Anda di halaman 1dari 14

GERAKAN SOSIAL DAN KEKERASAN

(Resistensi pada Kekerasan terhadap Perempuan dalam Praktik Gerakan Sosial

Aliansi Laki-laki Baru)

DOSEN PENGAMPU :

Disusun oleh :

TRI RAMADHANI (210250017)

NISFATUL MAUIZZAH (210250031)

SANTIA SIREGAR (210250003)

MARZHATILLAH

PROGRAM STUDI SOSIOLOGI


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS MALIKUSSALEH
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadhirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan
nikmat,taufik,serta hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah Gerakan sosial
dan kekerasan (Resistensi pada Kekerasan terhadap Perempuan dalam Praktik Gerakan Sosial
Aliansi Laki-laki Baru) tepat waktu.terimakasih juga kami ucapkan kepada dosen pengampu
mata kuliah Gerakan sosial yang selalu memberikan dukungan dan bimbingannya dengan
makalah ini bisa menambah wawasan akademik kami.

Makalah ini kami buat dengan tujuan untuk memenuhi tugas Gerakan sosial.Tidak hanya itu
kami juga berharap makalah ini bisa bermanfaat untuk penulis pada khususnya dan pembaca
pada umumnya.Walaupun demikian,kami menyadari dalam penyusunan makalah masih
banyak kekurangan,maka dari itu,kami sangat mengharapkan kritik dan saran untuk
kesempurnaan makalah kami.Akhir kata kami berharap semoga makalah ini dapat
memberikan manfaat bagi kita semua.Kami juga berterimakasih kepada semua yang
membaca makalah kami hingga akhir.
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................................................2

BAB I.......................................................................................................................................................3

PENDAHULUAN..................................................................................................................................3

LATAR BELAKANG............................................................................................................................3

RUMUSAN MASALAH........................................................................................................................4

TUJUAN MASALAH............................................................................................................................4

BAB II.....................................................................................................................................................5

PEMBAHASAN.....................................................................................................................................5

2.1 PENGERTIAN GERAKAN SOSIAL DAN KEKERASAN........................................................5

2.2 JENIS-JENIS KEKERASAN.........................................................................................................7

2.3 GERAKAN PEMBENTUKAN ALB (Aliansi Laki-Laki Baru)..................................................8

2.4 RESISTENSI ALB PADA BASIS IDEOLOGIS KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN


...............................................................................................................................................................11

BAB III..................................................................................................................................................12

PENUTUP.............................................................................................................................................12

3.1 KESIMPULAN..............................................................................................................................12

