Anda di halaman 1dari 21

LEMBAGA PEMBIAYAAN BISNIS

Daffa Januar Muttaqien, Neng Sofie Sa’idah,


Kartika Andiani Haryanto, dan Adzani Putri Nurahmah
Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Widyatama, Bandung

BAB I
PENDAHULUAN
Lembaga pembiayaan bisnis memainkan peran yang sangat penting dalam
mendukung pertumbuhan dan perkembangan bisnis di seluruh dunia. Lembaga ini
menyediakan dana yang diperlukan bagi perusahaan untuk mengembangkan produk,
memperluas operasi, atau memenuhi kebutuhan keuangan lainnya. Dalam konteks ekonomi
global yang terus berubah dan berkembang, lembaga pembiayaan bisnis memiliki peran yang
krusial dalam membantu perusahaan mengatasi tantangan keuangan dan mencapai tujuan
bisnis mereka.
Di era globalisasi ini, bisnis memiliki tantangan yang semakin kompleks dan
persaingan yang semakin ketat. Untuk tetap relevan dan berkelanjutan, perusahaan
membutuhkan sumber daya finansial yang memadai. Namun, tidak semua perusahaan
memiliki akses langsung ke dana yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan mereka. Di sinilah
lembaga pembiayaan bisnis masuk ke dalam permainan.
Lembaga pembiayaan bisnis adalah organisasi yang menyediakan dana kepada
perusahaan untuk membiayai proyek bisnis mereka. Mereka dapat berupa bank, lembaga
keuangan non-bank, atau entitas lain yang memiliki sumber daya finansial yang cukup untuk
memberikan pembiayaan kepada perusahaan yang membutuhkannya. Lembaga pembiayaan
bisnis ini berperan sebagai perantara antara perusahaan dan sumber dana yang dibutuhkan,
membantu mengurangi risiko dan memberikan dukungan finansial yang diperlukan.
Tujuan utama dari lembaga pembiayaan bisnis adalah memberikan akses keuangan
kepada perusahaan yang belum memiliki akses ke pasar modal atau bank konvensional.
Mereka mampu memberikan solusi pembiayaan yang disesuaikan dengan kebutuhan unik
setiap perusahaan, termasuk pembiayaan modal kerja, pembiayaan investasi, dan pembiayaan
proyek khusus. Lembaga pembiayaan bisnis juga dapat memberikan nasihat dan bimbingan
kepada perusahaan dalam mengelola risiko dan mengoptimalkan penggunaan dana yang
mereka terima.
Salah satu jenis lembaga pembiayaan bisnis yang umum adalah lembaga pembiayaan
faktoring. Faktoring adalah proses di mana perusahaan menjual piutang mereka kepada
lembaga pembiayaan untuk mendapatkan dana tunai segera. Dalam hal ini, lembaga
pembiayaan membayar sebagian atau seluruh nilai faktur kepada perusahaan dan kemudian
mengumpulkan pembayaran dari pelanggan perusahaan tersebut. Faktoring memberikan
likuiditas instan kepada perusahaan dan mengurangi risiko terkait dengan piutang yang tidak
tertagih.
Selain faktoring, ada juga lembaga pembiayaan yang menyediakan pinjaman modal
usaha kepada perusahaan. Pinjaman ini dapat digunakan untuk berbagai keperluan, seperti
membiayai ekspansi bisnis, menggaji karyawan, membeli peralatan baru, atau memenuhi
kebutuhan modal kerja. Lembaga pembiayaan bisnis ini menawarkan solusi yang fleksibel
dan cepat, dengan persyaratan yang lebih mudah dibandingkan dengan pinjaman bank
tradisional.
Pentingnya lembaga pembiayaan bisnis dalam ekosistem bisnis tidak dapat diabaikan.
Mereka memberikan akses keuangan yang sangat dibutuhkan kepada perusahaan, terutama
bagi mereka yang tidak memiliki akses langsung ke pasar modal atau bank tradisional.
Lembaga pembiayaan bisnis juga membantu meningkatkan likuiditas dan mempercepat
pertumbuhan ekonomi dengan menyediakan dana kepada perusahaan yang dapat digunakan
untuk menghasilkan produk dan layanan baru, menciptakan lapangan kerja, dan memperluas
operasi mereka.
Dalam beberapa tahun terakhir, lembaga pembiayaan bisnis telah mengalami
perkembangan yang pesat, terutama dengan adanya perkembangan teknologi dan inovasi
finansial. Perusahaan teknologi keuangan atau yang dikenal sebagai fintech, telah memasuki
pasar pembiayaan bisnis dengan solusi yang lebih efisien dan transparan. Mereka
menggunakan teknologi dan analisis data untuk memberikan pembiayaan yang lebih cepat,
dengan persyaratan yang lebih fleksibel, dan biaya yang lebih rendah.
Namun, meskipun keberadaan lembaga pembiayaan bisnis sangat penting dan
bermanfaat bagi perkembangan bisnis, ada beberapa risiko yang perlu diperhatikan. Salah
satunya adalah risiko kredit, di mana lembaga pembiayaan dapat menghadapi risiko default
atau ketidakmampuan perusahaan untuk membayar kembali pinjaman atau pembiayaan yang
diberikan. Oleh karena itu, lembaga pembiayaan bisnis harus melakukan analisis risiko yang
cermat dan memastikan bahwa perusahaan yang mereka biayai memiliki kualitas kredit yang
baik.
Di Indonesia, lembaga pembiayaan bisnis diatur oleh hukum yang mengatur tentang
industri keuangan. Salah satu undang-undang yang menjadi dasar hukum bagi lembaga
pembiayaan bisnis adalah Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
Selain Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, terdapat juga peraturan-peraturan
turunan yang lebih rinci mengenai lembaga pembiayaan bisnis. Contohnya adalah Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan Nomor 31/POJK.05/2014 tentang Kegiatan Usaha Pembiayaan
Berbasis Teknologi Informasi.
Peraturan ini mengatur mengenai lembaga pembiayaan bisnis yang berbasis teknologi
informasi, seperti fintech peer-to-peer lending. Peraturan ini mengatur persyaratan pendirian,
perizinan, pengawasan, dan perlindungan konsumen untuk lembaga pembiayaan bisnis
berbasis teknologi informasi.
Dengan adanya regulasi dan hukum yang mengatur lembaga pembiayaan bisnis,
diharapkan dapat menciptakan lingkungan yang aman dan terpercaya bagi para pelaku bisnis
dan konsumen. Hal ini juga memastikan bahwa lembaga pembiayaan bisnis beroperasi sesuai
dengan prinsip-prinsip yang adil, transparan, dan bertanggung jawab.
Dalam kesimpulan, lembaga pembiayaan bisnis memiliki peran yang penting dalam
memfasilitasi kegiatan bisnis dan membantu pertumbuhan ekonomi. Di Indonesia, lembaga
pembiayaan bisnis diatur oleh undang-undang dan peraturan yang mengatur pendirian,
perizinan, pengawasan, dan kegiatan operasionalnya. Dengan adanya regulasi ini, diharapkan
lembaga pembiayaan bisnis dapat beroperasi dengan baik dan memberikan manfaat yang
maksimal bagi perkembangan perekonomian.

