Anda di halaman 1dari 17

MEMBANGUN SINERGITAS

GAKKUMDU DALAM MEMAHAMI


UNSUR – UNSUR TINDAK PIDANA
PEMILU

ABHAN
ADVOKAT /PEGIAT PEMILU
DISAMPAIKAN DALAM WEBINAR BAWASLU WONOGIRI
PENGATURAN PEMILU dan pemilihan

PEMILU
Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum

PEMILIHAN
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang
Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang,
diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2020
TINDAK PIDANA PEMILU/PEMILIHAN
Menurut Pompe, tindak pidana (strafbaar feit) merupakan suatu tindakan yang menurut sesuatu
rumusan undang-undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum. UU 7/2017 (UU
Pemilu) tidak memberikan definisi tindak pidana pemilu, sementara UU 1/2015 beserta
perubahannya (UU Pemilihan) menyebutkan tindak pidana pemilihan merupakan pelanggaran atau
kejahatan terhadap ketentuan Pemilihan sebagaimana diatur dalam UU Pemilihan.

Terdapat 77 tindak pidana yang diatur dalam UU Pemilu (Pasal 488 s.d. Pasal 553) dan terdapat
68 tindak pidana yang diatur dalam UU Pemilihan (Pasal 177 s.d. Pasal 198A).

Dalam UU Pemilu, subyek pidana paling banyak adalah penyelenggara pemilu. Terdapat 26 norma
yang subyek pidananya adalah penyelenggara pemilu, terdiri dari 23 jajaran penyelenggara KPU
dan 3 jajaran Bawaslu. Sementara dalam UU Pemilihan, subyek pidana yang paling banyak diatur
adalah “setiap orang”, terdapat sebanyak 33 norma.

Banyaknya tindak pidana yang diatur, baik dalam UU Pemilu maupun UU Pemilihan,
memperlihatkan bahwa pidana dijadikan sarana utama (premium remedium) dalam menanggulangi
ketidakberesan yang terjadi dalam Pemilu/Pemilihan.
PROBLEMATIKA PENANGANAN TINDAK PIDANA PEMILU/PEMILIHAN

ASPEK NORMA/REGULASI ASPEK TEKNIS

• Masih terdapat norma-norma dalam UU • Sulitnya menyatukan pendapat dalam Gakkumdu


Pemilu maupun UU Pemilihan yang • SDM yang terbatas pada kepolisian dan kejaksaan,
menimbulkan beda penafsiran serta hambatan geografis.
• Batasan waktu penanganan yang • Anggaran yang tidak mendukung kerja-kerja riil
singkat, khususnya dalam Pemilihan Gakkumdu
KONSEP PENEGAKAN HUKUM PEMILU

Bersifat KOREKTIF, penegakan hukum yang


memungkinkan untuk mengubah atau
membatalkan keputusan. (Penyelesaian
TINDAKAN DALAM sengketa, penyelesaian pelanggaran administrasi,
PEMILIHAN YANG TIDAK perselisihan hasil pemilihan umum)
SESUAI PERUNDANG- PENEGAKAN
UNDANGAN (SENGKETA,
PELANGGARAN, ATAU
HUKUM PEMILU
Bersifat PUNITIF, memungkinkan adanya
TINDAK PIDANA)
penjatuhan sanksi, baik administratif maupun
pidana, kepada pelaku pelanggaran.
(Penanganan tindak pidana pemilu,
penyelesaian pelanggaran administrasi TSM)

HAK MEMILIH
(RIGHT TO VOTE)

MELINDUNGI DAN
MEMULIHKAN HAK PILIH PEMILIHAN JUJUR DAN ADIL
HAK DIPILIH
(RIGHT TO BE CANDIDATE)
SEJARAH SENTRA GAKKUMDU DALAM PEMILu DAN
PERKEMBANGANNYA

