Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sejarah gerakan perempuan Indonesia dapat ditelusuri kembali ke tahun 1928.
Gerakan perempuan Indonesia saat itu yakni melawan pemerintah kolonial dan berusaha
memperjuangkan kemerdekaan negara Indonesia. Pada tanggal 22 Desember 1928
berdirilah Kongres Pemuda Perempuan yang menjadi tonggak bagi kesatuan pergerakan
perempuan Indonesia. Study terkait gerakan perempuan di Indonesia telah banyak
dilakukan sebelumnya, salah satunya tentang gerakan perempuan Rembang yang
melakukan perlawanan terhadap korporasi tambang semen di Jawa Tengah. Pegunungan
Kendeng menjadi bagian yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan masyarakat untuk
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari mulai dari kebutuhan pangan, air untuk minum,
mencuci dan mandi serta kebutuhan lainnya. Dari hari ke hari, ketakutan dan kegelisahan
masyarakat menjadi penyemangat agar dapat mempertahankan Pegunungan Kendeng
sebagai sumber kehidupan bagi masyarakat sekitar.
Pemerintah Jawa Tengah sendiri memberikan izin pendirian PT Semen Indonesia
tanpa mempertimbangkan keberadaan masyarakat yang bergantung pada lingkungan
sekitar. Sadar akan lingkungannya yang terancam akibat tambang semen, warga pun
melakukan perlawanan. Hal ini dilakukan bukan tanpa alasan, bentuk penolakan
masyarakat Rembang ini adalah gerakan sosial yang dijalankan secara konsisten dan
kolektif oleh masyarakat dengan tujuan untuk menolak pencemaran pada kawasan tempat
tinggalnya akibat beroperasinya tambang semen, melindungi lingkungan dari ancaman
pembangunan tambang semen dan mengeksploitasi sumber daya alam tanpa
memperhatikan kondisi objektif lingkungan. Menariknya, aksi masyarakat lokal terhadap
eskploitasi tambang semen dilakukan oleh mayoritas perempuan dengan profesi petani.
Inilah bukti bahwa perempuan memiliki kepentingan bersama dalam upaya
menyelamatkan lingkungan dan sumber daya alamnya (Puspita, 2017).
Sebenarnya, permasalahan utama dalam kasus ini adalah hilangnya kepercayaan
masyarakat Kendeng kepada negara karena kurangnya upaya transparasi dampak sosial
dan lingkungan mengenai keberadaan tambang semen di lokasi ini. Masyarakat Rembang
juga sadar betul bahwa kehidupan mereka bergantung pada alam. Maka perempuan
Rembang menunjukkan perlawanan dalam bentuk gerakan ideologis, yang didukung oleh
berbagai organisasi masyarakat sipil. Munculnya Gerakan Perempuan Rembang
berangkat dari pola pikir ekofeminisme yang tidak terlepas dari keresahan perempuan
akan praktik destruktif ekologi dan berujung pada ketimpangan gender. Gerakan
ekofeminisme ditunjukkan oleh perempuan Rembang yang berpartisipasi dalam gerakan
sosial menentang operasi tambang semen. Ekofeminisme sendiri adalah aliran feminis
yang menjelaskan hubungan antara perempuan dan alam, dengan penekanan pada
perusakan lingkungan dan penindasan terhadap perempuan. Dalam hal ini, alam
dipandang sebagai simbol seorang wanita yang berada di bawah kendali seorang pria.
Gerakan ekofeminisme ini bertujuan untuk membongkar keterpurukan ekologis yang
didominasi dan dilakukan oleh laki - laki.
Kelompok Masyarakat Rembang memiliki prinsip yang sangat kuat untuk menjaga
lingkungan dan juga sebagai upaya untuk bertahan hidup. Oleh karena itu, sudah
selayaknya pemerintah lebih mengutamakan keadilan sosial dan mengedepankan
perlindungan lingkungan serta menempatkan masyarakat sebagai subjek utama dalam
kebijakan pembangunan, sehingga arah kebijakan pemerintah tidak hanya berdampak
positif bagi pembangunan, tetapi juga memberikan kesejahteraan bagi kehidupan
masyarakat. Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, judul yang cocok digunakan
dalam makalah ini adalah “Perlawanan Perempuan Terhadap Pembangunan Tambang
Semen (Gerakan Ekofeminisme di Pegunungan Kendeng, Jawa Tengah)”.

1.2 Rumusan Masalah


Rumusan masalah dari makalah ini adalah:
1. Bagaimana deskripsi kasus pembangunan tambang semen di Pegunungan Kendeng,
Jawa Tengah?
2. Mengapa perempuan melakukan perlawanan terhadap pembangunan tambang semen?
3. Bagaimana pergerakan ekofeminisme yang dilakukan kaum perempuan dalam
melawan pembangunan tambang semen?
4. Bagaimana gerakan ekofeminisme menyelesaikan permasalahan pembangunan
tambang semen?

