Buku (Garam Madura)
Buku (Garam Madura)
DAFTAR ISI
BAB I
A. Sejarah Garam Madura
Madura adalah salah satu suku di Indonesia yang kaya dengan
kahsanah budaya salah satunya yaitu garam. Pulau Madura identik dengan
produksi garam dalam skala regional Jawa Timur maupun secara nasional.
Madura merupakan produsen garam terbesar se jawa timur dan nasional.
Sehingga saat ini pun, Pulau Madura identik sebagai Pulau Garam. Garam
merupakan komoditi yang penting karena banyak industri yang
menggunakan garam sebagai bahan aditif, mulai industri makanan dan
minuman hingga industri kimia klor dan alkali (CAP). Namun demikian
sektor produksi garam secara nasional masih termarjinalkan karena daya
saing SDM rendah, kapasitas produksi kecil dan dengan mutu garam yang
tidak seragam. Sampai saat ini produksi garam dalam negeri hanya laku
untuk garam konsumsi sedangkan garam industri semuanya masih impor
dari negara lain.
Iklim tropis di Indonesia sangatlah bermanfaat untuk produksian
garam, hal ini karena datangnya musim kemarau menjadi harapan bagi
masyarakat pulau madura terutama di daerah pesisir selatan. Masyarakat
Madura memanfaatkan musim kemarau untuk memproduksi garam.
Sebagian besar masyarakatnya bekerja sebagai petani garam. Sebelum itu
garam di Madura memiliki sejarah yang sangat panjang, yaitu awalnya
garam menjadi salah satu komoditas untuk pengolahan ikan yang
sederhana dan keperluan bumbu makanan sejak abad ke-9 yang telah
menjangkau seluruh nusantara. Kemudian pada abad ke-17, garam juga
menjadi salah satu komoditas yang diperdagangkan dari Madura ke Jawa.
Sejak pemerintahan lokal hingga kekuasaan Veerenigde Oost Indische
Compagnie (VOC), garam di Madura diproduksi berdasarkan sistem sewa.
Perdagangan garam semakin hari semakin pesat, VOC mulai
tertarik untuk ikut masuk ke dalam perdagangan garam. VOC tidak
bergabung secara langsung dalam perdagangan garam, melainkan
menggunakan sistem lisensi pajak. Dengan sistem ini VOC mendapat
keuntungan dari memasrahkan kewenangan yaitu berupa penarikan pajak
ke pihak ketiga, pihak ketiga itu sendiri dipilih untuk menyetor
keuntungan dari perdagangan garam, untuk pihak ketiga itu disebut dengan
pemborong. VOC menetapkan sistem lisensi pajak dikarenakan VOC tidak
memiliki administratif finansial dan sumber daya manusia untuk
mengelola langsung perdagangan garam. Namun sistem ini tidak berjalan
dengan baik karena para pemborong melakukan penyelundupan dan
mengeksploitasi rakyat yang memproduksi garam.
Kemudian terjadi modernisasi industri garam, pada saat Hindia
Belanda jatuh pada tahun 1816, pemerintah berupaya untuk
penyelewengan perdagangan garam yaitu disebut dengan sistem monopoli.
Sistem ini dapat mengatasi penyelewengan dan meningkatkan produksi
garam. Dari tahun tersebut perdagangan garam semakin meningkat.
Sebagian masyarakat yang menyewakan tanahnya berubah menjadi
menggunakan tanahnya sendiri untuk produksian garam. Pada awal abad
ke-20, ketika pemerintah lokal Madura dihapuskan dan sistem
pemerintahan kolonial Belanda diterapkan dan mengesahkan pengambilan
produksi garam dari kendali orang – orang Cina, serta dimulailah sistem
monopoli garam madura pada tahun 1936.
Kebijakan monopoli tersebut membuat aktivitas pembuatan garam
semakin memiliki nilai yang penting dalam ekonomi di pulau Madura.
Pada abad ke-20 terdapat tiga wilayah yang menjad industri garam di
Madura, yaitu Sampang, Pamekasan, dan Sumenep. Kemudian produksi
garam mencapai puncaknya pada awal tahun 1900-an, Sebagian besar
masyarakat Madura bergantung pada produksi garam sebagai salah satu
mata pencarian mereka. Proses pembuatan garam terbagi menjadi dua
kelompok yaitu, pertama para pemilik ladang dan pembuat garam
terkadang sama, dan yang kedua adalah para buruh, para buruh ini hanya
mendapatkan upah yang terlalu sedikit. Proses distribusi garam
mempengaruhi ekonomi yang dapat menguntungkan penjualan garam.
