Anda di halaman 1dari 31

STRATEGI PENGEMBANGAN KONSEP CITY BRANDING OBJEK WISATA

DAERAH KULON PROGO TAHUN 2018

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat penyusunan proposal pada Program
Studi Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta

Dosen Pembimbing: Awang Darumurti, S.IP. M.Si

Disusun Oleh:

RIZKI NANDA PURNAMA

20170520159

PROGRAM STUDI ILMU PEMERINTAHAN

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

2020
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) salah satu negara yang terletak
di Benua Asia tepatnya Asia Tenggara yang beriklim tropis dan memiliki banyak
pulau sehingga disebut sebagai negara kepulauan yang memiliki berbagai
kekayaan sumber daya alam yang melimpah didalamnya. Dari sumber daya alam
yang beraneka ragam dan melimpah tersebut membuat Indonesia memiliki
potensi yang dapat dikembangkan yakni bidang pariwisata. Kegiatan pariwasata
tersebut mampu mengeluarkan masyarakat dari jurang kemiskinan dengan
memperhatikan indikator-indikator dalam pembangunan berkelanjutan dan
berdasarkan budaya dan pemberdayaan masyarakat setempat (Setijawan, 2018).
Saat ini kegiatan pariwisata dipandang sangat penting dalam membantu
perekonomian masyarakat maupun negara. Dengan adanya kegiatan pariwisata
tersebut dampaknya membuka lapangan pekerjaan baru yang bisa dirasakan
masyarakat setempat dan sebagai bentuk upaya pelestarian budaya lokal. Adapun
upaya yang dilakukan oleh Pemerintah dan Bank Indonesia dalam menggagas
peningkatan perekonomian melalui sektor pariwisata memutar otak untuk
memperkecil defisit dengan cara menggenjot devisa dari sektor pariwisata.
Didalam hasil pertemuan antara Pemerintah dan Bank Indonesia yang diadakan di
Yogyakarta tahun 2018 dengan tema “Memperkuat Sinergi Dalam Akselerasi
Pengembangan Destinasi Pariwisata Prioritas” menyebutkan bahwa hadirnya
kegiatan pariwisata tersebut dapat mengatasi kemiskinan membuka lapangan
kerja baru setelah kelapa sawit dan batubara (Quddus, 2018).

Belum semua belahan masyarakat yang dapat merasakan dampak yang


menguntungkan dengan adanya kegiatan pariwisata, seperti di daerah pesisir

1
Manado yang seharusnya pesisir tersebut bisa dikelola oleh pemerintah dan
melibatkan masyarakat setempat dalam membangun pariwisata dan yang terjadi
adalah tempat tersebut dibangun menjadi tempat pusat perbelanjaan, gedung,
ruko, hotel dan aneka properti (youtube channel Watchdoc Image).

Hal ini bisa disebabkan oleh pengelolaan wisata yang masih belum baik,
belum seluruhnya destinasi wisata yang mengikutsertakan masyarakat secara
langsung dalam pengelolaannya. Seperti pengelolaan di obyek wisata yang sudah
berkembang pesat, kebanyakan yang mengelola adalah pihak lain seperti investor
asing yang banyak mengelola hunian seperti hotel, homestay atau villa.
Sebenarnya, ada salah satu wilayah yang baik dan tepat untuk dijadikan sebagai
tempat pariwasata yang bisa membangun perekonomian masyarakat setempat,
tetapi dikarenakan kurang terekspos mengenai info tersebut banyak yang belum
mengetahui wilayah itu.

Kabupaten Kulon Progo memiliki tempat tujuan objek wisata yang cukup
banyak, yang terdiri dari wisata kuliner, wisata alam maupun buatan, wisata
sejarah, dan komunal kerajinan. Dari bermacam macam objek wisata yang ada
dan memiliki daya saing yang cukup mapan, diharapkan kepada Pemerintah
Kabupaten Kulon Progo dapat memanfaatkan dan melestarikan potensi wisata
yang dimiliki karena dari bentuk dukungan tersebut dapat meningkatkan
pemerataan ekonomi wilayah tersebut (Redjeki, 2018).

Dalam sebuah kota pasti membutuhkan yang namanya brand atau merek asli
dari daerah tersebut, karena akan membuat daerah yang mempunyai potensi yang
kuat untuk bersaing dalam bidang pariwisata secara global. Agar sebuah kota
terbentuk daya saingnya, ada salah satu hal yang harus di perhatikan, antara lain
potensi SDM (sumber daya manusia) yang memadai, karena potensi ini memiliki
peran yang berpengaruh dalam membentuk daya saing dalam sebuah kota. Setiap
pemerintah kota berlomba lomba terhadap kotanya untuk melakukan branding

2
dengan harapan untuk dapat menarik wisatawan. Salah satu Kabupaten yang turut
serta dalam melakukan branding ialah kabupaten Kulon Progo (Pramuningrum,
2017). Kulon Progo yang memiliki potensi pariwisata baik dari wisata alam
ataupun buatan. Salah satu tempat wisata Kulon Progo yang banyak dikunjungi
yaitu Kalibiru (Sukardono, 2019). Keberadaan suatu daerah harus strategis dan
mudah diakses siapapun, kapanpun, dan dimanapun karena mempengaruhi angka
pengunjung yang akan datang untuk menikmati wisata yang telah difasilitasi dan
dikelola oleh pemerintah. Adapun tabel yang menunjukkan jumlah pengunjung
objek wisata di Kulon progo yang paling banyak dikunjungi sebagai berikut:

Tabel 1.1

Jumlah Pengunjung Objek Wisata di Kulon Progo Tahun 2018

O.W BULAN Jumlah


Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des
GLAGAH 25.815 28.458 35.164 33.591 27.877 125.14 55.521 23.336 32.186 31.259 31.826 45.492 495.668
3
-
SERMO 7.868 5.767 4.945 7.152 3.663 20.278 8.303 5.185 5.325 5.600 9.267 17.700 101.053
-
CONGOT 7.061 3.663 4.909 4.399 3.697 15.875 6.797 2.313 3.350 3.555 2.814 4.761 63.194
Jumlah 40.74 37.88 45.018 45.148 35.237 161.29 70.621 30.774 41.414 40.414 43.907 67.953 660.414
4 8 6
Sumber: Dinas Kabupaten Kulon Progo

Ide kota cerdas mulai dipopulerkan pada tahun 1980 dan tahun 1990 saat
kemajuan teknologi dan pertumbuhan ekonomi yang merata yang berkontribusi
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pada abad 20, perkembangan
konsep kota yang cerdas semakin terburu buru yang dikarenakan dalam bentuk
kejadian yang luar biasa yaitu fenomena urbanisasi dan kemajuan teknologi
informasi dan komunikasi (Permadi, 2015). Kota yang baik jelas yang
memikirkan konsep ekonomi, sosial, budaya, dan lingkungan yang merata

3
sehingga perkembangan teknologi informasi dan komunikasi mudah dijangkau
dan diakses serta penerapan media elektronik merupakan suatu faktor yang
penting dalam menuju penerapan konsep dari kota cerdas atau smart city yang
nantinya diharapkan untuk dapat memperbaiki layanan semua instansi yang
menyangkut dengan masyarakat banyak yang masih mengharapkan pelayanan
yang ideal, yang mudah didapatkan dan digunakan sehingga menghasilkan proses
kerja yang lebih efisien (Supangkat, 2016).

Pengembangan city branding disebuah wilayah akan berjalan dengan lancar


apabila didukung oleh semua komponen-komponen potensial yang ada pada
daerah tersebut dan pemerintah daerah juga harus menciptakan sebuah merek atau
ciri khas dari daerah tersebut, dengan alasan untuk memperkenalkan produk asli
dan tentu juga harus sesuai dengan keadaan potensi atau keadaan sumber daya
manusia agar brand tersebut tepat sasaran (Redjeki, 2018). Pariwisata merupakan
salah satu penggerak demi perkembangan suatu wilayah. Adapun tujuan objek
wisata yang berada di Daerah Istimewa Yogyakarta salah satunya berada di
daerah Kulon Progo yang memiliki potensi wisata alam dan buatan (Adhelia,
2015). Mengingat sektor pariwisata penting bagi perkembangan dan kemajuan
pada setiap wilayah, khususnya Kabupaten Kulon Progo. Oleh karena itu,
perencanaan pembangunan jangka panjang perlu diperlakukan dengan serius agar
keadaan potensi wisata Kulon Progo tetap terjaga dengaa adanya perencanaan
pembangunan tersebut. Salah satu cara yang dapat mendorong sebuah
keberhasilan pariwisata Kulon Progo yaitu dengan teknologi (Redjeki, 2018).

Berdasarkan Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang merek


menyebutkan bahwa regional brand atau merek wilayah tidak disebutkan secara
spesifik dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek (UU
Merek). Regulasi tersebut hanya mengatur definisi tentang merek, merek dagang,
merek jasa, dan merek kolektif. Merek adalah tanda yang berupa gambar, nama,

4
kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur
tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan
perdagangan barang atau jasa.

Pada hakikatnya, tempat tujuan wisata yang dikelola secara porsinya dapat
membantu perkembangan dibidang pariwisata secara merata dan diharapkan bisa
menjadi motor atau penggerak dari bentuk aktivitas keseharian masyarakat
dibidang ekonomi, kemudian memperbanyak dan meratakan peluang pekerjaan,
kesempatan dan modal untuk mulai berusaha, bisa mensejahterakan masyarakat,
dan meningkatkan penghasilan PAD serta dapat mencitrakan daerah kepada
masyarakat lokal maupunw masyarakat nasional (Hernawan, 2015).

Salah satu komponen yang dikembangkan dalam konsep smart government


yang akan menuju city branding yang menggunakan pendekatan smart tourism
atau pariwisata cerdas. Pada hakikatnya, pariwisata cerdas ialah dimana segala
infrastruktur yang memadai dapat digunakan oleh wisatawan atau tourism baik
dari segi inovasi pelayanan, informasi, meningkatkan nilai jual sebuah tempat
wisata, menambah daya saing bahkan menjadi tempat tujuan utama bagi
wisatawan (Pramuningrum, 2017). Dalam proses menuju konsep city branding,
pemerintah serta stakeholder berperan penting juga tentang hal mengelola sebuah
kota atau wilayah dengan baik. Tentunya tidak hanya dari segi infrastruktur saja,
melainkan juga dari kesiapan masyarakat setempat atau apa yang akan menjadi
ciri khas didaerah tersebut. Rumusan masalah yang muncul dari penelitian ini
adalah apa yang menjadi dasar atau landasan Pemerintah Daerah Kulon Progo
untuk menyelenggarakan konsep kota cerdas (smart city) yang menyematkan
pendekatan dengan city branding. Tujuan dari kegiatan penulisan tentang
pengembangan konsep city branding ini ialah untuk mengetahui landasan atau
acuan untuk menuju konsep city branding dari segi wisata sehingga menimbulkan
daya saing pengelolaan perusahaan wisata yang ada di daerah Kulon Progo.

5
Menurut Perda Kabupataen Kulon Progo No.1 (2012), beberapa tujuan wisata di
Kabupaten Kulon Progo yaitu: Pantai Glagah, Puncak Suroloyo, Goa Kiskenda,
Gunung Kuncir, Arung Jeram di Sungai Progo.