BAB II
TINJAUAN LITERATUR
2.1 Lembaga Pembiyaaan Bisnis
Lembaga pembiayaan diatur dalam Keputusan Presiden No. 61 Tahun 1988 tentang
Lembaga Pembiayaan dan Keputusan Menteri Keuangan No. 1251/KMK.013/1988 tentang
Ketentuan dan Tata cara Pelaksanaan Lembaga Pembiayaan. Menurut Pasal 1 angka (2)
Keppres No. 61 Tahun 1988 tentang Lembaga Pembiayaan, adalah badan usaha yang
melakukan kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan dana atau barang modal dengan
tidak menarik dana secara langsung dari masyarakat (Idham, 2016).
Menurut Perpres No. 84/PMK.012/2006, perusahaan pembiayaan adalah badan usaha
di luar Bank dan Lembaga Keuangan Bukan Bank yang khusus didirikan untuk melakukan
kegiatan yang termasuk dalam bidang usaha Lembaga Pembiayaan. Kegiatan usaha
perusahaan pembiayaan dalam Pasal 2 ayat (1) Keppres No. 61 Tahun 1988, meliputi: 1)
Perusahaan modal ventura; 2) Sewa guna usaha (leasing company); 3) Perdagangan surat
berharga (securities company); 4) Usaha kartu kredit; 5) Pembiayaan konsumen; dan 6)
Anjak Piutang (factoring).
2.1.1 Perusahaan Modal Ventura
Perusahaan Modal Ventura, adalah badan usaha yang melakukan usaha pembiayaan/
penyertaan modal ke dalam suatu perusahaan yang menerima bantuan pembiayaan (investee
company) utuk jangka waktu tertenu dalam bentuk penyertaan saham, penyertaan melalui
pembelian obligasi konversi, dan atau pembiayaan berdasarkan pembagian atas hasil usaha
(Sofia et al., 2021).
Berdasarkan Keputusan Presiden (1988) No. 61 Tahun 1988 terkait Lembaga
Pembiayaan dan Kepmenkeu (1988) Nomor 1251/KMK.013/1988 tentang Ketentuan dan
Tata Cara Pelaksanaan Lembaga Pembiayaan Modal Ventura dalam Pasal 1 ayat (11)
KEPRES, memiliki defenisi bahwa suatu usaha pembiayaan dalam bentuk penyertaan modal
ke dalam suatu perusahaan yang menerima bantuan pembiayaan untuk jangka waktu tertentu.
Jenis pembiayaan modal ventura menurut Lestari (2005) terbagi menjadi 3 (tiga)
yaitu: (1) Pembiayaan melalui investasi langsung yaitu berupa penyertaan saham kedalam
perusahaan investee; (2) Pembiayaan semi equity finanching yaitu pembelian obligasi
konversi oleh perusahaan modal ventura kepada perusahaan investee, obligasi tersebut
diterbitkan oleh investee, adapun tingkat pengembalian yang diperoleh perusahaan modal
ventura bersifat tetap yaitu berupa bunga obligas; dan (3) Pembiayaan usaha produktif
yaitu pembiayaan yang ditujukan kepada perusahaan yang belum berbadan hukum
sehingga terdapat beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh perusahaan
investee sehingga pembiayaan bisa dilakukan oleh perusahaan modal ventura (Sofia et al.,
2021).
2.1.2 Sewa Guna Usaha (Leasing Company)
Keputusan Presiden RI Nomor 61 Tahun 1988 tentang lembaga pembiayaan Pasal 1
ayat (9) yaitu Perusahan Sewa Guna Usaha (leasing company) adalah badan usaha yang
melakukan usaha pembiayaan, dalam bentuk penyediaan barang modal baik secara finance
lease maupun operating lease untuk digunakan oleh penyewa guna usaha selama jangka
waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara berkala (Noor et al., 2021).
Dalam usaha leasing ada beberapa pihak yang terlibat, yaitu.
1. Pihak yang disebut lessor, yaitu pihak yang menyewakan barang, dapat juga terdiri
dari beberapa perusahaan.
2. Pihak yang disebut lease, yaitu pihak yang menikmati barang tersebut dengan
mempunyai hak opsi.
3. Pihak kreditur atau lender atau juga debt-holder, atas loan participants dalam
transaksi leasing. Mereka umumnya terdiri dari bank, insurance company, trusts,
yayasan.
4. Pihak supplier, yaitu penjual dan pemilik barang yang disewakan. Supplier ini dapat
terdiri dari perusahaan yang berada di dalam negeri atau yang mempunyai kantor
pusat di luar negeri.
2.1.3 Usaha Kartu Kredit
Usaha kartu kredit merupakan usaha dalam kegiatan pemberian kredit atau
pembiayaan untuk pembelian barang atau jasa yang penasrikannya dilakukan dengan kartu