Perkembangan garam semakin pesat dan penjualannya sampai kemana-
mana sehingga sampai sekarang dan dari dulu hingga sekarang proses
pembuatan garamnya memiliki cara khusus yaitu menggunakan cara
morang madura atau disebut dengan “Madurese” yaitu pembuatan garam
dengan kristalisasi air laut secara total, garam diambil mulai dari lapisan
terbawah hingga atas. Para petani garam secara tradisional memindahkan
air laut antar meja garam. Oleh karena itu, Sejarah produksi garam di
Madura mencerminkan peran penting yang dimainkan oleh sumber daya
alam lokal dan keahlian petani dalam ekonomi dan budaya pulau ini.
Produksi garam masih berlanjut hingga saat ini, dengan berbagai upaya
untuk memodernisasi metode produksi sambil mempertahankan warisan
budaya tradisional.
Pulau Madura memiliki julukan Pulau Garam karena menjadi salah
satu daerah penghasil garam terbesar di Indonesia. Hampir semua
kabupaten di Pulau Madura memiliki tambak garam rakyat dengan
kapasitas produksi cukup besar. Garam didapat dengan proses penjemuran
untuk memanen kristal garam laut sebelum diolah untuk kepentingan
industri maupun konsumsi. Dilansir dari laman indonesiabaik.id, cara
pengolahan garam rakyat di Pulau Madura dikenal dengan sebutan
'Madurese'. Madurese adalah cara orang Madura untuk membuat garam
dengan kristalisasi air laut secara total. Garam diambil mulai dari lapisan
terbawah hingga atas, dan para petani garam secara tradisional
memindahkan air laut antarmeja garam. Dari jumlah tersebut, sebanyak
372.728 disumbangkan dari Jawa Timur dimana Sumenep mencatat
produksi garam sebanyak 126.662 ton. Capaian itu menjadi jumlah
produksi garam terbesar di Jatim jika dibandingkan kabupaten/kota lain.
Secara nasional, pada tahun 2017 Sumenep jadi produsen garam terbesar
kedua di Tanah Air yang hanya kalah dari Indramayu di urutan pertama
dengan hasil produksi garam 167.930 ton. Walau begitu, kabupaten lain di
Madura juga mencatat angka produksi garam yang tidak sedikit. Keunikan
alam Madura jarang dijumpai di pulau-pulau lain di Indonesia. Sumatera
dan Kalimantan yang memiliki sungai dan muara, garam sulit dibuat
karena air lautnya tak begitu pekat—tentu ada ladang garam di sejumlah
titik, seperti di Aceh. Namun kisah panjang garam menyiratkan ikatan erat
manusia Madura dengan alam sekitarnya. Selain tradisi, di ladang-ladang
garam Madura terpampang kisah lain yang mampu menghidupi ribuan
petani selama lima ratus tahun, yaitu teknik menangguk butir-butir garam.
Hingga abad 21, setelah merdeka 76 tahun, rezeki petani garam Indonesia
malah digulung garam imporan.Madura memang dikenal bermusim kering
lebih panjang, tak banyak sungai dan sumber air tawar. Daratan Madura
relatif datar di sisi Selatan, dengan dataran tinggi di tengah, dan pantai
Utara yang berbeda ketinggian. Suhu rerata Madura 26,9 derajat celsius,
dengan kemarau panjang antara 4 sampai 5 bulan (rata-rata bulan kering 2
sampai 4 bulan).Garam hanya dihasilkan di sepanjang pantai Selatan
Madura. Sedikitnya sungai dan muara membuat kawasan Selatan memiliki
air laut berkadar garam tinggi. Perubahan Sosial dalam Masyarakat
Agraris: Madura 1850 – 1940, pembuatan garam yang berkembang di
Madura pada abad lalu. Cara produksi garam cukup sederhana. Plot-plot
seperempat bau disiapkan dan air laut dialirkan melalui kanal-kanal. Jalan-
jalan kecil dibuat di antara plot-plot untuk mengeluarkan garam saat siap
diambil. Pemerintah kolonial lantas mencatat tiap-tiap plot, membuat
perkiraan produksi pada bulan April, lantas membayar uang muka pada
Mei. Periode penguapan untuk sekali panen antara 25 sampai 28 hari,
setelah itu garam siap dikais dan dipindahkan ke tempat kering. Untuk
pengeringan, garam itu dijemur selama 4 sampai 10 hari di bawah terik
Matahari dan diangin-anginkan. Pada malam hari, garam dilindungi dari
air hujan dengan daun kajang atau dengan alang-alang. Setelah itu, garam
dikirim oleh produsen garam ke depot-depot pemerintah. Pada saat yang
bersamaan, setelah plot-plot dibersihkan dari sisa-sisa garam, dan produksi
kedua pun dimulai. Dari sisi Pulau Madura tidak ada sungai besar,
sementara dari Jawa Timur hanya ada muara Bengawan Solo, di
Lamongan. Sehingga, di Madura, air laut sudah pekat. Lalu air laut
diangkat ke saluran air, dengan pompa air atau memanfaatkan air laut
pasang. Dari air baku ini diangkat ke saluran air, lantas dialirkan ke lahan-
lahan peminihan, lalu masuk ke meja kristal. Tradisi pembuatan kristal
putih dari samudera itu telah mengalir dalam darah petani garam. Di masa
silam, petani garam pernah mencicipi kejayaan dan kemakmuran. Kini,
petani justru menjadi saksi bahwa garam dari tanah leluhurnya mesti
bersaing dengan garam negeri seberang.
