti
penguat janji diantara mereka. 631
Pembai„atan merupakan salah satu pengertian syariat yang kokoh, di mana
pemba„atan tersebut dilakukan antara Kepala Negara dengan rakyat. Dalam
pemba„atan tersebut, rakyat berkomitmen kepada Kepala Negara untuk mendengar
dan patuh terhadapnya. Sedangkan Kepala Negara berkomitmen untuk menjaga dan
melindungi hak-hak mereka, serta menolong agama mereka. Dengan demikian, yang
dimaksud dengan bai„at adalah perjanjian untuk loyal dan patuh. 632 Adapun proses
pembai„atan dilakukan dengan cara para anggota dewan mengadakan pertemuan
dalam rapat umum untuk memunculkan dan memilih di antara para calon yang
terbaik dan layak dijadikan Kepala Negara, sekaligus membai„atnya dan juga
mewajibkan bagi masyarakat untuk berjanji, dengan penuh komitmen agar supaya
patuh dan taat atas titah Kepala Negara.633
Pengertian bai‗ah tersebut hampir sama dengan “teori kontrak sosial” dalam
ilmu politik. Teori ini mengatakan bahwa seseorang, atau sekelompok orang
menyerahkan hak kekuasaan dirinya kepada seseorang atau kepada lembaga, yang
telah disepakati. Implikasi dari teori ini, bahwa sumber kedaulatan negara berasal
dari rakyat dan memperoleh legitimasi melalui kontrak sosial antara dua pihak.
Dalam konteks sekarang, bai‗ah dapat dikatakan tidak relevan lagi dan dapat
digantikan dengan sumpah jabatan. Kendatipun demikian, dalam wacana politik
Islam, istilah bai‗ah tetap saja dipakai karena merujuk pada masa awal sistem
kekhilafahan, di mana para Khali>fah mendapat pengakuan Umat (publik) melalui
bai‗ah.634
A. Hasjmy635 memaparkan sejarah bai„at, setelah Abdullah ibnu Zubair
terbunuh, berkumpullah manusia untuk mengangkat Abdul Malik bin Marwan.
Abdullah bin Umar yang sebelum itu menolak pengangkatan Abdullah ibnu Zubair
dan Abdul Malik bin Marwan, karena alasan adanya perpecahan, maka pada saat itu
melakukan bai„at untuk Abdul Malik bin Marwan dengan surat “saya berikrar untuk
mendengar dan mentaati seorang hamba Allah yang bernama Abdul Malik bin
Marwan menjadi Amirul Mukminin atas dasar Sunnah Allah dan Rasul-Nya, menurut
kesanggupanku”. Adapun para sahabat mengangkat bai„at untuk Nabi Muhammad
saw., dengan janji taat setia dalam keadaan senang dan susah, menjalankan
kebenaran sesanggup mereka dan tidak mendurhakai Nabi dalam perbuatan ma„ruf.
Seperti firman Allah swt., sewaktu peristiwa bai„at perempuanuntuk Nabi.636
Mengenai dengan bai„at ini, Sayyid Muhammad Rasyid Ridha, sebagaimana
dikutip oleh A Hasjmy menjelaskan. “Ima>mah adalah suatu akad yang baru akan

631
A. Hasjmy, Di Mana Letaknya Negara Islam..., h. 176. Lihat juga, Hasan Basri,
Melampaui Islam Substantif: Biografi Politik A. Hasjmy..., h. 240.
632
Ali Muhammad Ash-Shallabi, Parlemen di Negara Islam Modern: Hukum
Demokrasi, Pemilu dan Golput, Terj. Masturi Ilham dan Malik, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar,
2016), h. 122.
633
Al-Mawardi, Al-ahkam as-Sulthaniyyah, h. 15-16.
634
Hasan Basri, Melampaui Islam Substantif: Biografi Politik A. Hasjmy..., h. 240.
635
A. Hasjmy, Di Mana Letaknya Negara Islam..., h. 177.
636
Q. S. Al-Mumtahanah/60: 12.

151
berhasil setelah pengangkatan (mubaya„ah) 637 oleh orang-orang patut (ah}lu al h}illi
wal ‘aqdi)638 kepada orang yang dipilihnya menjadi Ima>m bagi umat, setelah mereka
bermusyawarah. Adapun asal bai„ah yaitu janji Ima>m untuk menjalankan kitab dan
sunnah serta menegakkan kebenaran dan keadilan serta janji-janji para pemilih
(pengangkat) untuk mendengar dan mentaati Ima>m”.639

637
Ada beberapa bai„at yang dikenal atas nama Islam, di antaranya adalah bai„at
Mujasyi‟ dan sodara lelakinya atas Islam dan Jiha. Bai„at Jarir bin „Abdullah atas Islam.
Bai„at atas amalan-amalan Islam di antaranya adalah bai„at Basyir bin Khashashiyyah atas
rukun-rukun Islam, sedekah dan jihad. Bai„at Jarir bi „Abdullah atas rukun-rukun Islam dan
memberi nasehat untuk setiap orang. Bai„at „Auf bin Malik dan sahabat-sahabatnya atas
rukun-rukun Islam dan tidak meminta-minta kepada manusia. Bai„at Tsauban untuk tidak
meminta apapun kepada orang lain. Ba„at Abu Dzar atas lima perkara. Ba„at Sahl bin Sa„d
dan yang lainnya atas amalan-amalan Islam. Bai„at Ubadah bin Shamit dan para sahabat
lainnya pada ba„at Aqabah yang pertama. Bai„at untuk berhijrah di antaranya adalah Bai„at
Ya‟la bin Munyah untuk bapaknya. Bai„at orang banyak atas hijrah pada perang Khandaq.
Bai„at untuk memberi Nusrah, dipilihnya dua belas orang wakil dari anshar. Bai„at Abu
Haitsam dan apa yang dikatakannya kepada para sahabatnya, kata-kata „Abbas bin „Ubadah
ketika berbai „at. Bai„at untuk jihad. Bai„at bersedia untuk mati, di antaranya adalah bai„at
Salamah bin al Akwa‟ atas maut. Bai„at untuk senantiasa mendengar dan taat. Bai„at untuk
senantiasa mendengar dan taat di antaranya, perkataan Ubadah bin ash Shamit. Bai„at Jarir
bin Abdullah untuk mendengar dan taat serta menasehati kepada sesama Muslim. Bai„at
„Utbah bin „Abd dan sabda Nabi saat bai„at “dalam apa yang aku mampu”. Bai„at kaum
wanita, di antaranya, bai„at perempuanAnshor ketika Rasulullah saw., tiba di Madinah. Bai„at
Umaimah binti Ruqaiqah atas Islam. Bai„at Fatimah binti „Utbah. Bai„at „Azzah binti Khabil.
Bai„at Fatimah binti „Utbah dan adik perempuannya, Hindun istri Abu Sofyan. Bai„at anak-
anak yang belum baligh, di antaranya, bai„at Hasan Husein, ibnu Abbas, dan ibnu Ja„far,
bai„at ibnu Zubair dan ibn Ja„far. Dan bai„at para sahabat ra., di atas tangan-tangan para
Khali>fah Rasulullah, di antaranya bai„at para sahabat di tangan Umar ra. Bai„at rombongan al-
Hamr„ di tangan „Utsman ra. Bai„at orang-orang Islam kepada „Utsman ra., sewaktu menjadi
Khali>fah. Lihat, Maulana Muhammad Yusuf Al-Khandahlawi, Kitab Ta ‗lim: Hayatush
Shahabah, Jilid I, Terj. Ahmad Dusturi, (Bandung: Pustaka Ramadhan, 2007), h. 288-314.
638
Kriteria ah}lu al h}illi wal ‘aqdi menurut Ridha meliputi para elit masyarakat (sarat
al-ummah), para pemimpin masyarakat (zu„amma al-ummah), dan para pentolan-pentolan
lain yang mempunyai pegaruh besar dalam masyarakat. Mereka juga merupakan pihak-pihak
yang tidak hanya cakap dalam hal keilmuan, melainkan juga terampil dalam bekerja dan peka
terhadap kemashlahatan yang dibutuhkan masyarakat. Oleh karena itu, ah}lu al h}illi wal ‘aqdi
pastilah mencakup para ahli dibidang hukum, politik, sosial, peradilan, dan tata kota, serta
keuangan. Selebihnya juga tercakup dalam bidang peradilan, pemikiran, dan hikmah. Lihat,
Khoirul Hadi, “Pemikiran Politik Rasyid Ridha Dalam Fiqh Munakahat,” HUNAFA: Jurnal
Studia Islamika, Vol. 10, No. 2 (December 15, 2013): 221, http://jurnalhun afa.or g/index.php
/hunafa/article/view/27. Diakses Tanggal 13 Mei 2020. Selengkapnya baca, Muh}ammad
Rasyid Ridha, al-khila>fah, (Kairo: Madinah Nasr, 1922), h. 66.
639
Berkenaan dengan ini telah disebutkan dalam suatu riwayat yang sahih bahwa,
Abdurahman bi „Auf berikrar ketika melakukan bai„at kepada Usman bin „Affan “aku
berbai„at untukmu atas dasar menjalankan sunnah Allah swt., dan Rasul-Nya, serta sunnah
dua Khali>fah setelah Rasul”. Setelah peristiwa ini, barulah beramai-ramai orang mengucapkan
bai„at seperti itu. Lihat, A. Hasjmy, Di Mana Letaknya Negara Islam..., h. 177.

152
Menurut al-Mawardi, pengangkatan Khali>fah dalam kalangan umat adalah
wajib, berdasarkan ijma„ ulama sekalipun berbeda-beda pendapat.640 Sistem politik,
dalam mengangkat Kepala Pemerintahan terdapat dua cara. Pertama, cara pemilihan
yang dilakukan oleh sekelompok orang yang duduk dalam ah}lu al h}illi wal ‘aqdi atau
ah}l al-ikhtiyar,641 yakni Para Ulama, cendikiawan, dan pemuka masyarakat. Kedua,
dengan cara penunjukkan atau wasiat oleh Kepala Pemerintahan yang sedang
berkuasa. Kalau pengangkatan melalui pemilihan, terdapat perbedaan pendapat
antara para ulama tentang jumlah peserta dalam pemilihan itu. Menurut al-Mawardi,
mengapa pengangkatan Ima>m atau Khali>fah dapat dilakukan dengan penunjukan atau
wasiat oleh Ima>m yang sebelumnya, dasarnya yang pertama adalah karena Umar bin
Khattab menjadi Khali>fah melalui penunjukan oleh pendahulunya, yaitu Abu Bakar.
Demikian pula halnya Usman. Enam anggota “dewan formatur” yang memilihnya
sebagai Khali>fah adalah ditunjuk oleh pendahulunya, Umar bin Khattab. Dalam hal
pengangkatan Ima>m melalui penunjukkan atau wasiat oleh Ima>m yang berkuasa, al-
Mawardi menyatakan bahwa sebelum menunjuk calon penggantinya, seorang Ima>m
harus berusaha agar yang ditunjuknya itu benar-benar berhak untuk mendapatkan
kepercayaan dan kehormatan yang tinggi dan orang yang betul-betul paling
memenuhi syarat.642
Berdebeda dengan, jika saja yang ditunjuk sebagai calon pengganti itu bukan
anak atau ayah sendiri, maka terdapat perbedaan pendapat, yaitu apakah Ima>m boleh
melaksanakan bai„at sendiri atau tidak. Sekelompok ulama berpendapat tidak boleh
dan tidak dibenarkan Ima>m seorang diri melaksanakan bai„at anak atau ayahnya
sendiri. Dia harus bermusyawarah dengan ah}l al-ikhtiyar dan mengikuti nasehat
mereka. Kelompok ulama kedua mengemukakan bahwa Ima>m seorang diri berhak
melaksanakan bai„at kepada anak atau ayahnya sendiri sebagai putra mahkota.
Bukankah dia waktu itu pemimpin umat. Sedangkan kelompok yang ketiga
berpendapat, kalau yang ditunjuk sebagai putra mahkota itu ayahnya, Ima>m dapat
melaksanakan bai„at seorang diri. Tetapi tidak demikian halnya kalau yang ditunjuk
sebagai putra mahkota itu anaknya.643

640
Imam al-Mawardi, al-Ah}kam as-S}ult}aniyah..., h. 5.
641
Ah}l al-ikhtiyar merupakan istilah dalam ilmu fiqh siyasi atau politik, yaitu badan
atau sekelompok orang yang ditunjuk untuk memiliki seorang Khali>fah, Ima>m, atau presiden
untuk saat ini, pada suatu negara, suatu pemerintahan, terutama sekali Islam. Sebagaimana
disebutkan, dalam pemahaman Sunni seorang Khali>fah atau Ima>m menjadi pemimpin melalui
pemilihan yang berlangsung secara musyawarah oleh sekelompok orang pilihan yang disebut
dengan ah}l al-ikhtiyar dan juga ah}lu al h}illi wal ‘aqdi. Lihat, Ahyar, “Almawardi Dan Konsep
Khila>fah Islamiyyah: Relevansi Sistem Politik Islam Klasik Dan Politik Modern.” Al-A'raf :
Jurnal Pemikiran Islam dan Filsafat, Vol. 15, No. 1, (2018): 1, http://ejournal.iainsurakarta.ac
.id/index.php/al-araf/article/view/1123. Diakses Tanggal 14 Mei 2020.
642
Muzayyin Ahyar, “Almawardi Dan Konsep Khila>fah Islamiyyah: Relevansi
Sistem Politik Islam Klasik Dan Politik Modern,” Al-A‘raf : Jurnal Pemikiran Islam dan
Filsafat, Vol. 15, No. 1 (June 30, 2018): 1, http://ejou rnal.iainsurakarta.ac.id/index.ph p/al-
araf/arti cle/view /1123. Diakses 14 Mei 2020.
643
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran,
(Jakarta, UI. Press, 1993), h. 63. Selengkapnya lihat, al-Mawardi, Imam, al-Ah}kam as-
S}ult}aniyah, (Beirut: Da>r el-Fikri, 1960).
153
Memilih pemimpin dengan cara bermusyawarah, A. Hasjmy mengemukakan
bahwa, salah satu tugas umat Islam menurut yang paling urgen adalah memilih
Kepala Negara (Khali>fah) dengan cara bermusyawarah, sesuai dengan ketentuan
yang sudah digariskan dalam ajaran Islam, kapan saja kosong jabatan Khali>fah, maka
wajib atas umat Islam memilih penggantinya, dan jabatan kepemimpinan negara
tidak boleh kosong dalam keadaan bagaimanapun. Sesuai dengan prinsip syari„ah
Islam bahwa, pemilihan pemimpin (Khali>fah) haruslah dengan cara
bermusyawarah. 644
Adapun bentuk pelaksanaannya, syariat Islam tidak pernah menetapkan suatu
perangkat organisasi dan cara bagaimana proses pemilihan Khali>fah. Karena hal itu,
menurut A. Hasjmy suatu tata cara yang bisa berubah-rubah dengan perubahan
zaman dan tempat, serta juga dengan perbedaan keadaan dan kemampuan rakyat.
Islam memberi kesempatan kepada kaum Muslimin di segala zaman dan tempat
untuk mengatur organisasi dan tata cara pemilihan yang sesuai dengan zaman dan
tempat mereka. Pada permulaan Islam bermusyawarah cukup dengan mengambil
pikiran ahli syu>ra yang bermukim di Ibu Kota negara saja, karena masih terdapat para
sahabat Rasullah saw., di kota Madinah, demikian pula para calon Khali>fah.645
Keadaan berubah setelah sahabat-sahabat Nabi berpencar ke berbagai
penjuru negara. Ketika itu, cara pemilihan dilakukan mula-mula dengan mengambil
ahli syu>ra, yang bermukim di Ibu Kota negara, bukan karena adanya hak istimewa
bagi mereka, tetapi karena merekalah yang mula-mula mengetahui kekosongan
jabatan Khali>fah dan karena pengambilan suara mereka memungkinkan terlebih
dahulu sebelum mereka yang bermukim di wilayah-wilayah negara yang jauh.
Apabila mereka telah memilih dan mengangkat Khali>fah, barulah diambil bai„at
untuk Khali>fah dari ahli syu>ra yang bermukim di Ibu Kota lain, di mana mereka
mengikuti jejak penduduk Ibu Kota. Pemlihan yang dilakukan oleh ahli syu>ra di Ibu
Kota adalah kebiasaan saja, bukan ketentuan syara„, sedangkan ahli syu>ra di kota-
kota lain pada hakikatnya adalah pengikut bukan pemilih. Alasannya yang utama

644
Q. S. Asy-Syu>ra/042: 38. Q. S. Ali-„Imran/003: 159.
645
Nabi Muhammad saw., tidak menetapkan siapa yang akan menggantikannya, dan
ketika beliau wafat (632 M), para sahabat memilih seorang pemimpin (Ima>m/Khali>fah).
Masa pemerintahan Abu Bakar, Umar dan Usman banyak terjadi perselisihan yang awalnya
terkait kepentingan agama, namun berkembang menjadi kepentingan politik. Ketika Ali bin
Abi Thalib diangkat sebagai Khali>fah konflik politik berkepanjangan berkaitan dengan
pembunuhan Usman menjadikan timbulnya perang Jamal antara Aisyah dan Ali ra. Pada
masa ini perbedaan kepentingan aqidah dipolitisir lebih jauh menjadi sebuah kepentingan
politik. Dinamika politik ini kemudian melahirkan mazhab politik Islam klasik yang terbagi
dalam tiga mazhab besar yaitu Sunni, Syi'ah dan Khawa>rij, yang darinya muncul istilah-
istilah Khila>fah, Ima>mah, ah}lu al h}illi wal ‘aqdi, bai„ah, walayah, dan lain-lain. Dari ketiga
mazhab politik ini, kemudian muncul ide pemikiran politik Islam yang sangat kompleks dan
berkepanjangan dari para tokoh politik Islam pra modern yang banyak dipengaruhi oleh
filosof Yunani. Lihat, Mazro‟atus Sa‟adah, “Pemikiran Suksesi Dalam Politik Islam Masa Pra
Modern,” Al-Tahrir: Jurnal Pemikiran Islam, Vol. 16, No. 2 (Desember 27, 2016): 363, http:/
/jurnal.stainponor ogo.ac.id/index.php/tahrir/article/view/469. Diakses Tanggal 14 Mei 2020.

154
adalah karena sulit mengumpulkan ahli syu>ra dari segala kota pada suatu tempat, dan
sukar pula mengetahui pikiran mereka dalam satu waktu. 646
Mengenai cara-cara pemilihan Khali>fah seorang sarjana Islam yang bernama
Abdul Wahab an-Najar, sebagaimana dikutip oleh A. Hasjmy mengutarakan
“tidaklah tercantum dalam Alquran sesuatu peraturan tegas yang mengatur cara-cara
pemilihan Khali>fah kecuali perintah yang bersifat umum, yang menyentuh masalah
Khali>fah dan masalah lainnya, seperti mensifati pekerjaan kaum Muslimin harus
dengan musyawarah. Dan juga Rasulullah tidak meninggalkan satu peraturanpun
yang dapat dipakai oleh kaum Muslimin sewaktu memilih Khali>fah mereka”.647
Meskipun Alquran tidak menetapkan tentang sistem dan bentuk
pemerintahan serta bagaimana mewujudkanny, namun Alquran menyebut adanya ide
atau prinsip dasar pembentukan negara dan adanya Kepala Negara. Di sini, umat
Islam diberi kebebasan untuk memilih sesuai dengan tuntutan kehidupan mereka
yang sangat dipengaruhi oleh perkembangan zaman. Demikian juga dalam kaitannya
dengan term masyarakat madani juga tidak ditemukan dalam Alquran. Namun, ada
dua kata kunci yang bisa mendekati konsep masyarakat madani, yakni
term “ummah” dan term “Madinah”. Kedua term ini menjadi nilai dasar dan nilai-
nilai instrumental bagi terbentuknya masyarakat madani, kata “ummah”, bisa
dirangkaikan dengan sifat dan kualitas tertentu, seperti ummatan wasat}an, khairu
ummah dan ummah muqtashidah, yang merupakan pranata sosial utama yang
dibangun oleh Nabi Muhammad saw., segera setelah hijrah ke Madinah.648
Ketiadaan tata cara yang dtinggalkan oleh Nabi Muhammad saw., dalam
proses pemilihan Khali>fah, dalam hal ini dapat diduga bahwa Nabi sendiri tidak
bermaksud menetapkan suatu peraturan yang sifatnya hanya berlaku untuk satu
zaman dan satu keadaan, dan kemudian tidak sesuai lagi sesudah berubah keadaan
dan zaman. Rasulullah tidak bermaksud membebankan kaum Muslimin dengan
perintah yang akan menyulitkan mereka dari waktu ke-waktu. Menjadi kebijaksanaan
Nabi untuk menyerahkan itu semua kepada kecakapan umat dan kecerdasan mereka
yang akan mengatur masalah pemilihan sesuai dengan zaman dan tempatnya masing-
masing. Adapun jalan yang telah mereka tempuh pada zaman yang pernah ada
adalah, pertama, pemilihan yang bersifat perundingan tanpa adanya calon, seperti
pemilihan dan pengangkatan Khali>fah Abu Bakar. Kedua, cara penunjukan hanya
seorang calon dari Khali>fah terdahulu untuk dirundingkan, seperti pemilihan dan
pengangkatan Khali>fah Umar ibn Khattab. Ketiga, cara penunjukan beberapa orang
calon oleh Khali>fah terdahulu untuk dipilih salah seorang di antara mereka, seperti
pemilihan dan pengangkatan Khali>fah Usman bin „Affan.649
Penunjukan kandidat oleh Khali>fah yang sedang berkuasa pada hakikatnya
adalah pencalonan yang meminta pihak ah}lu al h}illi wal ‘aqdi, sistem ini disebut juga

646
A. Hasjmy, Di Mana Letaknya Negara Islam..., h 181.
647
A. Hasjmy, Di Mana Letaknya Negara Islam..., h. 180-181.
648
Robitul Firdaus, “Nasionalisme „Jalan Tengah‟: Mengurai Potensi Benturan
Ideologi Nasionalisme Dan Sentimen Ummah Di Era Nation State,” AKADEMIKA: Jurnal
Pemikiran Islam, Vol. 23, No. 2, (September 19, 2018): 307, http://e-journal.metrouniv.ac.id/
index. php/akademika/article/view/1105. Diakses Tanggal 18 Mei 2020.

155
dengan istikhla>f, cara ini pernah dilakukan oleh Abu Bakar ketika mencalonkan
mengangkat Umar bin Khattab sebagai penggantinya, kemudian Umar memilih ahli
syu>ra>. Sistem istikhla>f ini bertujuan untuk kepentingan umat. Istikhla>f diarahkan
untuk menegakkan syu>ra> dan Khila>fah yang menjadi keistimewaan sistem Politik
Islam. Dalam hal ini, A. Hasjmy tidak menyetujui adanya sistem pemerintahan putra
mahkota (wila>yat al-‘ahdi) yang menjurus kepada kepentingan keluarga Khila>fah.
Wila>yat al-‘ahdi diarahkan untuk menegakkan kerajaan secara turun-temurun dan
kekuasaan tangan besi (istibda>d) yang menjadi musuh Islam. Sementara pada
pemilihan dan pengangkatan Khali>fah didasarkan pada keahlian dan kemampuan,
serta pemilihan bebas tanpa dipengaruhi oleh hubungan darah atau keturunan. Di
samping itu, calon Khali>fah harus diminta kesediaannya untuk dipilih dan baru si
calon itu di bai„at. Dan seandainya saja calon Khali>fah menolak untuk dipilih, maka
solusinya adalah mencari dan menentukan calon yang lain, inilah yang disebut
dengan sistem demokrasi dalam Islam.650
Berdasarkan kata syu>ra yang dibangun atas dasar surat Ali „Imra>n,651 A.
Hasjmy memahami sebagai perintah Allah swt., kepada Nabi Muhammad saw., agar
supaya bermusyawarah dengan segenap kaum Muslimin. Tujuan pokoknya adalah
mengajarkan mereka akan pentingnya bermusyawarah dalam urusan-urusan
kenegaraan, dan sekaligus membiasakan mereka untuk mengawasi para pemimpin
negara agar tidak melakukan penyelewengan. 652 Sistem musyawarah yang ditetapkan
dalam Islam tidaklah kacau, walaupun ketentuan tersebut berdasarkan dalil Alquran,
namun pelaksanaanya tidak dijelaskan secara rinci. Islam telah menetapkan
keharusan prinsip syu>ra bagi kaum Muslimin dalam hidup bermasyarakat, akan tetapi
Islam tidak menentukan suatu cara atau sistem dari syu>ra. Dengan demikian, maka
cara dan sistem musyawarah disesuaikan dan terserah kepada perkembangan zaman,
situasi, dan keadaan tempat. 653
Kedatangan Islam dengan konsep syu>ra bukanlah karena tuntutan zaman,
menurut A. Hasjmy, ketika Islam lahir keadaan bangsa Arab paling mundur di dunia.
Hadirnya Islam membawa “cita syu>ra” bertujuan untuk mengangkat derajat jamaah
agar ikut memikirkan masalah umum, dan memperhatikan hari depan umat, serta
bersekutu dalam urusan-urusan negara secara langsung. Di samping itu, untuk ikut
secara aktif mengawasi para pimpinan negara supaya tidak menyeleweng dari batas-
batas ketentuan yang sudah digaris berdasarkan syariat Allah swt. Dengan demikian,
jelaslah bahwa “cita syu>ra” merupakan kelengkapan dari syariat Islam yang bertujuan
membimbing umat dalam soal-soal politik, ekonomi, dan sosial, yang dengan
demikian berarti mengangkat derajat manusia. 654
Menurut yang dikemukakan oleh Said 'Aqiel Siradj, penerapan konsep syu>ra
dalam konteks ketatanegaraan dipahami dalam konteks hari ini merupakan sebuah

650
Hasan Basri, Melampaui Islam Substantif: Biografi Politik A. Hasjmy..., h. 238-
239. Selengkapnya lihat, A. Hasjmy, Di Mana Letaknya Negara Islam..., h. 190-196.
651
Q. S. Ali ‘Imra>n/003: 159.
652
Hasan Basri, Melampaui Islam Substantif: Biografi Politik A. Hasjmy..., h. 2121.
Lihat juga, A. Hasjmy, Di Mana Letaknya Negara Islam..., h. 88.
653
A. Hasjmy, Di Mana Letaknya Negara Islam..., h. 89.
654
A. Hasjmy, Di Mana Letaknya Negara Islam..., h. 91.

156
upaya untuk menciptakan terselenggaranya sistem pemerintahan yang baik (good
governance), yang bertujuan untuk mengayomi kehidupan umat, serta melayani umat
menuju kemashlatan bersama-dama (almas}alah}at al-‘ammah)655 A. Hasjmy
menjelaskan bahwa, sistem pengawasan melalui musyawarah lebih efektif daripada
cara yang lain. Karena secara psikologis, setiap terjadi hubungan yang akrab antara
pemimpin dengan rakyat atau sebaliknya, maka akan hilang rasa kecurigaan, dan
dengan sendirinya tercipta transparansi informasi, pada tahapan berikutnya lebih
mudah untuk dievaluasi. Di samping itu, kesenjangan antara pemerintah dan rakyat
tetap terjalin harmonis sehingga persamaan sosial dalam kehidupan bernegara dapat
terwujud dengan sempurna. Mengenai musyawarah ini, A. Hasjmy menganggap
sebagai sistem demokrasi dalam Islam, karena musyawarah merupakan salah satu
sendi keimanan dan sifat kusus kaum Muslimin. 656 Dengan demikian dalam
penyelenggaraan pemerintah Islam menurut A. Hasjmy, pengambilan keputusannya
harus dilandasi berdasarkan hasil syu>ra. Dengan demikian, syu>ra menjadi bagian dari
iman, maka tidak sempurnalah iman suatu bangsa yang meninggalkan musyawarah,
dan ini juga menjadi keharusan mutlak penerapan musyawarah bagi para pemimpin
pemerintahan dan rakyat.657
Pemilihan Khali>fah yang dilakukan dengan proses musyawarah dengan
meminta persetujuan pada ah}lu al h}illi wal ‘aqdi berbeda dengan pemilihan dan
pengangkatan Ali sebagai Khali>fah, tidak semuanya ikut membai„ahnya. Setelah
wafat Khali>fah Usman bin „Affan sebagai akses dari peristiwa politik, maka para
sahabat yang terdiri dari kaum Muhajirin dan Anshor mendatangi Ali, untuk meminta
persetujuannya untuk dipilih dan diangkat menjadi Khali>fah. Dengan nada pasti Ali
pun menjawab “saya tidak memerlukan jabatan Khila>fah tuan-tuan itu”. Jawaban
tegas Ali membuat para sahabat yang meminta kesediaannya menjadi Khali>fah
membuat mereka kecewa. Dengan berulang kali disampaikan perkara pencalonan Ali
sebagai Khali>fah, akhirnya Ali bersedia juga, dan membicarakannya di dalam masjid.
Setelah para sahabat dan umat di dalam Masjid, maka upacara pembai„atan kepada
Ali dilakukan.658
Menurut A. Hasjmy, 659 peristiwa pengangkatan Ali memang berbeda
daripada Khali>fah sebelumnya. Ali dilantik dan diambil sumpah dalam suasana
perang saudara yang masih berkobar, di mana darah masih mengalir dan pedang
masih belum kembali ke sarungnya. Sungguhpun demikian, prosedur pemilihan dan
pengangkatan Ali telah dijalankan sesuai dengan prinsip syu>ra dalam Islam. Apa
yang sedang dikerjakan pada suasana seperti saat itu merupakan usaha yang paling
maksimal. Karena itu, tidak heran jika saja banyak para pemuka di luar Madinah
yang tidak mengangkat Ali. Tentunya tidak mungkin ketika keadaan genting, harus
menunggu semua para cerdik pandai dari segala kota berkumpul di Madinah. Pada
sisi yang lain juga tidak mungkin menangguhkan pemilihan dan pengisian

655
Said 'Aqiel Siradj, Ahlussunah wa al-Jama'ah dalam Lintas Sejarah, cet-1
(Yogyakarta: LKPSM, 1997), h. 74.
656
A. Hasjmy, Di Mana Letaknya Negara Islam..., h 89-90.
657
Hasan Basri, Melampaui Islam Substantif: Biografi Politik A. Hasjmy..., h.213.
658
A. Hasjmy, Di Mana Letaknya Negara Islam..., h. 189.
659
A. Hasjmy, Di Mana Letaknya Negara Islam..., h. 189.

157
kekosongan jabatan Khali>fah. Suasana sangatlah kacau, sementara umat Islam harus
ada Khali>fahnya. Walau bagaimanapun, pengangkatan dan pembai„atan Ali telah
ditempuh melalui jalan musyawarah, dan telah dilaksanakan prinsip-prinsip
demokrasi Islam.

3. Hak dan Kewajiban Khali>fah


Menurut A. Hasjmy, terdapat dua kewajiban atas diri Khali>fah. Pertama,
mengembangkan Islam. Kedua, menjalankan sistem kenegaraan, berdasarkan garis-
garis yang telah ditentukan oleh Islam. Prinsip pelaksanaan pemerintahan dalam
Islam didasari dengan musyawarah (syu>ra). Berdasarkan prinsip ini, dalam segala
urusan pihak yang menjadi komunitas musyawarah bagi pemerintah adalah rakyat.
Dalam hal ini, membangun argumentasinya A. Hasjmy sependapat dengan Rasyid
Ridha, yang mengatakan bahwa terdapat empat kewajiban pada diri Khali>fah
terhadap kepemimpinannya. Pertama, Khali>fah mempunyai kewajiban untuk
mengembangkan kebenaran. Kedua, Khali>fah komit terhadap penegakan keadilan.
Ketiga, Khali>fah harus menjaga agama dari serangan musuh dan paham yang tidak
terdapat nash yang kuat dari dalil keagamaan atau perkara bid„ah. Keempat, Khali>fah
harus bermusyawarah pada persoalan-persoalan yang tidak terdapat nash yang kuat.
Atas tanggung jawab yang dipikul oleh Khali>fah, maka masyarakat atau umat berhak
memberi masukan dan koreksi atas kesalahan Khali>fah. Mengawasi kinerja Khali>fah
atas segala kebijakannya diakomodir oleh ah}lu al-h}illi wal ‘aqdi.660
Berdasarkan hubungan timbal balik, hubungan pemimpin dan rakyat
memiliki ketergantungan. Dengan demikian, A. Hasjmy menguraikan, Islam
menetapkan kewajiban dan hak bagi Khali>fah (Kepala Negara), dan demikian juga
bagi umat. Menurut A. Hasjmy setelah Khali>fah dipilih dan dilantik, maka
terpikullah atas pundaknya kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan, baik
terhadap agama maupun terhadap umat, di samping Khali>fah juga harus pula
mendapat hak-hak, baik dari agama ataupun dari umat. Setelah selesai umat memilih
dan melantik Khali>fah, maka atas pundak mereka terpikullah kewajiban-kewajiban
terhadapa Khali>fah, sebagaimana halnya mereka juga harus mendapat hak-hak dari
Khali>fah. Di samping itu tiap-tiap pribadi umat mempunyai kewajiban-kewajiban
secara umum kepada negara, sebagaimana negara harus menjamin hak-hak asasi
mereka. Dan diatur dalam perundang-undangan dalam negara Islam. Pada garis
besarnya terdapat dua kewajiban pokok bagi Khali>fah. Pertama, menegakkan Islam.
Kedua, mengurus urusan negara dalam batas-batas garis ajaran Islam. Yang
dimaksud dengan mengurus negara dalam batas-batas garis ajaran Islam antara lain
keharusan melaksanakan prinsip syu>ra dalam pelaksanaan pemerintahan, karena
syu>ra suatu asas wajib yang harus diwujudkan dalam kehidupan umat. Atas dasar
prinsip syu>ra ini, maka pemerintah haruslah bermusyawarah dengan rakyat bersama
wakilnya dengan segala urusan pemerintahan. 661
Tatkala telah nyata, sesungguhnya hakikat Khali>fah adalah satu jabatan yang
mewakili pembawa syariat (Rasul) untuk melanjutkan pemeliharaan agama, dan

660
A. Hasjmy, Di Mana Letaknya Negara Islam..., h. 204-204.
661
A. Hasjmy, Di Mana Letaknya Negara Islam..., h. 204.

158
pengurusan dunia, maka dalam hal ini menurut A. Hasjmy, pembawa syariat
bertugas dalam dua bidang. Pertama, bidang agama, yang berkewajiban
menyampaikan tugas-tugas syariat kepada manusia, dan mewajibkan mereka
mengerjakannya. Kedua, bidang politik, yang berkewajiban mengurus kepentingan
rakyat dalam menciptakan kemajuan umat manusia.662 Khali>fah sebagai pejabat
tertinggi dalam negara Islam, bertanggung jawab penuh atas segala tugas kewajiban
yang telah dibebankan atas pundaknya. Khali>fah harus mempertanggung jawabkan
segala kesalahan yang diperbuatnya, kelalaian dan kekurangan perhatian dalam
menjalankan tugas, dan penyalahgunaan kekuasaan, lebih-lebih lagi jika dilakukan
dengan sengaja melanggar batas-batas hukum-hukum Allah swt., dan garis-garis
kekuasaan yang telah diberikan kepadanya. Dalam hal pelanggaran hukum ini,
Khali>fah harus tunduk pada ketentuan hukum umum, karena Islam tidak
membedakan antara pribadi dengan pribadi, juga tidak ada perbedaan antara
pemerintah dengan rakyat.663
Adapun hak Khali>fah atas rakyat adalah taat sedia, akan tetapi tidaklah
mutlak. Sementara ketaatan kepada ulil amri adalah wajib hukumnya, tetapi hanya
dalam batas-batas ajaran Islam. Apabila Khali>fah atau para penguasa yang
memerintah sesuai dengan ajaran Allah swt., maka ketaatan kepadanya adalah wajib.
Akan tetapi, jika saja mereka memerintah dengan ajaran selain Islam, maka tidak
boleh setia kepadanya. Selain itu, seorang Khali>fah berhak mendapatkan gaji yang
diambil dari Baitu Mal (kas negara) sekedar mencukupi kehidupan pribadi dan
keluarganya. Namun Khali>fah tidak boleh menetapkan sendiri jumlah gaji yang harus
diberikan kepadanya. Penetapan gaji ditetapkan berdasarakan musyawarah ah}l al
h}alli wal ‘aqdi.664 Taat kepada ulil amri adalah wajib hukumnya, tetapi hanya dalam
batas-batas ajaran Islam. Apabila Khali>fah atau para penguasa yang lain
memerintahkan sesuai ajaran Allah swt., maka ketaatan kepadanya adalah wajib,
akan tetapi jika mereka memerintah bukan dengan ajaran Allah swt., maka tidak
boleh taat setia kepadanya. 665
A. Hasjmy memahami bahwa, Khali>fah sebagai Kepala Pemerintahan negara
Islam adalah wakil dan abdi umat Islam. Kekuasaan Khali>fah merupakan pemberian
umat Islam lewat badan pembuat undang-undang yang mewakili mereka. Karena itu,
Khali>fah tidak dibenarkan mempergunakan kekuasaan untuk menindas rakyat,
melainkan kekuasaan itu harus dipergunakan untuk kemakmuran dan kemashlahatan
rakyat. Rakyat (umat Islam) kapan saja boleh mencabut kembali, membatasi,
mengurangi ataupun menambah kekuasaan itu, apabila dilihatnya tindakan itu perlu
demi untuk menegakkan hukum Allah swt., dan kesejahteraan mereka sendiri.
Dengan demikian, jelaslah bahwa kedudukan Khali>fah menurut ajaran Islam adalah
wakil dan abdi umat dan bukan penindas rakyat.666
Khali>fah dan Ima>mah adalah dua terma yang terkadang diartikan sama, yaitu
mengacu kepada makna kepemimpinan. Istilah Khali>fah lebih banyak dikenal dipakai

662
A. Hasjmy, Di Mana Letaknya Negara Islam..., h. 209.
663
A. Hasjmy, Di Mana Letaknya Negara Islam..., h. 207.
664
Hasan Basri, Melampaui Islam Substantif: Biografi Politik A. Hasjmy..., h. 243.
665
A. Hasjmy, Di Mana Letaknya Negara Islam..., h. 211.
666
A. Hasjmy, Di Mana Letaknya Negara Islam..., h. 199.

159
untuk mengistilahkan kepemimpinan di dunia Islam Sunni, sedangkan Ima>mah lebih
banyak dipakai di dunia Islam Syi„ah. Khali>fah dipilih oleh rakyat ataupun ah}l al h}illi
wal ‘aqdi, dan ini bersifat ijtihadi. Adapun Ima>m merupakan ketetapan Tuhan yang
dititipkan kepada Nabi untuk menentukan penerusnya. Kemudian penentuan
selanjutnya ditunjuk oleh Ima>m sebelumnya sesuai dengan wasiat yang
diterimanya.667
Berdasarkan catatan sejarah didapatkan sebuah kenyataan bahwa, umat Islam
dalam menentukan pimpinan tidak bisa dilepaskan dari tiga tipe, yaitu: pertama,
Pemilihan berdasar aklamasi. Pemilihan bentuk ini dalam buku-buku sejarah
(terutama dari penulis Sunni) sering menjadikan proses terpilihnya Abu Bakar
sebagai Khali>fah (pengganti Rasul). Kedua, Pemilihan berdasarkan majelis syu>ra
(majelis musyawarah) Pemilhan bentuk ini diwakili oleh kisah proses terpilihnya
Utsman ibn „Affan yang didahului oleh pembentukan majelis syu>ra, yang oleh Umar
berembuk untuk menentukan calon yang memenuhi kriteria sesuai ketetapan majelis.
Dan melalui proses itu, Khalīfah pengganti Umar terpilih. Ketiga, Penentuan
berdasarkan pilihan langsung, bentuk ini dianut oleh negara demokrasi yang hak
pemilihan ada di tangan rakyat. Negara hanya memfasilitasi pelaksanaan
pemilihan.668
Terkait dengan masa kepemimpinan Khali>fah, A. Hasjmy menyimpulkan,
sebagai abdi dan wakil rakyat yang bertugas menjalankan hukum Allah swt., dan
memimpin umat dalam batas ajaran Islam. Kedua tugas Khali>fah ini sifatnya tetap,
selama umat Islam masih ada. Oleh sebab itu, jabatan Khali>fah sebagai wakil umat
tidak terbatas dengan waktu, bahkan dapat berlangsung seumur hidup. Selama
Khali>fah masih sanggup dan tidak melakukan pelanggaran yang mengharuskannya
dipecat, jabatan Khali>fah tetap berlangsung. Namun, jika ia tidak sanggup lagi
memimpin, maka Khali>fah boleh meminta berhenti kapan saja ia inginkan. Demikian
pula rakyat boleh memecat Khali>fah apabila dilihatnya telah menyimpang dari
syaria„at.669
Berdasarkan kedudukannya dari uraian di atas, A. Hasjmy 670 menekankan
beberapa hal terkait dengan kedudukan Khali>fah di tengah-tengah masyarakat.
Pertama, manusia seluruhnya dikuasakan untuk memakmurkan bumi. Penguasaan
yang diberikan kepada mereka sifatnya karena mereka adalah Bani Adam, bukan
karena sesuatu sifat lain. Karena itu, mereka semuanya sama dalam kedudukan segala
bidang kehidupan. Kedua, pengangkatan manusia menjadi Khali>fah di atas bumi,
maknanya bahwa mereka mewakili Allah swt., yang oleh karenanyalah mereka wajib
melaksanakan segala perintah Allah swt. Ketiga, semua urusan kaum Muslimin harus
dilakukan dengan musyawarah, sehingga syu>ra itu ditetapkan menjadi salah satu

667
Ahmad Anas, “Konsep Ima>mah Dalam Perspektif Syi‟ah Ima>miyah”, Empirisma
, Vol. 27, No 1, (Januari 2018): 1-18, https://jurnal.iainkediri.ac.id/ind ex.php/em pirisma/art
icle/view/739. Diakses Tanggal 15 Agustus 2020.
668
Ahmad Anas, “Konsep Imamah Dalam Perspektif Syi‟ah Imamiyah”,
Empirisma, Vol. 27, No 1, (Januari 2018): 1-18, https://jurnal.iainkediri.ac.id/inde x.php/em
pirisma/article/view/739. Diakses Tanggal 15 Agustus 2020.
669
Hasan Basri, Melampaui Islam Substantif: Biografi Politik A. Hasjmy..., h. 243.
670
A. Hasjmy, Di Mana Letaknya Negara Islam..., h. 199.

161
keharusan bagi orang Mukmin. Keempat, urusan kaum Muslimin yang paling penting
dan paling berhak dimusyawarahkan, yaitu urusan negara, sehingga pemerintahan
harus dibina atas dasar syu>ra. Kelima, tugas pokok pemerintahan Islam, yaitu
menegakkan hukum Islam dan mengatur urusan negara dalam batas-batas ajaran
Allah swt. Dengan demikian, A. Hasjmy menegaskan, berdasarkan tugasnya
Khali>fah apabila menjalankan pemerintah setelah dipilih, menjalankan dan
menunaikan aspirasi masyarakat atas dasar kepentingan pribadi rakyat. Maka dengan
demikian, pemerintah itu pada hakikatnya adalah wakil rakyat.

C. Kedudukan dan Kepemimpinan Perempuan dalam Islam


Menurut A. Hasjmy, kedudukan perempuan dalam Islam mengajarkan bahwa
manusia diciptakan dari sumber yang satu, yakni Nabi Adam as.,baik laki-laki
maupun perempuan, baik yang berkulit putih maupun yang berkulit hitam. Karena
itu, kedudukan laki-laki dan perempuan adalah sama, di sisi Tuhan derajat manusia
adalah sama.671 Dengan ini, dalam pandangan Islam hak dan kewajiban perempuan
sama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Jika saja terlihat
kekurangan dan kelibihanya itu semua terletak pada nilai ketakwaan masing-
masing.672 lebih lanjut A. Hasjmy menegaskan bahwa, perintah menyembah Allah
swt., diiringi dengan perintah berbakti kepada kedua orang tua. Kebaktian anak
kepada ayah dan ibu adalah sama besarnya. 673 Di samping itu, di dalam Alquran
terdapat ayat-ayat yang menjelaskan bahwa, setiap Muslim yang beramal, baik laki-
laki maupun perempuan akan mendapat ganjaran pahala sesuai dengan kadar
amalannya.674
Peran perempuandi ranah publik dalam beberapa tahun terakhir ini semakin
diperhitungkan. Hal ini memang wajar untuk dilakukan, karena peran seorang
perempuan bukan hanya menjadi sebuah paradigma yang stagnan, tapi dengan jiwa
semangat progresivitasnya dalam berbagai aktifitas, baik dalam wilayah rumah
tangga ataupun profesionalitas suatu pekerjaan, bahkan bisa dikatakan ahli atau
spesialis di bidang tertentu. Dalam perkembangan kultur pembangunan sumber daya
manusia, sebenarnya negara tidak memandang dari sisi gender untuk pemerataan dan
segala bentuk fasilitas pembangunan untuk membentuk sumber daya manusia yang
sempurna dengan tujuan pembangunan bangsa itu sendiri. Hanya saja dalam
kenyataan pelaksanaannya yang justru kelihatan dominan hanya laki-laki. Hal ini
disebabkan karena selain adanya kultur budaya Jawa tentang perempuan juga atas
akses publik bagi perempuan terbatas, baik oleh norma adat, susila, kesopanan,
bahkan norma hukum.675
Diskursus posisi perempuan menurut Said Aqiel Siradji, dalam Islam
mendapat perhatian cukup serius. Term perempuan (an-nisa„) dalam Alquran
dipergunakan sebanyak 57 kali, sama dengan kata al-rijal (laki-laki), atau al-untha

671
Q. S. An-Nisa>„/004: 1.
672
Q. S. Al-H}ujurat/049: 13.
673
Q. S. An-Nisa>„/004: 36-124.
674
Q. S. An-Nisa>„/004: 32. Q. S. An-Nahl/016: 97.
675
Siti Hariti Sastriyani, Gender and Polics, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2009), h.
55.

161
yang berpasangan dengan kata ad-dhakar. Perimbangan ini selintas memberikan
suatu indikasi, bahwa antara kedua jenis kelamin tersebut-sungguhpun memiliki
perbedaan-diperlakukan dan diperhatikan secara berimbang (sama) oleh Islam.
Kesetaraan ini, hingga berkali-kali Allah swt., menyebutkan keduanya secara
berdampingan dan berpasang-pasangan.676 Bahkan di beberapa hadis, Rasulullah
justru sangat memuliakan dan menghormati perempuan dibandingkan laki-laki.
Misalnya pada saat baginda Nabi Muhammad saw., ditanya oleh seorang sahabat
perihal “siapa di antara manusia yang utama untuk dihormati?”, jawab Nabi “ibumu.
Kemudian siapa lagi? jawab Nabi “ibumu”. Kemudian siapa lagi? Jawab Nabi
“ibumu”. Kemudian siapa lagi? Jawab Nabi “bapakmu”. Hadis ini menurut Aqiel
Siradj dikuatkan pula dengan sabda Nabi Muhammad saw., yang artinya, “al-jannatu
tah}ta aqdamil ummaha>t”. Dengan demikian, dalam Islam eksistensi perempuan
benar-benar mendapat tempat yang mulia, dia adalah menjadi mitra sejajar laki-laki,
tidak sperti yang dituduhkan oleh sementara masyarakat, bahwa Islam tidak
menempati perempuan sebagai unsur sub-bordinat dalam pranata sosial. Kehadiran
Islam justru melenyapkan diskriminasi antara laki-laki dan perempuan.677
Sebelum Alquran turun, banyak peradaban besar seperti Yunani-Romawi,
India, dan Cina sudah ada dan berkembang. Demikian juga agama-agama besar
seperti Yahudi, Nasrani, Hindu, Budha, dan Zoroaster di Persia. Masyarakat
Yunani yang terkenal dengan pemikiran filsafatnya tidak banyak membicarakan
hak perempuan. Pada puncak peradaban Yunani, perempuan diberi kebebasan
sedemikian rupa untuk memenuhi kebutuhan dan selera laki-laki. Dalam ajaran
Nasrani, perempuan adalah senjata Iblis untuk menyesatkan manusia. Bahkan pada
abad ke-6 Masehi diselenggerakan suatu pertemuan untuk membahas apakah
perempuan itu manusia atau bukan. Dalam pembahasan tersebut kemudian
disimpulkan bahwa perempuan adalah manusia yang diciptakan semata-mata
melayani laki-laki.678
A. Hasjmy, menegaskan, jika saja keberadaan manusia berasal dari unsur
percampuran oleh karena adanya laki-laki dan wanita, maka kesatuan asal mereka itu
mengharuskan adanya persamaan hak dan kewajiban serta persamaan tanggung
jawab. Semua kaum Muslimin sekalipun berbeda warna dan kebudayaan mereka,
berbeda suku dan negeri mereka, namun semua mereka sama di depan Islam, hak dan
kewajiban agama mereka sama. Kedudukan keduanya sama dalam pandangan
negara, dan mereka juga sama di depan pengadilan. 679 Alquran menegaskan bahwa
manusia diciptakan dari sumber yang satu, yaitu Adam, baik laki-laki maupun
wanita. Menurut ajaran Islam, kewajiban laki-laki dan perempuanadalah sama, baik
676
Q. S. Ali-„Imran/003: 195. Q. S. Al-Nah}l/016: 97. Q. S. Al-Ah}zab/033: 35. dan
terdapat di beberapa ayat lainnya.
677
Said Aqiel Sirajd, Islam Kebangsaan: Fiqh Demokratik Kaum Santri, (Jakarta:
Pustaka Ciganjur, 1999), h. 17.
678
M. Quraish Shihab, Kodrat Perempuan Versus Norma Kultural, (Bandung:
Mizan, 1999), h. 77. Dalam, Syarifah Mudrika and Dian Yusri, “PerempuanAntara Posisi
Depan Dan Pinggiran,” Al-Bukhari : Jurnal Ilmu Hadis 2, no. 1 (October 25, 2019): 53–68,
https://journa l.iainlangsa.ac.id/index.php/bukhari/articl e/view/1131. Diakses Tanggal 6
Agustus 2020.
679
A. Hasjmy, Di Mana Letaknya Negara Islama..., h. 221.

162
dalam hubungan dengan masalah negara maupun masalah perang. Artinya, sama-
sama berkewajiban berperang atau berjihad untuk menegakkan agama Allah swt.,
membela tanah air, memimpin dan membangun negara, sebagaimana dapat dipahami
dari hadis-hadis Nabawi. Dan dalam Kerajaan Aceh Darussalam, hak
perempuanuntuk memegang jabatan-jabatan apa saja dalam kerajaan diakuinya. 680
Islam telah menceritakan dan mengabadikan dalam Alquran bagaimana
kepemimpinan Ratu Balqis yang berhasil dalam memimpin kerajaannya. 681 Dalam
menata kehidupan sosial politik pada masyarakat Madinah, Rasulullah Saw.
melakukan pendekatan melalui dua jalur. Pertama, Menata intern kehidupan
kaum Muslimin, dengan mempersaudarakan kaum Muhajirin dan Anshar secara
efektif dengan ikatan keimanan. Kedua, Nabi mempersatukan antara kaum
Muslimin dan kaum Yahudi bersama sekutu-sekutunya melalui perjanjian
tertulis yang terkenal dengan "Piagam Madinah", suatu perjanjian yang
menetapkan persamaan hak dan kewajiban semua komunitas dalam kehidupan sosial
dan politik.682
Kesepakatan ulama fikih (ijmak) dari keempat madzhab dan lainnya, salaf dan
kontemporer, bahwa perempuan tidak boleh menduduki jabatan “al-khila>fah al-
‘ammah atau al-ima>mah al-‘udzma‛. Namun tidak dipungkiri defenisi kedua istilah
ini memiliki perbedaan pandangan. Mayoritas memaknai kata ‚al-khila>fah al-
‘ammah atau al-ima>mah al-‘udzma‛ sebagai Kepala Negara yang membawahi
wilayah Islam di seluruh dunia, seperti yang terjadi pada zaman empat Khali>fah
pertama (khula>fa ar rasyidu>n), masa Khila>fah Abbasiyah dan Umayyah. Pada
umumnya Ulama fikih klasik melarang perempuan menjadi hakim, kecuali Ibnu
Hazm, Ibnu Jarir At-Tabari dan Ima>m Abu Hani>fah, mereka membolehkan
perempuan menduduki posisi apapun. Pandangan ketiga ulama terakhir ini menjadi
salah satu alasan ulama kontemporer atas bolehnya perempuanmenjabat posisi
apapun asal memenuhi syarat. 683
Di antara ciri-ciri demokrasi Islam dalam bidang politik sebagaimana yang
dipahami oleh A. Hasjmy. Pertama, Islam tidak melarang angkatan perang ikut aktif
dalam politik. Kedua, Islam tidak melarang golongan budak ikut dalam urusan-
urusan negara, mereka mempunyai hak yang sama dalam politik dengan golongan-
golongan yang lain. Ketiga, Islam tidak mencegah perempuanikut serta dalam
urusan-urusan negara. Islam menempatkan kedudukan perempuansama dalam

680
A. Hasjmy, PerempuanAceh dalam Pemerintahan dan Peperangan, (Banda
Aceh: Gua Hira‟, 1993), h. 3-4.
681
Tim, Pencerahan Intelektual: Referensi Bagi Khatib, Penceramah dan Da‗i..., h.
174.
682
M. Zainuddin, dan Ismail Maisaroh “Posisi PerempuanDalam Sistem Politik
Islam: Telaah Terhadap Pemikiran Politik Yusuf Al-Qardhawi”, MIMBAR, Vol. 21, No. 2
(April –Juni 2005) : 178-195, https://ejournal.unisba.ac.id/index.php/mimbar/issue/view/31.
Diakses Tanggal 18 Juni 2020.
683
Mhd. Abror, “Kepemimpinan PerempuanPerspektif Hukum Islam,” TERAJU 2,
no. 01 (March 25, 2020): 53–63, http://ejournal.stainkepri.ac.id/index.php/teraju/article/view/
89. Diakses Tanggal 16 Juni 2020.

163
politik,684 asalkan memiliki ketentuan yang ideal sesuai dengan ajaran Islam. Tipe
perempuan yang di idealkan adalah perempuan yang menyandang akhlakul karimah.
Salah satu dimensi akhlak adalah pengendalian diri dari sifat tercela. Manusia yang
berakhlak sudah tentu dapat mengendalikan diri dari sifat-sifat tercela. Sebab akhlak
yang baik menuntun seseorang Muslim mengendalikan dirinya sesuai dengan
tuntutan Alquran.685 Dalam hal ini, terdapat tiga sifat terpuji dalam diri pemimpin.
Pertama, cinta kepada Allah.686 Kedua, mengutamakan amal baik. 687 Ketiga, cinta
ilmu pengetahuan.688 Berkenaan dengan kepemimpinan dalam Alquran secara
konseptual, Islam telah mengatur pola kerja sama antara-laki-laki dan perempuan
untuk menjalankan sistem kehidupan secara harmonis. Kepemimpinan ideal adalah
kepemimpinan yang tidak ada diskriminasi antara laki-laki dan perempuan, akan
tetapi keduanya memiliki fungsi dan peran secara proporsional. 689
Sebagian ulama yang membolehkan perempuan menjadi pemimpin, lebih
dalam membangun argumentasinya berdasarkan pemahaman kontekstual terhadap
hadis yang melarang perempuan menjadi pemimpin.690 Memahami hadis tersebut
perlu disesuaikan dengan keadaan yang berkembang. Ketika Nabi Muhammad saw.,
bersabda melarang perempuan menjadi pemimpin, kenyataan yang berkembang
keberadaan perempuan dalam ranah sosial berada di bawah laki-laki. Kondisi seperti
ini lebih pada unsur kepercayaan saja, bahwa kemampuan diri perempuan dilihat dari
kemampuan diri, baik menyangkut dengan fisik maupun terkait dengan kemampuan
intelektual.691 Berdasarkan kemampuan ini, perempuan tidak dipercaya untuk
mengurus persoalan publik yang terkait dengan politik, apalagi terkait dengan

684
A. Hasjmy, Di Mana Letaknya Negara Islam..., h. 99.
685
Tim, Pencerahan Intelektual: Referensi Bagi Khatib, Penceramah dan Da‗i..., h.
177.
686
Q. S. Al-Furqan/025: 64.
687
Q. S. Al-Furqan/025: 71. Q. S. Al-Furqan/025: 72.
688
Q. S. Al-Furqan/025: 73.
689
Tim, Pencerahan Intelektual: Referensi Bagi Khatib, Penceramah dan Da‗i..., h.
180.
690
Artinya, “Tidak sukses suatu kaum (masyarakat) yang menyerahkan (untuk
memimpin) urusan mereka kepada perempuan”. Lihat, Syiha>b al-Di>n Abu> al-Fadl Ah}mad ibn
‘Ali>y ibn Hajar al-Asqala>ni>y, Fath al-Ba>ri>y, Juz VIV, h. 558. Dalam, Tasmin Tangngare ng,
“Kepemimpinan PerempuanDalam Perspektif Hadis,” KARSA: Jurnal Sosial dan Budaya
Keislaman, No. 23, No. 1 (June 5, 2015): 165, http://ejournal.st ainpamekasan.ac.id/i ndex.ph
p/karsa/article/view/615. Diakses Tanggal 19 Juni 2020.
691
A-Ra>zi> melihat ada dua yang menjadikan laki-laki lebih unggul dari wanita,
meliputi ilmu pengetahuan (al-„ilm) dan kemampuan fisiknya (al-Qudrah). Lihat, Fakhr al-
Di>n al-Ra>zi>, Al-Tafsîr al-Kabi>r, Juz X (Teheran: Da>r al-Kutub al-’Ilmi>yah, t.th.), h. 88.
Sementara al-Zamakhsyari> menambahkan, bahwa laki-laki lebih unggul dibandingkan
perempuan dilihat berdasarkan akal (al-„aql), ketegasan (al-hazm), kekuatan fisik (al-Qudrah),
dan kemampuan menulis lebih didominasi oleh laki-laki (al-kita>bah) dan kebenaran. Lihat,
al-Zamakhsyar>, Tafsi>r al-Kasysya>f, Juz I, (Mesir: ‘Isya al Ba>b al-Halabi> wa Syirkah, t. t.), h.
527. Dalam, Tasmin Tangngareng, “Kepemimpinan PerempuanDalam Perspektif Hadis,”
KARSA: Jurnal Sosial dan Budaya Keislaman, Vol. 23, No. 1 (June 5, 2015): 165, http://ejour
nal.stain pamekasan.ac.id/index.php/karsa/article/view/615. Diakses Tanggal 19 Juni 2020.

