Anda di halaman 1dari 46

TUGAS INDIVIDU

EPIDEMIOLOGI GIZI
“HUBUNGAN POLA PEMBERIAN ASI EKSLUSIF DAN ASUPAN GIZI
MP-ASI DENGAN STATUS GIZI ANAK BADUTA”

DISUSUN OLEH:
NAMA : WA ODE NUR AISYAH
NIM : J1A121089
KELAS : EPID

JURUSAN KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS HALU OLEO
2023
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas
berkat rahmatNya penulis dapat menyelesaikan makalah tentang " Per UU
Kesehatan Yang Berlaku Di Indonesia Di Bidang Pangan Dan Gizi Kesmas"
untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Etika dan Hukum Kesehatan.
Penyusun mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu sehingga makalah ini dapat diselesaikan sesuai dengan waktunya.
Makalah ini masih jauh dari kata sempurna, oleh karena itu penyusun berharap
kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini.
Semoga makalah ini memberikan informasi bagi masyarakat dan bermanfaat
untuk pengembangan ilmu pengetahuan bagi kita semua.
Akhirnya, penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu dengan segala kerendahan hati, kepada para pembaca
kami mohon dapat menyampaikan saran dan kritik untuk perbaikan selanjutnya.

Kendari, 24 Oktober 2023

Kelompok
DAFTAR ISI
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Negara Indonesia adalah Negara hukum sebagaimana dirumuskan
dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 selanjutnya disebut UUD
1945 yang berbunyi “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”. Sebagai
Negara hukum dalam praktek berbangsa bernegara harus didasarkan pada
hukum dan tidak dibenarkan didasari oleh kekuasaan belaka. Dalam Negara
hukum kesejahteraan, Pemerintah memiliki tugas mengatur tentang Perizinan,
Perizinan adalah bentuk pelaksanaan fungsi pengaturan dan bersifat
pengendalian yang dimiliki oleh Pemerintah terhadap kegiatan yang dilakukan
oleh masyarakat (Ridwan 2015).
Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari hayati dan air, baik yang
diolah mau pun tidak diolah, yang diperuntukan sebagai makanan atau
minuman yang akan dikonsumsi oleh manusia, termasuk bahan tambahan
pangan, bahan baku pangan dan bahan lain yang digunakan dalam proses
penyiapan, pengolahan, atau pembuatan makanan ataupun minuman. Pangan
olahan adalah makanan minuman hasil proses dengan metode tertentu (Dinas
pertanian dan pangan 2020).
Pangan yang aman dan bermutu merupakan hak asasi setiap manusia,
tidak terkecuali pangan yang dihasilkan oleh Industri Rumah Tangga
sebagaimana yang dijelaskan di dalam Pasal 111 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan selanjutnya disebut UU Kesehatan
bahwa makanan dan minuman yang digunakan masyarakat harus didasarkan
pada standar kesehatan. Menurut Standar Kesehatan makanan dan minuman
hanya dapat diedarkan setelah mendapat izin edar sesuai dengan ketentuan
Peraturan PerundangUndangan. Pangan yang sehat aman dan bergizi harus
dapat memenuhi kebutuhan rata-rata kecukupan gizi dan protein. Berdasarkan
Peraturan Mentri Kesehatan Nomor 75 Tahun 2013 Tentang Angka
Kecukupan Gizi yang Dianjurkan Bagi Bangsa Indonesia.
Menurut Standar Kesehatan makanan dan minuman hanya dapat
diedarkan setelah mendapat izin edar sesuai dengan ketentuan Peraturan
PerundangUndangan. Pangan yang sehat aman dan bergizi harus dapat
memenuhi kebutuhan rata-rata kecukupan gizi dan protein. Berdasarkan
Peraturan Mentri Kesehatan Nomor 75 Tahun 2013 Tentang Angka
Kecukupan Gizi yang Dianjurkan Bagi Bangsa Indonesia. Bahan Berbahaya
menjelaskan pengawasan adalah serangkaian kegiatan pemeriksaan untuk
mengendalikan pengadaan impor, pendistribusian, dan penggunaan Bahan
berbahaya. Pengawasan dilakukan karena memiliki tujuan untuk mengurangi,
mencegah penyalahgunaan terhadap bahan berbahaya yang terdapat di dalam
Pangan Industri Rumah Tangga.
Menurut Peraturan Kepalam Balai Pengawasan Obat dan Makanan
(BPOM) HK. 03.1.23.0412.2205 Tentang Pedoman Pemberian Sertifikat
Produksi Pangan Industri Rumah Tangga (SPP-IRT), Industri Rumah Tangga
Pangan adalah perusahaan pangan yang memiliki tempat usaha di tempat
tinggal dengan peralatan pengolahan pangan manual hingga semi otomatis.
Dalam produksi industri rumah tangga sering kali ditemukan hal–hal yang
tidak sesuai, bahkan keluar dari kaidah kesehatan atau prosedur hygiene dan
sanitasi yang telah digariskan. Hal ini disebabkan karena kurangnya
pengetahuan dari pelaku Industri Rumah Tangga itu sendiri, modal yang
dimiliki dan pemahaman tentang hygiene sanitasi yang masih kurang.
Dalam Pasal 2 ayat (1) Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan
Makanan Republik Indonesia Nomor HK.03.1.23.04.12.2205 Tahun 2012
tentang Pedoman Pemberian Sertifikat Produksi Industri Rumah Tangga
Pangan menjelaskan bahwa Sertifikat Produksi Pangan Industri Rumah
Tangga diberikan oleh Bupati atau Walikota yang kewenangannya diberikan
kepada Dinas Kesehatan. Dalam melakukan pengawasan terhadap Sertifikasi
Produksi Pangan Industri Rumah Tangga (SPP-IRT) Dinas Kesehatan
memiliki wewenang Memberikan 4 penyuluhan keamanan pangan,
menerbitkan Sertifikat Produksi Pangan Industri Rumah Tangga (SPP-IRT)
dan Melakukan monitoring minimal 1 kali dalam setahun.
Makanan dan minuman yang tidak memenuhi ketentuan standar,
persyaratan kesehatan atau membahayakan kesehatan dilarang untuk
diedarkan, ditarik dari peredaran, dicabut izin edar dan disita untuk
dimusnahkan sesuai ketentuan Perundang-undangan. Latar belakang
diadakannya Sertifikasi terhadap Pangan Industri Rumah Tangga selain
sebagai perlindungan terhadap konsumen, juga tujuan untuk meningkatkan
kualitas Pangan Industri Rumah Tangga, meletakkan Pangan Industri Rumah
Tangga dalam posisi yang strategis dan sehat, serta berkepentingan untuk
menciptakan usaha yang sehat (Ilat 2019). Penyakit yang disebabkan oleh
pangan masih merupakan salah satu penyebab utama kematian dan kesakitan
di Indonesia. Pangan merupakan jalur utama penyebaran racun, Pangan juga
dapat menimbulkan masalah serius jika mengandung racun akibat pencemaran
kimia, bahan berbahaya maupun racun alami yang terkandung dalam pangan,
yang sebagian diantaranya menimbulkan keracunan pangan.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas maka
rumusan masalah pada penelitian ini adalah sebagai berikut.
1) Apa yang dimasksud dengan Undang Undang Pangan?
2) Bagaimana Peraturan turunannya terkait Ketahanan Pangan dan Keamanan
Pangan?
3) Apa yang dimasksud dengan Bahan Tambahan Makanan?
4) Apa yang dimaksud dengan Penganekaragaman pangan?
5) Apa yang dimaksud Pedoman Gizi Seimbang?
6) Apa yang dimaksud kewajiban Label?
7) Apa yang dimaksud fortifikasi dll?

C. Tujuan
Tujuan dari makalah ini adalah sebagai berikut.
1) Untuk mengetahui dan menjelaskan Undang Undang Pangan
2) Untuk mengetahui dan menjelaskan Peraturan turunannya terkait
Ketahanan Pangan dan Keamanan Pangan
3) Untuk mengetahui dan menjelaskan tentang Bahan Tambahan Makanan
4) Untuk mengetahui dan menjelaskan tentang Penganekaragaman pangan
5) Untuk mengetahui dan menjelaskan tentang Pedoman Gizi Seimbang
6) Untuk mengetahui dan menjelaskan tentang kewajiban Label
7) Untuk mengetahui dan menjelaskan tentang fortifikasi dll
BAB II
PEMBAHASAN

A. UU Pangan
Pangan merupakan kebutuhan dasar utama bagi manusia yang harus
dipenuhi setiap saat. Hak untuk memperoleh pangan merupakan salah satu hak
asasi manusia, sebagaimana tersebut dalam pasal 27 UUD 1945 maupun dalam
Deklarasi Roma (1996). Pertimbangan tersebut mendasari terbitnya UU No.
7/1996 tentang Pangan. Sebagai kebutuhan dasar dan salah satu hak asasi
manusia, pangan mempunyai arti dan peran yang sangat penting bagi
kehidupan suatu bangsa. Ketersediaan pangan yang lebih kecil dibandingkan
kebutuhannya dapat menciptakan ketidak-stabilan ekonomi. Berbagai gejolak
sosial dan politik dapat juga terjadi jika ketahanan pangan terganggu. Kondisi
pangan yang kritis ini bahkan dapat membahayakan stabilitas ekonomi dan
stabilitas Nasional.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2012 Tentang