Garam telah lama menjadi salah satu komoditas yang menjual baik
untuk kebutuhan industri pengolahan ikan yang sederhana sejak abad ke-9
maupun untuk keperluan bumbu makanan yang telah menjangkau seluruh
nusantara. Antony Reid dalam Asia Tenggara dalam Kurun Niaga,
mengatakan bahwa sejak dulu wilayah pesisir Jawa Timur (termasuk
Madura) sudah dikenal sebagai wilayah penghasil garam dengan mutu
yang baik. Melalui pelabuhan-pelabuhan di antara Jawana dan Surabaya,
garam yang berasal dari Madura didistribusikan ke seluruh wilayah
Nusantara. Pada abad ke-17, selain tembakau dan beras, garam
merupakan komoditas perdagangan utama di Jawa. Sebagai salah satu
komoditas penting di Madura, garam telah lama diperdagangkan. Sejak
Pemerintah Lokal Madura hingga kekuasaan Veerenigde Oost Indische
Compagnie (VOC), garam di Madura diproduksi berdasarkan sistem sewa.
Melihat perdagangan garam yang mulai menunjukkan potensinya, VOC
mulai tertarik untuk ikut masuk dalam perdagangan garam. Namun VOC
tidak langsung melakukan intervensi langsung dalam proses produksi dan
distribusi, melainkan melalui sebuah sistem yang disebut sistem lisensi
pajak. Melalui sistem ini, VOC memasrahkan kewenangan dalam menarik
pajak keuntungan dari garam dari pihak ketiga yang dipilih karena
kemampuannya untuk menyetor keuntungan dari perdagangan garam.
Pihak ketiga tersebut biasanya dipegang oleh para pedagang Cina yang
biasanya berinteraksi langsung dengan petani garam, sekaligus mengatur
pola distribusi garam. Sistem tersebut diterapkan karena VOC tidak
memiliki kemampuan administratif finansial dan sumber daya manusia
untuk mengelola langsung perdagangan garam.
Saat Hindia Belanda jatuh pada kekuasaan Inggris pada tahun 1811-
1816, pemerintah berupaya anggota penyelewengan perdagangan garam
dengan memperkenalkan sistem monopoli yang disebut zoutregi. Raffles
meyakini sistem itu dapat mengatasi penyelewengan dan meningkatkan
produksi garam. Melalui sistem itu, ia menyingkirkan orang-orang Cina
yang dulu menempati posisi penting dalam perdagangan garam. Sebagai
keseimbangan atas persetujuan raja Madura, Raffles memberikan
kompensasi f5000 dan 50 koyang garam yang implementasi setiap tahun
(Ibid: 33; Wisnu, 2017:3). Setelah Inggris meninggalkan Hindia Belanda,
dan kekuasaan kembali ke Belanda, sistem tersebut dipertahankan dan
bahkan diperluas. Pengelolaan garam dilakukan secara desentralisasi dan
dikordinasi langsung oleh Direktur Keuangan dan pengawasan Dewan
Keuangan (Raad van Financiën) (Wahid, 2005: 105). Kenaikan harga
garam pada tahun 1861 menyebabkan orang-orang yang tadinya
menyepelekan aktvitas ekonomi ini, mulai melirik perdagangan garam.
Akibat kenaikan ini, terjadi penambahan luas tanah pekarangan. Penduduk
lokal yang dulu menyewakan tanahnya pun, mulai mencoba mengklaim
kembali tanahnya. Kondisi ini menciptakan ketidakteraturan dalam
produksi garam. Untuk mengatasi hal ini, pemerintah Belanda mulai
mengatur hak kepemilikan tanah pegaraman, sehingga setiap orang yang
berhak dapat mengklaimnya. Selain itu, pada tahun 1870 produksi garam
dipusatkan di Madura. Pada awal abad ke-20, ketika pemerintahan lokal
Madura dihapuskan dan sistem Pemerintahan Kolonial Belanda
diterapkan, secara bersamaan dimulailah sistem monopoli garam di
Madura pada tahun 1936. Kebijakan ini sekaligus mengesahkan
pengambilalihan produksi garam dari kendali orang-orang Cina. Peraturan
ini menjadikan Pemerintah Kolonial Belanda sebagai produsen garam
utama di Hindia Belanda (Kuntowijoyo, 2002: 8). Kebijakan monopoli
garam tersebut semakin menjadikan aktivitas pembuatan garam memiliki
nilai ekonomi penting di Pulau Madura. Sebagai produsen utama, garam-
garam Madura didistribusikan ke seluruh wilayah-wilayah yang dikuasai
Pemerintah Kolonial Belanda di Nusantara. Penunjukan Madura sebagai
pusat pembuatan garam tidak terlepas dari pertimbangan geografis.