kredit. Secara teknis kartu kredit berfungsi sebagai sarana pemindah bukuan dalam
melakukan transaksi pembayaran suatu transaksi (Ardha, 2020). Peraturan Bank Indonesia
No.7/52/PBI/2005 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunkan
Kartu, yang telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia No.10/8/PBI/2008 dan terakhir
diubah dengan Peraturan Bank Indonesia No. 11/11/PBI/2009 tentang Penyelenggaraan
Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu. Pasal 1 ayat (4) yaitu Kartu Kredit
adalah APMK yang dapat digunakan untuk melakukan pembayaran atas kewajiban yang
timbul dari suatu kegiatan ekonomi, termasuk transaksi pembelanjaan dan/atau untuk
melakukan penarikan tunai, dimana kewajiban pembayaran pemegang kartu dipenuhi oleh
terlebih dahulu acquireratau penerbit, dan pemegang kartu berkewajiban untuk melakukan
pembayaran pada waktu yang disepakati baik dengan pelunasan secara sekaligus (charge
card) maupun dengan secara angsuran.
Dalam usaha kartu kredit ada beberapa pihak yang terlibat, yaitu.
1. Pihak penerbit (issuer), yang terdiri dari bank, lembaga keuangan yang khusus
bergerak di bidang penerbitan kartu kredit, dan lembaga keuangan yang disamping
bergerak di dalam penerbitan kartu kredit, bergerak juga di bidang kegiatan-kegiatan
lembaga keuangan lainnya.
2. Pihak pemegang kartu kredit (card holder), pihak yang memiliki hak untuk membeli
barang dan/atau jasa dengan munggunakan kartu kredt, dengan atau tanpa batas
maksimum.
3. Pihak penjual barang dan/atau jasa, pihak yang barang dan/atau jasanya dibeli oleh
pembelinya dan meminta hak atas pelunasan harga barang dan/atau jasa dengan kartu
kredit.
4. Pihak perantara, terdiri dari perantara penagihan (antara penjual dan penerbit) disebut
juga acquirer yang merupakan pihak yang meneruskan tagihan penerbit berdasarkan
taguhan yang masuk kepada yang diberikan oleh barang dan/atau jasa dan perantara
pembayaran (antara pemegang dan penerbit) yang merupakan bank-bank dimana
pembayaran kredit/harga dilakukan oleh pemilik kartu kredit.
2.1.4 Pembiayaan Konsumen
Pembiayaan konsumen merupakan salah satu model pembiayaan yang dilakukan oleh
oleh lembaga pembiayaan (Prasetyawati, 2012). Dikemukakan oleh Richard Brton
Simatupang bahwa “Secara informal, lembaga pembiayaan konsumen ini telah tumbuh sejak
lama sebagai bagian dari aktivitas perdagangan, tetapi secara formal baru diakui sejak tahun
1988 melalui SK Menteri Keuangan Nomor 1251/KMK.013/1988 tentang Ketentuan dan
Tata Cara Pelaksanaan Lembaga Pembiayaan, yang secara formal mengatur kegiatan usaha
pembiayaan ke permukaan, sebagai bagian resmi sektor jasa keuangan.”
2.1.5 Anjak Piutang (Factoring)
Anjak piutang adalah piutang dagang yang merupakan benda bergerak tak bertubuh
(intangible moveable goods) maka perlu diperhatikan ketentuan-ketentuan dalam Bab ke-VI
dan Ke-VII Buku Kesatu KUHD (Mochtar, 2019). Anjak piutang dalam pelaksanaan
perjanjian jual beli maka ia tunduk kepada ketentuan mengenai perjanjian jual beli yang
diatur dalam Pasal 1457 sampai dengan Pasal 1540 Bab ke-V Buku Ketiga Tentang Perikatan
KUH Perdata. Selain itu dikarenakan dalam jual beli tindakan selanjutnya adalah levering
maka perlu diperhatikan Pasal 613 KUH Perdata.
Dalam anjak piutang ada beberapa pihak yang terlibat, yaitu.
1. Perusahaan factoring (factoring company), atau disebut juga factor sebagai suatu
badan usaha yang melakukan kegiatan lembaga pembiayaan dengan bentuk
pembelian dan/atau pengalihan serta pengurusan piutang atau tagihan jangka pendek
perusahaan.
2. Perusahaan penjual piutang atau disebut klien (client), adalah perusahaan yang
menjual atau mengalihkan piutang atau tagihan kepada factor.
3. Nasabah (customer), sebagai pihak yang berutang (debitur) kepada klien dan piutang
tersebut oleh klien dijual atau dialihkan kepada factoring.