Dengan hadirnya tempat pariwisata yang disediakan baik dari masyarakat


setempat maupun kolaborasi antara masyarakat dan pemerintah sangat
mempengaruhi peraihan keuntungan dari segi perekonomian yang mana kegiatan
tersebut dapat meningkatkan kesadaran terhadap masyarakat dalam penggunaan
lahan pariwisata yang dibentuk atau dijalankan. Hal tersebut didukung oleh
(Arina Pramusita, 2017) menyatakan bahwa pariwisata pada saat ini telah
dianggap sebagai salahsatu penghasil keuntungan disektor ekonomi di sejumlah
negara.

Daerah Kulon Progo yang kaya dengan wisata alam, ternyata juga memiliki
daya tarik tersendiri disentra wisata industri yang berada di Kecamatan Lendah,
Kabupaten Kulon Progo yang sudah berdiri sejak tahun 2012. Hasil yang dibuat
oleh masyarakat setempat dapat digunakan dalam kategori mengenalkan batik
kepada wisatawan dan dapat diekspos oleh orang banyak, kemudian juga sangat
membantu masyarakat lokal dalam peningkatan ekonomi yang mana pemasaran
produk batik tersebut sudah sampai dikancah internasional bahkan sudah menjadi
seragam wajib PNS dan seragam siswa-siswi di Kabupaten Kulon Progo (Dra.
Damiasih, 2016).

Agar peran masyarakat lokal (khususnya) terlihat ambil andil dalam


pelaksanaan pengenalan brand atau merk pada daerah tersebut, akan sangat
memungkinkan apabila pengelolaan pariwisata yang dilakukan secara kolektif
atau saling melengkapi guna untuk meningkatkan kesejahteraan bersama melalui
sektor ekonomi, mengedukasi atau berdiskusi antar masyarakat tentang ekonomi
kreatif seperti kuliner, seni pertujunkan, desain, ataupun fashion (Rochman,
2016).

6
Alasan peneliti mengangkat penelitian ini adalah karena letak pantai Glagah
tersebut sangat berdekatan dengan area Bandara NYIA (New Yogyakarta
International Airport) yang mana hal tersebut berpengaruh terhadap mobilitas
untuk menuju ke pantai Glagah. Desa Glagah hingga Congot (Jangkaran) menjadi
objek wisata andalan bagi Kulon Progo. Oleh karena itu, pantai Glagah
merupakan sumber pemasukan pendapatan daerah paling tinggi melalui setoran
retribusi wisatanya. Dengan adanya pembangunan bandara tersebut, muncul lah
sebuah permasalahan yaitu bagaimana strategi Dinas Pariwisata Kabupaten Kulon
Progo dalam mempertahankan branding atau merek pantai Glagah yang sering
disebut pantai Glagah Pemecah Ombak. Penelitian ini hanya berfokus pada
potensi di bidang objek wisata.

1.2 Rumusan Masalah

Dalam melakukan sebuah penelitian perlu namanya perumusan masalah agar


penelitian dapat berlangsung pada sasaran obyek yang telah ditargetkan.
Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas, maka dapat diambil suatu
rumusan masalah yaitu sebagai berikut:
1. Bagaimana strategi pengembangan konsep city branding objek wisata
daerah Kulon Progo pada tahun 2018?
1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana strategi Dinas


Pariwisata Kabupaten Kulon Progo dalam mempertahankan branding atau merek
pantai Glagah yang sering disebut pantai Glagah Pemecah Ombak yang mampu
mendatangkan banyak wisatawan dan dapat membantu perekonomian masyarakat
sekitar sehingga daerah tersebut memiliki ciri khas tersendiri.

7
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1. Manfaat Akademis
Manfaat penelitian ini dari sektor akademis adalah dapat memberikan
kontribusi ilmiah yang besar dalam kajian pengembangan konsep city
branding objek wisata daerah Kulon Progo. Kajian mengenai
pengembangan brand atau merk dari suatu daerah dari segi wisata belum
banyak ditemukan referensi yang signifikan dan relevan. Oleh karena itu,
penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi baru mengenai
bagaimana strategi pengembangan konsep city branding objek wisata
suatu daerah.

1.4.2. Manfaat Praktis

Manfaat dari segi praktis adalah dapat bermanfaat melalui analisis yang
dipaparkan oleh pihak-pihak yang berkecimpung dalam dunia
Pemerintahan Daerah. Melalui teori ini, diharapkan pada masyarakat
umum untuk menjadikan bahan bacaan baru untuk diskusi ataupun untuk
diri sendiri, yang bisa menambah wawasan baru tentang bagaimana
strategi pengembangan city branding wisata suatu daerah.
1.5 Tinjauan Pustaka

Tinjauan pustaka memuat uraian tentang hasil dari beberapa penelitian yang
relevan dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti. Dari hasil pencarian yang
telah dilakukan oleh peneliti, peneliti menemukan beberapa jurnal yang relevan
sebagai berikut:

8
Tabel 1.2

Studi Terdahulu

No. Penulis Judul Temuan

1. (Indriani, 2017) Pengaruh City Penelitian ini bertujuan untuk


Branding Pada City mengetahui pengaruh city
Image Dan branding terhadap citra kota,
Keputusan menyelidiki pengaruh
Berkunjung pencitraan kota pada keputusan
Wisatawan Ke untuk berkunjung, dan
Kabupaten menyelidiki pengaruh citra kota
Purwakarta terhadap keputusan untuk
mengunjungi. Relevansinya
adalah sama-sama
menggunakan city branding
yang akan diteliti pengaruhnya
apakah dengan adanya city
branding akan meningkatkan
pengujung disuatu daerah.
Perbedaan antara paper ini
dengan jurnal tersebut ialah
lokasi penelitian, jenis
penelitian, dan masa penelitian.