Wilayah Madura terbentuk dari konfigurasi tanah kapur dan memiliki
musim kemarau yang cukup panjang, oleh karena itu Madura berpotensi
menjadi penghasil garam dengan mutu baik (Memori Residen Madura
Timur JG van Heyst tahun 1928: CLXV). Pada awal abad ke-20,
setidaknya terdapat tiga wilayah penting industri garam di Madura yaitu:
Sampang, Pamekasan dan Sumenep. Daerah ketiga tersebut semuanya
terletak di wilayah selatan pulau Madura. Tempat pembuatan garam yang
terdapat di Sampang, Pamekasan dan Sumenep disebut zoutnegorizen atau
zoutlanden yang berarti tempat pembuatan garam. Masing-masing tempat
itu memiliki jumlah empang (plot) garam yang beragam. Sampang
memiliki sekitar 1.377 empang, Pamekasan memiliki 1.547 empang dan
Sumenep memiliki 1.648 empang. Produksi garam mencapai puncaknya
pada awal tahun 1900-an, diperkirakan ribuan orang di Madura bergantung
pada produksi garam sebagai mata pencaharian utama mereka (Smith,
2011: 37). Aktivitas produksi garam tidak terlepas dari keberadaan
pembuatnya. Pembuat garam atau dapat disebut sebagai produsen garam
adalah kelompok-kelompok penghasil garam. Produsen garam ini dapat
dibagi ke dalam dua kelompok. Pertama, pemilik-pemilik ladang dan
pembuat garam yang terkadang keduanya merupakan orang yang sama.
Kedua, adalah para buruh industri garam yang bekerja dari awal produksi
sampai pemasaran (Kuntowijoyo, 2002: 396). Para buruh ini bernasib
seperti buruh-buruh lainnya pada masa kolonial, mereka mengalami
eksploitasi karena rendahnya harga garam dan upah yang mereka dapatkan
terlalu sedikit. Kondisi tersebut akhirnya menimbulkan masalah sosial
yang meliputi pencurian garam, pembakaran gudang-gudang garam
pemerintah, dll.
D. Proses Distribusi Garam Madura
Budaya :
Secara spesifik, berbicara garam dalam korelasinya dengan masyar
akat Madura adalah suatu hal yang tidak terpisahkan. Kabupaten Sumene
p dikenal sebagai Kabupaten yang merupakan cikal bakal pembuatan gar
am. Dikisahkan Syeh Anggasuta menemukan butiran Kristal yang kemud
ian dibiarkan berminggu-minggu hingga akhirnya menjadi garam. Di Des
a Pinggir Papas Kecamatan Kebun Dadap Kabupaten Sumenep dikenal a
da acara ritual nyadar. Acara ini dilakukan untuk mengenang Syech Ang
gasuta yang mengawali proses pembuatan garam. Diceritakan bahwa Sye
ch Anggasuta adalah pahlawan yang menyelamatkan pelarian tentara Ker
ajaan Klungkung Bali yang kalah berperang melawan Keraton Sumenep.
Para pelarian inilah yang menjadi cikal bakal penduduk Pinggir Papas.
Pegaram biasanya menggarap tanah pegaramanya selama 5-6 bulan
saja, yakni pada musim kemarau. Selama musim penghujan petani garam
mengelola tanah pegaramannya untuk digunakan sebagai tambak ikan da
n udang. Namun demikian ada juga petani garam yang beralih pekerjaan
sebagai buruh di kota. Bagi para mantong selama tidak memperoleh peng
hasilan, mereka meminjam uang dari pemilik tanah pegaraman atau peda
gang garam dengan perjanjian ikatan yang disepakati. Kondisi seperti ini
menjadikan para mantong terjebak pada ketergantungan dengan pemilik t
anah.
Ada temuan unik di Desa Tanjung Kecamatan Pademawau Pameka
san, bahwa di desa tersebut ada budaya bergilir dalam usaha produksi gar
am dalam keluarga. Tanah pegaraman yang diwariskan tidak dibagi-bagi
kan kepada tiap anak, tetapi digilir pengusahaannya oleh tiaptiap saudara
kandung per tahunnya, sehingga luas tanah pegaraman keluarga tetap utu
h. Demikian juga di Desa Karanganyar Kecamatan Kalianget Sumenep p
etani garam ada yang telah menerapkan konsep corporate farming dalam
melakukan usaha pegaraman.