164
persoalan kenegaraan. Melihat kemampuan fisik dan kemampuan intelektual laki-laki
dianggap lebih berhak untuk mengurus urusan kenegaraan. Dan ini tidak hanya
berlaku di kawasan Persia semata, juga berlaku di daerah Arab, serta kawasan yang
lainnya. Ketika Islam datang dan merubah keadaan di mana sebelumnya perempuan
menjadi objek yang disengketakan keberadaannya di ranah publik yang menyangkut
dengan kekuasaan diberi hak kehormatan, dan juga mendapatkan persamaan hak,
terutama sekali hak pertanggung jawaban sebagai makhluk yang akan diminta
pertanggung jawaban dihadapan Tuhan. Termasuk pertanggung jawaban sebagai
makhluk sosial, yang menyangkut dengan politik dan kenegaraan.692
Fenomena kepemimpinan perempuan di nusantara menurut Antony Reid,
sebagaimana dikutip oleh Amirul Hadi, tidak diragukan lagi dan menjadi bukti
sejarah yang kuat untuk menegaskan betapa besar peran dan pengaruh perempuan
dilingkup kekuasaan dan masyarakat. Bukti historis juga menjadi dasar yang kuat
untuk mengkleim bahwa pemerintahan perempuan dikawasan ini merupakan
fenomena yang biasa. Artinya, bukan sebuah tradisi yang asing atau ganjil. 693
Memahami wacana yang menjadi perdebatan tentang kepemimpinan
perempuan, jika kontekstual yang menjadi alasan utama bagi kelompok ulama yang
membolehkan kepemimpinan berada di tangan wanita. Maka A. Hasjmy memulai
pembahasan tentang kepemimpinan perempuan berdasarkan kenyataan sejarah,
bahwa perempuan Aceh menduduki kepemimpinan sebagai Kepala Pemerintahan,
dan pemimpin era kemerdekaan. A. Hasjmy mengelompokkan peran perempuanAceh
dalam dua fase sejarah. Pertama, fase kedudukan perempuan Aceh dimasa lampau.
Kedua, kedudukan perempuan Aceh di era kemerdekaan. Perempuan Aceh dimasa
lampau berperan sebagai pemimpin dalam pemerintahan, diangkatnya ratu-ratu
kerajaan menjadi pemimpin berturut-turut secara turun temurun sebagai bukti bahwa
keberadaan perempuandalam hak kepemimpinan sama dengan laki-laki. Sementara
perempuanAceh di era kemerdekaan bereperan sebagai pejuang kemerdekaan dalam
mengusir penjajahan. Keberadaan perempuandi era ini bukan menjadi pemimpin
dalam mengatur roda pemerintahan dan menjaga stabilitas politik, melainkan sebagai
pengatur strategi peperangan di medan tempur. 694
Keberadaan perempuan sebagai pemimpin dalam sejarah kepemimpinan di
Aceh juga tidak terlepas dari pengaruh dari pemikiran ulama. Keberadaan ulama di
Aceh sebagai pemegang otoritas keagamaan sudah dimulai sejak abad ke tujuh belas.
Kedudukan ulama, secara hirarki keputusan dalam mengangkat atau memberhentikan

692
Muhammad Husayn al-Thaba„thaba„i, Tafsir al-Mi>za>n, Jilid IV, (Beirut: Mu „ass
asah al-‘A>lami> li al-Mat}ba„ah, 1991), h. 351. Lihat juga, Ami>n al-Khu>li>, Al-Mar‘ahah al-
Muslimah fi> al-Mu‘a>shir, (Bagdad: t. t.), h. 13. Dalam, Tasmin Tangngareng, “Kepemimp
inan PerempuanDalam Perspektif Hadis,” KARSA: Jurnal Sosial dan Budaya Keislaman, Vol.
23, No. 1 (June 5, 2015): 165, http://ejournal.stainpamekasan.ac.id/index. php/karsa/article/v
iew/615. Diakses Tanggal 19 Juni 2020.
693
Amirul Hadi, Aceh: Sejarah, Budaya dan Tradisi, (Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2010), h. 132.
694
A. Hasjmy, PerempuanAceh dalam Pemerintahan dan Peperangan, (Banda
Aceh: Gua Hira‟, 1993), h. 3.

165
ada di tangan penguasa. Fungsi dari tiga Syaikhul Islam, 695 semuanya adalah sufi,
guru, agama, dan penasehat penguasa, mufti serta penulis yang produktif.
Keterlibatan ulama dalam masalah politik sangatah bervariasi dari satu periode ke
periode lainnya. Selain mewakili simbol spiritual tertinggi abad ketujuh belas di
Aceh, keberadaan lembaga tertinggi keagamaan melambangkan kesatuan negara dan
agama. Keterlibatan negara dalam wacana keagamaan pada masa itu terlihat jelas.
Misalnya, pembahasan agama sering dilakukan di istana di hadapan penguasa. Para
ulamà juga berfungsi sebagai mentor dan penasehat bagi para penguasa.696
„Abd al-Ra„uf bin „Ali al-Jawi al-Fansuri al-Singkili (1615), as-Singkili telah
mengabadikan dirinya pada agama, ulama yang telah banyak menghasilkan karya
terkait dengan agama telah menghasilkan dua puluh karya yang meliputi hukum,
tafsir Alquran, tradisi dan teologi Nabi hingga mistisme. Di antara tulisan besarnya
adalah sebuah karya yang ditugaskan oleh ratu tetang hukum, berjudul “Mir‘a>t al-
T}ulla>b‛ (The Mirror for the Seekers), yang berhubungan dengan aspek mu„malàt
(urusan kehidupan sehari-hari) dari hukum Islam. Kitab ini selesai ditulis pada tahun
1663, dirancang untuk menjadi pedoman para Qadhi>. As-Singkili jauh-jauh hari telah
memberikan legitimasi kepada perempuan untuk menjadi pemimpin. Hal ini,
dibuktikannya atas pengakuan kemahkotaan kepada Ratu Safiyyat ad-Di>n sebagai
“Khali>fah Allah” (wakil Tuhan) dalam melaksanakan perintah Tuhan di negara yang
diberkati di Aceh Da>r al-Sala>m.697
Telaah yang saksama atas beberapa karyanya memberikan kesan bahwa, as-
Singkili menganut prinsip “persamaan” (equality) antara laki-laki dan perempuan
dari aspek kemanusiaan (humanity), kesempatan (opportunity), dan hak-hak (right).
Namun, ini tidak bermakna bahwa as-Singkili mengajarkan persamaan yang sejati,
karena dalam bidang-bidang tertentu „a>lim ini masih menganut kepercayaan
superioritas laki-laki sebagai pemimpin.698 Betapapun demikian, as-Singkili tetap
dianggap sebagai ulama yang moderat, dan cenderung memberikan ruang kepada
kaum perempuan untuk berperan aktif dalam berbagai bidang. 699 Di dalam berbagai
karyanya, as-Singkili tidak pernah menyebut secara ekplisit status hukum

695
Di antaranya adalah „Abd al-Ra„uf bin „Ali al-Jawi al-Fansuri al-Singkili,
Nuruddin ar-Raniry, dan Syamsuddin as-Sumatrani.
696
Amirul Hadi, Islam and State in Sumatra: A Study of Seventeenth-Century Aceh,
(Leiden Boston: Brill, 2004), h. 159-160.
697
Amirul Hadi, Islam and State in Sumatra: A Study of Seventeenth-Century
Aceh..., h. 157-159.
698
Q. S. an-Nisa>„/004: 34.
699
Dalam sejarah, sebagaimana dikutip oleh Amirul Hadi, as-Singkili dalam
bukunya Aceh: Sejarah, Budaya dan Tradis, ketika berbicara mengenai “hakim” as-Singkili
memberi peluang kepada perempuan untuk menjadi hakim. Bahkan dalam kitabnya Mi‗rat al-
Tulla>b, as-Singkili tidak menyebut secara spesifik “jenis kelamin” sebagai salah satu
persyaratan untuk menjadi seorang hakim. Meskipun dalam meberikan point mengenai
persyaratan untuk posisi tersebut, as-Singkili mengutip karya Zakariyya> al-Ans}a>ri>, yang
berjudul fath} al-Wahha>b. Di dalam karyanya ini, Zakariyya> al-Ans}a>ri sesungguhnya
mencantumkan jenis kelamin lelaki (mudhakkar) sebagai salah satu persyaratan untuk
menjadi seorang hakim. Poin ini sepertinya dikesampingkan oleh as-Singkili. Lihat, Amirul
Hadi, Aceh: Sejarah, Budaya dan Tradis..., h. 141.

166
pemerintahan perempuan, apakah ia dibolehkan atau dilarang dalam Islam. Namun,
pandangannya mengenai hal ini, dapat digali dari konsep Khila>fah yang ia pahami,
dan posisinya mengenai pemerintahan ratu di Aceh disarankan atas konsep ini.
Pertama, as-Singkili menganggap kerajaan Islam Aceh (kesultanan) sebagai sebuah
Khila>fah yang berdiri sendiri. Seorang Khali>fah yang ia artikan sebagai “wakil
Tuhan”, berkewajiban membumikan ajaran Islam. As-Singkili menegaskan bahwa
Khali>fah yang pertama di bumi adalah Nabi Adam as., peran ini kemudian
dilanjutkan oleh Para Nabi yang datang belakangan sampai pada Nabi Muhammad
saw. setelah Nabi yang terakhir ini wafat tugas Khila>fah dilaksanakan oleh empat
Khali>fah yang dikenal dengan al-khulafa> al-rasyidu>n. Dengan berakhirnya
kekhalifahan ini, maka tugas ini didelegasikan kepada para pemimpin umat Islam
yang ada di berbagai penjuru dunia. As-Singkili cenderung mengambil posisi
pragmatis dalam melihat umat Islam yang tersebar di berbagai penjuru dunia yang
demikian luas dan kemudian diperintah oleh berbagai entitas politik yang bertujuan
membumikan ajaran Islam.700
Terkait dengan kepemimpinan perempuanA. Hasjmy tidak bisa melepaskan
dari kenyataan fakta sejarah kepemimpinan perempuan Aceh di masa lampau.
Keberadaan perempuan tidak hanya dilihat dari kodratnya, melainkan dilihat dari sisi
kemampuan (leader) dan fungsinya. Dalam hal ini, A. Hasjmy mengemukakan
kepemimpinan perempuan di Aceh menjadi dua bagian. Pertama, di antaranya
sebagai negarawan. Kedua, di antaranya sebagai pahlawan kemerdekaan.701
Kerajaan-kerajaan Islam di Aceh pada masa lampau (Perlak, Pasai, Lingga, Daya,
dan akhirnya Darussalam) semuanya mengambil Alquran dan as-Sunnah menjadi
sumber hukumnya. Sesuai dengan ajaran Islam, maka kerajaan-kerajaan tersebut
telah memberi kepada kaum perempuan kedudukan yang sama dengan kaum laki-
laki, sehingga karena itu banyak muncul tokoh perempuan Aceh, baik sebagai
pemimpin pemerintahan maupun sebagai pahlawan dalam peperangan. Dalam
kerajaan Aceh Darussalam, di mana ditetapkan Islam sebagai dasar kerajaan dan
Alquran serta al-Hadis sebagai sumber hukum, maka kedudukan perempuan
disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan yang termaktub dalam sumber hukum itu.
Demikian pula kewajiban mereka terhadap kerajaan, seperti kewajiban untuk
membela dan memajukan kerajaan, oleh karena perempuan dipandang sama dengan
laki-laki dalam hukum kerajaan. Dalam Kitab “Safinatul H}ukkam” (Bahtera Para
Hakim) karangan ulama Aceh Syekh Jalaluddin Tursani, yang dikarang pada tahun
1721 M., jelas difatwakan bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai hak dan
kewajiban yang sama dalam kerajaan. Perempuan boleh menjadi raja atau sultan
asalkan memenuhi persyaratan yang ditetapkan. Berdasarkan dalil-dalil ayat Alquran
dan Hadis- hadis Nabawi, maka kerajaan-kerajaan Islam Perlak, Pasai dan Aceh
Darussalam, telah memberi kepada kaum perempuan“hak” dan “kewajiban” yang
sama dengan kaum laki-laki. Oleh karena itu adalah logis jika saja sejarah mencatat
sejumlah nama perempuan yang telah memainkan peranan yang amat penting di

700
Selengkapnya lihat, Amirul Hadi, Aceh: Sejarah, Budaya dan Tradisi..., h.140-
145
701
A. Hasjmy, PerempuanAceh dalam Pemerintahan dan Peperangan..., h. 5.

167
tanah Aceh masa lampau, sejak zaman kerajaan Islam Perlak sampai zaman revolusi
kemerdekaan.702
Memulai hak politik perempuan dalam Islam menurut A. Hasjmy sebagaima
telah disebutkan di atas bahwa, kedudukan perempuan dalam berbagai kedudukan
dalam Islam memiliki hak yang sama dengan laki-laki. Untuk mendukung
pendapatnya tentang kepemimpinan perempuan A. Hasjmy mengungkapkan fakta
sejarah pemikiran politik di Aceh pada masa Kerajaan Islam Samudra Pase (1042-
1428 M) dan di zaman Kerajaan Aceh Darussalam (1205-1903 M). Di mana dalam
masa-masa itu, Islam menjadi hukum dasar negara, maka kedudukan perempuan
dalam segala hal sama dengan laki-laki, baik dalam bidang politik, ekonomi, sosial
maupun pendidikan dan kebudayaan, bahkan juga dalam bidang pertahanan dan
keamanan (kemiliteran). 703 A. Hasjmy, dalam bukunya “Perempuan Aceh dalam
Pemerintahan dan Peperangan” menguraikan kedudukan perempuan dalam
pemerintahan di masa lampau dan era kemerdekaan di antaranya adalah Putri
Lindung Bulan, Putroe Phang, Ratu Nihrasiyah Rawangsa Khadiyu, Ratu
Safiatuddin, Ratu Naqiatuddin, Ratu Zakiatuddin, Ratu Kamalat Syah,704 Laksamana
Malahayati, Teungku Fakinah, Cut Nyak Dhien, Cut Meutia, Pocut Meurah Intan,
Pocut Baren, Teungku Fatimah.705
Hasan Basri, dalam bukunyan “Melampaui Islam Substantif: Biografi Politik
A. Hasjmy” mengemukakan, sebagaimana yang telah disebutkan di atas, sejumlah
perempuan Islam yang pernah menduduki pemimpin tertinggi dalam sejarah
kepemimpinan di Aceh. Dalam hal ini, A. Hasjmy, tentunya tidak bertujuan
membesar-besarkan perempuan-perempuan Aceh, namun disebutnya sebagai contoh
dari sekian banyak perempuan ternama yang tampil menjadi penguasa, panglima
perang, pendidik, dan pahlawan. Namun A. Hasjmy tidak mencontohkan kiprah
perempuan kontemporer di panggung politik dunia, seumpama Perdana Mentri Indira
Gandhi di India, Benazir Butho di Pakistan, Ratu Juliana dan Beatrix di Belanda,
Margareth Tatcher di London, dan Presiden Cory Aquino di Philipina. Menurut
Hasan Basri, ini tidak lain hanya sekedar menyebutkan peran perempuan Islam,
sebagai anti tesis terhadap persyaratan ketat, yang ditetapakan ulama terdahulu untuk
dapat menjadi kepala negara dalam Islam.706
Terkait dengan kedudukan perempuan dalam kontek politik, jika ditinjau
berdasarkan perspektif Alquran menekankan bahwa, laki-laki merupakan pemimpin
kaum perempuan.707 Kata al-rija>l sering diterjemahkan dalam pengertian laki-laki
dalam pengertian jenis kelamin. Berdasarkan argumentasi ini, laki-laki berhak
menjadi pemimpin atas diri wanita. Begitu juga dengan kata an-Nisa>‘ dalam

702
A. Hasjmy, PerempuanAceh dalam Pemerintahan dan Peperangan, (Banda
Aceh: Gua Hira‟, 1993), h. 3-5.
703
Hasan Basri, Melampaui Islam Substantif: Biografi Politik A. Hasjmy..., h. 257-
258.
704
Amirul Hadi, Aceh: Sejarah, Budaya, dan Tradisi..., h. 126-130.
705
A. Hasjmy, PerempuanAceh dalam Pemerintahan dan Peperangan, (Banda
Aceh: Gua Hira‟, 1993), h. 6-42.
706
Hasan Basri, Melampaui Islam Substantif: Biografi Politik A. Hasjmy..., h. 261.
707
Q. S. An-Nisa>‘/004: 34.

168
pengertiannya sering dipahami sebagai perempuan dalam bentuk jenis kelamin
juga.708 Dalam hal ini, A. Hasjmy memahami bahwa, kepemimpinan itu tidak harus
dilihat dari jenis kelamin, namun lebih dipahami berdasarkan kemampuannya dan
kecakapannya. 709 Menurut Yusuf Qardla>wi>, dalam bukunya Fiqh Daulah dalam
Perspektif Alquran dan Sunnah, menegaskan bahwa, keterkaitan kepemimpinan laki-
laki atas perempuan hanya dalam kontek kehidupan berumah tangga semata. 710 Pada
kaitannya, bahwa laki-laki merupakan pihak yang menafkahi terhadap wanita. 711
Menafkahkan sebagian harta bagi laki-laki merupakan bentuk tanggung jawab
sebagai kepala rumah tangga. Berdasarkan tanggung jawab ini, Yusuf Qardha>wi>
menyimpulkan bahwa, kepemimpinan laki-laki atas perempuan hanya dimaknai
dalam konteks kepemimpinan rumah tangga semata, dan tidak ada kaitannya dengan
kepemimpinan politik. 712
Kedudukan perempuan dalam Islam menurut A Hasjmy, sebagaimana
dijelaskan dalam Alquran, bahwa manusia diciptakan dari sumber yang satu yaitu
Nabi Adam as., yang tidak ada pembeda kedudukannya sebagai manusia. 713 Quraish
Shihab menafsirkan anak-anak Adam yang terdapat dalam surat al-Isra,714 mencakup
laki-laki dan perempuan. Demikian pula penghormatan Tuhan yang diberikan-Nya
mencakup pula anak-anak Adam seluruhnya, baik perempuan maupun laki-laki.
Pemahaman ini dipertegas lagi pada ayat yang lain.715 Hal ini menunjukan bahwa
sebagian kamu (hai umat manusia yang berjenis laki-laki) berasal dari pertemuan
ovum perempuan dan sperma laki-laki dan sebagian yang lain (hai umat manusia
yang berjenis perempuan) demikian juga halnya. 716 Berdasarkan fungsinya menurut
ajaran Islam, terdapat persamaan hak antara laki-laki dan perempuan dalam urusan
sosial, bangsa, dan negara. Jika ada perbedaan, hanya dilihat dari perspektif nilai

708
Masthuriyah Sa‟dan`, “Posisi Perempuan Kepala Keluarga Dalam Kontestasi
Tafsir & Negosisasi Realita Masyarakat Nelayan Madura: Kajian Muhammad Syahrur,”
Jurnal Studi Ilmu-ilmu Al-Qur‘an dan Hadis, Vol. 18, No. 2 (July 2, 2017): 211, http://ejour
nal.uin-suka.ac.id/ushuluddin/alquran/article/view/1802-04. Diakses Tanggal 10 Agustus
2020.
709
A. Hasjmy, 59 Tahun Aceh Merdeka di Bawah Pemerintahan Ratu, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1977), h. 24.
710
Yusuf Qardla>wi, Fiqh Daulah dalam Perspektif al-Qur‗an dan Sunnah, Terj.
Kathur Suhaidi, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1997), 233.
711
Syarial Dedi, “Pemimpin Rumah Tangga Dalam Tafsir (Kaji Ulang Pendapat
Feminis Dengan Metode Ta‟wīl),” Al-Ahwal: Jurnal Hukum Keluarga Islam, Vol. 11, No, 2
(2020): 1, http://ejournal.uin-suka.ac.id/syariah/Ahwal/article/view/1560. Diakses Tanggal 10
Agustus 2020.
712
Yusuf Qardla>wi, Fiqh Daulah dalam Perspektif al-Qur‗an dan Sunnah..., h 234.
713
Q. S. An-Nisa>„/ 004: 1.
714
Q. S. Al-Isra/017: 70.
715
Q. S. Ali-Imran/003: 195.
716
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran, (Bandung: Mizan, 1996), h. 301.
Dalam, Asliah Zainal, “Egalitarian Laki-Laki dan Perempuan dalam Keluarga Islam; Antara
Idealitas dan Realitas”, Shautut Tarbiyah, Vol. 19, No. 2, (2013), https://core.ac.uk/downloa
d/pdf/231136378.pdf. Diakses Tanggal 07 Agustus 2020.

169
ketakwaan semata. 717 Dalam hal ini, A. Hasjmy juga melihat kedudukan perempuan
dalam politik berdasarkan perspektif sejarah kepemimpinan di Aceh.
Pemikiran A. Hasjmy, mengenai hak politik perempuan bukan tanpa alasan
yang melatar belakanginya, dalam mengemukakan gagasannya tentang
kepemimpinan wanita, sebagaimana dikemukakan oleh Hasan Basri, A Hasjmy
terpengaruh dengan pendapat ulama besar di Aceh, Jalaluddin al-Tarusani. Menurut
al-Tarusani, perempuan boleh jadi Kepala Negara. Dalam kitabnya Safi>nat al-
H}ukka>m fi> Takhli>sh al-Khashsha>m (Bahtera Segala Hakim pada Menyelesaikan
Segala Orang yang Berkesumat). Menulis seperti dikutip A. Hasjmy. “dan sah saja
raja itu perempuan. Kemudian A. Hasjmy menerangkan bahwa, jika saja al-Tarusani
memberi fatwa tentang pembolehan perempuan menjadi Kepala Negara adalah
karena ijtihadnya yang berlandaskan nash Alquran yang menyatakan laki-laki dan
perempuan sama derajat. Ijtihad al-Tarusani ini bukan karena adanya tekanan dari
Sulthanah (ratu) Aceh yang berkuasa pada saat itu, sebab kitab tersebut ditulis pada
tahun 1740 M., sedangkan ratu terakhir yang memerintah kerajaan Aceh adalah
Sultanah Sri Kamalat Syah (1688-1699 M). Oleh karena demikian, al-Tarusani
menulis kitab itu setelah 44 tahun kewafatan Sultanah Aceh yang terakhir. Jika
ditinjau lebih lanjut, al-Tarusani pernah menjadi Qadhi Malikul „Adil, justru pada
masa kesultanan yang berupaya menggulingkan kekuasaan Para Ratu.718
As-Singkili menjelaskan, disatu pihak kelihatannya pemerintahan perempuan
merupakan fenomena yang normal. Pandangan ini dapat didukung oleh karena as-
Singkili tidak pernah menyatakan secara ekplisit maupun implisit, bahwa
pemerintahan ratu ketika itu terkait dengan kondisi darurat. Sebagaimana telah diurai
oleh as-Singkili, pandangannya yang moderat mengenai perempuan terlihat lebih
jelas dengan persetujuannya yang implisit bahwa seorang perempuan dapat
menduduki posisi sebagai seorang hakim. Kemudian sejarah panjang pemerintah ratu
di Aceh mendukung pandangan ini. Sejarah juga membuktikan bahwa, hanya setelah
ulama yang moderat dan berpengaruh ini wafat, pemerintahan ratu berakhir. 719
Kepemimpinan menurut A. Hasjmy menetapkan syarat, mengikuti
sebagaimana al-Mawardi,720 Ibnu Khaldun,721 dan Abdul Qadir Audah722. Dalam

717
Q. S. Al-Hujurat/ 049: 13.
718
A. Hasjmy, Bunga Rampai Revolusi dari Tanah Aceh, (Jakarta: Bulan Bintang,
1978), h. 125. Dalam, Hasan Basri, Melampau Islam Substantif: Biografi Politik A. Hasjmy...,
h. 261.
719
Amirul Hadi, Aceh: Sejarah, Budaya dan Tradis..., h. 143.
720
Al-Mawardi menetapkan syarat kepemimpinan di antaranya pemimpin harus
bersifat adil, memiliki kemampuan berijtihad, sehat fisik dan memiliki kecerdasan, memiliki
sifat keberanian, berbangsa dan berdarah keturunan Qurays. Lihat, Rahmawati, “Sistem
Pemerintahan Islam Menurut Al-Mawardi Dan Aplikasinya Di Indonesia,” DIKTUM: Jurnal
Syariah dan Hukum, Vol. 16, No. 2 (December 5, 2018): 264–283, http://ejurnal.iainpare.ac.i
d/inde x.php/diktum/article/view/621. Diakses Tanggal 6 Agustus 2020.
721
Sama halnya dengan al-Mawardi, namun Ibnu Khaldun tidak memasukkan
kebangsaan Qurays, sebab syarat tersebut memerlukan pembahasan tersendiri, karena tidak
semua ulama menyetujuinya. Lihat, A. Hasjmy, Di Mana Letakny Negara Islam..., h. 165.
722
Abdul Kadir Audah menetapkan kepemimpinan haruslah beragama Islam, dari
kalangan laki-laki, taklif, memiliki ilmu pengetahuan, bersikap adil, memiliki kemampuan

171
konteks ini, A. Hasjmy bertolak belakang dalam memahami konsep kepemimpinan
harus berasal dari suku Qurays dan kaum laki-laki. Menolak kedua syarat tersebut
sebagai syarat mutlak, menurut A. Hasjmy bertentangan dengan prinsip-prinsip hak
asasi manusia yang diakui Islam dengan nash yang pasti. Jika terdapat juga beberapa
hadis yang pada lahirnya nampak seakan-akan mensyaratkan kusus turunan Qurays
dan laki-laki yang boleh untuk menjadi pemimpin. A. Hasjmy melihat bahwa, Hadis-
hadis tersebut mungkin sekali untuk maksud terbatas, baik berbatas waktu atau
tempat. Karena jika saja bukan demikian, maka keberadaan Hadis-hadis tersebut
bertentangan dengan nash-nash ayat-ayat Alquran dan Hadis-hadis Nabi yang lain,
yang dengan tegas mempersamakan derajat dan kedudukan laki-laki dan perempuan
dalam masyarakat, kecuali dalam hal-hal tertentu yang berhubungan dengan
perbedaan fisik dan watak.723
Ditinjau dari khazanah Pemikiran Politik Islam, gagasan politik A. Hasjmy
mengenai kedudukan dan peran perempuan dalam kancah politik, pemikiran A.
Hasjmy berbeda dengan pendahulunya. Para pakar politik Islam dari kalangan Sunni,
terutama pakar politik abad pertengahan cenderung membatasi aktifitas politik
perempuan, bahkan perempuan hampir tidak mendapati tempat dalam dunia politik
(pemerintahan). Pada umumnya, syarat-syarat menjadi Kepala Negara harus dari
kalangan laki-laki. Pendapat ini antara lain dikemukakan oleh Muh}ammad Ra>syid
Ridha>, ‘Abd al-Qa>dir ‘Audah, H}izbu at-Tahri>r, dan Muh}ammad ‘Abd al-Qa>dir Abu>
Fa>ris. Berdasarkan kaitan tersebut, sepanjang sejarah politik umat Islam, tidak
ditemukan adanya Khali>fah atau Ima>m dari kalangan perempuan. Namun, istilah lain
untuk perempuan yang menjadi pemimpin atau Kepala Negara disebut dengan
sultanah dan malikah. Dalam Bahasa Indonesia, kedua istilah tesebut identik dengan
ratu. Maka dalam perjalanan sejarah politik terdapat ratu-ratu yang memimpin
beberapa negeri Muslim di dunia.724
Sejarah keterlibatan perempuan di Aceh, menurut A. Hasjmy, tidak hanya
terdapat perempuan dalam pemerintahan semata, namun juga menjadi pemimpin
dalam peperangan. Menelusuri istilah sultanah di Aceh A. Hasjmy menulis sebuah
buku dengan judul “Perempuan Aceh dalam Pemerintahan dan Peperangan ”.725
Kepemimpinan perempuan dalam catatan sejarah pembentukan hukum dalam Islam
tidak memiliki ruang diskusi yang memadai, walaupun dalam Alquran terdapat kisah
tentang kepemimpinan perempuan, namun bagi pakar hukum Islam tidak menjadi
landasan dari kaedah-kaedah hukum. Walaupun demikian, catatan sejarah menjadi
penting untuk dijadikan gagasan pendukung dalam membangun legitimasi dalam
pembentukan kajian metodologinya. Dalam catatan sejarah perempuan telah

dan kecakapan, dan berasal dari suku Qurays. Lihat, A. Hasjmy, Di Mana Letakny Negara
Islam..., h. 167-169.
723
A. Hasjmy, Di Mana Letakny Negara Islam..., h. 169.
724
Hasan Basri, Melampaui Islam Substantif: Biografi Politik A. Hasjmy..., h. 263.
725
Baca, A. Hasjmy, PerempuanAceh dalam Pemerintahan dan Peperangan, (Banda
Aceh: Gua Hira‟, 1993).

171
mendapati peran penting, baik pada masa Nabi, Sahabat, dan di-era pemerintahan
dinasti besar.726
Meskipun dalam catatan sejarah tidak pernah ada perempuan yang menjadi
Khali>fah, namun menurut yang diutarakan oleh Fatima Mernisi, seorang sarjana
hukum asal Maroko mengungkapkan bahwa, telah terdapat beberapa di antaranya
perempuan yang menduduki posisi sultnah dan malikah, seperti Sultanah Malikah
yang memegang kekuasaan di Delhi India, pada tahun 1236 M., dan juga terdapat
perempuan lain yang menyandang gelar sultanah adalah Syajarat al Durr. 727 Dimasa
berlangsungnya kerajaan Islam Samudra Pase, juga telah dipimpin oleh perempuan
(1042-1428 M),728 dan di-zaman Kerajaan Aceh Darussalam (1205-1903 M) dalam
rentang waktu 59 tahun A. Hasjmy mengungkapkan, Aceh dalam sejarah telah
diperintahkan oleh beberapa orang ratu. 729 Bahkan menurut A. Hasjmy, posisi
kepemimpinan perempuansaat itu tidak hanya menduduki sebagai Kepala Negara
semata, namun juga terlibat sebagai panglima perang dalam pertempuran melawan
penjajah.730
A. Hasjmy, menegaskan bahwa, perempuan tidak dilarang menjadi
pemimpin (sultanah) asalkan memiliki kemampuan menguasai Ilmu Pengetahuan dan
memiliki kecakapan dalam memimpin. 731 Berdasarkan Alquran dan hadis sebagai
sumber hukum utama pada kerajaan-kerajaan Islam di Aceh,732 A. Hasjmy
mempertegas atas dasar persamaan hak dan kedudukan antara kaum laki-laki dan
perempuan yang ditanamkan Islam. Maka dengan demikian, atas ajaran Islam
tersebut lahirnya tokoh-tokoh perempuan Aceh sebagai pemimpin dalam
pemerintahan. 733 Dengan demikian, menurut A. Hasjmy mencopot hak-hak
perempuan dalam kedudukan politiknya adalah bertentangan dengan azas Islam yang
mengajarkan, bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai hak dan kewajiban yang
sama dalam bidang agama, politik, ekonomi, dan sosial, kecuali dalam hal-hal kusus
karena perkembangan fisik dan biologis.734 Menguatkkan argumentasinya A. Hasjmy
mengutip ayat Alquran, bahwa Islam memberi hak dan kewajiban politik yang

726
Rusdaya Basri, “Gender dalam Perspektif Hadis Maudhu‟i”, AL-MAIYYAH, Vol.
12, No.1, (JUNI 2019): 92-112, http://almaiyyah.iainpare.ac.id/index.php/almaiyah/art icle/vi
ew/685. Diakses Tanggal 08 Agustus 2020.
727
Hasan Basri, , Melampaui Islam Substantif: Biografi Politik A. Hasjmy..., h. 263.
728
A. Hasjmy, Sejarah Kebudayaan Islam di Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang,
1990).
729
A. Hasjmy, 59 Tahun Aceh Merdeka di Bawah Pemerintahan Ratu, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1977). Lihat juga, M. Zainuddin, Tarich Atjeh dan Nusantara, (Medan:
Pustaka Iskandar Muda, 1961).
730
A. Hasjmy, PerempuanAceh dalam Pemerintahan dan Peperangan, (Banda
Aceh: Gua Hira‟, 1993).
731
A. Hasjmy, 59 Tahun Aceh Merdeka di Bawah Pemerintahan Ratu..., h. 24.
732
Ayang Utriza Yakin, “Islamisasi dan Syaria„atisasi Samudra Pasai Abad ke-14
Masehi”, ISLAMICAI: Jurnal Studi Keislaman, Vol. 9, No. 2 (Maret-2015): 270-294, http://isl
amica.uinsby.ac.id/index.php/islamica/article/view/232. Diakses Tanggal 08 Agustus 2020.
733
A. Hasjmy, PerempuanAceh dalam Pemerintahan dan Peperangan..., h. 3.
734
A. Hasjmy, Di Mana Letaknya Negara Islam..., h. 173.

172
sebesar-besarnya kepada kaum perempuan, sama halnya seperti yang diberikan
kepada kaum laki-laki.735
Memahami tentang hak dan kewajiban perempuan dalam Islam, yang mana
pada umumnya sama dengan hak dan kewajiban laki-laki, A. Hasjmy,736
menyimpulkan dengan mengutip uraian yang disampaikan oleh Muhammad Izzat
Duruzah, bahwa “berdasarakan ayat-ayat yang telah menguraikan tentang
kepemimpinan, sesungguhnya Alquran telah menetapkan adanya persekutuan antara
laki-laki dan perempuan dalam konteks kepemimpinan negara dan kepemimpinan
dalam masyarakat, dengan kedudukan yang sama, kecuali pada beberapa perbedaan
kecil oleh karena perbedaan kelamin semata. Islam telah memberikan kepada
perempuan hak-hak yang sama dengan laki-laki, terutama sekali dalam kegiatan
sosial dan politik, bahkan dalam segala kegiatan hidup. Di antaranya adalah
berkesempatan untuk mempelajari berbagai macam jenis Ilmu Pengetahuan serta
berbagai macam cabang kesenian. Demikian juga dalam konteks kehidupan
perwakilan dan lainnya yang berhubungan dengan perbuatan undang-undang,
pengurusan urusan-urusan umum, penyusunan organisasi-organisasi kebangsaan,
perjuangan sosial dan politik”. Dalam hal ini, A. Hasjmy juga menyimpulkan, sesuai
dengan apa yang telah disampaikan oleh Sayyid Quthub bahwa “Islam menjamin
kepada perempuan persamaan penuh yang sama dengan laki-laki. Islam tidak
mengakui adanya perbedaan antara dua jenis makhluk ini, kecuali dalam hal-hal
kekhususan jenis kelaminnya, atau pengalaman dan pendidikan, yang tidak
menyentuh hakikat kejadian antara laki-laki dan perempuan. Dan kedua jenis
makhluk ini dipandang sama dalam kedudukan agama.

735
Q. S. Al-Mumtahanah/060: 12.
736
A. Hasjmy, Di Mana Letaknya Negara Islam..., h. 174-175.

173
Skema konsep kekuasaan politik dan sistem kepemimpianan Islam A. Hasjmi
dapat digambarkan sebagai berikut:

Pemikiran Politik Islam A.


Hasjmy

Islam

Paradigma/Kerangka
Konsep-Konsep
Pemikiran

Integral Moderat Konsep Konsep


Negara Islam Kekuasaa
n
Nasionalisme
Religius
Konsep
Kepemimpinan
Pancasila

Tauhid Ukhuwah
Islamiyah

174
BAB V
RELASI ISLAM DAN POLITIK
DALAM KONTEKS KE-INDONESIAAN

Bab ini menguraikan relasi Islam dan politik dalam konteks Ke-Indonesiaan.
Wacana Islam dan politik telah menggiring lahirnya tiga varian pemikiran politik di
Indonesia, meliputi varian Islamis, nasionalis, dan sosialis-ekonomi. Setiap varian
ideologis memiliki konsep tersendiri. Indonesia sebagai negara yang multi-etnis,
agama, dan suku, kekuasaan selalu dipahami dari atas ke bawah. Setiap daerah mesti
mengikuti transformasi kekuasaan dari pusat. Dan ini berbeda dengan A. Hasjmy,
yang mencoba menguraikan kekuasaan dari daerah. Transformasi nilai politik lokal
menuju pemikiran politik nasional ditunjukkanya dalam sebuah upaya mendamaikan
pemberontakan DI/TII di Aceh. Usaha A. Hasjmy dalam melerai konflik di-awal
kemerdekaan Indonesia didorong oleh semangat integralistik Mohammad Natsir.
Damainya pemberontakan DI/TII di Aceh telah membawa perubahan mendasar
terhadap nilai tawar posisi politik Aceh dalam wilayah kekuasaan nasional, sehingga
dengannya Aceh menjadi daerah yang mendapatkan keistimewaan dalam bingkai
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pembahasan dalam bab ini diawali dengan
wacana Islam politik di Indonesia yang meliputi ideologi Islamis/tradisionalis,
ideologi nasionalis, dan ideologi sosialis- ekonomi. Mosi Integral Nasional dan Peran
Integralistik di Aceh, meliputi pemberontakan DI/TII di Aceh, peran integrasi
kebangsaan, dan menuju ikrar Lamteh. Relasi Isalam dan Pancasila, semangat
merdeka dan nasionalisme kebangsaan.

A. Wacana Islam Politik di Indonesia


Diskursus Islam politik737 di Indonesia, menurut Bahtiar Effendi terbagi pada
tiga periode. Pertama, periode pra-kemerdekaan. Kedua, periode pascarevolusi:
perjuangan demi Islam sebagai dasar ideologi negara. Ketiga, Periode orde baru:
„penjinakan” idealisme dan aktivisme politik Islam. 738 Menurut Azyumardi Azra,
sekitar abad ke tiga belas sudah terjalin kontak Islam dan politik di Indonesia. 739
Sejarah mencatat, dikala pemerintah pusat sedang menghadapi serentetan
pergolakan daerah, antara lain pemberontakan Darul Islam di Aceh, menuntut
terbentuknya negara Islam Indonesia. Dalam hal ini, tuntutan daerah Aceh ada
paralelitasnya dengan gerakan yang sejiwa di Jawa Barat dan Sulawesi Selatan.
Namun sekalipun ada persamaannya, terlihat pula adanya perbedaan. Antara lain,
karena rakyat Aceh sejak dulu terkenal berjiwa anti-kolonialisme melawan Belanda,

737
Fahmy Farid Purnama, “Khawarijisme: Pergulatan Politik Sektarian Dalam
Bingkai Wacana Agama” Al-A'raf: Jurnal Pemikiran Islam dan Filsafat, Vol. 14, No 2, (Juli-
Desember 2016): 214-232, http://ejournal.iainsurakarta.ac.id/index.php/al-araf/article/vi ew/1
56. Diakses Tanggal 10 Juni 2020.
738
Bahtiar Effendi, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik politik
Islam di Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1998), h. 61-124.
739
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepu lauan Nusantara
Abad XVII dan XVIII Melacak Akar akar Pembaruan Pemikiran Islam di Indonesia (Bandung
Mizan 1994), h. 25.

175
begitu juga dengan perlawanan terhadap Jepang. Dan sejak berdirinya Republik
Indonesia pada tahun 1945, Aceh terkenal sebagai daerah yang selalu menyokong
Pemerintah Pusat melawan agresi Belanda. Hanya karena Jakarta kemudian terlalu
sentralistis dalam mengendalikan pemerintahan, rakyat Aceh menentangnya. Apalagi
karena sejak tahun 1950-an Aceh dilebur ke dalam provinsi Sumatra Utara. Dengan
itu, timbulnya perlawanan terhadap pusat yang dipimpin oleh gerakan Darul Islam.
Dalam saat- saat itulah nama A. Hasjmy mulai terdengar di pusat, yaitu sebagai putra
daerah yang kokoh kemuslimannya, kemukminannya, dan kemukhsininnya, serta
yang menyala-nyala jiwa nasionalisme dan patriotismenya. A. Hasjmylah yang ikut
mempengaruhi Pemerintah Pusat untuk melepaskan Aceh dari “kungkungan”
Provinsi Sumatra Utara, dan Aceh menjadi provinsi sendiri. 740
Sejak berakhirnya kolonialisme Barat pada pertengahan abad ke-20,741
negara-negara Muslim (misalnya Turki, Mesir, Sudan, Maroko, Pakistan, Malaysia,
Aljazair) mengalami kesulitan dalam upaya mereka mengembangkan sintesis yang
memungkinkan (viable) antara praktek dan pemikiran politik Islam dengan negara di
daerah mereka masing-masing. Di negara-negara tersebut, hubungan antara politik
dan negara ditandai oleh ketegangan-ketegangan yang tajam, jika bukan permusuhan.
Sehubungan dengan posisi Islam yang menonjol di wilayah tersebut, yakni karena
kedudukannya sebagai agama yang dianut sebagian besar penduduk, hal ini tentu saja
merupakan kenyataan yang menimbulkan tanda tanya. Kenyataan inilah yang telah
menarik perhatian sejumlah pengamat Islam politik untuk mengajukan pertanyaan:
apakah Islam sesuai dengan sistem politik modern, di mana gagasan negara dan
bangsa merupakan salah satu unsur pokoknya. 742
Sebagian besar karya penting tentang hubungan antara Islam dan politik atau
Islam dan negara memakai pendekatan tipologis untuk menjelaskan perbedaan-
perbedaan sikap kaum Muslim Indonesia dalam menghadapi isu-isu religius-politik.
Hal ini disebabkan terutama oleh fakta bahwa Islam Indonesia adalah campuran
bermacam ragam kelompok dan tidak bisa digambarkan dalam satu generalisasi.
Studi terkenal Clifford Geertz menemukan tiga varian khas Muslim Jawa. Trikotomi
ini, dikenal sebagai santri, 743 priyayi,744 dan abangan, 745 bukan hanya mencerminkan

740740
A. Hasjmy, Aset Sejarah Masa Kini dan Masa Depan: Delapan Puluh Tahun
Melalui Jalan Raya Dunia, Penyusun, Badruzzaman Ismail, dkk, (Jakarta: Bulan Bintang,
1994), h. 17-18.
741
Bahtiar Effendi, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik politik
Islam di Indonesia..., h. 62-63.
742
Bahtiar Effendi, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik politik
Islam di Indonesia..., h. 2.
743
Santri adalah sekelompok orang terdidik yang berasal dari kalangan pesantren,
kelompok terpelajar yang hadir dari produk pendidikan Islam. Arah politik santri lebih
cenderung pada partai yang berasaskan Islam seperti Masyumi dan Nadhlatul Ulama.
744
Priyayi adalah kelompok yang merujuk pada elit birokrat dan aristrokrat kraton
jawa. Dalam politik, seperti halnya abangan, sebagian besar priyayi mendukung partai-partai
secular nasionalis.
745
Abangan merupakan sekelompok Muslim yang sebagian besar adalah petani dan
tinggal diwilayah pedesaan yang berprofesi sebagai petani. Kaum abangan pilihan politiknya
lebih cenderung pada partai politik seculer non relgius seperti PNI, PSI, dan PKI.

176
struktur religius-kultural, melainkan juga menjelaskan komposisi politik dan
ekonomi.746
Deliar Noer, dalam karyanya The Modernist Muslim Movement in Indonesia,
memberikan klasifikasi terkait tipologi religius-politik yang lebih luas, Noer
membagi sikap-sikap religius-politik Muslim Indonesia menjadi “modernis” dan
“tradisionalis”. Modernis adalah Muslim yang berpandangan bahwa modernitas bisa
diterima sebagai instrumen baru bagi kemajuan Islam. Tradisionalis adalah Muslim
yang percaya bahwa nilai-nilai tradisional masih cocok dengan kehidupan
kontemporer. Baik modernis maupun tradisionalis percaya akan nilai-nilai utama
dalam doktrin politik Islam, misalnya, negara harus punya dasar religius, penerapan
syariat Islam, dan komitmen terhadap intisari prinsip-prinsip Islam. Jadi, dalam
politik, baik modernis maupun tradisionalis mendirikan satu partai Islam tunggal
Masyumi. Hanya saja, karena perbedaan sudut pandang dan kepentingan politik
pragmatis, partai itu pecah di tahun 1952. Kaum tradisionalis mendirikan partai
mereka sendiri, Partai Nahdlatul Ulama.747
Pembagian modernis-tradisionalis didasarkan terutama pada kategorisasi
748
santri, jika kita memakai istilah Geertz. Pembagian ini tidak melingkupi kaum
Muslim Indonesia yang lebih luas. Secara nasional, tanpa memperhatikan latar
belakang agama mereka, Noer mengklasifikasikan sikap politik Muslim Indonesia ke
dalam apa yang ia sebut “nasionalis netral agama” dan “nasionalis Muslim”. Dalam
menghadapi isu-isu seperti Nasionalisme, negara, dan pemerintah, kaum nasionalis
netral agama menolak dasar Islam yang didukung oleh kaum nasionalis Muslim.
Klasifikasi Noer diterima luas.749 Endang Saifuddin Anshary, misalnya, memakai
tipologi ini dan memodifikasinya ke dalam “nasionalis Islami” 750 dan “nasionalis
sekular”.751

746
Luthfi Assyaukanie, Ideologi Islam dan Utopia, (Jakarta: Freedom Institute, 2011),
h. 4. Lihat juga, Mahli Zainudin Tago, “Agama Dan Integrasi Sosial Dalam Pemikiran
Clifford Geertz,” KALAM, Vol. 7, No. 1 (2017): 79-94, http://ejournal.radenintan.ac.id/index.
php/KALAM/article/view/377. Diakses Tanggal 3 September 2020.
747
Wasisto Raharjo Jati, “Ulama Dan Pesantren Dalam Dinamika Politik Dan Kultur
Nahdlatul Ulama,” ULUL ALBAB Jurnal Studi Islam (September 17, 2013), http://ejournal.ui
n-malang.ac.id/index.php/ululalbab/article/view/2377. diakses Tanggal 3 September 2020.
748
Ali Maksum, “Ali, “Model Pendidikan Toleransi Di Pesantren Modern Dan
Salaf,” Jurnal Pendidikan Agama Islam (Journal of Islamic Education Studies), Vol. 3, No. 1
(February 7, 2016): 81, http://jurnalpai.uinsby.ac.id/index.ph p/jurnalpai/article/view/40.
Diakses Tanggal 6 Septemb er 2020.
749
Luthfi Assyaukanie, Ideologi Islam dan Utopia, (Jakarta: Freedom Institute,
2011), h. 6.
750
Lebih lanjut baca, Dadan Muttaqien, “Kompromi Politik Antara Nasional Islami
Dengan Nasionalis Sekuler Sebuah Solusi Dalam Pemilihan Presiden Di Republik Indonesia,”
Al-Mawarid, Vol. 8 (2002). : 40-51, http://jurnal.uii.ac.id/index.php/JHI/article/ view/6127.
Diakses Tanggal 3 September 2020.
751
Anjar Nugroho, “Wacana Islam Dan Negara Era Pra-Kemerdekaan: Pergulatan
Ideologis Kelompok Islam Dan Nasionalis Sekuler,” Afkaruna, Vol. 9, No. 2 (2013): 129–
147, http://journal.umy.ac.id/index.php/afkaruna/article/view/37. Diakses Tanggal 3
September 2020.

177
Islam Indonesia, kata Ali dan Effendy, bisa dikategorisasikan ke dalam
paling tidak empat kelompok. Pertama, neo-modernis, yakni, kelompok Muslim
yang ingin mencampur tradisi dan modernitas. Bagi kelompok ini, modernitas
bukanlah sesuatu yang harus ditolak, bukan juga sebagai pengenyampingan nilai-
nilai tradisional. Neo-modernis adalah intelektual yang ingin “mempertahankan yang
baik dari yang lama, dan mengambil yang terbaik dari yang baru” (al-muh}afadhah
‘ala al-qadim al-s}alih} wa al-akhdz bi al-jadi>d al-as}lah}). Kedua, sosial demokrat,
yakni, kelompok Muslim yang memandang Islam sebagai inspirasi bagi keadilan
sosial dan ekonomi. Ketiga, internasionalis atau universalis Islam yang percaya Islam
adalah agama universal, dan karena itu, Islam harus menjadi pemimpin dalam setiap
aspek kehidupan manusia. Keempat, modernis, yang serupa dengan modernis Islam
menurut tipologi lama. Ali dan Effendy menyimpulkan studi mereka dengan
menegaskan: keempat pola di atas, yang merupakan peta baru pemikiran Islam
Indonesia, serta pengelompokan yang tentunya tidak terlalu memuaskan semua
pihak, diangkat dari realitas perkembangan kekinian yang mengatasi dikotomi
pemikiran modernis-tradisionalis.752
Menarik dicermati pola-pola pemikiran politik Islam dalam kaitan dengan
perseteruan Islam dan negara pasca kemerdekaan, di mana sebagian kalangan
memandangnya sebagai sikap moderat umat Islam Indonesia di masa itu. Oleh karena
demikian, banyak kalangan melihat sebagai “kesuksesan” para tokoh Islam
melahirkan falsafah dasar negara yaitu Pancasila melalui deklarasi Piagam Jakarta
tahun 1945. Meski demikian, harus diakui bahwa tidak sedikit juga yang menilai hal
tersebut sebagai “kegagalan” ulama atau tokoh pergerakan Islam dalam perumusan
final Piagam Jakarta, terutama terkait dengan penghapusan sembilan kata dalam sila
pertama Pancasila yaitu “ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam
bagi pemeluk-pemeluknya”, yang kemudian berubah menjadi empat kata yaitu sila
“Ketuhanan Yang Maha Esa”. Inilah antara lain hasil dari berbagai dialog dan diskusi
panjang, penuh kemelut dan melelahkan umat Islam Indonesia pasca kemerdekaan
dalam menyikapi tema “relasi Islam dan negara”.753
Piagam Jakarta merupakan bukti awal bahwa politik Islam terlihat sebagai
ancaman ideologis. 754 Pada waktu itu, politik Islam belum diwakili oleh sebuah partai
politik tunggal. Masyumi suatu federasi dari seluruh organisasi sosial dan partai-
partai politik Islam, baru terbentuk pada november 1945, sebagai tindak lanjut dari
kongres umat Islam. Kongres semacam ini tenyata telah dilaksanakan sebelumnya,
tapi karena konflik internal dikalangan umat, keinginan kekuatan politik Islam yang
bersatu seperti Masyumi belum pernah tercapai. Baru setelah kemerdekaan, karena

752
Luthfi Assyaukanie, Ideologi Islam dan Utopia..., h. 7-8. Lihat juga, Bahtiar
Effendi, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik politik Islam di Indonesia,
(Jakarta: Paramadina, 1998).
753
Hamsah Hasan, “Hubungan Islam Dan Negara: Merespons Wacana Politik Islam
Kontemporer Di Indonesia,” Al-Ahkam 1, no. 25 (April 25, 2015): 1 9, http://jou rnal.waliso
ngo.ac.id/index.php/ahkam/article/vi ew/192. Diakses Tanggal 3 September 2020.
754
Mujar Ibnu Syarif, “Spirit Piagam Jakarta Dalam Undang-Undang Dasar 1945,”
JURNAL CITA HUKUM, Vol. 4, No. 1 (June 2, 2016): 15-32, http:// journal.uinjkt.ac.id/index
.php/citahuk u m/article/view/3568. diakses Tanggal 7 September 2020.

178
perbedaan dan perdebatan ideologis, perasaan bahwa seluruh umat Islam punya
“musuh bersama” menguat. Ini mempercepat persatuan hingga dimungkinkan
lahirnya Masyumi sebagai partai federatif.755
Faktor lain yang mendorong terbentuknya Masyumi adalah faktor eksternal:
eksistensi Partai Nasional Indonesia, yang didirikan Agustus 1945 dan diklaim oleh
Soekarno sebagai satu-satu partai dalam negara baru. Walaupun partai ini tidak dapat
dikatakan sebagai kelanjutan dari PNI sebelumnya yang dipimpin Soekarno tahun
1920-an, rakyat menganggapnya sama, karena dukungan yang diberikan Soekarno
dan Mohammad Hatta, proklamator kemerdekaan Indonesia. Kalau eksistensi PNI
merupakan sumber kecemburuan bagi kelompok politik Islam, kemunculan Masyumi
dua bulan kemudian dan juga partai-partai yang lain, menjadi tantangan bagi umat
Islam yang tidak berafiliasi politik. Sejarah politik Indonesia dalam beberapa tahun
kemudian adalah sejarah perjuangan antara dua fiksi. Tantangan-tantangan terhadap
Masyumi tidak hanya datang dari PNI, tapi juga dari Partai Komunis Indonesia (PKI)
yang telah lama menjadi musuhnya. Pertentangan antara Masyumi dan PKI
melahirkan pemberontakan Madiun tahun 1948. Kabinet Indonesia pertama, yang
dipimpin oleh Sjultan Sahrir yang pro PKI digantikan oleh kabinet yang dipimpin
oleh Mohammad Hatta yang pernah bersimpati pada Masyumi. 756
Mengaitkan Islam dan politik di Indonesia merupakan hal yang sangat
esensial, dan bahkan krusial. Sebagai agama yang dominan dalam masyarakat
Indonesia, Islam telah menjadi unsur yang paling berpengaruh dalam budaya
Indonesia, dan merupakan salah satu unsur terpenting dalam politik Indonesia.
Namun demikian, Islam hanya berperan marginal dalam wilayah kehidupan politik
nasional. Hal ini antara lain disebabkan karena dikotomi “Politik Islam” dan “non
politik Islam” di kalangan umat Islam Indonesia yang telah berlangsung lama.
Dikotomi tersebut lahir dari sifat dasar Islam Indonesia yang heterogen. 757
Segmentasi Islam di Indonesia mempunyai beberapa dimensi. Pertama,
dimensi budaya, yakni kelompok-kelompok Islam di Indonesia yang mempunyai
latar belakang budaya keagaamaan yang berbeda, terkait dengan perbedaan latar
belakang sosial budaya. Pluralisme masyarakat Indonesia yang mayoritas
penduduknya beragama Islam, muncul dari perbedaan latar belakang etnik, bahasa,
dan adat istiadat, dan juga sangat dipengaruhi oleh perbedaan geografis, serta sifat-
sifat dasar kekuasaan atas budaya mereka. 758 Sebagaimana A. Hasjmy menyimpulkan
bahwa, kebudayaan Aceh sebagai bagian dari wilayah Indonesia, tidak dapat
memisahkan dirinya dari kebudayaan Islam itu sendiri, keberadaan keduanya saling
mempengaruhi. 759 “Adat ngon hukom Lage zat ngon sifet”.760 Kedua, dimensi yang
755
Tomi Nurdamarsah, “Politik Masyumi Di Masa Demokrasi Parlementer 1950-
1959 “, Herodotus: Jurnal Pendidikan IPS, Vol. 1, No. 1, (Maret 2018): 2 1-28,https://journal
.lppmunindra.ac.id/index.php/herodotus/article/download/2874/2068. Diakses Tanggal 4
September 2020.
756
Din Syamsuddin, Islam dan Politik Era Orde Baru..., h. 27-28.
757
Din Syamsuddin, Islam dan Politik Era Orde Baru..., h. 21.
758
Din Syamsuddin, Islam dan Politik Era Orde Baru..., h. 43.
759
Sri Waryanti, “Makna Rencong Bagi Ureueng Aceh,” Patanjala : Jurnal Pene
litian Sejarah dan Budaya, Vol. 5, No. 3 (August 4, 2017): 403, http://ejurnalpatanjala. kemd
ikbud.go.id/patanjala/index.php/patanjala/article/view/86. Diakses Tanggal 24 Februari 2020

179
besifat psikologis, sentimen kultural ini, menumbuhkan suatu sikap psikologis
tertentu di kalangan kelompok-kelompok umat. Suatu paham keagamaan yang
berasal dari kelompok-kelompok lain. Ada suatu perdebatan yang konstan, dan dalam
interaksi ofensif, teori-teori baru dikedepankan, untuk medukung paradigma
kelompok mereka masing-masing. Maka setiap gagasan keagamaan baru mempunyai
dimensi fungsional. Ia merupakan alat untuk membenarkan solidaritas kultural para
pembentuknya. 761
Ketiga, dimensi yang bersifat politik, ini kelanjutan dari dua faktor
sebelumnya. Setiap kelompok terlibat dari dalam persaingan politik untuk
menunjukkan identitas budaya dan untuk menyebarkan setiap pandangan keagamaan
mereka masing-masing. Dalam sejarah politik Islam Indonesia pada masa Orde Lama
terdapat persaingan antara partai-partai Islam dalam mempromosikan “ideologi”
mereka masing-masing agar mendapatkan dukungan politik dari umat Islam demi
cita-cita sektarian mereka sendiri. Peran yang dimainkan Masyumi dalam politik
Indonsesia sebelum pemilihan umum tahun 1955 dan pemilihan-pemilihan lokal
tahun 1957 banyak ditentukan keberhasilan para pemimpinnya. Mereka
mengartikulasikan simbol-simbol Islam dan kepentingan umat Islam ke dalam isu-isu
politik sehingga memikat umat Islam.762
Dinamika politik Indonesia pasca kolonial, jika diamati tampak bahwa, para
politisi Muslim mengalami kesulitan yang cukup berarti dalam mensintesakan
landasan teologis atau filosofis mereka dengan realitas sosio-kultural dan politik yang
ada. Hal ini, terkusus pada upaya mereka untuk merumuskan hubungan antara Islam
dan negara yang dapat diterima secara nasional. 763 Kedatangan Islam menurut Jarji
Zaidan, merupakan suatu revolusi besar dalam bidang agama, politik, ekonomi, dan
sosial budaya.764 Sementara A. Hasjmy menjelaskan bahwa, membahas kebudayaan
Islam, berarti membahas alam pikiran Islam, alam perasaan Islam, dan alam cita
Islam, yang meliputi bidang-bidang politik, ekonomi dan sosial. 765 Menjadi
keharusan mutlak, bahwa tiap-tiap revolusi pasti akan meninggalkan jejak dalam
kehidupan dan penghidupan umat yang dilanda revolusi. Terdapat tiga perubahan
mendasar yang berlaku atas kedatangan Islam dalam kehidupan seni-budaya Arab
Jahiliyah. Pertama, Islam menghapus sama sekali kebudayaan mereka. Kedua, Islam
memperbaiki dan menyempurnakan sebahagian yang lainnya. Ketiga, Islam

760
Arief Muammar, Amroeni Drajat, and Katimin Katimin, “The Relevance of Ali
Hasjmy‟s Thoughts on Islamic Country of Islamic Sharia Implementation in Aceh,” Budapest
International Research and Critics Institute (BIRCI-Journal) : Humanities and Social
Sciences, Vol. 2, No. 2 (May 14, 2019): 228–240, http://bircu-journal.com/index.php/ birci/a
rticle/view/255. Diakses Tanggal 25 Februari 2020.
761
Din Syamsuddin, Islam dan Politik Era Orde Baru..., h. 44.
762
Din Syamsuddin, Islam dan Politik Era Orde Baru..., h. 43-46.
763
Bahtiar Effendi, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik politik
Islam di Indonesia..., h. 128.
764
Abubakar Madani , “Dakwah dan Perubahan Sosial: Studi Terhadap Peran
Manusia sebagai Khalifah di Muka Bumi”, Lentera, Vol. 1, No. 1, (Juni 2017): 1-15,
https://journal.iai n-samar inda.ac.id/index.php/lentera/article/view/85 1/536. Diakses Tanggal
7 September 2020.
765
A. Hasjmy, Di Mana Letaknya Negara Islam, (Surabaya: Bina Ilmu, 1984), h. 7.