Pangan
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1) Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk
pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan, dan air,
baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai
makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan
Pangan, bahan baku Pangan, dan bahan lainnya yang digunakan dalam
proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau
minuman.
2) Kedaulatan Pangan adalah hak negara dan bangsa yang secara mandiri
menentukan kebijakan Pangan yang menjamin hak atas Pangan bagi rakyat
dan yang memberikan hak bagi masyarakat untuk menentukan sistem
Pangan yang sesuai dengan potensi sumber daya lokal.
3) Kemandirian Pangan adalah kemampuan negara dan bangsa dalam
memproduksi Pangan yang beraneka ragam dari dalam negeri yang dapat
menjamin pemenuhan kebutuhan Pangan yang cukup sampai di tingkat
perseorangan dengan memanfaatkan potensi sumber daya alam, manusia,
sosial, ekonomi, dan kearifan lokal secara bermartabat.
4) Ketahanan Pangan adalah kondisi terpenuhinya Pangan bagi negara sampai
dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya Pangan yang cukup,
baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan
terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya
masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara
berkelanjutan.
5) Keamanan Pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk
mencegah Pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda
lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan
manusia serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya
masyarakat sehingga aman untuk dikonsumsi.
6) Produksi Pangan adalah kegiatan atau proses menghasilkan, menyiapkan,
mengolah, membuat, mengawetkan, mengemas, mengemas kembali,
dan/atau mengubah bentuk Pangan.
7) Ketersediaan Pangan adalah kondisi tersedianya Pangan dari hasil produksi
dalam negeri dan Cadangan Pangan Nasional serta impor apabila kedua
sumber utama tidak dapat memenuhi kebutuhan.
8) Cadangan Pangan Nasional adalah persediaan Pangan di seluruh wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk konsumsi manusia dan untuk
menghadapi masalah kekurangan Pangan, gangguan pasokan dan harga,
serta keadaan darurat.
9) Cadangan Pangan Pemerintah adalah persediaan Pangan yang dikuasai dan
dikelola oleh Pemerintah.
10) Cadangan Pangan Pemerintah Provinsi adalah persediaan Pangan yang
dikuasai dan dikelola oleh pemerintah provinsi.
11) Cadangan Pangan Pemerintah Kabupaten/Kota adalah persediaan Pangan
yang dikuasai dan dikelola oleh pemerintah kabupaten/kota.
12) Cadangan Pangan Pemerintah Desa adalah persediaan Pangan yang
dikuasai dan dikelola oleh pemerintah desa
13) Cadangan Pangan Masyarakat adalah persediaan Pangan yang dikuasai dan
dikelola oleh masyarakat di tingkat pedagang, komunitas, dan rumah
tangga.
14) Penyelenggaraan Pangan adalah kegiatan perencanaan, pelaksanaan, dan
pengawasan dalam penyediaan, keterjangkauan, pemenuhan konsumsi
Pangan dan Gizi, serta keamanan Pangan dengan melibatkan peran serta
masyarakat yang terkoordinasi dan terpadu.
15) Pangan Pokok adalah Pangan yang diperuntukkan sebagai makanan utama
sehari-hari sesuai dengan potensi sumber daya dan kearifan lokal.
16) Penganekaragaman Pangan adalah upaya peningkatan ketersediaan dan
konsumsi Pangan yang beragam, bergizi seimbang, dan berbasis pada
potensi sumber daya lokal.
17) Pangan Lokal adalah makanan yang dikonsumsi oleh masyarakat setempat
sesuai dengan potensi dan kearifan lokal.
18) Pangan Segar adalah Pangan yang belum mengalami pengolahan yang
dapat dikonsumsi langsung dan/atau yang dapat menjadi bahan baku
pengolahan Pangan.
19) Pangan Olahan adalah makanan atau minuman hasil proses dengan cara
atau metode tertentu dengan atau tanpa bahan tambahan.
20) Petani adalah warga negara Indonesia, baik perseorangan maupun beserta
keluarganya yang melakukan usaha tani di bidang Pangan.
21) Nelayan adalah warga negara Indonesia, baik perseorangan maupun beserta
keluarganya yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan.
22) Pembudi Daya Ikan adalah warga negara Indonesia, baik perseorangan
maupun beserta keluarganya yang mata pencahariannya membesarkan,
membiakkan, dan/atau memelihara ikan dan sumber hayati perairan lainnya
serta memanen hasilnya dalam lingkungan yang terkontrol.
23) Perdagangan Pangan adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan
dalam rangka penjualan dan/atau pembelian Pangan, termasuk penawaran
untuk menjual Pangan dan kegiatan lain yang berkenaan dengan
pemindahtanganan Pangan dengan memperoleh imbalan.
24) Ekspor Pangan adalah kegiatan mengeluarkan Pangan dari daerah pabean
negara Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan, dan
ruang udara di atasnya, tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif,
dan landas kontinen.
25) Impor Pangan adalah kegiatan memasukkan Pangan ke dalam daerah
pabean negara Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan,
dan ruang udara di atasnya, tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi
Eksklusif, dan landas kontinen.
26) Peredaran Pangan adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan dalam
rangka penyaluran Pangan kepada masyarakat, baik diperdagangkan
maupun tidak.
27) Bantuan Pangan adalah Bantuan Pangan Pokok dan Pangan lainnya yang
diberikan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau masyarakat dalam
mengatasi Masalah Pangan dan Krisis Pangan, meningkatkan akses Pangan
bagi masyarakat miskin dan/atau rawan Pangan dan Gizi, dan kerja sama
internasional.
28) Masalah Pangan adalah keadaan kekurangan, kelebihan, dan/atau
ketidakmampuan perseorangan atau rumah tangga dalam memenuhi
kebutuhan Pangan dan Keamanan Pangan.
29) Krisis Pangan adalah kondisi kelangkaan Pangan yang dialami sebagian
besar masyarakat di suatu wilayah yang disebabkan oleh, antara lain,
kesulitan distribusi Pangan, dampak perubahan iklim, bencana alam dan
lingkungan, dan konflik sosial, termasuk akibat perang.
30) Sanitasi Pangan adalah upaya untuk menciptakan dan mempertahankan
kondisi Pangan yang sehat dan higienis yang bebas dari bahaya cemaran
biologis, kimia, dan benda lain.
31) Persyaratan Sanitasi adalah standar kebersihan dan kesehatan yang harus
dipenuhi untuk menjamin Sanitasi Pangan.
32) Iradiasi Pangan adalah metode penanganan Pangan, baik dengan
menggunakan zat radioaktif maupun akselerator untuk mencegah terjadinya
pembusukan dan kerusakan, membebaskan Pangan dari jasad renik
patogen, serta mencegah pertumbuhan tunas.
33) Rekayasa Genetik Pangan adalah suatu proses yang melibatkan
pemindahan gen (pembawa sifat) dari suatu jenis hayati ke jenis hayati lain
yang berbeda atau sama untuk mendapatkan jenis baru yang mampu
menghasilkan produk Pangan yang lebih unggul.
34) Pangan Produk Rekayasa Genetik adalah Pangan yang diproduksi atau
yang menggunakan bahan baku, bahan tambahan Pangan, dan/atau bahan
lain yang dihasilkan dari proses rekayasa genetik.
35) Kemasan Pangan adalah bahan yang digunakan untuk mewadahi dan/atau
membungkus Pangan, baik yang bersentuhan langsung dengan Pangan
maupun tidak.
36) Mutu Pangan adalah nilai yang ditentukan atas dasar kriteria keamanan dan
kandungan Gizi Pangan.
37) Gizi adalah zat atau senyawa yang terdapat dalam Pangan yang terdiri atas
karbohidrat, protein, lemak, vitamin, mineral, serat, air, dan komponen lain
yang bermanfaat bagi pertumbuhan dan kesehatan manusia.
38) Setiap Orang adalah orang perseorangan atau korporasi, baik yang
berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum.
39) Pelaku Usaha Pangan adalah Setiap Orang yang bergerak pada satu atau
lebih subsistem agribisnis Pangan, yaitu penyedia masukan produksi,
proses produksi, pengolahan, pemasaran, perdagangan, dan penunjang.
40) Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden
Republik Indonesia yang memegang kekuasaan Pemerintahan negara
Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
41) Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati atau walikota, dan perangkat
daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.

