Anda di halaman 1dari 30

MODUL

PENDIDIKAN DAN PELATIHAN


AUDITOR FORENSIK

BUKU

MELAKUKAN
IV PENELAAHAN & PERENCANAAN
AUDIT FORENSIK

2017
KATA PENGANTAR

Adanya komitmen dari pemerintah untuk memberantas Korupsi, Kolusi, dan


Nepotisme pada berbagai aspek pelaksanaan tugas umum pemerintahan dan pembangunan
tercermin dari adanya Ketetapan MPR No. XI/MPR/1998 dan Undang-Undang No. 28 Tahun
1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN.

Guna mendukung terwujudnya komitmen tersebut, melalui penyelenggaraan


pendidikan dan pelatihan teknis Anti Korupsi, terutama untuk memperoleh sertifikasi
auditor forensik (CFrA) diharapkan dapat terjadi proses percepatan peningkatan
pengetahuan, kompetensi, dan profesionalisme para auditor forensik. Untuk mencapai
tujuan dan sasaran diklat tersebut, kami berusaha untuk menyediakan bahan diklat sebaik-
baiknya dan sesuai dengan kondisi terkini.

Perlu kami tekankan bahwa modul “Melakukan Penelaahan & Perencanaan Audit
Forensik” ini bukan satu-satunya referensi yang berkaitan dengan substansi materi
pencegahan fraud. Peserta diklat diharapkan dapat memperkaya pemahaman melalui
berbagai referensi lainnya yang sejenis.

Akhir kata, kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
memberikan sumbangan pikiran maupun tenaga untuk terwujudnya modul ini.

Jakarta, April 2015

i
DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I PENDAHULUAN 1
A. TUJUAN PEMBELAJARAN UMUM 2
B. TUJUAN PEMBELAJARAN KHUSUS 3
C. DESKRIPSI SINGKAT STRUKTUR MODUL 3
D. METODE PEMBELAJARAN 4
BAB II STANDAR KERJA KOMPETENSI NASIONAL INDONESIA (SKKNI)
MELAKUKAN PENELAAHAN & PERENCANAAN AUDIT FORENSIK 5
A. JUDUL DAN DESKRIPSI UNIT 5
B. ELEMEN DAN KRITERIA UNJUK KERJA 6
BAB III IDENTIFIKASI DAN PENELAAHAN MASALAH 8
A. PENYIAPAN BAHAN-BAHAN PENELAAHAN 8
B. PENELAAHAN INFORMASI AWAL 11
C. PENYUSUNAN LAPORAN HASIL PENELAAHAN 16
BAB IV PERENCANAAN AUDIT FORENSIK 17
A. PENYUSUNAN AUDIT PROGRAM 22
B. PENYIAPAN SUMBER DAYA 23
C. PENYIAPAN PENUGASAN 25

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN

Audit forensik dapat diartikan sebagai suatu metodologi dan pendekatan khusus dalam
menelisik kecurangan (fraud), atau audit yang bertujuan untuk membuktikan ada atau
tidaknya fraud yang dapat digunakan dalam proses litigasi. Audit forensik merupakan
keahlian audit yang diperlukan untuk membuktikan dan mengungkapkan eksistensi kasus
sampai dengan penyelesaiannya termasuk penelusuran dan pemulihan terhadap aset atau
jumlah kerugian yang diakibatkan oleh kecurangan tersebut. Begitu besarnya manfaat dari
audit forensik terutama sejak terungkapnya kasus-kasus big fish baik kasus internasional
yang menghebohkan dunia seperti kasus Enron, World.Com, Sociale Generale Bank, maupun
kasus-kasus nasional yang menghilangkan uang negara dan privat hingga trilyunan rupiah,
menjadi “magnet” bagi para ahli di bidang akunting dan auditing untuk mengembangkan
jenis audit forensik.
Fakta-fakta berkaitan dengan fraud yang diungkapkan dalam laporan hasil audit
forensik harus dapat diuji dengan bukti-bukti yang diperoleh selama audit forensik
berlangsung. Sistem hukum yang berlaku memberikan aturan yang ketat mengenai alat-alat
bukti yang diakui dan diterima dalam proses hukum di Indonesia. Agar hasil audit forensik
dapat ditindaklanjuti dalam proses hukum, maka bukti-bukti tersebut harus sesuai dengan
aturan hukum yang berlaku.
Ketatnya batasan terhadap fakta-fakta dan bukti-bukti audit forensik yang harus
dikumpulkan untuk dijadikan dasar dalam pengambilan simpulan akan terjadinya fraud
antara lain adalah sebagai akibat dari seriusnya dampak yang akan dihadapi oleh pihak-pihak
yang terlibat dan bertanggung jawab dalam kejadian kecurangan tersebut. Di samping itu
auditor dapat pula menghadapi tuntutan hukum dari pihak yang merasa dirugikan akibat
kesalahan auditor yang mengambil simpulan dari fakta-fakta yang tidak lengkap.
Dalam audit forensik terdapat tiga hal yang saling berhubungan dan tidak dapat
dipisahkan satu sama lain, yaitu mutu (quality), waktu (time) dan biaya (cost). Ada atau
tidaknya temuan yang diperoleh dalam suatu audit forensik bukanlah merupakan ukuran
utama atas bermutu atau tidaknya audit forensik yang dilakukan. Suatu audit forensik akan
dikatakan bermutu apabila seluruh proses yang dilakukan dalam kegiatan audit forensik

3
dapat dipertanggungjawabkan secara profesional. Mutu hasil audit forensik senantiasa akan
sangat dipengaruhi oleh waktu (time) dan biaya (cost) yang digunakan dalam pelaksanaan
audit forensik. Namun demikian, penggunaan waktu dan biaya yang sangat besar dan
cenderung tidak rasional tidaklah dengan sendirinya menjamin mutu hasil audit forensik.
Penggunaan waktu dan biaya dan sumber daya lainnya yang tersedia untuk
pelaksanaan audit forensik harus direncanakan dengan baik. Perencanaan dalam audit
forensik bertujuan untuk mencapai mutu audit forensik yang optimal melalui kegiatan audit
forensik yang terarah dengan pengelolaan waktu dan biaya secara efisien. Audit forensik
yang direncanakan dengan baik akan sangat membantu mengarahkan staf dalam
melaksanakan audit forensik. Perencanaan audit forensik akan dapat disusun dengan baik
apabila tersedia informasi yang cukup berkaitan dengan apa yang direncanakan akan
dikerjakan.
Dalam audit forensik, informasi yang memadai berkaitan dengan fakta-fakta
kecurangan sangat jarang tersedia, sehingga menyulitkan dalam penyusunan rencana audit
forensik. Agar perencanaan dalam audit forensik dapat dilakukan dengan baik, maka harus
dilakukan beberapa kegiatan dalam tahap pra perencanaan (preliminary planning activities).
Pra perencanaan dalam audit forensik meliputi proses kegiatan pengidentifikasian masalah
yang memerlukan kegiatan audit forensik, penyusunan hipotesis awal atas masalah yang
diidentifikasikan dan pengolahan hipotesis hingga ditetapkannya simpulan berupa layak atau
tidaknya dilakukan suatu audit forensik terhadap masalah tersebut.
Dengan kata lain, keputusan awal untuk melakukan atau tidak melakukan audit
forensik ditetapkan berdasarkan hasil kegiatan pra perencanaan. Di samping itu, hasil dari
kegiatan yang dilakukan dalam tahap pra perencanaan juga sangat bermanfaat sebagai dasar
dalam penyusunan rencana audit forensik.

