TESIS
M. SYAEFUL ANAM
1806164432
TESIS
M. SYAEFUL ANAM
1806164432
i Universitas Indonesia
Fenomena Golput ..., M. Syaeful Anam, FISIP UI, 2020
ii Universitas Indonesia
Fenomena Golput ..., M. Syaeful Anam, FISIP UI, 2020
HALAMAN PENGESAHAN
DEWAN PENGUJI
Ditetapkan di : Depok
Tanggal : 27 Juli 2020
iv Universitas Indonesia
Fenomena Golput ..., M. Syaeful Anam, FISIP UI, 2020
Drs. Ricardi S. Adnan, M.Si., selaku ketua sidang dan sekaligus Ketua Program Studi
Pascasarjana Sosiologi. Demikian juga kepada Nanu Sudjojo, S.Sos., M.Si., selaku
sekretaris sidang, penulis sampaikan terimakasih. Dari beliau-beliau, penulis memperoleh
saran-saran yang konstruktif untuk perbaikan kualitas penelitian tesis ini.
Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada segenap kawan seperjuangan,
Sosiologi 2018. Semoga sukses di jalan masing-masing. Terimakasih telah menjadi teman
belajar, berdiskusi dan kawan yang menyenangkan selama dua tahun terakhir. Teruntuk
Ligar, Imron, Oja, Soulina, dan Kreshna penulis sampaikan rasa terima kasih atas
persahabatan dan pengalaman yang diberikan. Terimakasih juga kepada Mbak Dhiela,
Pak Asep, Mas Surya, Mas Sakti, Bang Sofyan. Dari merekalah, penulis mendapatkan
pencerahan-pencerahan terkait kebuntuan selama penulisan tesis ini. Untuk Mas Hilmi,
Ozi, Bang Faisal, Rendi, dan Healzha terimakasih atas kebaikan dan bantuannya selama
di Depok. Kepada Mbak Heni, Mas Agus dan Pak Usman saya ucapkan terimakasih telah
bersedia untuk selalu direpoti. Penulis juga menyampaikan terimakasih untuk semua
informan dalam penelitian ini, yang telah meluangkan waktunya dan menyambut dengan
hangat. Akhirnya, banyak sekali orang yang tidak bisa penulis sebut satu per satu. Mereka
semua juga telah membantu baik dengan doa dan lainnya. Semoga Allah membalas segala
kebaikan mereka.
Penulis menyadari masih terdapat kekurangan dalam penulisan tesis ini. Tulisan
ini hanyalah satu sudut pandang, yang akan lebih baik jika diperkaya dengan sudut
pandang lainnya. Kritik dan saran yang membangun penulis harapkan demi perbaikan
tesis ini. Semoga tesis ini menjadi pemantik untuk diskusi lebih lanjut demi memperkaya
khazanah keilmuan dan memberi kebermanfaatan bagi masyarakat.
Penulis
v Universitas Indonesia
Fenomena Golput ..., M. Syaeful Anam, FISIP UI, 2020
vi Universitas Indonesia
Fenomena Golput ..., M. Syaeful Anam, FISIP UI, 2020
ABSTRAK
Tesis ini membahas bagaimana upaya perlawanan melalui gerakan #SayaGolput dalam
konteks momentum politik 2019. Penelitian ini menggunakan konseptual contentious
politics dan mobilisasi collective action. Penelitian ini menggunakan pendekatan
kualitatif dengan jenis penelitian studi kasus. Pengambilan data dilakukan dengan
wawancara mendalam terhadap informan kunci yaitu aktor-aktor gerakan SayaGolput.
Hasil penelitian ini beberapa faktor yang mendorong kemunculan SayaGolput, pertama,
demokrasi sosial dan politik belum dijalankan sepenuhnya. Kedua, Kedua, kekecewaan
terhadap pendukung Jokowi terhadap keputusan diusungnya Ma’ruf Amin menjadi
cawapres. Ketiga, beberapa kalangan melihat iklim demokrasi yang sudah dijalankan
bertumpu pada kepentingan borjuasi. Keempat, ketidakpercayaan terhadap pemilu dan
segala bentuk hierarki. SayaGolput sebagai aliansi yang cair dan dinamis. SayaGolput
gabungan aktivis lintas sektor dan ideologis. SayaGolput sebagai titik temu dan
kompromi aktor-aktor gerakan yang mengalami kebuntuan dalam upayanya memajukan
advokasi-advokasi yang ada. Pada temuan di lapangan ketiga elemen subjek (aktor
gerakan), klaim (publik) dan objek (petahana dan elite) terjadi persinggungan yang
dinamis. Subjek melihat sepuluh agenda perjuangan merupakan problem yang menjadi
titik tolak gerakan. Agenda pejuangan kerakyatan ditujukan sebagai klaim untuk
mempersuasi massa. Mobilisasi SayaGolput mendapatkan perlawanan dari objek, yang
diinisiasi oleh kalangan petahana dan pendukungnya. Pertarungan politik (contentious
politics) tergambarkan dalam pembentukan wacana terkait golput utamanya perang narasi
di media sosial. Mobilisasi sumber daya yang timpang membuat kubu petahana dapat
mengontrol pembentukan opini. Media sosial dikapitalisasi menjadi alat pengorganisiran
dalam SayaGolput. Hal tersebut menjadi anomali pada teori gerakan sosial Charles Tilly.
This thesis discusses how the efforts of resistance through the #SayaGolput movement in
the context of 2019 political momentum. This study uses conceptual contentious
politics and mobilization of collective action. This study uses a qualitative approach with
the type of case study research. Data collection was done by in-depth interviews with key
informants namely SayaGolput movement actors. The results of this study are several
factors that led to the emergence of SayaGolput, first, social and political democracy has
not been fully implemented. Second, the frustration of Jokowi's supporters over the
decision that Ma'ruf Amin brought to be vice president. Third, some circles see the
already democratic climate centered on the interests of the bourgeoisie. Fourth, distrust
of elections and all forms of hierarchy. SayaGolput as a liquid and dynamic alliance
movement. SayaGolput movement is combination of cross-sector and ideological
activists. SayaGolput as a meeting point and compromise of movement actors who are at
a standstill in their efforts to advance existing advocacies. In the findings in the field of
the three elements of the subject (movement actors), claims (public) and objects
(incumbent and elite) there is a dynamic conflict. The subject sees the ten agendas of
struggle as a problem that is the starting point of the movement. The people's struggle
agenda is intended as a claim to appease the masses. SayaGolput mobilization gets
resistance from the object, which is initiated by the tenants and their supporters. Political
fight (contentious politics) is illustrated in the formation of the discourse regarding the
war abstentions main narrative in social media. Accelerated mobilization of resources
makes the camp of camps able to control the formation of opinions. Social media is
capitalized on as an organizing tool in SayaGolput. This is an anomaly in Charles Tilly's
theory of social movement.
Keywords: abstentions, pro-democracy activists, collective action, contentious
politics
ix Universitas Indonesia
Fenomena Golput ..., M. Syaeful Anam, FISIP UI, 2020
BAB 3 METODE PENELITIAN .................................................................. 26
3.1 Pendekatan Penelitian Kualitatif .......................................................... 26
3.2 Teknik Pengumpulan Data ................................................................... 27
3.3 Informan ............................................................................................... 28
3.4 Analisis Data ........................................................................................ 33
3.4 Validasi Data ........................................................................................ 34
3.5 Limitasi dan Delimitasi ........................................................................ 34
3.6 Proses Penelitian................................................................................... 35
x Universitas Indonesia
Fenomena Golput ..., M. Syaeful Anam, FISIP UI, 2020
DAFTAR TABEL
xi Universitas Indonesia
Fenomena Golput ..., M. Syaeful Anam, FISIP UI, 2020
DAFTAR BAGAN
Grafik 4.1 Angka Partisipasi Pemilih dari Pemilu 1971-Pemilu 2019 ............. 89
xv Universitas Indonesia
Fenomena Golput ..., M. Syaeful Anam, FISIP UI, 2020
BAB I
PENDAHULUAN
1
Istilah golput muncul pertama kali pada Pemilu 1971. Akronim dari kata Golongan Putih (Golput). Pemilu itu
merupakan pertama di era rezim Orde Baru, Soeharto. Menurut Ekspres edisi 14 Juni 1971, golput merupakan
sebuah gerakan untuk datang ke kotak suara dan menusuk kertas putih di sekitar tanda gambar, bukan gambarnya.
Hal tersebut menyebabkan suaranya tidak jadi sah, dan tidak dihitung. Gerakan ini dimotori oleh Arief Budiman,
Imam Waluyo, Julius Usman, Husin Umar, Marsilam Simanjutak, dan Asmara Nababan. Gerakan dilakukan
dengan memboikot pemilu sebagai kekecewaan dan kritik terhadap Soeharto yang dianggap tidak demokratis
dengan adanya pembatasan partai-partai politik. Menurut Budiman (2006), seperti disebutkan dalam buku
Kebebasan, Negara, Pembangunan; Kumpulan Tulisan 1965-2005, dengan membatasi jumlah parpol, pemerintah
sudah melanggar asas demokrasi yang sangat mendasar, yaitu kemerdekaan berserikat dan berpolitik. Dari situ,
istilah golput digunakan sebagai bentuk perilaku pemilih invalid ballot, non voting atau abstention di Indonesia.
1 Universitas Indonesia
Fenomena Golput ..., M. Syaeful Anam, FISIP UI, 2020
2
menjadi brigade dan bottle neck maka aspirasi itu mengambil jalan non-konvensional. Gerakan
golput yang diambil karena kebuntuan politik formal dan konvensional sehingga mengambil
jalan alternatif.
Sikap golput sebagai gerakan dalam iklim demokrasi dipandang perlu. Sistem
demokrasi tetap membutuhkan dan bahkan menyuburkan gerakan sosial, karena sistem
demokrasi itu sendiri tidak menjamin berlakunya distribusi ekonomi dan akses keadilan kepada
semua orang (Amenta, 2005). Di Indonesia perilaku golput (non-voting) ditunjukkan dengan
beragam cara. Pertama, ketidakhadiran dalam bilik suara sebagai aksi protes. Kedua, hadir
dalam bilik suara namun hak pilihnya tidak digunakan dengan benar. Ketiga, orang yang
berpartisipasi ke dalam bilik suara tetapi mencoblos bagian putih dari surat suara. Keempat,
ketidakhadiran di tempat pemungutan suara disebabkan oleh namanya tidak terdaftar dalam
Daftar Pemilih Tetap (DPT) sehingga tidak memiliki hak suara (Yuniarti, 2009). Lebih lanjut,
bila disederhanakan kategorisasi golput dapat dijadikan menjadi dua yaitu golput politis –
ideologis dan golput teknis – administratif.
Golput politis – ideologis terjadi disebabkan oleh kekecewaan dan ketidakpercayaan
terhadap sistem politik. Golput kategori ini dilakukan secara sadar dan sengaja mengambil
sikap tidak mencoblos dalam pemilihan umum (abstain). Sedangkan golput teknis –
administratif disebabkan oleh permasalahan menyangkut administrasi seperti namanya tidak
tercantum dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT), sehingga tidak datang ke TPS. Faktor lainnya
terjadi karena kurangnya informasi atau sosialisasi terkait mekanisme pemilihan seperti
mencoblos dengan tidak tepat. Penelitian ini mengulas kategori golput secara politis –
ideologis. Golput dengan segala bentuk artikulasinya juga bagian dari partisipasi politik.
Menurut Huntington dan Nelson (1980:6) mendefinisikan partisipasi politik sebagai “kegiatan
warga negara yang bertujuan mempengaruhi pengambilan keputusan oleh pemerintah”.
Pemilu di Indonesia telah dilakukan berulang kali. Pada Pemilu Orde Baru, partisipasi
pemilih rata-rata diatas 90%. Dengan kata lain tingkat golput rata-rata dibawah 10%.
Sedangkan Pemilu Pasca Reformasi angka golput rata-rata diatas 20%. Angka golput terendah
terjadi pada Pemilu 1999 dengan angka 7,3%. Sedangkan pada Pemilu 2019 angka golput
sebesar 19%. Angka golput tersebut terdiri dari dua kategori kelompok golput baik secara
politis – ideologis dan teknis – administratif. Bila melihat trend angka golput, kampanye
gerakan golput tidak berimplikasi signifikan secara kuantitatif. Namun secara kualitatif
kampanye golput memberi pengaruh terhadap wacana politik. Selain sebagai fenomena politik,
golput juga digunakan sebagai kekuatan simbolik perlawanan terhadap penguasa. Pada awal
Universitas Indonesia
dasawarsa 1970-an, golput merupakan bentuk sikap kritis. Kini, suara golput mesti dilihat
seperti sebelumnya terhadap mereka yang terlibat dalam kontestasi kekuasaan (Nyarwi, 2009).
Kampanye golput juga menjadi perbincangan serius menjelang Pemilu 2019. Seruan
golput disampaikan oleh kalangan aktivis pro-demokrasi. #SayaGolput merupakan tagline
utama gerakan ini. Sikap gerakan golput ini secara lengkap ditulis dalam manifesto Kertas
Putih Golongan Putih: Kami Memilih untuk Tidak Memilih. Menurut mereka sistem politik
yang dijalankan sekarang, tidak dapat memunculkan calon yang berpihak pada rakyat. Ada
sepuluh tuntutan utama diantaranya adalah kesejahteraan untuk rakyat; agraria, ruang hidup,
serta lingkungan hidup; buruh dan ketenagakerjaan; anti korupsi; militerisme dan politik
militer; agenda pemenuhan hak asasi manusia; kelompok rentan dan minoritas; masa depan
tanah Papua; perbaikan sistem politik; reformasi hukum serta peradilan sebagai lembaga
pemulihan yang efektif. Argumentasi golput juga diterbitkan secara gratis oleh Buku Mojok.
Tulisan tersebut berjudul Golput: Siapapun Yang Menang, Rakyat Tetap Kalah ditulis oleh
Bilven (2019). Gagasan-gagasan terkait gerakan golput ditulis di beberapa platform seperti
Medium, IndoProgress, Sorge Magazine Wacana dan platform alternatif lainnya. Selain itu,
aktivis golput juga aktif mempropagandakan pesan-pesan golput melalui media sosial.
Kegiatan-kegiatan diskursus juga diselenggarakan, salah satu titik sentrumnya berada di
YLBHI. Gerakan golput tersebut membuat banyak kalangan kalang kabut.
Frekuensi perbincangan tentang golput juga bertambah. Muhamad Heychael (2019)
dalam tulisannya di Remotivi mencatat selama Januari 2019 empat talkshow membahas golput.
Kompas TV mengadakan diskusi terkait golput dalam dua program, “Rosi” yang berjudul
Golput, Rasional atau Frustasi? dan “Sapa Indonesia Malam” episode Hantu Golput di
Pemilu. Sedangkan Metro TV mengulasnya dalam program “Opsi” dengan judul Was-Was
Opsi Golput serta CNN Indonesia menyiarkan “Prime News” episode Hantu Golput di Pemilu
2019.2 Perang wacana juga tercatat di lini media sosial. Dalam rilisnya, Drone Emprit
melaporkan sejak 17 Januari 2019 percakapan ‘golput’ terus meningkat, terutama di Twitter.
Peningkatan tersebut dimulai sejak debat pertama kandidat Capres-Cawapres. Berdasarkan
analisa SNA, akun @budimandjatmiko dan @fajrinamaya adalah yang sentral dalam
kampanye anti golput. Keduanya adalah tim sukses dan pendukung Jokowi.
Munculnya akun Dildo yang viral dengan Capres-Cawapres fiktif - Nurhadi-Aldo,
mulai dicurigai sebagai ajakan untuk pilihan ketiga, yaitu golput. Ditengah menguatnya
2
http://www.remotivi.or.id/amatan/515/ruqyah-golput-di-televisi, diakses 03 Maret 2020.
Universitas Indonesia
polarisasi kubu Jokowi dan kubu Prabowo sejak Pilpres 2014. Fenomena Dildo itu menarik
perhatian banyak kalangan. Talksow “Rosi” di Kompas TV dalam episode Politik Tronjal
Tronjol, Menolak Fanatisme Buta Pada Capres mengundang Nurhadi – capres fiktif, sebagai
salah satu narasumbernya. Perdebatan perihal golput juga menjadi perbincangan hangat setelah
munculnya film Sexy Killers di Youtube. Film itu diproduksi oleh Watchdoc, karya dari
Dandhy Laksono dan Ucok Suparta. Sexy Killers mengulas relasi oligarki pada kedua kubu;
Jokowi dan Prabowo. Jejaring bisnis batu bara mempertemukan elit politik dua kubu. Cerita
itu tentu antitesis dari kampanye keduanya, yang menggambarkan seolah kedua kubu berbeda
dan berseberangan. Film tersebut juga menyuarakan isu-isu lainnya seperti energi terbarukan,
kesehatan serta agraria dan lingkungan. Pada 14 April, menjelang hari pemilihan yang kurang
3 hari lagi, Sexy Killers sudah ditonton 17 juta kali. Dhandy Laksono menjelaskan Sexy Killers
bukan ajakan untuk golput.3 Menurutnya golput itu bonus.4
Menurut Horst Kahrs, peneliti berkebangsaan Jerman sekaligus menjabat sebagai
konsultan Rosa Luxemburg Foundation, menilai sikap golput sebagai ekspresi kekecewaan
serta upaya berpaling dari sistem partai dan demokrasi perwakilan-parlemen. Secara sosial dan
politik, golput begitu heterogen; memiliki banyak motivasi beserta preferensi partai politik
yang majemuk.5 Kelompok kritis tersebut memerankan komponen partisipasi yang esensial
dalam masyarakat demokratis. Fenomena ini bisa dikenal dengan demokrasi dari bawah6
(democracy from below). Gerakan golput di Indonesia pada Pemilu 2014-2019 tidak bisa
dilepaskan dari aktor-aktor demokrasi.7 Propaganda golput dimaksudkan sebagai protes dari
masyarakat terhadap para kandidat dan pengusung mereka karena dinilai tidak mampu
menyelesaikan persoalan riil di Indonesia. Gerakan seperti golput ini dan di berbagai negara
diawali sebagai popular protest. Gerakan ini adalah wujud tindakan kolektif yang berakar
dalam kepercayaan dan nilai-nilai bersama (Budiardjo, 2017: 383). Sidney Tarrow dalam
bukunya Power in Movement (1998) menyatakan gerakan sosial merupakan tantangan kolektif
oleh orang-orang yang mempunyai tujuan bersama berbasis solidaritas. Di Indonesia gerakan
3
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190416080753-32-386715/suara-golput-suara-rakyat/2, diakses 03
Maret 2020.
4
https://lokadata.id/artikel/dandhy-laksono-so-what-kalau-sexy-killers-bikin-golput, diakses 03 Maret 2020.
5
https://www.transform-network.net/en/publications/yearbook/overview/article/yearbook-2017/voter-abstention-
as-class-electoral-behaviour-and-the-weakness-of-left-approaches/, diakses 15 Oktober 2019.
6
Pembentukan demokrasi seperti diumpamakan sebagai usaha dalam membuat sebuah bangunan yang tinggi.
Bangunan ini dimulai pembuatannya dari bawah oleh banyak pelaku yang bekerja sambung-menyambung
(Budiman & Tornquist, 2001)
7
Meminjam istilah Budiman & Tornquist (2001), lebih lanjut lihat Aktor Demokrasi: Catatan Tentang Gerakan
Perlawanan di Indonesia.
Universitas Indonesia
golput diinisiasi oleh mereka – yang bergerak pada NGO (Non-Governmental Organization) –
dan mengadvokasi persoalan HAM, reforma agraria dan lingkungan, supremasi sipil serta isu-
isu akar rumput lainnya. Ketidakpuasan terhadap institusi politik dan kinerja pemerintah
menjadi faktor memilih sikap tersebut.
Kaitannya dengan sosial politik di Indonesia, demokrasi dikendalikan oleh kuasa
oligarki. Robinson dan Hadiz (2004) menjelaskan bahwasanya dinamika demokrasi di
Indonesia pasca Soeharto, diisi oleh kekuatan oligarki. Jeffrey Winters (2011) menyatakan
oligarki dalam politik merupakan “wealth defense”, yaitu konglomerat yang terlibat dalam
kegiatan politik tersebut memiliki agenda mempertahankan kekayaan yang diperolehnya.
Masalah oligarki ini terletak pada kekuasaan untuk mengelola partai hampir secara absolut di
tangan segelintir orang. Selain itu, para oligark mendapatkan keuntungan dengan skema
demokrasi liberal yang membutuhkan dana besar. Para konglomerat tersebut memiliki partai
atau menjadi pendukung elit partai. Relasi tesebut menjadikan oligarki dan elite politik
mendapatkan keuntungan langsung dari proses elektoral. Seyogyanya pemilu membuka jalan
perbaikan kehidupan, seperti kata Max Lane dalam bukunya Unfinished Nation (2014)
“demokrasi” dan kesejahteraan dilihat tunggal dan sebagai sesuatu yang sama, dan dalam
berbagai hal, bagi rakyat, keduanya harus digabungkan.
Peneliti Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) menilai lingkaran kandidat capres dan
cawapres dikelilingi oleh oligarki pengusaha tambang.8 Kubu Jokowi-Ma’ruf mendapat
dukungan dana kampanye sebesar 86% dari Perkumpulan Golfer TBIG dan TRG. Pengusaha
dibalik pengumpul dana tersebut adalah Wahyu Sakti Trenggono, sekaligus menjabat
Bendahara TKN Jokowi-Ma’ruf. Pengusaha tambang lainnya yang berada di pusaran paslon
01 pada pemilu 2019 adalah Luhut Bisar Panjaitan, Surya Paloh, Oesman Sapta Oedang, Andi
Syamsudin Arsyad, Jusuf Kalla, Hary Tanoesoedibjo, Jusuf Hamka, dan Aburizal Bakrie.
Sedangkan di kubu paslon 02, Prabowo-Sandi, tercatat ada beberapa pengusaha tambang yang
bergabung seperti Tommy Soeharto, Hasjim Djojohadikusuma, Hanifah Husain Mursyidan
Baldan, Zulkifli Hasan hingga Prabowo-Sandi sendiri juga terkait9.
Para “oligark” yang mempunyai bisnis dan memiliki kepentingan masing-masing untuk
memuluskan agenda-agenda kapitalnya. Hal itu seakan mempertegas pernyataan Duverger
8
https://katadata.co.id/berita/2019/02/11/jatam-soroti-oligarki-tambang-di-sekitar-jokowi-prabowo, diakses 16
Oktober 2019 dan https://www.jatam.org/2019/03/20/oligarki-tambang-di-balik-pilpres-2019/, diakses 16
Oktober 2019.
9
https://www.mongabay.co.id/2019/02/21/potret-relasi-pebisnis-tambang-di-balik-kedua-calon-presiden/,
diakses 05 Maret 2020.
Universitas Indonesia
(1982) bahwa “uang berkuasa”, ialah satire di dalam politik praktis. Narasi utama untuk
berpihak kepada rakyat hanya menjadi bahan dagangan untuk mendapatkan kemenangan
elektoral. Transisi politik pasca reformasi tidak mengarah ke jenis demokrasi yang tidak liberal,
disebut demokrasi oligarki. Wajah utama struktur politik Indonesia pasca reformasi tetap
didominasi oleh kekuatan penyokong Orde Baru. Kondisi itu terjadi karena kemampuan dari
kekuatan-kekuatan lama beradaptasi dengan semangat demokratisasi pasca reformasi dengan
membentuk blok aliansi bisnis politik dengan aktor-aktor politik baru (Kusman, 2017).
Kedua kandidat juga dikelilingi oleh 17 purnawirawan yang diduga terkait pelanggaran
Hak Asasi Manusia (HAM) masa lalu.10 Peneliti KontraS lebih detail menyebutkan terdapat 9
purnawirawan diduga terkait dengan pelanggaran HAM masa lalu berada di pasangan Jokowi-
Ma’ruf. Sedangkan kubu paslon Prabowo-Sandi terdapat 8 purnawirawan atas dugaan yang
sama. Dari sisi paslon 01 terdapat beberapa nama diantaranya, A.M. Hendropriyono, Wiranto,
Try Soetrisno, Fachrul Rozi, Winston Pardamean S., Ryamizard Ryacudu, Sutiyoso, Wismoyo
Arismunandar, dan Muchdi PR. Sementara itu, KontraS juga mencatat pihak-pihak yang
diduga terkait pelanggaran HAM di kubu paslon 02, yaitu Glen Karupan, Yunus Yosfiani,
Yayat Sudrajat, Bambang Kristiono, Tono Suratman, Syafrie Syamsuddin Chairawan
Kadarsyah N., dan Fauka Noor Farid. Hal tersebut menimbulkan pesimisme bahwa penegakan
hukum dan HAM khususnya, dapat dijalankan ke depannya.
Ketidakpercayaan terhadap elite politik, salah satunya disebabkan oleh perilaku korupsi
yang kerap kali menjerat pejabat. Menurut Muhtadi (2019) sistem politik tidak bisa dilepaskan
dari uang. Akhirnya, produk keputusan-keputusan politik merupakan upaya perselingkuhan
antara elite politik dan pemilik modal. Peneliti dan pengamat demokrasi di Indonesia juga
memunculkan aspek negatif yang menonjol seperti maraknya politik uang, oligarki partai
politik, apitisme rakyat yang meluas, fenomena sektarian, hingga kecenderungan elitis, serta
lahirnya raja-raja kecil dan sistem dinasti (Buehler, 2007; Mietzner, 2009; Aspinal dan
Mietzner, 2010). Maka menjadi wajar gerakan golput diusung sebagai politik alternatif, atas
menguatnya oligarki dan militerisme serta polarisasi yang semakin tajam. Sekalipun sebagian
besar warga negara merasa puas dengan bagaimana demokrasi dijalankan, warga yang terdidik
secara lebih baik cenderung negatif dalam menilai kinerja demokrasi. Mereka memiliki
komitmen terhadap nilai-nilai demokrasi dan komitmen tersebut diikuti dengan tuntutan atas
penerapan demokrasi yang lebih baik (Mujani, Liddle dan Ambardi, 2019: 277).
10
https://tirto.id/kontras-catat-17-purnawirawan-terlibat-pelanggaran-ham-di-masa-lalu-dlWz, diakses 16
Oktober 2019.
Universitas Indonesia
Bagi Borgotta and Borgotta (1992: 1880) gerakan sosial selalu identik dengan gerakan
yang bernuansa politik, menyoroti pemerintahan dan melakukan perlawanan-perlawanan
sebagai upaya untuk melakukan perubahan. Kajian-kajian seputar golput juga banyak
dilakukan. Golput diartikan sebagai ekspresi politik dan perlawanan terhadap rezim yang
berkuasa (Obradovic-Wochnik dan Wochnik, 2014; Superti, 2015; Superti, 2016). Protes
dilakukan ketika pemerintahan yang berkuasa kinerjanya kurang maksimal. Beberapa
cendekiawan seperti Fachichini dan Jaeck (2019) maupun Plane dan Gershtenson (2004) lebih
memfokuskan kajiannya pada studi perilaku pemilih dengan menjelaskan penyebab-penyebab
keputusan golput. Pilihan golput diputuskan juga dikarenakan oleh sistem politik dan partai
politik yang lebih membawa arus kepentingan elit (Kang, 2004; Birch dan Dennison, 2017).
Beberapa penelitian juga menyatakan, golput dipilih karena nilai-nilai ideal demokrasi yang
semakin menjauh dari kenyataan (Blais, Feitosa dan Sevi, 2019; Katz dan Levin, 2018; Powert
dan Roberts, 1995). Selain itu, alasan golput juga dikaitkan dengan pendidikan politik,
terkhusus pengetahuan dan informasi tentang politik (Feddenser dan Pesendorfer, 1999;
Almlund, 2018). Penelitian tentang golput juga dilakukan oleh Yuniarti (2009) dengan
mengkajinya dengan metodologi historiografi. Sedangkan Nyarwi (2009) mengulas bahwa
kajian golput didominasi perspektif gerakan politik dan perspektif perilaku pemilih.
Dalam riset-riset yang telah dilakukan, pembahasan terkait dengan golput hanya
terbatas pada kajian perilaku pemilih. Arus utama pemikiran tersebut tentu didominasi oleh
ilmuwan-ilmuwan politik. Sehingga pemahaman yang muncul adalah golput hanya
dikategorikan sekedar tidak memilih. Padahal terdapat aktor maupun kelompok secara aktif
menggerakkan kampanye golput sebagai kritik terhadap demokratisasi yang ada. Fenomena
gerakan golput sebagai sebuah menarik dikaji secara mendalam secara sosiologis. Kajian
sosiologis tentang gerakan dengan isu golput juga masih minim. Kajian sosiologis ini memotret
relasi antara negara dengan civil society, jejaring antar civil society dan jejaring antar aktor
demokrasi. Aktor-aktor penggerak golput memiliki latar belakang gerakan yang beragam dan
tentunya pijakan ideologis yang berbeda. Hal tersebut menarik untuk diteliti pandangan mereka
tentang gerakan golput yang dilakukan, alasan yang mendorong untuk menggerakkan golput
serta bagaimana pola gerakan golput. Penelitian ini membahas tentang dimensi mikro dan meso
dari gerakan golput.
Universitas Indonesia
1.2 Permasalahan
Pandangan secara minimal melihat demokrasi dijalankan apabila dinamika politik
berlangsung dan dijamin. Implikasinya negara dikatakan demokratis apabila dijalankan suksesi
kepemimpinan melalui pemilu yang sehat. Demokrasi yang mencerminkan dari rakyat, oleh
rakyat dan untuk rakyat mesti memberikan perbaikan-perbaikan kehidupan masyarakat.
Kondisi tersebut menuntut adanya demokrasi sosial dan ekonomi dengan terus menjunjung
tinggi keberlangsungan demokrasi politik. Hal itu yang disebut kalangan aktivis pro-demokrasi
sebagai demokrasi substansial. Pilihan golput dijadikan sebagai artikulasi gerakan dikarenakan
demokrasi yang dijalankan masih sekedar demokrasi prosedural oleh aktivis pro-demokrasi.
Aktivis pro-demokrasi menyuarakan golput menjelang Pemilu 2019. Golput tersebut
diartikulasikan dalam wadah #SayaGolput. Tagar SayaGolput menjadi tagline propaganda di
media sosial. Gerakan SayaGolput sebagai perlawanan terhadap pemerintah dan status quo.
Bagi Haynes (2000) gerakan sosial selalu menentang status quo – mereka anti-sistem,
menyuarakan dan menuntut perubahan tatanan sosial, politik dan/atau ekonomi. Melalui
manifesto-nya Kertas Putih Golongan Putih 2019, SayaGolput menyampaikan sepuluh agenda
perjuangan terdiri dari kesejahteraan untuk rakyat, perjuangan agraria dan ruang hidup, buruh
dan ketenagakerjaan, anti-korupsi, stop militerisme, pemenuhan HAM, hapus diskriminasi
kelompok minoritas, dukung masa depan Papua, perbaikan sistem politik, reformasi hukum
dan peradilan. SayaGolput menjadi aliansi taktis yang cair dan dinamis bagi aktor-aktor
gerakan. Bagi mereka, golput adalah pilihan yang rasional di era demokrasi iliberal untuk
mendorong terwujudnya demokrasi yang substansial.
Riset-riset tentang golput juga banyak dilakukan. Golput dimaknai sebagai ekspresi
politik dan perlawanan terhadap rezim yang berkuasa (Obradovic-Wochnik dan Wochnik,
2014; Superti, 2015; Superti, 2016). Protes dilakukan sebagai penilaian terhadap pemerintahan
yang kinerjanya kurang maksimal. Beberapa scholar seperti Fachichini dan Jaeck (2019)
maupun Plane dan Gershtenson (2004) lebih mengedepankan aspek kajiannya pada kajian
voting behaviour (perilaku pemilih) dengan menjelaskan penyebab-penyebab keputusan
golput. Pilihan golput diputuskan juga dikarenakan oleh sistem politik dan partai politik yang
lebih membawa arus kepentingan elit (Kang, 2004; Birch dan Dennison, 2017). Beberapa
penelitian juga menyatakan, golput dipilih karena nilai-nilai demokrasi yang semakin menjauh
dari tujuan ideal (Blais, Feitosa dan Sevi, 2019; Katz dan Levin, 2018; Powert dan Roberts,
1995). Selain itu, alasan golput juga dikaitkan dengan pendidikan politik, terkhusus
pengetahuan dan informasi tentang politik (Feddenser dan Pesendorfer, 1999; Almlund, 2018).
Universitas Indonesia
Yuniarti (2009) mengkaji golput dengan metodologi historiografi. Penelitiannya lebih berfokus
pada golput teknis/administratif. Sedangkan Nyarwi (2009) mengulas bahwa kajian golput
didominasi perspektif gerakan politik dan perspektif perilaku pemilih.
Secara garis besar ada dua pandangan mengenai golput yaitu dilihat dari segi gerakan
politik dan bentuk perilaku pemilih. Pandangan perilaku pemilih tersebut belum dapat
menjelaskan golput sebagai bentuk protes dan perlawanan. Kajian perilaku pemilih tersebut
hanya melihat golput sebagai bentuk ekspresi perilaku pemilih dengan dilihat faktor-faktor
penyebabnya. Padahal, golput juga dikembangkan menjadi isu agitasi oleh aktor-aktor gerakan
sebagai bentuk boikot terhadap pemilu. Sementara itu, pandangan gerakan politik melihat
golput sebagai salah satu bentuk partisipasi politik. Golput sebagai gerakan politik dimaknai
sebagai perjuangan untuk meraih kekuasaan politik. Penelitian ini menggunakan perspektif
gerakan sosial. Perspektif tersebut dapat mendalami bagaimana aktivis pro-demokrasi
melakukan perlawanan melalui gerakan SayaGolput yang dilakukan ketika momentum politik
2019. Kajian ini menggunakan perspektif Tilly dan Tarrow tentang contentious politics yang
terdiri dari tiga elemen publik, aktor utama (subjek), serta objek. Kajian-kajian tentang golput
yang ada di Indonesia, belum ada yang mengupas golput sebagai contentious politics dalam
satu lokus penelitian. Dalam perspektif ini aktor gerakan yang terdiri dari aktivis pro-
demokrasi, melihat pemilu sebagai arena kontestasi. Propaganda golput dikontestasikan
melalui momentum politik 2019 yang syarat dengan kepentingan oligarki. Gerakan yang
bermuara pada wadah jejaring SayaGolput tersebut sebagai ajakan untuk memobilisasi massa
untuk melakukan hal serupa yaitu memilih untuk tidak memilih.
1.3 Pertanyaan Penelitian
Dari permasalahan diatas, peneliti rumuskan dalam pertanyaan penelitian bagaimana
aktivis pro-demokrasi melakukan upaya perlawanan melalui gerakan #SayaGolput dalam
konteks momentum politik 2019, yang diturunkan menjadi pertanyaan khusus sebagai berikut:
1. Mengapa isu golput mereka pilih sebagai arena perlawanan dalam pemilu 2019?
2. Bagaimana para aktivis mengkontestasikan isu golput dalam situasi pemilu 2019?
1.4 Tujuan Penelitian
Secara umum penelitian ini bertujuan menggali upaya aktivis pro-demokrasi dalam
melakukan perlawanan melalui gerakan #SayaGolput dalam momentum politik 2019. Gerakan
tersebut dipandang sebagai satu kekuatan sosial yang cair dan dinamis. Mereka berhasil secara
kualitatif dengan mengkontestasikan golput dalam arena momentum politik 2019. Isu golput
menjadi menarik dibicarakan dan memantik sejumlah pihak untuk membentuk wacana
Universitas Indonesia
tandingan anti golput yang didominasi oleh kubu petahana. Selain itu, ada beberapa tujuan
khusus dari penelitian ini, diantaranya sebagai berikut:
1. Menganalisis mengapa isu golput mereka pilih sebagai arena perlawanan dalam pemilu
2019.
2. Menganalisis bagaimana para aktivis mengkontestasikan isu golput dalam situasi
pemilu 2019.
1.5 Signifikansi Penelitian
Penelitian ini dapat memberi kontribusi pada studi sosiologi politik dan sosiologi
gerakan sosial yang secara spesifik mengeksplorasi golput sebagai bagian partisipasi politik
dan gerakan sosial. Sebagai sebuah fenomena politik, kajian terkait golput banyak diulas
dengan perspektif perilaku pemilih, diharapkan studi ini dapat memberikan sumbangsih yang
relatif baru dengan fokus kajian studi sosiologi politik dan sosiologi gerakan sosial. Fenomena
golput di kalangan aktivis dilihat sebagai gerakan sosial dengan menggunakan kerangka
teoritik contentious politics.
Fenomena golput di kalangan aktivis pada Pemilu 2014-2019 dilakukan sebagai
bentuk protes terhadap jalannya demokrasi yang tersandera oleh kepentingan elite. Sehingga,
agenda-agenda kerakyatan diabaikan seperti reforma agraria, rusaknya lingkungan hidup,
penuntasan kasus HAM dan ketimpangan ekonomi. Hal tersebut menggambarkan gerakan
golput bukan gerakan apolitik atau apatis seperti yang digambarkan banyak orang, tapi sebagai
partisipasi politik untuk mendesak agenda alternatif. Secara praktik dapat dijadikan referensi
bagi pemangku kebijakan dalam menangkap pesan-pesan yang dituntut oleh kaum gerakan.
Selain itu, dalam mengeksekusi dan menyelesaikan kebijakan, pemerintah diharapkan
merangkul pihak-pihak yang berkepentingan dan berpihak pada kemaslahatan rakyat. Dengan
demikian, agenda demokratisasi dan penguatan sipil dapat berjalan lebih maksimal.
1.6 Sistematika Penulisan
Penelitian tesis ini dilakukan dengan sistematika sebagai berikut:
1. Bab I, Pendahuluan, menguraikan tentang latar belakang mengapa penelitian ini relevan
dan penting dilakukan, permasalahan penelitian, pertanyaan penelitian, tujuan
penelitian dan signifikansi penelitian.
2. Bab II, Tinjauan Pustaka, menjelaskan berbagai hal terkait landasan teoritis dan
konseptual dalam penelitian ini, mulai dari kajian terdahulu soal golput, pembahasan
aktivis pro-demokrasi dan gerakan oposisi serta uraian teori collective action dan
contentious politics.
Universitas Indonesia
3. Bab III, Metode Penelitian, membahas aspek-aspek metodologis dalam penelitian ini,
yaitu pendekatan penelitian, jenis penelitian, teknik pengumpulan data, informan,
analisis data dan validasi data.
4. Bab IV, V merupakan pembahasan hasil penelitian, berisi tentang deskripsi data dan
analisisnya yang mencakup teori dan konsep. Bab IV menguraikan dinamika golput di
Indonesia Bab V, mengulas bagaimana pandangan aktivis pro-demokrasi tentang
golput dan menguraikan catatan terkait teori collective action dan contentious politics
yang menjadi kerangka berpikir penelitian ini.
5. Bab VI, Penutup, memberi kesimpulan penelitian tesis ini .
Universitas Indonesia
2.1 Studi Terdahulu: Perbincangan antara Gerakan Politik dan Perilaku Pemilih
Studi ini bermaksud memberi kontribusi pada dua topik yaitu studi tentang sosiologi
politik dan sosiologi gerakan. Keduanya beririsan, namun secara spesifik riset ini mengkaji
sosiologi politik dengan melihat relasi antar negara dengan civil society, civil society dengan
civil society dan aktor-aktor demokrasinya. Dalam studi sosiologi gerakan ini berfokus pada
mengkaji aspek mikro dan meso perlawanan dari gerakan golput. Berbicara tentang gerakan
golput tentu tidak bisa dilepaskan kajian-kajian fenomena golput dan fenomena gerakan.