BAB III
A. Proses Produksi Garam Madura
Indonesia saat ini telah mampu memenuhi kebutuhan garam konsu
msi dalam negeri, namun kebutuhan garam industri masih belum dapat dip
enuhi melalui produksi dalam negeri sehingga pemenuhan kebutuhan gara
m industri dalam negeri masih mengandalkan impor. Maka dari itu salah s
atu sasaran pemerintah jangka panjang (2010-2025) adalah intensifikasi in
dustri garam untuk meningkatkan produktivitas lahan garam dan kualitas p
roduk garam. Kebutuhan garam industri nasional tahun 2018 sekitar 3,7 jut
a ton. Sementara itu, produksi garam di Indonesia hanya 1,9 juta ton. Untu
k itu penggunaan garam industri impor saat ini sekitar 1,8 juta ton per tahu
n. Rendahnya produksi ini disebabkan oleh produksi garam hanya mengan
dalkan dari hasil petani tambak local serta belum adanya industri garam ya
ng digarap secara berkelanjutan untuk mengantisipasi kebutuhan masyarak
at. Ketersediaan bahan baku berupa air laut di Madura melimpah, hal ini m
enurut Dinas Pekerjaan Umum Pengairan Jawa Timur (2005), sebagian be
sar provinsi Jawa Timur dilewati oleh dua aliran sungai yaitu Bengawan S
olo dan Kali Brantas, untuk Kali Brantas aliran airnya akan bermuara di Se
lat Madura. Provinsi Jawa Timur memiliki luas perairan mencapai 110.000
km2 dimana selat Madura merupakan salah satu wilayah perairan provinsi
Jawa Timur yang memiliki lokasi diapit oleh dua pulau yaitu Pulau Jawa d
an Pulau Madura.
Pulau Madura identik dengan produksi garam dalam skala regional
Jawa Timur maupun secara Nasional. Madura merupakan produsen garam
terbesar se jawa timur dan nasional. Sehingga saat ini pun, Pulau Madura i
dentic sebagai Pulau Garam. Garam merupakan komoditi yang penting kar
ena banyak industri yang menggunakan garam sebagai bahan aditif, mulai
industri makanan dan minuman hingga industri kimia klor dan alkali (CA
P). Namun demikian sektor produksi garam secara nasional masih termarji
nalkan karena daya saing SDM rendah,kapasitas produksi kecil dan denga
n mutu garam yang tidak seragam. Sampai saat ini produksi garam dalam
negeri hanya laku untuk garam konsumsi sedangkan garam industri semua
nya masih impor dari negara lain. Proses produksi garam rakyat melalui ta
hapan diantaranya penyediaan lahan (tambak), pengaliran air laut ke lahan,
proses penguapan air laut, proses kristalisasi garam, pemisahan garam dari
airnya sehingga diperoleh garam rakyat. Air sisa dari proses produksi gara
m rakyat berwarna kuning muda kemudian dibuang (tidak dimanfaatkan) d
isebut dengan air tua (bittern).Air tua (bittern) merupakan air limbah dari p
roses produksi garam rakyat. Jumlahnya cukup besar sehingga diperlukan
pengelolaan lebih lanjut. Petani garam masih menggunakan cara tradisonal
dalam kegiatan pengolahan garam. Pengetahuan yang mereka dapatkan ber
langsung secara turun temurun berdasarkan kearifan local masyarakat Mad
ura.
Garam industri dipergunakan dalam industri Chlor Alkali Plant (C
AP), kertas, petrokimia, farmasi, kosmetik, pengasinan ikan, penyamakan
kulit, pakan ternaik, sabun dan detergen. Permintaan produk garam industr
y meningkat dengan semakin tingginya tingkat konsumsi masyarakat. Pert
umbuhan konsumsi masyarakat Indonesia dari tahun ke tahun meningkat s
eiring dengan tingkat pengeluaran per kapita masyarakat. Sehingga secara
umum dapat disimpulkan bahwa tingkat konsumsi masyarakat Indonesia
memiliki trend kenaikan setiap tahunnya. Oleh sebab itu, produksi garam i
ndustri ini memiliki prospek yang sangat bagus untuk ditingkatkan di Indo
nesia. Secara umum ada 3 proses pretreatment air laut pada pembuatan gar
am industri. Selain itu juga ada 3 proses treatment garam pada pembuatan
garam industri.