1.3 Tujuan Penelitian


Tujuan penulisan dari makalah ini adalah:
1. Untuk mengetahui deskripsi kasus pembangunan tambang semen di Pegunungan
Kendeng, Jawa Tengah.
2. Untuk mengetahui alasan perempuan melakukan perlawanan terhadap pembangunan
tambang semen.
3. Untuk mengetahui gerakan ekofeminisme yang dilakukan kaum perempuan dalam
melawan pembangunan tambang semen.
4. Untuk mengetahui penyelesaian permasalahan pembangunan tambang semen oleh
gerakan ekofeminisme
BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Hakikat Gerakan Sosial


Fenomena yang mendunia selalu terjadi beriringan dengan perkembangan
teknologi yang signifikan di setiap harinya. Hal ini tentu akan memicu terjadinya suatu
perubahan dalam tatanan masyarakat. Yang mana jika perubahan tersebut tidak dapat
diterima oleh masyarakat, maka akan berujung pada konflik. Konflik inilah yang
nantinya akan membentuk apa yang dikatakan sebagai gerakan sosial. Gerakan yang
timbul di lingkup manusia umumnya diciptakan oleh para pemimpin yang memiliki
karismatik dan keberanian yang tinggi untuk melewati maupun melawan ketidakpuasan
yang ada pada kehidupan manusia. Namun gerakan-gerakan manusia yang hanya
diciptakan oleh pemimpin, kini mulai berubah secara perlahan. Adanya gerakan sosial ini
bermula dari masyarakat yang menginginkan revolusi pada akhir tahun 1960 karena
banyak terjadi gerakan protes yang dilakukan masyarakat dunia kepada pemerintahnya.
Kemudian seiring dengan peralihan tatanan dalam masyarakat, maka memunculkan
suatu hal yang dinamakan gerakan sosial. Gerakan sosial hadir ketika ada ketidakpuasaan
akan tatanan kehidupan sosial yang disebabkan oleh adanya ketidaksetaraan dan
ketidakadilan sosial. Sejalan dengan pendapat Blumer dalam Sztompka (2017:307)
bahwa gerakan sosial adalah upaya untuk membangun tatanan kehidupan yang baru
(sosial). Gerakan sosial adalah suatu bentuk pengelolaan dalam rangka perlawanan
terhadap perilaku-perilaku yang menyimpang dari nilai-nilai yang seharusnya terdapat
pada masyarakat. Namun kaitannya dengan konteks ini, gerakan sosial memiliki definisi
yang berbeda dengan suatu pemberontakan ataupun revolusi, karena gerakan sosial
dalam aksinya tidak menggunakan suatu kekerasan. Gerakan sosial juga dapat
didefinisikan sebagai suatu bentuk kolektif masyarakat yang memiliki ikatan solidaritas
dan tujuan yang sama. Dimana mereka menyadari akan adanya suatu hal yang tidak
sesuai, dan bersama-sama berkeinginan untuk menyelesaikannya.
Gerakan sosial dapat dibedakan menjadi gerakan sosial klasik dan gerakan sosial
kontemporer. Konteks gerakan sosial klasik menekankan kepada isu atau masalah sosial
dan politik serta memusatkan perhatian pada kepentingan ekonomi saja. Selain itu
gerakan sosial klasik yang mengacu kepada pandangan Marxisme, menolak akan adanya
modernitas dan anti kapitalistik. Sehingga gerakan sosial lama membentuk perilaku
kolektif di masyarakat. Sejalan dengan pendapat Singh dalam Oman Sukmana (2016:18)
yang menyatakan bahwa sebagian besar gerakan sosial klasik mengacu kepada studi
perilaku kolektif dari perspektif psikologi sosial, yaitu kerumunan (crowd), kerusuhan
(riot), dan penolakan/pembangkangan (rebel). Oleh sebab itu dalam gerakan sosial lama
memiliki karakteristik perilaku organisatoris, memiliki tujuan yang jelas dan rasional,
dan memiliki strategi dalam mencapai tujuan yang diinginkan. Berbeda halnya gerakan
sosial baru muncul akibat fokus gerakan sosial klasik hanya pada isu sosial dan politik
saja, terutama mengenai kekecewaan para intelektual yang hanya memandang bahwa
gerakan sosial cerminan dari perjuangan antar kelas yang dimotori oleh kaum buruh saja.
Adanya gerakan sosial baru ranah-ranah yang seharusnya tidak dikaji atau dibahas
justru menjadi topik yang saat ini semakin menarik untuk diperbincangkan. Gerakan
sosial baru dalam pelaksanaannya memiliki beberapa ciri diantaranya (1) memiliki
keanggotaan yang dapat diikuti oleh berbagai kalangan tanpa terkecuali, (2) karena
anggotanya yang beragam maka untuk menyatukannya sudah tidak lagi menggunakan
suatu pandangan, melainkan lebih kepada penggunaan nilai yang beragam, (3) tema yang
diangkat dalam gerakan berasosiasi dengan kepentingan dan solidaritas bersama agar
terdapat perbedaan dengan kelompok lainnya, (4) hubungan yang terjalin antarorang
dengan kelompok tidak memiliki kejelasan, (5) seringkali mengaitkan unsur yang
melekat pada diri manusia dan perasaan manusia, (6) pengarahan yang diperlihatkan
dalam gerakan sosial baru, yaitu tanpa adanya kekerasan.