BAB III
TINJAUAN KASUS
Penilaian risiko merupakan proses penting bagi lembaga keuangan, termasuk lembaga
keuangan non-bank seperti lima perusahaan yang terkena sanksi OJK. Berikut beberapa
alasan mengapa penilaian risiko penting bagi lembaga keuangan. Penilaian risiko membantu
lembaga keuangan untuk mengidentifikasi dan mengevaluasi risiko yang terkait dengan
produk, layanan, pelanggan, entitas, dan lokasi geografis unik lembaga tersebut. Penilaian
risiko membantu lembaga keuangan untuk menentukan tingkat risiko yang terkait dengan
setiap pelanggan dan menetapkan peringkat risiko untuk setiap pelanggan Penilaian risiko
membantu lembaga keuangan untuk mematuhi pedoman peraturan dan mencegah kejahatan
keuangan seperti pencucian uang, pendanaan teroris, penyuapan, dan korupsi. Penilaian risiko
membantu lembaga keuangan untuk menetapkan pengendalian yang tepat untuk memitigasi
risiko atau menentukan risiko yang tidak dapat diterima untuk dihindari. Penilaian risiko
membantu lembaga keuangan untuk menjaga pelaporan keuangan yang transparan dan
berkualitas tinggi Penilaian risiko membantu lembaga keuangan untuk menjaga reputasi dan
kredibilitas mereka dengan memastikan bahwa mereka beroperasi dengan cara yang aman
dan sehat.
Berdasarkan hasil monitoring yang dilakukan OJK dan juga berakhirnya jangka waktu
peringatan ketiga yang dilayangkan OJK kepada PT. Sumber Artha Mas Finance, PT.
Capitalinc Finance, PT. Sejahtera Pertama Multifinance, PT. Asia Multidana, dan PT. Tirta
Finance. Tidak memenuhi ketentuan Pasal 7 ayat 1a POJK no 10/POJK.05/2014 tentang
penilaian tingkat risiko lembaga jasa keuangan non-bank. Dimana setiap lembaga jasa
keuangan wajib menyampaikan laporan hasil penilaian tingkat risiko sebagaimana dimaksud
pada pasal 6 kepada OJK dengan ketentuan untuk penilaian tingkat risiko posisi akhir tahun
sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat 3 disampaikan paling lambat tanggal 28 februari
tahun berikutnya.
Dengan berakhirnya sanksi peringatan ketiga, maka sesuai dengan ketentuan pasal 10
ayat 1 POJK 10/POJK.05/2014 tentang penilaian tingkat risiko lembaga jasa keuangan non-
bank, yang menyatakan bahwa “Lembaga Jasa Keuangan NOn-Bank, yang tidak memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dapat dikenakan sanksi berupa peringatan
tertulis; denda yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu; kewajiban bagi
direksi atau yang setara pada Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank untuk menjalani penilaian
kemampuan dan kepatutan ulang; Pembatasan kegiatan usaha; pembekuan kegiatan usaha;
pencabutan izin kegiatan usaha” maka dari itu OJK memberikan sanksi pembekuan kegiatan
usaha untuk kelima perusahaan yang bergerak di bidang Jasa Keuangan.
Adapun ketentuan-ketentuan yang diberikan oleh OJK untuk kelima perusahaan ini
yaitu:
1. Kelima Perusahaan yang dikenakan sanksi pembekuan kegiatan dilarang melakukan
kegiatan usaha;
2. Dalam hal sebelum berakhirnya sanksi pembekuan kegiatan usaha, kelima perusahaan
telah memenuhi ketentuan pasal 7 ayat 1a POJK tentang penilaian tingkat risiko
lembaga jasa keuangan non-bank, OJK mencabut sanksi pembekuan kegiatan usaha;
3. Dalam hal sanksi pembekuan kegiatan usaha masih berlaku dan kelima perusahaan
tetap melakukan kegiatan usaha pembiayaan, OJK dapat langsung mengenakan sanksi
pencabutan izin usaha.
4. Dalam hal sampai dengan berakhirnya jangka waktu pembekuan kegiatan usaha,
kelima perusahaan tetap tidak memenuhi ketentuan pasal 7 ayat 1 POJK tentang
penilaian tingkat risiko lembaga jasa keuangan non-bank, OJK mencabut izin usaha
kelima perusahaan tersebut.