A. TUJUAN PEMBELAJARAN UMUM


Setelah mempelajari modul ini, para peserta diklat diharapkan dapat melaksanakan
identifikasi masalah dan penelaahan atas perintah atasan atau permintaan pihak yang
berwenang berdasarkan pada pengaduan masyarakat atau temuan dari audit operasional
atau sumber informasi lainnya. Selain itu, para peserta diklat juga diharapkan dapat
melakukan perencanaan audit forensik setelah diperolehnya hasil penelaahan awal atas
informasi tentang dugaan adanya fraud.

4
B. TUJUAN PEMBELAJARAN KHUSUS
Kemampuan yang diharapkan dari pembelajaran ini bagi peserta pelatihan adalah
sebagai berikut:
1. Kemampuan menyiapkan bahan-bahan penelaahan;
2. Kemampuan melakukan penelaahan;
3. Kemampuan analisis informasi kasus (masalah) menjadi hipotesis;
4. Kemampuan menyusun laporan hasil penelaahan;
5. Kemampuan menyusun program audit forensik;
6. Kemampuan mendokumentasikan seluruh langkah-langkah kerja perencanaan audit
forensik;
7. Kemampuan menyiapkan dan mengalokasikan sumber daya;
8. Kemampuan menyiapkan surat penugasan audit forensik.

C. DESKRIPSI SINGKAT STRUKTUR MODUL


Modul ini terdiri dari lima bab dengan deskripsi sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini memuat Tujuan Pembelajaran Umum, Tujuan Pembelajaran Khusus,
Struktur Modul, dan Metode Pembelajaran.
BAB II STANDAR KOMPETENSI KERJA NASIONAL INDONESIA (SKKNI)
Bab ini menguraikan unit kompetensi, elemen kompetensi, dan kriteria unjuk kerja
terkait dengan kemampuan auditor forensik melakukan penelaahan dan
perencanaan sesuai dengan SKKNI.
BAB III IDENTIFIKASI DAN PENELAAHAN MASALAH
Bab ini menerangkan langkah-langkah seorang auditor forensik untuk
mengidentifikasi dan menelaah suatu masalah terkait audit forensik. Mulai dari
penerimaan informasi awal hingga simpulan hasil penelaahan informasi awal yang
akan digunakan untuk melakukan perencanaan audit forensik.
BAB IV PERENCANAAN AUDIT FORENSIK
Bab ini menerangkan langkah-langkah yang harus dilakukan auditor forensik dalam
perencanaan audit forensik.

5
D. METODE PEMBELAJARAN
Metode pembelajaran untuk mata ajaran ini adalah dengan menggunakan metode
ceramah, diskusi, dan tanya jawab. Penggunaan metode ini dimaksudkan untuk
meningkatkan kemampuan peserta dalam memahami materi penelaahan dan perencanaan
audit forensik yang diajarkan.

6
BAB II
STANDAR KOMPETENSI KERJA NASIONAL INDONESIA (SKKNI)
PENELAAHAN DAN PERENCANAAN AUDIT FORENSIK

Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia yang selanjutnya disingkat SKKNI, adalah
rumusan kemampuan kerja yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan dan/atau
keahlian, serta sikap kerja yang relevan dengan pelaksanaan tugas dan syarat jabatan yang
ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dengan dikuasainya standar kompetensi tersebut oleh seseorang, maka yang
bersangkutan akan mampu:
1. Mengerjakan suatu tugas atau pekerjaan
2. Mengorganisasikan agar pekerjaan tersebut dapat dilaksanakan
3. Apa yang harus dilakukan bilamana terjadi sesuatu yang berbeda dengan rencana
semula
4. Menggunakan kemampuan yang dimilikinya untuk memecahkan masalah atau
melaksanakan tugas dengan kondisi yang berbeda
Standar kompetensi kerja sebagaimana dimaksud dalam deskripsi tersebut di atas,
diformulasikan dengan menggunakan format Regional Model of Competency Standard
(RMCS). Standar kompetensi format RMCS adalah standar kompetensi yang dikembangkan
berdasar pada fungsi-fungsi dan tugas-tugas yang ada pada bidang pekerjaan dan bukan
berdasar pada jabatan.

A. JUDUL DAN DESKRIPSI UNIT


Modul ini terdiri dari dua Unit Kompetensi Kerja. Judul dan deskripsi masing-masing
unit kompetensi dalam modul ini adalah sebagai berikut:
1. Melakukan Identifikasi dan Penelaahan Masalah, deskripsi unit berkaitan dengan
pengetahuan, keterampilan dan/atau keahlian, serta sikap kerja yang dibutuhkan dalam
pengidentifikasian masalah yang meliputi penyiapan dan penelaahan pengaduan, serta
pelaporan hasil telaahan pengaduan dan permintaan pihak yang berkepentingan.
2. Melakukan Perencanaan Audit Forensik, deskripsi unit berkaitan dengan pengetahuan,
keterampilan dan/atau keahlian, serta sikap kerja dalam perencanaan audit forensik

7
yang meliputi penyusunan program audit, penyiapan sumber daya, dan penyiapan surat
penugasan audit.

B. ELEMEN DAN KRITERIA UNJUK KERJA


Elemen dari masing-masing unit kompetensi Penelaahan dan Perencanaan Audit
Forensik adalah sebagai berikut:
1. Melakukan Identifikasi dan Penelaahan Masalah, dengan elemen kompetensi dan
kriteria unjuk kerja sebagai berikut:
1) Menyiapkan bahan-bahan penelaahan
a. Informasi laporan, pengaduan, dan informasi berkaitan terjadinya fraud sudah
dikumpulkan;
b. Ketentuan peraturan perundang-undangan yang terkait laporan, pengaduan, dan
informasi berkaitan dengan masalah fraud sudah disiapkan;
2) Melakukan penelaahan
a. Materi pengaduan telah di analisa sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan
(5 W dan 1 H);
b. Informasi tambahan telah dikumpulkan;
3) Menyusun laporan hasil penelahaan
a. Unsur-unsur pengaduan telah diidentifikasikan dengan jelas;
b. Hipotesa telah disusun sesuai dengan hasil analisis;
c. Keputusan melakukan audit forensik ditetapkan;
2. Melakukan Perencanaan Audit Forensik, dengan elemen kompetensi dan unjuk kerja
sebagai berikut:
1) Menyusun audit program
a. Hipotesis hasil simpulan telaah telah disiapkan;
b. Audit program telah disusun sesuai dengan hipotesis;
2) Menyiapkan sumber daya
a. Tenaga auditor telah disiapkan sesuai dengan pengalaman, pengetahuan yang
dibutuhkan dalam penugasan;
b. Sarana dan prasarana pelaksanaan audit telah disiapkan sesuai dengan audit
program;

8
c. Anggaran waktu yang dibutuhkan untuk pelaksanaan audit program telah
disusun;
d. Komunikasi yang diperlukan telah dibangun dan ditetapkan.
3) Menyiapkan surat penugasan
a. Komposisi keahlian tim telah disusun sesuai permasalahan yang akan diaudit;
b. Susunan dan posisi dalam tim telah ditentukan sesuai dengan pengalaman;
c. Surat Tugas telah ditandatangani oleh pejabat yang berwenang;