181
menciptkan kebudayaan baru yang belum pernah ada. Adapun kebudayaan Jahiliyah
yang dibatalkan Islam, antara lain “kahanah” (tenun) dengan segala macamnya,
patung berhala yang disembah, bermacam-macam upacara ibadat yang salah, aneka
rupa akidah yang sesat. Adapun kebudayaan baru yang diciptakan banyak sekali, di
antaranya bangunan-bangunan keagamaan, seperti masjid, sistem musyawarah dalam
pemerintahan, ilmu syariat, ilmu berdebad, ilmu kedokteran, thib, ilmu alam, ilmu
mistik, dan yang lainnya.766
Hubungan antara Islam dan negara di Indonesia pada sebagian besar babakan
sejarahnya merupakan cerita antagonisme dan kecurigaan satu sama lain. Tetapi atas
pertimbangan bahwa Indonesia adalah negara yang secara sosial keagamaan bersifat
majemuk, maka demi kesatuan dan persatuan nasional, konstruk kenegaraan yang
kedua menghendaki agar Indonesia didasarkan atas Pancasila, sebuah ideologi yang
sudah didekonfessionalisasikan. Kenyataan bahwa diskursus ideologis seperti itu
memancing munculnya konflik, hal itu sebagian besar tidak disebabkan oleh tingkat
kesalehan keagamaan yang berbeda di kalangan umat Islam, sebuah pandangan yang
melandasi konsep-konsep seperti pembilahan santri, abangan, dan Islam sekuler (atau
netral agama) yang terkenal itu. melainkan hal itu, terutama disebabkan oleh ketidak
mampuan elit politik nasional dalam mendamaikan perbedaan-perbedaan pandangan
tersebut di atas, seakan-akan Islam dan nasionalisme merupakan dua entitas yang
saling menegasikan. 767
Diskursus hubungan antara Islam dan negara, terkait dengan hubungan Islam
dan Pancasila di Indonesia, jika dikaitkan dengan dasar negara (grundnorm) telah
menjadi perdebatan panjang. Kelompok ideologi, baik yang berasal dari kaum
nasionalis maupun Islamis telah menyuguhkan sudut pandang konfrontatif antara
keduanya. Kaum nasionalis memandang menjadikan Islam sebagai dasar negara
memicu munculnya disintegrasi bangsa, sementara kaum Islamis melihat bahwa
Islam telah membawa ajaran yang lengkap, dan tidak perlu lagi adanya atribut yang
lain.768 Menurut Bahtiar Effendi, perdebatan tentang dasar ideologi negara
menegemuka menjadi tiga aliran yang menonjol, yakni Islam, Pancasila, dan Sosial
ekonomi. Mengingat perdebatan-perdebatan tentang dasar ideologi negara yang
berlangsung sebelumnya, pertentangan yang paling sengit berlangsung antara para
pendukung ideologi Islam dan Pancasila. 769 Sebagaimana Soekarno menyatakan,770

766
Jarji Zaidan, Ta>rikh Adab al-Lughah al-‗Arabiyah, jilid I (Kairo: Da>r al-Hilal,
1975), h. 216. Dalam, A. Hasjmy, Sejarah Kebudayaan Islam di Indonesia, ()Jakarta: Bulan
Bintang, 1990), h. 415.
767
Bahtiar Effendi, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik politik
Islam di Indonesia..., h. 60.
768
Fokky Fuad, “Islam dan Ideologi Pancasila: Sebuah Dialektika”, Lex Jurnalica,
Vol. 9, No. 3, (Desember 2013): 164-170, https://fh.uai.ac.id/wp-content/uploads/2016/02/Isl
am-dan-Ideologi-Pancasi la-Sebuah-Dialektika-.pdf2012. Diakses Tanggal 8 September 2020.
769
Bahtiar Effendi, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik politik
Islam di Indonesia..., h. 107. Lihat juga, Ali Munhanif, “Al-Shawkah Al-Siyāsīyah Li Al-
Afkār Al-Dīnīyah: Al-Ḥarakah Al-Tajdīdīyah Al-Islāmīyah Wa Al-Ṭarīq Ilá Nuqṭat Iltiqā‟ Al-
Islām Wa Al-Dawlah,” Studia Islamika, Vol. 22, No. 1, (2015): 97-132, http://journal.uinj
kt.ac.id/index.php/studia-islamika/article/view /1389. Diakses Tanggal 1 Desember 2020.
770
Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi, (Jakarta: Banana Books, 2016), h. ii.

181
tiga varian ini, Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme akan menjadi jalan menuju
persatuan bangsa, untuk meraih kemerdekaan.

1. Ideologi Islamis/Tradisionalis
Perdebatan kutub ideologis ini, sudah mulai diperdebatkan sejak, masa awal
kemerdekaan, ketika merumuskan dasar negara, masa Demokrasi Liberal ketika
terjadi sidang konstituente yang merumuskan landasan negara sebelum akirnya
presiden Soekarno memutuskan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Pada satu kutub,
perdebatan ini tidak hanya berhenti pada tatanan negara, akan tetapi juga merebak
pada tatanan masyarakat yang meyakini Pancasila sebagai sebuah konsep final dan
bulat, sementara pada kutub yang lain memperjuangkan konsep Islam harus
diletakkan dan diperjuangkan sebagai landasan filosofi negara.771
Islam sebagai agama dan dasar keyakinan telah menjadi falsafah hidup dan
ideologi seorang Mukmin. Ia tidak akan pernah dapat dipisahkan daripada aktivitas
kehidupan mereka. Bagi orang Mukmin, Alquran telah menjadi undang-undang dan
peraturan yang mengatur seluruh aspek dan dimensi hidup mereka. Namun
sebagaimana undang-undang yang lain, Alquran juga tidak dapat berdiri dengan
sendirinya tanpa ditopang dengan satu lembaga yang menguat kuasakan perundangan
itu secara utuh, dalam situasi seperti inilah peranan negara diperlukan.772
Ideologi Islamisme, dalam diskursus ini, kelompok Islam pada dasarnya
menyatakan kembali aspirasi-aspirasi ideologi politik yang sudah mereka kemukakan
pada masa pra-kemerdekaan, yakni mendirikan negara yang jelas-jelas berdasarkan
Islam. Mereka mengusulkan agar Islam dijadikan menjadi ideologi negara
berdasarkan argumen-argumen mengenai watak holistik Islam, keunggulan Islam atas
semua ideologi dunia lainnya, dan kenyataan bahwa Islam dipeluk oleh mayoritas
warga negara Indonesia. Kelompok ini dipimpin oleh Mohammad Natsir, Kasman
Singodimedjo, Zainal Abidin, Isa Anshari, K. H. Masjkur, mereka kokoh
mempertahankan watak Islam yang holistik. Mereka percaya bahwa Islam mengatur
setiap aspek kehidupan. Menurut mereka negara-negara yang pada dasarnya
merupakan sebuah organisasi yang meliputi seluruh masyarakat dan lembaga, yang
memiliki kekuasaan untuk membuat dan menerapkan aturan-aturan yang mengikat,
tidak bisa lain kecuali mendasarkan diri kepada prinsip-prinsip ilahiah. 773
Islam dengan sifat-sifat khasnya menurut A. Hasjmy, bertujuan menciptakan
kesejahteraan umum bagi umat manusia seluruhnya, baik Muslim ataupun bukan.
Ajaran-ajarannya tentang ibadat dan muamalah, tentang sosial dan ekonomi, tentang
pemerintahan dan politik, tentang damai dan perang, semuanya ditetapkan sebagai

771
Fokky Fuad, “Islam dan Ideologi Pancasila: Sebuah Dialektika”, Lex Jurnalica,
Vol. 9, No. 3, (Desember 2013): 164-170, https://fh.uai.ac.id/wp-content/uploads/2016/02/Isl
am-dan-Ideologi-Pancasila-Sebuah-Dialektika-.pdf2012. Diakses Tanggal 8 September 2020.
772
Abdullah Firdaus, Mohd. Nasir Omar, and Idris Zakaria, “Pemikiran Politik Dan
Kenegaraan Mohammad Natsir,” International Journal of Islamic Thought, Vol. 7, No. 1,
(June 2015): 1-10, http://www.ukm.my/ijit/wp-content/uploads/2016/01/IJIT-Vol-7-June-20
15_1_1-10.pdf. Diakses Tanggal 9 September 2020.
773
Bahtiar Effendi, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik politik
Islam di Indonesia..., h. 107.

182
suatu keharusan agama yang wajib ditaatinya, tanpa ada pilihan menerima atau
menolaknya.774 Natsir menegaskan perhubungan yang kuat antara agama dan politik
dengan mengatakan, “Jika yang dinamakan agama itu hanyalah semata-mata satu
sistem peribadatan antara makhluk dengan Yang Maha Kuasa. Definisi ini tidak tepat
bagi agama yang bernama Islam. Islam adalah falsafah hidup, satu sistem peri
kehidupan untuk kemenangan manusia sekarang dan di akhirat nanti. Oleh kerana itu,
bagi kita sebagai Muslim, tidak mungkin dapat melepaskan diri kita daripada politik.
Sebagai orang berpolitik, kita tidak dapat melepaskan diri daripada ideologi kita,
yakni ideologi Islam.775 Islam menurut A. Hasjmy telah menetapkan hukum-
hukumnya dalam bidang sosial, ekonomi, dan politik sesuai dengan ajaran Kha>lik
tentang kesejahteraan umat manusia.776
A. Hasjmy memahami bahwa, Islam membangun perundang-undangan di
segala bidang kehidupan manusia, atau dasar menyadari manusia akan eratnya
hubungan mereka dengan Kha>lik memberi pengertian kepada mereka akan kebaikan
mereka dan mua„amalat dan menyelamatkan mereka dari segala bentuk kejahatan. 777
Konsepsi negara Islam tanpa agama menurut A. Hasjmy tidaklah mungkin,
seperti tidak mungkinnya agama Islam yang kosong dari cita kemasyarakatan dan
politik negara, sebab jika demikian halnya tidak lagi disebut Islam namanya. 778 Islam
menurut A. Hasjmy menegakkan segala perundang-undangannya atas dasar moral.
Karena itu, negara menurut pandangan Islam adalah negara moral yang berundang-
undang dasar tertulis, yakni Alquran.779 Berdasarkan pemahaman Alquran,780 Buya
Hamka menjelaskan bahwa, Filsafat ajaran, “khalifatullah" inilah yang
menumbuhkan keyakinan dalam hati kaum Muslimin, bahwasanya urusan negara
dengan agama tidaklah pernah terpisah. Dan urusan kerja usaha jiwa dan badan,
rohani dan jasmani tidak tercerai.781 Menurut Natsir, “negara adalah sebuah institusi
yang mempunyai hak, tugas dan tujuan yang khusus”. Melalui institusi ini, segala
kepentingan yang berkenaan dengan pentadbiran negara disalurkan.782 Pandangan
Natsir, makna berpolitik mengimplikasikan sebahagian daripada makna beragama. 783

774
A. Hasjmy, Di Mana Letaknya Negara Islam..., h. 52-53.
775
Abdullah Firdaus, Mohd. Nasir Omar, and Idris Zakaria, “Pemikiran Politik Dan
Kenegaraan Mohammad Natsir,” International Journal of Islamic Thought, Vol. 7, No. 1,
(June 2015): 1-10, http://www.ukm.my/ijit/wp-content/uploads/2016/01/IJIT-Vol-7-June-20
15_1_1-10.pdf. Diakses Tanggal 9 September 2020.
776
A. Hasjmy, Di Mana Letaknya Negara Islam..., h. 53.
777
A. Hasjmy, Di Mana Letaknya Negara Islam..., h. 54.
778
A. Hasjmy, Di Mana Letaknya Negara Islam..., h. 53.
779
A. Hasjmy, Di Mana Letaknya Negara Islam..., h. 54.
780
Q. S. An-Nu>r/024: 55.
781
Hamka, Keadilan Sosial Dalam Islam, (Djakarta: Widjaya, 1951 ), h.17
782
Abdullah Firdaus, Mohd. Nasir Omar, and Idris Zakaria, “Pemikiran Politik Dan
Kenegaraan Mohammad Natsir,” International Journal of Islamic Thought, Vol. 7, No. 1,
(June 2015): 1-10, http://www.ukm.my/ijit/wp-content/uploads/2016/01/IJIT-Vol-7-June-20
15_1_1-10.pdf. Diakses Tanggal 9 September 2020
783
Sri Pajriah, “Pemikiran Mohammad Natsir Tentang Hubungan Agama Dan
Negara Serta Polemiknya Dengan Soekarno,” Jurnal Artefak, Vol. 4, No. 2, (2017): 167, htt

183
Dipimpin Mohammad Natsir, Kasman Singodimedjo, Zainal Abidin, Isa
Anshari, K. H. Masjkur, mereka kokoh mempertahankan watak Islam yang holistik.
Mereka percaya bahwa Islam mengatur setiap aspek kehidupan. Mereka dasar negara
yang pada dasarnya merupakan organisasi yang meliputi seluruh masyarakat dan
lembaga, yang memiliki kekuasaan untuk membuat dan menerapkan aturan-aturan
yang mengikat, tidak lain kecuali berdasarkan diri pada prinsip-prinsip ilahiah.
Berdasarkan pandangan ideologis tersebut, mereka memandang bahwa Pancasila
pada dasarnya adalah ideoligi sekuler (ladiniyah), tanpa sumber keagamaan yang
pasti. Walaupun sila pertamanya mengakui pentingnya kepercayaan kepada satu
Tuhan, perumusannya pada dasarnya lebih berdasarkan kepada keharusan sosiologis
dan bukan keilahian Tuhan.784

2. Ideologi Nasionalis/Sekuler
Mewakili kelompok nasionalis, 785 Soekarno kurang berhasil memberi
substansi keagamaan terhadap pandangannya mengenai hubungan Islam dan negara
yang telah mengalami “dekonfessionalisasi”. Karena itu, meskipun menginfli-
kasikan paham kaitan non-formal atau etis antara Islam dan negara, dalam pandangan
banyak aktivis Islam Politik, konsepnya sangat dibayang-bayangi oleh semangat
“sekularisme” Attaturk, yang disebut dengan nada pejoratif sebagai pemisahan Islam
dan negara.786
Pertarungan ideologis antara kelompok Islamis dan kelompok nasionalis baru
berlangsung secara penuh dalam pertemuan-pertemuan BPUPKI, yang berlangsung
antara akhir Mei hingga pertengahan Agustus 1945. Dialektika yang berlangsung
dalam menentukan dasar ideologi negara antara Natsir dan Soekarno, menurut Deliar
Noer hanya bersifat ekploratif.787 Bagi Soerkarno, Pancasila yang ditemukannya
sama sekali tidak bertentangan dengan Islam. 788 Fakta bahwa Masyumi tumbuh
sebagai kekuatan yang berpengaruh dan dirasakan mendapatkan kemenangan besar

ps://jurnal.unigal.ac.id/index.php/artefak/article/view/910. Diakses Tanggal 13 September


2020.
784
Bahtiar Effendi, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik politik
Islam di Indonesia..., h. 108.
785
Substansi pemikiran nasionalisme Soekarno terdiri atas humanisme, patriotisme,
pembebasan, demokratisasi, pluralisme, dan persatuan. Lihat, Yusni Biliu, “Pemikiran
Soekarno Tentang Islamisme Dan Pemahaman Pendidikan Islam”, Jurnal Ilmiah AL-Jauhari
(JIAJ), Vol. 2, No. 2, (Desember 2017): 159-177, https://media.neliti.com/media/publication
s/291172-pemikiran-soekarno-tentang-islamisme-dan-25872d87.pdf. Diakses Tanggal 13
September 2020.
786
Bahtiar Effendi, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik politik
Islam di Indonesia..., h. 81.
787
Deliar Noer, The Modernist Muslim Movement in Indonesia 1900-1942, (Oxford,
New York and Jakarta: Oxford University Press, 1978), h. 323. Dalam, Bahtiar Effendi, Islam
dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik politik Islam di Indonesia..., h.81.
788
Anwar Sanusi, “Sikap Dan Kebijaksanaan Soekarno Terhadap Islam Pasca
Kemerdekaan,” Jurnal Tamaddun : Jurnal Sejarah dan Kebudayaan Islam, Vol. 6, No. 2, (16
Desember 2018), http://syekhnurjati.ac.id/jurnal/index.php/tama ddun/article/view/3520.
Diakses Tanggal 13 September 2020.

184
dalam pemilu tahun 1955 dipandang sebagai tantangan terhadap Soekarno dan
kepresidenannya.789 Di sisi lain, tanggapan-tanggapan Natsir tidak cukup matang,
jawaban-jawabanya terhadap tantangan-tantangan Soekarno kurang berhasil
mengartikulasikan secara bermakna watak dan bentuk kaitan politik antara Islam dan
negara. Malah Natsir, berhenti pada pernyataan normatif dan umum mengenai Islam
yang mungkin mempengaruhi model kaitan antar kedua arus relgiu-politik ini, atau,
sebagaimana dinyatakan Deliar Noer, “karena posisinya yang defensif, karya-karya
Natsir sebagian besarnya bercorak apologetik”.790
Memperkokoh gagasan mengenai sebuah negara yang sudah
didekonfesionalisasikan, Soekarno mengusulkan “lima prinsip pokok”, yang
belakangan dikenal sebagai Pancasila, untuk diterima sebagai philosophische
groundslag (landasan filosofis) negara. Dalam pemahaman Soekarno, pandangan
dunia ideologis itu mencakup prinsip-prinsip seperti urutan awalnya, yakni
kebangsaan (nasionalisme), internsionalisme, atau peri-kemanusiaan, musyawarah,
atau demokrasi, kesejahteraan sosial, dan ketuhanan. Untuk menjembatani perbedaan
di antara kelompok Islam dan kelompok nasionalis, sebuah panitia kecil kemudian
dibentuk. Delapan anggota yang disebut pertama kelompok nasionalis adalah Muslim
dengan pandangan politik yang berbeda. Sedangkan empat yang terakhir dari
kelompok Islam, sementara A. A. Maramis beragama kristen yang mana pandangan
ideologisnya cenderung dengan kelompok nasionalis. Terdiri dari Soekarno, Hatta,
Achmad Subardjo, Muhammad Yamin, Abikusno Tjokrosujoso, A. Kahar Muzakkir,
Agussalim, A. Wahid Hasjim,791 dan A. A. Maramis. Panitia kecil menyusun sebuah
kesepakatan bersama yang dikenal dengan “Piagam Jakarta”. Pada intinya piagam ini
mengesahkan Pancasila sebagai dasar negara dengan penambahan bahwa sila
ketuhanan dilengkapi dengan “percaya kepada Tuhan dengan kewajiban menjalankan
syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.792
Islam sendiri menghendaki nasionalisme yang bukan untuk menyombongkan
diri, jatuh menjatuhkan dan bukan untuk merusak hidup berjamaah dan
bermasyarakat. Karakteristik nasionalisme Indonesia di atas, bukan saja di sebabkan
oleh posisi Indonesia yang merupakan bagian dari dunia Timur, tetapi lebih dari itu
pergerakan-pergerakan militan di Indonesia menurut Soekarno terlahir terutama
karena “wahyu” nya pergerakan-pergerakan di Asia secara umum.793

789
Din Syamsuddin, Islam dan Politik Era Orde Baru..., h. 47-48.
790
Bahtiar Effendi, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik politik
Islam di Indonesia..., h. 81-82.
791
Rijal Mumazziq Zionis, “Relasi Agama Dan Negara Perspektif KH. A. Wahid
Hasyim Dan Relevansinya Dengan Kondisi Sekarang,” al-Daulah: Jurnal Hukum dan
Perundangan Islam, Vol. 5, No. 2 (October 1, 2015): 333–359. http://jurnalfsh.uinsby.ac
.id/index.php/aldaulah/article/view/88. Di akses Tanggal 12 September 2020.
792
Bahtiar Effendi, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik politik
Islam di Indonesia..., h. 88.
793
Yusni Biliu, “Pemikiran Soekarno Tentang Islamisme Dan Pemahaman
Pendidikan Islam”, Jurnal Ilmiah AL-Jauhari (JIAJ), Vol. 2, No. 2, (Desember 2017): 159-
177, https://media.neliti.com/media/publicatio. Diakses Tanggal 13 September 2020.

185
Pemikiran Soekarno 794 dipengaruhi oleh potensi intelektual, kemampuan
berfikir bebas, pengaruh latar belakang sosial budaya, serta perkenalannya dengan
dunia luar atau pemikiran orang lain yang digunakan sebagai pembanding. Soekarno
juga melakukan pengamatan yang cermat terhadap masyarakat sebelum melahirkan
masyarakatnya. Faktor-faktor yang mewarnai pemikiran politik Soekarno adalah
nasionalisme,795 Tradisionalisme Jawa, 796 Sosialis-Demokratis,797 Islam, dan
Komunisme.798 Soekarno berhasil merangkai nilai-nilai dasar yang terkandung di
berbagai aliran pemikiran yang hidup dan tumbuh di dalam masyarakatnya, baik
yang datang dari dalam maupun dari luar, kemudian dirangkum dalam suatu
pemikiran yang sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakatnya. Dalam prakteknya,
secara tidak langsung Soekarno mengatakan bahwa nasionalisme lebih diutamakan
daripada Islam dan Marxisme. Hal ini terbukti dengan didirikannya PNI pada tahun
1927 yang berideologikan nasionalisme sekuler.

3. Ideologi Sosialis-Ekonomi
Menelusuri pemikiran sososialisme, 799 dalam beberapa literatur tentang
pemikiran politik di Indonesia, ajaran sosialisme dipandang sebagai ajaran yang
bersumber dari pengaruh asing, utamanya pengaruh Barat (western influ-ence).
Argumentasi sebagaimana tersebut di atas misalnya dikemukakan oleh Herbert Feith
dan Lance Castles ketika membahas tentang arus pemikiran politik Indonesia, yang
menyatakan bahwa pengaruh ideologis yang berasal dari Barat direpresentasikan oleh
marxisme, baik dalam bentuk leninist maupun sosial-demokratik. Pengaruh tersebut
kemudian menjelma antara lain ke dalam Partai Komunis Indonesia yang dipengaruhi

794
Guntur Arie Wibowo, “Konsep Nasionalisme Soekarno Dalam PNI 1927-1930,”
AGASTYA: Jurnal Sejarah Dan Pembelajarannya, Vol. 3, No. 02 (July 15, 2013), http:// e-
journal.unipma.ac.id/index.php/JA/article/view/1463. Diakses Tanggal 26 Maret 2020
795
Dale J. Stahl, "Nations and Nationalism", Nations and Nationalism", (2017),
https://www.taylorfrancis.com/books/9781912281459. Diakses Tanggal 31 Septem- ber 2020.
796
Joko Tri Haryanto, “Relationship, Transformation and Adaptation of The
Traditionalists Against Puritanism in Surakarta Indonesia,” Analisa, Vol. 22, No. 2
(December 11, 2015): 239, http://blasemarang.kemenag.go.id/journal/index.php/analisa/articl
e/view/207. Di akses Tanggal 31 September 2020.
797
Lihat, Heru Nugroho, “Demokrasi Dan Demokratisasi: Sebuah Kerangka
Konseptual Untuk Memahami Dinamika Sosial-Politik Di Indonesia,” Jurnal Pemikiran
Sosiologi, Vol. 1, No. 1, (2015), https://jurnal.ugm.ac.id/jps/article/view/23419. Diakses
Tanggal 31 Septem ber 2020.
798
Tsabit Azinar Ahmad, “Sarekat Islam Dan Gerakan Kiri Di Semarang 1917-
1920”, SEJARAH DAN BUDAYA, Vol. 8, No. 2, (Desember 2014): 225-231, http://jour
nal.um.ac.id/index.php/sejarah-dan-budaya/article/view/4778. Diakses Tanggal 31 Septem ber
2020.
799
Iramdhan, “Paham Nasionalisme Dan Pergerakan Kebangsaan Di Indonesia Dari
Tahun 1900-1942,” Sosio e-kons, Vol. 9, No. 1 (June 17, 2017): 46, https://journal.lppmunin
dra.ac.id/index.php/sosio_ekons/article/view/1687. Diakses Tanggal 13 September 2020.

186
paham komunisme serta Partai Sosialis Indonesia yang dipengaruhi paham
sosialisme-demokrat.800
Perkembangan ideologi sosialis di Indonesia tidak terlepas dari peran Sotan
Sjahril, usahanya dalam meraih harapan perjuangan lewat jalur diplomasi mendapat
tantangan dari pihak oposisi Tan Malaka. Dan kabinet Sjahrirpun akhirnya jatuh.
Bung Karno mengangkatnya lagi menjadi Perdana Menteri sampai dua kali sebelum
digantikan Amir Sjarifuddin. Dalam rangka pembelaannya. Tahun 1947 ia
menghadap Dewan Keamanan PBB untuk membela Republik Indonesia yang baru
diserbu Belanda. Sjahrir merasa perlu mengaktualisasikan pemikiran-pemikirannya
tentang sosialisme melalui jalur politik praktis. Pada tahun 1948, ia mendirikan Partai
Sosialis Indonesia (PSI). Melalui PSI, Sjahrir banyak mengritik kebijakan Soekarno
dalam dasawarsa 1950-an yang dianggapnya mulai menyimpang.801 Bangkitnya
sosialisme Indonesia menurut Sjahril merupakan hasil dari semangat revolusi bangsa
dari pengaruh imperialisme Barat.802 Maka dengan demikian, dapatlah dipahami
bahwa, revolusi kita sekarang adalah revolusi nasional dan revolusi kerakyatan yang
bersangkutan dengan alam feodal di negeri dan masyarakat kita, terutama desa. 803
Konsep sosialisme yang diinginkan oleh Sjahril adalah sosialisme
demokratis.804 Menurut Sjahril, Ke luar bentuk revolusi berupa nasional, ke dalam
menurut hukum masyarakat demokratis dengan corak sosial. Jika kurang
memahamkan kebenaran sehingga ke dalam pun yang kita anjurkan hanya revolusi
nasional saja dengan tidak ada atau kurang pengertian tentang kedudukan demokrasi
di dalam pengorbanan masyarakat kita, bahaya sangat besar bahwa kita, oleh karena
tak dapat mengukur musuh, feodalisme kita berkawan dengan semangat feodalisme
yang masih hidup sesuai dengan semacam nasionalisme, menjadi nasionalisme yang
mempunyai semacam solidarisme, yaitu solidarisme-feodal (yang hierarkis), menjadi
fasisme alias musuh kemajuan dunia dan rakyat yang sebesar-besarnya.805
H.O.S. Tjokroaminoto, lebih jauh memahami bahwa, sosialisme Islam
bukanlah ideologi penggabungan antara dua pemikiran yaitu ajaran sosialisme yang
berasal dari Barat dan ajaran Islam. cita-cita sosialisme di dalam Islam telah
berkembang selama tiga belas abad dan tidak dapat dikatakan muncul dari pengaruh
bangsa Eropa. Bahkan pada masa kepemimpinan Nabi Muhammad saw., asas-asas
sosialisme telah diimplementasikan lebih banyak dan lebih mudah dibandingkan

800
Firman Manan, “Sosialisme Islam: Perspektif Pemikiran Politik H.O.S.
Tjokroaminoto,” Jurnal Wacana Politik 1, no. 1 (March 2, 2016), http://jurnal.unpad.a c.id/w
acanapolitik/artic le/view/10543. diakses Tanngal 13 September 2020.
801
Floriberta Aning S., 100 Tokoh yang Mengubah Indonesia: Biografi Singkat
Seratus Tokoh Paling Berpengaruh dalam Sejarah Indonesia di Abad 20..., h. 230.
802
Firman Manan, “Sosialisme Islam: Perspektif Pemikiran Politik H.O.S.
Tjokroaminoto,” Jurnal Wacana Politik, Vol. 1, No. 1 (March 2, 2016), http://jurna
l.unpad.ac.id/wacanapolitik/artic le/view/10543. diakses Tanngal 13 September 2020.
803
Soetan Sjahril, Perjoeangan Kita, (Pusat Dokumentasi Guntur 49: Anjing Galak,
2010 ), h. 17-18.
804
Firman Manan, “Sosialisme Islam: Perspektif Pemikiran Politik H.O.S.
Tjokroaminoto,” Jurnal Wacana Politik, Vol. 1, No. 1 (March 2, 2016), http://jurnal.unpad.a
c.id/w acanapolitik/artic le/view/10543. Diakses Tanggal 13 September Tanggal 2020.
805
Soetan Sjahril, Perjoeangan Kita..., h. 6.

187
dengan sosialisme yang dikenal dalam pemikiran Barat. Sosialisme Islam yang
dikemukakan oleh Tjokroaminoto dengan demikian diyakini olehnya tidak
bersumber dan dipengaruhi oleh pemikiran politik yang berasal dari Barat, melainkan
merupakan pemikiran yang secara inheren terkandung di dalam ajaran Islam.806
Menurut Soetan Sjahril, dalam menyusun kekuatan masyarakat di dalam
revolusi, hal yang harus diingat, bahwa Indonesia mengadakan revolusi demokrasi.
Revolusi nasional itu hanya buntutnya daripada revolusi demokrasi Indonesia. Bukan
nasionalisme harus nomor satu, akan tetapi demokrasi, meskipun kelihatannya lebih
gampang, kalau orang banyak dihasut membenci bangsa asing saja. Memang benar
bahwa cara demikian buat sementara berhasil. Rakyat menjadi alat dalam revolusi
Negara Republik Indonesia dalam memperjuangkan demokrasi. 807
Sjahril melihat, kemerdekaan Indonesia tidak terlepas dari peran kaum buruh.
Di dalam berjuang untuk kemerdekaan Indonesia, kaum buruh sejalan harus berjuang
untuk mendapatkan kedudukannya sendiri yang terkuat, supaya sanggup menjadi
pelopor di dalam perjuangan menentang imperialisme di Indonesia ini, dan
memperkuatkan perjuangan kaum buruh internasional terhadap kapitalisme dunia. 808
Menutup uraian ini, perdebatan ideologi negara antara ideologi Islamis,
nasionalis, dan sosialis. Selerai dari pendapat ketiga golongan ini tertuju pada satu
persepsi yang sama. Natsir juga menekankan nasionalisme Indonesia haruslah
bercorak Islami. Untuk alasan ini, Natsir memperkenalkan gagasan “kebangsaan
Islam”. Natsir, mendasarkan keyakinannya kepada kenyataan historis bahwa Islamlah
yang pada awalnya mendefenisikan nasionalisme Indonesia. Sambil memaparkan
asal-usul historis, nasionalisme di Indonesia. Natsir memaparkan, “pergerakan
Islamlah (Sarikat Islam) yang dulu membuka jalan medan politik kemerdekaan di
tanah air, yang mula-mula menanamkan bibit Persatuan Indonesia, yang
menyingkirkan sifat kepulauan dan keprovinsian, yang mula-mula menanam
persaudaraan dengan kaum yang sama senasib di luar batas Indonesia dengan tali
keislaman”.809
Soekarno secara luas mendefenisikan nasionalisme sebagai “cinta kepada
tanah air, kesediaan yang tulus untuk membuktikan diri dan mengabdi kepada tanah
air, serta kesediaan untuk mengenyampingkan kepentingan golongan yang sempit”.
Pada kesempatan yang lain Soekarno juga menulis bahwa “nasionalisme adalah
keyakinan, kesadaran dikalangan rakyat, bahwa mereka bersatu dalam satu
kelompok, satu bangsa”. 810 Sementara Sjahril, tidak melihat dari sisi nasionalisme
semata, akan tetapi dalam melakukan revolusi harus dipimpin oleh golongan

806
Firman Manan, “Sosialisme Islam: Perspektif Pemikiran Politik H.O.S.
Tjokroaminoto,” Jurnal Wacana Politik, Vol. 1, No. 1 (March 2, 2016), http://jurnal.unpad.a
c.id/w acanapolitik/artic le/view/10543. Diakses Tanggal 13 September Tanggal 2020.
807
Soetan Sjahril, Perjoeangan Kita..., h. 21.
808
Soetan Sjahril, Perjoeangan Kita..., h. 28.
809
Bahtiar Effendi, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik politik
Islam di Indonesia..., h. 73.
810
Anwar Sanusi, “Pemikiran Transformatif Soekarno Dalam Politik Islam (Pende
katan Transformatif Bill Gould, Karl Stenbrink, Dan Kontowijoyo),” Empower: Jurnal
Pengembangan Masyarakat Islam, Vol. 3, No. 2 (November 1, 2018), http://syekhnur
jati.ac.id/jur nal/index.php/empower/article/view/3510. Diakses Tanggal 15 September 2020.

188
demokratis yang revolusioner, dan bukan oleh golongan nasionalistis, yang pernah
membudak kepada fasis-fasis lain. fasis kolonial Belanda atau fasis militer Jepang.811
Negara Republik Indonesia yang kita perjuangkan sebagai alat di dalam revolusi
kerakyatan kita mendapat harga yang penuh, jika kita isi dengan kerakyatan yang
tulen. Bagi kita kemenangan yang berarti itu ialah kemenangan yang berisi, bukan
kemenangan nama dan kehormatan semata saja. Oleh karena itu, kerapkali apa yang
dinamakan kemenangan kebangsaan itu, terbukti kosong untuk rakyat banyak. Jika
kita hargakan Indonesia Merdeka dengan harga demokrasi yang tulen, maka di dalam
perjuangan politik terhadap dunia, isinya yang dipertarungkan. 812
Ideologi yang digunakan sebagai dasar dari persatuan ini bukanlah Pancasila,
melainkan ideologi lain yang menurut Sukarno adalah perasan dari Pancasila
sehingga tidaklah salah jika Nasakom yang diterapkan. Pancasila merupakan lima
sila yang jika diperas lagi akan menjadi tiga sila yaitu Ketuhanan yang Maha Esa,
Sosio Nasionalisme, Sosio-Demokrasi. Tiga sila perasan Pancasila ini termaktub
didalam Nasakom, Ketuhanan yang Maha Esa didalam Agama, Sosio- Nasionalisme
didalam Nas dan Sosio Demokrasi didalam Kom. Jika ketiganya diperas lagi maka
menyisakan satu sila, yaitu Gotong Royong. Sehingga menghasilkan kesimpulan
bahwa gotong royong diperas menjadi Nasakom dan Nasakom diperas menjadi
Pancasila.813 Dan perdebatan tentang ideologi dasar negara berakhir pada tanggal 5
Juli 1959, di Istana merdeka, presiden Soekarno membubarkan Konstituente dan
mengumumkan Dekrit Presiden, tentang berlakunya kembali UUD yang digunakan
pada awal kemerdekaan 1945, ketika bangsa Indonesia bersepakat mendirikan
Negara Kesatuan Republik Indonesia.

B. Integrasi Kebangsaan dan Peran Integralistik di Aceh


Sekitar akhir abad XIX, menjelang peperangan yang bakal menumpahkan
darah di seluruh Sumatra Utara, nama "negeri Aceh" dipakai untuk menunjukkan
seluruh daerah yang membentang dari ujung utara pulau itu sampai suatu garis
khayal yang menghubungi Teumiëng (Tamiang) di Pantai Timur dengan Barus di
Pantai Barat. Menurut Snouck Hurgronje, 814 penduduknya membandingkan bentuk
wilayah mereka yang kira-kira menyerupai segitiga itu dengan bentuk “jeueë” atau
tampah tradisional mereka. Sementara sungai yang melintasi ibukota diberi nama
"Kreuëng Atjeh" (Kali Aceh), pemukiman yang paling penting dinamakan Kuta Raja:
"benteng" atau "kota raja". Nama Aceh, atau lebih tepat “Aceh Darussalam” ("Tanah
Damai"). Dalam naskah-naskah Eropa abad XVI, XVII dan XVIII, ditulis nama Aceh

811
Soetan Sjahril, Perjoeangan Kita..., h. 20.
812
Soetan Sjahril, Perjoeangan Kita..., h. 24.
813
Lingga Winata, “Nasakom Sebagai Ideologi Negara Tahun 1959-1965”,
AVATARA, e-Journal Pendidikan Sejarah, Vol. 5, No. 3, (Oktober 2017): 728-737, https://ju
rnalmahasiswa.unesa.ac.id/index.php/avatara/article/view/20612/18892. Diakses Tanggal 13
September 2020.
814
Montgomery McFate, “Useful Knowledge: Snouck Hurgronje and Islamic
Insurgency in Aceh,” Orbis, Vol. 63, No. 3 (2019): 416–439, https://linking hub.elsevier.com/
retrieve/pii/S0030438719300626. Diakses Tanggal 16 September 2020.

189
di antaranya: Achem, lalu Achin, Atchin, dan sebagainya. (dan dari nama itu
terbentuk dalam bahasa Prancis kata sifat atchinais.815
Nama Aceh selalu identik dengan perang, konflik, dan integrasi. Pasca
kemerdekaan Indonesia, Aceh telah melewati dua fase integrasi. Fase Integrasi
pertama, pemerintah Indonesia berusaha keras untuk mempertahankan Aceh sebagai
bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Fase Integrasi kedua, ketika
Gerakan Aceh Medeka (GAM) menerima tawaran damai dari pemerintah Republik
Indonesia pada 15 Agustus 2005. Di sini peran asing dimainkan untuk melakukan
proses perdamaian di Aceh. Para aktornya adalah mantan eksponen GAM beserta
kombatannya. Mereka melibatkan diri di dalam pembangunan Aceh. Setelah damai
dengan pihak NKRI, GAM mengfungsikan diri mereka sebagai aktor di dalam
bidang legislatif dan eksekutif. Hingga 10 tahun lebih, GAM telah diterima kembali
sebagai bagian dari NKRI. Mereka menjadi aktor utama di dalam pentas politik
Aceh. 816
Konflik pertama bertujuan memperoleh otonomi, sementara konflik kedua
bertujuan memperoleh kemerdekaan, walaupun pada akhirnya kedua konflik ini
dapat diselesaikan melalui negosiasi yang menghasilkan satu kesepahaman dan
kesepakatan damai. Namun demikian, konflik DI/TII menampakkan hubungan
asimetris dalam mencapai kesepakatan damai, karena Pemerintah Indonesia lebih
mendominasi. Bahkan, penyelesaiannya diwakili oleh Pemerintah Daerah Aceh.
Sementara itu, dalam konflik Gerakan Aceh Merdeka, kesepakatan damai berupa
nota kesepahaman (Memorandum of Understanding/MoU) Helsinki yang dicapai
adalah perundingan dalam hubungan yang seimbang (simetris), dan dimediasi oleh
pihak ketiga (eksternal) pada tahun 2005 di kota Helsinki, Finlandia.817 Oleh sebab
itu, implementasi kesepakatan damai pada masa transisi masih melibatkan pihak
internasional dari Uni Eropa dan Asia yang tergabung dalam satu wadah yang
dikenal dengan Aceh Monitoring Mision (AMM).818 Dan proses peleburan angkatan
bersenjata ditengarai melalui pembentukan Komite Peralihan Aceh.

815
Denys Lombard, Kerajaan Aceh Jaman Sultan Iskandar Muda (1607 — 1636),
Terj. Winarsih Arifin, (Jakarta: Balai Pustaka, 1991), h. 11-12.
816
Kamaruzzaman Bustamam Ahmad, “Relasi Islam Dan Politik Dalam Sejarah Poli
tik Aceh Abad 16-17,” Al-Tahrir: Jurnal Pemikiran Islam, Vol. 16, No. 2 (Oktober 28, 2
016): 267, http://jurnal.stainponorogo.ac.id/index.php/tahrir/a rticle/view/494. Diakses Tang
gal 10 Desember 2020.
817
Nathan Shea, “Aceh,” in Comparing Peace Processes, (2019): 18-36, https://ww
w.taylorfrancis.com/book s/9781315436609/chapters/10.4324/9781315436616-2. Diakses
Tanggal 20 September 2020.
818
Schulze, E., Kirsten, Mision Not So ImpossibleThe Aceh Monitoring Mision and
Lessons learned for the EU. (International Policy Analysis. Berlin: Friedrich-Ebert-Stiftung,
2007). Dalam, Suadi Zaina, “Transformasi Konflik Aceh dan Relasi Sosial-Politik di Era
Desentralisasi”, MASYAR AK AT: Jurnal Sosiologi, Vol. 21, No. 1, (Januari 2016):81-108,
https://www.researchgate.net/publication/318246688_Transformasi_Konflik_Aceh_dan
_Relasi_Sosial-Politik_di_Era_Desentralisasi. Diakses Tanggal 16 September 2020.

191
1. Pemberontakan DI/TII di Aceh
Perjalanan revolusi Bangsa Indonesia, Teungku Muhammad Daud
Beureu„eh,819 telah menaruh peran penting. Bagaimana tidak, Teungku Muhammad
Daud Beureu„eh pada puncaknya menduduki posisi Gubernur Militer di wilayah
Aceh, Langkat, dan Tanah Karo.820 Sebagai seorang ulama, terdapat keunikan
tersendiri yang dimiliki oleh Daud Beureueh. Selama menjabat sebagai gubernur
militer, ia mampu membentuk Tentara Nasional Indonesia (TNI) di Aceh. Selain itu,
hal yang mungkin tidak akan pernah dilupakan oleh seluruh rakyat Indonesia adalah
sumbangsih yang diberikan oleh masyarakat Aceh kepada Indonesia berupa pesawat
terbang. Terkumpulnya biaya untuk pembelian pesawat terbang ini pun tidak lepas
dari peranan seorang Daud Beureu„eh. 821
Pemberontakan Darul Islam di Aceh meletus karena masyarakat Aceh
kecewa dengan pemerintah pusat Indonesia. Kekecewaan ini dapat dirunut pada saat
Presiden Soekarno memberikan janjinya kepada rakyat Aceh, dan janji tersebut
terekam dalam percakapan antara Soekarno dan Daud Beureu'eh yang terjadi pada
tahun 1948. Dalam percakapan tersebut, Soekarno bertanya kepada masyarakat Aceh,
melalui Daud Beureu'eh, untuk menyediakan bagi pemerintah Indonesia perbekalan
yang sangat dibutuhkan untuk mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia.
Daud Beureu'eh mengabulkan keinginan Soekarno, dan Soekarno sebagai gantinya
memberikan Aceh status otonomi khusus. 822 Dalam kunjungan Presiden Soekarno ke
Aceh saat beliau berpidato di Lapangan Blang Padang, Kutaraja tanggal 16 Juni
1948. Bung Karno mengatakan bahwa Aceh adalah daerah modal. Soekarno
mengibaratkan Aceh sebagai sebuah payung. Kalaupun Republik hanya tinggal
selebar payung, kita akan terus berjuang dengan modal daerah selebar payung itulah
kita merebut daerah lain. Namun, semua hal yang telah diperjuangkan oleh Daud
Beureueh seakan tidak dihargai oleh pemerintah pusat menjelang masa revolusi
berakhir. Pasca pengakuan kedaulatan kepada Indonesia sebagai hasil dari
Konferensi Meja Bundar, status wilayah Aceh mengalami perubahan. Hal ini
berujung kepada penolakan dari Daud Beureueh sehingga ia mulai tidak memercayai

819
Daud Beureueh dilahirkan kira-kira pada tahun 1898 di Beureueh, sebuah
kampung dekat Sigli. Jalan ke kepemimpinan PUSA terbuka baginya sesudah ia mendirikan
madrasah di Sigli pada tahun 1928, yang merupakan salah satu sekolah agama kaum reformis
tertua di Aceh. Tetapi ini bukan awal dari popularitasnya. Jauh sebelum mendirikan sekolah
di Sigli, Daod Beureueh telah berkeliling ke Aceh Utara dan Selatan sebagai guru agama yang
dinamis, yang menyebabkan ia terkenal di kedua afdelingen (kemudian, kabupaten) tersebut.
Nazaruddin Sjamsuddin, Pemberontakan Kaum Republik: Kasus Darul Islam Aceh, (Jakarta:
Pustaka Utama Grafiti, 1990), h. 190.
820
Nazaruddin Sjamsuddin, Pemberontakan Kaum Republik: Kasus Darul Islam
Aceh..., h. 190.
821
Bambang Satriya, Andi Suwirta, and Ayi Budi Santosa, “Teungku Muhammad
Daud Beureueh Dan Revolusi Di Aceh (1945-1950),” FACTUM: Jurnal Sejarah dan
Pendidikan Sejarah, Vol. 7, No. 1 (May 1, 2018): 28-42, https://ejournal.upi.edu/index.php/f
actum/article/view/11925. Diakses Tanggal 26 September 2020.
822
Apipudin, “Daud Beureu‟eh and The Darul Islam Rebellion in Aceh,” Buletin Al-
Turas, Vol. 22, No. 1 (January 31, 2016): 145–167, http://journal.uinjkt.ac.id/index.php/ al-
turats/article/view/7221. Diakses Tanggal 17 September 2020.

191
Pemerintah Pusat. Pada akhirnya, perubahan status wilayah Aceh ini berujung kepada
sikap yang diambil oleh Daud Beureueh dengan memberikan perlawanan kepada
pemerintah pusat. 823
Proses penggabungan dan penetrasi dalam negara modern merupakan
perubahan situasi yang besar bagi masyarakat Aceh pasca-perang Indonesia.
Akibatnya, terjadi pergeseran identitas etnis-daerah Aceh. Pergeseran ini, menurut
Ali Munhanif mendorong pemberontakan separatis selama tahun 1950-an di bawah
bendera Islam. Penelusuran akar pemberontakan DI/TII Aceh mengungkapkan
terbentuknya identitas etnis-daerah pada tataran kerakyatan diiringi dengan
penurunan drastis kekuasaan, kewenangan, dan status lembaga adat, terutama
bangsawan Aceh sebagai akibat penetrasi negara modern. pada situasi yang lain,
perubahan tersebut berkontribusi pada pengembangan seruan terhadap sentimen
primordial yang berguna untuk mobilisasi politik selama pemberontakan. 824
Pemberontakan, melihat dari cara dan latar-belakang ideologis yang memicu
terjadinya sangat sedikit yang dapat memberikan manfaat bagi rakyat. Tetapi tidak
demikian halnya dengan Aceh, pemberontakanlah yang telah banyak mengubah
status dan akomodasi politik, social, dan ekonomi bagi daerah khususnya bagi rakyat
Aceh.825 Oleh karena itu, memang benar Aceh pernah diberikan status provinsi
dengan otonomi khusus. Janji Presiden tersebut kemudian dipenuhi dengan
diterbitkannya Peraturan Wakil Perdana Menteri Pengganti Peraturan Pemerintah
Nomor 8 / Des / WKPM / 1949 pada tanggal 17 Desember 1949 oleh Wakil Perdana
Menteri Sjafrudin Prawiranegara. SK tersebut mengamanatkan pembentukan
Provinsi Aceh yang meliputi seluruh wilayah eks Kediaman Aceh dan sebagian
Kabupaten Langkat. Namun, regulasi itu terbukti kontroversial. Peraturan tersebut
tidak hanya ditentang oleh para penentang PUSA,826 terutama para Ule>balang,827
tetapi juga oleh pejabat pemerintah di Provinsi Sumatera Utara, serta oleh pemerintah
Republik Indonesia di Yogyakarta. Selain itu, peraturan tersebut dinilai bertentangan

823
Bambang Satriya, Andi Suwirta, and Ayi Budi Santosa, “Teungku Muhammad
Daud Beureueh Dan Revolusi Di Aceh (1945-1950),” FACTUM: Jurnal Sejarah dan
Pendidikan Sejarah, Vol. 7, No. 1 (May 1, 2018): 28-42, https://ejournal.upi.edu/index.php/f
actum/article/view/11925. Diakses Tanggal 26 September 2020.
824
Ali Munhanif, “Islam, Ethnicity and Secession: Forms of Cultural Mobili zation
in Aceh Rebellions,” Studia Islamika, Vol. 23, No. 1 (July 26, 2016): 1-28, http://journal.uinj
kt.ac.id/index.php/studia-islamika/article/view/2659. Diakses Tan ggal 1 Desember 2020.
825
Ti Aisyah Subhani Al Chaidar, Darul Islam Di Aceh: Analisis Sosial-Politik
Pemberontakan Regional Di Indonesia, 1953-1964, (Lokseumawe: Uimal Press, 2008), h.
343.
826
Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) dibentuk pada tanggal 12 Rabiul Awal
1358 H. bertepatan dengan tanggal 5 Mei 1939 M. di Matang Geulumpang Dua, Aceh Utara
(sekarang masuk dalam wilayah administrasi Pemerintahan Kabupaten Bireuen), dan pada
akhirnya menjadi salah satu organisasi keagamaan yang besar dan kuat di Aceh pada era
1950-an.
827
Ule>balang merupakan pejabat tinggi yang memimpin pemerintahan dalam kesul
tanan Aceh, memimpin wilayah setingkat Sago (wilayah kekuasaan setingkat kabupaten
dalam struktur Pemerintahan Indonesia hari ini), orang yang memegang jabatan tersebut
disebut dengan “Teuku” untuk laki-laki dan “Cut” untuk perempuan.

192
dengan perjanjian RIS (Republik Indonesia Serikat) yang menetapkan bahwa
Indonesia hanya terdiri dari sepuluh provinsi, tiga di antaranya berada di pulau
Sumatera, tetapi Aceh bukan salah satunya.828
Gerakan Darul Islam (DI/TII), 829 di Aceh, jika dilihat dari sisi para pelakunya
adalah sebuah ekspresi “pernyataan sikap” yang tegas terhadap Pemerintah Pusat di
Jakarta yang tidak memberlakukan syariat Islam. Jika dilihat dari sudut pandang
Pemerintah Pusat, Darul Islam di Aceh adalah sebuah „pemberontakan‟,
“pembangkangan” atau “perlawanan” terhadap kekuasaan yang sah dan alat-alat
negara, sehingga para pengikut gerakan ini secara sederhana dianggap sebagai
pemberontak.830
Daud Beureu`eh mengumumkan proklamasi atas nama masyarakat Islam
Aceh, ia menyatakan Aceh dan daerah-daerah sekitarnya menjadi bagian dari Negara
Islam Indonesia. Untuk membenarkan proklamasi ini dan tidak lagi mengakui
Republik Indonesia. Daud Beureu„eh mengemukakan alasan, pemimpin-pemimpin
Republik di Jakarta telah menyimpang dari jalan yang benar. Republik Indonesia
tidak berkembang menjadi suatu negara yang berdasarkan Islam, yang menurut
pandangannya adalah satu-satunya kemungkinan yang terkandung dalam prinsip
Ketuhanan yang Maha Esa, sila pertama Pancasila. Sebaliknya, makin menjadi jelas
baginya para politisi Republik kian lama kian jauh juga beralih dari cita-cita ini.831
Akhirnya, setelah lama menahan diri dan bertoleransi atas semua
penyimpangan politik yang dilakukan Pemerintah Pusat di Jakarta, “perebutan
kekuasaan” meminjam istilah S. M. Kartosoewirjo-pun meletus di Aceh. Seluruh
Aceh tumpah ruah dalam “jihad berperang berkuah-darah pada jalan Allah swt., bagi
melakukan hukum-hukumnya”. Daerah terakhir di Indonesia yang di dalamnya
terjadi suatu pembelaan terhadap Islam dari jajahan Republik Indonesia, dan di sana
para pejuang masuk dalam negara Islam Indonesia Kartosoewirjo adalah Aceh.
Perjuangan Negara Islam ini meletus pada tanggal 21 September 1953, ketika salah
seorang pemimpin Islam yang paling berpengaruh di daerah itu, Teungku Daud
Beureu`eh menyatakan Aceh dan daerah-daerahnya yang berbatasan dengannya
menjadi bagian dari negara Islam Indonesia. Para pengikutnya pada waktu yang sama
menyerang sejumlah kota, beberapa di antaranya mereka duduki sebentar dan mereka
merebut kekuasaan di daerah-daerah pedesaan sekitarnya. 832

828
Apipudin, “Daud Beureu‟eh and The Darul Islam Rebellion in Aceh,” Buletin Al-
Turas, Vol. 22, No. 1 (January 31, 2016): 145–167, http://journal.uinjkt.ac.id/index.php/ al-
turats/article/view/7221. Diakses Tanggal 17 September 2020.
829
S. Soebardi, “Kartosuwiryo and the Darul Islam Rebellion in Indonesia,” Journal
of Southeast Asian Studies, Vol. 14, No. 1 (March 7, 1983): 109–133, https://www.cambridge.
org/core/product/i dentif ier/S0022463400009024 /type/journal_article. diakses Tanggal 16
September 2020.
830
Ti Aisyah Subhani Al Chaidar, Darul Islam Di Aceh: Analisis Sosial-Politik
Pemberontakan Regional Di Indonesia, 1953-1964..., h. 1.
831
Ti Aisyah Subhani Al Chaidar, Darul Islam Di Aceh: Analisis Sosial-Politik
Pemberontakan Regional Di Indonesia, 1953-1964..., h. 333.
832
Ti Aisyah Subhani Al Chaidar, Darul Islam Di Aceh: Analisis Sosial-Politik
Pemberontakan Regional Di Indonesia, 1953-1964..., h. 171-172.