Berdasarkan hal tersebut, dilakukan kajian pustaka terhadap studi-studi yang sudah ada, untuk
memberi pijakan awal penelitian sekaligus untuk menempatkan studi ini diantara kajian-kajian
tentang golput yang sudah ada. Secara garis besar, kajian-kajian golput berpijak pada studi
gerakan sosial politik dan studi perilaku pemilih.
Studi yang dilakukan oleh Obradovic-Wochnik dan Wochnik dalam Invalid Ballots and
the “Crisis of Representative Democracy”: Re-inventing Protest at the 2012 Serbian Elections
(2014) menunjukkan bahwasanya suara tidak sah boleh jadi diartikulasikan sebagai bentuk
protes. Bentuk surat suara tidak sah dapat dipahami sebagai protes dan reaksi secara luas dari
“crises of democracy” yang juga mendorong gerakan seperti Occupy. Studi kasus Pemilu
Serbia 2012 menggambarkan tingginya invalid ballot (surat suara tidak sah) dan seruan
tindakan kolektif untuk golput. Total turnout pada putaran pertama sebesar 57,77%, dengan
angka invalid ballot sebesar 4,47%. Sementara pada putaran kedua total turnout sebesar
46,26% dengan invalid ballot pada kisaran 3,15%. Gerakan protes bersatu menjelang pemilu,
seruan golput dan menggunakan media sosial untuk memframing aktivitas itu sebagai protes.
Pilihan golput dapat menjadi alat kontestasi, dan bagaimana protes dapat menjadi ekspresi
melalui keterlibatan struktur dan institusi yang ada. Riset yang dilakukan oleh Obradovic-
Wochnik dan Wochnik (2014) mengedepankan golput dari aspek studi gerakan sosial politik.
Golput sebagai ekspresi politik juga disampaikan oleh Superti (2015) dalam karyanya
Vanguard of Discontent: Comparing Individual Blank Voting, Mobilized Protest Voting and
Voting Abstention. Dalam karyanya tersebut, Superti (2015) mendeskripsikan berbagai bentuk
perbedaan pendapat politik terjadi selama proses pemilu: abstention (golput), boikot pemilu,
dan pilihan tidak konvensional (seperti blank voting, merusak surat suara, mencoret dan
sebagainya). Dengan mengkomparasikan bentuk-bentuk tersebut, penelitian ini menunjukkan,
yang dipelajari dari ketiga hal tersebut – blank voting – ekpresi penolakan paling sadar terhadap
12 Universitas Indonesia
Fenomena Golput ..., M. Syaeful Anam, FISIP UI, 2020
13
kandidat politik, partai dan/atau sistem pemilu. Blank voting digunakan oleh pemilih terdidik,
yang memahami dan memanfaatkan nilai politik simbolis dari surat suara. Ini juga memberikan
bukti empiris untuk klaim bahwa perilaku pemilih ini didorong oleh ketidakpuasan terhadap
lembaga pemilu atau politik saat ini, umumnya pada wilayah berpendidikan tinggi, dimana
kumpulan besar warga negara dengan potensi politik yang tinggi hidup dan memilih. Lebih
lanjut, dalam risetnya Superti yang berjudul The Blank and Null Vote: An Alternative Form of
Democratic Protest? (2016) menyampaikan blank dan null voting sudah sering salah
diklasifikasikan termasuk pemilih regular, abstention (golput) atau kesalahan (teknis). Di sisi
lain, itu sering diartikulasikan sebagai bentuk protes politik yang populer: relatif baru,
dimobilisasi, muncul dimana-mana, dan semakin menarik perhatian elite politik. Dengan
mengubah lensa melalui pengamatan perilaku pemilih, mengungkap saluran penting untuk
ekspresi politik, jika dan ketika dilembagakan, merepresentasikan sumber informasi baru dan
akuntabilitas terhadap pemerintah, partai politik dan politisi.
Bagi Facchini dan Jaeck dalam tulisannya Ideology and the Rationality of non-Voting
(2019) menginterpretasikan fenomena golput dengan tiga implikasi: pertama, itu menunjukkan
diantara banyaknya alasan yang bertanggung jawab dikarenakan ‘democratic crisis’ di
Perancis, melemahnya gagasan tradisional sayap kiri dan sayap kanan merupakan signifikan.
Kedua, menyoroti soal tingkat pendidikan pemilih dan teori Downsian tentang programme
convergence mempengaruhi perilaku pemilih dan kewirausahaan politik. Ketiga, menjelaskan
kenapa relasi antara abstention (golput) dan krisis ekonomi merupakan nonlinear. Pendapat
lainnya diungkapkan oleh Plane dan Gershtenson dalam Candidates’ Ideological Locations,
Abstention, and Turnout in U.S. Midterm Senate Elections (2004) terkait banyak model spasial
pemungutan suara menunjukkan bahwa warga lebih cenderung abstain (golput) ketika mereka
merasa tak peduli terhadap kandidat atau terasing dari mereka. Temuan ini menggarisbawahi
pentingnya konteks pemilihan untuk memahami perilaku pemilih dan mendorong tampilnya
satu kandidat poros tengah mungkin secara normatif menarik karena mendorong partisipasi.
Baik analisis Fachichini dan Jaeck (2019) maupun Plane dan Gershtenson (2004) lebih
memfokuskan pada studi perilaku pemilih dengan menjelaskan penyebab-penyebab keputusan
golput.
Perbincangan tentang golput juga dipersoalkan perihal pengkategorian golput itu
sebagai protest voting atau abstention. Menurut Kang dalam penelitiannya Protest Voting and
Abstention Under Plurality Rule Elections (2004) mengulas bahwa keputusan memilih
dipengaruhi oleh sistem pemilu, terutama ketika pemilih tidak puas. Peraturan plurality
Universitas Indonesia
electoral system cenderung membatasi jumlah partai yang efektif. Konsekuensinya, rakyat
mungkin memilih partai bukan karena daya tariknya tapi dikarenakan kurangnya alternatif
yang benar-benar disukai – yakni, protest voting. Sama halnya rakyat akan menghadapi pilihan
yang spesifik antara golput dan pilihan yang tidak memuaskan dalam plurality-rule electoral
system. Artikel ini mengeksplorasi logika protest voting dan golput menggunakan pendekatan
public choice. Adaptasi pendekatan Hirshman dari voting behavior, artikel ini memfokuskan
pada variabel ‘quality’ yang dihadirkan oleh partai politik seperti pendekatan the quality-
satisficing. Pendekatan ini memberikan kita untuk membingkai penjelasan yang komprehensif
tentang pilihan-pilihan antara protest voting dan golput, yang nampak terpisah atau saling
berhubungan.
Sementara itu, Birch dan Dennison (2017) menyebutkan bahwa ilmuwan politik telah
mengidentifikasi protest voting – memilih partai anti-establishment sebagai protes melawan
politik mainstream – konsekuensi dari kekecewaan terhadap opsi politik tradisional. Namun
sedikit yang diketahui soal motivasi rakyat dalam memberikan protest vote maupun kenapa
pemilih memilih satu opsi protes seperti itu dari yang lain. Mengambil satu bukti empiris pada
Pemilu 2015 di Britania Raya, artikel ini melihat ‘protest choice’ pada demokrasi parlementer.
Dengan menguji tiga kemungkinan penjelasan teoritis untuk protest voting: ideologi,
ketidakpercayaan terhadap elite politik dan dampak kampanye. Temuan paling penting yang
mempengaruhi protest choice adalah seputar masalah/isu dan efek kampanye. Temuan tersebut
menganjurkan bahwa protest voting adalah fenomena kompleks yang tidak bisa direduksi
hanya reaksi terhadap anti-politik.
Dalam pandangan Blais, Feitosa dan Sevi (2019) menilai bahwa mayoritas utama
pemilih yang menggunakan suaranya kecewa terhadap pilihannya sementara kelompok golput
lebih ragu atas pilihan mereka untuk abstain (golput). Temuan lainnya adalah mereka yang
tertarik pada politik, yang merasa mereka memiliki tugas moral untuk memilih dalam pemilu,
dan yang merasa dekat dengan partai cenderung lebih puas dengan putusan untuk memilih dan
kecewa bila mereka memilih untuk abstain (golput). Suara tidak sah (invalid voting) juga
memiliki dimensi politik yang mencerminkan kekecewaan pemilih terhadap pemilu dan kinerja
demokrasi. Keduanya sumber dari golput yang berkelindan, dan bersama, merusak partisipasi
pemilu Katz & Levin (2018). Sementara itu, faktor golput juga dikarenakan desain institusional
yang tidak kapabel terhadap nilai-nilai demokrasi. Tingginya tingkat suara tidak sah dalam
pemilu Brasil baru-baru ini menunjukkan perlunya reformasi kelembagaan untuk mencapai
Universitas Indonesia
konsolidasi demokrasi, dengan implikasi penting bagi demokrasi baru (Power dan Roberts,
1995).
Beberapa kajian tentang fenomena golput juga digali di Indonesia. Penelitian Yuniarti
(2009) berfokus pada dinamika sejarah fenomena golput dan faktor penyebabnya dari masa
orde baru hingga pemilu 2009. Penelitian lainnya dari Nyarwi (2009) yang membahas dua hal
penting yakni golput berdasarkan perspektif gerakan politik dan perspektif perilaku politik.
Pertama, fenomena golput dikapitalisasi oleh aktor-aktor politik sebagai instrumen politik
untuk menentang rezim. Kedua, menurut ilmuwan behavioris politik, golput dianalisis sebagai
bagian dari perilaku pemilih di pemilihan nasional maupun lokal.
Studi-studi terdahulu banyak mengulas sebagai golput sebagai gerakan sosial politik.
Ekspresi politik kritis tersebut dilihat dengan perspektif protest voting. Beberapa scholar
melihat golput sebagai perilaku pemilih (voting behaviour) dengan mengulas faktor-faktor
penyebabnya. Ada juga kajian yang memperbincangkan antara keduanya, yakni golput sebagai
gerakan golput dan perilaku politik. Golput juga dilihat aspek historis dengan mengkaji baik
golput secara politik maupun ideologis. Karakteristik golput yang diteliti juga bukan golput
politik/ideologis. Studi terdahulu didominasi oleh pendekatan kuantitatif. Sehingga eksplorasi
secara mendalam terkait golput tidak didapatkan. Sementara itu, penelitian ini secara spesifik
mengulas golput politik/ideologis yang digerakkan oleh aktivis pro-demokrasi. Gerakan golput
dikaji secara mendalam dengan menggunakan kerangka teoritik Charles Tilly seputar collective
action, contentious politics dan social movement. Penelitian ini merupakan penelitian studi
kasus, yang berangkat dari gerakan golput pada Pemilu 2019. Penggalian data didalami
menggunakan wawancara dan studi pustaka. Sehingga, penelitian ini tidak hanya melihat
golput sebagai fenomena perilaku pemilih tapi golput sebagai bentuk protes. Konsep gerakan
sosial lebih dominan dalam penelitian ini. Golput sebagai ekspresimen politik gerakan sosial
di Indonesia, memiliki akar historis yang panjang dan aktor-aktornya memiliki peranan dalam
wacana penguatan demokratisasi dan civil society. Namun demikian, belum ada riset yang
melihat gerakan golput ini adalah wujud gerakan sosial atau hanya sekedar tindakan kolektif.
2.2 Aktivis Pro-Demokrasi dan Gerakan Oposisi di Indonesia
Indonesia pasca Soekarno, demokrasinya berakar pada semangat “pembangunanisme”.
Demokrasi berdasar developmentalism ala Orde Baru menjadi pondasi dalam penataan yang
memberikan pembenaran terhadap pembinaan politik yang “bebas dari konflik ideologi”, dan
berdasarkan pada pragmatisme, rasionalisme, ketertiban dan keahlian praktis atau teknokratis
(Mas’oed, 1984). Beragamnya ideologi yang mewarnai kehidupan politik era Soekarno
Universitas Indonesia
11
Nuraini, Atikah. Managemen Pengetahuan untuk Kerja-Kerja Gerakan. Pusat Dokumentasi dan Informasi
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.
Universitas Indonesia
didominasi oleh blok penggerak demokatisasi dan hak asasi manusia. Akhirnya terbentuk
kelompok-kelompok yang secara aktif bersikap anti rezim. Blok tersebut mempunyai watak
yang mengupayakan persatuan elemen-elemen gerakan pro-demokrasi serta meningkatkan
protes terhadap rezim. Selain itu, mereka juga mendorong lahirnya aliansi antara warga desa
dan kelompok buruh (Uhlin, 1997: 110-114). Pada 1997, banyak kelompok masyarakat sipil
bahu-membahu bersama mahasiswa untuk meningkatkan ekskalasi gerakan. Puncak dari
gerakan tersebut mendorong mundurnya Soeharto pada 21 Mei 1998. Setelah fase itu, gerakan
tidak berhenti. Gerakan oposisi selalu hadir di tengah-tengah politik nasional. Gerakan oposisi
tersebut diantaranya adalah organisasi petani dan serikat pekerja. Elemen gerakan rakyat petani
dan serikat buruh merupakan kelompok radikal yang terkategori gerakan bawah tanah. Mereka
muncul ke permukaan dan berkoalisi dengan beragam elemen dan kelompok masyarakat sipil
yang baru dibentuk (Hadiz, 1998; Silvey, 2003). Banyak organisasi politik muncul dan
didukung oleh kalangan pers mendorong gerakan untuk lebih aktif mengawal dan mengkritisi
pemerintah terutama pada fase transisi demokrasi 1999-2002. Gerakan tersebut meletakkan
dirinya pada sebuah tipologi gerakan yang menurut Touraine (1985) dalam Savirani (2005)
semacam “historical movement”, yakni gerakan yang berfokus memberikan perubahan pada
kualitas kehidupan rakyat dengan cara terlibat kontrol aktif serta bersikap kritis terhadap
pemerintah,
Dalam buku The Third Wave: Democratization in the Late 21th Century, Huntington
(1991) membuat pembabakan gelombang demokratisasi ke dalam tiga fase. Fase gelombang
demokratisasi pertama (1828-1926) dimulai dari Perancis dan Amerika lewat revolusinya
masing-masing. Pasca gelombang demokratisasi tersebut terjadi gelombang balik pertama
(1922-1942). Hal itu dilihat dari munculnya negara-negara fasis seperti Italia dan Jerman.
Kondisi tersebut menyulut kemunculan kudeta militer di Portugal pada 1926, Brasil dan
Argentina tahun 1930, 1933 di Uruguay, serta adanya kudeta dan perang saudara yang
memunahkan ‘negara republik’ di Spanyol (1936). Fase gelombang demokratisasi kedua
terjadi antara 1943-1962. Terjadi pada masa kolonisasi oleh tentara sekutu ketika Perang Dunia
II dan pasca perang (termasuk negara-negara yang berubah menjadi otoriter). Kondisi tersebut
juga melahirkan gelombang balik kedua pada periode tahun 1958-1975. Ditandai dengan
kemunculan rezim-rezim otoriter seperti di Amerika Latin (Peru, Uruguay, Cile, Bolivia,
Ekuador, Brasil dan Argentina). Otoritarianisme juga naik di Asia (Pakistan – Zia, Korea –
Rhee, Indonesia – Soekarno, Filipina – Marcos, India – Gandhi, Taiwan – KMT). Selain itu,
naiknya rezim otoriter juga berlangsung di Eropa seperti Yunani dan Turki serta Afrika (hampir
Universitas Indonesia
seluruh negara Afrika, khususnya Nigeria – tahun 1966 dengan adanya kudeta militer), dan
kecuali negara Botswana. Adapun fase gelombang demokratisasi ketiga terjadi pada 1974
hingga sekarang. Bermula dari kematian Jenderal Franco di Spanyol, dengan begitu menyudahi
rezim otoriter/militer di Eropa Tengah pada tahun 1975. Demokratisasi di Spanyol ditandai
ketika Raja Juan Carlos bersama Perdana Menteri Adolfo Suarez memperoleh dukungan dari
parlemen dan rakyat untuk melahirkan konstitusi baru yang demokratis. Sementara itu,
demokratisasi di Portugal lahir ketika sekelompok perwira militer muda mengkudeta Marcello
Caetano, yang mengakhiri era kediktatoran. Kemunculan demokratisasi di Turki terjadi dengan
militer mengundurkan diri dari politik (1983), disusul dengan kejatuhan beberapa diktator di
Asia hingga Eropa seperti Marcos di Filipina oleh people power (1986); oposisi memenangkan
pemilu di Korea pada tahun 1987; Hongaria yang memilih penerapan multipartai pada 1988;
Partai Solidaritas yang dipimpin Walesa mengubah haluan negara Polandia yang menjadi non-
komunis; serta kemunculan parlemen nasional yang non-komunis di Uni Soviet (1990); politik
intervensi AS mengakhiri rezim marxis-leninis di Grenada (1983) dan diktator Noriega di
Panama (1989). Sementara itu, Indonesia pasca Soekarno juga mengalami balik demokrasi,
dimana belenggu otoritarianisme dibawah kepemimpinan Jenderal Soeharto mencengkram
kuat.
Sepanjang Orde Baru, gerakan-gerakan dengan tuntutan demokratisasi di Indonesia
disuarakan oleh kelompok pro-demokrasi. Arief Budiman (2001) dalam tulisannya berjudul
Mengkaji Gerakan Pro-Demokrasi di Indonesia menjelaskan bahwa aktor demokrasi yang
dimaksud merupakan orang atau sekumpulan orang yang bergerak baik langsung maupun tidak
langsung turut berkontribusi pada tegaknya demokrasi. Studi yang dipimpin oleh Budiman dan
Tornquist (2001) berpijak pada gerakan-gerakan yang terjadi pada masa otoritarianisme
Soeharto. Uhlin (1998) juga mengkaji gerakan pro-demokrasi di Indonesia. Tulisan tersebut
mengulas gerakan yang terjadi di Indonesia kontemporer dan konteksnya. Uhlin memilih aktor-
aktor yang bergerak dengan didasarkan pada tiga kategorisasi yaitu, pertama, orang dan
organisasi yang secara aktif menuntut reformasi demokratis dan menggunakan wacana
demokrasi. Kedua, orang dan organisasi yang secara aktif mengupayakan demokratisasi di
beragam bidang; yakni yang berfokus pada segala sesuatu sejak dari kebebasan pers hingga
hak buruh dan emansipasi wanita. Ketiga, wakil-wakil dari berbagai aliran ideologi yang
berbeda. Bila berkaca pada kajian-kajian tersebut aktivis pro-demokrasi dapat dicirikan
dengan, pertama, aktor yang bergerak pada wilayah oposisi terhadap rezim; kedua, aktor
tersebut terlibat kerja-kerja advokasi demi terwujudnya demokrasi di segala bidang kehidupan.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Dalam konteks gerakan golput pada Pemilu 2019, aktor-aktor penggerak merupakan
aktivis NGO/CSO12 yang beragam. Kampanye golput merupakan bagian dari sikap oposisi
terhadap penguasa. Aktivis-aktivis pro-demokrasi tersebut memiliki fokus advokasi pada
wacana demokrasi seperti hukum dan hak asasi manusia, reforma agraria dan lingkungan,
perburuhan, hak minoritas hingga supremasi sipil. Fokus tuntutan terdiri dari 10 agenda yaitu
kesejahteraan untuk rakyat, perjuangan agraria dan ruang hidup, buruh dan ketenagakerjaan,
anti-korupsi, stop militerisme, pemenuhan HAM, hapus diskriminasi kelompok minoritas,
dukung masa depan Papua, perbaikan sistem politik, dan reformasi hukum dan peradilan.13
2.4 Kerangka Konseptual Collective Action dan Contentious Politic
Aktivisme selalu dikaitkan pada tindakan kolektif untuk perubahan sosial. Langkah
tersebut merupakan salah satu bentuk keterlibatan aktif sipil dan politik. Ada beragam bentuk
atau tindakan aktivisme seperti demonstrasi, protes dan mogok, advokasi untuk mengintervensi
perubahan kebijakan institusi, dan upaya untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terkait isu
yang memprihatinkan (Kassimir, 2006; Sherrod, 2006 dalam Angelina, 2011). Salah satu cara
yang lazim digunakan dalam aktivisme adalah melakukan gerakan sosial. Gerakan sosial
dimaksudkan untuk memberikan perubahan atau melawan status quo.
Dalam kajian sosiologi, gerakan sosial selalu dikaitkan dengan tindakan kolektif.
Gerakan sosial umumnya dijalankan secara kolektif yang secara sadar membentuk kerumunan.
Tilly (2004: 4) berpendapat gerakan sosial bisa didefinisikan sebagai serangkaian contentious,
dan kampanye yang diperdebatkan dimana masyarakat membuat klaim kolektif atas yang lain.
Tindakan kolektif yang dibentuk tersebut sebagai kendaraan masyarakat dalam partisipasi
politik. Sedangkan Jary dan Jary (1995: 614-615) menjelaskan bahwa gerakan sosial itu suatu
gabungan sosial dengan banyak orang yang bersekutu untuk mengobarkan atau malah
menghalangi adanya perubahan sosial dalam masyarakat. Pendapat lainnya dari Mirsel (2004)
yang mendefinisikan social movement (gerakan kemasyarakatan) sebagai sebuah kepercayaan
dan aktivitas yang tidak terlembagakan (non-institutionalised) yang digerakkan bersama-sama
12
Istilah masyarakat sipil dan NGO punya interpretasi dan pengertian yang memicu perdebatan. Bila merunut ke
belakang pada tahun 1970-an, istilah Organisasi non-Pemerintah (ORNOP) digunakan sebagai terjemahan
Organisasi Non-Pemerintah (NGO), tetapi berganti menjadi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang secara
makna diterjemahkan menjadi Self-Reliant Organisation (SRO), hal itu berangkat dari kekhawatiran di kalangan
aktivis bahwa istilah ORNOP dapat menyebabkan tekanan pemerintah. Ada juga yang mengajukan istilah lain
Lembaga Pengembangan Swadaya Masyarakat/LPSM (Self-Help Community Support Institution), yang dianggap
serupa dengan pemahaman NGO, sementara yang lain menggunakan istilah Organisasi Nirlaba (non-profit
organisation). Pasca reformasi, kebanyakan mempopulerkan istilah Organisasi Masyarakat Sipil (Civil Society
Organisation/CSO) untuk membedakan organisasi yang dibentuk oleh sipil dan komunitas dari yang diinisiasi
oleh militer dan swasta (Nugroho dan Syarief, 2012).
13
Sumber: Kertas Putih Golongan Putih 2019
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Kepentingan-kepentingan nyata dari sebuah kelompok, baik yang diartikulasikan maupun yang
tidak, berdasarkan skema umum yang menghubungkan kepentingan kelompok itu dengan
posisi sosialnya, atau berdasarkan relasi kelompok itu dengan alat-alat produksi (posisi
kelasnya). Kepentingan jangka panjang ini berdampak luas terhadap cara kelompok dalam
merebut kekuasaan, penentuan siapa musuh dan sekutunya, dan pembentukan organisasi
internalnya.
Kedua, organization, yang penting dicermati dalam hal ini adalah aspek-aspek dalam
struktur sebuah kelompok yang berpengaruh langsung terhadap kapasitasnya dalam bertindak
guna meraih kepentingan-kepentingannya. Aspek lain yang perlu diperhatikan dari organisasi
suatu kelompok adalan inklusivitasnya: seberapa mampu kelompok itu mewadahi seluruh
bidang kehidupan para anggotanya (dapat diteliti dari soal waktu dan energi yang digunakan
para anggota dan tingkat interaksi sosial mereka di dalam kelompok). Ciri struktural lain dari
terorganisasi tidaknya sebuah kelompok adalah efisiensi dan efektivitasnya. Diantara hal-hal
yang berpengaruh terhadap efektivitas dan efisiensi sebuah kelompok yaitu diferensiasi,
sentralitas, dan stratifikasinya.
Ketiga, mobilization, merujuk pada teknik sebuah kelompok yang berubah dari
gabungan partisipan pasif berubah menuju partisipan aktif dalam aktivitas sipil; atau sebuah
proses yang dengannya sebuah kelompok bisa mengendalikan secara kolektif sumber daya-
sumber daya agar dijadikan sebagai tindakan. Analisis tentang mobilisasi berkisar pada cara
sebuah kelompok mendapatkan sumber daya dan mengolah sumber daya itu untuk mendukung
tindakan kolektif. Sumber daya itu bisa berupa kekuatan massa, barang-barang, senjata, suara
dan segala hal yang dapat digunakan untuk mencapai kepentingan kolektif. Kelompok
dikatakan melakukan mobilisasi ketika ia memiliki kontrol kolektif yang lebih besar terhada
sumber daya koersif, utilitarian dan normatif. Cara sebuah kelompok melakukan mobilisasi
dapat dibedakan menjadi tiga bentuk yaitu defensif, ofensif dan prepatory.
Keempat, opportunity, hal ini terkait dengan hubungan sebuah kelompok dengan dunia
yang disekelilingnya. Terutama relasi kelompok dengan state (pemerintah). Opportunity
digambarkan sebagai peluang dari kelompok untuk bergerak menjalankan agenda tindakan
kolektinya. Dengan melihat kondisi demokrasi terkini, dibukanya keran aspirasi publik selebar-
lebarnya merupakan peluang untuk bergerak. Opportunity dengan kata lain peluang yang bisa
dilakukan oleh kelompok dalam menjalankan agenda collective action. Beberapa komponen
yang berkaitan dengan opportunity ada tiga macam, yaitu power, repression/facilitation, dan
opportunity/threat. Kelima, collective action, terdiri atas sekelompok orang dengan tindakan
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
negara maupun swasta. Pada prosesnya, contentious politics mendorong lahirnya kooptasi dan
difusi. Kooptasi adalah proses penggabungan aktor-aktor yang sebelumnya berbeda haluan.
Selain itu juga menciptakan difusi, dimana aksi-aksi menyebar dalam skala luas. Tanpa adanya
difusi, aksi tidak memiliki pengaruh hingga melewati batas sosial maupun wilayah.
2.4 Skema Analisis Kerangka Pemikiran
Bagan 2.1
Kerangka Pemikiran Model Perpaduan Contentious Politics dan Mobilisasi
Tindakan Kolektif
Interest:
Kepentingan dan isu aktor-aktor
Organisasi:
Jejaring aktor gerakan, strategi
gerakan
Subjek (SayaGolput) Mobilisasi
Peluang:
Keterbukaan, respon negara,
momentum politik
Objek (pemerintah
Contentious Politics
dan elite)
Sumber: (Tilly, 1978; 2008; Tarrow, 1998; Godin dan Tilly, 2006; McAdam, Tarrow dan Tilly,
2017).
Bagan diatas menjelaskan alur berpikir dalam penelitian, terlebih untuk menjelaskan
bagaimana upaya perlawanan melalui gerakan #SayaGolput dalam konteks momentum politik
2019. Dalam kontruksi peneliti, contentious politics terjadi melalui interaksi antara subjek,
klaim dan objek. Subjek dalam fenomena ini adalah aktor-aktor gerakan SayaGolput yang
Universitas Indonesia
melakukan tuntutan-tuntutan (klaim) dengan cara mobilisasi tindakan kolektif golput pada
2019. Mobilisasi tindakan kolektif dilihat lewat hubungan antar dimensi interest, organisasi,
peluang dan tindakan kolektif. Hubungan antara keempat dimensi tersebut bersifat cair.
Dimensi interest peneliti melihat kepentingan dan isu aktor gerakan, dimensi organisasi dilihat
dari jejaring aktor gerakan dan strategi gerakan, dimensi peluang untuk membaca keterbukaan
dan respon negara serta tindakan kolektif apa saja yang dilakukan. Pada tahapan ini peneliti
bermaksud untuk menjawab pertanyaan penelitian mengapa isu golput mereka pilih sebagai
arena perlawanan dalam pemilu 2019. SayaGolput kemudian dikontestasikan dengan
menciptakan klaim-klaim yang ditujukan kepada objek, yang terdiri dari pemerintah dan elite
yang sedang bertarung dalam momentum politik 2019. Klaim-klaim tuntutan tersebut untuk
menggambarkan kepada publik tentang gagalnya demokrasi yang dijalankan dengan berkaca
pada sepuluh agenda perjuangan kerakyatan. Demokrasi yang ada dinilai belum menghadirkan
transformasi kehidupan publik. SayaGolput dalam prosesnya terjadi interaksi dengan objek
terkhusus kubu petahana. Kubu petahana dan pendukungnya melakukan counter movement.
Terjadilah dialektika antara subjek dan objek. Pada tahapan ini peneliti menggali jawaban dari
pertanyaan bagaimana para aktivis mengkontestasikan isu golput dalam situasi pemilu 2019.
Universitas Indonesia
26 Universitas Indonesia
Fenomena Golput ..., M. Syaeful Anam, FISIP UI, 2020
27
sebuah aktivitas, kehidupan nyata yang dalam penelitian ini, dipilihlah aktivitas gerakan
golput. Riset studi kasus dapat memilih sistem terbatas berupa sebuh kasus atau dengan
beragam sistem terbatas seperti bermacam-macam kasus. Dalam penelitian ini kasusnya adalah
fenomena golput aktivis-prodemokrasi yang kemudian, menggunakan pengumpulan data yang
detail serta mendalam. Sekalipun pengaruh golput secara kuantitatif belum besar, namun dari
segi kualitatif gerakan golput berhasil menekan dan mendorong arus wacana politik alternatif
dalam era demokrasi iliberal. Aksi-aksi golput, yang merupakan bentuk lain dari boikot
mengganggu pemegang otoritas dan status quo. Upaya untuk meredam gerakan tersebut
dilakukan dengan berbagai upaya. Penelitian ini juga berusaha mengaitkan banyak sumber
informasi atau dengan kata lain sumber tersebut majemuk (misalnya, observasi, wawancara,
rekaman, serta dokumen), dan mengabarkan narasi kasus dan topik kasus. Adapun unit analisa
dalam case study dapat ditulis dengan kasus heterogen (studi multi-situs) atau kasus homogen
(studi dalam-situs).
Dalam riset ini, peneliti mengeksplorasi satu kesatuan atau hanya fenomena tunggal
berupa kasus dengan dibatasi oleh aspek waktu serta aktivitas (proses, program, kejadian,
institusi, atau komunitas sosial) dan pengumpulan data secara detail dengan menggunakan
beragam langkah pengumpulan data (Cresswell, 2002). Penelitian studi kasus juga bisa
menyumbang nilai tambah pada wawasan secara spesifik terkait fenomena organisasi, individu,
sosial-politik dan lainnya. Penelitian ini dengan berfokus pada studi kasus Fenomena Golput
pada Pemilihan Umum di Indonesia (2014-2019) dengan studi kasusnya Aktivis Pro-
Demokrasi sebagai titik berangkatnya. Aktivis pro-demokrasi tersebut yang dipilih terlibat
dalam aktivitas gerakan golput, dengan kampanye utama SayaGolput. Tujuan riset studi kasus
ini adalah untuk mengeksplorasi dan memahami secara lebih mendalam atas fenomena gerakan
golput yang terjadi pada Pemilihan Umum di Indonesia. Dengan bisa memahami fenomena
yang terjadi pada pemilu di Indonesia secara mendalam, nantinya bisa digunakan untuk
merumuskan hipotesa tertentu terkait dengan permasalahan penelitian. Sementara itu, unit
analisis dalam penelitian ini melihat level mikro dan meso. Pada level mikro berfokus pada
aktor-aktor gerakan golput dan pada tingkatan meso melihat jejaring aktor gerakan golput.
3.2 Teknik Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan dua cara. Pertama,
melakukan wawancara mendalam. Wawancara ini merupakan data primer dalam penelitian ini.
Wawancara dilakukan terhadap aktor-aktor yang terlibat dalam Gerakan Golput pada Pemilu
2014-2019. Peneliti memaksimalkan strategi wawancara one to one interview. Wawancara ini
Universitas Indonesia
dilakukan oleh peneliti di rumah informan, kantor atau sekretariat. Peneliti juga melakukan
wawancara atau percakapan via telepon untuk mengatasi keterbatasan jarak. Wawancara jenis
ini dilakukan secara mendalam (indepth interview) untuk menggali posisi dan peran informan.
Teknik penarikan informan sendiri dalam penelitian ini dilakukan dengan teknik purposive dan
snowball. Purposive digunakan untuk memilih informan kunci yang peneliti anggap terlibat
dan berpengaruh dalam menggerakkan golput. Sementara itu, snowball digunakan peneliti
untuk meminta rekomendasi dari informan kunci, yang selanjutnya menunjuk informan lain
yang dianggap memiliki peran yang signifikan dalam gerakan golput. Kedua teknik ini
digunakan agar memperoleh data yang komprehensif dan gambaran yang utuh terkait
fenomena golput di kalangan aktivis.
Tahapan selanjutnya, peneliti melakukan studi dokumen untuk mendapatkan data.
Studi dokumen yang dimaksud dalam penelitian ini merupakan data tertulis yang relevan
dengan penelitian ini. Peneliti menggunakan studi dokumen diantaranya dokumen Kertas Putih
Golongan Putih 2019, Drone Emprit, Penjelasan Golongan Putih 1971. Data lainnya yang
menunjang penelitian juga digunakan seperti artikel di berbagai media cetak diantaranya
Kompas, Tempo Antara, Jawa Pos, jurnal Prisma, serta foto dan berita dari berbagai platform
media elektronik seperti Medium, Kompas.com, Kumparan.com. Detik.com, Katadata,
Hukumonline, Arahjuang, Tirto, BBC Indonesia, Tempo, Remotivi, CNN Indonesia,
Mongabay, IndoProgress. Data tersebut sebagai data sekunder untuk menjelaskan proses dan
dinamika gerakan golput. Data sekunder lainnya juga didapatkan melalui pengamatan wacana
golput yang disebarkan di media sosial. Narasi bergerak dimungkinkan karena media modern
mempengaruhi lanskap budaya dan politik kehidupan masyarakat Indonesia, terkhusus kaum
millenial (muda) dalam kesehariannya. Sehingga, penelitian ini menggunakan data primer dan
sekunder. Data primer dengan wawancara mendalam, sementara data sekunder berupa studi
dokumen.
3.3 Informan
Informan dari penelitian ini adalah aktor gerakan golput. Aktor-aktor golput tersebut
mengidentifikasikan diri dengan afiliasi dengan beberapa LSM/NGO dengan konsentrasi isu
seperti hukum dan HAM, reforma agraria dan lingkungan, supremasi misil, dan agenda-agenda
demokratisasi lainnya. Oleh sebab itu, aktor-aktor gerakan yang dijadikan informan adalah
mereka yang tergabung dalam organisasi-organisasi yakni YLBHI, Lokataru, Watchdoc,
FNKSDA, dan Sindikasi.
Universitas Indonesia
Orang-orang inilah yang menjadi informan kunci dalam penelitian ini yang dipilih
secara purposive. Ada beberapa alasan terkait pemilihan informan kunci. Pertama, para aktor
tersebut terlibat aktif dalam gerakan dan diskursus golput. Kedua, para aktor tersebut memiliki
ranah advokasi pada lembaga NGO/CSO. Ketiga, aktor tersebut bergerak pada isu hukum dan
hak asasi manusia, demokrasi, agraria dan lingkungan, perburuhan dan penguatan supremasi
sipil. Dari ketujuh informan kunci yang dipilih secara purposive, peneliti dapat menjalin
komunikasi dengan empat informan. Dari keempat informan, peneliti menggali informan
lainnya secara snowball, yang akhirnya mempertemukan peneliti dengan tiga orang informan
yang turut berkontribusi pada gerakan golput. Adapun biografi singkat dari informan-informan
kunci penelitian ini yang dipilih secara purposive adalah sebagai berikut:
1. Asfinawati
Asfinawati, biasa dipanggil Asfin, aktivis kelahiran Bitung, Sulawesi Utara. 6
November 1977 adalah hari ulang tahunnya. Asfin sosok aktivis dan fokus mengadvokasi
isu-isu hak asasi manusia. Asfinawati mendapatkan amanah sebagai Direktur Yayasan
Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) masa abdi 2017-2021. Jejak aktivisme
lainnya dengan dipercaya oleh kawan-kawan seperjuangannya sebagai Direktur Lembaga
Bantuan Hukum (LBH) Jakarta untuk periode 2006-2009. Gelar sarjana hukum diraihnya
di Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Keterlibatannya dengan aktivisme HAM dimulai
sejak tahun 2000 di LBH Jakarta.
Asfin terlibat dalam membela kelompok-kelompok minoritas yang tereksklusi di
Indonesia. Visinya bergabung ke dalam YLBHI yaitu pertama, kesamaan visi kolektif
bersama kawan-kawan lainnya terkait penyelesaian problematika yang ada di Indonesia
terkhusus hukum dan HAM. Sehingga perjuangan itu tidak dilakukan dengan sendirian.
Kedua, Indonesia masih berada dalam fase transisi demokrasi. Fase kritis ini berimplikasi
demokrasi masih berada di persimpangan jalan. Usaha-usaha mengembalikan demokrasi
seperti era Orde Baru (Orba) dari elite politik menjadi tantangan yang serius untuk
menuntaskan agenda transisi demokrasi.
Upaya itu dilakukan tidah hanya terfokus pada bidang hukum, namun perlu adanya
gerakan sosial yang menuntut lahirnya perubahan sosial. Mengingat perbaikan hukum hasil
perjuangan reformasi masih belum menghasilkan perubahan seperti yang dicita-citakan.
Pada 2019, ketika polarisasi masyarakat terbelah ke dalam kubu Jokowi dengan
personifikasi kelompoknya disebut dengan cebong dan Prabowo dengan pendukungnya
yang diidentikkan dengan kampret sejak 2014, deklarasi ‘golput adalah hak’ diadakan di
Universitas Indonesia
YLBHI dengan segala rasionalisasi seperti soal oligarki, militerisme dan pelanggaran
HAM.
2. Bilven Rivaldo Gultom
Bilven Rivaldo Gultom, lebih dikenal dengan Bilven Sandalista merupakan aktivis pro
demokrasi. Pada usia 20-an ia sudah akrab dengan ide kiri dan menggerakkan narasi kiri –
yang beberapa kali kerap mengalami benturan dengan aparat dan ormas anti komunisme.
Ia juga aktif dalam penerbit buku indie, Ultimus. Melalui penerbit tersebut, Bilven berusaha
memberikan edukasi kepada masyarakat luas terutama dalam pemahaman terhadap sejarah.
Bilven pernah menyelenggarakan diskusi seputar pemikirian kiri pada Desember 2006.
Diskusi tersebut dibubarkan, ia juga diancam, sekalipun dalam kondisi tersebut, Bilvan
tetap kukuh melanjutkan kegiatan diskusinya tersebut bersama Marhaen Soepratman. Pada
2019, ia mengampanyekan gerakan golput dan menulis sebuah buku tentang manifesto
golput yang berjudul Golput: Siapapun yang Menang, Rakyat Tetap Kalah.
3. Lini Zurlia
Lini Zurlia mengidentifikasi dirinya sebagai aktivis queer feminis di twitter. Pada 2019,
ia menginisiasi gerakan Saya Golput dengan tagar #SayaGolput di media sosial. Foto
perempuan berambut pendek dan berkaca mata, yang tidak lain adalah Lini Zurlia,
mendadak muncul berkali-kali di laman Twitter dan media sosial lainnya. Lini Zurlia,
aktivis Purple Code dan relawan YLBHI dalam diskusi bertema ‘Golput dan Kampanye
Golput bukan Pidana’ diselenggarakan oleh Koalisi Masyarakat Sipil untuk Hak Sipil di
gedung YLBHI mengungkapkan kekecewaannya pada Jokowi. Menurutnya Jokowi tak
menangani persoalan-persoalan secara tuntas dalam empat tahun pemerintahannya. Bagi
Lini, kinerja incumbent dalam penuntasan kasus-kasus HAM mendapat rapor merah.
Sedangkan, untuk Prabowo, Lini menyoroti terkait rekam jejak Prabowo sebagai pelanggar
HAM masa lalu. Lini juga menyoroti sistem partai politik yang tidak mewadahi kebutuhan
masyarakat dan merepresentasikan kedaulatan serta harapan rakyat karena tersandera oleh
elite parpol dan kroni-kroninya.
