Anda di halaman 1dari 43

Kata Pengantar

DAFTAR ISI
BAB I
A. Sejarah Garam Madura
Madura adalah salah satu suku di Indonesia yang kaya dengan
kahsanah budaya salah satunya yaitu garam. Pulau Madura identik dengan
produksi garam dalam skala regional Jawa Timur maupun secara nasional.
Madura merupakan produsen garam terbesar se jawa timur dan nasional.
Sehingga saat ini pun, Pulau Madura identik sebagai Pulau Garam. Garam
merupakan komoditi yang penting karena banyak industri yang
menggunakan garam sebagai bahan aditif, mulai industri makanan dan
minuman hingga industri kimia klor dan alkali (CAP). Namun demikian
sektor produksi garam secara nasional masih termarjinalkan karena daya
saing SDM rendah, kapasitas produksi kecil dan dengan mutu garam yang
tidak seragam. Sampai saat ini produksi garam dalam negeri hanya laku
untuk garam konsumsi sedangkan garam industri semuanya masih impor
dari negara lain.
Iklim tropis di Indonesia sangatlah bermanfaat untuk produksian
garam, hal ini karena datangnya musim kemarau menjadi harapan bagi
masyarakat pulau madura terutama di daerah pesisir selatan. Masyarakat
Madura memanfaatkan musim kemarau untuk memproduksi garam.
Sebagian besar masyarakatnya bekerja sebagai petani garam. Sebelum itu
garam di Madura memiliki sejarah yang sangat panjang, yaitu awalnya
garam menjadi salah satu komoditas untuk pengolahan ikan yang
sederhana dan keperluan bumbu makanan sejak abad ke-9 yang telah
menjangkau seluruh nusantara. Kemudian pada abad ke-17, garam juga
menjadi salah satu komoditas yang diperdagangkan dari Madura ke Jawa.
Sejak pemerintahan lokal hingga kekuasaan Veerenigde Oost Indische
Compagnie (VOC), garam di Madura diproduksi berdasarkan sistem sewa.
Perdagangan garam semakin hari semakin pesat, VOC mulai
tertarik untuk ikut masuk ke dalam perdagangan garam. VOC tidak
bergabung secara langsung dalam perdagangan garam, melainkan
menggunakan sistem lisensi pajak. Dengan sistem ini VOC mendapat
keuntungan dari memasrahkan kewenangan yaitu berupa penarikan pajak
ke pihak ketiga, pihak ketiga itu sendiri dipilih untuk menyetor
keuntungan dari perdagangan garam, untuk pihak ketiga itu disebut dengan
pemborong. VOC menetapkan sistem lisensi pajak dikarenakan VOC tidak
memiliki administratif finansial dan sumber daya manusia untuk
mengelola langsung perdagangan garam. Namun sistem ini tidak berjalan
dengan baik karena para pemborong melakukan penyelundupan dan
mengeksploitasi rakyat yang memproduksi garam.
Kemudian terjadi modernisasi industri garam, pada saat Hindia
Belanda jatuh pada tahun 1816, pemerintah berupaya untuk
penyelewengan perdagangan garam yaitu disebut dengan sistem monopoli.
Sistem ini dapat mengatasi penyelewengan dan meningkatkan produksi
garam. Dari tahun tersebut perdagangan garam semakin meningkat.
Sebagian masyarakat yang menyewakan tanahnya berubah menjadi
menggunakan tanahnya sendiri untuk produksian garam. Pada awal abad
ke-20, ketika pemerintah lokal Madura dihapuskan dan sistem
pemerintahan kolonial Belanda diterapkan dan mengesahkan pengambilan
produksi garam dari kendali orang – orang Cina, serta dimulailah sistem
monopoli garam madura pada tahun 1936.
Kebijakan monopoli tersebut membuat aktivitas pembuatan garam
semakin memiliki nilai yang penting dalam ekonomi di pulau Madura.
Pada abad ke-20 terdapat tiga wilayah yang menjad industri garam di
Madura, yaitu Sampang, Pamekasan, dan Sumenep. Kemudian produksi
garam mencapai puncaknya pada awal tahun 1900-an, Sebagian besar
masyarakat Madura bergantung pada produksi garam sebagai salah satu
mata pencarian mereka. Proses pembuatan garam terbagi menjadi dua
kelompok yaitu, pertama para pemilik ladang dan pembuat garam
terkadang sama, dan yang kedua adalah para buruh, para buruh ini hanya
mendapatkan upah yang terlalu sedikit. Proses distribusi garam
mempengaruhi ekonomi yang dapat menguntungkan penjualan garam.
Perkembangan garam semakin pesat dan penjualannya sampai kemana-
mana sehingga sampai sekarang dan dari dulu hingga sekarang proses
pembuatan garamnya memiliki cara khusus yaitu menggunakan cara
morang madura atau disebut dengan “Madurese” yaitu pembuatan garam
dengan kristalisasi air laut secara total, garam diambil mulai dari lapisan
terbawah hingga atas. Para petani garam secara tradisional memindahkan
air laut antar meja garam. Oleh karena itu, Sejarah produksi garam di
Madura mencerminkan peran penting yang dimainkan oleh sumber daya
alam lokal dan keahlian petani dalam ekonomi dan budaya pulau ini.
Produksi garam masih berlanjut hingga saat ini, dengan berbagai upaya
untuk memodernisasi metode produksi sambil mempertahankan warisan
budaya tradisional.
Pulau Madura memiliki julukan Pulau Garam karena menjadi salah
satu daerah penghasil garam terbesar di Indonesia. Hampir semua
kabupaten di Pulau Madura memiliki tambak garam rakyat dengan
kapasitas produksi cukup besar. Garam didapat dengan proses penjemuran
untuk memanen kristal garam laut sebelum diolah untuk kepentingan
industri maupun konsumsi. Dilansir dari laman indonesiabaik.id, cara
pengolahan garam rakyat di Pulau Madura dikenal dengan sebutan
'Madurese'. Madurese adalah cara orang Madura untuk membuat garam
dengan kristalisasi air laut secara total. Garam diambil mulai dari lapisan
terbawah hingga atas, dan para petani garam secara tradisional
memindahkan air laut antarmeja garam. Dari jumlah tersebut, sebanyak
372.728 disumbangkan dari Jawa Timur dimana Sumenep mencatat
produksi garam sebanyak 126.662 ton. Capaian itu menjadi jumlah
produksi garam terbesar di Jatim jika dibandingkan kabupaten/kota lain.
Secara nasional, pada tahun 2017 Sumenep jadi produsen garam terbesar
kedua di Tanah Air yang hanya kalah dari Indramayu di urutan pertama
dengan hasil produksi garam 167.930 ton. Walau begitu, kabupaten lain di
Madura juga mencatat angka produksi garam yang tidak sedikit. Keunikan
alam Madura jarang dijumpai di pulau-pulau lain di Indonesia. Sumatera
dan Kalimantan yang memiliki sungai dan muara, garam sulit dibuat
karena air lautnya tak begitu pekat—tentu ada ladang garam di sejumlah
titik, seperti di Aceh. Namun kisah panjang garam menyiratkan ikatan erat
manusia Madura dengan alam sekitarnya. Selain tradisi, di ladang-ladang
garam Madura terpampang kisah lain yang mampu menghidupi ribuan
petani selama lima ratus tahun, yaitu teknik menangguk butir-butir garam.
Hingga abad 21, setelah merdeka 76 tahun, rezeki petani garam Indonesia
malah digulung garam imporan.Madura memang dikenal bermusim kering
lebih panjang, tak banyak sungai dan sumber air tawar. Daratan Madura
relatif datar di sisi Selatan, dengan dataran tinggi di tengah, dan pantai
Utara yang berbeda ketinggian. Suhu rerata Madura 26,9 derajat celsius,
dengan kemarau panjang antara 4 sampai 5 bulan (rata-rata bulan kering 2
sampai 4 bulan).Garam hanya dihasilkan di sepanjang pantai Selatan
Madura. Sedikitnya sungai dan muara membuat kawasan Selatan memiliki
air laut berkadar garam tinggi. Perubahan Sosial dalam Masyarakat
Agraris: Madura 1850 – 1940, pembuatan garam yang berkembang di
Madura pada abad lalu. Cara produksi garam cukup sederhana. Plot-plot
seperempat bau disiapkan dan air laut dialirkan melalui kanal-kanal. Jalan-
jalan kecil dibuat di antara plot-plot untuk mengeluarkan garam saat siap
diambil. Pemerintah kolonial lantas mencatat tiap-tiap plot, membuat
perkiraan produksi pada bulan April, lantas membayar uang muka pada
Mei. Periode penguapan untuk sekali panen antara 25 sampai 28 hari,
setelah itu garam siap dikais dan dipindahkan ke tempat kering. Untuk
pengeringan, garam itu dijemur selama 4 sampai 10 hari di bawah terik
Matahari dan diangin-anginkan. Pada malam hari, garam dilindungi dari
air hujan dengan daun kajang atau dengan alang-alang. Setelah itu, garam
dikirim oleh produsen garam ke depot-depot pemerintah. Pada saat yang
bersamaan, setelah plot-plot dibersihkan dari sisa-sisa garam, dan produksi
kedua pun dimulai. Dari sisi Pulau Madura tidak ada sungai besar,
sementara dari Jawa Timur hanya ada muara Bengawan Solo, di
Lamongan. Sehingga, di Madura, air laut sudah pekat. Lalu air laut
diangkat ke saluran air, dengan pompa air atau memanfaatkan air laut
pasang. Dari air baku ini diangkat ke saluran air, lantas dialirkan ke lahan-
lahan peminihan, lalu masuk ke meja kristal. Tradisi pembuatan kristal
putih dari samudera itu telah mengalir dalam darah petani garam. Di masa
silam, petani garam pernah mencicipi kejayaan dan kemakmuran. Kini,
petani justru menjadi saksi bahwa garam dari tanah leluhurnya mesti
bersaing dengan garam negeri seberang.

A. Industri Garam di Madura pada abad XIX-XX

Garam merupakan salah satu komoditas penting di Indonesia.