1. Proses Pretreatment
1.1 Solar Evaporasi
Pada proses solar evaporasi ini, terdiri dari 2 cekungan penguapan Cekung
an pertama disebut kolam pengendapan, digunakan untuk produksi air gara
m jenuh NaCl, selanjutnya dimasukkan ke dalam kolam kedua,biasanya di
sebut crystallizer. Produksi garam dilanjutkan kristalisasi untuk meningkat
kan kadar NaCl dan menghilangkan impurities berupa CaCO3 dan CaSO4.
Langkah selanjutnya adalah tahap penentuan; ketika air laut masuk pada k
olam pengendapan pertama dan mengalir pada kolam berikutnya. Kolam d
i desain dengan beberapa cekungan yang saling berhubungan, dan air laut
akan menguap di bawah sinar matahari dengan konsentrasi yang meningka
t. Sehingga saat mencapai lembah terakhir, kepekatan menjadi 25,7°Be, se
suai dengan air garam jenuh NaCl.
1.2 Elektrodialisis
Proses pembuatan garam industri menggunakan elektrodialisis diawali den
gan air laut yang hanya memiliki kadar garam sekitar 3 % akan dipekatkan
pada elektrodialisis dengan hasil keluaran brine dengan konsentrasi 20 %.
Prinsip dasar elektrodialisis dengan ion exchange membrane yaitu serangk
aian dari anion dan cation-exchange membrane dipasang bergantian dileta
kkan diantara dua elektroda dan terpasang dalam
aliran arus listrik secara langsung. Membrane yang digunakan menerapkan
prinsip nanofiltrasi. Sehingga pemisahan antara garam-garam bervalensi tu
nggal dengan anion-anion lain dengan berbagai muatan dapat berlangsung
secara efektif. Akibatnya, komponen garam yang diinginkan dapat lolos se
cara selektif melalui membran untuk membentuk concentrated brine.
1.3 Sedimentasi
Proses sedimentasi diawali dengan air laut terlebih dahulu disaring
dan dipanaskan atau diuapkan airnya hingga tingkat kepekatan kurang lebi
h 20 °Be. Selanjutnya direaksikan dengan larutan natrium stearate dalam r
eaktor berpengaduk pada suhu 81,5 °C dengan konversi 94,5%. Padatan ya
ng terbentuk selanjutnya disaring menggunakan mikrofiltrasi memisahkan
filtrate dengan endapannya, dan filtrate yang dihasilkan selanjutnya diuapk
an pada evaporator hingga diperoleh NaCl. NaCl yang dihasilkan memiliki
kemurnian sebesar 96,19%. Diperlukan konsentrasi asam stearate berlebih
untuk dapat mengubah semua Mg dan Ca sebagai kalsium stearate dan ma
gnesium stearate. Proses ini akan berjalan optimum apabila rasio Ca/Mg 2.
Apabila rasio Ca/Mg terlalu besar ataupun terlalu kecil akan mengakibatka
n proses pengendapan impuritas tidak berlangsung baik.
2. Proses Treatment
2.1 Vacuum Pan
Proses pembuatan garam menggunakan metode vacuum pan sebelum pros
es evaporasi, brine di proses secara kimia untuk menghilangkan mineral ha
rdness yang dapat mempengaruhi kemurnian garam dan juga menyebabka
n scalling pada evaporator. Proses ini mengurangi tingkat kalsium terlarut,
magnesium, dan juga sulfat, tergantung dari jenis prosesnya. Suspensi krist
al dikeluarkan dari bagian bawah evaporator yang berbentuk kerucut. Untu
k menghilangkan larutan induk dapat menggunakan centrifuge pusher. Pen
geringan lebih lanjut dapat dilakukan dengan fluidized bed dryer. Dalam w
aktu kurang dari satu putaran, kristal garam yang mengandung larutan ind
uk berubah menjadi garam kering. Kadar air setelah dilakukan proses peng
erigan yaitu 0,05% atau kurang.
2.2 Open Pan
Merupakan proses grainer, metode yang menggunakan lebih sedikit utilita
s untuk memproduksi garam. Garam yang dihasilkan dari proses grainer b
erbentuk serpihan bukan kristal. Serpihan terbentuk di permukaan brine da
n didukung oleh tegangan permukaan. Serpihan garam baru yang terbentu
k saling melekat untuk memperbesar ukurannya. Serpihan-serpihan itu ten
ggelam ke dasar pan.Produk ini dikumpulkan menggunakan penggaruk me
kanis, dan dikeringkan dengan cara yang sama seperti garam pada proes va
cuum pan. Proses ini dipengaruhi oleh banyak variabel yang dapat mempe
ngaruhi kualitas produksi, seperti suhu lingkungan, kelembaban, dan kemu
rnian feed brine. Garam dari proses grainer biasanya diaplikasikan untuk
makanan.