4. Roy Murtadho
Roy Murtadho, akrab dipanggil Gus Roy merupakan aktivis islam yang bergerak dalam
isu reforma agraria dan lingkungan. Gus Roy menjadi Komite Nasional FNKSDA (Front
Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam), dan kader PRP (Partai Rakyat Pekerja).
Kesibukannya diisi dengan menjadi pengasuh pesantren yang didirikannya yaitu Pesantren
Misykat al-Anwar di Bogor. Menurutnya, Aswaja mesti menjadi pelopor perlawanan
Universitas Indonesia
karena di dalamnya ada sebuah konsepsi yang menjadi landasan tasamuh, tawazun,
tawassuth dan iktidal. Keberpihakan kepada kaum mustadhafin harus menjadi visi utama
perlawanan Aswaja terhadap penindasan. Selain kesibukannya tersebut, ia juga menjadi
editor di ‘Islam Bergerak’ – media kolektif yang memuat isu-isu keislaman kiwari melalui
kacamata ekonomi-politik. Gagasan-gagasannya juga bisa ditemukan dalam media
IndoPROGRESS, media sindikasi pegiat pengetahuan dan aktivis pergerakan progresif
untuk pembangunan gerakan sosial di Indonesia.
Gus Roy juga terlibat dalam gerakan golput. Dalam pandangan dia dan rekan-rekannya,
kedua pasangan capres-cawapres dikelilingi kuasa oligark (khususnya di sektor industri
ekstraktif). Kuasa oligark itu berimplikasi demokrasi bukan diperuntukkan bagi rakyat tapi
untuk memuluskan agenda-agenda kapital elite semata. Berdasarkan kondisi tersebut,
diperlukan kekuatan politik alternatif, yakni persatuan rakyat yang bisa menandingi
kekuatan politik oligarki. Untuk menggalang agenda politik alternatif, Gus Roy bersama
rekan-rekannya menggagas diskusi bertajuk ‘Suara Santri untuk Politik Alternatif’. Bagi
mereka, pilihan golput bukan sekedar sikap apatis tapi berangkat dari kondisi objektif,
dimana tidak adanya komitmen capres-cawapres untuk memutus intervensi lembaga
kapitalis global yang mendesakkan kepentingan-kepentingan neoliberal (liberalisasi,
privatisasi, dan deregulasi). Agenda-agenda neoliberal tersebut jelas menyengsarakan
kelompok petani, buruh, serta kaum miskin. Persoalan lainnya tentu terkait kekuatan
oligarki yang berada di belakang kedua pasangan capres-cawapres.
Adapun informasi kunci lainnya yang didapatkan secara snowball adalah sebagai berikut:
1. Alghiffari Aqsa
Alghiffari Aqsa, akrab disapa Alghif lahir di Padang, 11 Februari 1986. Ia berhasil
menempuh studi di Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan lulus pada tahun 2008.
Pasca kuliah, ia mengabdikan diri menjadi pengacara publik LBH Jakarta. Alghif terlibat
dalam 340 kasus di LBH Jakarta. Kasus tersebut diantara perburuhan sebanyak 45, 62 kasus
keluarga, warga miskin ibukota sebanyak 39, sipil dan politik ada 48 kasus hingga kasus
lainnya. Ia juga terlibat dalam 18 litigasi dan advokasi kebijakan dalam rentang 2008-2014.
Pengalaman tersebut membentuk jati diri Alghif dalam profesinya sebagai advokat pencari
keadilan.
Alghiffari mengangap prestasi dari pengacara adalah ketika ada perubahan kebijakan
melalui advokasinya. Perubahan tersebut diantaranya bila terdapat kasus yang menimpa
masyarakat miskin kota, atau kemenangan dalam kasus HAM serta mengubah banyak
Universitas Indonesia
orang yang terlibat dalam kasus tersebut. Selain itu, pengabdi bantuan hukum dapat
memberdayakan pencari keadilan. Pada 7 Agustus 2015, Alghif terpilih menjadi Direktur
LBH Jakarta. LBH banyak menangani kasus-kasus yang tidak populer dan menjurus
sensitif. Hal itu menimbulkan stigma tersendiri bagi LBH Jakarta seperti pembelaan pada
kasus Ahmadiyah, penyintas 1965, sampai kelompok LGBT.
Saat ini Alghif, sudah menyelesaikan pengabdiannya di LBH Jakarta dan mendirikan
Amar Law Fir, gabungan dari beberapa firma hukum dan kantor pengacara publik. Pada
Pemilu 2014, ia bersama Indonesia Tanpa Militerisme, ikut menyerukan golput. Pilihan
yang aneh, ditengah banyak kawannya yang terlibat dengan menjadi relawan dan
pendukung Jokowi. Ketika itu, ia berpendapat antara Jokowi-Prabowo tidak ada bedanya,
karena sama-sama dikelilingi oleh jenderal-jenderal dengan rekam jejak yang buruk dalam
HAM. Memasuki Pemilu 2019, Alghif bersama kawan seperjuangannya menggebrak
narasi pemilu lewat isu golput dengan memunculkan gerakan SayaGolput. Adanya isu
golput membelah konsentrasi dan panggung perpolitikan Pemilu 2019.
2. Farid Gaban
Farid Gaban dikenal sebagai jurnalis Tempo. Pendidikan terakhirnya, ia tempuh di
Institut Teknologi Bandung. Aktivitasnya di dunia pers, mengalihkan perhatiannya. Ia
meninggalkan studinya di ITB. Ia mendapatkan berbagai petualangan selama di dunia
jurnalistik. Salah satunya dengan meliput Perang Bosnia pada tahun 1990-an. Farid Gaban
dikenal sebagai wartawan yang kritis. Pada 1992-1997, Farid Gaban menjadi wartawan
Harian Republika. Setahun menjelang turunnya Soeharto pada 1998, ia memutuskan resign
dari Republika. Hal itu bermula ketika Harmoko ditetapkan sebagai Man of The Year oleh
Republika. Harmoko termasuk tangan kanan Soeharto pada masanya. Selesai dari
Republika, ia memutuskan kembali ke Tempo dari 1999-2005. Ia pernah menjabat sebagai
redaktur pelaksana. Tahun 2005 bersama rekan-rekannya melakukan aksi damai untuk
Aceh. Pengalaman lainnya ia dapatkan ketika mengikuti fellowship The Asia Foundation
pada 1988.
Sekitar 2009-2010, Farid Gaban melakukan tur keliling Indonesia dengan bersepeda
motor. Perjalanannya itu dibukukan dalam Ekspedisi Zamrud Khatulistiwa. Selepas dari
Tempo, ia memilih menjadi jurnalis freelance dan kembali ke tanah kelahirannya,
Wonosobo. Ia juga pernah menjadi chief editor dari portal Geotimes. Berbagai tulisannya
juga berhasil ia bukukan. Saat ini Farid Gaban mendapat amanah sebagai Ketua Dewan
Riset Daerah (DRD) Kabupaten Wonosobo. Ia tetap kritis. Tulisannya masih tersebar di
Universitas Indonesia
beberapa media dan mudah ditemui lewat postingan di media sosialnya. Pasca pemilu 1999,
ia memilih untuk golput. Pada 2019 ia ikut memasifkan wacana golput lewat tulisan-
tulisannya. Salah satu kritik utamanya terhadap rezim Jokowi adalah “pembangunanisme”
yang hanya getol pada urusan infrastruktur dan investasi. Hal itu membuat pembangunan
manusia menjadi terabaikan dan kerusakan lingkungan semakin tidak terhentikan.
3. Elisa Sutanudjaja
Elisa Sutanudjaja – akrab dipanggil Elisa, menempuh pendidikan arsitek. Ia berhasil
meraih gelar master dalam bidangnya tersebut. Spesialisasinya pada Sustainadble & Urban
Development. Lewat keahliannya tersebut, ia banyak bersuara seputar tata ruang kota yang
lebih adil. Pada 2009, bersama dengan kawannya, Elisa mendirikan NGO yang fokus pada
isu urban. Organisasi tersebut dikenal dengan Rujak Center for Urban Studies yang
berkantor di Jakarta Pusat. Pada 2010, Elisa memperoleh penghargaan Jenesys fellowship
dalam bidang Pembangunan Berkelanjutan. Penghargaan tersebut diberikan langsung oleh
Pemerintah Jepang. Prestasi lainnya adalah meraih Eisenhower Fellowship pada 2013.
Program tersebut mempertemukannya dengan beragam orang dari berbagai latar belakang
organisasi yang ada di 18 kota Amerika Serikat. Saat ini Elisa menjadi Direktur Eksekutif
Rujak Center dan bertanggungjawab untuk Bumi Pemuda Rahayu. Bumi Pemuda Rahayu
merupakan sentra pembelajaran arsitektur, urbanisme dan seni. Pada 2019, Elisa terlibat
dalam Gerakan SayaGolput dan ikut berkontribusi dalam penulisan manifesto Kertas Putih
Golongan Putih 2019.
3.4 Analisis Data
Tahap analisis data diselesaikan beriringan dengan pengumpulan data, interpretasi data,
dan penulisan laporan penelitian. Pendekatan dalam analisa data ini menggunakan logika
induktif abstraktif, yang berangkat dari khusus ke umum. Analisis data dilakukan dengan
beberapa tahap. Pertama, mengumpulkan data primer yang telah diperoleh dari wawancara
mendalam yang dilakukan terhadap informan. Kedua, membuat dan mengelompokkan topik-
topik dan kemudian memasukkan tema-tema tersebut ke dalam klasifikasi data berupa tema
penting, spesial, dan sisanya. Tahapan ini, peneliti membuat transkrip dan coding. Data tersebut
diolah menggunakan software NVivo 12. NVivo 12 digunakan untuk membantu manajemen
data dan visualisasi data. Hal tersebut membantu peneliti untuk menganalisis secara tajam dan
mendalam. Ketiga, memfokuskan perhatian pada data tertentu dengan cara mengurangi daftar
kategori melalui penetapan topik-topik yang saling berhubungan. Keempat, melakukan
Universitas Indonesia
interpretasi data. Pada proses ini peneliti menggunakan strategi proposisi teoritis dengan
menggunakan teknik penjodohan pula (Yin, 2011).
3.5 Validasi Data
Dalam penelitian kualitatif ini “kebenaran” diperoleh dari simpul-simpul intersubjektif
yang dipastikan melalui mekanisme triangulasi. Melalui triangulasi inilah data informasi dan
segala macam temuan divalidasi melalui prosedur uji silang, data sekunder dengan wawancara,
informan satu dengan lainnya, dan seterusnya. Teknik triangulasi ini dimaksudkan agar data
yang diperoleh oleh peneliti minim bias sehingga dapat dijamin keabsahannya.
Secara umum teknik triangulasi dalam penelitian ini ada beberapa hal, diantaranya:
1. Menganekaragamkan teknik pengumpulan data dan informasi melalui indepth
interview, dan penelusuran data sekunder sehingga data yang didapat digunakan untuk
klarifikasi.
2. Menganekaragamkan sumber informasi baik data dan informasi penting dari data
sekunder dan informasi informan yang bersangkutan serta data-data lain di studi
kepustakaan, dokumen-dokumen media cetak maupun elektronik.
3. Menganekaragamkan cara sumber atau informan dipilih melalui teknik purposive dan
snowbolling.
4. Teknik triangulasi dijalankan dalam setiap penerapan teknik pengumpulan data melalui
cross check silang antar teknik data collection. Dari keberbagaian evidensi dan
informasi yang didapatkan peneliti kemudian dikelompokkan berdasarkan tipologi
tertentu untuk mencari keragaman dan persamaan dari data-data tersebut.
3.6 Limitasi dan Delimitasi
Ada beberapa persoalan yang kemungkinan dihadapi dalam penelitian ini. Penelitian
ini akan mengulas fenomena golput di kalangan aktivis pro-demokrasi pada Pemilu 2014-2019.
Pemilu tersebut sudah dijalankan dan kampanye gerakan golput sudah tidak dilakukan. Namun
demikian, aktor-aktor penggerak dari gerakan golput tersebut masih terlibat pergerakan dengan
agenda memperjuangkan penuntasan pelanggaran HAM, anti korupsi, reforma agraria,
lingkungan, supremasi sipil dan penguatan demokratisasi di Indonesia. Terkait dengan
delimitasi penelitian, secara khusus, penelitian tesis ini membatasi fokus penelitian pada
aktivitas gerakan golput pada Pemilu 2014-2019 dengan informan-informan tersebut terafiliasi
dengan organisasi YLBHI, Lokataru, Watchdoc, FNKSDA, dan Sindikasi. Yang menjadi
persoalan lainnya adalah informan-informan kunci tersebut, belum tentu penggerak gerakan
golput pada Pemilu 2014. Selain itu, beberapa informan yang memiliki peran sentral juga tidak
Universitas Indonesia
berhasil untuk digali informasinya seperti dari pihak KASBI, Lokataru, Watchdoc dan
Sindikasi. Untuk itu, digunakan teknik snowboll dalam mengatasi hal tersebut. Namun,
informan-informan kunci yang disebutkan tersebut merupakan aktivis golput pada Pemilu
2019.
3.6 Proses Penelitian
Proses penelitian ini dimulai sejak semester dua pada tahun 2019. Mulanya, karya ini
adalah tugas proposal tesis mata kuliah Metode Penelitian Sosial Kualitatif. Peneliti menggali
sumber bacaan dari data sekunder seperti artikel dan jurnal serta mengikuti wacana golput yang
berkembang, mengingat pada April 2019 diselenggarakan Pemilihan Umum di Indonesia.
Peneliti mengikuti lini media sosial beberapa aktor penggerak gerakan golput. Menjelang hari
pemungutan suara 17 April 2019 perdebatan terkait golput ramai dibicarakan. Setelah itu,
peneliti menelusuri fenomena golput yang ada di Indonesia. Bila berkaca pada konteks historis,
golput (golongan putih) dipakai untuk mengkritik pemerintahan Soeharto menjelang Pemilu
1971. Selanjutnya, golput menjadi alat perlawanan terhadap otoritarianisme Orde Baru.
Walaupun Orde Baru sudah tidak ada, wacana golput menjelang pemilihan umum terus
digerakkan. Sehingga, peneliti tertarik untuk menggali fenomena golput di kalangan aktivis
pada Pemilu 2014-2019 di Indonesia. Ketertarikan itu berlanjut setelah melihat kajian-kajian
terdahulu tentang golput hanya diulas sebagai “sekedar” perilaku pemilih. Padahal beberapa
aktivis masih menggunakan golput sebagai gerakan protes terhadap penguasa. Gerakan golput
diartikulasikan sebagai “mosi tidak percaya”. Sehingga, penelitian ini mengkaji dari perspektif
gerakan sosial sebagai bentuk partisipasi politik. Karena seringkali golput diidentikkan dengan
sikap apatis.
Peneliti juga melakukan diskusi dengan salah satu kawan yang terlibat dalam kampanye
golput. Dari situ peneliti menggali aktor-aktor kunci dalam gerakan golput yang nantinya
dijadikan sebagai informan kunci dalam penelitian ini. Selain itu, peneliti juga mengikuti aktor-
aktor tersebut di lini media sosial. Aktor-aktor kunci gerakan golput yang dijadikan informan
dalam penelitian ini ada 4 orang yaitu Asfinawati, Bilven, Lini Zurlia, dan Roy Murtadho. Serta
3 informan kunci hasil snowball yaitu Alghiffari, Farid Gaban dan Elisa. Selama bulan
September-Oktober 2019 peneliti menulis proposal tesis sebagai tindak lanjut dari desain
penelitian yang telah disetujui oleh dosen pembimbing. Bulan Oktober 2019, peneliti
berkonsultasi dengan dosen pembimbing terkait Bab I-III dari penelitian ini. Proses
pengumpulan data dengan wawancara direncanakan dari bulan November-Desember 2019.
Penggalian data lapangan juga dilengkapi dengan pencarian data-data sekunder yang
Universitas Indonesia
mendukung tema penelitian ini. Selanjutnya, peneliti menuliskan tesis sesuai dengan kaedah
metodologis yang dipilih, dari Bab IV-V bab Pembahasan hingga Bab VI bab Penutup.
Penulisan bab pembahasan hingga penutup menempuh sekitar empat bulan dari bulan Maret-
Mei 2020. Sepanjang itu, peneliti juga berkonsultasi dengan dosen pembimbing untuk
perbaikan dan penyempurnaan riset ini.
Universitas Indonesia
4.1 Golput dan Perlawanan: Protes Pemilu Pada Rezim Orde Baru
Golput adalah fenomena politik sebagai ekses dari ketidakpuasan jalannya demokrasi
elite. Gerakan golput dimunculkan untuk memboikot pemilu. Pesan yang dibawa yakni kritik
dan kekecewaan terhadap kinerja lembaga-lembaga pemerintahan. Munculnya gerakan golput
juga dapat diartikan sebagai hidupnya ruang-ruang demokratis untuk menyampaikan aspirasi.
Gerakan golput (golongan putih) muncul pertama kali pada Pemilu 1971 yang dimotori oleh
Arief Budiman. Sasaran tembak gerakan golput ketika itu adalah Partai Golongan Karya
(Golkar). Awalan “gol-“ pada golput sengaja mengambil dari awalan nama Partai Golkar.
Bukan hanya soal nama, logo golput juga mengambil bentuk logo partai beringin tersebut.
Propaganda golput juga menggunakan serupa logo segi lima, tapi kosong di tengahnya
berwarna putih (Heryanto, 2019). Propaganda itu disebarkan di tempat-tempat umum dengan
simbol yang hendak dibawa adalah coblos warna putih, dengan begitu tidak terhitung sebagai
suara sah.
Gerakan golput juga disebabkan oleh betapa dominannya kekuasaan yang ditopang
oleh Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Pembatasan partai politik menjadi tiga
poros utama juga dipandang sebagai pembonsaian terhadap demokrasi. Penguasa dengan cara
terstruktur, sistematis dan masif menciptakan kemenangan Golkar. Arief Budiman dalam
(Prihatmoko, 2003: 105) mengutarakan bahwasanya golput merupakan identifikasi bagi
mereka yang tidak puas dengan keadaan dan aturan main demokrasi yang diinjak-injak oleh
partai politik dan pemerintah demi memenangkan pemilu dengan menggunakan aparat negara
melalui acara diluar batas aturan main demokratis. Sedangkan bagi Sanit (1992: 190) gerakan
golput dinilai sebagai tindakan protes politik yang dilandasi oleh persoalan kebangsaan.
Tuntutan protes dari gerakan golput tersebut menyasar esensi diadakannya pemilu sebagai
wadah untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan. Amanat tersebut termaktub dalam UUD
1945, dan diraih dengan jalan demokrasi dalam kehidupan masyarakat, berbangsa serta
bernegara. Gerakan golput tersebut bagai “mosi tidak percaya” kepada bangunan kekuasaan
yang diarsitekturi Orde Baru. Aksi protes tersebut memperlihatkan sikap yang diinsafi betul
menjadi kelompok penekan (pressure group) terhadap Rezim Soeharto oleh Arief Budiman
dan kawan-kawannya, sebagai bentuk kekecewaan. Sebagaimana dikatakan oleh McClosky
(1972) ketidakhadiran pemilih terdiri dari beragam bentuk diantaranya, adanya apatisme
37 Universitas Indonesia
Fenomena Golput ..., M. Syaeful Anam, FISIP UI, 2020
38
terhadap politik, pemilu tidak berdampak terhadap kehidupannya serta pilihan tidak memilih
sebagai langkah yang terpuji.
Protes gerakan golput pada Pemilu 1971 dilakukan dengan tujuan untuk mendorong
terciptanya aturan bermain bagi kehidupan masyarakat yang sehat. Sebelumnya, pada
November 1969, DPR-GR (Gotong Royong) mengesahkan aturan pemilihan umum. Selain itu,
DPR-GR tersebut juga menyepakati ketetapan terkait anggota parlemen yang baru (DPR).
Komposisi DPR tersebut dipenuhi oleh pendukung Soeharto. Sebanyak 22% dari keanggotaan
DPR dan 33% dari seluruh anggota MPR ditunjuk langsung oleh Presiden Soeharto (Ricklefs,
2008). Sehingga arus suara parlemen dinilai merupakan kepanjangan tangan pemerintah.
Gerakan golput mengkritisi hal tersebut. Dalam pandang mereka, tanpa ada aturan permainan
yang jelas, maka akan menimbulkan anarki dimana hukum diberlakukan seperti hukum rimba
“yang kuat menang”. Penyebutan golongan putih bukanlah untuk suatu pengelompokan politik,
melainkan suatu pengelompokan kultur dalam arti bahwa yang mau ditegakkan adalah suatu
tradisi/kebudayaan dari cara bermasyarakat yang sehat. Golongan putih bermaksud melindungi
hak asasi manusia pada saat pemilu. Lebih lanjut dijelaskan bahwa perjuangan golput ialah bila
seorang rakyat mau ikut pemilihan, maka hendaknya diberi kebebasan memilih apa saja yang
mereka ingin pilih tanpa adanya paksaan dalam bentuk apa pun. Seandainya rakyat tidak mau
memilih atas dasar apa pun juga, hendaknya diberikan kebebasan untuk tidak memilih dan
dilindungi haknya tersebut (Arsip Golput, 28 Mei 1971).
Kebebasan memilih menjadi salah satu perhatian penting bagi gerakan golput. Pada
bulan Februari 1970, pemerintah mengeluarkan pengumuman bahwasanya seluruh pegawai
yang bekerja untuk pemerintah diwajibkan tunduk dan setia kepada pemerintahan Soeharto.
Untuk itu, mereka diijinkan terlibat dalam politik hanya melalui Partai Golkar (Golongan
Karya). Riwayat Golkar dimulai pendiriannya oleh tentara dengan tujuan mempererat
kemitraan antara sipil dan tentara pada tahun 1964. Dalam hal politik, kebijakan kontroversial
lainnya awal Orde Baru adalah usaha mengkooptasi partai politik lain. Ali Murtopo, salah satu
orang kepercayaan Soeharto, selaku wakil pemerintah, turut campur ketika pemilihan ketua
umum PNI. Kondisi tersebut juga dialami Parmusi. Seoharto memaksa agar pimpinan partai-
partai tersebut adalah orang yang dapat dipercayainya dalam urusan politik. Cara lainnya dalam
memuluskan kemenangan Golkar adalah seleksi yang dilakukan terhadap kandidat semua
partai. Akibatnya sebesar 20% kandidat didiskualifikasi. Alasan pendiskualifikasi dikarenakan
tidak dapat dipercaya secara politik. Ali Murtopo, Amir Mahmud (Menteri Dalam Negeri), dan
Kopkamtib menjalankan tugas tersebut. Cara lainnya untuk menggaet target suara yang
Universitas Indonesia
ditentukan rezim adala dengan menurunkan para tentara dan pejabat-pejabat ke desa-desa.
Selain itu, intimidasi juga dijalankan (Ricklefs, 2008).
Aktivis-aktivis golput pada Pemilu 1971 merumuskan beberapa catatan tentang
penjelasan sikap golputnya. Penjelasan tersebut ditulis dalam sebuah manifesto golput yang
terdiri dari sembilan poin diantaranya sebagai berikut:
1. Golongan Putih bukanlah suatu organisasi. Golput merupakan identifikasi dan sikap
ketidakpuasan atas aturan main demokrasi yang dibuat secara sewenang-wenang oleh
partai politik salah satunya ketika memutuskan UU Pemilu. Sikap protes juga ditujukan
kepada Golongan Karya yang menggunakan segala cara dalam memenangkan pemilu.
2. Untuk menunjukkan bahwa seseorang mengidentifikasikan dirinya dengan Golongan
Putih, maka dia, kalau dapat memakai sebuah lencana berbentuk segilima putih dengan
pinggir hitam. Lencana tersebut dapat dibuat sendiri dengan kertas karton dan peniti.
3. Golongan Putih melakukan gerakannya dengan memperhatikan aturan hukum yang ada
dan protes didasarkan pada ketentuan-ketentuan hukum.
4. Apa yang dilakukan oleh Golongan Putih bertujuan untuk memberikan pendidikan
politik pada masyarakat, terkhusus generasi muda dengan mendorong pikiran-pikiran
kritis dan kreatif. Pendidikan politik itu dilakukan antara lain dengan memberikan
terjemahan-terjemahan, dan diskusi-diskusi tentang persoalan politik yang ada,
bertukar pikiran secara terbuka dan sebagainya. Gerakan Golongan Putih ini sendiri
merupakan suatu pendidikan politik, yakni menanamkan suatu kesadaran dalam
kehidupan bernegara bahwa tidak memilih adalah hak bagi warga negara.
5. Selanjutnya, kepada mereka yang merasa dipaksa untuk memilih suatu partai politik
ataupun golongan karya, padahal dia tidak mau memilih, maka dia dapat mengadukan
hanya kepada seorang ahli hukum untuk diperkarakan di pengadilan. Di Jakarta, ahli
hukum itu ialah Lembaga Pembelaan Umum pimpinan Adnan Buyung Nasution, S.H.
Di daerah-daerah dapat diadukan pada ahli hukum setempat.
6. Tujuan dari Golongan Putih sebagai penjaga arus demokrasi, dimana sikap dan suara
apapun yang berbeda dengan penguasa, adalah sah dan mesti dilindungi kebebasan
bersuara. Kebebasan bersuara merupakan bagian dari tradisi demokrasi.
7. Karena itu, gerakan Golongan Putih adalah gerakan kultural. Gerakan tidak ditujukan
untuk meraih kekuasaan namun memperjuangkan hak asasi manusia.
Universitas Indonesia
8. Golongan Putih menyarankan pada Pemilu 1971, agar rakyat Indonesia memosisikan
diri sebagai penonton yang baik. Hal itu sebagai sikap protes terhadap pemilu yang
dilangsungkan dengan tidak demokratis.
9. Tidak memilih adalah hak setiap warga negara, karena itu dilindungi oleh Undang-
Undang Dasar yang berlaku (Arsip Golput, 1971).
Arief Budiman bersama dengan eksponen-eksponen generasi muda seperti Adnan
Buyung Nasution, Imam Waluyo, Sumail, Husin Umar, Julius Usman dan Asmana Nababan
dalam konferensi pers tersebut, mengemukakan tujuan, dan latar belakang, lahirnya Golongan
Putih. Arief menilai UU Pemilu yang terbentuk sejak 1969, tidak demokratis. Golkar juga telah
mengecewakan dengan tindakannya yang menciderai hak asasi dan demokrasi rakyat (Kami, 4
Juni 1971). Kampanye Golongan Putih dilakukan dengan aksi penyebaran pamflet-pamflet di
seluruh Ibu Kota dengan pesan-pesan tulisan seperti “Tidak memilih adalah hak saudara”,
“Golongan Putih penonton yang baik”, “Tolak paksaan dari manapun juga” (Sinar Harapan, 3
Juni 1971). Golongan Putih dengan kampanyenya ditujukan untuk terpenuhinya hak asasi
manusia. Lencana segilima pinggir hitam dasar putih akan menjadi tanda solider untuk
memperjuangkan agar rakyat memilih tanpa paksaan dalam bentuk apapun (Indonesia Raya, 4
Juni 1971). Arief Budiman menegaskan bahwa Golput bukanlah kelompok politik dan juga
bukan organisasi politik baru. Tujuan utamanya bukan kemenangan politik, tapi tercapainya
suatu tradisi dimana kebebasan berpendapat dan bersuara dijamin dalam kondisi apa pun
(Kompas, 4 Juni 1971).
Sekalipun demikian, berkali-kali disampaikan persetujuan mereka terhadap ide-ide
Golkar tapi berkali-kali pula mereka menyatakan ketidakpuasannya terhadap cara-cara yang
dijalankan Golkar untuk mencapai tujuannya (Tajuk Kami, 4 Juni 1971). Hal itu senada dengan
apa yang dituliskan oleh Imam Waluyo di harian Kami edisi 15 Juni 1971 bahwa tak ada alasan
bagi kita untuk berkeberatan menerima Golkar dengan program-program pembangunan yang
disebut akselerasi modernisasi 25 tahun benar-benar dijalankan. Tapi Golkar menciderai
dengan tindakan-tindakan dalam usahanya memenangkan Pemilu 1971 dengan menghalalkan
segala cara. Karena itulah mereka memilih untuk menjadi “penonton yang baik” sebagai moral
force dalam pemilu. Dalam keyakinan Golput tidaklah bisa segala sesuatunya digantungkan
sama sekali kepada pemilu. Harus kita biarkan, bahkan kita dorong usaha-usaha pendidikan
politik yang tumbuh dari bawah, apalagi orientasinya bukan kekuasaan melainkan moral (Tajuk
Kompas, 5 Juni 1971). Hadirnya Golput dapat dilihat sebagai suatu tanda pernyataan atau
Universitas Indonesia
“early warning” mengenai apa yang akan terjadi apabila banyak orang menempatkan dirinya
diluar sistem politik sosial yang dikembangkan (Tajuk Sinar Harapan, 5 Juni 1971).
Sikap golput tersebut direspon dengan beragam nada. Moechtar Lubis menyebutkan
golput itu naif. Sedangkan Rosihan Anwar mengatakannya sebagai “Angan-angan Melayu”.
Menpen Boediardjo berpendapat, “Saya tidak setuju adanya golput… Saya yakin mereka akan
dilarang” (Mahasiswa Indonesia, Minggu 1, Juni 1971). “Golput itu seperti kentut, baunya
terasa tetapi tidak kelihatan barangnya”, kata Ali Moertopo yang menjabat sebagi Aspri
Presiden (Kami, 7 Juni 1971). Wakil Penerangan Laksus Pangkopkamtibda DKI Jaya Kapten.
Inf. Hendromuljono selaku anggota ABRI menyesalkan adanya tindakan pimpinan Golput
yang juga adalah aktor-aktor penegak lahirnya Orde Baru, dengan bersikap negatif terhadap
pemilu (Kami, 7 Juni 1971). Soebchan Z.E, Ketua I PBNU berpendapat seyogyanya sebagai
orang-orang muda “Golput” dapat memilih alternatif-alternatif yang sudah ada, “alternatif-
alternatif yang tengible!” (Kami, 7 Juni 1971). Bagi Widya dalam Angkatan Bersenjata, edisi
7 Juni 1971 menuliskan bahwa holput dengan pemikiran kritisnya merupakan sifat yang baik.
Pemikiran kritis adalah pondasi dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi serta
modal yang berharga bagi musyawarah untuk mufakat. Namun apabila sikap kritis itu
disalahgunakan buat sekedar melawan, untuk beroposisi, maka akan berkembang menjadi
tenaga pengerusak.
Gambar 4.1
Massa Golongan Putih
Sumber:https://news.detik.com/berita/d-4509346/sejarah-golput-protes-wajib-di-era-
soeharto-dicap-haram-usai-reformasi
Universitas Indonesia
Menurut Ketua Umum Lembaga Pembela Hak-hak Asasi Mansuia, H.J.C Princen,
“gerakan moral, gerakan kultural, pada saat kapan pun penting” menanggapi perdebatan pro
dan kontra soal golput (Kami, 8 Juni 1971). Adnan Buyung Nasution selaku pimpinan Lembaga
Bantuan Hukum/Pembela Umum juga menegaskan bahwa “terlepas dari perbedaan-perbedaan
itu, saya berpendapat bahwa di dalam negara demokrasi adanya orang-orang yang memiliki
pendirian lain seperti Saudara Arief Budiman dan kawan-kawan, apalagi mencari identitasnya
melalui pengelompokan kultural serta memilih cara-cara perjuangan moral adalah baik dan
harus dihormati selama dan sejauh mereka masih dalam batas-batas hukum yang berlaku”
(Sinar Harapan, 7 Juni 1971). Melihat masifnya gerakan golput, pemerintah tidak tinggal
diam. Tiga orang tokoh gerakan “Golongan Putih” yaitu Arief Budiman, Imam Waluyo dan
Julius Usman, dipanggil oleh Kasi Intel Komdak Metro Jaya untuk mempertanggungjawabkan
sehubungan dengan munculnya pamflet-pamflet tentang “Golput” di beberapa tempat di
Jakarta (Kami, 9 Juni 1971). Interogasi tersebut membuat kesal Arief Budiman. “Kalau toh
pihak kepolisian ingin mendapatkan informasi tentang Golongan Putih bisa saja datang ke
rumah atau kantor saya… Hanya cara lebih sopan sedikit dong… Kalau benar-benar cari
informasi dengan ngobrol-ngobrol kan lebih enak” ujar Arief Budiman (Kami, 9 Juni 1971).
Golongan Putih juga mengadakan beberapa agenda diskusi. Namun agenda-agenda
diskusi Golongan Putih mulai dilarang oleh rezim Orde Baru. Salah satunya diskusi yang
sedianya diselenggarakan di Balai Budaya. Diskusi yang rencananya akan dipimpin oleh Arief
Budiman mengalami gangguan ketika seorang perwira Polri dari Komdak datang untuk
melarang diskusi tersebut. Ketegangan terjadi, karena pimpinan diskusi bersikeras untuk tetap
melangsungkan diskusi, sedang perwira tersebut tetap bersikukuh untuk melarang diskusi.
Tempat diskusi tersebut juga dijaga ratusan lebih dan sekeliling kompleks dijaga ketat oleh
petugas-petugas militer (Sinar Harapan, 9 Juni 1971). Aparat mempermasalahkan surat izin
kegiatan. Aktivis-aktivis Golput juga mempertanyakan balik surat izin tersebut. Mengingat
pada waktu-waktu yang lalu juga sering menyelenggarakan diskusi-diskusi serupa tanpa harus
memakai izin dan tak pernah dilarang (Kami, 10 Juni 1971). Hal itu memperlihatkan watak
represif Orde Baru. Cara-cara represif tersebut terus berlanjut dan menjadi penopang
kekuasaan Orde Baru selama tiga dekade lebih. Tindakan represif lainnya juga dilakukan
dengan pemblokiran pamflet Golput.
Surat kabar Sinar Harapan, edisi 9 Juni 1971 mencatat pamflet-pamflet Golput yang
sedianya selesai hari Kamis petang tidak diperbolehkan diambil, sebab percetakan hand-press
amatir yang hendak mencetaknya telah diperingatkan oleh seorang kapten untuk tidak
Universitas Indonesia
melanjutkannya. Penolakan terhadap aksi Golput juga disampaikan oleh Gubernur KDKI Ali
Sadikin. Menurutnya “mereka menamakan dirinya sebagai penonton yang baik sedangkan
sebagai penonton yang baik harusnya diam dan tidak bergerak kesana kemari” (Sinar Harapan,
9 Juni 1971). RRI juga membuat pernyataan yang bernada keras. Harian Kami (11 Juni 1971)
melansir pernyataan RRI tersebut “satu hal patut dicurigai bahwa kelompok Golput tersebut,
justru menunjukkan sikap yang nyata-nyata dapat menghambat pelaksanaan Pemilu, dimana
hal ini juga merupakan strategi G-30-S/PKI… Bahwa hanya golongan komunislah yang tidak
menginginkan suksesnya Pemilu…” Gerakan Golput juga dituduh melakukan tindakan
subversif. Mereka juga dianggap seperti “Komando Jihad” yang menurut RRI berusaha
merongrong dan melemahkan legitimasi pemerintah. Label-label seperti subversif, eka-eki
(ekstrem kanan-ekstrem kiri) kemudian digunakan oleh rezim Soeharto selama berkuasa untuk
membungkam suara-suara kritis.
Padahal substansi apa yang disampaikan oleh Golongan Putih perlu didengar oleh
penguasa. Golongan Putih sebagai ikhtiar penguatan demokratisasi di Indonesia. Dalam harian
Kami (11 Juni 1971), A.A. Tandjung mengungkapkan bahwa Golput merupakan pilihan tepat,
sebab Golput dengan program utamanya pendidikan politik. Sikap Golput berangkat dari
kekecewaan dan kekhawatiran dimana-mana ada main paksa dan intimidasi ala buldozer
Golkar. Pembelaan untuk Golput juga dituliskan oleh Erin Darmo, menurutnya Proklamator
Golput turut berperan dalam penumpasan G-30-S/PKI. Dan tentu mereka tak berteriak seperti
rekan-rekan seperjuangannya yang menganggap dirinya sebagai pahlawan penumpasan G-30-
S/PKI (Kami, 11 Juni 1971). Adapun tindakan kekerasan dan larangan terhadap Golput tidak
akan menjernihkan keadaan. Golput bisa hilang dari koran-koran, dari tembok-tembok yang
ditempel, dari pemuda-pemuda balai pertemuan, akan tetapi jiwa Golput yang bergelora tidak
mungkin dihapus. Ibarat gunung berapi kalau saluran untuk keluarnya magma dari dalam tidak
ada, magma itu akan keluar sendiri berupa letusan yang membahayakan (Kami, 14 Juni 1971).
Arief Budiman sendiri juga menuliskan jawaban terhadap tudingan Ali Sadikin. Ada
tiga pokok pikiran yang disampaikan yaitu sebagai berikut:
1. Benarkah Golput suatu gerakan politik saya ceritakan saja suatu peristiwa pada jaman
Sukarno dulu… Yang sebenarnya terjadi adalah politik adalah politik di Indonesia
sudah “over function” sudah merasuk ke segala bidang kehidupan… Demikian juga
sekarang, rakyat dipaksa untuk memilih. Rakyat jelata mengingatkan lalu dianggap
sudah bermain politik lewat sikap kritisnya.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Pada tanggal 17 Juni, Dewan-dewan mahasiswa Jawa Timur yang terdiri dari DM
Universitas Airlangga, Institut Teknologi Surabaya (ITS), IKIP Surabaya dan IKIP Malang
mengeluarkan petisi yang intinya berpendapat, bahwa pemilihan umum harus dilaksanakan
tanpa intimidasi, penindasan dan cara-cara yang menyesatkan rakyat. DM ITB Institut
Teknologi Bandung (ITB) menyampaikan momerandum yang isinya berupa mendesak, agar
segala macam intimidasi/tekanan pada rakyat yang dapat menimbulkan salah pengertian dari
rakyat tentang demokrasi agar dihentikan (Kompas, 17 Juni 1971). Lebih lanjut, DM ITB
mengeluarkan Memorandum Koreksi berisi lima seruan kepada semua pihak yang terlibat
dalam pemilu. Kepada penguasa diharapkan untuk tidak bersikap tertutup terhadap adanya
kritik-kritik dan unsur kontrol, bahkan harus membuka diri untuk menampung hal-hal tersebut,
sehingga memungkinkan setiap warganya untuk ikut berpartisipasi politik. Dukungan kepada
Golput banyak disuarakan oleh eksponen mahasiswa. Kompas (17 Juni 1971) memberitakan
pada hari Jum’at sore yang lalu di kampus IPB (Institut Pertanian Bogor) diselenggarakan
diskusi antara eksponen Golput dengan mahasiswa-mahasiswa Bogor. Sementara itu Fakultas
Sastra UI juga mengadakan diskusi dengan tema “Bursa Pendapat tentang Generasi Muda dan
Pemilu” yang diadakan oleh “Gerakan Kebebasan Kampus” FS UI dengan pembicaranya yaitu
Sabam Sirait, Dorodjatun, Alfian, Sumiskum dan Arief Budiman. Diskusi tersebut juga diawasi
oleh perwira kepolisian yang mengajukan protes tentang tema diskusi dan minta diberi waktu
bicara namun ditolak oleh pimpinan diskusi (Sinar Harapan, 21 Juni 1971).
