ISSN - 2086-133
Abstact
Salt farming has become one of the economic sources for the
Sumenep community since 1913 when Raffles held a salt monopoly
throughout his territory, both production and distribution. This
research was conducted to describe and see the changes regarding the
economic condition and social life of salt farmers in Sumenep from
1960-2020. Qualitative descriptions and literature studies were used as
writing methods. And the authors argue that salt production in
Sumenep must be done better so that the economic needs and welfare
of the community, especially salt farmers, can be achieved. Given that
the life of salt farmers continues to decline every year.
Abstrak
Pertambakan garam menjadi salah satu sumber perekonomian bagi
masyarakat sumenep sejak tahun 1913 pada saat Raffles
menyelenggarakan monopoli garam diseluruh daerah
kekuasaannya, baik produksi maupun distribusi. Penelitian ini
dilakukan untuk mendeskripsikan dan melihat perubahan mengenai
keadaan perekonomian serta kehidupan sosial petani garam di
Sumenep tahun 1960-2020. Deskripsi kualitatif dan studi literatur
digunakan sebagai metode penulisan. Serta penulis berpendapat
bahwa produksi garam di Sumenep harus dilakukan lebih baik lagi
agar kebutuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat terutama
para petani garam tercapai. Mengingat kehidupan petani garam
terus menurun setiap tahunnya.
Nama penulis | 1
ARTICLE IN PRESS
Vol. 1, No. 1, 2020, hlm. 1-15 DOI: 10.17977/um020v13i22019p1
Pendahuluan
Garam merupakan komoditas strategis dunia. Dalam perjalanan waktu, garam
telah memainkan peran penting dalam menentukan kekuatan dan lokasi kota besar di
dunia, seperti Liverpool di Inggris dan Munich di Jerman. Begitu pula yang terjadi di
Madura. Sejak pergantian abad ke-19, pemerintah kolonial membuat pusat indstri garam
Madura, di Kalianget, Sumenep. Kalianget merupakan muara dari industri garam di
Madura. Di Sumenep, garam dipasok dari para petani yang ada di sekitaran Kecamatan
Kalianget yaitu Desa Pinggirpapas, Karanganyar dan Gresikputih. Memasuki wilayah ini,
sejauh mata memandang adalah hamparan tambak garam. Lahan-lahan ini seolah ingin
menunjukkan betapa kuatnya ketahan garam di Madura. Daerah-daerah inilah yang
menjadi hilir dari garam-garam Sumenep, yang terus mengalir menyuplai industri garam
di Kalianget. Petani-petani garam di wilayah ini mengolah garam secara tradisional.
Mereka mewarisi keterampilan itu dari leluhurnya. Hal ini menunjukkan bahwa garam
bagi masyarakat Madura, khususnya di Sumenep, tidak sekadar bisa dibaca dengan
perspektif sosio-ekonomi semata. Garam mesti dibaca dengan perspektif spiritual dan
sosio-kultural pula. Dalam perspektif ini, maka menjadi petani garam bukan motif
ekonomi semata, tetapi juga berarti turut menjaga warisan leluhur.
