Anda di halaman 1dari 10

PROPOSAL

“IMPLIKASI SOSIAL TERHADAP MASYARAKAT PESISIR PANTAI ATAS


PEMBANGUNAN PARIWISATA”

( Studi Kasus Nembrala Rote Ndao)

OLEH

GATSBI ADU
NIM: 1703030203

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS NUSA CENDANA

KUPANG

2020

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di era globalisasi saat ini, sektor pariwisata akan menjadi pendorong utama
perekonomian dunia dan menjadi industri yang mengglobal. Terus berkembangnya pariwisata
di tengah banyaknya krisis global membuktikan kekuatan dan kekebalan sektor pariwisata.
Indonesia merupakan salah satu pihak yang diuntungkan dengan pesatnya perkembangan
pariwisata.sebagai sebuah negara, Indonesia dikarunia berbagai panorama keindahan alam
yang layak dikunjungi oleh berbaga wisatawan dan terbentang dari sabang sampai merauke.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik mencatat kunjungan wisatawan mancanegara pada
bulan Juli 2016 mencapai rekor tertinggi mencapai 1,03 juta kunjungan atau mengalami
peningkatan sebesar 20,42% dari tahun sebelumnya.
Data United Nation World Tourism Organization (UNWTO, 2017) jumlah kedatangan
wisatawan internasional bertambah dari 25 juta pada tahun 1950 menjadi 278 juta di 1980
terus meningkat ke 674 juta di tahun 2000 dan 1,235 juta di tahun 2016. Fakta ini menjadikan
pariwisata sebagai kategori utama dalam sektor perdagangan jasa internasional. Selanjutnya
pemasukan dari sektor pariwisata di destinasi tujuan menghasilkan 216 juta dollar yang
bersumber dari jasa transportasi (travel cost). (Buku Database Kepariwisataan
Prov.NTT:2017,hlm.1)
Kontribusi pariwisata terhadap global sebagian besar berasal dari wisata domestik
(71,8%) dan sisanya dari wisata asing (28,2%) sebagaimana diilustrasikan dalam Gambar 2
berikut. Secara nasional pariwisata berada diurutan ke-4 sebagai penyumbang devisa terbesar
di Indonesia dengan nilai devisa sebesar 8,221.3 Juta US$. Bertolak dari keuntungan yang
besar pemerintahan Jokowi – JK menetapkan 6 (enam) sektor unggulan dalam pembangunan
(2015 – 2019). Keenam sektor unggulan tersebut antara lain: Pangan, Maritim, Pariwisata,
Industri, Energi dan Infrastruktur. Target yang ditetapkan oleh Presiden dan Wakil Presiden
pada sektor Pariwisata pada tahun 2019 adalah jumlah kunjungan wisatawan mancanegara
(wisman) sebanyak 20 juta wisman, 275 juta wisatawan nusantara (wisnus), peringkat 30
tourism and competitive index.
Kebijakan pengembangan kepariwisataan nasional ditetapkan melalui Peraturan
Pemerintah Nomor 50 Tahun 2011 tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan
Nasional (RIPPARNAS) Tahun 2010 – 2025 pasal 7 ayat a terdapat 50 Destinasi Pariwisata
Nasional (DPN), 88 Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN), dan 222 Kawasan
Pengembangan Pariwisata Nasional (KPPN). Berdasarkan PP tersebut terdapat 5 DPN atau
10%, 5 KSPN 5,68%, dan 12 KPPN atau 5,41% untuk Provinsi NTT. Sejalan dengan
kebijakan pemerintah pusat yang sudah menetapkan RIPPARNAS, pemerintah Provinsi NTT
pada tahun 2015 telah menetapkan Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2015 tentang Rencana
Induk Pembangunan Kepariwisataan Daerah (RIPPARDA) Provinsi NTT Tahun 2015 –
2025. Dalam dokumen RIPPARDA Provinsi NTT telah ditetapkan 5 Destinasi Pariwisata
Provinsi (DPP), 18 Kawasan Pembangunan Pariwisata Provinsi (KPPP), dan 22 Kawasan
Strategis Pariwisata Provinsi (KSPP).
Berikut ini adalah Destinasi Pariwisata Nasional (DPN) :
1. Komodo – Ruteng dan sekitarnya;
2. Kelimutu – Maumere dan sekitarnya;
3. Alor – Lembata dan sekitarnya;
4. Kupang – Rote Ndao dan sekitarnya;
5. Sumba – Waikabubak dan sekitarnya.
Hal ini juga didukung oleh penetapan New Tourism Territory atau kawasan baru wisata
yang ditetapkan oleh Presiden Republik Indonesia Ir. Jokowi pada tahun 2014. Kemudian
program itu dilanjutkan dengan program Master Plan Percepatan Pembangunan Ekonomi
Indonesia yang di program oleh Jokowi pada Tahun 2014 dengan program New Tourism
yang dicanangkan sampai pada tahun 2025. Atas penetapan tersebut pemerintah Provinsi
Nusa Tenggara Timur 10 (sepuluh) provinsi yang ditetapkan oleh Pemerintah menjadi
destinasi unggulan wisata. Daya Tarik Wisata (DTW) yang dimiliki oleh Provinsi NTT
sebanyak 458 DTW. Selain penetapan Pemerintah Indonesia juga telah membentuk lembaga
non Kementrian dalam bentuk badan Otoritas pariwisata (BOP) yang ditugaskan mengelola
destinasi di luar Bali dalam rangka mewujudkan “single Destination single Management”.
Hal ini dimaksudkan bahwa nantinya setiap daerah pariwisata yang telah ditetapkan akan
dikelola oleh masing-masing BOP
Salah satu provinsi kepulauan di Indonesia total luas wilayah daratan 47.349,9 km2 yang
tersebar 566 buah pulau, diantaranya terdapat 3 gugusan pulau yaitu Flores, (Komodo, Rinca,
Flores, Solor, Adonara, Lembata), Sumba dan Timor (Sabu, Rote, Semau, Timor, Alor dan
Pantar). Dari gugugasan pulau itu yang sudah berpenghuni (42 buah), tak berpenghuni (524
buah), sudah bernama (246 buah), belum bernama (320 buah). Provinsi NTT merupakan
provinsi kepulauan yang memiliki wilayah administrasi 21 Kabupaten dan 1 Kotamadya.
Sektor Pariwisata merupakan salah satu dari 6 (enam) sektor unggulan Provinsi NTT. Hal ini
karena banyak destinasi wisata di Provinsi NTT yang sudah terkenal sampai ke penjuru dunia
seperti Komodo, Danau Kelimutu, Kampung Adat, Taman Laut dan Festival Budaya seperti
Pasola, Reba dan Pantai Nembrala yang memiliki ombak yang menarik dalam kegiatan
olahraga selancar.
Sedangkan untuk pantai nembrala berada KAWASAN PARIWISATA DPN, KSPN
DAN KPPN DI PROV. NTT Di Provinsi NTT terdapat : (Destinasi Komodo-Ruteng dskt;
Destinasi Kelimutu-Maumere dskt; Destinasi Sumba-Waikabubak dskt; Destinasi Alor-
Lembata dskt; Destinasi Kupang-Rotendao dskt) berdasarkan PP 50 tahun 2011 tentang
Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Nasional