TAHUN 2013-2014 TAHUN 2015 TAHUN 2016-2020


Sentra Gakkumdu untuk pertama kali mulai Sentra Gakkumdu kemudian diatur juga UU 1/2015 Ttg Pemilihan Gubernur, Bupati, dan
diatur dalam Pasal 267 ayat (1) UU 8/2012 dalam Pasal 152 UU 1/2015 Ttg Pemilihan Walikota diubah beberapa kali terahir dg UU 6
Tentang Pileg. Gubernur, Bupati, dan Walikota. tahun 2020

Pembentukan Gakkumdu berdasarkan Nota Pembentukan Gakkumdu berdasarkan Gakkumdu yang semula diatur melalui Nota
Kesepakatan Bersama Bawaslu, Polri, dan Nota Kesepahaman Bawaslu, Polri, dan Kesepakatan, kemudian diatur melalui
Kejaksaan RI Nomor 01/NKB/BAWASLU/I/2013, Kejaksaan RI Nomor: Peraturan Bersama (Perber) Ketua Bawaslu,
Nomor B/02/I/2013, dan Nomor KEP- 15/NKB/BAWASLU/IX/2015, Nomor: Kapolri, dan Jaksa Agung Tahun 2016. Perber
005/A/JA/01/2013 di bulan Januari2013 B/38/X/2015, dan Nomor: KEP- mengatur secara teknis pola penanganan
153/A/JA/10/2015 tindak pidana pemilihan. Gakkumdu dengan
Gakkumdu dibentuk bukan hanya untuk Pileg, dasar Perber digunakan dalam Pemilihan
tetapi juga untuk Pilpres dan Pemilukada. Pola Pola penanganan tindak pidana diatur Tahun 2017 dan Tahun 2018.
penanganan tindak pidana diatur dalam SOP. dalam SOP. Diberlakukan pada Pemilihan
Tahun 2015 Gakkumdu pada Pemilu 2019, diatur dalam UU
Gakkumdu dibentuk dengan tujuan 7/2017 dan secara teknis diatur dalam
menyamakan pemahaman dan pola Perbawaslu Nomor 9 Tahun 2020, diubah
penanganan tindak pidana pemilihan dengan Perbawaslu Nomor 31 Tahun 2020.
Fungsi gakkumdu

1. Sebagai forum koordinasi antara Bawaslu, Polri dan Kejaksaan Agung dalam
proses penanganan tindak pidana pemilu;
2. Pelaksanaan pola penanganan tindak pidana pemilu;
3. Sebagai pusat data dan informasi tindak pidana pemilu;
4. Pertukaran data dan/atau informasi;
5. Peningkatan kompetensi dalam penanganan tindak pidana pemilu;
6. Pelaksanaan monitoring dan evaluasi tindak lanjut penanganan tindak pidana
pemilu.

Catatan: Berdasarkan Pasal 7 Nota Kesepakatan Bersama Tahun 2013


STRUKTUR ORGANISASI gakkumdu

SEBELUM PEMILIHAN SAAT & SETELAH


TAHUN 2017 PEMILIHAN TAHUN 2017

1. PEMBINA 1. PENASIHAT
2. KETUA 2. PEMBINA
3. ANGGOTA 3. KOORDINATOR
4. ANGGOTA
ALUR DAN WAKTU PENANGANAN TINDAK PIDANA PEMILU