(sumeneptempodoloe.ig.com)
Sumenep memiliki lahan garam terbesar di Madura. Dimana areal penggunaan
ladang garam yang dimiliki PN Garam sendiri tercatat seluas : 6.399.773 ha. Produksi
Garam Rakyat memproduksi garam tiap tahunnya sebanyak 119 ribu ton dan sebanyak
68.368 ton pada tahun 1974, dengan areal ladang garam yang digunakan seluas 2.640,21
Ha.4 Wilayah penggarapan garam sendiri tersebar di 8 Kecamatan, yakni : Kecamatan
Kalianget, Kecamatan Saronggi, Kecamatan Pragaan, Kecamatan Gapura, Kecamatan
Dungkek. Kecamatan di atas merupakan kecamatan yang ada di Pulau Madura sendiri,
Kecamatan tersebut ada di Kota Sumenep, sedangkan untuk Kecamatan lainnya yang
berada di Sumenep Kepulauan, yakni : Kecamatan Giligenting, Kecamatan Talango,
Kecamatan Raas. (Adviana, 2019)
Di kabupaten sumenep terdapat dua jenis produksi garam yaitu garam rakyat dan
garam negara. Garam rakyat yaitu garam yang diproduksi diatas tempat para pemilik
lahan, pengolahan garam rakyat masih menggunakan metode pembuatan garam
sederhana atau dilakukan secara tradisional, garam yang dibuat lebih sederhana dan
tidak beryodium. Biasanya garam rakyat ini dijual kembali ke pabrik garam negara untuk
diolah menjadi garam yang beryodium, selain itu masyarakat setempat biasanya
menggunakan sebagai pengasinan ikan laut untuk diproduksi dan dijual sebagai oleh-
oleh khas daerah. Selain itu juga digunakan sebagai campuran untuk ikan-ikan kecil yang
kemudian digunakan sebagai umpan bubu atau alat penangkap kepiting nelayan.
Nama penulis | 2
ARTICLE IN PRESS
Vol. 1, No. 1, 2020, hlm. 1-15 DOI: 10.17977/um020v13i22019p1
Berbeda dengan garam rakyar, proses produksi garam negara dalam pembuatannya
sudah didukung oleh teknologi berupa alat dan mesin sehingga mampu menghasilkan
garam beryodium. Alat dan mesin tersebut mulai digunakan sejak didirikannya pabrik
briket garam di sumenep sekitar tahun 1900 an.
Pada tahun 1985, terjadi konflik sosial berupa sengketa lahan yang melibatkan
petani pemilik lahan dengan pihak Perusahaan Garam, dimana pada waktu itu
Perusahaan Garam melakukan pematokan di lahan yang sebelumnya milik pemilik lahan,
dimana pematokan lahan ini erat hubungannya dengan proyek modernisasi yang
dilakukan Perusahaan Garam. Pematokan lahan tersebut menimbulkan gugatan yang
berasal para pemilik lahan atau para penduduk yang tanahnya terkena proyek renovasi.
Beberapa orang yang mengadakan tuntutan pada umumnya menyatakan bahwa
mereka tidak merasa menjual tanah miliknya, selain itu mereka juga melakukan kritik
bahwa pelaksanaan pembebasan tanah dilakukan melalui tekanan dan harga tanah
dilakukan secara sepihak tanpa melalui musyawarah. (Adviana, 2019)
Hal tersebut tentu menimbulkan rasa ketidak adilan bagi para penduduk lokal
didaerah tersebut mengingat mayoritas masyarakat mencari nafkah sebagai seorang
petani garam. Kondisi seakan memaksa para petani garam untuk melepaskan lahan
miliknya yang biasanya digunakan untuk pertambakan garam. Padahal jika dilihat lebih
lanjut, masyarakat pada saat itu sangant menitik tumpukan sumber perekonomian
mereka pada hasil pertanian pertambakan garam sehingga jika tiba-tiba mendapatkan
dampak dari modernisasi tersebut maka sumber perekonomian satu-satunya
masyarakkat akan lenyap.
Corak kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat petani garam sejak 1960-2020
akan sangat menarik jika ditelaah lebih lanjut dan mendalam. Sebab petani garam sudah
merupakan salah satu pekerjaan utama yang dilakukan mayoritas masyarakat di
sumenep sejak 1960 bahkan sampai sekarang ini. Selain itu garam sudah menjadi salah
satu komoditas strategis internasional “Salt is super power over water” bukanlah
ungkapan yang berlebihan. Garam yang selalu tersedia di atas meja makan kita adalah
salah satu kunci pembuka sejarah planet dan kosmos. Maka sepanjang sejarah
peradaban manusia takkan terlepas dari garam.