Jika ditelusuri letak geografis NusaTenggara Timur terdapat beberapa pulau-pulau


kecil yang berpenghuni. Pulau-pulau kecil pada hakekatnya adalah bagian penting dari negara
kepulauan yang memiliki potensi secara ekologis dan ekonomis yang harus dimanfaatkan
secara optimal untuk kesejahteraan rakyat sesuai amanat atau ketentuan pasal 33 ayat 3,
Undang-Undang Dasar 1945 bahwa Bumi, Air dan Kekayaan Alam di dalamnya dikuasai
oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Salah satu sektor
pembangunan yang dapat dikembangkan di pulau-pulau kecil adalah pariwisata. Pada upaya
pengembangan pariwisata diharapkan menghasilkan dampak positif seoptimal mungkin dan
mencegah seoptimal mungkin munculnya dampak negatif. Namun pada kenyataannya,
pariwisata di beberapa tempat telah berkontribusi menimbulkan dampak negatif terhadap
sumberdaya dan masyarakat lokal, seperti masyarakat wilayah pesisir pantai kehilangan atas
wilayahnya.
Selain itu, dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2014 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah
Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil juga pada hakekatnya memberikan ruang kepada masyarakat
lokal, nelayan tradisional masyarakat adat memiliki hak 30% dari luas pulau untuk
menempati dan memanfaatkan potensi-potensi di pulau kecil untuk memenuhi kebutuhan
hidup sehari-hari.
Undang-undang Nomor 1 Tahun 2014 ini ditelurkan pemerintah setelah Mahkamah
Konstitusi melalui Putusan Nomor 3/PUU-VIII/2010 membatalkan beberapa pasal terkait
Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3) dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007.
Alasan mendasar bagi Makamah Konstitusi adalah pemberian HP3 melanggar prinsip
demokrasi ekonomi yang berdasar atas prinsip kebersamaan dan prinsip efiosiensi
berkeadilan.
Prinsip Kebersamaan harus dimaknai bahwa dalam penyelenggaraan ekonomi
termasuk pengelolaan Sumber Daya Alam bagi keuntungan ekonomi harus melibatkan rakyat
seluas-luasnya dan menguntungkan rakyat banyak, dan tidak boleh memperhatikan prinsip
efisiensi untuk memperoleh hasil sebanyak-banyaknya yang dapat menguntungkan segelintir
pemilik modal atau kapitalis, tetapi harus dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat secara
berkeadilan.
Jika ditelusuri bahwa pendapatan devisa negara 8,221.3 Juta US$ dan kondisi
masyarakat di wilayah pesisir pantai sangat bertolak belakang, artinya Penguasaan dan
pengelolaan sumber daya alam yang dilakukan oleh Negara ternyata belum berdampak pada
peningkatan kualitas kesejahteraan rakyat khususnya di Propinsi Nusa Tenggara Timur.
Banyak kasus menunjukkan bahwa tata kelola sumber daya alam yang dilakukan pemerintah
daerah Nusa Tenggara Timur yang mengatas namakan Negara menyisakan kemiskinan
faktanya NTT tetap berada dalam posisi provinsi termiskin ke3 menurut Data Badan Pusat
Statistik NTT tahun 2018 artinya yang menjadi persoalan adalah apakah pariwisata mampu
menjawab persoalan kemiskinan di NusaTenggara Timur.
Berkembangnya pariwisata di Nusa Tenggara Timur akan mendatangkan banyak manfaat
bagi masyarakat, yakni secara ekonomis, sosial dan budaya. Namun, jika pengembangannya
tidak dipersiapkan dan dikelola dengan baik, justru akan menimbulkan berbagai
permasalahan yang menyulitkan atau bahkan merugikan masyarakat. Maraknya investasi
pariwisata yang dibentuk dengan skema neo liberalisasi yang bertujuan adalah
menguntungkan pelaku usaha dan dampaknya adalah masyarakat pesisir akan menjadi
penonton sejati ditengah maraknya investasi yang berkedok penguasaan hak atas sumber