9
BAB III
IDENTIFIKASI DAN PENELAAHAN MASALAH

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “penelaahan” dapat diartikan atau
didefinisikan sebagai berikut:
“penelaahan n proses, cara, perbuatan menelaah”
“menelaah v 1 mempelajari; menyelidik; mengkaji; memeriksa; menilik: kita perlu ~
buku-buku yg mutakhir; 2 meramalkan: ia minta agar dukun itu ~ nasib dirinya;”

Kegiatan identifikasi dan penelaahan masalah, sebagaimana yang diatur dalam Keputusan
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor: KEP.46/MEN/II/2009 tentang Penetapan
Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia Bidang Audit Forensik, dapat diartikan sebagai
kegiatan mempelajari, menyelidiki, mengkaji, memeriksa, dan menilik suatu informasi kasus
(masalah) atas perintah atasan atau permintaan pihak yang berwenang berdasarkan pada
pengaduan masyarakat atau temuan dari audit operasional atau sumber informasi lainnya.
Kegiatan identifikasi dan penelaahan masalah meliputi tahapan kegiatan penyiapan dan
penelaahan pengaduan (informasi kasus/masalah), serta pelaporan hasil telaahan
pengaduan dan permintaan pihak yang berkepentingan.
Suatu audit forensik baru dapat dilakukan apabila telah ada suatu predikasi
(predication) yang valid, yaitu keadaan-keadaan yang menunjukkan bahwa fraud telah,
sedang, dan akan terjadi. McKay et. al. dalam Golden et. al. (2006) mengatakan: “Predication
is the basis for undertaking a fraud investigation” (predication adalah dasar untuk melakukan
investigasi fraud). Senada dengan hal tersebut, Tuanakotta (2010) mengatakan bahwa
langkah pertama akuntan forensik dalam audit investigatifnya adalah menyusun predication.
Fraud Examiners Manual (2006) menjelaskan predication sebagai berikut:
“Predication is the totality of circumstances that would lead a reasonable,
professionality, trained, and prudent individual to believe a fraud has occurred, is
occurring, and/or will occur. Predication is the basis upon which an examination is
commenced. Fraud examinations should not be conducted without proper predication.”
(“Predication adalah keseluruhan dari peristiwa, keadaan pada saat peristiwa itu, dan
segala hal yang terkait atau berkaitan yang membawa seseorang yang cukup terlatih
dan berpengalaman dengan kehati-hatian yang memadai, kepada kesimpulan bahwa
fraud telah, sedang, atau akan berlangsung. Predication adalah dasar untuk memulai
investigasi. Investigasi atau pemeriksaan fraud jangan dilaksanakan tanpa adanya
predication yang tepat.”)

10
Setiap investigasi dimulai dengan keinginan atau harapan bahwa kasus ini berakhir dengan
suatu litigasi. Padahal ketika memulai audit, auditor belum memiliki bukti yang cukup, baru
mempunyai dugaan atas dasar predication. Oleh karena itu, setiap dugaan atas dasar
pengaduan masyarakat atau temuan dari audit operasional atau sumber informasi lainnya
harus dilakukan penelaahan (analisis data/informasi yang tersedia).

A. PENYIAPAN BAHAN-BAHAN PENELAAHAN


Bahan-bahan penelaahan yang perlu disiapkan berupa informasi laporan, pengaduan,
dan informasi lainnya yang berkaitan dengan terjadinya fraud. Disamping itu, auditor
juga perlu menyiapkan dan menelaah ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berkenaan dengan laporan, pengaduan, dan informasi lainnya yang berkaitan dengan
masalah fraud.
1. Sumber Informasi Awal
Audit forensik pada dasarnya merupakan respon atau tanggapan terhadap
sinyalemen atau dugaan adanya tindakan kecurangan (fraud) yang diterima oleh
institusi/unit kerja audit. Sinyalemen atau dugaan terjadinya fraud merupakan
informasi awal yang berfungsi sebagai alat untuk membuka langkah pelaksanaan
pekerjaan audit forensik. Informasi awal dapat berupa pengaduan masyarakat, berita
media massa, permintaan untuk melakukan audit forensik, ataupun informasi dalam
bentuk dan dari sumber lainnya.
Pengaduan masyarakat, berita media massa, permintaan audit, atau informasi
lainnya berkaitan dengan fraud yang diterima oleh institusi/unit kerja audit dapat
berasal dari berbagai sumber dan dalam berbagai bentuk. Di samping dari sumber-
sumber di dalam organisasi, laporan/pengaduan yang berisi informasi tentang
terjadinya fraud dapat pula berasal dari pihak-pihak lain di luar organisasi, baik dari
orang-orang yang memiliki kepedulian maupun dari orang-orang yang memiliki
kepentingan. Sumber informasi dari luar berasal dari berbagai pihak, seperti rekanan
pemasok (supplier), pembeli (buyer), LSM (terkait dengan lingkungan, persaingan,
perburuhan, HAM) dan kelompok masyarakat lainnya.
Informasi awal tentang terjadinya fraud yang bersumber dari dalam
organisasi dapat berasal baik dari unit-unit lain maupun dari individu-individu yang
ada di dalam organisasi. Institusi/unit kerja audit dapat memperoleh permintaan

11
untuk melakukan audit forensik dari unit kerja yang mensinyalir terjadinya fraud di
unitnya atau di unit lain. Orang-orang yang bekerja di dalam organisasi yang memiliki
kepedulian terhadap integritas organisasi dan orang-orang di dalamnya tidak akan
tinggal diam apabila mengetahui terjadinya fraud. Orang-orang seperti ini akan
berusaha menyampaikan informasi yang sangat bermanfaat bagi institusi/unit kerja
audit dalam mewujudkan organisasi yang bersih dan bebas dari Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme (KKN).
Whistle-blower dan saluran pengaduan (anonym hotline) merupakan unsur
penting dalam pencegahan dan pendeteksian fraud yang dapat juga digunakan
sebagai sumber informasi awal bagi auditor forensik untuk melakukan audit.
Pengaduan dari karyawan adalah cara paling umum untuk mendeteksi fraud dan
saluran pengaduan adalah mekanisme pelaporan pengaduan tersebut.
Fraud sering terungkap dan terbongkar oleh orang-orang yang memiliki
pengetahuan dalam organisasi, termasuk karyawan, kontraktor, pelanggan, dan lain-
lain. Sekretaris atau pemegang buku yang telah lama bekerja dengan perusahaan
akan tahu di mana semua data disembunyikan dan jika diberi kesempatan, mereka
akan memberikan informasi yang berharga untuk didengarkan penyidik, auditor,
maupun wartawan. Selain disebut sebagai whistle blower, orang-orang seperti ini
juga biasa disebut Informan Rahasia (Confidential Informants/CIS) atau Sumber
Rahasia. Merespon panggilan anonym hotline dan juga pengaduan dari whistle
blower harus menjadi prioritas utama bagi sebuah organisasi. Respon yang cepat
akan membangun kepercayaan dan juga menghilangkan keraguan potensial tentang
komitmen perusahaan terhadap perilaku perusahaan yang etis dan budaya
kepatuhan.
Pelapor fraud yang potensial haruslah mempunyai cara komunikasi sebanyak
mungkin. Hal ini termasuk pelaporan melalui telepon, e-mail, surat, atau faximilie.
Makin banyak dan bervariasinya laporan yang dimiliki perusahaan, makin besar
peluang informasi penting akan disajikan. Siapapun yang mengurus hotline bagi suatu
organisasi harus memiliki sistem dan pengamanan yang tepat untuk menerima dan
menanggapi tiap jenis laporan.