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................................................13
BAB I
PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG
Kekerasan terhadap perempuan adalah fenomena sosial yang senantiasa terjadi dalam
prevalensi yang fluktuatif. Hal ini dibuktikan dengan data dari Komisi Nasional Anti
Kekerasan terhadap Perempuan (selanjutnya dirujuk sebagai Komnas Perempuan) yang
menunjukkan bahwa sepanjang tahun 2015, terdapat 305.535 kasus kekerasan terhadap
perempuan yang ditangani oleh Pengadilan Agama atau Badan Peradilan Agama, 16.217
kasus ditangani oleh lembaga layanan mitra Komnas Perempuan, serta 1.099 kasus yang
diadukan langsung ke Komnas Perempuan melalui Unit Pengaduan untuk Rujukan. Angka
kekerasan terhadap perempuan ini menurun pada tahun 2016, menjadi 259.150 kasus
kekerasan terhadap perempuan yang berasal dari kompilasi Komnas Perempuan, sebanyak
245.548 kasus ditangan oleh Pengadilan Agama dan 13.602 kasus berasal dari data 233
lembaga mitra pengada layanan Komnas Perempuan (lihat Komnas Perempuan,2017:10).1
Meski menunjukkan penurunan jumlah kasus sepanjang tahun 2015-2016, kekerasan
terhadap perempuan cenderung bertahan
Dalam ruang lingkup akademik, pembahasan mengenai kekerasan terhadap
perempuan telah dilakukan oleh sejumlah akademisi. Pembahasan-pembahasan ini bervariasi,
mulai dari menjelaskan mengenai keterkaitan antara maskulinitas, kebudayaan, dan
kekerasan seksual (lihat Kersten, 1996), pertanggungjawaban kolektif atas perkosaan, sebagai
bentuk dari kekerasan seksual, pada kelompok laki-laki (lihat May dan Strikwerda, 1994),
hingga mengenai kekerasan berbasis gender yang dikondisikan oleh subjektivitas pelaku
(lihat Das, 2008). Secara umum,berbeda, yakni memosisikan laki-laki sebagai pelaku
kekerasan seksual terhadap perempuan korban/penyintas. Oleh sebab itu, penting untuk
memahami peran laki-laki dalam penghapusan kekerasan terhadap perempuan karena laki-
lakikerapkali dipandang sebagai aktor kekerasan seksual terhadap perempuan. Lebih lanjut,
dalam konteks akademik, telah terdapat sejumlah kajian yang telah memfokuskan diri pada
keterlibatan laki-laki dalam agenda gerakan perempuan, khususnya dalam penghapusan
kekerasan terhadap perempuan (lihat Kimmel, 1995; Morrell, 1998; Hasyim, 2009;
Macomber, 2012). Meski demikian, kajian-kajian ini umumnya lebih fokus pada gerakan
sosial di tataran praktik dan melihat bagaimana gerakan pelibatan laki-laki menegosiasikan
identitas kolektif organisasi dalam gerakan perempuan yang lebih luas. Dengan demikian,
kajian-kajian sebelumnya, saya pikir, lebih membahas mengenai praktik gerakan sosial,
namun cenderung abai pada tujuan gerakan sosial itu sendiri.
Pada konteks Indonesia, mengacu pada Hasyim (2008), gerakan pelibatan laki-laki dalam
gerakan perempuan, termasuk di dalamnya gerakan penghapusan kekerasan terhadap
perempuan, telah bermunculan sejak akhir tahun 2000-an dan dimotori oleh laki-laki yang
memiliki kedekatan dengan gerakan perempuan. Wacana mengenai keterlibatan laki-laki
dalam penghapusan kekerasan terhadap perempuan makin dikukuhkan semiloka bertajuk
Lebih lanjut, aktivisme laki-laki di Indonesia dalam agenda keadilan gender ditandai dengan
munculnya Aliansi Laki-laki Baru (selanjutnya dirujuk sebagai ALB), gerakan sosial yang
berdiri pada tahun 2009 untuk membangun citra laki-laki baru anti-kekerasan terhadap
perempuan dan melakukan upaya-upaya yang berorientasi pada perubahan perilaku laki-laki
(dalam Febrianto,2014). Keberadaan ALB ini, menjadi penting untuk dikaji secara
menunjukkan bahwa pelibatan laki-laki dalam gerakan penghapusan kekerasan terhadap
perempuan dapat memiliki repertoar gerakannya tersendiri.

RUMUSAN MASALAH
Adapun Sebagian masalah yang hendak dibahas yaitu:
 Apa yang dimaksud dengan Gerakan sosial dan kekerasan?
 Apa saja jenis-jenis kekerasan?
 Bagaimana Gerakan pembentukan ALB ?
 Bagaimana resistensi ALB pada basis ideologis kekerasan terhadap perempuan?

TUJUAN MASALAH
 Untuk mengetahui pengertian Gerakan sosial dan kekerasan
 Mengetahui jenis-jenis kekerasan
 Untuk mengetahui sejarah pembentukan Gerakan ALB
 Mengetahui resistensi ALB pada basis ideologis kekerasan terhadap perempuan
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 PENGERTIAN GERAKAN SOSIAL DAN KEKERASAN


