Anda di halaman 1dari 28

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1. Landasan `Teori

2.1.1.Teori Agensi

Teori keagenan oleh Jensen dan Meckling tahun 1976 menerangkan

korelasi pada ikatan antara principal dan agent. Orang lain (agent) dipilih oleh

principal untuk melakukan sebuah jasa serta agent diberikan kekuasaan dalam

pengambilan keputusan (Hariawan et al., 2020). Pemerintah Pusat maupun Daerah

(principal) memberikan tanggung jawab kepada Pemerintah Desa (agent) guna

melaksanakan kegiatan Pemerintahan Desa terlebih khusus pada pengelolaan dana

desa (Laksmi & Sujana, 2019).

Premis dasar teori agensi oleh Jensen dan Meckling tahun 1976 yaitu

apabila pada hubungan principal-agent kedua sisi berupaya mengoptimalkan fungsi

utilitas, maka akan terdapat perbedaan antara principal dan agent. Perbedaan tersebut

meliputi tindakan yang tidak dilaksanakan oleh agent namun sebenarnya tindakan

tersebut diharapkan oleh principal. Penyebab hal ini yaitu tujuan yang ingin diraih

principal dan agent berbeda. Oleh karena itu, untuk mengatasi perbedaan

kepentingan tersebut maka prinsipal menentukan insentif yang patut untuk agen serta

muncul biaya monitoring untuk memberikan batas tindakan agen yang melenceng

(Sonbay, 2022).

Teori keagenan oleh Jensen dan Meckling tahun 1976 mempercayai

bahwa konflik yang terjadi antara pihak terkait bisa dikurangi melalui laporan
keuangan serta sistem pertanggungjawabannya. Para individu yang berperan serta

dalam urusan pemerintahan desa umumnya mempunyai keperluan pribadi yang bisa

saja berbenturan dengan keperluan stakeholder pemerintahan desa yaitu masyarakat

(Fathia & Indriani, 2022).

Inti dari teori keagenan yang diutarakan oleh Eisenhardt tahun 1989

menyatakan terdapat tiga karakteristik dasar individu yaitu pribadi yang

memprioritaskan keperluan individunya terlebih dahulu, pribadi yang memiliki

pikiran pendek mengenai masa yang akan datang, serta pribadi yang membantah

risiko. Organisasi akan berlangsung selaras dengan keinginan para stakeholder atau

tidak itu sangat ditentukan oleh faktor personal yang digambarkan lewat tiga

karakteristik dasar (Fathia & Indriani, 2022).

2.1.2.Teori Perkembangan Moral Kohlberg

Teori perkembangan moral oleh Kohlberg tahun 1995 mempunyai

pemikiran bahwa dasar perbuatan etis yaitu penalaran moral. Seseorang memiliki

moral yang tinggi atau rendah bisa diukur dengan tahapan perkembangan moral yang

berlandaskan pada perkembangan penalaran moralnya (Yusuf et al., 2021). Mengerti

tingkat penalaran moral individu merupakan dasar memahami keinginan seseorang

melaksanakan perbuatan tertentu mengenai dilema etika yang berdasar pada tingkat

penalaran moralnya (Rahimah et al., 2018).

Pada perkembangan moral terdapat tiga fase yaitu fase pre-conventional,

fase conventional, serta fase post-conventional (Yusuf et al., 2021). Pada fase pre-

conventional pribadi cenderung melakukan perbuatan sebab mengindikasikan

ketaatan serta kekhawatiran pada hukum. Pada tingkatan moral ini, seseorangberpikir
bahwa keperluan individunya merupakan urusan utama ketika melaksanakan

perbuatan (Fathia & Indriani, 2022).

Pada fase conventional, dasar pertimbangan moral yang berkenaan

dengan peraturan sosial, wawasan hukum, tanggung jawab, serta keadilan dalam

wilayah sosial dimiliki oleh seseorang. Pada fase ini moralitas manajemen terwujud

sebab manajemen mulai mematuhi standar akuntansi serta aturan yang lain guna

terhindar dari kecurangan (Fathia & Indriani, 2022).

Pada fase post-conventional, seseorang telah memperlihatkan

kedewasaan yang lebih tinggi pada moral manajemen. Kedewasaan moral merupakan

dasar yang dipertimbangkan oleh manajemen ketika menghadapi isu-isu etis

mengenai kewajiban sosial terhadap orang lain. Berdasar pada tanggung jawab sosial,

para manajemen yang bermoralitas tinggi diharapkan tidak akan melaksanakan

perbuatan yang melanggar serta potensi penyelewengan pada akuntansi (Fathia &

Indriani, 2022).

2.1.3.Pengertian Fraud

Terdapat sejumlah gagasan menyatakan jika kecurangan dengan fraud itu

berbeda sehingga sedikit tidak tepat dan benar apabila fraud didefinisikan sebagai

kecurangan. Berdasarkan Kamus Inggris-Indonesia, fraud memiliki makna yaitu

penipuan, kecurangan, atau penggelapan dana masyarakat. Hal ini berlainan dengan

berdasar pada Kamus Besar Bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Balai Pustaka,

kecurangan memiliki makna yaitu tidak jujur dan suatu keculasan (Wulandari et al.,
2021).

Fraud yaitu kegiatan penyelewengan kepemilikan bersama seperti

sumber daya perusahaan serta negara yang dilaksanakan dengan sengaja serta sadar

demi kesenangan individual lalu merahasiakan penyelewengan tersebut dengan cara

menyediakan informasi yang tidak benar (Ristianingsih, 2017).

Terdapat dua bentuk kesalahan pada akuntansi yaitu kecurangan (fraud)

serta kekeliruan (error). Hal yang membuat berbeda antara dua bentuk kesalahan ini

yaitu terdapat atau tidaknya faktor kesengajaan (Anggraini et al., 2019). Kecurangan

dilaksanakan dengan cara menggunakan peluang yang tidak benar guna memperoleh

keuntungan pribadi ataupun kelompok yang dapat menimbulkan kerugian pihak lain

(Karyono, 2013:5).

2.1.4.Dana Desa

Dana desa yaitu dana yang ditujukan untuk Desa dan diutamakan guna

penggunaan pembangunan serta pemberdayaan masyarakat desa, dana ini berasal dari

APBN yang dikirimkan lewat APBD kabupaten/kota (Erowati, 2021).

Berdasarkan Permendagri Nomor 20 Tahun 2018 Tentang Pengelolaan

Keuangan Desa bahwa “Pendapatan Desa terdiri atas kelompok:

1. Pendapatan Asli Desa

Pendapatan asli desa terdiri atas jenis: hasil usaha; hasil aset; swadaya,

partisipasi dan gotong royong; dan pendapatan asli Desa lain.

2. Tranfer
Kelompok transfer terdiri atas jenis: dana Desa; bagian dari hasil pajak daerah

dan retribusi daerah kabupaten/kota; alokasi dana desa; bantuan keuangan dari

Anggaran Pendapatan Belanja Daerah Provinsi; dan bantuan keuangan dari Anggaran

Pendapatan Belanja Daerah Kabupaten/Kota.

3. Pendapatan Lain

Kelompok pendapatan lain terdiri atas: penerimaan dari hasil kerja sama Desa;

penePembangunan serta pemberdayaan masyarakat adalah sasaran dari dana desa,

oleh sebab itu prioritas bukan hanya pada pembangunan secara fisik tetapi

pemberdayaan masyarakat yang ada di Desa juga dilaksanakan sehingga

meningkatkan kemandirian desa pada pemenuhan kebutuhan serta terbebas dari

kemiskinan (Hulu et al., 2018).

Berdasarkan Lampiran Peraturan Menteri Desa PDTT Nomor 8 Tahun 2022

Tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2023 bahwa

“Prioritas Penggunaan Dana Desa didasarkan pada prinsip:

1. Kemanusiaan adalah pengutamaan hak dasar, harkat dan martabat manusia;

2. Keadilan adalah pengutamaan pemenuhan hak dan kepentingan seluruh warga

Desa tanpa membeda-bedakan;

3. Kebhinekaan adalah pengakuan dan penghormatan terhadap keanekaragaman

budaya dan kearifan lokal sebagai pembentuk kesalehan sosial berdasarkan nilai-nilai

kemanusiaan universal;
4. Keseimbangan alam adalah pengutamaan perawatan bumi yang lestari untuk

keberlanjutan kehidupan manusia;

5. Kebijakan strategis nasional berbasis kewenangan Desa sebagaimana tertuang

didalam Rencana Kerja Pemerintah tahun 2023 dengan tetap memperhatikan

kewenangan Desa; dan

6.Sesuai dengan kondisi obyektif Desa adalah suatu keadaan yang sebenarnya

berdasarkan data dan informasi faktual, tanpa dipengaruhi pendapat atau pandangan

pribadi dan terlepas dari persepsi emosi, atau imajinasi.”

2.1.5.Kompetensi Aparatur

Kompetensi yaitu keterampilan yang terdapat pada setiap pribadi guna

melakukan kewajiban serta tanggung jawabnya ketika menjalankan pekerjaan yang

sedang digelutinya (Islamiyah et al., 2020). Kompetensi aparatur desa merupakan

kemampuan yang terdapat dalam pribadi dengan maksud melancarkan mendapat

sesuatu yang diisyaratkan oleh pekerjaan pada sebuah desa (Aprilia & Yuniasih,

2021).

Pemerintah Desa wajib mempunyai kompetensi sumber daya manusia

yang unggul pada bidang pengelolaan dana desa yang ditunjang melalui menempuh

penataran, pengalaman, latar belakang sekolah, paham akan akuntansi dan keuangan

desa, mengerti ketentuan dan mekanisme pengelolaan keuangan desa serta maksud

dari pemerintah memberikan dana tersebut. Hal ini dibutuhkan supaya pada

pengelolaan keuangan desa tidak terdapat kesalahan serta ketidakcocokan laporan


yang disusun berlandaskan standar pengelolaan keuangan yang telah ditentukan

pemerintah (Laksmi & Sujana, 2019).

Terdapat tiga indikator kompetensi aparatur berdasar pada konsep

(Romadaniati et al., 2020), yaitu:

1.Pengetauhan

Pengetahuan diukur melalui kemampuan aparatur dalam pengumpulan

informasi yang dibutuhkan dan penetapan rencana kerja serta penggunaan data yang

relevan dan terbaru.

2.Keterampilan

Keterampilan diukur melalui penerapan prinsip efisiensi dan berorientasi,

pemanfaatan teknologi dan sumber pada pelaksanaan tugas, serta pemberian alternatif

lebih dari satu oleh aparatur kepada pimpinan.

3.Sikap Perilaku

Sikap perilaku diukur melalui proses penyelesaian masalah sesuai dengan

prosedur yang ada, sikap positif aparatur pada kondisi tidak menyenangkan, serta

sikap aparatur dalam menghargai pendapat orang lain.

2.1.6.Moralitas Individu

Moralitas individu yaitu tingkah laku terpuji yang mana individu

tersebut tidak menagih imbalan (Udayani & Sari, 2017). Moralitas bisa didefinisikan

sebagai mutu yang memperlihatkan apakah tindakan yang dilakukan individu baik

atau tidak. Apabila individu mempunyai pesona berkepribadian baik yang


mempunyai nilai positif pada penilaian kebudayaan penduduk sekitar maka individu

tersebut dikatakan bermoral (Marsini et al., 2019).

Menurut Aprilia & Yuniasih (2021) moral bisa diketahui melalui tindakan

atau perkataan individu saat bersosialisasi dengan manusia. Individu dianggap

bermoral baik jika individu berbuat selaras dengan nilai rasa yang berlaku pada

penduduk tersebut dan bisa diterima serta membahagiakan di daerah penduduknya.

Terdapat enam indikator moralitas individu berdasar pada konsep (Fathia &

Indriani, 2022), yaitu:

1.Kepatuhan Dan Hukuman

Kepatuhan dan hukuman diukur melalui kesesuaian antara pekerjaan dengan

tanggung jawab serta kesadaran akan tanggung jawab bekerja.

2.Individualisme

Individualisme diukur melalui memberikan bantuan kepada sesama rekan

kerja guna menggapai tujuan.

3.Kesesuaan Antarpribadi

Kesesuaian antarpribadi diukur melalui kemampuan aparatur dalam

beradaptasi dengan baik di lingkup pekerjaan serta lingkup lainnya.

4.Kelasaran Sosial

Keselarasan sosial diukur melalui kesesuaian antara perbuatan dengan moral

yang berlaku pada tempat bekerja serta masyarakat.


5.Utilitas Sosial

Utilitas sosial diukur melalui komitmen aparatur untuk berperilaku dan

bersikap sesuai dengan norma yang berlaku.

6.Prinsip Etika Universal

Prinsip etika universal diukur melalui kejujuran aparatur saat bekerja dalam

menjalankan tugas dan tanggung jawabnya.

2.1.7.Sistem Pengendalian Interns

Berdasar pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 60 Tahun

2008 Tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah bahwa “Sistem pengendalian

intern adalah proses yang integral pada tindakan dan kegiatan yang dilakukan secara

terus menerus oleh pimpinan dan seluruh pegawai untuk memberikan keyakinan

memadai atas tercapainya tujuan organisasi melalui kegiatan yang efektif dan efisien,

keandalan pelaporan keuangan, pengamanan aset negara, dan ketaatan terhadap

peraturan perundang-undangan.”

Menurut Tuanakotta (2016) terdapat dua macam pengendalian yaitu

pengendalian intern aktif dan pengendalian intern pasif. Pengendalian intern aktif

memiliki kata pokok yaitu to prevent yang bermakna mencegah. Sedangkan

pengendalian intern pasif memiliki kata pokok yaitu to deter yang bermakna

mencegah sebab memiliki dampak terlalu tinggi, menciptakan efek jera.


Terdapat empat indikator sistem pengendalian internal berdasar pada konsep

Fahreza et al. (2022); serta Romadaniati et al. (2020) yaitu lingkungan pengendalian,

penilaian risiko, kegiatan pengendalian, informasi komunikasi, serta kegiatan

pengawasan.

1.Lingkungan Pengendalian

Corak pada sebuah institusi ditentukan oleh lingkungan pengendalian. Selain

itu, kesadaran pengendalian orang-orang juga dipengaruhi oleh lingkungan

pengendalian. Landasan untuk seluruh bagian pengendalian intern serta membekali

kepatuhan dan struktur adalah lingkungan pengendalian.

2.Penaksiran Risiko

Identifikasi dan pengamatan risiko yang terkait dengan target entitas

dilakukan lewat penilaian risiko, yang berfungsi sebagai landasan guna memutuskan

bagaimana risiko harus ditangani.

3.Aktivitas Pengendalian

Aktivitas pengendalian yaitu peraturan serta mekanisme yang memberikan

jaminan jika perintah manajemen dikerjakan.

4.Informasi Dan komunikasi

Informasi dan komunikasi yaitu pengenalan, perolehan, serta perputaran

informasi pada sebuah wujud serta waktu yang membolehkan individu melakukan

tugas mereka.
Anggaran yang bersumber dari APBN yang mengalir ke kas desa terbagi

dalam dua mekanisme penyaluran. Pertama, dana transfer ke daerah secara bertahap

yang di kenal sebagai dana desa. Kedua, dana transfer melalui APBD Kabupaten

yang dialokasikan 10% oleh pemerintah untuk disalurkan ke kas desa secara

bertahaap yang dikenal dengan alokasi dana desa (Widiyarta, Herawati, dan Atmadja,

2017)

Dana desa dan alokasi dana desa merupakan sumber pendapatan desa

yang pertanggungjawabannya termasuk ke dalam akuntabilitas keuangan publik.

Sekarang ini, akuntabilitas keuangan publik rentan terhadap potensi penyelewengan

maka dalam hal akuntabilitas dana desa dan alokasi dana desa tidak menutup

kemungkinan tercadinya kecurangan/ fraud (Rahimah, Murni, dan Lysandra, 2018).

Pemerintah mengalokasikan dana transfer ke daerah dan dana desa pada

2020 sebesar 34% dari total belanja negara yang mencapai Rp 2.528,8 triliun. Total

transfer ke daerah dan dana desa dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja

Negara (RAPBN) 2020 sebesar Rp 858,8 triliun. Angka ini meningkat

5,45% dibandingkan APBN 2019 yang sebesar Rp 814,4 triliun. Secara rinci, alokasi

Transfer ke Daerah dalam RAPBN 2020 sebesar Rp 786,8 triliun, naik 3,97% dari

tahun sebelumnya yang sebesar Rp 756,8 triliun. kenaikan anggaran tersebut tidak

sebesar tahun lalu yang mencapai 7,17% (sumber :

https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2019/09/27)
Peraturan Menteri Dalam Negeri No 113 Tahun 2014 tentang Pedoman

Pengelolaan Keuangan Desa diharapkan dapat menjadi pedoman dalam pengelolaan

keuangan desa karena didalamnya telah mencakup berbagai prosedur pengelolaan

keuangan desa mulai dari perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan

sampai dengan peranggungjawaban. Disamping itu Permendagri No 113 Tahun 2014

ini mengharuskan agar pengelolaan keuangan desa dilakukan secara transparan,

akuntabel dan partisipatif serta tertib dan disiplin anggaran.

Dalam rangka mendukung terwujudnya tata kelola yang baik (good

governance) dalam penyelenggaraan dana desa, pengelolaan keuangan desa

dilakukan berdasarkan prinsip tata kelola yaitu transparan, akuntabel dan partisipatif

serta dilakukan dengan tertib dan disiplin anggaran (Agere 2014).

Dalam bukunya introducing public Administration, Shafritz dan Russell,

sejumlah prinsip sistem penganggaran sudah mengacuh pada perkembangan terakhir

dalam masyarakat, yaitu demokrasi, adil, transparan, bermoral tinggi, berhati – hati

dan berakuntabel (Shafritz dan Russell, 1997).

Berdasarkan hasil kajian yang dilakukan oleh Komisi Pemberantas

Korupsi (KPK), KPK mengidentifikasi adanya empat aspek yang dapat memicu

terjadinya korupsi dalam pengelolaan keuangan desa yaitu pada aspek regulasi dan

kelembagaan, aspek tata laksana, aspek pengawasan dan aspek sumber daya

manusia (Liputan 6, 2019).


Kajian yang dilakukan KPK di tahun 2019 menjelaskan bahwa dalam

pengelolaan keuangan desa terdapat beberapa permasalahan antara lain pada aspek

regulasi dan kelembagaan, aspek tata laksana, aspek pengawasan dan aspek

sumber daya manusia. Hal tersebut terjadi karena adanya tumpang tindih

wewenang, laporan pertanggungjawaban desa yang belum memenuhi standar, dan

rawan manupulasi, potensi fraud oleh tenaga pendamping akibat kelemahan aparat

desa, dan lain-lain (www.kpk.go.id).

Dalam rangka pencegahan fraud yang terjadi dalam pengelolaan dana desa,

diperlukannya kompetensi aparatur yang memadai dalam pengelolaan keuangan

desa. Dengan adanya profesionalisme dan kompetensi aparatur dalam pengelolaan

keuangan desa, maka diharapkan tujuan ekonomi dan sosial pemerintahan desa

dapat tercapai. Kompetensi aparatur harus bersinergi agar dapat melakukan

pencegahan fraud (Atmadja dan Saputra, 2017).

kecurangan (fraud) dari penggunaan atau pengelolaan dana desa,

Kecurangan (fraud) menurut standar the institute of internal auditor (2013) yang

dapat diartikan sebagai segala perbuatan yang dicarikan dengan pengelabuhan atau

pelanggaran kepercayaan untuk mendapatkan uang, aset, jasa atau mencegah

pembayaran atau kerugian atau untuk menjamin keuntungan /manfaat pribadi dan

bisnis. Perbuatan ini tidak tergantung pada ancaman kekerasan oleh pelaku

terhadap orang lain. Disamping optimalisasi dari partisipasi masyarakat, suatu


bentuk antisipasi untuk mencegah kasus serupa terjadi sangat diperlukan seperti

Kompetensi, Moralitas aparatur Desa, dan Sistem pengendalian Internal.

Dengan adanya Kompetensi, Moralitas aparatur Desa, dan Sistem

pengendalian Internal yang memadai dalam pengelolaan keuangan desa, maka

sangat diharapkan tujuan ekonomi dan sosial pemerintahan desa dapat tercapai.

Oleh karena itu, peran serta pihak-pihak di luar pemerintahan desa dan Badan

Permusyawaratan Desa (BPD) seperti tokoh desa, tokoh agama, kaum petani,

pengusaha desa, serta perwakilan masyarakat lainnya harus bersinergi dan

dilibatkan dalam pengelolaan dana desa. Prasetyo dan Muis (2015) menyatakan

bahwa pengawasan terhadap pengelolaan keuangan desa seharusnya dilakukan

secara profesional, ketat, terkontrol dan berintegritas.

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010 telah

dijelaskanpengertian laporan keuangan, yaitu “laporan keuangan merupakan

laporanyang terstruktur mengenai posisi keuangan dan transaksi-transaksi

yangdilakukan oleh suatu entitas pelaporan”.

Berbeda dengan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2006, yang

dimaksud laporan keuangan yaitu “laporan keuangan adalah bentuk

pertanggungjawaban pengelolaan keuangan negara/daerah selama satu

periode”.Prasetya menyatakan bahwa laporan keuangan adalah

pertanggungjawaban produk manajemen dalam menggunakan sumber dayadan

sumber dana yang kemudian digunakan sebagai sarana komunikasi mengenai

informasi keuangan kepada para pengguna laporan keuangan.Penyajian laporan


keuangan harus dilakukan secara transparan, wajar, mudahdipahami, dan dapat

dibandingkan dengan tahun sebelumnya ataupun dengan pemerintah daerah lain.

Moermahadi S. Djanegara mengatakan bahwas laporan keuangan

pemerintah daerah atau LKPD merupakan bentuk pertanggungjawaban ata

spenggunaan dana publik atau APBD dimana didalamnya memaparkan mengenai

keadaan dan kinerja keuangan dalam instansi tesebut.

Jadi dari beberapa pernyataan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa

laporan keuangan merupakan bentuk pertanggungjawaban suatu entitas dalam

menggunakan dan mengelola keuangan. Dalam hal ini, laporan keuangan

pemerintah daerah atau disebut LKPD berarti bentuk pertanggungjawaban dari

pemerintah daerah dalam menggunakan dan mengelola anggaran pendapatan dan

belanja daeran (APBD).

Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah

Pasal 1,Desa adalah Desa dan adat atau yang disebut dengan nama lain,

selanjutnya disebut adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas

wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan,

kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul,

dan/atau hal tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan

Negara Kesatuan RepublikIndonesia.

Berdasarkan Undang Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, desa

mempunyai sumber pendapatan asli desa, bagi hasil pajak daerah dan retribusi
daerah Kabupaten/Kota, bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah

yang diterima oleh Kabupaten/Kota alokasi anggaran dari APBN,bantuan

keuangan dari APBD Provinsi dan APBD Kabupaten/Kota, serta hibah dan

sumbangan yang tidak mengikat dari pihak ketiga.

Tata kelola keuangan desa ialah sebuah bentuk usaha dalam mendukung

pelaksanaan asifikasi desa, pelaksanaan sebuah pemerintahan desa, pemberdayaan

dan pemeliharaan masyarakat desa (Riyanto, 2015). Pemerintah desa sebagai

entitas publik diharapkan dapat mengelola dan mempergunakan anggaran yang

dimiliki sebagai pilihan utama masyarakatnya dalam membantu perekonomian dan

sosialnya. Fanani, et al. (2014) menjelaskan bahwa sejak ditetapkannya UUNo.6

Tahun 2014 tentang Desa maka dapat diperkirakan akan menjajaki babakbaru

dalam hal pembangunan dan pengelolaan wilayahnya. Peraturan yang dibuat

membawa tumpuan, pijakan, dan harapan-harapan baru bagi kesejahteraan dan

kemakmuran kehidupan pemerintahan yang ada di wilayah desa (Ismail, et al.,

2016).Pemerintah mempunyai anggaran yang cukup besar guna dialokasikan

keseluruh desa yang menjadi pelumas roda pembangunan ekonomi desa dalam

tiaptahunnya (Kementerian Keuangan Republik Indonesia, 2020). Dana yang

didistribusikan ke desa ialah berasal dari Anggaran Pendapatan dan BelanjaNegara

(APBN) yang ditransmisikan melalui Anggaran Pendapatan dan BelanjaDaerah

(APBD) kabupaten/kota dan selanjutnya ditransmisikan kepada semuadesa.

Pemerintah desa sebagai entitas publik diharapkan dapat mengelola dan


mempergunakan anggaran yang dimiliki sebagai pilihan utama masyarakat ya

dalam membantu perekonomian dan sosialnya (Riyanto, 2015).

Moralitas dan kapabilitas individu kepala desa dan perangkat desa yang

baik akan mampu mengatur anggaran dana desa secara efektif, begitu pula dengan

adanya dukungan inovasi dalam bekerja. Akan tetapi dalam praktikpengelolaan

keuangan dana desa banyak terjadi praktik kecurangan (Gide, 2019).Disengaja

maupun tidak sengaja (disebabkan ketidaktahuan cara penggunaan maupun

pemberitahuan manajerial`keuangan) oleh aparat desa serta siapa punyang terlibat

dan berhubungan dengan pemanfaatan keuangan desa. Masihbanyak dana

menganggur (iddle fund) yang dimiliki pemerintah daerah yang kerap kali

dijadikan modus korupsi bagi para pemangku daerah (Fathur, 2016).Masih banyak

masyarakat desa yang kurang memahami mengenai kapabilitas,moralitas serta

perilaku kerja inovatif yang dimiliki oleh kepala desa. Masyarakatpada umumnya

hanya melihat dari garis besarnya saja dan hanya dari asumsi masyarakat yang lain

(Moonti & Kadir, 2018).

Setiap tahunnya kasus korupsi dana desa di Indonesia terus mengalami

peningkatan. Rata-rata dalam tiap tahun terjadi kasus korupsi pada sektor desa

ialah sebanyak 61 kasus, yang dilakukan oleh 52 kepala desa serta terjadi kerugian

keuangan negara mencapai hingga Rp256 miliar. Pada tahun 2015-2019 korupsi

sektor desa secara keseluruhan mencapai Rp1,28 triliun. Kasus-kasusdiatas

mencakup penyelewengan anggaran, laporan keuangan,

kecurangan,membengkakkan anggaran, dan sogok atau suap (CNN Indonesia,


2019).Menurut hasil peninjuaan Indonesian Corruption Watch juga menunjukkan

bahwaanggaran desa menjadi sektor paling rawan terjadinya

penyelewengan/korupsiselama tahun 2018, tercatat 96 kasus korupsi dalam

pengelolaan keuangan desa(Alamsyah et al., 2018).

Pengawasan dan penilaian kinerja pada pemerintahan desa perlu

dilakukan untuk meminimalisir angka kasus penyelewengan dana desa

yangterjadi. Kepala desa mempunyai andil penuh dalam memastikan tugas,

hak,kewajiban dan peran fungsi perangkat desa berjalan secara optimal. Dalam

mengukur kinerja perangkat desa, kepala desa menggunakan instrumen KPI.

KPIialah sekumpulan pengukuran yang berfokus pada aspek kinerja organisasi

yangpaling berpengaruh pada keberhasilan organisasi saat ini dan di masa

depan(Ndruru & Halawa, 2020). KPI menjadi instrumen penilaian dengan

bobotindikator penilaian kinerja perangkat desa yang dapat mencakup

kedisiplinan,kejujuran pelaksanaan tugas pokok dan fungsi, inovasi dan/atau

inisiatif individu dalam pelaksaan tugas yang bersangkutan maupun kinerja

secaraumum. Dengan adanya KPI sebagai performance indicator dapat menjadi

tolakukur pemerintah desa dalam mempertanggungjawabkan dan mengevaluasi

kinerjanya serta mendukung kesadaran individu untuk bekerja sesuai

moral,kecakapan diri yang tinggi, serta inovasi kerja.

Akan tetapi hasil dari penelitian sebelumnya memperoleh hasil yang

beragam, sehingga dibutuhkan pengujian lanjutan.Pada penelitian ini, peneliti

berusaha memberikan hasil analisis dan bukti empiris yang lebih dalam tentang
perilaku-perilaku individu yang berhubungan dengan pengaturan dana desa

pemerintahan desa se-Kecamatan disaatpemerintah harus melakukan realokasi dan

refocusing APBN demi menanggulangi dan memulihkan perekonomian nasional.

Dalam riset ini diharapkan juga bisa memberikan referensi serta informasi serta

arahan bagi peneliti lain yang terkait dengan moralitas, kapabilitas individu dan

perilaku kerja inovatif oleh aparatur desa terhadap tata kelola keuangan dana desa,

bagi akademisi agar mampu menjadi tumpuan atau pijakan bagi usaha dalam

mengembangkan ilmu pemerintahan guna pembangunan pemerintahan daerah

maupun nasional, serta bagi pemerintah desa supaya dapat menjadi referensidalam

meningkatkan kinerja individu aparatur desa dalam memahami serta

mengimplementasikan moralitas yang baik dalam bekerja, meningkatkan

kapabilitas individu dan perilaku kerja yang inovatif sebagai upaya dalam

tatakelola keuangan dana desa.

Peningkatan kasus penyelewengan anggaran desa yang meningkat sangat

dipengaruhi oleh pelaku organisasi desa didalamnya yang mengelola serta

mempertanggungjawabkan terlaksananya pengelolaan keuangan desa. Perilaku

aparatur desa yang bertindak sesuai moral dan bertanggungjawab yang tertananam

dalam dirinya akan sangat mempengaruhi terlaksananya tata kelola keuangan dana

desa dengan baik. Suatu aturan atau kaidah yang mengontrol perilaku manusia di

masyarakat untuk berbuat baik sesuai kaidah dan aturan disebut moral. Tingkatan

moralitas individu yang tinggi akan bisa meminimalisir dan menghindari adanya

kecurangan karena setiap personal yang bermoral tinggiakan mengikuti segala


aturan sesuai atribut etika umum (Ozler & Gabrinetti, 2017).Level penalaran moral

dalam personal seseorang sebagai acuan guna mengetahui tendensi individu

menjalankan perbuatan khusus, terpenting yang berkorelasidengan dilema moral,

sesuai level penalaran moralnya (Alawattage, et.al., 2022).Apabila level penalaran

moral seseorang menunjukkan angka yang tinggi, akan semakin mungkin untuk

melaksanakan hal yang benar (Kerstein, 2002). Uraian sebelumnya sependapat

dengan hasil riset yang dilakukan oleh Yusuf, et al., (2018)dan Mutmainah, (2022)

menemukan bahwa moralitas berpengaruh positif serta signifikan terhadap

keakuntabilitasan tata kelola dana desa baik secara parsialataupun simultan.

Moralitas memiliki pengaruh terhadap tata kelola keuangan desa sebab makin

tinggi moralitas pelaku tata kelola (aparatur desa) dalam mengatur dana desa maka

makin akuntabel pengelolaan dana desa.

Menurut Suparno (2012) kompetensi merupakan kecakapan yang

memadai untuk melakukan suatu tugas atau dapat diartikan sebagai keterampilan

yang dimiliki dan kecakapan yang diisyaratkan. Menurut Laksmi dan Sujana

(2019) kompetensi SDM adalah kemahiran/keterampilan yang didapati dalam diri

manusia untuk menghadapi situasi atau keadaan saat melakukan tanggungjawab

pekerjaannya. Kompetensi perangkat desa dapat ditingkatkan dengan mencakup

beberapa aspek yaitu kecakapan atas pengetahuan, keterampilan dan wawasan

yang didapatkan melalui belajar, latihan, pengalama serta pendidikan. Oleh karena

itu, aparatur desa adalah faktor penting yang sangat menentukan keberhasilan

pelaksanaan tugas-tugas yang diserahkan kepadanya (Laksmi dan Sujana, 2019).


Menurut Junia (2016) moralitas merupakan sikap baik dan buruk yang

dimiliki oleh seseorang atau individu. Budi aningsih dalam Udayani dan Sari

(2017) menyatakan bahwa moralitas timbul ketika seseorang melakukan kebaikan

atas dasar kesadaran atas kewajiban dan tanggungvjawabnya, dan bukan karena

ingin memperoleh keuntungan dari sesuatu yang dilakukannya. Pernyataan ini bisa

didefinisikan bahwa moralitas setiap orang merupakan perilaku atau sikap baik,

dimana orang tersebut bertindak tanpa pamrih atau tidak meminta balasan.

Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan

Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan

Sistem Pengendalian Intern Pemerintah Di Lingkungan Kementerian Desa,

Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi mendefinisikan Sistem

Pengendalian Intern (SPI) adalah proses yang integral pada tindakan dan kegiatan

yang dilakukan secara terus-menerus oleh pimpinan dan seluruh pegawai untuk

memberikan keyakinan memadai atas tercapainya tujuan organisasi melalui

kegiatan yang efektif dan efisien, keandalan pelaporan keuangan, pengamanan aset

negara, dan ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan.

Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan

Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan

Sistem Pengendalian Intern Pemerintah Di Lingkungan Kementerian Desa,

Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi mendefinisikan Sistem

Pengendalian Intern (SPI) adalah proses yang integral pada tindakan dan kegiatan

yang dilakukan secara terus-menerus oleh pimpinan dan seluruh pegawai untuk
memberikan keyakinan memadai atas tercapainya tujuan organisasi melalui

kegiatan yang efektif dan efisien, keandalan pelaporan keuangan, pengamanan aset

negara, dan ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan.

Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan

Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan

Sistem Pengendalian Intern Pemerintah Di Lingkungan Kementerian Desa,

Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi mendefinisikan Sistem

Pengendalian Intern (SPI) adalah proses yang integral pada tindakan dan kegiatan

yang dilakukan secara terus-menerus oleh pimpinan dan seluruh pegawai untuk

memberikan keyakinan memadai atas tercapainya tujuan organisasi melalui

kegiatan yang efektif dan efisien, keandalan pelaporan keuangan, pengamanan aset

negara, dan ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan.

Kompetensi merupakan kemampuan/ keahlian yang dimiliki oleh setiap

individu untuk menjalankan tugas dan tanggungjawabnya dalam melaksanakan

pekerjaan yang ditekuninya. Karena semakin seseorang memiliki

kewenangan/jabatan yang tinggi di dalam organisasi, tetapi kompetensi yang

dimiliki tidak memadai maka tidak menutup kemungkinan akan menyebabkan

terjadinya kecuragan (fraud). Pernyataan tersebut didukung oleh penelitian yang

dilakukan oleh Wonar et al., (2018), Atmadja dan Saputra (2017) yang

membuktikan bahwa kompetensi aparatur berpengaruh signifikan terhadap

pencegahan fraud dalam pengelolaan dana desa, dimana semakin tinggi

kompetensi yang dimiliki oleh aparatur desa maka akan semakin tinggi juga
tingkat pencegahan fraud dalam pengelolaan dana desa. Tetapi hasil penelitian

tersebut tidak selaras dengan penelitian yang dilakukan oleh Anisykurillah dan

Wardianti (2018) yang menyatakan bahwa kompetensi tidak berpengaruh

signifikan terhadap kecurangan akuntansi.

Moralitas merupakan tindakan atau perilaku baik/buruk yang bersumber

dari dalam diri manusia yang dapat dipengaruhi oleh lingkungan keluarga dan

organisasi. Rahimah et al., (2018) menyatakan bahwa seseorang yang menjunjung

tinggi moralitas dapat menghindari terjadinya fraud karena seseorang yang

mementigkan moral akan cenderung taat terhadap norma-norma yang berlaku

sesuai dengan prinsip etika. Sedangkan, seseorang yang tidak menjunjung tinggi

moralitas akan mengambil keputusan atas keinginannya sendiri dan mengabaikan

kewajiban dan peraturan yang seharusnya dipenuhi. Dengan menanamkan

moralitas kepada setiap individu, diharapkan dapat mencegah terjadinya

kecurangan (fraud). Pernyataan tersebut didukung oleh penelitian yang dilakukan

oleh Laksmi dan Sujana (2019), serta Rahimah et al., (2018) bahwa moralitas

berpengaruh terhadap pencegahan fraud Tetapi hasil penelitian tersebut tidak

selaras dengan penelitian yang dilakukan oleh Ade (2017) yang menyatakan

bahwa moralitas tidak berpengaruh signifikan terhadap kecenderungan kecurangan

akuntansi.

Hery (2013) menyatakan bahwa pengendalian intern merupakan rangkaian

kebijakan guna melindungi aset organisasi atau perusahaan dari tindakan

kecurangan atau penyalahgunaan, jaminan kesediaan informasi akuntansi yang


tepat akurat, dan memastikan jika segala peraturan hukum/undang-undang telah

dijalankan dan ditaati oleh seluruh pegawai organisasi atau perusahaan. Karena

jika semakin baiknya sistem pengendalian internal dalam sebuah organisasi maka

akan mencegah kecurangan karena tidak adanya peluang, namun begitu juga

sebaliknya jika sistem pengendalian dalam suatu organisasi itu tidak bagus maka

akan menjadi peluang bagi para kerah putih untuk melakukan kecurangan.

Pernyataan tersebut didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Laksmi dan

Sujana (2019), Atmadja dan Saputra (2017) menyatakan bahwa sistem

pengendalian internal berpengaruh positif terhadap pencegahan fraud. Tetapi hasil

penelitian tersebut tidak selaras dengan penelitian yang dilakukan oleh Wonar et

al., (2018) yang menyatakan bahwa sistem pengendalian internal tidak

berpengaruh pencegahan fraud.

Dana desa diartikan sebagai anggaran dana yang dikucurkan oleh

pemerintah kepada desa yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja

Negara (APBN) yang sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik

Indonesia No. 8 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah

Nomor 60 Tahun 2014 Tentang Dana Desa Yang Bersumber Dari Anggaran

Pendapatan dan Belanja Daerah. Dana desa merupakan salah satu cara yang

dilakukan oleh pemerintah guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat,

pemerataan pembangunan desa, dan pengembangan perekonomian desa. Hal ini

sudah sesuai dengan isi Undang-Undang Desa No.6 Tahun 2014 tentang Desa,
yang berisi pemberian otonomi yang lebih besar kepada desa agar dapat menjadi

desa yang mandiri. (wartaekonomi.co.id, 2019).

2.2. Kerangka Berpikir Konseptual

Kompentesi
(X1)

Moralitas Pencegahan Fraud


(X2) (Y)

Sistem Pengendalian
Intern (X3)

2.3. Hipotesis
Faktor pertama yang dapat mempengaruhi pencegahan fraud dalam pengelolaan dana

desa adalah kompetensi aparatur. Faktor kompetensi aparatur berkaian dengan

kemampuan individu yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan, dan sikap

kerja yang sesuai dengan standar yang ditetapkan (UU No. 13 tahun 2003 pasal 1

(10). Pengertian dan arti kompetensi oleh spencer (2014) dapat didefinisikan

sebagai karekteristik yang mendasari seseorang berkaitan denga efektivitas kinerja


individu dalam pekerjaannya atau karekteristik dasar individu yang memiliki

hubungan kausal atau sebagai sebab-akibat dengan kriteria yang dijadikan acuan,

efektif, atau berkinerja prima atau superior ditempat kerja atau situasi tertentu.

Menurut Spencer (2014), kompetensi terletak pada bagian dalam setiap manusia

dan selamanya ada pada kepribadian seseorang yang dapat memprediksikan

tingkah laku dan performansi secara luas pada semua situasi dan tugas pekerjaan

atau job tasks. Dengan kata lain kompetensi adalah sesuatu yang ditunjukkan

seseorang dalam kerja setiap hari. Ketika aparatur sudah dibekali dengan

kompetensi yang baik, maka kecurangan (fraud) yang mungkin terjadi akan dapat

dicegah.

Berdasarkan uraian diatas maka hipotesis pertama yang dibangun adalah:

H1: Kompetensi Aparatur berpengaruh terhadap pencegahan fraud dalam

pengelolaan dana desa.

Faktor kedua yang dapat mempengaruhi pencegahan fraud dalam pengelolaan

dana desa adalah Moralitas aparatur. mengambil suatu keputusan etis (Umam,

2010). Moralitas atau moral merupakan baik buruknya sikap atau perilaku yang

dimiliki oleh seseorang (Junia, 2016). Menurut hasil penelitian Putu Santi Putri

Laksmi1, Ketut Sujana (2019), Rahimah, Murni dan Lysandra (2018) dan

Wijayanti dan Hanafi (2018) menujukan bahwa moralitas berpengaruh positif

terhadap pencegahan fraud dalam pengelolaan keuangan desa. Bahwa semakin

tinggi level penalaran moral seseorang maka akan semakin tinggi tingkat
kebenaran yang dilakukan. Sebaliknya semakin rendah level penalaran moral

seseorang maka akan semakin besar kemungkinan melakukan kecurangan. Tingkat

penalaran moral yang tinggi dapat mencegah terjadinya kecurangan dalam suatu

organisasi..

Berdasarkan uraian diatas maka hipotesis kedua yang dibangun adalah:

H2: Moralitas aparatur desa berpengaruh terhadap pencegahan fraud dalam

pengelolaan dana desa.

Faktor ketiga yang dapat mempengaruhi pencegahan fraud dalam pengelolaan

dana desa adalah Sistem Pengendalian Intern. Sistem pengendalian internal

menurut Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 60 tahun 2008 tentang Sistem

Pengendalian Internal Pemerintah (SPIP) adalah proses yang integral pada

tindakan dan kegiatan yang dilakukan secara terus menerus oleh pimpinan dan

seluruh pegawai untuk memberikan keyakinan memadai atas tercapainya tujuan

organisasi melalui kegiatan yang efektif dan efisien, keandalan pelaporan

keuangan, pengamanan aset negara, dan ketaatan terhadap peraturan

perundangundangan.

Sistem pengendalian internal pada penelitian yang dilakukan oleh Kadek

Widiyarta, Nyoman Trisna Herawati, Anantawikrama Tungga Atmadja (2017)

mengatakan bahwa sistem pengendalian internal pengaruh positif dan signifikan

antara sistem pengendalian internal terhadap pencegahaan fraud dalam

pengelolaan dana desa pada pemerintah desa di Kabupaten Buleleng.


Hal ini berarti semakin tinggi tingkat sistem pengendalian internal maka semakin

tinggi tingkat pencegahaan fraud dalam pengelolaan dana desa.

Berdasarkan uraian diatas maka hipotesis ketiga yang dibangun adalah: H3: Sistem

Pengendalian Internal berpengaruh terhadap pencegahan fraud dalam pengelolaan

dana desa.

Anda mungkin juga menyukai