Berbagai manfaat yang dapat diperoleh dari garam, menjadikan komoditas
ini sulit dilepaskan dari kehidupan manusia. Ketika berbicara mengenai
sejarah garam di Indonesia maka sulit tertinggal dari Madura yang menjadi
salah satu daerah penghasil garam terbesar di Indonesia. Industri garam di
Madura telah lama dikenal dengan kualitas garam yang dihasilkan, sejak
masa VOC hingga saat ini garam-garam Madura dipercaya sebagai salah
satu garam dengan kualitas baik. Daerah tempat pembuatan garam berada
di sepanjang pantai selatan, yaitu kabupaten Sampang di bagian barat
pulau, Pamekasan di bagian tengah dan Sumenep di bagian paling timur.
Daerah itu disebut sebagai daerah garam, yang pada jaman VOC dikenal
dengan zoutnegorizen , dan pada jaman Hindia Belanda zoutlanden .
Meskipun demikian, sebelum terkenal ternyata garam pernah dianggap
sebagai komoditas yang tidak menguntungkan bagi penduduk Madura.
Namun, berkat modernisasi yang dilakukan oleh pemerintah kolonial,
garam Madura berubah menjadi salah satu komoditas bernilai yang
mendominasi perdagangan Nusantara pada abad ke-19 hingga 20 Garam di
Madura telah lama dikenal dengan kualitas mutunya.
B. Mulainya industry Garam di Madura

Garam telah lama menjadi salah satu komoditas yang menjual baik
untuk kebutuhan industri pengolahan ikan yang sederhana sejak abad ke-9
maupun untuk keperluan bumbu makanan yang telah menjangkau seluruh
nusantara. Antony Reid dalam Asia Tenggara dalam Kurun Niaga,
mengatakan bahwa sejak dulu wilayah pesisir Jawa Timur (termasuk
Madura) sudah dikenal sebagai wilayah penghasil garam dengan mutu
yang baik. Melalui pelabuhan-pelabuhan di antara Jawana dan Surabaya,
garam yang berasal dari Madura didistribusikan ke seluruh wilayah
Nusantara. Pada abad ke-17, selain tembakau dan beras, garam
merupakan komoditas perdagangan utama di Jawa. Sebagai salah satu
komoditas penting di Madura, garam telah lama diperdagangkan. Sejak
Pemerintah Lokal Madura hingga kekuasaan Veerenigde Oost Indische
Compagnie (VOC), garam di Madura diproduksi berdasarkan sistem sewa.
Melihat perdagangan garam yang mulai menunjukkan potensinya, VOC
mulai tertarik untuk ikut masuk dalam perdagangan garam. Namun VOC
tidak langsung melakukan intervensi langsung dalam proses produksi dan
distribusi, melainkan melalui sebuah sistem yang disebut sistem lisensi
pajak. Melalui sistem ini, VOC memasrahkan kewenangan dalam menarik
pajak keuntungan dari garam dari pihak ketiga yang dipilih karena
kemampuannya untuk menyetor keuntungan dari perdagangan garam.
Pihak ketiga tersebut biasanya dipegang oleh para pedagang Cina yang
biasanya berinteraksi langsung dengan petani garam, sekaligus mengatur
pola distribusi garam. Sistem tersebut diterapkan karena VOC tidak
memiliki kemampuan administratif finansial dan sumber daya manusia
untuk mengelola langsung perdagangan garam.

gambar 1. Petani Garam

Melalui sistem ini, VOC dapat meningkatkan keuntungan, meski


secara keseluruhan tingkat keuntungan dari garam masih di bawah
keuntungan dari perdagangan rempah-rempah dan opium yang mengisi
75% kas VOC (Wahid, 2005: 105). Sistem ini cukup berhasil, karena
ekspor garam mengalami kenaikan pada akhir abad ke-17 hingga akhir
abad ke-18 (Dick, 2002: 50). kontak VOC maupun pemborong atau
pemegang lisensi mendapatkan keuntungan yang besar. Namun, sistem
borongan tidak berjalan dengan baik. Para pemborong jarang memenuhi
persyaratan dalam kontrak, mereka melakukan penyelundupan dan
mengeksploitasi rakyat yang memproduksi garam.

C. Modernisasi Industri Garam

Saat Hindia Belanda jatuh pada kekuasaan Inggris pada tahun 1811-
1816, pemerintah berupaya anggota penyelewengan perdagangan garam
dengan memperkenalkan sistem monopoli yang disebut zoutregi. Raffles
meyakini sistem itu dapat mengatasi penyelewengan dan meningkatkan
produksi garam. Melalui sistem itu, ia menyingkirkan orang-orang Cina
yang dulu menempati posisi penting dalam perdagangan garam. Sebagai
keseimbangan atas persetujuan raja Madura, Raffles memberikan
kompensasi f5000 dan 50 koyang garam yang implementasi setiap tahun
(Ibid: 33; Wisnu, 2017:3). Setelah Inggris meninggalkan Hindia Belanda,
dan kekuasaan kembali ke Belanda, sistem tersebut dipertahankan dan
bahkan diperluas. Pengelolaan garam dilakukan secara desentralisasi dan
dikordinasi langsung oleh Direktur Keuangan dan pengawasan Dewan
Keuangan (Raad van Financiën) (Wahid, 2005: 105). Kenaikan harga
garam pada tahun 1861 menyebabkan orang-orang yang tadinya
menyepelekan aktvitas ekonomi ini, mulai melirik perdagangan garam.
Akibat kenaikan ini, terjadi penambahan luas tanah pekarangan. Penduduk
lokal yang dulu menyewakan tanahnya pun, mulai mencoba mengklaim
kembali tanahnya. Kondisi ini menciptakan ketidakteraturan dalam
produksi garam. Untuk mengatasi hal ini, pemerintah Belanda mulai
mengatur hak kepemilikan tanah pegaraman, sehingga setiap orang yang
berhak dapat mengklaimnya. Selain itu, pada tahun 1870 produksi garam
dipusatkan di Madura. Pada awal abad ke-20, ketika pemerintahan lokal
Madura dihapuskan dan sistem Pemerintahan Kolonial Belanda
diterapkan, secara bersamaan dimulailah sistem monopoli garam di
Madura pada tahun 1936. Kebijakan ini sekaligus mengesahkan
pengambilalihan produksi garam dari kendali orang-orang Cina. Peraturan
ini menjadikan Pemerintah Kolonial Belanda sebagai produsen garam
utama di Hindia Belanda (Kuntowijoyo, 2002: 8). Kebijakan monopoli
garam tersebut semakin menjadikan aktivitas pembuatan garam memiliki
nilai ekonomi penting di Pulau Madura. Sebagai produsen utama, garam-
garam Madura didistribusikan ke seluruh wilayah-wilayah yang dikuasai
Pemerintah Kolonial Belanda di Nusantara. Penunjukan Madura sebagai
pusat pembuatan garam tidak terlepas dari pertimbangan geografis.
Wilayah Madura terbentuk dari konfigurasi tanah kapur dan memiliki
musim kemarau yang cukup panjang, oleh karena itu Madura berpotensi
menjadi penghasil garam dengan mutu baik (Memori Residen Madura
Timur JG van Heyst tahun 1928: CLXV). Pada awal abad ke-20,
setidaknya terdapat tiga wilayah penting industri garam di Madura yaitu:
Sampang, Pamekasan dan Sumenep. Daerah ketiga tersebut semuanya
terletak di wilayah selatan pulau Madura. Tempat pembuatan garam yang
terdapat di Sampang, Pamekasan dan Sumenep disebut zoutnegorizen atau
zoutlanden yang berarti tempat pembuatan garam. Masing-masing tempat
itu memiliki jumlah empang (plot) garam yang beragam. Sampang
memiliki sekitar 1.377 empang, Pamekasan memiliki 1.547 empang dan
Sumenep memiliki 1.648 empang. Produksi garam mencapai puncaknya
pada awal tahun 1900-an, diperkirakan ribuan orang di Madura bergantung
pada produksi garam sebagai mata pencaharian utama mereka (Smith,
2011: 37). Aktivitas produksi garam tidak terlepas dari keberadaan
pembuatnya. Pembuat garam atau dapat disebut sebagai produsen garam
adalah kelompok-kelompok penghasil garam. Produsen garam ini dapat
dibagi ke dalam dua kelompok. Pertama, pemilik-pemilik ladang dan
pembuat garam yang terkadang keduanya merupakan orang yang sama.
Kedua, adalah para buruh industri garam yang bekerja dari awal produksi
sampai pemasaran (Kuntowijoyo, 2002: 396). Para buruh ini bernasib
seperti buruh-buruh lainnya pada masa kolonial, mereka mengalami
eksploitasi karena rendahnya harga garam dan upah yang mereka dapatkan
terlalu sedikit. Kondisi tersebut akhirnya menimbulkan masalah sosial
yang meliputi pencurian garam, pembakaran gudang-gudang garam
pemerintah, dll.
D. Proses Distribusi Garam Madura

Keberhasilan produksi garam Madura menjadi aktivitas ekonomi


yang menguntungkan tidak dapat dilepaskan dari sistem distribusinya yang
efektif. Pendistribusian garam sebagian besar dilakukan dengan
menggunakan kapal atau perahu. Pada masa Pemerintahan Kolonial
Belanda sebagian besar pendistribusian garam dilakukan oleh Koninklijke
Paketvaart Maatschappij (KPM). Pada awal abad ke-20, perusahaan milik
Kerajaan Belanda ini praktis memonopoli, kendati tidak sepenuhnya
mematikan aktivitas pelayaran Nusantara termasuk yang terkait dengan
perdagangan (Lapian: 91). Selain KPM, perusahaan Kereta Api swasta
yang beroperasi di Madura sejak 1896, Madoera-Stoomtram Maatschappij
(MSM), juga ikut mengambil bagian dalam aktivitas distribusi garam.
Selain melakukan transportasi garam di darat, MSM juga memiliki armada
transportasi laut untuk penumpang maupun barang.