12
2. Penerimaan Informasi Awal
Agar dapat melaksanakan fungsinya dengan baik, institusi/unit kerja audit
harus mengembangkan saluran-saluran informasi yang dapat digunakan untuk
memperoleh informasi berkaitan dengan adanya fraud. Saluran-saluran yang
disediakan untuk menyampaikan informasi adanya fraud juga harus dipublikasikan
agar dapat diketahui oleh orang-orang yang ada di dalam organisasi maupun oleh
masyarakat luas.
Informasi yang disampaikan kepada institusi/unit kerja audit harus diterima
dan didokumentasikan dengan baik. Penerimaan dan respon yang baik terhadap
informasi awal yang disampaikan kepada institusi/unit kerja audit akan memberikan
kesan positif bagi pemberi informasi. Kesan positif yang tumbuh ini akan membuat
pemberi informasi senantiasa mempercayakan informasi tentang fraud yang
diketahuinya kepada institusi/unit kerja audit untuk ditindaklanjuti.
Apabila dimungkinkan, sedapat mungkin digali informasi yang selengkap-
lengkapnya dari orang yang menyampaikan informasi pada saat informasi awal
diterima. Hal ini akan lebih memudahkan pelaksanaan audit forensik. Informasi awal
tersebut masih memerlukan penelaahan lebih mendalam untuk menentukan apakah
cukup alasan untuk dilakukan audit forensik.

B. PENELAAHAN INFORMASI AWAL


Informasi yang diterima oleh institusi/unit kerja audit dari laporan/pengaduan
tentang terjadinya fraud pada umumnya tidak berisi hal-hal yang spesifik, tetapi sangat
umum dan bersifat tendensius. Sebagai unit yang independen dan profesional,
institusi/unit kerja audit harus melihat dan menangani informasi awal tersebut secara
obyektif dengan melakukan analisis atau penelaahan terhadap informasi tersebut.
Penelaahan dilakukan dengan menganalisis muatan fakta dan data yang ada di
dalam informasi yang disampaikan. Auditor harus menganalisis apakah fakta-fakta yang
diungkapkan di dalam pengaduan tersebut merupakan fakta-fakta yang aktual, logis,
atau hanya merupakan hasil imajinasi si pelapor. Dalam hal ini, Auditor yang melakukan
penelaahan harus dapat menyelami jalan pikiran si pelapor agar tidak terjadi perbedaan
persepsi dalam menerjemahkan dan memahami apa yang sesungguhnya hendak
disampaikan dalam pengaduan tersebut. Data yang dimuat di dalam pengaduan juga

13
harus dianalisis untuk menguji apakah data tersebut relevan dan logis mendukung fakta-
fakta yang dimuat dalam pengaduan.
Salah satu pendekatan yang digunakan dalam menilai cukup tidaknya alasan untuk
dilakukan audit forensik adalah kecukupan informasi untuk menjawab pertanyaan 5W
(What, Who, Where, When, serta Why ) dan 1H (How).
Informasi awal yang diterima dilakukan analisis kecukupan kriteria 5H+1H. Yang
dimaksud dengan analisis adalah menguraikan seluruh informasi pengaduan apa adanya
ke dalam unsur-unsur 5W + 1H, yaitu:
1. Jenis penyimpangan dan dampaknya (What/Apa)
Informasi yang ingin diperoleh adalah substansi penyimpangan yang diadukan.
Informasi ini berguna dalam hipotesa awal yang menentukan unsur melawan hukum
dan/atau jenis-jenis penyimpangan yang dilakukan serta dampak adanya
penyimpangan.
2. Pihak-pihak yang bertanggung jawab/terkait (Who/Siapa)
Informasi ini berkaitan dengan substansi siapa yang melakukan penyimpangan atau
kemungkinan siapa saja yang dapat diduga melakukan penyimpangan/pelanggaran,
dan pihak-pihak yang terkait yang perlu dimintakan keterangan/penjelasan.
3. Tempat terjadinya penyimpangan (Where/Dimana)
Informasi ini berkaitan dengan tempat dimana terjadinya penyimpangan khususnya
organisasi/institusi/unit kerja tempat terjadinya penyimpangan. Informasi ini sangat
berguna dalam menetapkan ruang lingkup audit forensik serta membantu dalam
menentukan locus delictie (tempat dimana penyimpangan tersebut terjadi).
4. Waktu terjadinya penyimpangan (When/Kapan)
Informasi ini berkaitan dengan kapan penyimpangan ini terjadi yang mempengaruhi
penetapan ruang lingkup audit forensik. Penentuan tempus delictie (saat/waktu
terjadinya penyimpangan) ini membantu pengetahuan auditor atas Undang-undang
yang kemungkinan akan disangkakan oleh pihak penyidik sehingga dalam
mengungkapkan fakta dan proses kejadian serta pengumpulan bukti audit dapat
diselaraskan dengan dasar dakwaan apabila kasus tersebut layak diteruskan ke pihak
penyidik.

14
5. Penyebab terjadinya penyimpangan (Why/Mengapa)
Informasi yang ingin diperoleh adalah mengapa seseorang melakukan
penyimpangan. Hal ini berkaitan dengan motivasi seseorang melakukan
penyimpangan yang akan dapat mengarah kepada pembuktian unsur ”intent/niat”
6. Modus penyimpangan (How/Bagaimana)
Informasi ini berkaitan dengan bagaimana penyimpangan tersebut terjadi yang akan
membantu dalam menyusun modus operandi penyimpangan tersebut.
Apabila fakta dan data yang termuat dalam pengaduan tidak mencukupi, auditor
harus melengkapi pengaduan tentang terjadinya fraud dengan informasi tambahan
lainnya. Informasi tambahan dapat dikumpulkan secara terbatas dari berbagai sumber
tanpa harus berhubungan secara langsung dengan pihak yang diduga melakukan fraud,
seperti informasi dari pemasok (supplier), pembeli (buyer) dan konsumen pengguna
barang/jasa, pemberitaan media massa, internet, atau dari informasi yang dimiliki oleh
institusi/unit kerja audit. Institusi/unit kerja audit yang baik akan membangun profil dari
auditan-auditannya berdasarkan data dan informasi historis mengenai fraud yang pernah
terjadi pada kegiatan/orang/lingkungan yang dilaporkan, data dan informasi mengenai
kelemahan pengendalian dan data mengenai tingkat risiko yang terkandung pada
kegiatan/orang/lingkungan yang dilaporkan. Auditor yang melakukan penelaahan harus
membandingkan informasi pengaduan yang diperoleh baik dengan data dan informasi
yang sudah dimiliki oleh unit audit internal maupun dengan data dan informasi lain yang
diperoleh selama kegiatan penelaahan.
Untuk dapat mengambil simpulan dari hasil penelaahan terhadap informasi
mengenai fraud, disusun hipotesis tentang fraud yang terjadi dari informasi dan data
yang diperoleh. Hipotesis adalah keterangan sementara dari hubungan fenomena-
fenomena yang kompleks. Hipotesis juga merupakan pernyataan sementara yang
bersifat terkaan dari hubungan antara dua atau lebih variabel. Hipotesis adalah suatu
taksiran atau referensi yang dirumuskan serta diterima untuk sementara yang dapat
menerangkan fakta-fakta ataupun kondisi-kondisi yang diduga mengandung
penyimpangan dan digunakan sebagai petunjuk untuk menentukan langkah-langkah
audit forensik selanjutnya. Dari penjelasan tersebut, jelas bahwa hipotesis yang disusun
tersebut merupakan keterangan, pernyataan, atau taksiran sementara yang harus diuji
validitasnya.