Cara pemerintah menangani diskursus wacana dengan pelarangan dan pengawasan
mendapat perhatian serius. Tajuk Kami (19 Juni 1971) dengan judul Bila Kampus Bersuara
menyoroti agenda diskusi-diskusi sebagai ruang untuk menyampaikan pendapat semakin
mendapatkan pembatasan dan tekanan dari pemerintah. Dengan dalih khawatir menimbulkan
kegoncangan-kegoncangan yang bisa mengganggu konsentrasi pada pemilu seperti pelarangan
agenda diskusi bertemakan Tapol Buru dan Semangat Orde Baru yang diselenggarakan
Golongan Putih. Kabar baiknya kebebasan berpendapat masih banyak ditemui di kampus-
kampus. Hal itu menunjukkan kampus masih memiliki kepedulian terhadap isu sekitar,
ditengah-tengah semakin redupnya suara kritis dengan pembungkaman.
Penggunaan kekerasan, intimidasi dan persekusi terhadap Gerakan Golput akhirnya
memunculkan kritik yang ditujukan kepada militer. Golput menyampaikan pandangannya
bahwa dengan tanpa pemilihan umum untuk sepuluh tahun mendatang, hanya ada satu
kekuatan efektif yang akan banyak menentukan nasib Indonesia. Kekuatan tersebut adalah
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) (Kami, 25 Juni 1971). Bila melihat genealogi
Universitas Indonesia
kekuasaan Orde Baru, militer punya peran penting dan strategis. Soeharto sendiri berusaha
mengkooptasi militer dengan beberapa kebijakan. Pada periode tahun 1969-1970, Soeharto
merombak organisasi militer secara besar-besaran. Beberapa kebijakan terkait militer tersebut
diantaranya penggantian komandan keempat angkatan dengan kepala-kepala staf. Selain itu,
kekuasaan Departemen Pertahanan dan Keamanan semakin ditingkatkan dalam mengomandoi
komandan-komandan regional serta seluruh angkatan bersenjata. Pendukung utama Soeharto
menguasai angkatan darat. Sementara Laksamana Muda Sudomo, teman lama Soeharto
diangkat menjadi kepala staf angkatan laut yang baru. Lalu dilakukan pembersihan di angkatan
laut. Kebijakan lainnya pada tahun 1970 terkait militer adalah penahanan tentara angkatan darat
yang memiliki kedekatan dengan PKI. Beberapa yang ditahan merupakan perwira yang cukup
senior. Soeharto juga menurunkan usia pensiun perwira menjadi 48 tahun serta 86 jenderal
dipensiunkan dalam jangka waktu dua tahun ke depan. Cara lainnya untuk menguasai militer
dengan menjadikannya terpusat, sehingga konflik antarfraksi tidak muncul ke permukaan dan
dilihat oleh analis luar (Ricklefs, 2008).
Golput semakin mendapatkan simpati di kalangan kaum muda. Pembelaan-pembelaan
yang dilakukan oleh kalangan mahasiswa tentu menjadi ancaman bagi penguasa Orde Baru.
Adam Malik mengecam Golongan Putih dengan seruan “Ada yang bilang golongan putih yang
tidak mau memilih… itu golongan setan” (Kompas, 25 Juni 1971). Ditengah-tengah respon
negatif dari penguasa, aktor-aktor Golput tetap optimis dengan agenda-agenda demokrasi yang
disuarakan oleh Golput. Imam Waluyo mengatakan bahwa masalah hak asasi manusia, aturan
permainan, demokrasi merupakan satu masalah yang universal dan perjuangan tersebut tak ada
habis-habisnya. Arief Budiman menambahkan gerakan moral, akan selalu memiliki pengaruh
politik. Gerakan moral berbeda dengan gerakan politik, gerakan moral tidak berambisi
memupuk satu kekuatan sementara hal itu merupakan ciri utama dari gerakan politik. Julius
Usman dengan penuh kesungguhan menjelaskan bahwa generasi muda tidak terlampau banyak
kepentingan dengan Pemilu 1971. Golput didesain untuk menghimpun persamaan aspirasi
generasi muda untuk menjadi satu kekuatan setelah pemilu (Kami, 26 Juni 1971). Berdasarkan
hasil Pemilu 1971, persentase golput sebesar 6,67%. Pemilu 1971 diikuti oleh sepuluh Parpol
yaitu NU, Parmusi, PSII, Perti, PNI, Partai Kristen Indonesia, Partai Katolik, Murba, IPKI dan
Golkar.
Pada perkembangan berikutnya, golput dapat dikatakan sebagai aksi simbolik dengan
memilih tidak hadir ke dalam bilik suara atau tidak menggunakan hak pilihnya, sekalipun hadir
ke tempat pemungutan suara, hak pilih tersebut digunakan untuk memilih tidak sah, dengan
Universitas Indonesia
kata lain merusak surat suara agar tidak disalahgunakan oleh kepentingan penguasa (Asfar,
2004). Pasca 1971, fenomena golput masih terus menampakkan eksistensinya. Dampak golput
menjadi semakin luas, golput menjadi bagian isu yang terintegrasi dengan gerakan protes yang
ada dalam masyarakat. Sanit (1992) mengatakan golput bukanlah gerakan yang terpisah dari
kelompok kritis lainnya, yang sama-sama melawan hegemoni rezim otoritarianisme. Tetapi,
golput menjadi isu yang menjadi satu-kesatuan dengan gerakan protes lainnya untuk mengubah
serta perjuangan alternatif untuk menegakkan demokrasi kembali yang semurni-murninya.
Fenomena golput pada Pemilu 1977 juga berbarengan dengan krisis sosial politik yang
menyasar pemerintahan Orde Baru. Beberapa peristiwa politik terjadi menjelang
dilaksanakannya pemilu tersebut, diantaranya, fusi partai politik menjadi tiga besar kelompok
(1973), Peristiwa Malapetaka 15 Januari (Malari) (1974), pengusutan skandal korupsi
Pertamina (1975) dan beberapa kejadian lainnya. Menjelang Pemilu 1977, pemerintah melalui
Menteri Dalam Negeri, Sudharmono, menegaskan bahwa pemilu merupakan salah satu rantai
dari usaha menegakkan mekanisme kepemimpinan nasional secara terus menerus sesuai
dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Sudharmono mengharapkan agar dalam pemilu
nanti tidak ada “golongan putih”, karena sikap apatis merupakan suatu hal yang tidak baik dari
seorang warga negara yang seharusnya bertanggung jawab akan hari depan dirinya sendiri dan
bangsanya. Karenanya kalau apatis itu sikap tidak baik, apalagi menghalang-halangi pemilu
(Sinar Harapan, 14 Desember 1976).
Seruan untuk tidak “Golput” juga disampaikan oleh cendekiawan muslim, Kasman
Singodimejo. Menurutnya seorang Islam yang mempunyai hak memilih dalam Pemilu 1977
tidak boleh bersikap “Golput”. Kalau seorang muslim bersikap Golput berarti menambah
kemenangan golongan lain. Kalau pada pemilu-pemilu tahun 1955 dan tahun 1971 ummat
Islam mendapatkan kekalahan, karenan disebabkan belum bersatu, berpecah-pecah. Pada
pemilu 1971 ada empat partai Islam mengakibatkan banyak ummat Islam yang
meng’golput’kan dirinya (Pelita, 31 Maret 1977). Pada Pemilu 1977 menjadi pemilu pertama
setelah kebijakan fusi partai politik yang diterapkan Soeharto.
Pemerintah tidak melihat kemenangan Pemilu 1971 oleh Golkar merupakan simbol
penguasaan politik Indonesia. Tidak selesai disitu, Soeharto juga menggunakan kesempatan itu
untuk menghentikan partai-partai tinggalan Orde Lama. Rezim Soeharto memaksa partai
politik untuk menyederhanakan diri dengan membuat kebijakan fusi. Partai disederhanakan
menjadi dua. Kemudian lahirlah dua partai baru yaitu PPP dan PDI pada bulan Januari 1973.
PPP (Partai Persatuan Pembangunan) merupakan gabungan dari partai-partai Islam, terutama
Universitas Indonesia
NU dan Parmusi. PDI (Partai Demokrasi Indonesia) dibentuk dari partai-partai non-Islam
seperi Murba, PNI, Katolik, Kristen, dan IPKI. Sebagai akibat dari kebijakan floating mass
(massa mengambang), partai-partai tersebut hanya boleh mendirikan cabang-cabang di tingkat
kabupaten. Kantor-kantor partai di tingkat kecamatan dan desa dilarang. Namun, pembatasan
tersebut tidak terjadi pada Golkar. Golkar memiliki jejaring dalam birokrasi serta militer.
Selain itu, Golkar tidak dikategorikan sebagai partai politik oleh pemerintah (Ricklefs, 2008).
Makin dibatasinya partai politik itu menjadi perhatian. Pamusuk Ernesta dalam tulisannya di
Kompas (11 Mei 1976) mengungkapkan dari pemilu ke pemilu nampak adanya usaha
penciutan peserta pemilu. Pemilu 1955 diikuti banyak partai, sedangkan Pemilu 1971 ada 9
partai, plus Golkar. Perananan partai semakin diperketat. Untuk Pemilu 1977 hanya diikuti 2
partai yaitu PDI dan PPP, sedangkan Golkar tetap. Selain itu, Pamusuk Erneste menambahkan
suksesnya suatu pemilu tidak ditentukan oleh jumlah suara yang dimasukkan. Bila seseorang
enggan menggunakan hak pilihnya apa dikarenakan dia memilih Golput atau sebab faktor lain,
itu tidak jadi soal.
Majalah Angkatan Bersenjata juga memuat tulisan terkait penolakan adanya Golput
pada Pemilu 1977. Ayip Bakar memulai dengan pertanyaan “Apakah nanti tidak akan ada Neo-
Golput dalam Pemilu 1977?” Golput tidak perlu ada, entah yang lama pada 1971, maupun yang
baru. Sikon dan kenyataan tidak mungkin ada tempat buat gerakan dan gagasan Golput. Kritik
dan evaluasi dapat disalurkan melalui forum dan modus yang legal institusionil (Angkatan
Bersenjata, 24 Mei 1976). Cara-cara bersuara seperti Golput dianggap bukan cara yang
konsitusional. Masyarakat Indonesia benar-benar dikontrol dan didominasi oleh negara.
Sebagaimana disebutkan oleh Robinson (1993) sumber kekuasaan politik dan kepemimpinan
politik berada dalam kekuasaan perangkat negara sendiri serta kekuasaan politik dan
wewenang birokratis dirangkap oleh pejabat negara. Setiap gerakan dan oposisi kritis dianggap
mengganggu stabilitas – kontra pembangunan. Politik hanya bisa disalurkan melalui cara-cara
formal. Orde Baru menekankan pada stabilitas politik dan pembangunan ekonomi. Hal itu
diperkuat dengan kebijakan massa mengambang (floating mass). Setiap pemilu, rezim Orba
mengkategorikan organisasi peserta pemilu (OPP) dengan bentuk parpol dan yang tetap
Golkar. Rezim Orde Baru menciptakan legitimasinya dari “developmentalisme”, yaitu ideologi
yang memprioritaskan pembangunan ekonomi – yang diukur sebagai pertumbuhan ekonomi –
dan stabilitas politik, meninggalkan kebebasan politik dan hak asasi manusia (Heryanto, 1988;
Mas’oed, 1989).
Universitas Indonesia
Pada Pemilu 1977, Golkar berhasil menjadi pemenang dengan suara sebesar 62,1%,
disusul PPP dengan suara 29,3%, serta PDI yang memperoleh suara 8,6% Dengan proporsi
suara tersebut, Golkar menguasai mayoritas kursi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Kemenangan tersebut juga semakin menguatkan kendali rezim atas Majelis Permusyaratan
Rakyat (MPR). Pemerintah memiliki kewenangan mengangkat beberapa anggota MPR.
Dengan begitu, kekuasaan Soeharto semakin mendominasi parlemen. Hal itu terbukti pada
tahun 1978, Soeharto kembali terpilih menjadi presiden ketiga kalinya oleh MPR. Kendali
kekuasaan secara penuh berada di tangan Soeharto, namun kekuatan Islam secara politik juga
tidak dianggap remeh olehnya (Ricklefs, 2008). Kekuatan Islam secara politik dapat dilihat
lewat artikulasi suara yang diperoleh PPP. Begitu dominannya kendali Soeharto membuat
pengawasan negara atas masyarakat berjalan dengan ekstensif. Campur tangan pemerintah ada
di hampir seluruh wilayah kehidupan sehari-hari (Uhlin, 1998).
Ketika Pemilu 1982 mulai muncul perpecahan antar elite. Perpecahan itu melahirkan
konflik-konflik politik di jajaran elite. Memasuki masa Pemilu 1982, Golput masih menjadi
‘hantu’ bagi penguasa. Sinar Harapan edisi 13 Juli 1981 mengabarkan Juru Bicara Departemen
Dalam Negeri, Feisal Tamin mengatakan ditemukan bukti otentik berupa dokumen yang
berisikan rencana dari kelompok atau gerakan yang memprovokasi dan mempropagandakan
untuk tidak memilih pada pemilu. Feisal Tamin menjelaskan bahwa warga negara yang tidak
mau menggunakan hak pilihnya dalam pemilu, memang tidak ada sanksinya. Tetapi sikap
seperti itu menunjukkan kesadaran sebagai warga negara yang baik sudah dapat dinilai
tingkatannya. Begitupula orang yang disebut “golongan putih” akan mengalami kerugian
sendiri. Sementara itu, anggota DPR fraksi PDI, Surjadi menyebutkan tolak ukur kesuksesan
pemilu tidak ditentukan oleh kuantitas pemilih, tetapi berdasarkan segi kualitas, apakah
pelaksanaan pemilu tersebut sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku atau tidak.
Surjadi menambahkan adanya golongan yang tidak akan menggunakan haknya (Golput)
sebenarnya sudah menentukan pilihannya. Baginya golongan seperti itu kesadaran politiknya
lebih tinggi dibanding mereka yang hanya ikut-ikutan (Sinar Harapan, 4 Mei 1981).
Ketua DPR/MPR, Daryatmo juga ikut berkomentar terkait Golput pada Pemilu 1982.
Daryatmo menegaskan warga negara yang tidak menggunakan hak pilihnya atau golongan
putih (Golput) pada saat pelaksanaan pemilu, jelas kesadaran bernegara dan kesadaran
politiknya tidak 100 persen. Daryatmo juga memandang “Golput” dengan tindakan menghasut
(Suara Karya, edisi 15 Juli 1981). Menteri Dalam Negeri Amir Machmud, dalam sambutannya
ketika penetapan daftar calon tetap Pemilu 1982 mengingatkan bahwa masyarakat yang
Universitas Indonesia
memiliki hak pilih untuk diyakinkan supaya tidak mendapatkan pengaruh dari seruan dan
ajakan tidak memilih pada pemilu. Ajakan atau seruan tidak memilih dapat dikategorikan
sebagai pidana dan menyesatkan rakyat. Ketua Umum PDI, Soenawar Soekawati dan Ketua
Umum PPP John Naro juga menyuarakan kritikan terhadap Golput. Sementara itu, Majelis
Ta’lim Darul Ulum berpendapat hukum Golput adalah haram. Salah satu faktor datwa tersebut
adalah dapat memberikan keuntungan terhadap sisa-sisa kekuatan PKI yang kembali menyusun
kekuatan (Merdeka, 13 Maret 1982).
Banyak tokoh ikut mengomentari soal boleh tidaknya golput (tidak memilih). Ridwan
Saidi, anggota DPR dari fraksi PP berpendapat “selama ini pemerintah menekankan bahwa
pemilu bukanlah pemilihan agama. Tapi kini dikatakan golput itu tidak beriman. Ini kan sudah
merupakan pandangan agamis”. Arief Budiman, tokoh penggagas Golongan Putih pada 1971
turut berkomentar dengan tegas bahwa “orang yang mengatakan bahwa golput itu dosa dan
tidak beriman berarti sudah melanggar UUD 1945”. Menurutnya dalam konstitusi UUD 1945
hak memilih dimaknai sebagai boleh memilih atau sebaliknya. Hak tersebut dikembalikan
kepada masing-masing individu. Memilih atau tidak memilih tergantung individu tersebut.
Selamat Ginting, Ketua Umum Gerakan Rakyat Marhaen (GRM) mengatakan “berdasarkan
Pancasila orang masih boleh untuk bersikap tidak setuju”. Lebih lanjut ia menyampaikan
“pokoknya selama perangkat UU Pemilu yang ada masih bertentangan dengan UUD 1945,
kami tetap tidak mau menggunakan hak pilih kami. Toh kami tidak mengacau”. Sementara itu,
pendapat berbeda disampaikan oleh Abdurrahman Wahid, pimpinan Pondok Pesantren
Ciganjur. Menurutnya menghukumi orang berdosa atau tidak ketika memilih golput tidak
segampang itu. Di sisi lain, ada juga yang membela pemerintah terkait larangan golput. Harry
Tjan Silalahi, anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA) dan Wakil Ketua Dewan Direktur
Pusat Pengkajian Centre for Strategic and Internation Studies (CSIS) menuturkan “yang
dilakukan pemerintah hanya reaksi terhadap pernyataan beberapa tokoh politik yang
menganjurkan golput… kalau pemerintah mewajibkan rakyat dan mendorong mereka
menggunakan haknya harus dilihat dari iktikad baiknya: ini merupakan pendidikan politik dari
pemerintah” (Merdeka, 13 Maret 1982).
Kekhawatiran pemerintah terhadap Golput muncul karena adanya beberapa kelompok
yang menyatakan secara terbuka untuk golput (tidak memilih) pada Pemilu 1982 antara lain
kelompok Petisi 50, Gerakan Rakyat Marhaen dan eksponen mahasiswa. Pada 17 Januari 1982,
terdapat protes yang disampaikan oleh Kelompok Kerja Petisi 50. Petisi 50 menolak ikut serta
dalam Pemilu 1982. Alasan penolakan tersebut, seperti yang disampaikan oleh Kepala Bakin,
Universitas Indonesia
Yoga Soegomo, bahwasanya aturan hukum Pemilu 1982 tidak sesuai dengan konstitusi UUD
1945 dan Pancasila. Bila melihat pada penyelenggaraan Pemilu 1971 dan 1977, pemerintah
tidak bersikap adil dan memiliki keberpihakan yang kemudian kekuasaan disalahgunakan.
Abdul Madjid, Usep Ranwidjaja dan Ny. D. Walandouw, mantan politisi PDI yang tersingkir
oleh Soenawar Soekawati dkk juga menyatakan sikapnya pada Agustus 1981. Mereka
menyatakan pelaksanaan pemilu mesti menjunjung sikap bebas, aman dan tenteram. Selain itu,
wakil rakyat mesti menjunjung asas kedaulatan rakyat. Imam Waluyo, eksponen Golput 1971
juga menyatakan sikapnya untuk tidak memilih. Penggunaan hak pilih dianggapnya tidak
berguna (Merdeka, 13 Maret 1982).
Sukmadi Indro Cahyono, aktivis mahasiswa Bandung pada 1977/1978, mengemukakan
bahwa 23 Dewan Mahasiswa/Senat Mahasiswa se-Bandung, telah mengambil sikap yang
disuarakan ke DPR. Tuntutan yang disuarakan diantaranya penolakan calon tunggal presiden
dalam sidang MPR hasil Pemilu 1982. Serta ketidaksepakatan atas pengangkatan sebagian
anggota DPR/MPR oleh presiden. Sementara itu di Jawa Timur muali muncul suara golput dari
beberapa tokoh NU. “Sekarang ini ada kampanye beberapa tokoh NU, termasuk kiai utamanya,
untuk membuang suara untuk DPR Pusat”, ujar seorang sumber Tempo (Merdeka, 13 Maret
1982). Tempo, edisi 13 Maret 1982 menuliskan pendapat dari Harun Al Rasid, akademisi FH
UI. Menurutnya sikap abstains atau tidak memilih dalam pemilu merupakan tindakan yang
tidak melanggar hukum. Aturan pemilu juga tidak menuliskan kewajiban warga negara untuk
memilih. Indonesia sendiri berasaskan voluntary voting, yang dimaknai hak pilih dilakukan
secara sukarela. Berbeda dengan asas yang dipilih Australia yaitu compulsory voting, pemilih
diharuskan menggunakan hak pilihnya. Syaefudin S. menuliskan pandangannya mengenai
golput yang diterbitkan di surat kabar Merdeka, edisi 13 Oktober 1981. Syaefudin S.
berpandangan tak ada salahnya tidak menggunakan hak pilih (golput). Itu berangkat dari
kemauan mereka sendiri. Dalam UU Pemilu juga tidak ada larangan untuk tidak mencoblos
satu kontestan pun.
Bagi kalangan anti golput, golput dipandang sebagai sikap apatis dan frustasi. Suara
Karya, edisi 16 Juli 1981 menerbitkan tulisan berjudul Tentang Apa Yang Menamakan Diri
Golput. Tulisan tersebut melihat pilihan Golput sebagai seruan dari kelompok orang-orang
yang menolak pelaksanaan demokrasi di Indonesia dan sebagai sikap acuh. Sikap acuh dan
memilih melawan dinamika proses yang ada akan mendatangkan kerugian bagi mereka.
Pendapat lainnya dituliskan oleh Kristiawan berjudul Dalam Pembinaan Hidup Berdemokrasi
Golput Bukan Alternatif Yang Positif, menggambarkan pilihan golput lebih dimotivasi oleh
Universitas Indonesia
sikap frustasi atas cita-cita politik tertentu. Golput memiliki cukup itikad positif, dengan
memberi koreksi atas jalannya penyelenggaraan pemilihan. Tetapi protes tersebut jika ditolerir
dan pada akhirnya didukung oleh masyarakat luas, justru dapat merusak bangunan demokrasi
(Suara Karya, 6 Agustus 1981).
Pada kampanye Pemilu 1982 terjadi kekerasan dengan skala besar. Surat kabar seperi
harian Islam, Pelita, dan mingguan berita Tempo dilarang menerbitkan laporan berkaitan
dengan kekerasan tersebut. Golkar meraih suara terbanyak dengan persentase 64,3%, disusul
oleh PPP dengan suara 27,8% dan PDIP mengalami penurunan menjadi 7,9% (Ricklefs, 2008).
Ketegangan-ketegangan tersebut juga berlanjut pada Pemilu 1987.
“Hantu” Golput masih menjadi perbincangan menuju Pemilu 1987. Rakor Polkam
(Politik Keamanan) yang dipimpin Menkopolkam Surono yang dihadiri Menteri Dalam Negeri
Soepardjo Roestam, Pangab/Pangkopkamtib L.B. Moerdani, Menpen Harmoko, Menteri
Kehakiman Ismail Saleh, Jaksa Agung Hari Suharto, Menpora Abdul Gafur, Kabakin Yoga
Sugama dan Mensekab Moerdiono membahas situasi politik dan keamana dalam negeri. Rapat
menyimpulkan Golput pada Pemilu 1987 tidak akan ada, mengingat kesadaran politik rakyat
semakin meningkat (Pelita, 29 Januari 1987). Seruan untuk tidak golput disampaikan oleh
Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah K.H. AR. Fahrudin, disela-sela peresmian
selesainya tahapan pembangunan lantai 1 gedung SMA Muhammadiyah di Kodya Magelang.
Ketua PP Muhammadiyah mendorong warga Muhammadiyah turut mensukseskan agenda
Pemilu 1987 dan tidak ada alasan apapun untuk menjadi golongan putih (Golput) (Antara, 5
Februari 1987). Surat kabar Antara, edisi 9 Maret 1987 menilai Pemilu 1987 bisa dikatakan
sukses bila jumlah pemilih yang memberikan suara di TPS-TPS (Tempat Pemungutan Suara)
lebih besar dari pemilu sebelumnya atau mendekati/sama dengan jumlah pemilih terdaftar yaitu
tidak ada Golput atau salah teknis yang mengakibatkan tidak sahnya surat suara.
Kritik tajam disampaikan oleh Gubernur Jawa Tengah, Ismail selaku Ketua Panitia
Pemilihan Daerah Tingkat I Jateng memberitahukan bahwa Pemilu 1987 mendatang harus
dihindarkan dari adanya “wereng golput” (Suara Karya, 21 Maret 1987). Menurutnya Golput
merupakan perbuatan “orang-orang licik”, yang tidak taat konstitusi. Ismail mengajak semua
warga Jawa Tengah yang memiliki hak pilih agar menggunakan hak pilihnya dan menghindari
“manusia golput” yang tidak mencerminkan kepribadian bangsa Indonesia (Antara, 20 Maret
1987). Tajuk Rencana Berita Buana (31 Januari 1987) menuliskan kesadaran diantara dua
pilihan antara menggunakan hak dan tidak menggunakan hak adalah jauh lebih mulia dan luhur
menggunakan hak. Karena memilih dalam pemilu merupakan kewajiban moral yang harus
Universitas Indonesia
dimiliki setiap warga negara. Harian Merdeka, edisi 2 April 1987 menurunkan laporan berjudul
Masyarakat Kurang Minati Kampanye. Dalam laporan tersebut Arbi Sanit, staf pengajar FISIP
UI berpendapat lemahnya kesadaran politik masyarakat untuk jangka panjang dapat
menumbuhkan sikap apatis dan masa bodoh dari masyarakat. Harmaily Ibrahim, staf pengajar
FH UI menambahkan gejala tersebut perlu mendapatkan perhatian yang serius dari semua
pihak, antara lain juga bisa dengan melakukan penelitian yang mendalam. Baik Arbi maupun
Harmaily meyakini faktor penerapan Azas Tunggal turun berpengaruh terhadap sepinya
antusiasme warga. Ridwan Saidi menegaskan, pertikaian berkepanjangan dalam tubuh Parpol
serta keyakinan masyarakat akan kemenangan salah satu OPP menjadi penyebab kurang
menariknya kampanye.
Wakil Gubernur Sumatera Selatan, Masjurdin Arma mengucapkan sikap “Golput” itu
berarti pilihan untuk menentang arus dinamika masyarakat. Masyarakat menghendaki agar
aspirasi-aspirasi disalurkan, jika ada yang apatis atau dengan sengaja menghambat jalannya
pemilu maka sesungguhnya tindakan itu merupakan tindakan diluar keinginan masyarakat.
Wagub Sumatera Selatan juga menekankan Korpri di Sumsel jangan sampai Golput (Antara,
2 April 1987). Menteri Perumahan Rakyat, Cosmas Batubara mengemukakan pendirian golput
tidak dapat diterima, karena melihat masalah secara hitam putih, padahal pembangunan politik
masih dalam proses panjang agar bisa berfungsi dengan baik (Kompas, 14 April 1987). Muctar
E. Harahap dalam Pelita, edisi 2 Agustus 1986 menguraikan kondisi sosial ekonomi yang akan
turut mempengaruhi “Golput” pada Pemilu 1987. Menurutnya “propaganda” kemenangan
Golkar menurun dan akan berdampak pada Pemilu. Jaringan sosial primordial para pejabat dan
pengusaha merupakan mesin utama pemasok logistik. Koneksi tersebut tengah mengalami
penurunan hasil pembangunan diakibatkan krisis ekonomi, salah satunya berkat harga minyak
yang anjlok. Prediksi meningkatnya angka golput juga berkaitan munculnya mayoritas pemilih
muda, yang pada 1970-an tidak punya sejarah dengan hasil-hasil pembangunan semacam itu.
Ayib Bakar menulis artikel berjudul Mengapa Masih Ada Golput, yang diterbitkan
Pelita, edisi 4 Juni 1987. Ayib menuturkan golput muncul karena adanya ketidakadilan.
Beberapa masalah yang penting dalam Pemerintahan Orde Baru juga mengalami kemandekan
dalam penyelesaian seperti suksesi kepemimpinan nasional dan pembangunan ekonomi yang
mensyaratkan stabilitas nasioanl. Selain itu, radikalisasi gerakan-gerakan sosial politik muncul
dengan masif di berbagai daerah. Pembangunan yang menghasilkan ketimpangan, kebebasan
dikebiri dan tindakan-tindakan represif yang menjadi senjata negara untuk melanggengkan
Universitas Indonesia
status quo, mulai mendapatkan perlawanan. Pada Pemilu 1987, seperti yang diprekdisikan,
Golkar kembali meraih kemenangan.
Golkar mendapatkan kenaikan suara dibanding pemilu sebelumnya. Suara yang
diperoleh Golkar sebesar 73,2%. Suara terbanyak kedua diraih oleh PPP dengan 16%. PDI
sendiri mengalami peningkatan suara bila dibandingkan Pemilu 1982. PDI mendapatkan
perolehan suara sebesar 10,9%. Jadi, 11,9% suara telah berpaling dari PPP dengan persebaran
8,9% beralih ke Golkar dan sisanya memilih PDI. PPP mengalami penurunan suara
dikarenakan beralihnya suara NU. NU sendiri telah memutuskan untuk mengakhiri peranannya
dalam politik. Kembali ke Khittah 1926. Hal itu diputuskan pada Kongres NU, yang
diselenggarakan di Situbondo pada Desember 1984. Dengan kembali ke Khittah 1926, status
ini memungkinkan untuk NU memanfaatkan status nonpolitiknya untuk menjalin relasi yang
kooperatif dengan pemerintahan. Abdurrahman Wahid – akrab disapa Gus Dur, yang baru
terpilih sebagai Ketua Umum PBNU, membawa semangat baru bagi organisasi NU. Mulai
dibangun aliansi akar rumput antara kiai NU dan birokrasi. Gus Dur sendiri sempat menghadiri
kampanye Golkar (Ricklefs, 2008).
Pemilu 1992-1997 menjadi penegasan gerakan sosial untuk mendelegitimasi penguasa.
Isu-isu seputar demokratisasi politik dan ekonomi menjadi perbincangan serius. Situasi
tersebut mengakibatkan dukungan publik terhadap golput semakin menguat – dan
memandangnya sebagai jalan alternatif. Sikap golput juga semakin meluas ke semua elemen
masyarakat baik kelompok terpelajar, rakyat miskin kota yang mengalami kebijakan pro
pembangunan namun meninggalkan wong cilik. Penggusuran dan PHK kerap terjadi, ditambah
oleh represifitas rezim dalam menangani protes publik. Titik jenuh terhadap kekuasaan Orde
Baru itulah yang menyulut api perlawanan dari berbagai kelompok civil society14 dengan
tuntutan utamanya menurunkan Soeharto.
Memasuki tahun 1990-an, gejolak ekonomi dan perubahan sosial terjadi di banyak
negara Asia. Kondisi tersebut menuntut lahirnya reformasi politik dimana-mana. Hal itu mulai
menyadarkan Soeharto dan para elit di Indonesia. Korea Selatan, Taiwan, Filipina, dan di
banyak negara, sedang mengalami gelombang demokratisasi. Ferdinand Marcos, diktator
14
Civil society adalah wilayah kehidupan sosial yang terorganisasi dan bercirikan: kesukarelaan (voluntary),
keswasembadaan (self-generating), dan keswadayaan (self-supporting), kemandirian tinggi berhadapan dengan
negara, dan keterikatan dengan norma-norma atau nilai-nilai hukum yang diikuti oleh warganya. Sebagai ruang
politik, civil society menjadi wilayah yang menjaminnya perilaku, tindakan dan refleksi mandiri, tidak
terkungkung oleh kondisi kehidupan material, dan tidak terserap di dalam jaringan-jaringan kelembagaan politik
resmi. Kedua wilayah tadi memerlukan ruang publik yang bebas (the free public sphere) agar transaksi
komunikasi yang bebas bisa dilakukan oleh warga negara. Lihat Hikam (1996: 3).
Universitas Indonesia
Filipina, ditumbangkan oleh revolusi ‘people power’ pada bulan Februari 1986. Peristiwa
tersebut cukup membuat Soeharto gelisah. Indonesia dan Filipina memiliki banyak kesamaan
serta hubungan diantaranya adalah keduanya merupakan rezim yang korup dan menindas.
Dalam tubuh ABRI, mereka semakin meneguhkan doktrin yang dipenuhi dengan konsep
kewaspadaan. Perlunya kewaspadaan untuk menciptakan stabilitas dan pembangunan
(Ricklefs, 2008). Kewaspadaan menjadi semangat status quo Orde Baru untuk membungkam
suara kritis.
Suara anti golput terus didengungkan oleh penguasa Orde Baru setiap menjelang
Pemilu. Menjelang Pemilu 1992, wacana menyoal golput kembali muncul ke permukaan.
Menteri Dalam Negeri, Rudini mendefinisikan tindakan golput dalam pemilu adalah cara yang
tidak bertanggung jawab. Selaku warga negara yang memiliki hak pilih, diharuskan
menggunakan haknya dalam pemilu. Rudini juga secara eksplisit menyebutkan pelaku golput
itu merupakan segelintir orang kota (Pelita, 13 Mei 1990). Rudini menganggap secara
kuantitatif jumlah Golput (yang sengaja tidak menggunakan hak pilihnya dalam pemilu) sangat
kecil dan hanya terdapat di kota-kota besar. Sehingga Golput tidak menjadi masalah dalam
Pemilu 1992 (Jakarta-Jakarta, 19-25 Mei 1990). Sedang menurut Pangab Jenderal TNI, Try
Sutrisno golput itu bukan budaya politik Indonesia. Hal itu dipertegas dengan statement Dirjen
Sospol, Hari Sugiman bahwa golput tidak diatur dalam Undang-undang. Dari kalangan
pemuda, Didiet Haryadi selaku Ketua Umum KNPI berkeyakinan Golput teramat kecil secara
kuantitatif dan tidak menjadi ancaman terhadap kesuksesan pemilu (Jakarta-Jakarta, 19-25
Mei 1990).
Fenomena golput juga turut dibicarakan oleh ketua umum parpol. Soerjadi sebagai
Ketua Umum PDI melihat golput terdapat dua jenis bila melihat motivasinya. Golput jenis
pertama disebabkan oleh faktor-faktor teknis dan administratif yang mendorong seorang untuk
tidak memilih. Golput bentuk kedua disebut golput sejati, karena memiliki sikap protes
terhadap permasalahan yang ada. Ketua Umum DPP PPP turut mengomentari soal golput.
Golput dalam pandangannya merupakan ancaman atau kerugian (Jakarta-Jakarta, 19-25 Mei
1990). Pemerintah sendiri juga menyiapkan langkah-langkah untuk menangkal Golput.
Penyelenggara pemilu didorong menjaring hampir semua warga negara yang terdaftar. TPS-
TPS disebar di berbagai tempat seperti rumah sakit, lembaga pemasyarakatan, pelabuhan,
hingga bandara. Langkah lainnya dengan memberikan penataran kepada aparat penyelenggara
pemilu. Serta peraturan teknis yang memberikan peran lebih besar dibanding peran perideral
OPP seperti pemilu-pemilu sebelumnya. Pandangan kubu PDI dan PPP soal golput hampir
Universitas Indonesia
sama. Mereka lebih berfokus dengan konsolidasi internal dari pada disibukkan soal golput
(Jakarta-Jakarta, 19-25 Mei 1990).
Slamet Effendi Yusuf, pimpinan Gerakan Pemuda (GP) Ansor menuturkan tidak ada
Golongan Putih dalam GP Ansor pada Pemilu 1992. Ketua GP Ansor tersebut sependapat
dengan Presiden Soeharto yang berpesan, agar segenap rakyat Indonesia menggunakan hak
pilihnya dalam pemilu (Antara, 9 Juni 1990). Pada edisi 24 November 1990, Tempo merilis
penelitian yang dilakukan Lembaga Penelitian FISIP Unair dan majalah mahasiswa Ganesha.
Penelitian tersebut berfokus pada pemilih pemula, yakni keikutsertaan dalam Pemilu 1992 baru
pertama kali, potensi pemilih Golput akan lebih besar. Sebanyak 20,37% menyatakan memilih
Golput. Responden yang memilih Golkar sebesar 33,33%, PPP dipilih sebesar 11,11%, serta
11,11% memilih PDI. Berdasarkan latar belakang responden, sebagian besar adalah anak PNS
(37,14%) dan anak dari kalangan militer (16,43%). Dua entitas tersebut bagian dari jaringan
ABG (ABRI-Birokrat-Golkar) – penyokong utama Rezim Orde Baru. Temuan penting lainnya
adalah sebanyak 92,86% responden menginginkan calon presiden sebaiknya tidak tunggal.
Penelitian itu dilakukan dengan responden 280 pemuda di Kota Surabaya. Penelitian lainnya
dilakukan di Bandung oleh lembaga pers mahasiswa Ganesha. Ketika ditanya “organisasi
politik yang anda pilih dalam Pemilu 1992?” terdapat 19% atau sejumlah 70 responden (dari
400 kuesioner), mengatakan tidak akan menggunakan hak pilihnya. Dengan kata lain Golput.
Presiden Soeharto juga menghimbau warga negara yang memiliki hak pilih dalam
pemilihan umum untuk menggunakan haknya tersebut dalam Pemilu 1992, sehingga tidak
menjadi Golput (Kompas, 12 Desember 1990). Menurut catatan Kompas, edisi 12 Desember
1990 dengan berdasarkan data Lembaga Pemilihan Umum (LPU), jumlah suara yang tidak sah
dan yang tidak menggunakan haknya setiap kali pemilu cenderung mengalami peningkatan,
dari pemilu ke pemilu. Data Lembaga Pemilihan Umum (LPU) memperlihatkan dalam Pemilu
1971 suara yang tidak sah 2.878.920 orang, dan yang tidak menggunakan hak pilihnya
1.979.747 orang atau sebanyak 8,3% (4.858.667 suara) dari seluruh DPT sebanyak 58.558.776
jiwa. Pemilu 1977 terdapat suara tidak sah sebesar 4.949.880 dan yang tidak menggunakan hak
pilihnya sebanyak 2.430.526 orang. Secara keseluruhan sebesar 10,44% (7.380.406 suara) dari
pemilih yang berjumlah 70.670.153 jiwa. Sedangkan Pemilu 1982 suara yang tidak sah
berjumlah 3.040.445, dan yang tidak menggunakan hak pilih adalah 4.005.728 orang, atau
totalnya sevesar 8,59% (7.046.173) dari total jumlah pemilih 82.002.545 jiwa. Pemilu 1987
tercatat ada suara yang tidak sah dan yang tidak menggunakan hak pilihnya sebesar 8.155.843
dari jumlah pemilih sebanyak 93.965.953 jiwa.
Universitas Indonesia
Tabel 4.1
Golput dari Pemilu ke Pemilu
Golput Dari Pemilu ke Pemilu
Tahun Jumlah Tidak Sah Tidak Memilih Golput
1971 58.558.766 2.878.920 (4,92%) 1.979.747 (3,38%) 4.858.667 (8,30%)
1977 70.670.153 4.949.880 (7,00%) 2.430.526 (3,44%) 7.380.406 (10,44%)
1982 82.002.545 3.040.445 (3,71%) 4.005.728 (4,88%) 7.046.173 (8,59%)
1987 93.965.953 4.533.177 (4,83%) 3.622.560 (3,85%) 8.155.843 (8,68%)
Sumber: Arbi Sanit, Golput: Aneka Pandangan Fenomena Politik
Golput sendiri secara kuantitas juga kecil. Kehadiran golput tidak berpengaruh apa pun
terhadap tatanan politik yang ada. Sehingga himbauan agar para pemuda menggunakan hak
pilihnya sebenarnya juga tidak diperlukan (Berita Buana, 28 Februari 1990). Anggota DPR RI,
Mardinsyah mengungkapkan pandangannya kepada Antara (12 Desember 1990). Menurutnya
perbaikan kondisi politik dan peningkatan pendidikan politik rakyat dapat mengurangi jumlah
“golongan putih/golput” pada Pemilu 1992. Di sisi lain, Mardinsyah juga tidak membantah
bahwa tindakan masyarakat “golput” itu adalah sikap protes terhadap suatu tindakan yang
dinilai bertentangan dengan hati nuraninya dan ketidakpercayaan kepada kontestan pemilu
dalam mengawal aspirasi politik mereka. Bagi Sabam Sirait, anggota DPA (Dewan
Pertimbangan Agung) memperkirakan adanya hubungan antara golput dalam pemilu dan
ketidakpuasan masyarakat terhadap sistem politik yang ada. Namun, Rudini, yang menjabat
Menteri Dalam Negeri menyampaikan kegelisahannya soal Golput. Menurutnya, sistem politik
di Indonesia ditetapkan melalui proses konstitusional. Bila dikehendaki perubahan, harus
dilakukan dengan cara-cara konstitusional, bukan dengan cara menjadi golput (Pelita, 15
Desember 1990). Menko Polkam, Sudomo memperingatkan masyarakat yang tidak
menggunakan hak pilihnya atau golput adalah masyarakat yang tidak bertanggung jawab.