gambar 2. Kereta Pengangkut Garam

Pada perkembangannya, selain pelayaran yang diusahakan KPM,


MSM dan penduduk lokal, pendistribusian garam juga dilakukan oleh
Oost-Java Zeetransport (OJZ). OJZ merupakan armada pengangkutan
resmi milik perusahaan garam yang dibentuk karena biaya pengangkutan
garam oleh KPM dan MSM sangat mahal. Sebelumnya, pada tahun 1908
perusahaan garam mengeluarkan kebijakan sistem tender terbuka.
Kebijakan ini pada akhirnya melatarbelakangi persaingan dalam distribusi
garam antara KPM, MSM, OJZ dan pelayaran kapal. Kombinasi distribusi
garam lewat laut dan darat menjadikan perusahaan garam Belanda
memperoleh keuntungan besar. Sayangnya keberhasilan perusahaan garam
itu, tercoreng karena praktik tidak jujur beberapa pegawainya. Untuk
mengatasinya, pada tahun 1924 dibentuk badan pengawasan tempat
penjualan garam. Mantri garam di Sampang, Omben, Torjun, dan
Kedungdung sekarang menyebar secara periodik oleh mantri garam
Pamekasan untuk menghindari penyelewengan. Selain itu tempat
penjualan di Ketapang terletak oleh kontrolir garam di Surabaya secara
langsung (Memori Kontrolir Sampang Memori Kontrolir Sampang (F. Van
Mourik), 6 Mei 1924, hlm. CLII). Selama krisis tahun-tahun 1931-1940,
pendapatan garam melebihi pendapatan Opium. Meskipun krisis ekonomi
telah menyebabkan pendapatan garam turun dari sekitar 180 juta gulden
menjadi sekitar 155 juta, jumlah itu terbilang masih cukup tinggi. Hal ini
menunjukkan bahwa pendapatan dari monopoli garam relatif stabil,
sehingga garam menjadi komoditas yang cukup dapat diandalkan dalam
menopang keuangan negara colonial.
B. Sosial Dan Budaya Madura Sehingga Dijadikan Tempat Produksi Gar
am
Madura adalah sebuah pulau di Indonesia yang terkenal dengan prod
uksi garamnya. Produksi garam di Madura memiliki banyak kaitan dengan
faktor sosial dan budaya. Berikut beberapa aspek sosial dan budaya yang m
empengaruhi produksi garam di Madura:
1. Tradisi Pembuatan Garam
Produksi garam di Madura telah menjadi tradisi yang turun temur
un. Proses pembuatan garam tradisional melibatkan banyak keluarga loka
l, yang bekerja sama dalam mengumpulkan dan mengeringkan garam. A
walnya air laut dikumpulkan ke suatu tempat atau disebut dengan tambak
garam kemudian air laut tersebut dijemur menjadi kristal garam dan dipr
oses menjadi garam.
2. Masyarakat Nelayan
Sebagian besar masyarakat Madura adalah nelayan, dan produksi
garam adalah sumber pendapatan penting bagi mereka. Aktivitas ini mem
pengaruhi struktur sosial pulau ini, dengan banyak keluarga yang terlibat
dalam produksi garam.
3. Penggunaan Lahan Tepi Pantai
Lahan di sepanjang pantai digunakan untuk pembuatan garam. Ha
l ini mempengaruhi pola pemukiman dan pemanfaatan lahan di pulau ters
ebut. Dengan menggunakan lahan ditepi Pantai maka akan memudahkan
para petani garam melakukan produksian garam dan suhu nya juga akan l
ebih panas jika ditepi Pantai sehingga memaksimalkan proses pembuatan
garam.
4. Keberlanjutan Budaya
Produksi garam bukan hanya tentang ekonomi tetapi juga tentang
pelestarian budaya dan tradisi. Pengetahuan dan keahlian dalam produksi
garam telah dilestarikan dan dijaga oleh masyarakat Madura untuk menja
ga kehausan industri garam di pulau ini.
5. Perekonomian Lokal
Produksi garam memberikan dampak ekonomi yang signifikan pa
da tingkat lokal. Hal ini membantu menjaga stabilitas perekonomian di M
adura dan memberikan penghasilan bagi sejumlah besar penduduk setem
pat.
6. Pasar Garam
Madura memiliki pasar-pasar garam yang penting, di mana garam
dari berbagai daerah di Madura dijual dan didistribusikan ke berbagai wil
ayah di Indonesia.
7. Kebijakan Etnis
Madura memiliki beragam etnis yang menyumbangkan budaya da
n sosialnya. Ini menciptakan keanekaragaman budaya dan berkontribusi
pada praktik keagamaan dan tradisi yang kaya di Madura.
Faktor-faktor sosial dan budaya ini, bersama dengan kondisi geogr
afis yang mendukung, menjadikan Madura sebagai tempat yang ideal unt
uk produksi garam. Produksi garam di Madura bukan hanya aktivitas eko
nomi tetapi juga menjadi bagian integral dari identitas budaya dan kehidu
pan sehari-hari masyarakat setempat.
Sosial :
Gambaran sosial pegaram rakyat coba dilakukan dengan melihat k
ondisi di 3 Kabupaten di Pulau Madura (Sampang, Pamekasan dan Sume
nep) selaku penghasil utama garam di Pulau Madura. Secara umum, umu
r pegaram rakyat di Madura memiliki rentang antara 27 hingga 62 tahun.
Pegaram dengan rentang umur tua terdapat di Kabupaten Sampang dan P
amekasan yaitu berumur diatas 40 tahun. Sementara pegaram muda (diba
wah 40 tahun) ada di Kabupaten Sumenep. Kelompok umur yang lebih m
uda ini memungkinkan percepatan perubahan dalam dinamika masyaraka
t. Masyarakat yang lebih tua cenderung sulit untuk menerima lah biasa di
lakukan (Kartasaputra, 1991).
Keberadaan umur petani juga berkaitan erat dengan pengalaman us
aha pegaraman. Pengalaman pegaram dalam melakukan usaha pegarama
n layak dikaji, mengingat petani garam yang telah berpengalaman dalam
melakukan usaha pegaraman akan mempunyai sikap yang cermat dalam
membuat keputusan dalam usaha pegaraman. Sebenarnya bagi masyarak
at Madura melakukan usaha pegaraman adalah usaha yang telah dilakuka
n sejak lama (de Jong, 2011). Petani garam yang melakukan usaha pegara
man sebagian besar mempunyai pengalaman usaha yang cukup lama yak
ni antara 18-28 tahun. Lama pengalaman yang dimiliki tersebut telah cuk
up mampu untuk dapat memberikan kontribusi dalam mengambil keputu
san melakukan usaha pegaraman ini. Sebagian besar petani garam dalam
sepanjang waktunya menggunakan pengalamannya, intuisi, budaya lokal
dan kecerdikan. Beberapa pegaram beranggapan bahwa usaha pegaraman
adalah kebiasan turun temurun yang dilakukan setiap musim kemarau. D
engan demikian meski dalam keadaan yang tidak menentu pegaram tetap
melakukan usaha pegaraman ini.
Pendidikan pegaram rakyat juga perlu dilakukan pengkajian mengi
ngat pendidikan merupakan salah satu faktor yang menentukan keberhasi
lan pengembangan kualitas sumber daya manusia. Pendidikan dapat meni
ngkatkan produktivitas kerja karena dengan pendidikan dapat mengubah
pola hidup serta pola pikir manusia yang sebelumnya kurang rasional aka
n menjadi lebih rasional untuk bertindak positif dan menghasilkan produ
ktivitas kerja tinggi. Artinya, pengkajian pendidikan pegaram rakyat perl
u dilakukan karena berpengaruh terhadap perilaku pegaram dalam menga
mbil keputusan.
Informasi tentang pendidikan para pegaram menyangkut lamanya p
egaram mengenyam pendidikan yang dikategorisasikan dalam tingkat: tid
ak lulus Sekolah Dasar (SD), lulus SD, SMP, SMA dan perguruan tinggi.
hasil penelusuran menunjukkan bahwa sebagian besar pendidikan pegara
m rakyat adalah tamatan SD atau bahkan tidak tamat SD. Hal ini dapat m
enggambarkan masih rendahnya kualitas sumberdaya pegaram rakyat. Ga
mbaran agak unik ditemukan di Sumenep, dimana keberaadan pegaram r
akyat yang telah mengenyam pendidikan hingga SMA bahkan sarjana su
dah cukup banyak. Ini menunjukkan pegaram di Sumenep relatif memilik
i kualitas pendidikan yang lebih baik. Sebenarnya, pendidikan yang diper
oleh akan memberikan pola pemikiran pegaram yang rasional dalam upa
ya pemecahan masalah yang tepat (Ban dan Hawkins, 1999). Sehingga d
engan demikian, keputusan yang diambil tidak hanya berdasarkan pada h
arapan dan intuisi yang tidak dapat dipertimbangkan secara logis.
Penelaahan aspek sosial pegaram ini juga dapat dilihat dari modal s
osial (social capital). Penelaahan ini memiliki peran penting dalam strate
gi mengurangi tingkat kemiskinan termasuk bagi pegaram rakyat (Groota
ert & Van Bastelaar, 2002). Inisiasi pembahasan modal sosial perlu melih
at modal sosial struktural dan modal sosial kognitif. Modal sosial struktur
al dikaji berdasarkan dimensi jumlah organisasi pegaram, keragaman kea
nggotaan dan partisipasi dalam pengambilan keputusan. Sementara moda
l sosial kognitif dilihat dari dimensi solidaritas, kepercayaan dan kerjasa
ma serta resolusi konflik.
Terkait dengan modal sosial struktural, sebagian besar kelompok p
egaram rakyat yang ada saat ini terbentuk bersifat top down karena adany
a program bantuan Pemberdayaan Usaha Garam Rakyat (Pugar) dari Ke
menterian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang dinamakan Kugar (Kelo
mpok Usaha Garam rakyat). Keanggoataan Kugar ini terdiri dari peg-ara
m pemilik lahan, matong dan juga penyewa. Jumlah kugar di Kabupaten
Sampang sendiri tak kurang dari adalah 219 kelompok, Pamekasan 123 k
elompok dan Sumenep 142 kelompok. Sampai saat ini keanggotaan Kuga
r belum mencakup seluruh pegaram rakyat yang ada dan rencananya aka
n terus bertambah pada tahun selanjutnya.
Para pegaram rakyat terdorong bergabung dalam Kugar bukan atas
dasar kemauannya sendiri namun lebih pada karena adanya motivasi me
mperoleh bantuan. Para pegaram rakyat juga belum memahami akan hak
dan kewajiban serta regulasi yang ada dalam kelompok tersebut. Para peg
aram rakyat lebih hanya mengikuti arahan beberapa tokoh pegaram yang
dianggap paham bahwa pembentukan kelompok ini untuk dapat memper
oleh bantuan. Sehingga tidak mengherankan jika para pegaram dalam Ku
gar ini memiliki partisipasi rendah, kurang berperan dan cenderung dikua
sai oleh kelompok elit yang ada pada kelompok tersebut.
Sementara organisasi/ kelompok pegaram yang bersifat bottom up
terdiri atas asosiasi-asosiasi yang jumlahnya tidak kurang ada 15 asosiasi
di wilayah Sampang, Pamekasan dan Sumenep. Di salah satu kecamatan
di Kabupaten Sampang terdapat satu asosiasi pegaram yang meskipun ber
sifat bottom up, organisasi pegaram ini cenderung bersifat menara gading.
Organisasi diisi oleh kaum-kaum terdidik dan elit yang justru seringkali j
uga memainkan peran ganda yakni sebagai petani sekaligus pedagang. Se
hingga seringkali kondisi ini menimbulkan konflik kepentingan. Organisa
si dalam skala lebih besar berupa Dewan Garam Nasional berkedudukan
di Pamekasan. Dewan garam ini berupaya untuk mengkoordinasikan bany
aknya asosiasi-asosiasi yang secara mandiri muncul dan berupaya mempe
rjuangkan kepentingan para pegaram rakyat. Meski demikian sebagian be
sar pegaram masih belum mengenal keberadaan Dewan Garam nasional i
ni. Lembaga mandiri yang lebih kecil lagi seperti KUB (kelompok Usaha
Bersama) di bidang garam juga terdapat Kecamatan Pademawu Kabupate
n Pamekasan. KUB tersebut adalah KUB Sumber Segara dan KUB Bumi
Makmur. Organisasi ini ada sebagai wadah binaan petani garam yang dila
kukan oleh penggiat pemberdayaan masyarakat yang dimotori oleh lemba
ga perguruan tinggi. Organisasi ini menjadi wadah pembelajaran dan upa
ya bagi petani garam untuk belajar organisasi dan mencapai kesejahteraan

Penelusuran modal sosial kognitif dari dimensi solidaritas menunj


ukkan tingkatan sedang. Solidaritas masyarakat pegaram masih berkisar p
ada tataran komunal yang terdiri atas keluarga, tetangga dan tokoh inform
al. Kehadiran pada pihak eksternal masih belum begitu memperoleh temp
at yang berarti.
Sementara untuk trust dan kerjasama para pegaram juga menunju
kkan tingkatan sedang. Budaya gotong royong masih kentara antara pegar
am satu dengan yang lain. Meski demikian, gotong royong jarang dilakuk
an pada usaha yang terkait dengan usaha pegaraman. Umumnya, gotong r
oyong dilakukan pada aktivitas kemasyarakatan dan keagaamaan. Terakhi
r dari dimensi konflik, jarang ditemukan konflik dalam melakukan usaha
pegaraman diantara petani terkait pengelolaan sumberdaya air dan sebaga
inya. Konflik yang sesekali terjadi adalah pengakuan hak batas tanah peg
araman. Apabila terjadi konflik masyarakat masih mempercayakan penye
lesaiainnya kepada tokoh agama yang disegani.

