Anda di halaman 1dari 37

MODUL

PENDIDIKAN DAN PELATIHAN


AUDITOR FORENSIK (EDISI 2021)

BUKU V

PENGUMPULAN & EVALUASI BUKTI

SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI


BHAKTI PRASETYA KARYA PRAJA
JAKARTA - 2021
KATA PENGANTAR

BUKU V “Pengumpulan dan Evaluasi Bukti” merupakan tahap penting dalam


melaksanakan audit forensik. Ketidaktepatan dalam prosedur perolehan bukti dan
penetapan kualitas bukti serta evaluasi bukti yang dilakukan akan sangat berpengaruh
terhadap efektivitas dan efisiensi suatu penugasan audit. Perangkat pengumpulan
bukti atau dikenal dengan tehnik audit yang sudah lama lazim digunakan adalah
seperti yang diperkenalkan Alvin A. Arens, Elder and Beasley, Auditing and Assurance
Services, 10th Edition, Pretice Hall, 2005. Tehnik audit tersebut dalam banyak hal
masih relevan.
Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi informasi
pengolahan dan penyimpanan data saat sekarang berkembang kearah bentuk digital.
Hal ini tentu berpengaruh terhadap tehnik audit pengumpulan bukti. Sehubungan
dengan hal tersebut, dalam Revisi Modul BUKU V ini dimuat tambahan materi Data
Digital yang menguraikan secara ringkas tehnik pengumpulan bukti yang datanya
tersimpan dalam Data Digital.
Semoga upaya ini membantu peningkatan kompetensi, profesionalisme dan
memberikan sumbangsih positif kepada para auditor forensik dalam melaksanakan
tugas di lingkungan kerjanya masing-masing.
Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah
memberikan sumbangan pikiran maupun tenaga sehingga terwujudnya revisi modul
ini. Moga hal tersebut menjadi ladang amal ibadah. Aamiin.
Terima kasih

Jakarta 13 April 2021


STIE BPKP

i
DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I PENDAHULUAN 1
A. TUJUAN PEMBELAJARAN UMUM 2
B. TUJUAN PEMBELAJARAN KHUSUS 2
C. DESKRIPSI SINGKAT STRUKTUR MODUL 3
D. METODE PEMBELAJARAN 3
BAB II STANDAR KERJA KOMPETENSI NASIONAL INDONESIA (SKKNI) 4
A. JUDUL DAN DESKRIPSI UNIT 4
B. ELEMEN DAN KRITERIA UNJUK KERJA 5
BAB III PENGUMPULAN BUKTI 7
A. PENDAHULUAN 7
B. SUMBER INFORMASI 8
C. JENIS BUKTI DAN TEHNIK PENGUMPULAN BUKTI 10
D. DIGITAL FORENSIK 17
E. WAWANCARA 20
F. INFORMASI RELEVAN DAN TIDAK RELEVAN 21
G. STRATEGI PENGUMPULAN BUKTI 23
H. KESINAMBUNGAN PENANGANAN BUKTI (CHAIN OF
CUSTODY) 25
BAB IV EVALUASI BUKTI 27
A. PENDAHULUAN 27
B. KUALITAS BUKTI 27
C. KUANTITAS BUKTI 30
D. TEHNIK ANALISIS BUKTI 30
E. TEHNIK EVALUASI BUKTI 31
F. SIMPULAN 32

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN

Dalam tahapan hukum acara pidana sejak penyelidikan sampai dengan upaya
hukum lainnya merupakan satu rangkaian pemeriksaan yang memerlukan upaya
pembuktian. “Without evidence, there is no case”. Ungkapan tersebut
menggambarkan betapa sangat pentingnya bukti. Kesalahan dalam memberikan dan
menghadirkan bukti di sidang pengadillan akan berakibat kasus yang diajukan akan
ditolak dan atau tersangka akan dibebaskan dari segala tuduhan. Oleh karena itu
auditor harus memahami secara seksama bukti-bukti apa saja yang dapat diterima
menurut hukum dalam rangka untuk mendukung kearah litigasi.

Dalam perencanaan audit, kita telah menyusun hipotesis atas suatu tindakan
yang diindikasikan mengandung unsur tindak pidana korupsi. Atas dasar hipotesis
tersebut, dibuatlah perencanaan audit untuk membuktikan bahwa hipotesis terbukti
atau tidak terbukti. Rencana audit dilaksanakan melalui penerapan berbagai teknik
audit untuk pengumpulan bukti-bukti audit. Setiap bukti yang kita peroleh dilakukan
analisis untuk menilai kesesuaian bukti (relevansi) dengan hipotesis serta sebagai
landasan perlu tidaknya mengembangkan bukti lebih lanjut. Berdasarkan analisis
bukti, dapat memberikan petunjuk bagi kita untuk memperoleh bukti-bukti lain yang
relevan sebagai bukti dukungan atas validitas bukti yang kita peroleh.

Hasil analisis bukti dapat menunjukkan gambaran mengenai suatu kejadian


dari suatu peristiwa. Rangkaian dari berbagai analisis bukti akan menggambarkan
secara menyeluruh keadaan yang sesungguhnya mengenai suatu sangkaan yang
ingin kita uji kebenarannya. Hasil rangkaian bukti-bukti tersebut kita evaluasi secara
berkala untuk menilai apakah hipotesis yang kita susun telah menggambarkan kondisi
yang sesungguhnya hingga pada akhirnya evaluasi ditujukan untuk menyimpulkan
terbukti atau tidaknya suatu tindak pidana korupsi, dan kesimpulan tersebut dapat
menjawab seluruh pertanyaan 5 W + 1 H.

Dari uraian di atas, nampak bahwa kegiatan analisis suatu bukti merupakan
bagian dari kegiatan evaluasi bukti. Dalam praktiknya, analisis bukti sulit dipisahkan
dengan evaluasi bukti. Auditor dapat melakukan analisis bukti sekaligus evaluasi
terhadap bukti atau evaluasi bukti dilakukan melalui analisis bukti. Hal ini lah yang

1
mengakibatkan tahapan pengumpulan bukti dalam praktiknya tidak dapat dipisahkan
dengan kegiatan evaluasi bukti. Namun demikian, praktik yang umum dilakukan,
evaluasi bukti dilakukan terhadap lebih dari satu bukti yang dievaluasi. Dengan kata
lain, satu bukti belum cukup untuk dilakukan evaluasi. Sedang analisis bukti umumnya
dilakukan terhadap satu bukti yang dilakukan pada saat penerimaan bukti.

A. TUJUAN PEMBELAJARAN UMUM

Setelah mempelajari modul ini, peserta diharapkan dapat melaksanakan


pengumpulan bukti sesuai hipotesis awal yang akan dibuktikan. Setelah itu peserta
diharapkan dapat melaksanakan evaluasi bukti yang diperoleh dalam tahap
pengumpulan bukti. Dengan demikian, seorang auditor forensik dapat mengumpulkan
bukti dan mengevaluasi bukti yang telah dikumpulkan dalam pelaksanaan audit
forensik.

B. TUJUAN PEMBELAJARAN KHUSUS

Kemampuan yang diharapkan dari pembelajaran ini bagi peserta pelatihan


adalah sebagai berikut:
1. Kemampuan mengidentifikasikan jenis-jenis bukti.
2. Kemampuan mengidentifikasikan sumber-sumber bukti.
3. Kemampuan menjelaskan metode pengumpulan bukti.
4. Kemampuan menjelaskan sistem pembuktian yang berlaku.
5. Kemampuan menjelaskan jenis-jenis bukti yang bisa diterima menurut sistem
hukum yang berlaku.
6. Kemampuan teknik untuk melakukan wawancara.
7. Kemampuan mendemonstrasikan seluruh langkah-langkah kerja pengumpulan
bukti didokumentasikan.
8. Kemampuan mengorganisasikan bukti.
9. Keterampilan teknik wawancara.
10.Kemampuan mengklasifikasikan bukti berdasarkan standar kualitas bukti.
11.Kemampuan melaksanakan teknik evaluasi bukti.
12.Kemampuan menyimpulkan bukti.
13.Kemampuan menyusun flowchart.
14.Kemampuan mendokumentasikan seluruh langkah kerja evaluasi bukti.
15.Kemampuan menggunakan teknik wawancara.
16.Kemampuan merekontruksi bukti.

2
C. DESKRIPSI SINGKAT STRUKTUR MODUL

Modul ini terdiri dari Bab dengan deskripsi sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini memuat Tujuan Pembelajaran Umum, Tujuan Pembelajaran Khusus,


Struktur Modul, dan Metode Pembelajaran.

BAB II STANDAR KOMPETENSI KERJA NASIONAL INDONESIA (SKKNI)

Bab ini menguraikan unit kompetensi, elemen, dan kriteria unjuk kerja terkait
dengan kemampuan auditor forensik melakukan pengumpulan dan evaluasi
bukti sesuai dengan SKKNI.

BAB III PENGUMPULAN BUKTI

Bab ini menguraikan hal-hal yang harus diperhatikan oleh auditor forensik
dalam mengumpulkan bukti seperti sumber-sumber informasi, jenis-jenis
bukti, metode pengumpulan bukti, teknik-teknik audit, wawancara serta
kesinambungan dalam bukti-bukti yang telah dikumpulkan.

BAB IV EVALUASI BUKTI

Bab ini menguraikan hal-hal yang dinilai dan diperhatikan oleh auditor forensik
dalam analisis dan evaluasi bukti serta teknik dan metode yang digunakan
auditor forensik dalam menganalisis dan mengevaluasi bukti.

D. METODE PEMBELAJARAN

Metode pembelajaran yang diterapkan dalam modul ini adalah metode andragogi
yaitu kombinasi antara metode ceramah, diskusi, dan tanya jawab. Peserta mengikuti
pembelajaran secara aktif dalam acara presentasi, diskusi, simulasi dan mengerjakan
tugas.