Gerakan sosial (bahasa Inggris:social movement) adalah aktivitas sosial berupa
gerakan sejenis tindakan sekelompok yang merupakan kelompok informal yang berbentuk
organisasi, berjumlah besar atau individu yang secara spesifik berfokus pada suatu isu-isu
sosial atau politik dengan melaksanakan, menolak, atau mengkampanyekan nilai sebuah
perubahan sosial.Sebuah tindakan perlawanan dapat dikatakan sebagai Gerakan Sosial
dengan memiliki suatu persyaratan. Sydney Tarrow berpendapat gerakan sosial merupakan
suatu tantangan kolektif yang didasarkan pada tujuan-tujuan bersama rasa solidaritas sosial.
dan interaksi sosial yang berkelanjutan antara para elit penentang dan pemegang wewenang
dalam pembahasan tentang gerakan sosial banyak sekali para pakar teoritis sosial
memberikan definisi mengenai Gerakan sosial (sosial movement). Karena beragamnya ruang
lingkup yang dimilikinya salah satunya definisi gerakan sosial dari Anthony Giddens
menyatakan bahwa gerakan sosial adalah suatu upaya kolektif untuk mengejar suatu
kepentingan bersama atau gerakan mencapai suatu tujuan bersama melalui gerakan kolektif
(collective action) diluar lingkup lembaga-lembaga yang mapan.1 Jadi dapat kita tafsirkan
mengenai definisi konsep gerakan sosial dari Giddens yang menyatakan bahwa gerakan
sosial adalah sebuah gerakan yang dilakukan secara bersama-sama demi mencapai tujuan
yang sama-sama diinginkan oleh kelompok atau dengan kata lain Gerakan sosial adalah
tindakan kolektif untuk mencapai keinginan yang menjadi cita-cita bersama.
Gerakan sosial memiliki ragam dan tipe gerakan yang variatif Gerakan sosial bisa
mengakomodir dan memobilisasi partisipan dengan jumlah yang sangat tidak terbatas
ratusan, ribuan, atau bahkan jutaan orang. Gerakan sosial bisa bergerak dalam lingkup dan
batas-batas legalitas yang jelas pada suatu masyarakat juga bisa pula bergerak secara ilegal
sebagai gerakan bawah tanah. Klandemans membagi gerakan sosial menjadi dua tipe, yaitu
yang pertama, Proactive Social Movement, (Pergerakan Sosial Proaktif) dan yang kedua
yaitu Reactive Sosial Movement (Pergerakan Sosial Reaktif). Pergerakan sosial proaktif
merupakan suatu jenis gerakan sosial yang muncul karena adanya suatu kondisi tertentu di
dalam kehidupan masyarakat yang tidak dapat ditolerir dan tujuan mereka adalah untuk
mempromosikan perubahan sosial sedangkan pergerakan reaktif ialah gerakan yang muncul
karena kondisi tertentu dalam masyarakat mengalami perubahan dan masyarakat memberikan
reaksi untuk menolak perubahan tersebut tipe gerakan lainnya dikemukakan oleh David
Aberle yang mengklasifikasikan gerakan sosial menjadi empat tipe berdasarkan besarnya
perubahan sosial yang dikehendaki dan tipe perubahan sosial yang dikehendaki. Tipe pertama
yaitu alternative movements suatu gerakan sosial dari women christian temprerance union
pada kurung waktu 1990-an yang bertujuan mengubah perilaku orang untuk berhenti minum
minuman beralkohol. Para anggotanya yakin jika mereka dapat menutup tempat minuman
keras masalah seperti kemiskinan dan kekerasan terhadap istri akan hilang. Tipe kedua adalah
redemptive movements gerakan sosial yang mencoba mengubah perilaku perorangan secara
menyeluruh seperti dalam bidang keagamaan. Reformative movements gerakan sosial yang
mencoba mengubah masyarakat namun dengan ruang lingkup yang terbatas transformative
movement adalah gerakan yang mencoba mengubah masyarakat secara menyeluruh. Tipe
ketiga yakni reformatitive movements yang mengupayakan reformasi masyarakat secara
menyeluruh tipe ketiga yakni reformative movements gerakan yang mengupayakan reformasi
masyarakat pada segi tertentu dengan ruang lingkup terbatas sebagai contoh gerakan
persamaan hak kaum perempuanTipe terakhir adalah transformative movements suatu