Metode Penelitian
Faktanya, metode dan metodologi adalah dua tahapan aktivitas yang berbeda
dari tugas yang sama. Sartono Kartodirjo (dalam Helius Sjamsuddin, 2007: 14)
membedakan antara metode (sebagai "bagaimana orang memperoleh pengetahuan"
(bagaimana mengetahui)) dan metodologi (sebagai "tahu bagaimana mengetahui"
(tahu bagaimana mengetahui)). Mengenai ilmu sejarah, metode sejarah itu sendiri
adalah "bagaimana memahami sejarah", dan metodologi ini adalah "mengetahui
bagaimana mengetahui sejarah".
Nama penulis | 3
ARTICLE IN PRESS
Vol. 1, No. 1, 2020, hlm. 1-15 DOI: 10.17977/um020v13i22019p1
Pembahasan
Nama penulis | 4
ARTICLE IN PRESS
Vol. 1, No. 1, 2020, hlm. 1-15 DOI: 10.17977/um020v13i22019p1
Nama penulis | 5
ARTICLE IN PRESS
Vol. 1, No. 1, 2020, hlm. 1-15 DOI: 10.17977/um020v13i22019p1
1.102 hektar menjadi 1.106 hektar antara 1920 dan 1930, dan menghasilkan sekitar 127.487
ton garam pada tahun 1930. Pada tahun 1932, jumlah ini meningkat menjadi sebanyak
207.619 ton. Terus berkembang hingga mencapai 441.000 ton pada tahun 1952. (Adviana,
2019)
Jumlah garam yang dihasilkan adalah industri garam Sumenep termasuk industri
garam proprietary garam negara bagian dan pribadi. Garam diperoleh dari area ini
pegaraman tersebar di seluruh Summerp, daerah pegaraman yang ada di Kepulauan
Sumenep dan Sumenep, namun hanya sedikit yang apakah berpotensi menghasilkan
garam paling banyak, sehingga menjadi sentra produksi garam bahkan sejak zaman
kolonial. Berdasarkan hasil jelajah sumber “pertambakan garam mengalami penurunan
dari tahun 1976 sampai tahun 1985.” (Adviana, 2019)
Nama penulis | 6
ARTICLE IN PRESS
Vol. 1, No. 1, 2020, hlm. 1-15 DOI: 10.17977/um020v13i22019p1
Sumenep sejak awal adanya pertanian tambak garam memiliki beberapa daerah
khusus yang terkenal memiliki tanah subur dan produksi garam yang melimpah,
bahkan sampai sekarang ini. Daerah-daerah tersebut yaitu :
- Gresik putih
Desa Gresik Putih merupakan salah satu desa yang terletak di Jalan Gapura
Kabupaten Sumenep yang letaknya sangat terpencil, berada di pesisir pantai
antara Pulau Poteran dan Kalianget dimana tanahnya kering berupa pasir putih
halus. Sebagian besar kawasan ini merupakan garam, sehingga tidak
mengherankan jika sebagian besar penduduknya berprofesi sebagai petani.
Sebagian juga sebagai tenaga kerja di perusahaan garam. Kawasan Gresik Putih
juga didominasi oleh kawasan pertanian dan laut, sehingga jumlah penduduk
(nelayan) yang bergerak di bidang pertanian dan perikanan tidak sedikit. Pada
tahun 1976, wilayah Gresik Putih tercatat menghasilkan garam sebanyak
8.805,508 ton garam milik PN. Garam dengan pendapatan sebesar Rp.
39.531.359,56 ribu dan hal tersebut meningkat pesat pada tahun 1977 sebanyak
32.822,391 ton dengan total pendapatan sebesar Rp. 133.322.911,12 ribu,
sedangkan jumlah stok garam milik garam swasta (rakyat) sebesar
5.929,72626ton.
Mayoritas penduduk yang tinggal didaerah gresik putih memiliki mata
pencaharian sebagai petani garam, maka tidak heran suasana perjalanan dari kota
menuju daerah gresik putih tersebut depenuhi dengan lahan pertambakan garam
sepanjang jalannya, para petani garam akan pergi pagi-pagi buta sekali untuk
melakukan perawatan dilahan pertambakan garam. Setelah melalukan hal
tersebut kemudian laham dibiarkan terpapar sinar matahari agar garam dapat
mengendap dengan baik.