BAB IV
PEMBAHASAN
Pada kasus yang terjadi, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah mengambil tindakan
tegas terhadap lima perusahaan jasa keuangan non-bank, yaitu PT. Sumber Artha Mas
Finance, PT. Capitalinc Finance, PT. Sejahtera Pertama Multifinance, PT. Asia Multidana,
dan PT. Tirta Finance. Tindakan ini dilandasi oleh hasil pemantauan kinerja keuangan dan
tingkat risiko yang telah dilakukan oleh OJK.
Menurut regulasi OJK No. 10/POJK.05/2014, setiap lembaga jasa keuangan non-bank
wajib melakukan penilaian tingkat risiko dan melaporkannya kepada OJK. Laporan ini harus
mencakup penilaian tingkat risiko hingga akhir tahun dan harus disampaikan paling lambat
pada tanggal 28 Februari tahun berikutnya.
Dalam kasus ini, kelima perusahaan tersebut ditemukan tidak mematuhi ketentuan
yang diatur dalam Pasal 7 ayat 1a Peraturan OJK No. 10/POJK.05/2014 mengenai penilaian
tingkat risiko lembaga jasa keuangan non-bank. Hal ini menunjukkan adanya masalah dalam
manajemen risiko dan keuangan mereka yang memerlukan perbaikan.
Sebagai respons terhadap ketidakpatuhan ini, OJK memiliki kewenangan untuk
memberikan sanksi, dan dalam kasus ini, mereka memilih sanksi pembekuan kegiatan usaha.
Ini berarti bahwa kegiatan operasional perusahaan-perusahaan tersebut akan dihentikan atau
dibatasi sementara waktu.
Pembekuan kegiatan usaha adalah sanksi serius yang memiliki dampak besar pada
perusahaan. Hal ini dapat mempengaruhi hubungan dengan pelanggan, pemasok, dan
kreditor, serta merugikan reputasi perusahaan. Tujuan dari sanksi ini adalah untuk
mendorong perusahaan-perusahaan tersebut agar segera memperbaiki kepatuhan terhadap
aturan dan standar yang ada.
Kasus ini mencerminkan komitmen OJK dalam menjaga stabilitas dan kepatuhan
dalam industri jasa keuangan non-bank, serta menegaskan pentingnya perusahaan-perusahaan
tersebut untuk segera mengambil langkah-langkah perbaikan yang diperlukan guna
menghindari konsekuensi yang lebih serius.