15
Hipotesis yang disusun dalam pra perencanaan akan sangat bermanfaat dalam
audit forensik untuk:
1. Memberikan batasan serta mempersempit ruang lingkup audit sehingga
pelaksanaan audit forensik dapat lebih efisien.
Keterbatasan sumber daya dan dana yang dimiliki oleh institusi/unit kerja audit
menyebabkan setiap audit forensik yang akan dilaksanakan harus direncanakan
terlebih dahulu. Landasan yang dapat digunakan dalam perencanaan audit forensik
adalah hipotesis yang disusun dalam tahap pra perencanaan. Dari hipotesis tersebut
dapat diperoleh gambaran tentang, apa yang terjadi, dimana, kapan, oleh siapa, dan
mengapa suatu hal terjadi. Dari gambaran tersebut, audit forensik dapat diarahkan
sehingga penetapan batasan dan ruang lingkup audit forensik yang lebih sempit
dapat dilakukan dengan dasar yang dapat dipertanggungjawabkan. Melalui
penetapan batasan dan ruang lingkup yang sempit tersebut, pekerjaan-pekerjaan
yang dimasukkan dalam perencanaan audit forensik dapat diidentifikasi dengan
lebih baik dan terarah. Dengan demikian, sumber daya dan dana yang ada dapat
digunakan secara efisien.
2. Menyiagakan auditor terhadap semua fakta dan hubungan antar fakta yang telah
teridentifikasi.
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, hipotesis disusun berdasarkan fakta-fakta
dan data yang ada dalam pengaduan setelah diolah dan dipadukan dengan fakta-
fakta dan data yang dikumpulkan pada saat penelaahan dilakukan. Pengujian
valitidas hipotesis dilakukan antara lain dengan melakukan pengujian terhadap
validitas semua fakta dan data yang telah teridentifikasi dan digunakan dalam
penyusunan hipotesis tersebut. Di samping itu, terhadap fakta-fakta dan data yang
telah teridentifikasi pada saat penyusunan hipotesis harus diuji hubungannya
dengan membandingkan fakta dan data yang telah teridentifikasi dan digunakan
dalam penyusunan hipotesis tersebut dengan fakta dan data yang diperoleh pada
saat audit forensik dilaksanakan. Dengan digunakannya hipotesis sebagai panduan
dalam kegiatan pengujiannya, auditor akan senantiasa waspada terhadap semua
fakta dan hubungan antar fakta yang telah teridentifikasi.

16
3. Sebagai alat dalam membangun fakta-fakta yang tercerai-berai tanpa koordinasi ke
dalam suatu kesatuan penting dan menyeluruh
Hipotesis yang disusun dalam tahap pra perencanaan merupakan format bingkai
yang masih harus diisi dan dilengkapi dengan fakta-fakta dan data sehingga
diperoleh gambaran yang utuh dan sebenar-benarnya atas suatu peristiwa yang
berkaitan dengan fraud. Fakta-fakta yang diperoleh dalam pelaksanaan audit
forensik seringkali tidak diterima secara berurutan sesuai dengan kejadian
sesungguhnya. Untuk dapat mengkoordinasikan fakta-fakta yang tercerai-berai
tersebut ke dalam suatu gambaran sementara yang utuh, fakta-fakta tersebut harus
dimasukkan dan dibangun dalam bingkai hipotesis yang telah disusun sebelumnya.
4. Sebagai pedoman dalam pengujian fakta dan hubungan antar fakta.
Hipotesis yang disusun dalam tahap pra perencanaan merupakan alat yang menjadi
pedoman untuk menentukan apakah fakta-fakta yang dikumpulkan pada saat
pelaksanaan audit forensik merupakan fakta-fakta yang relevan yang dapat menguji
validitas hipotesis. Di samping itu, hipotesis juga dapat digunakan sebagai pedoman
dalam menguji apakah antara fakta-fakta yang terkumpul dalam kegiatan audit
forensik memiliki hubungan antara satu dengan lainnya atau hanya merupakan
fakta-fakta yang berdiri sendiri tanpa keterkaitan.
Dari hipotesis yang telah disusun dalam tahap pra perencanaan, dapat
diidentifikasikan hal-hal yang berkaitan dengan pelanggaran apa yang dilakukan,
ketentuan-ketentuan apa yang dilanggar, siapa, kapan, bagaimana, dan dimana
terjadinya pelanggaran tersebut. Dari hipotesis tersebut selanjutnya dirumuskan
simpulan yang berupa cukup atau tidaknya indikasi untuk pelaksanaan audit forensik.
Apabila simpulan yang dirumuskan menyatakan tidak diperoleh indikasi yang cukup
berkaitan terjadinya fraud, maka institusi/unit kerja audit tidak perlu ragu untuk
menyatakan bahwa audit forensik tidak perlu dilaksanakan. Sebaliknya, apabila simpulan
yang dirumuskan menyatakan bahwa terdapat indikasi yang cukup mengenai terjadinya
fraud, maka segera harus ditindaklanjuti dengan melakukan persiapan untuk
melaksanakan audit forensik. Kriteria yang digunakan dalam pengambilan simpulan akan
layak atau tidaknya suatu audit forensik dilakukan adalah terpenuhinya unsur-unsur delik
dari aturan hukum yang dikenakan.

17
C. PENYUSUNAN LAPORAN HASIL PENELAHAAN
Laporan Hasil Penelaahan harus dapat memastikan bahwa unsur-unsur pengaduan
telah diidentifikasikan dengan jelas, hipotesa telah disusun sesuai dengan hasil analisis,
sehingga keputusan untuk melakukan audit investigatif dapat ditetapkan.
Penelaahan yang telah dilakukan terhadap informasi awal dan simpulannya
dituangkan ke dalam bentuk resume hasil penelaahan awal. Resume ini sekurang-
kurangnya harus memuat hal-hal sebagai berikut:
1. Sumber Informasi
Dalam bagian ini diuraikan identitas pihak yang menyampaikan informasi dan asal
informasi fraud yang diperoleh institusi/unit kerja audit.
2. Materi Pengaduan
Dalam bagian ini diuraikan secara jelas materi pengaduan yang ada dalam surat
pengaduan.
3. Hasil Telaahan
Dalam bagian ini diuraikan hasil analisis yang dilakukan terhadap materi pengaduan
dan informasi tambahan yang berhasil diperoleh untuk melengkapi materi
pengaduan tersebut. Dalam bagian ini penelaah mengungkapkan hipotesis awal
yang dapat dibangun berdasarkan seluruh informasi yang berhasil dihimpun tanpa
mempertimbangkan apakah hipotesis tersebut memperkuat ataupun melemahkan
materi pengaduan yang diterima.
4. Simpulan dan Rekomendasi
Dalam bagian ini diuraikan simpulan penelaah atas pengaduan dan rekomendasi
yang diajukan atas simpulan tersebut yang menyarankan 2 (dua) kemungkinan yaitu:
1) Cukup alasan untuk dilakukan audit forensik
2) Tidak cukup alasan dilakukan audit forensik.

Resume hasil telaahan harus ditandatangani oleh petugas yang melakukan


penelaahan dan dicantumkan identitasnya, selanjutnya direviu secara berjenjang oleh
pejabat/petugas yang berwenang untuk memberikan keputusan akhir apakah simpulan
hasil penelaahan awal tersebut dapat ditindaklanjuti ataukah ada fakta-fakta atau data
lainnya yang harus dipertimbangkan oleh penelaah untuk memperbaiki telaahan dan
simpulannya.