daya wilayah pesisir, laut, dan ruang terbuka hijau dan dampaknya terhadap nelayan yang
hidupnya bergantung dari wilayah pesisir dan laut. .
Issue globalisasi saat ini sangat didominasi masalah ekonomi dan politik yang dibalut
dalam investasi, finansial perdagangan yang merupakan obyek yang bermain dalam sebuah
mekanisme yang dibentuk untuk mewujudkannya untuk kemakmuran seluruh umat manusia
melalui pasar bebas (free trade). Pengutamaan yang menjadi tujuan dari mekanisme tersebut
adalah pencapaian keuntungan yang sebesar-besarnya, perluasan usaha yang berkedok
jaringan yang menyerupai monopoli (guritas bisnis) yang merupakan perwujudan dari
penguasaan kekuasaan dengan penekanan pada pengaruh dengan dampak politik yang jelas
yaitu ketergantungan.
Masyarakat pesisir pantai dan pemerintah memiliki pandangan yang berbeda dalam
konteks pembangunan. Keduanya ada dengan logikanya masing-masing. Pada tataran
idealnya negara seharusnya mampu memberi ruang bagi keberadaan, penegakan hak, sistem
produksi dan ekonomi, serta sistem masyarakat.
Masyarakat wilayah pesisir pantai hidup di wilayah pinggiran pantai dengan dinamika
ekonomi politiknya sendiri. Sistem produksi masyarakat wilayah pesisir pantai umumnya
mewakili corak produksi dan berbasis pada sumber daya alam lokal dan kearifan lokal.
Utamanya produksi dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan sendiri pada tingkat
komunitas, dengan surplus produksi diperdagangkan ke pasar lokal, baik untuk dipertukarkan
dengan komunitas lainnya, maupun untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat kota. Ikatan
antara masyarakat wilayah pesisir pantai ,laut dan sumber daya alamnya sangat kuat, dan
tidak terbatas pada aspek ekonomi saja. Perkembangan budaya masyarakat wilayah pesisir
pantai juga sangat berkait dengan tanah dan sumber daya alamnya, berhubungan erat dengan
penguasaan, akses dan kontrol terhadapnya.
Sementara negara adalah entitas dengan kepentingan ekonomi politik yang berbeda.
Negara Indonesia berusaha membangun ekonominya dengan strategi pembangunan
berorientasi pertumbuhan, yang bertumpu hampir sepenuhnya pada penanaman modal, baik
asing maupun domestik. Saat ini, ekonomi Indonesia sepenuhnya tergantung pada pengaturan
oleh IMF, yang jelas mewakili kepentingan-kepentingan ekonomi politik negara-negara
maju.
Dengan kepentingan ekonomi politiknya tersebut, negara Republik Indonesia sangat jelas
membutuhkan penguasaan sumber daya alam yang besar. Produksi dari sumber daya alam
jelas sangat diperlukan untuk memutar roda ekonomi berbasis pertumbuhan tersebut. Proyek-
proyek pembangunan infrastruktur untuk memancing investasi perlu dibangun di mana-mana.
Investasi asing pada sektor industri ekstraktif sangat diperlukan, dan lahan-lahan perlu
disediakan untuk itu. Sayangnya sebagian besar lahan-lahan yang ditawarkan untuk investasi
itu, dengan segala sumber daya alam di atas maupun di bawah permukaan tanah, adalah milik
berbagai komunitas masyarakat adat yang hidup di negara ini.
Perwujudan benturan kepentingan tersebut adalah ribuan kasus konflik di seluruh
nusantara sejak naiknya rejim Orde Baru. Berikut ini adalah data konflik agraria
Tabel 5
Presentase Kejadian Konflik berdasarkan jenis Kegiatan tahun 1990-2010
Topik Jumlah Kasus
Kehutanan 1.065
Perkebunan 563
Pembangunan Infrastruktur 299
Pertambangan 174
Perairan, Pesisir dan laut 147
Perindustrian 93
Lingkungan 79
Pertanian 50
Lain-lain 115
Total 2.585
Ssssumber data sekunder : Forest Watch Indonesia, Periode 2009 –
2013, hlm. 80