Sudomo menambahkan hak memilih merupakan hak politik yang harus digunakan sebagai
kewajiban berpartisipasi dalam pembangunan, yang menyangkut masa depan bangsa (Media
Indonesia, 14 Desember 1990).
Himbauan untuk tidak golput juga disampaikan oleh Menteri Pemuda dan Olahraga
(Menpora), Akbar Tanjung. Akbar Tanjung mengemukakan pemerintah memiliki kewajiban
untuk meyakinkan masyarakat terpelajar, khususnya para mahasiswa agar menggunakan hak
pilihnya dalam Pemilu 1992 (Merdeka, 27 Desember 1990). Dari kalangan muda ada Ketua
Umum DPP KNPI, Tjahjo Kumolo yang menolak pilihan golput. Menurutnya golput dan pihak
Universitas Indonesia
yang merekayasa lahirnya Golput disebut pengkhianat bangsa (Suara Karya, 14 Desember
1990). Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI) juga ikut berkomentar tentang
golput. PB HMI menilai terjadinya kecenderungan di kalangan mahasiswa untuk menjadi
golput dengan tidak menyalurkan aspirasi politiknya dalam pemilu. Hal itu merupakan kondisi
yang wajar. Keadaan tersebut merupakan refleksi dari realitas politik di Indonesia saat ini, yang
masih ditandai dengan lemahnya iinfrastruktur politik yang ada. Catatan kritis lainnya juga
menyoroti aspek-aspek pembangunan politik, ekonomi, sosial dan budaya, serta pelaksanaan
hak-hak asasi manusia yang berlangsung dalam kurun waktu 1990 (Media Indonesia, 29
Desember 1990). Ketua Umum Pemuda Pancasila, Yapto SS melihat golput tidak hanya dari
kalangan mahasiswa saja. Yapto juga mendorong agar KNPI ikut berperan aktif meminimalkan
angka golput. KNPI didorong untuk membuat petunjuk pelaksana yang ditujukan pada
organisasi kemasyarakatan pemuda tentang bagaimana caranya pemuda berperan serta dalam
Pemilu mendatang (Pelita, 31 Desember 1990). Untuk menghilangkan adanya golput perlu
dikembangkan peningkatan semangat kerja sama dan keterbukaan terhadap aspirasi demokrasi.
Kecurigaan atas aspirasi demokrasi yang selama ini dirasakan, sebaiknya dikikis habis. Selain
itu, apa makna dari tiadanya golput, sementara pemilu itu tidak lebih dari suatu pekerjaan rutin
semata-mata (Merdeka, 14 Desember 1990).
Saat berkesempatan memberikan arahan pada sidang Majelis Permusyawaratan
Organisasi Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong (MPO MKGR), Mendagri Rudini
menyebutkan dalam tatanan kehidupan politik Indonesia tidak dikenal istilah Golput. Ajakan
kepada masyarakat untuk golput menandakan tidak memiliki kedewasaan politik. Rudini juga
menggambarkan seorang yang golput berarti tidak mensyukuri hasil pembangunan yang telah
dinikmati. Ditekankan juga agar dalam Pemilu 1992 seluruh masyarakat menggunakan hak
pilihnya dengan cara mencoblos tanda gambar salah satu Organisasi Peserta Pemilu (OPP)
(Pelita, 2 Januari 1991). Himbauan untuk tidak golput disampaikan oleh Ketua GP Ansor
Jateng, M. Nasir Rohmat kepada semua anggota di wilayahnya. Ketua GP Ansor Jateng
beralasan sikap golput bertentangan dengan khittah organisasi NU (Suara Merdeka, 12 Januari
1991). Akademisi turut bersuara soal golput. Menurut Deliar Noer, perlu diperhatikan oleh
pembuat kebijakan dan pengamat politik mengenai persoalan golput. Sejak Pemilu 1971,
golput muncul sebagai masalah. Golput menandakan adanya orang-orang yang tidak
tertampung aspirasinya dalam sistem pemilu yang selama ini diterapkan. Namun golput (tidak
memilih) ada yang dikategorikan sebagai apolitik. Dipandang dari segi partisipasi politik
golput juga tidak perlu dirisaukan karena hak setiap orang untuk menggunakan atau tidak
Universitas Indonesia
menggunakan hak politiknya (Pelita, 16 Januari 1991). Adig Suwandi menganalisis bisa saja
peningkatan golput ini karena banyak dikecewakan oleh perilaku orsospol yang ada, yang
dinilai hanya mengobral janji ketika kampanye. Ketika sudah terpilih para pemilihnya kurang
diperhatikan serta terjadinya penggusuran secara terus menerus terhadap masyarakat golongan
tertentu (terutama golongan lemah), yang diabaikan aspirasinya oleh lembaga perwakilan yang
ada (Suara Pembaruan, 14 Januari 1991).
Rois Syuriah PBNU, KH Sahal Mahfudz mengingatkan agar pesta demokrasi 1992
mendatang berlangsung aman, tertib, damai dan sesuai dengan tujuan dilaksanakannya pemilu,
maka warga NU didorong untuk tidak golput (Kompas, 22 Januari 1991). Bagi Burhan Djabier
Magenda, pengamat politik dari FISIP UI, dalam wawancaranya dengan Jawa Pos, edisi 13
Februari 1991, mengutarakan bahwa yang memilih sikap golput sebenarnya menunjukkan
adanya kesadaran politik. Selain itu, pilihan golput perlu dihindari, karena setiap warga negara
yang sudah memenuhi syarat untuk mengikuti pemilu harus menggunakan haknya dengan
sebaik mungkin. Keputusan seseorang untuk golput (tidak memilih), memiliki nilai yang
sepadan dengan keputusan seseorang yang ikut memilih pada salah satu kontestan pemilu.
Tetapi apabila keputusan tidak memilih atau menjadi golput dipergunakan sebagai alat untuk
melakukan perlawanan terhadap sistem politik yang ada, maka hal tersebut dapat dikatakan
tidak wajar lagi (Kompas, 7 Februari 1991).
Tempo edisi 16 Februari 1991 mengangkat tulisan berjudul Putihnya Putih. Dalam
catatan Tempo tersebut beberapa narasumber menyampaikan argumentasinya mengenai
golput. Amir Santoso, akademisi FISIP UI berpendapat bahwa penyelenggaraan empat pemilu
sebelumnya (1971-1987), belum dijalankan secara jurdil (jujur dan adil) dan luber (langsung,
umum, bebas, rahasia). Pemilu selanjutnya diharapkan parpol dapat mengidentifikasi aspirasi
publik. Arbi Sanit, pengamat politik UI membicarakan fenomena kemunculan golput mesti
dikaitkan dengan akar sejarahnya, yakni ketika menjelang dilaksanakannya Pemilu 1971.
Ketika itu pemilu dijalankan dibawah pelaksana tunggal Departemen Dalam Negeri. Partisipan
pemilu tidak dibolehkan mengawasi kotak suara. Bagi Arief Budiman, Golput lahir
dikarenakan pemerintah terlalu ikut campur terhadap internal partai politik. Konsistensi Arief
Budiman untuk golput juga berkaitan adanya aturan bahwa PNS diharuskan ikut Golkar.
Sementara itu, Wakil Ketua MPR Soeprapto memprekdisikan angka golput akan turun.
Menurutnya banyak masyarakat mengadukan aspirasinya ke DPR. Hal itu mengindikasikan
adanya partisipasi politik masyarakat dengan pemahaman akan haknya. Golput dapat disebut
sebagai proses simbolik dari ketidakpatuhan rakyat (civil disobidience). Dalam negara yang
Universitas Indonesia
menganut asas kekeluargaan, ketidakpatuhan semacam itu dianggap sebagai suatu kekurangan
dan merugikan pemerintah yang berkuasa (Jawa Pos, 10 Februari 1991).
Presiden Soeharto dalam pertemuannya dengan para gubernur, meminta kesadaran
politik rakyat ditingkatkan di daerah masing-masing, terutama dalam Pemilu 1992. Dengan
begitu, munculnya kembali Golput dapat dihindarkan (Berita Buana, 1 Maret 1991).
Menhankam LB Moerdani memberi peringatan bagi yang tidak mau menggunakan hak
pilihnya sama halnya dengan mengucapkan selamat jalan kepada sejarah perjalanan bangsa
(Media Indonesia, 1 Maret 1991). Editor, edisi 13 April 1991 juga mengupas perihal Golput.
Dalam dua jajak pendapat yang dilakukan Editor tahun 1990, mendapatkan aspirasi menarik
dan konsisten dari kaum muda perkotaan yaitu keinginan akan lahirnya partai politik baru.
Jajak pendapat pertama, pertengahan Agustus 1990. Dari 71 responden dari kelas menengah
(berpenghasilan minimal diatas satu juta rupiah dan lulusan S1) menjawab 26,76%
berkeinginan agar ada ruang parpol baru. Ketika dilakukan jajak pendapat kedua, dengan
responden lebih beragam didapat 25,9% yaitu 131 responden (eksekutif, anggota DPR,
kalangan muda) menginginkan adanya lebih dari tiga partai. Kecenderungan untuk menjadi
Golput di kalangan pemilih muda dikarenakan persepsi mereka bahwa aktivitas yang mereka
lakukan tidak akan membawa perubahan apa-apa.
Surat kabar Editor, edisi 13 April 1991 memuat tulisan Riswandha Imawan yang
berjudul It’s Better Than Nothing. Menurutnya ada dua cluster yang rawan Golput. Pertama
adalah kawasan industri. Di kawasan ini, terdapat konsentrasi besar, anak muda yang berusaha
memperjuangkan masa depannya. Mereka dapat saja memiliki idealisme namun seperti temuan
Hirschman, mereka dihadapkan dengan motif ekonomis, idealisme dapat luluh dengan
sendirinya. Kawasan kedua yaitu pemukiman. Di kawasan tersebut terdapat konsentrasi anak
muda berjumlah besar. Temuan menunjukkan bahwa pemukiman penduduk (seperti perumnas)
adalah alternatif yang paling murah untuk ditempati. Di kawasan ini, solidaritas senasib-
sepenanggungan bisa demikian erat. Editor, edisi 13 April 1991 juga menampilkan pernyataan
beberapa tokoh baik pro dan kontra soal golput. Dari kubu kontra ada Jenderal Try Sutrisno,
Panglima ABRI; Sudomo, Menkopolkam; Moerdiono, Menteri Sekretaris Negara; Soeryadi,
Ketua Umum DPP PDI; Ismail Hasan Metareum, Ketua Umum DPP PPP. Sementara mereka
yang pro terhadap Golput ada Abdul Madjid, Mantan Pimpinan PDI; Amir Santoso, akademisi;
Anwar Haryono, anggota Petisi 50; Ali Sadikin, anggota Petisi 50, Mantan Gubernur DKI.
Musyawarah Wilayah ke-7 Muhammadiyah Sumatera Utra mengajak seluruh keluarga
besar Muhammadiyah Sumatera Utara untuk tidak menjadi golput (tidak memilih) pada pemilu
Universitas Indonesia
mendatang. Kesadaran politik perlu ditanamkan bagi anggota Muhammadiyah dengan cara
menggunakan hak pilihnya dengan sebaik-baiknya dalam pemilu (Pelita, 17 Mei 1991). PMII
(Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia) DKI Jakarta menyelenggarakan dialog “Mahasiswa,
Golput dan Pemilu 1992” dengan mengundang Arbi Sanit, akademisi FISIP UI dan
Mohammad Fajrul Falaakh, staf pengajar UGM dan IAIN Yogyakarta sepakat pilihan menjadi
golput saat ini didominasi kalangan mahasiswa dan masyarakat kelas menengah yang telah
memiliki kesadaran politik (Suara Karya, 31 Juli 1991). Tulisan Amir Santoso dalam Prisma,
edisi April 1991 menegaskan kemunculan golput disebabkan oleh ketidakpuasan beberapa
pihak terhadap situasi yang ada sekarang, baik dari segi sosial, politik maupun ekonomi.
Mereka memilih Golput melihat adanya kesenjangan antara apa yang dipidatokan pemerintah
dan elit politik dengan apa yang dijalankan. Kesenjangan sosial antara yang kaya dan miskin,
absennya kebebasan berpendapat dan sebagainya menimbulkan pilihan golput. Sementara itu,
Soerjadi Ketum DPP PDI melalui tulisannya yang diterbitkan Prisma, edisi April 1991
mencoba memaknai suara golput untuk dijadikan pandangan koreksi kritis dalam membangun
sistem secara keseluruhan. Sehingga, tidak perlu risau dalam menghadapi golput. Sebab
indikator kesuksesan pemilu tidak semata-semata ditentukan oleh kuantitas pemilih.
Nazaruddin Sjamsuddin, lewat tulisannya “Golput: Duri Dalam Daging” merefleksikan
definisi golput dengan mereka yang dengan sengaja, dan dengan suatu maksud atau tujuan yang
jelas, menolak memberikan suara dalam pemilu. Bila dirunut sejarah perkembangannya, golput
dapat dikatakan sebagai gerakan moral daripada gerakan fisik. Ditekankan pula golput juga
bukan gerakan ilegal. Sebab tidak terdapat suatu produk hukum yang melarang golput (Prisma,
April 1991). Sementara itu, Tempo, edisi 4 Mei 1991 menerbitkan tulisan Daniel Dhakidae
yang berjudul Anatomi Golongan Putih. Golput mengalami perkembangan dari “amorfik”,
yang tak berbentuk, berubah menjadi satu entitas politik atau dapat dikatakan seperti binatang
politik. Paradoksnya, Golput secara kuantitas terlalu kecil untuk disebut memiliki arti, tetapi
menjadi sesuatu yang penting untuk dilewatkan begitu saja. Pemilu yang dilangsungkan pada
Juni 1992 sudah diprekdisi pemenangnya. Golkar kembali menang, namun mulai ada ancaman
terhadap dominasinya di Jakarta. Golkar mendapatkan 68,1% suara. Turun sebesar 5,1% bila
dibanding dengan hasil Pemilu 1987. Suara PPP mengalami peningkatan sebesar 1% dari 16%
Pemilu 1987, menjadi 17% Pemilu 1992. PDI sendiri mendapatkan peningkatan suara yang
signifikan. Meningkat dari 10,9% pada tahun 1987 menjadi 14,9% tahun 1992. PDI sendiri
menampilkan kampanye yang menarik, dengan mengangkat isu pembatasan masa jabatan
presiden, menampilkan sebagai partai pembela rakyat miskin, menarik massa Sukarno dengan
Universitas Indonesia
tampilnya Guruh Sukarnoputra. Pada akhirnya, PDI mencitrakan diri sebagai oposisi (Ricklefs,
2008). Angka golput sendiri berada pada kisaran 9,05%.
Sanit (1992) mengkategorikan menjadi dua fokus protes Golput terhadap Pemilu
setelah tahun 1971. Pertama, Golput sebagai tindakan protes terhadap pemilu sebagai alat
legitimasi bagi format politik Orde Baru yang mengedepankan stabilitas politik yang menjurus
pada sentralisasi kekuasaan serta memberlakukan sikap represif. Kedua, Golput merupakan
gerakan protes terhadap pemilu yang digunakan sebagai alat legitimasi bagi kebijakan dan
agenda pembangunan yang terbukti sukses meningkatkan pertumbuhan ekonomi namun masih
terjadi berbagai kesenjangan. Gerakan protes tersebut sebentuk usaha untuk menciptakan ruang
perubahan sosial. Upaya-upaya protes Golput dilakukan pada kondisi dimana menurut
Tornquist (2001) – ketika cara-cara otoritarian dalam mengatur konflik, mempertahankan
legitimasi, dan memerintah masyarakat tidak lagi masuk akal. Sehingga protes Golput terhadap
pemilu memiliki arti dalam perjuangan demokratisasi.
Dalam perjuangan demokratisasi, Uhlin (1998) membagi empat kategori aktor-aktor
pro-demokrasi diantaranya kelompok pembangkang elite dan intelektual; generasi LSM senior;
aktivis mahasiswa; dan generasi baru yaitu kalangan LSM pro-demokrasi dan HAM.
Kelompok pertama terdiri dari pembangkat elite seperti Petisi 50, FPKR (Forum Pemurnian
Kedaulatan Rakyat), Forum Demokrasi serta aktor dari partai-partai politik non pemerintah
diantaranya Sri Bintang Pamungkas (PUDI), Megawati (PDI). Selain itu, ada juga intelektual
individual yang berpengaruh seperti Pramoedya Ananta Toer, kalangan budayawan yaitu
Rendra dan Emha Ainun Nadjib, aktivis sosial seperti Y.B. Mangunwijaya, Goenawan
Mohamad dari kalangan jurnalis serta akademisi seperti Arief Budiman, George Aditjondro,
dan Ariel Heryanto. Kelompok kedua terdiri dari generasi LSM senior seperti LBH, LP3ES,
LPHAM. Kelompok selanjutnya adalah aktivis mahasiswa, terdiri dari beragam eksponen
gerakan seperti kelompok 1974 dan 1978, Kelompok Solidaritas Korban Pembangunan di
Kedung Ombo (KSKPKO), kelompok-kelompok studi seperti “Kelompok Studi Palagan”,
FAMI, FKMY, SMID, FKMIJ. Kelompok terakhir adalah generasi baru LSM baru yang
radikal dan vokal berfokus pada demokrasi dan hak asasi manusia. Kalangan terakhir ini
terdapat beberapa lembaga seperti Infight, PIJAR, Lapera, Geni, Yayasan Maju Bersama, LBH
Nusantara, Yayasan Perempuan Bebas, PIPHAM, Lekhat, Rumpun, Aldera, Partai Rakyat
Demokratik. Generasi baru ini, dalam bergerak menjangkau kaum buruh dan perani, yang
membedakan dari generasi LSM-LSM senior.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Mega-Bintang-Rakyat dengan alasan “tidak ada partai yang terdaftar atas nama Mega-Bintang-
Rakyat” (Lane, 2014: 259), akan tetapi protes-protes massa rakyat semakin meluas. PRD juga
terus mengembangkan strategi politiknya, setidaknya terdapat beberapa tuntutan PRD
menjelang Pemilu 1997, diantaranya sebagai berikut:
1. Menolak campur tangan pemerintah dalam urusan internal PDI.
2. Mendukung Megawati sebagai pemimpin alternatif dan mencalonkan Megawati
sebagai Presiden.
3. Menuntut dicabutnya UU Kepartaian 1985 dan Dwi Fungsi ABRI.
4. Menuntut perlunya partai politik baru dan Presiden baru (Budiman dan Tornquist,
2001).
Menjelang Pemilu 1997, PRD terus menyuarakan tuntutan-tuntutan yang mendesak dengan
momentum pemilu. Di sisi lain, PRD juga tetap menuntut pencabutan atas paket lima Undang-
Undang Politik, pencabutan Undang-Undang Subversif PNPS No. 11 Tahun 1963, referendum
Timor-Timur, mendorong pengadilan internasional atas kejahatan kemanusiaan pada 1965
(Argenti, 2016).
Soeharto sendiri menargetkan kenaikan suara Golkar dibanding Pemilu 1992. Hasil
Pemilu 1997 menunjukkan kenaikan suara Golkar. PDI mengalami kekalahan telak. Suara PDI
turun 11,9% dari perolehan suara Pemilu 1992 menjadi 3% pada tahun 1997. PPP mengalami
kenaikan suara sebesar 5,5% menjadi 22,5% pada pemilu ini. Golkar meraih peningkatan suara
sebesar 6,4% dari Pemilu 1992. Perolehan suara Golkar sebesar 74,5% pada tahun 1997. Suara
tersebut menjadi suara tertinggi yang pernah diperoleh Golkar. Salah satu faktor meningkatnya
suara Golkar ialah didukung oleh Abdurrahman Wahid yang memutuskan keluar dari aliansi
informal dengan Megawati. Keterlibatan Gus Dur berkampanye dengan mendampingi Tutut,
ikut mengatrol suara NU ke Golkar. Sementara itu, pada Pemilu 1997 angka golput sebesar
10,07%. Pemilu 1997 yang dimenangkan Golkar ini juga menjadi awal kekalahan Soeharto.
Gelombang protes semakin tajam memasuki tahun 1998. Tuntutan akan reformasi terus
meningkat seiring dengan memburuknya krisis ekonomi. Ekskalasi demontrasi mahasiswa
semakin tinggi. Tertembaknya mahasiswa Trisakti menjadi titik balik. Kematian aktivis,
buruknya ekonomi, kekejaman ABRI, korupsi, serta suramnya nasib reformasi, telah
menghancurkan pertahanan terakhir rezim dan ketertiban sosial. Akhirnya atas desakan
berbagai kalangan, Soeharto membuat pidato pada 21 Mei 1998 yang mengumumkan
pengunduran dirinya, yang melahirkan semangat serta era baru; reformasi.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
yang memposisikan sebagai oposisi kritis terhadap Orde Baru. Sementara itu, menurut
Novianto, Kurniawan dan Wibawa (2018) kekalahan PRD ini terdapat dua faktor. Faktor
pertama PRD tidak disiapkan menjadi partai elektoral. PRD merumuskan aksi kolektif dan
dipraktekkan dengan strategi mobilisasi aksi massa. Strategi tersebut unggul bila berada dalam
struktur peluang politik yang tertutup dan represif seperti era Orde Baru. Namun, PRD dengan
tipe kepoloran seperti ini memiliki kelemahan apabila mengikuti arus politik pemilu dalam
struktur politik yang terbuka. Rakyat Indonesia sendiri telah terdepolitisasi oleh kebijakan mass
floating (massa mengambang) Orde Baru selama 30 tahun lebih. Kedua, masih kuatnya massa
mengambang hasil kebijakan Soeharto. Soeharto membuat kebijakan tersebut untuk memotong
mata rantai gerakan rakyat yang telah berlangsung sejak 1912-1965. Gerakan yang dibangung
PRD tidak memperoleh sambutan positif dari rakyat setelah jatuhnya Soeharto.
Pemilu 1999 berhasil diselenggarakan pada 7 Juni 1999. Ada 462 kursi DPR yang
diperebutkan. Tambahan 38 kursi untuk kalangan militer, sehingga total terdapat 500 anggota.
Pemilu 1999 juga menjadi tahun terakhir dimana militer mendapatkan tiket langsung menuju
Senayan. Terdapat 500 kursi di DPR RI hasil pemilu. Hasil pemilu tersebut digabungkan
dengan sebanyak 65 perwakilan kelompok fungsional (dipilih oleh Komisi Pemilihan Umum)
dan 135 perwakilan daerah (yang dipilih oleh utusan daerah terpilih) sehingga membentuk
MPR RI dengan 700 anggota. Nantinya MPR inilah memilih Presiden.
Tabel 4.2
Hasil Pemilu 1999
Partai Politik Jumlah Suara Jumlah Jumlah Jumlah Kursi
Suara (%) Kursi DPR DPR (%)
PDIP 35.706.618 33,7 153 33,1
Golkar 23.742.112 22,4 120 26,0
PPP 11.330.387 10,7 58 12,6
PKB 13.336.963 12,6 51 11,0
PAN 7.528.936 7,1 34 7,4
Lainnya 14.200.921 13,4 46 10,0
Total 105.845.938 99,9 462 100,1
Sumber: M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2008
Pemilu pasca era Soeharto ini juga tidak menyurutkan angka golput yang jumlahnya 10,40%.
Pada Oktober 1999, MPR menolak pidato kepresidenan Habibie. Kemudian Habibie menarik
pencalonan presiden. Mundurnya Habibie membuat persaingan pemilihan presiden
Universitas Indonesia
meninggalkan dua kandidat antara Abdurrahman Wahid dan Megawati. Gus Dur berhasil
memenangkan kontestasi dan menjadi Presiden Republik Indonesia yang keempat oleh MPR.
Megawati sendiri terpilih sebagai Wakil Presiden. Gus Dur menjabat kursi kepresidenan hanya
selama 21 bulan. Megawati melanjutkan periode kepresidenan hingga masa jabatan berakhir
pada 2004.
Memasuki Pemilu 2004 perdebatan mengenai golput kembali terjadi. Pemilu 2004
memiliki dua rangkaian yaitu Pileg (Pemilu Legislatif) serta Pilpres (Pemilu Presiden). Isu
golput semakin berkembang luas menjelang Pilpres 2004. Isu golput semakin menguat ketika
publik menilai bahwa para kandidat yang menjadi capres-cawapres merupakan ‘wajah lama’.
Kalau tidak begitu mereka dianggap pioner reformasi yang gagal mengemban amanat
perubahan yang lebih reformis (Koirudin, 2004). Wacana golput ketika Gus Dur menyerukan
golput. Pada putaran pertama, Gus Dur berkelakar hasil pilpres adalah golput nomor satu,
Wiranto nomor dua. Gus Dur menegaskan sikap yang diambil dalam pilpres putaran pertama
untuk golput. “Saya punya pendirian sendiri. Saya akan golput. Konco-konco melu yo wis, gak
melu yo wis,” ucap Gus Dur (Detik.com, 2004). Mantan Presiden Indonesia itu juga
memastikan dirinya memilih “Golput” dalam pemilihan umum putaran kedua 2004 (Tempo.co,
2004). Bagi Gus Dur pilihan golput merupakan demokrasi. Dalam tulisannya Mengapa Saya
Golput?, Abdurrahman Wahid (2004) mengutarakan alasan utama “golput merupakan tindakan
protes atas kecurangan, pemihakan, manipulasi yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum
(KPU) yang menurutnya melanggar sejumlah Undang-Undang (UU), seperti UU No. 23 tahun
1992 tentang Kesehatan, UU No. 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, UU No. 12 tahun
2003 tentang Pemilu Legislatif dan dua pelanggaran terhadap UU No. 23 tahun 2003 tentang
Pemilu Presiden”. Sikap golput yang ditunjukkan Gus Dur merupakan sikap moral sebagai
warna negara. Gus Dur juga menyoroti buruknya penegakan hukum dengan menyebut sistem
hukum telah dikuasai ‘mafia peradilan’ atas keputusan hukum yang diterimanya. Reformasi
juga telah dibajak yang akhirnya menciptakan status quo, dimana perubahan yang diharapkan
semakin menjauh. Golput-nya Gus Dur sebagai penolakan untuk ikut dalam pemilu yang
diperuntukkan menegaskan dan mengamankan status quo.
Senada dengan sikap Gus Dur, Fadjroel Rachman, aktivis pro-demokrasi mengaggap
situasi hari ini tidak berbeda dengan situasi lama. Sehingga golput adalah pilihan terbaik.
Dalam banyak tulisan dan pendapatnya, Fadjroel Rachman juga menyarankan untuk memilih
golput. Dalam tulisannya di Opini Kompas, edisi 15 Mei 2004 yang berjudul Golput,
Pemenang Pemilu 2004, Fadjroel Rachman menyampaikan beberapa pokok gagasan mengenai
Universitas Indonesia
pilihan golput. Golput dipandang sebagai garda terdepan demokrasi radikal. Golput merupakan
sebuah keniscayaan atas pilihan percaya terhadap demokrasi. Golput sekaligus juga sikap tidak
percaya terhadap partai politik dan pasangan capres-cawapres yang tersedia pada Pemilu 2004.
Baginya golput sebagai pemegang yang sah legitimasi politik (kekuasaan de facto). Sedangkan
negara neo-Orba melalui Pemilu 2004 mendapatkan keabsahan legitimasi hukum. Golput dan
oposisi sosial menjadi fondasi bagi tumbuh kembangnya demokrasi radikal terhadap kekuatan
politik hasil Pemilu 2004.
Wacana golput juga masif dengan adanya propaganda melalui www.golput.com.
Tampilan website tersebut dimirip-miripkan dengan situs www.kpu.go.id dan lambangnya
menyerupai lambang yang secara formal digunakan dalam Pemilu 2004. Dalam Pilpres puraran
kedua, website tersebut memasang gambar golput sejaar dengan gambar calon presiden Mega-
Hasyim dan SBY-Kalla. Dalam website tersebut diterangkan golput bisa terjadi karena tidak
banyak pilihan dalam politik. Golput merupakan fenomena penolakan terhadap sistem, tetapi
tidak memerankan diri sepenuhnya pada perlawan terhadap sistem tersebut. Golput sebagai hak
seseorang yang bersifat individual. Tidak diperkenakan pelarangan atas golput. Pada Pemilu
2004, juga muncul usulan golput agar dilegalkan. Beberapa pendukung Amien Rais-Siswono
Yudohusodo di Queensland, Australia, mendorong KPU atas legalitas golongan putih (golput)
pada pilpres putaran kedua yang diagendakan bulan September (Koirudin, 2004). Sementara
itu, Arief Budiman, aktor Golput pada Pemilu 1972 memiliki pendapat berbeda mengenai
golput pada Pemilu 2004. Menurutnya golput saat ini hukumnya “tidak wajib” seperti saat
bergolput pada 1972. Pada 1972, partai-partai yang tidak dikehendaki pemerintah dilarang
berdiri seperti Masyumi dan PSI. Kondisi tersebut menghambat demokrasi. Ketika itu terjadi
pemaksaan terdapat rakyat yang mengharuskan untuk memilih Golkar. Golput ketika itu
menjadi wajib sebagai bagian protes atas kesewenang-wenangan. Namun, pada Pemilu 2004,
partai-partai berdiri, tidak dapat dihalangi oleh pemerintah. Karena itu boikot terhadap pemilu
menjadi tidak wajib. Arief Budiman juga tidak melarang pilihan golput. Menurutnya pada
2004, golput merupakan protes terhadap calon-calon yang ditawarkan, yang kebanyakan tidak
bermutu. Pada 2004, golput tumbuh karena kegagalan masyarakat politik (partai) untuk
memberikan alternatif pemimpin yang berkualitas (Budiman, 2006).
Pemilu 2004 tercatat memiliki angka golput yang cukup tinggi baik pada Pileg maupun
Pilpres. Persentase golput mencapai 15,90% pada pemilu legislatif. Peningkatan angka golput
terjadi ketika pilpres putaran pertama sebesar 21,80% dan 23,40% pada Pilpres putaran kedua.
Ada 24 partai politik berpartisipasi dalam Pemilu 2004. Pemilu legislatif untuk memilih DPR
Universitas Indonesia
berjumlah 550 kursi, DPRD dari tingkat provinsi, kabupaten, dan kotamadya. Pileg juga
memilih lembaga nasional yang baru, DPD (Dewan Perwakilan Daerah) yang terdiri dari 128
orang. Komposisi MPR kini adalah anggota DPR dan DPD dan sepenuhnya dipilih oleh rakyat.
Peran MPR juga berubah dengan tidak lagi memiliki kewenangan memilih Presiden dan Wakil
Presiden. Adapun hasil Pemilu Legislatif 2014 tingkat nasional adalah sebagai berikut.
Tabel 4.3
Hasil Pemilu Legislatif 2004
Partai Politik Jumlah Jumlah Suara sah Kursi di DPR Kursi di DPR
Suara sah (%) (%)
Golkar 24.480.757 21,6 128 23,3
PDIP 21.026.629 18,5 110 20,0
PKB 11.989.564 10,6 53 9,6
PPP 9.248.764 8,2 57 10,4
Demokrat 8.455.225 7,5 58 10,5
PKS 8.325.020 7,3 45 8,2
PAN 7.303.324 6,4 54 9,8
Lain-lain 22.633.131 19,9 45 8,2
Total 113.462.414 100,0 550 100,0
Sumber: M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2008
Tahun 2004 juga menjadi pertama kalinya dalam sejarah Indonesia, pemilihan secara
langsung Presiden dan Wakil Presiden. Pilpres dilangsungkan dalam dua putaran. Pada putaran
pertama ada lima kandidat yaitu Wiranto-Gus Sholah, Megawati-Hasyim, Amien Rais-Siwono,
SBY-Kalla, Hamzah Haz-Agum Gumelar. Susilo Bambang Yudhoyono mendapatkan suara
tertinggi 33,6%, disusul Megawati dengan suara 26,6%. Karena tidak ada pasangan yang
meraih suara diatas 50%, maka digelar Pilpres putaran kedua, yang mempertemukan
persaingan antara Susilo Bambang Yudhoyono dan Megawati Soekarnoputri. Pada pemilihan
Presiden putaran kedua bulan September 2004, Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil
Presiden Jusuf Kalla, memperoleh kemenangan lewat 60,6 persen suara. Sekalipun demikian,
tingginya angka golput menjadi perhatian di banyak kalangan.
Asfar (2004) berpendapat tingginya angka golput terdapat empat alasan. Pertama,
pemerintahan pada masa era reformasi, telah gagal, terutama perbaikan di sektor ekonomi yang
memburuk menjelang turunnya Soeharto. Kedua, partisipasi dalam memilih tidak memberikan
manfaat, justru merugikan secara waktu, tenaga dan finansial. Ketiga, ada urusan yang jauh
Universitas Indonesia
lebih prioritas dibanding datang ke TPS. Keempat, karena malas, malas ditempatkan dalam
konteks tidak adanya added value dari agenda politik pemilu. Demos15 berpendapat munculnya
fenomena golput dapat menjelaskan tiga hal. Pertama, mulai menguatnya pemilih yang
rasional. Dalam pemilu yang aman, damai serta demokratis, rakyat memiliki kekuasaan dalam
menyampaikan kebebasan dan kedaulatan. Rasionalitas rakyat tergambarkan lewat Pemilu
2014. Elit-elit politik memiliki kepentingan sendiri untuk golongan dan partainya dibanding
memperjuangkan kepentingan rakyat. Kedua, absennya partai alternatif. Era reformasi yang
penuh kebebasan justru dapat memecah kekuatan reformis. Partai-partai baru muncul dengan
“setengah hati” yang memiliki agenda tersendiri. Hal tersebut menghambat untuk konsolidasi
demokrasi. Ketiga, partai politik mengalami malfunction, kaitannya pada fungsi representasi.
Partai politik belum mampu menjadi wadah yang memperjuangkan kepentingan rakyat banyak
(Demos, 2005).
Tema golput juga tidak abstain dalam perdebatan publik menjelang Pemilu 2009.
Seruan golput datang dari Gus Dur. Gus Dur menyerukan pendukungnya untuk tidak
mencoblos pada Pemilu 2009 bila ia gagal menjadi calon presiden (Liputan6.com, 2008).
Djoko Su’ud Sukahar (2008) dalam tulisannya di kolom Detik.com berjudul Gus Dur, Golput
dan Kentut menjelaskan semakin tahun, tingkat partisipasi rakyat untuk memanfaatkan power
vox populi vox dei mengalami penurunan. Penurunan itu selain karena tidak ada lagi pemaksaan
untuk nyoblos seperti era Orde Baru. Juga ditimbulkan oleh kesadaran, selama ini yang diberi
kuasa banyak yang tidak amanah. Dan nyoblos atau tidak nyoblos, nasib rakyat tidak berubah.
Rakyat dirangkul ketika diperlukan, dan rakyat diacuhkan ketika suaranya sudah diberikan.
Bila sikap penguasa tak banyak berubahm bisa jadi Golput menjadi panglima. Golput,
tinggalan narasi dari Arief Budiman itu sebagai cawan penampung. Menampung suara liar dari
kalangan yang tidak mau bersuara. Suara itu berwujud keresahan yang sewaktu-waktu bisa
mengubah segalanya secara revolusioner.
Pilihan Golput Gus Dur didasarkan atas kecurangan yang dilakukan oleh Komisi
Pemilihan Umum (KPU). “Soal pilpres besok, saya tidak akan datang ke TPS untuk
menggunakan hak pilih saya karena masih banyak kecurangan yang dilakukan KPU terutama
masalah Daftar Pemilih Tetap (DPT)”, kata Gus Dur (Kompas.com, 2009). Syamsuddin Haris,
peneliti LIPI dalam tulisannya Golput dan Pemilu 2009 di Kompas.com, melihat fenomena
15
Demos merupakan lembaga kajian demokrasi dan hak asasi manusia. Sisipan Demos adalah hasil kerja sama
antara Tempo dengan perkumpulan Demos. Sebuah perkumpulan di Jakarta yang fokus dalam mengkaji dan
meneliti problem-problem demokrasi dan HAM. Sisipan ini mendapat sponsor dari Uni Eropa. Edisi ketiga,
Demos mengkaji topik partai politik pasca Orde Baru.
Universitas Indonesia
golput pada Pemilu 2009 dikaitkan dengan golput yang terjadi pada pilkada. Menurutnya
berkaca pada fenomena peningkatan angka golput di beberapa pilkada, golput akan memuncak
ketika pemilu 2009.
Tabel 4.4
Partisipasi Pemilih Pilkada Gubernur Menjelang Pemilihan Umum 2009
No. Provinsi Persentase
Kehadiran Pemilih
1. Jawa Barat 67,31%
2. Jawa Timur 61,66%
3. Kalimantan Tengah 63,20%
4. Kalimantan Selatan 67,08%
5. Kalimantan Timur 66,91%
6. Sulawesi Selatan 69,21%
7. Sulawesi Tenggara 66,94%
8. Sumatera Utara 59,15%
9. Kepulauan Riau 56,17%
10. Jawa Tengah 58,45%
11. Sumatera Barat 63,72%
12. Bengkulu 69,73%
13. Banten 60,82%
14. DKI Jakarta 65,41%
Sumber:https://www.hukumonline.com/berita/baca/hol19889/fenomena-golput-pilkada-
diprediksi-berlanjut-ke-pemilu-2009/
Golput merupakan ekspresi kekecewaan masyarakat dalam pemilu. Hal itu berkaitan dengan
kinerja pengambil kebijakan baik eksekutif dan legislatif serta partai politik yang ada. Retorika
keadilan, korupsi, dan pengentasan kemiskinan tanpa ada perjuangan nyata menjadi alasan
rakyat untuk meninggalkan demokrasi elektoral. Dibutuhkan kesadaran elit politik untuk
melihat munculnya fenomena golput sebagai sikap protes dari rakyat yang tidak dapat bersuara
langsung. Bila elit politik dan penyelenggara negara tidak kompeten dalam mengurusi republik,
maka dapat memunculkan pembangan dan tindak anarki dari rakyat yang kecewa tersebut.
Seruan golput juga muncul dari kalangan mantan aktivis seperti Fadjroel Rachman dan
Sri Bintang Pamungkas. Fadjroel sempat mengajukan diri sebagai capres independen akhirnya
memutuskan golput. Judicial review yang ia ajukan ditolak oleh Mahkamah Konstitusi pada
Universitas Indonesia
17 Februari 2009. Sementara itu, Sri Bintang Pamungkas menggelar Kongres Nasional Golput.
Kongres tersebut diadakan di Yogyakarta pada 8 Mei 2009 dan di Jakarta pada 10 Mei 2009
sebagai sikap protes terhadap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Kongres dibubarkan
secara paksa dan Sri Bintang ditahan polisi. Menurut Ariel Heryanto, aspirasi Gus Dur,
Fadjroel, dan Sri Bintang dapat dikatakan mirip dengan semangat Arief ketika
mengampanyekan golput pada 1971 (Kumparan.com, 2019). Di tengah bergeliatnya wacana
golput, MUI mengeluarkan fatwa haram untuk golput. Wajib memilih bagi umat Islam pada
Pemilu 2009. Keputusan tersebut merupakan hasil Ijtima’ Ulama Fatwa III MUI di Kabupaten
Padang Panjang, Sumatera Barat. “Wajib bagi bangsa Indonesia untuk memilih pemimpin.
Kalau yang dipilih ada namun tidak dipilih, menjadi haram,” kata Wakil Ketua Komisi Fatwa
MUI Ali Mustafa Ya’qub (Detik.com, 2009).