2. (Herlambang, 2016) Dampak Pariwisata Tujuan riset ini merupakan


Terhadap Kondisi untuk mengenali Kemampuan
Sosial Dan Ekonomi pariwisata di posisi wisata Air
Penduduk Sekitar Terjun Kedung Pedut di Dusun

9
Lokasi Wisata Air Kembang, akibat terdapatnya
Terjun Kedung pariwisata terhadap keadaan
Pedut Di Dusun sosial penduduk sekitar Dusun
Kembang, Desa Kembang. Hasil riset ini
Jatimulyo, menujukan bahwa daampak
Kecamatan pariwisata terhadap keadaan
Girimulyo, sosial ekonomi lumayan
Kabupaten Kulon bertambah karna masyarakat
Progo disekitaran tempat wisata
melaksanakan aktivitas
berdagang dan membangun
penginapan ataupun homestay.
Relevansi dari riset ini
merupakan bersama mangulas
tentang pariwisata serta pada
posisi yang sama ialah Kulon
Progo. Sebaliknya
perbedaannya terletak pada tipe
penelitiannya serta masa riset.
3. (Muzayin Potensi Wisata Penelitian ini menemukan
Nazaruddin, dalam Pembentukan bahwa strategi branding Kota
2016) City Branding Kota Pekanbaru mengacu pada
Pekanbaru kerangka kerja branding kota
oleh Kavartiz (2004). Strategi
tersebut ialah mengkaji ulang
mengenai visi dan strategi yang
berhubungan dengan branding
kota sebagai pintu gerbang

10
budaya Melayu, dan melakukan
sinergi antar stakeholders agar
tercipta kerja sama yang baik.
Selain itu, branding juga
melibatkan warga lokal,
pengusaha, dan pebisnis dalam
mengembangkan dan
mengantarkan brand. Selain itu,
perlu pembentukan ruang
publik yang mewakili branding
Kota Pekanbaru sebagai pintu
gerbang budaya Melayu seperti
pembentukan taman terbuka
untuk aktivitas kebudayaan.
4. (Pramuningrum, Strategi City Hasil penelitian
2017) Branding Humas mengungkapkan bahwa strategi
Pemerintah Kota itu adalah melalui integrasi
Bandung Sebagai komunikasi online dan offline
Smart City Melalui melalui penerbitan media
Program Smart sosial, elektronik dan cetak,
Governance menjalin hubungan media, dan
melakukan acara khusus.
Relevansinya adalah sama-
sama membahas city branding
dan memakai metode penelitian
deskriptif kualitatif dan
perbedaannya adalah lokasi
penelitian dan objek penelitian.

11
5. (Redjeki, 2018) Framework Riset ini bertujuan buat
Pengembangan City meningkatkan model dalam
Branding Kabupaten implementasi salah satu
Bantul komponen smart city ialah
Menggunakan smart branding dengan
Pendekatan Smart memakai pendekatan smart
Tourism tourism di Kabupaten Bantul.
6. (Wandari, 2014) Pengaruh City Hasil riset menampilkan kalau
Branding “Shining variabel mempengaruhi
Batu” Terhadap City signifikan pencitraan kota citra
Image Dan kota. Variabel branding kota
Keputusan secara signifikan pengaruhi
Berkunjung kunjungan keputusan serta
Wisatawan Ke Kota variabel citra kota namun tidak
Batu Tahun 2014 mempengaruhi signifikan
terhadap keputusan berkunjung.
Bersumber pada hasil ini
dianjurkan City Branding Kota
Batu wajib terus diterbitkan ke
publik sehingga orang
menguasai arti merk Kota
Batu" Batu Brilian". Tidak
hanya itu, pemerintah wajib
tingkatkan citra kota Kota Batu
supaya citra yang lebih positif
tentang kebaikan kota Batu di
benak para turis.

12
7. (Widana, 2018) Branding Denpasar Riset ini menujukkan bahwa
Smart City Guna ada beberapa elemen yang
Meningkatkan harus diperhatikan dalam
Kunjungan menciptakan branding pada
Wisatawan suatu daerah yaitu salah
satunya memperhatikan
bagaimana membangun
identitas merek. Hal tersebut
diperlukan agar promosi dan
kampanye suatu merek yang
meliputi tiga langkah yaitu
komunikasi premier,
komunikasi sekunder dan
komunikasi tersier serta
memaksimalkan dukungan
teknologi informasi dan
komunikasi dan aplikasi seluler
untuk berbagi informasi dengan
warga, wisatawan guna
meningkatkan manajemen
destinasi pariwisata.
Relevansinya adalah sama
sama menggunakan metode
deskriptif dengan pendekatan
kualitatif yang bertujuan untuk
mengetahui upaya peningkatan
kunjungan wisatawan.

13
8. (Siregar, 2020) City Branding and Riset ini bertujuan untuk
The Tourist Gaze: menyajikan kerangka kerja
Pengembangan konseptual city branding yang
Wisata Kota menggabungkannya dengan
konsep pandangan wisatawan
sebagai perspektif wisata yang
menjadikannya kerangka kerja
untuk menarik wisatawan,
investor dan penduduk baru,
terutama dalam pariwisata kota.