Budaya :
Secara spesifik, berbicara garam dalam korelasinya dengan masyar
akat Madura adalah suatu hal yang tidak terpisahkan. Kabupaten Sumene
p dikenal sebagai Kabupaten yang merupakan cikal bakal pembuatan gar
am. Dikisahkan Syeh Anggasuta menemukan butiran Kristal yang kemud
ian dibiarkan berminggu-minggu hingga akhirnya menjadi garam. Di Des
a Pinggir Papas Kecamatan Kebun Dadap Kabupaten Sumenep dikenal a
da acara ritual nyadar. Acara ini dilakukan untuk mengenang Syech Ang
gasuta yang mengawali proses pembuatan garam. Diceritakan bahwa Sye
ch Anggasuta adalah pahlawan yang menyelamatkan pelarian tentara Ker
ajaan Klungkung Bali yang kalah berperang melawan Keraton Sumenep.
Para pelarian inilah yang menjadi cikal bakal penduduk Pinggir Papas.
Pegaram biasanya menggarap tanah pegaramanya selama 5-6 bulan
saja, yakni pada musim kemarau. Selama musim penghujan petani garam
mengelola tanah pegaramannya untuk digunakan sebagai tambak ikan da
n udang. Namun demikian ada juga petani garam yang beralih pekerjaan
sebagai buruh di kota. Bagi para mantong selama tidak memperoleh peng
hasilan, mereka meminjam uang dari pemilik tanah pegaraman atau peda
gang garam dengan perjanjian ikatan yang disepakati. Kondisi seperti ini
menjadikan para mantong terjebak pada ketergantungan dengan pemilik t
anah.
Ada temuan unik di Desa Tanjung Kecamatan Pademawau Pameka
san, bahwa di desa tersebut ada budaya bergilir dalam usaha produksi gar
am dalam keluarga. Tanah pegaraman yang diwariskan tidak dibagi-bagi
kan kepada tiap anak, tetapi digilir pengusahaannya oleh tiaptiap saudara
kandung per tahunnya, sehingga luas tanah pegaraman keluarga tetap utu
h. Demikian juga di Desa Karanganyar Kecamatan Kalianget Sumenep p
etani garam ada yang telah menerapkan konsep corporate farming dalam
melakukan usaha pegaraman.

Gambar 3. Sisa Kejayaan Lori Pengangkut Garam di Madura


BAB II

A. Tujuan Pembuatan Garam Madura


Garam merupakan senyawa kimia yang terdiri dari mineral Natriu
m dan Khlor, yang membentuk kristal dan menjadi Natrium Klorida (NaCl)
Garam biasa digunakan sebagai bahan pangan dan juga digunakan pada bi
dang industri. Dalam pembuatan makanan garam adalah bumbu pelengkap
untuk menambah rasa. Garam juga berguna sebagai sumber elektrolit bagi t
ubuh manusia. Pembuatan garam saat ini masih banyak menggunakan meto
de konvensional. Petani-petani garam pada umumnya membuat garam deng
an menjemur air laut pada petakan-petakan. Menjemur air laut ini bertujuan
untuk memisahkan air dan partikel-partikel garam yang kemudian membent
uk kristal garam. Menjemur air laut membutuhkan sinar matahari, oleh kare
na itu metode ini memiliki kekurangan. Cuaca yang tidak dapat diprediksi
mengganggu proses penjemuran air laut sehingga mengakibatkan produksi
garam menurun atau bahkan gagal panen. Maka dari itu perlu adanya suatu
alat yang dapat membuat garam tanpa memerlukan sinar matahari dalam pr
osesnya.
Garam Madura dibuat dengan tujuan untuk memproduksi garam da
pur berkualitas tinggi. Proses pembuatannya melibatkan penguapan udara l
aut di tambak-tambak garam di Pulau Madura, Indonesia. Tujuan utama pe
mbuatan Garam Madura meliputi :
1. Produksi Garam Berkualitas Tinggi: Garam Madura terkenal karena kua
litasnya yang baik. Proses penguapan udara laut secara alami menghasil
kan butiran garam yang halus dan bersih, sehingga cocok untuk berbaga
i keperluan konsumsi dan industri.
2. Pemberdayaan Ekonomi Lokal: Industri garam di Pulau Madura membe
rikan mata pencaharian bagi banyak penduduk setempat. Pembuatan gar
am melibatkan banyak pekerjaan, mulai dari proses pemberian air laut h
ingga pengumpulan garam, yang memberikan kontribusi signifikan terh
adap perekonomian daerah.
3. Kemandirian Pangan: Garam merupakan bahan penting dalam pengawe
tan makanan dan memberikan rasa pada berbagai jenis masakan. Denga
n memproduksi Garam Madura secara lokal, masyarakat setempat dapat
memiliki akses yang lebih mudah dan terjangkau terhadap garam, mend
ukung kemandirian pangan.
4. Pemeliharaan Tradisi Lokal: Pembuatan garam di Pulau Madura telah
menjadi bagian dari warisan budaya dan tradisi masyarakat setempat. Pr
oses tradisional ini sering kali diwariskan dari generasi ke generasi, me
nciptakan ikatan yang kuat antara masyarakat dan kegiatan ekonomi ini.
Dengan tujuan-tujuan tersebut, pembuatan Garam Madura tidak ha
nya fokus pada produksi garam sebagai komoditas, tetapi juga memperh
atikan dampak ekonomi, sosial, dan budaya bagi masyarakat setempat.
B. Ciri dan Karaketristik Garam Madura
Garam Madura memiliki beberapa ciri dan karakteristik khusus yan
g menjadikannya terkenal dan dianggap berkualitas. Berikut adalah beberap
a ciri dan karakteristik garam Madura:
1. Bentuk: Garam Madura umumnya berbentuk butiran kecil atau serbuk h
alus dengan warna putih atau sedikit keabu-abuan.
2. Kandungan Mineral: Garam Madura dikenal memiliki kandungan mine
ral tambahan, seperti magnesium, kalsium, dan kalium, yang dapat me
mberikan rasa gurih khas.
3. Rasa: Garam Madura memiliki rasa yang unik, dengan sentuhan rasa gu
rih dan mineral yang lebih kaya dibandingkan garam meja biasa.
4. Kandungan Lumpur Laut: Garam Madura diproses dengan menggunaka
n metode tradisional, termasuk pengeringan di bawah sinar matahari da
n seringkali masih mengandung sedikit kandungan lumpur laut, yang da
pat memberikan tambahan karakteristik khas.
5. Kegunaan: Garam Madura sering digunakan dalam masakan Indonesia,
terutama dalam hidangan laut, seperti ikan bakar, kerang, dan seafood l
ainnya. Selain itu, garam ini juga dapat digunakan untuk memberikan ci
ta rasa khas pada hidangan lainnya.
6. Kualitas: Kualitas garam Madura dapat bervariasi, tergantung pada cara
pengolahan dan sumbernya. Garam Madura asli yang berasal dari Pulau
Madura biasanya dianggap lebih berkualitas.

C. Khasiat dan Manfaat Garam Madura


Garam menjadi salah satu komoditas yang penting di Indonesia. Ber
bagai manfaat yang dapat diperoleh dari garam, menjadikan komoditas ini s
ulit dilepaskan dari kehidupan dan keseharian manusia. Bila berbicara men
genai sejarah garam di Indonesia, tidak bisa dilepaskan dari Madura yang m
enjadi salah satu penghasil garam terbesar di Indonesia. Industri garam di
Madura telah lama dikenal dengan kualitas yang dihasilkan. Daerah tempat
pembuatan garam di Madura berada di sepanjang pantai selatan, yaitu Kabu
paten Sampang, Kabupaten Pamekasan, dan Kabupaten Sumenep. Daerah it
u disebut daerah garam, yang pada zaman VOC disebut dengan zoutnegoriz
en. Namun, garam ternyata pernah menjadi komoditas yang diremehkan ole
h penduduk Madura. Tetapi berkat modernisasi, garam Madura berubah me
njadi salah satu komoditas bernilai yang mendominasi perdagangan Nusant
ara pada abad 19 hingga abad 20. Anthony Reid dalam Asia Tenggara dala
m Kurun Niaga menulis bahwa garam telah menjadi salah satu komoditi ya
ng diperdagangkan sejak abad ke 9. Biasanya diperdagangkan untuk industr
i pengolahan ikan maupun keperluan bumbu makanan ke seluruh Nusantara.
“Melalui pelabuhan-pelabuhan di antara Juwana dan Surabaya. garam yang
berasal dari Madura didistribusikan ke seluruh wilayah Nusantara,” tulis Re
id. Memasuki abad ke 17, selain tembakau dan beras, garam merupakan ko
moditas utama perdagangan di Jawa. Garam sebagai salah satu komoditas p
enting di Madura, telah lama diperdagangkan. Sejak pemerintah lokal Mad
ura hingga kekuasaan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), garam
di Madura diproduksi berdasarkan sistem sewa. Melihat potensinya membu
at VOC pun mulai tertarik ikut masuk dalam perdagangan garam. Tetapi V
OC tidak langsung masuk, namun memberikan lisensi pajak kepada pihak k
etiga yaitu para pedagang China. Dengan sistem ini VOC dapat meningkatk
an keuntungan walau masih di bawah perdagangan rempah-rempah dan opi
um.
Indonesia memiliki garis pantai terpanjang kedua di dunia serta tig
a perempat wilayah Indonesia adalah air laut, Potensi ini dapat dimanfaatk
an salah satunya sebagai bahan dasar produksi komoditi garam. Menurut f
ungsinya, salah satu jenis garam yaitu garam industri, yang memiliki kadar
NaCl paling sedikit 97% (dry basis). Kegunaan garam industri diperuntukk
an sebagai bahan baku maupun bahan tambahan bagi keperluan industri lai
n, seperti industri tekstil, farmasi, dan sebagainya. Tingginya kebutuhan ga
ram industri setiap tahunnya yang masih didatangkan dari luar negeri meru
pakan latar belakang pendirian pabrik garam industri. Proses pembuatan g
aram industri dibagi menjadi 3 tahapan proses, yaitu pretreatment dan pem
urnian bahan baku, pemasakan, dan pengeringan dan pengendalian produk
garam industri. Tahap pretreatment bertujuan untuk menghilangkan impuri
tis dalam air laut yang dapat mengganggu proses selanjutnya menggunaka
n proses sedimentasi. Tahap pemasakan bertujuan untuk menghilangkan ai
r dan diharapkan produk keluar berupa wet crystal. Proses pengeringan dil
akukan untuk mendapatkan produk kristal garam industri dengan kadar Na
Cl 99,6%.