gerakan yang mencoba mengubah masyarakat secara menyeluruh seperti gerakan komunis di
Kamboja
Kekerasan merupakan sebuah ekspresi baik yang dilakukan secara fisik ataupun
secara verbal yang mencerminkan pada tindakan agresi dan penyerangan pada kebebasan
atau martabat seseorang yang dapat dilakukan oleh perorangan atau sekelompok orang
umumnya berkaitan dengan kewenangannya yakni bila diterjemahkan secara bebas dapat
diartinya bahwa semua kewenangan tanpa mengindahkan keabsahan penggunaan atau
tindakan kesewenang-wenangan itu dapat pula dimasukan dalam rumusan kekerasan ini.
Kekerasan antara lain dapat pula berupa pelanggaran (penyiksaan, pemerkosaan,
pemukulan, dll.) yang menyebabkan atau dimaksudkan untuk menyebabkan penderitaan atau
menyakiti orang lain, dan - hingga batas tertentu - kepada binatang dan harta-benda. Istilah
"kekerasan" juga berkonotasi kecenderungan agresif untuk melakukan perilaku yang
merusak. Dampak kekerasan bisa menyebabkan seseorang mengalami trauma yang sulit
dihilangkan,takut berhadapan dengan pelaku kekerasan atau bahkan orang lain,bisa merusak
kondisi kejiwaan atau depresi,bisa meninggalkan bekas luka fisik yang sulit
dihilangkan,membuat emosi menjadi tidak stabil.
Kekerasan pada dasarnya tergolong ke dalam dua bentuk —kekerasan sembarang,
yang mencakup kekerasan dalam skala kecil atau yang tidak terencanakan, dan kekerasan
yang terkoordinasi, yang dilakukan oleh kelompok-kelompok baik yang diberi hak maupun
tidak —seperti yang terjadi dalam perang (yakni kekerasan antar-masyarakat) dan terorisme.
Kekerasan merupakan suatu tindakan yang tidak mencerminkan Hak Asasi Manusia.
Oleh karena itu, bagi pelaku kekerasan harus segera diberikan sanksi hukum yang sudah
berlaku. Selain itu, bagi setiap anggota masyarakat harus saling melindungi agar tindak
kekerasan bisa dihindarkan.
Meskipun tindak kekerasan sudah sangat banyak dan bisa saja terjadi di dekat kita,
tetapi kita tidak boleh menurunkan rasa simpati terhadap korban kekerasan. Hal ini perlu
dilakukan agar korban tidak merasa trauma dan memiliki keberanian dalam menjalani hidup.
Di samping itu, kita juga harus menuntut keadilan agar pelaku kekerasan diberikan sanksi
tegas
2.2 JENIS-JENIS KEKERASAN
Tindak kekerasan masih sering terjadi dalam kehidupan mansuia yang seolah-olah
melekat dalam diri seseorang untuk mencapai tujuan hidupnya.Tidak mengherankan, jika
semakin hari kekerasan semakin meningkat dalam berbagai macam dan bentuk. Oleh karena
itu, para ahli sosiologi berusaha mengelompokan bentuk dan jenis kekerasan menjadi dua
macam, yaitu:
1. Berdasarkan Bentuknya
Berdasarkan bentuknya, kekerasan bisa digolongkan menjadi:
 Kekerasan Fisik
Kekerasan fisik adalah kekerasan nyata yang bisa dilihat dan dirasakan oleh
tubuh.Wujud kekerasan fisik berupa penghilangan kesehatan atau kemampuan
normal tubuh sampai pada nyawa seseorang.Contoh kekerasan fisik di
antaranya penganiayaan, pemukulan, dan lain sebagainya.
 Kekerasan Psikologis
Kekerasan psikologis adalah kekeran yang mempunyai sasaran pada jiwa atau
rohani hingga bisa mengurangi sampai menghilangkan kemampuan normal
jiwa. Contoh kekerasan psikologi di antaranya kebohongan, ancaman, tekanan,
dan doktrinasi.
 Kekerasan Struktural
Kekerasan struktural adalah kekerasan yang dilakukan oleh individu atau
kelompok dengan menggnakan sistem, ekonomi, hukum, atau tata kebiasaan
dalam masyarakat.Kekerasan struktural yang terjadi bisa menimbulkan
ketimpangan-ketimpangan pada sumber daya, pendapatan, pendidikan,
keadilan, dan kewenangan dalam mengambil keputusan.Situasi tersebut bisa
memengaruhi fisik dan jiwa seseorang yang terdampak terhadap kekerasan
tersebut.Biasanya, negara yang bertanggung jawab untuk mengatur kekerasan
struktural karena hanya negara yang memiliki kewenangan untuk mendorong
pembentukan struktur masyarakat.