Mantan Presiden Abdurrahman Wahid menolak fatwa haram bagi orang yang tidak
menggunakan hak pilih atau golput yang dikeluarkan MUI. “Saya menolak sikap beberapa
orang atau yang mengatasnamakan institusi MUI yang mengeluarkan fatwa haram bagi yang
tidak memilih dalam Pemilu 2009,” ujar Gus Dur (Antaranews.com, 2009). Ijtima Ulama
Komisi Fatwa tentang Pemilu terdapat lima poin utama diantaranya adalah:
1. “Pemilihan umum dalam padangan Islam adalah upaya untuk memilih pemimpin atau
wakil yang memenuhi syarat-syarat ideal bagi terwujudnya cita-cita bersama sesuai
dengan aspirasi umat dan kepentingan bangsa”.
2. “Memilih pemimpin dalam Islam adalah kewajiban untuk menegakkan imamah dan
imarah dalam kehidupan bersama”.
3. “Imamah dan imarah dalam Islam menghajartkan syarat-syarat sesuai dengan ketentuan
agama agar terwujud kemaslahan dalam masyarakat”.
4. “Memilih pemimpin yang beriman dan bertakwa, jujur (siddiq), terpercaya (amanah),
aktif dan aspiratif (tabligh), mempunyai kemampuan (fathonah), dan memperjuangkan
kepentingan umat Islam hukumnya adalah wajib”.
5. “Memilih pemimpin yang tidak memenuhi syarat-syarat sebagaimana disebutkan
dalam butir 1 (satu) atau tidak memilih sama sekali padahal ada calon yang memenuhi
syarat hukumnya adalah haram” (Hukumonline.com, 2009).
Seruan MUI tersebut juga ditentang oleh Komnas HAM dan YLBHI. Menurut Ketua Komnas
HAM, Ifdhal Kasim golput merupakan hak yang bersifat subjective rights of the individual.
Hak individu yang penggunaannya tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun, baik itu negara
maupun masyarakat. Golput itu juga berkait dengan hak untuk memilih (right to vote) yang
Universitas Indonesia
merupakan hak dasar (basic right) bagi individu. Konsepsi tersebut telah dituangkan dalam
UUD 1945, UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM serta UU No. 12 Tahun 2005 tentang
Ratifikasi Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik.
Hak pilih (righ to vote) berupa pilihan golput tidak bisa dibatasi dengan larangan,
kriminalisasi, atau sanksi moral oleh masyarakat ataupun negara. Justru pemerintah memiliki
kewajiban melakukan positive obligation. Dengan menjamin hak warga negaranya secara
bebas. Sebaliknya, negara juga tidak diperkenankan untuk membuat aturan yang menghalangi
penggunaan hak tersebut . “KPU sebagai penyelenggara pemilu juga tidak dapat mengeluarkan
peraturan-peraturan yang kemudian berimplikasi terhadap pelanggaran kebebasan individual
orang dalam memilih atau tidak memilih,” kata Ifdhal (Hukumonline.com, 2009). YLBHI
dalam siaran persnya juga menyatakan negara memiliki kewajiban untuk mengawal hak untuk
tidak memilih (golput). Hak memilih atau dipilih merupakan hak dasar manusia, yang
termaktub dalam prinsip HAM universal. Hak itu juga dijamin dalam Kovenan Internasional
tentang Hak-hak Sipil dan Politik (Pasal 25) serta UUD 1945. Dalam konsepsi hak asasi
manusia, tidak ada tolak ukur dan norma apa pun yang menyatakan kewajiban memilih dan
dipilih. Sebaliknya yang diatur adalah jaminan atas penggunaannya secara bebas oleh negara.
YLBHI memandang bahwa negara memiliki kewajiban untuk menghormati dan menjamin
pilihan tidak memilih (golput) tersebut.
Pemilu 2009 ini terdiri dari Pileg dan Pilpres. Pada Pileg 2009 angka golput (tidak
memilih) sebesar 29,01%, sedangkan persentase golput ketika pilpres sebesar 27,77%.
Tingginya angka golput salah satunya disebabkan kurang maksimalnya penyelenggara pemilu
ketika menyusun DPT (Daftar Pemilih Tetap). Bila dicermati secara mendalam dari jumlah
pemilih sebesar 121.588.266 yang terdaftar, yang menggunakan hak suaranya ada
171.265.441. Sementara yang tidak terdaftar sebesar 59.677.675 (29,0%). Untuk suara tidak
tidak sah dalam Pemilu 2009 berjumlah 17.488.581 dari 104.699.785 suara sah atau 16,7%.
Dari suara tidak sah dapat dikategorikan ke dalam tiga jenis. Pertama, perubahan sistem coblos
menjadi sistem contreng justru mempersulit warga terutama di pedesaan. Kedua, jumlah
kandidat yang harus dipilih menjadi faktor sulitnya warga dalam memilih dan belum
terbiasanya penggunaan sistem pencontrengan. Ketiga, mereka yang memilih tidak memilih
(golput), dengan jalan surat suara dirusak karena alasan sikap politik (Yanuarti, 2009). Hal
administrasi terkait DPT ini juga memicu dinamika tersendiri dalam Pemilu 2009.
Beragam reaksi diajukan oleh masyarakat terkait DPT. Protes tersebut diajukan lewat
Posko Pengaduan Manipulasi DPT serta melahirkan Serikat Pengacara Rakyat (SPR). Mereka
Universitas Indonesia
mengajukan gugatan warga negara (citizen lawsuit) terkait carut marutnya DPT Pemilu 2009.
KPU dan pemerintah dianggap lalai dan melakukan pelanggaran terhadap Pasal 2 UU No. 22
tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu. Selain ketidakakuratan data, ada dugaan terjadi
penggelembungan jumlah peserta pemilih. Adanya DPT tersebut dinilai telah menghapus hak
memilih warga negara yang tidak terdaftar. Selain masyarakat, partai politik baik partai besar
maupun kecil juga menggugat DPT tersebut. Sejumlah partai seperti Partai Buruh, PPRN, PDS,
PBR, Partai Merdeka, Partai Persatuan Daerah, Partai Karya Perjuangan Politik menggugat
persoalan DPT ke MK pada 5 Mei 2009. Pasca Pileg 2009, PDIP bersama 18 partai politik dan
16 anggota senator DPD juga mengajukan gugatan ke MK. Partai Golkar yang sebelumnya
adem ayem juga mengajukan gugatan serupa terkait DPT pasca pemilihan presiden. Pemilu
2009 sendiri diikuti 34 partai dan dimenangkan oleh Partai Demokrat. Ada sembilan partai
yang lolos parlement treshold diantaranya berturut-turut dari suara terbanyak hingga terendah
adalah Partai Demokrat, Golkar, PDIP, PKS, PAN, PPP, PKB, Gerindra dan Hanura. Untuk
Pilpres 2009 diikuti oleh tiga pasangan yaitu Megawati-Prabowo, SBY-Boediono dan JK-
Wiranto. Susilo Bambang Yudhoyono berhasil kembali terpilih dengan perolehan suara
sebesar 60,8%, disusul Megawati 26,79% dan terakhir Jusuf Kalla dengan suara 12.41%
(Antaranews.com, 2009).
4.3 Gerakan Golput pada Pemilu 2014-2019
Rezim berganti, pemilu telah dijalankan berkali-kali namun suara-suara golput tidak
pernah mati. Narasi golput ideologis juga bagian dari suara partisipasi politik. Partisipasi
politik tidak sekedar dimaknai dalam partisipasi elektoral (voter turnout). Tetapi partisipasi
juga dapat dipahami sebagai partisipasi politik yang lebih luas, tidak sekedar partisipasi dalam
mencoblos (non-elektoral). Para ahli dalam membedakan partisipasi ke dalam tipologi dua
bentuk yaitu partisipasi politik elektoral dan partisipasi politik non-elektoral. Partisipasi
elektoral dibagi ke dalam dua jenis yaitu bersifat konvensional dan non-konvensional.
Biasanya partisipasi konvensional selalu dihubungkan dengan tingkat kehadiran pemilih dalam
pemilu (voter turnout). Sementara yang bersifat non-konvensional, dimaknai secara luas. Ada
partisipasi warga dalam proses-proses pemilu. Sedangkan, kategori partisipasi politik non-
elektoral berupa keikutsertaan warga dengan hal yang tidak hubungan dengan pemilu, skalanya
lebih luas. Hal itu bisa berupa kontroversi politik (contentious politics) seperti gerakan sosial,
boikot, protes, demonstrasi, dan lain-lain. Nurhasim (2014) dalam tulisannya Partisipasi
Pemilih Pada Pemilu 2014: Sebuah Studi Penjajakan mensarikan partisipasi politik menjadi
bagan seperti berikut:
Universitas Indonesia
Bagan 4.1
Peta Partisipasi
Konvensional, ex:
Kehadiran di TPS (Voter
Elektoral (Pemilu)
Turnout)
Non-Konvensional, ex:
Proses-proses pemilu
Partisipasi Politik
(kampanye, relawan, dll)
Kontroversi Politik
(Contentious Politics), ex:
Non-Elektoral
gerakan sosial, boikot,
protes, dll)
Sumber: Moch. Nurhasim (ed) Partisipasi Pemilih Pada Pemilu 2014: Studi Penjajakan
Dari bagan tersebut menegaskan golput sebagai aksi kolektif yang menjadi contentious
politics. Gerakan tersebut lahir sebagai sikap protes dan boikot terhadap pemilu yang hanya
menjadikan pemilu sebagai seremoni demokrasi prosedural tanpa memberikan dampak
substansial bagi kehidupan rakyat yang lebih baik. Pada Pemilu 2014, golput dihadirkan untuk
menyuarakan narasi alternatif oleh kalangan pro-demokrasi progresif kiri. Gerakan golput
disuarakan lewat kanal utama Komite Politik Alternatif. Slogan utamanya Lawan Pemilu 2014,
Bangun Partai Alternatif!. Jaringan tersebut terdiri dari beberapa organisasi-organisasi
pembangun diantaranya adalah KP SBGN, KP SGMK, SMI, GSPB, PPR, PPI, KPO PRP,
FPBI, SBMI, Pembebasan, LIPS, PPBI Jatim, Mahardhika Mojokerto, SBM, Frontjak,
Sebumi, GRI, SPRI (Arahjuang.com, 2014). Menurut mereka pilihan yang tersedia dalam
Pemilu 2014 tidak ada bedanya. Tidak ada kandidat yang memberikan jawaban terhadap
persoalan riil rakyat. Janji-janji dan program kesejahteraan dari elit-elit politik pada pemilu
sebelumnya telah gagal direalisasikan. Sehingga, perlu adanya satu gerakan alternatif berskala
nasional yang memiliki sikap dan posisi tegas dalam Pemilu 2014. Gerakan tersebut dapat
mendorong arah perjuangan rakyat ke depan. Suara golput juga disampaikan oleh Komite
Nasional Papua Barat (KNPB). Mereka berpendapat tidak akan berkompromi dengan berbagai
produk dari negara kolonial Indonesia. KNPB tetap pada posisi golput atau tidak ikut
Universitas Indonesia
berpartisipasi dalam Pemilu 2014. Tidak ada kompromi dengan program yang dilakukan oleh
negara Republik Indonesia apalagi pilpres (Suarapapua.com, 2014).
Ada tiga gagasan utama yang disampaikan oleh Komite Politik Alternatif. Pertama,
Pemilu 2014 bukan pemilu rakyat. Absennya visi dan program kerakyatan yang mengusung
politik alternatif dari kontestan pemilu. Selain itu, metode politik alternatif kerakyatan juga
tidak didapati dalam diri kandidat pemilu. Hal itu dikarenakan tiadanya partai alternatif
kerakyatan yang menjadi kandidat pemilu. Pemilu 2014 dapat dikatan sebagai pemilunya
borjuis. Kedua, demokrasi yang dijalankan belum memadai, yang akhirnya pemilu tidak
memunculkan tranformasi kehidupan rakyat. Untuk itu, perlunya agenda alternatif yang dapat
membuka ruang demokrasi yang lebih luas untuk rakyat. Gerakan alternatif perlu menyatukan
diri dalam satu kesatuan politik untuk melawan pemilu, demi kemunculan partai alternatif.
Ketiga, visi partai alternatif tentunya menghadirkan program-program alternatif kerakyatan.
Keempat, menghimbau dan mengajak seluruh elemen gerakan rakyat untuk menciptakan
persatuan rakyat serta memposisikan diri sebagai fondasi pembangunan partai alternatif.
Kelima, himbauan dan ajakan untuk seluruh rakyat Indonesia yang memiliki kesadaran sejarah
perjuangan rakyat ikut bersama-sama dalam gerakan alternatif (Arahjuang.com, 2014).
Penolakan terhadap pilihan golput juga ramai disuarakan. Salah satunya, tulisan Otto
Adi Yulianto (2014), Kepala Biro Litbang Elsam dan anggota Perkumpulan Demos, yang
berjudul Golput, Masihkah Relevan? diterbitkan melalui platform Indoprogress. Menurutnya
ikut terlibat dalam pemilu, dengan mendorong dan memilih calon yang memiliki rekam jejak
baik, berkomitmen dalam HAM, berarti telah memupuk harapan bertambahnya orang baik di
dalam sistem, yang terhitung masih sedikit. Memilih orang baik melalui pemilu, sama halnya
mendorong peluang untuk perubahan keterwakilan serta budaya politik, termasuk menjunjung
tinggi HAM. Sedangkan memilih tidak memilih justru menghambat peluang dan harapan
tersebut. Pilihan golput – dimana tidak ada usahan terlibat mengintervensi pemilu. Tidak ikut
serta dalam mendorong dan memajukan orang yang baik, serta memperbaiki partai politik sama
halnya dengan tindakan yang meninggalkan gelanggang perjuangan – yang sekarang lebih
baik, bebas dan adil.
Ancaman pidana bagi yang mengajak golput juga memenuhi diskursus menjelang
Pemilu 2014. UU No. 8 tahun 2012 tentang Pemilihan Umum anggota DPR, DPD dan DPRD.
Undang-undang tersebut, salah satunya mengatur tentang aturan pidana dan denda untuk orang
yang mengajak pemilih lain golput atau tidak memilih. “Ketua KPU, Husni Kamil Manik,
menyatakan ketentuan itu memang ditulis Undang-undang, namun itu tidak menjadi
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
media sosial dimana manusia direpresentasikan dengan link-link untuk berinteraksi seolah
seperti fisik di internet.
Dalam lingkup yang luas, media sosial juga digunakan sebagai ruang protes atau kritik,
hingga tuntutan revolusi. Bagi kalangan pro-demokrasi media sosial dimanfaatkan untuk
mentransformasikan berbagai aksi kritik nyata dari dunia maya (online) ke dalam dunia nyata
(offline). Keterkaitan media sosial dengan aktivisme politik dijelaskan oleh Umar et al., (2014).
Lebih lanjut, menurutnya, aktivisme internasional dalam fenomena arab spring dilahirkan oleh
informasi berita yang masif dan menyebar luas yang mengabarkan kondisi di Timur Tengah
ketika masa revolusi tersebut. Kabar berita itu juga diiringi dengan perluasan ide-ide demokrasi
serta penguatan civil society melalui jejaring media sosial.Jaringan media sosial tersebut dapat
dijadikan sebagai strategi dalam gerakan. Chandler dalam Singh (2002) menyatakan bahwa
strategi merupakan pemutusan sasaran dan cita-cita jangka panjang, serta haluan aktivitas dan
porsi sumber daya yang dibutuhkan untuk mencapai sasaran dan cita-cita tersebut.
Lim (2005: 1) juga menegaskan media sosial dapat berguna untuk aktivitas politik
melalui penghancuran monopoli negara terhadap wacana pengetahuan serta informasi.
Jangkauan media sosial yang luas tersebut menjadi keunggulan dalam memasifkan propaganda
termasuk wacana golput pada Pemilu 2014-2019. Tolak ukur keberhasilan gerakan sosial
biasanya ditentukan oleh pengaruhnya terhadap tindakan nyata dan memperluas jaringan
gerakan yang menjadikan orang-orang ikut bergabung dan terlibat. Penjelasan Van de Donk
dalam Van Aelst (2002) mempertegas bahwasanya sentimen dan keterlibatan merupakan hal
penting dalam tindakan nyata. Produksi identitas dapat terjadi dengan terlibat dalam interaksi
kolektif itu sendiri. Partisipasi para aktor sama menunjukkan pengakuan sebagai bagian
kolektif dari perjuangan dan tuntutan. Sehingga partisipasinya hadir dan representasi dari
tindakan kolektif.
Universitas Indonesia
Gambar 4.2
Pamflet Seruan Golput oleh Komite Politik Alternatif
Sumber: http://www.arahjuang.com/2014/03/11/komite-politik-alternatif-lawan-pemilu-2014-
bangun-partai-alternatif/
Pada Pemilu 2014 ini menariknya angka golput pada pileg mengalami penurunan
sedangkan pada pilpres persentase golput mengalami lonjakan. Jumlah golput pada Pileg 2014
terdapat 24,89%. Sedangkan angka golput ketika pilpres ada 29,01%. Padahal partisipasi rakyat
dalam proses pemilu seperti kampanye dianggap lebih tinggi dibandingkan Pemilu 2009. Bila
melihat skala provinsi, Aceh merupakan daerah yang memiliki kenaikan persentase golput
cukup tinggi. Angka golput di Aceh mencapai 22,94% pada Pilpres 2009, lalu pada Pilpres
2014 mengalami kenaikan menjadi 38,61%. “Lima provinsi dengan angka golput tinggi pada
Pilpres 2014 seperti Kepulauan Riau sebesar 40,57%, Aceh dengan 38,61%, Riau dengan
tingkat golputnya 37,37%, Sumatera Utara memiliki angka golput 37,25% dan Sumatera Barat
dengan persentase golputnya 36,26%” (Tirto.id, 2019). Trend meningkatnya angka golput pada
pilpres sejak 2004 dapat dilihat dalam tabel berikut:
Universitas Indonesia
Tabel 4.5
Golput pada Pilpres 2004-2014
Pemilu Presiden Pemilih Terdaftar Suara Sah Suara Tidak Sah Golput
2004 Putaran 1 153.320.544 118.656.868 3.636.976 31.026.700 (20,24%)
2004 Putaran 2 150.664.184 114.257.054 2.405.651 33.981.479 (22,56%)
2009 176.411.434 121.504.481 5.674.894 49.232.059 (27,91%)
2014 190.307.134 133.574.277 1.379.690 55.353.167 (29,09%)
Sumber:https://kumparan.com/kumparannews/golput-yang-tak-pernah-redup-
1549259580724886695
Pemilu 2014 sendiri masih terdiri dari dua tahapan, pileg dan pilpres. Pileg 2014 dimenangkan
oleh PDIP, yang akhirnya turut mengantarkan kemenangan Jokowi-JK atas pasangan Prabowo-
Hatta pada Pilpres 2014. Jokowi memperoleh suara 70.997.833 (53,15%), sedangkan Prabowo
mendaparkan 62.576.444 suara (46,85%) (Merdeka.com, 2014).
Tabel 4.6
Hasil Pileg 2014
No. Partai Politik Jumlah Suara Jumlah Suara (%)
1. PDIP 23.681.471 18,95%
2. Golkar 18.432.312 14,75%
3. Gerindra 14.760.371 11,81%
4. Demokrat 12.728.913 10,19%
5. PKB 11.298.957 9,04%
6. PAN 9.481.621 7,59%
7. PKS 8.480.204 6,79%
8. Nasdem 8.402.812 6,72%
9. PPP 8.157.488 6,53%
10. Hanura 6.579.498 5,26%
11. PBB 1.825.750 1,46%
12. PKPI 1.143.094 0,91%
Sumber: Kompas.com
‘Hantu’ golput juga kembali bergentayangan cukup keras dalam Pemilu 2019. Gerakan
golput 2019 cukup menyita perhatian seperti halnya ketika Arief Budiman dan kawan-
kawannya meluncurkan Golongan Putih pada 1971. Aksi kolektif golput mengkristal dalam
Universitas Indonesia
gerakan SayaGolput. Gerakan tersebut terdiri dari spektrum ideologi yang beragam. Dari yang
pro-demokrasi ‘biasa’ hingga kelompok anarko, dari yang kiri hingga kanan ada dalam barisan
#SayaGolput. Dalam keterangannya di platform Medium, SayaGolput merupakan gerakan
kewargaan yang memutuskan memilih untuk tidak memilih. Memilih golput sebagai usaha
untuk kembali menuju demokrasi yang lebih substanstif. Lewat tulisan Maklumat: Memilih
untuk Tidak Memilih gerakan ini menyampaikan dua puluh tahun setelah Reformasi 1998,
demokrasi mengalami kemunduran. Korupsi masih menghiasai wajah utama demokrasi hari
ini, sementara upaya pemberantasannya dihambat. Menguatnya militerisme dengan kembali
masuk ke ranah sipil. Sistem politik yang semakin tidak demokratis karena dikuasai oleh para
elite hanya memuluskan agenda oligarki. Peserta pemilu menyodorkan program politiknya,
hanya untuk kepentingan meraup suara. Rakyat dipaksa memilih tapi tidak memiliki
kadaulatan dalam menentukan pilihan. Pemilu 2019 bukan pemilu rakyat.
Lebih lanjut, gagasan SayaGolput dijelaskan dalam Kertas Putih Golongan Putih 2019.
Pemilu 2019 tidak memiliki pilihan. Dalam sistem politik yang dijalankan sekarang, peluang
untuk kemunculan kandidat yang pro-rakyat hampir mustahil. Para pemodal besar sajalan
sebenarnya yang menentukan pilihan. Persekutuan itu terdiri dari oligark-oligark, yang
berkongsi dengan kandidat lewat transaksi politik dan uang. Lalu, akan terjadi bagi kekuasaan
kedepannya. Rakyat tidak menjadi penentu siapa yang akan dipilih. Rakyat hanya sekedar
memilih dalam bilik suara. Pada Pilpres 2014, Jokowi dipilih dengan harapan bisa mewujudkan
agenda-agenda progresif. Tapi, Jokowi tidak menepati janji kempanyenya. Sementara itu,
Prabowo bukan pilihan, karena termasuk dalam lingkaran kekuasan Orde Baru. Prabowo juga
terlibat jejak pelanggaran HAM. Keduanya, baik Jokowi dan Prabowo, merupakan elit-elit
yang termasuk dalam bagian dari bandit tambang, perkebunan, sumber daya alam, dan media.
Oligarki dan jenderal-jenderal pelanggar HAM terdapat dalam kedua calon. Visi gerakan
SayaGolput yakni mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat sesuai amanat UUD 1945.
Gerakan SayaGolput memiliki 4 tujuan yaitu:
1. Sebagai gerakan protes atas sistem politik yang tidak berpihak pada rakyat.
2. Sebagai hukuman kepada mereka yang mengkhianati suara rakyat.
3. Sebagai gerakan oposisi rakyat berlandaskan politik warga.
4. Sebagai gerakan transformatif, mendengarkan dan bekerja dengan warga di akar
rumput serta melakukan perubahan bersana dari bawah.
Gerakan SayaGolput memiliki agenda-agenda kerakyatan. Perjuangan agenda-agenda rakyat
tersebut tidak berakhir pada 17 April 2019. Agenda-agenda kerakyatan tersebut terdiri dari
Universitas Indonesia
kesejahteraan untuk rakyat, perjuangan agraria dan ruang hidup, buruh dan ketenagakerjaan,
anti-korupsi, stop militerisme, pemenuhan HAM, hapus diskriminasi kelompok minoritas,
dukung masa depan Papua, perbaikan sistem politik, reformasi hukum dan peradilan.
Dalam buku Golput: Siapapun Yang Menang, Rakyat Tetap Kalah, karya Bilven (2019)
menjelaskan bahwa kedua calon presiden dan calon wakil presiden sama saja. Petahana yang
sudah menjalankan lima tahun kepemimpinannya mengingkari janjinya sendiri atau calon lain
yang punya rekam jejak hitam saat masih berseragam. Bagi Bilven (2019) ada beberapa alasan
kenapa golput menjadi sebuah keharusan. Pertama, Jokowi telah mengecewekan. Hal itu
disebabkan karena beberapa hal seperti bagi-bagi kursi hingga mengangkat Wiranto yang
punya rekam jejak pelanggaran HAM; kriminalisasi petani dan konflik agraria; gagal penuhi
janji kepada masyarakat adat; kebijakan Jokowi-JK rugikan buruh; kedaulatan pangan gagal,
impor besar-besaran; ingkar janji penyelesaian pelanggaran HAM berat; gagal melindungi
minoritas. Kedua, Prabowo bukan pilihan. Ketiga, para oligark di belakang Jokowi dan
Prabowo.
Gerakan SayaGolput dapat dikatakan sebagai fenomena politik yang mengambil peran
kritis walaupun tidak berbentuk sebuah organisasi formal, hanya aliansi yang cair dan dinamis.
Teori proses politik menjelaskan setiap kontigensi politik menghasilkan peluang-peluang
politik yang merubah struktur mobilisasi organisasi politik untuk merespon peluang politik.
Pemilu 2019 sebagai ruang politik yang terbuka dan menghasilkan polarisasi yang tajam antara
kedua kubu Jokowi dan Prabowo. Adanya media sosial juga membuat politik menjadi
perbincangan di semua lapisan masyarakat.
Hal itu menjadi peluang untuk memobilisasi gerakan. Peluang diciptakan melalui
pertentangan antara member dan challenger dalam spektrum politik negara. Analogi member
merujuk pada kelompok politik yang berada di dalam lingkaran kekuasaan negara dan elit
politik sedangkan challenger merujuk pada kelompok politik di luar lingkaran kekuasaan dan
berusaha mengintervensi lingkaran kekuasaan. Seperti Marx, Tilly (1978) tidak memandang
negara dalam sebuah harmoni melainkan dari pertentangan-pertenangan di dalamnya. Tilly
melihat negara merupakan simbol kekuasaan yang tidak memiliki bentuk yang tetap, dominasi
kelompok politik yang berhasil menguasainya adalah bentuk kestabilan sementara dari negara.
Kestabilan ini disebut bersifat sementara karena negara sebagai sumber kekuasaan dan
kemampuannya untuk memobilisasi keuntungan baik segi ekonomi ataupun politik bagi
kelompok yang menguasainya tidak pernah berhenti diperebutkan oleh kelompok lain melalui
Universitas Indonesia
berbagai metode perebutan kekuasaan. Dalam konteks pemilu 2019 perang wacana sebagai
pertentangan-pertentangan tergambarkan melalui media.
Opini Franz Magnis-Suseno yang berjudul Golput di Harian Kompas (12/03/2019)
menyebutkan “… tetapi anda memilih untuk tak memilih atau golput, maaf, hanya ada tiga
kemungkinan: Anda bodoh, just stupid; atau Anda berwatak benalu, kurang sedap; atau Anda
secara mental tidak stabil, Anda seorang psycho-freak.” Bagi Romo Magnis pemilu adalah
“lesser evil” – mencegah yang terburuk berkuasa. Kritik keras juga disampaikan oleh
Megawati. Megawati dalam satu orasinya menyampaikan “sebagai warga negara Indonesia
jangan golput.. Golput itu pengecut.. Tidak punya pendirian dan harga diri.. Kalau tidak mau
memilih mereka itu hidup dimana..”16 Sementara itu, Menko Polhukam Wiranto menyatakan
ajakan golput pada Pemilu 2019 adalah tindakan pengacau. Wiranto berujar “yang mengajak
golput itu yang namanya mengacau. Itu kan mengancam hak dan kewajiban orang lain 17.”
Seruan-seruan lainnya untuk tidak golput banyak disampaikan oleh kalangan cendekiawan
seperti Mahfud MD dan tim sukses Jokowi-Ma’ruf Amien. Bagi mereka, partisipasi pemilih
dalam pemilu itu penting agar Indonesia tidak mengalami hal yang sama seperti Pilpres AS
2016, dimana tingginya angka golput turut mendorong kemenangan Trump dengan atribut
konservatismenya.
Wacana-wacana anti terhadap golput tersebut mendapatkan perlawanan. Gerakan
golput oleh kelompok pro-demokrasi pada Pemilu 2019 merupakan tindakan kolektif yang
akhirnya menimbulkan pertentangan politik (contentious politics) yang berkembang secara
masif. Golput sendiri dimaknai cukup beragam oleh kalangan pro-demokrasi sendiri. Di sisi
lain, golput adalah pengganggu dari kelompok status quo. Perkumpulan mahasiswa yang
menyebut sebagai Pusat Perjuangan Mahasiswa Untuk Pembebasan Nasional (Pembebasan)
dan Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) menggelar aksi di desa Poka dan kampus Universitas
Pattimura Ambon. Dalam aksi tersebut pendemo mengeluarkan enam tuntutan yaitu: Golput
dalam Pemilu 2019, lawan militerisme, bangun kekuatan politik alternatif, tarik TNI/Polri dari
seluruh Tanah Papua, tolak perampasan tanah petani, Sahkan RUU anti pelecehan seksual
(Kumparan.com, 2019). Aksi menyerukan golput juga terjadi di depan Kantor KPU pada
Minggu, 17 Februari 2019. Massa aksi dari Pembebasan membentangkan spanduk yang
16
https://news.detik.com/berita-jawa-tengah/d-4491225/megawati-yang-golput-itu-pengecut-tak-usah-jadi-wni,
diakses 29 Februari 2019.
17
https://nasional.kompas.com/read/2019/03/27/15473811/wiranto-ingatkan-mereka-yang-mengajak-golput-
pada-pemilu-2019, diakses 29 Februari 2020.
Universitas Indonesia
menuntut Golput Pemilu 2019, lawan militerisme dan bangun partai alternatif (Merdeka.com,
2019).
Gambar 4.3
Pamflet SayaGolput
Sumber: medium.com
Gerakan SayaGolput menyelenggarakan Temu KeluWarga Golput. Acara tersebut
berlangsung di Gedung YLBHI, pada 13 April 2019. Acara tersebut terdiri dari Konferensi
Pers #SayaGolput, Mimbar Seni Warga, Mimbar Bebas Warga. Sementara itu, Sumarsih, orang
tua Wawan – korban Tragedi Semanggi 1998 menyatakan memilih golput. “Kalau saya golput
bukan bodoh, justru orang cerdas. Kalau seperti ini terus enggak ada penyelesaian secara masif,
selamanya akan terjadi kekerasan negara,” kata Sumarsih (cnnindonesia.com, 2019). Pegiat
golput sekaligus pengacara publik, Alghiffari Aqsa, menilai keberadaan golput saat ini
dianggap mengganggu kekuasaan oleh peserta pemilu karena mempengaruhi kekuatan politik
masyarakat. Tidak hanya pemerintah yang bereaksi atas adanya golput, pihak oposisi dan
sejumlah tokoh nasional ikut berkomentar menyerang mereka yang memilih golput. Sementara
itu, di Indramayu, Jawa Barat, masyarakat yang menolak PLTU mengikuti kegiatan diskusi
dan nonton bareng film Sexy Killers, Kamis, 11 April 2019. Namun panitia menerima
intimidasi dari Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) dan polisi setempat.
Universitas Indonesia
Pada 2 April 2019 juga terjadi aksi yang mengusung tema “Golput Juga Pilihan,
Bangun Partai Massa Rakyat” yang digelar oleh Komite Politik Alternatif. Akbar Rewako,
Pengurus Nasional Sentral Gerakan Buruh Nasional yang mengikuti aksi tersebut mengatakan
pihaknya mengusung tiga tuntutan utama dalam unjuk rasa tersebut. Nuy Lestari, Ketua Umum
Serikat Mahasiswa Indonesia, yang ikut aksi tersebut menilai pemilu kali ini hanya sekedar
ajang formalitas dari para peserta pemilu. Untuk itu, golput menjadi pilihan yang rasional.
“Kalau kita mendambakan perubahan, yang harus dibangun adalah posisi kedaulatan sesama
warga negara alih-alih menyerahkannya ke tangan orang-orang yang kongkalikong di belakang
sesuatu ini untuk kepentingan mereka sendiri,” kata Galeshka, pegiat golput. Akhir pekan lalu,
dia bersama puluhan orang lainnya membacakan sebuah maklumat berjudul “Memilih Untuk
Tidak Memilih”. Dalam maklumat tersebut, pihaknya juga menyampaikan Kertas Putih
Golongan Putih 2019 berisi sepuluh agenda perjuangan rakyat usai pemilu (cnnindonesia.com,
2019).
Ditengah ancaman kriminalisasi terhadap golput, sejumlah pihak menyampaikan press
release bahwa golput adalah hak. Koalisi Masyarakat Sipil untuk Hak Sipil dengan anggotanya
dari LBH Jakarta, LBH Masyarakat, ICJR, KontraS, Lokataru, PBHI, dan YLBHI memberikan
pernyataan bahwa memilih golput tidaklah melanggar hukum. “Opsi untuk tidak memilih
adalah pilihan dan ini adalah bagian dari ekspresi kedaulatan rakyat. hari ini, rakyat melihat
tidak hanya pimpinan politiknya yang tidak beres, tapi juga sistem politik yang harusnya
menjamin prinsip-prinsip demokrasi, menjamin persamaan di muka hukum, persamaan
ekonomi, sosial, dan budaya bagi masyarakat, bagi rakyat, itu tidak ada,” kata Arif Maulana,
pengavara publik LBH Jakarta. Pilihan golput dijamin dalam berbagai aturan seperti Konvensi
Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR), UUD 1945, dan UU Hak Asasi Manusia
(HAM). “Sustira Dirga, Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), mengatakan
golput tidak bisa dikenai tindak pidana pemilu, sekalipun sering dihubungkan dengan pasal
515 UU No. 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum” (bbc.com, 2019).
Universitas Indonesia
Gambar 4.4
Konferensi Pers Pegiat Golput
Sumber: https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-46970330
Tuntutan golput juga disampaikan oleh massa aksi Komite Politik Alternatif. Komite
tersebut merupakan koalisi organisasi buruh yang diantaranya seperti Partai Rakyat Pekerja
(PRP), Konfederasi Serikat Nasional (KSN), Kesatuan Perjuangan Rakyat (KPR), Kongres
Politik Organisasi (KPO), Konfederasi Pergeralam Rakyat Indonesia (KPRI) serta Sentral
Gerakan Buruh Nasional (SGBN). Deklarasi golput dilakukan dengan menggelar aksi massa
di depan gedung Komisi Pemilihan Umum (KPU). Alasan koalisi tersebut memilih golput
karena ketidakpercayaan terhadap kedua pasangan calon dalam memimpin Indonesia serta
belum terjaminnya hak untuk dipilih. Aturan-aturan pemilu mencegah partisipasi sebagai
pemilu disebabkan oleh kebutuhan logistik pendanaan yang besar. Syarat yang hanya bisa
dipenuhi oleh partai-partai dengan modal besar. Seruan lainnya dari massa aksi adalah seruan
untuk membentuk partai alternatif sebagai lanjutan dari pilihan golput.
Kritikan mengenai kandidat capres-cawapres juga disampaikan. Jokowi dinilai tidak
terbukti pro-rakyat ketika telah terpilih. Agenda penyelesaian HAM tidak berjalan, dan terus
terjadi. Petani dirampas tanahnya. Dalam sektor buruh, banyak kebijakan perburuhan yang
merugikan. Nota kesepahaman militer dengan departemen pemerintahan terus dilakukan
hingga wacana penempatan militer di jabatan-jabatan sipil. Sementara itu, Prabowo memiliki
Universitas Indonesia
rekam jejak dalam pelanggaran HAM yaitu penculikan aktivis pada masa Soeharto. Prabowo
sendiri bagian dari rezim Orde Baru yang korup. Selain itu, ada tiga seruan utama dalam pers
rilis yang disampaikan oleh Komite Politik Alternatif, sebagai berikut:
1. Kecaman terkait intimidasi dan upaya kriminalisasi kaum Golput. Memilih merupakan
hak, bukan kewajiban. Oleh karena itu, Golput adalah juga pilihan politik.
2. Mendesak pemerintah dan DPR untuk merevisi aturan-aturan tentang Partai Politik dan
Pemilu yang memungkinkan seluruh elemen rakyat dapat memiliki hak menjadi
kontestan pemilu.
3. Seruan kepada seluruh rakyat yang aspirasinya tidak terwakili dan yang tidak percaya
dengan seluruh calon peserta pemilu, agar bersikap Golput. Bergabung dengan wadah-
wadah Komite Golput untuk secara bersama-sama kemudian membangun partai
alternatif yang sesuai dengan aspirasi pergerakan rakyat (SorgeMagz, 2019).
Pada pemilu 2019 angka golput merupakan angka golput paling rendah sejak Pemilu 1999.
Jumlah golput berada di kisaran 19%.
Grafik 4.1
Angka Partisipasi Pemilih dari Pemilu 1971-Pemilu 2019
100%
90%
80%
70%
60%
50%
40%
30%
20%
10%
0%
PEMILU PEMILU PEMILU PEMILU PEMILU PEMILU PEMILU PEMILU PEMILU PEMILU PEMILU
1971 1977 1982 1987 1992 1997 1999 2004 2009 2014 2019
Sumber: IDEA, Voter turnout Since 1945: A Global Report; Kemitraan Partnership &
Perludem, Desain Partisipasi Masyarakat Dalam Pemantauan Pemilu; KPU RI,
Sejarah Pemilihan Umum Indonesia.
Universitas Indonesia
18
https://lokadata.id/artikel/indeks-demokrasi-indonesia-merosot-tiga-tahun-terakhir, diakses 22 Juli 2020.
90 Universitas Indonesia
Fenomena Golput ..., M. Syaeful Anam, FISIP UI, 2020
91
kategori sebagai demokrasi tidak sempurna (flawed democracy). Status tersebut artinya
Indonesia melaksanakan pemilu yang relatif bebas dan adil serta menghormati kebebasan sipil
dasar. Di sisi yang lain, terdapat beragam persoalan seperti pelanggaran kebebasan pers serta
problem pengelolaan pemerintahan. Tahun 2018 BPS juga mencatat Indonesia mengalami
penurunan pada indeks aspek kebebasan sipil sebesar 0,29 poin dan pada aspek hak-hak politik
turun sebesar 0,84 poin dibandingkan tahun 2017.
Levitsky dan Ziblatt, dalam karyanya How Democracies Die (2019) ada empat
indikator, sebuah negara atau sistem pemerintah dapat dikatakan otoriter. Indikator pertama
keengganan untuk berkomitmen pada aturan main dalam demokrasi. Hal tersebut tergambar
bagaimana Jokowi menginstruksikan kepala daerah hingga tentara untuk menyampaikan
keberhasilan kebijakan pemerintah. Mereka juga diminta untuk menangkal kabar hoax terkait
Jokowi dan pemerintahannya sebelum Pilpres 2019 hingga mobilisasi pejabat sipil dan aparat
militer untuk mendukung petahana. Indikator kedua adalah menyangkal legitimasi lawan
politik (oposisi). Setelah terpilih untuk periode kedua, Jokowi menarik partai-partai politik
diluar koalisinya dengan memberikan kursi di kabinet. Pada 2019 Jokowi menarik Gerindra –
partai oposisi utamanya ke dalam pemerintahan. Fenomena tersebut sebetulnya sudah
dilakukan Jokowi ketika periode pertama dengan menarik Golkar, PPP dan PAN ke dalam
koalisinya. Hal tersebut mengakibatkan terjadinya ketimpangan suara antara koalisi pendukung
pemerintah dengan oposisi. Indikator ketiga adanya toleransi dan mendorong penggunaan
kekerasan aparat. Pada konteks ini terlihat ketika terjadi tindakan represif ketika gerakan
Reformasi Dikorupsi September 2019. Sebelum itu juga terjadi aksi berujung kerusuhan pada
21-23 Mei. Aksi tersebut merupakan protes untuk menyikapi hasil Pemilu 2019. Indikator
keempat adalah kesediaan penguasa untuk membatasi kebebasan sipil, termasuk media. Pada
masa Pemerintahan Jokowi terjadi pelarangan dan sweeping buku, pembubaran dan teror
terhadap diskusi kritis, pembubaran paksa dan penangkapan peserta demonstrasi.