193
Gerakan yang dipimpin oleh Teungku Daud Beureu„eh,833 dimulai pada
tahun 1950-an, dan pemberontakan Islam (Darul Islam) bertujuan bukan untuk
memisahkan Aceh dari Indonesia, melainkan untuk menjadikan Indonesia negara
Islam.834 Pemberontakan Darul Islam di Aceh terjadi karena beberapa faktor.
Pertama, rakyat Aceh merasa bahwa pemerintah pusat Indonesia tidak menempati
janjinya untuk memberikan otonomi khusus untuk Aceh. Kedua, adanya pertentangan
antara ulama yang mendukung status otonomi dan Ule>balang yang menentang
otonomi karena mereka tidak menginginkan ulama menjadi dominan dalam
pemerintahan Aceh. Ketiga, pemerintah pusat Indonesia saat itu menerapkan sistem
pemerintahan parlementer yang ternyata menciptakan ketidakstabilan dan
inkonsistensi dalam memperlakukan Aceh. 835
Teungku Daud Beureu„eh aktif memimpin umatnya berperang melawan
penjajah Belanda.836 Ketika Indonesia telah merdeka dan mencoba menahan
masuknya pasukan asing, Daud Beureu„eh ditunjuk Soekarno sebagai gubernur
militer untuk wilayah Aceh. Pemberontakan Aceh berawal dari penolakan Daud
Beureu„eh atas rencana Jakarta menggabungkan Aceh dengan Sumatera Utara ke
dalam satu provinsi.837 Pada tahun 1953, Daud Beureu„eh memimpin gerakan Darul
Islam. Di Aceh, suatu perlawanan yang menandai upaya pemisahan wilayah di ujung
Utara pulau Sumatra dari Republik Indonesia.838 Karena tidak berhasil mencapai
kesepakatan dengan Soekarno, tahun 1953 ia memproklamasikan Aceh sebagai
bagian dari negara Islam Indonesia pimpinan S.M. Kartosoewirjo. Setelah empat
tahun berperang, perundingan dilakukan wakil perdana menteri Republik Indonesia,
Mr. Hardi, yang dilanjutkan Kolonel Sudirman (saat itu menjabat sebagai Panglima
Komando Militer Iskandar Muda). Perundingan mencapai kesepakatan yang
menyebutkan Aceh tetap menjadi sebuah provinsi dan memperoleh hak otonomi di

833
Daud Bereueh lahir pada tanggal 15 September 1899, karir politik Daud Beureuh
mulai bersinar ketika ia terpilih sebagai ketua Persatuan Ulama Seluruh Aeeh (PUSA) pada ta
hun 1939. Ia juga dikenal sebagai pendiri madrasah Sa'ada Abadiah di Sigli yang terkenal di
Aceh. Daud aktif memimpin umatnya berperang melawan penjajah Belanda. Ketika Indonesia
telah merdeka dan mencoba menahan masuknya pasukan asing, ia ditunjuk Soekarno sebagai
gubernur militer untuk wilayah Aceh. Lihat, Floriberta Aning S., 100 Tokoh yang Mengubah
Indonesia: Biografi Singkat Seratus Tokoh Paling Berpengaruh dalam Sejarah Indonesia di
Abad 20..., h. 63-64.
834
Edward Aspinall, “From Islamism to Nationalism in Aceh, Indonesia,” Nations
and Nationalism, Vol. 13, No. 2 (April 2007): 245–263, http://doi.wiley.com/10.1111/j.1469 -
8129.2007.00277.x. Diakses Tanggal 16 September 2020.
835
Apipudin, “Daud Beureu‟eh and The Darul Islam Rebellion in Aceh,” Buletin Al-
Turas, Vol. 22, No. 1 (January 31, 2016): 145–167, http://journal.uinjkt.ac.id/index.php/ al-
turats/article/view/7221. Diakses Tanggal 17 September 2020.
836
Bambang Satriya, Andi Suwirta, and Ayi Budi Santosa, “Teungku Muhammad
Daud Beureueh Dan Revolusi Di Aceh (1945-1950),” FACTUM: Jurnal Sejarah dan
Pendidikan Sejarah, Vol. 7, No. 1 (May 1, 2018): 28-42, https://ejo urnal.upi.edu/index.php/f
actum/ article/view/11925. Diakses Tanggal 26 September 2020.
837
Floriberta Aning S., 100 Tokoh yang Mengubah Indonesia: Biografi Singkat
Seratus Tokoh Paling Berpengaruh dalam Sejarah Indonesia di Abad 20..., h. 64.
838
Bahtiar Effendi, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik politik
Islam di Indonesia..., h. 100.

194
bidang pendidikan dan agama. Kesepakatan itu membuat Daud Beureu„eh turun
gunung. Sayang, hingga akhir hayatnya pada tahun 1982, janji itu tidak pernah
direalisasi oleh Pemerintah Pusat. Teungku Muhammad Daud Beureu„eh, ulama
besar yang menjadi simbol perlawanan terhadap kewenangan rezim. Namun apa yang
diperjuangkan Daud akhirnya tercapai di awal abad 21 ketika Nanggroe Aceh
Darussalam memperoleh otonomi khusus. 839
Penyebab pemberontakan DI / TII di Aceh dapat dibedakan menjadi dua
faktor, yaitu faktor eksternal dan faktor internal. Salah satu faktor eksternal adalah
kegagalan Pemerintah Pusat untuk menampung aspirasi masyarakat Aceh.
Masyarakat Aceh kecewa dengan Pemerintah Pusat yang tidak mengabulkan
keinginannya untuk menjadikan Aceh provinsi tersendiri atau daerah otonom
khusus.840 Demikian juga dengan faktor internal, konflik antara ulama dan
Ule>balang841 (tokoh adat). Para ulama dan Ule>balang sebenarnya adalah dua pilar
terpenting dalam masyarakat Aceh. Kaum Ule>balang berperan besar dalam menjaga
praktek hukum adat dan dalam mengatur daerah tertentu, sedangkan ulama berperan
besar dalam menjaga praktek hukum Islam. Pada tahap-tahap awal revolusi dan
kemerdekaan Indonesia, pengaruh ulama dalam masyarakat Aceh lebih besar sampai-
sampai mereka secara bertahap mendominasi pemerintahan Aceh dengan
mengorbankan Ule>balang. Untuk merebut kembali kekuasaannya, Ule>balang
berpihak pada pemerintah pusat dan menentang aspirasi ulama untuk membentuk
provinsi terpisah di Aceh. 842
Posisi Indonesia terus mengalami situasi genting terlebih ketika terbentuk
Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) hingga berlangsungnya Konferensi
Meja Bundar (KMB). Hasil dari KMB yang salah satunya adalah pengakuan
kedaulatan bagi Indonesia bukan berarti secara otomatis Indonesia terlepas dari
berbagai permasalahan yang menerpa. Salah satu polemik yang muncul pasca
pengakuan kedaulatan antara lain mengenai perubahan status yang disandang oleh
Provinsi Aceh. Perubahan status wilayah Aceh, khususnya pada masa revolusi telah
mengalami beberapa kali perubahan. Pasca proklamasi kemerdekaan Republik
Indonesia, wilayah Aceh dibentuk sebagai suatu keresidenan dari Provinsi Sumatera
dan keadaan ini berlangsung hingga April 1946. Terjadi perubahan pada 16 April
1946 di mana Sumatera hanya dijadikan satu provinsi saja, dan dibentuk tiga sub-
provinsi yang meliputi Sub-provinsi Sumatera Utara, Sumatera Tengah, dan
Sumatera Selatan. Jabatan gubernur ditujukan kepada pemimpin provinsi, sedangkan

839
Floriberta Aning S., 100 Tokoh yang Mengubah Indonesia: Biografi Singkat
Seratus Tokoh Paling Berpengaruh dalam Sejarah Indonesia di Abad 20..., h. 64.
840
Apipudin, “Daud Beureu‟eh and The Darul Islam Rebellion in Aceh,” Buletin Al-
Turas, Vol. 22, No. 1 (January 31, 2016): 145–167, http://journal.uinjkt .ac.id/ind ex.php /al-
turats/article/view/7221. Diakses Tanggal 17 September 2020.
841
Heryati, “Ulama Dan Ule>balang: Potret Revolusi Sosial Di Aceh Tahun 1945-
1946”, HISTORIA, Vol. 3, No. 2, ( 2015): 83-89, https://ojs.fkip .ummetro.ac.id /index.php/se
jarah/article/view/85/0. Diakses Tanggal 17 September 2020.
842
Apipudin Apipudin, “Daud Beureu‟eh and The Darul Islam Rebellion in Aceh,”
Buletin Al-Turas, Vol. 22, No. 1 (January 31, 2016): 145–167, http://journal.uinjkt .ac.id/ind
ex.php /al-turats/article/view/7221. Diakses Tanggal 17 September 2020.

195
jabatan gubernur muda ditujukan kepada pemimpin sub-provinsi. Secara otomatis,
wilayah Aceh tetap masuk ke dalam sub-provinsi Sumatera Utara.843
Pada tanggal 23 Desember 1950, Persatuan Seluruh Ulama Aceh (PUSA)
mengadakan kongres di Kutaraja yang menghasilkan beberapa keputusan, salah
satunya adalah keinginan bersama untuk membentuk daerah otonom bagi masyarakat
Aceh. Untuk memperkuat posisinya, Daud Beureu'eh menjalin hubungan dengan S.
M. Kartosuwiryo yang kemudian memintanya menjadi Gubernur Darul Islam di
Aceh. Pada Desember 1953, kurang lebih seratus perwakilan dari berbagai daerah di
Aceh menghadiri rapat yang diadakan di kediaman Daud Beureu‟eh. Pertemuan
tersebut membahas strategi untuk melakukan kudeta dan untuk mendirikan wilayah
militer. Pertemuan tersebut ditindaklanjuti dengan proklamasi berdirinya Negara
Islam Indonesia (NII), oleh DI/TII pada tanggal 20 Desember 1953.844
Akibat dari perubahan status wilayah Aceh ini berdampak kepada munculnya
benih-benih perlawanan yang dilakukan oleh Daud Beureueh. Ia menilai bahwa,
Pemerintah Pusat dalam hal ini Soekarno tidak menempati janji. Hal ini seperti yang
telah dibicarakan Daud Beureueh ketika Soekarno berkunjung ke Aceh pada
pertengahan Juni 1948. Soekarno sempat memberikan tanggapannya kepada Daud
Beureueh perihal keinginan untuk menjadikan Aceh sebagai wilayah yang menganut
dan menerapkan syariat Islam. Kekecewaan Daud Beureueh terhadap pemerintah
pusat mencapai puncak ketika ia memutuskan untuk bergabung ke dalam gerakan
Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) yang sebelumnya telah
diproklamasikan di Jawa Barat oleh S. M. Kartosoewirjo pada pada tanggal 7
Agustus 1949.845
Proklamasi negara Islam Indonesia di Aceh disambut dengan berbagai reaksi.
PKI dan PNI, dua lawan politik yang kuat dari PUSA, menyarankan agar
pemberontakan DI/TII harus dihancurkan dengan ofensif militer. Partai Komunis
Indonesia (PKI) mendesak pemerintah untuk membentuk gerakan Anti Teror Aceh
(ATA), di mana warga sipil dipersenjatai melawan pemberontak. Sementara itu,
Partai Nasional Indonesia (PNI) membentuk “Front Nasional”, yang kemudian
diganti namanya menjadi Gabungan Partai-Partai dan Organisasi atau GPO (Aliansi
Partai Politik dan Organisasi) dan mendesak pemerintah untuk meluncurkan gerakan
“Pagar Desa” di mana penduduk desa dipersenjatai untuk melindungi perbatasan
mereka. Menanggapi pemberontakan DI/TII di Aceh, pemerintah Republik Indonesia
mengadakan pertemuan yang dihadiri oleh Wakil Perdana Menteri, Menteri
Pertahanan, Jaksa Agung, Kepala Staf Angkatan Darat RI, dan Kepolisian Negara.

843
Bambang Satriya, Andi Suwirta, and Ayi Budi Santosa, “Teungku Muhammad
Daud Beureueh Dan Revolusi Di Aceh (1945-1950),” FACTUM: Jurnal Sejarah dan
Pendidikan Sejarah, Vol. 7, No. 1 (May 1, 2018): 28-42, https://ejo urnal.upi.edu/index.php/
factum/article/view/11925.
844
Apipudin, “Daud Beureu‟eh and The Darul Islam Rebellion in Aceh,” Buletin Al-
Turas, Vol. 22, No. 1 (January 31, 2016): 145–167, http://journal.uinjkt .ac.id/index.php /al-
turats/article/view/7221. Diakses Tanggal 17 September 2020.
845
Bambang Satriya, Andi Suwirta, and Ayi Budi Santosa, “Teungku Muhammad
Daud Beureueh Dan Revolusi Di Aceh (1945-1950),” FACTUM: Jurnal Sejarah dan
Pendidikan Sejarah, Vol. 7, No. 1 (May 1, 2018): 28-42, https://ejo urnal.upi.edu/index.php/f
actum / article/view/11925. Diakses Tanggal 26 September 2020.

196
Kepala. Rapat memutuskan bahwa pemerintah pusat akan melancarkan operasi
militer besar-besaran di Aceh. Menanggapi keputusan tersebut, Komandan Resimen I
Infantri Kutaraja meminta masyarakat Aceh tetap tenang dan mendukung pemerintah
dalam memadamkan pemberontakan. 846

2. Peran Integrasi Kebangsaan


A. Hasjmy, dimasa perjuangan merebut kemerdekaan aktif dalam organisasi
pemuda Kesatria Pesindo, yang menjadi cikal bakal Divisi Rencong di Daerah
Istimewa Aceh untuk merebut kekuasaan dari tangan Jepang, dan juga bersama
ulama Aceh yang tergabung dalam PUSA ikut melaksanakan perjuangan
kemerdekaan. Di samping bertugas pada instansi sosial, A. Hasjmy juga pengasuh
penerbitan surat Kabar “semangat merdeka” bertujuan untuk menaikkan semangat
rakyat Aceh merebut dan mempertahankan kemerdekaan. A. Hasjmy juga ikut aktif
dalam pengumpulan dana perjuangan kemerdekaan dan pembelian pesawat “Dakota”
yang diserahkan kepada pemerintah untuk modal perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Aceh merupakan daerah modal perjuangan bagi kemerdekaan Indonesia, karena
daerah Aceh satu-satunya wilayah yang tidak dijamah kembali oleh Belanda. Namun,
suatu momentum penting telah mewarnai sejarah Aceh di saat daerah Aceh
dimasukkan dalam provinsi Sumatra Utara, maka rakyat Aceh tidak dapat
menerimanya. Itulah situasi puncak, sehingga terjadi pergolakan di mana rakyat Aceh
menentang pemerintah Orde Lama.847
Menyetujui adanya status provinsi kepada Aceh, desakan dari aksi Kolonel
Simbolon ini, pada tanggal 17 Desember 1956, sebagai wujud balas budi Pemerintah
Pusat terhadap kesetiaan Aceh. Namun tindakan ini akan mendapat respon tidak
menghargai jika saja pemimpin baru di Aceh setelah menjadi provinsi baru, bukan
dari kalangan masyarakat Aceh yang disukai oleh masyarakatnya sendiri. 848 Provinsi
846
Apipudin Apipudin, “Daud Beureu‟eh and The Darul Islam Rebellion in Aceh,”
Buletin Al-Turas, Vol. 22, No. 1 (January 31, 2016): 145–167, http://journal.uinjkt .ac.id/ind
ex.php /al-turats/article/view/7221. Diakses Tanggal 17 September 2020.
847
A. Hasjmy, Aset Sejarah Masa Kini dan Masa Depan: Delapan Puluh Tahun
Melalui Jalan Raya Dunia..., h. 32-33.
848
Sesungguhnya ini merupakan tuntutan yang enggan dipenuhi oleh pimpinan
nasional. Akan tetapi tidak ada alternatif lain bagi kabinet jika memang ingin memisahkan
Aceh dari iklim politik yang sedang mendidih di bagian-bagian lain Sumatera. Menghadapi
situasi yang sukar itu, kabinet akhirnya menemukan tiga calon Aceh untuk jabatan tersebut:
A. Hasjmy, Zainal Abidin, dan Abdul Wahab Seulimeum. A. Hasjmy ketika itu adalah
anggota PSII dan pegawai senior Kementerian Sosial di Jakarta. Karena keterlibatannya
dalam persiapan pemberontakan, A. Hasjmy ditahan beberapa lama di Sumatra Timur,
sebelum dipindahkan ke Jakarta. Calon kedua, Zainal Abidin, adalah salah seorang dari
sedikit dokter yang dimiliki Aceh. Waktu itu ia menjabat sebagai kepala Dinas Kesehatan di
Kutaraja. Dia adalah seorang pemimpin PSII cabang Aceh dan mempunyai hubungan yang
erat dengan Front Pemuda Aceh yang bersimpati pada pemberontak. Calon terakhir, Abdul
Wahab, tidak lain daripada Ketua PUSA. Ia meninggalkan Aceh untuk pergi ke Mekah kira-
kira tiga bulan sebelum pemberontakan meletus, sehingga tidak terlibat di dalamnya secara
fisik. Tetapi tidak diragukan bahwa ia ikut mengambil bagian dalam persiapan
pemberontakan, atau paling kurang sangat mengetahuinya. Kolonel Simbolon ingin
menangkapnya tatkala ia kembali dari Mekah pada tahun 1956, tetapi demi "politik

197
Aceh kedua pada tanggal 1 Januari 1957, dengan PP Pengganti Undang-undang No.
24 tahun 1957, dan A. Hasjmy dengan beslit Presiden R. I. Tertanggal 19 Januari
1957, No. 15/M tahun 1957, diangkat sebagai Kepala Daerah Istimewa Aceh, dengan
tugas pokok “Penyusunan Pemerintahan Daerah, dan Pemulihan Keamanan”. Suatu
tugas yang kedengaran sangat sederhana, tetapi adalah bukan suatu pekerjaan yang
ringan, A. Hasjmy menerima jabatan tersebut dengan penuh i„tikat yang baik, berani
dan sungguh-sungguh. Betapa jiwa besar yang terkandung dalam sanubarinya dapat
didengar dari pidato pelantikan, sewaktu diangkat menjadi Kepala Daerah pada
tanggal 27 Januari 1957. Pertama, A. Hasjmy menyampaikan, Allah swt., akan
melindungi dan memberi petunjuk kepada hamba-Nya yang bercita-cita baik,
sementara saya menerima jabatan ini adalah suatu niat yang baik. Kedua, segenap
lapisan rakyat dan masyarakat Aceh, akan membantu saya dalam melaksanakan tugas
yang berat ini. Ketiga, Pemerintah Pusat, tidak akan membiarkan saya dalam
kesulitan, tetapi tetap membantu dalam mengahadapi persoalan yang berat. Maka
atas timbangan inilah, saya berani jadi Gubernur Aceh dan atas kenyataan itu saya
mulai tugas.849
Suatu kebijakan dan saat yang tepat pula Pemerintah Pusat memanggil A.
Hasjmy untuk diangkat menjadi gubernur Aceh yang pertama, dan dengan tujuan
untuk menyelesaikan masalah pergolakan di Aceh. Terbentuknya Daerah Istimewa
Aceh ikut dibidani oleh sosok A. Hasjmy, melalui suatu proses sejarah. Ketetapan
pemerintah No. II/Misi/1959 yang lebih terkenal dengan Misi Hardi.850
Kemudian, jabatan Gubernur Aceh dikukuhkan dengan diangkat menjadi
Kepala Daerah Tingkat I Daerah Istimewa Aceh dengan gelar gubernur mulai tanggal
1 Januari 1960, t/n. Ultimo Maret 1960, dan seterusnya, dengan beslit Presiden R. I.
Tanggal 24 Desember 1959, No. 469/M. Tahun 1959. Isi pidato A. Hasjmy pada
pelantikan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Daerah Istimewa Aceh, pada tanggal 3
Februari 1960 sebagai berikut. “apabila saya menerima amanah ini, setelah
menyadari akan beratnya tanggung jawab adalah dengan keyakinan”. Pertama, Allah
swt., akan membimbing hambanya berbuat baik. Kedua, rakyat akan membantu
segala yang benar. Ketiga, Pemerintah Pusat akan memperlindungi petugas yang
jujur. Tiga syarat inilah saya (A. Hasjmy) menerima arti tanggung jawab Pemerintah
Daerah. Selanjutnya beliau tegaskan, niat yang baik adalah jiwa segala usaha,
kebenaran adalah pegangan Islam dan kejujuran adalah senjata melanjutkan tugas. 851
Peran A. Hasjmy dalam pembangunan Aceh di awal kemerdekaan sangatlah
signifikan. A. Hasjmy dengan segenap lapisan masyarakat benar-benar bekerja keras
untuk mengejar ketertinggalan Aceh dari daerah-daerah lain di Indonesia. Meski

keamanan", Nasution membelanya dan malah sebaliknya mengundang Abdul Wahab datang
ke Jakarta. Di sini Abdul Wahab diangkat sebagai pegawai tinggi di Kementerian Agama.
Lihat, Nazaruddin Sjamsuddin, Pemberontakan Kaum Republik: Kasus Darul Islam di Aceh,
(Jakarta: Pustaka Gama Graviti, 1990), h. 272.
849
A. Hasjmy, Dari Darul Harb ke Darussalam, (Perpustakaan A. Hasjmy, jilid I).
Dalam, A. Gazali, Biografi Prof. Teungku Haji Ali Hasjmy, (Jakarta: Socialia, 1978), h. 53.
850
Aset Sejarah Masa Kini dan Masa Depan: Delapan Puluh Tahun Melalui Jalan
Raya Dunia..., h. 33.
851
A. Gazali, Biografi Prof. Teungku Haji Ali Hasjmy..., h. 55.

198
sudah merdeka, semangat perjuangannya untuk umat tetap membara. Kedudukannya,
baik sebagai pegawai Pemerintah, pemimpin Perguruan Tinggi, ketua Majelis Ulama
maupun sebagai ketua LAKA,852 tidak disia-siakannya, A. Hasjmy terus bekerja dan
berpacu dalam waktu. Semangat membangun untuk kesejahteraan masyarakat terus
digagasnya, sehingga apa yang pernah dilakukan dan diperankannya, membuahkan
hasil, meski terdapat juga kegagalan, terutama dalam memberdayakan masyarakat
ekonomi lemah. Keberhasilan dalam bidang-bidang yang lain, seperti pendidikan dan
pembangunan, merupakan kontribusinya yang amat penting bagi umat, dan terukir
sebagai karya monumental yang unforgetable.853 Terutama sekali peran A. Hasjmy
dalam bidang politik integrasi bangsa dan negara, sehingga konflik antara gerakan
DI/TI Aceh dengan pemerintah pusat dapat diredamkan.
Gagasan mosi integral merupakan upaya Mohammad Natsir, untuk
membangun komunikasi politik kebangsaan dalam rangka memperkuat kembali
persatuan Bangsa Indonesia.854 Semangat integral yang diagungkan oleh Natsir
merupakan pemikiran pusat yang ditrasnfer ke daerah. Artinya, Natsir mencoba
untuk menanamkan sikap nasionalisme ini kepada seluruh daerah yang telah berikrar
atas kemerdekaan Indonesia, termasuk Aceh.855 Pemikiran integralistik Natsir dapat
memberikan kontribusi besar bagi terjalinnya persatuan bangsa Indonesia. Ketika
bangsa ini terancam terpecah, pesan karena hasil Konfrensi Meja Bundar (KMB),
maka Natsir dengan tepat mengantisipasi lewat kemampuan berfikirnya yang jernih.
Pada saat itu, menurut M. Natsir masalah pokok yang harus dipecahkan adalah
bagaimana membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). NKRI pada

852
Lembaga Adat Kebudayaan Aceh, disingkat dengan LAKA dibentuk melalui
peran Pemerintaha Daerah Aceh dengan menetapkan SK Gubernur No. 430/543/1986 dan
Perda No. 2 tahun 1990 membentuk Lembaga Adat dan Kebudayaan Aceh (LAKA),
bertujuan mengembangkan adat istiadat serta kebiasaan Masyarakat dan lembaga adat Aceh.
853
Hasan Basri, Melampaui Islam Substantif: Biografi Politik A. Hasjmy, (Langsa:
Zawiyah Serambi Ilmu Pengetahuan, 2015), h. 108.
854
Karenanya, para ilmuwan dan sejarawan Indonesia meyakini bahwa sejarah
panjang Indonesia tidak lepas dari nama M. Natsir. M.Natsir (1908-1993) yang merupakan
salah satu pejuang di samping pahlawan lainnya sebagai “the founding fathers”. Lebih dari
itu, M. Natsir merupakan pahlawan NKRI, ketika negara yang baru dilahirkan itu tercabik-
cabik kedalam negara-negara boneka ciptaan Belanda di samping Negara Republik Indonesia
M. Natsir berperan sebagai sosok yang secara genuine menyodorkan sebuah konsep integral
dan disepakati oleh semua. Lihat, Roni Tobroni, “Komunikasi Politik Mohammad Natsir,”
Communicatus: Jurnal Ilmu komunikasi, Vol. 1, No. 1, (2017): 39-60, http://journal.u insgd.a
c.id/ind ex.php/cjik/artic le/vie w/1208. Diakses Tanggal 10 September 2020.
855
Nasionalisme sebagai paham “Negara Bangsa” tumbuh seiring dengan
berakhirnya zaman kolonialisme dan imperialisme bangsa-bangsa Barat di Dunia Ketiga.
Gagasan tentang nasionalisme yang mengilhami munculnya negara-negara baru di seluruh
dunia pada abad ke-20 M. Namun di Indoensia, nasionalisme sebagai gagagasan negara
bangasa mampu berdialog dengan agama, sebgaimana yang ditegaskan oleh Bung Karno yang
mampu membangkitkan kesadaran nasionalisme masyarakat Indoensia menjelang
kemerdekaan. Lihat, Masroer, “Gagasan Nasionalisme Indonesia Sebagai Negara Bangsa dan
Relevansi dengan Konstitusi Indonesia”, Jurnal Sosiologi Agama: Sosiologi Agama dan
Perubahan Sosial, Vol. 11, No. 2, (Juli-Desember 2017): 299-238, http://ejournal.uin-suka.ac
.id/ushuluddin/SosiologiAgama/article/view/1297/1191. Diakses Tanggal 17 September 2020.

199
saat ini merupakan jawaban dari persoalan dari kondisi politik yang ada. NKRI
menginginkan terjadinya penggabungan negara-negara bahagian ke Republik
Indonesia Yogyakarta atau langsung semua negara-negara bahagian ke NKRI.856
Perjalanan sejarah Negara Kesatuan Republik Indonesia pasca kemerdekaan,
muncul beberapa ancaman terhadap keutuhan negara yang berasal dari beberapa
gerakan dan peristiwa yang dapat merongrong kesatuan dan keutuhan bangsa
Indonesia, salah satunya adalah di Aceh dan sekitarnya. 857 Gerakan pemberontakan
yang dilakukan oleh Daud Beureueh telah menyita perhatian Pemerintah Pusat, dan
konflik seperatisme ini harus diakhiri. Mengingat arah politik Indonesia pasca
kemerdekaan berada pada masa transisi, konflik di daerah yang ingin memisahkan
diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan juga konflik elit di Parlemen
tentang konsep ideologi negara, dengan mencuatnya perdebatan antara kelompok
Islamis, Nasionalis, dan Sosialis. Sebagai penduduk Muslim terbanyak,
menginginkan Indonesia adalah negara yang berideologi Islam, sehingga ini memicu
pemberontakan di Aceh858
Beberapa tahun setelah kontak senjata terjadi, Jakarta menyadari bahwa
solusi yang bersifat militer tidak mungkin berhasil mengakiri pemberontakan rakyat
Aceh. Upaya-upaya negosiasi kemudian dilakukan untuk mengakiri konflik tersebut.
pada akhir 1950-an, Aceh diakui sebagai daerah Istimewa yang otonom, terutama
masalah-masalah keagamaan, adat, dan pendidikan, dengan syarat bahwa otonom
tersebut tidak bertentangan dengan konstitusi.859 Namun setelah Revolusi berakhir,
dengan memperoleh pengakuan kedaulatan dari Belanda dalam Konferensi Meja
Bundar (KMB) di Den Haag tahun 1950, rakyat Aceh merasa ditinggalkan oleh
Pemerintah Pusat Indonesia. Otonomi yang pernah dirasakan rakyat Aceh hanya
beberapa tahun pun akhirnya dicabut oleh Pemerintah Pusat. Pencabutan otonomi ini
berpengaruh besar terhadap berbagai aspek kehidupan rakyat Aceh. Pencabutan
otonomi ini dan beberapa kebijakan lain dari Pemerintah Pusat terhadap Aceh telah
membuat rakyat Aceh merasa kecewa dan puncaknya diwujudkan melalui
Pemberontakan yang meletus pada tanggal 21 September 1953 yang dipimpin oleh
Tgk. M. Daud Beureu`eh.860
Pemberontakan Darul Islam di Aceh dianggap unik dibandingkan dengan
pemberontakan Darul Islam di daerah yang lain di Indonesia. Pemberontakan ini
berakhir pada tanggal 8 Mei 1962. Agar konflik ini segera berakhir, Pemerintah Pusat

856
Roni Tobroni, “Komunikasi Politik Mohammad Natsir,” Communicatus: Jurnal
Ilmu komunikasi, Vol. 1, No. 1, (2017): 39-60, http://journal.u insgd.a c.id/ind ex.php/cjik/art
icle/view/1208. Diakses Tanggal 10 September 2020.
857
Heryati, “Ulama Dan Ulee Balang: Potret Revolusi Sosial Di Aceh Tahun 1945-
1946”, HISTORIA, Vol. 3, No. 2, ( 2015): 83-89, https://ojs.fki p.ummetro.ac.id /index.php/s
ejarah/article/view/85/0. Diakases Tanggal 17 September 2020.
858
Riyadi Suryana, “Politik Hijrah Kartosuwiryo; Menuju Negara Islam Indonesia”,
Journal of Islamic Civilization. Vol. 1, No. 2, (Oktober 2019): 83-95, https://jour nal2.unusa.a
c.id/index.php/JIC/article/view/1212. Diakses Tanggal 18 September 2020.
859
Bahtiar Effendi, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik politik
Islam di Indonesia..., h. 100.
860
Ti Aisyah Subhani Al Chaidar, Darul Islam Di Aceh: Analisis Sosial-Politik
Pemberontakan Regional Di Indonesia, 1953-1964..., h. ix-x.

211
menghentikan operasi militer dan memandang bahwa pendekatan politik bisa
dilakukan melalui dialog dengan gerakan DI/TII untuk menemukan konsensus dalam
menyelesaikan masalah Aceh. Perdamaian di Aceh baru dapat dicapai setelah
Pemerintah Pusat memutuskan untuk memberikan status Daerah Istimewa, yakni
Aceh diberi hak khusus untuk mengatur masalah keagamaan, pendidikan, dan
budaya.861 Sebagai satu-satunya daerah yang tidak berhasil diduduki kembali oleh
Belanda pasca kemerdekaan, kecuali Sabang, peranan daerah dan rakyat Aceh sangat
penting bagi Indonesia untuk menjaga Revolusi tetap berjalan, dan rakyat Aceh
selalu berada di belakang Republik Indonesia yang masih muda. Dengan dukungan
tersebut daerah Aceh dianggap sebagai modal bagi Revolusi Kemerdekaan
Indonesia.862 Aceh sebagai daerah modal bagi Indonesia, tentunya semangat integrasi
harus dibangun dari wilayah paling ujung pulau Sumatra ini, melalui transformasi
penekanan politik.
Transformasi politik dari pusat ke daerah yang dipelopori oleh Natsir,863
telah memperkokoh posisi tawar nasional. Sehingga jelas dipahami bahwa, kekuatan
politik pusat sangatlah menonjol dalam memahami proses integrasi di indonesia.
Namun dalam hal ini, berbeda dengan A. Hasjmy. Jika saja Natsir memahami konsep
integralistik berdasarkan pemikiran dari atas ke bawah, maka A. Hasjmy melakukan
dengan sebaliknya, sehingga dalam perjalanannya proses integralistik berangkat dari
usaha membangun pemikiran politik lokal menuju pemikiran politik nasional. Dalam
sejarah integrasi kebangsaan antara Aceh–Jakarta, peran A. Hasjmy lebih dominan
dalam menjembatani konflik idealitas politik dengan realitas ke-indonesiaan.864
Republik Indonesia Serikat dalam kacamata M. Natsir merupakan upaya
Belanda untuk memecah belah Negara Indonesia. Dengan membentuk negara-negara
bagian, artinya negara kesatuan ini dibagi-bagi menjadi terdiri dari negara-negara
kecil.865 Pada prinsip prakteknya, konsep mosi integral adalah menyatukan seluruh
daerah dilakukan secara damai. Jika ada konflik dalam penyatuan negara Indonesia
ini, maka yang dirugikan adalah masyarakat. Maka, konsep mosi integral
mencerminkan sebuah aspirasi bersama sehingga dapat diterima semua kalangan.
Ketika mosi integral Natsir diterima parlemen, maka pada tanggal 17 Agustus 1950
negara kesatuan pun kembali berdiri, meskipun Irian Barat masih merupakan wilayah

861
Apipudin, “Daud Beureu‟eh and The Darul Islam Rebellion in Aceh,” Buletin Al-
Turas, Vol. 22, No. 1 (January 31, 2016): 145–167, http://journal.uinjkt.ac.id/index.php/ al-
turats/article/view/7221. Diakses Tanggal 17 September 2020.
862
Ti Aisyah Subhani Al Chaidar, Darul Islam Di Aceh: Analisis Sosial-Politik
Pemberontakan Regional Di Indonesia, 1953-1964..., h. ix-x.
863
Roni Tobroni, “Komunikasi Politik Mohammad Natsir,” Communicatus: Jurnal
Ilmu komunikasi, Vol. 1, No. 1, (2017): 39-60, http://journal.u insgd.a c.id/ind ex.php/cjik/art
icle/view/1208. Diakses Tanggal 10 September 2020.
864
A. Hasjmy, Di Mana Letaknya Negara Islam..., h. 11.
865
Roni Tobroni, “Komunikasi Politik Mohammad Natsir,” Communicatus: Jurnal
Ilmu komunikasi, Vol. 1, No. 1, (2017): 39-60, http://journal.u insgd.ac.id/ind ex.php/cjik/artic
le/vie w/1208. Diakses Tanggal 10 September 2020.

211
sengketa.866 Walaupun banyak yang melupakannya, namun tidak bisa dihapus dalam
sejarah bangsa Indonesiai bahwa mosi integral itu menjadi inspirasi penting untuk
berdirinya negara Indonesia yang kedua, sehingga dipersatukan oleh tekad yang kuat.
Seluruh isi „Mosi Integral M. Natsir‟ tertuang dalam sebuah naskah autentik DPR
Sementara RIS. 867
Menyahuti mosi integrasi nasional, A. Hasjmy mencetuskan gagasan
membangun Aceh pasca Pemberontakan DI/TII dengan konsep “Tri karya Utama”. 868
Meskipun telah merdeka di Aceh masih saja terjadi pemberontakan. 869 Peristiwa ini,
menurut versi Pemerintah Pusat disebut pemberontakan Daud Beureu„eh. Secara
faktual, suasana aman secara paripurna belum terwujud. Konflik sosial masih
berkecamuk meskipun tidak berdampak global. Namun secara politis sangatlah
menentukan, terutama hubungan Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah pada
satu sisi, dan hubungan ulama dan umara pada sisi yang lain. Dalam suasana kacau
pasti pembangunan di segala bidang tidak akan berjalan dengan lancar. Karena itu,
harus ada upaya-upaya pemulihan keaman dan sekaligus meredam pertikaian dan
konflik. Upaya untuk meredam konflik ini, antara lain dilakukan oleh A. Hasjmy,
yang didukung oleh kawan-kawannya. Di sini kita melihat, betapa penting peran A.
Hasjmy dalam mengakrapkan ulama dengan umara. 870
Setelah A. Hasjmy dilantik menjadi Gubernur Provinsi pada tanggal 27
Januari 1957 di Banda Aceh yang dihadiri oleh pejabat-pejabat pemerintah sipil dan
militer, pemuka-pemuka masyarakat dan Mentri Dalam Negeri bersama sejumlah
pejabat tinggi lainnya, sekelas Kepala Staf Angkatan Darat, Kolonel A. H. Nasution
bersama sejumlah perwira tinggi dan Gubernur Sumatra Utara. Pelantikan dilakukan
secara resmi sebagaimana kelaziman pelantikan pejabat-pejabat tinggi. Sejak saat itu,
A. Hasjmy resmi menjabat Gubernur Aceh dan memulai kerja keras membangun
serta mengembalikan situasi yang semakin memanas di Aceh. Dalam usahanya A.
Hasjmy bekerja sama dengan Letnan Kolonel Syamaun Gaharu, Panglima Komando
Daerah Militer Aceh, untuk memajukan Aceh dalam segala bidang kehidupan,
meliputi bidang pemulihan keamanan, peningkatan prasarana dan sarana, dan
pendidikan.871

866
Roni Tobroni, “Komunikasi Politik Mohammad Natsir,” Communicatus: Jurnal
Ilmu komunikasi, Vol. 1, No. 1, (2017): 39-60, http://journal.u insgd.ac.id/ind ex.php/cjik/artic
le/vie w/1208. Diakses Tanggal 10 September 2020.
867
Roni Tobroni, “Komunikasi Politik Mohammad Natsir,” Communicatus: Jurnal
Ilmu komunikasi, Vol. 1, No. 1, (2017): 39-60, http://journal.u insgd.ac.id/ind ex.php/cjik/arti
cle/vie w/1208. Diakses Tanggal 10 September 2020.
868
A. Hasjmy, Semangat Merdeka: 70 Tahun Menempuh Jalan Pergelokan dan
Perjuangan Kemerdekaan, (Jakarta: Bulang Bintang, 1985), h. 561.
869
Ti Aisyah Subhani Al Chaidar, Darul Islam Di Aceh: Analisis Sosial-Politik
Pemberontakan Regional Di Indonesia, 1953-1964..., h. ix.
870
Hasan Basri, Melampaui Islam Substantif: Biografi Politik A. Hasjmy..., h. 112.
871
Dari usaha tersebut melahirkan konsep “Trikarya Utama” meliputi. Pertama,
pemeliharaan keamanan dan ketertiban umum. Kedua, penyempurnaan Pemerintah Daerah.
Ketiga, Pembangunan daerah. Lihat, A. Hasjmy, Semangat Merdeka: 70 Tahun Menempuh
Jalan Pergolakan dan Perjuangan Kemerdekaan, (Jakarta: Bulang Bintang, 1985), h. 561.

212
Langkah awal yang dilakukan oleh A. Hasjmy ketika memulai melaksanakan
pemerintahan adalah mengadakan hubungan baik dengan pemimpin Darul Islam
Aceh pada tanggal 30 Januari 1957 setelah lebih dahulu memberi tahukan rencana
kegiatan tersebut kepada Komandan Resimen Aceh, Syamaun Gaharu. Syamaun
Gaharu selaku Komandan Resimen sudah merintis Jalan untuk menyelesaikan
masalah Darul Islam di Aceh yang terkenal dengan nama “Konsepsi Prinsip
Bijaksana”.872 Konsepsi ini mendapat tanggapan serius dari pemerintah Pusat,
bertepatan dengan dengan hari pelantikan A. Hasjmy sebagai gubernur, saat itu pula
Kepada Staf Angkatan Darat, Jendral A. H. Nasution, Letnan Kolonel Syamaun
Gaharu, dan A. Hasjmy mengadakan pertemuan penting membahas masalah
penyelesaian DI/TII di Aceh. Pertemuan ini memperoleh kesepakatan bahwa
“Konsepsi Prinsipil Bijaksana” yang dibuat oleh Syamaun Gaharu dapat
dilaksanakan dan A. H. Nasution selaku Penguasa Perang Pusat memberikan
petunjuk dan saran untuk pelaksanaan konsep tersebut. Bersama-sama dengan
Syamaun Gaharu, A. Hasjmy bertekat akan mengupayakan penyelesaian terbaik bagi
kasus DI/TII Aceh. Kerja sama yang harmonis di antara dua orang yang berkuasa di
Aceh ini membuahkan hasil yang sangat berharga bagi seluruh rakyat Aceh. 873
Pemberontakan ini diakhiri dengan sebuah musyawarah besar, sebuah
perhelatan diskursus ke-Acehan dalam ke-Indonesiaan. Jika pada awalnya
pemberontakan dimulai dengan Kongres Ulama di Medan, maka kisahnya ini pun
diakhiri dengan sebuah kongres dalam bentuknya yang lain, yaitu: MKRA.874
(Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh). Ini berarti akhir yang sesungguhnya dari
jihad suci menegakkan Darul Islam, termasuk jihad menegakkan negara Islam di
Aceh, meskipun tertunda namun sudah mendapatkan akomodasi politik yang sangat
besar, sebuah pengakuan akan jati diri Aceh dan peneguhan sikap dan keinginan
menjalankan syariat Islam.875
Sosok yang terlukis dari perjalanan hidupnya, A. Hasjmy adalah seorang
yang idealis dan berkemauan keras. Perjuangan hidupnya dimulai dari kecintaannya
sebagai seorang guru hingga sukses menjadi sastrawan, wartawan, kolumnis,
pujangga, pemimpin masyarakat, tokoh perjuangan kemerdekaan, politisi,
negarawan, akademikus, pemikir, ulama intelektual, pustakawan, dan sejarawan. Di
zaman revolusi kemerdekaan Indonesia, seluruh aktivitas hidupnya yang
bermodalkan ke Acehanya yang kental, dipenuhi oleh perjuangan menegakkan dan
mengisi kemerdekaan negara Republik Indonesia.876 Pada tahun 1957, Aceh
dinyatakan dalam keadaan perang, dan Letkol Syamaun Gaharu diangkat menjadi
penguasa Perang Daerah. Penguasa Perang Daerah diberikan wewenang membuat
872
“Prinsip” adalah Aceh tetap berada di bawah payung Negara kesatuan Republik
Indonesia, sedangkan “bijaksana” bermaksud menghindari terjadinya pertumpahan darah.
873
Hasan Basri, Melampaui Islam Substantif: Biografi Politik A. Hasjmy..., h. 90.
874
MKRA adalah singkatan dari Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh.
875
Ti Aisyah Subhani Al Chaidar, Darul Islam Di Aceh: Analisis Sosial-Politik
Pemberontakan Regional Di Indonesia, 1953-1964, (Lokseumawe: Uimal Press, 2008), h.
351.
876
Kustadi Suhandang, “Ali Hasjmy Dan Penolisan "Dustur Dakwah Menurut Al-
Qur'an'' Vol. 19, No. 94, (Juli - September 2002): 37-92, https://core.ac.uk/download/pdf/267
964131.pdf. Diakses Tanggal 18 September 2020.

213
peraturan-peraturan untuk kelancaran pelaksanaan “Konsepsi Prinsipil Bijaksana”
untuk lebih memuluskan jalan, Gubernur A. Hasjmy mengunjungi beberapa ulama
terkenal seperti Teungku Hasan Krueng Kale dan Teungku Abdullah Umar Lam U.
Pendekatan juga dilakukan dengan pimpinan Masyumi, Perti, PSII, PKI, NU, IPKI,
Muhammadiyah, dan lain-lainnya. Kunjungan tersebut untuk menjelaskan kepada
mereka tentang “Konsepsi Prinsip Bijaksana” dalam menyelesaikan peristiwa Aceh,
yang mendapatkan sambutan baik, serta saran-saran tambahan, kecuali Partai
Komunis Indonesia yang berpendirian agar gerakan DI/TII Aceh ditumpas habis. 877
Partai Islam seperti Masyumi menyarankan solusi yang lebih damai untuk
pemberontakan DI/TII di Aceh. Sementara itu, ulama Aceh yang tidak sependapat
dengan tindakan Daud Beureu'eh mencoba meyakinkan masyarakat bahwa, tindakan
Daud Beureu'eh dan para pengikutnya adalah salah. Mereka mendorong rakyat untuk
tidak ikut serta dalam pemberontakan dan memilih tindakan yang tepat, yaitu
mendukung Negara Kesatuan Republik Indonesia dan pemerintahanya. Para ulama
dan partai Islam tersebut menilai pemberontakan DI/TII tidak terjadi karena sejak
awal masyarakat Aceh membenci pemerintah pusat. Memang pada masa perjuangan
rakyat Aceh memberikan dukungan yang cukup besar kepada Republik Indonesia. 878
Kiprah Masyumi,879 tidak terlepas dari sosok Natsir, mosi integral
merupakan buah pemikiran yang paling popular, sebab dianggap telah melahirkan
bangsa Indonesia yang kedua kali. Natsir telah berjasa secara internal kepada
Masyumi sebagai Partai di mana dirinya aktif. Di bawah kepemimpinanya Masyumi
semakin disegani partai lain. Selain itu, posisi sebagai ulama besar, M. Natsir juga
telah melahirkan buah pemikiran yang sangat banyak. Selain bahan bacaan terkait
dengan kebangsaan, juga ajaran berdakwah bagi para kader dan umat Islam yang
sangat penting. Fiqhud Dakwah telah menjadi pelajaran berharga dan dijadikan buku
ajar pengkaderan bukan hanya di dalam negeri tetapi juga di negeri jiran. Namun,
dari sekian prinsip penting yang perlu ditauladani dari M. Natsir memang mosi
integral telah mengantarkannya menjadi pahlawan nasional. Kendati tidak mudah,
namun penganugerahan pahlawan kepada M. Natsir semakin membuktikan bahwa
mosi integral merupakan kontribusi amat penting terhadap bangsa ini. 880
Begitu juga dengan A. Hasjmy, melalui karyanya yang berjudul “Dustur
Dakwah Menurut Alquran”.881 Ilmu dakwah telah membentuk karakter dirinya dalam
berkomunikasi, sehingga dengan pengetahuan dakwahnya, A. Hasjmy dijuluki

877
Hasan Basri, Melampaui Islam Substantif: Biografi Politik A. Hasjmy..., h. 91.
878
Apipudin Apipudin, “Daud Beureu‟eh and The Darul Islam Rebellion in Aceh,”
Buletin Al-Turas, Vol. 22, No. 1 (January 31, 2016): 145–167, http://journal.uinjkt .ac.id/ind
ex.php /al-turats/article/view/7221. Diakses Tanggal 17 September 2020.
879
Ti Aisyah Subhani Al Chaidar, Darul Islam Di Aceh: Analisis Sosial-Politik
Pemberontakan Regional Di Indonesia, 1953-1964..., h. 17.
880
Roni Tobroni, “Komunikasi Politik Mohammad Natsir,” Communicatus: Jurnal
Ilmu komunikasi, Vol. 1, No. 1, (2017): 39-60, http://journal.u insgd.ac.id/ind ex.php/cjik/arti
cle/vie w/1208. Diakses Tanggal 10 September 2020.
881
A. Hasjmy, Dustur Dakwah Menurut AI-Qur'an, (Jakarta: Bulan, 1994). Lihat
juga, Kustadi Suhandang, “Ali Hasjmy Dan Penolisan "Dustur Dakwah Menurut Al-Qur'an”,
AL-QALAM, Vol. 19, No. 94 (Juli - September 2002): 37-92, http://jurnal.uinbanten .ac.id/in
dex.php/alqalam/article/download/10 07/825. Diakkses Tanggal 19 September 2020.

214
sebagai “negosiator”, dalam menyelesaikan pemberontakan Darul Islam. 882 Dengan
kemampuan negosiasi tersebut berhasil membujuk pimpinan gerakan Darul Islam di
aceh, Teungku Daud Beureu„eh, untuk turun gunung dan kembali ke pangkuan
Negara Kesatuan republik Indonesia. Dalam konteks ini, jelas terurai dengan baik
usaha A. Hasjmy dalam memperjuangkan nilai politik lokal menuju kekuatan politik
nasional, dikala disentegrasi negara Indonesia terancam.
Perang belum lama usai, konflik sosial masih berlangsung, dan Acehpun
dalam keterpurukan, serta penduduknya amat menderita. Kebanyakan anak-anak usia
sekolah tidak mendapatkan pendidikan formal. Perekonomian masih berantakan,
gedung-gedung dan rumah-rumah banyak yang terbakar, pasar-pasar sunyi,
transportasi Kereta Api yang menjadi alat mobilisasi berhenti, kecemasan dan
kekhawatiran masih saja terjadi, bumi Aceh seakan-akan tidak adalagi mentari, langit
seolah-olah tak lagi terang, begitulah gambaran Aceh pada awal kemerdekaan.
Dalam situasi dan kondisi yang demikian A. Hasjmy dilantik sebagai gubernur
pertama Provinsi Aceh II pada tahun 1957, sebelumnya Provinsi Aceh I dilebur ke
dalam Provinsi Sumatra Utara. Dalam kapasitasnya sebagai gubernur, A. Hasjmy
membangun Aceh kembali di atas “puing-puing” kehancuran. Peranan A. Hasjmy
pada masa-masa awal ini sangatlah penting. Seperti penuturannya, bermodalkan 25
juta rupiah, dari dana ini kemudian memikirkan pembangunan gedung untuk
kelengkapan Pemerintah Daerah, seperti Kantor Gubernur, dan Gedung Dewan
Perwakilan Daerah (DPRD). Dalam menjalankan upaya ini, A. Hasjmy juga dibantu
oleh aparatur Pemerintah Daerah, dan juga oleh masyarakat Aceh, baik yang ada di
daerah maupun di luar daerah.883
Selama menjabat sebagai Gubernur Aceh,884 Meskipun periode kedua
sebelum habis masa jabatannya, sudah dipindah tugaskan ke Departemen Dalam
Negeri. A. Hasjmy juga salah seorang “negosiator” dalam penyelesaian masalah
Dārul Islam di Aceh.885 A. Hasjmy, mengadakan pendekatan dan mencoba membuka

882
Syabuddin Gade, “Konsep Pendidikan Islam Dalam Perspektif Pemikiran Ali
Hasjmy (Analisis Hakikat dan Tujuan Pendidikan Islam)”, FITRA, Vol. 1, No. 2, (Juli-
Desember 2015): 29-35, http://jurnal.staitapaktuan.ac.id/index. php/fitra/article/download/16/
5. Diakses Tanggal 19 September 2020.
883
Hasan Basri, Melampaui Islam Substantif: Biografi Politik A. Hasjmy..., h. 108-
109.
884
Perlu dicatat bahwa, A. Hasjmy menjabat Gubernur Aceh selama dua periode.
Pertama, periode 1957-1960. Kedua, periode 1960-1964. Dalam dua periode ini, A. Hasjmy
menata Aceh dari awal sehingga secara gradual berkembang dan maju. Kemudian dilanjutkan
dengan pelaksanaan “Konsepsi Prinsipil Bijaksana” yang disusun dalam satu rencana
pembangunan yang dinamakan “Tri Karya Bakti”. Meliputi tiga bidang utama. Pertama,
pemulihan keamanan. Kedua, pembangunan dalam segala bidang. Ketiga, pengembangan
otonomi yang luas. Dalam bidang pembangunan, prioritas diberikan kepada sektor
pembangunan pendidikan dalam arti yang luas. Lihat, Hasan Basri, Melampaui Islam
Substantif: Biografi Politik A. Hasjm...., h. 109-110.
885
Syabuuddin Gade, “Konsep Pendidikan Islam Dalam Perspektif Pemikiran A.
Hasjmy (Analisis Hakikat dan Tujuan Pendidikan Islam) Syabuddin Gade”, FITRA, Vol. 1,
No. 2, (Juli-Desember 2015): 28-35, http://jurnal.staitapaktuan.ac.id/index.p hp/fitra/article/v
iew/16. Diakses Tanggal 18 September 2020.

215
komunikasi dengan Teungku Muhammad Daud Beureu„eh, pemimpin
pemberontakan DI/TI. Dalam rangka menyelesaikan Darul Islam di Aceh, A.
Hasjmy menjumpai Daud Beureu„eh dengan mendaki gunung menuju mardha>t Allah
(tempat yang diridhai), markas besar Wali Negara. Enam bulan kemudian, A. Hasjmy
berhasil bertemu dengan Daud Beureu„eh. Kontak-kontak selanjutnya terus dilakukan
oleh Pemerintah Pusat, Daerah, atau secara bersama-sama. Keinginan Daud
Beureu„eh dan teman-temannya, agar Aceh diberi status Daerah Istimewa. Pada
tahun 1962, A. Hasjmy mengadakan Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh (MKRA)
di Blang Padang Banda Aceh yang dihadiri oleh ulama-ulama dari seluruh Aceh.
Setelah musyawarah ini, Aceh dijuluki dengan nama “Darussalam”,886 sehingga pada
masa berikutnya memudahkan A. Hasjmy, membangun Aceh secara lebih leluasa.
Dan dengan kiprah keterlibatan A. Hasjmy tersebut berhasil meyakinkan Daud
Beureu„eh kembali ke pangkuan negara Republik Indonesia.887
Pemerintah mengambil beberapa langkah untuk mengatasi pemberontakan:
membatasi pergerakan pemberontak, meningkatkan pertahanan di seluruh Aceh,
memperkuat pos-pos militer, mengamankan jalur pos dan logistik, serta mengirim
pasukan baru untuk menambah jumlah yang sudah ditempatkan di Aceh. Selain itu,
pemerintah juga menawarkan beasiswa bagi mahasiswa Aceh yang belajar di luar
Aceh. Pemerintah Indonesia juga mendorong ulama yang tidak berpihak pada
pemberontak untuk membantu membujuk masyarakat agar tidak ikut serta dalam
pemberontakan. Pemerintah juga berjanji, jika keadaan sudah normal kembali akan
membawa pembangunan di Aceh di segala bidang, terutama dalam bentuk rel kereta
api dan jalan raya. 888
Status Daerah Istimewa yang diberikan untuk Aceh,889 membuat masyarakat
di daerah benar-benar bahagia, namun walaupun demikian suasana masih belum
sepenuhnya aman. A. Hasjmy diangkat kembali menjadi Gubernur Daerah Istimewa
Aceh, berdasarkan keputusan presiden Republik Indonesia tanggal 24 Desember
1959 No. 469/M/1959. Sebagai Penguasa Perang dijabat oleh Kolonel Yasin,
menggantikan Letkol Syamaun Gaharu yang telah berakhir masa jabatannya. Kolonel
Yasin dalam usahanya menghentikan sisa-sisa pemberontakan mengadakan seruan-
seruan yang pada pokoknya meminta para pemberontak tersebut kembali kepangkuan
Ibu Pertiwi. Upaya tersebut disambut baik oleh masyarakat Aceh dan sebagian besar

886
Menurut A. Hasjmy salam yang berarti aman damai, jika saja ditempatkan di
belakang idiomatik negara akan berarti “negara aman damai”, karena keamanan dan
perdamaian menjadi dasar politik negara. Darussalam yang kadang-kadang juga disebut Darul
Islam, mencakup negeri-negeri yang menjalankan hukum-hukum Islam, atau kaum Muslimin
berkemampuan menegakkan hukum Islam. lihat, A. Hasjmy, Di Mana Letaknya Negara
Islam..., h. 288.
887
Hasan Basri, Melampaui Islam Substantif: Biografi Politik A. Hasjm...., h. 113.
888
Apipudin Apipudin, “Daud Beureu‟eh and The Darul Islam Rebellion in Aceh,”
Buletin Al-Turas, Vol. 22, No. 1 (January 31, 2016): 145–167, http://journal.uinjkt .ac.id/ind
ex.php /al-turats/article/view/7221. Diakses Tanggal 17 September 2020.
889
Mukhlis, “Keistimewaan dan Kekhususan Aceh dalam Perspektif Negara
Kesatuan Republik Indonesia”, Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 4, No. 1, (2014) , https://www.nelit
i.com/id/publications/9093/keistimewaan-dan-kekhususan-aceh-dalam-perspektif-negara-
kesatuan-republik-indon. Diakses Tanggal 27 September 2020.

216
pemberontak DI/TII. Kampanye yang dilakukannya sejak bulan april 1961
memperlihatkan hasil yang sangat menguntungkan bagi terciptanya masalah
keamanan di Aceh. Dengan bantuan Pemerintah Daerah, Kolonel Yasin mulai
melaksanakan surat menyurat dengan Teungku Daud Beureu„eh. Setelah mendapat
jawaban positif, Kolonel Yasin langsung mengadakan pertemuan dengan Teungku
Daud Beureu„eh. Dalam kesempatan itu Kolonel Yasin menyampaikan hasrat dan
keinginan Mentri Keamanan Nasional dan hasrat hati Kolonel Yasin sendiri agar
Teungku Daud Beureu„eh bersedia kembali kepangkuan Ibu Pertiwi. Sebagian dari
anggota DI/TII banyak yang dengan suka rela kembali kepangkuan Ibu Pertiwi. Dan
presiden Republik Indonesia telah pula memberikan amnesti dan abolisi kepada
semua anggota DI/TII yang kembali tersebut, berdasarkan keputusan presiden No.
449 tahun 1961, tanggal 17 Agustus 1961.890
Pemerintah, melalui delegasinya, menyetujui ketentuan Daud Beureu„eh
bahwa hukum Syariah (hukum Islam) akan diterapkan di Aceh. Kesepakatan ini
kemudian resmi disahkan pada tanggal 7 April 1962 dengan persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah. Setelah menempuh perjalanan panjang menuju
perdamaian, Daud Beureuh akhirnya kembali ke Kutaraja pada tanggal 8 Mei 1962.
Teungku Daud Beureu'eh dengan khidmat mengumumkan bahwa, atas perintah
rakyatnya, ia kini kembali kepada rakyatnya. Ia juga menyatakan bahwa perseteruan
yang berkecamuk antara kelompoknya dengan pemerintah Indonesia selama delapan
tahun, sepuluh bulan, dan dua puluh tujuh hari resmi berakhir hari itu. Negosiasi dan
langkah damai terbukti efektif dalam mengakhiri pemberontakan di Aceh. Sebuah
kebijakan yang sangat populer yang disebut “Konsepsi Prinsipil Bijaksana” (Wise
Principal Conception) yang diajukan oleh Syamaun Gaharu dan diadopsi oleh
pemerintah daerah terbukti mampu menekan singa pemberontak. Itu keputusan yang
tepat sejajar dengan pemerintah, mengingat Daud Beureu'eh dan rakyat Aceh telah
memberikan sumbangan besar bagi negara dan bahwa DI / TII Aceh berkeinginan
untuk menyelesaikan masalah tersebut melalui jalan damai, konsensus. 891
Setelah para pengikutnya beramai-ramai menyerahkan diri, maka posisi
Teungku Muhammad Daud Beureu`eh semakin terpojok. Surat menyurat maupun
negosiasi melalui utusan antara Kolonel M. Yasin, A. Hasjmy dengan Teungku.
Daud Beureu`eh terus dilakukan untuk membujuk Teungku Muhammad Daud
Beureu`eh turun. Proses yang cukup panjang ini akhirnya berhasil setelah Teungku
Muhammad Daud Beureu`eh yang akhirnya bersedia turun. 892 Proses penjemputan
Teungku Muhammad Daud Beureu`eh dilakukan tanggal 9 Mei 1962 yang dipimpin
oleh Kepala Staf Kodam Iskandar Muda Letkol Nyak Adam Kamil. Turut
meyerahkan diri bersama Teungku Muhammad Daud Beureu`eh adalah pengikut
setianya Ilyas Leube dan Hasballah Daud, beserta sekelompok kecil pengikutnya.
Rombongan Teungku Muhammad Daud Beureu`eh memasuki Kutaraja persis pada

890
Hasan Basri, Melampaui Islam Substantif: Biografi Politik A. Hasjm...., h. 95.
891
Apipudin Apipudin, “Daud Beureu‟eh and The Darul Islam Rebellion in Aceh,”
Buletin Al-Turas, Vol. 22, No. 1 (January 31, 2016): 145–167, http://journal.uinjkt .ac.id/ind
ex.php /al-turats/article/view/7221. Diakses Tanggal 17 September 2020.
892
Nazaruddin Sjamsuddin, Pemberontakan Kaum Republik: Kasus Darul Islam
Aceh..., h. 192.