BAB III
A. Proses Produksi Garam Madura
Indonesia saat ini telah mampu memenuhi kebutuhan garam konsu
msi dalam negeri, namun kebutuhan garam industri masih belum dapat dip
enuhi melalui produksi dalam negeri sehingga pemenuhan kebutuhan gara
m industri dalam negeri masih mengandalkan impor. Maka dari itu salah s
atu sasaran pemerintah jangka panjang (2010-2025) adalah intensifikasi in
dustri garam untuk meningkatkan produktivitas lahan garam dan kualitas p
roduk garam. Kebutuhan garam industri nasional tahun 2018 sekitar 3,7 jut
a ton. Sementara itu, produksi garam di Indonesia hanya 1,9 juta ton. Untu
k itu penggunaan garam industri impor saat ini sekitar 1,8 juta ton per tahu
n. Rendahnya produksi ini disebabkan oleh produksi garam hanya mengan
dalkan dari hasil petani tambak local serta belum adanya industri garam ya
ng digarap secara berkelanjutan untuk mengantisipasi kebutuhan masyarak
at. Ketersediaan bahan baku berupa air laut di Madura melimpah, hal ini m
enurut Dinas Pekerjaan Umum Pengairan Jawa Timur (2005), sebagian be
sar provinsi Jawa Timur dilewati oleh dua aliran sungai yaitu Bengawan S
olo dan Kali Brantas, untuk Kali Brantas aliran airnya akan bermuara di Se
lat Madura. Provinsi Jawa Timur memiliki luas perairan mencapai 110.000
km2 dimana selat Madura merupakan salah satu wilayah perairan provinsi
Jawa Timur yang memiliki lokasi diapit oleh dua pulau yaitu Pulau Jawa d
an Pulau Madura.
Pulau Madura identik dengan produksi garam dalam skala regional
Jawa Timur maupun secara Nasional. Madura merupakan produsen garam
terbesar se jawa timur dan nasional. Sehingga saat ini pun, Pulau Madura i
dentic sebagai Pulau Garam. Garam merupakan komoditi yang penting kar
ena banyak industri yang menggunakan garam sebagai bahan aditif, mulai
industri makanan dan minuman hingga industri kimia klor dan alkali (CA
P). Namun demikian sektor produksi garam secara nasional masih termarji
nalkan karena daya saing SDM rendah,kapasitas produksi kecil dan denga
n mutu garam yang tidak seragam. Sampai saat ini produksi garam dalam
negeri hanya laku untuk garam konsumsi sedangkan garam industri semua
nya masih impor dari negara lain. Proses produksi garam rakyat melalui ta
hapan diantaranya penyediaan lahan (tambak), pengaliran air laut ke lahan,
proses penguapan air laut, proses kristalisasi garam, pemisahan garam dari
airnya sehingga diperoleh garam rakyat. Air sisa dari proses produksi gara
m rakyat berwarna kuning muda kemudian dibuang (tidak dimanfaatkan) d
isebut dengan air tua (bittern).Air tua (bittern) merupakan air limbah dari p
roses produksi garam rakyat. Jumlahnya cukup besar sehingga diperlukan
pengelolaan lebih lanjut. Petani garam masih menggunakan cara tradisonal
dalam kegiatan pengolahan garam. Pengetahuan yang mereka dapatkan ber
langsung secara turun temurun berdasarkan kearifan local masyarakat Mad
ura.
Garam industri dipergunakan dalam industri Chlor Alkali Plant (C
AP), kertas, petrokimia, farmasi, kosmetik, pengasinan ikan, penyamakan
kulit, pakan ternaik, sabun dan detergen. Permintaan produk garam industr
y meningkat dengan semakin tingginya tingkat konsumsi masyarakat. Pert
umbuhan konsumsi masyarakat Indonesia dari tahun ke tahun meningkat s
eiring dengan tingkat pengeluaran per kapita masyarakat. Sehingga secara
umum dapat disimpulkan bahwa tingkat konsumsi masyarakat Indonesia
memiliki trend kenaikan setiap tahunnya. Oleh sebab itu, produksi garam i
ndustri ini memiliki prospek yang sangat bagus untuk ditingkatkan di Indo
nesia. Secara umum ada 3 proses pretreatment air laut pada pembuatan gar
am industri. Selain itu juga ada 3 proses treatment garam pada pembuatan
garam industri.
1. Proses Pretreatment
1.1 Solar Evaporasi
Pada proses solar evaporasi ini, terdiri dari 2 cekungan penguapan Cekung
an pertama disebut kolam pengendapan, digunakan untuk produksi air gara
m jenuh NaCl, selanjutnya dimasukkan ke dalam kolam kedua,biasanya di
sebut crystallizer. Produksi garam dilanjutkan kristalisasi untuk meningkat
kan kadar NaCl dan menghilangkan impurities berupa CaCO3 dan CaSO4.
Langkah selanjutnya adalah tahap penentuan; ketika air laut masuk pada k
olam pengendapan pertama dan mengalir pada kolam berikutnya. Kolam d
i desain dengan beberapa cekungan yang saling berhubungan, dan air laut
akan menguap di bawah sinar matahari dengan konsentrasi yang meningka
t. Sehingga saat mencapai lembah terakhir, kepekatan menjadi 25,7°Be, se
suai dengan air garam jenuh NaCl.
1.2 Elektrodialisis
Proses pembuatan garam industri menggunakan elektrodialisis diawali den
gan air laut yang hanya memiliki kadar garam sekitar 3 % akan dipekatkan
pada elektrodialisis dengan hasil keluaran brine dengan konsentrasi 20 %.
Prinsip dasar elektrodialisis dengan ion exchange membrane yaitu serangk
aian dari anion dan cation-exchange membrane dipasang bergantian dileta
kkan diantara dua elektroda dan terpasang dalam
aliran arus listrik secara langsung. Membrane yang digunakan menerapkan
prinsip nanofiltrasi. Sehingga pemisahan antara garam-garam bervalensi tu
nggal dengan anion-anion lain dengan berbagai muatan dapat berlangsung
secara efektif. Akibatnya, komponen garam yang diinginkan dapat lolos se
cara selektif melalui membran untuk membentuk concentrated brine.
1.3 Sedimentasi
Proses sedimentasi diawali dengan air laut terlebih dahulu disaring
dan dipanaskan atau diuapkan airnya hingga tingkat kepekatan kurang lebi
h 20 °Be. Selanjutnya direaksikan dengan larutan natrium stearate dalam r
eaktor berpengaduk pada suhu 81,5 °C dengan konversi 94,5%. Padatan ya
ng terbentuk selanjutnya disaring menggunakan mikrofiltrasi memisahkan
filtrate dengan endapannya, dan filtrate yang dihasilkan selanjutnya diuapk
an pada evaporator hingga diperoleh NaCl. NaCl yang dihasilkan memiliki
kemurnian sebesar 96,19%. Diperlukan konsentrasi asam stearate berlebih
untuk dapat mengubah semua Mg dan Ca sebagai kalsium stearate dan ma
gnesium stearate. Proses ini akan berjalan optimum apabila rasio Ca/Mg 2.
Apabila rasio Ca/Mg terlalu besar ataupun terlalu kecil akan mengakibatka
n proses pengendapan impuritas tidak berlangsung baik.
2. Proses Treatment
2.1 Vacuum Pan
Proses pembuatan garam menggunakan metode vacuum pan sebelum pros
es evaporasi, brine di proses secara kimia untuk menghilangkan mineral ha
rdness yang dapat mempengaruhi kemurnian garam dan juga menyebabka
n scalling pada evaporator. Proses ini mengurangi tingkat kalsium terlarut,
magnesium, dan juga sulfat, tergantung dari jenis prosesnya. Suspensi krist
al dikeluarkan dari bagian bawah evaporator yang berbentuk kerucut. Untu
k menghilangkan larutan induk dapat menggunakan centrifuge pusher. Pen
geringan lebih lanjut dapat dilakukan dengan fluidized bed dryer. Dalam w
aktu kurang dari satu putaran, kristal garam yang mengandung larutan ind
uk berubah menjadi garam kering. Kadar air setelah dilakukan proses peng
erigan yaitu 0,05% atau kurang.
2.2 Open Pan
Merupakan proses grainer, metode yang menggunakan lebih sedikit utilita
s untuk memproduksi garam. Garam yang dihasilkan dari proses grainer b
erbentuk serpihan bukan kristal. Serpihan terbentuk di permukaan brine da
n didukung oleh tegangan permukaan. Serpihan garam baru yang terbentu
k saling melekat untuk memperbesar ukurannya. Serpihan-serpihan itu ten
ggelam ke dasar pan.Produk ini dikumpulkan menggunakan penggaruk me
kanis, dan dikeringkan dengan cara yang sama seperti garam pada proes va
cuum pan. Proses ini dipengaruhi oleh banyak variabel yang dapat mempe
ngaruhi kualitas produksi, seperti suhu lingkungan, kelembaban, dan kemu
rnian feed brine. Garam dari proses grainer biasanya diaplikasikan untuk
makanan.
2.3 Washing
Proses washing dilakukan dengan kombinasi dari proses pencucian dan pel
arutan cepat pada saat pembuatan garam. Sedangkan untuk penghilangan i
mpuritis dari produk garam, dapat dilakukan dengan proses kimia, yaitu de
ngan mereaksiakannya dengan Na2CO3 dan NaOH sehingga terbentuk en
dapan CaCO3 dan Mg(OH)2. Pencucian garam dilakukan dengan menggu
nakan larutan garam jenuh (brine) yang digunakan berulang kali. Tujuanny
a adalah menghilangkan kotoran dari permukaan garam. Kemurnian garam
yang dibuat dengan proses pencucian biasanya lebih dari 94,7%.
3. Pemilihan Proses
Keuntungan utama penggunaan proses sedimentasi adalah prosesnya yang
relative sederhana dan kemurnian NaCl tinggi ketika impuritis Ca dan Mg
dalam air laut diendapkan, sedangkan kerugiannya yaitu untuk rasio Ca/M
g yang terlalu besar dan terlalu kecil akan mengakibatkan proses pengenda
pan impuritis tidak berlangsung baik.
4. Uraian Proses
Pabrik pembuatan garam industry (Sodium Chloride)dari air laut melalui p
roses sedimentasi-vacum pan ini dibagi menjadi 3 proses utama, yaitu: pro
ses pretreatment dan pemurnian bahan baku (area 100), proses pemasakan
(area 200) dan proses pengeringan dan pengendalian produk (area 300). Pr
oses pretreatment bertujuan menghilangkan impuritis dari air laut.
1. Tahap pretreatment dan pemurnian bahan baku Air laut dilakukan penya
ringan kotoran dalam air laut ke dalam Sand Filter, kemudian dibawa men
uju Flokulator sebagai tempat pengendapan impuritis/zat pengotor berbent
uk solid. Untuk proses pengendapan ditambahkan larutan Na2CO3, Ca(O
H)2 dan BaCl2. Reaksi yang terjadi
antara lain :
(1) MgCl2 + Ca(OH)2 Mg(OH)2 (s) + CaCl2
(2) MgSO4 + Ca(OH)2 Mg(OH)2 (s) + CaSO4
(3) CaCl2 + Na2CO3 CaCO3 (s) + 2 NaCl
(4) CaSO4 + Na2CO3 CaCO3 (s) + Na2SO4
(5) Na2SO4 + BaCl2 BaSO4 (s) + 2 NaCl
Produk hasil reaksi dipisahkan antara larutan dan pengotor berupa padatan
pada Clarifier, yang kemudian hasil larutan overflow ditampung di Feed B
rine Tank.
2. Tahap Pemasakan
Pada tahap ini terjadi proses penghilangan air agar larutan menjadi pekat p
ada Double Effect Evaporator. Steam evaporator diperoleh dari boiler den
gan suhu 148oC dan tekanan 4,4 atm sementara itu brine keluar dari Evap
orator Badan I menuju Badan II yang mana dikondisikan vakum (0,36 at
m), agar didapatkan kondisi saturated brine, yang kemudian dibawa menuj
u ke Crystallizer dalam kondisi vakum (0,23 atm). Keluaran Crystallizer b
erupa campuran kristal basah NaCl dan mother liquor dipisahkan pada Cen
trifuge, untuk mother liquor di recycle menuju Feed Brine Tank.
3. Tahap pengeringan dan pengendalian produk Proses pengeringan kristal
NaCl basah dilakukan dengan mengunakan Fluidized Bed Dryer dengan b
antuan udara panas dan udara dingin. Pada saat proses pengeringan, terdap
at komponen solid yang terbawa dengan udara panas yang akan dipisahkan
dengan Cyclone. Produk kristal kering dari Fluidized Bed Dryer didistribu
sikan menuju Hammer Mill untuk proses size reduction 30 mesh. Digunak
an bantuan alat berupa Screener untuk memisahkan garam berdasarkan uk
urannya, garam yang tidak sesuai spesifikasi akan dikembalikan ke Hamm
er Mill dan produk Kristal NaCl ukuran.30 mesh ditampung pada Tangki P
enampung Garam Industri (F-340) dengan
kadar NaCl 99,6%.
B. Kandungan Garam
Garam merupakan sebuah komoditas laut yang sangat dibutuhkan d
alam kehidupan masyarakat Indonesia sebagai tambahan dalam makanan,
yang cocok dengan sifat maritim negara ini. Garam beryodium memiliki m
anfaat yang beragam, seperti mencegah penyakit gondok, membantu keha
milan yang sehat, meningkatkan IQ, dan mencegah gangguan pertumbuha
n. Sayangnya, para petani garam di Indonesia belum memiliki keterampila
n dalam mengelola garam sesuai standar internasional. Di Madura, kualitas
garam sangat bergantung pada kadar garamnya di meja kristalisasi. Kualita
s garam itu sendiri bergantung pada kandungan NaCl dalam garam, yang d
ipengaruhi oleh lokasi pengambilan air laut dan jenis dasar tambak atau m
eja garam yang digunakan untuk proses kristalisasi. Meja garam merujuk p
ada lahan tempat produksi garam atau tempat di mana proses pengkristalan
berlangsung.
Jawa Timur merupakan lokasi dengan lahan garam terluas di Indon
esia, mencakup 60% dari total lahan garam nasional. Pulau Madura, bagia
n dari Jawa Timur, memiliki lahan garam terluas dengan ukuran 15.347 he
ktar. Kabupaten Sumenep, salah satu wilayah di Madura, memiliki 27 keca
matan, di mana 11 di antaranya dikenal sebagai daerah penghasil garam.
Kabupaten Sumenep, terdapat dua jenis industri garam: industri gar
am milik BUMN (PT Garam Persero) dan industri garam yang dikerjakan
oleh masyarakat lokal, melibatkan 3.219 orang dengan luas lahan sekitar 1
977,21 hektar. Meskipun demikian, garam yang dihasilkan oleh masyaraka
t lokal memiliki kelemahan pada tingkat kemurniannya yang masih rendah,
kurang dari 95%. Tingkat kemurnian garam rakyat di daerah seperti Kabu
paten Sampang berkisar antara 88-91%, sementara Kabupaten Pamekasan
memiliki kandungan NaCl sebesar 91,34% dan Kabupaten Sumenep sekita
r 91,20%.
Tingkat kemurnian yang rendah serta perbedaan produktivitas yang
signifikan antar lokasi menjadi tantangan ekonomi bagi petani garam. Di s
amping itu, petani garam umumnya hanya menjual garam dalam bentuk ka
sar atau krosok. Garam yang dihasilkan dari Madura utamanya terdiri dari
natrium klorida (NaCl), menjadi komponen utama dari garam tersebut. Ka
ndungan NaCl dalam garam Madura bisa bervariasi, berkisar antara 91% h
ingga lebih dari 99%, tergantung pada tempat pengambilan air laut dan jen
is tambak atau meja garam yang dipakai dalam proses produksi. Wilayah s
eperti Kabupaten Pamekasan memiliki tiga kecamatan yang menunjukkan
potensi tinggi sebagai produsen garam dengan kualitas yang baik, dengan
kandungan NaCl yang mencapai sekitar 94%.
Garam Madura tidak hanya mengandung NaCl tetapi juga mengand
ung sedikit mineral lain seperti magnesium, kalsium, atau unsur lain dalam
jumlah kecil. Hal ini tergantung pada proses kristalisasi garam dan sumber
air laut yang dipakai dalam pembuatannya. Proses ini memengaruhi kandu
ngan mineral tambahan yang bisa terdapat dalam garam tersebut.
Penting untuk dicatat bahwa variasi kandungan mineral tambahan i
ni tidak konsisten di setiap lokasi produksi garam di Madura. Terkadang, g
aram dari daerah tertentu mungkin memiliki kandungan mineral sedikit leb
ih tinggi atau lebih rendah dibandingkan dengan area lainnya, bergantung
pada faktor-faktor produksi yang terkait dengan proses kristalisasi dan su
mber air laut yang digunakan.
Garam Madura secara umum diakui memiliki kualitas yang baik de
ngan kandungan NaCl yang tinggi, membuatnya menjadi sumber garam ya
ng dihargai dalam berbagai industri dan konsumsi manusia., kualitas gara
m yang dihasilkan oleh petani di Kabupaten Sumenep masih rendah, deng
an tingkat kemurnian berkisar antara 88-91%. Angka ini masih berada di b
awah standar nasional Indonesia (SNI) yang mensyaratkan tingkat kemurn
ian garam lebih dari 95%.
Kualitas garam yang unggul memiliki peran penting karena garam
yang memiliki kualitas tinggi atau beryodium dapat memberikan manfaat
besar bagi kesehatan manusia, seperti mencegah penyakit gondok dan risik
o keguguran. Universitas Trunojoyo Madura (UTM) memiliki teknologi y
ang mampu menciptakan garam dengan kandungan NaCl yang tinggi, bah
kan melebihi 99%. Garam Madura menampilkan potensi besar dalam berb
agai sektor industri, termasuk industri makanan, minuman, dan kimia. Kan
dungan garam dengan metode geomembrane memiliki kandungan NaCl le
bih tinggi daripada garam dengan metode tradisional hal ini dapat dilihat p
ada table berikut.