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Pemenuhan persyaratan terkait pemberian surat izin usaha untuk lembaga pembiayaan
sangat penting karena dapat membuat perusahaan terkena sanksi oleh Otoritas Jasa Keuangan
salah satunya adalah pembekuan dari kelima perusahaan tadi. Salah satu persyaratan dari
pemberian surat izin usaha adalah laporan hasil penilaian risiko. Tujuan utama penilaian
risiko bagi lembaga keuangan, termasuk lembaga keuangan non-bank seperti lima perusahaan
yang terkena sanksi OJK, adalah untuk mengidentifikasi, mengevaluasi, dan mengelola risiko
yang terkait dengan produk, layanan, pelanggan, entitas, dan lokasi geografis mereka.
Dengan mencapai tujuan ini, lembaga keuangan dapat memastikan bahwa mereka beroperasi
dengan cara yang aman dan sehat, mematuhi pedoman peraturan, mencegah kejahatan
keuangan, dan menjaga reputasi dan kredibilitas mereka. Penilaian risiko adalah proses
penting bagi lembaga keuangan untuk mengidentifikasi, mengevaluasi, dan mengelola risiko
yang terkait dengan produk, layanan, pelanggan, entitas, dan lokasi geografis mereka.
Penilaian risiko merupakan proses penting bagi lembaga keuangan, termasuk lembaga
keuangan non-bank, untuk mengidentifikasi, mengevaluasi, dan mengelola risiko yang terkait
dengan produk, layanan, pelanggan, entitas, dan lokasi geografis mereka. Tujuan utama
penilaian risiko bagi lembaga keuangan adalah untuk memastikan bahwa mereka beroperasi
dengan cara yang aman dan sehat, mematuhi pedoman peraturan, mencegah kejahatan
keuangan, dan menjaga reputasi dan kredibilitas mereka. Dengan melakukan penilaian risiko
yang komprehensif, lembaga keuangan dapat menetapkan pendekatan manajemen risiko,
menetapkan peringkat risiko untuk setiap pelanggan, mematuhi pedoman peraturan,
menetapkan kontrol yang tepat untuk memitigasi risiko, menjaga pelaporan keuangan yang
transparan dan berkualitas tinggi, serta menjaga reputasi dan reputasi mereka. kredibilitas.
Lembaga keuangan harus melakukan penilaian risiko secara berkala dan memperbaruinya
ketika produk, layanan, dan jenis pelanggan baru diperkenalkan atau lembaga tersebut
melakukan ekspansi melalui merger dan akuisisi.
5.2 Saran
Saran yang diberikan untuk perusahaan adalah agar segera membuat laporan hasil
penilaian risiko agar Otoritas Jasa Keuangan bisa mencabut sanksi pembekuan izin usaha.
Dengan dicabutnya sanksi tersebut perusahaan dapat kembali menjalankan aktivitas
operasional perusahaan. Untuk kedepannya perusahaan harus lebih memperhatikan syarat
administratif yang perlu dipenuhi terhadap pemerintah agar perusahaan dapat diberikan izin
menjalankan usaha.