217
Hari Raya Idul Adha di Masjid Raya Kutaraja. Pada tanggal 21 Mei 1962
diselenggarakan sebuah upacara selamatan di pendopo gubernur untuk memperingati
secara khidmad berakhirnya pemberontakan yang sudah berlangsung hampir
sembilan tahun itu. 893 Keputusan yang diambil oleh Teungku Daud Beureu„eh untuk
turun bersama pengikutnya, persoalan keamanan di Aceh sukses diselesaikan oleh
Pemerintah Daerah, Penguasa Darul Islam di Aceh bersama dengan Pemerintah Pusat
terkait dengan pemberontakan DI/TII di Aceh

3. Menuju Ikrar Lamteh


Langkah pertama yang dilakukan oleh A. Hasjmy setelah dilantik menjadi
Gubernur Privinsi Aceh pada tanggal 27 Januari 1957 di Banda Aceh, dan memulai
bekerja keras dalam membangun dan menciptakan stabilitas keamanan dari situasi
yang semakin memanas di Aceh. Dalam usahanya, A. Hasjmy bekerja sama dengan
Letnan Kolonel Syamaun Gaharu, Panglima Komando Daerah Militer Aceh, untuk
memajukan Aceh dalam segala bidang kehidupan, seperti bidang keamanan,
peningkatan prasarana dan sarana, serta pendidikan. Selanjutnya, ketika memulai
melaksanakan pemerintahan terlebih dahulu A. Hasjmy menjalin hubungan baik
dengan pemimpin Darul Islam Aceh yang dipimpim oleh Teungku Muhammad Daud
beureueh, tepatnya pada tanggal 30 Januari 1957, setelah terlebih dahulu
memberitahukan rencana tersebut kepada Komandan Resimen Aceh, Syamaun
Gaharu. Syamaun Gaharu sebagai Komandan Resimen sudah merintis jalan untuk
menyelesaikan masalah Darul Islam di Aceh yang dikenal dengan nama “Konsepsi
Prinsipil Bijaksana”, maksudnya adalah “Prinsipil” Aceh tetap berada di bawah
payung Negara Kesatuan Republik Indonesia, sedangkan “Bijaksana” maksudnya
menghindari terjadi pertumpahan darah.894
Pada tanggal 8 April 1957 terjadi sebuah pertemuan antara Pemerintah (yang
diwakili oleh KDMA (Komando Daerah Militer Aceh dan Pemerintah Daerah)
dengan elit pemimpin gerakan Darul Islam Aceh di Lamteh. Lamteh adalah sebuah
tempat netral di Aceh Besar. Pertemuan antara “musuh dan kawan” dalam perang ini
sebenarnya berlangsung tanpa sepengetahuan Teungku Daud Beureu`eh. Beberapa
Perwira Tinggi dan menengah TII yang sulit menghadapi sikap “keras” Teungku
Daud Beureu„eh akhirnya meretas jalan sendiri menuju ke perundingan. Pertemuan
ini menghasilkan Ikrar Lamteh yang berisikan tiga prinsip. Pertama, sama-sama
berusaha untuk memajukan agama Islam. Kedua, sama-sama berikhtiar untuk
membangun Aceh dalam arti yang seluas-luasnya. Ketiga, sama-sama bekerja untuk
memberikan kemakmuran dan kebahagiaan kepada rakyat dan masyarakat Aceh. 895

893
Ti Aisyah Subhani Al Chaidar, Darul Islam Di Aceh: Analisis Sosial-Politik
Pemberontakan Regional Di Indonesia, 1953-1964..., h. 348.
894
A. Hasjmy dkk. (ed), 50 Tahun Aceh Membangun, (Banda Aceh: MUI Aceh,
1995), h. 140. Dalam, Basri, Hasan, A. Hasjmy (1914-1998): Kajian Sosial-Intelektual dan
Pemikirannya Tentang Politik Islam, (Disertasi Pada Sekolah Pascasarjana Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008), h. 106.
895
Ti Aisyah Subhani Al Chaidar, Darul Islam Di Aceh: Analisis Sosial-Politik
Pemberontakan Regional Di Indonesia, 1953-1964..., h. 311.

218
Upaya selanjutnya yang ditempuh oleh A. Hasjmy dan Letkol Syamaun
Gaharu mengupayakan suatu perundingan untuk meredakan keadaan yang mulai
memanas. Untuk mencapai rekonsiliasi dengan pasukan pemberontak, Syamun
Gaharu, Panglima Komando Militer Aceh merumuskan ide yang disebutnya
“Konsepsi Prinsipil Bijaksana”. Ide ini termasuk meninggalkan operasi militer dan
mencari penyelesaian politik. Untuk mencapai hal tersebut, pemerintah dan DI/TII
harus bekerja sama mencari solusi untuk menyelesaikan masalah Aceh. Pada
pertengahan tahun 1957, pemerintah melakukan perundingan dengan sejumlah
pimpinan DI/TII di desa Lam Teh. Negosiasi ini dikenal sebagai "Ikrar Lam Teh". 896
Pertemuan diadakan di Gampong Lamteh,897 pada tanggal 7 April 1957 yang
dihadiri oleh pihak pemerintah, di antaranya Gubernur A. Hasjmy, Kepala Polisi
Muhammad Isya, Teungku Abdul Wahab, dan Pegawai Tinggi Agama di Jakarta.
Sementara di pihak Darul Islam diwakili oleh Perdana Mentri Darul Islam Hasan Ali,
Mentri Pertahanan Darul Islam Hasan Saken, Bupati Aceh Besar Darul Islam Ishak
Amin, dan seorang tokoh Darul Islam lainnya Pawang Leman. Pertemuan tersebut
menghasilkan suatu persetujuan yang terkenal dengan nama “Piagam Lamteh” atau
Ikrar “Lamteh” yang berisi sebagai berikut.
Pertama, kami setiap putra-putri Aceh bertanggung jawab terhadap masa
depan Aceh yang kami cintai dan rasa berkewajiban untuk membangun Aceh
kembali dalam segala bidang. Kedua, pembangunan yang sangat diharapkan oleh
rakyat Aceh, yang harus kami laksanakan yaitu pembangunan dalam bidang agama
Islam dalam arti yang luas, dan pembangunan dalam bidang politik juga dalam arti
yang luas, dan pembangunan dalam bidang pendidikan, kebudayaan, peradatan, dan
kesemuanya harus tidak boleh bertentangan dengan ajaran Islam. Ketiga, untuk dapat
melaksanakan cita-cita pembangunan Aceh kembali, kami bersepakat untuk
menghentikan pertempuran di antara sesama putra Indonesia di Aceh.898
Dapat dimaklumi, pemerintah Republik Indonesia (RI) di awal-awal
kemerdekaan, negara belum mampu menampung semua aspirasi masyarakat dan
daerahnya. Dapat dimaklumi bahwa masyarakat yang tinggal di daerah tertentu yang
memiliki sejarahnya sendiri dan telah mempertahankan adat istiadatnya yang khas
selama bertahun-tahun sebelum kemerdekaan Republik Indonesia ingin agar
pemerintah pusat mengakui keberadaannya. Dapat dipahami juga bahwa, karena
kecewa anggota masyarakat atau daerah memutuskan untuk mengambil tindakan
radikal atau bahkan melancarkan pemberontakan untuk mencapai cita-citanya.
Meskipun demikian, cara terbaik untuk menyelesaikan masalah tersebut adalah
dengan duduk bersama untuk mencari solusi bersama yang diperlukan untuk

896
Apipudin, “Daud Beureu‟eh and The Darul Islam Rebellion in Aceh,” Buletin Al-
Turas, Vol. 22, No. 1 (January 31, 2016): 145–167, http://journal.uinjkt .ac.id/index.php /al-
turats/article/view/7221. Diakses Tanggal 17 September 2020.
897
Gampong Lamteh adalah salah satu gampong yang saat ini masuk dalam
Kecamatan Peukan Bada, Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh.
898
Hasan Basri, Melampaui Islam Substantif: Biografi Politik A. Hasjm...., h. 91.

219
menciptakan perdamaian di seluruh bangsa dan untuk menumbuhkan kepercayaan
antara pemerintah daerah dan pusat. 899
Pemberontakan ini diakhiri dengan sebuah musyawarah besar, sebuah
perhelatan diskursus ke-Acehan dalam ke-Indonesiaan. Jika pada awalnya
pemberontakan dimulai dengan Kongres Ulama di Medan, maka kisahnya ini pun
diakhiri dengan sebuah kongres dalam bentuknya yang lain, yaitu: MKRA
(Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh). Ini berarti akhir yang sesungguhnya dari
jihad suci menegakkan Darul Islam, termasuk jihad menegakkan negara Islam di
Aceh, meskipun tertunda namun sudah mendapatkan akomodasi politik yang sangat
besar, sebuah pengakuan akan jati diri Aceh dan peneguhan sikap dan keinginan
menjalankan syariat Islam. Di sini pada bulan-bulan sebelumnya banyak orang-orang
Darul Islam yang telah “melaporkan diri” atau “turun gunung” atau menyerah.
Kondisi ini memberikan peluang bagi Pemerintah Daerah Provinsi Aceh untuk
mengadakan perhelatan musyawarah, sebuah upaya untuk mengkonvergensi Aceh
dari energi pemberontakan ke energi pembangunan. Dan keamanan sepenuhnya pulih
di Aceh, pada 8 Mei 1962.900
Menuju perubahan Aceh dari Dar al harb, wilayah perang, ke Dar al-salam,
daerah damai (untuk menggunakan ungkapan yang berlaku ketika itu), dan
selanjutnya guna mengungkapkan pernyataan resmi akan persatuan Aceh yang telah
pulih, diselenggarakan suatu upacara akbar pada akhir tahun itu, yaitu Musyawarah
Kerukunan Rakyat Aceh (MKRA), yang berlangsung di Blang Padang dari 18
sampai 22 Desember 1962. Puncak hasilnya adalah Ikrar Blang Padang, yang
ditandatangani oleh tujuh ratus orang Aceh terkemuka yang hadir. Mereka berjanji
akan memelihara dan membina kerukunan serta memancarkan persatuan dan
persahabatan. Musyawarah kerukunan Rakyat Aceh ini merupakan sebuah upaya
Pemerintah Daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh yang menyerukan “nibak tjebre,
get meusaboh, tameudjroh-jroh ngon sjeedara”.901
Bagi banyak orang Aceh, Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh ini
merupakan suatu rekonsialiasi rakyat Aceh yang menghasilkan “Ikrar Blang Padang”
yang meskipun tidak tepat benar akomodasi politik yang diberikan oleh Pemerintah
Pusat (Jakarta) ini, harus diterima dengan hati yang lapang. “Beuthat tameh surang
sureng, asai puteng roh lam bara”902, sebuah ungkapan kultural yang sangat teknis
tentang membangun Aceh, sebuah “rumah bersama” yang dihuni oleh semua
komponen yang selama ini kurang puas dengan “proses pembuatannya” yang
mungkin harus dilalui dengan segala kepayahan. 903

899
Apipudin, “Daud Beureu‟eh and The Darul Islam Rebellion in Aceh,” Buletin Al-
Turas, Vol. 22, No. 1 (January 31, 2016): 145–167, http://journal.uinjkt .ac.id/index.php/ al-
tura ts/article/view/7221. Diakses Tanggal 17 September 2020.
900
Ti Aisyah Subhani Al Chaidar, Darul Islam Di Aceh: Analisis Sosial-Politik
Pemberontakan Regional Di Indonesia, 1953-1964..., h. 347-348.
901
Daripada hancurnya kebersamaan, lebih baik mengikat persaudaraan.
902
Walaupun tiang berlainan arah, tidak menjadi persoalan asalkan ujungnya terikat
di dalam pahatan lubang.
903
Ti Aisyah Subhani Al Chaidar, Darul Islam Di Aceh: Analisis Sosial-Politik
Pemberontakan Regional Di Indonesia, 1953-1964..., h. 155-156.

211
Kesepakatan dalam perundingan tersebut, kedua belah pihak berjanji untuk
mendukung pembangunan Islam, sekaligus membawa kemakmuran dan keamanan
bagi masyarakat Aceh. Selain itu, kedua belah pihak juga sepakat untuk
mengumumkan gencatan senjata. Namun demikian, kendati telah diupayakan, Daud
Beureu'eh tetap kembali berkompromi karena berkeyakinan bahwa Aceh hanya akan
berunding dengan Republik Indonesia, jika pemerintah pusat mengakui status Aceh
sebagai negara Islam dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. 904
Melalui “Ikrar Lamteh”905 diadakan Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) I,
ditahun 1958. Melalui “Ikrar Lamteh” ini terbangunnya tonggak kesadaran yang
sangat tinggi menjulang dari para elit Aceh, baik dari kalangan pejuang Darul Islam
sendiri, maupun dari unsur Pemerintah Daerah Aceh kala itu, seperti nama Hasan Ali,
Ali Piyeung, Hasan Saleh, dan Pawang Leman, sementara dari kalangan Pemerintah
sendiri tercatat nama A. Hasjmy dan Syamaun Gaharu.906 Perdamaian yang dicapai
tanpa pihak ketiga yang menengahinya. Ini sebagai bukti bahwa kesadaran elit Aceh
dari kedua belah pihak memiliki jiwa-jiwa kemuliaan. Demikianlah adanya, bahwa
“Ikrar Lamteh” merupakan capaian penting dalam sejarah Aceh modern, yang
semestinya dipahami sebagai keinsyafan yang mendalam, sebab ianya adalah sebuah
usaha untuk menata kebaikan bersama. 907
Pada bulan Februari 1957, Syamaun Gaharu mengumumkan rumusan untuk
mengakhiri pemberontakan secara damai. Gaharu menamakan gagasannya dengan
“Konsepsi Prinsipil Bijaksana”, yang berarti bahwa dengan "bijaksana" Gaharu
menawarkan kesempatan kepada para pemberontak untuk "kembali ke pangkuan Ibu
Pertiwi", seraya tetap mempertahankan "prinsip" pemerintah untuk menggunakan
kekuatan di mana perlu. Konsepsi ini disetujui Nasution pada bulan Januari, dan
Nasution pun mendukung langkah-langkah Gaharu untuk berunding secara resmi
dengan pemimpin-pemimpin Negara Bagian Aceh (NBA).908
Akan tetapi konsepsi yang ditawarkan oleh Gaharu, justru menimbulkan
amarah Daud Beureu„eh. Di matanya konsepsi itu tidak menawarkan suatu apapun
kecuali penghentian pemberontakan. Tidak menyukai konsepsi itu sebab
mengandung ancaman tersembunyi dalam arti bahwa Gaharu, bila perlu, akan
menggunakan kekuatan agar konsepsi itu berhasil. Daud Beureueh menghendaki agar
sebelum penyelesaian dapat dicapai, pemerintah lebih dahulu harus menerima

904
Apipudin, “Daud Beureu‟eh and The Darul Islam Rebellion in Aceh,” Buletin Al-
Turas, Vol. 22, No. 1 (January 31, 2016): 145–167, http://journal.uinjkt .ac.id/index.php /al-
turats/article/view/7221. Diakses Tanggal 17 September 2020.
905
Ikrar ini ditandatangani oleh Letkol Sjamaun Gaharu (Komandan KDMA), Ali
Hasjmy (Gubernur Kepala Daerah Provinsi Aceh), M. Insja (Kepala Kepolisian Aceh), Mayor
Teuku Hamzah (Kepala Staf KDMA); dan dari unsur Darul Islam ditandatangani oleh Hasan
Aly, Hasan Saleh dan Ishak Amin. Ti Aisyah Subhani Al Chaidar, Darul Islam Di Aceh:
Analisis Sosial-Politik Pemberontakan Regional Di Indonesia, 1953-1964..., h. 311-312.
906
Nazaruddin Sjamsuddin, Pemberontakan Kaum Republik: Kasus Darul Islam di
Aceh..., h. 276-277.
907
Muhammad Alkaf, Nasionalisme dari Pinggir, (Banda Aceh: Bandar Publishing,
2019), h. 28-29.
908
Nazaruddin Sjamsuddin, Pemberontakan Kaum Republik: Kasus Darul Islam di
Aceh..., h. 274-275.

211
kenyataan bahwa dia telah memproklamasikan Aceh sebagai suatu negara bagian
dalam kerangka sistem federal, dan bukan sebagai suatu provinsi. Sekalipun
demikian, dia mengizinkan kabinetnya membahas konsepsi itu lebih lanjut serta
meneruskan pembicaraan informal dengan Gaharu dan Gubernur A. Hasjmy yang
baru saja dilantik. 909
Atas dasar “Ikrar Lamteh” ini pula tercapai suatu persetujuan antara pihak
pemberontak dengan Komando Daerah Militer Aceh untuk berlakunya gencatan
tembak-menembak. Usaha tersebut dilanjutkan dengan pertemuan antara Pemerintah
Daerah dengan pihak DI/TII sebagaimana dikemukakan A. Hasjmy sebagai lanjutan
dari pelaksanaan “Ikrar Lamteh” pada pertengahan tahun 1957, kami (Panglima
Kodam I Kolonel Syamaun Gaharu, Gubernur Aceh A. Hasjmy, dan Kepala Polisi
M. Isya) pergi kesuatu tempat di daerah yang jauh, yang dinamakan dengan
“Mardhatillah”, untuk mengadakan pembicaraan dengan Wali Negara Darul Islam
Teungku Muhammad Daud Beuere„eh. Berangkat tanpa pengawalan, hanya diantar
oleh satu Kompi TII”. 910
Pada awal Mei 1958, untuk meyakinkan para petinggi pemerintahan, Perdana
Mentri Ir. Djuanda meminta Gubernur Aceh A. Hasjmy didampingi Letkol Syamaun
Gaharu berangkat ke Jakarta guna menghadiri sidang istimewa kabinet untuk
memberikan penjelasan tentang politik pemilihan keamanan di Aceh. Setelah
panglima dan gubernur berpidato lebih dari satu jam di depan Para Mentri. Dengan
demikian seluruh anggota kabinet menyetujui penyelesaian konflik Darul Islam di
Aceh diselesaikan secara damai. Namun, hal ini bukanlah keputusan akhir.
Persetujuan Presiden Soekarno masih diharapkan. Perdana Mentri Juanda meminta
supaya panglima dan Gubernur Aceh menghadap Soekarno untuk memberikan
penjelasan. Dalam pertemuan tersebut, hadir Kepala Staf Angkatan Darat Kolonel
Nasution, Kepala Staf Angkatan Laut Kolonel Sugiarto, dan Kepala Staf Angkatan
Udara kolonel Surya Darma, Panglima Gaharu dan Gubernur Aceh A. Hasjmy,
masing-masing di antara mereka berpidato memberi penjelasan, yang mana
penjelasan kedua pejabat tersebut diterima dengan baik oleh Perdana Mentri Djuanda
dan Kepala Staf Angkatan Darat Kolonel Nasution. Kepala Staf Angkatan Laut
Sugiarto Berpendapat, bahwa Darul Islam harus dihancurkan dengan kekuatan
senjata, sedangkan Kepala Staf Angkatan Udara bersikap moderat dengan
menyatakan dalam penyelesaian konflik Aceh perlu dicarikan jalan yang paling baik.
Akhirnya Perdana Mentri Djuanda memberi tanggapan panjang lebar dengan bahasa
yang sangat halus ia mengatakan “kalau rakyat Aceh, kini ibarat seorang anak nakal,
bapaknya tidak harus memukul anak itu. Selama ada jalan bagi anak nakal untuk
menjadi baik kembali harus kita pergunakan jalan itu. Kelihatannya jalan itu ada, dan
alangkah tidak bijaksananya seorang ayah tidak pandai menggunakan jalan itu. 911
Meskipun proses realisasi persetujuan sedang berjalan, namun Pemerintah
berpendirian bahwa tugas Dewan Revolusi telah selesai. Pada tanggal 8 Juni 1960
Menteri Keamanan Nasional/KSAD A. H. Nasution mengirimkan instruksi kepada

909
Nazaruddin Sjamsuddin, Pemberontakan Kaum Republik: Kasus Darul Islam di
Aceh..., h. 275.
910
Hasan Basri, Melampaui Islam Substantif: Biografi Politik A. Hasjm...., h. 92.
911
Hasan Basri, Melampaui Islam Substantif: Biografi Politik A. Hasjmy..., h. 93.

212
Kodam I Iskandar Muda yang berisi petunjuk lanjutan pemulihan keamanan di Aceh.
Dalam instruksi itu dia perintahkan supaya Dewan Revolusi dibubarkan terhitung 1
Juli 1960 dan tugasnya dialihkan kepada Peperda/Panglima Kodam I Iskandar Muda.
Selanjutnya pemberontak yang belum menggabungkan diri hingga tanggal tersebut
masih diberikan kesempatan untuk kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi dan
penampungan mereka tetap didasarkan kepada keputusan KSAD No. Kpts–
264/4/1960 tanggal 15 April 1959.912
Pembubaran Dewan Revolusi baru terlaksana pada tanggal 28 Juli 1960.
Berdasarkan petunjuk dari KSAD, lima personalianya diberi tugas baru. A. Gani
Usman diangkat menjadi angota DPRD I Aceh. Husen Yusuf dikembalikan statusnya
menjadi Kolonel TNI pensiun sebagai anggota MPRS, Tgk. A. Husen Al Mujahid
diangkat menjadi penasehat PPN di Idi, T. M. Amin diangkat kembali pada kantor
Gubernur, dan Hasan Saleh sambil menunggu proses lanjutan diangkat sebagai
Perwira Staf Pribadi Kodam I Iskandar Muda. Menurut M. Nur El Ibrahimy, setelah
direhabilitasi kembali ke dalam TNI dengan pangkat Kolonel, tidak lama kemudian
dipensiunkan, dan kepada dia dan kawan-kawannya diberi sebuah kebun teh bekas
milik Inggris di Sukabumi sebagai tempat penampungan. Dengan demikian, pulihlah
keamanan sebagian wilayah Aceh terutama wilayah-wilayah yang dikuasai oleh
Dewan Revolusi. 913
Tujuan satu-satunya dibentuk Dewan Revolusi adalah ikut bekerja sama
dengan Pemerintah Daerah dan penguasa perang serta segenap lapisan masyarakat
untuk menertibkan kembali masyarakat Aceh. Langkah selanjutnya dari Dewan
Revolusi mengadakan musyawarah dengan Pemerintah Republik Indonesia.
Keinginan Dewan Revolusi dianggap serius oleh Pemerintah Pusat. Hal ini terbukti
dengan terbentuknya misi Hardi,914 untuk memulihkan kembali keamanan di Aceh
pada masa pemerintahan Perdana Mentri, Ir. Djuanda. 915
Realisasi dan aplikasi dari kompromi ini sesungguhnya masih samar-samar.
Seperti telah ditetapkan PM Djuanda sebelumnya, otonomi janganlah ditafsirkan
sedemikian rupa hingga setiap ketentuan baru yang diadakan akan bertentangan
dengan perundang-undangan yang berlaku. Hardi menambahkan di Banda Aceh,
masalah apakah masyarakat Islam di Aceh dapat dipaksakan melaksanakan syariat
Islam atau tidak, merupakan persoalan yang akan diputuskan Konstituante, yang
ketika itu sedang membicarakan kembalinya ke Undang-Undang Dasar 1945. Ia
menghubungkan hal ini dengan Piagam Jakarta, yang kini kembali menjadi masalah
yang hangat diperdebatkan dalam Konstituante di Jakarta. Seperti ternyata, kaum
politisi Islam tidak cukup kuat untuk meluluskannya kali ini. Satu-satunya hasil yang
912
Bambang Satriya, Andi Suwirta, and Ayi Budi Santosa, “Teungku Muhammad
Daud Beureueh Dan Revolusi Di Aceh (1945-1950),” FACTUM: Jurnal Sejarah dan
Pendidikan Sejarah, Vol. 7, No. 1 (May 1, 2018), https://ejournal.upi.edu/index.php/factum/a
rt icle/view/11925. Diakses Tanggal 18 September 2020.
913
Ti Aisyah Subhani Al Chaidar, Darul Islam Di Aceh: Analisis Sosial-Politik
Pemberontakan Regional Di Indonesia, 1953-1964..., h. 347.
914
Ti Aisyah Subhani Al Chaidar, Darul Islam Di Aceh: Analisis Sosial-Politik
Pemberontakan Regional Di Indonesia, 1953-1964..., h.344-345.
915
Ti Aisyah Subhani Al Chaidar, Darul Islam Di Aceh: Analisis Sosial-Politik
Pemberontakan Regional Di Indonesia, 1953-1964..., h. 349-350.

213
mereka peroleh ialah diakuinya oleh Soekarno dalam Dekrit yang menyatakan
kembali ke Undang-Undang Dasar 1945, bahwa Piagam Jakarta telah mengilhami
Undang-Undang Dasar ini dan merupakan kesatuan dengannya916
Usaha pemerintah daerah di Aceh mengalami jalan buntu. Pada tanggal 26
Mei 1959, sesudah kebuntuan ini mencapai klimaksnya, A. Hasjmy dan Letnan
Kolonel T. Hamzah dengan sangat cerdik mengambil inisiatif yang akhirnya sampai
pada sebuah persetujuan sementara dengan pemimpin-pemimpin Dewan Revolusi
NBA-NII yang menerima usul-usul Pemerintah Pusat. Secara tertulis mereka sendiri
berjanji kembali ke haribaan Republik dan mengucapkan sumpah setia kepada
Undang-Undang Dasar 1945.917 Sementara pimpinan Darul Islam yang hadir dalam
pertemuan tersebut adalah Perdana Mentri, Hasan Ali, Hasan Saleh, T. M. Amin, A.
G. Mutiara, teungku M. Ali Piyeng, Teungku Zainal Abidin Tiro, dan A. Jalil
Amin.918
Usaha selanjutnya untuk memulihkan keamanan di Aceh dengan menekan
posisi sisa-sisa pemberontak pimpinan Teungku Muhammad Daud Beureu`eh yang
belum mau menyerahkan diri. Di samping operasi militer, Gubernur A. Hasjmy dan
Pangdam M. Yasin, yang menggantikan Syamaun Gaharu juga melanjutkan
pendekatan-pendekatan untuk membujuk mereka supaya turun. Usaha mereka
memperoleh hasil dengan kembalinya satu per satu pimpinan pemberontak ke
pangkuan Ibu Pertiwi. Pada tanggal 27 Maret 1961 pimpinan pemberontak di Aceh
Besar, A. Wahab Ibrahim dan Sulaiman Ahmad menyerahkan naskah penyerahan diri
mereka melalui Bupati Aceh Besar Zaini Bakri. Di Aceh Barat pimpinan
pemberontak, M. Yunus Ali, Tgk. Main Idris dan Tgk. Hasan Hanafiah secara
berturut-turut pada bulan Maret, Juni dan Juli 1961 dengan para pengikutnya kembali
ke pangkuan Ibu Pertiwi. Di Aceh Utara M. Thaher Mahmud, Komandan Resimen II
Samudra beserta Kepala Stafnya dan 2.477 personelnya kembali ke pangkuan Ibu
Pertiwi tanggal 9 Mei 1961. Demikian juga pimpinan pemberontak Aceh Timur
seperti Gazali Idris dan O. K. Husen tanpa menunggu persetujuan Wali Negara telah
melapor untuk menyerahkan diri. Hal serupa juga diikuti nantinya oleh PM Hasan Ali
dan Sulaiman Daud beserta seluruh pengikutnya juga menyerahkan diri.919
Proses akomodasi politik terhadap gerakan Darul Islam Aceh bermula dari
keputusan berunding yang diambil oleh Dewan Revolusi. Sesuai dengan Komunike
No. 2 Dewan Revolusi, kelompok Hasan Saleh melanjutkan musyawarah dengan
Pemerintah Republik Indonesia. Demikian juga, Pemerintah Pusat menyambut baik
kebijakan tersebut. KSAD A. H. Nasution melalui suratnya tanggal 15 April 1959
kepada Kolonel Syamaun Gaharu menyatakan persetujuannya untuk menampung
maksimum 10.000 mantan pemberontak ke dalam tubuh militer Republik dengan
catatan harus melalui proses peralihan Wajib Militer Darurat (WMD) selama 1 tahun

916
Ti Aisyah Subhani Al Chaidar, Darul Islam Di Aceh: Analisis Sosial-Politik
Pemberontakan Regional Di Indonesia, 1953-1964..., h. 350-351.
917
Ti Aisyah Subhani Al Chaidar, Darul Islam Di Aceh: Analisis Sosial-Politik
Pemberontakan Regional Di Indonesia, 1953-1964..., h. 350.
918
Hasan Basri, Melampaui Islam Substantif: Biografi Politik A. Hasjm...., h. 92-93.
919
Ti Aisyah Subhani Al Chaidar, Darul Islam Di Aceh: Analisis Sosial-Politik
Pemberontakan Regional Di Indonesia, 1953-1964..., h. 347-348.

214
dan kemudian baru diseleksi persyaratannya untuk diproses menjadi tentara sukarela.
Selanjutnya pada tanggal 23 Mei 1959 Pemerintah Pusat mengirim sebuah Misi ke
Kutaraja di bawah pimpinan WKPM Hardi yang terdiri atas beberapa menteri dan
pejabat dari berbagai Instansi. Misi ini lebih dikenal dengan sebutan Misi Hardi.920
Musyawarah segi tiga antara Misi Hardi, Penguasa Perang/Pemerintah
Daerah Aceh, dan delegasi dari DI/TII, berlangsung selama tiga hari, yang dimulai
pada tanggal 24-26 Mei 1959, A. Hasjmy selaku Gubernur Aceh dan bertindak
sebagai ketua delegasi Penguasa Perang/Pemerintah Daerah, sekaligus membuka
upacara, yang mana menurut Panglima Komando Daerah Militer Aceh berjalan
dengan lancar. Dalam musyawarah tersebut melahirkan dua tujuan. Pertama,
keputusan Perdana Mentri Republik Indonesia tanggal 26 Mei 1959 No. I/Misi/1959
yang pokoknya menyatakan bahwa Daerah Swantara Tingkat I Aceh dapat disebut
dengan “Daerah Istimewa Aceh” dengan catatan, bahwa kepada daerah itu tetap
berlaku ketentuan-ketentuan mengenai Daerah Swantara Tingkat I seperti termuat
dalam undang-undang No. 1 tahun 1957 tentang pokok-pokok Pemerintahan Daerah,
begitu juga lain-lain peraturan perundangan yang berlaku untuk Daerah Swantara
Tingkat I, mengenai otonom yang seluas-luasnya, terutama dalam lapangan
keagamaan, peradatan, dan pendidikan. Kedua, keputusan termaksud mulai berlaku
sejak tanggal 26 Mei 1959 sampai ada ketentuan lain, memberikan instruksi kepada
segenap kementrian, jawatan, dan dinas-dinas yang bersangkutan agar memberi
bantuan seperlunya kepada Daerah Swantara Tingkat I Daerah istimewa Aceh dalam
pertumbuhan otonom yang seluas-luasnya.921
Selanjutnya disetujui secara prinsip, sebagian prajuritTentara Islam, setelah
melalui screening wajib, akan dijadikan wajib militer darurat. Kemudian, pada 1
Oktober disetujui akan dibentuk Divisi Tengku Chik di Tiro sebagai bagian khusus
dari Divisi Tentara di Aceh. Pegawai-pegawai negeri Darul Islam yang mengikuti
Dewan Revolusi mendapat perlakuan yang sedikit banyaknya sama. Usaha yang
menyatakan bahwa di mana mungkin mereka akan diintegrasikan ke dalam
Pemerintahan Republik dikukuhkan para penguasa militer pusat pada akhir Oktober.
Ini berarti memberikan kuasa kepada Pemerintah Daerah Aceh untuk mengangkat
bekas pemberontak yang telah menyatakan sumpah setia kepada Republik Indonsia
pada jabatan-jabatan dalam pemerintahan sipil. Persetujuan Mei secara resmi
diterima para pendukung Dewan Revolusi pada suatu konferensi besar yang diadakan
dalam minggu pertama November. Pada akhir bulan itu Nasution bertolak ke Pidie.
Di sini ia menerima pemberian hormat lima ribu pendukung Dewan Revolusi.
Suasana ini benar-benar memperlihatkan betapa sebuah sistem pemerintahan yang
baik (good governance) mestilah akomodatif terhadap semua tuntutan rakyat. Karena
rakyatlah pemilik saham terbesar negara ini.922
Menelusuri proses yang melelahkan, akhirnya usaha Pemerintah Daerah,
Dewan revolusi, dan Pemerintah Pusat dalam mendamaikan konflik pemberontakan

920
Ti Aisyah Subhani Al Chaidar, Darul Islam Di Aceh: Analisis Sosial-Politik
Pemberontakan Regional Di Indonesia, 1953-1964..., h.344.
921
Hasan Basri, Melampaui Islam Substantif: Biografi Politik A. Hasjm...., h. 94.
922
Ti Aisyah Subhani Al Chaidar, Darul Islam Di Aceh: Analisis Sosial-Politik
Pemberontakan Regional Di Indonesia, 1953-1964..., h. 351-352.

215
DI/TII di Aceh, yang dipelopori oleh A. Hasjmy, pada tanggal 21 Mei 1962, dengan
berakhirnya pemberontakan Teungku Muhammad Daud Beureu„eh dan kembali
kepangkuan Republik Indonesia. Dari proses perdamaian tersebut lahirlah provinsi
baru di wilayah paling ujung pulau Sumatra dengan nama Provinsi Aceh, dengan
status daerah istimewa. 923 Sikap Daud Beureueh ini menghasilkan “Perjanjian
Lamteh”, yang diadakan di kampung Lamteh dekat Kutaraja, pada pertengahan April
1957. Dalam perjanjian tersebut, Gaharu, Hasjmy, dan Kepala Polisi Muhammad
Insya, di pihak pemerintah, dan Hasan Ali, Hasan Saleh, serta Ishak Amin, mewakili
NBA, mencapai kata sepakat mengenai tiga tujuan utama. Pertama, memajukan
Islam. Kedua, membangun Aceh dalam arti luas. Ketiga, berusaha sekuat tenaga
untuk memberi kemakmuran dan kebahagiaan kepada rakyat Aceh. Lebih penting
lagi, kedua belah pihak sepakat untuk menghentikan gerakan militer dan
permusuhan, sementara perundingan ke arah penyelesaian yang menyeluruh
berlangsung.924
Akhirnya dengan pengaruh Tgk. Muhammad Daud Beureueh, sebagai
Gubernur Militer, dan pengorbanan-pengorbanan barisan rakyat pejuang itu,
semuanya bersedia dibubarkan dan senjata-senjatanya diserahkan kepada TNI.
Sedangkan anggota divisi-divisi sebagian kecil saja yang masuk ke TNI. Sebagian
besar, dengan sukarela kembali ke masyarakat dengan tidak meminta penampungan
dan sumbangan atau fasilitas apa-apa.925
Setelah pemberontakan Darul Islam diselesaikan dengan proses dialog damai
yang bermartabat, A. Hasjmypun menyampaikan gagasan tentang kemanusiaan
melalui kutbah Idul Fitri yang menyentuh, bahwa “Ikrar Lamteh” adalah pokok
pikiran untuk pemajuan agama Islam, pembangunan Aceh, dan pembahagiaan
rakyatnya.926 Pemulihan keamanan di Aceh tercapai secara menyeluruh, sehingga
pada tanggal 17 Agustus 1961, Gubernur A. Hasjmy dalam pidatonya menyatakan,
bahwa Aceh dari Darul Harb menjadi Darussalam (dari daerah perang menjadi
daerah aman).927
Dengan demikian, Aceh sebagai wilayah yang pada awal kemerdekaan telah
komit menjalankan syariat Islam, dengan berakhirnya pemborontakan dalam
semangat “Ikrar Lamteh” untuk menjalankan hukum Islam dalam bingkai Negara
Kesatuan Republik Indonesia, menurut Arief Muammar, Amroeni Drajat, dan

923
T. Ibrahim Alfian, Muhammad Ibrahim, M Arifn, Nauddin Sulaiman, Rusdi Sufi,
Zakaria Ahmad, Hasan Mu‟arif Ambary, "Sejarah Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh",
Journal of Chemical Information and Modeling, 1970): 1-30, https://www.cambridge.
org/core/produ ct/identifier/CBO9781107415324A009/type/book_part. Diakses Tanggal 27
September 2020.
924
Nazaruddin Sjamsuddin, Pemberontakan Kaum Republik: Kasus Darul Islam di
Aceh..., h. 275.
925
Bambang Satriya, Andi Suwirta, and Ayi Budi Santosa, “Teungku Muhammad
Daud Beureueh Dan Revolusi Di Aceh (1945-1950),” FACTUM: Jurnal Sejarah dan
Pendidikan Sejarah, Vol. 7, No. 1 (May 1, 2018): 28-42, https://ejo urnal.upi.edu/index.php/f
actum/article/view/11925. Diakses Tanggal 26 September 2020.
926
A. Hasjmy, Perdamaian Sedjati Haruslah Menjadi Tujduan Bersama, (Naskah
tidak diterbitkan, 1959). Lihat dalam, Muhammad Alkaf, Nasionalisme dari Pinggir..., h. 138.
927
A. Gazali, Biografi Prof. Teungku Haji Ali Hasjmy..., h. 57.

216
Katimin, mengutarakan dalam “The Relevance of Ali Hasjmy‟s Thoughts on Islamic
Country of Islamic Sharia Implementation in Aceh,” 928 Dari paradigma berfikirnya,
A. Hasjmy dapat digolongkan sebagai varian Muslim modernis. Dia melihat Negara
Islam sebagai negara yang mengaktualisasikan nilai-nilai Islam sebagai paradigma
kebangsaan, pembentukan moral dan etika aparatur, keseimbangan struktur dan
sistem pemerintahan serta kesejahteraan sosial dan pemberdayaan masyarakat.
Konsep Negara Islam yang dibangun oleh A. Hasjmy relevan dengan implementasi
formalisasi syariah Islam di Aceh, setidaknya dalam empat bidang.
Pertama¸Relevansi paradigma negara Islam dengan sistem republik, kedua, relevansi
bidang kepegawaian dalam konsep negara Islam dengan kriteria aparatur dalam
sistem formalisasi syariah Islam. Ketiga, Relevansi dari konsep negara Islam
mengenai pembagian kekuasaan dengan struktur pemerintahan Aceh. Keempat,
relevansi jaminan sosial yang pasti dalam konsep negara Islam dengan program
kesejahteraan sosial dan pemberdayaan masyarakat di Aceh.
Memperkuat mosi integrasi nasional, dan merajut kesepakatan damai dengan
Teungku Muhammad Daud Beureu„eh, tidaklah terwujud dengan mudah, melalui
proses perjuangan panjang dan kerja keras A. Hasjmy bersama dengan tokoh-tokoh
lainnya. Usaha ini mendapatkan tantangan berat bagi A. Hasjmy. Di satu sisi A.
Hasjmy harus melawan kehendak para pemberontak untuk memisahkan diri dari
negara Kesatuan Republik Indonesia pasca revolusi. Dipihak yang lain A. Hasjmy
harus mengikuti kehendak politik kebijakan Pemerintah Pusat.
Tujuan utama A. Hasjmy adalah bagaimana menciptakan serta memulihkan
keamanan di Aceh. Keamanan tanpa dibarengi dengan perdamaian dari kedua belah
pihak yang bertikai bukanlah jalan yang tepat. Melerai perang merupakan langkah
awal untuk melanjutkan pembangunan Aceh yang sudah jauh tertinggal dari berbagai
lini, pasca perang dengan penjajah. Melalui proses musyawarah yang dilakukan oleh
A. Hasjmy dengan berbagai pihak menandakan bahwa, A. Hasjmy adalah sosok
negosiator perdamaian yang bijak, lembut, dan demokratis. Perdamain yang berakhir
dengan terwujudnya “Ikrar Lamteh” walaupun tidak mencapai hasil yang
memuaskan, setidaknya sudah mempersaudarakan kembali antara pihak
pemberontakan DI/TII Aceh dengan pemerintah pusat.

928
Arief Muammar, Amroeni Drajat, and Katimin Katimin, “The Relevance of Ali
Hasjmy‟s Thoughts on Islamic Country of Islamic Sharia Implementation in Aceh,” Budapest
International Research and Critics Institute (BIRCI-Journal) : Humanities and Social
Sciences, Vol. 2, No. 2 (May 14, 2019): 228–240, http://bircu-journal.com/index.php/ birci/a
rticle/view/255. Diakses Tanggal 25 Februari 2020.

217
Skema gerakan politik dan peran integrasi A. Hasjmy dapat digambarkan
sebagai berikut:

Pejuang
Kemerdekaan

Gubernur

Negosiator Prinsipil
Perdamaian Bijaksana

Ikrar Lamteh

Pembangunan
Darussalam

218
C. Relasi Islam dan Pancasila
Politik menurut A. Hasjmy tidak harus dipisahkan dari agama. Karena kata
Islam sendiri sudah mengandung politik. Menurutnya A. Hasjmy, masalah
kenegaraan dalam Islam merupakan bagian dari ajaran Islam itu sendiri.929 Islam
yang berwenang menyusun segala cabang kehidupan manusia tidaklah mengatur
sesuatu separuh-separuh keping demi keping, atau kepalang tanggung. Dasar-dasar
negara Islam tidak akan dapat dimengerti sebaik-baiknya, sebelum “Cita Islam”
dipahami dengan sebenar-benarnya, sebab negara adalah cabang utama dari Cita
Islam itu sendiri. 930
Konsep kenegaraan menurut A. Hasjmy memiliki nuansa tersendiri di antara
para pemikir politik lainnya, Kendatipun landasan pemikiran politik A. Hasjmy tidak
terlepas dari pemikiran para tokoh politik yang mendahuluinya, namun A. Hasjmy
mempunyai corak pemikiran tersendiri, tentang konsep negara Islam, walaupun
terdapat pula persamaannya. Seperti halnya, sikap A. Hasjmy terhadap negara
Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila tidak pernah dipertentangkan dengan
Islam. A. Hasjmy melihat, betapa pentingnya sebuah ideologi yang dapat
mempersatukan Bangsa Indonesia dari kemajemukan agama, etnis, dan bahasa.
Unsur-unsur yang ada dalam Pancasila dapat memberi jaminan dalam mewujudkan
tujuan negara, sebagaimana yang yang di kehendaki oleh Islam. Pandangan inilah
yang diserap oleh A. Hasjmy, selama bertahun-tahun di tengah-tengah masyarakat
Aceh yang sangat kental dengan nilai religiusnya. Dalam konteks masyarakat Aceh,
A. Hasjmy tidak pernah mempermasalahkan kemajemukan agama, meskipun rakyat
Aceh dikenal sangat kental dengan semangat Islam dalam kehidupan kesehariannya.
Dan hampir tidak pernah terjadi konflik antara umat beragama di dalam masyarakat
Aceh.931
Terkait dengan cita Islam yang dibangun berdasarkan pandangan kenegaraan,
setiap gerak perjuangan A. Hasjmy ditumpukan kepada bagaimana menciptakan
masyarakat serta kebudayaan Indonesia baru yang sesuai dengan ajaran Islam.932
Dalam konteks sejarahnya, Islam datang di tengah-tengah umat manusia yang
dikepung dengan berbagai macam kerusakan dari segala penjuru. Rusaknya aqidah
dalam hubungan manusia dengan Tuhanya, dan rusaknya masyarakat yang
menghubungkan manusia dengan manusia lainnya, sehingga masyarakat manusia
lebih buas dari masyarakat binatang. Islam datang memperbaiki aqidah dengan
memastikan Ke-Esaan Allah swt., yang seluas-luasnya, dan memperbaiki kerusakan
masyarakat dalam segala bentuk perbedaan derajat manusia. dan seterusnya Islam
membimbing manusia ke arah cinta kasih, kerja sama untuk mencapai kebahagiaan,
perdamaian, serta keadilan mutlak bagi umat manusia. Maka, atas dasar dan tujuan
inilah menurut A. Hasjmy, Islam membangun daulah atau negara. Negara yang

929
A. Hassjmy, Di Mana Letaknya Negara Islam..., h. 7.
930
A. Hassjmy, Di Mana Letaknya Negara Islam..., h. 33.
931
Hasan Basri, Melampaui Islam Substantif: Biografi Politik A. Hasjmy..., h. 121.
932
A. Gazali, Biografi Prof. Teungku Haji Ali Hasjmy, (Jakarta: Socialia, 1978),
h. 31.

219
berdasarkan “Cita Islam” yang tidak tergantung di awang-awang dan tidak pula
hanya terhujam di bumi saja. 933
Menurut A. Hasjmy, Islam melebihi dari ideologi manapun di dunia. karena
itu, ia tidak memandang Islam setara dengan ideologi sebuah negara. Suatu ideologi
yang sesuai dengan ajaran agama adalah bagian dari Islam itu sendiri. Islamlah yang
seharusnya menjadi sumber ideologi. Bukan menyetarakan agama dengan ideologi.
Dari sisi ini tampak A. Hasjmy berbeda pandangan dengan Mohammad Natsir, yang
mana pada awal kemerdekaan ingin menjadikan Islam sebagai ideologi negara dalam
bentuknya yang formal. Memang A. Hasjmi tidak pernah mempersoalkan ideologi
negara Indonesia, dan Pancasila dengan Islam. Menyangkut dengan persoalan ini, A.
Hasjmy dalam berbagai tulisannya hampir tidak menyinggung tentang pentingnya
Islam sebagai ideologi negara. A. Hasjmy memandang bahwa, Islam sebagai agama
yang bersifat universal, dan nilai-nilainya dapat diterapkan baik dalam kehidupan
individu, sosial, maupun dalam kehidupan politik, dan tidak harus mengatasnamakan
Islam secara resmi.934 Bagi A. Hasjmy manusia sebagai pemegang amanah Tuhan,
untuk kesejahteraan umat manusia, negara dibangun atas semangat tauhid dan
Ukhuwah Islamiyah. Dengan demikian, negara bukanlah tujuan akhir, negara
hanyalah alat dan jalan untuk mencapai tujuan, yaitu untuk mencapai keadilan dan
kemakmuran bagi masyarakat dan umat. Dengan semangat Ukhuwah Islamiyah,
umat manusia yang terdiri dari berbagai suku bangsa harus bersatu dengan
berkenalan satu sama lain. Dan mereka semua mempunyai derajat yang sama dalam
kedudukan sosial, walaupun ada berlebih dan berkurang itu adalah karena
kemampuan bertakwa saja. 935
Pemikir-pemikir Islam Indonesia, seperti Harun Nasution, Abdurrahman
Wahid, dan Munawir Sjadzali, mengemukakan pemikiran-pemikiran teologis yang
lain yang sebanding. Gagasan-gagasan mereka pada umumnya terfokus pada
kenyataan bahwa Alquran, kususnya, tidak memuat segala hal, apalagi menyediakan
cetak biru kehidupan yang terperinci. Posisi pemikiran ini menegaskan pentingnya
konsep ijtiha>d sebagai jalan untuk menafsirkan kembali atau mengaktualkan
kembali dokrin-dokrin Islam sejalan dengan kebutuhan masyarakat. Dalam hal ini,
kaum Muslim harus mempertimbangkan pentingnya berbagai kekhasan lokal,
konstektual dan temporal. Penganut aliran Mu‘tazilah yang mengedepankan berfikir
rasionalitas, Harun Nasution tegas menolak berbagai argumen yang menyatakan
bahwa Islam mencakup segala hal. Meskipun ia mengakui kenyataan bahwa
beberapa ayat tampak mengimplikasikan watak Alquran yang serba mencakup dan
serba menjelaskan. Namun tetap berpandangan bahwa asumsi itu tidak didukung
oleh realitas Alquran itu sendiri.936
Ijtiha>d politik untuk menafsirkan kembali kebutuhan masyarakat dalam
kontek aktualisasi kebangsaan, Indonesia dengan azas Pancasila adalah perumusan

933
A. Hasjmy, Di Mana Letaknya Negara Islam..., h. 50.
934
Hasan Basri, Melampaui Islam Substantif: Biografi Politik A. Hasjmy..., h. 122.
935
A. Hasjmy, Di Mana Letaknya Negara Islam..., h. 51.
936
Bahtiar Effendi, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik politik
Islam di Indonesia..., h. 144.

221
silang politik dan kebudayaan. 937 Pancasila merepresentasikan nilai-nilai perjuangan
ke-Indonesiaan. Sebagai ideologi bangsa, Pancasila menjadi titik kunci dalam
menguraikan segala bentuk kerumitan kebangsaan. Pancasila mesti melandasi setiap
sendi dan elemen kehidupan berbangsa, sebagai jiwa sekaligus raga, ia nafas dan
nyawa bagi kebangsaan. 938 Perdebatan tentang Pancasila sudah melewati masa yang
sangat panjang, gagasan tentang Pancasila sudah berlangsung sejak awal
kemerdekaan hingga saat ini. Pro dan kontra mengiringi dinamika perjalanan sejarah
Indonesia. Namun satu hal yang penting dicatat, sebagaimana ditegaskan oleh
Nurcholish Madjid, Pancasila telah menunjukkan ke-efektifannya sebagai penopang
bagi bangsa ini. Walaupun demikian, bukan berarti Pancasila sudah sepenuhnya
operasional dan mengisi semangat zaman. 939
Membangun dialektika Pancasila sebagai ideologi terbuka menarik untuk
dipahami. Tradisi dialektika semacam ini dapat menjembatani keberadaan Pancasila
tetap terpelihara serta dapat membangun rekonstruksi pemikiran yang memiliki
relevansi tanpa kehilangan substansi Pancasila itu sendiri. Jika pemikiran tentang
Pancasila ini dibangun atas semangat mendasari ideologi Pancasila sebagai azas
berbangsa tanpa harus menghilangkan peran utama dan konteksnya, sehingga dalam
membangun peran logika komunikatifnya tidak terlepas dari semangat konsepsi
Pancasila sesuai dengan perkembangan zaman. Senada dengan pemikiran Cak Nur
tentang Pancasila sebagai ideologi terbuka. Joko Siswanto menguraikan, “melalui
pengembangan pemikiran-pemikiran baru itu ideologi tersebut akan dapat
memelihara makna dan relevansinya tanpa kehilangan hakikatnya, sehingga ideologi
tersebut beserta nilai-nilai dasarnya tetap berbunyi dan komunikatif dengan
masyarakat yang terus berkembang dan dinamika kemajuan zaman yang terus
bergerak. Dengan begitu, ideologi tersebut akan ”menzaman”, tahan uji, dan malahan
semakin berkembang bersama-sama dengan realitas baru yang terus bermunculan”.940

937
Menurut Mahfud MD, negara Indonesia merupakan produk ijtihad yang sesuai
dengan kebutuhan waktu dan zaman yang ditetapkan oleh para ulama bersama para pendiri
negara memilih negara inklusif berdasarkan Pancasila. Memahami konteks zaman dan realitas
politik modern, berdasarkan sumber ajaran Islam. Dasar hukum modern diambil dari kaedah
hukum “la yunkaru taghayyiril ahkam bi taghayyiril azman wal amkan wal awai” hukum itu
berubah dan berkembang sesuai dengan perubahan zaman, tempat dan waktu, serta budaya.
Disampaikan dalam acara Indonesia Lawyer Club dalam tema “#ILCMenangis dan Tertawa”,
Pada Tanggal 30 Oktober 2019, http:/bit.ly/2PqGbvb. Diakses Tanggal 6 November 2020.
938
Febri Hijroh Mukhlis, “Teologi Pancasila: Teologi Kerukunan Umat Beragama,”
Fikrah: Jurnal Ilmu Aqidah dan Studi Keagamaan, Vol. 4 No. 2, (2016): 171-186, https://me
dia.neliti.com/media/publications/62019-ID-teologi-pancasila-teologi-kerukunan-umat.pdf.
Diakses Tanggal 28 September 2020.
939
M. K. Ridwan, “Penafsiran Pancasila Dalam Perspektif Islam: Peta Konsep
Integrasi,” Dialogia, Vol. 15, No. 2, (2017): 199, http://jurnal.stainponorogo.ac.id/index.php/
dialogia/article/view/1191. Diakses Tanggal 28 September 2020.
940
Ngainun Naim, “Islam Dan Pancasila: Rekonstruksi Pemikiran Nurcholish
Madjid,” Epistemé: Jurnal Pengembangan Ilmu Keislaman, Vol. 10, No. 2, (Desember 2015):
436-456, http://ejournal.iain-tulungagung.ac.id/index.php/epis/article/view/90. Diakses Tang-
gal 28 September 2020.

221
Namun, seiring dengan banyaknya kegagalan pemerintah dalam membangun
negara, terdapat kelompok-kelompok ekstremis yang ingin mengubah Pancasila
dengan Syariat Islam.941 Terlepas dari pemberontakan-pemberontakan regional yang
dikibarkan di bawah bendera Islam tersebut, hubungan politik antara Islam dan
negara tetap baik. Dijadikannya Pancasila sebagai ideologi negara tidak dianggap
sebagai perwujudan dari keinginan untuk memisahkan agama (Islam) dari negara.
Bahkan dengan dimasukkannya pernyataan monoteistik “Ketuhanan Yang Maha
Esa”942 ke dalam dasar negara itu, maka Indonesia telah dipandang sebuah “negara
Islam”.943
Oleh karena demikian, A. Hasjmy dengan konsepsi negara Islam memahami,
menurut ajaran Islam bahwa manusia adalah pemegang amanah Allah swt., untuk
mengurus kerajaan bumi.944 Berdasarkan asumsi ini, masuk pernyataan monoteistik
“Ketuhanan Yang Maha Esa” dalam ideologi negara, A. Hasjmy menyimpulkan
bahwa, Indonesia adalah “negara Islam” dengan Pancasila sebagai dasarnya.
Walaupun hal yang demikian, diawal-awal kemerdekaan banyak dipertentangkan
oleh tokoh-tokoh lainnya. Termasuk pendahulunya Teungku Muhammad Daud
Beureu„eh.
Snouck Hugronye, seorang sarjana Belanda mengemukakan bahwa, tuduhan
yang paling kejam dan tidak beralasan sama sekali adalah tentang Islam dan politik.
Terutama sekali tuduhan ini dibesar-besarkan oleh kaum kolonialis imperialis, untuk
menjauhkan umat Islam di daerah-daerah jajahanya dari pengaruh politik. Termasuk
di Indonesia. Menurut Hugronye, Belanda pada permulaan abad ke-XX berusaha
dengan sungguh-sungguh untuk membasmi semangat “jihad” umat Islam di Aceh
dan daerah-daerah lainnya yang menentang penjajahan. 945
A. Hasjmy mengutarakan, begitu ketatnya hubungan antara agama dengan
negara menurut ajaran Islam, sama padunya dengan pertautan tiang dengan gedung,
karena memang agama adalah tiang negara. Karena itu, sesuatu konsepsi negara
Islam yang kosong dari cita-cita kemasyarakatan dan politik negara, sebab kalo

941
M. K. Ridwan, “Penafsiran Pancasila Dalam Perspektif Islam: Peta Konsep
Integrasi,” Dialogia, Vol. 15, No. 2, (2017): 199, http://jurnal.stainponorogo.ac.id/index.php/
dialogia/article/view/1191. Diakses Tanggal 28 September 2020.
942
Peletakan Sila pertama Pancasila dengan Ketuhanan yang Maha Esa sebagai
landasan ideologi negara merupakan kemenangan para ideolog Muslim Indonesia. Nilai
Pancasila telah mengadopsi ideologi utama Islam yaitu Tauhid. Tauhid adalah dasar utama
dalam sokoguru bangunan ajaran Islam. Ideologi Islam yang berazaskan Tauhid telah
diterapkan oleh para bapak pendiri bangsa dengan meletakkannya pada Sila pertama
Pancasila. Fuad, Fokky, “Islam dan Ideologi Pnacasila: Sebuah Dialektika”, Lex Jurnalica,
Vol. 9, No. 3, (Desember 2013): 164-170, https://fh.uai.ac.i d/wp-content/uploads/ 2016/02/I
slam-dan-Ideologi-Pancasila-Sebuah -Dialektika-.pdf2012. diakses Tanggal 30 September
2020.
943
Bahtiar Effendi, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik politik
Islam di Indonesia..., h. 100-101.
944
A. Hasjmy, Dimana Letaknya Negara Islam..., h. 51.
945
Zainal Abidin Ahmad, Ilmu Politik Islam II: Konsepsi Politik dan Ideologi Islam,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1979), h. 33.