Berdasarkan informasi dari Tabel 3, garam yang dihasilkan dari


lahan yang menggunakan geomembran memiliki kandungan air sekitar
5,09%. Angka tersebut sudah berada di tingkat rendah dan memenuhi
standar SNI yang ditetapkan. Hasil pengujian kandungan NaCl
menunjukkan persentase sebesar 96,4%, melebihi standar SNI yang
mensyaratkan kandungan NaCl minimal 94% dalam garam konsumsi.
Keunggulan dari penggunaan geomembran dalam produksi garam adalah
proses kristalisasi garam bisa dilakukan tanpa sentuhan langsung dengan
tanah, menghasilkan garam yang lebih bersih dan putih serta kandungan
NaCl yang lebih tinggi.
Hasil pengujian cemaran logam (seperti kadmium, timbal, raksa,
dan arsenik) pada produk garam menunjukkan angka yang lebih rendah
dari batas yang ditetapkan dalam standar SNI. Konsentrasi logam dalam
garam umumnya dipengaruhi oleh sumber air yang digunakan dalam
proses kristalisasi garam. Kementerian Kelautan dan Perikanan
menekankan bahwa lokasi tambak yang digunakan untuk produksi garam
harus terbebas dari perairan yang tercemar, harus bersih, bebas dari
sampah, memiliki kejernihan yang baik, dan minim zat padat. Kehadiran
logam, terutama logam berat, dalam garam bisa berpotensi membahayakan
kesehatan manusia dan lingkungan sekitar.