2.3 Washing
Proses washing dilakukan dengan kombinasi dari proses pencucian dan pel
arutan cepat pada saat pembuatan garam. Sedangkan untuk penghilangan i
mpuritis dari produk garam, dapat dilakukan dengan proses kimia, yaitu de
ngan mereaksiakannya dengan Na2CO3 dan NaOH sehingga terbentuk en
dapan CaCO3 dan Mg(OH)2. Pencucian garam dilakukan dengan menggu
nakan larutan garam jenuh (brine) yang digunakan berulang kali. Tujuanny
a adalah menghilangkan kotoran dari permukaan garam. Kemurnian garam
yang dibuat dengan proses pencucian biasanya lebih dari 94,7%.
3. Pemilihan Proses
Keuntungan utama penggunaan proses sedimentasi adalah prosesnya yang
relative sederhana dan kemurnian NaCl tinggi ketika impuritis Ca dan Mg
dalam air laut diendapkan, sedangkan kerugiannya yaitu untuk rasio Ca/M
g yang terlalu besar dan terlalu kecil akan mengakibatkan proses pengenda
pan impuritis tidak berlangsung baik.
4. Uraian Proses
Pabrik pembuatan garam industry (Sodium Chloride)dari air laut melalui p
roses sedimentasi-vacum pan ini dibagi menjadi 3 proses utama, yaitu: pro
ses pretreatment dan pemurnian bahan baku (area 100), proses pemasakan
(area 200) dan proses pengeringan dan pengendalian produk (area 300). Pr
oses pretreatment bertujuan menghilangkan impuritis dari air laut.
1. Tahap pretreatment dan pemurnian bahan baku Air laut dilakukan penya
ringan kotoran dalam air laut ke dalam Sand Filter, kemudian dibawa men
uju Flokulator sebagai tempat pengendapan impuritis/zat pengotor berbent
uk solid. Untuk proses pengendapan ditambahkan larutan Na2CO3, Ca(O
H)2 dan BaCl2. Reaksi yang terjadi
antara lain :
(1) MgCl2 + Ca(OH)2 Mg(OH)2 (s) + CaCl2
(2) MgSO4 + Ca(OH)2 Mg(OH)2 (s) + CaSO4
(3) CaCl2 + Na2CO3 CaCO3 (s) + 2 NaCl
(4) CaSO4 + Na2CO3 CaCO3 (s) + Na2SO4
(5) Na2SO4 + BaCl2 BaSO4 (s) + 2 NaCl
Produk hasil reaksi dipisahkan antara larutan dan pengotor berupa padatan
pada Clarifier, yang kemudian hasil larutan overflow ditampung di Feed B
rine Tank.
2. Tahap Pemasakan
Pada tahap ini terjadi proses penghilangan air agar larutan menjadi pekat p
ada Double Effect Evaporator. Steam evaporator diperoleh dari boiler den
gan suhu 148oC dan tekanan 4,4 atm sementara itu brine keluar dari Evap
orator Badan I menuju Badan II yang mana dikondisikan vakum (0,36 at
m), agar didapatkan kondisi saturated brine, yang kemudian dibawa menuj
u ke Crystallizer dalam kondisi vakum (0,23 atm). Keluaran Crystallizer b
erupa campuran kristal basah NaCl dan mother liquor dipisahkan pada Cen
trifuge, untuk mother liquor di recycle menuju Feed Brine Tank.
3. Tahap pengeringan dan pengendalian produk Proses pengeringan kristal
NaCl basah dilakukan dengan mengunakan Fluidized Bed Dryer dengan b
antuan udara panas dan udara dingin. Pada saat proses pengeringan, terdap
at komponen solid yang terbawa dengan udara panas yang akan dipisahkan
dengan Cyclone. Produk kristal kering dari Fluidized Bed Dryer didistribu
sikan menuju Hammer Mill untuk proses size reduction 30 mesh. Digunak
an bantuan alat berupa Screener untuk memisahkan garam berdasarkan uk
urannya, garam yang tidak sesuai spesifikasi akan dikembalikan ke Hamm
er Mill dan produk Kristal NaCl ukuran.30 mesh ditampung pada Tangki P
enampung Garam Industri (F-340) dengan
kadar NaCl 99,6%.
B. Kandungan Garam
Garam merupakan sebuah komoditas laut yang sangat dibutuhkan d
alam kehidupan masyarakat Indonesia sebagai tambahan dalam makanan,
yang cocok dengan sifat maritim negara ini. Garam beryodium memiliki m
anfaat yang beragam, seperti mencegah penyakit gondok, membantu keha
milan yang sehat, meningkatkan IQ, dan mencegah gangguan pertumbuha
n. Sayangnya, para petani garam di Indonesia belum memiliki keterampila
n dalam mengelola garam sesuai standar internasional. Di Madura, kualitas
garam sangat bergantung pada kadar garamnya di meja kristalisasi. Kualita
s garam itu sendiri bergantung pada kandungan NaCl dalam garam, yang d
ipengaruhi oleh lokasi pengambilan air laut dan jenis dasar tambak atau m
eja garam yang digunakan untuk proses kristalisasi. Meja garam merujuk p
ada lahan tempat produksi garam atau tempat di mana proses pengkristalan
berlangsung.
