Anda di halaman 1dari 7

Menulis Melayu Klasik

Sebagaimana diungkapkan sejarawan,abad ke-


14, kawasan Selat Malaka semakin ramai yang
tidak saja memikat hati bangsa-bangsa yang
bersempadan,tetapi juga bangsa Eropa.
Pemerintahan jatuh bangun yang pada
gilirannya bertumpu di kawasan Selat Malaka,
ditandai dengan kegigihan Sang Sapurba
beserta sahabat dan keturunannya kembali
mendirikan kejayaan Melayu mulai dari
Bintan, Indargiri, Kuantan, kemudian kembali
ke Bintan untuk seterusnya melanjutkan
usahnya di Tumasik (Singapura) dan Malaka.
Kampar dan Siak, masuk dalam pusaran
sejarah ini sebagai pelaku yang amat
menentukan bagi peradaban Melayu.
Dapat disimpulkan bahwa perkembangan
bahasa Melayu mengalami fase baru dengan
kukuhnya Kemaharajaan Melayu yang
berpusat di Malaka (1405-1511).
Dengan diplomasi dan ketangguhan angkatan
lautnya, Malaka mendominasi perdagangan
yang tidak saja berpengaruh besar di Selat
Malaka, tetapi juga Indonesia sekarang. Dalam
buku "Sejarah Asia Tenggara" (D.G.E. Hall,
Usaha Nasional, Surabaya) disebutkan bahwa,
di bandar Malaka, setiap hari terdengar
percakapan dalam 90 bahasa yang
menunjukkan begitu beragamnya orang yang
ada di tempat itu.

Komunikasi mereka kemudian dipersatukan


oleh bahasa Melayu. akibatnya, bahasa
Melayu dipahami banyak orang yang keluar
masuk Ke Malaka dengan berbagai keperluan.
Tidak mengherankan, bahasa ini pun tersebar
dengan mudah menurut cara-cara masa itu.
Sebab misalnya, mereka yang datang ke
Malaka, kemudian kembali ke tempat asal,
akan menularkan kecakapan berbahasa
Melayu itu kepada khalayak mereka sendiri.

Munculnya bahasa Melayu sebagai pemersatu


komunikasi tentu tidak susah ditebak. Selain untuk
keperluan pragmatis seperti upaya mendekatkan
diri dengan penguasa dan penduduk setempat,
bahasa Melayu mudah dicerna. Susunan
kalimatnya sederhana dan menetap, kemudian
tidak mengenal kasta-kasta.
Melayu makin meluas seiringan dengan semakin
meningkatnya aktivitasnya bangsa Eropa di
kawasan Selat Malaka. Sebab, kejatuhan Malaka
sekaligus jadi pintu masuk bangsa asing ke
Nusantara yang meliputi Indonesia, Malaysia,
Singapura, dan Brunei sekarang. Seperti bangsa-
bangsa terdahulu, untuk berkomunikasi mereka
akhirnya harus mempelajari bahasa Melayu karena
bahasa ini sudah dipakai jauh lebih luas seiringan
dengan pengaruh Malaka tadi.
Bagian penting dalam menyuburkan bahasa
Melayu pada fase ini adalah munculnya Kerajaan
Aceh di Sumatera yang mematikan dirinya sebagai
negara Islam (1496-1903). Bahasa Melayu yang
sejak pada masa kuno (prasasti) sudah menyerap
bahasa Arab dan semakin tumbuh setelah Islam
menjadi agama kesultanan---tidak lagi hanya
dianut oleh masyarakat -----dengan sendirinya
terpilih sebagai bahasa utama. Apalagi setelah
kejatuhan Malaka ke tangan Portugis,para cerdik
pandai Malaka banyak yang dibawa ke Aceh untuk
membantu pembangunan Aceh.
Seperti halnya ketika memperkatakan bukti
bahasa Melayu kuno diatas, keberadaan bahasa
Melayu klasik, juga harus dapat diperlihatkan
melalui bukti-bukti tertulis. Hal ini tidak sulit bagi
bahasa Melayu klasik karena pada Kemaharajaan
Melayu di Malaka, Johor-Riau, dan Aceh,
masyarakat Melayu terkesan sebagai masyarakat
yang sudah gemar menulis. Inlah hal yang utama
membedakan perkembangan bahasa Melayu kuno
dengan bahasa Melayu klasik, terlepas dari apa
pun faktor penyebabnya.

Dari bukti-bukti yang ada, dapatlah ditarik


kesimpulan bahwa ciri-ciri bahasa Melayu klasik
adalah sebagai berikut:
1.banyak menyerap kosa-kata Arab
2.menggunakan aksara Arab
3.kalimatnya panjang-
panjang,berulang,berbelit belit
4.banyak menggunakan kalimat pasif
5.menggunakan bahasa istana
6.kosakata klasik: Ratna mutu Manikam, edan
kesmaran (mabuk asmara), sahaya,
masyghul (bersedih)
7.banyak menggunakan pangkal kalimat
seperti sebermula,alkisah,Hatta, adapun.
8.banyak menggunakan kalimat sungsang,dan;
9.banyak menggunakan partikel "pun" dan "lah
Salah satu contoh karya yang termasuk ke dalam
kelompok bahasa Melayu klasik adalah "Hikayat
Hang Tuah" (Kasim Ahmad, 1975), sebagaimana
kutipan dibawah ini:

Maka Hang Tuah, Hang Jebat, Hang Kasturi, Hang


Lekir, Hang Lekiu pun diajarnyalah oleh Aria Putra,
bagai-bagai ilmu isyarat hulubalang dan firasat
dan ilmu penjurit, tetapi lebih juga Hang Tuah
diajarnya barang ilmu dan isyarat. Setelah sudah,
maka Aria Putra pun berpesan pada Hang Tuah,
"Hai cucuku, jika engkau pergi ke Majapahit kelak,
jangan tidak engkau berguru pada saudaraku
bernama Sang Persata Nala itu, terlalu banyak
tahunya daripada aku. Iya menjadi ajar-ajar, tiada
ia merasa dunia. Bermula aku pun belajar sedikit
banyak." Maka sembah Hang Tuah,
"Baiklah,tuanku, sebab tuanku hambamu junjung,
karena hambamu lima bersaudara ini sudahlah
menjadi hamba di bawah kadam tuanku." Maka
Hang Tuah pun duduklah berhambakan dirinya
kelima bersahabat di bukit itu pada Ara Putra itu.

• Itu saja dari kami, Sekian dari Kelompok 2,


Assalamualaikum warramahtullohi wabbarokatu

Anda mungkin juga menyukai