BAB IV

Proses Budidaya Garam Madura


Budidaya garam di Madura berpusat pada penggunaan lahan
tambak garam sebagai tempat utama produksi. Metode ini telah menjadi
ciri khas dalam pembuatan garam di pulau ini selama bertahun-tahun.
Proses dimulai dengan pengumpulan air laut ke dalam tambak saat pasang
air laut. Setelah itu, melalui tahap penguapan alami, air laut dibiarkan
menguap untuk meninggalkan garam di permukaan tambak. Proses
penguapan ini memungkinkan kristalisasi garam secara alami di atas
permukaan tambak.
Tambak garam di Madura umumnya mengalami proses
peningkatan produktivitas dengan penerapan teknologi modern. Salah
satunya adalah penggunaan geomembran untuk meningkatkan efisiensi
dalam proses penguapan dan kristalisasi. Ini membantu mengontrol
kualitas garam yang dihasilkan serta mengoptimalkan proses produksi
secara keseluruhan
Pulau Madura, yang terkenal sebagai "Pulau Garam," memiliki
warisan panjang dalam industri garam. Proses tradisional pembuatan
garam oleh masyarakat Madura, dikenal sebagai metode 'Madurese' atau
cara orang Madura, melibatkan kristalisasi air laut. Para petani garam
mengumpulkan air laut ke tambak atau meja garam, lalu membiarkan air
tersebut menguap secara alami hingga meninggalkan garam di permukaan
tambak atau meja. Proses ini membutuhkan waktu yang cukup lama dan
melibatkan banyak tenaga kerja. Kondisi geografis Pulau Madura dengan
musim kering yang panjang, minim sungai, dan keterbatasan sumber air
tawar, menjadi kondisi alam yang mendukung untuk produksi garam
dalam skala besar.
Proses pembuatan garam di Madura biasanya dilakukan dengan
cara menampung air laut di kolam atau dataran garam, setelah itu air laut
dibiarkan menguap dan garamnya dibiarkan di permukaan kolam atau
dataran garam. Proses ini disebut kristalisasi. Setelah garam terkumpul,
petambak garam mengumpulkannya dan memisahkan garam tersebut dari
sisa air laut. Garam tersebut kemudian diangkut ke gudang dan dikemas
untuk dijual.
Proses produksi garam Madura biasanya masih dilakukan oleh
petani kecil. Namun di Madura juga terdapat industri garam modern
seperti PT Garam Persero yang memproduksi garam dengan teknologi
modern dan berkualitas tinggi. Garam meja sebagian besar mengandung
natrium klorida (NaCl) yang merupakan komponen utama garam.
Kandungan NaCl garam Madura bervariasi dari 91 persen hingga lebih
dari 99 persen, tergantung dari mana air laut diambil dan jenis dasar
kolam/meja garam yang digunakan. Garam Madura mungkin juga
mengandung sejumlah kecil mineral lain seperti magnesium, kalsium atau
unsur lainnya, tergantung pada proses kristalisasi dan sumber air laut dari
mana garam tersebut diproduksi.
Petani garam Madura umumnya masih menggunakan cara
tradisional untuk membuat garam. Mereka mengumpulkan air laut di
kolam atau dataran garam, kemudian membiarkan air laut tersebut
menguap dan meninggalkan garam di permukaan kolam atau dataran
garam. Proses ini memakan waktu yang cukup lama dan membutuhkan
banyak usaha. Namun di Madura juga terdapat industri garam modern
seperti PT Garam Persero yang memproduksi garam dengan teknologi
modern dan berkualitas tinggi.
Di samping metode tradisional, industri garam modern juga
berkembang di Madura. PT Garam Persero adalah salah satu perusahaan
yang menerapkan teknologi canggih dalam memproduksi garam dengan
standar kualitas tinggi. Universitas Trunojoyo Madura (UTM) juga
memiliki teknologi yang mampu menciptakan garam dengan kandungan
NaCl yang sangat tinggi, bahkan melebihi 99%. Meskipun beberapa kasus
menilai kualitas garam Madura rendah, hasil pengujian di laboratorium
menunjukkan bahwa kualitasnya sebenarnya sangat baik. Namun, petani
garam Madura masih menghadapi masalah ekonomi karena harga garam
yang terus rendah, menyebabkan kesejahteraan mereka semakin menurun.
Garam Madura memiliki kandungan NaCl yang tinggi, berkisar
antara 91 persen hingga lebih dari 99 persen, tergantung pada lokasi dan
jenis dasar tambak/meja garam yang digunakan. Selain NaCl, garam
Madura juga mungkin mengandung sedikit mineral lain seperti
magnesium, kalsium, atau unsur-unsur lainnya dalam jumlah kecil
tergantung pada proses kristalisasi dan sumber air laut tempat garam
dihasilkan. Kualitas garam yang baik sangat penting karena garam yang
berkualitas atau beryodium dapat berguna bagi manusia untuk mencegah
penyakit gondok dan menghindari keguguran.
Dalam upaya meningkatkan kualitas dan harga garam rakyat,
pemerintah dan pihak terkait melakukan berbagai upaya, seperti
penggunaan teknologi geomembran dan uji laboratorium mandiri untuk
memastikan kualitas garam rakyat petani Indonesia. Meskipun demikian,
petani garam Madura masih perlu dukungan lebih lanjut agar
kesejahteraan mereka meningkat
Garam dari Madura memiliki potensi untuk digunakan dalam
berbagai sektor industri seperti makanan, minuman, dan industri kimia.
Universitas Trunojoyo Madura (UTM) memiliki teknologi yang mampu
menghasilkan garam dengan kandungan NaCl yang tinggi, bahkan
mencapai 99 persen. Kualitas garam memegang peran penting karena
garam yang berkualitas atau mengandung yodium dapat memberikan
manfaat dalam mencegah penyakit gondok dan risiko keguguran. Pulau
Madura dikenal sebagai "pulau garam" karena memiliki ladang garam
terluas di Indonesia. Para petani garam di Madura umumnya hanya
menjual garam dalam bentuk mentah atau yang telah dihaluskan. Namun,
garam Madura memiliki kandungan NaCl yang tinggi dan dapat digunakan
dalam berbagai industry.

BAB V
A. Kolerasi Garam Madura dengan Pembelajaran IPA

Pendidikan merupakan suatu upaya untuk memberdayakan potensi


manusia untuk mewariskan, mengembangkan dan membangun peradaban
di masa yang akan datang. Salah satu upaya untuk membangun
peradaban adalah dengan meningkatkan pemahaman terhadap
lingkungan sekitar terutama yang berkaitan dengan budaya sebagai
warisan dari generasi terdahulu. Budaya akan lebih dikenal apabila
dimasukkan ke dalam kegiatan pembelajaran salah satunya adalah di
bidang IPA. Nilainilai budaya yang merupakan kearifan lokal berbeda
tergantung dari daerah masing-maisng terutama Indonesia yang terdiri
dari berbagai suku, etnis, dan tradisi. Diharapkan dengan proses ini
generasi muda akan semakin tinggi nilai nasionalisme dan bangga
sebagai bangsa Indonesia.
Pembelajaran ilmu sains yang memperhatikan kearifan budaya lokal
sebagai jatidiri bangsa dan, karakter dan adat istiadat budaya lokal
dinamakan pembelajaran berpendekatan etnosains, pembelajaran
berpendakat etnosain sangat penting karena Indonesia terdiri dari
berbagai suku bangsa dan berbagai kebudayaan yang harus dilestarikan.
Pengintegrasian diharapkan meningkatkan kepekaan siswa terhadap
lingkungan sekitar. Di Madura sebagai salah satu suku di Indonesi juga
kaya dengan khasanah budaya salah satunya adalah garam. Pulau Madura
identik dengan produksi garam dalam skala regional Jawa Timur maupun
secara Nasional. Madura merupakan produsen garam terbesar se jawa
timur dan nasional. Sehingga saat ini pun, Pulau Madura identik sebagai
Pulau Garam.
Garam merupakan komoditi yang penting karena banyak industri
yang menggunakan garam sebagai bahan aditif, mulai industri makanan
dan minuman hingga industri kimia klor dan alkali (CAP). Namun
demikian sektor produksi garam secara nasional masih termarjinalkan
karena daya saing SDM rendah, kapasitas produksi kecil dan dengan
mutu garam yang tidak seragam. Sampai saat ini produksi garam dalam
negeri hanya laku untuk garam konsumsi sedangkan garam ndustri
semuanya masih impor dari negara lain. Keberagaman yang ada di
lingkungan masyarakat dapat menjadi sumber belajar dan pengetahuan
bagi peserta didik. Pembelajaran yang berdasarkan perspektif budaya
berhubungan dengan fenomena alam pada kehidupan keseharian manusia
disebut dengan etnosains. Etnosains merupakan bentuk pengetahuan
yang dipahami oleh masyarakat mengenai alam dan budaya.
Pembelajaran IPA dalam perspektif etnosains dapat dijadikan inovasi
yang memberikan gambaran pengetahuan masyarakat dikaji secara
ilmiah. Dampaknya dalam proses pembelajaran menjadi lebih bermakna.
Pembelajaran IPA dalam perspektif etnosains pada aktivitas belajar
peserta didik, berhubungan dengan pengetahuan budaya awal yang
dimiliki peserta didik. Pada Peraturan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 67 Tahun 2013 tentang
Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum Sekolah Dasar (SD)/Madrasah
Ibtidaiyah (MI), terdapat rasional pengembangan Kurikulum 2013 (K13)
yakni landasan filosofis peserta didik adalah pewaris budaya bangsa yang
kreatif. Pandangan filosofi ini sebagai prestasi bangsa di berbagai bidang
kehidupan di masa lampau, yang harus termuat dalam isi kurikulum.
Pembelajaran IPA di SD berbasis etnosains disampaikan oleh
(Suryanti et al., n.d.: 2021) terkait bahan ajar yang memuat kearifan lokal
dalam suatu proses atau aktivitas belajar berpengaruh pada kemampuan
literasi sains peserta didik. Seyogyanya pembelajaran yang memasukkan
perspektif etnosains di dalamnya justru lebih menarik perhatian dan rasa
keingintahuan peserta didik. Pengaruh positif dari penerapan
pembelajaran dalam perspektif etnosains menurut (Khoiri & Sunarno,
n.d.: 2018) tercermin seperti: 1) apresiasi terhadap budaya daerah
tercermin dalam aktivitas belajar sebagai proses penggabungan budaya
(inkulturasi), 2) pembelajaran aktif melalui aktivitas yang dilakukan
terfokus pada peserta didik. Luaran bisa berupa terciptanya konsep,
model pembelajaran yang dimodifikasi, desain atau sumber pembelajaran
terkait etnosains, hal ini sebagai bagian dari pengembangan keterampilan
sains di SMP.
Pengembangan kualitas pembelajaran untuk mencapai tujuan
pendidikan nasional dan memenuhi tuntutan global yang kompleks
membutuhkan guru IPA yang profesional. Pengembangan profesionalitas
salah satunya adalah penerapan kegiatan pembelajaran di kelas yang
inovatif. Pembelajaran yang inovatif yang berintegrasi dengan budaya
yang menjadi kekayaan bangsa Indonesia. Model yang dapat diterapkan
adalah pembelajaran berbasis budaya lokal. Jika dikaitkan dengan
pengetahuan ilmiah yang dimiliki masyarakat maka disebut etnosains.
Budaya didefinisikan sebagai cara hidup kelompok masyarakat tertentu
dan diwariskan secara turun temurun.
Madura salah satu pulau yang kaya dengan budaya masyarakat
merupakan salah satu kekayaan bangsa Indonesia, yaitu biokonservasi
terkait dengan kearifan lokal msayarakat, batik madura, petis madura,
terasi madura. Madura mempunyai kekayaan budaya dan pengetahuan
masyarakat yang dapat digunakan dalam meningkatkan kualitas
pembelajaran siswa. Bangkalan sebagai salah satu kabupaten yang ada di
Pulau Madura. Bangkalan juga kaya dengan berbagai budaya dan
kearifan lokal masyarakat seperti pembuatan batik gentongan Tanjung
Bumi, pembuatan terasi macajah, dan pembuatan petis ikan khas
Bangkalan, atau makanan Bungko khas Arosbaya Bangkalan. Semua
konsep tersebut dapat diimplentasikan dalam kegiatan pembelajaran IPA
berintegasi etnosains. Kreatifitas guru sangat diperlukan dalam
mengintegrasikan pengetahuan asli masyarakat dengan konsep-konsep
dalam IPA.
Guru sebagai salah satu komponen penting dalam pembelajaran
yang mempunyai tugas membina budi pekerti, mentransfer ilmu
pengetahuan baik hard skills maupun soft skills dan mengevaluasi peserta
didik dituntut memiliki berbagai kompetensi. Berdasarkan undang-
undang guru dan dosen, guru wajib memiliki empat kompetensi meliputi
kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial dan
kompetensi profesional. Guru sebagai bagian penting dalam tercapainya
kualitas pembelajaran harus selalu meningkatkan kompetensi dalam
pembelajaran. Berbagai penelitian dilakukan untuk mengetahui
kompetensi guru (Rahman, 2016), (NM, Susilawati, & Patonah, 2011),
(Anisa, Nanna, Sofyan, & Kusnadi, 2019). Kompetensi guru sangat
menentukan dalam pengelolaan dan keberhasilan kegiatan pembelajaran.
Upaya meningkatkan pengelolaan pembelajaran salah satunya
adalah mengintegrasikan pembelajaran IPA dengan nilai-nilai budaya
lokal masyarakat. Pembelajaran IPA yang selama ini berlangsung bersifat
teoritis dan kurang implementasi dalam kehidupan siswa sehingga
pembelajaran akan menjadi kurang bermakna. Keanekaragaman budaya
masih belum dieksplore dan dikembangkan sebagai sumber belajar dalam
proses pembelajaran sains karena faktanya sebanyak 90% guru IPA
menyatakan ingin mengembangkan pembelajaran yang berbasis budaya
lokal dan etnosains, namun hanya sekitar 20% yang memiliki wawasan
dan pengetahuan untuk mengembangkan (I Wayan Suastra, 2010).
Implikasinya dalam kegiatan pembelajaran siswa belum tahu kaitan
konsep IPA dengan proses pembuatan produk-produk di masyarakat.
Kondisi ini menyebabkan pembelajaran IPA masih cenderung bersifat
abstrak sehingga kemampuan siswa untuk mengintegrasikan
pembelajaran dalam kehidupan sehari-hari masih lemah.