2.Berdasarkan Pelakunya
Berdasarkan pelakunya, kekerasan terbagi menjadi dua bentuk, yaitu:
 Kekerasan Individual
Kekerasan individual adalah kekerasan yang dilakukan oleh seorang individu
kepada satu atau lebih individu lainnya.Contoh kekerasan individual di
antaranya pencurian, penganiayaan, pemukulan, dan lain sebagainya.

 Kekerasan Kolektif
Kekerasan kolektif adalah kekerasan yang dilakukan oleh banyak orang atau
massa. Contoh kekerasan kolektif di antaranya tawuran pelajar, bentrokan
antardesa, dan lain sebagainya.

2.3 GERAKAN PEMBENTUKAN ALB (Aliansi Laki-Laki Baru)


ALB adalah gerakan lahir dari rahim Gerakan perempuan dan bertujuan untuk
mengajak laki laki untuk terlibat dalam upaya penghentian kekerasan terhadap perempuan
dengan cara membongkar relasi kuasa dalam tatanan masyarakat. ALB tidak dapat dilepaskan
dari refleksi atas permasalahan kekerasan terhadap perempuan yang tidak kunjung berakhir.
ALB berdiri pada tahun 2009 (Febrianto, 2014).ALB sendiri lahir dari wawanara atau diskusi
informal Shera dan Syaldi salah satu pendiri ALB yang kemudian ikut melibakan aktivis
lainnya , Pendirian ALB pada awalnya tidak dapat dilepaskan dari kebuntuan yang dihadapi
oleh para pendiri—sejumlah aktivis yang bergerak pada isu kekerasan terhadap perempuan—
Ketika mereka berbicara mengenai kekerasan terhadap perempuan terdapat sejumlah
organisasi yang pada awalnya terlibat dalam pendirian Aliansi Laki-laki Baru, yakni Yayasan
Pulih, Jurnal Perempuan,Rifka Annisa, dan Men’s Forum Aceh. Selain itu, mereka juga
memperoleh dukungan dari WPF meski WPF bukan merupakan bagian dari aliansi. Lebih
lanjut, Aliansi Laki-laki Baru menggunakan kata ‘Aliansi’ karena pada awalnya merupakan
aliansi dari sejumlah organisasi yang sebelumnya. Selanjutnya, terdapat organisasi yang
tergabung pula dalam aliansi ini, yakni WCC Cahaya Perempuan Bengkulu dan Rumah
Perempuan Kupang.
Pendirian ALB tidak dapat diceraikan dari refleksi yang dilakukan oleh para
pendirinya bahwa belum banyak upaya intervensi yang dilakukan oleh gerakan penghapusan
kekerasan terhadap perempuan yang ditujukan pada laki-laki yang kerap menjadi kekerasan.
Lebih lanjut, penting untuk diperhatikan bahwa para pendiri ALB sejatinya tergabung dalam
sejumlah organisasi yang memang bergerak dalam penghapusan kekerasan terhadap
perempuan, seperti Yayasan Jurnal Perempuan, Yayasan Pulih, Rifka Annisa Women Crisis
Center, dan Men’s Forum Aceh. Keberadaan organisasi-organisasi ini menegaskan pernyataan
ALB yang tertuang dalam Platform ALB (2009) bahwa ALB lahir dari rahim gerakan
perempuan. Dalam praktik gerakan yang dilakukan oleh
ALB, terdapat sejumlah prinsip yang harus diterapkan oleh orang-orang yang terlibat dalam
aliansi, baik di dalam maupun di luar aliansi. Mengacu pada laman ALB, berikut merupakan
prinsip-prinsip yang dianut oleh ALB serta penjabarannya:
1.Berkomitmen terhadap kesetaraan dan keadilan: Aliansi meyakini bahwa laki-laki dan
perempuan memiliki status dan kedudukan yang sama. Oleh karena itu, Aliansi menolak
segala bentuk ketidakadilan yang dialami oleh salah satu jenis kelamin. Aliansi mendukung
sepenuhnya segala strategi afirmasi untuk menciptakan kesetaraan untuk mempercepat
pencapaian keadilan.
2.Anti-diskriminasi: Aliansi menolak segala bentuk tindakan diskriminasi atas dasar jenis
kelamin maupun diskriminasi atas dasar lainnya. Aliansi akan melakukan upaya-upaya untuk
penghapusan tindakan diskriminasi dengan melakukan kampanye dan advokasi.
3.Anti-kekerasan terhadap perempuan: Aliansi meyakini bahwa kekerasan terhadap
perempuan adalah tindakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia dan merupakan
Tindakan melawan hukum. Aliansi menuntut pertanggungjawaban seratus persen terhadap
pelaku kekerasan. Aliansi melakukan upaya-upaya pencegahan dengan mempromosikan