Data yang lain laporan Konsorsium Pembangunan Agraria Peningkatan yang paling
tajam konflik adalah yang terjadi di sektor pesisir/perairan dengan peningkatan sebesar
841.285,9%.” Di sini kita menemukan bagaimana pada tahun 2014, lahan sekitar pesisir
menjadi incaran utama dalam proyeksi pembangunan imperialis. Apropriasi masif atas lahan
pesisir menjadi penting dalam operasi imperialisme di Indonesia. Temuan ini setidaknya
menunjukkan bahwa bukan visi Jokowi yang berani untuk mengubah prioritas pembangunan
Indonesia, akan tetapi proses struktural imperialisme yang sebenarnya memfasilitasi
peralihan orientasi pembangunan yang ada.
Di hampir semua kasus masyarakat wilayah pesisir pantai dikalahkan, karena negara
berpihak pada kepentingan kaum pemilik modal. Di tahun 2014-2019 yang terjadi di Nusa
Tenggara Timur, Contoh kasus Pembangunan Kolam Apung di Lembata (konflik masyarakat
dengan Pemerintah Daerah Lembata) pada tahun 2019, konflik masyarakat di pantai Lohu,
Desa Balauring,Kecamatan Omesuri, Konflik masyarakat adat yang terjadi di Sumba Barat
antara PT.Marosi Kharisma yang terjadi di wilayah Pesisir pantai tahun 2018 yang berujung
tragis 1 orang mati, 6 orang luka-luka, banyak perempuan jadi korban, konflik masyarakat
adat di wilayah pesisir pantai di Kabupaten Malaka pengrusakan hutan mangrove yang
dilakukan oleh PT. Inti Daya Kencana, konflik ini berujung pada beberapa masyarakat
dikriminalisasi, penjualan tanah secara murah di wilayah pesisir pantai Nembrala Kabupaten
Rote. Sudah tidak terhitung korban pada masyarakat adat, baik material, sosial, psikologis,
maupun korban jiwa. Banyak masyarakat yang kehilangan hak atas tanah,banyak nelayan
yang kehilangan hak atas wilayah pesisir dan tangkapan.
Pemerintah dan investor, dengan project strategis nasional di NTT melihat potensi besar
sumber daya agraria sebagai alat akumulasi modal yang dapat dieksploitasi untuk menjawab
kebutuhan Krisis umum Imperialisme. Akibatnya masyarakat Nusa Tenggara TImur
mengalami kemiskinan yang semakin akut dan tersistematiskan. Masyarakat Nusa Tenggara
Timur juga mengalami bentuk perampasan tanah yang diikut sertakan dengan konflik.
Akibatnya masyarakat kehilangan kepemilikan, akses dan manfaat dari sumber daya seperti
tanah, air, pantai/ kawasan pesisir, ekosistem laut, dan lahan pertanian. Perampasan tanah
diikuti dengan kekerasan, pemaksaan, tetapi juga melalui klaim-klaim kepemilikan, jual beli
tanah dan lewat pengaturan dan privatisasi sumber daya publik. Jika dikaitkan dengan data
BPS jumlah pembangunan hotel ditahun 2017 adalah 365 hotel, bertambah 31 hotel
dibandingkan tahun 2016. Tingkat Penghunian Kamar (TPK) Hotel Berbintang tahun 2017
mencapai 54,56 persen. Lalu bagaimanakah di Kabupaten Rote Ndao ditahun 2016 ada 8
Hotel dan ditahun 2017 meningkat menjadi 18 Hotel dan restoran ditahun 2016 ada 29
restoran dan ditahun 2017 meningkat menjadi 36 Restoran. Lalu bagaimana dengan
kehidupan masyarakat di wilayah pesisir akibat dari pembangunan pariwisata. Praktek-
praktek pariwisata ini sangat berdampak pada kehidupan masyarakat yang tinggal diwilayah
pesisir pantai nembrala kabupaten Rote Ndao