18
BAB IV
PERENCANAAN AUDIT FORENSIK

Menurut Kamus Besar Bahasa indonesia, kata “perencanaan” dapat diartikan atau
didefinisikan sebagai berikut:
”perencanaan n hal merencanakan; hal merancangkan”
“merencanakan v 1 mengonsep (membuat, menyusun konsep): ~ cerita; 2 merancang;
mereka-reka; mengupayakan: ~ pembangunan kota; 3 menguraikan; menceritakan;
melaporkan (menyusun laporan, perslah); 4 memaksudkan: ~ uang ini untuk membeli
beras”

Beberapa definisi perencanaan menurut para pakar adalah sebagai berikut:


1. Garth N. Jone, Perencanaan adalah suatu proses pemilihan dan pengembangan tindakan
yang paling baik untuk pencapaian tugas.
2. M. Farland, Perencanan adalah suatu fungsi dimana pimpinan kemungkinan
menggunakan sebagian pengaruhnya untuk mengubah wewenangnya.
3. Abdulrachman (1973), Perencanaan adalah pemikiran rasional berdasarkan fakta-fakta
dan/atau perkiraan yang mendekat (estimate) sebagai persiapan untuk melaksanakan
tindakan-tindakan kemudian.
4. Siagian (1994), Perencanaan adalah keseluruhan proses pemikiran dan penentuan
secara matang hal-hal yang akan dikerjakan di masa yang akan datang dalam rangka
pencapaian yang telah ditentukan.
5. Terry (1975), Perencanaan adalah pemilihan dan menghubungkan fakta-fakta, membuat
serta menggunakan asumsi-asumsi yang berkaitan dengan masa datang dengan
menggambarkan dan merumuskan kegiatan-kegiatan tertentu yang diyakini diperlukan
untuk mencapai suatu hasil tertentu.
6. Kusmiadi (1995), Perencanaan adalah proses dasar yang kita gunakan untuk memilih
tujuan-tujuan dan menguraikan bagaimana cara pencapaiannya.
7. Soekartawi (2000), Perencanaan adalah pemilihan alternatif atau pengalokasian
berbagai sumber daya yang tersedia.
Menurut Supardiyo (2009), Perencanaan audit adalah total lamanya waktu yang
dibutuhkan oleh auditor untuk melakukan perencanaan audit awal sampai pada
pengembangan rencana audit dan program audit menyeluruh.

19
Kegiatan Perencanaan Audit Forensik, sebagaimana yang diatur dalam Keputusan
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor: KEP.46/MEN/II/2009 tentang Penetapan
Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia Bidang Audit Forensik, dapat diartikan sebagai
kegiatan merancang audit forensik setelah diperolehnya hasil penelaahan awal atas
informasi tentang dugaan adanya fraud, yang meliputi tahapan kegiatan penyusunan
program audit, penyiapan sumber daya, dan penyiapan surat penugasan audit forensik.
Kegiatan perencanaan dalam audit forensik merupakan salah satu hal yang penting
karena kesalahan yang dibuat pada awal audit forensik dapat menyebabkan kegagalan yang
fatal. Meskipun tenaga profesional terlatih yang melakukan audit forensik, namun kekeliruan
dalam pengelolaan dapat saja terjadi. Tanpa proses perencanaan yang fleksibel dan
sederhana, risiko kesalahan dan audit forensik yang kehilangan arah akan meningkat.
Terdapat berbagai macam model dan pendekatan perencanaan audit forensik. Namun,
perlu diingat bahwa model dan pendekatan apapun yang digunakan harus memberikan
keyakinan bahwa model dan pendekatan tersebut adalah yang memberikan hasil yang paling
baik. Perencanaan harus fleksibel dan sesuai dengan permasalahan yang sedang dihadapi
serta sumber daya yang tersedia. Tiga elemen dasar yang menentukan bagaimana sebuah
audit forensik dikelola adalah kualitas, waktu, dan biaya. Ketiga elemen tersebut sama
pentingnya dan saling tergantung satu sama lain.

KUALITAS

WAKTU BIAYA

Gambar 4.1: Tiga Elemen Dasar

Ketiga elemen tersebut harus terus-menerus dimonitor dan dikelola. Terlepas dari
model apapun yang digunakan dalam perencanaan, tiga elemen ini memainkan peran yang
penting.

20
Salah satu model dan pendekatan dalam perencanaan yang dapat digunakan adalah
SMEAC system yang merupakan suatu model perencanaan yang biasa digunakan oleh pihak
kepolisian dan militer dalam merencanakan kegiatan operasi. Model ini adalah pendekatan
terstruktur yang mencakup seluruh elemen dasar sebuah proyek atau operasi dan dapat
digunakan sebagai kerangka kerja untuk mengembangkan rencana yang lebih detil sesuai
dengan keadaan.
SMEAC sendiri merupakan akronim dari Situation, Mission, Execution, Administration
and Logistics, Communication yang dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Situation
Situasi merupakan gambaran tentang keadaan yang sedang terjadi dan gambaran
keadaan tersebut dituangkan dalam suatu pernyataan situasi/situation statement yang
memuat tentang apa yang telah terjadi dan bagaimana keadaannya pada saat ini. Dalam
merumuskan suatu pernyataan tentang situasi harus diperhatikan bahwa pernyataan
tersebut harus ringkas dan hanya mengungkapkan fakta yang sudah diketahui. Jangan
pernah menambahkan asumsi apapun dalam merumuskan pernyataan situasi. Seiring
dengan berjalannya audit forensik mungkin juga terjadi bahwa telah terjadi perubahan
dalam situasi. Perubahan situasi tersebut harus selalu diinformasikan kepada tim audit
forensik.
2. Mission
Misi merupakan harapan yang hendak dicapai. Misi ini dituangkan dalam suatu
pernyataan/mission statement yang secara ringkas menggambarkan hasil yang
diharapkan akan dicapai dalam pelaksanaan investigasi. Dalam merumuskan suatu
pernyataan misi harus diperhatikan bahwa pernyataan tersebut mengandung suatu
harapan yang masuk akal tentang apa yang hendak dicapai. Dalam suatu operasi yang
besar, misi dapat dijabarkan lebih lanjut ke dalam sub-sub komponen yang saling terkait
dalam pencapaian misi secara keseluruhan. Setiap individu yang terlibat dalam
investigasi harus memahami misi yang hendak dicapai dan mengetahui perannya
masing-masing dalam pencapaian misi tersebut.
3. Execution
Bagian ini merupakan bagian yang paling utama dari perencanaan dan memuat suatu
uraian rinci tentang bagaimana misi dapat dicapai. Bagian ini memuat komponen-