222
begitu halnya bukan lagi Islam namanya. 946 Walaupun baru dicetuskan pada tahun
1945 dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (BPUPKI) dan ditetapkan dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI), Pancasila sebetulnya sudah berlaku dalam praktik sehari-hari
masyarakat Indonesia. Soekarno tidak mengarang bebas waktu ia mencetuskan
Pancasila pada sidang BPUPKI. Ia tidak mereka-reka Pancasila dari angan-angannya
sendiri. Dalam mencetuskan Pancasila, Sang Proklamator merangkum pengalaman
berjuang bangsa Indonesia melawan penjajahan. Ia membaca sejarah bangsa kita
yang hidup sengsara di bawah penjajahan Belanda. Ia mempelajari bagaimana rakyat
Indonesia ditindas oleh para priyayi setempat yang mengabdi pada Belanda. Ia
menyelidiki sebab-sebab kenapa penjajahan bisa menimpa bangsa Indonesia.
Kemudian Soekarno memperhatikan juga usaha-usaha mandiri bangsa Indonesia
untuk memperjuangkan kemerdekaannya. 947
Sifat tauhid dan Ukhuwah Islamiyah yang menjadi dasar negara Islam, telah
menjadikan agama dan negara menjadi satu kesatuan yang padu dan tak terpisahkan.
Menurut A. Hasjmy, Islam dengan sifat-sifat khasnya bertujuan menciptakan
kesejahteraan umum bagi umat manusia seluruhnya, baik sebagai Muslim atau yang
lainnya. Ajaran-ajarannya tentang ibadah dan muamalah tentang sosial dan ekonomi,
tentang pemerintahan dan politik, tentang damai dan perang, semua ditetapkan
sebagai suatu keharusan agama yang wajib ditaati, tanpa ada pilihan menerima atau
tidak. Dengan demikian, menurut A. Hasjmi, dengan kenyataan ini sukarlah dalam
Islam untuk menamakan sesuatu dengan agama semata, dan politik saja, sebab ketika
berbicara akidah dan ibadah adalah agama dan politik sebagai penopangnya. 948
Sejak jaman kerajaan dan masuknya agama-agama besar di Nusantara,
unsur-unsur Pancasila sebagai kebudayaan Indonesia sudah ada dalam kehidupan
masyarakat, terutama yang terkait dengan sistem kepercayaan. Kehadiran pengaruh
budaya luar pada waktu itu berjalan secara damai, tanpa intimidasi apalagi melalui
kekerasan, sehingga hubungan di antara kedua budaya itu terjalin dan dapat
berlangsung secara harmonis. Pada masa kerajaan Majapahit cukup banyak karya
sastra bernilai tinggi berhasil diciptakan. Di antara sekian banyak karya sastra, ada
dua karya sastra yang sangat terkenal kala itu yaitu: kitab Negarakertagama yang
dikawi oleh Mpu Prapanca, dan kitab Sutasoma yang dikawi oleh Mpu Tantular.
Dalam buku “Negarakertagama” terdapat istilah “Yatnaggegwani Pancasyiila
Kertasangkar bhisekaka Krama”, artinya raja wajib menjalankan dengan setia kelima
pantangan, begitu pula upacara-upacara ibadat dan penobatan. Sementara dalam kitab
Sutasoma terdapat istilah “Pancasila Krama”, artinya lima dasar tingkah laku atau
perintah kesusilaan. Pancasila Krama ini juga sering disebut “Ma Limo”, mencakup.
Pertama, Dilarang mateni (membunuh). Kedua, Dilarang maling (mencuri). Ketiga,
Dilarang madon (berzina). Keempat, Dilarang mabok (minum-minuman keras).

946
A. Hasjmy, Di Mana Letaknya Negara Islam..., h. 53.
947
Panitia Peringatan Hari Lahir Pancasila, Kisah Pancasila, (Direktorat Jenderal
Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, 2017), h. 8-9.
948
A. Hasjmy, Di Mana Letaknya Negara Islam..., h. 53.

223
Kelima, Dilarang main (berjudi). Kelima ini menjadi pedoman tingkah laku yang
wajib ditaati.949
A. Hasjmy, dalam bukunya “Di Mana Letaknya Negara Islam” yang memuat
uraian tentang dasar-dasar negara, sistem pemerintahan, sistem demokrasi, dan
sebagainya. Ketika memahami tentang konsepsi “negara Islam” sangatlah modernis.
A. Hasjmy lebih melihat keberadaan negara itu dari sisi substansi ajarannya, sehingga
konsepsi politik Islam dapat dipraktekkan atau dipergunakan dalam negara manapun
di dunia ini, dengan tidak perlu negara tersebut mengambil Islam menjadi dasarnya.
Artinya, negara itu tidak harus menjadi “negara Islam”, seperti halnya sejumlah
negara yang memakai unsur-unsur tertentu dari Demokrasi Liberal Barat, atau
Demokrasi Rakyat Sosialis, sementara negara tersebut tetap menjadi “Negara
Nasional, “Negara Sosialis”,950 Negara Kapitalis”, 951 “Negara Islam”,952 “Negara
Hindu”,953 “Negara Budha”,954 dan yang lainnya. Apabila kita mempelajari dan
meneliti hal-hal yang berlaku dalam negara-negara yang mempergunakan sistem
“Demokrasi Liberal Barat”, dan “Sistem Rakyat Sosialis”, akan ditemukan di
dalamnya unsur-unsur hukum tata negara menurut ajaran Islam.955
Menurut A. Hasjmy, dalam negara Republik Indonesia yang berdasarkan
Pancasila, juga terdapat unsur-unsur tertentu dari sistem demokrasi liberal Barat, atau
sistem demokrasi rakyat sosialis, ataupun sistem demokrasi Islam, maupun sistem
yang lainnya, yang tidak bertentangan dengan jiwa dan hakikat Pancasila. Unsur-
unsur tata negara menurut ajaran Islam sebagaimana yang telah diuraikan A. Hasjmy
menjadi bahan untuk menyempurnakan “Hukum Tata Negara” dari Republik
Indonesia yang berdasarkan Pancasila, yang terus menerus membebaskan dirinya dari
pengaruh hukum warisan kolonial Belanda. Berdasarkan pemikirannya tentang

949
Ida Bagus Brata, Ida Bagus Nyoman Wartha, “Lahirnya Pancasila Sebagai
Pemersatu Bangsa Indonesia”, Jurnal Santiaji Pendidikan, Vol. 7, No. 1, (Januari 2017): 120-
132, http://jurnal.unmas.ac.id/index.php/JSP/article/view/800/745. Diakses Tanggal 30
September 2020.
950
Tom P. Harsanyi, “Social Democracy,” in International Encyclopedia of the Social
& Behavioral Sciences (Elsevier, 2015), 242–244, https://linkinghub.elsevier.com/retr
ieve/pii/B9780080970868931283. Diakses Tangggal 29 September 2020.
951
Joan Huber Rytina and Ralph Miliband, “The State in Capitalist Society.,”
American Sociological Review, No. 35, No. 5 (October 1970): 931, http://www.jstor.org/stab
le/20 93322?origin=crossref. Diakses Tanggal 29 September 2020.
952
I. M. Lapidus, “State And Religion In Islamic Societies,” Past & Present, Vol. 151,
No. 1, (1996): 3-27, https://academic.oup.com/past/article-lookup/ doi/10.1093/pas t/15 1.1.3.
Diakses Tanggal 29 September 2020.
953
Sherry Ann Singh, “Hinduism and the State in Trinidad,” Inter-Asia Cultural
Studies, Vol. 6, No. 3, (2005): 353-365, http://www.tandfonline.com/doi/abs/10.108
0/14649370500169987. Diakses Tanggal 29 September 2020.
954
Frederic L. Pryor, “A Buddhist Economic System-in Practice:.,” American Journal
of Economics and Sociology, Vol. 50, No. 1 (January 1991): 17–32, http://doi.wiley.com/1
0.1111/j.1536-7150.1991.tb02481.x. Diakses Tanggal 29 September 2020.
955
Alchaidar, “Negara, Islam, Dan Nasionalisme Sebuah Perspektif”, Kawistara, Vol.
3, No. 1, (April 2013): 41-57, https://b-ok.asia/book/2719895/9 00473. Diakses Tanggal 20
September 2020.

224
konsepsi negara Islam, bersama dengan masyarakat yang lainnya A. Hasjmy
menyepakati Indonesia tetap menjadi negara Pancasila.956
Sebagaimana disampaikan Amir Hamzah,957 A. Hasjmy sebagai tokoh
agamis dan nasionalis ini, mengikuti jejak gurunya, Mahmud Yunus (seorang ulama
reformis yang sangat mengagumi Muhammad Abduh), A. Hasjmy sering menyebut
nyebut nama gurunya, A. Hasjmy sangat mengagumi M. Yunus. Artinya pandangan
A. Hasjmy dengan gurunya sama, bersifat agamis dan nasionalis. Mengenai
Pancasila, sebagaimana dijelaskan oleh Amir Hamzah, A. Hasjmy sebagai seorang
dosen sering diucapkan pada mahasiswanya. Pertama, bahwa Pancasila itu tidak
bertentangan dengan Islam, bahkan setiap sila bersesusain dengan prinsip nilai dalam
Islam, setiap sila terpaut dengan ayat Alquran. Sebagai contoh sila pertama A.
Hasjmy mengaitkan dengan surat al-Ikhlas.958 Kedua. Pancasila diramu oleh orang-
orang Islam, dalam kajian filosofis, setiap manusia tidak bisa di pisahkan oleh agama
dan keyakinannya. Oleh karena Pancasila diciptakan oleh orang Islam, maka
Pancasila terinspirasi dengan keyakinan agama mereka. A. Hasjmy beranggapan
bahwa perumus Pancasila terdiri atas orang-orang Islam, di antaranya: Muhammad
Yamin , Abi Kusno, Mr. Moehamad Hasan, H. Agussalim, Soekarno, Mohammad
Natsir, Wahid Hasyim, Hamka, dan beberapa yang lainnya. 959 A. Hasjmy, sebagai
ulama modernis yang memiliki visi mirip dengan Pan-Islamisme, tentunya posisinya
sebagai “Muslim Haraki” memiliki kemampuan dalam menerjemahkan konteks
kenegaraan modern yang tertuang dalam negara kesatuan Republik Indonesia dengan
Pancasila sebagai landasannya. 960
Pancasila berarti Lima Sila, yang berasal dari kata bahasa Sansekerta Jawa
(panca: lima dan sila: asas), digunakan oleh para pendiri bangsa untuk menyebut lima
sila yang menjadi landasan bangsa Indonesia. Kelima prinsip tersebut. Pertama,
Ketuhanan Yang Maha Esa. Kedua, kemanusiaan yang adil dan beradab. Ketiga,
956
A. Hasjmy, Di Mana Letaknya Negara Islam..., h. 11.
957
Amir Hamzah adalah salah seorang mahasiswa yang pernah belajar di IAIN (UIN)
Ar-Raniry bersama A. Hasjmy, putra Aceh seorang pegiat sejarah, kolumnis, wartawan,
politisi, dan juga sebagai ustadh yang mengisi pengajian rutin di Masjid Raya Baiturrahman
Banda Aceh dengan Materi Sejarah Kebudayaan Islam pada tiap mingguan ba„da subuh hari
kamis.
958
Hal ini berbeda dengan Teungku Muhammad Daud Beureu‟eh, seperti dikutip
Esposito, pernah berkata bahwa: “Agama Islam yang membuat kehidupan umat sempurna
tidak boleh dipisahkan antara satu aspek dengan aspek kehidupan lainnya. Sila pertama dari
Pancasila, percaya kepada “Tuhan Yang Maha Esa” itu tidak lebih dari manuver politik
belaka. Menurut Daud Beure„eh Yang paling esensial dari sumber kehidupan dan sumber
apapaun haruslah merujuk pada Kitabullah dan Sunnatullah secara kaffah. Tidak mungkin
sebagian mengikutinya, tetapi sebagian lain tidak, baik dalam tindak kriminal, urusan
kemasyarakatan, peribadatan, atau dalam segala persoalan harian. Jika hukum Tuhan tidak
kita laksanakan dengan sempurna, berarti kita mengingkari kepercayaan-Nya sehingga
menyebabkan kita sesat sepanjang hayat”. Lihat, M. Shabri Abd. Majid, “Revitalisasi
Pendidikan Aceh, Jurnal Pencerahan, Vol. 10, No. 2, (September 2016): 62–73, https://cor
e.ac.uk/download/pdf/289863389.pdf. Diakses Tanggal 31 Agustus 2020.
959
Wawancara dengan ustadh Amir Hamzah pada tanggal 24 Maret 2020.
960
Saifuddin Dhuhri, Dayah Menapaki Jejak Pendidikan Warisan Endatu Aceh,
(Banda Aceh: Lhee Sagoe Press, tt.), h. 20.

225
persatuan Indonesia. Keempat, demokrasi yang berpedoman pada kearifan dalam
konsultasi perwakilan. Kelima, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pancasila telah menjadi landasan filosofis, politik, sosial negara dan masyarakat
Indonesia yang bertahan dari era Revolusi kemerdekaan bangsa di bawah Sukarno
(1945–1966) hingga masa Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto (1966–1998)
ke-era Reformasi yang ditandai dengan jatuhnya Soeharto pada tahun 1998 lalu.961
Apabila Garuda yang jadi lambang negara kita berasal dari tahun 1950,
Pancasila punya riwayat yang jauh lebih panjang. Pada tahun 1945, para pendiri
bangsa telah menetapkan Pancasila sebagai dasar negara. Lima sila itu adalah
landasan tempat kita berpijak dalam segala hal yang berhubungan dengan hidup
bernegara. Setiap warga negara tentu merdeka untuk mengutarakan pikiran dan
pendapatnya sendiri. Akan tetapi, kalau sudah menyangkut persoalan bernegara dan
hidup bersama sebagai anggota dari negara, maka kita wajib berpedoman pada
Pancasila. Semua aturan perundang-undangan dan kebijakan pemerintah harus bisa
dirunut asal-muasalnya dalam semangat kelima sila dalam Pancasila. Itulah
maksudnya Pancasila sebagai dasar negara. 962
Islam dan Pancasila seringkali diperdebatkan dan dibenturkan dan keduanya
acapkali dianggap sebagai dua kutub ideologi yang saling berseberangan. Perlunya
sebuah kesadaran akan pemaknaan hubungan antara Islam dan Pancasila. Proses
dialogis antara Islam dan Pancasila merupakan sebuah perjalanan panjang sejarah
Indonesia. Pancasila bukanlah Islam, tetapi Pancasila memperoleh ruh yang
menghidupkannya melalui Islam. 963
Bila dilihat dari artikulasi politik dan pandangan-pandangan kenegaraan A.
Hasjmy yang moderat namun tradisionalis, maka itu adalah hal yang wajar, karena di
samping semangat nasionalisme yang kental, juga menempatkan Pancasila sebagai
bagian dari ideologi yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam.964 sebagai sosok
pengagum Soekarno A. Hasjmy, sebagaimana dijelaskan oleh Amir Hamzah,
menguraikan bahwa, Islam itu ibarat lapangan bola sangat luas, sedangkan pancasila
ibarat bola, kecil dan hanya sedikit urain dari Pancasila diambil dari nilai-nilai Islam.
Berdasarkan asumsi ini, menurut A. Hasjmy tidak boleh mempertentangkan antara
Pancasila dengan Islam. Pancasila berlaku di Indonesia sebagai pemersatu bangsa,965
sementara Islam nilai yang bersifat rahmatal lil „alamin. Kesimpulan yang menarik

961
Adam Possamai and Anthony J. Blasi, “Pancasila,” in The SAGE Encyclopedia of
the Sociology of Religion (2455 Teller Road, Thousand Oaks, California 91320: SAGE
Publications, Inc., 2020), https://sk.sagepub.com/refere nce/the-sage-encyclopedia-of-sociolo
gy-of-religion/i7701.xml. Diakses Tanggal 30 September 2020.
962
Panitia Peringatan Hari Lahir Pancasila, Kisah Pancasila..., h. 8.
963
Fuad, Fokky, “Islam dan Ideologi Pnacasila: Sebuah Dialektika”, Lex Jurnalica,
Vol. 9, No. 3, (Desember 2013): 164-170, https://fh.uai.ac.i d/wp-content/uploads/2016/02/Is
lam-dan-Ideologi-Pancasila-Sebuah -Dialektika-.pdf2012. diakses Tanggal 30 September
2020.
964
Hasan Basri, Melampaui Islam Substantif: Biografi Politik A. Hasjmy..., h. 126.
965
Brata, Ida Bagus, Ida Bagus Nyoman Wartha, “Lahirnya Pancasila Sebagai Pemer
satu Bangsa Indonesia”, Jurnal Santiaji Pendidikan, Vol. 7, No. 1, (Januari 2017): 120-132,
http://jurnal.unmas.ac.id/index.php/J SP/article/view/800/745. Diakses Tanggal 30 September
2020.

226
dari alur paham A. Hasjmy tentang Pancasila, menyatakan “seorang Muslim yang
telah mengamalkan agamanya dengan baik, justru dengan itu, sekaligus dia telah
mengamalkan Pancasila”. 966
A. Hasjmy juga melihat bahwa, sisa-sila yang terdapat dalam Pancasila
inheren dengan dasar-dasar negara yang dikehendaki oleh Islam. Adapun konstitusi
negara tetap komitmen dengan pendiriannya bahwa, Alquraan sebagai satu-satunya
undang-undang dasar negara. Dengan pengertian bahwa Alquran haruslah menjadi
pedoman dasar bagi kaum Muslimin, baik dalam kehidupan pribadi maupun dalam
kehidupan masyarakat dan negara. Di sini, A. Hasjmy nampak sangat dipengaruhi
oleh pemahamannya yang mendalam tentang kandungan Alquran . pandangan-
pandangan mengenai konsep negara, seperti dapat dilihat pada penjelasan-
penjelasannya tentang kosep kenegaraan, selalu dikaitkan dengan sumber dasar
ajaran Islam.967
Keberadaan A. Hasjmy, menurut Amir Hamzah,968 tidak hanya menyetujui
Pancasila sebagai dasar negara, bahkan ikut mensosialisasikan nilai-nilai pancasila
pada masyarakat Aceh. Beliau salah seorang tutor di BP7 Aceh, yang dikepalai oleh
adik kandungnya Asnawi Hasjmy. Gedung tersebut berada di simpang Lima Banda
Aceh. A. Hasjmy juga sebagai ketua tim penataran P4 tahun 1980 dan beberapa tahun
kemudian. Setiap mahasiswa IAIN Ar-Raniry dan Unsyiah serta yang lainnya, di
berbagai jenjang pendidikan wajib mengikuti P4. Bahkan A. Hasjmy tidak setujui
negara Islam versi Teungku Muhammad Daod Beureueh. Dan ini, sebagai asumsi
bahwa, A. Hasjmy tidak pernah terlibat dalam pemberontaka DI/TII di Aceh, bahkan
A. Hasjmy ikut menjadi pelopor utama mendamaikan pemberontakan tersebut
dengan pemerintah Republik Indonesia.

D. Semangat Merdeka dan Nasionalisme Kebangsaan


Nasionalisme kebangsaan A. Hasjmy sudah terlihat semenjak Indonesia
berjuang melawan penjajahan Belanda. Sebagai aktivis kemerdekaan A. Hasjmy juga
ikut berjuang dalam menegakkan kemerdekaan tanah air. Suka-duka perjuangan baik
dalam agresi pertama dan kedua dicurahkannya dalam hasil karangannya berupa
kisah yang mengesankan bayangan kehidupan, dan pandangan hidup masyarakat
bangsa Indonesia pada saat itu dalam bukunya berjudul “Nona Pressrom”. A. Hasjmy
mengungkapkan akan kesukaran “Tanah Air” yang masih amat memerlukan
pengabdi dari putra-putri Indonesia dalam membentuk masyarakat Indonesia sentosa
dan aman.969

966
Wawancara dengan ustadh Amir Hamzah pada tanggal 24 Maret 2020.
967
Hasan Basri, Melampaui Islam Substantif: Biografi Politik A. Hasjmy..., h. 126.
968
Wawancara dengan ustadh Amir Hamzah pada tanggal 24 Maret 2020.
969
Untuk sekedar melihat bahasa dan situasi yang dilukiskan dapat dilihat dari
pengutipan ini dari kisah tersebut. “Aku telah tujuh bulan di Aceh, daerah yang tidak sanggup
dimasuki tentara Belanda dalam kedua agresinya. Baik sebelum atau sesudah berdiri R. I. S.
Aceh saya dapati adalah satu daerah yang seaman-amannya diseluruh Indonesia. Di sini
bekas-bekas lasykar atau tentara yang telah diseleksi, tidak pernah membikin kacau
mengganggu ketertiban umum. Hal ini tersebut karena pemimpin-pemimpin rakyat di Aceh
bertanggung jawab penuh atas anak-anaknya itu”. lihat, A. Ghazaly, Biografi Prof. Tgk. H. Ali
hasjmy..., h. 34.

227
Timbulnya gerakan nasional tidak dapat dipisahkan dengan bangkitnya
nasionalisme di Asia, yang dianggap sebagai reaksi terhadap imperialisme
(penjajahan). Atas dasar itu, maka dapat dikatakan bahwa nasionalisme itu
sesungguhnya adalah jawaban bangsa Asia termasuk bangsa Indonesia terhadap
tantangan Barat. Artinya bahwa sejak kehadiran bangsa Barat di Nusantara ini
sesungguhnya telah terkandung sebuah niat/nafsu untuk menjajah dan
mengeksploitasi, sehingga sejak saat itu juga telah menimbulkan reaksi masyarakat
setempat.970 Hendaklah kaum nasionalis yang mengecualikan dan mengecilkan
segala pergerakan yang tak terbatas pada nasionalisme, mengambil teladan akan
sabda Karamchand Gandhi: "Buat saya, maka cinta saya pada tanah-air itu, masuklah
dalam cinta pada segala manusia. Saya ini seorang patriot, oleh karena saya manusia
dan bercara manusia. Saya tidak mengecualikan siapa juga" Inilah rahasianya, yang
Gandhi cukup kekuatan mempersatukan pihak Islam dengan pihak Hindu, pihak
Parsi, pihak lain, dan pihak Sikh yang jumlahnya lebih dari tiga ratus juta itu, lebih
dari enam kali jumlah putera Indonesia, hampir seperlima dari jumlah manusia yang
ada di muka bumi ini. 971
Sebagai seorang pejuang, A. Hasjmy dari tahun 1932 s/d 1935 menjadi
anggota Himpunan Pemuda Islam Indonesia (HPII), dan dari tahun 1933 s/d 1934
menjadi sekretaris dari HPII cabang Padang Panjang, HPII merupakan onderbow dari
Partai Politik PERMI (Persatuan Muslimin Indonesia). Dari tahun 1932 s/d tahun
1935 menjadi anggota aktif dari Partai Politik PERMI cabang Padang Panjang.
Dalam bulan Maret s/d Juni 1934 dipenjarakan dalam penjara Padang Panjang, atas
keputusan kolonial (Landrad Padang Panjang) karena dituduh melanggar undang-
undang larangan berapat (Vergadering Verbed) di mana A. Hasjmy dituduh ikut
dalam rapat politik dari PERMI tanpa izin. Dalam tahun 1935 bersama beberapa
orang pemuda yang baru kembali dari Sumatra Barat, mempelopori mendirikan
SEPIA (Serikat Pemuda Islam Aceh) di mana A. Hasjmy terpilih menjadi Sekretaris
Umum, sedangkan ketua Umumnya dijabat oleh S. Abu Bakar. Dalam kongres yang
ke II (1937) SEPIA dirobah nama menjadi PERAMIINDO (Pergerakan Angkatan
Muda Islam Indonesia) dan A. Hasjmy terpilih menjadi salah seorang Pengurus
Besarnya. PERAMIINDO adalah satu gerakan pemuda yang radikal, yang mana
dalam sepak terjangnya melakukan usaha-usaha politik untuk menetang penjajahan
Belanda, yang dalam tahun 1942 ikut memberontak kepada kekuasaan Belanda. 972
Sejak tahun 1939 bergerak aktif dalam PUSA (Persatuan Ulama Seluruh
Aceh). Pusa dan Pemuda Pusa adalah satu gerakan agama yang radikal, yang mana
dari lahirnya bukanlah Parta Politik, akan tetapi dalam sepak terjangnya adalah
gerakan politik yang revolusioner, yang menentang penjajahan Belanda. Pada tahun
1941 bersama beberapa teman dari Pimpinan Pemuda PUSA (di antaranya Ahmad
Abdullah), mendirikan satu gerakan rahasia, yang bernama “Gerakan Fajar” yang

970
Ida Bagus Brata, Ida Bagus Nyoman Wartha, “Lahirnya Pancasila Sebagai
Pemersatu Bangsa Indonesia”, Jurnal Santiaji Pendidikan, Vol. 7, No. 1, (Januari 2017): 120-
132, http://jurnal.unmas.ac.id/index.php/JSP/article/view/800/ 745. Diakses Tanggal 30
September 2020.
971
Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi, (Jakarta: Banana Books, 2016), h. 4.
972
A. Gazali, Biografi Prof. Teungku Haji Ali Hasjmy..., h. 112-113.

228
disingkat dengan “F” tujuan gerakan fajar untuk mengorganisir pemberontakan
terhadap kekuasaan Hindia Belanda, dan dalam waktu singkat gerakan “F” menjalar
ke seluruh Aceh dan mendapat dukungan segenap lapisan masyarakat. Gerakan “F”
pada tahun 1941 melakukan sabotase di seluruh Aceh, antaranya melakukan
pembongkaran rel kereta api, pemutusan kawat telfon, dan sebagainya, sehingga
membuat penguasa Belanda di Aceh menjadi panik. Gerakan yang semula sebatas
sabotase akhirnya menjadi perlawanan fisik, di mana pada malam tersebut sejumlah
pemuda-pemuda dari K. I. Cabang Seulimum yang telah terlatih menyerbu Kota
Seulimum, hingga terbunuhlah countroleur Tiggelman, dan pada tanggal 23/24
februari 1942 terjadi pertempuran di Kemire, dan terbunuhnya pula Kepala Ekploitasi
Kereta Api Aceh Von Sperling. Karena A. Hasjmy memimpin pemberontakan, maka
pada tanggal 20 Februari 1942, ayahnya Teungku Hasjim ditangkap dan ditahan
dalam tangsi tentara Belanda di Banda Aceh, dan baru bebas setelah tentara Belanda
lari dari Aceh.973
Nasionalisme A. Hasjmy juga dilukiskan dalam untaian puisi perjuangan
yang bersendikan pada pondamen ke-Islaman, perjuangan akan cinta terhadap Tanah
Air yang diselingi dengan romantika jiwa mudanya, seperti puisi yang berjudul
“PANGGILAN”, “CINTA” sebagaimana disadur dari majalah Pedoman masyarakat,
No. 9 Tanggal 10 Juni dan majalah Pedoman Masyarakat No. 30, Tanggal 9
September 1936.974

“PANGGILAN” “CINTA”

Naik, naik mari kawan, Jika dikaji perkara cinta,


Ke gunung tinggi marilah kita. Berbagai cinta atas dunia,
Percaya kita ayuhai, tolan, Ada yang cinta kepada harta.
Di sana terletak “Kesuma Raya”.
Ada pula yang cinta bangsa,
Berkemas wahai, teman sehati. Cinta negeri, cinta agama,
Kaum Pecinta “Mahkota Mulia”. Ingin supaya wathan mulia,
Angkat kaki, mari kemari, Gemar agar agama berjaya.
Mencari Mawar, penawar sukma.
Semua cinta sudah kurasai,
Tapi.........ingat ! Sudah bercecap madunya,
Supaya selamat Tiada nan dapat menghibur sukma.
Teguhkan iman !
Jangan Terkejut, Selain cinta agama dan bangsa,
Dek udara kabut. Sekarang kita yakin percaya,
Ia hanya cobaan. Cinta dunia nihil belaka.

973
A. Gazali, Biografi Prof. Teungku Haji Ali Hasjmy..., h. 115.
974
A. Gazali, Biografi Prof. Teungku Haji Ali Hasjmy..., h. 34-35.

229
Sejak diterimanya berita kemerdekaan di Daerah Aceh, tepatnya di Kutaraja,
para pemimpin di daerah mulai berfkir untuk mendirikan organisasi yang mengarah
pada pertahanan dan keamanan rakyat di daerah Aceh, dalam rangka
mempertahankan kemerdekaan yang baru saja diproklamirkan. Pencetus ini pada
mulanya dimunculkan oleh eks Gyugun,975 di Kutaraja, di antaranya: Syamaun
Gaharu, Nyak Neh Rika, Usman Nyak Gade, Teuku Hamid Anwar, Said Usman,
Bakhtiar Idham dan masih banyak lagi. Akhirnya diputuskan untuk mendirikan
Angkatan Pemuda Indonesia (API) diseluruh daerah Aceh. Maka pada tanggal 6
Oktober 1945 tersusunlah secara definitif struktur dan susunan pengurus API. 976
Dengan lahirnya API di Daerah Aceh maka dasar yang kuat untuk
tumbuhnya tentara resmi negara Republik Indonesia di sana telah mulai diletakkan.
Dalam proses selanjutnya API bertukar nama menjadi TKR (Tentera Keamanan,
kemudian Keselamatan Rakyat), lalu menjadi TRI (Tentara Republik Indonesia) dan
akhirnya menjadi TNI (Tentera Nasional Indonesia) sesuai dengan ketentuan dari
Pemerintah Pusat. Dan pada uraian-uraian berikut, selanjutnya akan dikemukakan
peranan API dalam mengemban tugasnya, seperti yang telah diikrarkan, yaitu:
mempertahankan kemerdekaan Indonesia serta menjaga keamanan dan ketenteraman
umum.977 Dipihak yang lain, yang tidak menjadi bagian dari API, kaum muda
terpelajar seperti A. Hasjmy dan Talsya membentuk kekuatan organisasi pemuda
Indonesia.
Sikap nasionalimse kebangsaan978 A. Hasjmy telah terpatri semenjak era pra-
kemerdekaan. Di masa pendudukan Jepang A. Hasjmy adalah pengasuh di kantor
Surat Kabar Aceh Sinbun.979 Semenjak proklamasi kemerdekaan Indonesia
dikumandangkan, A. Hasjmy, Talsya, dan bersama teman-teman yang lainnya

975
Gyugun adalah oraganisasi pertahanan rakyat atau tentara sukarela yang dibentuk
oleh jepang dan kemudian dibubarkan.
976
Alfian, dkk., Revolusi Kemerdekaan Indonesia di Aceh (1945-1949),
(Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Pengem- bangan Permuseuman Daerah
Istimewa Aceh, 1982), h.. 44-45.
977
Ibrahim Alfian, dkk., Revolusi Kemerdekaan Indonesia di Aceh (1945-1949)..., h.
46.
978
Kebangkitan nasionalisme Indonesia adalah bentuk reaksi bangsa Indonesia sendiri
akibat dari kebijakan-kebijakan pemerintahan kolonial itu sendiri. Bibit-bibit perlawanan
bangsa Indonesia telah ditanam dan disemai oleh kolonial sendiri, sehingga tumbuh subur
menjadi bentuk perlawanan. Reaksi-reaksi ini dilakukan oleh bangsa Indonesia jauh sebelum
tahun 1905, seperti perlawanan Sultan Agung Mataram (1645), Sultan Agung Tirtayasa
(1650), Iskandar Muda (1635), Untung Surapati dan Trunojoyo (1670), Pattimura (1817),
Diponogoro (1825-1830), Jagaraga (1849), dan masih banyak perlawanan lainnya yang
mempunyai corak, ciri, bentuk sendiri. Ida Bagus Brata, Ida Bagus Nyoman Wartha,
“Lahirnya Pancasila Sebagai Pemersatu Bangsa Indonesia”, Jurnal Santiaji Pendidikan, Vol.
7, No. 1, (Januari 2017): 120-132, http://jurnal.unmas.ac.id/index.p hp/JSP/article/view/800/
745. Diakses Tanggal 30 September 2020.
979
Aceh Sinbun adalah Surat Kabar masa pendudukan Jepang di bawah asuhan
tenaga-tenaga Indonesia dan Jepang, dan semenjak Indonesia memproklamirkan
kemerdekaannya, Surat Kabar ini tidak terbit lagi.

231
berinisiatif mendirikan oraganisasi kepemudaan, yang diberi nama Ikatan Pemuda
Indonesia (IPI). Pada tanggal 4 Oktober 1945.980
Ikatan Pemuda Indonesia (IPI),981 sesuai dengan perkembangannya berubah
nmenjadi Barisan Pemuda Indonesia (BPI), kemudian menjadi Pemuda Republik
Indonesia (PRI) dan akhirnya menjadi Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia). Apabila
IPI sebagai organisasi lokal, maka Pesindo merupakan suatu organisasi nasional,
yang mempunyai pimpinan pusat. IPI dirobah menjadi Pesindo Aceh merupakan
salah satu cabang dari sekian banyak cabang yang tersebar seluruh Indonesia.
Pertimbangan Politik Ideologi pada waktu itu belum begitu diperhatikan, yang
penting barisan pemuda dapat digembleng, diarahkan guna mempertahankan NRI
(Negara Republik Indonesia). Pesindo Aceh bukan saja hanya sebagai suatu Barisan
Perjuangan Pemuda, tetapi lebih dari itu, ia telah menyerupai suatu susunan
pemerintahan yang lengkap. Hal mana dapat dilihat dalam struktur organisasi.
Pimpinan Umum merangkap Panglima Tertinggi di jabat oleh A. Hasjmy dengan
dibantu oleh aparat perlengkapan lainnya. Struktur organisasi Pesindo sampai ke-
kampung-kampung. Di Tingkat Kabupaten dibentuk Wakil Markas Daerah, di tingkat
kewedanaan dibentuk cabang-cabang, ranting-ranting, dan pada tiap-tiap kampung
ada Pesindo, dengan Kesatria Pesindonya. 982
Puncaknya nasionalisme A. Hasjmy terlihat ketika pada tanggal 25 Agustus
1945, bersama dengan rekan-rekan yang lainnya mengibarkan bendera merah putih di
depan kantor Aceh Sinbun. Pada peristiwa ini, A. Hasjmy mendapat perlawanan dari
pembesar Jepang, seperti H. Nagamatsu, pejabat teras pada kantor penerangan Jepang
(Hodoka), dan usaha mereka mendapat kegagalan. Dengan keberhasilan A. Hasjmy

980
Susunan pengurus IPI pertama sudah tersiar, terdiri dari Ketua I dan II: A.
Hasjmy dan T. Manyak Arief, Setia Usaha I dan II: Usman dan Anwar Manyak. Bendahara:
Zaini Bakry. Para pembantu M. Saleh Rahmany, Muhammad Z. Z. Tuanku Abdul Wahab dan
Muhammad Juned. Dan diperlengkapi dengan komisaris-komisaris Tuanku Hasyim, Ghazaly
Yunus, Murdani, Teungku Idris, Asman Potan Harahap, Mukhtar Lubis, Said Ahmad Dahlan
dan H. Jamin. Kemudian pada tanggal 6 Oktober 1945 IPI bertukar nama menjadi Barisan
Pemuda Indonesia (BPI) dengan susunan pengurus yang diperbaharui, terdiri dari, ketua
Umum, I dan II: A. Hasjmy, M. Saleh Rahmany dan Muhammad Z .Z. Setia Usaha Umum, I,
II, III, dan IV masing-masing terdiri dari Tuanku Hasyim, Potan Harahap, Sulaiman Arsyad
Abubakar dan Sang Syarif. Bendahara: H. Jamin. Dan diperlengkapi dengan, badan
Keuangan, ketua: Muhammad Junat. Badan Penerangan, ketua: Said Ahmad Dahlan. Badan
pengarahan tenaga, ketua: Sauni dan Zaini Bakry. Badan Kepanduan, ketua: Murdani. Dan
Badan Palang Merah, Ketua: Asman. Lihat, Ibrahim Alfian, dkk., Revolusi Kemerdekaan
Indonesia di Aceh (1945-1949)..., h. 48.
981
Setelah Jepang menyerah pada tanggal 14 Agustus 1945, IPI bergerak aktif secara
terang-terangan, dan terutama setelah Proklamasi 17 Agustus 1945, menggerakkan kekuatan
rakyat, terutama pemuda untuk mempertahankan proklamasi tersebut. IPI kemudian berobah
menjadi, BPI (Barisan Pemuda Indonesia), berobah lagi menjadi PRI (Pemuda Republik
Indonesia), dan akhirnya menjadi ksatria Pesindo DIPISI RENCONG. Sejak dari IPI sampai
kepada DIPISI RENCONG tetap pimpinan berada di tangan A. Hasjmy. DIPISI RENCONG
bersama-sama dengan Dipisi Gajah, Dipisi Teungku Cik di Tiro telah berjuang dengan heroik
mempertahankan Proklamasi 17 Agustus 1945, sehingga tentara Belanda tidak berani
menyerbu Aceh. Lihat, A. Gazali, Biografi Prof. Teungku Haji Ali Hasjmy..., h. 116-117.
982
A. Gazali, Biografi Prof. Teungku Haji Ali Hasjmy..., h. 19.

231
memprovokasi dengan menaikkan bendera Merah Putih, semangat itupun bergeser ke
tempat-tempat lainnya, di Kutaraja dan sekitarnya. Sehingga selama bulan Oktober
1945 pengibaran bendera bendera Merah Putih telah merebak di kota-kota lainnya di
daerah Aceh, sebagaimana halnya di Sigli, Bireun, Lokseumawe, Lokseukon, Idi,
Langsa, Kuala Simpang, Kuta Cane, Takengon, Meulaboh, Tapaktuan, dan daerah-
daerah lainnya. 983
Kiprah nasionalisme kebangsaan A. Hasjmy juga dapat dilihat, ketika Satu
hari setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, pada tanggal 18 Agustus 1945
Departemen Sosial Pusat dibentuk, tugas utamanya adalah menanggulangi problem
sosial akibat dari perang kemerdekaan. Dan selanjutnya secara berturut-turut
dibentuklah Instansi Sosial di daerah-daerah seluruh Indonesia. Untuk keresidenan
Aceh jawatan sosial dibentuk pada tanggal 1 Juli 1946, dan dengan beslit Komisaris
Pemerintah Pusat untuk Sumatra yang bertanggal 29 Juni 1946, No. 21/KPPSU, dan
diangaktatlah A. Hasjmy sebagai Kepala Jawatan, dan sekaligus sebagai pendiri dan
orang pertama yang akan melengkapi peralatan dan pegawai-pegawai yang akan
melaksanakan tugas dimaksud. Kemudian dengan beslit Gubernur Sumatra Utara N.
R. I. Tanggal 31 Maret 1947, No. 262 diangkat menjadi Kepala Jawatan Sosial
Keresidenan Aceh dengan pangkat Bupati. Sewaktu mulai pertama sekali beliau
diangkat sebagai Pejabat Sosial merupakan satu-satunya petugas sosial di Aceh,
kemudian secara berangsur-angsur melengkapi petugas-petugas dan peralatannya
baik bagi tingkat keresidenan maupun tingkat kabupaten. Dalam mengisi formasi
pegawai, tidak ada kesulitan yang dihadapi, karena begitu A. Hasjmy ditunjuk
sebagai pimpinan, dan diangkatlah tokoh-tokoh masyarakat yang bergabung dalam
berbagai organisasi dan teutama sekali dari pimpinan “Pesindo”. 984
Kegiatan sosial yang sangat menonjol adalah selama agresi Belanda ke II,
pada tahun 1948 dalam menyelenggarakan penampungan pengungsi dari seluruh
penjuru Tanah Air dan terutama dari Sumatra Timur dan Tapanuli, diperkirakan
pengungsi yang mengalir ke Aceh mencapai jumlah lebih dari 100. 000 orang di
seluruh keresidenan Aceh. Keresidenan Aceh pada waktu itu, termasuk di Daerah
Provinsi Sumatra di Medan. Pada waktu kota Medan diduduki tentara Belanda,
jawatan sosial Provinsi Sumatra Utara tidak teratur lagi, maka untuk penertiban
kembali Jawatan Sosial tersebut diangkatlah A. Hasjmy selaku wakil Kepala
Jawatan Sosial Provinsi Sumatra Utara dengan beslit Gubernur Sumatra Utara
tanggal 12 Januari 1949, No. 20/050/49, berkedudukan di Kutaraja dengan
merangkap Kepala Jawatan Sosial Keresidenan Aceh. Kemudian pada waktu itu
dibentuklah Provinsi Aceh,985 yang pertama berkedudukan di Kutaraja dan A.
Hasjmy ditunjuk sebagai Kepala Jawatan Sosial terhitung mulai tanggal 1 Januari
1949 dengan beslit Mentri Sosial Tanggal 16 Oktober 1949. Atas penggabungan

983
Ibrahim Alfian, dkk., Revolusi Kemerdekaan Indonesia di Aceh (1945-1949)..., h.
34.
984
A. Gazali, Biografi Prof. Teungku Haji Ali Hasjmy..., h. 43.
985
Provinsi Aceh yang pertama tidak panjang usianya, berlangsung dari 1 Januari
1949 s/d 31 Desember 1949, dan kemudian dibubarkan, lalu digabungkan dalam wilayah
Provinsi Sumatra Utara Medan.

232
Aceh dalam wilayah Provinsi Sumatra Utara, maka beberapa orang pegawai Sosial
Aceh dipindahkan untuk memperkuat Provinsi Sumatra Utara di bawah pimpinan A.
Hasjmy, sementara Aceh pada saat itu, kedudukan pemerintahan sebagai koordinator.
986

Keterlibatan A. Hasjmy dalam memperkuat perjalanan politik kebangsaan


Republik Indonesia, tidak hanya dalam bentuk dukungan moral semata. Sebagai anak
bangsa yang telah ikut terlibat dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia
semenjak pergerakan revolusi dikumandangkan di seluruh sentro Nusantara. Namun
semangat itu juga diisi oleh A. Hasjmy dengan ikut terlibat langsung mempekuat
kekuatan nasional melalui pergerakan politiknya. Di samping sebagai Pegawai
Kementerian Sosial A. Hasjmy juga aktif dalam organisasi massa dan Partai Politik.
Dengan demikian, tidak berlebihan apabila dikatakan bahwa, pucuk
pimpinan Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) telah banyak berbuat dalam rangka
mengusahakan kemajuan untuk rakyat Aceh, dan telah berjuang pula secara sungguh-
sungguh untuk mengembalikan Provinsi Aceh yang telah hilang. Berkat perjuangan
rakyat Aceh yang gigih dengan dibantu oleh PSII, akhirnya Pemerintah Pusat
memberikan kembali Provinsi Aceh. Dan sekaligus PSII telah berjuang untuk
mendudukkan A. Hasjmy sebagai Gubernur Aceh yang pertama dalam Provinsi Aceh
yang kedua. Sikap nasionalisme kebangsaan A. Hasjmy terlihat dari usahanya untuk
menduduki posisi Gubernur Aceh atas usaha dan perjuangan PSII. Namun demikian,
secara tegas A. Hasjmy mengatakan dan diiringi dengan perbuatan bahwa ia
bukanlah Gubernur PSII. Melalui pengaruh politik kepemimpnan sebagai Gubernur
Aceh, A. Hasjmy memiliki kekuatan untuk menjadi pelaku di front terdepan dalam
rangka meredam kembali konflik DI/TII yang telah memporak-porandakan semangat
persatuan dan kesatuan negara Republik Indonesia pasca kemerdekaan.
Kecenderungan A. Hasjmy dalam memahami konteks kebudayaan, terkait
dengan persoalan yang menyangkut ketatanegaraan merupakan bagian dari
pembahasan kebudayaan Islam.987 Salah satu segi kebudayaan Islam yaitu yang
berhubungan dengan ketatanegaraan Islam pada umumnya, dan dasar-dasar negara
Islam pada kususnya, di samping masalah ekonomi, sosial, pendidikan Ilmu
pengetahuan dan kesenian dalam Islam. 988 Indonesia jika dilihat dari sisi kebudayaan,
merupakan bangsa yang timbul sebagai buah usaha budinya rakyat Indonesia
seluruhnya. Kebudayaan lama dan asli yang terdapat sebagai puncak-puncak
kebudayaan di daerah-daerah seluruh Indonesia terhitung sebagai kebudayaan
bangsa. Usaha kebudayaan harus menuju ke arah kemajuan adab, budaya dan
persatuan dengan tidak menolak bahan-bahan baru dari kebudayaan asing yang
986
A. Gazali, Biografi Prof. Teungku Haji Ali Hasjmy..., h. 43.
987
Kebudayaan Islam menurut A. Hasjmy, bersumber kepada manusia Muslim,
sehingga defenisinya berbunyi, kebudayaan Islam adalah penjelmaan iman dan amal salih
seorang Muslim, atau segolongan kaum Muslimin. Defenisi ini berlandaskan pada. Pertama,
Jin dan manusia Ku-jadikan semata-mata untuk beribadah kepada-Ku (Q. S. Adz-
Dzariya>t/051: 56). Kedua, seseungguhnya manusia telah kami jadikan dalam bentuk yang
maha indah, kemudian kami lemparkan kembali ke dalam kawah yang sangat hina, kecuali
mereka yang beriman dan beramal salih, untuk mereka tersedia pahala berganda. (Q. S. At-
Ti>n/095: 4-6). Lihat, A. Hasjmy, Kebudayaan Aceh dalam Sejarah, (Jakarta: Beuna, 1983).
988
A. Hasjmy, Di Mana Letaknya Negara Islam..., h. 7.

233
dapat memperkembangkan atau memperkaya kebudayaan bangsa sendiri, serta
mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia.989
Menurut A. Hasjmy, tujuan Islam adalah untuk membangun perdamian
dunia, membina persaudaraan dan hidup berdampingan secara rukun menciptakan
kemakmuran dan keadilan untuk semua manusia, dan membuat manusia hidup
bahagia, tentram tanpa ada ketakutan dalam bentuk apapun. Karena itu, wawasan
lingkungan manusia yang luas, dan sifatnya universal. Manusia sebagai pembuat
kebudayaan, dijadikan Allah swt., tidak hanya dalam satu suku, dan tidak hanya pula
dalam satu bangsa, dan tidak pula dalam satu warna kulit, bahkan tidak dalam wajah
adat kebiasaan yang sama. Kebudayaan mereka boleh berbeda, akan tetapi tujuan dari
kebudayaan yang berbeda itu ialah untuk membina saling pengertian dan saling
kenal. Kebudayaan yang paling mulya dan tinggi nilainya adalah kebudayaan yang
dibangun atas dasar takwa. 990 Dan jika dipahami berdasarkan konteks ke-
Indonesiaan, nasionalisme yang dibangun atas dasar Ketuhanan Yang Maha Esa,
maka dengan demikian, tepatlah adanya, sebagaimana A. Hasjmy menyatakan
Indonesia merupakan negara yang menjunjung tinggi nilai kebudayaan Islam, dalam
rangka membangun masyarakat yang bertakwa.
Bagi A. Hasjmy, landasan berpijak untuk membina kesepakatan antara
daerah Aceh dan pusat tidak lain perpaduan antara Islamisme dan nasionalisme,
bersumber dalam rangkaian kesatuan ideologi Pancasila. Islamisme yang luas
terbuka, dan bukan yang lokal fanatik. Dan nasionalisme yang luas terbuka pula,
berakar kepada adat dan sub-budaya daerah. Pada tahun 1980-an dalam usia senja A.
Hasjmy tetap berusaha ke arah perpaduan tersebut. Seminar diadakan oleh Majelis
Ulama Indonesia, di mana A. Hasjmy sebagai ketuanya, yang berlangsung di Rantau
Kuala Simpang Aceh Timur (sebelum kabupaten Kuala Simpang berdiri) yang
diselenggarakan pada tanggal 25-30 September 1980. Hadir pada saat itu sejumlah
tokoh seperti Buya Hamka, dan berbagai sarjana dari Universitas Indonesia,
Universitas Gajah Mada, Universitas Sumatra Utara, Universitas Syiah Kuala, IAIN
ar-Raniry, dan hadir puluhan sarjana dari Malaysia. Dalam seminar tersebut,
tercermin hembusan angin baru dalam dunia Islam Indonesia, yang sangat besar
pengaruhnya atas perkembangan pikiran dan gerakan ke-Islaman di Aceh sendiri.
Sehingga sampai saat ini, kemajuan-kemajuan perkembangan di Aceh, termasuk
menyangkut dengan pembangunan mental spiritual di bidang keagamaan Islam,
terlihat menuju ke arah keterbukaan, modernisasi, dan pembaruan. 991
Kebudayaan Islam bukanlah “kebudayaan suku” dan bukan pula
“kebudayaan bangsa” melainkan adalah “kebudayaan universal”, kebudayaan umat
manusia, dasar dan asasnya satu, tunggal, yaitu iman, takwa, dan ilmu pengetahuan,
hanya corak dan warnanya saja yang berbeda-beda, sesuai dengan adat kebiasaan

989
Muhammad Takari bin Jilin Syahrial “Kebudayaan Nasional Indonesia Dan
Malaysia: Gagasan, Terapan Dan Bandingannya”, Setengah Abad Hubungan Malaysia-
Indonesia, (2009): 1-53, http://docplayer.net/31557658-Kebudayaan-nasional-indonesia-dan
malaysia-gagasan-terapan-dan-bandingannya.html. Diakses Tanggal 2 Oktober 2020.
990
Q. S. Al-H}ujura>t/049: 13.
991
A. Hasjmy, Aset Sejarah Masa Kini dan Masa Depan: Delapan Puluh Tahun
Melalui Jalan Raya Dunia..., h. 21-22.

234
bangsa, suku bangsa, dan bhinneka. Dasar dan asasnya satu, sementara corak dan
warnanya boleh berbeda “Bhinneka Tunggal Ika” “Al-asa>su Wah}idun wal Ajna>su
Mutanawwi‘ah‛.992 Kebudayaan Islam di Indonesia mempunya dasar yang sama
dengan kebudayaan Islam mana saja di permukaan bumi ini, tetapi ia juga
mempunyai corak dan warna kebudayaan Islam dari bangsa-bangsa yang lain.
Demikan pula kebudayaan Islam di Aceh, di tempat mana ia memula sejarahnya di
Nusantara, mempunyai corak dan warna kusus yang berbeda dengan corak dan warna
kebudayaan Islam dari suku-suku bangsa Indonesia yang lain. 993
Semua gerak perjuangannya didasarkan dan berpedoman pada cita-cita dan
kemauan A. Hasjmy untuk menciptakan masyarakat serta kebudayaan “Indonesia
Baru” yang sesuai dengan ajaran Islam. Hal ini, dapat kita perhatikan pada semua
karyanya dan dalam gerak perjuangannya. Seperti pada umumnya, pengarang-
pengarang “Pujangga Baru” bercita-cita dan berbuat untuk memajukan Pertiwi
Indonesia. Maka, A. Hasjmy pun demikian, pada zaman penjajahan Belanda, A.
Hasjmy terkenal sebagai pejuang yang aktif dalam berbagai organisasi, partai, serta
pernah dipenjarakan oleh Belanda. Menurut Amir Hamzah, daerah lingkup ke-
Islaman yang dipancarkan di dalam sajak-sajaknya, hanya mengenai hubungan
dirinya dengan Kha>lik, akan tetapi A. Hasjmy bekerja dan berbuat untuk mengisi
kehidupan dan penghidupan ini dengan konsepsi Islam. 994
Setelah dilantik menjadi Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Daerah Istimewa
Aceh, pada tanggal 3 Februari 1960, di mana Aceh merupakan daerah yang sedang
berlangsungnya pemberontakan DI/TII yang dipimpin oleh Teungku Muhammad
Daud Beure„eh. Nasionalisme kebangsaan A. Hasjmy kembali diuji dalam bingkai
pemberontakan bangsanya sendiri. Dengan demikian, langkah awal yang dilakukan
A. Hasjmy adalah dengan melakukan penyusunan pemerintah daerah. Penyusunan
Pemerintah Daerah bersifat tugas routine, namun karena kondisi dan situasi yang
kurang menguntungkan, tugas routine tersebut menjadi berat pula. Demikialah
adanya, A. Hasjmy harus memulai penyusunan aparatur Pemerintahan Daerah, dari
tidak ada apa-apa, oleh karena Aceh sebelumnya menjadi bagian dari Provinsi
Sumatra Utara yang berpusat di Medan. Sungguh suatu pekerjaan yang sangat berat,
apalagi Aceh pada saat itu benar-benar hancur, sebagai akibat dari pemberontakan
yang telah berlangsung sejak tahun 1953. Akhirnya dengan kemauan yang keras dan
rasa tanggung jawab yang besar, serta bantuan dari segenap pihak, dapat juga disusun
suatu Pemerintahan Daerah dengan segala alat perlengkapannya dalam waktu yang
tidak begitu lama.
Tidak hanya pra-kemerdekaan, dan masuknya fase Indonesia harus berdikari
atas bangsanya sendiri, nasionalisme kebangsaan A. Hasjmy juga terlihat tat kala

992
Umar Mustafa Sadjim, Noeng Muhadjir, and FX Sudarsono, “Revitalisasi Nilai-
Nilai Bhinneka Tunggal Ika Dan Kearifan Lokal Berbasis Learning Society Pascakonflik
Sosial Di Ternate,” Jurnal Pembangunan Pendidikan: Fondasi dan Aplikasi, Vol. 4, No. 1,
(2016): 79, http://journal.uny.ac.id/index.php/jppfa/article/view/7227. Diakses Tanggal 6
Oktober 2020.
993
A. Hasjmy, Sejarah Kebudayaan Islam di Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang,
1990), h. 79-80.
994
A. Gazali, Biografi Prof. Teungku Haji Ali Hasjmy..., h. 31.

235
merespon perdebatan ideologi negara terkait dengan dasar negara Indonesia pasca
kemerdekaan antara kelompok Islamis, nasionalis, dan sosialis. Menurut Amir
Hamzah, A. Hasjmy adalah sosok yang mengagumi dan juga mengikuti cara berfikir
Soekarno dalam memaknai konsep negara yang bersifat nasionalis dengan Pancasila
sebagai dasar ideologi negara.995 Dan ini juga terlihat dari nalar politik A. Hasjmy,
disaat masa penyelesaian konflik pemberontakan DI/TII Aceh yang dipimpin oleh
Teungku Muhammad Daud Beure„eh, di mana A. Hasjmy menolak dikirimkan wakil
dari unsur NU dari Pemerintah Pusat, untuk menyelesaikan peristiwa Aceh.
Kekhawatiran A. Hasjmy terbersit dalam dirinya bahwa, pemerintah Pusat akan
menolak hasil pembicaraan, sebab karena yang berbicara sama-sama dari fraksi
Islam. Karena itulah, yang dikirim ke- Aceh Mr. Hardi, salah satu dari kader Partai
Politik Nasionalis Indonesia (PNI). A. Hasjmy memahami, seorang nasionalis
demikianlah yang akan berbicara dengan pejuang Aceh yang sedang marah dan
frustasi dengan sikap pemerintah pusat. 996
Sajak yang ditulis A. Hasjmy, dengan judul “Aku Serdadumu” menuai
polemik bagi masyarakat Aceh.997 Sebagai pengagum Soekarno, sajak yang ditulis
tertanggal 7 Oktober 1945, jelas terlihat penanaman sikap nasionalisme kebangsaan
A. Hasjmy tidak hanya muncul atas semangat membangun Aceh semata ke-arah
pembangunan dalam kontek negara modern, namun semangat kebangsaan yang
berangkat dari dasar kebudayaan Islam sudah terpatri di dalam jiwanya. A. Hasjmy
sebagai seorang sastrawan, yang mampu mengutarakan hasrat jiwanya dalam untaian
kata,998 telah membacakan sebuah puisi yang ditujukan untuk presiden Soekarno.
Dengan sajak tersebut dan penting untuk diutarakan di sini, agar supaya dapat
memperjelas dalam memahami konsepsi nasionalisme kebangsaan, serta memahami
latar belakang pemikiran Politik A. Hasjmy dalam konteks ke-Indonesiaan. 999
Sebagai birokrat, sikap politik A. Hasmy terhadap pemerintah pusat jelas
bahwa A. Hasjmy tidak ingin mencari pertentangan, bahkan mendukung sepenuhnya
kebijakan Pusat. 1000 Namun walaupun demikian pada prinsipnya A. Hasjmy memiliki
suluh tersendiri dalam memahami bahwa negara, kedaulatan, dan harta kekayaan
adalah miliki Allah swt., dengan menafikan sikap sekelompok orang yang
menganggap negara, kedaulatan, dan harta kekayaan kepunyaan bapak dan nenek
moyangnya, sehingga dengan demikian akhirnya Allah swt., mencabut kembali
negara, kedaulatan, dan harta kekayaan yang telah diamanahkan kepada mereka dan
diserahkan kepada musuh-musuh.1001 Dalam pernyataannya, A. Hasjmy menyatir

995
Wawancara dengan ustadh Amir Hamzah pada tanggal 24 Maret 2020.
996
Muhammad Alkaf, Nasionalisme dari Pinggir..., h.. 36.
997
M. Nur El- Ibrahimy, Teungku Muhammad Daud Beureueh: Peranannya dalam
Pergolakan di Aceh, (Jakarta: Gunung Agung, 1986).
998
Syabuddin Gade, “Konsep Pendidikan Islam Dalam Perspektif Pemikiran A.
Hasjmy (Analisis Hakikat dan Tujuan Pendidikan Islam)”, FITRA, Vol. 1, No. 2, (Juli-
Desember 2015): 29-35, https://docplaye r.info/96213061-Konsep-pendidikan-islam-dalam-
perspektif pemikir an-ali-hasjmy-analisis-hakikat-dan-tujuan-pendidikan-islamsyabuddi n-
gade-1.html. Diakses Tanggal 6 Oktober 2020.
999
Hasan Basri, Melapaui Islam Substantif: Biografi Politik A. Hasmy..., h. 124.
1000
Hasan Basri, Melapaui Islam Substantif: Biografi Politik A. Hasmy..., h. 123.
1001
Q. S. Al-Ma>idah/005: 16.