Jawa Timur merupakan lokasi dengan lahan garam terluas di Indon
esia, mencakup 60% dari total lahan garam nasional. Pulau Madura, bagia
n dari Jawa Timur, memiliki lahan garam terluas dengan ukuran 15.347 he
ktar. Kabupaten Sumenep, salah satu wilayah di Madura, memiliki 27 keca
matan, di mana 11 di antaranya dikenal sebagai daerah penghasil garam.
Kabupaten Sumenep, terdapat dua jenis industri garam: industri gar
am milik BUMN (PT Garam Persero) dan industri garam yang dikerjakan
oleh masyarakat lokal, melibatkan 3.219 orang dengan luas lahan sekitar 1
977,21 hektar. Meskipun demikian, garam yang dihasilkan oleh masyaraka
t lokal memiliki kelemahan pada tingkat kemurniannya yang masih rendah,
kurang dari 95%. Tingkat kemurnian garam rakyat di daerah seperti Kabu
paten Sampang berkisar antara 88-91%, sementara Kabupaten Pamekasan
memiliki kandungan NaCl sebesar 91,34% dan Kabupaten Sumenep sekita
r 91,20%.
Tingkat kemurnian yang rendah serta perbedaan produktivitas yang
signifikan antar lokasi menjadi tantangan ekonomi bagi petani garam. Di s
amping itu, petani garam umumnya hanya menjual garam dalam bentuk ka
sar atau krosok. Garam yang dihasilkan dari Madura utamanya terdiri dari
natrium klorida (NaCl), menjadi komponen utama dari garam tersebut. Ka
ndungan NaCl dalam garam Madura bisa bervariasi, berkisar antara 91% h
ingga lebih dari 99%, tergantung pada tempat pengambilan air laut dan jen
is tambak atau meja garam yang dipakai dalam proses produksi. Wilayah s
eperti Kabupaten Pamekasan memiliki tiga kecamatan yang menunjukkan
potensi tinggi sebagai produsen garam dengan kualitas yang baik, dengan
kandungan NaCl yang mencapai sekitar 94%.
Garam Madura tidak hanya mengandung NaCl tetapi juga mengand
ung sedikit mineral lain seperti magnesium, kalsium, atau unsur lain dalam
jumlah kecil. Hal ini tergantung pada proses kristalisasi garam dan sumber
air laut yang dipakai dalam pembuatannya. Proses ini memengaruhi kandu
ngan mineral tambahan yang bisa terdapat dalam garam tersebut.
Penting untuk dicatat bahwa variasi kandungan mineral tambahan i
ni tidak konsisten di setiap lokasi produksi garam di Madura. Terkadang, g
aram dari daerah tertentu mungkin memiliki kandungan mineral sedikit leb
ih tinggi atau lebih rendah dibandingkan dengan area lainnya, bergantung
pada faktor-faktor produksi yang terkait dengan proses kristalisasi dan su
mber air laut yang digunakan.
Garam Madura secara umum diakui memiliki kualitas yang baik de
ngan kandungan NaCl yang tinggi, membuatnya menjadi sumber garam ya
ng dihargai dalam berbagai industri dan konsumsi manusia., kualitas gara
m yang dihasilkan oleh petani di Kabupaten Sumenep masih rendah, deng
an tingkat kemurnian berkisar antara 88-91%. Angka ini masih berada di b
awah standar nasional Indonesia (SNI) yang mensyaratkan tingkat kemurn
ian garam lebih dari 95%.
Kualitas garam yang unggul memiliki peran penting karena garam
yang memiliki kualitas tinggi atau beryodium dapat memberikan manfaat
besar bagi kesehatan manusia, seperti mencegah penyakit gondok dan risik
o keguguran. Universitas Trunojoyo Madura (UTM) memiliki teknologi y
ang mampu menciptakan garam dengan kandungan NaCl yang tinggi, bah
kan melebihi 99%. Garam Madura menampilkan potensi besar dalam berb
agai sektor industri, termasuk industri makanan, minuman, dan kimia. Kan
dungan garam dengan metode geomembrane memiliki kandungan NaCl le
bih tinggi daripada garam dengan metode tradisional hal ini dapat dilihat p
ada table berikut.
BAB IV
BAB V
A. Kolerasi Garam Madura dengan Pembelajaran IPA