21
komponen perencanaan yang menggambarkan secara rinci peranan dan tanggung
jawab setiap individu.
4. Administration and Logistics
Bagian ini memuat beberapa hal antara lain uraian rinci mengenai nama, jabatan, dan
lokasi dari semua individu yang terlibat dalam operasi. Beberapa hal yang harus
diperhatikan dalam menyusun Administration and Logistic adalah sebagai berikut:
1) Harus secara jelas menguraikan tugas dan tujuan serta hasil yang akan dicapai
beserta waktu yang tersedia. Tujuan, hasil yang akan dicapai, serta waktu yang
diberikan haruslah rasional dan dapat dicapai;
2) Mencakup rincian mengenai dukungan tenaga ahli yang diperlukan, bagaimana dan
dalam situasi apa bantuan tersebut akan dimanfaatkan;
3) Uraian mengenai pendelegasian, pemisahan tugas, dan wewenang;
4) Uraian mengenai peralatan khusus yang mungkin akan digunakan, ketersediaannya,
dan siapa yang bertanggung jawab untuk itu;
5) Contingency planning juga dapat dimasukkan untuk mengantisipasi masalah yang
sudah dapat diperkirakan;
6) Hal-hal lain yang penting bagi investigasi yang membutuhkan penggunaan sumber
daya, yang dapat mencakup risiko yang telah dapat diidentifikasi;
5. Communication
Kegagalan suatu investigasi, project, atau suatu operasi seringkali disebabkan masalah
komunikasi. Pengalaman menunjukkan bahwa kegagalan perencanaan banyak diwarnai
oleh kegagalan berkomunikasi atau gagalnya sistem komunikasi.
Seperti halnya sebuah project, dalam komunikasi juga diperlukan adanya matrik
komunikasi. Matrik ini menguraikan secara rinci dari arus informasi (siapa melapor
kepada siapa) dan waktu pelaporan serta kepada siapa laporan harus diserahkan. Setiap
model perencanaan investigasi yang baik akan selalu menggunakan matrik komunikasi.
Seringkali, untuk menunjang sistem komunikasi diperlukan adanya masalah-masalah
rinci ke dalam sistem komunikasi, misalnya seperti daftar nomor telepon selular, alamat
e-mail dari staf operasional.
Kegagalan dalam sistem komunikasi akan mengakibatkan kegagalan investigasi. Dalam
sistem komunikasi harus dipastikan bahwa garis komunikasi terbuka dan termanfaatkan
sepenuhnya.

22
Matrik yang dapat digunakan dalam merencanakan investigasi, sebagai berikut:
1) The Evidence Matrix (Matrik bukti)
Matrik bukti sangat penting artinya dalam suatu investigasi. Matrik bukti memuat
secara rinci bukti-bukti yang harus dikumpulkan untuk mengungkapkan suatu fakta,
dimana bukti tersebut dapat diperoleh dan siapa yang bertanggung jawab untuk
memperolehnya. Bukti yang dimaksudkan disini adalah segala jenis bukti termasuk
keterangan dari saksi, dokumen hasil analisis forensik atau jenis bukti fisik lainnya.
Matrik juga harus mencantumkan nama investigator yang memperoleh bukti
tersebut, digunakan untuk apa, waktu diperolehnya (jam dan tanggal), lokasinya
dan referensi ke “daftar bukti” jika dimungkinkan.
Jika terdapat suatu tindakan yang dilakukan terhadap suatu bukti, misalnya analisis
sidik jari, maka harus dicatat mengenai apa yang telah dilakukan terhadap bukti
yang bersangkutan dan siapa yang melakukan tindakan tersebut.
Matrik bukti jika dimanfaatkan dengan benar akan dapat memberikan kepastian
bahwa semua bukti yang diperlukan untuk mendukung suatu dugaan telah
diidentifikasi dan jika mungkin telah diperoleh.
Matrik bukti juga dapat digunakan sebagai alat yang membantu menunjukkan
bahwa continuity (kesinambungan penanganan bukti) telah dilaksanakan dengan
baik. Matrik bukti juga harus secara jelas menunjukkan siapa yang bertanggung
jawab atas pengelolaan suatu bukti dan harus terdapat suatu reviu sebagai bagian
dari quality assurance system yang digunakan dalam investigasi.
2) Matrik Sumber Daya
Matrik ini menggambarkan sumber daya yang tersedia untuk suatu investigasi,
berisi nama-nama dan keahlian tertentu dari investigator dan staf pendukung yang
dapat diberdayakan dalam tugas investigasi. Dalam memberikan tugas kepada
investigator harus diperhatikan bahwa tugas yang diberikan adalah sesuai dengan
keahlian yang dimiliki. Untuk ini, pimpinan harus memahami dengan baik mengenai
kekuatan dan kelemahan stafnya sehingga dapat mengoptimalkan potensi mereka
dalam rangka memberikan hasil investigasi yang optimal pula.
Dalam situasi dimana investigasi dilakukan terhadap suatu kasus yang cukup rumit
yang memerlukan sejumlah waktu dan sumber daya yang ada, pimpinan perlu

23
menjadual tugas-tugas secara tepat sehingga waktu tidak terbuang dan sumber
daya yang diperlukan akan tersedia pada waktu dan tempat yang tepat.
3) Lembar Tugas – Matrik Penugasan
Dalam suatu investigasi yang besar, kompleks dan lama, perlu diselenggarakan
suatu daftar lembar tugas yang terpisah, yang biasa disebut dengan Matrik
Penugasan.
Untuk operasi yang lebih kecil yang hanya melibatkan sejumlah kecil investigator,
penggunaan Matriks Penugasan mungkin menjadi tidak praktis. Dalam hal ini,
investigator sebaiknya menyusun suatu “daftar hal yang harus dikerjakan” dari
semua hal penting yang telah diidentifikasi agar dapat menyelesaikan operasi
dengan sukses.
Matrik penugasan menyajikan secara rinci dan spesifik dari tugas yang diberikan
kepada investigator, nama investigator yang diberi tugas dan pimpinan yang
menugaskan. Juga dicatat tanggal dan jam suatu tugas diberikan dan kapan tugas
tersebut diprogramkan akan selesai. Matrik juga harus secara gamblang
menyatakan sifat dari penugasan yang diberikan dan mungkin termasuk penilaian
kemungkinan risiko dalam pelaksanaannya.
4) Matrik Penilaian Risiko
Matriks ini biasanya digunakan pada operasi dengan skala besar, yang
mengidentifikasi risiko, derajat kemungkinan terjadinya, dan antisipasi apa yang
dimiliki untuk mengeliminasi atau mengurangi kemungkinan terjadinya risiko
tersebut.
Penilaian atas risiko tersebut harus dapat memberikan keamanan bagi operasinya
sendiri maupun personil investigator.

A. PENYUSUNAN AUDIT PROGRAM


Penyusunan program audit forensik harus memperhatikan hasil penelaahan
informasi awal yang diarahkan kepada pengujian hipotesis awal dan penilaian
pengendalian manajemen melalui pengumpulan dan pengevaluasian bukti-bukti untuk
pengungkapan fakta dan proses kejadian, pihak-pihak yang terlibat dalam proses
kejadian, serta penyebab dan dampak penyimpangan.

24
Bukti-bukti yang dikumpulkan adalah seluruh bukti-bukti yang relevan dan
kompeten untuk membuktikan unsur-unsur tersebut di atas, dan memenuhi syarat-
syarat bukti yang diterima menurut hukum yang berlaku. Pengumpulan bukti-bukti
secara uji petik untuk perumusan simpulan audit forensik tidak dibenarkan.
Program audit disusun dan dilaksanakan dengan urutan prioritas sebagai berikut:
1. Pembuktian unsur TPK
2. Pembuktian kasus perdata
3. Pembuktian unsur TP/TGR dan pelanggaran disiplin Pegawai Negeri Sipil.
Untuk menyusun langkah-langkah kerja audit perlu terlebih dahulu dipahami
kegiatan yang diaudit, antara lain:
1. Susunan organisasi dan uraian pembagian tugas.
2. Peraturan-peraturan yang berkaitan dengan kegiatan yang diaudit.
3. Mekanisme kegiatan yang diperiksa termasuk formulir yang digunakan.
4. Pihak-pihak lain yang terkait dengan kegiatan yang diaudit.
Sering terjadi bahwa pemahaman secara rinci terhadap hal-hal di atas baru benar-benar
diketahui oleh tim audit pada saat melaksanakan audit di lapangan, sehingga perlu
dilakukan revisi/penambahan/penyempurnaan/penyesuaian langkah-langkah audit
dengan kondisi di lapangan.