Praktek privatisasi di Indonesia telah berlangsung secara masif dan sistematis sejak era
kekuasaan Soeharto. Sejak diberlakukan undang-undang penanaman modal asing dan
penanaman modal dalam negeri (1967/1968), privatisasi terhadap BUMN serta terhadap
sumber daya produksi di dalam negeri kian marak. Negara memfasilitasi masuknya modal
asing ke dalam negeri yang membuat ribuan hektar tanah milik ulayat beralih fungsi menjadi
tanah yang dikelola hak guna usaha (HGU) oleh korporasi-korporasi, serta hilangnya
lingkungan akibat eksploitasi tambang secara nasional.
Pengalihan kawasan pesisir pantai juga tidak bisa lepas dari persoalan kebijakan publik.
Pasalnya, ruang kelola dan rekreasi rakyat di wilayah propinsi Nusa Tenggara Timur semakin
tidak nyaman dan terbatas di kawasan pesisir karena kebijakan Pemerintah Daerah NTT yang
lebih mengutamakan kepentingan bisnis. Pertumbuhan investasi pembangunan hotel dan
restoran di pesisir ibu kota provinsi itu mengakibatkan semakin terbatasnya ruang terbuka
hijau bagi publik. Banyak tanah milik masyarakat Rote yang berada di wilayah pesisir pantai
nembrala sudah terjual oleh beberapa pelaku usaha/ investor Nasional bahkan investor asing
dengan skema kawin kontrak kepada perempuan guna memuluskan rencana pengelolaan
wilayah pesisir pantai, kepemilikan diduga sementara adalah elit politik NTT bahkan elit
politik nasional, kemudian tanah-tanah tersebut dirubah menjadi hotel-hotel dan restoran
yang telah berdiri di sepanjang wilayah peisisir pantai nembrala Kabupaten Rote.
Pemanfaatan kawasan pesisir untuk kepentingan bisnis tidak hanya berdampak
menghilangkan ruang publik namun juga berdampak terhadap masyarakat wilayah pesisir
pantai yang notabene sebagai nelayan. Padahal, aturan UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang
Perubahan atas UU Nomor 27 Tahun 2017 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-
Pulau Kecil menegaskan bahwa daerah sempadan pantai adalah kawasan milik negara yang
hanya diperbolehkan untuk konservasi, rekreasi rakyat dan pembangunan terkait infrastruktur
ruang publik rakyat. Namun kebijakan pemerintah Daerah Rote Ndao telah membuat
kebijakan guna kepentingan investasi
Nelayan-nelayan di wilayah pesisir pantai Nembrala Kabupaten Rote Ndao mengeluhkan
bahwa mereka tidak bisa mengakses karena masuk dalam zona pariwisata sehingga
mengurangi tangkapan harian mereka. Berdasarkan pengakuan nelayan yang dilakukan pra
penelitian, setempat sebagai masyarakat nelayan mereka sangat mengeluhkan bahwa mereka
sekarang kehilangan atas sumber mata pencaharian yang berdampak pada penghasilan.
Masalah lainnya adalah pantai nembrala dan laut telah diprivatisasi sehingga merenggut mata
pencaharian masyarakat setempat dengan berkurangnya tangkapan ikan mereka.
Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat dipahami bahwa kegiatan kepariwisataan
merupakan salah satu bidang usaha yang dipandang dapat memberikan keuntungan bagi
negara tetapi juga berdampak negative terhadap masyarakat sehingga hal tersebutlah yang
membuat penulis tertarik untuk menganalisis tentang “Implikasi Sosial Terhadap
Masyarakat Pesisir Pantai Atas Pembangunan Pariwisata”