9. (Kusuma, 2019) Konstruksi Realita Riset ini menggunakan metode


Sosial City Branding deskriptif kualitatif dan
Magelang Kota bertujuan untuk menganalisis
Sejuta Bunga proses konstruksi realita yang
(MKSB) telah dibangun di Kota
Magelang sejak delapan tahun
melaksanakan city branding
Magelang Kota Sejuta Bunga
dari segi pemerintahannya dan
segi secara realitas pada
masyarakat Kota Magelang
dengan menggunakan
pemikiran melalui Teori
Konstruksi Realitas Sosial.
10. (Anindyo, 2020) City Branding Adapun tujuan dari riset ini
Kecamatan adalah untuk menemukan

14
Poncokusumo model city branding terstruktur
Sebagai Kawasan Kecamatan Poncokusumo
Desa Wisata Di Kabupaten Malang sebagai
Kabupaten Malang kawasan desa wisata di
Kabupaten Malang dengan
menggunakan aspek/dimensi
city branding. Perbedaannya
adalah penelitian ini lebih
memfokuskan model city
branding dengan menggunakan
aspek/dimensi city branding.

Berdasarkan kajian pustaka diatas, dapat ditarik perbedaan antara studi


terdahulu dengan apa yang diteliti oleh peneliti. Perbedaannya terdapat pada
lokasi penelitian, teori penelitian yang digunakan, strategi penelitian yang
digunakan serta masa atau waktu yang dibutuhkan dalam penelitian.
Relevansi dengan studi terdahulu diatas ialah sama-sama meniliti dengan
fokus tentang City Branding.

1.6 Kerangka Dasar Teori

1.6.1 City Branding

City Branding merupakan sebuah proses dari sebuah branding.


Branding merupakan salah satu proses strategi pemasaran yang seringkali
diterjemahkan sederhana sebagai kegiatan beriklan. Namun, Branding
lebih merupakan aktivitas menentukan citra yang ingin dibentuk melalui
berbagai macam kegiatan promosi (iklan, publisitas dan sebagainya)

15
seiring dengan pembenahan fitur produk yang sesuai dengan citra yang
ingin dibentuk. City branding adalah strategi yang membuat suatu tempat
berbicara kepada masyarakat (Yananda, 2014).

City branding merupakan upaya pengembangan kota dari para


perencana dan perancang kota beserta semua stakeholders (pemangku
kepentingan). Seperti produk, jasa dan organisasi, kota sangat
membutuhkan citra yang kuat dan berbeda dengan citra kota lainnya demi
mengatasi persaingan untuk memperebutkan sumber daya ekonomi di
tingkat lokal, regional, nasional maupun global. Melalui branding, sebuah
kota mampu membangun ruh kota yang dapat ditunjukkan melalui
infrastruktur kota untuk menarik wisatawan (Nazaruddin, 2016).

Adapun pengertian city branding menurut (Haris Salampessy, 2015)


menyatakan bahwa city branding adalah suatu logo atau merek yang
sudah melekat pada suatu daerah atau kota. Suatu daerah atau kota dapat
memiliki ciri khas tersendiri apabila sudah mempunyai konsep, tujuan dan
potensi wilayah tersebut. Maka dari itu, ciri khas suatu daerah bisa terlihat
secara visual dan memiliki nilai. Selanjutnya ahli city image yang berasal
dari Britania Raya yang menciptakan teori tentang “The City Brand
Hexagon” (Anholt, 2020) menyebutkan city branding ialah sebuah
gagasan tentang bagaimana mengaplikasikan sebuah identitas yang
biasanya digunakan untuk suatu produk, menjadi sebuah identitas tempat
(place branding) yang diinginkan oleh para pemangku kepentingan terkait
dan menjadi nilai lebih dalam pandangan seorang konsumen. Hal tersebut
berbeda dengan city marketing dimana sebuah kota dibentuk sesuai dan
keinginan serta kebutuhan konsumen (mengikuti arus keinginan
konsumen). Oleh karena itu, adanya city branding tidak hanya
menguntungkan orang yang datang berkunjung ke kota itu saja, namun
juga berdampak positif bagi masyarakat yang bertempat tinggal di kota

16
tersebut. Dampak positif dapat dirasakan di semua sektor, mulai dari
pelayanan publik, kesehatan hingga ekonomi.

Secara umum city branding diarahkan pada 3 (tiga) potensi daerah


yaitu investasi dengan kelompok sasaran para investor, pariwisata dengan
kelompok turis domestik maupun mancanegara, dan perdagangan dengan
kelompok sasaran para trader. Ketiga hal tersebut sering dikemas sebagai
Investment, Tourism, dan Trade (Rahman, 2015). Sebuah city branding
bukan hanya sebuah slogan atau kampanye promosi, akan tetapi suatu
gambaran dari pikiran, perasaan, asosiasi dan ekspektasi yang datang dari
benak seseorang ketika seseorang tersebut melihat atau mendengar sebuah
nama, logo, produk layanan, event, ataupun berbagai simbol dan
rancangan yang menggambarkannya.

City branding adalah perangkat pembangunan ekonomi perkotaan


yang dipinjam dari praktik-praktik pemasaran oleh para perencana dan
perancang kota beserta semua pemangku kepentingan. Sebagaimana
produk, jasa dan organisasi, kota membutuhkan citra dan reputasi yang
kuat dan berbeda demi mengatasi persaingan kota memperebutkan sumber
daya ekonomi di tingkat lokal, regional, nasional dan global (Sukmaraga,
2019)

Konsep city branding merupakan tujuan dari sebuah citra yang


merupakan strategi dari suatu kota untuk membuat positioning di benak
target sasaran. Bukan hanya itu, city branding juga memasukkan ruh dari
kota itu sendiri. Sehingga dari penjelasan diatas, penulis menarik
kesimpulan bahwa city branding merupakan strategi sebuah kota atau
daerah yang digunakan untuk mengungkap sebuah identitas kota, melalui
keunggulan dan keunikan yang dimiliki oleh kota atau daerah tersebut dan

17
dapat tertanam dibenak khalayak melalui sebuah nama, logo, simbol,
produk layanan, dan lain sebagainya.