- Nambakor
Nambakor adalah sebuah desa yang terletak di daerah kecamatan saronggi sudah
termasuk dalam wilayah pegaraman sejak jaman dahulu kala pada saat Koloni
Belanda. Desa Nambakor memiliki luas sekitar 12,54 hektar, termasuk 3 Desa.
Sebagian warga biasanya berprofesi sebagai petani garam beraktifitas di siang
hari karena butuh sinar matahari untuk menjemur lalu ayunkan garam bolak-balik,
saat musim panen tiba, biasanya di sepanjang jalan pedesaan, ada tumpukan
karung penuh garam. Garam bersebut menunggu pengangkutan untuk dikirim ke
gudang untuk diproses. Jika kita melintasi area ini anda bisa melihat banyak kincir
angin yang digunakan untuk mengontrol aliran air. Pada tahun 1970-an, kincir
angin digunakan sebagai pengganti tenaga 22 untuk memasukkan air atau
menuangkan air ke kolam garam. Selain kincir angin, di kawasan itu juga tersedia
beberapa pompa air dengan teknologi canggih.Pompa ini juga digunakan untuk
pengontrolan irigasi garam dan tambak ikan.Sampai saat ini kita masih bisa
Nama penulis | 7
ARTICLE IN PRESS
Vol. 1, No. 1, 2020, hlm. 1-15 DOI: 10.17977/um020v13i22019p1
Nama penulis | 8
ARTICLE IN PRESS
Vol. 1, No. 1, 2020, hlm. 1-15 DOI: 10.17977/um020v13i22019p1
Nama penulis | 9
ARTICLE IN PRESS
Vol. 1, No. 1, 2020, hlm. 1-15 DOI: 10.17977/um020v13i22019p1
Desa.
- Tradisi Nyader Sebagai salah satu aktivitas sosial budaya petani garam
Masyarakat petani garam disumenep melakukan tradisi nyader sebagai bentuk
rasa syukur terhadap pertambakan garam. Terlebih khususnya masyarakat yang
bermukim di Desa Pinggirpapas dan Kebundadap Barat. Pertanian. Tradisi ini disebut
"Tradisi Nyadhar" atau Nazar, yang artinya Anda dapat melakukan sesuatu jika Anda
mencapai tujuan Anda. Tradisi ritual Nyadhar yang dilakukan oleh masyarakat
Pinggirpapas dan Desa Kebundadap Barat ini erat hubungannya dengan nenek
moyang mereka yaitu Angasuto yang merupakan pembuat garam pertama. Tradisi ini
sama dengan tradisi bersyukur kepada petani tanah menikmati hasil panen padi atau
sayur mayur tidak ada bedanya dengan tradisi petik laut yang dilakukan oleh nelayan.
Dalam skripsinya yang berjudul Ritual Tradisi Nyadhar dan Pengaruhnya Bagi
Kehidupan Sosial Warga Desa Pinggirpapas di Madura, Chosnos Khotimah
menjelaskan bahwa dengan ditemukannya garam pertama kali oleh Anggasuto,
maka masyarakat Pinggirpapas mempunyai sumber kehidupan yang layak dalam hal
memproduksi garam hingga saat ini. Tradisi Nyadhar bermula ketika kedua adik dari
Anggasuto, yang pertama bernama Kuasa, dimana beliau ber Nazar jika garam yang
dibuat jadi bulan depan, maka ia akan selamatan bersama-sama dengan seluruh
masyarakat. Selain itu juga adik Anggasuto yang perempuan yang bernama Indusari,
Nama penulis | 10
ARTICLE IN PRESS
Vol. 1, No. 1, 2020, hlm. 1-15 DOI: 10.17977/um020v13i22019p1
juga ber Nazar, jika garam yang dibuat jadi bulan depan, maka ia akan melaksanakan
Nazar dirumahnya sendiri. Dan kata “Nazar” yang kemudian berubah menjadi
“Nyadhar”. Tradisi Nyadhar dilakukan selama tiga kali dalam setahun, yakni pada
bulan Juli, Agustus dan September.