B. Ketahanan dan Keamanan Pangan


Berdasarkan UU No.18 Tahun 2012 tentang Pangan, ketahanan pangan
diartikan sebagai kondisi terpenuhinya pengan bagi negara sampai dengan
perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik
jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata dan terjangkau serta
tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya msyarakat untuk
dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan (Lutfi Alfia,
2019).
Keseriusan Pemerintah Indonesia untuk mengatasi persolaan ketahanan
pangan ditunjukkan melalui dikeluarkannya peraturan-peraturan tentang
pangan dan ketahanan pangan seperti UU No.18 Tahun 2012 tentang Pangan;
PP No. 68 Tahun 2002 tentang ketahanan Pangan; PP No.17 Tahun 2015
tentang Ketahanan Pangan dan Gizi; dan banyak aturan lain yang terkait upaya
peningkatan ketahanan pangan. Namun dalam implementasinya, kebijakan-
kebijakan yang telah dibuat oleh pemerintah rupanya belum mampu
sepenuhnya menciptakan ketahanan pangan nasional. Hal ini terlihat dalam
sebuah laporan Global Food Security Index (GFSI) yang diterbitkan The
Economist (2013) dimana Indonesia tercatat berada pada peringkat ke-66 dari
106 negara yang disurvei tentang keamanan pangannya. Dari skor 0-100 yang
menggambarkan kondisi sangat tidak aman hingga sangat terjamin
keamanannya, Indonesia memiliki skor 45,6. Pada Tahun 2014, posisi
Indonesia berdasarkan ranking GFSI menurun dibandingkan dengan tahun
2013 dimana Indonesia menempati peringkat 72 dari 109 negara dengan skor
ketahanan pangan sebesar 46,5. Hal ini menunjukkan bahwa ketahanan
pangan masih menjadi persoalan serius yang belum terpecahkan dengan tuntas
(Lutfi Alfia, 2019).
Keamanan pangan merupakan kebutuhan masyarakat, karena
diharapkan melalui makanan yang aman, masyarakat akan terlindungi dari
penyakit atau gangguan kesehatan lainnya. Dasar dari keamanan pangan
adalah upaya hygiene sanitasi makanan, gizi, dan safety. Pada Hari Kesehatan
Dunia, WHO menyampaikan pentingnya keamanan pangan dengan
mengeluarkan slogan “How safe is your food? From farm to plate, make food
safe” dengan tujuan mengingatkan masyarakat untuk mengonsumsi pangan
yang hanya aman bagi tubuhnya. Berdasarkan Undang-Undang Pangan
Nomor 18 Tahun 2012 menegaskan bahwa ketersediaan pangan harus sampai
pada tingkat perseorangan dengan pangan yang aman, bergizi, beragam,
terjangkau serta tidak bertentangan dengan keyakinan, agama, dan
kebudayaan masyarakat sehingga semua orang dapat hidup sehat dan
produktif (Sartika, 2020).
Salah satu pengejawantahan dari tujuan negara tersebut adalah dengan
membentuk Undang-Undang No. 18 Tahun 2012 tentang pangan di mana di
dalam konsiderans huruf a dan b undang-undang Nomor 18 tahun 2012
tentang p angan ditegaskan bahwa (a) pangan merupakan kebutuhan dasar
manusia yang paling utama dan pemenuhannya merupakan bagian dari hak
asasi manusia yang dijamin di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 sebagai komponen dasar untuk mewujudkan sumber
daya manusia yang berkualitas, (b) negara berkewajiban mewujudkan
ketersediaan, keterjangkauan dan pemenuhan konsumsi pangan yang cukup,
aman, bermutu dan bergizi seimbang, baik pada tingkat nasional maupun
daerah hingga perseorangan secara merata di seluruh wilayah negara kesatuan
republik indonesia sepanjang waktu dengan memanfaatkan sumber daya,
kelembagaan dan budaya lokal. Hal ini dapat diartikan pula bahwa masyarakat
indonesia memiliki hak untuk memperoleh keamanan dan perlindungan atas
produk pangan yakni hak untuk memperoleh produk pangan yang aman,
bermutu, bergizi dan tersedia cukup setiap waktu dan hak ini menimbulkan
kewajiban pada negara untuk melindungi, menghormati dan melaksanakannya
(Wahongan et al., 2021).
Menurut Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 2004 tentang keamanan,
mutu, dan gizi pangan, keamanan pangan merupakan tanggungjawab bersama
antara pemerintah, industri pangan dan konsumen. Pemerintah bertanggung
jawab untuk melaksanakan system pengawasan keamanan pangan melalui
pengaturan, standarisasi, penilaian dan inspeksi keamanan pangan serta
edukasi kepada konsumen dan industri pangan mengenai kemanan
pangan.industri pangan bertanggung jawab untuk menjaga mutu dan
keamanan produk pangan yang tidak bermutu dan tidak aman.oleh sebab itu
konsumen perlu memiliki pengetahuan yang cukup mengenai keamanan
pangan diantaranya pengetahuan tentang praktek higiene yang baik saat
menangani, mengolah, menyajikan, dan menyimpan pangan.sinergi diantara
ketiga pihak ini dengan tanggung jawabnya masing-masing sangat dibutuhkan
dalam rangka meingkatkan keamanan pangan secara nasional (Wahongan et
al., 2021).

I. Undang-Undang
1. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan;
2. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
II. Peraturan Pemerintah
1. Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2015 tentang Ketahanan
Pangan dan
Gizi;
2. Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2019 tentang Keamanan
Pangan;
3. Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan
Perizinan Berusaha Berbasis Risiko.
III. Peraturan Presiden
1. Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2017 tentang Kebijakan Strategi
Ketahanan Pangan dan Gizi;
2. Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2009 tentang Kebijakan Percepatan
Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal;
3. Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2020 tentang Pengesahan Protocol
To
Amend The Asean Plus Three Emergency Rice Reserize Agreement
(Protokol Untuk Mengubah Persetujuan Cadangan Beras Darurat Asean
Plus Tiga).
IV. Peraturan Menteri Pertanian
1. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 64/Permentan/OT.140/5/2013
tentang
Sistem Pertanian Organik;
2. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 23/Permentan/OT.040/5/2016
tentang
Uraian Tugas Pekerjaan Unit Kerja Eselon IV Lingkup Badan
Ketahanan
Pangan;
3. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 31/PERMENTAN/PP.130/8/2017
tentang Kelas Mutu Beras;
4. Peraturan Menteri Pertanian Nomor
48/PERMENTAN/PP.130/12/2017 tentang Beras Khusus;
5. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 11/PERMENTAN/KN.130/4/2018
tentang Penetapan Jumlah Cadangan Beras Pemerintah Daerah;
6. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 38/PERMENTAN/KN.130/8/2018
tentang Pengelolaan Cadangan Beras Pemerintah;
7. Peraturan Menteri Pertanian Nomor
53/PERMENTAN/KR.040/12/2018 tentang Keamanan dan Mutu
Keamanan Pangan Segar Asal Tumbuhan;
8. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 40 Tahun 2020 tentang Organisasi
dan Tata Kerja Kementerian Pertanian;
9. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 08 Tahun 2021 tentang Kelompok
Substansi dan Subkelompok Substansi Pada Kelompok Jabatan
Fungsional
Lingkup Kementerian Pertanian;
10. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 15 Tahun 2021 tentang Standar
Kegiatan Usaha dan Standar Produk Pada Penyelenggaraan Perizinan
Berusaha Berbasis Risiko Sektor Pertanian; dan
11. Keputusan Menteri Pertanian Nomor 45/KPTS/KN.130/J/06/2019
tentang
Kriteria Penurunan Mutu dan Cadangan Beras Pemerintah;
12. Keputusan Menteri Pertanian Nomor 404/KPTS/OT.050/M/6/2020
tentang
Satuan Tugas Diversifikasi Sumber Karbohidrat Pangan Lokal Non
Beras.