B. PENYIAPAN SUMBER DAYA


Tahapan selanjutnya dalam perencanaan audit forensik setelah tahap penyusunan
audit program adalah penyiapan sumber daya. Sumber daya yang perlu disiapkan terdiri
dari tenaga auditor (Sumber Daya Manusia), sarana dan prasarana, sumber dana, serta
anggaran waktu yang dibutuhkan dengan tetap membangun dan menetapkan
komunikasi selama pelaksanaan audit forensik. Institusi/unit kerja audit harus mengelola
dan memanfaatkan sumber daya yang dimilikinya secara ekonomis, efisien, dan efektif
serta memprioritaskan alokasi sumber daya tersebut pada kegiatan yang mempunyai
risiko besar. Sarana dan prasarana pelaksanaan audit disiapkan sesuai dengan audit
program, demikian pula anggaran waktu, biaya, dan tenaga yang dibutuhkan untuk
pelaksanaan audit program telah ditetapkan.
Tenaga auditor disiapkan sesuai dengan pengalaman dan pengetahuan yang
dibutuhkan dalam penugasan audit forensik. Ketepatan dalam memilih auditor yang

25
ditugaskan sangat menentukan keberhasilan audit. Petugas yang ditunjuk untuk
melakukan audit forensik biasanya terdiri dari:
1. Seorang Pengendali Mutu
2. Seorang Pengendali Teknis
3. Seorang atau lebih Ketua Tim
4. Seorang atau lebih Anggota Tim
Jangka waktu audit forensik disesuaikan dengan kebutuhan dan dicantumkan dalam
surat tugas audit forensik. Jika diperlukan perpanjangan waktu, harus dibuatkan surat
tugas perpanjangan audit forensik yang didukung dengan alasan yang jelas. Aspek waktu
dalam menyusun rencana penugasan audit forensik merupakan aspek strategis yang
tidak dipisahkan dengan aspek-aspek strategis lainnya dan sangat menentukan tingkat
keberhasilan pencapaian tujuan audit.
Anggaran biaya audit forensik, baik anggaran biaya dalam kota maupun luar kota,
harus direncanakan seefisien mungkin tanpa mengurangi pencapaian tujuan audit
forensik tersebut. Karena sifatnya, biaya audit forensik disesuaikan dengan kebutuhan
dan alasan yang dapat dipertanggungjawabkan. Keberhasilan suatu penugasan audit
forensik bukan saja dipengaruhi oleh faktor-faktor teknis audit dan sumber daya manusia
saja, akan tetapi bergantung pula pada sumber dana pendukungnya. Perencanaan
kebutuhan dana tidak dapat berdiri sendiri, akan tetapi sangat terkait dengan faktor-
faktor lainnya dalam perencanaan suatu penugasan audit forensik.

Gambar 4.2: Audit Program – Sumber Daya – Surat Tugas

26
Penggunaan sumber daya berupa tenaga auditor, sarana dan prasarana, waktu dan
biaya dalam pelaksanaan audit forensik harus selalu dikomunikasikan kepada pejabat
yang terkait dalam institusi/unit kerja audit. Dalam beberapa kasus audit forensik,
terutama audit forensik yang bersifat sensitif, pimpinan mungkin perlu membatasi
jumlah informasi yang akan disebarkan kepada staf atau bahkan mungkin juga kepada
personil tim audit investigatif yang lebih senior. Hal ini dilakukan karena sifat dari
kasusnya atau karena kompleks dan besarnya kasus sehingga untuk memberikan semua
informasi kepada semua pihak akan memakan waktu lama dan membuang sumber daya.
Dalam situasi seperti ini, pimpinan harus melakukan pertemuan secara teratur untuk
memastikan bahwa informasi minimum yang dibutuhkan telah diketahui oleh para staf
sehingga mereka tetap dapat melaksanakan tugasnya secara efektif.
Dalam kasus lain, dimana informasi harus dirahasiakan, pimpinan harus membuat
suatu proses yang memastikan kerahasiaan dan menyelenggarakan catatan mengenai
apa yang telah dilaporkan, kepada siapa dan kapan. Demikian juga terhadap staf yang
dianggap tidak perlu mengetahui jangan sampai mereka merasa bahwa mereka telah
kehilangan arah atau dikesampingkan.
Dalam keadaan apapun, pimpinan harus menjelaskan kepada staf bahwa untuk
alasan keamanan, terdapat pembatasan mengenai apa yang bisa didiskusikan dan
diberikan. Prosedur keamanan yang tepat harus dipahami dan diikuti oleh semua staf.
Hindari bahwa staf merasa bahwa pembatasan informasi ini karena alasan-alasan
pribadi.
Pada situasi tertentu dimana terdapat risiko yang berpengaruh terhadap kesehatan
dan keamanan staf, mereka harus diberitahu mengenai hal tersebut, sumbernya dan
tindakan apa yang harus dilakukan untuk melindungi mereka. Staf jangan pernah
dibiarkan bekerja secara “buta”. Kebutuhan untuk mengetahui harus diimbangi dengan
hak untuk mengetahui.

C. PENYIAPAN SURAT PENUGASAN


Setelah menyelesaikan berbagai langkah mulai dari penyusunan audit program sampai
dengan perencanaan sumber daya, selanjutnya dilakukan tahap penyiapan surat
penugasan. Komposisi keahlian tim audit disusun sesuai permasalahan yang akan
diaudit. Susunan dan posisi dalam tim audit ditentukan sesuai dengan kompetensi dan

27
pengalaman. Selanjutnya konsep surat tugas diajukan kepada pihak-pihak yang
berwenang dalam institusi/unit kerja audit untuk memperoleh persetujuan untuk
kemudian surat tugas ditandatangani oleh pejabat yang berwenang.

28
DAFTAR PUSTAKA

Association Certified of Fraud Examiners, 2008, Fraud Examiners Manual, Austin, Texas:
Association Certified of Fraud Examiners, Inc.,

Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Modul Pendidikan dan Pelatihan
Penjenjangan Pengendali Teknis, Perencanaan Penugasan Audit, 2010, Jakarta: Pusat
Pendidikan dan Pelatihan Pengawasan BPKP.

Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Pedoman Penugasan Bidang


Investigasi, 2009, Jakarta: Deputi Bidang Investigasi.

Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, Modul Pendidikan dan Pelatihan Audit
Investigatif, Modul Pra dan Perencanaan, 2007, Jakarta: Pusat Pendidikan dan
Pelatihan Pengawasan BPKP.

Golden, T. W., Skalak, S.T., Clayton, M. M., 2006, A Guide to Forensic Accounting
Investigation, New York: John Wiley & Sons, Inc.

Kamus Besar Bahasa Indonesia, Tim Prima Pena, Gitamedia Press.

Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No: KEP-46/MEN/II/2009. PENETAPAN


STANDAR KOMPETENSI KERJA NASIONAL INDONESIA BIDANG AUDIT FORENSIK.

Tuanakota, Theodorus M., 2010, Akuntansi Forensik dan Audit Investigatif, Jakarta,
Indonesia: Salemba 4.

http://h0404055.wordpress.com/2010/04/02/arti-perencanaan-menurut-para-ahli/

29

Anda mungkin juga menyukai