Kenyataan lainnya adalah kondisi hari ini masih jauh dari apa yang dicita-citakan ketika
reformasi dulu. Penyelesaian KKN justru dijawab dengan kebijakan kontra produktif seperti
pelemahan KPK. Sektor lainnya juga mengalami hambatan seperti wacana penempatan tentara
di beberapa pos sipil, peningkatan anggaran bela negara, pembangunan markas komando
semakin bertambah, supremasi hukum juga tidak berjalan. Tegaknya hukum menjadi prasyarat
kuatnya demokrasi begitupun sebaliknya. Rendahnya komitmen terhadap penegakan hukum
membuat politik berada diatas hukum. “Adili Suharto” yang menjadi cita-cita reformasi juga
tidak menjadi kenyataan. Sementara itu, Alghiffari Aqsa (22/01/2020) melihat Periode Jokowi
Universitas Indonesia
merupakan periode yang suram dalam rule of law, politik berada diatas hukum, investasi ada
diatas hukum. Ia juga menambahkan dalam segi pemenuhan HAM yang menjadi janji Jokowi
pada 2014, juga tidak dijalankan. Kebijakan-kebijakan pemerintah justru menambah panjang
kasus pelanggaran HAM yang ada di Indonesia. Retorika pemerintah terkait kebhinnekaan dan
toleransi juga dipertanyakan ketika tidak tegasnya pemerintah dalam menyelesaikan konflik
rumah ibadah. Perlindungan terhadap minoritas menjadi semu seperti aksi-aksi perundungan
terhadap kelompok rentan LGBT, dibiarkan oleh negara.
Agenda demokrasi belum berdampak pada kehidupan rakyat didorong oleh sistem
politik berbiaya mahal. Sistem politik yang dijalankan menenggelamkan munculnya partai
politik alternatif. Hasil riset LPEM UI pada 2014 menemukan investasi yang mesti dikeluarkan
caleg agar peluang menangnya besar berada di kisaran Rp 787 juta sampai Rp 1,18 miliar.
Sedangkan untuk DPRD kisarannya Rp 320-481 juta. Investasi politik sebesar angka tersebut
tidak menjamin terpilihnya caleg19. Bila kurang dari angka tersebut, peluang keterpilihan
semakin menipis. Politik berbiaya mahal tersebut menghasilkan partisipan-partisipan politik
adalah kelompok berduit atau disokong pemodal. Dalam iklim demokrasi tersebut mendorong
lahirnya oligarki-oligarki. Mietzner (2019) juga menyoroti terkait politik uang juga berkaitan
erat pada beberapa hal seperti pendanaan partai yang amburadul, peran oligarki, dan masifnya
klientelisme. Kondisi tersebut mempertegas apa yang disampaikan Bilven (20/01/2020)
“Jadi pemilu itu jadi tidak lebih demokratis dari tahun ke tahun. Makin
mempersulit, ruang demokrasi makin dipersusah. Undang-undang yang baru
atau yang kemarin berlaku mereka yang bermodal duit saja yang bisa jadi peserta
pemilu, dan mereka yang bisa mencalonkan kandidat ya koalisi dulu dong,
kongkalikong, money politic, deal-dealan jatah kursi atau segala macem.”
Munculnya peraturan dari pemerintah terkait ambang batas parlemen sebesar 4 persen
semakin menguatkan kuasa oligarki. Selain itu, partai juga harus memiliki pengurus cabang
minimal dari 75 persen kabupaten/kota. Hal ini menjadi penghambat demokrasi karena biaya
politik menjadi sangat mahal. Partai baru kesulitan masuk dalam kontestasi elektoral. Jadilah
kontestasi elektor hanya diikuti elite-elite dengan jejaring oligarki yang memiliki sumber daya
besar. Sumber daya besar tersebut digunakan untuk membiayai operasional partai di seluruh
wilayah di Indonesia. Sehingga, menjelang Pemilu 2019, hanya ada empat partai baru yang
19
https://www.lpem.org/id/biaya-investasi-politik-2014/, diakses 22 Juli 2020.
Universitas Indonesia
muncul – dan semua didukung secara finansial oleh para taipan, termasuk Tommy, anak
Soeharto (Mietzner, 2019).
Lini (26/01/2020) menambahkan liberalisasi ekonomi yang dijalankan Jokowi
mendorong kebijakan yang berpusat pada kepentingan pemodal. Keberpihakan tersebut
mengakibatkan rakyat sebagai pemilik daulat tertinggi menjadi terpinggirkan. Sehingga tidak
mengherankan, banyak terjadi konflik agraria, tanah rakyat tergusur oleh agenda-agenda
pembangunan. Ideologi pembangunan ala Jokowi juga turut mengorbankan beberapa sektor
lainnya. Hal itu diungkapkan Farid Gaban (13/02/2020) bahwa fokus periode pertama Jokowi
pada infrastruktur justru tidak berdampak pada aspek pembangunan manusia. Pembangunan-
pembangunan dilakukan dengan merusak lingkungan dan kerap kali menggusur manusia, yang
mestinya menjadi subjek pembangunan. Imajinasi pembangunan manusia dengan platform
Revolusi Mental terabaikan. Trajektori ideologi pembangunan di Indonesia pasca reformasi
masih berkutar pada imajinasi pembangunan ala Soeharto. Soeharto menjalankan Trilogi
Pembangunan yang berisi tiga program. Ketiga program tersebut ialah pertumbuhan ekonomi,
stabilitas politik dan pemerataan pendapatan (Budiman dan Tornquist, 2001).
Pertumbuhan ekonomi ditopang dengan menarik investasi sebesar-besarnya. Sektor
investasi yang digenjot salah satunya dalam sektor ekstraktif. Hal itu membuat kerusakan alam
terjadi dengan masif pada era reformasi terkhusus Jokowi. Roy Murtadho, Komite Nasional
FNKSDA (Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam) dalam wawancara pada 17
Februari 2020 menyampaikan:
“dalam hal ini kebijakan Jokowi tidak jauh beda dengan kebijakan SBY. Cerita
sukses di era Jokowi dilandasi dari kebijakan SBY, MP3EI. Trajektori itu telah
dibangun sekian lama. Sebenarnya pondasinya di Orde Baru. Dan ini sebenarnya
kebangkitan kedua dari Rejim Orba, yang tendensi ekonomi politik maupun tata
kelola negara, akarnya di Orde Baru. Jokowi sama aja, seperti diakui dia.
Katanya dia ngurusin investasi…”
Adanya proyek MP3EI menciptakan dominasi pemerintah dalam mendorong terjadinya
konflik lahan yang diperuntukkan untuk infrastruktur. Pemerintah memiliki peran dalam proses
pembebasan dan pengadaan tanah. Pemerintah juga menjamin resiko yang diakibatkan oleh
pengadaan tanah bagi proyek infrastruktur yang turut melibatkan sektor swasta. Percepatan
infrastruktur seringkali abai terhadap hak-hak masyarakat lokal, seperti petani dan nelayan.
Beberapa contoh konflik agraria tersebut diantaranya pembangunan PLTU Batang yang
menggusur petani dan nelayan, kriminalisasi aktivis penolak PLTU di Cirebon/Indramayu,
Universitas Indonesia
tambang emas di Tumpang Pitu, Banyuwangi dan di Surokonto, Jawa Tengah dengan tuduhan
yang tidak logis.
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat kasus konflik agraria. Ada 215 kasus
pada tahun 2014, 450 kasus tahun 2016, 659 kasus pada 2017 serta 410 kasus tahun 201820.
Alih fungsi lahan yang masif tersebut juga tergambar dari riset Greenpeace, sejak 2015 terdapat
130.000 hektar deforestasi yang berasal dari konsesi korporasi sawit (25 grup) dimana 41
persennya (51.600 hektar) berada di daerah Papua21. Data Hansen, University of Maryland
2000-2017, laju penggundulan hutan yang terjadi 2015-2017 tercatat mencapai 650.000
hektar22. Pembangunan infrastruktur yang masif didukung dengan investasi secara besar-
besaran menjadi ancaman terhadap lingkungan hidup di Indonesia. Catatan Walhi
menyebutkan sekitar 61,46% daratan dikuasai oleh korporasi sektor perkebunan, kehutanan,
pertambangan dan migas. Hal itu melahirkan ketimpangan yang sangat tinggi yang tergambar
jelas lewat rasio gini penguasaan lahan Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2013 yang mencapai
angka 0,68.31 artinya 1% penduduk Indonesia menguasai 68% lahan23.
Kecepatan pembangunan periode Jokowi mendorong pada peningkatan hasil dalam
bentuk produksi atau penghasilan nasional. Pada sisi yang lain, kesenjangan sosial akibat
perbedaan kemampuan dan kesempatan antar golongan masyarakat juga semakin melebar di
sepanjang pembangunan tersebut. Penurunan angka masyarakat yang mengalami kemiskinan
absolut tidak mencegah kecepatan pertumbuhan kekayaan golongan menengah dan atas
masyarakat. Kekecewaan aktivis pro-demokrasi terhadap pembangunan juga ditampilkan oleh
dampak proyek pemerintah dan ekspansi dunia usaha terhadap persoalan tanah dan perburuhan.
Pembebasan tanah untuk proyek pemerintah serta swasta membawa masalah baru terkait ganti
rugi, hilangnya mata pencaharian. Hal itu membangkitkan mereka yang mengalaminya secara
langsung dan mereka yang mengikutinya dengan pendampingan atau kerja-kerja advokasi.
Keprihatinan yang sama juga terjadi dalam dunia kerja antara pengusaha dengan para pekerja.
Permasalahan yang ada terkait masalah upah pekerja, perlindungan para pekerja dan kebijakan
yang merugikan buruh lainnya di banyak perusahaan. Permasalahan-permasalah tersebut tidak
serta merta selesai melalui kebijaksanaan pemilu dengan memilih calon yang tersedia.
20
http://kpa.or.id/assets/uploads/files/publikasi/4ae36-catahu-2018-kpa-edisi-peluncuran_.pdf, diakses 22 Juli
2020.
21
https://www.tempo.co/dw/560/greenpeace-penegakan-hukum-di-bidang-lingkungan-hidup-sulit-karena-
keterlibatan-elite, diakses 22 Juli 2020.
22
https://www.dw.com/id/greenpeace-penegakan-hukum-di-bidang-lingkungan-hidup-sulit-karena-keterlibatan-
elite/a-47564961, diakses 22 Juli 2020.
23
https://www.walhi.or.id/lingkungan-hidup-terancam-rezim-investasi, diakses 22 Juli 2020.
Universitas Indonesia
Kondisi tersebut melahirkan gelombang protes menjelang Pemilu 2019 melalui gerakan
#SayaGolput. Gerakan tersebut diinisiasi oleh aktor-aktor pro-demokrasi lintas sektoral.
Realitas golput di kalangan pro-demokrasi dapat dipahami sebagai suatu gerakan protes.
Gerakan golput pada 2019 terdiri dari kalangan intelektual perkotaan, aktivis di berbagai
sektor, yang menghimpun diri dalam gerakan yang tidak diorganisasikan secara formal, namun
memiliki prinsip-prinsip organisasi, ideologi, program aksi dan agenda-agenda kelompok.
Seperti cita-cita Golput ketika pertama kali dicetuskan pada 1971, untuk tegaknya demokrasi
dalam seluruh aspek kehidupan masyarakat. Semangat itu pula, menjadikan aktivis pro-
demokrasi memilih untuk tidak memilih (golput) pada Pemilu 2019. Ada batas yang tegas
antara demokrasi liberal secata resmi di satu sisi, dengan demokrasi partisipatoris yang lebih
substantif di sisi lain. Definisi konvensional yang paling minimal, cenderung membatasi
sebagai sistem politik, yang berbeda dengan sistem ekonomi dan sosial. Uhlin (1998) memberi
makna demokratisasi meliputi kehidupan sosial dan ekonomi. Upaya perlawanan melalui
SayaGolput ini bagian dari aktivisme yang dilakukan oleh elemen pro-demokrasi. Tindakan
tersebut merupakan bentuk contentious politics atau politik perseteruan. Aktor-aktor gerakan
sebagai subjek memiliki keresahan-keresahan yang berangkat dari kerja advokasi. Aktor-aktor
tersebut berjejaring membentuk aliansi taktis dalam wadah SayaGolput.
Beberapa aktor gerakan SayaGolput memandang golput sebagai protes terhadap kinerja
petahana dan dominasi status quo kedua kubu. Senada yang diungkapkan Ambardi (2009)
politik Indonesia didominasi oleh kartel partai politik. Jatam (2018) merilis informasi tentang
pebisnis tambang yang berdiri dalam lingkaran masing-masing kandidat. Komitmen terhadap
penghargaan terhadap hak asasi manusia juga dinilai rendah. Baik kubu Jokowi maupun
Prabowo terdapat terduga pelanggar HAM masa lalu (KontraS, 2019). Asfinawati (17/01/2020)
melihat golput yang dilakukan sebagai bentuk:
“… harus ada kelompok tengah. Dan ini sebenarnya pembicaraan ketika
pemilihan gubernur (DKI Jakarta). Ini kan keras sekali, terkesan seakan-akan
polarisasi dan sangat keras. Sebenarnya kalau ada kelompok ketiga.. dia bisa
memecah kerasnya polarisasi tersebut. Itu salah satu alasanya. Tetapi lebih dari
itu adalah kami betul-betul menyadari dengan berbagai data, mereka berdua
(Jokowi dan Prabowo) ini sama saja. Ini hanya menyervis tuan yang berbeda,
atau jangan-jangan tuannya bahkan sama, beririsan begitu. Dan tidak akan ada
perubahan terutama pada pemilihan Jokowi yang kedua yah. Kalo yang pertama
(2014) kan, kita tidak punya bukti”.
Universitas Indonesia
Hal itu juga diperkuat absennya ideologi dalam politik Indonesia. Lewat tulisan Mapping The
Indonesian Political Spectrum (2018), Aspinal et al., menganalisa bahwa partai politik di
Indonesia tidak banyak yang berbeda terkait kebijakan dan ideologi. Satu-satunya pembagian
yang cukup jelas diantara partai politik adalah sejauh mana mereka percaya bahwa Islam harus
berperan dalam urusan publik.
Kalangan aktivis pro-demokrasi ini melihat Jokowi sebagai harapan pada 2014 terbukti
tidak memenuhi komitmennya terhadap penyelesaian kasus HAM masa lalu dan justru
menambah kasus-kasus HAM baru. Sebagian besar mereka adalah pendukung Jokowi pada
2014. Hal itu diakui Lini (26/01/2020), aktor SayaGolput yang mendukung Jokowi pada
Pemilu 2014 dan berbalik arah memilih golput. Menurutnya pilihan golput ini adalah:
“… karena 2014 ikut mengkampanyekan Jokowi. Bahkan terlibat di dalam
timnya, jadi kayak punya beban dosa tapi sekaligus sudah muak (kepada
Jokowi)… saya golput selain memberitahukan kepada semua pemilih bahwa
punya hak untuk tidak memilih (golput), adalah memberitahu bahwa polarisasi
01 (dan) 02 dengan pendekatan yang sangat agresif. Kalau 01 berarti nasionalis,
02 berarti relijius. Selain 01 (dan) 02, bisa 03 bahkan 010”.
Kekecewaan pendukung Jokowi 2014 juga semakin menguat ketika Jokowi memutuskan KH
Ma’ruf Amin, Ketua MUI sebagai cawapres pada Pilpres 2019. Pilihan tersebut dipandang
sebagai kompromi dengan partai-partai pendukungnya dan upaya mendapatkan suara dari
kelompok Islam konservatif. Hal tersebut digunakan untuk menepis tuduhan Jokowi sebagai
anti ulama. Mereka melihat Jokowi lebih memilih mengabaikan aspirasi kaum marginal yang
dibungkam oleh kelompok konservatif. Beberapa tindakan persekusi terhadap kaum minoritas
sering terjadi seperti penutupan gereja dan perlakuan diskriminasi terhadap kaum LGBT.
Ma’ruf Amin juga dianggap bukan tokoh pluralis.
Pandangan-pandangan kelompok golput ini menghendaki adanya jaminan HAM,
kebebasan dan ruang demokratisasi dibuka seluas-luasnya. Demokrasi mesti menghadirkan
alternatif-alternatif pilihan yang bertumpu pada demokrasi politik, sosial dan ekonomi. Warga
mendapatkan hak dipilih dan memilih yang sama. Akses yang sama didepan hukum dan hak
kewargaan lainnya harus diberikan. Harkat dan martabat kemanusiaan dihargai dan dijunjung
tinggi. Kalangan ini melihat partai politik dan elite tidak menjalankan agenda politik demi
kepentingan publik jika tidak bertepatan dengan pemilu. Partai politik dan elite hanya hadir
pada masa pemilu saja. Golongan golput ini menekankan pembangunan demokrasi untuk
membangun pemberdayaan dan martabat individu. Pilihan golput sebagai ‘alarm’ bagi politisi.
Universitas Indonesia
Semakin tinggi angka golput akan mengingatkan politisi kepada harapan rakyat terhadap
politik lebih besar dan nyata dalam menciptakan masyarakat yang lebih adil. Golput sebagai
kekecewaan terhadap nilai-nilai politik dan visi yang ditawarkan dalam Pemilu 2019.
Kelompok pro-demokrasi ini menghendaki adanya sistem politik yang lebih baik.
Aktor-aktor gerakan ini menjadikan golput sebagai kelompok penekan pemerintah untuk
menyelenggarakan pemilihan dengan sistem dan mekanisme yang jauh lebih baik. Farid
Gaban, aktivis SayaGolput mengakui pasca Pemilu 2004, dia memilih golput. Farid Gaban
(13/02/2020) menghendaki adanya perbaikan, seperti penuturannya berikut:
“pertama partai sendiri sudah tidak mewakili yang disebut kedaulatan rakyat.
Saya golput sebagai protes, kalau diperbaiki saya tidak golput.”
Perbaikan dibutuhkan terkait struktur, sistem dan budaya politik. Dalam sistem politik yang
ada, rakyat sama sekali tidak diberi ruang. Salah satu target dari golongan golput ini adalah
revisi paket UU Politik. Keberadaan lima paket UU Politik merupakan sumber legitimasi
pemerintah dalam membatasi hak-hak politik rakyat untuk berpartisipasi dalam pemerintahan
dan ketatanegaraan. Ada beberapa kritik terhadap paket peraturan tersebut diantaranya
Pancasila sebagai satu-satunya asas. Hal tersebut mencerminkan keinginan pemerintah dalam
pengendalian partai. Pancasila digunakan sebagai alat penertiban politik. Kondisi tersebut
mengulang apa yang terjadi pada masa Orde Baru. UU Politik yang ada menciptakan dominasi
kekuasaan eksekutif atas kekuasaan legislatif dan yudisial. Adanya parlement treshold dan
presidential treshold menjadikan partai politik semakin diminalisir serta absennya kompetisi.
Pemerintah juga memiliki campur tangan ke internal partai melalui aturan main undang-undang
tersebut. Implikasi lainnya adalah anggota dewan merupakan orang-orang yang tidak mewakili
representasi rakyat. Kekuasaan hanya dimiliki oleh partai dalam memberhentikan atau recall.
Rakyat tidak memiliki kedaulatan dalam recall.
Perubahan undang-undang terkait pemilu mesti dilakukan. Aturan tersebut harus
mengarah sebagai upaya untuk menempatkan pemilihan umum sebagai pelaksana kedaulatan
rakyat. Warga mesti diberikan kesempatan yang sama untuk mengambil bagian dalam pemilu.
Kualitas pemilu mesti dikembangkan dengan memaksimalkan tingkat partisipasi, transparansi,
dan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia. Alghiffari Aqsa melihat dorongan perubahan
sistem politik harus memiliki substansi sebagai berikut:
1. Mengakomodir keterbukaan ide, bukan kontrol dari negara.
2. Terbuka untuk setiap orang berpartisipasi.
3. Sistem multi-partai dan mendorong sistem yang mudah untuk pembuatan partai.
Universitas Indonesia
24
https://antikorupsi.org/sites/default/files/analisis_dana_kampanye_pilpres_2019.pdf, diakses 22 Juli 2020.
Universitas Indonesia
orang saja. Pesta demokrasi tidak lain hanyalah menjadi wadah pertarungan antar elite dan
oligark untuk mengokohkan cengkeraman kuasa dan kepentingannya. Sehingga, golput
merupakan pilihan rasional sebagai bentuk pembangkangan politik. Pernyataan Roy Murtadho
(17/02/2020) mewakili cara pandang kelompok ini, yang disampaikan berikut:
“Golput dijadikan sebagai sebagai investasi politik… Pembangkangan politik
dengan cara boikot pemilu. Lah itu kan boikot pemilu dengan cara golput.”
Bagi kalangan ini, demokrasi yang dijalankan masih sekedar demokrasi prosedural. Seperti
penjelasan Schumpeter (2003) bahwa demokrasi merupakan bagaimana tatanan kelembagaan
agar tercapainya keputusan politik dimana individu-individu memiliki kekuatan untuk
membuat keputusan melalui perjuangan kompetisi dalam mendapatkan suara rakyat. Pemilu
dijalankan secara demokratik namun bila ditelaah secara mendalam terdapat kecacatan.
Prosedur demokrasi hari ini mendorong mekanisme yang dibangun dalam partai dan sistem
politik. Sistem politik dan partai yang akhirnya menyodorkan pilihan kepada rakyat. Sistem
yang ada tidak memungkin lahirnya alternatif-alternatif baru. Relasi kuasa antara penguasa dan
pemodal menjalankan agenda demokrasi. Demokrasi elektoral menjadi prosedur adanya
pergantian kekuasaan secara sah tanpa adanya komitmen yang kuat terhadap demokrasi sosial
dan ekonomi. Demokrasi yang dijalankan belum memberikan transformasi publik. Dengan
kata lain demokrasi substansial masih jauh dari kenyataan.
Pilihan golput mesti diarahkan untuk melawan kaum borjuasi yang memprioritaskan
akumulasi kekayaan dan kekuasaan. Merekalah kelompok yang lewat kuasa modal berhasil
meraih kursi politik, memainkan aturan hukum, merancang regulasi yang menguntungkan
mereka sendiri, rakus menjarah sumber daya hingga mengontrol atas institusi dan lembaga
pemerintahan. Bagi kalangan SayaGolput varian ini menilai pemerintahan Jokowi tidak
merepresentasikan ideologi politik populis Bung Karno. Ambisi Jokowi lewat pembangunan
infrastruktur justru merampas tanah-tanah wong cilik demi kepentingan modal besar. Reforma
Agraria Jokowi yang dianggap berasal dari semangat UUPA 1960, diterjemahkan menjadi
sekedar program bagi-bagi sertifikat tanah. Hal tersebut memberikan peluang konsolidasi dan
konsentrasi tanah yang diperuntukkan bagi kepentingan pemodal. Kekuatan kelas borjuasi
tersebut mengendalikan ekonomi dan politik bangsa. Mereka mengendalikan nasib jutaan
rakyat pekerja. Kaum borjuasi bisa berbeda dalam pilihan politik namun mereka memiliki
kepentingan yang sama dalam meraih akumulasi kapital. Titik temu itulah yang
melanggengkan penindasan terhadap kelas proletar. Kondisi rakyat pekerja dalam hal ini kaum
buruh, tani dan miskin kota mengalami ketidakadilan dan pemiskinan. Pemilu pasca reformasi
Universitas Indonesia
belum juga memperbaiki kehidupan mereka yang tertindas. Justru penindasan serta
ketidakadilan terus dilangsungkan.
Golongan ini menganggap golput adalah ekspresi penolakan politik borjuasi yang ada.
Namun golput saja tidak cukup. Bagi mereka golput merupakan langkah awal, sebuah upaya
membangun imajinasi baru terkait gerakan politik alternatif. Boikot pemilu melalui golput
senagai usaha memerdekan diri dari predatorisme politik. Politik yang berkualitas dapat dicapai
dengan upaya terus-menerus mengurangi sikap predatorisme dengan mengonsolidasi,
menyolidkan, mengorganisir dan memperkuat oposisi. Hal itu dilakukan bukan dengan
menggadaikan diri kepada partai dan kelompok borjuis atau melegitimasi dengan beraliansi
dengan pemburu rente berwajah humanis dalam kompetisi elektoral. Aktor-aktor negara dalam
demokrasi pasca reformasi tidak jauh berbeda dengan masa Orde Baru. Mereka menjadi
kepanjangan tangan korporasi dibanding memperjuangkan kelompok marginal. Partai politik
dan kekuasaan legislatif mengutamakan kepentingan para pemodal dan kelompoknya. Serikat-
serikat buruh yang ada terjerat dalam elitisme dan transasksi politik dengan partai-partai
borjuis. Organisasi masyarakat sipil yang ada terfragmentasi dalam berbagai isu dan elitis yang
cenderung mengandalkan strategi yang kompromistis seperti lobi-lobi kepada elite.
Beberapa juga menembuh strategi perubahan dari dalam. Kelompok golput ini menolak
pilihan critical engagement oleh beberapa kelompok pro-demokrasi, yang nyatanya juga tidak
memberikan perubahan yang signifikan. Strategi tersebut justru memberikan legitimasi
tergadap tatanan politik yang ada, dibanding memenangkan kepentingan kelompok yang
tereksklusi. Roy Murtadho (17/02/2020) berpendapat:
“kita maknai politik sebagi arena iya, tapi arenanya tidak netral. Arena itu ada
ideology of power, the power of ideology. Arena ini klindan dengan ideologi
kuasa dan kuasa ideologi yang faktanya tidak memungkinkan keluar dari itu.
Faktnya, belum memberi ruang yang bebas bagi gerakan rakyat secara umum
untuk berkontestasi secara adil.”
Mudhoffir (2018) melihat tidak relevannya masuk ke dalam sistem diakibatkan betapa
jaringan, aliansi, relasi dan kepentingan-kepentingan yang melahirkan para oligark perampas
sumber daya ekonomi dan politik untuk akumulasi privat25. Makna gerakan golput mesti
diperluas, tidak hanya sekedar sikap kekecewaan namun direorganisasi sebagai perlawanan
terhadap hegemoni jaringan, alians, relasi dan kepentingan-kepentingan borjuasi yang tidak
25
https://indoprogress.com/2018/08/boikot-pemilu-dan-masa-depan-gerakan-progresif-kritik-atas-pendekatan-
personalistik/, diakses 22 Juli 2020.
Universitas Indonesia
hanya menghasilkan kandidat yang buruk. Melainkan menciptakan ruang yang terbatas dalam
memenangkan agenda kaum marginal.
Kalangan ini menolak cara-cara kompromi. Mereka mendorong perlunya pilihan politik
alternatif. Mereka memiliki cara pandang ideologi progresif kiri sebagai jalan keluar atas
kondisi riil hari ini. Walaupun, pemaknaan-pemaknaan agenda politik kelompok ini memiliki
varian yang beragam pula. Tetapi, titik temu kalangan ini adalah sosialisme. Perlunya
bangunan blok politik baru yang mengedepankan gerakan yang tidak membatasi diri pada
sekedar politik elektoral. Terlebih menggunakan sistem politik yang ada sekarang. Perlunya
kematangan dan perubahan terhadap sistem elektoral yang ada untuk memulai kesempatan
masuk ke dalam sistem. Tetapi dengan kendaraan politik alternatif. Partai politik alternatif yang
merepresentasikan kelas rakyat pekerja; buruh, tani dan masyarakat miskin kota. Partai yang
memperjuangkan mereka yang tertindas. Pembangunan politik alternatif yang berasal dari
persatuan rakyat, yang berangkat dari pengorganisasian massa yang kelindan dengan partai.
Hal tersebut sebagai kendaraan gerakan kiri untuk merubah tatanan menuju sosialis dengan
cara merebut kekuasaan. Hal terdekat yang dilakukan oleh kalangan ini adalah memberikan
pendidikan politik di basis massa rakyat. Selain membangun perspektif politik massa rakyat
juga sebagai ajakan massa rakyat untuk bergabung ke dalam blok politik kiri. Harapan tersebut
seperti yang diungkapkan oleh Roy Murtadho (17/02/2020)
“… program jangka menengah bagi saya dan Bilven mendorong supaya alat
politik agar segera terbangun. Dari proses-proses yang sudah ada bisa lebih maju
lagi. Jadi bukan sama sekali dari nol lagi, sudah ada. Ada partai-partai seperti
PRP. Ada ormas-ormas progresif. Isu (gerakan) lingkungan aja sudah kembang-
kembangnya, ada ormas Islam progresif juga sudah munculan. Di lingkungan,
ada Kristen Hijau, ada FNKSDA, Kader Hijau Muhammmadiyah…”.
Kelompok selanjutnya yang bergerak di SayaGolput adalah mereka yang tidak percaya
terhadap pemilu dan segala bentuk otoritas. Mereka melihat kekuasaan yang berada di
segelintir orang atau kelas yang berkuasa memiliki kuasa koersif (memaksa). Keputusan yang
mereka ambil dapat diterapkan saat itu juga untuk semua orang. Kebijakan-kebijakan yang
dibuat nyaris tidak berpihak kepada rakyat. Rakyat sebagai pemilik kedaulatan dikorbankan
untuk memenuhi keserakahan segelintir penguasa tersebut. Untuk menghentikan tersebut
perlunya menghapuskan monopoli kekuasaan dan menyerahkannya kepada rakyat. Another
world is possible. Kemungkinan tersebut adalah otonomi tanda perlu adanya negara. Semangat
ini yang mengilhami kelompok anarko. Kelompok ini menentang segala bentuk hierarki yang
Universitas Indonesia
menindas. Tentu varian dari kelompok ini juga tidak tunggal. Beberapa contoh tatanan yang
diharapkan seperti Kota Cheran yang terletak di negara bagian Michoacan, Meksiko. Mereka
hidup tanpa walikota dan tinggal dalam masyarakat komunal. Bagi kalangan ini komunitas-
komunitas independen perlu diberikan ruang yang besar. Sekalipun di Indonesia, komunitas
independen masih bersifat primordial seperti Ciptagelar, Baduy dan lain-lain. Belum sampai
pada tahapan bergerak dengan semangat anarkisme seperti Cheran.
Anarko dengan variannya yang beragam, menganggap negara sebagai musuh karena
memonopoli otoritas yang melahirkan tindakan destruktif bagi masyarakat. Kekuasaan
teritorial, kekuasaan yurisdiksi, kekuasaan atas sumber daya alam hingga imajinasi tentang
bangsa merupakan sumber penindasan. Mereka menginginkan tatanan masyarakat tanpa
negara atau pemerintah. Pada takaran yang minimal adalah terciptanya komunitas-komunitas
independen yang berdaya dan mandiri. Hal itu seperti yang diimajinasikan oleh Alghiffari Aqsa
(22/01/2010)
“…dalam ekosistem politik hari ini, gak bisa membuat ekosistem yang ada diluar
ini. Sehingga pilihan alternatif, lebih kepada entitas-entitas alternatifnya.
Misalnya ada partai alternatif, organisasi rakyat yang baru, atau non partai. Jadi
ada politik dengan pemilu dan ada juga non partai. Contoh aksi langsung,
pengorganisasian masyarakat, bahkan bisa jadi gak butuhin negara seperti
komunitas-komunitas independen kayak Ciptagelar. Itu politik alternatif, mereka
punya otonomi, independen.”
Kebijakan-kebijakan Jokowi yang tidak sejalan dengan agenda demokrasi dan advokasi
aktivis pro-demokrasi itu lah mendorong sikap protes terhadap kekuasaan dengan cara golput.
Pemilu sebagai pembentukan legitimasi diprotes karena belum terpenuhinya demokrasi secara
substansial, yang memberikan transformasi kehidupan publik terkhusus kelompok masyarakat
miskin kota, petani yang digusur, buruh yang dieksploitasi, kelompok rentan dan minoritas.
Hal itu menggambarkan statemaking yang jauh dari keberpihakan rakyat. Sikap golput tersebut
dalam pandangan Sanit (1992) dikategorikan sebagai upaya protes terhadap proses pemenuhan
kebutuhan sistem politik Indonesia yang dipandang tidak mengoperasikan pengembangan
demokrasi.
Berkaca pada agenda perjuangan yang menyentuh beragam sektor, gerakan golput pada
Pemilu 2019 dapat menjangkau beragam spektrum ideologi dari aktivis pro-demokrasi.
Sekalipun demikian, aktivis pro-demokrasi tersebut bersikap sebagai sikap individu bukan
Universitas Indonesia
organisasi. Hal itu diungkapkan oleh Ketua Umum YLBHI, Asfinawati (17/01/2020) sebagai
berikut:
“Jadi kami memang secara organisasi tidak tidak mungkin menjadi golput.
Karena yang memiliki hak pilih adalah individu. Tapi kami melihat secara
organisasi, orang harus memiliki hak kebebasan berpolitik termasuk untuk tidak
memilih. Narasi-narasi pada waktu itu (dari pemerintah) sebenarnya narasi Orde
Baru yang menyatakan “memilih adalah hak dan kewajiban” dan itu
diungkapkan oleh Bapak Wiranto.”
Aksi kolektif golput tersebut berhasil menyatukan berbagai elemen gerakan. Kondisi tersebut
dapat terjadi karena
“ada ada musuh bersamanya. Ini kan kelompok makin terdesak ya oleh negara,
kayak elit politik. Ya mau gak mau, ya harus bergabung. Kalau enggak siapa
yang akan menolong gitu. Termasuk serikat buruh yang tadinya terpecah-
pecah, bisa gabung disatuin. KASBI sikap organisasinya golput” (Alghiffari
Aqsa, 22/01/2020).
Aktor-aktor gerakan tersebut dengan latar belakang organisasi dan ideologi yang
berbeda, bersepakat membentuk aliansi bersama SayaGolput. Sebuah aliansi taktis yang
dinamis dan cair tersebut sebagai jejaring yang tidak mengikat. SayaGolput yang tidak
diformalkan ke dalam sebuah organisasi ditujukan untuk keleluasaan dalam bergerak. Kondisi
tersebut membuat SayaGolput terbuka untuk siapapun. Siapapun dapat bergabung dalam
wadah tersebut. Hal itu juga dimaksudkan untuk menjaring massa sebanyak-banyaknya.
Kondisi-kondisi yang ada juga tidak memungkinkan membentuk satu bentuk organisasi.
Mengingat SayaGolput dapat dikatakan sebagai wadah koalisi sementara dari kalangan pro-
demokrasi yang memiliki sikap yang sama tentang kondisi hari ini. Mereka memiliki common
enemy yaitu rezim hari ini. Ketidakmungkinan pembentukan sebuah wadah perjuangan
organisasi, dikarenakan tiap kelompok dari SayaGolput memiliki platform, visi dan tujuan
yang berbeda sesuai basis ideologisnya. Kalangan pro-demokrasi, progresif kiri dan anarko
bertemu dalam barisan yang sama, yakni SayaGolput, dapat dikatakan sebagai kompromi dari
gerakan masing-masing yang terdesak oleh rezim oligarki. Sehingga platform yang digariskan
dalam dokumen Kertas Putih Golongan Putih mencoba mengakomodir semua elemen kritis
dari masyarakat sipil.
Dalam gerakan SayaGolput 2019 agenda perjuangan berangkat dari aspek interest
terkait dengan persoalan yang menjadi bidang advokasinya, aspek organisasi berkaitan dengan
Universitas Indonesia
kesamaan sikap dan pengalaman konkrit ketika berhadapan dengan rezim Jokowi. Aspek-aspek
tersebut menjadi pertimbangan dalam merumuskan agenda perjuangan Golput 2019. Agenda
perjuangan tersebut dapat dikatakan semacam manifesto berisikan isu-isu dan avokasi yang
sedang dan terus diperjuangkan oleh aktivis pro-demokrasi. Agenda perjuangan ini merupakan
klaim tuntutan dari SayaGolput yang ditujukan kepada obyek (pemerintah dan elite). Klaim ini
dihadirkan sebagai protes terhadap pemerintah dan agenda perlawanan dari SayaGolput. Klaim
yang berisi lintas sektoral dengan sepuluh poin ini digunakan untuk mengajak elemen-elemen
masyarakat sipil lainnya bergabung dalam front ini. Selain itu, klaim ini sebagai propaganda
untuk publik baik yang terdampak maupun yang memiliki concern dalam sejumlah isu ini
untuk bergabung dan terlibat dalam pertarungan politik ini. Aktor gerakan juga melihat secara
psikologis, masyarakat mengalami kejenuhan melihat polarisasi yang tajam sejak 2014 lalu. Di
samping itu, animo perbincangan tentang politik juga sedang tinggi-tingginya. SayaGolput
muncul dengan tawaran sebagai pilihan alternatif. Sekalipun paradigma depolitisasi dengan
massa mengambang yang diwariskan sejak rezim Soeharto masih kuat pengaruhnya.
SayaGolput merumuskan platform gerakan berangkat dari refleksi perjuangan, cita-cita
dan kompromi antar elemen gerakan untuk mengakomodir semua elemen. Sepuluh agenda
perjuangan tersebut diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Kesejahteraan untuk rakyat.
Rilis BPS tahun 2019 menunjukkan betapa urusan kesejahteraan rakyat masih menjadi
pekerjaan rumah utama bagi Indonesia. Ada sekitar 25 juta warga Indonesia berada di
bawah garis kemiskinan. Sekalipun pemerintah mengklaim angka kemiskinan tinggal satu
digit untuk pertama kalinya dalam sejarah republik. Walaupun demikian, perlu didorong
adanya upaya penghapusan kemiskinan dan ketidakadilan ekonomi. Negara juga harus
memastikan rakyatnya dapat mengakses hunian yang layak. Sehingga perlunya kebijakan
progresif, inklusif dari pemerintah. Pilihan demokrasi Indonesia mendorong lahirnya
keadilan sosial seperti tercantum dalam ideologi Pancasila. Problem kesejahteraan lainnya
adalah masih sulitnya akses sebagian warga terhadap air bersih. Padahal air merupakan
permasalahan utama. Adanya privatisasi di sektor pengelolaan air bersih turut menyulitkan
akses air bersih. Kesehatan juga menjadi poin penting dalam kesejahteraan rakyat. Carut
marutnya layanan kesehatan BPJS mesti diperbaiki dan memastikan alokasi anggaran
negara baik pusat dan daerah untuk jaminan layanan kesehatan.
Kualitas pendidikan perlu diperbaiki. Perbaikan mutu pendidikan, pemerataan dan
persoalan kesejahteraan guru mesti diselesaikan. Akses pendidikan juga harus menjadi
Universitas Indonesia
fokus utama negara, agar semua mendapatkan pendidikan yang layak. Sehingga, perlunya
mewujudkan pendidikan gratis, demokratis dan berkualitas hingga jenjang pendidikan
tinggi sesuai dengan Pasal 13 Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan
Budaya yang diratifikasi ke dalam UU No. 12 Tahun 2015.
2. Agraria, ruang hidup, dan lingkungan hidup.
Indonesia sebagai negara agraris mengalami sejumlah persoalan di sektor agraria. Ada
banyak kasus sengketa lahan dan perampasan tanah masyarakat yang merugikan hak hidup
rakyat. Belum lagi penguasaan lahan oleh segelintir orang menjadi tuan tanah baru di era
modern. Untuk itu perlunya transparansi data HGU (Hak Guna Usaha) dan kepemilikan
lahan di Indonesia. Negara juga perlu berpihak pada rakyat dengan mengevaluasi proyek-
proyek infrastruktur yang merugikan rakyat. Berdasarkan data BPS 2013 menunjukkan
penguasaan 1% rakyat Indonesia atas 68% sumber daya lahan. Mendorong negara untuk
menjalankan reforma agraria sejati berdasarkan UUPA 1960, tidak sekedar model bagi-
bagi sertifikat hak milik.