2.2 Teori Ekofeminisme


Dalam ekologi ada istilah “eko” yang dalam bahasa Yunani, yakni Oikos. Oikos
memiliki arti rumah tempat tinggal; tempat tinggal bagi semua perempuan dan laki-laki,
satwa, maupun flora, tanah, air, matahari, maupun udara (Tri Marhaeni Pudji Astuti,
2012: 50). Kemunculan feminisme adalah untuk mengatasi permasalahan gender yang
menimpa perempuan, seperti ketidaksetaraan gender, penindasan, diskriminasi,
ketidakadilan gender, maupun kekerasan pada perempuan. Dominasi patriarki yang
menganggap bahwa laki-laki yang paling kuat dan pemegang kekuasaan yang utama,
menyebabkan perempuan tidak bisa bergerak secara bebas di luar aktivitas domestik,
termasuk ikut terlibat dalam gerakan lingkungan. Adanya gerakan feminisme ini yang
membawa perubahan bagi perempuan, sehingga perempuan kini bisa ikut terlibat dalam
gerakan lingkungan. Semua itu tidak terlepas dari adanya tujuan yang saling melengkapi
antara feminisme dengan ekologi. Hal inilah yang memunculkan adanya ekofeminisme.
Para filsuf ekofeminisme mempercayai bahwa adanya dominasi ganda terhadap alam dan
perempuan merupakan dualisme nilai dan hierarki nilai. Maka dari itu, feminisime
memiliki peran dalam etika lingkungan yang tujuannya adalah untuk mengungkapkan
dan menghancurkan dualisme tersebut serta merekonstruksi kembali pemikiran dari para
filsuf (Tri Marhaeni Pudji Astuti, 2012: 51).
Ekofeminisme diutarakan oleh Benediktus Dalupe (2020: 35) adalah teori yang
sudah berkembang dari berbagai bidang penelitian. Seorang feminis asal Perancis
bernama Francoise d’Eaubonne memakai kata ecofeminsm untuk pertama kalinya di
tahun 1974. Kata tersebut mengacu pada penyelamatan bumi yang dilakukan oleh
gerakan wanita. Karren Warren (2000) seorang penulis feminis mengutarakan bahwa,
esai yang ditulis oleh Aldo Leopold yaitu “Land Ethic” (1949) adalah hasil karya yang
mendasari adanya konsepsi tentang ekofeminisme. Karren Warren berpendapat bahwa,
Leopold merupakan orang pertama yang mengharuskan adanya etika untuk bisa
memperoleh tanah dan semua bagian dari non manusia dari suatu komunitas memiliki
kesamaan dengan manusia dan saling terjalin dengan manusia. Dari hal tersebut yang
menjadikan adanya gerakan pelestarian lingkungan modern dan menggambarkan bahwa
isu lingkungan dapat dilihat melalui kerangka kepedulian.
Ekofeminisme adalah teori yang berkembang dan berasal dari teori feminisme
modern yang tidak sama atau memiliki perbedaan mendalam. Perbedaan antara teori
ekofeminisme dan teori femnisme modern ada pada pandangannya, dimana teori
feminisme modern hanya memandang dualistik antara tubuh dan jiwa pada laki-laki dan
perempuan maupun manusia dan alam saja. Sedangkan ekofeminisme memberikan
pandangan yang lebih luas atau holistik, inklusif, serta plural yang mana laki-laki dan
perempuan membangun relasi untuk mencegah terjadinya tindak kekerasan, menolak
adanya perang, menjaga kelestarian alam, maupun mengangkat tentang kesetaraan
gender. Dari hal itulah yang kemudian menjadikan kesetaraan gender bisa memberikan
keuntungan bagi laki-laki maupun perempuan dan saling bersinergi satu sama lain.
Selain perbedaan tersebut, adapaula perbedaan dari segi isu atau masalah yang diangkat
dalam teori feminisme modern dengan ekofeminisme. Pada teori feminisme, isu
kesejahteraan anak dan pelestarian lingkungan tidak dikaji secara mendalam, sehingga
kajian feminisme modern hanya sebatas kepada subordinasi perempuan saja. Sedangkan
pada teori ekofeminisme, isu utama yang diangkat adalah mengenai penerimaan
perbedaan kedudukan antara laki-laki dan perempuan, sehingga perspektif mengenai
penyamaan kedudukan dari feminitas bisa disudahi/dihilangkan, dengan begitu maka
laki-laki dan perempuan tidak lagi berkompetitif.
Kecenderungan pandangan teori feminisme modern mengangkat isu kesetaraan
gender saja menjadikan kaum perempuan memiliki sikap individualis yang hanya
mementingkan diri sendiri saja, sedangkan lingkungan di sekitarnya ditinggalkan.
Pandangan feminis modern yang menganggap bahwa perempuan sebagai makhluk yang
otonom dan bebas dalam menentukan kehidupannya kemudian dibantah oleh teori
ekofeminisme. Sesungguhnya menurut teori ekofeminisme asumsi mengenai individu itu
adalah komperhensif dan menyeluruh, sehingga perempuan memiliki pengaruh terhadap
lingkungan sekitarnya baik manusia maupun alam. Dari hal itulah teori ekofeminisme
mulai memandang berbeda mengenai perempuan adalah makhluk otonom. Isu persoalan
yang dibahas dalam teori ekofeminisme yang kompleks menyebabkan ekofeminisme
dapat masuk ke dalam permasalahan sosial yang ada, seperti halnya mengenai masalah
sosial, kultural, dan struktural. Dengan demikian, teori ekofeminisme adalah suatu kajian
keilmuan sosial yang membahas mengenai kesetaraan gender, penerimaan kedudukan
antara laki-laki dan perempuan, mengurangi dan menghapuskan perlakuan keji terhadap
makhluk hidup, menghormati keberagaman, serta meningkatkan peran perempuan dan
laki-laki untuk menjaga kelestarian lingkungan. Dari sini dapat memberikan gambaran
bahwa konsep ekofeminisme mempertimbangkan persoalan moral dan etis, baik terhadap
manusia maupun alam.