236
sikap alur politik yang bercampur dan mengikuti lampu setan buatan manusia di alam
gelap gulita, sehingga dalam perjalanannya tersesat masuk perangkap komunisme,
sosialisme, marhenisme, dan lain sebagainya. 1002
Sejauh karir seseorang dan pengaruh politiknya, seberapa kuatnya tatanan
nilai nasionalisme kebangsaan dalam dirinyanya, tiba masa semua itu harus berakhir,
dan perjalanan politik kebangsaan dilanjutkan oleh generasi yang lain. Dan pada
periode berikutnya dalam penyerahan serah terima Jabatan Gubernur Kepala Daerah
Aceh dari tangan A. Hasjmy kepada Nyak Adam Kamil. Menurut H. A. Ghazaly, 1003
A. Hasjmy berhenti sebagai Gubernur Kepala Daerah Istimewa Aceh, bahwa dengan
S. K. Presiden R. I. No. 79/M tahun 1964, A. Hasjmy diberhentikan dengan hormat
sebagai Kepala Tingkat I Daerah Istimewa Aceh, mulai tanggal 1 April 1964 dan
diperbantukan (gubernur diperbantukan) pada Mentri Dalam Negeri, dengan pangkat
Pegawai Utama Muda. Kemudian atas permintaan sendiri berhenti dengan hak
pensiun, oleh Mentri Dalam Negeri diperkenalkan dengan beslitnya tanggal 31 Mei
1966, No. U-P-1/3/664, terhitung mulai tanggal 30 Juni 1966. Pada tanggal 10 April
1964, Gubernur A. Hasjmy dalam pidato perpisahan dengan judul “Nada dan
Warna”, Dengan sangat mudah kita dapat menangkap, semangat nasionalisme A.
Hasjmy, walaupun tidak lagi menjadi Gubernur Daerah Istimewa Aceh, namun dapat
dipahami lewat pesan dalam pidato terakhirnya ketika alih Jabatan Gubernur Daerah
Kepala Isitimewa Aceh diserahkan kepada penggantinya. Dengan penyampaian
sebagai berikut.
“A. Hasjmy menjalankan tugas sebagai Gubernur Aceh dalam rentang waktu
7 tahun 2 bulan 14 hari, atau 2. 624 hari, dan seterusnya mengharapkan agar jalinan
kerja sama para catur tunggal, keserasian yang akrab, hubungan persaudaraan yang
mesra, dan semangat saling mendorong, membantu yang merupakan tradisi yang
baik, dan telah menyebabkan kemakmuran/kerukunan dan persatu-paduan dikalangan
kita makin berat dan ketat dari apa yang diduga semula, supaya dipelihara dan dijiwai
semangat kerja sama yang akrab, hubungan persaudaraan dan saling bantu-membantu
untuk bisa mencapai tujuan secara sukses”.
Dari pidato terakhir A. Hasjmy, setelah berakhir masa jabatannya sebagai
Gubernur Daerah Kepala Isitimewa Aceh, jelas telihat sikap nasionalis mesti di
bangun atas dasar kebersamaan dalam satu kesatuan. Sehingga dengan ikatan
kebangsaan dapat bergerak secara bersama-sama. Persatuan dan persepaduan
merupakan refleksi dari semangat yang ditanamkan oleh nilai ke-Islaman.
Nasionalisme kebangsaan merupakan upaya bagi masyarakat Indonesia untuk saling
memahami antara satu dengan yang lainnya. Nasionalisme kebangsaan juga wujud
daripada semangat cinta tanah air, serta saling memahami dalam keberanekaragaman
antar suku, bangsa, agama, dan kebudayaan Indonesia dalam bingkai Negara
Kesatuan Republik Indonesia.

1002
A. Hasjmy, Di Mana Letaknya Negara Islam..., h. 298.
1003
A. Gazali, Biografi Prof. Teungku Haji Ali Hasjmy..., h. 57.

237
Skema Pemikiran Praksis Politik A. Hasjmy dalam konteks ke-Indonesiaan
dapat digambarkan sebagai berikut:

Integrasi
Kebangsaan
Persamaan
Hak Asasi
Derajat
Manusia
Manusia

Pancasila
Agama Nasionalisme

Keadilan Demokrasi

238
BAB VI
PENUTUP

Mengakiri kajian terhadap studi ini setelah ditelusuri secara seksama, terkait
dengan pemikiran dan konsepsi A. Hasjmy mengenai ketatanegaraan dalam Islam,
serta hubungannya dengan politik, pemikiran politik A. Hasjmy dapat disimpulkan
pada dua katagori. Pertama, argumentasi pemikiran politik A. Hasjmy terintegrasi
dengan konsepsi pemikiran politik Islam. Kedua, pemikiran praksis politik A.
Hasjmy adalah moderat dalam membangun konvergensi antara pemikiran dan
praksis politik, sehingga dengan ini A. Hasjmy mampu memahami bangsanya
sendiri. Pemikiran politik A. Hasjmy tidaklah berdiri sendiri, namun dibangun atas
dasar pemikiran politik Islam di era klasik, abad pertengahan, dan modern. Penelitian
tentang pemikiran politik A. Hasjmy sebelumnya tidak melihat A. Hasjmy sebagai
pemikir politik yang mencoba membangun konvergensi pemikiran untuk
menyelesaikan polemik bangsanya sendiri, terkait idealitas politik dengan realitas ke-
Indonesiaan. Dengan demikian, pemikiran politik A. Hasjmy akan disimpulkan
sebagai bentuk temuan bahwa, konsep pemikiran dan kiprah politik A. Hasjmy
sangatlah relevan untuk menjawab paradigma problematik terkait dengan wacana
Islam dan politik di Aceh kususnya dan Indonesia pada umumnya, sehingga
formulasi pemikiran A. Hasjmy layak disosialisasikan dalam kehidupan sosial politik
lokal, nasional, dan global.

A. Kesimpulan
Berdasarkan analisis data melalui penelaahan dari berbagai sumber, dapatlah
disimpulkan bahwa, A. Hasjmy adalah sosok cendikiawan dan intelektual Aceh
modern. Laki-laki kelahiran 28 Maret 1914 ini tumbuh berkembang sebagai tokoh
yang memiliki multi-talenta. Aceh merupakan kawasan yang dijuluki sebagai daerah
yang sangat kental dengan nila-nilai ke-Islaman, sehingga keberadaan A. Hasjmy
sebagai ulama diterima dengan baik oleh masyaraka Aceh. Dikenal sebagai sastrawan
angkatan pujangga baru telah menematkan namanya dalam literatur kesusastraan
Indonesia. Jiwa sastra dalam dirinya membentuk karakter pemikiran yang mampu
memahami objek kajian dengan bijak. Kiprahnya dalam dunia politik, A. Hasjmy
hadir sebagai sosok negosiator yang ulet, responsif, mampu memahami situasi, dan
sangat akomodatif. Sebagai seorang cendikiawan, pemikirannya terbentuk dikala
negerinya sedang berkecamuk perang dengan penjajah dan situasi politik yang tidak
stabil. Membangun karakter dirinya sebagai pemikir dan juga pelaksana politik,
dengan segenap pemikiran dan kiprahnya mampu menghadapi segala persoalan, serta
tidak mudah pasrah dengan keadaan, terutama tatkala diawal kiprahnya sebagai
aktivis pergerakan kemerdekaan Indonesia dan upaya dalam membangun konsolidasi
perdamaian antara pemberontakan DI/TII Aceh dengan pemerintah pusat.
A. Hasjmy merupakan pemikir Politik Islam modern yang cenderung
moderat (symbiotik) dalam merekonstruksikan bangunan pemikiran politik.
Paradigma ini menguatkan wacana tentang hubungan timbal balik antara agama dan
negara. Islam sebagai dasar negara tidak menjadi mutlak bagi A. Hasjmy, substansi
nilai Islam dengan dasar tauhid dan Ukhuwah Islamiyah menjadi alasan utama
baginya, bahwa negara Islam dapat dipraktekkan di manapun tanpa harus menjadikan

239
Islam sebagai ideologi negara. Bagi A. Hasjmy, Islam bukanlah ideologi negara.
Dalam konteks ini, A. Hasjmy lebih melihat Islam sebagai sumber ideologi negara.
Keberadaan agama dan negara dalam konteks fungsi timbal balik, negara akan tegak
dan agama sebagai penunjangnya. Begitu juga sebaliknya, agama dengan seperangkat
nilai moral yang melekat di dalamnya akan terwujud dengan adanya instrumen
negara yang menggunakan seperangkat undang-undang sebagai aturan yang
memaksa. Dengannya juga, seperangkat nilai dan moral yang melekat pada agama
dapat mempengaruhi dan mewarnai hukum-hukum yang dibangun pada suatu negara.
Bahkan tidak tertutup kemungkinan nilai-nilai yang melekat pada agama dijadikan
sebagai aturan hukum negara.
Memahami pemikiran politik A. Hasjmy, tidak hanya dilihat dari sisi
normatif saja, namun juga ditelusuri berdasarkan konteks praksisnya. Sisi normatif
pemikiran A. Hasjmy dapat dilihat dari konsepsi A. Hasjmy tentang nilai-nilai dasar
dan prinsip-prinsip pokok yang berlaku umum pada sistem politik kenegaraan seperti
keadialn, persamaan hak, dan musyawarah. Sementara sisi praksisnya peran politik
lokal sangat mempengaruhi prilaku politik yang mesti di realisasikan oleh A.
Hasjmy. Tidak hanya melihat dari sistem politik yang berlaku, namun juga ditinjau
dari perspektif sejarahnya. Sehingga pemikiran politik A. Hasjmy, terutama sekali
terkait dengan kepemimpinan perempuanmengacu pada realitas sejarah politik, di
mana Aceh dalam perjalanan politik kepemimpian selama 59 tahun berada di bawah
pemerintahan para ratu.
A. Hasjmy dalam memahami konteks politik ke-Indonesiaan memiliki warna
tersendiri, di mana konsep kekuasaan menjadi perhatian besar A. Hasjmy pada era
kemerdekaan. Terkait dengan wacana perdebatan Islam dan politik di Indonesia,
transformasi konsep politik kekuasaan selama ini dipahami berdasarkan konsep yang
dibangun berdasarkan narasi dari atas ke bawah. Artinya pemahaman kebangsaan
yang dipaksakan dari pusat. Sedangkan A. Hasjmy melakukan hal sebaliknya dengan
membangun narasi tersebut dari daerah. Artinya, A. Hasjmy telah menggelorakan
semangat nasionalisme ke-Indonesiaan dari luar ranah kekuasaan pusat. Hal ini
terbukti dengan keberhasilan A. Hasjmy dalam merobah alur berfikir para elit Aceh
pada awal dekade kemerdekaan yang ingin mendirikan negara Islam, melalui
pemberontakan Darul Islam yang dipimpin oleh Teungku Muhammad Daud
Beureueh untuk menerima konsep kebangsaan dalam bentuk Negara Kesatuan
Republik Indonesia dengan Pancasila sebagai dasar negara.

B. Rekomendasi
1. Penelitian yang terkait dengan pemikiran tokoh Aceh perlu terus digali dan
dikembangkan, terutama sekali dikalangan para akademisi. Hal ini penting
dilakukan untuk menumbuh kembangkan rasa nasionalisme ke-Indonesiaan,
terutama di kalangan masyarakat Aceh.
2. Perlu dilakukan kajian-kajian pemikiran yang moderat untuk meminimalisir
pemikiran-pemikiran atau ideologi radikal dan ekstremis, seperti terorisme.
3. Masyarakat Aceh terutama dari kalangan intelektual tradisional, seperti
ulama dayah perlu terus mengembangkan pemikiran yang bersifat moderat
dan tidak diskriminatif terhadap eksistensi hak-hak politik perempuan.
4. Secara praksis penelitian ini juga merekomendasikan agar hubungan antara

241
5. negara dengan agama atau politik tidak dibenturkan.
6. Penulis juga merekomendasikan kepada peneliti berikutnya untuk mengkaji
pemikiran A. Hasjmy dari sudut pandang pendidikan, efektifitas dakwah, dan
komunikasi, sehingga menciptakan kedamaian, kesejukan, dan ketentraman.

241
DAFTAR PUSTAKA

Data Primer
1. Buku

Hasjmy, Ali, Apa Tugas Sastrawan Sebagai Khalifah, ( Surabaya: Bina Ilmu, 1984)

_______, Aset Sejarah Masa Kini dan Masa Depan: Delapan Puluh Tahun Melalui
Jalan Raya Dunia, Penyusun, Badruzzaman Ismail, dkk, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1994)

_______, Di mana Letaknya Negara Islam, (Surabaya: Bina Ilmu, 1984)

_______, Sejarah Kebudayaan Islam di Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang, 1990)

_______, Nabi Muh}ammad Sebagai Panglima Perang, (Jakarta: Mutiara, 1978)

_______, 59 Tahun Aceh Merdeka di Bawah Pemerintahan Ratu, (Jakarta: Bulan


Bintang, 1977)

_______, Pemimpin dan Akhlaknya, (Banda Aceh: MUI DI Aceh, 1973)

_______, Bunga Rampai Revolusi dari Tanah Aceh, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978)

_______, Dari Darul Harb ke Darussalam, (Perpustakaan A. Hasjmy, jilid I)

_______, Iskankar Muda Meukuta Alam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975)

_______, Kebudayaan Aceh dalam Sejarah, (Jakarta: Beuna, 1983)

_______, Semangat Merdeka: 70 Tahun Menempuh Jalan Pergolakan & Perjuangan


Kemerdekaan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1985)

______, Sejarah Kebudayaan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1987)

______, Sejarah Kebudayaan Islam di Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang, 1990)

______, Syi‗ah dan Ahlussunnah: Saling Rebut Pengaruh dan Kekuasaan Sejak Awal
Sejarah Islam di Kepulauan Nusantara, (Surabaya: Bina Ilmu, 1983)

______, Apa Tugas Sastrawan Sebagai Khalifah Allah, (Surabaya: PT. Bina Ilmu,
1984)

______, Semangat Merdeka: 70 Tahun Menempuh Jalan Pergolakan & Perjuangan


Kemerdekaan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1985)

242
______, Wanita Aceh dalam Pemerintahan dan Peperangan, (Banda Aceh: Gua
Hira‟, 1993)

______, Ulama Aceh: Mujahid Pejuang kemerdekaan dan Penbangunan Tamadun


Bangsa, (Jakarta: Bulan Bintang, 1997)

______, dkk. (ed), 50 Tahun Aceh Membangun, (Banda Aceh: MUI Aceh, 1995)

Data Sekunder
1. Buku

Alqur„an

A, Hoogerwerf. Politikologi Pengertian Dan Problem-Problemnya, (Jakarta, Er-


langga, 1985)

Abyhara, Abu Bakar, Pengantar Ilmu Politik, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2010)

Adawi>, Ibra>h}i>m ah}mad Al, al-Nuzhum al-Isla>miyyah, (Al-Qa>hirah: Anjlu al-


Misyriyyah, 1972)

Afifuddin, dan Beni Ahmad Saebani, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung:


Pustaka Setia, 2009)

Ahmad, Zainal Abidin, Ilmu Politik Islam II: Konsepsi Politik dan Ideologi Islam,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1979)

Alchaidar, Ti Aisyah Subhani, Darul Islam Di Aceh: Analisis Sosial-Politik


Pemberontakan Regional Di Indonesia, 1953-1964, (Lokseumawe: Uimal
Press, 2008)

Asqala>ni>y, Syiha>b al-Di>n Abu> al-Fadl Ah}mad ibn ‘Ali>y ibn Hajar, Al, Fath al-Ba>ri>y,
Juz VIV

Banna>, H{asan Al, Majmu>‘at Rasa>’il, (Jakarta: al-I’tishom, 2007)

Farabi, Al, Kitab Alsiyasah Almadaniyah, Tahqiq Oleh Fauzi Mitri Najjar, II. (Beirut:
Dar Almasyriq, 1993)

Alfian, The Ulama in Acehnese Society: A Preliminary, Observation, (Banda Aceh:


Pusat Latihan Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial Aceh, 1975)

Ali, A. Yusuf, The Holy Qur„an, Text, Translation and Commentary, (Brentwood,
Maryland: Amana Corp., 1983)

Alkaf Muhammad, Nasionalisme dari Pinggir, (Banda Aceh: Bandar Publishing,


2019)

243
Alkhateeb, Firas, Sejarah Islam yang Hilang: Menelusuri Kembali Kejayaan Muslim
Pada Masa Lalu, ( Yogyakarta: Bentang Pustaka, 2016)

Anton Bakker dan Achmad Charis Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat,


(Yogyakarta: Kanisius, 1990)

Arifin, Ichwan, “Mengupas Sosialisme Ala Soekarno”, SuaraMerdeka.com, Minggu,


(7 Juni 2020), https://www.suaramerdeka.com/news/opini/2 30885-
mengupas-sosialisme-ala-soekarno.

Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek , (Jakarta: PT


Rineke Cipta, 2002)

Arfa Faisar, Ananda, Metodelogi Penelitian Hukum Islam , (Bandung: Citapustaka


Media Perintis, 2010)

Assyaukanie, Luthfi, Ideologi Islam dan Utopia, (Jakarta: Freedom Institute, 2011)

Ayyubi, Nazih, Political Islam: Religion and Politics in The Arab World, (London
and New York: Roudledge, 1991)

Azra, Azyumardi, Pergolakan Politik Islam Dari Fundamentalisme, Modernisme


Hingga Posmodernisme, (Jakarta, Paramadina, 1996)
______, Transformasi Politik Islam: Radikalisme, Khilafatisme, dan Demokrasi,
(Jakarta: Prenadamedia Group, 2016)

______, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad ke XVII &
XVIII, (Jakarta: Prenada Media, 2004)

Badan Rehabilitasi dan rekonstruksi (BRR) Aceh Nias, Pencerahan Intelektual:


Referensi Bagi Khatib, Penceramah, dan Da‗i, (Nanggroe Aceh Darussalam:
BRR-BKPRMI, 2007)

Banua, Andi Aderus at. all, Konstruksi Islam Moderata: Menguak Prinsip
Rasionalitas, Humanitas, dan Universalitas Islam, (Yogyakarta: ICATT
Press, 2012)

B. S, Abdul Wachid, “Heurmeneutika Sebagai Sistem Inte rpretasi Paul Ricoeur


Dalam Memahami Teks-Teks Seni,”Imaji, Vol. 4, No. 2, ( 6 Novem ber,
2015), https://journal.uny.ac.id/index.php/imaji/article/v iew/6712.

Bakker, Anton dan Achmad Charis Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat


(Yogyakarta: Kanisius, 1990)

Basri, Hasan, A. Hasjmy (1914-1998): Kajian Sosial-Intelektual dan Pemikirannya


Tentang Politik Islam, (Disertasi Pada Sekolah Pascasarjana Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008)

244
______, Melampaui Islam Substantif: Biografi Politik A. Hasjmy, (Langsa:
Zawiyah Serambi Ilmu Pengetahuan, 2015)

Beinin, Joel and Joe Stork, Political Islam: Eassays from Middle East Report,
(Berkeley Los Angeles: University of California press)

Budiardjo, Miriam, Dasar Dasar Ilmu Politik, ed. Ryan Pradana, Edisi Revisi,
(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008)

Burhanuddin, Mamat S, hermeunetika Al-Qur‗an Ala Pesantren,: Analisis terhadap


Marah Labib, karya KH. Nawawi Banten, Cet. I, (Yogyakarta: UII Press,
2006)

Black, Antony, Pemikiran Politik Islam: Dari Masa Nabi Hingga Masa Kini, Terj.
Abdullah Ali Mariana Ariestyawati, (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta,
2006)

Boullata, Issa J., Dekonstruksi Tradisi terjemahan Imam Khoiri (Yogyakarta: LkiS,
2001)

Bruce, Stave, Fundamentalisme: pertautan Sikap Keberagaman dan Modernitas,


(Jakarta: Erlangga, 2000)

Burhanuddin, Mamat S., Hermeunetika Al-Qur‗an Ala Pesantren,: Analisis terhadap


Marah Labib, karya KH. Nawawi Banten, Cet. I, (Yogyakarta: UII Press,
2006)

Burns Dan Peter, Revelation and the Pancasila, (Townsville, Australian: Souheast
Asian Monograph No. 9, Committee of Southeast Asian Studies, James Cook
University, 1981)

Connolly ,Petern, Aneka Pendekatan Studi Agama, Terj. Imam Khoiri, (Yogyakar ta,
LKiS, 2002)

Crowther, Susan et al., “Crafting Stories in Hermeneutic Phenomenology Research:


A Methodological Device,” Qualitative Health Research, Vol. 27, No. 6
(May 26, 2017): 826–835, http://journals.sagepub.co m/doi/10.1177/1049732
316656161.

Dhuhri, Saifuddin, Dayah Menapaki Jejak Pendidikan Warisan Endatu Aceh, (Banda
Aceh: Lhee Sagoe Press)

BN., Marbun, Kamus Politik, (Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, Cet. I, 1996)

Esposito, John L., Islam dan politik, Terj. H. M. Jesoef Sou‟yb, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1990)

245
Effendi, Bahtiar, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik politik
Islam di Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1998)
Fanani, Ahmad, Maisarah, Master Kamus, (Sleman Yogyakarta: C-KLIK media,
2018)

Gazali, A, Biografi Prof. Teungku Haji Ali Hasjmy, (Jakarta: Socialia, 1978)

Hadi, Amirul, Islam and State in Sumatra: A Study of Seventeenth-Century Aceh,


(Leiden Boston: Brill, 2004)

_______, Aceh: Sejarah, Budaya dan Tradisi, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
2010)

Hadidjojo, Ayahku Maroeto Nitimihardjo: Mengungkap Rahasia Gerakan


Kemerdekaan, (Jakarta: Kata Hasta Pustaka, 2009)

Hambal, Ahmad bin, Musnad al-Ima>m Ah}mad Ibnu Hambal, jilid 2. (Cairo: Dar al-
Fikr, t.th)

Hamka, Keadilan Sosial Dalam Islam, (Djakarta: Widjaya, 1951)

______, Urat Tunggang Pancasila, (Jakarta: Pustaka Keluarga, 1951)

Harahap, Syahrin, Studi Tokoh dalam Bidang Pemikiran Islam, (Medan: IAIN Press,
1995)

Hardiman, F. Budi, Seni Memahami: Heurmenetik dari Schleiermacher Sampai


Derrida, (Yogyakarta: PT Kanisius, 2015)

Hadidjojo, Ayahku Maroeto Nitimihardjo: Mengungkap Rahasia Gerakan


Kemerdekaan, (Jakarta: Kata Hasta Pustaka, 2009)

Hisyam, Ibnu, The Life of Muhammad, a Translation of Ishaq„s Sirat al-Rasul Allah,
with Introduction and note by A. Guillaume, (Lahore, Karachi, Dacca: Oxford
University Press, 1970)

Hitti Philip K., History of The Arab, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2002)

Hogart D. G, The Penetration of Arabia, (Newyork, 1904)

Iacob, T., Tragedi Negara Kesatuan Kleptokrasi: Catatan di Senjakala, (Jakarta:


Yayasan Obor Indonesia, 2004

Ibrahimy, M. Nur El, Teungku Muhammad Daud Beureueh: Peranannya dalam


Pergolakan di Aceh, (Jakarta: Gunung Agung, 1986)

‘Ima>rah, Muh}ammad, al-Isla>m wa al-Sult}ah al-Diniyah, (Kairo: Da>r al-T>}aqa>fah al-


Jadi>dah, 1979)

246
Isma„il, Badruzzaman, Mesjid dan Adat Meunasah Sebagai Sumber Energi Budaya
Aceh, (Banda Aceh: Majelis Pendidikan Daerah, 2002)

Iqbal, Muhammad, Fiqih Siyasah Konstektualisasi Dokrin Politik Islam , (Jakarta:


Gaya Media Pratama, 2001)

R., Schemerhorn, at all., Basic Organizational Behavior, (Osborn, 2nd edition, 1998)

K, Philip Hitti, History of The Arab, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2002)

K. S. Lambton, Ann, State and Government in Medieval Islam: an Introduction to


the Study of Islamic Political Thought: the Jurists, (Oxford: University Press,
1981)

Kaelan, Pendidikan Pancasila, (Yogyakarta: Paradigma, 2003)

Katimin, Politik Islam: Studi Tentang Azas, Pemikiran, dan Praktik dalam Sejarah
Politik Umat Islam, (Medan, Perdana Publishing, 2017)

Kamil, Syukron, Pemikiran Politik Islam Tematik: Agama dan negara, Demokrasi
Civil Society, Syari‗ah dan HAM, Fundamentalisme, dan Anti Korupsi,
(Jakarta: Kencana, 2013)

Kattsoff Louis, O., Pengantar Filsafat, Terj. Soejono Soemargono, (Yogyakarta:


Tiara Wacana Yogya, 2004)

Khadduri, Majid, The Islamic Conception of Justice, (London: The Johns Hopkins,
1984)

Khaldun, Ibnu, Muqaddimat ibnu Khaldun, (Khairo: Lajnah al-Bayan al-Araby,


1958)

_______, “Abd-al-Rah}ma>n ibnu, Muqaddimah ibnu Khaldun, (al-Qa>hirah: Da>r al-


Fajr li al-Tura>ts, 2004)

Khandahlawi, Maulana Muhammad Yusuf al, Kitab Ta ‗lim: Hayatush Shahabah,


Jilid I, Terj. Ahmad Dusturi, (Bandung: Pustaka Ramadha n, 2007)

Kirsten, Schulze, E., Mission Not So ImpossibleThe Aceh Monitoring Mission and
Lessons learned for the EU. (International Policy Analysis. Berlin: Friedrich-
Ebert-Stiftung, 2007)

Kurzman, Charles, Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam kontemporer Tentang


Isu-Isu Global, (Jakarta: Paramadina, 2001)

Laski Harold, J., The State in Theory and Practice, (Newyork: The Viking Press,
1947)

247
Latif, Yudi, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila,
Cet. 5, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2015)

_______, Genealogi Intelegensia: Pengetahuan & Kekuasaan Inteligensia Musl-


im Indonesia Abad XX, (Jakarta: Kencana, 2013)

Lexy, Moleong J., Metodelogi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosda


Karya, 2011)

Maarif, Ahmad Syafi'i, Islam dan Cita-cita dan Masalah Kenegaraan, (Jakarta:
LP3ES, 1985)

______, Islam as The Basic of State: Study of The Islamic Political Ideas as
Reflected in The Konstituent Assembly Debates in Indonesia, (Disertasi
Doktor: University of Chicago, 1986)

______, Ahmad Syafii, Studi Tentang Pencaturan Dalam Konstituante: Islam dan
Masalah Kenegaraan, (Jakarta: PT. Pustaka LP3ES Indonesia, 1985)
M. M., Afifuddin, dan Beni Ahmad Saebani, Metodelogi Penelitian Kualitatif,
(Bandung: Pustaka Setia, 2009)

Ma„arif, Ahmad Syafe„i, Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi tentang Pencaturan
dalam Konstituente, (Jakarta: LP3ES, 1985)

Machiavelli, Niccolo, The Prince, Translate in To English By Luigi Ricci , (United


State of America, Random House, 1950)

Mardani, Pendidikan Agama Islam Untuk Perguruan Tinggi, (Depok: Kencana,


2017)

Maclver, R. M, The Modern State, (London: Oxford University Press, 1926)

Malaka, Tan, Madilog: Materialisme, Dialektika, Logika, (Djakarta: Widjaja, 1951)

Maudu>di>, Abul A‘la al-Hukum dan Khilafah dan Kerajaan, Terj. Muhammad al-
Baqir, (Bandung: Kharisma, 2007)

Mawardi-al, Imam, al-Ah}kam as-S}ult}aniyah, (Beirut: Da>r el-Fikri, 1960)

Moleong, Lexy J, Metodelogi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosda Karya,


2011)

Montesquieu, The Spirit of the Laws, (United Kingdom:Combridge University Press,


2009)

______ , Muhammadiyah Dan Politik Islam Inklusif, Cet. I, (Jakarta: Maarif


Institute for culture And Humanity, 2005)

248
Mudzhar, Atho, Membaca Gelombang Ijtihad: Antara Tradisi dan Liberasi
(Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1998), h. 105

______, Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2002)

Muhadjir, Noeng, Metodelogi Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Rake Sarasin,


1990)

Mulia Musdah, Negara Islam: Pemikiran Politik Husein Haikal, (Jakarta:


Paramadina, 2001)

Muniruddin, Saed, Bintang ‗Arasy: Tafsir Filosofis-Gnostik Tujuan HMI, (Banda


Aceh: Syiah Kuala University Press, 2014)

Musawi-al, Musa, Al-Syi‟ah Wa Al-Tas}h}ih: Al-Shu>ra’ Baina Al-Syi‟ah Wa Al-


Tasyayyu‟, (TP, 1988)

Muthhar, Muhammad Asy„ari, The Ideal State: Perspektif Al-Farabi Tentang Konsep
Negara Ideal, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2018)

Na„im, Abdullah Ahmad, an, Islam dan Negara Sekuler: Menegosiasikan Masa
Depan Syari ‗ah, (Bandung: Mizan, 2007)

Nasution, Harun, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan,


(Jakarta: UI Perss, 1986)

Natsir, Muhammad, Capita Selekta, (Bandung: Sumup, 1961)

_____, Agama dan Negara, dalam M. Isa Anshary (ed.), Falsafah Perjuangan Islam,
(Medan: Saiful, 1951)

Noer, Deliar, Islam dan Politik, (Jakarta: Yayasan Risalah, 2003)


______, The Modernist Muslim Movement in Indonesia 1900-1942, (Oxford, New
York and Jakarta: Oxford University Press, 1978)

Paidar, Manouchehr, Legitimasi Negara Islam: Problem Ploblem Otoritas Syariah


Dan Politik Penguasa, (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2003)
Potyrała, Anna, “Slamic State – Disputed Statehood,” in Radicalism and Terrorism
in the 21st Century (frankfurt: peterlang Ag, 2017)

Qardla>wi, Yusuf, Fiqh Daulah dalam Perspektif al-Qur‗an dan Sunnah, Terj. Kathur
Suhaidi, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1997)

Rais, M, Amien, Suksesi dan Keajaiban Kekuasaan, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar,


1997)

Rapar, J. H., Filsafat Politik Machiavelli, (Jakarta: Rajawali Press, 1991)

249
Rayis, Muh}ammad Diya> al-Di>n, al-Nazhariyya>t al-siya>siyyah al-Isla>miyyah, (Al-
Qa>hirah: Maktabah al-Anjlu)

Ra>ziq ‘Ali> Abd, al, al-Islam wa Ushu>l al-Hukm, (Beirut: Mu‟assasat al-‚Arabiyat},
1972)

Ra>zi- Fakhr al-Di>n, al, Al-Tafsîr al-Kabi>r, Juz X (Teheran: Da>r al-Kutub al-’Ilmi>yah,
t.th.)

Raziq „Ali „Abdur, Khilafay dan pemerintahan dalam Islam, Terj. Afif Mohammad,
(Bandung: Pustaka, 1985)

Ridha, Muh}ammad Rasyid, al-khila>fah, (Kairo: Madinah Nasr, 1922), h 66

Russell, Bertrand, Power: A New Social Analysis, (London, Routledge, 1960)

Michael Roskin at all, Political Science: An Introduction, Edisi Keenam, (New


Jersey, Upper Saddle River, 1997)

S. Floriberta Aning, 100 Tokoh yang Mengubah Indonesia: Biografi Singkat Seratus
Tokoh Paling Berpengaruh dalam Sejarah Indonesia di Abad 20, (Tangerang:
Gramedia Pustaka, 2005)

SD, Subhan, Ulama-Ulama Opposan, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2000)

Said, Mohammad, Aceh Sepanjang Abad, Jilid I, (Medan: Harian Waspada, 2007)

Sastriyani, Siti Hariti, Gender and Polics, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2009)

Schemerhorn, John R. at all., Basic Organizational Behavior, (Osborn, 2nd edition,


1998)

Shihab, M. Quraish, Wawasan Al-Quran (Bandung: Mizan, 1996)

Sirajd, Said Aqiel, Islam Kebangsaan: Fiqh Demokratik Kaum Santri, (Jakarta:
Pustaka Ciganjur, 1999)

Sumbogo, Priyono B., Pengagum Soekarno, Murid Daud Beureueh: Dalam Tempo,
Memoar Senerai Kiprah Sejarah, (Jakrta: Pustaka Utama Grafiti, 1993)

Suseno, Franz Magnis, Etika Politik: Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Cet.
9, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2018)

Syafe‟i Inu Kencana, Filsafat Kehidupan, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995)

Syamsuddin M., Din, Islam dan Politik Era Orde Baru, (Jakarta, PT Logos Wacana
Ilmu, 2001)

______, Filsafat Politik Aristoteles, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993)

251
Sjadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara; Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran,
(Jakarta: UI Press, Jakarta 2008)

Sjamsuddin, Nazaruddin, Pemberontakan Kaum Republik: Kasus Darul Islam di


Aceh, (Jakarta: Pustaka Gama Graviti, 1990)

Shallabi, Ali Muhammad ash, Parlemen di Negara Islam Modern: Hukum


Demokrasi, Pemilu dan Golput, Terj. Masturi Ilham dan Malik, (Jakarta:
Pustaka al-Kautsar, 2016)

Shihab, Alwi, dkk., Islam & Kebinekaan, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2014)

Siradj, Said Agiel, Islam Kebangsaan: Fiqh Demokratik Kaum Santri , (Jakarta:
Pustaka Cahaya, 1999)

Sjadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara: Ajaran Sejarah dan Pemikiran, (Jakarat:
UI-Press, 1993)

Sjahril, Soetan, Perjoeangan Kita, (Pusat Dokumentasi Guntur 49: Anjing Galak,
2010 )

Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi, (Jakarta: Banana Books, 2016)

Tambunan, Corina, Moralitas dan Kekuasaan : Studi Atas Pemikiran Niccolo


Machiavelli, Tidak diterbitkan, (Depok: Pasca Sarjana Departemen Filsafat,
FIB UI, 2007)

Tan Malaka, Madilog: Materialisme, Dialektika, Logika, (Djakarta: Widjaja, 1951)

______, Semangat Muda, (t.t)

______, Komunisme dan Pan-Islamisme, (Jakarta: Widjaja, 1951)

Teherani, Negara Ilahiyah: Suara Tuhan, Suara Rakyat, (Jakarta: Al-Huda, 2005)

Thaba „thaba„i, al, Muhammad Husayn, Tafsir al-Mi>za>n, Jilid IV, (Beirut: Mu
„assasah al-‘A>lami> li al-Mathba„ah, 1991)

Tim Penyusun Pusat Pembinaan Dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, (Jakarta, Balai Pustaka, Cet. 10, 1999)
Tim, Pencerahan Intelektual: Referensi Bagi Khatib, Penceramah dan Da‗i, Editor,
Hasan Basri dan Muhibbudin Hanafiah, (Banda Aceh: BKPRMI dan BRR
Nanggroe Aceh Darussalam, 2007)

Tjokroaminoto HOS., Islam dan Sosialisme, (Bandung: SEGA ARSY, 2010)

251
Panitia Peringatan Hari Lahir Pancasila, Kisah Pancasila, (Direktorat Jenderal
Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia,
2017)

Potyrała, Anna, ‚Slamic State – Disputed Statehood,‛ in Radicalism and Terrorism


in the 21st Century (frankfurt: peterlang Ag, 2017).
Prodjodikoro, Wiryono, Asas-Asas Ilmu Negara dan Politik, (Jakarta: Eresco, 1981)

Qaradhawi Yusuf, Al-, Meluruskan Dikotomi Agama dan Politik: Bantahan Tuntas
Terhadap Sekulerisme dan Liberalisme, (Jakarta: Pustaka Al- Kaursar, 2008)

Verma, S. p., Modern Political Teori, Terj. Yohanes Kristiarto, Teori Politik
Modern, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001)
Watt, W. Montgomery, Muhammad at Medina, (Oxford: The Clarendon Press, 1956)

Wijoyo, Kunto, Identitas Politik Umat Islam, (Bandung, Mizan, 1991)

Yanggo, Huzaimah T, Konsep Wanita Menurut Qur'an, Sunnah dan Fikih (dalam
Wanita Islam Indonesia Dalam Kajian Tekstual dan Kontekstual, (Jakarta:
INIS, 1993)

Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada)

Zahrah, Abu (ed.), Politik Demi Tuhan: Nasionalisme Religius di Indoanesia,


(Bandung: Pustaka Hidayah, 1995)

Zahrah, Muh}ammad Ah}mad Abu>, Al-Maza>hib al-Isla>miyyah, (Al-Qa>h}irah:


Maktabah al-Adab, t. t.)

Zaidan, Jarji Zaidan, ta>rikh Adab al-Lughah al-‗Arabiyah, jilid I (Kairo: Da>r al-Hilal,
1975)

Zainuddin, A. Rahman, Kekuasaan dan Negara: Pemikiran Politik Ibnu Khaldun,


(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1992)

Zamakhsyar>-Al, Tafsi>r al-Kasysya>f, Juz I, (Mesir: ‘Isya al Ba>b al-Halabi> wa Syirkah,


t. t.)

Zubair, Achmad Charis, Metodologi Penelitian Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius,


1990)

2. Artikel Online

A. Potyrała, (2017). ‚Islamic State – Disputed Statehood‛. In Sroka A.,


Garrone F., & Kumbrián R. (Eds.), Radicalism and Terrorism in the 21st
Century: Implications for Security (pp. 107-122). Frankfurt am Main: Peter
Lang AG. Retrieved from http://www.jstor.org/ stable /j. ctv2 t4b g x.9.

252
Abdullah, Abdul Hafiz bin Hj., “Islam Dan Keadilan Sosial Menurut Pandangan
Hamka Dalam Tafsir Al-Azhar: Tumpuan Khusus Kepada Kepentingan
Zakat”, Seminar Sarantau Islam & Kesejahteraan Sejagat, Anjuran Fakulti
Usuluddin, Universiti Islam Sultan Sharif Ali, Brunei Darul Salam, (2010): 1-
10, http://eprints.u m.edu.my/11264/1/A14. pdf.

Abdullah, Zul Azmi, dan Arif N, Wardayani, ‚Memahami Penelitian Kualitatif


Dalam Akuntansi‛ Jurnal Ilmu Akuntansi Volume 11 (1), 2018: 159 - 168 P-
ISSN: 1979-858X; E-ISSN: 2461-1190 DOI: 10.15 408/ akt.v11i1.6338,h.16
1http://journal.uinjkt.ac.id/index.Ph p/ akuntabilitas/article/download/6338/p
df.

Abror, Mhd., “Kepemimpinan Wanita Perspektif Hukum Islam,” TERAJU, Vol. 2,


No. 01 (March 25, 2020): 53–63, http://ejournal.stainkepri.ac .id/in dex.php/t
eraju/article/view/89.

Addi, Lahouari, Radical Arab Nationalism and Political Islam, Radical Arab
Nationalism and Political Islam, The Journal of North African Studies, Vol.
24, No. 2, (2017), 327-329, https://www.tandfonline.c om/doi/full/10.1080/ 3
629387.2018.1470131.

Ahmad Kamaruzzaman Bustamam, “Relasi Islam Dan Politik Dalam Sejarah Poli tik
Aceh Abad 16-17,” Al-Tahrir: Jurnal Pemikiran Islam, Vol. 16, No. 2
(October 28, 2 016): 267, http://jurnal.stainpon orogo.ac.id/i ndex.php/tahrir/
article/view/494.

Ahmad, Tsabit Azinar, “Sarekat Islam Dan Gerakan Kiri Di Semarang 1917-1920”,
Sejarah Dan Budaya, Vol. 8, No. 2, (Desember 2014): 225-231, http://journa
l.um.ac.id/index.php/sejarah-dan-budaya/article /view/4778.

Aisyah, Ti, Suhani, and Al Chaidar, “Darul Islam di Aceh: ANalisis Sosial-Politik
Pemberontakan Regional di Indonesia, 1953-1964,” in Climate Change 2013
- The Physical Science Basis, ed. Intergovernmental Panel on Climate Change
(Cambridge: Cambridge University Press, 2013), 1–30, https://www. cambrid
ge.org/core/prod uct/identifier /CBO9781107415324A009/type/boo k_part.

Adam, adzli et al., “Polemics of the Islamic Caliphate: A View From Ali Abd. Al-
Raziq,” Mediterranean Journal of Social Sciences (July 1, 2015), http://www
. mcser .org/j ournal/index.php/mjss/article/view/ 706.

Africanus, Polycarp ‚Chapter Three Research Methodology,‛ in Female Genital


Cutting and Gender Relations in Kurya Society (Peter Lang, 2016),https://w
ww.peterlang.com/view/9783653047455/9783 653047455.00014.xml

Afrida, “Hakikat Manusia dalam Perspektif Al-Qur`an”, AL-QISTHU, Vol.16, No.2,


(December 2018): 54-59, http://jurnal.fs.iainkerinci.ac .id/index.php/alqisthu.

253
Aguirre, David Israel González, ‚State-of-the-Art,‛ in Cognitive Systems Monogra
hs, 2019, 11–34, http: // link.springer.com /10.1 00 7/978-3-319-97841-3_2.
Ahyar, Muzayyin, “Almawardi Dan Konsep Khila>fah Islamiyyah: Relevansi Sistem
Politik Islam Klasik Dan Politik Modern,” Al-A‘raf : Jurnal Pemikiran Islam
dan Filsafat, Vol. 15, No.1 (June 30, 2018): 1, http://ejournal.iainsurakarta.ac
. id/index.php/al-araf/article/ view/1123.

Alam, Lukis,“Islamization, Piety, Fundamentalism: Religious Movement In


Campus,” Islam Realitas: Journal of Islamic & Social Studies, Vol. 4, No. 2
(December 25, 2018): 104, https://ejournal.iainbukittingg i.ac.id/in d ex.ph p/I
slam_realitas/article/view/785.

Alatas, Syed Farid, “Ibn Khaldun (1332-1406),” in Sociological Theory Beyond the
Canon, 2017. http://link.springer.com/10.1057/978-1-137-41134-1_2.

Alexander P. Maslow and V. F. Asmus, ‚Logika,‛ The Journal of Philosop hy, Vol. 4
6, No. 4 (February 17, 1949): 105, http://www.pdcnet. org/oom/s ervice?ur l
ver=Z39.88-2004&rftvalfmt=&rft.imuseid=jphil19490046000401050108 &s
vcid=info:www.pdcnet.org/collection.

Ahmad,“Anas, “Konsep Ima>mah Dalam Perspektif Syi‟ah Ima>miyah”, Empirism


a, Vol. 27, No 1, (Januari 2018): 1-18, https://jurnal.iaink ediri.ac.i d/index.
php/em pirisma/article/view/739.

Anshori, Cecep Sudirman, “Ukhuwah Islamiyah Sebagai Fondasi Terwujudnya


Organisasi Yang Mandiri Dan Profesional,” Jurnal Pendidikan Agama Islam -
Ta‟lim Vol. 14 No. 1 – 2016: 117-125, htt p://jurnal.upi.edu/file/08_Ukhuw
ah _Islamiyah_Sudirman.pdf.

Apipudin, “Daud Beureu‟eh and The Darul Islam Rebellion in Aceh,” Buletin Al-
Turas, Vol. 22, No. 1 (January 31, 2016): 145–167, http://journa l.uinjkt.ac.i
d/index.php /al-turats/article/view/7221.

Arifin, Muhammad and Khadijah Binti Mohd Khambali @ Hambali, “Islam Dan
Akulturasi Budaya Lokal Di Aceh (Studi Terhadap Ritual Rah Ulei Di
Kuburan Dalam Masyarakat Pidie Aceh),” Jurnal Ilmiah Islam Futura, Vol.
15, No. 2 (1 Februari 2016): 251, http://jurnal.ar-raniry.ac.id/index.php/islam
futura/article/view/545.

Arifin, Muhammad, “Islam dan Akulturasi Budaya Lokal di Aceh: Studi Terhadap
ritual Rah Ulei di Kuburan Dalam Masyarakat Pidie Aceh”, Islam Futura,
Vol. 15, No. (Februari 2016): 251-284, https://j urnal.ar-raniry.ac.id/index.ph
p/islamfutura/article/view/545/451.

Arnason, Johann P. and Georg Stauth, “Civilization and State Formation in the
Islamic Context: Re-Reading Ibn Khaldūn,” Thesis Eleven, Vol. 76, No. 1

254
(February 2, 2004): 29–48, http://journals.sagepub.com/do i/10.117 7/0725 51
3604040260.

Annur, Barsihannor, “Pemikiran Abu Al-A‟la Al-Maududi,” Jurnal Adabiyah, Vo.


15, No. 5(2015). http://journal.uin-alauddin.ac.id/ind ex.php/adabiyah/artic
le/view/261.

A.S, Aa Bambang “Demokrasi, Komunikasi Politik Indonesia Dan Globalisasi


(Identifikasi Dan Harapan Perencanaan Ulang),” Jurnal Studi Komunikasi
dan Media, Vol. 19, No. 2 (December 1, 2015): 303, https://jurnal.kominfo.g
o.id/index.php/jskm/ar ticle/view/190211.

Asad, Talal, “Muhammad Asad between Religion and Politics,” İnsan & Toplum
Dergisi (The Journal of Human & Society), Vol. 1, No. 2, (2011), http://insa
nvetoplum.org/e n/issues/2/r0001.

Bahadili, Muhammad Baqir, Al "The Theoretical Basis of the Concept of the State in
the Political Islamic Modern Ideology,” The Scientific Journal Arab Academy
in Denmark, no. 20 (January 2017): 129–167, http://platform.alm
anhal.com/MNHL/Preview/?ID=2-100666.

Bartlett, Lesley and Frances Vavrus, “Comparative Case Studies,” Educação &
Realidade, Vol. 42, No. 3 (July 2017): 899–920, http://www.scielo.br/sci elo
.php?scri pt=sci_arttext&pid=S2175-62362017000300899&lng=e n&tl ng=e
n.

Basyir, Kunawi, “Ideologi Gerakan Politik Islam Di Indonesia,” Al-Tahrir: Jurnal


Pemikiran Islam, Vol. 16, No. 2 (December 22, 2016): 339, http://ju rnal.stai
nponor ogo.ac.id/index. php/tahrir/article/view/423.

Bahruddin, E., “Kepemimpinan Dalam Perspektif Islam” Vol. 8, No. (2015), http://e
journal.ui ka-bogor.ac.id/index.php/FIKRAH/article/ view/222.

Bartlett, Lesley and Frances Vavrus, “Comparative Case Studies,” Educação &
Realidade, Vol. 42, No. 3 (July 2017): 899–920, http://www.sciel o.br/ sciel
o.php?script=sci_arttext&pid=S2175-62362017000300899
&lng=en&tlng=en.

Basyir, Kunawi, “Ideologi Gerakan Politik Islam Di Indonesia,” Al-Tahrir: Jurnal


Pemikiran Islam, Vol 16, No. 2 (December 22, 2016): 339, http://ju rnal.stai
nponorogo.ac.id/index.php/tahrir/article/view/423.

Benson, Hugh H., “Plato: Republic,” in Central Works of Philosophy (Acumen Pub
lishing Limited, 2005), 18–45, https://www.cambrid ge. org/core/product/i
dentif ier/CBO9 781844653 584A008/type/bo ok_p art.

Bereczkei, Tamas, “Evolutionary Behavioral Sciences Machiavellian Intelligence


Hypothesis Revisited : What Evolved,” Evolutionary Behavioral Sciences

255
(2017). Vol. 12. No.1(2018): 32-51.http://doi.a pa.org/getdoi.cfm?doi=10.10
37/ebs0000096.

Bohnsack, Ralf, “Qualitative Methoden Der Bildinterpretation,” Zeitschrift für


Erziehungswissenschaft (2003).http://link.springer.com/10.1007/ s1618-003-
0025-2.

Bohnsack, Ralf, “Qualitative Methoden Der Bildinterpretation,” Zeitschrift für Erzi


ehungswissenschaft, (2003).http://link.springer.com/10.1007 /s11618-003-
0025-2.

Boty, Middya, “Agama Dan Perubahan Sosial (Tinjauan Perspektif Sosiologi


Agama),” Istinbath/No.15/Th. XIV/Juni/2015/35-50, htt://j urnal.radenfatah.
ac.id/index.php/istinbath/article/view/776.

Boxill Bernard R., “Tommie Shelby: Dark Ghettos: Injustice, Dissent, and Reform,”
The Journal of Philosophy (2018). http://www.pdcnet.org /oom/service?
url_ver=Z39.882004&rft_val_fmt=&rft.imuse_id=jphil_2018_0115_0001_00
52_0056&svc_id=info:www.pdcnet.org/collection.

Brata, Ida Bagus, Ida Bagus Nyoman Wartha, “Lahirnya Pancasila Sebagai
Pemersatu Bangsa Indonesia”, Jurnal Santiaji Pendidikan, Vol. 7, No. 1,
(Januari 2017): 120-132, http://jurnal.unmas.ac.id/index.php/J SP/article/vie
w/800/745.

Brooke, Steven and Neil Ketchley, “Social and Institutional Origins of Political
Islam,” American Political Science Review, Vol. 112, No. 2 (May 6, 2018):
376–394, http s://www.cambridge.org/core/product/identif i er/S00030 5541
7000636/type/journal_article.

B.S, Abdul Wachid. Wachid B.S., “Hermeneutika Sebagai Sistem Inte Rpretasi Paul
Ricoeur Dalam Memahami Teks-Teks Seni,”Im aji, Vol. 4, No. .2, (No
vember 6, 2015),https://journal.uny.ac.id/index.p hp/i maji/article/view/6712.

Budiyono, “Memperkokoh Idiologi Negara Pancasila Melalui Bela Negara,”


Citizenship Jurnal Pancasila dan Kewarganegaraan, Vol. 5, No. 1 (April 29,
2017): 55, http://e-journal.unipma.ac.id/index.ph p/citiz enship/article/vi
ew/1148

C., Jorge Morán, “Aristóteles - Política,” Tópicos, Revista de Filosofía, Vol. 3, No. 1
(2013): 133, http://topicosojs.up.edu.mx/ojs/index.php/ topicos/article/view /
538.

Cairney, Paul and Emily St Denny, “What Is Qualitative Research (Bloomsbury),”


International Journal of Social Research Methodology (2015).http://
www.tandfonline.com/ doi/ abs/10.1080/ 13645579.2014.95 7434.

256
Cawthon, David, “The Divine Right of Kings,” in Philosophical Foundatio ns of
Leadership (Routledge, 2017), 4150,https://w ww.taylorfrancis .com/books/
978135 1324595/chapters/10 .4324/ 9781351324601-6.

Chandranegara, Ibnu Sina, “Fungsi Falsafah Negara Dalam Penerapan Konsep


Negara Hukum,” JURNAL CITA HUKUM, Vol. 2, No. 1 (June 1, 2014), http
://journal.uinjkt.ac.id/index.ph p/citahukum/article/view/ 1448.

Cesari, Jocelyn Ozkan, Muh}ammad Fateh, ‚S}ah}watu al dimuqratiyat} al- Isla>miyyah:


al-Di>n walh}adathat wa al-Daulah‛, Majalatu ar-Rukyat Turkia, (2016): 196,
https://search.mandumah.com/Record/853727.

Cooper, I. Diane, “Research: The Opportunity Wheel Keeps Turning,” Jour nal of
the Medical Library Association : JMLA (2011). http://www.n cbi.nlm.nih.go
v/pmcarticles/PMC 3066575/.

Crowther Susan et al., “Crafting Stories in Hermeneutic Phenomenology Research: A


Methodological Device,” Qualitative Health Research, Vol. 27, No. 6 (May
26, 2017): 826–835, http://journals.sagepub.co m/doi/10.1177 /104973
2316656161.

Cawthon, David,‚The Divine Right of Kings,‛ in Philosophical Foundations of


Leadership (Routledge, 2017), 4150,https://w ww.taylorfrancis. com/books/
978135 1324595/chapters/10 .4324/ 9781351324601-6.

C. Christine Fair, Neil Malhotra, and Jacob N. Shapiro, ‚Faith or Doctrine? Religion
and Support for Political Violence in Pakistan,‛ Public Opinion Quarterly
76, Vol. No. 4 (2012): 688–720, https://academic. oup. com/poq/a rticle-
lookup /doi/10.1093/poq/nfs053.

C, Jorge Morán., “Aristóteles - Política,” Tópicos, Revista de Filosofía, Vol. 3, No. 1


(2013): 133, http://topicosojs.up.edu.mx/ojs/index.php/topic os/articl e/view/
538.

Choksy, Jamsheed K. :‚:God’s Rule: Government and Islam.,‛ The American


Historical Review, Vol. 110, No. 4 (October 2005): 1125–1126,https:/ /acade
mic.oup.com/ahr/article-lookup/do i/10.1086/ahr .110.4. 1125.

Cooper, I. Diane, “Research: The Opportunity Wheel Keeps Turning,” Journal of the
Medical Library Association : JMLA (2011). http://w ww.ncbi. nlm.nih.g
ov/pmc/articles/PMC 3066575/.

Crone, Patricia, Medieval Islamic Political Thought, Medieval Islamic Political


Thought, Die Welt des Islams, Vol. 49, No. 3-4, (2014): 479-480 https://brill
.com /view/jour nals/wdi/4 9/3-4/article-p479_10. xml.

Crowther, Susan et al., “Crafting Stories in Hermeneutic Phenomenology Research:


A Methodological Device,” Qualitative Health Research, Vol. 27, No. 6

257
(May 26, 2017): 826–835, http://journals.sagepu b.com /doi/10.1177/104973
2316656161.

Dedi, Syarial, “Pemimpin Rumah Tangga Dalam Tafsir (Kaji Ulang Pendapat
Feminis Dengan Metode Ta‟wīl),” Al-Ahwal: Jurnal Hukum Keluarga Islam,
Vol. 11, No, 2 (2020): 1, http://ejournal.uin -suka.ac.id/syariah/Ahwal/artic
le/view/1560.

Diana, Rashda, “Al-Mawardi dan Konsep Kenegaraan dalam Islam” Tsaqafah Jurnal
Peadaban Islam, Vol. 13, No. 1, (Mei 2017): 157-176, https://ejourna
l.unida.gontor.ac.id/ind ex.php/tsaqafah/article/vi ewFile/ 981/777.

Dietz, Mary G. and Ilya Winham, “Niccolò Machiavelli,” in The History of Western
Philosophy of Religion, ed. Graham Oppy (Durham: Acume n Publishing
Limited, 2010), 19–32,https://www.cambridge. or g/core /produ ct/identifier/
CBO9781844654659A008/type/book_ part

Dinny Devi Triana, ‚Smart Kinesthetic Measurement Model in Dance


Composision,‛ Harmonia: Journal of Arts Research and Education , Vol. 17,
No. 1 (June 15, 2017): 58, https://journal.unnes.ac.id/nju /i ndex.php/harmon
ia/articl e/view /8257.

Dudley, Robert I. Dudley et al., “A Prospective Comparison of Lower Extremity


Kinematics and Kinetics between Injured and Non-Injured Collegiate Cross
Country Runners,” Human Movement Science (2017). https://linkinghub.else
vier.com /retrieve/pii/S01 6794571730 1240.

F, Ronald, van Vollenhoven, “Treatment of Rheumatoid Arthritis: State of the Art


2009,” Nature Reviews Rheumatology, Vol. 5, No. 10 (Octo ber 2009): 531–
541, http://www.nature .com/articles/nrrheum. 2009. 182.

Fadillah, Randy, “T A N M A L A K A (Ditinjau Dari Presfektif Per-juangan


Bangsa),” Jurnal Artefak, Vol. 4, No. 1 (September 25, 2017): 61, https://ju
rnal.unigal.ac.id/index. php/artefak/article/view/736.

Fair C. Christine, Neil Malhotra, and Jacob N. Shapiro, “Faith or Doctrine? Religion
and Support for Political Violence in Pakistan,” Public Opinion Quarterly,
Vol. 76, No. 4 (2012): 688–720, https://academic .oup.com/poq/article-looku
p/doi/10.1093/poq/nfs05 3.

Frank Wilhelm and Jürgen Margraf, “Nägelkauen: Deskription, Erklärungs ans ätze
Und Behandlung,”Verhaltenstherapie, Vol. 3, No. 3, (1993):176–19 6,https://
www.karger.com/Article/FullText/258770.