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah Implikasi Sosial Terhadap Masyarakat Pesisir Pantai Atas
Pembangunan Pariwisata?
2. Apa sajakah dampak negatif pembangunan pariwisata pantai nembrala Kabupaten
Rote Ndao terhadap masyaarakat wilayah pesisir pantai?
C. Tujuan penulisan
1. Untuk mengetahui Implikasi Sosial Terhadap Masyarakat Pesisir Pantai Atas
Pembangunan Pariwisata
2. Untuk mengetahui dampak negative apa sajakah terhadap pembangunan pariwisata
pantai nembrala Kabupaten Rote Ndao terhadap masyaarakat wilayah pesisir pantai
D. Manfaat penulisan
Hasil Penelitian ini diharapakan dapat memberi kegunaan secara teoritis dan secara
praktis yaitu :
1. Kegunaan teoritis
Memberikan sumbangan pemikiran dalam ranah ilmu sosiologi, terutama mengenai
aspek sosiologi kemasyarakatan dan sosiologi wilayah pesisir guna mencari solusi
pembangunan yang partisipatif.
2. Kegunaan Praktis
Hasil Penelitian ini berguna kepada segenap kalangan yaitu :
a. Bagi Pemerintah dan DPR
Sebagai bahan masukan bagi pemerintah dan DPR dalam merumuskan dan
membuat aturan perundang-undangan berkaitan pengelolaan sumber daya alam
terhadap masyarakat wilayah pesisir pantai dan penyelesaian konflik mayarakat
wilayah pesisir pantai dan Negara dan Pihak ketiga (Perusahaan Swastayang
melakukan privatisasi terhadap kawasan pesisir pantai)
b. Bagi Peneliti tentang Pariwisata
Penelitian ini diharapkan memberi manfaat bagi peneliti lainnya yang
membutuhkan referensi terkait dengan “Implikasi Sosial Terhadap Masyarakat
Pesisir Pantai Atas Pembangunan Pariwisata”
c. Bagi Masyarakat pesisir pantai
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi positif terkait
permasalahan yang dialami oleh masyarakat wilayah pesisir pantai dalam
pengelolaan dan pemanfaatan terhadap wilayah pesisir dan laut. Terlebih
penelitian ini diharapkan mampu mendokumentasikan dan memberikan solusi
terhadap pariwisata yang partisipasi
d. Bagi Kalangan Akademisi
Penelitian ini diharapkan mampu menambah khasanah keilmuan di bidang
sosiologi, dalam memberikan solusi alternative terhadap pembangunan pariwisata
yang ramah lingkungan dan menguntungkan masyarakat wilayah pesisir pantai .

Anda mungkin juga menyukai