perubahan perilaku kepada laki-laki yang berpotensi untuk menjadi pelaku kekerasan
terhadap perempuan melalui pembangunan citra baru laki-laki yang anti-kekerasan.
Kekerasan terhadap perempuan terjadi karena adanya keterkaitan antara patriarki dan
maskulinitas hegemonik. Di satu sisi, patriarki secara umum, didefinisikan sebagai dominasi
laki-laki atas perempuan. Di sisi lain, maskulinitas hegemonik merupakan konsep yang pada
awalnya dituturkan oleh Connell . Pada tahun 1977, Connell menginkorporasi konsep
‘hegemoni’ dari Gramsci untuk membangun konsepnya atas maskulinitas hegemonik (lihat
Connell dan Messerschmidt, 2005:831). Mengacu pada Kane (2005:54), maskulinitas
hegemonik sejatinya digunakan oleh Connell untuk melihat bagaimana dominasi laki-laki
memeroleh legitimasinya.Patriarki dan maskulinitas hegemonik, saya pikir, dapat dipandang
sebagai bentuk dari kekerasan kultural yang melegitimasi kekerasan terhadap perempuan
dalam bentuk kekerasan langsung dan kekerasan struktural. konsep Galtung (1990) mengenai
kekerasan kultural dapat dioperasionalisasi pada patriarki dan maskulinitas hegemonik,
khususnya untuk melihat bagaimana patriarki dan maskulinitas hegemonik itu sendiri bersifat
kultural.
Pertama,wacana feminisme mengenai patriarki pada umumnya memandang patriarki
sebagai system struktur sosial di mana laki-laki mendominasi, menindas, dan mengeksploitasi
perempuan(lihat Walby, 1990:28). Dengan mengacu pada ancangan definitif Walby (1990)
tersebut, kita dapat melihat bahwa ‘dominasi’, ‘penindasan’, ‘dan ‘eksploitasi’ merupakan
tindakan, baik di tataran interpersonal maupun struktural. Meski demikian, keberadaan
‘patriarki’ itu sendiri tentu merupakan sebuah hal yang tidak kasat mata; pengejawantahan
patriarki sebagai dominasi penindasan, dan eksploitasi –yang merupakan prasyarat
ideologisnya pula- memang dapat dilihat sebagai bentuk dari kekerasan langsung dan
struktural. Akan tetapi, sebagai ‘sistem struktur sosial’, patriarki itu sendiri tumbuh dalam
kebudayaan. Dengan demikian terdapatnperbedaan ontologis antara patriarki dengan
patriarki.
Dengan mengontekstualisasi patriarki sebagai ideologi, kita dapat melihat bahwa
sejatinya patriarki berada di tataran ide dan/atau gagasan, alih-alih tindakan. Cara pandang ini
menjadikan patriarki selaras dengan gagasan Galtung mengenai kebudayaan, yakni “the
symbolic sphere of our existence” (dalam Galtung, 1990:291).Dengan mengacu pada
ancangan definitif dari Galtung tersebut, dapat kita lihat bahwa Galtung memandang
kebudayaan sebagai aspek yang berada di tataran simbolik, alih-alih di tataran praksis berupa
tindakan.Kedua, maskulinitas hegemonik, sebagaimana sebelumnya telah saya paparkan,
dijelaskan Connell (dalam Connell dan Messerschmidt, 2005:831) dengan menginkorporasi
gagasan Gramsci atas hegemoni, yakni dinamika perubahan struktural yang melibatkan
mobilisasi dan demobilisasi atas kelas-kelas sosial. Lebih lanjut, hegemoni dapat
didefinisikan sebagai penguasaan kesadaran melalui pembentukan kepatuhan dan kesadaran
yang dilakukan oleh rezim yang berkuasa pada masyarakat (dalam Saptawasana dan Cahyadi,
2005:30).5 Ketika digunakan dalam konsep maskulinitas hegemonik, hegemoni itu sendiri
tampak ketika bentuk maskulinitas yang hegemonik dipandang Connell sebagai maskulinitas
yang normative.
Pada tataran praksis, maskulinitas hegemonik memang dapat menyebabkan adanya
ketidaksetaraan gender yang terbangun secara material, namun ketika kita bicara mengenai
maskulinitas hegemonik sebagai suatu bentuk maskulinitas yang ideal, maskulinitas
hegemonic itu sendiri menjadi entitas yang tidak berada di tataran tindakan atau praktik,
namun mewujud sebagai ide, gagasan, atau nilai yang kerap diacu dan diadopsi oleh laki-laki.