PEMBAHASAN III
PEMBAHASAN I PEMBAHASAN II
14 HARI 3 HARI 5 HARI

PENGKAJIAN
BAWASLU PENYIDIKAN PENUNTUTAN

7+7 HARI SETELAH 3 HARI


DIREGISTRASI

7 HARI 7 HARI

PENGADILAN PENGADILAN
TINGGI NEGERI
PEMBAHASAN IV

TOTAL WAKTU 3 HARI 3 HARI


59 HARI KERJA PERMOHONAN
BANDING
ALUR DAN WAKTU PENANGANAN TINDAK PIDANA PEMILIHAN

PEMBAHASAN III
PEMBAHASAN I PEMBAHASAN II
14 HARI 3 HARI 5 HARI

PENGKAJIAN
BAWASLU PENYIDIKAN PENUNTUTAN

3+2 HARI KALENDER 3 HARI


SETELAH DIREGISTRASI

7 HARI 7 HARI

PENGADILAN PENGADILAN
TINGGI NEGERI

TOTAL WAKTU 3 HARI 3 HARI


5 HARI KALENDER PERMOHONAN
45 HARI KERJA BANDING
CATATAN ATAS NORMA UNDANG-UNDANG (1)
❑ Norma pidana dalam UU Pemilihan lebih baik dibandingkan dengan UU 7/2017. Misalnya untuk perbutaan politik uang, UU Pemilihan
mengatur subyek “setiap orang” dan tidak terbagi dalam tahapan pemilihan, sementara pada UU 7/2017 subyek terdiri dari
“Pelaksana Kampanye”, “Peserta Kampanye”, “Tim Kampanye” dalam tahapan kampanye dan masa tenang, serta subyek “setiap
orang” dalam pemungutan suara.
❑ Ancaman pidana dalam UU Pemilihan lebih tinggi dibandingkan dengan UU 7//2017. Misalnya Poitik uang dalam UU Pemilihan diancam
pidana penjara sampai dengan 72 bulan (6 tahun) dan denda paling tinggi 1 milyar, sedangkan dalam UU 7/2017 paling tinggi pidana
penjara 4 tahun dan denda paling tinggi 48 juta.
❑ UU 7/2017 mengatur larangan adanya “mahar politik” dalam proses pencalonan anggota legislatif maupun paslon (Pasal 228 dan
Pasal 242). Terdapat ancaman sanksi administratif dimana parpol tidak diperbolehkan mengajukan calon pada periode berikutnya.
Namun sanksi administratif tersebut harus terlebih dahulu dibuktikan melalui putusan pengadilan. Persoalannya UU 7/2017 tidak
mengatur ancaman pidananya, sehingga persoalan tersebut tidak dapat dibawa ke pengadilan. Dengan demikian aturan mengenai
larangan mahar politik ini tidak bisa diterapkan atau tidak aplikatif.
❑ UU Pemilihan juga mengatur mengani perbuatan “mahar politik”, dengan ancaman pidana penjara paling lama 6 tahun dan denda
paling banyak 1 milyar untuk anggota partai politik yang menerima mahar politik, serta pidana penjara paling lama 5 tahun dan
denda paling banyak 1 milyar untuk perorangan atau lembaga yang memberikan mahar politik (Pasal 47, Pasal 187B, dan Pasal 187C).
❑ Meski UU Pemilihan lebih baik dalam mengatur norma perbuatan dan ancaman pidana “mahar politik”, namun dalam praktik norma
tersebut sulit dibuktikan dalam penegakan hukum.
CATATAN ATAS NORMA UNDANG-UNDANG (2)
❑ Pemeriksaan In absentia diatur dalam UU Pemilu, namun tidak diatur dalam UU Pemilihan. Meskipun sudah ada Peraturan Mahmakah
Agung Nomor 1 Tahun 2018 tentang Tata Cara Penyelesaian Tindak Pidana Pemilihan dan Pemilu, yang tidak membedakan penerapan
in absentia, namun Perma tersebut berlaku hanya untuk ruang lingkup pemeriksaan di persidangan.
❑ Pasal 146 UU Pemilihan mengatur tindakan penyidik Gakkumdu yang dapat melakukan tindakan penyitaan dan penggeledahan dalam
proses penyelidikan tanpa izin pengadilan. Norma ini bertentangan dengan ketentuan dalam KUHAP, yang mengatur bahwa tindakan
penggeledahan dan penyitaan hanya bisa dilakukan dalam tahap penyidikan dan secara teknis harus mendapat izin dari pengadilan.
Namun mengacu pada asas hukum khusus mengesampingkan hukum yang bersifat umum (lex specialis derogat legi generalis), di
mana UU Pemilihan merupakan hukum yang lebih khusus, maka norma ini seharusnya bisa diterapkan.
❑ Terdapat perbedaan batas waktu penanganan pelanggaran dalam UU 7/2017 dan UU Pemilihan. Dalam UU 7/2017, Bawaslu dapat
melakukan penanganan paling lama 14 hari kerja, sementara dalam UU Pemilihan batas waktu penanganan hanya diberikan paling
lama 5 hari.
❑ UU 7/2017 maupun UU Pemilihan mengatur batas waktu penyampaikan laporan dugaan pelanggaran kepada Bawaslu, yaitu 7 hari
sejak diketahuinya dugaan pelanggaran. Norma “sejak diketahuinya” tersebut di satu sisi memberikan peluang untuk menangani
peristiwa pelanggaran yang sudah lama terjadi, namun di sisi lain norma tersebut bersifat “pasal karet” karena berpotensi dapat
dijadikan celah oleh Pelapor dengan mengaku seakan-akan baru mengetahui peristiwa.
TANTANGAN & UPAYA GAKKUMDU PADA PEMILU/PEMILIHAN 2024
❑ Menghadapi ketentuan perundang-undangan yang sama, yang tidak dilakukan perubahan, yaitu UU
7/2017 dan UU 1/2015 berserta perubahannya. Untuk itu perlu dilakukan diskusi lebih dini dalam
Gakkumdu, khususnya tingkat pusat, dengan tujuan menyamakan pemahaman terkait dengan
norma dan pola penanganan. Kesamaan pemahaman tersebut dituangkan dalam sebuah keputusan
yang menjadi pedoman bagi Gakkumdu seluruh Indonesia.
❑ Perbedaan norma dalam kedua undang-undang menimbulkan perbedaan penanganan, hal mana
tentu membingungkan pencari keadilan, mengingat pelaksanaan Pemilu dan pemilihan dilakukan
pada tahun yang sama. Untuk itu perlu dilakukan sosialisasi kepada publik mengenai ketentuan
perundang-undangan.
❑ Pembentukan Gakkumdu dalam Pemilu dan Pemilihan diatur secara berbeda, namun untuk
efektifitas, maka masa kerja Gakkumdu pemilu dilanjutkan untuk juga pemilihan.
❑ Memperkuatkoordinasi antar lembaga dan menjaga soliditas Gakkumdu.
❑ Mendorong penganggaran yang sesuaidengan kebutuhan riil kerja-kerja Gakkumdu
REKOMENDASI