Indikator untuk mengukur kekuatan city branding

Dalam menghadapi globalisasi, setiap kota bersaing dengan banyak


orang lain untuk menarik konsumen, wisatawan, rasa hormat, perhatian,
investasi dan bisnis. Branding coba memberikan identitas sebuah kota
yang berbeda, sehingga kota tersebut dapat dibedakan dengan kota lain.
Merek yang kuat berarti yang dibedakan dari pesaing untuk investasi,
bisnis, pengunjung dan penduduk. Sebuah City branding yang kuat
pertama, harus meningkatkan kesadaran publik mengenai keberadaan
tempat itu. Kedua, membuat pelanggan potensial kota, menganggap
kualitas sebagai lebih baik bahwa para pesaingnya. Untuk itu diperlukan
suatu standarisasi tertentu untuk mengukur kekuatan City branding yang
telah teraplikasi pada sebuah kota. Ada beberapa cara untuk mengevaluasi
dan menguji kekuatan merek yang disandang oleh sebuah kota menurut
(Raubo, 2010), diantaranya adalah:

a. Melihat kesanggupan masyarakat sekitar tentang keberadaan kota


dan pengetahuan tentangnya.
b. Letak geografis tempat yang akan dijadikan sebagai branding
meliputi aspek fisik, keindahan wilayah serta iklimnya.
c. Pengalokasian potensi yang dimiliki daerah tersebut bahkan
mengikutsertakan masayarakat untuk mencari pekerjaan,
berdagang dan lain-lain.
d. Berhubungan baik dengan wisatawan, warga, investor guna untuk
mengukur daya tarik kota atau wilayah tersebut.
e. Memprioritaskan keramahan penduduk.

18
1.6.2 Objek Wisata Daerah

Menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 pasal 1 yang


dimaksud dengan: Wisata adalah kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh
seseorang atau sekelompok orang dengan mengunjungi tempat tertentu untuk
tujuan rekreasi, pengembangan pribadi, atau mempelajari keunikan daya
tarik wisata yang dikunjungi dalam jangka waktu sementara. Kemudian juga
menjelaskan tentang penyelenggaraan pembangunan kepariwisataan harus
dilakukan berdasarkan pada asas manfaat, kekeluargaan, adil dan merata,
keseimbangan, kemandirian, kelestarian, partisipatif, berkelanjutan,
demokratis, kesetaraan dan kesatuan yang semuanya diwujudkan melalui
pelaksanaan rencana pembangunan kepariwisataan dengan memperhatikan
keanekaragaman, keunikan, dan khasanah budaya dan alam, serta kebutuhan
manusia untuk berwisata. Jadi pemerintah dalam mempertahankan
keberlanjutan pembangunan kepariwisataan maka dirumuskanlah strategi
pengembangan (Indonesiani, 2015).

Adapun menurut UU RI No 9 Tahun 1990 tentang Kepariwisataan,


dinyatakan bahwa obyek dan daya tarik wisata adalah segala sesuatu yang
menjadi sasaran wisata baik itu pembangunan obyek dan daya tarik wisata,
yang dilakukan dengan cara mengusahakan, mengelola dan membuat obyek-
obyek baru sebagai obyek dan daya tarik wisata. Dalam undang-undang di
atas, yang termasuk obyek dan daya tarik wisata terdiri dari:

1. Objek dan daya tarik wisata ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, yang
berwujud keadaan alam serta flora dan fauna, seperti : pemandangan alam,
panorama indah, hutan rimba dengan tumbuhan hutan tropis serta binatang
binatang langka.

2. Objek dan daya tarik wisata hasil karya manusia yang berwujud
museum, peninggalan purbakala, peninggalan sejarah, seni budaya, 12

19
pertanian (wisata agro), wisata tirta (air), wisata petualangan, taman rekreasi,
dan tempat hiburan lainnya.

3. Sasaran wisata minat khusus, seperti : berburu, mendaki gunung,


gua, industri dan kerajinan, tempat perbelanjaan, sungai air deras, tempat-
tempat ibadah, tempat-tempat ziarah, dan lain-lain.

4. Pariwisata adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan wisata,


termasuk pengusahaan objek dan daya tarik wisata serta usahausaha yang
terkait di bidang tersebut.

Mengemukakan pengertian obyek wisata adalah segala sesuatu yang


memilik keunikan, keindahan dan nilai yang berupa keanekaragaman
kekayaan alam, budaya, dan hasil buatan manusia yang menjadi sasaran atau
tujuan kunjungan wisatawan (Ridwan, 2012).

Dari beberapa referensi diatas yang berhubungan dengan pariwisata


dapat disimpulkan bahwa objek wisata adalah sebuah kegiatan perjalanan
yang memiliki arah dan tujuan untuk dapat menikmati baik keadaan alam
maupun buatan yang meliputi objek wisata alam, budaya, peninggalan sejarah
(museum), pertanian (wisata agro), industri dan kerajinan bahkan tempat-
tempat ibadah dan tempat-tempat ziarah juga bisa disebut sebagai objek

wisata yang memiliki nilai tersendiri untuk kepuasan terhadap wisatawan.

1.7 Definisi Konseptual

Dalam penelitian ini peneliti ingin menuliskan beberapa istilah yang


berhubungan dalam penelitian. Penelitian ini berjudul Pengembangan Konsep
City Branding Objek Wisata Daerah Kulon Progo Tahun 2018. Dengan
adanya definisi operasional peneliti berharap agar tidak terjadi keraguan
dalam penafsirannya.

20
1. City Branding
City branding yang dimaksud dalam penelitian ini adalah indentitas yang
dimiliki suatu kota atau daerah tertentu yang berguna untuk membangun
ekonomi serta pengembangan potensi yang ada di daerah tersebut terutama
dalam sektor wisata dan budaya. Hal ini bisa dijadikan pemerintah sebagai
promosi pariwisata.
2. Objek Wisata Daerah
Objek wisata daerah adalah segala sesuatu yang ada di daerah tersebut baik
berupa tempat, seni budaya, dan keadaan alam yang memiliki daya tarik
sehingga orang-orang tertarik untuk mengunjungi daerah atau tempat tersebut.
Kulon Progo adalah daerah objek wisata yang peneliti teliti.

Adapun hasil dari penelitian ini pengembangan konsep city branding


objek wisata daerah Kulon Progo tahun 2018. Penelitian pengembangan
konsep city branding menggunakan kajian strategi pemasaran yang digunakan
objek wisata di Kulon Progo.
1.8 Definisi Operasional

Ada beberapa cara untuk mengevaluasi dan menguji kekuatan


branding (Raubo, 2010) yang disandang oleh sebuah kota, indikator branding
yang dipakai adalah:

a. Melihat kesanggupan masyarakat sekitar tentang keberadaan


kota dan pengetahuan tentangnya.
b. Letak geografis tempat yang akan dijadikan sebagai branding
meliputi aspek fisik, keindahan wilayah serta iklimnya.
c. Pengalokasian potensi yang dimiliki daerah tersebut bahkan
mengikutsertakan masayarakat untuk mencari pekerjaan,
berdagang dan lain-lain.

21
d. Berhubungan baik dengan wisatawan, warga, investor guna
untuk mengukur daya tarik kota atau wilayah tersebut.
e. Memprioritaskan keramahan penduduk.

22
1.9 Kerangka Pikir Penelitian

MASYARAKAT
PEMERINTAH
Tuan rumah, atau
Fasilitator
pelaksana

Indikator City Branding

a. Kesanggupan masyarakat menghadapi konsep city branding


b. Letak geografis wilayah
c. Pengalokasian yang dimiliki wilayah tersebut

City Branding

DalamCiCinga
pengembangan konsep
city branding objek wisata
daerah Kulon Progo

23
1.10 Metode Penelitian

1.10.2 Jenis Penelitian

Dalam sistematika penulisan karya ilmiah baik itu proposal peneltian,


skripsi dan lain sebagainya, syarat ideal penulisan yang harus dilengkapi yaitu
metode pendekatan yang digunakan. Penelitian ini menggunakan metode
deskriptif dengan pendekatan kualitatif tentang pengembangan konsep city
branding, yaitu melakukan kajian-kajian pustaka yang akan menghasilkan
beberapa indikator dan variabel. Data diperoleh dari kajian pustaka yang
membahas tentang framework pengembangan city branding kabupaten
Bantul, pengaruh city branding shining batu terhadap city image, Kota Batu,
Malang, dan model implementasi kebijakan pengembangan pariwisata di
kabupaten Bogor.

1.10.3 Lokasi Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan di pantai Glagah Kabupaten Kulon


Progo tepatnya di Kecamatan Temon Desa Glagah yang mengenalkan wisata
alam kepada wisatawan yang berkaitan untuk menghimpun data terkait City
Branding dalam pengembangan konsep City Branding daerah Kulon Progo.

1.10.4 Subjek Penelitian

Subjek Penelitian yang digunakan dalam Strategi Pengembangan


Konsep City Branding Daerah Kulon meliputi pihak Pemerintah dan
masyarakat.

24
Tabel 1.3

Subjek Penelitian

No. Narasumber Keterangan


1. Pihak Pemerintah a. Dinas Pariwisata
Kabupaten Kulon Progo
b. Perangkat Desa Glagah
2. Pihak Masyarakat
a. Masyarakat Sekitar Desa
Glagah
b. Pengelola objek wisata
pantai Glagah

1.10.5 Unit Analisis

Sesuai dengan inti permasalahan yang ada pada pokok pembahasan


dalam penelitian ini, maka unit analisa yang digunakan ialah Pengembangan
Konsep City Branding Objek Wisata Daerah Kulon Progo.

1.10.6 Jenis Data

a. Data Primer

Data Primer adalah bahan atau bukti yang didapatkan secara langsung
oleh peneliti di lapangan serta di dapat dari sumber informan yang
bersangkutan baik perseorangan atau kelompok seperti hasil wawancara yang
dilakukan oleh peneliti. Adapun bentuk data primer sebagai berikut:

1. Observasi
2. Wawancara
3. Data-data mengenai informan

25
b. Data Sekunder

Data yang diperoleh dari bahan-bahan dokumen dan studi terdahulu


yang ada dalam objek penelitian ini. Data sekunder dalam penelitian ini
didapat melalui data yang tersedia di website kawasan wisata Daerah Kulon
Progo, artikel jurnal mengenai pengembangan konsep city branding, surat
kabar, dan lain sebagainya.

c. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam strategi


pengembangan konsep city branding adalah sebagai berikut:

1. Studi Pustaka

Studi pustaka yang relevan dengan judul penelitian yang dilakukan


penulis. Hasil kutipan dari beberapa studi pustaka yang relevan akan
menghasilkan teori yang dibutuhkan dan berhubungan dengan judul
penelitian.

2. Observasi

Observasi dilakukan dengan meninjau langsung ke tempat penelitan


untuk memperoleh data yang diperlukan.

3. Wawancara

Wawancara dilakukan untuk dapat menggali lebih dalam lagi tentang


informasi atau data yang dibutuhkan oleh peneliti dan juga bisa dibuka dengan
sesi tanya jawab dengan narasumber yang bersangkutan.