DAFTAR PUSTAKA

Ardha, D. J. (2020). Analisis Kasus Pemalsuan Kartu Kredit Sebagai Bentuk Tindak Pidana
Perbankan. Doctrinal, 5(2), 245-263.

Idham, I. (2016). ANALISIS HUKUM TENTANG LEMBAGA PEMBIAYAAN. Justicia


Sains: Jurnal Ilmu Hukum, 1(2), 41-60.

Mochtar, D. A. (2019). Asas Keseimbangan dalam Pelaksanaan Perjanjian Anjak Piutang


(Factoring). Jurnal Cakrawala Hukum, 10(2), 146-155.

Noor, T., Masnun, M., & Putri, K. G. (2021). Aspek Hukum Perjanjian Pembiayaan Sewa
Guna Usaha (LEASING). Jurnal Hukum Al-Hikmah: Media Komunikasi dan
Informasi Hukum dan Masyarakat, 2(3), 501-508.

Prasetyawati, E. (2012). Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pembiayaan


Konsumen. DiH: Jurnal Ilmu Hukum, 8(16), 240028.

Sofia, M., Pratiwi, R. A. I., Tan, F., Bachtiar, N., Putra, F. P., & Hidayat, M. (2021). Modal
Ventura Indonesia. Jurnal Akuntansi Dan Ekonomika, 11(2), 159-166.
LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai