Anda di halaman 1dari 12

Diterjemahkan dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia - www.onlinedoctranslator.

com

Jurnal Perspektif Pembiayaan dan Pembangunan Daerah Vol. 6. No.4, Januari – Februari 2019 ISSN: 2338-4603 (cetak); 2355-8520 (online)

Implementasi prinsip pemerintahan yang baik di desa


konteks pemerintahan di Kabupaten Bantul, Yogyakarta

Hilda Octavana Siregar*; Siti Muslihah

Program Studi Diploma 3 Akuntansi, Departemen Ekonomi dan Bisnis,


Sekolah Vokasi, Universitas Gadjah Mada, Indonesia

* Kepada siapa korespondensi harus ditujukan. Email: hilda.octavana.s@mail.ugm.ac.id

Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penerapan prinsip good
governance pada pemerintahan desa di Kabupaten Bantul Yogyakarta. Di
Indonesia, desa merupakan tingkatan pemerintahan yang paling rendah.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah statistik deskriptif dengan
data seluruh desa di Kabupaten Bantul. Kajian ini menyimpulkan bahwa
pelaksanaan good governance di desa-desa di Bantul secara umum sudah
baik. Indikator tata kelola yang baik telah dilaksanakan oleh lebih dari 50% dari
seluruh desa meskipun beberapa indikator masih perlu ditingkatkan. Desa
telah menerapkan prinsip-prinsip good governance sesuai dengan rumusan
internasional yaitu efisiensi dan efektifitas, keterbukaan dan transparansi,
inovasi, orientasi jangka panjang, pengelolaan keuangan yang handal dan
akuntabel.

Kata kunci:pemerintahan desa, pemerintahan yang baik, dana


desa Klasifikasi JEL:G38, H52, H72

PERKENALAN
Tata kelola mencakup tiga pemangku kepentingan, yaitu: negara, masyarakat sipil, dan
pasar. Krisis yang terjadi di Indonesia pada tahun 1998 yang berdampak besar pada segala
aspek menunjukkan bahwa negara, masyarakat sipil, dan pasar belum berperan positif dalam
mewujudkan good governance. Krisis memaksa Indonesia untuk mulai menerapkan sistem
pemerintahan modern sehingga dapat segera bangkit dari krisis dan mengejar ketinggalan.
Berdasarkan Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-bangsa (UNDP) (1997), prinsip-
prinsip tata pemerintahan meliputi Partisipasi, Penegakan Hukum, Transparansi, Responsif,
Orientasi Konsensus, Keadilan (Equity), Efektivitas dan Efisiensi (Effectiveness and Efficiency),
Akuntabilitas (Accountability) , dan Visi Strategis (Strategic Vision). Semua prinsip tersebut
saling menguatkan dan tidak dapat berdiri sendiri.
Akuntansi sektor publik memiliki peran besar dalam penyusunan laporan keuangan
sebagai bentuk pelaksanaan akuntabilitas publik. Akuntansi dan laporan keuangan adalah
suatu proses pengumpulan, pemrosesan, dan pengkomunikasian informasi yang berguna
untuk pengambilan keputusan dan untuk menilai kinerja organisasi (Santoso dan Pambelum,
2008). Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 113 Tahun 2014 secara implisit mengatur
penerapan akuntansi di desa yang meliputi penatausahaan keuangan desa,

503
Jurnal Perspektif Pembiayaan dan Pembangunan Daerah Vol. 6. No.4, Januari – Februari 2019 ISSN: 2338-4603 (cetak); 2355-8520 (online)

pelaporan, dan akuntabilitas. Sinason (2000) berpendapat bahwa tingkat pendanaan yang
lebih tinggi telah meningkatkan konsekuensi dari kesalahan pengelolaan keuangan dan
penerapan akuntansi desa bertujuan untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas
dalam pengelolaan keuangan untuk menghindari kesalahan tersebut. Namun, hasil kajian
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan laporan pertanggungjawaban desa
belum mengikuti standar yang berlaku dan rawan manipulasi (KPK, 2015).

Indonesia merupakan negara yang menerapkan sistem pemerintahan desentralisasi


berupa otonomi daerah. Semua peraturan dan petunjuk pelaksanaan otonomi daerah diatur
dalam undang-undang. Berdasarkan undang-undang nomor 32 tahun 2004, otonomi daerah
adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-
undangan dengan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, masyarakat.
pelayanan, dan daya saing. Dengan otonomi daerah diharapkan daerah dapat mengatur
dengan baik Pendapatan Asli Daerah (PAD) sesuai dengan kebutuhan masing-masing sehingga
dapat terwujud daerah yang maju dan mandiri.
Namun demikian, pelaksanaan otonomi daerah dapat menjadi potensi kerawanan akibat
lemahnya kontrol pusat terhadap daerah, yang dapat menimbulkan kontradiksi aturan dan situasi
rawan konflik. Selain menjalankan amanat Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Otonomi
Daerah, Presiden Joko Widodo memiliki 9 agenda prioritas yang umumnya dikenal dengan Nawa Cita
pada periode pertama pemerintahannya (2014-2019). Salah satu agenda penting tersebut adalah
membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah dan desa dalam kerangka
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Agenda ini kemudian diwujudkan dengan memberikan
kewenangan kepada desa untuk mengelola program terkait desa secara mandiri. Kemandirian ini
diberikan kepada desa untuk mengelola sumber daya desa dan menggunakannya untuk
memberdayakan masyarakat desa. Peningkatan sumber daya manusia desa tersebut dapat
dilakukan jika desa memiliki sumber dana untuk melaksanakan berbagai program. Oleh karena itu,
pemerintah pusat memutuskan untuk menyediakan Alokasi Dana Desa yang dapat digunakan untuk
mendukung program tersebut dan diatur dalam undang-undang.
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 menyebutkan bahwa desa adat dan desa atau
yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum
yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat berdasarkan kemasyarakatan. prakarsa,
asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kemandirian desa mengarah pada peningkatan proses
desentralisasi dari pemerintah pusat atau daerah ke desa dalam hal administrasi dan
akuntabilitas keuangan dan sumber daya.
Dalam teori keagenan, jika agen memiliki lebih banyak informasi daripada pemilik, agen
kemungkinan besar akan memprioritaskan kepentingan pribadi dan/atau kelompok, yang dapat
mengurangi tingkat transparansi dan keberpihakan dengan masyarakat. Perbedaan kemampuan
sumber daya manusia di tingkat pusat atau daerah dan di tingkat desa dapat menimbulkan
perbedaan persepsi dalam mengelola dan menggunakan dana. Salah satu penyebab perbedaan
persepsi adalah kurangnya sosialisasi dari pemerintah pusat atau daerah karena banyaknya desa
dan jauhnya jarak. Keterlibatan masyarakat dalam menentukan program desa juga rendah karena
hanya melibatkan perangkat desa. Faktor-faktor ini menyebabkan tata kelola yang lemah dalam
suatu organisasi.

504
Jurnal Perspektif Pembiayaan dan Pembangunan Daerah Vol. 6. No.4, Januari – Februari 2019 ISSN: 2338-4603 (cetak); 2355-8520 (online)

Tabel 1.Definisi pemerintahan yang baik


TIDAK Sumber Definisi
1 Rhodes (1996) mengutip Good governance diilustrasikan melalui kebijakan yang terprediksi dan
Bank Dunia, 1994 jelas (melalui proses yang transparan); birokrasi berdasarkan etos
profesional; eksekutif pemerintah bertanggung jawab atas tindakan
mereka; dan masyarakat sipil yang kuat berpartisipasi dalam urusan
publik dan semua pihak berperilaku di bawah peraturan hukum

2 Internasional Kanada Tata kelola adalah cara pemerintah mengatur sumber


Badan Pembangunan daya ekonomi dan sosial
(CIDA), 1996 Tata pemerintahan yang baik adalah penyelenggaraan pemerintahan yang efektif,
jujur, adil, transparan dan akuntabel pada semua tingkatan pemerintahan

3 Persatuan negara-negara Good Governance adalah pengelolaan yang demokratis,


Internasional transparan, beragam, akuntabel, dan representatif dimana
Badan Pengembangan, masyarakat berpartisipasi dalam mengadopsi aturan; difokuskan
2005 pada lima hal yaitu penguatan prosedur legislasi, desentralisasi
dan demokrasi di pemerintahan daerah, antikorupsi, hubungan
masyarakat dengan perang, dan pengembangan penerapan
aturan.
4 Domarkas, 2005 Good governance memiliki ciri-ciri seperti partisipasi masyarakat
yang besar, transparansi, subsidi, akuntabilitas, keberagaman,
ketidakberpihakan (equity), kemudahan akses, kerjasama, dan
efisiensi.
5 Kaufmann Kray, Dapat diukur dengan dimensi seperti hak untuk memilih, akuntabel
Matsruzzi, 2005 terhadap eksternal, stabilitas politik, tidak ada kekerasan, kejahatan,
wisatawan, manajemen efisiensi, aturan hukum, pengendalian korupsi

6 Moneter Internasional Good governance adalah kepastian hukum; Pengembangan


Dana, 2005 efektivitas dan akuntabilitas sektor publik dalam
memerangi korupsi
7 Barcevicius, 2008 Tata kelola yang baik adalah pertukaran informasi baik di dalam
maupun di luar organisasi; kerjasama dilakukan pada saat
mengkoordinasikan pembuatan peraturan; warga negara didorong
untuk berpartisipasi dalam proses pemerintahan
8 Farington, 2009 Tata pemerintahan yang baik menekankan demokrasi, proses peradilan
yang tidak memihak, transparansi kegiatan lembaga publik, dan partisipasi
warga negara
9 Negrut, Costache, Tata pemerintahan yang baik ditunjukkan oleh lima faktor:
Maftei, dkk, 2010 keterbukaan, partisipasi masyarakat, akuntabilitas, efisiensi, dan
hubungan antara pemerintah, sektor swasta dan masyarakat
10 Saparniene, 2010 Tata pemerintahan yang baik adalah pemerintahan yang
didukung oleh prinsip demokrasi yang adil, efisien, akuntabel
dan transparan, serta interaksi yang jelas antara pemerintah,
masyarakat, sektor swasta, dan lembaga swadaya
masyarakat.
Sumber: data diolah
Dana desa menuntut pemerintah desa untuk mengelola organisasi dengan baik dan
menyelaraskan akuntabilitas sesuai dengan aturan yang berlaku. Namun berdasarkan
hasil kajian KPK, akuntabilitas pengelolaan keuangan desa masih tergolong rendah dan
terdapat 14 (empat belas) potensi permasalahan dalam pengelolaan dana desa.
Salah satu cara untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat adalah dengan dibentuknya Badan Usaha Milik Desa

505
Jurnal Perspektif Pembiayaan dan Pembangunan Daerah Vol. 6. No.4, Januari – Februari 2019 ISSN: 2338-4603 (cetak); 2355-8520 (online)

Badan Usaha (BUM Desa), badan usaha yang seluruh atau sebagian modalnya dimiliki oleh
desa melalui penyertaan secara langsung dari kekayaan desa yang dipisahkan untuk mengelola
aset, jasa, dan usaha lainnya.
Penyelenggaraan pemerintahan yang akuntabel, transparan, legal, efektif dan efisien, serta berkeadilan
yang berwawasan strategis merupakan keharusan untuk mewujudkan good governance. Untuk dapat
mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik, semua lembaga dari tingkat pusat sampai tingkat desa dengan
berbagai keterbatasan yang ada perlu memberikan pelayanan yang terbaik kepada masyarakat. Dengan alokasi
dana desa, pemerintah desa menjadi sorotan yang mendorong mereka untuk menerapkan prinsip-prinsip tata
pemerintahan yang baik sebagai pelayan masyarakat.
Kaufman dan Metsruzzi (2005) menyatakan bahwa penerapan good governance yang buruk dapat
mempengaruhi pendapatan per kapita masyarakat. Pernyataan ini didasarkan pada penelitian mereka di
negara-negara Afrika dengan data selama 8 tahun dengan menggunakan indikator good governance yang
disetujui oleh UNDP (1997). Indikator diamati pada masyarakat di pemerintahan dengan sampel besar.

Saparniene dan Valukonyte (2012) menemukan kesulitan dalam mendefinisikan


good governance secara jelas meskipun tersedia berbagai definisi. Penelitian mereka
menemukan bahwa indikator tata kelola yang baik saling terkait erat. Penerapan salah
satu indikator dapat mempengaruhi penerapan indikator lainnya. Misalnya, indikator
efektivitas dan efisiensi terkait erat dengan kelemahan renstra dan efektivitas
implementasi; Indikator keterbukaan dan transparansi erat kaitannya dengan
penyampaian informasi kepada masyarakat dan masalah komunikasi. Oleh karena itu,
penyelenggaraan good governance sangat tergantung pada penyelenggaraan
pemerintahan yang telah bergerak menuju sistem modern yang mengakomodir prinsip-
prinsip good governance.
Menurut Saparniene dan Valukonyte (2012), indikator penerapan good governance di
pemerintahan meliputi (1) efisiensi dan efektivitas, (2) keterbukaan dan transparansi, (3) inovasi dan
kesiapan untuk berubah, (4) keberlanjutan dan jangka panjang orientasi, (5) pengelolaan keuangan
yang handal, dan (6) akuntabilitas. Indikator-indikator tersebut harus diterapkan dengan baik untuk
mencapai good governance. Kajian ini menggunakan indikator tersebut untuk mengukur good
governance di desa-desa di Kabupaten Bantul Yogyakarta. Kabupaten Bantul merupakan salah satu
kabupaten yang sering mendapatkan penghargaan dalam pengelolaan keuangan pemerintah
daerah.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana prinsip-prinsip good governance
diterapkan oleh pemerintah desa di Bantul. Desa merupakan lembaga pemerintahan terkecil
yang langsung melayani masyarakat. Saat ini, desa juga diberikan kewenangan untuk
mengelola keuangan secara mandiri. Karena alokasi dana desa, desa dituntut untuk dapat
menghasilkan pendapatan mandiri melalui unit usaha desa yang disebut Badan Usaha Milik
Desa (BUMDesa). Kewenangan dalam pengelolaan keuangan juga harus diikuti dengan
penyelenggaraan pemerintahan yang profesional dengan sistem yang modern. Dengan
pengelolaan yang baik, konflik antara masyarakat dan pemerintah dapat dihindari. Penelitian
ini diharapkan dapat mengidentifikasi tingkat implementasi good governance dan
pengembangan yang perlu dilakukan untuk mencapai good governance.
Tujuan dari penelitian ini dirumuskan dalam dua pertanyaan berikut: a) Bagaimana
penerapan prinsip good governance pada Pemerintahan Desa di Kabupaten Bantul
Yogyakarta?; b) Bagaimana prinsip-prinsip good governance yang diterapkan dalam
Pemerintahan Desa di Kabupaten Bantul Yogyakarta dapat dikembangkan?

506
Jurnal Perspektif Pembiayaan dan Pembangunan Daerah Vol. 6. No.4, Januari – Februari 2019 ISSN: 2338-4603 (cetak); 2355-8520 (online)

METODE
Penelitian ini menggunakan indikator yang sama dengan yang digunakan oleh Saparniene dan Valukonyte (2012) yaitu, (1) efisiensi dan efektivitas, (2)

keterbukaan dan transparansi, (3) inovasi dan kesiapan untuk berubah, (4) keberlanjutan dan orientasi jangka panjang, (5) pengelolaan keuangan yang handal, dan

(6) akuntabilitas. Penelitian ini menggunakan data primer dan sekunder. Pengumpulan data primer dilakukan melalui observasi langsung dan pengisian kuesioner

oleh masyarakat mengenai penyelenggaraan pemerintahan terkait dengan indikator keterbukaan dan transparansi serta akuntabilitas. Data yang dikumpulkan

adalah frekuensi laporan pertanggungjawaban desa, publikasi laporan desa, dan keterlibatan masyarakat dalam penetapan program desa dan Anggaran

Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes). Sementara itu, data sekunder berupa laporan pertanggungjawaban desa dan APBDes yang digunakan untuk mengukur

efisiensi dan efektivitas serta keandalan pengelolaan keuangan. Efektivitas dan efisiensi diukur dengan menggunakan rasio yang ditentukan oleh Peraturan Menteri

Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah sedangkan kehandalan pengelolaan keuangan diukur dengan cara desa

mendanai kegiatan operasionalnya dan kemampuan desa dalam menghasilkan pendapatan. Indikator lainnya (inovasi dan kesiapan perubahan serta keberlanjutan

dan orientasi jangka panjang) diukur dengan tersedianya visi, misi, tujuan dan program desa. Penelitian ini dilakukan pada tahun 2016 dan 2017 di 75 desa di

Kabupaten Bantul Yogyakarta. Efektivitas dan efisiensi diukur dengan menggunakan rasio yang ditentukan oleh Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun

2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah sedangkan kehandalan pengelolaan keuangan diukur dengan cara desa mendanai kegiatan operasionalnya

dan kemampuan desa dalam menghasilkan pendapatan. Indikator lainnya (inovasi dan kesiapan perubahan serta keberlanjutan dan orientasi jangka panjang)

diukur dengan tersedianya visi, misi, tujuan dan program desa. Penelitian ini dilakukan pada tahun 2016 dan 2017 di 75 desa di Kabupaten Bantul Yogyakarta.

Efektivitas dan efisiensi diukur dengan menggunakan rasio yang ditentukan oleh Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman

Pengelolaan Keuangan Daerah sedangkan kehandalan pengelolaan keuangan diukur dengan cara desa mendanai kegiatan operasionalnya dan kemampuan desa

dalam menghasilkan pendapatan. Indikator lainnya (inovasi dan kesiapan perubahan serta keberlanjutan dan orientasi jangka panjang) diukur dengan tersedianya

visi, misi, tujuan dan program desa. Penelitian ini dilakukan pada tahun 2016 dan 2017 di 75 desa di Kabupaten Bantul Yogyakarta.

Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan statistik deskriptif. Menurut Sugiyono
(2008), penelitian deskriptif adalah penelitian yang dilakukan untuk mengetahui nilai variabel bebas, baik
satu variabel atau lebih, tanpa membandingkan atau menghubungkannya dengan variabel lain. Variabel
yang digunakan adalah indikator good governance yang digunakan dalam penelitian.
Data tersebut kemudian diolah menggunakan statistik deskriptif untuk mencari nilai rata-rata
implementasi, indikator mana yang banyak diterapkan, dan bagaimana indikator yang belum
diterapkan dapat dikembangkan.

HASIL DAN DISKUSI


Analisis penerapan prinsip-prinsip good governance
Penelitian ini menggunakan prinsip-prinsip good governance yang disepakati secara
internasional melalui UNDP pada tahun 1997 dan juga digunakan dalam penelitian
Saparniene dan Valukonyte (2012) yaitu, efektifitas dan efisiensi, visi strategis, keterbukaan
dan transparansi, inovasi dan orientasi jangka panjang. pengelolaan keuangan yang
handal, dan akuntabilitas. Studi menemukan bahwa tingkat implementasi indikator
tersebut adalah 52,8% di 75 desa di Kabupaten Bantul yang diukur selama dua tahun.
Indikator yang telah dilaksanakan dengan baik antara lain efektivitas dan efisiensi,
keterbukaan dan transparansi, serta akuntabilitas, sementara visi strategis, inovasi dan
orientasi jangka panjang, serta pengelolaan keuangan yang handal belum sepenuhnya
terlaksana. Angka ini tergolong tinggi karena dana desa baru berjalan selama 3 tahun.
Dapat dikatakan bahwa pemerintahan desa di Kabupaten Bantul telah mengadopsi sistem
pemerintahan yang lebih modern. Berbagai indikator sudah mulai diterapkan meski belum
secara keseluruhan, bahkan belum ada desa yang menerapkan prinsip-prinsip good
governance. Beberapa indikator masih perlu dikembangkan lebih lanjut agar
penyelenggaraan pemerintahan semakin baik yang pada akhirnya akan meningkatkan
kemandirian ekonomi masyarakat desa.

Analisis efektivitas dan efisiensi


Sebagian besar pemerintah desa telah menerapkan prinsip efektifitas

507
Jurnal Perspektif Pembiayaan dan Pembangunan Daerah Vol. 6. No.4, Januari – Februari 2019 ISSN: 2338-4603 (cetak); 2355-8520 (online)

dan efisiensi dalam mengelola keuangan. Efektivitas dapat diukur dengan membandingkan realisasi
pendapatan desa dengan target pendapatan yang telah ditetapkan, meskipun pendapatan hanya
dihasilkan dari dana desa. Sedangkan tingkat efisiensi dapat diukur dengan membandingkan biaya yang
dikeluarkan dengan pendapatan yang diterima. Dalam mengelola keuangan, langkah ini menjadi prioritas
untuk dilaksanakan seperti terlihat pada grafik di bawah ini

90,0%
80,0%
70,0%
60,0%
50,0%
40,0%
30,0%
20,0%
10,0%
0,0%
2016 2017

n EeFFadalahfiyaituciNent
eeFFefekCtiTFivDeA& ffAickyaitueNfiTsien
TSAYASayaNDeAFkfeeCFTeivketifsebuahDDsebuahdi dalamTepengenal

Gambar 1.Indikator efektivitas dan efisiensi

Tingkat penerapan indikator efektivitas dan efisiensi tahun 2016 dan 2017 masing-masing
sebesar 76% dan 85,3% yang menunjukkan peningkatan sebesar 9,3% baik dari sisi pengeluaran
maupun pendapatan. Mengelola biaya merupakan indikator efektivitas dan efisiensi.

Analisis visi strategis


Setiap organisasi harus strategis dalam menentukan karakteristiknya karena
karakteristik tersebut merupakan jiwa dalam menjalankan operasinya untuk menjadi
organisasi yang unggul dibandingkan dengan organisasi lain yang sejenis. Selain itu,
karakteristik juga dapat meningkatkan reputasi organisasi.
Visi strategis dalam pemerintahan desa dapat dilihat dari bagaimana desa
memposisikan dirinya. Visi juga harus bernilai dan terukur sehingga pencapaiannya dapat
dievaluasi. Desa bukan lagi organisasi pelayanan terkecil, namun keberlanjutan, kemandirian
ekonomi, dan keunggulan juga harus menjadi prioritas. Bagan di bawah ini menunjukkan
jumlah desa di Kabupaten Bantul yang memiliki visi strategis selama tahun 2016 dan 2017.

Gambar 2 di atas menunjukkan bahwa 65,3% dari seluruh desa memiliki visi strategis,
sedangkan sisanya 34,7% memiliki visi namun belum strategis. Indikator ini tidak mengalami
perubahan selama tahun 2016 dan 2017. Visi strategis diukur dengan mengidentifikasi apakah visi
tersebut bersifat umum, dapat diwujudkan dalam jangka pendek, dan bersifat sementara. Bagi
perangkat desa yang belum memiliki kompetensi yang memadai dalam menentukan visi strategis,
diharapkan setelah mengalokasikan dana desa dapat memberikan kompetensi khusus dalam
pembangunan desa berorientasi jangka panjang. Berdasarkan observasi yang dilakukan, mereka
membutuhkan workshop untuk mendukung keberlanjutan desa mandiri.

508
Jurnal Perspektif Pembiayaan dan Pembangunan Daerah Vol. 6. No.4, Januari – Februari 2019 ISSN: 2338-4603 (cetak); 2355-8520 (online)

34,7%
VISayaSSSAYAioBNELadalahASNMotSSTTRraATTmisalnyaeSayaGCADALAH

34,7%

65,3%
Visi haVSADALAHBSAYAeSeTNRSAtrTAeTG
misalnyaADALAHic

65,3%

0,0% 10,0% 20,0% 30,0% 40,0% 50,0% 60,0% 70,0%

2017 2016

Gambar 2. Indikator visi strategis

Analisis keterbukaan dan transparansi


Transparansi dalam pengelolaan keuangan daerah diukur dengan menggunakan
empat kriteria yaitu ketersediaan, aksesibilitas, ketepatan waktu keterbukaan informasi, dan
frekuensi pengungkapan dokumen pengelolaan keuangan desa. Informasi dianggap tersedia
apabila dokumen indikator pada setiap tahapan pengelolaan keuangan desa dapat diperoleh
pada saat observasi dan tersedia pada website resmi pemerintah desa. Selanjutnya, jika
dokumen tersebut dapat diunduh secara mandiri oleh publik, maka informasi tersebut
dianggap dapat diakses (Adriana, 2017). Berdasarkan pendataan yang dilakukan pada
perencanaan, pelaksanaan dan pelaporan keuangan desa, 70,7% desa telah menerapkan
keterbukaan dan transparansi sedangkan sisanya 29,3% belum menerapkan. Penerapan
keterbukaan dan transparansi menunjukkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap
pemerintah desa. Angka ini bisa dikatakan sangat baik, karena pemerintah desa sudah
menjalankan pemerintahan secara terbuka dan ingin masyarakat mengawal prosesnya. Bagan
di bawah ini menunjukkan tingkat keterbukaan dan transparansi pemerintah desa di
Kabupaten Bantul.

80,0%

70,0%

60,0%

50,0%

40,0%

30,0%

20,0%

10,0%

0,0%

THaiePReBNkamuAkNADDTARN
sebuahTSRPAANRSePNATberlari nAPkATRReANNTsparan
TNpengenalHaiATkHaiTPehNBAkamuNkDANDHaiATNtrTApengenal

Gambar 3. Indikator keterbukaan dan transparansi (Tahun 2016 dan 2017)

Analisis inovasi dan orientasi jangka panjang


Untuk memiliki keunggulan dan unggul dari organisasi sejenis, selain visi
strategis, juga diperlukan inovasi dan orientasi jangka panjang. Indikator ini
509
Jurnal Perspektif Pembiayaan dan Pembangunan Daerah Vol. 6. No.4, Januari – Februari 2019 ISSN: 2338-4603 (cetak); 2355-8520 (online)

terkait erat dengan indikator visi strategis karena harus juga mengandung inovasi dan
orientasi jangka panjang. Gambar 4 menunjukkan tingkat inovasi dan orientasi jangka
panjang pemerintah desa di Kabupaten Bantul.

2017

2016

0,0% 10,0% 20,0% 30,0% 40,0% 50,0% 60,0% 70,0% 80,0%

TNpengenalHaiATkdi dalamInovaAStiSayaayDeAANNTDpengenalNAHaikTB
loeNRGHai-RTSayaeeRNMtaHaiyariJeANNTGekDsebuah Panjang trieloNNtaGS-SayateJarm
SAYASayaTIDAKNayHaiAaySASayatiDayAeNAHAI ngHaikRAyaituPNATNedjang

Gambar 4.Inovasi dan indikator orientasi jangka panjang

Pada tahun 2016 dan 2017, hanya 32% desa yang memiliki inovasi dan
orientasi jangka panjang. Kedua indikator tersebut dapat dilihat dari keunikan dan
dampak positif program dan tujuan desa dalam pembangunan desa dan tidak sekedar
meniru program yang sama dari desa lain. Desa dengan tujuan jangka pendek yang
belum menghasilkan output yang dapat digunakan dalam waktu yang lama
menunjukkan bahwa desa tersebut belum melaksanakan kedua indikator tersebut
sehingga penggunaan dana desa masih bersifat sementara dan cenderung berubah
meskipun permasalahan yang dihadapi masih bersifat sementara. relatif sama.
Inovasi dan orientasi jangka panjang dipengaruhi oleh kreativitas positif. Kebiasaan
dalam lingkungan kritis akan membentuk sumber daya yang mampu berinovasi dan
berorientasi jangka panjang.
Analisis pengelolaan keuangan yang handal
Keandalan pengelolaan keuangan pemerintah desa diukur dari bagaimana desa
dapat menghasilkan pendapatan yang tidak bersumber dari dana desa atau alokasi dana
dari kabupaten atau provinsi. Pemerintah desa melakukan berbagai program kreatif untuk
mendatangkan pendapatan yang digunakan untuk kepentingan masyarakat. BUMDesa
merupakan salah satu bentuk legalitas agar desa dapat menghasilkan pendapatan yang
besar. Studi ini menemukan bahwa sebagian besar desa di Kabupaten Bantul belum
melakukan pengelolaan keuangan. Desa cenderung menunggu pendapatan dari berbagai
alokasi dana dari pemerintah di tingkat yang lebih tinggi sehingga kemandirian ekonomi
dan peningkatan kesejahteraan masyarakat sulit tercapai. Rendahnya kesejahteraan
masyarakat desa akan mendorong terjadinya urbanisasi yang akan memperlebar
kesenjangan ekonomi.
Berdasarkan Gambar 5 di atas terlihat bahwa dari 75 desa, hanya 4 desa (4%) yang menunjukkan
kehandalan pengelolaan keuangan. Sebagian besar desa di Kabupaten Bantul (96%) hanya mengandalkan
pendapatan dari dana desa dan tidak mampu menghasilkan pendapatan dari sumber lain, padahal saat ini
desa dituntut untuk memiliki unit usaha produktif yang mampu meningkatkan perekonomian masyarakat.
Pengembangan yang dapat dilakukan untuk meningkatkan penerapan indikator ini adalah dengan
memberikan pendampingan kepada perangkat desa dan

510
Jurnal Perspektif Pembiayaan dan Pembangunan Daerah Vol. 6. No.4, Januari – Februari 2019 ISSN: 2338-4603 (cetak); 2355-8520 (online)

lembaga desa lainnya agar mampu membentuk unit usaha penghasil pendapatan.
Kepemilikan unit usaha akan meningkatkan kemandirian desa secara ekonomi
yang diharapkan berdampak pada masyarakat.

KReeHliAANBDleAlFASayaNAM emNeANgeKM
ncASayaNAAlJbu eueANNTgan AlAM geeSayaKNeTuangan
NAANakuAM
KkamueNTRSayaeDlAiakBHlAeNFDdi dalamAAlaNNciM N

Gambar 5.Indikator pengelolaan keuangan yang andal (Tahun 2016 dan 2017)

Analisis akuntabilitas
Dari 75 desa, 81,3% telah menerapkan indikator akuntabilitas. Menurut
Mahmudi (2007), akuntabilitas dapat dilihat dari berbagai perspektif. Penelitian ini
menggunakan dua jenis akuntabilitas: kebijakan dan akuntabilitas keuangan.
Akuntabilitas kebijakan terkait dengan pertanggungjawaban lembaga publik atas
berbagai macam kebijakan dan keputusan yang telah dilaksanakan atau diambil.
Dalam hal ini lembaga publik harus dapat mempertanggungjawabkan setiap
kebijakan yang telah ditetapkan baik dari segi tujuan, alasan pengambilan
keputusan, manfaat yang dihasilkan, dan berbagai macam dampak negatif yang
mungkin ditimbulkan oleh setiap kebijakan yang akan atau telah dilakukan.
diambil. Sedangkan akuntabilitas keuangan adalah tanggung jawab lembaga
publik atas uang yang disetorkan oleh masyarakat kepada pemerintah.

AkCkamuHaiNkamuTNATBAlBeleTN pengenalHaiATkAACkHaikamukamuNNTTAABBllee

Gambar 5.Indikator Akuntabilitas (Tahun 2016 dan 2017)

511
Jurnal Perspektif Pembiayaan dan Pembangunan Daerah Vol. 6. No.4, Januari – Februari 2019 ISSN: 2338-4603 (cetak); 2355-8520 (online)

Gambar 5 menunjukkan akuntabilitas kebijakan dan keuangan pemerintah desa


di Kabupaten Bantul. Terlihat 61 desa (81,3%) telah akuntabel pada tahun 2016 dan
2017. Indikator ini dapat diperkuat melalui sosialisasi tentang penyusunan laporan
pertanggungjawaban dan penetapan kebijakan desa untuk mewujudkan tertib desa
sehingga mampu mempertanggungjawabkan keuangan dan kebijakan yang diambil
dan juga mewakili masalah masyarakat.

KESIMPULAN DAN SARAN


Kesimpulan
Berdasarkan hasil observasi dan pengolahan data, penelitian ini menyimpulkan
bahwa pertama, secara keseluruhan, tingkat implementasi prinsip good governance di
desa-desa di Kabupaten Bantul Yogyakarta yang baru berjalan selama 3 tahun secara
umum sudah baik, meskipun beberapa indikator belum dilaksanakan. Indikator yang
belum terlaksana memerlukan profesionalisme, modernisasi, dan pengalaman baik dari
penyelenggara, badan pengawas, maupun masyarakat. Misalnya, kehandalan pengelolaan
keuangan, inovasi, orientasi jangka panjang, dan visi strategis sangat membutuhkan
pembelajaran dan adaptasi.
Kedua, beberapa indikator yang belum terlaksana dapat dikembangkan dengan
menumbuhkan pemikiran kreatif dan kritis yang berguna dalam menentukan visi strategis,
inovasi, dan orientasi jangka panjang. Pemikiran kreatif dan kritis dapat ditingkatkan melalui
workshop, diskusi kelompok terarah, dan pendampingan oleh para ahli yang berpengalaman.
Dengan cara demikian, model pengelolaan pemerintahan lama dapat ditinggalkan dan
penerapan sistem pengelolaan publik (NPM) baru dapat diterapkan untuk mewujudkan desa-
desa yang mandiri secara ekonomi dan bereputasi positif. Wajar jika beberapa desa belum
sepenuhnya menerapkan prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik karena kewenangan
dalam pengelolaan mandiri baru saja dilaksanakan. Selain itu, sampai saat ini desa hanyalah
lembaga pemerintahan terkecil yang hanya melayani kebutuhan masyarakat mengenai
masalah hukum kependudukan. Dalam sistem pengelolaan yang baru, desa membawa
tuntutan dan tanggung jawab yang besar seiring dengan kewenangan baru dalam pengelolaan
keuangan.
Ketiga, implementasi good governance di desa-desa di Kabupaten Bantul
secara umum sudah baik dan implementasi beberapa indikator masih dapat
diperkuat. Beberapa indikator masih dalam proses implementasi karena desa masih
beradaptasi dengan perubahan tata kelola desa dari sistem adat ke sistem NPM.
Rekomendasi
Penelitian ini mereplikasi penelitian yang dilakukan oleh Saparniene dan Valukonyte (2012), namun
dengan tahun dan objek yang berbeda. Pada penelitian sebelumnya penelitian dilakukan di kota Siauliai
sedangkan penelitian ini dilakukan di Kabupaten Bantul Yogyakarta. Penelitian ini memiliki keterbatasan
terkait dengan metode penelitian yang digunakan. Dengan metode studi kasus, hasil studi tidak dapat
digeneralisasikan ke organisasi yang berbeda. Penelitian selanjutnya dapat menggunakan metode lain
untuk mendapatkan hasil yang dapat lebih digeneralisasikan. Penelitian selanjutnya juga dapat
menggunakan responden dari berbagai tingkat pemerintahan lainnya.

512
Jurnal Perspektif Pembiayaan dan Pembangunan Daerah Vol. 6. No.4, Januari – Februari 2019 ISSN: 2338-4603 (cetak); 2355-8520 (online)

REFERENSI
Adriana. (2017). Website Analisis Transparansi Pengelolan Keuangan Daerah
Pada Pemerintah Daerah Se-Jawa.Tesis. Magister Akuntansi Fakultas Ekonomika dan
Bisnis Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta
Barcevičius, E. (2008), Viešasis valdymas ir informacinės technologijos. Naujo
link lembaga modelio?Politologi, 1, 85-120
Badan Pembangunan Internasional Kanada (CIDA).(1996).Laporan Tahunan 1996.
Ottawa: CIDA.
Domarkas. V.(2005). Violoso administravimo raidos atualijos.Viesoji polotika ir
administramiva. 13, 7-14
Farrington, C. (2009). Menempatkan tata kelola yang baik dalam praktik I Ibrahim Index of
Pemerintahan Afrika.Studi Perkembangan Kemajuan,9(3), 249-55
IMF. (2005).Mereformasi IMF: Pemerintahan dan Dewan Eksekutif. Washington DC:
IMF.
Jensen, MC, & Meckling, WH (1976). Teori Perusahaan: Perilaku Manajerial,
Biaya Keagenan dan Struktur Kepemilikan.Jurnal Ekonomi Keuangan, 3(4),
305-360.
Kaufmann, D., A., Kraay, & Matsruzzi. M, (2005).Tata Kelola Penting IV: Tata Kelola
indikator untuk tahun 1996-2004. Washington DC: Bank Dunia.
Kementerian Keuangan Republik Indonesia. (2017).Buku Pintar Dana Desa. Jakarta:
Kemenkeu
Komisi Pemberantasan Korupsi. (2015).Laporan Hasil Kajian Pengelolaan Keuangan
Desa. Jakarta: KPK
Mahmudi. (2007).Manajemen Sektor Kinerja Publik. Yogyakarta: UPP STIM YKPN.
Mardiasmo. (2009). Akuntansi Sektor Publik. Yogyakarta: Penerbit Andi
Negrut, Costache, Maftei, dkk. (2010). Aspek good governance dalam konteks
globalisasi.Sejarah DAAAM 2010 & Prosiding Simposium DAAAM
Internasional ke-21, 20-23 Oktober 2010, Zadar, Kroasia,
Republik Indonesia. (2014).Permendagri Nomor 113 Tahun 2014. Jakarta: Sekretariat
Negara.
Rhodes, RAW (1996). Pemerintahan Baru: Memerintah Tanpa Pemerintah.
Studi Politik, 44(4), 652–667.
Santoso, U., & Pambelum, YJ (2008). Pengaruh Penerapan Akuntansi Sektor Publik
Terhadap Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah Dalam Mencegah Penipuan.
Jurnal Administrasi Bisnis,4(1), 14-33.
Saparnien, D., & Inggrida, VI (2012). Implementasi Prinsip Good Governance di
Pemerintahan Daerah Sendiri: Studi Kasus Kota Siauliai.Socialiniai tyrimai Penelitian
Sosial. 3(28), 98–112
Sinason, HD 2000. Studi Pengaruh Akuntabilitas dan Risiko Keterlibatan pada
Keputusan Materialitas Auditor Dalam Audit Sektor Publik.Jurnal Penganggaran
Publik, Akuntansi & Manajemen Keuangan,12(35), 1-21.
Stoker, G. (1998). Pemerintahan sebagai Teori: Lima Proposisi.Ilmu Sosial Internasional
Jurnal, 50(155), 17-28.
Sugiyono. (2008).Metodologi penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D.Bandung:
Alfabet.
Republik Indonesia. (2004).Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang
513
Jurnal Perspektif Pembiayaan dan Pembangunan Daerah Vol. 6. No.4, Januari – Februari 2019 ISSN: 2338-4603 (cetak); 2355-8520 (online)

Pemerintah Daerah. Jakarta: Sekretariat Negara.


Republik Indonesia. (2014).Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa. Jakarta:
Sekretariat Negara.
Program Pembangunan PBB. (1997).Tata kelola yang baik – dan berkelanjutan
perkembangan manusia. [interaktif] Akses internet: http://mirror.undp.org/
magnet/policy/chapter1.htm. (diakses 30 Desember 2010).

514

Anda mungkin juga menyukai