C. Bahan Tambahan Makanan


Bahan Tambahan Makanan (BTM) atau food additives adalah senyawa
(atau campuran berbagai senyawa) yang sengaja ditambahkan ke dalam
makanan dan terlibat dalam proses pengolahan, pengemasan dan/atau
penyimpanan, dan bukan merupakan bahan (ingredient) utama. BTM dan
produk-produk degradasinya, biasanya tetap di dalam makanan, tetapi ada
beberapa yang sengaja dipisahkan selama proses pengolahan. Sementara itu
pada Undang-undang RI No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan khususnya pada
Bab II (Kemanan Pangan) Bagian Kedua disebutkan banwa yang dimaksud
dengan bahan tambahan pangan adalah bahan yang ditambahkan ke dalam
pangan untuk mempengaruhi sifat atau bentuk pangan.
Penggunaan bahan tambahan pangan dalam produk pangan yang tidak
mempunyai resiko kesehatan dapat dibenarkan, karena hal tersebut lazim
digunakan. BTM yang secara tidak sengaja ditambahkan, atau lebih tepat
disebut sebagai kontaminan, tidak termasuk dalam konteks BTM yang
dibicarakan.
Dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang pangan
dinyatakan bahwa pemerintah berkewajiban untuk menjamin terwujudnya
penyelenggaraan keamanan pangan yang salah satunya dilaksanakan melalui
pengaturan penggunaan bahan tambahan pangan (BTP) untuk menjaga pangan
yang dikonsumsi masyarakat tetap aman dan higienis. Menurut Saparinto &
Hidayati (2006), tujuan penambahan BTP secara umum adalah untuk
meningkatkan nilai gizi makanan, memperbaiki nilai estetika dan sensori
makanan dan memperpanjang umur simpan (shelf life) makanan.
Penambahan BTM secara umum bertujuan untuk (1) meningkatkan
nilai gizi makanan, (2) memperbaiki nilai sensori makanan, dan (3)
memperpanjang umur simpan (shelf life) makanan. Bahan-bahan tambahan
seperti vitamin, mineral, atau asam amino biasanya ditambahkan untuk
memperbaiki dan/atau menaikkan nilai gizi suatu makanan. Banyak makanan
yang diperkaya atau difortifikasi dengan vitamin untuk mengembalikan
vitamin yang hilang selama pengolahan, seperti penambahan vitamin B ke
tepung terigu atau penambahan vitamin A ke dalam susu. Mineral besi
ditambahkan untuk memperkaya nilai gizi makanan, terutama karena besi
yang berada dalam makanan umumnya mempunyai ketersediaan hayati
(biovailability) rendah.
Warna, bau, dan konsistensi/tekstur suatu bahan pangan dapat berubah
atau berkurang akibat pengolahan dan penyimpanan. Hal ini dapat diperbaiki
dengan penambahan BTM seperti pewarna, senyawa pembentuk warna,
penegas rasa, pengental, penstabil, dan lain-lain. Pembentukan bau yang
menyimpang (off flavor) pada produk-produk berlemak dapat dicegah dengan
penambahan antioksidan. Tekstur makanan dapat diperbaiki dengan
penambahan mineral, pengemulsi, pengental dan/atau penstabil seperti
monogliserida, hidrokoloid, dan lain-lain.
Dari keterangan di atas, secara implisit di dapat pengertian bahwa BTM dan
produk-produk degradasinya harus bersifat tidak berbahaya pada tingkat
pemakaian yang diizinkan.
Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor.722/Menkes/Per/XI/88 tentang
bahan tambahan makanan.
Bahan Tambahan Makanan Yang Diizinkan
Bahan tambahan makanan yang diizinkan digunakan pada makanan
terdiri dari golongan:
1. Antioksidan (Antioxidant);
2. Antikempal (Anticaking Agent);
3. Pengatur Keasaman (Acidity Regulator);
4. Pemanis Buatan (Artificial Sweetener);
5. Pemutih dan Pematang Tepung (Flour Treatment Agent);
6. Pengemulsi, Pemantap, Pengental (Emulsifier, Stabilizer,
Thickener);Pengawet (Preservative);
7. Pengeras (Firming Agent);
8. Pewarna (Colour);
9. Penyedap Rasa dan Aroma, Penguat Rasa (Flavour, Flavour Erhaucer);
10. Sekuestran (Sequestrant).
 Untuk makanan yang diizinkan mengandung lebih dari satu macam
antioksidan, maka hasil bagi masing-masing bahan dengan batas
maksimum penggunaannya jika dijumlahkan tidak boleh lebih dari satu.
 Untuk makanan yang diizinkan mengandung lebih dari satu macam
pengawet, maka hasil bagi masing-masing bahan dengan batas maksimum
penggunaannya jika dijumlahkan tidak boleh lebih dari satu.
 Batas menggunaan "secukupnya" adalah penggunaan yang sesuai dengan
cara produksi yang baik, yang maksudnya jumlah yang ditambahkan pada
makanan tidak melebihi jumlah wajar yang diperlukan sesuai dengan
tujuan penggunaan bahan tambahan makanan tersebut.
 Pada bahan tambahan makanan golongan pengawet, batas maksimum
penggunaan garam benzoat dihitung sebagai asam benzoat, garam sorbat
sebagai asam sorbat dan senyawa sulfit sebagai SO2.
Permenkes Nomor 033 Tahun 2012
Berdasarkan Permenkes Nomor 033 Tahun 2012, BTP dibedakan
menjadi BTP yang diizinkan dan BTP yang dilarang/berbahaya untuk
digunakan. Untuk BTP yang diizinkan, penggunaannya harus diberikan
dalam batasan dimana konsumen tidak menjadi keracunan dengan
mengkonsumsi tambahan zat tersebut yang dikenal dengan istilah ambang
penggunaan. Sementara untuk kategori BTP yang dilarang, penggunaan
dengan dosis sekecil apapun tetap tidak diperbolehkan.
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 033
Tahun 2012 tentang bahan tambahan pangan, terdapat 27 golongan BTP
yang digunakan dalam pangan (Tabel 1).

Berdasarkan Permenkes Nomor 033 Tahun 2012, pemerintah telah


melarang 19 jenis bahan untuk digunakan sebagai BTP seperti disajikan
pada Tabel 2.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia (Pp) Nomor 28 Tahun 2004
(28/2004) Tentang Keamanan, Mutu Dan Gizi Pangan
Bagian Kedua
Bahan Tambahan Pangan
Pasal 11
(1) Setiap orang yang memproduksi pangan untuk diedarkan dilarang
menggunakan bahan apapun sebagai bahan tambahan pangan yang
dinyatakan terlarang.
(2) (2) Bahan yang dinyatakan terlarang sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) ditetapkan oleh Kepala Badan.
Pasal 12
(1) Setiap orang yang memproduksi pangan dengan menggunakan bahan
tambahan pangan untuk diedarkan wajib menggunakan bahan
tambahan pangan yang diizinkan.
(2) Nama dan golongan bahan tambahan pangan yang diizinkan, tujuan
penggunaan dan batas maksimal penggunaannya menurut jenis
pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Kepala
Badan.
Pasal 13
(1) Bahan yang akan digunakan sebagai bahan tambahan pangan tetapi
belum diketahui dampaknya bagi kesehatan manusia, wajib terlebih
dahulu diperiksa keamanannya, dan dapat digunakan dalam kegiatan
atau proses produksi pangan untuk diedarkan setelah memperoleh
persetujuan Kepala Badan.
(2) Persyaratan dan tata cara memperoleh persetujuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Kepala Badan.

Bahaya Yang Di Timbulkan Jika Menggunakan Bahan Tambahan


Makanan Tidak Sesuai Peraturan
Menggunakan bahan tambahan makanan yang tidak sesuai
peraturan BPOM, peraturan perundang-undangan, dan pedoman
kesehatan pemerintah dapat menimbulkan berbagai bahaya serius,
termasuk:
1. Kesehatan Konsumen:
a. Keracunan Makanan: Penggunaan bahan tambahan yang tidak
sah atau berbahaya dapat menyebabkan keracunan makanan yang
dapat mengakibatkan mual, muntah, diare, kram perut, dan dalam
kasus yang lebih parah, penyakit serius atau kematian.
b. Resiko Alergi: Bahan tambahan yang tidak dicantumkan dengan
jelas pada label atau yang tidak sesuai peraturan dapat
menyebabkan reaksi alergi pada individu yang rentan terhadap
bahan tertentu.
2. Gangguan Nutrisi:
Penurunan Kualitas Nutrisi: Penggunaan bahan tambahan yang
tidak sesuai peraturan dapat mengurangi kualitas nutrisi makanan,
yang berpotensi mengakibatkan defisiensi nutrisi dan masalah
kesehatan jangka panjang.
3. Keamanan Pangan:
Kontaminasi Mikroba Patogen: Bahan tambahan yang tidak sah
dapat menjadi sumber kontaminasi mikroba patogen, seperti bakteri
atau virus, yang dapat menyebabkan penyebaran penyakit menular
melalui makanan.
4. Resiko Hukum:
Sanksi Hukum: Penggunaan bahan tambahan makanan yang
melanggar peraturan dapat menghadirkan konsekuensi hukum, seperti
denda, tuntutan hukum, atau penutupan bisnis.
5. Kerusakan Reputasi:
Kerusakan Reputasi Bisnis: Penggunaan bahan tambahan yang
melanggar peraturan dapat merusak reputasi produsen atau penjual
makanan, yang dapat berdampak negatif pada bisnis dan penjualan.
6. Tidak Memenuhi Standar Internasional:
Ketidakpatuhan terhadap Standar Internasional: Pelanggaran
peraturan bisa menyebabkan produk makanan tidak memenuhi standar
internasional, yang dapat menghambat perdagangan dan ekspor
produk.
Oleh karena itu, sangat penting untuk selalu mematuhi peraturan BPOM,
perundang-undangan, dan pedoman kesehatan pemerintah dalam penggunaan
bahan tambahan makanan. Hal ini bertujuan untuk menjaga kesehatan dan
keselamatan konsumen, menjaga kualitas makanan, dan meminimalkan risiko
yang terkait dengan penggunaan bahan tambahan yang tidak sah atau
berbahaya.

D. Penganekaragaman Pangan
Penganekaragaman pangan atau diversifikasi pangan adalah upaya
dalam peningkatan konsumsi aneka ragam pangan dengan prinsip gizi yang
seimbang. Program penganekaragaman pangan atau diversifikasi pangan pada
awalnya dikenal sebagai upaya perbaikan menu makanan rakyat yang sudah
dimulai sejak awal tahun 1960-an di Indonesia. Berbagai upaya
penganekaraman pangan terus dilakukan hingga saat ini (Wida Utami et al.,
2023).
Pada dasarnya, diversifikasi atau keanekaragaman pangan mencakup
tiga lingkup pengertian yang dimana satu sama lainnya saling berkaitan, yaitu
diversifikasi konsumsi pangan, diversifikasi ketersediaan pangan, dan
diversifikasi produksi pangan (Wida Utami et al., 2023).
Penganekaragaman pangan bertujuan bukan untuk menggantikan beras
dan terigu sepenuhnya, namun melakukan substitusi dengan pangan lokal serta
mengubah dan memperbaiki pola konsumsi masyarakat agar lebih beragam
jenis bahan pangan dengan mutu gizi yang lebih baik (Made Ayu Suardani
Singapurwa, 2022).
Peraturann Perundang-Undang Mengenai Penganekaragaman Pangan
Upaya mewujudkan penganekaragaman pangan terdapat pada pada
Pasal 41 UU No. 18/2012 disebutkan: "merupakan upaya meningkatkan
ketersediaan pangan yang beragam dan yang berbasis potensi sumber daya
lokal untuk(Gardjito et al., 2013):
a. Memenuhi pola konsumsi pangan yang beragam, bergizi seimbang, dan
aman;
b. Mengembangkan usaha pangan; dan/atau
c. Meningkatkan kesejahteraan Masyarakat.
Selanjutnya Pasal (Pasal 42 UU No.18/2012) menegaskan, yang
dimaksud penganekaragaman pangan dilakukan dengan (Gardjito et al., 2013):
a. Penetapan kaidah penganekaragaman pangan;
b. Pengoptimalan pangan lokal;
c. Pengembangan teknologi dan sistem insentif bagi usaha pengolahan
pangan lokal;
d. Pengenalan jenis pangan baru, termasuk pangan lokal yang belum di-
manfaatkan;
e. Pengembangan diversifikasi usaha tani dan perikanan;
f. Peningkatan ketersediaan dan akses benih dan bibit tanaman, ternak, dan
ikan;
g. Pengoptimalan pemanfaatan lahan, termasuk pekarangan;
h. Penguatan usaha mikro, kecil, dan menengah di bidang pangan; dan
i. Pengembangan industri pangan yang berbasis pangan lokal

Penganekaragaman pangan selanjutnya diatur dengan Peraturan


Pemerintah (Pasal 43 UU No.18/2012) (Gardjito et al., 2013). Maka dengan
demikian kemandirian dan penganekaragaman pangan bangsa hendaknya
sebagai pernyataan kebijakan dalam satu tarikan napas, yang didasarkan pada
pengembangan segenap potensi pangan sumber karbohidrat, dengan berbasis
pada kelembagaan dan budaya lokal, dan yang serentak memanfaatkan inovasi
dan teknologi pengolahan pangan yang maju atau modern (Gardjito et al.,
2013).
Pada UU Pangan, Bab VI No.18/2012 (Konsumsi Pangan dan Gizi),
Bagian kesatu (Penganekaragaman Konsumsi Pangan), Pasal 59 dinyatakan
bahwa (Yuniar, 2022):
a. Penetapan target pencapaian angka penganekaragaman konsumsi pangan
per kapita per tahun sesuai dengan angka kecukupan gizi,
b. Penyediaan penganekaragaman pangan yang beragam, bergizi seimbang,
aman, dan tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya
masyarakat, dan
c. Pengembangan pengetahuan dan kemampuan masyarakat dalam pola
konsumsi pangan yang beragam, bergizi seimbang, bermutu, dan aman.
Pentingnya penganekaragaman konsumsi pangan sudah diatur dalam
amanat undang-undang pangan No 18 tahun 2012 tentang pangan pada pasal
60 ayat 1 dan 2 serta pasal 61 (Suryana et al., 2023)
Pasal 60 dinyatakan bahwa
a. pemerintah dan pemerintah daerah berkewajiban mewujudkan
penganekaragaman konsumsi pangan dilakukan untuk memenuhi
kebutuhan gizi masyarakat dan mendukung hidup sehat, aktif, dan
produktif (Suryana et al., 2023).
b. penganekaragaman konsumsi pangan diarahkan untuk meningkatkan
kesadaran masyarakat dan membudayakan pola konsumsi pangan yang
beragam, bergizi seimbang, dan aman serta sesuai dengan potensi dan
kearifan lokal (Suryana et al., 2023).
Pasal 60 ayat 1 menyatakan bahwa pemerintah dan Pemda
berkewajiban mewujudkan penganekaragaman konsumsi pangan untuk
memenuhi kebutuhan gizi masyarakat dan mendukung hidup sehat, aktif, dan
produktif (Suryana et al., 2023).
Pasal 60 ayat 2 menyatakan bahwa penganekaragaman konsumsi
pangan sebagaimana pada ayat 1 diarahkan untuk meningkatkan kesadaran
masyarakat dan membudayakan pola konsumsi pangan yang beragam, bergizi
seimbang, dan aman serta sesuai dengan potensi dan kearifan lokal (Suryana
et al., 2023).
Pasal 61 menyatakan bahwa penganekaragaman konsumsi pangan
dilakukan dengan (Prakoso et al., 2023):
a. mempromosikan penganekaragaman konsumsi pangan,
b. meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat untuk mengonsumsi
aneka ragam pangan dengan prinsip gizi seimbang,
c. meningkatkan ketrampilan dalam pengembangan olahan pangan lokal,
d. mengembangkan dan mendesiminasikan teknologi tetap guna untuk
pengolahan pangan lokal

E. Pedoman Gizi Seimbang


Gizi Seimbang adalah susunan pangan sehari-hari yang mengandung
zat gizi dalam jenis dan jumlah yang sesuai dengan kebutuhan tubuh, dengan
memperhatikan prinsip keanekaragaman pangan, aktivitas fisik, perilaku
hidup bersih dan mempertahankan berat badan normal untuk mencegah
masalah gizi (Muthmainah et al., n.d.). Untuk mengatur hal – hal tersebut
dibuatlah sebuah pedoman yang diberi nama Pedoman Gizi Seimbang (Fitri &
Salam, 2018). Pedoman gizi seimbang di Indonesia telah mengikuti aturan
spesfik yang dikembangkan oleh FAO dimana pedoman makan nasional harus
disesuaikan dengan kondisi kebiasaan setempat seperti bahasa dan
penggunaan media visualisasi. Pedoman gizi seimbang merupakan susunan
makan sehari-hari yang mengandung zat gizi dengan jenis dan jumlah yang
sesuai kebutuhan tubuh disertai 4 prinsip di dalamnya (Havis & Aisah, 2023).
Menurut Permenkes No. 41 Tahun 2014 Tentang Pedoman Gizi
Seimbang, Pedoman Gizi Seimbang bertujuan untuk memberikan panduan
konsumsi makanan sehari-hari dan berperilaku sehat berdasarkan prinsip
konsumsi anekaragam pangan, perilaku hidup bersih, aktivitas fisik, dan
memantau berat badan secara teratur dalam rangka mempertahankan berat
badan normal. Pedoman gizi seimbang dibuat untuk menggantikan slogan “4
Sehat 5 Sempurna” yang dinilai sudah tidak relevan dengan masyarakat
sekarang (Silalahi et al., 2020). Ada 2 visual Pedoman gizi seimbang sebagai
media penyebaran informasi yaitu ‘tumpeng’ gizi seimbang dan ‘piring
makanku (Havis & Aisah, 2023).
1. Tumpeng Gizi Seimbang
Tumperng gizi Seimbang dimaksudkan sebagai gambaran dan
penjelasan sederhana tentang panduan porsi (ukuran) makanan dan minum
serta aktifitas fisik sehari-hari, termasuk cuci tangan sebelum dan sesudah
makan serta memantau berat badan. Dalam Tumpeng Gizi Seimbang
(TGS) ada empat lapis berurutan dari bawah ke atas, dan semakin ke atas
semakin kecil. Empat lapis artinya Gizi Seimbang didasarkan pada prinsip
4 pilar yaitu beragam pangan, aktifitas fisik, kebersihan diri dan
lingkungan, dan pemantaun berat badan (Kemenkes, 2014).
1) Mengonsumsi anekaragam pangan
Yang dimaksudkan beranekaragam dalam prinsip ini selain
keanekaragaman jenis pangan juga termasuk proporsi makanan yang
seimbang, dalam jumlah yang cukup, tidak berlebihan dan dilakukan
secara teratur. Anjuran pola makan dalam beberapa dekade terakhir
telah memperhitungkan proporsi setiap kelompok pangan sesuai
dengan kebutuhan yang seharusnya .
2) Membiasakan perilaku hidup bersih
Penyakit infeksi merupakan salah satu faktor penting yang
mempengaruhi status gizi seseorang secara langsung, terutama anak-
anak. Dengan membiasakan perilaku hidup bersih akan
menghindarkan seseorang dari keterpaparan terhadap sumber infeksi.
Contoh: selalu mencuci tangan dengan sabun dan air bersih mengalir
sebelum makan, sebelum memberikan ASI, sebelum menyiapkan
makanan dan minuman, dan setelah buang air besar dan kecil, akan
menghindarkan terkontaminasinya tangan dan makanan dari kuman
penyakit antara lain kuman penyakit typus dan disentri.
3) Melakukan aktivitas fisik.
Aktivitas fisik yang meliputi segala macam kegiatan tubuh
termasuk olahraga merupakan salahsatu upaya untuk menyeimbangkan
antara pengeluaran dan pemasukan zat gizi utamanya sumber energi
dalam tubuh. Aktivitas fisik memerlukan energi. Selain itu, aktivitas
fisik juga memperlancar sistem metabolisme di dalam tubuh termasuk
metabolisme zat gizi. Oleh karenanya, aktivitas fisik berperan dalam
menyeimbangkan zat gizi yang keluar dari dan yang masuk ke dalam
tubuh.
4) Mempertahankan dan memantau Berat Badan (BB) normal.
Bagi orang dewasa salah satu indikator yang menunjukkan
bahwa telah terjadi keseimbangan zat gizi di dalam tubuh adalah
tercapainya Berat Badan yang normal, yaitu Berat Badan yang sesuai
untuk Tinggi Badannya. Indikator tersebut dikenal dengan Indeks
Masa Tubuh (IMT). Oleh karena itu, pemantauan BB normal
merupakan hal yang harus menjadi bagian dari ‘Pola Hidup’ dengan
‘Gizi Seimbang’, sehingga dapat mencegah penyimpangan BB dari BB
normal, dan apabila terjadi penyimpangan dapat segera dilakukan
langkah-langkah pencegahan dan penanganannya.
Semakin ke atas ukuran tumpeng semakin kecil berarti pangan
pada lapis paling atas yaitu gula, garam dan lemak dibutuhkan sedikit
sekali atau perlu dibatasi. Pada setiap kelompok pangan dituliskan
berapa jumlah porsi setiap kelompok pangan yang dianjurkan.
Misalnya pada kelompok sayuran tertulis 3-4 porsi sehari, artinya
sayuran dianjurkan dikonsumsi oleh remaja atau dewasa sejumlah 3-4
mangkuk sehari. Satu mangkuk sayuran beratnya sekitar 75 gram,
sehingga perlu makan sayur sekitar 300 gram sehari. Sebelah kanan
tumpeng ada tanda tambah (+) diikuti dengan visual segelas air putih
dan tulisan 8 gelas. Ini artinya dalam sehari setiap orang remaja atau
dewasa dianjurkan untuk minum air putih sekitar 8 gelas sehari
(Kemenkes, 2014).
Selain makanan dan minuman dalam visual TGS ini juga ada
pesan cuci tangan sebelum dan sesudah makan yang divisualkan oleh
gambar cuci tangan menggunakan air mengalir; juga berbagai siluet
aktifitas fisik (termasuk olahraga), dan kegiatan menimbang berat
badan. Kegiatan fisik dianjurkan untuk dilakukan paling tidak tiga kali
seminggu dan memantau berat badan setiap bulan (Kemenkes, 2014).
2. Piring Makanku : Sajian Sekali Makan
Dimaksudkan sebagai panduan yang menunjukkan sajian
makanan dan minuman pada setiap kali makan (misal sarapan, makan
siang dan makan malam). Visual Piring Makanku ini menggambarkan
anjuran makan sehat dimana separoh (50%) dari total jumlah makanan
setiap kali makan adalah sayur dan buah, dan separoh (50%) lagi
adalah makanan pokok dan lauk-pauk. Piring Makanku juga
menganjurkan makan bahwa porsi sayuran harus lebih banyak dari
porsi buah, dan porsi makanan pokok lebih banyak dari porsi lauk-
pauk. Piring makanku juga menganjurkan perlu minum setiap kali
makan, bisa sebelum, ketika atau setelah makan. Meskipun gambar
gelas hanya satu buah dalam visual ini, tidak berarti bahwa minum
dalam satu kali makan hanya satu gelas, bisa saja disesuaikan dengan
kebutuhan, misalnya segelas sebelum makan dan segelas lagi setelah
makan (Kemenkes, 2014).
Makan dan minum tidak ada artinya bila tidak bersih dan aman
termasuk tangan dan peralatan makan. Oleh karena itu sejalan dengan
prinsip gizi seimbang makan dalam visual Piring Makanku juga
dianjurkan untuk cuci tangan sebelum dan sesudah makan. Karena
Piring Makanku adalah panduan setiap kali makan , maka tidak
diperlukan anjuran aktivitas fisik dan pemantauan berat badan
(Kemenkes, 2014).

F. Kewajiban Label
a. Pengertian Label Pangan
Label pangan adalah setiap keterangan mengenai pangan yang
berbentuk gambar, tulisan, kombinasi keduanya, atau bentuk lain yang
disertakan pada pangan olahan, dimasukan ke dalam, ditempelkan pada,
atau merupakan bagian kemasan pangan. Informasi yang sekurang-
kurangnya ada dalam label pangan adalah nama produk, daftar bahan
yang digunakan, berat bersih atau isi bersih, nama dan alamat produsen,
tanggal kadaluwarsa, dan nomor pendaftaran, serta kandungan zat gizi
menjadi bagian penting dari label. Label tersebut harus tidak lepas dari
kemasannya, tidak mudah luntur, dan terletak pada bagian yang mudah
dilihat dan dibaca (BPOM, 2020). Label pangan juga digunakan sebagai
panduan diet, penyampaian informasi nilai gizi, komposisi pangan utama
dalam setiap item makanan yang diproduksi dan berapa banyak jumlahnya
yang baik untuk kesehatan konsumen. Industri makanan berkomitmen
untuk menyediakan konsumen dengan pilihan makanan sehat dan
informasi zat gizi yang dapat dihandalkan (Facjriddin et al., 2022).
Adapun beberapa tujuan pelabelan pada kemasan yaitu untuk
memberi informasi tentang isi produk yang diberi label tanpa harus
membuka kemasan, selain itu juga menjadi sarana komunikasi dari produk
untuk diketahui konsumen sebelum membeli atau mengonsumsinya.
Selain itu, sebagai petunjuk umum konsumen tentang manfaat produk,
serta sebagai petunjuk untuk konsumen tentang manfaat produk, serta
sebagai sarana periklanan dan memberi rasa aman bagi konsumen (Lailla
& Tarmiz, 2021).
Berdasarkan (BPOM, 2020) label pangan terdiri dari dua bagian,
antara lain sebagai berikut:
Bagian utama
Beberapa hal yang perlu ada pada bagian utama antara lain:
1) Pencantuman nama produk
2) Pencantuman berat bersih
3) Pencantuman nama dan alamat produsen atau distributor
Bagian informasi
Beberapa hal yang perlu ada pada bagian informasi antara lain:
1) Pencantuman komposisi
2) Pencantuman informasi nilai gizi
3) Pencantuman kode dan tanggal produksi
4) Pencantuman tanggal kadaluwarsa
5) Pencantuman petunjuk penyimpanan
6) Pencantuman petunjuk penggunaan produk pangan
Label pangan terdiri dari dua bagian, yaitu bagian utama atau
depan dan bagian belakang. Kedua bagian ini bisa terdapat dalam
satu label atau dibagi dua yaitu bagian depan berisi nama produk
dan berat sedangkan bagian belakang berisi semua informasi zat gizi
serta daftar komposisi pangan (Ikrima et al., 2023).
b. Keterangan pada Label Pangan
1) Nama Produk Pangan
Nama produk pangan merupakan identitas mengenai
produk pangan yang terkait dengan karakteristik produk sehingga
menunjukkan sifat dan atau keadaan yang sebenarnya dari suatu
produk. Nama produk pangan berbeda dengan nama dagang,
nama dagang adalah nama yang diberikan produsen sebagai
identitas produk yang diperdagangkan (BPOM, 2020). Nama
produk pangan merupakan keterangan yang tertera pada bagian
utama label pangan dan untuk produk dalam negeri ditulis
menggunakan bahasa Indonesia. Sedangkan produk dari luar
negeri boleh ditulis dalam bahasa Inggris atau dalam bahasa
Indonesia (Hermanianto et al., 2021).
2) Komposisi Pangan
Komposisi pangan adalah keterangan daftar bahan yang
digunakan dalam kegiatan atau proses produksi pangan. Bahan yang
dicantumkan meliputi bahan baku, bahan tambahan pangan, bahan
penolong. Nama bahan ditulis berdasarkan nama lazim yang lengkap
dan dimulai dari bahan yang digunakan paling banyak (bahan utama).
Sedangkan vitamin , mineral dan BTP dikecualikan dari ketentuan.
Komposisi pangan akan memberikan informasi tentang jenis, jumlah,
bumbu dan bahan kimia dalam produk pangan. Pencantuman komposisi
pangan harus didahului dengan keterangan :
 Daftar bahan
 Bahan yang digunakan
 Bahan-bahan
 Komposisi
3) Berat Bersih
Berat bersih adalah keterangan mengenai jumlah pangan olahan
yang terdapat di dalam kemasan atau wadah. Berat bersih dinyatakan
dalam satuan metrik. Untuk makanan padat dinyatakan dalam satuan
berat, untuk makanan cair dinyatakan dalam satuan isi bersih.
Sedangkan untuk makanan semi padat atau kental dinyatakan dengan
berat bersih atau isi bersih (BPOM, 2020).
4) Alamat Produsen
Alamat produsen adalah keterangan nama. Jika produk impor,
maka harus dilengkapi dengan kode negara asal dan jika sudah terdaftar
pada direktori kota atau buku telepon maka tidak perlu mencantumkan
alamat jelas.
5) Tanggal Kadaluwarsa
Keterangan kadaluwarsa (BPOM RI, 2018) merupakan batas
akhir suatu pangan dijamin mutunya, sepanjang penyimpanannya
mengikuti petunjuk yang diberikan produsen. Keterangan kadaluwarsa
yang dicantumkan meliputi tanggal, bulan, dan tahun.
Pangan Olahan memiliki masa simpan kurang dari atau sama
dengan 3 (tiga) bulan. Keterangan kadaluwarsa didahului dengan
tulisan “Baik digunakan sebelum”. Keterangan kadaluwarsa dapat
dicantumkan terpisah dari tulisan “Baik digunakan sebelum”, dan
disertai dengan petunjuk tempat pencantuman tanggal kadaluwarsa
dapat berupa:
”Baik digunakan sebelum, lihat bagian bawah kaleng”
”Baik digunakan sebelum, lihat pada tutup botol”.
Istilah umur simpan poduk pangan antara lain:
 Best before date : keadaan suatu produk masih dalam kondisi
baik dan masih dapat dikonsumsi beberapa saat setelah
tanggal yang tercantum sebagai batas optimal kelayakan
produk terlewati. Biasanya istilah ini digunakan untuk produk
umur simpan tinggi seperti permen , produk cokelat, dan
minuman beralkohol.
 Use by date : keadaan suatu produk tidak dapat dikonsumsi,
karena berbahaya bagi keadaan manusia (produk yang sangat
mudah rusak oleh mikroba) setelah tanggal yang tercantum
terlewati. Istilah ini biasanya dicantumkan pada produk-
produk dengan umur simpan pendek seperti susu segar, susu
cair, daging, serta sayur-sayuran (Vetrico Rolucky, 2020).
Pencantuman batas kadaluwarsa biasanya dilakukan oleh
produsen sekitar dua atau tiga bulan lebih cepat dari umur
simpan produk yang sesungguhnya (Nuraini & Widanti, 2020)
dengan tujuan :
 Menghindari dampak yang muncul apabila konsumen benar-
benar mengonsumsi produk yang sudah melewati batas
tanggal kadaluwarsa sehingga merugikan konsumen.
 Memberi kesempatan kepada produsen untuk mengambil
produk mereka yang sudah mendekati waktu kadaluwarsa
dimana produk tersebut sudah disebar ke tempat penjualan dan
tidak laku dibeli konsumen agar konsumen tidak lagi membeli
produk tersebut.
6) Nomor Pendaftaran
Nomor Pendaftaran adalah nomor persetujuan keamanan pangan,
mutu, dan gizi serta label pangan dalam rangka peredaran pangan yang
diberikan oleh Badan POM RI atau Dinas Kesehatan Kabupaten atau
Kota. Ada dua jenis nomor pendaftaran (BPOM, 2011) :
 MD dan SP/P-IRT untuk nomor pendaftaran dalam negeri
setelah melalui penilaian oleh pemerintah produk itu dijamin
aman. MD adalah makanan dalam negeri yang dikeluarkan
oleh BPOM RI. P-IRT adalah Pangan Industri Rumah Tangga
yang dikeluarkan Dinas Kesehatan Kabupten/Kota.
 ML adalah nomor pendaftaran produk impor, setelah melalui
penilaian, pemerintah menjamin produk itu aman. ML adalah
mkanan luar negeri.
7) Kode Produksi Pangan
Kode produksi adalah keterangan riwayat produksi pangan yang
bersangkutan. Beberapa produk-produk yang diwajibkan untuk
mencantumkan kode produksi pada label diantaranya susu pasteurisasi,
sterilisasi, fermentasi dan susu bubuk, makanan atau minuman yang
mengandung susu, makanan bayi, makanan kaleng yang komersial,
serta daging dan hasil olahannya (BPOM, 2020).
8) Informasi Nilai Gizi
Informasi Nilai Gizi adalah daftar kandungan zat gizi pangan
pada label pangan sesuai dengan format yang dibakukan. Pencantuman
informasi nilai gizi berbeda-beda di setiap negara, ada yang bersifat
wajib ada juga yang bersifat sukarela.
a) Pencantuman informasi nilai gizi di Indonesia diterapkan
secara sukarela, namun diwajibkan membuat label pangan
yang memuat keterangan tertentu (BPOM, 2020), seperti :
 Adanya pernyataan bahwa pangan mengandung vitamin,
mineral, atau zat gizi lainnya yang ditambahkan misalnya
pangan yang memuat klaim pangan untuk diet khusus.
 Dipersyaratkan berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku di bidang mutu gizi pangan, wajib
ditambahkan vitamin, mineral, atau zat gizi lainnya
(pangan wajib fortifikasi).
b) Menurut BPOM dalam Pedoman Pencantuman Informasi Nilai
Gizi pada Label Pangan 2011, zat gizi yang dicantumkan
dibagi menjadi :
 Zat gizi yang wajib dicantumkan adalah : energi total,
lemak total, protein, karbohidrat total dan natrium.
 Zat gizi yang wajib dicantumkan dengan persyaratan tertentu
: energi dari lemak, lemak jenuh, lemak trans, kolesterol,
gula, vitamin A, vitamin C, kalsium, zat besi. Zat gizi lain
yang wajib ditambahkan atau difortifikasi sesuai dengan
ketentuan berlaku dan zat lain yang pernyataannya (klaim)
dicantumkan pada label pangan.
 Zat gizi yang dicantumkan secara sukarela dalam
informasi nilai gizi sesuai ketentuan yang berlaku. Zat-zat
gizi terebut antara lain energi dari lemak jenuh, MUFA,
PUFA, kalium, serat pangan larut, serat pangan tidak larut,
gula alkohol, karbohidrat lain, vitamin, mineral dan zat
gizi lain.
c) Keterangan tentang kandungan gizi harus dicantumkan dalam
persentase dari Angka Kecukupan Zat Gizi (AKG) . AKG pada
label informasi nilai gizi yaitu rata-rata kecukupan zat gizi
yang diperlukan setiap hari oleh individu berdasarkan
golongan umur, jenis kelamin, ukuran tubuh, aktivitas tubuh
dan kodisi fisiologi khusus agar mencapai tingkat kesehatan
yang optimal. AKG pelabelan sesuai kelompok umur
sebagai Keputusan Badan Pengawas Obat dan Makanan RI
No. 9 Tahun 2016 tentang Acuan Label Gizi.
d) Acuan label gizi dalam produk tersebut dibagi dalam
beberapa kelompok konsumen seperti berikut :
 Acuan Label Gizi untuk makanan yang dikonsumsi umum
 Acuan Label Gizi untuk makanan bayi usia 0-6 bulan
 Acuan Label Gizi untuk makanan bayi usia 7-11 bulan
 Acuan Label Gizi untuk makanan anak usia 1- 3 tahun
 Acuan Label Gizi untuk makanan ibu hamil
 Acuan Label Gizi untuk makanan ibu menyusui
e) Informasi yang wajib dicantumkan pada bagian informasi
nilai gizi adalah sebagai berikut :
 Jenis zat yang dicantumkan
Zat gizi adalah zat atau senyawa yang terdapat dalam
pangan yang terdiri atas karbohidrat, protein, lemak,
vitamin, mineral, serat, air dan komponen lain yang
memberikan energi, diperlukan untuk pertumbuhan,
perkembangan atau pemeliharaan kesehatan, bila
kekurangan atau kelebihan dapat menyebabkan perubahan
karakteristik biokimia dan fisiologi tubuh (BPOM, 2016).
 Takaran Saji
Bagian pertama yang dapat dilihat adgalah jumlah sajian
perkemasan. Takaran saji adalah jumlah produk pangan
yang biasa dikonsumsi dalam satu kali makan, dinyatakan
dalam ukuran rumah tangga yang sesuai untuk produk
pangan tersebut (BPOM, 2015). Takaran saji
mempengaruhi jumlah asupan kalori dan semua nutrisi
yang tercantum pada label. Takaran saji dicantumkan
sesuai dengan ukuran rumah tangga seperti miligram (ml),
gram(gr), sendok teh, sendok makan, sendok takar, gelas,
botol, kaleng, mangkuk atau cup
, bungkus , sachet , keping , potong , iris (BPOM, 2005).
 Nilai gizi
Uraian tentang zat gizi yang dicantumkan dalam
Informasi Nilai Gizi yang merupakan kandungan
masing-masing zat gizi per sajian. Informasi Nilai Gizi
dihitung berdasarkan kebutuhan energi 2000 kkal.
c. Pengaturan Hukum Tentang Label Pangan
Pengaturan hukum tentang label pangan terdapat dalam
Undang-undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan dan
Peraturan Pemerintah Nomor 69 tentang Label dan Iklan Pangan.
Undang-undang Perlindungan Konsumen juga mengatur secara
umum, sebagai payung hukum karena label pangan juga
merupakan bagian dari perlindungan konsumen pada umumnya.

Undang-undang Pangan memuat tentang label pangan di


antaranya tampak dalam pasal-pasal sebagai berikut:
Pasal 96
(1) Pemberian label Pangan bertujuan untuk memberikan informasi
yang benar dan jelas kepada masyarakat tentang setiap produk
Pangan yang dikemas sebelum membeli dan/atau mengonsumsi
Pangan.
(2) Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terkait dengan
asal, keamanan, mutu, kandungan Gizi, dan keterangan lain
yang diperlukan.
Pasal 97
(1) Setiap Orang yang memproduksi Pangan di dalam negeri untuk
diperdagangkan wajib mencantumkan label di dalam dan/atau
pada Kemasan Pangan.
(2) Setiap Orang yang mengimpor pangan untuk diperdagangkan
wajib mencantumkan label di dalam dan/atau pada Kemasan
Pangan pada saat memasuki wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
(3) Pencantuman label di dalam dan/atau pada Kemasan Pangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditulis atau
dicetak dengan menggunakan bahasa Indonesia serta memuat
paling sedikit keterangan mengenai: nama produk; daftar bahan
yang digunakan; berat bersih atau isi bersih; nama dan alamat
pihak yang memproduksi atau mengimpor; halal bagi yang
dipersyaratkan; tanggal dan kode produksi; tanggal, bulan, dan
tahun kedaluwarsa; nomor izin edar bagi Pangan Olahan; dan
asal usul bahan Pangan tertentu.
(4) Keterangan pada label sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
ditulis, dicetak, atau ditampilkan secara tegas dan jelas sehingga
mudah dimengerti oleh masyarakat.
Pasal 98
(1) Ketentuan mengenai label berlaku bagi Pangan yang telah
melalui proses pengemasan akhir dan siap untuk
diperdagangkan.
(2) Ketentuan label tidak berlaku bagi Perdagangan Pangan yang
dibungkus di hadapan pembeli.
(3) Pemerintah dan Pemerintah Daerah melaksanakan pembinaan
terhadap usaha mikro dan kecil agar secara bertahap mampu
menerapkan ketentuan label sebagaimana dimaksud pada ayat
(1).
Pasal 99
Setiap Orang dilarang menghapus, mencabut, menutup,
mengganti label, melabel kembali, dan/atau menukar tanggal,
bulan, dan tahun kedaluwarsa Pangan yang diedarkan.
Pasal 100
(1) Setiap label Pangan yang diperdagangkan wajib memuat
keterangan mengenai Pangan dengan benar dan tidak
menyesatkan.
(2) Setiap Orang dilarang memberikan keterangan atau pernyataan
yang tidak benar dan/atau menyesatkan pada label.
Pasal 102
(1) Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 97 ayat (1), Pasal 99, dan Pasal 100 ayat (2) dikenai
sanksi administratif.
(2) Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 97 ayat (2) wajib mengeluarkan dari dalam wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia atau memusnahkan Pangan
yang diimpor.
(3) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berupa:
a. Denda;
b. Penghentian sementara dari kegiatan, produksi, dan/atau
peredaran;
c. Penarikan pangan dari peredaran oleh produsen;
d. Ganti rugi; dan/atau
e. Pencabutan izin.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis, besaran denda, tata cara,
dan mekanisme pengenaan sanksi administratif sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) diatur dalam Peraturan
Pemerintah.
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN

B. SARAN
DAFTAR PUSTAKA

BPOM. (2020). Label Pangan Olahan. In Bpom Ri.


BPOM . 2011. Tentang Terlaksana Pendaftaran
Pangan Olahan. Jakrata : BPOM RI
Facjriddin, I. I., Mosipate, E. M., & Yunus, S. M. (2022). Kebiasaan membaca label
ING minuman manis kemasan pada remaja-dewasa di Makassar. GHIZAI :
Jurnal Gizi Dan Keluarga, 2(1), 25–33.
Hermanianto, J., Purwandani, A. A., & Muhandri, T. (2021). Pemenuhan Peraturan
Pelabelan pada Produk IRTP di Kabupaten Kebumen. Jurnal Mutu Pangan :
Indonesian Journal of Food Quality, 8(1), 25–33.
https://doi.org/10.29244/jmpi.2021.8.1.25
Ikrima, I. R., Giriwono, P. E., & Rahayu, W. P. (2023). Pemahaman dan Penerimaan
Label Gizi Front of Pack Produk Snack oleh Siswa SMA di Depok. Jurnal Mutu
Pangan : Indonesian Journal of Food Quality, 10(1), 42–53.
https://doi.org/10.29244/jmpi.2023.10.1.42
Lailla, N., & Tarmiz, M. I. (2021). Pengaruh Label, Video Produk dan Laporan
Keuangan Online Untuk Pengembangan Usaha pada Usaha Rumahan Keripik
Tempe Wiwin. Prosiding Seminar Nasional Pengabdian Masyarakat …, 1–8.
Nuraini, V., & Widanti, Y. A. (2020). Pendugaan Umur Simpan Makanan
Tradisional Berbahan Dasar Beras Dengan Metode Accelerated Shelf-Life
Testing (Aslt) Melalui Pendekatan Arrhenius Dan Kadar Air Kritis. Jurnal
Agroteknologi, 14(02), 189. https://doi.org/10.19184/j-agt.v14i02.20337
Vetrico Rolucky. (2020). Makanan Kadaluarsa Dan Hak-Hak Konsumen Menurut
Undang-Undang No 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Lex Et
Societatis, 7(10), 14–23.
Gardjito, M., Djuwardi, A., & Harmayani, E. (2013). Pangan Nusantara (Y.
Rendy (ed.)). Kencana.
Made Ayu Suardani Singapurwa, N. (2022). Sekilas Pangan Tradisional (N.
Made Ayu Suardani Singapurwa (ed.)). Scopindo Media Pustaka.
Prakoso, T., Supadmi, Setya Wardana, A., Utari, I., Manguri Rahayu, M.,
Aghadiati, F., Eva Nirmagustina, D., Anwar, K., Hasporo Wirandoko, I.,
Ayu Puspitasari, R., & Faransiska Butaebutar, A. (2023). Ekologi Pangan
Dan Gizi (D. Wahyu Mulyasari (ed.)). Penerbit Pradina Pustaka.
Suryana, Junaidin, Aisyah R, S., Dwi Andrestian, M., Wulansari, A., Junita, D.,
Wulan Dari, D., Widyastuti Hariati, N., & Umar. (2023). Ekonomi Pangan
Dan Gizi. Get Press Indonesia.
Wida Utami, W., Mirajiani, & Tresna Sumantri, A. (2023). Program Difersivikasi
Pangan Sebagai Salah Satu Upaya Pencapaian Ketahanan Pangan Di Desa
Cikeusik Kecamatan Wanasalam Kabupaten Lebak Provinsi Banten. Jurnal
Pengabdian Dinamika, 10(1), 26–35.
Yuniar, R. (2022). Jembatan Emas Ketahanan Pangan. Yayasan Pustaka Obor
Indonesia.
Anonym. (2016). Peraturan pemerintahan republic Indonesia (pp) nomor 28 tahun
2004 (28/2004). Diakses 24 oktober 2023 dari
https://www.bphn.go.id/data/documents/04pp028.pdf
Anggiarini, A. N., Hanim, L., & Ma’ruf, U. (2018). Pelaksanaan Kebijakan
Pemerintah Daerah Terkait Bahan Tambahan Pangan Pada Jajanan Anak
Sekolah Menurut Permenkes No. 033 Tahun 2012 (Studi di Kabupaten
Jepara). Jurnal Hukum Khaira Ummah, 13(1), 215-228.
https://core.ac.uk/download/pdf/236374322.pdf
Nainggolan, I. (2018). Tanggung Jawab Pidana bagi Pelaku Usaha yang
Menggunakan Bahan Tambahan Pangan (BTP) Berbahaya pada Produk
Pangan. EduTech: Jurnal Ilmu Pendidikan dan Ilmu Sosial, 4(2).
https://jurnal.umsu.ac.id/index.php/edutech/article/view/2429
Prawira, iqbal. (2018). Lampiran permenkes no 772/menkes/per/ix/1988.
Academi.edu.
https://www.academia.edu/8259295/
Lampiran_Permenkes_No_722_MENKES_PER_IX_1988
Ratnani, R. D. (2009). Bahaya bahan tambahan makanan bagi kesehatan. Majalah
Ilmiah MOMENTUM, 5(1).
https://publikasiilmiah.unwahas.ac.id/index.php/MOMENTUM/article/view/146
Siagian, A. (2002). Bahan Tambahan Makanan.
https://dupakdosen.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/3773/fkm-albiner.pdf?
sequence=1
Wahyudi, J. (2017). Mengenali bahan tambahan pangan berbahaya:
Ulasan. Jurnal Litbang: Media Informasi Penelitian, Pengembangan Dan
IPTEK, 13(1), 3-12.
Fitri, Z., & Salam, A. (2018). PENERAPAN PEDOMAN GIZI SEIMBANG PADA
IBU BALITA DI KELURAHAN BABAKAN. 2(September), 148–153.
Havis, A., & Aisah, A. (2023). Edukasi Pedoman Gizi Seimbang dan
Implementasi Isi Piring Makanku pada Siswa SMP Negeri 5 Kota Jambi.
5(1), 111–116. https://doi.org/10.36565/jak.v5i1.456
Kemenkes. (2014). Pedoman gizi seimbang.
Muthmainah, F. N., Khomsan, A., Riyadi, H., Prasetya, G., Masyarakat, D. G.,
Manusia, F. E., & Bogor, I. P. (n.d.). Konsumsi Sayur dan Buah pada Siswa
SMP sebagai Implementasi Pedoman Gizi Seimbang Vegetables and Fruits
Consumption in Junior High School Student as the Implementation of
Indonesian Balanced-Nutrition Guidelines. 178–187.
Silalahi, V., Sufyan, D., Wahyuningsih, U., & Puspareni, L. (2020).
PENGETAHUAN PEDOMAN GIZI SEIMBANG DAN PERILAKU PILIHAN
PANGAN PADA REMAJA PUTRI OVERWEIGHT: STUDI KUALITATIF.
Permenkes Nomor 41 Tahun 2014 Tentang Pedoman Gizi Seimbang.
https://hukor.kemkes.go.id.
Lutfi Alfia. (2019). Jurnal Ilmiah Administrasi Publik ( JIAP ) Implementasi
Program Peningkatan Ketahanan Pangan ( Studi pada Dinas Pertanian.
Ilmiah Administrasi Publik (JIAP), 2(3), 49–58.
https://jiap.ub.ac.id/index.php/jiap/article/view/600/1255
Sartika, R. S. (2020). Keamanan pangan Penyelenggaraan Makanan bagi Pekerja.
Jurnal Gizi Kerja Dan Produktivitas, 1(1), 29–35.
Wahongan, A. S., Simbala, Y., & Gosal, V. Y. (2021). Strategi Mewujudkan
Keamanan Pangan Dalam Upaya Perlindungan Konsumen. LexEtSocietatis,
9(3), 1–26.
Lutfi Alfia. (2019). Jurnal Ilmiah Administrasi Publik ( JIAP ) Implementasi
Program Peningkatan Ketahanan Pangan ( Studi pada Dinas Pertanian.
Ilmiah Administrasi Publik (JIAP), 2(3), 49–58.
https://jiap.ub.ac.id/index.php/jiap/article/view/600/1255
Sartika, R. S. (2020). Keamanan pangan Penyelenggaraan Makanan bagi Pekerja.
Jurnal Gizi Kerja Dan Produktivitas, 1(1), 29–35.
Wahongan, A. S., Simbala, Y., & Gosal, V. Y. (2021). Strategi Mewujudkan
Keamanan Pangan Dalam Upaya Perlindungan Konsumen. LexEtSocietatis,
9(3), 1–26.

Anda mungkin juga menyukai