2.3 Hakikat Gender


Dalam kajian feminisme, gender merujuk pada suatu ciri atau sifat yang terkait
dengan jenis kelamin tertentu, baik berupa kebiasaan, budaya, atau perilaku psikologis,
dan tidak merujuk pada perbedaan secara biologis. Aktivis kesetaraan gender secara
sederhana mendefinisi seks sebagai jenis kelamin biologis sejak lahir, yaitu laki-laki atau
perempuan berdasarkan alat kelamin yang dimilikinya, sedangkan gender adalah “jenis
kelamin” sosial yang bermanifestasi sebagai atribut maskulin atau feminim dan
merupakan konstruksi sosiokultural (Moh Khuza'i, 2013: 104). Dalam bahasa inggris
gender berarti jenis kelamin. Berdasarkan definisi tersebut, kata gender pada awalnya
digunakan untuk mendefinisikan perbedaan biologis antara pria dan Wanita (Evi Resti
Dianita, 2020: 92). Telah diketahui bahwa terdapat beragam hal yang berbeda dari
perempuan dan laki-laki yang bisa tampak dari luar. Gender digunakan untuk
menggambarkan sifat-sifat yang dibangun secara sosial dari laki-laki dan perempuan,
sedangkan seks berpatokan kepada sifat-sifat yang ditetapkan dari segi biologis. Apabila
individu terlahir sebagai perempuan, maka dirinya akan belajar dan tumbuh untuk
menjadi perempuan yang feminis, sebaliknya apabila individu terlahir sebagai laki-laki
maka dirinya akan belajar dan tumbuh menjadi laki-laki yang maskulin. Tingkah laku
demikian yang menjadi identitas gender dalam menentukan peran gender mereka di
kemudian hari. Namun, berbeda dengan pengertian seks, dimana seks lebih dekat
dimaknai sebagai ciri fisik-biogis dari manusia, baik itu laki-laki maupun perempuan.
Perbedaan peran gender antara perempuan dengan laki-laki merupakan akibat dari
terbentuknya konstruksi sosial dan budaya yang ada di masyarakat. Secara umum, hal
itulah yang menjadikan adanya perbedaan peran, fungsi, tanggungjawab, maupun ruang
atau tempat manusia itu beraktivitas. Senada dengan pendapat yang diutarakan oleh Ade
Kartini & Asep Maulana (2019: 223) menurut mereka istilah “gender” dibentuk
(konstruksi) oleh sosial budaya yang tertanam lama di masyarakat dan telah melewati
dari berbagai generasi, sehingga dari konstruksi tersebut yang menjadikan adanya
perbedaan peran, status, fungsi, maupun tanggungjawab pada laki-laki dan perempuan.
Dapat disimpulkan bahwa gender merupakan sebuah hasil kesepakatan yang dilakukan
oleh manusia yang sifatnya bukanlah kodrati dan gender dapat mengalami perubahan
maupun dipertukarkan dari suatu diri manusia ke diri manusia lainnya tergantung dengan
waktu serta budaya dari masyarakat sekitar. Cara pandang tersebut terus melekat pada
setiap diri individu akibat konstruksi sosial, padahal gender sendiri bukan sesuatu yang
kodrati ataupun permanen serta abadi. Kepermanenan dan keabadian hanyalah pada seks
(ciri biologis) yang dimiliki oleh laki-laki ataupun perempuan, sedangkan gender tidak
demikian.

2.4 Hakikat Pembangunan


Pembangunan didefinisikan oleh Portes (1976) dalam Kumba Digdowiseiso (2019:
8) adalah suatu proses transformasi atau perubahan yang sengaja dilakukan guna untuk
meningkatkan aspek kehidupan masyarakat seperti ekonomi, sosial, dan budaya.
Pembangunan dapat pula dikatakan sebagai usaha terkoordinasi yang tujuannya adalah
untuk mewujudkan dan memenuhi segala aspirasi (keinginan) dari manusia. Transisi
menuju perbaikan membutuhkan mobilisasi seluruh kemampuan manusia untuk
mencapai apa yang diinginkannya. Pembangunan itu sendiri merupakan proses nalar
untuk menciptakan budaya dan peradaban manusia. Kehidupan manusia akan selalu
mengalami perubahan, sehingga pembangunan sendiri tidak akan bisa dihentikan oleh
masyarakat. Justru dengan pembangunan, kehidupan masyarakat akan terus mengalami
perbaikan ke arah yang lebih baik. Namun, inti dari pembangunan bukanlah tentang
perubahan struktur fisik atau material saja, tetapi menyangkut pula dengan transisi
(perubahan) sikap dan pandangan dari masyarakat itu sendiri.
Pembangunan pada hakikatnya tidak bisa dilepaskan dari yang namanya
pertumbuhan, sebab adanya pembangunan dapat menimbulkan terjadinya pertumbuhan
dan pertumbuhan sendiri terjadi akibat adanya pembangunan. Pada konteks ini,
pertumbuhan yang dimaksud adalah perkembangan, perluasan, maupun peningkatan dari
suatu aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat. Oleh karena itu, secara teori pandangan
terkait pembangunan dapat dilihat dari dua hal, yakni teori modernisasi dan teori
imperialisme. Teori modernisasi mengutamakan aspek ekonomi dan sosiologis.
Sementara itu, teori imperialisme berdasarkan pandangan Marxis bahwa, kekayaan yang
dimiliki oleh negara-negara Barat berasal dari hasil pencurian. Dalam teori imperialisme
sendiri, pembangunan merupakan transisi dari yang buruk menjadi lebih baik atau usaha
yang tujuannya adalah untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat menjadi lebih baik.
Hal ini yang disebut sebagai kemajuan, yang biasanya akan dikaitkan dengan kemajuan
materil atau pencapaian (keberhasilan) masyarakat dalam aspek ekonomi (Adon
Nasrulloh, 2016: 6).
Secara konseptual pembangunan adalah suatu usaha yang bertujuan untuk
menaikkan atau memajukan suatu nilai yang sebelumnya telah ada. Pembangunan
memiliki arti pula sebagai seperangkat usaha yang dilakukan oleh manusia untuk
tercapainya suatu peradaban kehidupan sosial dan budaya ke arah kemajuan, yang
ditandai dengan terjadinya perubahan sosial dan kebudayaan pada kehidupan
masyarakat. Maka dari itu, tidak heran apabila proses pembangunan yang dilakukan akan
berdampak pada berbagai aspek kehidupan masyarakat, seperti aspek ekonomi, sosial,
budaya, dan politik baik dari skala makro (nasional) maupun mikro
(komunitas/masyarakat). Menciptakan kondisi masyarakat beserta wilayahnya menjadi
lebih baik dari sebelumnya adalah salah satu tujuan dari diselenggarakannya
pembangunan di suatu negara. Oleh karena itu, pembangunan yang dilakukan oleh
negara haruslah memberikan keuntungan bagi masyarakat dan wilayah yang merupakan
dari satu kesatuan lingkungan hidup. Pembangunan dikatakan bermanfaat apabila
masyarakat dan wilayah yang merupakan satu kesatuan lingkungan hidup merasakan
manfaatnya. Masyarakat yang mendapatkan pelayanan atau manfaat dari pembangunan
akan ditandai dengan teraturnya aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat dan
meningkatnya kualitas sumber daya manusia dengan disertai terpeliharanya lingkungan
hidup dengan baik (Agus Rianto, 2019: 5).

BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Deskripsi Kasus Pembangunan Tambang Semen di Pegunungan Kendeng Jawa


Pegunungan Kendeng adalah kawasan pengunungan kapur (karst) yang terletak di
wilayah utara Pulau Jawa, meliputi Provinsi Jawa Tengah hingga Jawa Timur. Mulai dari
Kabupaten Grobogan, Blora, Rembang, Pati di Provinsi Jawa Tengah, sampai bagian
utara Kabupaten Jombang dan Tuban di Provinsi Jawa Timur. Pegunungan Kendeng
termasuk ke dalam kawasan lindung geologi, sesuai dengan Keputusan Menteri Energi
dan Sumberdaya Mineral (ESDM) Nomor 0397K/40/MEM/2005. Terdapat juga sumber
daya alam yang melimpah ruah di kawasan Pegunungan Kendeng seperti sumber mata
air, hutan, sungai bawah tanah dan gua.

Melimpahnya sumber daya alam di Pegunungan Kendeng khususnya air,


dimanfaatkan oleh masyarakat setempat sebagai sumber air untuk bertani karena pada
umumnya masyarakat bermata pencaharian sebagai petani. Namun, saat ini sektor
pertanian tengah berada dalam ancaman serius yang diakibatkan oleh para pengusaha
tambang yang memanfaatkan karst di kawasan Pegunungan Kendeng dengan
pembangunan tambang semen. Hal itu tentunya menimbulkan penolakan dari masyarakat
Pegunungan Kendeng dengan salah satu pabrik semen yaitu PT Semen Indonesia hingga
akhirnya menjadi konflik. Konflik bermula dari munculnya isu rencana pembangunan
pabrik semen oleh PT Semen Indonesia pada tahun 2011 dan 2012, namun warga
Pegunungan Kendeng tidak menyadari hal tersebut. Lalu selang beberapa tahun
kemudian tepatnya tahun 2014 dilakukan upacara peletakan batu pertama secara tiba-tiba
di wilayah yang akan dijadikan dibangun tambang semen (Rily Juniarto, 2017).

Warga melakukan protes sebagai aksi menolak dibangunnya pabrik semen di


kawasan Pegunungan Kendeng dengan membuat tenda yang beri nama “Tenda Tolak
Semen“ di area pembangunan pabrik semen. Sebagian besar yang melakukan aksi
penolakan adalah perempuan, sedikitnya ada 300an perempuan yang ikut andil dan
meminta agar alat-alat berat dikeluarkan dari kawasan Pegunungan Kendeng. Penolakan
yang dilakukan oleh warga tidak serta merta tanpa alasan, warga menolak pembangunan
tambang dengan alasan pembangunan tambang tersebut akan mengancam ketersediaan
pangan, air dan juga merusak lingkungan tempat tinggal mereka (Fitri & Akbar, 2017).