1. Perlu satu pintu dalam SG cukup Bawaslu sebagai


Pimpinannya.
2. SG harus diberi wewenang penuh melakukan proses
penegakan hukum pidana Pemilu mulai dari penyidikan, dan
penuntutan, oleh karena itu SG harus menjadi penegak
hukum tunggal.
3. SG jangan hanya menjadi forum koordinasi namun sebagai
institusi yang mandiri dalam penegakan hukum pidana
pemilu.
REKOMENDASI

1. Perlu satu pintu dalam SG cukup Bawaslu sebagai


Pimpinannya
2. SG harus diberi wewenang penuh melakukan proses
penegakan hukum pidana Pemilu mulai dar penyidikan, dan
penuntutan, oleh karena itu SG harus menjadi pengak hukum
tunggal
3. SG jangan hanya menjadi forum koordinasi namun sebagai
institusi yang mandiri dalam penegakan hukum pidana
pemilu.
REKOMENDASI

1. Perlu satu pintu dalam SG cukup Bawaslu sebagai


Pimpinannya
2. SG harus diberi wewenang penuh melakukan proses
penegakan hukum pidana Pemilu mulai dar penyidikan, dan
penuntutan, oleh karena itu SG harus menjadi pengak hukum
tunggal
3. SG jangan hanya menjadi forum koordinasi namun sebagai
institusi yang mandiri dalam penegakan hukum pidana
pemilu.
Sekian, Terima Kasih

Anda mungkin juga menyukai