3
BAB II

STANDAR KOMPETENSI KERJA NASIONAL INDONESIA (SKKNI)


PENGUMPULAN DAN EVALUASI BUKTI

Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia yang selanjutnya disingkat


SKKNI, adalah rumusan kemampuan kerja yang mencakup aspek pengetahuan,
keterampilan dan/atau keahlian, serta sikap kerja yang relevan dengan pelaksanaan
tugas dan syarat jabatan yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
SKKNI Bidang Audit Forensik ditetapkan melalui Keputusan Menteri Tenaga
Kerja dan Transmigrasi Nomor: Kep.46/Men/II/2009 tentang Penetapan Standar
Kompetensi Kerja Nasional Indonesia Bidang Audit Forensik.
Standar kompetensi kerja sebagaimana dimaksud di atas, diformulasikan
dengan menggunakan format Regional Model of Competency Standard (RMCS).
Standar kompetensi format RMCS adalah standar kompetensi yang dikembangkan
berdasar pada fungsi-fungsi dan tugas-tugas yang ada pada bidang pekerjaan dan
bukan berdasar pada jabatan.
Dengan dikuasainya standar kompetensi tersebut oleh seseorang, maka yang
bersangkutan akan mampu:
1. Mengerjakan suatu tugas atau pekerjaan
2. Mengorganisasikan agar pekerjaan tersebut dapat dilaksanakan
3. Apa yang harus dilakukan bilamana terjadi sesuatu yang berbeda dengan rencana
semula
4. Menggunakan kemampuan yang dimilikinya untuk memecahkan masalah atau
melaksanakan tugas dengan kondisi yang berbeda

A. UNIT KOMPETENSI KERJA


Dalam modul ini dimuat dua Unit Kompetensi Kerja yang mencakup penelaahan dan
perencanaan audit. Unit kompensi kerja itu terdiri dari:
1. Melakukan Pengumpulan Bukti.
Unit kompetensi kerja ini berkaitan dengan pengetahuan, keterampilan dan/atau
keahlian, serta sikap kerja yang dibutuhkan dalam pengumpulan bukti yang
meliputi persiapan pengumpulan bukti, pelaksanaan teknik-teknik pengumpulan
bukti, pelaksanaan metoda pengumpulan bukti, dan pengorganisasian bukti.

4
2. Melakukan Evaluasi Bukti.
Unit kompetensi kerja ini mencakup pengetahuan, keterampilan dan/atau
keahlian, serta sikap kerja dalam pengevaluasian bukti yang meliputi
mengklasifikasikan bukti, melaksanakan teknik evaluasi bukti, dan membuat
simpulan evaluasi bukti.

B. ELEMEN KOMPETENSI DAN KRITERIA UNJUK KERJA


Elemen kompetensi dari masing-masing unit kompetensi Pengumpulan dan Evaluasi
Bukti adalah sebagai berikut:
1. Melakukan Pengumpulan Bukti, terdiri dari tiga elemen kompetensi dengan
masing-masing kriteria unjuk kerja yang menjadi ukuran kompetensi sebagai
berikut:
1) Melakukan persiapan pengumpulan bukti, dengan kriteria unjuk kerja:
a. Jenis-jenis bukti yang akan dikumpulkan diidentifikasikan sesuai dengan
audit program
b. Sumber-sumber informasi telah diidentifikasikan sesuai permasalahan yang
akan dibuktikan
c. Teknik pengumpulan bukti yang tepat sesuai dengan permasalahannya
telah diidentifikasikan
d. Tahapan proses pengumpulan bukti telah ditentukan
2) Melaksanakan teknik pengumpulan bukti, dengan kriteria unjuk kerja:
a. Reviu analitis terhadap data keuangan dan non keuangan telah dilakukan
sesuai permasalahan yang diaudit
b. Pemeriksaan fisik terhadap barang-barang atau benda-benda atau aset
yang terkait dengan permasalahannya telah dilakukan sesuai permasalahan
yang diaudit

c. Konfirmasi kepada pihak ketiga telah dilakukan untuk mendapatkan


pengukuhan bukti sesuai permasalahan yang diaudit
d. Observasi terhadap obyek-obyek yang terkait dengan permasalahan telah
dilakukan sesuai permasalahan yang diaudit
e. Wawancara kepada pihak-pihak yang terkait telah dilakukan guna
menambah dan mengklarifikasi informasi sesuai permasalahan yang diaudit
3) Melakukan pengorganisasian bukti, dengan kriteria unjuk kerja:
a. Bukti-bukti yang dikumpulan diklasifikasikan berdasarkan kronologis
waktunya
5
b. Bukti-bukti yang dikumpulkan diklasifikasikan berdasarkan kelompok
permasalahan atau penyimpangan
c. Bukti-bukti yang telah dikumpulkan telah diamankan
2. Melakukan Evaluasi Bukti, terdiri dari tiga elemen kompetensi dengan masing-
masing kriteria unjuk kerja yang menjadi ukuran kompetensi sebagai berikut:
1) Mengklasifikasikan bukti-bukti yang telah dikumpulkan, dengan kriteria unjuk
kerja:
a. Pedoman untuk klasifikasi bukti telah dipelajari
b. Bukti-bukti yang relevan, kompeten, material telah cukup diidentifikasikan
dan diklasifikasikan
c. Tempat kerja dipersiapkan untuk menjaga keamanan dokumen dari pihak-
pihak yang tidak berkepentingan
2) Melaksanakan teknik evaluasi bukti, dengan kriteria unjuk kerja:
a. Bukti yang diperoleh telah dipelajari dan diinterpretasikan
b. Bukti yang diperoleh, ditentukan relevansinya dengan permasalahan
c. Bukti yang diperoleh telah diverifikasi kehandalannya
d. Bukti yang diperoleh telah saling dirangkaikan
3) Membuat simpulan evaluasi bukti, dengan kriteria unjuk kerja:
a. Hasil evaluasi bukti telah disimpulkan
b. Flow chart telah dibuat sesuai hasil evaluasi bukti

c. Daftar pihak diduga terkait/bertanggungjawab dibuat sesuai bukti-bukti yang


cukup, relevan dan kompeten

6
BAB III
PENGUMPULAN BUKTI

A. PENDAHULUAN
George A. Manning, CFE., E.A dalam bukunya “Financial Investigation and
Forensic Accounting”, menyatakan:
“Evidence is all means by which an alleged matter of fact is establish or
disproved”.

Berdasarkan definisi tersebut dapat diambil suatu pengertian bahwa bukti


merupakan segala sesuatu menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku
yang digunakan untuk membuktikan apakah kasus itu terbukti atau tidak terbukti.
Dari penjelasan tersebut maka pendekatan untuk mempertimbangkan apakah
sesuatu yang akan dikumpulkan merupakan “bukti” yang diinginkan adalah dengan
menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut:
• Apakah relevan (is it relevant)?
• Apakah dapat diterima atau diperbolehkan (is it admissible)?
• Apakah saksinya kompeten (is the witness competent)?

Apabila jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah “ya” maka dokumen,


keterangan ataupun barang yang dikumpulkan adalah “bukti” yang dimaksudkan.
Masalah kompetensi seorang saksi diputuskan oleh pengadilan. Namun untuk
keperluan pengumpulan bukti, seorang auditor forensik perlu memahami beberapa
alasan mengapa seseorang diperbolehkan atau tidak diperbolehkan memberikan
keterangan atau bukti. Misalnya anak yang belum dewasa tidak boleh memberikan
keterangan, kecuali pengadilan memutuskan lain. Dia harus mempunyai suatu tingkat
moralitas (degree of moral sense) dimana dia mengetahui kewajibannya untuk
mengatakan kebenaran; jika tidak maka keterangannya tidak berguna karena tidak
dapat dipercaya.
Ada 3 (tiga) hal yang harus diperhatikan dalam pengumpulan bukti, yaitu:
1. Relevan
Bukti audit dikatakan relevan, apabila bukti tersebut secara logis mempunyai
hubungan dengan masalah, mendukung atau menguatkan pendapat atau argumen
yang berhubungan dengan tujuan dan simpulan audit.
2. Kompeten
Bukti audit dikatakan kompeten, apabila bukti tersebut sah dan dapat diandalkan
untuk menjamin kesesuaiannya dengan fakta. Bukti yang sah adalah bukti yang

7
memenuhi persyaratan hukum dan undang-undang. Bukti yang dapat diandalkan
berkaitan dengan sumber dan cara memperoleh bukti audit itu sendiri.
3. Cukup
Bukti audit yang cukup berkaitan dengan jumlah bukti yang dapat dijadikan dasar
untuk menarik suatu simpulan audit.
Dalam Hukum positif di Indonesia, setidak-tidaknya ada 3 (tiga) ketentuan yang
mengatur masalah bukti, yaitu UU No. 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
(KUHAP), UU No. 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No. 31 tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan UU No. 8 tahun 2010 tentang
Tindak Pidana Pencucian Uang.
Masalah bukti diatur dalam pasal 183 sampai dengan 189 Kitab Undang-Undang
Acara Hukum Pidana (KUHAP).
Pasal 183 KUHAP menyatakan :
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana pada seorang kecuali apabila sekurang-
kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak
pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.
Oleh karena itu, seorang auditor perlu memahami dan mengidentifikasi jenis-jenis
sumber informasi sehingga semua informasi yang diperoleh dapat menjadi alat bukti
yang bermanfaat dalam mendukung atau menguji suatu fakta/kejadian. Begitu
pentingnya alat bukti dalam mendukung dan menguji suatu fakta atau kejadian
sehingga perlu kiranya seorang auditor harus seksama dalam menggunakan metode
bagaimana bukti tersebut dapat diperoleh, dan bagaimana harus mengamankan dan
mengelola bukti-bukti tersebut.

B. SUMBER INFORMASI
1. Saksi
Saksi merupakan sumber informasi yang paling utama bagi auditor forensik. Dengan
mengembangkan hasil wawancara dengan saksi, seringkali auditor akan memperoleh
dokumen dan bukti lainnya yang dapat mendukung dan mengungkap fakta/kejadian.
2. Client Agency
Client agency atau Departemen yang menjadi subyek forensik (korban atau instansi
tersangka) dapat merupakan sumber informasi dan dokumentasi yang penting bagi
auditor. Sumber informasi ini umumnya paling mudah di identifikasi, dikumpulkan dan
dikuasai untuk analisis lebih lanjut.
3. Instansi Pemerintah

8
Instansi pemerintah terkait mungkin juga memiliki catatan-catatan dan informasi yang
relevan dengan forensik yang dilakukan. Sebagai contoh, pemilikan tanah oleh
tersangka, harta milik, kendaraan bermotor, dsb, mungkin semuanya relevan dengan
permasalahan yang sedang diforensik.
4. Perusahaan/Badan-badan Swasta
Auditor mungkin akan memerlukan informasi yang berada dalam penguasaan badan
usaha atau perusahaan swasta dalam pelaksanaan forensiknya. Sebagai contoh,
dalam kasus dimana dugaan adanya kecurangan yang berkaitan dengan pengadaan
barang, dokumentasi dan informasi mungkin diperlukan dari pemasok dan penjual
yang relevan.
5. Informasi Elektronik
Perhatian khusus juga diperlukan dalam menangani informasi atau data yang
tersimpan secara elektronik. Dalam banyak hal, informasi dan data yang disimpan
secara elektronik tersebut dapat dalam berbagai bentuk. Auditor harus waspada
terhadap sumber informasi yang potensial ini dan perlu hati-hati dalam memanfaatkan
informasi ini.
6. Bukti Forensik
Perlu disadari bahwa bukti dan informasi yang relevan dengan permasalahan yang
sedang diforensik mungkin diperoleh dari hasil pengujian forensik. Ilmu forensik,
walaupun suatu ilmu yang masih baru, merupakan suatu bagian kelompok informasi
yang penting. Data yang terhapus dan arsip yang dilindungi dengan kata sandi/ pass
word dapat diperoleh dan dibuka sehingga membuat informasi ini bermanfaat bagi
investigator.
7. Alat Komunikasi Elektronik
Dalam beberapa forensik, auditor mungkin memiliki akses terhadap produk dari
instalasi alat pendengar/listening devices dan telephone intercepts (TI). Biasanya
diperlukan adanya suatu wewenang khusus jika hendak menginstal alat semacam ini.
Produk atau cara-cara ini, jika ada, akan sangat relevan dan bermanfaat.
8. Tersangka
Tersangka seharusnya memiliki informasi relevan yang secara langsung berkaitan
dengan permasalahan yang sedang diforensik. Umumnya, informasi seperti ini tidak
tersedia secara ‘gratis’ bagi auditor. Dalam keadaan tertentu, tersangka mungkin akan
memberikan informasi kepada investigator selama pelaksanaan wawancara.
9. Kepolisian dan badan intelijen/pihak penegak hukum

Kepolisian dan instansi penegak hukum lainnya mengumpulkan informasi dan data
intelijen dalam pelaksanaan tugas-tugas mereka baik secara individual maupun
secara kelompok. Kepolisian, khususnya, memiliki informasi catatan sejarah dari
orang-orang yang pernah melakukan pelanggaran.
9
10. Sumber Informasi yang tersedia untuk umum
Dengan berkembangnya Internet sebagai alat yang digunakan untuk penelitian, data
yang diperoleh dari media semacam ini akan sangat bermanfaat bagi investigator
sebagai sumber informasi.

C. TEKNIK AUDIT DAN JENIS-JENIS BUKTI


Hal sangat penting, selama proses perencanaan dan pelaksanaan audit
forensik, kita harus menetapkan jenis-jenis bukti yang diperlukan dan bagaimana
masing-masing bukti tersebut saling berkaitan. Pengujian bukti merupakan proses
induksi dimana fakta-fakta yang dipaparkan membantu dalam menentukan apakah
sesuatu hal tersebut sesuai atau tidak sesuai.
Bukti-bukti audit diperoleh dari penerapan teknik-teknik audit dalam
pelaksanaan audit forensik. Menurut Alvin A. Arens dan kawan-kawan dalam buku
Auditing and Assurance Services, 2005, ada tujuh teknik audit yang menghasilkan
bukti-bukti audit sebagai berikut:
1. Physical examination (pemeriksaan/pengujian fisik)
2. Confirmation (konfirmasi)
3. Inquiries of the client (wawancara)
4. Documentation (pemeriksaan dokumen)
5. Analytical procedures (prosedur analitikal)
6. Reperformance (penghitungan kembali)
7. Observation (observasi)

1. Physical examination (pemeriksaan/pengujian fisik)


Teknik Pengujian Fisik (Physical Examination) yang menghasilkan Bukti Fisik
diperlukan untuk mengetahui apakah keberadaan atau kondisi suatu benda berwujud
atau kertas berharga yang ada sesuai dengan yang seharusnya. Teknik audit ini dapat
dilakukan terhadap kas, persediaan, aset tetap, kertas berharga dan lainnya. Physical
examination tidak hanya untuk mengetahui kuantitas aset berwujud saja tetapi juga
untuk memastikan tentang keadaan, spesifikasi dan kualitas asset berwujud tersebut.
Lazimnya hasil pemeriksaan dituangkan dalam berita acara.
Bukti fisik merupakan bukti yang sangat dipercaya karena karena ia akan
menggambarkan keadaan yang sebenarnya apa adanya. Bukti ini memberikan
informasi dengan tidak pernah berbohong. Yang penting auditor memastikan bahwa
fisik yang diuji benar yang dimaksud dalam tujuan pengujiannya.

10
2. Confirmation (konfirmasi)
Bukti konfirmasi diperlukan untuk meyakinkan bahwa informasi tertentu yang telah
dimiliki auditor forensik benar dan akurat. Untuk mendapatkan bukti ini digunakan
tehnik konfirmasi dengan meminta penegasan dari pihak-pihak yang relevan atau
mengetahui informasi tersebut yang dapat dilakukan tertulis atau lisan. Konfirmasi
bisa dilakukan baik kepada pihak internal entitas tempat terjadinya fraud maupun
pihak eksternal, misalnya kepada pegawai yang melaksanakan kegiatan tertentu,
pemasok, debitur, pelanggan, pihak penerima atau yang memberikan pelayanan atas
jasa tertentu, penerima atau pihak yang menyerahkan aset tertentu dan sebagainya.
Walaupun pihak ketiga biasanya dapat dipercaya, harus diingat bahwa pihak yang
memberi konfirmasi mungkin telibat sebagai pelaku fraud. Karena itu informasi yang
diperoleh dari hasil konfirmasi harus diuji dengan hasil pengujian lainnya.
3. Inquiries of the client (permintaan keterangan/wawancara)
Tehnik yang menghasilkan bukti permintaan keterangan/wawancara ini dilakukan
kepada pihak ketiga atau saksi dan bisa juga dilakukan kepada orang yang diduga
terlibat atau pelaku. Keterangan yang diperoleh dari teknik audit ini biasanya tidak
dapat digunakan sebagai simpulan, tapi digunakan sebagai bukti audit untuk
memperkuat bukti yang diperoleh dengan teknik audit lainnya yang berkesesuaian.
4. Documentation (pemeriksaan dokumen)
Bukti Documentation yang merupakan hasil pengujian yang dilakukan auditor atas
dokumen dan catatan auditi. Dokumen tersebut bisa berupa dokumen berupa bukti-
bukti transaksi seperti kuitansi, faktur, kontrak, berita acara, sertifikat dan bukti-bukti
tertulis lainnya. Perlu diperhatikan bahwa dokumen yang berasal dari pihak luar
organisasi auditi tentunya lebih kompeten dibandingkan dokumen yang dibuat atau
diperoleh dari internal. Dokumen asli tentu lebih kompeten dibandingkan salinan atau
turunan atau copy.

Dalam pemeriksaan dokumen ini termasuk pengujian terhadap catatan akuntansi dan
laporan serta dokumen informasi dalam bentuk lainnya. Sejalan dengan kemajuan
teknologi informasi, maka documentation termasuk pengujian terhadap catatan dan
rekaman komputer atau digital.
Untuk menguji apakah suatu catatan transakasi atau jumlah tertentu termasuk
pelaporannya ataupun informasi lain didukung dengan bukti yang valid digunakan
teknik vouching yaitu pengujian keberadaan data transaksi yang ada dalam laporan
atau informasi lain atau catatan/akuntansi dengan dengan bukti-bukti pendukungnya.
Untuk menguji kelengkapan atau memastikan bahwa semua transaksi yang terjadi
telah dicatat dan dilaporkan atau dimasukkan dalam informasi lainnya, dilakukan
dengan cara tracing (penelusuran) yaitu dengan menguji apakah setiap transaksi yang

11
ditemukan, berdasarkan dokumen atau data lainnya, telah dicatat, dilaporkan atau
disajikan dalam bentuk informasi lain dengan lengkap dan benar.
5. Analytical procedures (prosedur analitikal)
Bukti Analitik adalah bukti audit yang diperoleh dari penerapan berbagai tehnik audit
analytical procedures (prosedur analitikal). Bukti ini bisa berupa hasil pembandingan,
atau hasil analisis dengan menerapkan formula tertentu seperti statistik, ratio dan
sebagainya.
Analytical procedures (prosedur analitikal) menggunakan pembandingan atau
hubungan yang logis antara data dan fakta sehingga didapat suatu simpulan tertentu.
Prosedur analitikal bisa berupa pembandingan beberapa data yang sama dari sumber
yang berbeda atau data yang berbeda dari sumber sama. Misalnya realisasi penjualan
menurut akuntansi dengan data realisasi yang sama dari bagian penjualan, atau target
penjualan dengan realisasinya yang diperoleh dari bagian penjualan. Jenis dan jumlah
barang yang diterima pihak tertentu dibandingkan dengan jenis dan jumlah barang
yang telah diserahkan atau dikirim oleh pihak yang menyerahkan.
Pembandingan juga dilakukan terhadap data atau fakta tentang tindakan, keadaan
atau kejadian yang ditemukan dengan ketentuan atau peraturan yang berlaku dari
eksternal atau internal organisasi auditi, kontrak perjanjian, standar dan ketentuan
lainnya.
Prosedur analitik juga dilakukan dengan menerapkan rumus atau formula tertentu
untuk melihat hubungan antar fakta. Misalnya penggunaan rasio rendemen hasil gula
dengan penggunaan tebu sebagai bahan baku. Rasio jumlah penggunaan semen
untuk suatu volume beton tertentu dengan spesifikasi tertentu.
Prosedur analitik dapat digunakan untuk mencari indikasi adanya kelainan atau
penyimpangan tertentu. Setelah didapat suatu indikasi terjadinya penyimpangan,
prosedur audit dilanjutkan dengan pengumpulan bukti dengan teknik audit yang lain
untuk menguji apakah indikasi tersebut benar terjadi atau tidak terjadi.
Dari data dan fakta yang diperoleh melalui teknik-teknik audit yang lain, prosedur
analitik dapat digunakan untuk membuat simpulan tentang suatu tindakan, keadaan,
kejadian yang terjadi merupakan suatu penyimpangan atau bukan.
6. Reperformance (penghitungan kembali)
Bukti reperformance adalah bukti audit hasil penghitungan kembali yang dilakukan
auditor untuk mengecek kebenaran perhitungan aritmatik terhadap perhitungan kali,
bagi, tambah, kurang, dan lain-lain pada bukti transaksi atau laporan dan informasi
lainnya yang dibuat auditi.

Dalam audit forensik, perhitungan yang dihadapi umumnya sangat kompleks,


didasarkan atas kontrak atau perjanjian yang rumit, mungkin sudah terjadi perubahan

12
dan renegosiasi berkali-kali dengan pejabat yang berbeda. Perhitungan ini dilakukan
atau disupervisi oleh auditor forensik yang berpengalaman.

7. Observation (observasi)
Bukti observasi adalah hasil pengamatan atau observasi sebagai pemanfaatan indera
kita untuk mengetahui sesuatu seperti menggunakan penglihatan, pendengaran,
perabaan dan penciuman. Kalau kita melakukan kunjungan ke pabrik, kita melihat
luasnya pabrik, peralatan yang ada, kegiatan yang dilakukan, banyaknya dan
beragamnya tenaga kerja. Observasi biasanya dilakukan untuk memperoleh indikasi
terjadinya penyimpangan dan tidak digunakan untuk membuat simpulan akhir tentang
terjadi atau tidak terjadinya fraud.
Bukti-bukti audit yang diperoleh dari penerapan berbagai teknik audit tersebut
dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1. Bukti utama (primary evidence)

Bukti utama adalah bukti asli yang menunjang secara langsung suatu
transaksi/kejadian. Bukti utama menghasilkan kepastian yang paling kuat atas fakta.
Misalnya kontrak/SPK asli, kuitansi, faktur, Surat Perintah Membayar (SPM).
2. Bukti tambahan (secondary evidence)

Bukti ini lebih rendah mutunya apabila dibandingkan dengan bukti utama dan tak
dapat dipergunakan dengan tingkat keandalan yang sama dengan bukti utama. Bukti
tambahan dapat berupa fotokopi kontrak dan keterangan lisan. Bukti ini dapat diterima
jika bukti utama ternyata rusak atau hilang, atau dapat diterima jika ditunjukkan bahwa
bukti ini merupakan pencerminan yang layak atas bukti utama.
3. Bukti langsung (direct evidence)

Bukti langsung merupakan fakta tanpa kesimpulan ataupun anggapan. Bukti ini
cenderung untuk menunjukkan suatu fakta atau materi yang dipersoalkan. Suatu bukti
dapat dikatakan langsung apabila dikuatkan oleh pihak-pihak yang mempunyai
pengetahuan nyata mengenai persoalan yang bersangkutan dengan menyaksikan
sendiri. Contohnya adalah bukti transfer/ cek yang berhubungan langsung dengan
suatu tindak pidana.
4. Bukti tidak langsung (circumstantial evidence)

Bukti tidak langsung mengungkapkan secara tidak langsung atas suatu tindak
pelanggaran atau fakta-fakta dari seseorang yang mungkin mempunyai niat atau motif
melakukan pelanggaran.
Bukti tidak langsung cenderung untuk menetapkan suatu fakta dengan pembuktian
fakta lainnya yang setaraf dengan fakta yang diaudit. Meskipun bukti ini mungkin

13
benar, tetapi bukti tidak langsung sebenarnya tidak menetapkan suatu fakta secara
meyakinkan.
Bukti audit yang diperoleh auditor forensik audit dari penerapan teknik-tektik
audit tersebut di atas berbeda dengan bukti hukum berupa alat bukti. Alat bukti
sebagaimana diatur pada ayat (1) pasal 184 Kitab Undang-undang Hukup Acara
Pidana (KUHAP) atau Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana meliputi Keterangan saksi, Keterangan ahli, Surat,
Petunjuk, dan Keterangan terdakwa.
Lebih lanjut dengan mengacu pada KUHAP, alat-alat bukti itu dapat dijelaskan
sebagai berikut:
1. Keterangan saksi
Keterangan saksi merupakan alat bukti yang sah apabila saksi memberikan
keterangan ke sidang pengadilan di bawah sumpah tentang apa yang dilihatnya
sendiri, didengarnya sendiri, atau dialamnya sendiri. Dengan menyebutkan alasan
yang didengarnya dari orang lain (testimonium de auditu) tidak merupakan alat bukti.

Keterangan seorang saksi saja atau tidak disertai dengan alat bukti yang sah lainnya
tidak cukup membuktikan bahwa seorang terdakwa bersalah terhadap perbuatan
yang didakwakan kepadanya.
Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri-sendiri tentang suatu kejadian atau
keadaan dapat digunakan sebagai suatu alat bukti yang sah apabila keterangan saksi
itu ada hubunganya satu dengan yang lain sedemikian rupa, sehingga dapat
membenarkan adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu.
2. Keterangan ahli
Keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan.
Keterangan tersebut diberikan setelah mengucapkan sumpah atau janji di hadapan
hakim.
Keterangan ahli ini dapat juga sudah diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik
atau penuntut umum yang dituangkan dalam suatu bentuk laporan dan dibuat dengan
mengingat sumpah diwaktu ia menerima jabatan atau pekerjaan.
3. Surat
Surat yang mempunyai nilai pembuktian sebagai alat bukti surat harus dibuat atas
sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah.
1) Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum
yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya yang memuat keterangan
tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau dialaminya sendiri
disertai alasan tentang keterangannya itu. Contoh: akta notaris, akta pejabat
PPAT, berita acara lelang negara, dan lain-lain.

14
2) Surat yang dibuat menurut peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat
oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi
tanggung jawabnya dan diperuntukkan bagi pembuktian suatu hal menjadi
tanggung jawabnya dan diperuntukkan bagi pembuktian suatu hal atau keadaan.
Contoh: SIM, paspor, KTP, IMB, ijazah, surat perintah perjalanan dinas, dan lain-
lain.
3) Surat yang dibuat oleh ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya
mengenai suatu peristiwa atau keadaan yang diminta secara resmi daripadanya
termasuk laporan ahli. Contoh: visum et repertum, laporan hasil pemeriksaan
BPK, laporan audit KAP.
Surat lain hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian
yang lain.
4. Petunjuk
Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya,
baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri,
menandakan bahwa terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya (Pasal 188 ayat
(1) KUHAP). Petunjuk dimaksud hanya didapat dari alat bukti yang lain berupa
keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa (Pasal 188 ayat (2) KUHAP)
Dalam Undang-undang No.20 tahun 2001 pasal 26A dikatakan: Alat bukti yang sah
dalam bentuk petunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ayat (2) Undang-
undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, khusus untuk tindak
pidana korupsi juga dapat diperoleh dari:
a. alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau
disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan

b. dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca,
dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu
sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas,
maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar,
peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna.

Dalam Undang-undang No. 8 tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang
(TPP U) pasal 73, alat bukti yang sah dalam pembuktian tindak pidana Pencucian
Uang ialah:
a. alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Hukum Acara Pidana; dan/atau
b. alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan
secara elektronik dengan alat optik atau alat yang serupa optik dan Dokumen.
5. Keterangan terdakwa
Keterangan terdakwa ialah apa yang dinyatakannya di sidang pengadilan tentang
perbuatan yang dilakukannya, diketahuinya, atau yang dialaminya sendiri.
15
Keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat digunakan untuk membantu
menemukan bukti di sidang, asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti
yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya.
Suatu audit forensik mungkin akan berlanjut ke litigasi atau proses hukum.
Dengan demikian maka fakta dan kejadian yang ditemukan dalam audit harus
dibuktikan dengan alat bukti hukum. Karenanya bukti-bukti audit harus dapat
digunakan penegak hukum sebagai alat bukti. Sebagian besar bukti audit tersebut
tidak dapat digunakan secara langsung sebagai alat bukti. Auditor forensik sejak awal
pelaksanaan audit harus mempersiapkan bukti-bukti audit dapat dimanfaatkan oleh
penegak hukum dalam proses hukum.
Walaupun bukti audit sejauh mungkin diusahakan untuk dapat digunakan
secara langsung sebagai alat bukti, namun sebagian besar bukti audit tersebut tidak
dapat digunakan secara langsung secara langsung sebagai alat bukti.
Bukti dokumen asli atau copy yang sudah dilegalisasi seperti dokumen kontrak,
kuitansi dan lain-lain dapat digunakan sebagai alat bukti. Bukti audit documentation
ini dapat menjadi alat bukti surat dalam paroses hukum. Tetapi sebagian besar bukti
documentation seperti catatan akuntansi harus dijelaskan auditor forensik dalam
proses litigasi sebagai keterangan ahli.
Bukti audit berupa hasil pemeriksaan fisik yang dituangkan dalam berita cara
pemeriksaan fisik juga harus dijelaskan oleh auditor atau pihak yang turut serta
bersama auditor melakukan pemeriksaan fisik sebagai saksi dalam keterangan ahli
atau keterangan saksi.
Bukti audit berupa hasil konfirmasi juga tidak dapat digunakan penegak hukum
sebagai alat bukti. Penegak hukum harus mengkoversi bukti audit tersebut sebagai
alat bukti dengan meminta keterangan langsung dari pihak yang memberi konfirmasi.
Sehingga hasilnya dapat dipakai sebagai alat bukti keterangan saksi. Auditor dapat
membantu penegak hukum dengan menyediakan nama dan alamat pemberi
konfirmasi yang jelas.
Bukti audit berupa hasil wawancara baik dengan para saksi ataupun orang
yang diduga sebagai pelaku tidak dapat digunakan sebagai alat bukti. Bukti ini harus
dikonversi oleh penegak hukum menjadi alat bukti dengan meminta keterangan
sebagai keterangan saksi atau keterangan terdakwa.
Bukti audit berupa bukti analitikal, bukti penghitungan kembali dan bukti
observasi yang semuanya dilakukan oleh auditor tidak dapat secara langsung
dijadikan alat bukti oleh penegak hukum. Hasil prosedur analitikal, penghitungan
kembali dan observasi harus diminta penjelasan kepada auditor forensik sebagai
keterangan ahli. Dengan demikian auditor tersebut harus bersiap untuk memberi
keterangan di depan penegak hukum.

16
D. DATA DIGITAL FORENSIK
Di dalam melaksanakan audit forensik, tidak jarang auditor menemui adanya
dokumentasi dalam bentuk data elektronik atau digital. Dokumentasi tersebut mungkin
relevan sebagai bukti dalam audit forensik, sedangkan data digital itu bisa saja tidak
ada dukungan dalam bukti kertas atau gambar atau bentuk lain yang bukan dalam
bentuk digital.
Khusus bukti audit dalam bentuk elektronik atau digital diperlukan perlakuan
khusus dalam penanganannya. Berdasarkan ACPO (Association of Chief Police
Officers) Good Practice Guide for Digital Evidence, terdapat beberapa prinsip yang
harus dipenuhi dalam penanganan bukti digital, sebagai berikut:
1. Data Integrity
“No action taken by law enforcement agencies, persons employed within those
agencies or their agents should change data which may subsequently be relied upon
in court”.

Harus dipastikan tidak ada data yang berubah dan bukti audit harus masih sama
persis sebelum dilakukan akuisisi.
Jadi pada saat auditor mengcopy atau menggandakan file data digital yang disebut
dengan akuisisi data digital, harus dipastikan copy data digital tersebut tidak berubah
dengan data aslinya sebelum data itu dicopy. Untuk itu diperlukan adanya prosedur
khusus yang diatur dalam standar audit digital, sehingga bukti digital yang
bersangkutan dapat digunakan sebagai alat bukti di sidang pengadilan.
2. Competency
“In circumstances where a person finds it necessary to access original data, that
person must be competent to do so and be able to give evidence explaining the
relevance and the implications of their actions”.

Untuk menjamin bahwa bukti digital dapat digunakan dalam sidang pengadilan, orang
yang melakukan penanganan bukti digital harus menguasai kompetensi digital
forensic sehingga tidak melanggar prinsip-prinsip digital forensic dan dapat
menjelaskan langkah-langkah yang dilakukan saat menangani bukti digital. Hal ini
dapat dipenuhi dengan adanya pelatihan, bimbingan teknis, sertifikasi atau
menggunakan bantuan tenaga ahli.

3. Documentation
“An audit trail or other record of all processes applied to digital evidence should be
created and preserved. An independent third party should be able to examine those
processes and achieve the same result”.

17
Setiap proses yang dilakukan terhadap data digital harus terdokumentasikan dengan
baik, sehingga seluruh proses dapat dipertanggungjawabkan dan jika pihak lain
melakukan langkah yang sama maka akan mendapatkan hasil yang sama.
Dokumentasi dapat berupa Logbook, Foto, Video dll.
4. Responsibility
“The person in charge of the investigation (the case officer) has overall responsibility
for ensuring that the law and these principles are adhered to”.

Dalam tim audit harus ada pimpinan yang memastikan bahwa seluruh aturan dan
prinsip telah dipenuhi saat penanganan bukti audit digital.

Proses penanganan bukti audit digital pada umumnya melalui 4 tahap yang
harus memenuhi prinsip di atas, yaitu:
1. Akuisisi
Proses akuisisi bukti audit digital dari data original dapat menggunakan write blocker
atau duplicator atau acquisition software untuk menjaga data integrity dari data yang
diakuisisi. Selain itu setiap langkah yang dilakukan harus didokumentasikan dalam
berita acara, foto atau video yang menjadi bagian dari kertas kerja audit. Dalam proses
akuisisi harus selalu dalam pengawasan orang yang melakukan akuisisi sehingga
dapat dipastikan tidak ada gangguan dari pihak lain. Jika akuisisi tidak dilakukan
dalam laboratorium forensik yang aksesnya dibatasi dan diawasi cctv, maka akuisisi
tidak diperbolehkan ditinggal sampai prosesnya selesai.
Fisik penyimpanan data original yang diakuisisi harus diamankan dalam kantong
khusus (tersegel) dan dicatat penyitaannya dalam berita acara yang mencakup
identitas harddisk/flashdisk/memory card/CD/DVD/mobile phone (serial number/imei,
kapasitas), pemilik, waktu serah terima, tanda tangan pemilik & tim audit yang
mengakuisisi.
Saat melakukan akuisi, tim audit harus mewaspadai kemungkinan adanya tempat
penyimpanan data lain di sekitar lokasi termasuk catatan penting terkait data yang
ada misalnya user id atau password untuk enkripsi.

18
Berbagai peralatan untuk mengakuisisi data.

2. Penyimpanan Bukti Audit Digital


Setiap perpindahan penguasaan bukti audit digital harus didokumentasikan dalam
berita acara/logbook. Saat proses memindahkan bukti audit digital original ke lokasi
penyimpanan, harus dipastikan aman secara fisik maupun data didalamnya termasuk
dari pengaruh alat/lingkungan yang mengeluarkan medan elektromagnetik, termasuk
menggunakan kantong khusus yang tidak memiliki listrik statis.
Ruangan penyimpanan bukti audit digital harus dipastikan hanya dapat diakses oleh
orang yang berwenang, terdapat logbook akses dan diawasi oleh cctv.
3. Analisis Bukti Audit Digital
Analisis bukti audit digital menggunakan file bukti audit yang sudah diduplikasi dari
yang original untuk menjaga data integrity. Dalam melakukan analisa bukti audit
menggunakan digital forensic software dan teknik yang disesuaikan dengan bukti
audit yang dibutuhkan, petunjuk awal yang telah didapatkan atau kasus yang
ditangani. Beberapa teknik digital forensic yang dapat digunakan diantaranya:
a. Hash Analysis
Teknik ini menggunakan unique digital fingerprint untuk mencari suatu file atau
memvalidasi keaslian suatu bukti audit digital.
b. Signature Analysis
Teknik ini digunakan untuk mengidentifikasi file yang diubah extentions-nya
menjadi berbeda dengan aslinya sehingga tersamarkan keberadaannya.
c. Entropy Analysis
Teknik ini menghitung keacakan suatu file yang digunakan untuk mengidentifikasi
file yang terenkripsi.

19
d. Raw Search

Teknik ini digunakan untuk mengidentifikasi kata kunci tertentu yang kemungkinan
ada dalam suatu bukti audit digital.
e. Index Search
Teknik ini digunakan untuk mengidentifikasi file tertentu seperti Raw Search tetapi
dengan melakukan indexing untuk mempercepat pencarian.
f. Carving
Teknik ini digunakan untuk menemukan file yang disembunyikan atau dihapus dari
media digital.
Setiap langkah yang dilakukan dalam analisa bukti audit digital harus
didokumentasikan sehingga dapat dijelaskan bagaimana kesimpulan atau informasi
tersebut didapatkan.
4. Laporan Hasil Forensik Digital
Laporan hasil forensik digital memuat bukti audit yang relevan setidaknya
menerangkan nama file, item path, waktu pembuatan file, waktu terakhir modifikasi
file, waktu terakhir file diakses, hash dan lokasi pada media. Hal ini penting agar saat
bukti audit akan divalidasi oleh pihak lain maka akan menemukan bukti audit yang
sama.

E. WAWANCARA
Tuanakotta (2010) menjelaskan bahwa wawancara bersifat netral, tidak
menuduh. An interview is nonaccusatory. Ini perbedaan utama antara wawancara
dengan interogasi. Sekalipun investigator mempunyai alasan untuk percaya bahwa
yang bersangkutan terlibat dalam kejahatan atau ia telah berbohong, substansi dan
caranya bersifat nonaccusatory ketika melakukan wawancara.

Wawancara harus dimulai dengan orang-orang yang mengetahui atau yang


diduga paling kecil menjadi pelaku atau ikut serta dalam melakukan fraud, dilanjutkan
dengan orang-orang yang karena alasan pribadi ingin menjadi wishtleblower, dan
diakhiri dengan mereka yang diduga menjadi perencana atau otak dari tindak
pidananya. Urutan-urutan ini penting karena beberapa penyebab berikut:
1) Pada tahap awal, belum banyak fakta yang terkumpul. Orang yang tidak bersalah
akan mengisi auditor forensik dengan fakta-fakta penting secara terbuka,
termasuk motive dan peluang untuk terjadinya fraud. Sebaliknya, kalau
wawancara dimulai dengan orang yang diduga menjadi pelaku atau perencana,
maka ia cepat mengetahui fakta yang dicari auditor sehingga dia lebih mudah dan
berkesempatan untuk mengatur informasi apa yang boleh diberikan pada audito
dan apa yang tidak boleh.

20
2) Mengetahui bahwa banyak orang sudah diwawancarai sebelumnya, pelaku tidak
bisa mengendalikan apa yang bisa dan apa yang sebaiknya tidak diungkapkan
kepada auditor forensik dalam wawancara. Lebih sulit mengatur persesuaian atau
konsistensi dalam kebohongan, sekalipun melalui persengkongkolan. Ini
memudahkan auditor mendapatkan informasi penting yang selanjutnya
dikembangkan dalam interogasi.
F. INFORMASI RELEVAN DAN TIDAK-RELEVAN
Sebagaimana diketahui, informasi yang diperoleh oleh auditor haruslah
informasi yang relevan dengan masalah yang dihadapi. Namun, dalam kenyataannya
sering kali terjadi bahwa auditor yang belum berpengalaman mengumpulkan sejumlah
besar informasi karena menganggap bahwa semua informasi yang dikumpulkannya
tersebut penting, sehingga belakangan ternyata sebagian besar usahanya
mendapatkan informasi tersebut adalah sia-sia dan membuang-buang waktu belaka.
Seorang auditor yang berpengalaman akan memulai pengumpulan bukti dan
informasi secara hati-hati agar dapat diperoleh bukti dan informasi yang sesuai
dengan target rencana.
Apabila pengumpulan bukti dan informasi tidak secara matang direncanakan
terlebih dahulu, maka auditor tidak akan memperoleh informasi yang diharapkan,
karena tidak mengetahui informasi apa yang seharusnya diperoleh dan, lebih penting
lagi, urutan langkah apa yang harus ditempuh untuk memperoleh informasi tersebut.
Sebelum mulai melakukan pengumpulan informasi, auditor harus mempertimbangkan
hal-hal berikut:
1. Signifikansi dari informasi relevan;
2. Urutan pengumpulan informasi yang harus diperoleh;
3. Kelemahan (sifat sesintif) dari informasi dan bukti;
4. Apakah informasi atau bukti tersebut berisiko;
5. Informasi atau bukti berada dalam penguasaan siapa;
6. Wewenang khusus yang mungkin dibutuhkan untuk memperoleh informasi;
7. Sumber-sumber lainnya yang mungkin berhubungan dengan kategori informasi
tertentu.
Lebih lanjut pertimbangan dalam pengumpulan informasi di atas akan diuraikan lebih
rinci sebagai berikut:
1. Signifikansi dari informasi relevan
Informasi yang relevan dengan permasalahan yang ingin diungkapkan oleh auditor
merupakan suatu prioritas untuk dikumpulkan dan dianalisis. Namun, auditor perlu
mencermati pentingnya/signifikansi dari informasi relevan terebut karena tidak setiap
informasi relevan akan bermakna penting/signifikan terhadap inti permasalahan.
21
Contoh, dalam suatu kasus dimana auditor menguji kegiatan pembelian karena
diduga bahwa pemasoknya tidak jujur atau berhubungan dengan petugas bagian
pembelian, maka sejumlah informasi yang menjadi prioritas dan perlu diperoleh dan
dianalisis oleh auditor adalah dokumen-dokumen yang berhubungan dengan kegiatan
pembelian tersebut, misalnya Order Pembelian, faktur pembelian, daftar permintaan
check/cheque requisition, daftar pengangkutan, dan lain-lain.

Audit forensik kemungkinan besar akan mengarah pada apa yang dapat diungkapkan
dengan melakukan pengujian terhadap dokumen-dokumen tersebut. Waktu dan
usaha akan terbuang sia-sia jika auditor memperoleh dan menganalisa kategori
informasi lainnya terlebih dahulu, walaupun mungkin informasi tersebut relevan
dengan dugaan.
2. Urutan pengumpulan informasi
Keputusan untuk menentukan urutan pengumpulan informasi akan menunjang
keberhasilan audit forensik. Auditor harus menentukan, sesuai dengan rencana audit
forensik, informasi apa yang akan diperoleh dan urutan-urutan langkah apa yang perlu
dilakukan untuk memperoleh informasi tersebut.
3. Kelemahan informasi dan bukti
Kadang suatu informasi sifatnya sensitif/fragile, sehingga tentunya membutuhkan
pertimbangan khusus dalam merumuskan rencana pengumpulan informasi.
Contohnya adalah informasi yang tersimpan dalam bentuk data elektronik, misalnya
bukti/informasi yang tersimpan dalam media komputer, mesin faksimili, mesin
penjawab, dll. Informasi yang tersimpan dalam media seperti ini dapat dengan mudah
terhapus dan terkontaminasi jika tidak ditangani dengan tepat dan benar.
Dilain pihak, bukti-bukti lainnya mungkin akan rusak atau hancur dengan berlalunya
waktu. Contohnya adalah bukti/kertas faksimili tempo dulu sangat peka terhadap
panas, sehingga akan mudah rusak. Informasi yang tersimpan dalam media ini akan
menjadi kabur karena berlalunya waktu, sehingga akan sangat merugikan jika
penanganan khusus tidak dilakukan. Dalam kasus seperti ini, auditor harus
mengambil tindakan pencegahan misalnya dengan memfoto-copy ataupun di foto,
sehingga walaupun informasi menjadi kabur, informasi yang disimpan dalam bentuk
fotokopi atau foto tersebut masih dapat dimanfaatkan auditor.
4. Informasi atau bukti berisiko
Auditor perlu mempertimbangkan dengan hati-hati bahwa informasi relevan yang
perlu diperoleh mempunyai risiko rusak atau terkontaminasi, baik kerusakan yang
disengaja atau tidak disengaja. Informasi atau bukti yang berisiko lainnya misalnya
informasi atau bukti yang berada dalam penguasaan tersangka pelaku kecurangan
karena mungkin informasi atau bukti tersebut akan dengan sengaja berusaha dirusak
atau dihancurkan. Menghadapi keadaan seperti ini, auditor perlu melakukan
pertimbangan taktis khusus, misalnya meminta bantuan pihak penegak hukum yang
memiliki wewenang untuk melakukan penggeladahan di kediaman tersangka (di
22
rumah, kantor, kendaraan, dan lain sebagainya) untuk mengamankan dokumentasi
atau bukti tersebut. Alternatif taktis lainnya adalah dengan mendapatkan sumber lain
untuk informasi yang sama. Sebagai contoh, tersangka mungkin memiliki kopi atau
salinan suatu faktur yang relevan dengan audit forensik, auditor dalam hal ini mungkin
mendapatkan kopi atau salinan dari faktur tersebut dari sumber lainnya, misalnya dari
pemasok, bagian pembukuan, atau perusahaan pengangkutan.
5. Pihak yang memiliki informasi atau bukti
Rencana pengumpulan informasi perlu mempertimbangkan beberapa faktor seperti di
mana informasi relevan kemungkinan akan diperoleh dan dalam pemilikan atau
penguasaan siapa informasi tersebut berada. Sebagai contoh telah diberikan
informasi yang berada dalam penguasaan/pemilikan tersangka. Auditor perlu
mempertimbangkan bahwa suatu informasi mungkin dapat diperoleh dan selalu
tersedia, misalnya informasi atau dokumen yang berada dalam penguasaan instansi
pemerintah.
6. Wewenang khusus
Auditor mungkin juga perlu menentukan dan memahami, jika ada, wewenang khusus
apa yang diperlukan untuk memperoleh dan mengamankan semua informasi relevan.
Sebagai contoh, dalam keadaan tertentu, wewenang untuk menggeledah dan menyita
mungkin diperlukan, khususnya dalam memasuki kediaman pribadi. Atau mungkin
juga wewenang diperlukan pada saat informasi relevan yang perlu diperoleh berada
dalam penguasaan institusi keuangan, misalnya perbankan, dimana ketentuan
mengenai kerahasiaan bank membatasi pihak-pihak yang dapat mengakses informasi
tersebut. Wewenang khusus tersebut mungkin tidak dimiliki oleh auditor, namun
dalam situasi tertentu auditor mungkin akan diberikan wewenang tersebut atau
mungkin auditor dapat bekerja sama dengan innstitusi yang memiliki kewenangan
tersebut.

7. Sumber-sumber lainnya yang mungkin berhubungan dengan kategori informasi


tertentu.
Auditor perlu memahami dan mempertibangkan sumber-sumber informasi relevan
tertentu dalam mengembangkan dan melaksanakan rencana pengumpulan informasi
yang efektif. Masalah ini merupakan hal yang penting dalam pengumpulan informasi
dan terutama berhubungan dengan pengidentifikasian semua sumber informasi
relevan yang menjadi perhatian auditor.
G. STRATEGI PENGUMPULAN BUKTI
Salah satu karakteristik kecurangan/fraud adalah tersembunyi. Pada sisi yang
lain untuk membuktikan bahwa kecurangan telah terjadi, auditor forensik perlu
berupaya membuktikan bahwa kecurangan telah terjadi atau sebaiknya tidak terjadi.
Dengan karakteristik kasus dan audit yang memiliki tujuan demikian, perlu upaya yang
gigih untuk mengumpulkan bukti yang diperlukan.

23
Oleh karena itu, proses pembuktian yang dilakukan umumnya melalui strategi sebagai
berikut:

 Membangun circumstantial case yaitu pengumpulan bukti melalui interviu saksi


yang kooperatif dan dokumen yang tersedia di luar penguasaan pihak-pihak yang
diduga terlibat sebagai pelaku fraud.
 Menggunakan circumstantial evidence untuk mengidentifikasi dan beralih ke
saksi internal yang dapat memberikan bukti langsung tentang pihak-pihak yang
diduga terlibat.
 Seal the case, melakukan pemeriksaan (examination) langsung kepada subyek
atau sasaran personal yang diduga kuat pelaku fraud. Pengujian dilakukan
dengan interviu untuk meyakinkan informasi yang telah diperoleh melalui
pengumpulan bukti menggunakan berbagai teknik audit dan meminta pengakuan
atas perbuatan fraud yang terjadi. Auditor siapkan argumentasi yang sulit dibantah
lagi sebagai tanggapan atas bantahan yang diberikan pelaku berdasarkan
berbagai bukti yang telah dikumpulkan sebelumnya.
Dalam semua tahapan ini perlu dipastikan apakah bukti yang dikembangkan
selama tahap penelaahan masalah dapat diandalkan atau menyesatkan. Jika
dipandang menyesatkan, maka evaluasi harus dibuat untuk menentukan apakah
pengujian harus dilengkapi/diselesaikan seperti rencana semula atau suatu penilaian
kembali tentang kelanjutan pengumpulan bukti perlu dilakukan. Jika dipandang
hipotesis yang dibuat pada tahap penelaahan dapat diandalkan, kegiatan-kegiatan
untuk melaksanakan semua aspek pemeriksaan yang direncanakan dan
mengembangkan bukti yang dipandang tepat dan relevan.
Cara mendapatkan bukti juga harus memperhatikan ketentuan hukum yang
berlaku di Indonesia. Salah satu ketentuan dalam hukum positif di Indonesia mengatur
secara ketat cara-cara memperoleh data atau informasi (dari sudut auditor berarti
bukti) dari sektor perbankan. Karena ada ketentuan mengenai kerahasiaan bank,
informasi yang menyangkut perbankan harus diperoleh dan diperlakukan sesuai
dengan cara-cara yang ditetapkan dalam undang-undang dan atau ditetapkan oleh
otoritas perbankan.
Karena audit forensik kemungkinan akan berlanjut dengan proses litigasi, maka
cara mendapatkan dokumen-dokumen bukti harus sah. Dokumen harus diperoleh dari
orang atau pihak yang berwenang memberikan dokumen baik dokumen asli atau
berupa foto copy atau tembusan. Oleh sebab itu maka penerimaan dokumen dari
pihak yang berwenang memberikan harus dengan tanda terima.
Dalam memperoleh bukti perlu juga diperhatikan sebagai berikut:
1. Bukti yang diterima dari saksi atau tersangka
Pengadu atau pihak yang merasa dirugikan biasanya akan memberikan informasi
atau bukti yang mereka duga telah dilakukan oleh tersangka atau paling tidak akan
memberikan dokumen yang diperlukan. Namun demikian, auditor harus bersikap hati-

24
hati dalam menerima informasi tersebut. Auditor terlebih dahulu harus menentukan
kredibiltas sumber informasi tersebut. Hal ini sangat penting disebabkan auditor harus
adil dan obyektif dalam mengevaluasi suatu fakta baik dari saksi maupun dari
tersangka.
Bukti yang diperoleh dari saksi atau tersangka biasanya dalam bentuk pernyataan,
dimana kita harus membangun melalui wawancara. Wawancara yang dilakukan
dibangun berdasarkan informasi lisan maupun tertulis atau dari data lainnya. Harus
diiingat bahwa dalam memperoleh bukti berupa hasil wawancara kita tidak hanya
melihat bukti untuk mendukung kasus yang akan kita ungkap tetapi juga harus
menguji validitas dan kejujuran dari responden. Hal ini untuk menjaga kemungkinan
adanya bantahan dari pengacara tersangka di persidangan.
2. Bukti yang diterima dari bantuan ahli
Dalam beberapa kasus, auditor tidak berkompeten dan atau tidak mampu melakukan
prosedur-prosedur tertentu dimana hasilnya akan sangat berpengaruh dalam
membuat simpulan hasil audit. Oleh karena itu, auditor harus meminta bantuan teknis
ataupun pendapat pihak lain, seperti kepada pihak yang berkompeten dalam
menganalisis dan mengevaluasi suatu pekerjaan yang bersifat teknis atau meminta
pendapat kepada ahli hukum.
Bantuan tenaga ahli sangat membantu sebelum forensik berkembang lebih jauh.
Auditor harus mempertimbangkan secara dini untuk berkonsultasi dengan tenaga ahli
jika ia mencurigai bahwa suatu dokumen telah dipalsukan, diubah, atau dimanipulasi.
Seringkali lingkup audit forensik dapat dipersempit atau akan lebih terarah dengan
mengeliminasi kemungkinan-kemungkinan tersangka berdasarkan pengujian tulisan
tangan oleh tenaga ahli, sehingga dapat mencegah langkah-langkah yang tidak perlu.
Dengan demikian, hal yang harus diperhatikan oleh auditor adalah jangan mengambil
alih suatu pekerjaan yang bukan kompetensinya.

H. KESINAMBUNGAN PENANGANAN BUKTI (CHAIN OF CUSTODY)


Untuk dapat diterima sebagai bukti menurut sistem hukum, rantai
penyimpanan terhadap dokumen perlu dilakukan mulai saat bukti tersebut diperoleh.
Ini berarti bahwa suatu catatan harus dibuat yang dapat menjelaskan kapan suatu
dokumen diperoleh atau kapan dokumen tersebut tidak lagi dalam penguasaan atau
kendali auditor. Hal ini paling baik dilakukan dengan membuat semacam
“memorandum of interview” dengan pihak yang menyimpan dokumen tersebut pada
saat dokumen tersebut diterima. Memorandum tersebut harus memuat:

 Dokumen apa yang telah diterima;


 Kapan dokumen tersebut diterima;
 Dari siapa dokumen tersebut diterima;
 Dimana dokumen tersebut disimpan.

25
Jika kemudian dokumen tersebut dipindahtangankan kepada pihak lain, maka
harus dibuat suatu catatan dalam bentuk “memorandum”. Semua dokumen yang
diterima harus ditandai sedemikian rupa agar dikemudian hari dapat diidentifikasi.
Cara yang paling umum adalah dengan memberikan “initial”’ dan tanggal. Terhadap
dokumen asli, kadang-kadang tidak lazim untuk memberikan tanda, dalam hal ini
dokumen asli tersebut dapat dimasukkan dalam suatu amplop tertutup dan kemudian
diberi inisial dan tanggal pada amplopnya.

26
BAB IV
EVALUASI BUKTI

A. PENDAHULUAN
Untuk memudahkan pemahaman pelaksanaan evaluasi bukti dalam bab ini
akan diuraikan pula metodelogi analisis bukti berdasaran literatur yang ada. Menurut
pendapat Wiliam T. Thornhill dalam Forensic Accounting – How to Investigate
Financial Fraud, tahapan yang paling kritis proses audit forensik adalah Evaluasi Bukti
(Evidence Evaluation). Alasannya, karena pada tahapan inilah auditor menentukan
perlu tidaknya memperluas pengembangan bukti untuk mendukung simpulan/laporan
yang akan dibuat. Di samping itu, dalam melakukan evaluasi terhadap bukti, auditor
dapat menggunakan value judgement–nya apabila tidak cukupnya bukti atau
informasi yang diperoleh untuk membuat simpulan atau rekomendasi. Value
judgement tidak dapat diberikan oleh auditor apabila dari bukti yang diperoleh
menunjukkan secara jelas suatu kondisi tanpa perlu interpretasi/simpulan. Hal ini
auditor tidak perlu memberikan suatu simpulan karena simpulan telah nampak dari
bukti itu sendiri. Namun demikian, umumnya bukti yang tidak memerlukan interpretasi
auditor sulit diperoleh dan bahkan cenderung tidak ada.
Sebelum melakukan evaluasi bukti, terdapat beberapa hal yang perlu kita
pahami yaitu masalah pembuktian merupakan suatu proses induktif. Beranjak dari
berbagai bukti-bukti yang diperoleh, kita merangkai suatu peristiwa untuk ditarik suatu
simpulan menyeluruh berdasarkan rangkaian bukti-bukti yang diperoleh. Bukti satu
dengan lainnya harus memiliki hubungan baik langsung maupun tidak langsung yang
dapat menggambarkan sebab akibat dari suatu tindakan. Dari setiap bukti memiliki
bukti-bukti dukungan mengenai kebenaran dari suatu bukti. Misalnya bukti kuitansi
pembayaran. Bukti tersebut dapat didukung dengan bukti penunjukan bendaharawan,
catatan terhadap bukti tersebut dan hasil konfirmasi penerima pembayaran.
Pemahaman atas suatu bukti dapat membantu auditor dalam menentukan apakah
bukti yang diperoleh merupakan bukti langsung atau bukti tidak langsung, bukti utama
atau bukti pendukung dari suatu sangkaan.
Di samping itu, tipe bukti yang berbeda memberikan kontribusi pembuktian
yang berbeda pula, misalnya bukti pengakuan hanya memberikan kontribusi untuk
mendukung suatu peristiwa. Oleh karenanya, jika hanya bukti pengakuan saja tidak
dapat membuktikan keberadaan suatu peristiwa.

B. KUALITAS BUKTI
Salah satu tujuan evaluasi bukti adalah menilai apakah suatu sangkaan tindak
pidana korupsi sebagaimana telah digambarkan dalam hipotesis menunjukkan kondisi
yang sesungguhnya. Dalam penilaian tersebut mencakup penilaian terhadap kualitas

27
bukti yang diperoleh. Apakah bukti-bukti yang diperoleh dapat dijadikan dasar dalam
pengambilan keputusan mengenai suatu sangkaan tindak pidana korupsi.
Penilaian kualitas suatu bukti dapat pula dilakukan pada saat penerimaan bukti-
bukti dalam tahap pengumpulan bukti. Setiap bukti yang diterima auditor dilakukan
analisis. Analisis tersebut lebih menekankan untuk menilai relevansi bukti terhadap
kasus yang ditangani serta untuk menilai apakah diperlukan bukti-bukti lain yang
relevan untuk mendukung validitas bukti yang diterima tersebut.
Dalam evaluasi bukti, penilaian yang dilakukan mencakup keseluruhan unsur
yang mendukung kualitas bukti yang dapat diterima dalam proses pengadilan. Unsur
tersebut adalah relevansi, materialitas dan kompetensi dari suatu bukti. Berikut
diuraikan masing-masing unsur kualitas bukti sebagai berikut:
1. Relevansi
Menurut Rule 401 dari The Federal Rules of Evidence (FRE) yang disajikan George
A. Manning,CFE,EA dalam bukunya Financial Investigation and Forensic Accounting,
relevansi suatu bukti didefinisikan sebagai berikut :
Relevant evidence as “Evidence having any tendency to make the existence of any
fact that is of consequence to the determination of the actions more probable or less
probable than it would be without the evidence”.

Relevansi suatu bukti dapat ditunjukkan dari keberadaan bukti itu sendiri. Apabila bukti
tersebut tidak mempengaruhi kondisi kenyataan yang terjadi maka bukti tersebut tidak
relevan. Bukti yang tidak relevan sudah pasti tidak dapat diterima dalam proses
pengadilan. Sedang seluruh bukti yang relevan dapat diterima pengadilan.
Bukti-bukti dianggap cukup relevan jika bukti tersebut merupakan salah satu bagian
dari rangkaian bukti-bukti (chain of evidence) yang menggambarkan suatu proses
kejadian atau jika bukti tersebut secara tidak langsung menunjukkan kenyataan
dilakukan atau tidak dilakukannya suatu perbuatan.
Dalam audit forensik, auditor harus memperoleh seluruh bukti yang relevan dengan
kasus yang ditangani. Auditor tidak mengabaikan setiap kenyataan yang signifikan
karena keraguan dalam menentukan relevansi suatu bukti terhadap kasus yang
ditangani. Tidak ada suatu standar dalam menentukan relevansi suatu bukti karena
kenyataan yang ditemui akan selalu berbeda dari satu kasus dengan kasus yang
lainnya.
Suatu bukti mungkin pada awal dianggap tidak relevan terhadap kasus yang ditangani
namun berdasarkan pengembangan lebih lanjut ditemui relevansi bukti tersebut
dalam rangkaian bukti-bukti kasus yang ditangani.

28
2. Materialitas
Materialitas dalam general audit ditentukan dalam bentuk besaran yang dianggap
dapat mempengaruhi pengambilan keputusan. Dengan demikian jika suatu bukti yang
lebih kecil dari besaran materialitas, maka bukti tersebut dianggap tidak materialitas.
Pengertian materialitas dalam general audit berbeda dengan pengertian materialitas
dalam audit forensik. Dalam audit forensik, materialitas suatu bukti dapat dijelaskan
sebagai berikut:
Evidence is material if it is essential to the subject matter in dispute as to affect the
outcome of the trial or to help establish the guilt or innocence of the accused.

Dari definisi tersebut di atas, nampak bahwa materialitas dalam audit forensik
menekankan pada hubungan bukti terhadap sangkaan yang diindikasikan. Pengertian
tersebut tidak melihat besaran dari nilai yang terkandung dalam bukti tersebut, karena
tidak seluruh bukti dalam audit forensik menunjukkan nilai suatu transaksi, misalnya
dokumen notulen rapat. Dokumen tersebut mungkin tidak bernilai tetapi dapat
dijadikan bukti adanya suatu putusan rapat/peserta rapat/dan kegiatan rapat. Apabila
bukti tersebut menjadi bagian dari proses pembuktian adanya tindak pidana korupsi,
maka bukti tersebut sangat material.
Dari uraian di atas, dapat pula disimpulkan bahwa setiap direct evidence dari suatu
penyimpangan adalah material.
3. Kompetensi
Bukti yang diperoleh tidak hanya harus relevan tetapi juga dapat diterima menurut
kaidah hukum. Bukti yang relevan dapat menjadi tidak kompeten apabila diperoleh
tidak sesuai ketentuan. Dalam general audit, kompetensi suatu bukti menekankan
pada dapat atau tidaknya bukti tersebut sebagai dasar auditor mengambil kesimpulan.
Sudut pandang kompetensi suatu bukti lebih ditujukan pada proses pembuatan bukti
tersebut. Jika bukti dibuat oleh petugas yang tidak kompeten maka bukti tersebut
dianggap tidak kompeten.
Dalam audit forensik, kompetensi suatu bukti tidak hanya didasarkan pada proses
pembuatan bukti tersebut, tetapi juga proses perolehan bukti tersebut oleh auditor.
Bukti yang diperoleh secara ilegal sudah barang tentu tidak dapat diterima menurut
hukum.
Di samping itu, kompetensi juga menyangkut kewenangan auditor untuk memperoleh
bukti. Bukti-bukti yang secara hukum bersifat rahasia, umumnya tidak kompeten
kecuali didukung dengan bukti lain yang secara hukum dapat diterima untuk
menggunakan bukti tersebut.

29
C. KUANTITAS BUKTI
Dalam melakukan evaluasi bukti, kita tidak hanya berpegang pada setiap unsur
yang menunjukkan kualitas suatu bukti tetapi juga harus memperhatikan kuantitas dari
bukti yang diperoleh. Dalam perencanaan audit, auditor harus menentukan berapa
banyak bukti-bukti yang akan dikumpulkan. Selama proses audit, kuantitas bukti yang
dibutuhkan direviu secara periodik sesuai perkembangan informasi yang diterima.
Dalam general audit, auditor diwajibkan untuk memperoleh bukti-bukti yang
cukup sebagai dasar pengambilan keputusan. Kewajiban tersebut berlaku pula dalam
audit forensik, dalam hal ini auditor harus memiliki bukti-bukti yang cukup untuk
menentukan apa, siapa, bilamana dan bagaimana perbuatan tindak pidana korupsi
dilakukan.
Dalam audit investigatif, pengertian kecukupan bukti yang diperoleh lebih
ditekankan pada pertanyaan: apakah bukti-bukti yang diperoleh telah menunjukkan
apa, siapa, dimana, bilamana dan bagaimana suatu perbuatan fraud dilakukan?
Kuantitas bukti yang diperoleh dianggap telah cukup apabila auditor dapat
menggambarkan apa, siapa, dimana, bilamana dan bagaimana suatu kejadian.
Apa, siapa, dimana, bilamana dan bagaimana suatu kejadian dapat ditunjukkan
dari satu bukti atau serangkaian bukti-bukti. Komponen dari suatu bukti mungkin
berbeda dengan bukti yang lainnya. Suatu bukti mungkin tidak dapat menjelaskan apa
atau bagaimana suatu kejadian sehingga diperlukan bukti lain yang dapat
menguraikan apa dan bagaimana suatu kejadian. Terkait dengan kaidah hukum di
atas misalnya, auditor di samping harus dapat membuktikan suatu tindak pidana
korupsi, juga harus dapat membuktikan akibat yang ditimbulkan dalam bentuk
kerugian negara atau perekonomian negara. Dalam hal ini, kuantitas bukti yang
diperoleh harus dapat mendukung pembuktian adanya kerugian negara dan atau
perekonomian negara.

D. TEKNIK ANALISIS BUKTI


Menurut Investigation Procedures Manual For The Investigation And
Resolution Of Complaints, Department Of Justice Civil Rights Division, USA, diketahui
beberapa tahapan yang dapat dilakukan dalam menganalisis suatu bukti yaitu
1. Find
Sesuai dengan hipotesis yang telah disusun dalam perencanaan audit, melalui
berbagai teknik audit, auditor berupaya untuk memperoleh bukti-bukti yang relevan
terhadap kasus yang ditangani.
Terkait dengan kompetensi suatu bukti, bukti perolehan suatu dokumen akan
menentukan dapat tidaknya dokumen tersebut dijadikan bukti menurut kaedah
hukum.

30
2. Read and Interpret Document
Setiap bukti yang diperoleh, dipelajari dan diinterpretasikan oleh auditor. Tahapan ini
merupakan tahapan yang menentukan dalam proses audit forensik. Sering kita temui
dalam proses audit forensik, auditor tidak dapat menginterprestasikan suatu bukti
yang diperoleh karena ketidakmampuan auditor membaca dan menginterprestasikan
suatu bukti, sehingga suatu penyimpangan tidak diketahui meskipun bukti
penyimpangan telah diperoleh auditor.
3. Determined Relevance
Tahapan berikutnya adalah menentukan relevansi bukti yang diperoleh terhadap
kasus yang ditangani. Bukti yang tidak terkait dengan kasus untuk sementara dapat
diabaikan. Suatu bukti yang awalnya dianggap tidak relevan mungkin ternyata relevan
untuk pembuktian suatu kejadian.
4. Verify The Evidence
Setelah kita menentukan relevansi suatu bukti, tahap berikutnya adalah melakukan
verifikasi dari bukti itu sendiri. Verifikasi yang dimaksudkan disini adalah menilai
kebenaran dari bukti itu sendiri. Dalam melakukan penilaian, auditor dapat meminta
dokumen pendukung sebagai bukti dukungan atas dokumen yang diterima. Misalnya
untuk menilai kebenaran suatu kontrak, auditor dapat meminta dokumen-dokumen
pendukung kontrak seperti Surat Perintah Kerja (SPK).
5. Assemble The Evidence
Setelah bukti kita uji kebenarannya, langkah selanjutnya adalah memasukkan bukti
tersebut dalam rangkaian bukti-bukti yang dapat menggambarkan kenyataan yang
ditemui.
6. Draw Conclusions
Akhir dari setiap analisis bukti adalah menyusun simpulan atas setiap bukti yang
diterima. Hal ini akan sangat membantu auditor dalam merangkum bukti dalam
rangkaian bukti-bukti. Auditor tidak perlu membaca kembali dokumen, tetapi cukup
melihat simpulan yang dibuat terhadap dokumen terebut.

E. TEKNIK EVALUASI BUKTI


Pada dasarnya evaluasi bukti dapat dilakukan apabila seluruh bukti yang terkait
dengan kasus yang ditangani telah diperoleh auditor. Dalam hal ini evaluasi
menyeluruh terhadap bukti–bukti yang diperoleh ditujukan untuk menilai apakah
suatu fraud terbukti atau tidak terbukti kebenarannya.
Namun demikian, evaluasi bukti tidak harus menunggu sampai seluruh bukti-
bukti yang relevan diperoleh auditor. Evaluasi bukti dilakukan auditor secara berkala
selama proses audit forensik untuk menilai kesesuaian hipotesis yang disusun

31
terhadap fakta kenyataan yang ada. Dalam hal ini, evaluasi bukti dapat menunjukkan
perlu atau tidaknya pengembangan suatu bukti dilakukan auditor. Apabila dari hasil
evaluasi menunjukkan perlunya pengembangan bukti maka langkah selanjutnya yang
dilakukan auditor adalah penerapan berbagai teknik audit untuk mengumpulan bukti
yang dibutuhkan.
Menurut Investigation Procedures Manual For The Investigation And
Resolution Of Complaints, Department Of Justice Civil Rights Division, USA,
disebutkan dua hal yang perlu diantisipasi dalam melakukan evaluasi bukti, yaitu
mengenai urutan proses kejadian (Sequence) dan kerangka waktu kejadian (Time
Frame).

Kedua hal tersebut dalam audit umumnya dijabarkan dalam bentuk bagan arus
kejadian (Flowchart Modus Operandi) atau dalam bentuk naratif yang
menggambarkan kronologi fakta kejadian.
1. Bagan Arus Kejadian (Flowchart Modus Operandi)
Flowchart merupakan salah satu teknik untuk memudahkan pemahaman suatu
proses kejadian. Melalui penyusunan bagan arus kejadian (Flowchart Modus
Operandi) dapat diketahui Apa Siapa Bilamana dan Bagaimana suatu proses kejadian
terjadi. Perbuatan Tindak Pidana Korupsi yang dilakukan dalam suatu rangkaian
proses kejadian umumnya dikenal dengan istilah kasus posisi.
Kasus posisi merupakan suatu titik awal dan akhir dari perbuatan tindak pidana
korupsi. Posisi awal perbuatan umumnya ditandai dengan suatu perbuatan yang tidak
sesuai dengan ketentuan (perbuatan melawan hukum), sedang posisi akhir dari
perbuatan adalah adanya keuntungan pribadi atau pihak lain atau golongan.
Keuntungan pribadi atau golongan tersebut, disisi lain menimbulkan kerugian negara
dan atau perekonomian negara.
2. Kronologi Fakta
Kronologi fakta dijabarkan dalam bentuk naratif dengan memperhatikan aspek waktu
kejadian. Dalam menyusun kronologi fakta kejadian, ada satu hal yang perlu
diwaspadai auditor mengenai kemungkinan adanya rekayasa dokumen bukti,
sehingga aspek “Bilamana” yang ditunjukkan dari suatu dokumen bukti tidak
menggambarkan kondisi yang sesungguhnya.
Kronologi fakta harus didasarkan pada urutan kejadian yang sesungguhnya
berdasarkan bukti-bukti yang diterima.

F. SIMPULAN

Evaluasi bukti merupakan suatu tahapan yang sangat menentukan


keberhasilan pelaksanaan audit forensik. Pelaksanaan evaluasi bukti dalam
praktiknya tidak dapat dipisahkan dengan kegiatan pengumpulan bukti.

32
Evaluasi bukti dilakukan tanpa harus menunggu kelengkapan bukti yang
diterima. Selama proses audit, evaluasi bukti dilakukan secara periodik untuk menilai
apakah hipotesis yang disusun telah menggambarkan fakta kejadian sesungguhnya.
Di akhir audit lapangan, evaluasi bukti dilakukan untuk menilai apakah simpulan ada
atau tidak adanya tindak pidana korupsi didasarkan pada kualitas dan kuantitas bukti-
bukti yang memenuhi kaedah hukum yang berlaku.

33
DAFTAR PUSTAKA

Association of Chief Police Officers (ACPO) Good Practice Guide for Digital Evidence,
& Digital Forensik Module
Albrecht, W. Steve, Fraud Examination, Thomson, South – Western
Alvin A. Arens, Elder and Beasley, Auditing and Assurance Serivices, 10th Edition,
Pretice Hall, 2005.
Bologna, Jack, Corporate Fraud: The Basics of Prevention andf Detection, Butterworth
Publishers, Boston, 1984
Designing a Robust Fraud Prevention Program, The Wite Paper Vol. 18 No. 1
January/February 2004, Association of Certified Fraud Examiner.
Fraud Examiners Manual, 3rd Edition, Association of Certified Fraud Examiners, Inc.,
Austin, 2000
http://bangfajars.wordpress.com/2009/09/03/pengertian-evaluasi-menurut-pakar/
Management Anti Fraud Programs and Controls, down load dari ACFE Web Site :
www.CFEnet.com/services/FrdPrevCheckUp.asp.
Office of Public Management, NSW Premier’s Department, Fraud Control : Developing
an Effective Strategy, Volume 1Conceptual Framework.
----------, Fraud Control : Developing an Effective Strategy, Volume 2 Strategy.
----------, Fraud Control : Developing an Effective Strategy, Volume 3 Diagnostic
Tuanakotta, Theodorus M. 2010. Akuntansi Forensik dan Audit Investigatif. Jakarta:
Salemba Empat.
Opentext tm GUIDANCE Software

34

Anda mungkin juga menyukai