Felden, Heide von, “Narratives Interview,” in Handbuch Qualitative Erwachsenen-


Und Weiterbildungsforschung (Verlag Barbara Budr ich, 2012), 334–346,
http://www.jstor.o rg/stable/10.2307/j.ctv ddzk 9g.28.

258
Firdaus, Robitul, “Nasionalisme „Jalan Tengah‟: Mengurai Potensi Bentu ran
Ideologi Nasionalisme Dan Sentimen Ummah Di Era Nation State,”
AKADEMIKA: Jurnal Pemikiran Islam, Vol. 23, No. 2, (September 19,
2018): 307, http://e-journal.metrouniv.ac.id/index. p hp/akademik a/art
icle/view/1105.

Fua, Jumarddin La, “Aktualisasi Pendidikan Islam Dalam Pengelolaan Lingkungan


Hidup Menuju Kesalehan Ekologis”, Jurnal Al-Ta‟dib Vol. 7 No. (1 Januari-
Juni 2014): 19-36, https://media.neliti.com/me dia/publications/235728-
aktualisasi-pendidikan-islam-dalam-penge-123d49ab.pdf.

Gade, Syabuddin, “Konsep Pendidikan Islam Dalam Perspektif Pemikiran Ali


Hasjmy (Analisis Hakikat dan Tujuan Pendidikan Islam)”, FITRA, Vol. 1,
No. 2, (Juli-Desember 2015): 29-35, https://docplay e r.info/96213061-
Konsep-pendidikan-islam-dalam-perspektif pemi kir an-ali-hasjmy-analisis-
hakikat-dan-tujuan-pendidikan-islamsyab uddin-gade-1.html.

Gonzales Aguire, David Israel González, “State-of-the-Art,” in Cognitive Systems


Monographs, 2019,11–34, http: //link.springer.com /10.100 7/978-3-319-
97841-3_2.

Gross, Richard, “The Social Psychology of Good and Evil,” in Being Human
(Routledge, 2019), 158–181, https://www.taylorfrancis.com /books/9 780429
621918/chapte rs/10.4324/9780429055003-8.

Gustaman, David Hicks and Clifford Geertz, “Negara: The Theatre State in
Nineteenth-Century Bali.,”Man, Vol. 17, No. 3 (September 1982): 571, https:/
/www. jstor.o rg/stable/ 2801 735?origin=crossref.

_____, Randy Fadillah, “Tan Malaka (Ditinjau Dari Presfektif Per-juangan Bangsa),”
Jurnal Artefak, Vol. 4, No. 1 (September 25, 2017): 61, https://jurnal.unig
al.ac.i d/index. php/artefak/article/view/ 736.

Hadi, Khoirul, “Pemikiran Politik Rasyid Ridha Dalam Fiqh Munakahat,” HUNAFA:
Jurnal Studia Islamika, Vol. 1, No. 2 (December 15, 201 3):221,
http://jurnalhuna fa.org/index.php/hunafa/article/view/ 27.

Hamidy, Abu Dzarrin, Al, “Landscape Pemikiran Abu Al-A‟la Al-Mawdudi (1903-
1979) Tentang Konsep Negara Islam,” al-Daulah: Jurnal Hukum dan
Perundangan Islam, Vol. 1, No. 2 (October 1, 2011): 207–239, http://jurnalfs
h.uinsby.ac.id/index.php/aldaulah/article/view/45.

Harsanyi, Tom P., “Social Democracy,” in International Encyclopedia of the Social


& Behavioral Sciences (Elsevier, 2015), 242–244, https://linkinghub.elsevie
r.com/retrieve/pii/B9780080970868931283.

Haryanto, Joko Tri, “Relationship, Transformation and Adaptation of The


Traditionalists Against Puritanism in Surakarta Indonesia,” Analisa, Vol. 22,

259
No. 2 (December 11, 2015): 239, http://blasemarang.kem enag.go.i d/journal/
index.php/analisa/article/view/207.

Hasan, Hamsah, “Hubungan Islam Dan Negara: Merespons Wacana Politik Islam
Kontemporer Di Indonesia,” Al-Ahkam 1, no. 25 (April 25, 2015): 1 9,
http://jou rnal.waliso ngo.ac.id/index.php/ahkam/article/ vi ew/192.

Hassan Muhammad Haniff, Bin, ‚Explaining Islam’s Special Position and the
Politic of Islam in Malaysia,‛The Muslim World, Vol. 97, No. 2, (April 200
7):287–316,http://doi.wiley.com/10.1111/j.1478-1913.2007.001 74.x.

Hasan, Nor, “Agama Dan Kekuasaan Politik Negara,” KARSA: Jurnal Sosial dan
Budaya Keislaman, Vol. 22, No. 2 (March 12, 2015): 260, http://ejour nal.sta
inpamekasan.ac.id/ind ex.php/k arsa/article/vie w/532 .

Hassanzadeh, Navid, “Realism and Its Limitations for Ibn Khaldūn,” The Journal of
North African Studies (May 16, 2019): 1–22, https://ww w.tandfonline.com
/doi/f ull/10.108 0/13629387.2019.161 3982.

Hasan, Noorhaidi, “Book Review: Islam Politik, Teori Gerakan Sosial, Dan
Pencarian Model Pengkajian Islam Baru Lintas-Disiplin,” Al-Jami‟ah:
Journal of Islamic Studies, Vol. 44, No. 1 (June 1, 2006): 241, http://www.al
jamiah.or.id/index.php/AJIS/article/view/56.

Heryati, “Ulama Dan Ulee Balang: Potret Revolusi Sosial Di Aceh Tahun 1945-
1946”, HISTORIA, Vol. 3, No. 2, ( 2015): 83-89, https://ojs.fki p.ummetro.ac
.id/index.php/sejarah/article/view/85/0.

Hill, Mark, “Legal Theology,” Journal of Law and Religion, Vol. 32, No. 1 (March
5, 2017): 59–63, https://www.cambridge.org/core/product/id entif ier/ S0748
081417 0 00200/type/jour.

Holleman, J. F., ed., Van Vollenhoven on Indonesian Adat Law, Van Vollen hov en
on Indonesian Adat Law (Dordrecht: Springer Netherla nds, 1981), http://lin
k.springer.com/10.1007/978-94-017-5878-9.

Holler, Manfred J., “Niccolò Machiavelli On Power,” in Niccolò Machia vell i, 2019:
27-47. https://brill.com/view/book/edcoll/978904 2032 781/B 9789042
032781-s004.xml.

Huda, Khoiril and Zulfa Azzah Fadhlika, “Pemilu Presiden 2019 : Antara Kontestasi
Politik Dan Persaingan Pemicu Perpecahan Bangsa,” Jurnal Ilmu Politik, Vol.
4, No. 3 (2018): 547-562, https://docpl ayer.i nfo/113159690-Pemilu-pre
siden-2019-antara-kontestasi-politik-dan-persaingan-pemicu-perpecahan-
bangsa.htm.

Husnan, Dinul and Muhammad Sholihin, “Ulama, Islam, Dan Gerakan Sosial-
Politik: Reposisi Ulama Dalam Gerakan Sosio-Politik Islam Indonesia,”

261
FOKUS Jurnal Kajian Keislaman dan Kemasyarakatan, Vol. 2, No. 1 (June
12, 2017): 1, http://journ al.iaincurup.ac.i d/index. php/JF/article/view/203.

Ibrahim, Taufik, “Islam and Partial Modernization: „There Was No Liberation from
Medieval Elements,‟” Gosudarstvo, Religiia, Tserkov‘ v Rossii i Za
Rubezhom/State, Religion and Church in Russia and Worldwide, Vol. 35, No.
3,(2017), http://www.religion.r anepa.ru/?q=ru/node/1555.

Ibrahim, T. Alflan Muhammad Ibrahim, M Arifn, Nauuddin Sulaiman, Rusdi Sufi,


Zakaria Ahmad, Hasan Mu‟arif Ambary, "Sejarah Daerah Propinsi Daerah
Istimewa Aceh", Journal of Chemical Information and Modeling, 1970): 1-30,
https://www.cambridge. org/core/produ ct/identifier/CBO97811074153
24A00 9/type/book_p art.

Iramdhan, “Paham Nasionalisme Dan Pergerakan Kebangsaan Di Indonesia Dari


Tahun 1900-1942,” Sosio e-kons, Vol. 9, No. 1 (June 17, 2017): 46,
https://journal.lppmunindra.ac.id/index.php/so sio_eko ns/article/view/1687.

Ismail, Badruzzaman,“Ureung Aceh, Meunasah, Gampong: Lhee Sagoe Teukurong,


Saboh Citra Budaya”, https://maa.acehprov.go.id/news /detail/f ungsi-
meunasah-sebagai-ikon-budaya-adat-aceh1.

Itzhak, Svetla Ben-, “Islamic Political Thought,” in 21st Century Political Science: A
Reference Handbook (2455 Teller Road, Thousand Oaks California 91320
United States: SAGE Publications, Inc., 2011), 568–576, http://sk.sagepub.
com/reference/21stcenturypolisc i/n67.x ml.

Jati, Wasisto Raharjo, “Ulama Dan Pesantren Dalam Dinamika Politik Dan Kultur
Nahdlatul Ulama,” ULUL ALBAB Jurnal Studi Islam (September 17, 2013),
http://ejournal.ui n-malang.ac.id/index.php/ul ulalbab/article/view/2377.

Jarvis, Helen, “Tan Malaka: Revolutionary or Renegade?,” Critical Asian Studies


(1987). Bulletin of Concerned Asian Scholars. Vol. 9. No. 1. (1989). 41-54.
https://www.tandfonline. com/doi/full/10.1080/14672 715.1987.10409868.

K. Suhandang, K, “Ali Hasjmy Dan Penulisan "Dustur Dakwah Menurut Al-Qur'an”,


Jurnal Alqalam, VOL. 19, (2002):. 37, http://jurnal.uinb ant e n.ac.id/i
ndex.php/alqalam/article / view/1007.

Kaufman, Daniel, “Redating the Social Revolution: The Case for the Middle
Paleolithic,” Journal of Anthropological Research 58, no. 4 (Decemb- er
2002): 477–492, https://www.journals.uchicago.edu/d oi/10.1086/jar.58.4.3
630676.

Kumar, T. M. Vinod, “State of the Art of E-Democracy for Smart Cities,” 2017, 1–
47, http://link.springer.com/10.1007/978-981-10-4035-1_1.

261
______,“Menilai Ulang Gagasan Negara Khilâfah Abû Al-A‟lâ Al-Maudûdî,”
Ulumuna, Vol. 12, No. 2 (November 5, 2017): 275–300, http://u lumun
a.or.id/i ndex.php/ujis/article/view/175.

Khadduri, Majid, “Jean And Simonne Lacouture. Egypt in Transition. Translated by


Francis Scarfe. Pp. 532. New York: Criteri on Books, 1958. $7.50,” The
ANNALS of the American Academy of Political and Social Science, Vol. 323,
No. 1 (May 8, 1959): 169–169, http://journals.s agepub.com/doi/10.1177/000
271 62593230 0130.

Kurniawan, Bagus Ananda, “Redesign Campaign Strategy Melalui Perpaduan


Political Marketing Dan Nilai Luhur Tan Malaka Untuk Meningkatkan
Kualitas Demokrasi Dalam Menghadapi Pemilihan Kepala Daerah Di Jawa
Timur (Pilkada),” ARISTO, Vol. 4, No. 1 (August 5, 2016): 24, http://journal.
umpo.ac.id/index.php/aristo/article/view/ 177.

Laszlo Zsolnai, Bernadette Flanagan, and Ralph W. Hood, “The Psychology of


Religion and Spirituality,” in The Routledge Internati onal Handbook of
Spirituality in Society and the Professi ons, 2019. https://www.taylorfra
ncis.com/books/978 13154 45472/cha pters/10. 4324/9781315445489-2.

Lapidus, I. M., “State And Religion In Islamic Societies,” Past & Present, Vol. 151,
No. 1, (1996): 3-27, https://academic.oup.com/p ast/article -lookup/doi/1
0.1093/past/151.1.3.

Lawrence, Bruce, Edmund Burke, and Ira M. Lapidus, “Islam, Politics, and Social
Movements.,” Pacific Affairs, Vol. 64, No. 1, (1991): 86, http s://www.jstor.
org/stable/27603 65?origin=crossref.

Lowry, Josep, “The Fall and Rise of the Islamic State,” Islamic Law and Society,
Vol. 18, No. 1 (2011): 124–126, https://brill.com/view/jour nals/ils/ 18/1/arti
cle-p124_6.xml.

L Marilyn, Booth, Issa J. Boullata, and Terri DeYoung, “Tradition and Modernity in
Arabic Literature,” World Literature Today, Vol. 72, No. 2 (1998): 448,
https://www.jstor.org/stab le/10.2307/40153965? origin = crossref.

Madani, Abubakar, “Dakwah dan Perubahan Sosial: Studi Terhadap Peran Manusia
sebagai Khalifah di Muka Bumi”, Lentera, Vol. 1, No. 1, (Juni 2017): 1-15,
https://journal.iai n-samar inda.ac.id/index.php/le ntera/article/view/851/536.

Majid, M. Shabri Abd., “Revitalisasi Pendidikan Aceh, Jurnal Pencerahan, Vol. 10,
No. 2, (September 2016): 62 – 73, https://cor e.ac.uk/downl oad/pdf/2898633
89.pdf.

Maksum, Ali, “Model Pendidikan Toleransi Di Pesantren Modern Dan Salaf,” Jurnal
Pendidikan Agama Islam (Journal of Islamic Education Studies), Vol 3, No. 1

262
(February 7, 2016): 81, http://jurna lpai.ui nsby.ac.id/index.php/jur nalpai/
article/view/40.

Malcolmson, Cristina,‚SMITH, Justin E. H. Nature, Human Nature, and Human


Differ ence: Race in Early Modern Philosophy,‛Archives of Natural History
(2017).http://w ww. euppub lishing. com/doi/10336 6/anh.2017.0430.

Manan, Nuraini A., “Sekilas Tentang Konsepsi Kenegaraan Dalam Pandan-gan Ali
Hasjmy”, SUBSTANTIA, Vol. 12, No. (1April 2010): 141

Mannan, Abd, “Islam Dan Negara,” Islamuna: Jurnal Studi Islam, Vol. 1, No. 2
(October 8, 2014), 2, http://ejournal.stainpamekasan.ac. id/ind ex.php/islam
una/article/v iew/566.

Manan, Firman, “Sosialisme Islam: Perspektif Pemikiran Politik H.O.S.


Tjokroaminoto,” Jurnal Wacana Politik, Vol. 1, No. 1 (March 2, 2016), http:/
/jurnal.unpad.a c.id/w acanapolitik/artic le/view/10543.

Mannan, Abd. “Islam dan Negara” Islamuna Volume, Vol. 1 No. 2, (2014): 188,
http://ejournal.stainpamekasan.ac.id/index.php/islamuna/articl e/ view/566/5
48.

Marcela Macedo Diniz Mapurunga and Gabriele Cornelli, “A República de Riobaldo:


Metafísica Platônica No Grande Sertão,” O Eixo e a Roda: Revista de
Literatura Brasileira, Vol. 28, No. 1 (March 21, 2019): 179–204, https://tst08
.lcc.ufmg.br/seerufmg/migracao /letras/temp/i ndex. php/o_ eixo_ea_roda/a
rticl e/view/13352.

Mardhiah, Nellis, “Problematika Kebijakan Syariat Islam Di Aceh Berdasar kan


Peraturan Bupati Nomor 5 Tahun 2010,” Pandecta: Research Law Journal,
Vol. 11, No. 2, (2 Desember 2017): 147-159, https://journal.unnes.ac.id/nju/i
ndex. php/pan decta/article/view/785 9.

Martin Reisigl, "The Routledge Handbook of Critical Discourse Studies", ed. John
Flowerdew and John E. Richardson, The Routledge Handb ook of Critical
Discourse Studies (Routledge, 2017), https://www.t aylor francis.com/ books
/9781317 576501.

Maryanto, and Lilis Noor Azizah, “Perubahan Sosial Budaya Masyarakat Desa
Ngebalrejo Akibat Kemajuan Ilmu Pengetahuan Dan Tekno logi,” Indonesian
Journal of Social Science Education (IJSSE) Vol. 1, No. 2, Juli 2019.
Https://ejournal.iainbengkulu.ac.i d/index.ph p/ij sse/article/view/2247.

Maslow, Alexander P. and V. F. Asmus, “Logika,” The Journal of Philosophy, Vol.


46, No. 4 (February 17, 1949): 105, http://www .pdc net. org/oom/service?u
rl_ver=Z39.88-2004&rft_val_fmt=&rft .imuse _id =j phil_ 1949_ 0046_ 0 0
04_0105_0108&svc_id=info:w ww.pdc net.org/collection.

263
Masroer, “Gagasan Nasionalisme Indonesia Sebagai Negara Bangsa dan Relevansi
dengan Konstitusi Indonesia”, Jurnal Sosiologi Agama: Sosiologi Agama dan
Perubahan Sosial, Vol. 11, No. 2, (Juli-Desember 2017): 299-238, http://
ejournal.uin-suka.ac .id/ushuluddin/ SosiologiAgama/article/view/1297/119
1.

Mapurunga, Marcela Macedo Diniz and Gabriele Cornelli, “A República de


Riobaldo: Metafísica Platônica No Grande Sertão,” O Eixo e a Roda: Revista
de Literatura Brasileira, Vol. 28, No. 1 (March 21, 2019): 179–204,
https://tst08.lcc.ufmg.br/seerufmg/mi gracao /letras/temp/in dex.php/o_eixo_
ea_roda/article/view/13352.

Mayasari, Ros, “Religiusitas Islam Dan Kebahagiaan (Sebuah Telaah Dengan


Perspektif Psikologi),” Al-Munzir Vol. 7, No. 2, November 2014, ht tp://ejou
rnal.iainkendari.ac.id/al-munzir/article/view/281.

Mercer, Marcia, ‚A Modern Approach,‛ Nursing Standard "1, no.38 (June 4, 2003):
58–59, http://journals.rcni.com/doi/10.7748/ns.17.38.58.s5 7.

Midttun, Atle, “Montesquieu for the Twenty‐ first Century: Factoring Civil Society
and Business into Global Governance,” ed. Atle Midttun, Corporate
Governance: The international journal of business in society, Vol. 10, No. 1
(February 23, 2010): 97–109, https://www.emerald. com/insight/content/doi/
10.1108/14720701011021148/full/html.

Miller, Robert and John Brewer, “Biographical Research,” in The A-Z of Social
Research (1 Oliver‟s Yard, 55 City Road, London England EC1Y 1SP United
Kingdom: SAGE Publications, Ltd, 2015), http://s rmo.sagepub.com/
view/the-a-z-of-social-research/n25.xml.

Moore, James, “The Sunni and Shia Schism: Religion, Islamic Politics, and Why
Americans Need to Know the Differences,” The Social Studies, Vol. 106, No.
5 (2015): 226-235, http://www.tandfonline.co m/doi/ful l/10.1080/00377
996.2015.1059794.

Munhanif, Ali, “Islam and the Struggle for Religious Pluralism in Indonesia: A
Political Reading of the Religious Thought of Mukti Ali,” Studia Islamika,
Vol. 3, No. 1, (March 30, 2014): 79-126, http://journal.uinj kt.ac.id/i ndex.ph
p/studia-islamika/article/view/ 814.

______, “Islam, Ethnicity and Secession: Forms of Cultural Mobili zation in Aceh
Rebellions,” Studia Islamika, Vol. 23, No. 1 (July 26, 2016): 1-28,
http://journal.uinjkt.ac.id/index.php/studia-islamika/arti cle/view/2 659.

______, “Al-Shawkah Al-Siyāsīyah Li Al-Afkār Al-Dīnīyah: Al-Ḥarakah Al-


Tajdīdīyah Al-Islāmīyah Wa Al-Ṭarīq Ilá Nuqṭat Iltiqā‟ Al-Islām Wa Al-
Dawlah,” Studia Islamika, Vol. 22, No. 1, (2015): 97-132, http://journal.uinj
kt.ac.id/index.php/studia-slamika/article/view/1389.

264
______, and M. Dahlan, “Lineages of Islamic Extremism in Egypt: Ikhwan Al-
Muslimun, State Violence and the Origins of Radical Politics,” Al-Jami‘ah:
Journal of Islamic Studies, Vol. 56, No. 2, (2018): 421-460, https://aljamiah.
or.id/i ndex.php/AJIS/article/view/56207.

Muttaqien, Dadan, “Kompromi Politik Antara Nasional Islami Dengan Nasionalis


Sekuler Sebuah Solusi Dalam Pemilihan Presiden Di Republik Indonesia,”
Al-Mawarid, Vol. 8 (2002). : 40-51, http://jurn al.uii.ac.id/index.php/JHI/arti
cle/view/6127.

Miller, Robert and John Brewer, “BIOGRAPHICAL RESEARCH,” in The A-Z of


Social Research (1 Oliver‟s Yard, 55 City Road, London England EC1Y 1SP
United Kingdom: SAGE Publications, Ltd, 2015), http://srmo.sagepub.com/v
iew/the-a-z-of-social-research/n25. xml.

Miller Obert and John Brewer, ‚BIOGRAPHICAL RESEARCH,‛ in The A-Z of


Social Research (1 Oliver’s Yard, 55 City Road, London England EC1Y 1SP
United Kingdom: SAGE Publications, Ltd, 2015), http://srmo.sagepub. com/
view/the-a-z-of-social-research/n2 5.xml.

Moore, James ‚The Sunni and Shia Schism: Religion, Islamic Politics, and Why
Americans Need to Know the Differences,‛ The Social Stu dies (2015).
http://www.tan df online.com/doi/full /10.1080/003779 96.20 15.1059794.

Mudzakkir, Amin, “Islam Dan Politik Di Era Kontemporer,” Epistemé: Jurnal


Pengembangan Ilmu Keislaman, Vol. 11, No. 1 (June 3, 2016), http://ejourna
l.iain-tulungagung.ac.id/index.php/epis/article/v iew/98.

Muammar, Arief, Amroeni Drajat, and Katimin Katimin, “The Relevance of Ali
Hasjmy‟s Thoughts on Islamic Country of Islamic Sharia Implementation in
Aceh,” Budapest International Research and Critics Institute (BIRCI-
Journal) : Humanities and Social Sciences, Vol. 2, No. 2 (May 14, 2019):
228–240, http://bircu-journal.com/ind ex.php/bi rci/a rticle/view/255.

Mudhoffir Abdil Mughis, “Teori Kekuasaan Michel Foucault: Tantangan Bagi


Sosiologi Politik,” Jurnal Sosiologi MASYAR AK AT Vol. 18, No. 1, (Janu
ari 2013): 75-100, http://journal.ui.ac.id/index.php/ mjs/ar ticle/view/373 4.

Muhammadiyah, Hilmi, “The Relation between Religion and State in Indonesia,”


Asian Social Science, Vol. 11, No. 28 (November 22, 2015): 9 8, http://www
.ccsenet.org/journal/index.php/ass/article/view/5064 9.

Mughal, Munir Ahmad, “Comparative Study of Western Concept of Law and Islamic
Concept of Law,” SSRN Electronic Journal (2012), http://www.ss
rn.com/abstract=2055906.

Mukhlis, “Keistimewaan dan Kekhususan Aceh dalam Perspektif Negara Kesatuan


Republik Indonesia”, Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 4, No. 1, (2014) ,

265
https://www.nelit i.com/id/publications/9093/keistimewaan-dan-kekhususan-
aceh-dalam-perspektif-negara-kesatuan-republik-indon.

Mukhis, Febri Hijroh, “International Human Right and Islamic Law: Sebuah Upaya
Menuntaskan Wacana-Wacana Kemanusiaan,” Muslim Heritage, Vol. 2, No.
1 (August 16, 2017):1,http://jurnal.stai nponorogo.ac.i d/index.php/muslimhe
ritage/article/view/1043.

Munawir, “Konsep Kenabian Menurut Ibnu Khaldun (Telaah Korelasi Kemaksuman


Dan Kemanusiaan Nabi Muhammad SAW),” Jurnal Penelitian Agama, Vol.
14, No. 1, (2014): 116-132, http://ejournal.i ai npurwokerto.ac.id/index.php/j
pa/article/view/3105.

Muslim, Nur Aziz, “Hukum Islam Dalam Prespektif Orientalis: Menelusuri Jejak
Pemikran Joseph Shacht,” Ahkam: Jurnal Hukum Islam, Vol. 5, No. 2,
(November 1, 2017), http://ejournal.iain-tulungagung.ac.id/ind ex.php/ahkam
/article/view/784.

Muthohar, Yasin, “Kewajiban Adanya Kepemimpinan Politik Dalam Perspektif


Fikih,” Jurnal Kajian Peradaban Islam, Vol. 1, No. 1 (April 29, 2018): 35–49,
https://www.jkpis.c om/ind ex.php/jkpis/art icle/view/1 2.

M.P., Luhut Pangaribuan, “Hak Asasi Manusia,” Jurnal Hukum & Pembangunan,
Vol. 19, No. 6 (June 13, 2017): 519, http://jhp.ui.ac.i d/index.php/home/ar
ticle/view/1180.

Nasrah, “Perempuan Dan Pemimpin Dalam Islam (Suatu Kajian Islamologi)”, e-USU
Repository Universitas Sumatera Utara, (200 4): 1-12, http://repository .usu.a
c.id/bitstream/handle/123456789/164 7/arab-nasrah.pdf; jsessionid=3
BB416A C9730472D868CF4A5DE32 192 9?sequence.

Navabzadeh, Zahra and Aliakbar Amini, “To Review and Analyze Though ts and
Political Ideas of Muhammad Abduh and Ali Abd Al-Raziq,” Journal of
Politics and Law, Vol. 9, No. 10 (November 30, 2016): 163, http://www.ccse
net.or g/journal/index.php/jpl/article/view/ 64776.

Nugroho, Heru, “Demokrasi Dan Demokratisasi: Sebuah Kerangka Konseptual


Untuk Memahami Dinamika Sosial-Politik Di Indonesia,” Jurnal Pemikiran
Sosiologi, Vol. 1, No. 1, (2015), https ://jurnal.ugm.ac.id/jps/article/view/23
419.

Nader, Alireza, David Thaler, and S. Bohandy, The Next Supreme Leader:
Succession in the Islamic Republic of Iran, The Next Supreme Leader:
Succession in the Islamic Republic of Iran (RAND Corporation, 2011),
https://www.rand.org/pubs/monographs/MG105 2.html.

Nambo, Abdulkadir and Muhamad Puluhuluwa, “Memahami Tentang Beberapa


Konsep Politik (Suatu Telaah Dari Sistem Politik),” MIMBAR : Jurnal Sosial

266
dan Pembangunan, Vol. 21, No. 2(Juni 2005): 262-285, https://ejournal.unis
ba.ac.id/index.php/mimbar/arti cl e/view/177/pdf.

Novianto Ari Prihatin, “Islam Dan Demokrasi: Sebuah Ijtihad Partai Politik Islam
(Studi Kasus Partai Masyumi Dan Partai Keadilam Sejah tera),” Mozaik:
Jurnal Ilmu-Ilmu Sosial dan Humaniora, Vol. 8, No. 1 (August 31, 201 6),
https://journal.uny.ac.id/index.php/m ozai k/article/view/1076 9.

Nugroho, Anjar, “Wacana Islam Dan Negara Era Pra-Kemerdekaan: Pergul atan
Ideologis Kelompok Islam Dan Nasionalis Sekuler,” Afkaruna, Vol. 9, No. 2
(2013): 129–147, http://journal.umy.ac.id/index.ph p/a fkaruna/article/view/3
7.

Oliver J., “Summary for Policymakers,” in Climate Change 2013 - The Physical
Science Basis, ed. Intergovernmental Panel on Climate Change (Cambridge:
Cambridge University Press, 2013), 1–30, https ://www.cambridge.org/cor
e/p roduct/identifier/CBO978110741 5324 A009/type/book_part.

Pandey Krishna, Nath, ‚Research Methodology,‛ in Studies in Systems, Decision


and Control, 2016, 111–127, http://link.springe r.com/10. 1007/978-81-322-
2785-44.

Pangaribuan, Luhut M.P., “Hak Asasi Manusia,” Jurnal Hukum & Pemban gunan,
Vol. 19, No. 6, (June 13, 2017): 519, http://jhp.ui.ac. id/inde x.php/home/arti
c le/view/1180.

M Al Qautsar, “Kepemimpinan Dan Konsep Ketatanegaraan Umar Ibn Al-Khattab,”


JUSPI (Jurnal Sejarah Peradaban Islam), Vol. 2, No.. 1 (July 31, 2018): 5 9,
http:/ /jurnal.uinsu.ac.id/index.php/juspi/article/ view/1496.

Pajriah, Sri,“Pemikiran Mohammad Natsir Tentang Hubungan Agama Dan Ne gara


Serta Polemiknya Dengan Soekarno,” Jurnal Artefak. Vol. 4. No. 2 ( 2017)
:167. https://jurnal.uni ga.ac.id/index.php/artefak/art icle/view/910.

Pratama, M Al Qautsar, “Kepemimpinan Dan Konsep Ketatanegaraan Umar Ibn Al-


Khattab,” JUSPI: Jurnal Sejarah Peradaban Islam, Vol. 2, No. 1 (July 31,
2018): 59, http://jurnal.uinsu.ac.id/index.php/juspi/article/vi ew/1496.

Prawoto, Agung, “Studi Kritis Pemikiran Politik Ali Abdul Raziq,” KALI MAH, Vol.
16 No. 1, (Maret 2018): 1-21, https://ejournal.unida.ggo ntor.ac.id/inde x.php/
kalimah/arti cle/view /25 10.

Preller L., “Zu Aristoteles Politic Der Thessaler,” Philologus, Vol. 3, No. 1–4
(January1,1848), http://www.degruyter.com/view/j/phil.1848.3. issu e-1-
4/phil.18 48.3.14.138/phil.1848.3.14.138.xml.

Possamai, Adam and Anthony J. Blasi, “Pancasila,” in The SAGE Encyclopedia of


the Sociology of Religion (2455 Teller Road, Thousand Oaks, California

267
91320: SAGE Publications, Inc., 2020), https://sk.sagepub.com/reference/the
-sage-encyclopedia-of-sociology-of-religion/i7701.xml.

Pryor, Frederic L., “A Buddhist Economic System-in Practice:.,” American Journal


of Economics and Sociology, Vol. 50, No. 1 (January 1991): 17–32,
http://doi.wiley.com/1 0.1111/j.1536-7150.1991.tb02481.x.

Purnama, Fahmy Farid, “Khawarijisme: Pergulatan Politik Sektarian Dalam Bingkai


Wacana Agama” Al-A'raf: Jurnal Pemikiran Islam dan Filsafat, Vol. 14, No
2, (Juli-Desember 2016): 214-232, http://ejour n al.iainsurakarta.ac.id/index
.php/al-araf/article/view/15 6.

Rafiki, Ahmad and Kalsom Abdul Wahab, “Islamic Values and Principles in the
Organization: A Review of Literature,” Asian Social Science, Vol. 10, No. 9
(April 7, 2014), http://www.ccsenet.org/journal/index .php/ass/article/view/3
5858.

Rahmawati, Nurmala, et al., “Sistem Pemerintahan Islam Di Bawah Kepemimpinan


Khalifah Utsman Bin Affan Tahun 644-656”, UNEJ JURNAL PENDIDIK
AN, Vol. 1, No. 1 (2015): 1-12, https://reposito ry.unej.ac.id/bitstr eam/handl
e/123 456789/68506/NU RMALA% 20 RAHMAWATI.pdf?seque nce=1.

Rahmanu, Abid, “Human Agent Dalam Tradisi Fikih: Studi Relasi Hukum Islam Dan
Moralitas Perspektif Abou El Fadl,” Kodifikasia, Vol. 7, No. 1 (Novem ber
24, 2015), http://ojs.stainponorogo.ac.id/index.php/kodif ikasia/article/vi
ew/209.

Redaksi Jurnal Filsafat, “Pengantar,” Jurnal Filsafat, Vol. 28, No. 2 (Augu st 31,
2018), https://jurnal.ugm. ac.id/wisdom/ article/view/38 471.

Reisigl, Martin, The Routledge Handbook of Critical Discourse Studies, ed. John
Flowerdew and John E. Richardson, The Routledge Handbook of Critical
Discourse Studies (Routledge, 2017), https://www.taylorf rancis.com/book
s/9781317576501.

Reuters, Thomson and Thomson Reuters, “Summary for Policymakers,” in Climate


Change 2013 - The Physical Science Basis, ed. Intergo vernm ental Panel on
Climate Change (Cambridge: Cambridge University Press, 2015), 1–30,
https://www.cambridge.org/core/pro duct/identifi er/CBO9781107415324A0
09/type/book_part.

Roibin, “Agama Dan Budaya-Relasi Konfrontatif Atau Kompromistik,” Jurnal


Hukum dan Syari'ah, Vol. 1, No. 1 (2010): 1-7, http://reposit ory.uin-malang.
ac.id/1421/1/1590-4076-1-PB.pdf.

Rusdiyanto and Musafar Musafar, “Ajaran Wujudiyah Menurut Nuru- ddin Ar-
Raniri,” Potret Pemikiran, Vol. 22, No. 1 (July 1, 2018), http://jo urnal.iain-
man ado.a c.id/index.php/ PP/article/view/756.

268
Ruslan, Idrus, “Pemikiran “Kontrak Sosial” Jean Jacques Rousseau Dan Masa Depan
Umat Beragama” AL-ADYAN, Vol. 8, N0. 2, (Juli-Desember 2013),
https://www.nelit i.com/id/publications/56540/pe mikiran-kontrak-sosial-
jean-jacques-rousseau-dan-masa-depan-umat-beragama.

Rytina, Joan Huber and Ralph Miliband, “The State in Capitalist Society.,” American
Sociological Review, Vol. 35, No. 5 (October 1970): 931, http:// www.jstor.or
g/stable/20 93322?origin=crossref.

Salikun, Farida Rukan, “Summary for Policymakers,” in Climate Change 2013 - The
Physical Science Basis, ed. Intergovernmental Panel on Climate Change
(Cambridge: Cambridge University Press, 2015), 1–30,
https://www.cambridge.org/core/product/identifier /CBO9781
107415324A009/type/book_part.

Sa‟adah, Mazro‟atus, “Pemikiran Suksesi Dalam Politik Islam Masa Pra Modern,”
Al-Tahrir: Jurnal Pemikiran Islam, Vol. 16, No. 2 (December 27, 2016): 363,
http://jurnal.stainponor ogo.ac.id/index.p h p/tahrir/arti cle/view/469.

Samsinas, “Ibnu Khaldun: Kajian Tokoh Sejarah Dan Ilmu-Ilmu Sosial,” HUNAFA:
Jurnal Studia Islamika, No. 6, No. 3 (December 15, 2009): 329, http://jurn
alhunafa.org/index.php/hunafa/ article/view/14 3.

Santoso, Lukman, “Eksistensi Prinsip Syura Dalam Konstitusional Islam,” ,Jurnal


Agama dan Hak Azazi Manusia, Vol. 3, No. 1, (2013): 113-140.

Santos, Igor Moraes and Raul Salvador Blasi Veyl, “The Secularization of Power in
the Low Middle Ages: Marsilius of Padua Amongst Ancient and Medieval
Authors,” Fragmentos de Cultura, Vol. 28, No. 1 (June 8, 2018): 131,
http://seer.pucgoias.ed u.br/i ndex.php/fra gmentos/article/view/6159.

Sanusi, Ahmad, “Konsep Negara Menurut Ihkwanul Muslimin,” Al-Ahkam, Vol. 14,
No. 2 (December 31, 2018): 1, http://jurnal.uinbanten.ac.id/ index.php/ahkm/
articl e/view/1426.

Sanusi, Anwar, “Sikap Dan Kebijaksanaan Soekarno Terhadap Islam Pasca


Kemerdekaan,” Jurnal Tamaddun : Jurnal Sejarah dan Kebudayaan Islam,
Vol. 6, No. 2, (16 Desember 2018), http://syekhnurjati.ac.id/j urnal/index.ph
p/tamaddun/article/view/3520.

______, “Pemikiran Transformatif Soekarno Dalam Politik Islam (Pendekatan


Transformatif Bill Gould, Karl Stenbrink, Dan Kontowijoyo),” Empower:
Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam, Vol. 3, No. 2 (November 1, 2018),
http://syekhnurjati.ac.id/ju rnal/index.php/empo wer/article/view/3510.

Satriya, Bambang, Andi Suwirta, and Ayi Budi Santosa, “Teungku Muhammad Daud
Beureueh Dan Revolusi Di Aceh (1945-1950),” FACTUM: Jurnal Sejarah

269
dan Pendidikan Sejarah, Vol. 7, No. 1 (May 1, 2018), https://ejournal.upi.edu
/index.php/factum/art icle/vie w/11925.

Schmidt, Ben Chapman-, “Machiavelli: The Prince,” in The Encyclopedia of


Corrections (Hoboken, NJ, USA: John Wiley & Sons, Inc., 2017), 1–4,
http://doi.wiley.com/10.1002/978 111884538 7.wbeoc0 72.

Schmitter, Philippe C and Terry Lynn Karl, “What Democracy Is. and Is Not,”
Journal of Democracy, Vol. 2, No. 3 (1991): 75–88, http://mu se.jhu.e
du/content/cr ossref/journals/journal_of_ democracy /v002/ 2.3schmit ter.pdf.

Şenol, “Ibn Khaldun‟s Critique of the Theory of Al-Siyâsah Al-Madaniyyah,”Asian


Journal of Social Science, Vol. 36, No. 3–4 (2008): 54 7–570, https://brill.co
m/view/journals/ajss/36/3-4/article-p547_9. xml.

Shafique, Muhammad Nouman, Iqra, and Naveed Ahmad, “Islamic Values and
Principles in the Organization,” Oman Chapter of Arabian Journal of
Business and Management Review (2016), http://platform .almanhal.com/Cr
ossRef/Preview/?ID=2-75672.

Shea, Nathan, “Aceh,” in Comparing Peace Processes, (2019): 18-36, https://ww


w.taylorfrancis.com/books/9781315436609/chapters/10.4
324/9781315436616-2.

Silaban, Winner, “Pemikiran Soekarno Tentang Nasionalisme,” Jurnal Dinamika


Politik,Vol. 1, No.3 (desember 2012): https://jurrnal.u su. ac.id.index.php.

Singh, Sherry Ann, “Hinduism and the State in Trinidad,” Inter-Asia Cultural
Studies, Vol. 6, No. 3, (2005): 353-365, http://www.tandfo nl ine.com/doi/ab
s/10.108 0/14649370500169987.

Siapera, Eugenia, “The Political Subject of Blogs,” Information Polity, Vol. 13, No.
1–2, (April 24, 2008): 97–109, http:// www. medra. org/serv let/aliasResolve
r?alias=ios press& doi=10.3233/IP-2008-0144.

Soebardi S., “Kartosuwiryo and the Darul Islam Rebellion in Indonesia,” Journal of
Southeast Asian Studies, Vol. 14, No. 1 (March 7, 1983): 109–133, https://w
ww.cambridge.org/core/product/identif ier/S0022 463400009024 /typ e/journ
al_article.

Sri Pajriah,“Pemikiran Mohammad Natsir Tentang Hubungan Agama Dan Negara


Serta Polemiknya Dengan Soekarno,” Jurnal Artefak. Vol. 4. No.2(20
17).:167.https://jurnal.unigal.ac.id/index.php/artefak/ar ticle/ view/910.

Stahl, Dale J., "Nations and Nationalism", Nations and Nationalism", (2017),
https://www.taylorfrancis.com/books/9781912281459.

271
Steel, Gill “Political Socialization,” in Power in Contemporary Japan (New York:
Palgrave MacmillanUS, 2016),39–58,http://link.springer.com/ 10.1057/978-
1-137-591 93-7_3. http://link.springer.com/10.1057/9 78-1-137-59193-7_3.

Supriatna, Eman, “Islam Dan Kebudayaan,” Jurnal Soshum Insentif (October 20,
2019): 282–287, https://jurnal.lldikti4.or.id/index.php/j urnalsoshum/article/v
iew/178.

Sukardi, Imam, “Negara Dan Kepemimpinan Dalam Pemikiran Alfarabi,” Al-A‘raf :


Jurnal Pemikiran Islam dan Filsafat, Vol. XIV, No. 2, (Juli–Desember 2017):
283, http://ejournal.ia insurakarta.ac.id/index .php/al–araf/article/view /959.

Suryana, Riyadi, “Politik Hijrah Kartosuwiryo; Menuju Negara Islam Indonesia”,


Journal of Islamic Civilization. Vol. 1, No. 2, (Oktober 2019): 83-95, https://
jour nal2.unusa.ac.id/index.php/JIC/article/vie w/1212.

Syahid, Maulan, “Peran Politik Perempuan dalam Pemikiran Siti Musdah Mulia”, In
Right: Jurnal Agama dan Hak Asasi Manusia, Vol. 4, No. 1, (November
2014): 31-66, http://ejournal.uin-suka.ac.id/syaria h/inright/article/view/127 4.

Syahrial, Muhammad Takari bin Jilin “Kebudayaan Nasional Indonesia Dan


Malaysia: Gagasan, Terapan Dan Bandingannya”, Setengah Abad Hubungan
Malaysia-Indonesia, : (2009): 1-53, http://docplaye r.net/3155765 8-
Kebudayaan-nasional-indonesia-dan-malaysia-gagasan-terapan-dan-
bandingannya.html.

Syarif, Mujar Ibnu, “Spirit Piagam Jakarta Dalam Undang-Undang Dasar 1945,”
JURNAL CITA HUKUM, Vol. 4, No. 1 (June 2, 2016): 15-32, http://journal.u
injkt.ac.id/index.php/citahukum /article/view/356 8.

______, “Syariat Islam Dalam Perspektif Negara Hukum Berdasar Pancasila,”


Pandecta: Research Law Journal, No. 2, Vol. 1, (2017): 160-173,
https://journal. unnes.ac.id/nju/index.php/pandecta/article/ view/7829.

T. Setiawan., & Risnandar, A. (2019). Negara Modern, dan Utopia Negara


Khilafah(?). Jurnal Kajian Peradaban Islam, 2(2), 6-12. https://doi.org/https:/
/doi.org/10.47 076/jkpis.v2i2.14.

Tago, Mahli Zainudin, “Agama Dan Integrasi Sosial Dalam Pemikiran Clifford
Geertz,” KALAM, Vol. 7, No. 1 (2017): 79-94, http://ejour nal.rdenintan.ac.id
/index.php/kalam/art icle/view/377.

Talib, Johari, Maharam Mamat, Maznah Ibrahim , “Tun Seri Lanang: Dari Istana
Batu Sawar Ke Naggaroe Acheh Darussalam”, Jurnal Melayu, Vol. 16, No. 1,
(2017): 33-47, http://journalarticle.ukm. my/ 10402/1/18103-51378-1-
SM.pdf.

271
Triwahyuningsih, Susani, “Perlindungan Dan Penegakan Hak Asasi Manusia (Ham)
Di Indonesia,” Legal Standing : Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 2, No. 2 (October
23, 2018): 113, http://journal.umpo.a c.id/index.php/LS/artic le/view/1242.

Usman, “Negara Dan Fungsinya‖, al-Daulah: Jurnal Hukum dan Perundangan


Islam, Vol. 4, No. 1 (Juni 2015), http://journal.uin-ala uddi n.ac. id/index.php
/al_daulah/article /download/ 1506/1445.

Redaksi Jurnal Filsafat, ‚Pengantar,‛ Jurnal Filsafat, Vol. 28, No. 2 (August 31,
2018), https://jurnal.ugm. ac.id/wisdom/ article/view/38471.

Rafiqah, Tamama, “Makna Khalifah Dan Keseimbangan Alam,” Opini, Vol. 1, No.
4, (04 Juli 2016): https://s tudylibid.com/doc/485796/m akna-khalifah-dan-
keseimbangan-alam-tamama rofiqah.

Rafiki, Ahmad and Kalsom Abdul Wahab, ‚Islamic Values and Principles in the
Organization: A Review of Literature,‛ Asian Social Science 10, no.9(April
7,2014)http://www.ccsenet.org/journal/index.php/ass/ arti cle/view/35858.

Rahman, Abd “Kebebasan Berpendapat: Tinjauan Filosofis Pasal 22 Deklarasi Kairo


Tentang HakAsasi Manusia Dalam Islam,” ALHURRIYAH: Jurnal Hukum
Islam (ALHURRI YAH JOURNAL OF ISLAMIC LAW), Vol. 3, No.. 1 (June
22, 2018): 81, https://ejo urnal .iainbuk ittinggi.ac.id/index.php/alhurriyah/art
icle/view/531.

Redaksi Jurnal Filsafat, “Pengantar,” Jurnal Filsafat, Vol. 28, No. 2 (August 31, 201
8), https://jurn al.ugm. ac.id/wisdom/ article/view/38471.

Roff, W. R, “Review: Islam and the State in Indonesia” Journal of Islamic Studies,
Vol. 16, No. 1 (January 1, 2005): 120–121, https://academi c.oup.com/jis/a
rticle-lookup/doi /10.1093/jis/16.1.120.

Rosana, Elliya, “Modernisasi Dan Perubahan Sosial”, Jurnal TAPIs Vol.7 No.12
(Januari-Juli 2011), 34. http://ejournal.radenintan.ac.id/index. p hp/TAPIs/art
icle/viewFile/152 9/1269.

Santos Igor Moraes and Raul Salvador Blasi Veyl, “The Secularization of Power in
the Low Middle Ages: Marsilius of Padua Amongst Ancient and Medieval
Authors,” Fragmentos de Cultura, Vol. 28, No. 1 (June 8, 2018): 131,
http://seer.pucgoias.e du.br/i ndex.php/fra gment os/article/ view/6 159.

Sadjim, Umar Mustafa, Noeng Muhadjir, and FX Sudarsono, “Revitalisasi Nilai-


Nilai Bhinneka Tunggal Ika Dan Kearifan Lokal Berbasis Learning Society
Pascakonflik Sosial Di Ternate,” Jurnal Pembangu nan Pendidikan: Fondasi
dan Aplikasi, Vol. 4, No. 1, (2016): 79, http://journal.uny.ac.id/index.php/jpp
fa/article/view/722 7.

272
Santoso, M. Iman, “Kedaulatan Dan Yurisdiksi Negara Dalam Sudut Pandang
Keimigrasian”, Binamulia Hukum, Vol. 7, No. 1, (Juli 2018 ), http://fh-
unkris.com/journal/ind ex.php/binam ulia/article/vie w/11.

Shafique, Muhammad Nouman, Iqra, and Naveed Ahmad, ‚Islamic Values and
Principles in the Organization,‛ Oman Chapter of Arabian Journal of
Business and Management Review (2016).http://platfor m.almanhal. com/
CrossRef/Prev iew/?ID=2-75672.

Siapera, Eugenia, ‚The Political Subject of Blogs,‛ Information Polity, Vol. 13,
No.1–2 (April 24, 2008): 97–109, http:// www. medra. org/ servle t/aliasReso
lver? alias=iospr ess& doi=10.3233/IP-2008-0144.

Siddiq, Falah, "Jaminan Ilegal Legitimasi Kekuasaan Negara,‛ Journal of Uni vers
ity of Human Development (2016). http://juhd.uhd.ed u.iq /journa ls/ inde
x.php/ v02/n04/2016-12-25-05.

Silaban Winner, “Pemikiran Soekarno Tentang Nasionalisme,” Jurnal Dinamika


Politik.Jurnal Dinamika Politik, Vol. 1, No .3 Desember 2 012.https://jurrnal.
usu.ac.id.index.php.

Slaev, Aleksandar D., “The Theory of Nomocracy as a Useful Method of Analysis


and Managing Private, Common, as Well as Mixed Real-World Property
Rights,” Planning Theory, Vol. 17, No. 2, (May 19, 2018): 301–304,
http://journals.sagepub.com/d oi/10.1177/147309 5218763622.

Suhandang, K, Ali Hasjmy Dan Penulisan "Dustur Dakwah Menurut Al-Qur'an‛,


Jurnal Al-Qalam, VOL. 19, (2002): 37,http://jurnal.uinbant en.ac.id/ index.
php/alqa lam/article/view/1007.

Sukri, Mhd. Alfahjri, “Mhd Alfahjri Sukri: Islam dan Pancasila dalam Pemikiran
Mohammad Natsir”, Alfuad: Jurnal Sosial Keagamaan, Vol. 3, No. 1, (Juli
2019): 82-96, https://www.researchgate.net/pub lic ation/336017304_Islam_
dan_Pancasila_Dalam_Pemikiran_Mohammad_Natsir.

Supratman Frial Ramadhan, ‚Before the Ethical Policy: The Ottoman State, Pan-
Islamism, and Modernisation in Indonesia 1898-1901,‛ Al-Jami’ah, VOL. 54,
No. 2 (2016): 447,http://aljamiah.or.id/index. php/AJIS/article/view/542 08.

Supriadi, Supriadi, ‚Relasi Islam dan Negara: Wacana Keislaman dan


Keindonesiaan‛ Kalimah: Jurnal Studi Agama dan Pemikiran Islam, Vol. 13,
No. 1, Maret 2015.

Surahman, Susilo, ‚Islam Dan Negara Menurut M. Natsir Dan Nurcholish Madjid‛
JURNAL DAKWAH, Vol. XI No. 2, Juli-Desember 2010, h. 127-128
https://media.neliti. com/media/ publications/77810-ID-islam-dan-negara-
menurut-m-natsir-dan-nu.pdf.

273
Steel, Gill, ‚Political Socialization,‛ in Power in Contemporary Japan (New York:
Palgrave MacmillanUS, 2016),39–58,http://link.spring er. com/10.1057/9 78-
1-137-59193-7_3.http://li nk.springer.com/10. 1057/978-1-137-59193-73.

Syam, Robingun Suyud El ‚Prophetic Leadership: The Leadership Model of Prophet


Muhammad in Political Relation of Social–Ummah,‛ Jurnal PendidikanIslam
, Vol. 6, No. .2(December27,2017):371,http://ejourna l.uins uka.ac.id/tarbiya
h/index.php/JPI/artice/view/1 663.

Tago, Mahli Zainudin, “Agama Dan Integrasi Sosial Dalam Pemikiran Clifford
Geertz,” KALAM, Vol. 7, No. 1 (2017): 79, http://ejournal.r adenintan.ac.id/i
ndex.ph p/KALAM/article/view/377.

Tobroni, Roni , “Komunikasi Politik Mohammad Natsir,” Communicatus: Jurnal


Ilmu komunikasi, Vol. 1, No. 1, (2017): 39-60, http://journal. uinsgd.a c.id/in
dex.php/cjik/art icle/view/1208.

Tri wahyuningsih, Susani, “Perlindungan Dan Penegakan Hak Asasi Manusia (Ham)
Di Indonesia,” Legal Standing : Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 2, No. 2 (October
23, 2018): 113, http://journal.u mpo. ac.id/index.php/LS/arti cle/view/1242.

Walim, “Pendekatan Sejarah Dalam Studi Islam,” Tahkim (Jurnal Perada ban dan
Hukum Islam), Vol. 2, No. 1, (2019), https://ejournal.unisb a.ac.id/index.php/
tahkim/article/vi ew/4147.

Whaling, Frank, “The Undiscovered Christ. A Review of Recent Developments in


the Christian Approach to the Hindu. By Marcus Braybrooke. Bangalore and
Madras, C.L.S., 1973. Pp. 108.,” Scottish Journal of Theology (1975). https:/
/www.cam bridge.org/co reprodu ct/identifier/S003693060 0035286/type/jou
rn al_article.

Warren, David H., “Muḥammad Is Not the Father of Any of Your Men: The Making
of the Last Prophet,” Islam and Christian–Muslim Relations, Vol. 24, No. 1
(January 2013): 146–148, http://www.tand fonline.com/doi/a bs/10.1080/095
96410.2013.732271.

Warren, T. Camber, “Not by the Sword Alone: Soft Power, Mass Media, and the
Production of State Sovereignty,” International Organization, Vol. 68, No. 1
(January 24, 2014): 111–141, https://w ww.cambridge.org/core/ product/iden
tifier/S0020818313000350/ty pe/journal_article.

Waryanti, Sri Waryanti, “MAKNA RENCONG BAGI UREUENG ACEH,”


Patanjala : Jurnal Penelitian Sejarah dan Budaya, Vol. 5, No. 3 (August 4,
2017): 403, http://ejurnalpatanjala. kemdikbud.go.id/pata njala/index. php/pa
tanjala/article/view/86.

274
Wijaya, Arif, “Kemerdekaan Berfikir Dalam Hak Asasi Manusia Dan Islam,” al-
Daulah: Jurnal Hukum dan Perundangan Islam, Vol. 3, No. 2, (2013): 241-
259, http://jurnalfsh.uinsby.ac.id/index.php/aldau lah/article/view/26.

Wilhelm, Frank and Jürgen Margraf, “Nägelkauen: Deskription, Erklärungs ans ätze
Und Behandlung,”Verhaltenstherapie, Vol. 3, No. 3 (1993): 176–196, https:/
/www.karg er.com/Article/FullText/258770.

Winata, Lingga, “Nasakom Sebagai Ideologi Negara Tahun 1959-1965”, AVATARA,


e-Journal Pendidikan Sejarah, Vol. 5, No. 3, (Oktober 2017): 728-737, https
://jurnalmahasiswa.unesa.ac.id/index.php/avat ara/article/view/20612/1 892.

Worthy, Ben and Riley Quinn, The Prince, The Prince, 5 (July 2017): 100
https://www.taylorfrancis.com/books/9781912282241.

Yakin, Ayang Utriza, “Islamisasi dan Syaria„atisasi Samudra Pasai Abad ke-14
Masehi”, ISLAMICAI: Jurnal Studi Keislaman, Vol. 9, No. 2 (Maret-2015):
270-294, http://islamica.uinsby.ac.id/index.php/islami ca/article/view/232.

Yani, “Sistem Pemerintahan Indonesia: Pendekatan Teori Dan Praktek Konstitusi


Undang-Undang Dasar 1945,”Jurnal Ilmiah Kebijakan Hukum, Vol. 12, No.
2 (2018): 119, http://ejournal.balitbangham.go .id/index.php/kebijakan/articl
e/view/405.

Yanggo, Huzaemah Tahido, “Moderasi Islam Dalam Syariah,” Al-Mizan: Jurnal


Hukum dan Ekonomi Islam al-Mizan, Vol. 2, No. 2, (Septem ber 2018): 1-
132,https://ejurnal.iiq.ac.id/index.php/al mizan/ article/ view/41/27.

Yusuf, Himyari “Nilai-Nilai Islam Dalam Falsafah Hidup Masyarakat Lampung,”


KALAM 10, Vol. 10, No. 1 (February 23, 2017): 167, htt p://ejournal.radenint
an.ac.id/index.p hp/KAL AM/article/view/3 40.

Zaina, Suadi, “Transformasi Konflik Aceh dan Relasi Sosial-Politik di Era


Desentralisasi”, MASYAR AK AT: Jurnal Sosiologi, Vol. 21, No. 1, (Januari
2016):81-108, https://www.researchgate.net/publication/3 18 246688_Transf
ormasi_Konflik_Aceh_dan _Relasi_Sosial-Politi k_di _Era_Desentralisasi.

Zainuddin, M., dan Ismail Maisaroh “Posisi Wanita Dalam Sistem Politik Islam:
Telaah Terhadap Pemikiran Politik Yusuf Al-Qardhawi”, MIMBAR, Vol. 21,
No. 2 (April –Juni 2005) : 178-195, https://ejour nal.unisba.ac.id/index.php/
mimbar/issue/view/31.

Zionis, Rijal Mumazziq, “Relasi Agama Dan Negara Perspektif KH. A. Wahid
Hasyim Dan Relevansinya Dengan Kondisi Sekarang,” al-Daulah: Jurnal
Hukum dan Perundangan Islam, Vol. 5, No. 2 (October 1, 2015): 333–359,
http://jurnalfsh.uinsby.ac.id/ind ex.p hp /aldaulah/arti cle/view/88.

275
Zuhraini, “Kontribusi Nomokrasi Islam (Rule Of Islamic Law) Terhadap Negara
Hukum Pancasila”, AL-‗ADALAH, Vol. 12, No. 1 (Juni 201 4): 171-190. http
s://media.nelit i.com/media/publications/57705-ID-kontribusi-nomokras i-
islam-rule-of-islam.pdf.

Zul Azmi, Abdillah Arif N, Wardayani, “Memahami Penelitian Kualitatif Dalam


Akuntansi” Jurnal Ilmu Akuntansi, Vol. 11, No. 1, (2018): 15 9-168 P-ISSN:
1979-858X; E-ISSN: 2461-1190 DOI: 10.15408/ akt.v11i1.6338, h. 161 http:/
/journal.uin jkt.ac.id/index. php/akunta bilit as/article/downlo ad/6338/pdf.

Zsolnai, Laszlo, Bernadette Flanagan, and Ralph W. Hood, “The Psychology of


Religion and Spirituality,” in The Routledge Interna tional Handbook of
Spirituality in Society and the Professions, 2019. https://www.taylorf
rancis.com/books/9781315445472/cha pte rs/10.4 324/9781315445489-2.

Zuhri, Muhammad, “Sejarah politik islam”, Tarjih: Jurnal Politik Islam, Vol. 3, No.
1 (1016): 1-16, https://jurnal.tarjih.or.id/index.php/tarjih/ article/view/3101.

276

Anda mungkin juga menyukai