B. Pengembangan Media Pembelajaran IPA Terpadu


Teknik pembelajaran kimia yang cocok untuk materi yang abstrak
adalah dengan cara membayangkan atau menggunakan media gambar yan
g terkait dengan materi tersebut. Gambar dapat membantu peserta didik m
engingat materi kimia yang dibahas. Namun cara-cara tersebut tidak muda
h dipahami peserta didik apabila cara penyampaian pebelajaran tidak tepat.
Guru dapat memperbanyak ide dan gagasan untuk membantu memaksimal
kan kemampuan berpikir peserta didik dengan cara menyampaikan materi
pelajaran agar dapat diserap dan diingat dengan baik oleh peserta didik, ya
itu dengan sumber belajar yang tepat yaitu pemakaian media pembelajaran.
Media pembelajaran dapat menarik perhatian peserta didik dan menumbu
hkan motivasi belajar sehingga peserta didik bisa lebih aktif berinteraksi la
ngsung dengan lingkungannya, serta peserta didik mampu belajar sendiri s
esuai minat dan kemampuannya.
Peserta didik masih merasa sulit dalam memahami belajar IPA kar
ena beberapa materinya bersifat abstrak yaitu pada materi asam, basa, dan
garam. Selain abstrak, materi ini bersifat kontekstual yang dimana konsep
materi dengan kehidupan sehari-hari berkaitan sangat erat. Materi asam, ba
sa, dan garam ditemukan konsep yang penting yaitu pengamatan peserta di
dik dan diharapkan peserta didik dapat mengamati gejala-gejala, menggolo
ng-golongkan, membuat dugaan, menjelaskan, dan menarik kesimpulan. S
elain itu, materi asam, basa dan garam sangat banyak konsep penting yang
cenderung bersifat hapalan dan konsep-konsep yang saling berkaitan. Ini
membuat kondisi pembelajaran kimia menjadi tidak menarik, tidak disena
ngi dan demikian peserta didik mendapat hasil belajar yang rendah. Hal ini
juga membuat mereka cenderung kurang aktif pada saat proses kegiatan be
lajar mengajar berlangsung dan kurang mampu membangun konsep tersen
diri melalui pembelajaran dikarenakan yang lebih dominan berperan di kel
as adalah guru.
Masalah dalam kegiatan belajar mengajar dapat diatasi melalui pen
ggunaan media. Media adalah alat yang berguna untuk membantu guru dal
am menjelaskan materi pada kegiatan belajar mengajar serta untuk memud
ahkan pemahaman peserta didik terhadap materi yang disampaikan. Dalam
pembelajaran di kelas harus menggunakan media yang sesuai dengan kara
kterisitik materi dan peserta didik. Penggunaan media yang kurang tepat m
enyebabkan tujuan pembelajaran yang diinginkan tidak akan tercapai.
Nunuk (2018) menyatakan, bahwa media adalah penyalur pesan at
au informasi dari sumber pesan ke penerima yang dapat merangsang pikia
n dan membangkitkan semangat peserta didik. Dengan demikian pembelaj
aran yang tidak menggunakan media dengan maksimal tidak dapat membe
rikan pengalaman yang menarik dan membuat peserta didik tidak semanga
t untuk belajar.
BAB VI
Peran Garam Pada Kesehatan dari Aspek Pangan sampai Klinis

Garam menjadi suatu kebutuhan penting bagi masyarakat dalam


kehidupan sehari-hari mereka. Garam merupakan pelengkap dari kebutuhan
pangan dan sumber elektrolit bagi tubuh. Sebagai pelengkap dari kebutuhan
pangan, garam biasa digunakan untuk bumbu penyedap bagi makanan.
Kondisi geografis Indonesia yang merupakan negara kepulauan menjadikan
Indonesia sebagai salah satu negara penghasil garam. Walaupun begitu,
pusat pembuatan garam di Indonesia masih terpusat di Pulau Jawa dan
Madura. Salah satu kandungan zat gizi penting yang ada dalam garam
adalah yodium. Yodium merupakan mineral mikro yang berfungsi untuk
pembentukan hormon tiroid dan berguna dalam proses metabolism dalam
tubuh. Di Indonesia, regulasi terkait kadar yodium dalam garam konsumsi
ditetapkan dalam SNI 8207:2016 yaitu minimal sebesar 30 mg/kg. Regulasi
ini menjadi sangat penting sejak kekurangan yodium masih
menjadi salah satu masalah gizi yang terjadi di Indonesia (Kemenkes
RI,2018). Garam merupakan salah satu bahan makanan utama sumber
natrium. Natrium sebagai elektrolit utama dalam cairan ekstrasel berperan
penting dalam menjaga keseimbangan cairan, tekanan osmosis, dan
keseimbangan asam basa. Bagaimanapun, konsumsi garam atau natrium
yang berlebihan dapat berisiko terjadinya penyakit tidak menular (PTM).
Kandungan natrium (Na) dalam garam yang dikonsumsi berlebihan
berkontribusi terhadap terjadinya hipertensi dan dapat memicu penyakit
jantung koroner serta stroke. Pada tahun 2012, WHO menetapkan bahwa
konsumsi natrium berlebih adalah konsumsi natrium >2 g per hari atau
setara dengan >5 g garam per hari. Di samping itu, sebuah studi menyatakan
bahwa penurunan konsumsi Na tidak hanya berpengaruh pada tekanan darah
dan hipertensi, tetapi juga dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas
dari penyakit kardiovaskular. Sebuah studi tinjauan
sistematis melaporkan bahwa 75 negara di dunia saat ini telah menetapkan
strategi nasional terkait pengurangan konsumsi garam. Indonesia juga telah
menetapkan aturan konsumsi garam dalam Permenkes Nomor 30 Tahun
2013 sesuai dengan peraturan World Health Organization (WHO) yaitu 2
gram natrium per hari. Walaupun begitu, terdapat perbedaan anjuran
konsumsi garam pada setiap kondisi kesehatan. Oleh karena itu, penting
untuk mengetahui manfaat garam bagi kesehatan dan anjuran konsumsi
garam pada masing-masing kondisi kesehatan.
DAFTAR PUSTAKA
Astutik, M. A., Nurmalina, R., Burhanuddin, D., Agribisnis, S.,
Pascasarjana, S., Pertanian Bogor, I., Agribisnis, D., Ekonomi, F., &
Manajemen, D. (2019). ANALISIS STATUS KEBERLANJUTAN
PENGUSAHAAN GARAM DI TIGA WILAYAH PULAU
MADURA. Jurnal Agribisnis Indonesia, 7(1), 13–26.
http://journal.ipb.ac.id/index.php/jagbi.
Diananing Putri, R., Amilia Destryana, R., & Santosa, R. (2020).
PEMANFAATAN GARAM KROSOK SEBAGAI KREATIF
BISNIS MASYARAKAT PESISIR UTILIZATION OF SALT
KROSOK AS A CREATIVE OF COASTAL BUSINESS
COMMUNITIES. Journal of Food Technology and Agroindustry, 2.
Hadi, P, W & Ahied, M. (2017). Kajian Ilmiah Proses Produksi Garam
Madura Sebagai Sumber Belajar Kimia. Jumlah Pembelajaran. 2
(2). Diakses dari
http://journal2.um.ac.id/index.php/j-pek/article/view/2697/1728.
Ismawati1*, R. D. P. N. M. A. (2020). IDENTIFIKASI PENYEBAB
PERBEDAAN PRODUKTIVITAS GARAM RAKYAT DI
KABUPATEN SUMENE. Journal of Food Technology and
Agroindustry , 2(2), 64–69.
Maurina, L., Mahlinda, M., Thalib, A., & Kurniawan, R. (2021). Produksi
garam di lahan geomembran: Perhitungan kapasitas produksi, mutu
dan perbandingannya dengan garam tradisional. Jurnal Litbang
Industri, 11(2), 138. https://doi.org/10.24960/jli.v11i2.6935.138-144
Nizar Amir1, 3* dan Makhfud Efendy2,. (2021). Analisa Kelayakan
Penggunaan Garam Rakyat Madura Sebagai Solusi Kesehatan,
Kesejahteraan dan Ekonomi Masyarakat di Masa Pandemi COVID-
19. Prosiding Seminar Nasional Penanggulangan Kemiskinan , 1(1).
Syamsuddin, M. (2019). History Of Madura. Yogyakarta: Araska. Diakses
dari https://books.google.co.id/books.
Tony Yulianto1, Moh. S. N. I. U. (2017). PENENTUAN KADAR GARAM
MENGGUNAKAN METODE INTERPOLASI SPLINEDI
MADURA. Math Journal, 3(01).

Anda mungkin juga menyukai