Ketika dioperasionalisasi pada tipologi kekerasan Galtung, patriarki dan maskulinitas


hegemonik tidak sekadar menjadi kekerasan kultural karena memiliki sifat-sifat yang
‘kultural’, namun karena patriarki dan maskulinitas hegemonik dipandang ALB dapat
melegitimasi bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan yang, saya pikir, merupakan
bentuk dari kekerasan langsung dan kekerasan struktural. Hal ini dapat kita lihat dengan
merujuk pada penjelasan Komnas Perempuan (2017:2-3) bahwa kekerasan terhadap
perempuan terjadi karena adanya budaya patriarki yang diskriminatif dan subordinatif serta
adanya relasi kuasa yang timpang dalam relasi antara laki-laki dan perempuan, suami dan
istri, orangtua dan anak, Negara dan rakyat, guru dan murid, serta atasan dan bawahan. Selain
itu, Komnas Perempuan memandang pula bahwa keengganan dan ketidakmampuan
perempuan korban kekerasan seksual untuk meminta pertolongan dapat disebabkan karena
ketiadaan lembaga layanan di lokasi korban berada atau karena adanya stigma yang
berkembang dalam masyarakat bahwa perempuan korban kekerasan justru merupakan pihak
yang bersalah atas kekerasan yang ia alami.
Aspek kekuasaan ini menjadi penting karena kekerasan terhadap perempuan yang
dimaknai oleh ALB, dengan demikian, tidak dapat dilihat sebagai tindakan yang memang
dilakukan secara individual dan voluntaris oleh pelaku kekerasan, namun memiliki
keterkaitan dengan aspek-aspek kekuasaan yang tumbuh melalui patriarki dan maskulinitas
hegemonikserta menjadikan kekerasan terhadap perempuan dalam bentuk lainnya memeroleh
legitimasinya.
2.4 RESISTENSI ALB PADA BASIS IDEOLOGIS KEKERASAN TERHADAP
PEREMPUAN
Mengacu pada Platform Gerakan ALB (2009) terdapat dua strategi yang dipilih
Aliansi untuk mencapai keadilan gender dan menghapuskan kekerasan terhadap perempuan,
yaitu: (1) Membangun citra baru laki-laki; dan (2) Melakukan upaya-upaya yang berorientasi
pada perubahan laki-laki. ALB melihat bahwa terdapat sejumlah konsep dan teori yang harus
dipahami dalam upaya perjuangan menuju keadilan gender dan harus senantiasa direfleksikan
(dalam ALB, 2011b:13). Konsep dan teori tersebut meliputi konsep dan teori mengenai
gender, maskulinitas, femininitas, seksualitas,kekuasaan dan privilese, kekerasan,
patriarki/maskulinisme, seksisme, feminisme, aktivisme dan gerakan sosial.
ALB menggunakan media daring, khususnya situs web, sebagai medium
penyebarluasan wacana. Hal ini selaras dengan pernyataan Edwards (2004:164) bahwa
internet memiliki sejumlah fungsi dalam gerakan sosial, yang salah satunya ialah diseminasi
informasi. Lebih lanjut, Edwards (2004:166) menyatakan bahwa internet memiliki fungsi
dalam gerakan sosial untuk manajemen frames. Gerakan sosial memiliki perspektif tertentu
mengenai masalahmasalah sosial. Gerakan sosial menggunakan internet untuk melakukan
diseminasi frames ini dan untuk mempengaruhi agenda publik terkait. Internet dapat
berfungsi sebagai medium baru untuk memaparkan frames mereka pada public dan
penjelasan mengenai masalah-masalah sosial yang dihadapi oleh gerakan pada public serta
sebagai ruang untuk menciptakan makna bersama dan identitas kolektif di antara anggota dan
konstituensi gerakan.
Kekerasan terhadap perempuan dapat terjawantah dalam berbagai bentuk, khususnya
ketika dikontekstualisasi dalam tipologi kekerasan Galtung, yakni kekerasan langsung,
kekerasan struktural, dan kekerasan kultural. Kekerasan terhadap perempuan dalam ketiga
bentuk kekerasan ini mensyaratkan adanya kekuasaan yang menubuh dalam patriarki dan
maskulinitas hegemonik yang dimaknai ALB sebagai basis ideologis dari kekerasan terhadap
perempuan nilai-nilai feminisme dalam praktik gerakan sosial yang dilakukan oleh ALB dan
partisipan gerakan ALB sebagai bentuk dari resistensi ALB pada kekerasan terhadap
perempuan yang terejawantah dalam berbagai bentuk kekerasan. Pada konteks ALB, hal ini
tampak pada patriarki dan maskulinitas hegemonik yang dimaknai ALB sebagai basis
ideologis dari kekerasan terhadap perempuan. Lebih lanjut, upaya ALB untuk melibatkan
laki-laki dalam membongkar paradigma kelakilakian yang patriarkis mensyaratkan adanya
oposisi pada paradigma kelakian-lakian yang patriarkis tersebut. Dengan demikian, ALB
memiliki oposisi yang jelas, yakni kekerasan terhadap perempuan yang dapat mewujud dalam
beragam bentuk, termasuk dalam bentuk kekerasan kultural sebagai nilai dan ideologi
patriarkal dan maskulinitas hegemonik yang melegitimasi bentuk-bentuk kekerasan terhadap
perempuan lainnya.
Untuk membangun kesadaran laki-laki dapat dipandang sebagai penolakan ALB
terhadap nilai-nilai maskulinitas yang patriarkal dan, dengan demikian, menunjukkan bahwa
ALB melakukan resistensi pada kekerasan terhadap perempuan, baik tindakan kekerasan itu
sendiri di tataran praksis maupun nilai-nilai yang diejawantahkan oleh patriarki dan
maskulinitas hegemonik di tataran ideologis.

BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
Sebuah tindakan perlawanan dapat dikatakan sebagai Gerakan Sosial dengan
memiliki suatu persyaratan. Sydney Tarrow berpendapat gerakan sosial merupakan suatu
tantangan kolektif yang didasarkan pada tujuan-tujuan bersama rasa solidaritas sosial. dan
interaksi sosial yang berkelanjutan antara para elit penentang dan pemegang wewenang.
Selanjutnya kekerasan antara lain dapat pula berupa pelanggaran (penyiksaan, pemerkosaan,
pemukulan, dll.) yang menyebabkan atau dimaksudkan untuk menyebabkan penderitaan atau
menyakiti orang lain, dan - hingga batas tertentu - kepada binatang dan harta-benda. Istilah
"kekerasan" juga berkonotasi kecenderungan agresif untuk melakukan perilaku yang
merusak.
Kekerasan terhadap perempuan sudah menjadi hal yang lumrah terjadi kekerasan
tersebut terjadi dalam bentuk kekerasan kultural dan structural ALB yang merupakan aliansi
laki-laki baru yaitu suatu Gerakan pencegahan kekeasan terhadap perempuan baik secara
structural maupun kultural dengan membangun kesadaran laki-laki terhadap maskulinitas dan
patriarki.
DAFTAR PUSTAKA

Febi Rizki Ramadhan


“Kekerasan itu Katarsis dari Patriarki!”: Resistensi pada Kekerasan
terhadap Perempuan dalam Praktik Gerakan SosialAliansi Laki-laki Baru
Hufad, A. (2003). Perilaku kekerasan: analisis menurut sistem budaya dan implikasi edukatif.
Mimbar Pendidikan, 22(2), 52-61.
Wizein, I. R. J. Gerakan Sosial Baru Dan Media Baru Studi Atas Gerakan Sosial Jaringan Muda
Dalam Mengkampanyekan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual Di
Instagram (Bachelor's thesis, Program Studi Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta).

Anda mungkin juga menyukai