14, kawasan Selat Malaka semakin ramai yang tidak saja memikat hati bangsa-bangsa yang bersempadan,tetapi juga bangsa Eropa. Pemerintahan jatuh bangun yang pada gilirannya bertumpu di kawasan Selat Malaka, ditandai dengan kegigihan Sang Sapurba beserta sahabat dan keturunannya kembali mendirikan kejayaan Melayu mulai dari Bintan, Indargiri, Kuantan, kemudian kembali ke Bintan untuk seterusnya melanjutkan usahnya di Tumasik (Singapura) dan Malaka. Kampar dan Siak, masuk dalam pusaran sejarah ini sebagai pelaku yang amat menentukan bagi peradaban Melayu. Dapat disimpulkan bahwa perkembangan bahasa Melayu mengalami fase baru dengan kukuhnya Kemaharajaan Melayu yang berpusat di Malaka (1405-1511). Dengan diplomasi dan ketangguhan angkatan lautnya, Malaka mendominasi perdagangan yang tidak saja berpengaruh besar di Selat Malaka, tetapi juga Indonesia sekarang. Dalam buku "Sejarah Asia Tenggara" (D.G.E. Hall, Usaha Nasional, Surabaya) disebutkan bahwa, di bandar Malaka, setiap hari terdengar percakapan dalam 90 bahasa yang menunjukkan begitu beragamnya orang yang ada di tempat itu.
Komunikasi mereka kemudian dipersatukan
oleh bahasa Melayu. akibatnya, bahasa Melayu dipahami banyak orang yang keluar masuk Ke Malaka dengan berbagai keperluan. Tidak mengherankan, bahasa ini pun tersebar dengan mudah menurut cara-cara masa itu. Sebab misalnya, mereka yang datang ke Malaka, kemudian kembali ke tempat asal, akan menularkan kecakapan berbahasa Melayu itu kepada khalayak mereka sendiri.
Munculnya bahasa Melayu sebagai pemersatu
komunikasi tentu tidak susah ditebak. Selain untuk keperluan pragmatis seperti upaya mendekatkan diri dengan penguasa dan penduduk setempat, bahasa Melayu mudah dicerna. Susunan kalimatnya sederhana dan menetap, kemudian tidak mengenal kasta-kasta. Melayu makin meluas seiringan dengan semakin meningkatnya aktivitasnya bangsa Eropa di kawasan Selat Malaka. Sebab, kejatuhan Malaka sekaligus jadi pintu masuk bangsa asing ke Nusantara yang meliputi Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Brunei sekarang. Seperti bangsa- bangsa terdahulu, untuk berkomunikasi mereka akhirnya harus mempelajari bahasa Melayu karena bahasa ini sudah dipakai jauh lebih luas seiringan dengan pengaruh Malaka tadi. Bagian penting dalam menyuburkan bahasa Melayu pada fase ini adalah munculnya Kerajaan Aceh di Sumatera yang mematikan dirinya sebagai negara Islam (1496-1903). Bahasa Melayu yang sejak pada masa kuno (prasasti) sudah menyerap bahasa Arab dan semakin tumbuh setelah Islam menjadi agama kesultanan---tidak lagi hanya dianut oleh masyarakat -----dengan sendirinya terpilih sebagai bahasa utama. Apalagi setelah kejatuhan Malaka ke tangan Portugis,para cerdik pandai Malaka banyak yang dibawa ke Aceh untuk membantu pembangunan Aceh. Seperti halnya ketika memperkatakan bukti bahasa Melayu kuno diatas, keberadaan bahasa Melayu klasik, juga harus dapat diperlihatkan melalui bukti-bukti tertulis. Hal ini tidak sulit bagi bahasa Melayu klasik karena pada Kemaharajaan Melayu di Malaka, Johor-Riau, dan Aceh, masyarakat Melayu terkesan sebagai masyarakat yang sudah gemar menulis. Inlah hal yang utama membedakan perkembangan bahasa Melayu kuno dengan bahasa Melayu klasik, terlepas dari apa pun faktor penyebabnya.
Dari bukti-bukti yang ada, dapatlah ditarik
kesimpulan bahwa ciri-ciri bahasa Melayu klasik adalah sebagai berikut: 1.banyak menyerap kosa-kata Arab 2.menggunakan aksara Arab 3.kalimatnya panjang- panjang,berulang,berbelit belit 4.banyak menggunakan kalimat pasif 5.menggunakan bahasa istana 6.kosakata klasik: Ratna mutu Manikam, edan kesmaran (mabuk asmara), sahaya, masyghul (bersedih) 7.banyak menggunakan pangkal kalimat seperti sebermula,alkisah,Hatta, adapun. 8.banyak menggunakan kalimat sungsang,dan; 9.banyak menggunakan partikel "pun" dan "lah Salah satu contoh karya yang termasuk ke dalam kelompok bahasa Melayu klasik adalah "Hikayat Hang Tuah" (Kasim Ahmad, 1975), sebagaimana kutipan dibawah ini:
Maka Hang Tuah, Hang Jebat, Hang Kasturi, Hang
Lekir, Hang Lekiu pun diajarnyalah oleh Aria Putra, bagai-bagai ilmu isyarat hulubalang dan firasat dan ilmu penjurit, tetapi lebih juga Hang Tuah diajarnya barang ilmu dan isyarat. Setelah sudah, maka Aria Putra pun berpesan pada Hang Tuah, "Hai cucuku, jika engkau pergi ke Majapahit kelak, jangan tidak engkau berguru pada saudaraku bernama Sang Persata Nala itu, terlalu banyak tahunya daripada aku. Iya menjadi ajar-ajar, tiada ia merasa dunia. Bermula aku pun belajar sedikit banyak." Maka sembah Hang Tuah, "Baiklah,tuanku, sebab tuanku hambamu junjung, karena hambamu lima bersaudara ini sudahlah menjadi hamba di bawah kadam tuanku." Maka Hang Tuah pun duduklah berhambakan dirinya kelima bersahabat di bukit itu pada Ara Putra itu.