26
4. Dokumentasi

Teknik pengumpulan data dengan dokumentasi berarti pengumpulan


data secara visual atau hal-hal yang dapat dikategorikan sebagai data, melalui
media kamera maupun video, sebagai penyempurna data-data diatas. Data
hasil dokumentasi berupa foto-foto yang diambil di lokasi.

1.10.7 Analisis Data

Analisis data yang digunakan dalam strategi pengembangan konsep


city branding adalah Analisis SWOT. Menurut (Kotler, 2008), mengelola
fungsi pemasaran diawali dengan analisis menyeluruh dari situasi perusahaan.
Pemasar harus melakukan analisis SWOT (SWOT Analysis), di mana ia
menilai kekuatan atau Strenghts (S), kelemahan atau Weakness (W), peluang
atau Opportunities (O) dan ancaman atau Threats (T).

27
DAFTAR PUSTAKA

Abdulhaji, S. (2016). Pengaruh Atraksi, Aksesibilitas, Dan Fasilitas Terhadap Citra


Objek Wisata Danau Tolire Besar Di Kota Ternate. Jurnal Penelitian
Humano, 3.

Adhelia, N. (2015). Keterpaduan Komponen Pengembangan Pariwisata Kotagede


Sebagai Kawasan Wisata Budaya Berkelanjutan. Region, 15-17.

Anholt, A. d. (2020). Konsep City Branding Sebuah Pendekatan The City Brand
Hexagon Pada Pembentukan Identitas Kota. Manajemen dan Bisnis, 3-9.

Anindyo, S. A. (2020). City Branding Kecamatan Poncokusumo Sebagai Kawasan


Desa Wisata Di Kabupaten Malang. Jurnal Apresiasi Ekonomi.

Haris Salampessy, d. (2015). Pengaruh City Branding Terhadap City Image,


Customer Satisfaction, dan Customer Loyalty Di Kota Ambon . Jurnal Bisnis
dan Manajemen, 3-15.

Herlambang, D. D. (2016). Dampak Pariwisata Terhadap Kondisi Sosial Dan


Ekonomi Penduduk Sekitar Lokasi Wisata Air Terjun Kedung Pedut Di
Dusun Kembang, Desa Jatimulyo, Kecamatan Girimulyo, Kabupaten Kulon
Progo. Geo Educasia.

Hernawan, D. (2015). Model Implementasi Kebijakan Pengembangan Pariwisata


Dalam Meningkatkan Destinasi Pariwisata Di Kabupaten Bogor. Jurnal
Sosial Humaniora.

Indonesiani, D. Y. (2015). Analisis Pengembangan Objek Wisata Tanjung Karang Di


Kecamatan Banawa Kabupaten Donggala. Jurnal Katalogis.

28
Indriani, J. (2017). Pengaruh City Branding Pada City Image dan Keputusan
Berkunjung Wisatawan Ke Kabupaten Purwakarta. Jurnal Manajemen
Maranatha.

Kotler, P. &. (2008). Prinsip-Prinsip Pemasaran Edisi 12 Jilid 1. Jakarta: Erlangga.

Kusuma, G. D. (2019). Konstruksi Realita Sosial City Branding Magelang Kota


Sejuta Bunga (MKSB). Jurnal Ilmu Komunikasi.

Nazaruddin, M. (2016). Potensi Wisata Dalam Pembentukan City Branding Kota


Pekanbaru. Jurnal Komunikasi, 5-19.

Pramuningrum, A. D. (2017). Strategi City Branding Humas Pemerintah Kota


Bandung Sebagai Smart City Melalui Program Smart Governance. Acta
Diurna.

Quddus, G. G. (2018). Pemerintah dan BI sepakati 9 strategi dorong pariwisata jadi


penyumbang devisa utama. Yogyakarta: Nasional Kontan.

Rahman, F. A. (2015). Aspek Hukum Regional Branding Dalam Undang-Undang


Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek Dan Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2014 Tentang Hak Cipta . Litbang FH UGM.

Rangkuti, F. (2009). Strategi Promosi yang Kreatif dan Analisis Kasus. Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama.

Raubo, A. (2010). City Branding and its Impact on City’s Attractiveness for External
Audiences. Erasmus University Rotterdam, 16-17.

Redjeki, S. (2018). Framework Pengembangan City Branding Kabupaten Bantul


Menggunakan Pendekatan Smart Tourism. Jurnal TAM (Technology
Acceptance Model).

29
Setijawan, A. (2018). Pembangunan Pariwisata Berkelanjutan Dalam Perspektif
Sosial Ekonomi . Planeoearth, 1-2.

Siregar, A. M. (2020). City Branding and The Tourist Gaze: Pengembangan Wisata
Kota. Jurnal Administrasi Bisnis.

Sukmaraga, A. A. (2019). City Branding: Sebuah Tinjauan Metedologis Dengan


Pendekatan Elaboratif, Praktis, dan Ilmiah. Digilib.uinsby, 3-5.

Tjahjadi, D. (2006). Membuat Program Aplikasi Dengan Visual Voxpro 9.0


Yogyakarta. 3.

Vitasurya, V. R. (2015). Kearifan Lokal untuk Pengembangan Pariwisata Pedesaan


yang Berkelanjutan, Studi Kasus di Desa Kalibiru dan Lopati, Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta. Procedia - Social and Behavioral Sciences .

Wandari, L. A. (2014). Pengaruh City Branding “Shining Batu” Terhadap City Image
Dan Keputusan Berkunjung Wisatawan Ke Kota Batu Tahun 2014. Jurnal
Administrasi Bisnis.

Widana, I. W. (2018). Branding Denpasar Smart City Guna Meningkatkan


Kunjungan Wisatawan. Jurnal Manejemen dan Bisnis.

Yananda. (2014). Branding Tempat: Membangun Kota. Jakarta: PT. Grafindo.

30

Anda mungkin juga menyukai