- Adanya stratifikasi sosial dalam status petani garam
Masyarakat petani garam di Madura khususnya Sumenep memiliki tradisi dan rasa
syukur tersendiri atas panen garam, khususnya yang bermukim di Desa Pinggirpapas
dan Kebundadap Barat. Pertanian. Tradisi ini disebut "Tradisi Nyadhar" atau Nazar,
yang artinya Anda dapat melakukan sesuatu jika Anda mencapai tujuan Anda. Tradisi
ritual Nyadhar yang dilakukan oleh masyarakat Pinggirpapas dan Desa Kebundadap
Barat ini erat hubungannya dengan nenek moyang mereka yaitu Angasuto yang
merupakan pembuat garam pertama. Tradisi ini sama dengan tradisi bersyukur
kepada petani tanah menikmati hasil panen padi atau sayur mayur tidak ada bedanya
dengan tradisi petik laut yang dilakukan oleh nelayan.
Nama penulis | 11
ARTICLE IN PRESS
Vol. 1, No. 1, 2020, hlm. 1-15 DOI: 10.17977/um020v13i22019p1
Nama penulis | 12
ARTICLE IN PRESS
Vol. 1, No. 1, 2020, hlm. 1-15 DOI: 10.17977/um020v13i22019p1
Kesimpulan
Petambak garam adalah masyarakat yang melakukan kegiatan produksi
dengan garam sebagai komoditas utamanya. Petambak garam memanfaatkan air
laut dan sinar matahari untuk menghasilkan garam, dapat dilakukan secara manual
atau dengan bantuan alat. Ada keterkaitan antara petani garam, dan biasanya atasan
akan memberikan arahan dan arahan. Bawahan menghasilkan garam. Para petani
garam juga mempraktikkan tradisi ungkapan rasa syukur atas panen garam, tradisi
nyadhar, yang merupakan bentuk ungkapan terima kasih kepada leluhur para petani
garam, karena telah menguasai ilmu pembuatan garam. Petambak Garam terbagi
dalam beberapa lapis, dan masing-masing lapis terbagi dalam jenis produksi Dalam
produksi garam rakyat, Petambak Garam terbagi dalam tiga (tiga) lapis yang dibagi
sesuai dengan bahan yang dimilikinya. Artinya, pengusaha garam termasuk pedagang
dan penyewa yang menempati lahan. Kemudian panglako atau pemilik tanah, dan
terakhir mantong atau petani penyewa dan buruh. Dalam produksi garam nasional,
stratifikasi sosial terbagi dalam jenis pekerjaan yang dipilih berdasarkan jabatan dan
pangkat yang diemban yaitu mantri (pengawas produksi garam), mandor pembuat
garam dibagi menjadi mantong dan mandor biasa, kemudian asisten pembuat garam
atau biasa disebut antek, dan terakhir pekerja yang membantu atasannya.
Nama penulis | 13
ARTICLE IN PRESS
Vol. 1, No. 1, 2020, hlm. 1-15 DOI: 10.17977/um020v13i22019p1
Daftar Rujukan
Aulia Adviana. 2019. Kehidupan Sosial Ekonomi Petani Garam Di Sumenep Madura
Tahun 1960-1985 (Skripsi)
Jonge, de Huub. 2011. Garam, Kekerasan dan Aduan Sapi. Yogyakarta : LKIS Group.
Perjanjian Kerja Sama Antara PT. Garam (Persero) dengan Petani Garam Yang
Tergabung Dalam Yayasan Tanah Luhur di Pulau Madura, 2006.
Pranoto, Suhartono W. 2010. Teori dan Metodologi Sejarah. Graha Ilmu :
Yogyakarta.
Wawancara dengan Bapak Samone selaku petani garam. Sumenep, 1 November
2020
Nama penulis | 14