3.2 Alasan Perempuan Melakukan Perlawanan terhadap Pembangunan Tambang


Semen
Persoalan lingkungan saat ini termasuk salah satu isu aktual dari lima isu aktual
kontemporer modern yang ada. Kelima isu aktual tersebut adalah isu globalisasi,
demokratisasi, hak asasi manusia (HAM), kesetaraan gender dan lingkungan. Kelima isu
ini diproyeksikan akan tetap aktual pada abad ke-21 ini. Dalam era maraknya
pembangunan di segala bidang, perlindungan konservasi sumber daya alam dan
ekosistemnya sudah seharusnya diintesifkan, mengingat bahwa kegiatan pembangunan
dapat menimbulkan risiko berupa kerusakan pada kemampuan dan fungsi sumber daya
alam dan ekosistemnya. Risiko kerusakan tersebut dapat berupaya rusaknya berbagai
sistem pendukung kehidupan yang vital bagi manusia.
Dalam bahasan ini, pembangunan tambang semen di Pegunungan Kendeng
khusunya Rembang dinilai serupa dengan rencana lokasi tambang semen di kecamatan
Gunem juga beberapa penambangan yang sudah beroperasi lama. Ada beberapa
perusahaan tambang yang beroperasi dan menjadi contoh nyata penyumbang kerusakan
baik itu kerusakan alam, kesehatan maupun moral. Kerusakan alam berupa matinya
beberapa sumber mata air dan menurunnya debit mata air yang berada tidak jauh dari
lokasi penambangan. Debu dari polusi truk pengangkut batu beterbangan dan menutupi
daun-daun pada tanaman yang berakibat pada rusaknya tanaman petani dikarenakan
tanaman yang tertutup debu tidak bisa berfotosintesis dengan sempurna. Selain itu debu
juga membuat sesak napas. Penambangan hanya akan menimbulkan kerusakan alam,
apalagi jika dilakukan dikawasan lindung. Umur ekonomis perusahaan tambang juga
sangat terbatas, berbeda dengan umur ekonomis lahan produktif pertanian yang tidak
terbatas.
Selain itu, adanya pembangunan tambang semen ini aka mempengaruhi situasi
ekonomi masyarakat. Dalam Badan Pusat Statistik (BPS) Rembang menyebutkan bahwa
berdasarkan catatan pertumbuhan ekonomi tahun 2011 di Rembang adalah 4,4%.
Sumbangan sektor pertanian adalah 44,75%, sektor perdagangan 17,38% dan paling
kecil adalah sektor pertambangan sebesar 1,67%. Sumbangan sektor pertanian masih
menempati nilai tertinggi, hampir mencapai 50%, ini berarti kontribusi dari sektor
pertanian sangat mendominasi perekonomian di Rembang. Bayangkan saja jika sektor
pertanian mati, boleh jadi separuh dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) akan hilang. Akan
tetapi sebaliknya jika sektor pertambangan dihapuskan maka PAD hanya berkurang
1,67%, angka tersebut bisa ditutupi dari usaha ekonomi kerakyatan (Fitri & Akbar,
2017).
Proses produksi semen juga akan berpotensi merusak sumber daya air yang
berperan sangat penting bagi kehidupan warga sekitar dan juga warga Rembang dan
Lasem yang menggunakan jasa PDAM (PDAM mengambil mata air yang bersumber
dari gunung Watuputih). Pelestarian kawasan karst Watuputih sebagai tulang punggung
kebutuhan air masyarakat Rembang merupakan hal penting yang perlu diperjuangkan.
Karena kawasan karst Gunung Watuputih harus dilindungi terkait temuan-temuan
ratusan mata air, gua dan sungai bawah tanah yang masih mengalir dan mempunyai debit
air yang bagus.
Menjadi warga masyarakat juga sudah seharusnya peka terhadap lingkungan.
Perempuan dalam aktivitas sehari-harinya sama seperti makhluk hidup lain, yakni
berhubungan langsung dengan alam. Perempuan kini juga telah diakui memiliki peran
yang setara dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Dalam hal ini, cukup
banyak alasan perempuan melawan adanya pembangunan pertambangan semen. Dari
pencemaran lingkungan hingga perubahan lingkungan ekonomi masyarakat. Peran
keterlibatan perempuan sangat dibutuhkan, karena saat ini sudah seharusnya tidak ada
keterbatasan untuk pelindungan lingkungan hidup (Qamal, 2014).

3.3 Gerakan Ekofeminisme Kaum Perempuan Terhadap Pembangunan Tambang


Semen
Adanya izin pembangunan tambang semen oleh pemerintah di Kabupaten
Rembang yang tidak mempertimbangkan keberadaan masyarakat sekitar yang masih
bergantung pada alam, serta merusak lingkungan alam. Hal tersebut membuat
masyarakat desa melakukan sebuah gerakan untuk menolak pembangunan tambang
semen tersebut. Gerakan yang dilakukan masyarakat memiliki alasan yang kuat dalam
menyelamatkan lingkungan dari pembangunan tambang semen. Gerakan ini
didominasikan oleh perempuan yaitu ibu-ibu di Kabupaten Rembang yang berkerja
sebagai petani, hal tersebut membuktikan bahwa perempuan berbagi kepentingan
bersama dalam menyelamatkan lingkungan alam. Para perempuan di Kabupaten
Rembang menanamkan pemahaman bahwa alam adalah representasi dari sesosok ibu.
Sosok ibu pada manusia akan melahirkan seorang anak, sedangkan sosok ibu sebagai
bumi akan menghasilkan air, tanaman dan sumber daya alam lainnya. Hasil tersebut
menjadi sumber kehidupan bagi seluruh mahkluk hidup di bumi. Apabila bumi dijadikan
sebagai tempat pembuangan hasil reproduksi manusia, tanpa adanya pencegahan yang
dilakukan maka bencana alam akan terjadi sebagai bentuk hasil perbuatan manusia
dalam mengeksploitasi alam (Puspita, 2017).
Dengan adanya pembangunan tambang semen di Kabupaten Rembang membuat
masyarakat dan perempuan gelisah, karena perempuan pada masyarakat Rembang adalah
seorang petani. Mereka khawatir dan takut kehilangan lahan pertaniannya dan
munculnya bencana alam akibat pembangunan tambang semen. Pengunungan Kendeng
menjadi bagian yang tidak terpisahkan bagi masyarakat Rembang, maka dari itu
masyarakat khususnya ibu-ibu melakukan gerakan seperti mendirikan kelompok Jaringan
Masyarakat Peduli Pengunungan Kendeng di Rembang (JM-PPK) yang diketuai oleh
seorang perempuan. Para perempuan dari remaja hingga ibu-ibu melakukan pertemuan
rutin untuk membahas agenda pergerakan dan penguatan kapasitas. Dalam setiap
pertemuan mereka mendatangan tokoh perempuan yang membagikan ilmu pengetahuan
dan keterampilan dalam mengelolah hasil bumi hingga dampak dan risiko bencana alam
akibat terjadinya pembangunan tambang semen (Fitri & Akbar, 2017).
Mereka juga mengajak semua masyarakat melakukan longmarch atau kegiatan
berjalan dengan jarak tempuh yang cukup jauh yaitu 20 kilometer sambil membawa
obor. Dengan membentuk formasi lingkaran dan berdoa bersama, dengan harapan agar
masa depan anak dan cucu tidak terwarisi lingkungan yang rusak yang dapat
menyengsarakan hidup mereka. aksi tersebut dilakukan oleh para perempuan yang rela
meninggalkan rumah untuk memperjuangkan kelestarian alam di Pengunungan Kendeng.
Selain hal tersebut masyarakat juga melakukan aksi demonstrasi di depan pabrik semen
hingga menemui Lurah hingga DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk menyuarakan
pelestarian lingkungan dan penyelamatan sumber daya alam. Perempuan yang
melakukan aksi penolakan pembangunan tambang semen, bertukar peran dengan suami.
Pekerjaan rumah yang biasanya dilakukan oleh perempuan seperti mencuci piring,
memasak, mencuci baju hingga menjaga anak, sementara waktu dilakukan oleh para
suami. Aksi demonstrasi juga dilakukan di Jakarta tepatnya di Istana Negara dengan
mengecor kaki mereka. Aksi tersebut memiliki makna fundamental yang menyangkut
alam, makna cor kaki yang dilakukan sebagai bentuk peradaban atau negara yang tidak
akan bergerak demi memenuhi hasrat pembagunan infrastruktur dan ekpor semen.
Dengan mengingatkan kepada semua masyarakat hingga pemerintah bahwa untuk
mendirikan bangsa yang berdaulat dan mandiri di bidang agrarian dapat dilakukan tanpa
harus merampas dan merusak lingkungan hidup. Selama demonstrasi tersebut salah satu
warga desa yaitu Ibu Patmi meninggal dunia akibat serangan jantung. Untuk mengenang
jasanya masyarakat dan JM-PPK (Jaringan Masyarakat Peduli Pengunungan Kendeng)
membangun monument pejuangan di sebelah rumahnya dengan menggunakan batu yang
berasal dari setiap daerah (Musyfiqn, 2019).
Kesadaran dan perjuangan yang dilakukan oleh perempuan khususnya ibu-ibu di
Kabupaten Rembang dalam memperjuangan alam tidak lepas dari dukungan banyak
pihak terutama oleh keluarga mereka. Perlawanan yang dihadapi oleh berbagai tekanan
tidak membuat mereka menyerah dalam memperjuangan aksi mereka, karena sejak awal
pembangunan tambang semen mereka khususnya para perempuan berusahan untuk
melakukan boikot agar pembangunan tambang semen tidak terjadi. Melihat hal tersebut
gerakan ekofeminisme di Kabupaten Rembang tidak hanya berbasis kesadaran ekologis
namun juga terdapat kesadaran gender yang terimplementasi. Terjadinya proses
pembagian peran gender tercipta tanpa adanya kendala. serta dukungan yang diberikan
oleh keluarga yang mendukung perjuangan mereka.

3.4 Penyelesaian Permasalahan Pembangunan Tambang Semen Oleh Gerakan


Ekofeminisme
Pembangunan PT Semen Indonesia, dilandasi oleh keinginan negara, dalam hal
peningkatan devisainegara. Peningkatan itu, melaluiiinvestasi, yang diharapkan mampu
menarik, para investor asing untukimenanamkan sahamnyaidi PT Semen Indonesia.
Selainiitu, pembangunan ini mendukungiprogramipemerintah, dalam melihat tolak ukur
keberhasilan pembangunan. Namun hal ini disayangkan, dikarenakan adanya kesalahan
oleh pihak PT Semen Indonesia, dalam kekurangtelitian mencari lokasi yang tepat, untuk
membangun sebuah proyek atau bangunan. Dimana merekaimemilih lokasi
pembangunanidi sekitaraniwilayah pegunungan ikapur,idan daerahiCAT (Cakungan iAir
iTanah) (Wulansari & Sigit, 2017). I
Sehingga hal ini, membuat masyarakat di kawasan tersebut geram, dan kesal
terhadap program dari pemerintah. Sudah berbagai cara dilakukan oleh
masyarakatisetempat, mulai dari memblokir akses masuk ke wilayah pembangunan
pabrik, sampai melakukan aksiidemo di dekat kawasan pembangunan tersebut. Sangat
disayangkan, penolakan warga dan aksi protes warga, tidak dibarengi oleh keterbukaan
pihak PT Semen Indonesia, untuk berdiskusi bersama. Dengan adanya penolakan
tersebut, kemudian terbentuklah gerakan kaum Perempuan Kendeng. Dalam pergerakan
kaum Perempuan Kendeng ini, mereka mendatangi Istana Negara, untuk melakukan aksi.
Bukan aksi sembarang aksiiyangimerekailakukan, imelainkan aksi mengecor kaki
sendiriidilakukanidisana.iHal ini dilakukan olehigerakanitersebutisebagai bentukiserius,
agar pemerintah dapat menutup dan menyelesaikanipembangunanipabrik tersebut. I
Aksi ini pun direspon baik oleh pemerintah, dengan melakukan panggilan terhadap
direktur PT Semen Indonesia, untuk melakukan perbincangan di Istana Negara. Dalam
hal ini Presiden Jokowi memutuskan untuk membentuk tim KLHS (Kajian Lingkungan
Hidup Strategis). Menurutnya, hasil KHLS akan menjadi dasar peninjauan terhadap
semua yang telah dilakukan. Hasil KLHS tersebut menjadi pegangan bagi seluruh pihak
yang berseteru, termasuk bagi pemerintah daerah dan pemerintah pusat.(Wulansari &
Sigit, 2017). Dalam KLHS juga akan dicantumkan daerah mana yang boleh dilakukan
pertambangan dan mana yang tidak diperbolehkan melakukan kegiatan pertambangan.
Dalam masa kajian lingkungan ini, Presiden menghentikan izin proyek pembangunan
selama 1 Tahun, dengan harapan agar menemukan solusi yang terbaik kedepannya.
Dilain sisi, Warga bersama Gerakan Perempuan Kendeng, ingin cepat-cepat untuk
menolak izin pembangunan, melalui jalur hukum. Proses gugatan pun dilakukan ke MA
(Mahkamah Agung), dengan melalui proses peninjauan kembali (ppk), untuk
membatalkan izin penambangan dan pembangunan pabrik semen (Khusnia, 2018).
Hingga pada akhirnya gugatan yang dilakukan oleh warga, bersama gerakan perempuan
Kendeng, dikabulkan oleh MA (Mahkamah Agung). Hal ini pun didukung oleh
Gubernur Jateng, dengan mencabut izin pembangunan Pabrik Semen Indonesia.
Polemik ini pun berkepanjangan, sehingga tim yang dibentuk oleh Pak Jokowi
alhasil menemukan solusi, untuk menyelesaikan pertikaian anatara pihak PT Semen
Indonesia, dengan Warga dan Gerakan Perempuan Kendeng. Solusi ini diharapkan bisa
menjadi, win-win solution, diantara kedua belah pihak. Dimana dalam tim kajian KLHS,
menemukan bahwa, terdapat 2 daerah di desa tersebut. Letak pembangunan PT Semen
Indonesia, yakni kawasan CAT (Cakungan Air Tanah) budidaya (aman), dan boleh
membangun. Sedangkan satu kawasan lagi, adalah kawasan terlindungi, sehingga tidak
diperbolehkan dalam membangun. Untuk memastikan dan menjamin warga setempat,
pihak PT Semen Indonesia akan menyediakan, 2 sumur yang bisa diakses warga kapan
pun. Serta PT Semen Indonesia juga tidak akan membangun, bangunannya diwilayah
aliran air warga, yang biasanya digunakan sebagai aliran untuk irigasi sawah.
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Peraturan penyelenggaraan lingkungan hidup Indonesia sudah tercantum dalam
Undang-Undang Dasar bahwa peran yang dimiliki perempuan dan laki-laki tidak boleh
terjadi kesenjangan. Sebagaimana dalam Pasal 5 Ayat 1, yaitu “Setiap manusia
mempunyai hak yang sama terhadap lingkungan yang baik dan sehat.” Namun, fakta di
lapangan melaporkan bahwa kedudukan perempuan masih kurang diperhatikan. Oleh
karena itu, gerakan sosial ekofeminisme di Pegunungan Kendeng hadir untuk
mengupayakan hak-hak demokratis sehingga posisi perempuan dapat mencapai
kesetaraan.
Perlawanan perempuan terhadap pembangunan tambang semen di Pegunungan
Kendeng, Jawa Tengah merupakan bentuk implementasi dari gerakan sosial
ekofeminisme. Selain itu, perlawanan tersebut terjadi karena para perempuan
menganggap apabila pabrik semen tetap didirikan maka sumber daya alam terutama air
dan pertanian akan rusak. Perlawanan yang dilakukan diterima dan ditindaklanjuti
dengan baik oleh Presiden Jokowi sehingga mendapatkan upaya penanggulangan berupa
PT Semen Indonesia akan menyiapkan dua buah sumur dan pembangunan tidak lagi
dilakukan di tempat yang dialiri oleh cekungan, air, dan tanah.

4.2 Saran

Ketidaksetaraan gender yang masih tinggi perlu dilakukan analisis lebih lanjut
dan gerakan ekofeminisme juga harus terus disosialisasikan agar lambat laun
ketidaksetaraan tersebut dapat hilang. Selain itu, dampak dan manfaat dari pembangunan
PT Semen Indonesia tidak sebanding karena masyarakat Kendeng lebih banyak
merasakan dampak negatif dalam kehidupan sehari-hari terutama dalam hal kesehatan
dan dianggap penuh penyelewengan. Untuk ke depannya, pemerintah sebaiknya sebelum
mengeluarkan izin lingkungan terhadap pembangunan harus melakukan Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan Hidup atau yang dikenal dengan AMDAL agar dapat
terlihat dampak yang akan terjadi jika pembangunan dilakukan sehingga dapat menjadi
keputusan kegiatan dapat dilakukan atau tidak.

Anda mungkin juga menyukai