Laporan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat terdapat 41 orang tewas, 546
disiksa dan dianiaya, 51 orang ditembak serta 940 petani dan aktivis agraria dikriminalisasi
selama empat tahun pemerintahan Jokowi jilid pertama. Rinciannya sebagai berikut 252
konflik (2015), 450 konflik (2016), dan 659 konflik (2017) serta 410 konflik (2018). Luas
wilayah konflik agraria tersebut mencapai 807.177,613 hektar dan korbannya 87.568 KK
di seluruh Indonesia. Sehingga perlu adanya terobosan baru dalam menyelesaikan konflik
agraria yang berpihak pada hak rakyat, termasuk tidak dengan penyelesaian menggunakan
kekerasan dan represif serta penghentian kriminalisasi petani dan pejuang agraria. Proyek-
proyek investasi seperti pertambangan, kebun sawit, reklamasi dan proyek infrastruktur
dilakukan dengan merugikan masyarakat dan merusak lingkungan. Untuk itu perlu adanya
mekanisme mitigasi dan pencegahan pelanggarah HAM serta lingkungan. Mendorong
kepedulian pemerintah pada perubahan iklim dan penggunaan energi terbarukan.
Perlinndungan terhadap partisipasi perempuan dalam pengelolaan agraria dan lingkungan.
Hal lainnya terkait kebijakan impor kebutuhan pangan justru memberi keuntungan pada
pemburu rente serta merugikan nasib petani dan peternak. Negara mesti memperketat
aturan impor dan mengutamakan rakyat. Penghentian sistem perdagangan bebas yang
mempersulit sumber-sumber kehidupan masyarakat, dan kedaulatan pangan.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
melaporkan terdapat kurang lebih 870 orang yang menjadi korban kekerasaan anggota TNI-
Polri selama 4 tahun kepemimpinan Jokowi. Negara juga mesti menghentikan semua
praktik bisnis tentara sesuai aturan UU No. 34 Tahun 2004. Penyelesaian pelanggan HAM
oleh militer mesti diselesaikan dengan transparan dan akuntabel serta penghentian
Dwifungsi TNI jilid 2 oleh pemerintahan Jokowi-JK. Nota kesepakatan TNI-Polri telah
membuka jalan kembali TNI untuk membungkam aksi-aksi rakyat. Nota kesepakatan TNI
dengan lembaga negara, kementeriam lembaga pendidikan dan BUMN juga bagian dari
jalan mundurnya cita-cita reformasi militer. Hal yang perlu diperhatikan lainnya adalah
razia dan penyitaan buku yang dianggap “kiri” oleh militer merupakan praktik Orde Baru
yang masih dijalankan. Hal mendesak lainnya adalah pengelolaan badan intelijen yang
transparan dan mengembalikan pimpinan badan tersebut ke pihak sipil.
6. Agenda pemenuhan hak asasi manusia.
Cita-cita reformasi adalah tentang tegaknya HAM. Untuk itu, penuntasan pelanggaran
HAM berat masa lalu merupakan kebutuhan mendesar dengan jalan pengadilan HAM,
yang sekaligus mengungkap kebenaran demi kehidupan demokrasi yang terbebas dari
impunitas. Salah satu agenda HAM adalah perlunya kerja sama antar lintas kelompok dan
lembaga diperluka untuk menghentikan stigmatisasi dan persekusi terhadap penyintas,
keluarga penyintas dan pegiat penuntasan kasus 65/66. Selain itu, dukungan berbagai upaya
masyarakat sipil dalam mencari keadilan bagi korban dan mengungkapkan kebenaran bagi
generasi muda dan masyarakat.
Kepemimpinan Jokowi pada periode pertama juga tidak luput dari catatan pelanggaran
hak asasi. Kasus-kasus tersebut diantaranya penenggelaman Desa Jatigede (Sumedang),
pembunuhan Salim Kancil (Lumajang), reklamasi Teluk Jakarta, Teluk Benoa, Manado,
dan Makassar, perampasan lahan petani Kendeng untuk perusahaan semen, perampasan
lahan di Kulon Progo dan Kertajati, eksploitasi tambang di Tumpang Pitu, Banyuwangi.
Pembubaran aksi-aksi demo dan larangan berkumpul dan diskusi juga menjadi masalah
yang serius dan kerap terjadi seperti diskusi sejarah di YLBHI pada 2017, Belok Kiri Fest
pada 2016 dan lainnya. Selain itu, pada kurun waktu 2016-2017 polisi menangani 5.154
kasus ujaran kebencian yang dikenai pasal karet UU ITE. Media sosial secara tidak
langsung dibungkam dengan mengkriminalisasi kritik, protes dan keresahan rakyat lewat
digital. Untuk itu, peraturan dan kebijakan yang anti-kebebasan mesti dihapuskan untuk
demokrasi yang lebih baik dan jaminan kebebasan berpendapat. Larangan dan razia buku
juga perlu dihentikan karena kontra terhadap cita-cita negara dalam mencerdaskan seluruh
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
dan kekerasan seksual, pemberlakuan sistem recall (pemanggilan kembali) atau pemecatan
wakil rakyat oleh konstituen, sanksi tegas KPU bagi parpol yang tidak menjalankan kuota
keterwakilan perempuan, transparansi parpol serta mendorong akuntanbilitas wakil rakyat.
Hal mendesak lainnya adalah membangun partai politik alternatif serta dibukanya ruang
untuk jajak pendapat atau referendung bagi pengesahan undang-undang ataupun
pembatalan undang-undang yang terkait HAM dan pemenuhan hak dasar warga negara.
Pilihan Golput ini mesti dilihat sebagai ekspresi politik yang sah dalam pemilu.
10. Reformasi hukum dan peradilan sebagai lembaga pemulihan yang efektif.
Perbaikan dalam sektor hukum dan peradilam juga menjadi fokus perbaikan utama.
Perbaikan dilakukan dengan mendorong reformasi peradilan pidana untuk mengurangi
praktik kriminalisasi dengan memposisikan Jaksa sebagai pengendali perkara. Selain itu,
pejabat negara mulai pusat hingga daerah mesti menjalankan putusan pengadilan dalam
kasus-kasus melawan rakyat. Hal mendesak lainnya adalah menghapus mafia peradilan.
Agenda perjuangan tersebut menggambarkan sebaran ragam ideologis dan advokasi
kelompok aktivis pro-demokrasi yang berjejaring membentuk gerakan golput 2019.
Keresahan-keresahan tersebut berangkat dari situasi riil kerja-kerja advokasi yang dilakukan
oleh kelompok masyarakat sipil. Ada sektor agraria dan tata ruang, lingkungan, HAM, hukum
dan anti-korupsi, perburuhan, hingga kelompok rentan dan minoritas. Suara dari kelompok-
kelompok yang terpinggirkan oleh agenda pembangunan negara. Gerakan protes ini juga
menggambarkan bentuk shifting coallition dari kelompok masyarakat sipil yang berbeda
spektrum gerakan dan ideologinya. Koalisi dilakukan ketika elemen-elemen pro-demokrasi
mulai mendapati kemandegan dalam advokasi perjuangan. Di sisi lain, kemandegan tersebut
berasal dari lawan yang sama yaitu “pemerintah dan elite”. Pemerintahan Jokowi menjadi batu
sandungan dalam pemajuan agenda-agenda demokrasi yang diperjuangkan beberapa kelompok
masyarakat sipi. Dapat dikatakan rezim hari ini sebagai musuh bersama.
Protes oleh aktivis pro-demokrasi tersebut dapat dilihat sebagai sebuah gerakan
(movement), yang terorganisir pada masyarakat yang menginginkan perubahan tatanan yang
ada, bertujuan menghancurkan kepentingan kekuasaan yang sah demi mendorong lahirnya pola
baru (Lofland, 2003). Salah satu aspek yang menarik dari gerakan merupakan ekspresi akan
protes terhadap keadaan-keadaan sosial yang tidak adil atau berbagai kekacauan termasuk
pemerasan dan penindasan oleh mereka yang memiliki kekuasaan (Siahaan, 1997). Gerakan
golput oleh aktivis pro-demokrasi dapat dilihat sebagai politik pertentangan antara member dan
challenger dalam spektrum negara. Member merujuk pada kelompok yang berada di lingkaran
Universitas Indonesia
kekuasaan dan challenger ditujukan pada kelompok yang berada di lingkaran kekuasaan dan
berusaha mengintervensi kekuasaan. SayaGolput dapat dilihat sebagai challenger terhadap
status quo. Dalam konteks contentious politics (pertarungan politik), SayaGolput dengan
sepuluh agenda perjuangan merupakan subyek yang melakukan perlawanan terhadap
pemerintah. Agenda perjuangan tersebut digunakan sebagai rasionalitas gerakan yang berasal
dari pengalaman riil. Hal tersebut disampaikan kepada publik bahwasanya ada yang tidak beres
dalam jalannya demokrasi hari ini. Sepuluh agenda perjuangan tersebut sebagai indikator-
indikator untuk menuntut perubahan yang lebih baik. Di sisi yang lain, substansi demokrasi
juga gagal diimplementasikan oleh rezim hari ini. SayaGolput mengurai problem-problem
demokrasi tersebut, untuk kemudian memposisikan diri dalam identitas “alternatif” dan
bersolidaritas kepada mereka yang terpinggirkan.
Sikap golput tersebut dapat dipandang sebagai acuan sikap dalam berhadapan dengan
pelaksanaan prinsip-prinsip demokrasi. Sikap golput dalam pemilu merupakan muara bagi
sikap kritis dan kekecewaan ataupun ketidakpuasaan warga masyarakat terhadap proses politik
yang dialaminya atau dirasakannya. Golput menjadi pilihan bagi mereka yang mempunyai
gambaran jelas tentang hambatan perkembangan demokrasi di dalam kehidupan politik.
Mereka memahami fungsi pemilu terhadap penciptaan legitimasi sistem politik. Hal itu
diungkapkan oleh Asfinawati (17/01/2020)
“ketika pemerintah sangat kuat (absolut) maka daya tawarnya pasti tinggi. Maka
pada rezim-rezim otoriter selalu mencoba mengatur pemilihan, supaya dia
mengatakan, saya mempunyai legitimasi 80%, 90%. Karena itu saya kuat kalau
mau melakukan apapun. Jadi setidaknya-tidaknya, kalau kita bisa menunjukan
bahwa tidak seluruhnya orang tidak bisa dibodohi seperti itu. Itu merupakan
tujuan jangka pendeknya (golput).”
Oleh karena itu, mereka dengan sadar menggunakan hak pilih tanpa mengikuti peraturan yang
berlaku dengan maksud membatalkan penyerahan suaranya kepada kontestan pemilu dengan
jalan golput baik dengan datang ke TPS maupun tidak (Sanit, 1992).
SayaGolput dengan isu lintas sektoral merupakan gerakan yang berupaya mengatasi
fragmentasi masyarakat sipil, memperbesar dukungan dari organisasi-organisasi kerakyatan.
Sifatnya yang cair dan dinamis menjadi pilihan untuk mengurangi penguasaan tunggal
(demonopolisasi). Sehingga pada gilirannya, akan menciptakan dan memperkuat representasi
politik yang benar-benar merakyat (popular representation). Selain itu, SayaGolput ini juga
bisa dikatakan sebagai eksperimentasi politik. Gerakan golput telah dilakukan berulang kali,
Universitas Indonesia
utamanya ketika masa otoritarianisme Soeharto. Eksperimentasi politik ini diuji lagi ketika
berlangsung momentum politik 2019. Golput menjadi cara paling dekat untuk dilakukan dalam
mewujudkan gerakan. Masyarakat tengah mengalami perhatian terhadap politik yang besar.
SayaGolput dengan klaim-klaim yang ada ditujukan untuk memobilisasi massa dan menjadi
alternatif pilihan bagi masyarakat. Karena pada dasarnya sistem politik di Indonesia belum
mengakomodir kepentingan rakyat kecil. Sehingga, propaganda-propaganda gerakan tentang
perlunya perubahan dari kondisi hari ini dapat menjadi pertimbangan untuk masyarakat.
Karena siapapun yang terpilih, yang dirugikan tetap rakyat.
5.2 SayaGolput: Perlawanan dan Kontestasi Golput dalam Arena Pemilu 2019
Kebijakan pemerintah yang tidak berpihak kepada rakyat selalu menimbulkan antitesa
yang melahirkan ketidakpuasan, kekecewaan serta ketidakadilan publik. Kondisi tersebut
memunculkan gerakan sosial. Bagi Tilly gerakan sosial terjadi adanya pemimpin yang
memobilisasi sumber daya kelompok. Mobilisasi merupakan kombinasi berbagai kepentingan
(interest), organisasi (organization), kesempatan (opportunity) dan tindakan kolektif yang
memiliki dinamika berubah-ubah. Kepentingan-kepentingan dalam gerakan golput
termanifestasikan dalam 10 agenda perjuangan. Tuntutan tersebut bermula dari visi aktor-aktor
gerakan yang sudah terlibat dalam kerja-kerja advokasi. Golput dipilih sebagai jalan rasional
untuk melawan rezim otoriter atau yang sedang memegang tampuk kekuasaan. Golput sebagai
ekspresi protes yang paling dekat dilakukan. Tindakan kolektif ini dilakukan sebagai upaya
mengembalikan makna demokrasi yang sesungguhnya. Tindakan kolektif sendiri memiliki
beragam bentuk. Tindakan kolektif dapat berjalan singkat atau berjangka panjang, terlembaga
atau mengacaukan, membosankan sederhana atau dramatik. Tarrow (1998) melihat tindakan
kolektif terjadi dalam institusi-institusi, sebagai bagian dari kelompok yang terbentuk untuk
tujuan-tujuan yang kadang biasa-biasa saja. Tindakan kolektif memiliki kekuatan karena
mereka memposisikan diri sebagai penantang pemegang kekuasaan, membangun solidaritas.
Aksi-aksi dilakukan untuk mengkonfrontasi lawan, elite, atau pemegang kekuasaan.
Kepentingan-kepentingan aktor gerakan yang kemudian diajukan sebagai klaim
SayaGolput berangkat dari kegelisahan dan isu advokasi gerakan yang terdiri dari lintas
sektoral. Tuntutan tersebut sebagai keresahan bersama sekaligus kompromi antar aktor-aktor
gerakan. Isu-isu tersebut digunakan sebagai membingkai wacana guna menarik massa
bergabung dalam front golput. SayaGolput merupakan aliansi yang tidak memiliki struktur dan
hierarki. Golput dipandang sebagai upaya membangun pendidikan politik. Sehingga bentuk
gerakan tidak harus sentralistik. Belajar dari gerakan-gerakan terdahulu, adanya struktur justru
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
aktivis-aktivis pro-demokrasi yang memiliki concern di banyak bidang. Bila melihat isu yang
dibawa SayaGolput ada sepuluh agenda perjuangan yang terdiri dari kesejahteraan untuk
rakyat, perjuangan agraria dan ruang hidup, buruh dan ketenagakerjaan, anti-korupsi, stop
militerisme, pemenuhan HAM, hapus diskriminasi kelompok minoritas, dukung masa depan
Papua, perbaikan sistem politik, reformasi hukum dan peradilan. Isu tersebut berkaitan erat
dengan demokrasi politik, sosial dan ekonomi. Satu isu dengan isu lainnya saling beririsan.
Selain itu, kriminalisasi aktivis juga kerap terjadi selama periode pertama Jokowi dengan
adanya UU ITE. Aktivis-aktivis pro-demokrasi terlibat dalam kerja-kerja advokasi. Dalam
upayanya memajukan kerja-kerja advokasi, mereka memiliki pengalaman yang sama.
Hambatan-hambatan selama advokasi secara langsung kerap diwarnai tindakan represif.
Aspirasi-aspirasi yang mereka perjuangkan juga menemui jalan buntu. Pemerintah tidak
memiliki komitmen dan inisiatif untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang ada.
Sehingga, kebijakan pemerintah yang tidak pro dalam agenda pemajuan advokasi tersebut
menjadi musuh bersama aktor-aktor tersebut.
Aktor-aktor gerakan SayaGolput seringkali dipertemukan dalam diskursus-diskursus.
Mereka sudah saling mengenal satu sama lain. Salah satu titik temu aktivis pro-demokrasi
tersebut melalui forum-forum yang diselenggarakan oleh YLBHI. YLBHI sendiri tidak hanya
mengurusi persoalan bantuan hukum semata tetapi juga menyoroti persoalan struktur.
Asfinawati (17/01/2020) mengungkapkannya seperti berikut:
“karena itu bantuan hukum yang kami berikan tidak seperti layanan, atau mereka
mengatakan legal services (cuma melayani). Kita lebih dari itu karena kita
melihat seluruh kasus ini dilatarbelakangi ketimpangan struktural. Sehingga para
pendiri LBH sudah bilang dari dulu yang harus dibenahi yaitu strukturnya
tersebut.”
Keterbukaan YLBHI pada lintar sektor isu dan latar belakang tersebut membuat ruang berbagi
keresahan antar aktivis menjadi memungkinkan. Sehingga, manifestasi-manifestasi kerap lahir
dari forum YLBHI. Begitupula SayaGolput, gerakan tersebut dideklarasikan di Kantor YLBHI.
Sebelum pembentukan aliansi SayaGolput, YLBHI sendiri menyelenggarakan diskusi-diskusi
yang berkaitan dengan intervensi masyarakat sipil menjelang momentuk politik 2019. Lini
Zurlia (26/01/2020), aktivis Purplecode bercerita proses kristalisasi gerakan golput tersebut:
“Secara kolektif karena saling mengetahui ada individu-individu yang
mengadvokasi, semakin terlihat pilihan politiknya. Lalu individu-individu ini
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
itu buzzer dikenal sebagai sebutan penggaung. Buzzer dipersonifikasikan sebagai pelaku yang
membuat suara-suara bising seperti dengung lebah. Ada buzzer bergerak secara sukarela,
namun ada juga yang menjadikan itu sebagai sebuah pekerjaan yang sesuai dengan permintaan
pemesan. Penelitian Bradshaw dan Howard (2019) berjudul The Global Disinformation Order:
2019 Global Inventory of Organised Social Media Manipulation menyebutkan pemerintah dan
partai-partai politik di Indonesia memanfaatkan buzzer untuk menyebarkan propaganda pro-
pemerintah/partai, menyerang lawan politik, dan menyebarkan informasi untuk membangun
polarisasi opini publik.
Peluang politik dan kekuatan mobilisasi sumber daya mempengaruhi taktik dan strategi
gerakan golput 2019. Media digital memiliki ruang mengisi kekurangan keterbatasan sumber
daya dan semakin terbatasnya dinamika politik untuk menggalang massa yang lebih luas.
Dalam beberapa contoh mobilisisasi dunia digital digunakan sebagai strategi gerakan sosial.
Arab Spring yang menyapu Tunisia, Mesir hingga Syria; Revolusi Payung di Hongkong,
hingga aksi terorisme yang dikomandoi ISIS di berbagai belahan dunia menjadi contohnya.
Adapun bentuk mobilisasinya juga beragam dari aksi spontan tanpa komando seperti Occupy
Wall Street, jejaring transnasional yang terdesentralisasi seperti Women’s March, sampai aksi
yang dipimpin oleh aktivis dan NGO layaknya Earth Hour dan seruan perubahan iklim. Media
sosial turut mendisrupsi gerakan sosial. Dalam Pemilu 2019, kelompok aktivis pro-demokrasi
gerakan golput menggunakan media sosial sebagai propaganda.
Penggunaan media sosial tersebut diisi dengan opini golput. Hal itu dilakukan
mengingat semakin terbatasnya media mainstream memberikan ruang berpendapat bagi
kelompok golput. Media-media pada umumnya lebih membingkai ketakutan akan golput.
Media di Indonesia sebagian besar beroperasi di dalam semangat pasar bebas. Dimana produksi
berita ditentukan oleh audiens dan pembaca. Peningkatan konsentrasi dan konglomerasi media
di Indonesia juga berperan kuat dimainkan oleh pemilik dengan membatasi informasi. Menurut
Robinson dan Hadiz (2004) kendati pemerintahan otoriter sudah berakhir, era demokrasi di
Indonesia sejak 1998 didominasi oleh kekuatan oligarki. Winters (2011) menjelaskan oligark
merupakan aktor-aktor yang memerintah dan mengontrol sumber daya material secara masif
yang dapat digunakan untuk mempertahankan atau memperluas kekayaan pribadi dan posisi
sosial yang eksklusif. Kekuatan oligark itu juga turut menguasai sektor media.
Bagi Tapsell (2018) pertama, kaum oligark pemilik media umumnya memproduksi
berita-berita dan informasi sesuai dengan keinginannya, sebagaimana yang dikatakan Winters,
bila media dikuasai oleh aktor-aktor dan kekuatan politik yang sama, hampir tidak mungkin
Universitas Indonesia
bahwa partai atau pers bebas yang kritis akan memberikan ruang untuk menantang bentuk-
bentuk dominasi oligark ini. Kedua, akibatnya, para calon yang maju dalam pemilu harus
membeli akses ke media, yang beberapa kasus berarti membeli tv, radio dan koran sekaligus.
Kondisi tersebut membuat kekuatan oligark membingkai perdebatan dan diskursus dalam
ruang publik. Perdebatan yang muncul dikarenakan benturan antara tokoh-tokoh bagian dari
oligark dan kelompok politik yang menguasai media-media tersebut. Namun, media-media
mainstream juga turut berkontribusi dalam mengenalkan gerakan golput. Terbukti banyaknya
talkshow dan diskusi-diskusi yang mengundang pegiat golput.
Dalam agenda-agenda tersebut, kelompok golput cenderung menjadi objek untuk
dikuliti. Kondisi demikian sudah diantisipasi oleh aktivis golput dengan menyiapkan “juru
bicara” yang mewakili mereka. Mengingat hal itu sebagai upaya memobilisasi massa selain
memasifkan kampanye di media sosial. Kampanye golput di media sosial dapat terlihat dari
tagline utama #SayaGolput yang juga memenuhi trending twitter. Selain itu, penggunaan profil
SayaGolput juga masif dilakukan di semua lini media sosial seperti facebook, twitter,
instagram. Berebut wacana beriringan dengan masifnya kampanye kandidat presiden 01 dan
02. Drone Emprit (2019) mengulas dinamika topik percakapan soal golput di twitter. Performa
debat pertama menjadi awalan naiknya golput, diikuti dengan perdebatan pro-kontra yang
menyertainya. Lalu wacana pembebasan Abu Bakar Baasyir juga mewarnai isu-isu seputar
golput. Kemunculan akun Dildo di instagram turut dicurigai oleh kelompok anti-golput. Bila
melihat kondisi tersebut, kelompok golput setidaknya berhasil membingkai wacana golput di
media sosial. Narasi ketakutan bahwa kemunculan golput menguntungkan kelompok
konservatif dan dianggap tidak patriotik oleh kedua kubu sebagai dalih untuk melawan kubu
golput.
Munculnya influencer dan tokoh-tokoh sentral yang bergerak di lintar sektor aktivisme,
mendongkrak wacana golput pada 2019. Ketika mereka bersuara tentu akan semakin
meningkatkan framing dari gerakan golput. Secara integritas mereka dikenal keberpihakannya
kepada kelompok-kelompok yang dipinggirkan dan disingkirkan oleh negara. Gagasan-
gagasan sebagai dalil golput maupun counter narasi terhadap anti-golput juga banyak
dituliskan melalui kanal-kanal alternatif seperti medium, indoprogress, sorge magazine dan
media online lainnya. Ekskalasi meningkatnya kampanye golput di media sosial juga semakin
meningkatkan serangan terhadap kalangan golput. Hal itu juga membuat ekspos terhadap
gerakan golput 2019 semakin meningkat. Masifnya gerakan golput disebabkan semakin
terkonsolidasinya kekuatan pro-demokrasi yang semula sejak 2018 masih berserakan (Bilven,
Universitas Indonesia
20/01/2020). Sekalipun jumlah golput bila berkaca pada hasil pemilu menurun dibanding
pemilu sebelumnya, gaung gerakan golput membesar pada 2019. Hal itu disebabkan kampanye
golput tersebut merupakan gerakan kolektif. Sehingga kolektivitas tersebut saling mengisi satu
sama lain kekosongannya (Lini Zurlia, 26/01/2020).
Lini Zurlia (26/01/2020) menjelaskan gerakan golput punya beberapa strategi. Salah
satunya strategi kampanye publik, yang diisi dengan agenda serial diskusi di beberapa titik-
titik di kota-kota yang berbeda-beda. Lalu ada kampanye online dan deklarasi di setiap kota-
kota. Untuk aksi golputnya ada dua pandangan; bisa golput merusak surat suara atau bisa golput
dengan tidak datang ke TPS. Bentuk-bentuk protes yang dilakukan dengan beberapa hal yaitu:
1. Demonstrasi
Beberapa elemen golput menyampaikan sikapnya dengan melakukan aksi demonstrasi.
Aksi demontrasi dilakukan di beberapa kota seperti Jakarta, Maluku Utara, Palu, dan
Lampung. Di Jakarta, massa aksi salah satunya menyampaikan sikapnya di depan kantor
Komisi Pemilihan Umum. Massa aksi Komite Partai Alternatif menuntut agar ruang
demokrasi diperluas di Indonesia. Massa aksi tersebut terdiri dari berbagai organisasi
diantaranya Partai Rakyat Pekerja (PRP), Sentral Gerakan Buruh Nasional (SGBN),
Konfederasi Pergerakan Rakyat Indonesia (KPRI), Kongres Politik Indonesia (KPO) dan
Konfederasi Serikat Nasional (KSN). Pada Kamis, 21 Februari 2019 belasan orang juga
menggelar aksi dengan berkumpul di Taman Aspirasi, di seberang Istana Negara. Spanduk
putih bergambar telapak tangan dengan tulisan “Saya Golput” dibentangkan. Mereka
menyuarakan pilihan politiknya pada Pemilu 2019 dengan memilih tidak memilih alias
golput.
Sekelompok mahasiswa yang bergabung dalam Komite Boikot Pemilu (Borjuis) 2019,
melakukan aksi menolak adanya Pemilu 2019 di Maluku Utara. Massa tersebut merupakan
gabungan beberapa organisasi seperti Pusat Perjuangan Mahasiswa untuk Pembebasan
Nasional (Pembebasan), Solidaritas untuk Perjuangan Rakyat (Super), Front Nahdliyin
untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FNKSDA), Forum Sekolah Bersama (Sekber),
Serikat Kebudayaan Masyarakat Indonesia (Sebumi), Central Gerakan Mahasiswa
Demokrasi (CGMD), Gerakan Bintang Utara (GBU), dan Cakrawala. Ada 22 tuntutan yang
disampaikan, beberapa hal adalah lawan militerisme, bangun politik alternatif, stop
penggusuran lahan, stop kriminalisasi mahasiswa dan rakyat, hingga adili pelanggar HAM
1998.
Universitas Indonesia
Gambar 5.1
Aksi Massa Komite Politik Alternatif
Sumber:https://www.sorgemagz.com/koalisi-buruh-komite-politik-alternatif-
deklarasikan-golput/
Sementara itu, Komite Politik Alternatif Lampung (KPAL) menyampaikan ajakan
kepada masyarakat luas untuk golput pada Pemilu 17 April 2019. Menurutnya tidak ada
partai dan calon yang bisa memperjuangkan kepentingan rakyat. Kandidat yang ada
ditopang oleh kekuatan oligarki dan pemodal. Seruan selanjutnya adalah mendorong rakyat
ikut membangun partai massa rakyat. Dan tuntutan terakhir, mendorong adanya revisi UU
Partai Politik dan UU Pemilu yang dinilai tidak demokratis. Aksi lainnya juga dilakukan di
Palu. Massa yang menyebut Komite Perjuangan Politik Alternatif (KPPA) melakukan aksi
di depan kampus Universitas Tadulako. Mereka menyampaikan “golput adalah hak dan
bangun partai alternatif”.
2. Serial diskusi
Gerakan golput juga menyelenggarakan diskusi di berbagai kota besar. Di Jakarta, pusat
aktivitas-aktivitas diskusi ada di gedung YLBHI. Beberapa agenda diskusi diselenggarakan
sebagai ruang titik temu gagasan dan konsolidasi gerakan secara informal. Pada 31 Agustus
2018 diselenggarakan diskusi bertema “Bagaimana Kita Menyikapi Golput”. Diskusi yang
mempertemukan kalangan pro-demokrasi baik pro maupun kontra terhadap pilihan golput.
Kanal informasi seputar diskusi golput di update melalui media sosial Saya Golput di
Universitas Indonesia
twitter, facebook dan instagram. Beberapa hari menjelang hari pencoblosan diadakan acara
“Temu Kelu Warga”. Acara tersebut diselenggarakan pada Sabtu, 13 April 2019 bertempat
di gedung YLBHI. Acara tersebut diawali konferensi pers dan deklarasi golput pada 17
April 2019. Dalam pers rilis dijelaskan gerakan golput merupakan politik independen
intersektor melingkupi agraria dan lingkungan hidup, anti-korupsi, militerisme, buruh dan
ketenagakerjaan, hak asasi manusia, reformasi hukum dan lembaga peradilan. Diskusi
menyoal golput juga banyak diadakan di kampus-kampus. Di UGM misalnya, MAP
Corner-Klub MKP membahas isu Golput dan Masa Depan Demokrasi Indonesia.
Gambar 5.2
Poster Diskusi SayaGolput 2019
Sumber: akun twitter @SayaGolput
3. Konferensi pers
Pegiat golput juga menyelenggarakan beberapa agenda konferensi pers. Salah satu
momentum utamanya adalah lewat konferensi pers “Golput adalah hak”. Koalisi
masyarakat sipil yang terdiri dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI),
Lokataru, Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI), LBH Jakarta, Komisi untuk
Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS), Institute for Criminal Justice Reform
(ICJR), LBH Masyarakat, menyampaikan golongan putih (golput) atau tidak memilih saat
Universitas Indonesia
pemilu adalah hak bagi setiap warga negara. Kemunculan kelompok golput mesti dibaca
sebagai ekspresi protes atau hukuman terhadap pasangan capres-cawapres dan partai politik
yang programnya belum berpihat kepada rakyat. Kampanye golput juga tidak melanggar
undang-undang. Sehingga, tidak bisa dikenai pasal pidana. Adanya konferensi pers ini
sebagai jawaban atas gencarnya wacana kriminalisasi kampanye golput. Selain itu, menjadi
acuan bergerak, dari segi jaminan hukum bagi pegiat-pegiat golput. Dalam tulisan Hak
Untuk Golput (2019) yang dirilis SayaGolput, menjelaskan bahwa hak untuk memilih dan
dipilih adalah bagian dari hak asasi manusia, yang diatur dalam UUD 1945, Pasal 28D ayat
3, UU HAM, Pasal 23 ayat 1 dan Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik, Pasal
25. Selain itu, Indonesia juga bukan negara yang menerapkan sistem compulsory voting
(mewajibkan memilih).
4. Film Sexy Killers
Film Sexy Killers juga mengisi dinamika perdebatan soal golput, sekalipun film ini,
tidak menyerukan untuk golput. Namun, film ini dibuat oleh pegiat-pegiat aktivis golput.
Hal tersebut diakui oleh Roy Murtadho (18/02/2020) berikut:
“termasuk itu kan agenda golput yang bikin Sexy Killers. Pada saat itu ada saya, ada Merah
(Jatam), Dandhy (Watchdoc). Kita keroyokan bikin projek film. Itu (agar) masyarakat tahu
struktur kuasa di Indonesia, siapa, kelas mana yang sesungguhnya dominan dan sudah
mengungkungi seluruh agenda nasional”.
Dalam salah satu wawancara, Dandhy, sutradara film tersebut mengatakan golput itu
bonus dari film tersebut. Film dokumenter berdurasi satu jam lebih itu mengisahkan
aktivitas industri batu bara yang berdampak terhadap masyarakat dan lingkungan sekitar
daerah industri. Selain itu, film ini menggambarkan hubungan oligarki politik dengan
industri batu bara dan memotret keterlibatan antara industri tambang hingga sumber dana
kampanye pada Pemilu 2019. Film tersebut dirilis menjelang hari H pencoblosan. Film
tersebut seakan-akan hendak mengingatkan dibalik hingar-bingar dan pembelahan yang
tajam kedua kubu capres-cawapres ada relasi yang kuat antara kedua kubu, yang terhubung
lewat bisnis tambang. Jaringan bisnis tambang mempertemukan kedua kubu, yang seolah-
olah dicitrakan pertentangan antara orang baik dan orang jahat, orang religius dan tidak.
Film tersebut menyedot banyak perhatian terbukti dengan banyaknya jumlah viewer di
youtube dan banyaknya agenda diskusi dan nonton bareng Sexy Killers di berbagai kota.
Universitas Indonesia
5. Propaganda #SayaGolput
Media sosial juga dimanfaatkan untuk memobilisasi gerakan golput 2019. Hastag
utama yang digaungkan adalah #SayaGolput. #SayaGolput disebarkan di twitter, facebook
dan instagram. Selain propaganda #SayaGolput, juga dilakukan aksi serentak
menggunakan foto profil #SayaGolput. Hastag tersebut memecah perhatian diantara
masifnya perang wacana 01 dan 02 di media sosial. Tagar tersebut menggambarkan
aktivisme gerakan golput bersifat cair, fleksibel, dan tidak mengikat karena dilakukan
secara personal, tetatpi saling terkoneksi satu sama lain oleh kepedulian bersama akan isu
golput yang digaungkan. Narasi tersebut memungkinkan semua orang dapat terlibat
sebagai orang yang memiliki preferensi politik yang sama, yang memposisikan diri sebagai
orang yang dirugikan oleh status quo dan menginginkan hadirnya perubahan.
Gambar 5.3
Pegiat Golput Memeragakan Tagline SayaGolput
Sumber: cnnindonesia.com
6. Aksi golput serentak
Aksi puncak dari gerakan golput adalah dengan golput pada Pemilu 2019. Golput
tersebut dapat dilakukan dengan dua cara, pertama dengan merusak surat suara; kedua
dengan tidak hadir di Tempat Pemungutan Suara (TPS). Jumlah golput (tidak memilih)
pada Pemilu 2019 sekitar 19 persen. Adapun untuk surat suara tidak sah mengalami
peningkatan. Dari total suara sah 154.257.601, terdapat jumlah suara tidak sah yang
mencapai 3.754.905 atau sekitar 2,37% dari jumlah suara sah pada Pemilihan Presiden
(Pilpres). Sedangkan, pada Pemilihan Legislatif (Pileg) terdapat 17.503.953 atau empat kali
Universitas Indonesia
lipat jumlah surat suara tidak sah di Pilpres. Adapun jumlah suara sah Pileg sebanyak
139.971.260 (rumahpemilu.org, 2019).
Strategi SayaGolput dilakukan dengan berbagai bentuk tersebut untuk memobilisasi
massa. Namun, mobilisasi massa dengan kegiatan-kegiatan offline seperti aksi massa dan
diskusi, secara kuantitas, hanya diikuti massa yang sedikit. Hal tersebut menggambarkan isu
yang dibawa SayaGolput belum menyentuh massa untuk bergerak. Isu golput belum menjadi
isu yang sentral. Kondisi tersebut juga dapat dilihat sebagai ekses dari politik ketakutan yang
disebarkan rezim bagi golputers. Selain itu, demonstrasi-demonstrasi yang ada tidak
terkonsolidasi secara masif. Isu-isu yang dibawa cenderung sektoral. Kondisi berbeda terjadi
ketika mobilisasi di media sosial. Penggunaan media sosial ini juga melihat peluang mobilisasi
pemilih kaum muda. Pemilih muda ini merupakan kelompok usia yang termasuk dalam
kategori generasi millenial. Kelompok millenial termasuk dalam pengguna internet terbesar di
Indonesia. Berdasarkan riset APJII, sebaran pengguna internet dari kalangan millenial yaitu
usia 15-19 tahun memiliki persentase 91 persen; usia 20-24 tahun persentase penggunanya
sebesar 88,5 persen; kelompok usia 25-29 tahun memiliki persentase sebesar 82,7 persen;
kalangan usia 30-34 tahun sebesar 76,5 persen pengguna internet; dan umur 35-39 tahun
mencapai 68,5 persen yang menggunakan internet26. Karakter millenial dan generasi Z mereka
lebih suka melihat gambar atau video. Kondisi tersebut membuat SayaGolput mengemas
penyampaian ke publik dengan media yang sedang hits seperti jejaring sosial, infografis dan
sejenisnya. SayaGolput di media sosial semakin meluas dan menunjukkan gerakan ini begitu
terorganisir.
Departemen Politik dan Pemerintahan UGM mengadakan riset analisis data tentang isu
golput menjelang Pilpres 2019. Analisisnya mengungkapkan beberapa temuan, diantaranya
adalah penyebaran ajakan untuk golput secara masif dilakukan di media sosial dengan berbagai
macam tagar yang bersifat persuasif, seperti #MariGolput atau #PemiluMembunuhmu.
Bahkan, pada tanggal 18 Februari 2019 setelah Debat Capres, perbincangan mengenai golput
semakin meningkat. Dalam penjelasannya lebih lanjut, disebutkan pula alasan yang
menyebabkan masifnya gelombang golput pada pemilu ini antara lain, sikap ketidakpuasan
terhadap petahana. Oposisi juga dipandang tidak memiliki kelayakan27. Meningkatnya
ekskalasi golput di media sosial ini disebabkan oleh faktor generasi Z. Generasi Z tumbuh
26
https://kumparan.com/kumparantech/milenial-dominasi-pengguna-internet-indonesia-49-pernah-alami-bully-
1r5a51IREcH/full, diakses 22 Juli 2020.
27
https://www.liputan6.com/regional/read/3905384/4-fakta-tentang-kampanye-golput-di-media-sosial, diakses
22 Juli 2020.
Universitas Indonesia
dewasa di era digital, sehingga disebut sebagai ‘digital native’. Ekskalasi seperti ini bersifat
momentum saja. Ketika isu berganti menyesuaikan dengan tagar yang berkembang, mobilisasi
gerakan cenderung meredup. Akan tetapi, gerakan tidak menjadi padam. Pada titik yang lain,
mobilisasi bisa eksis kembali. Hal ini dibuktikan #SayaGolput yang terlibat memasifkan
mobilisasi #ReformasiDikorupsi, gerakan yang muncul sebagai respon atas UU yang tidak pro-
rakyat.
Mobilisasi SayaGolput di media sosial merupakan upaya klaim untuk menarik simpati
publik. Media sosial digunakan mengingat terbatasnya sumber daya dari gerakan SayaGolput.
SayaGolput juga melihat tingginya pengguna media sosial menjadi ruang yang terbuka untuk
mengampanyekan isu publik. Aktor-aktor gerakan juga melihat polarisasi terjadi juga di media
sosial. Perhatian publik yang besar terhadap politik membuat isu politik menjadi bahan
perbincangan masyarakat. SayaGolput memberikan pandangan yang berbeda dari arus
mainstream 01 dan 02. Aktor-aktor gerakan juga belajar dari transformasi gerakan sosial yang
telah menggunakan media sosial sebagai pembentukan wacana dan mobilisasi gerakan.
Namun, masifnya wacana golput membuat sejumlah pihak tidak tinggal diam.
Muncul counter movement dari rezim beserta kelompok pro status quo. Counter
movement dilakukan untuk mempertahankan struktur politik dan mempengaruhi masyarakat.
Polity model tersebut, memposisikan gerakan golput menjadi challenger bagi rezim dan elite
hari ini dan rezim beserta kroni-kroninya menjadi contender. Keduanya berusaha membangun
klaim, berupaya mempengaruhi masyarakat dan membangun koalisi. Bedanya, gerakan golput
membangun mobilisasi untuk protes, berjejaring antar kelompok masyarakat sipil untuk
mengonsolidasikan kelompok kritis dan menarik simpati masyarakat luas. Sementara rezim
dan jejaringnya saling menyolidkan barisan elite, memberikan pernyataan yang bersifat
represif dan mendorong elemen intelektual yang kontra-golput beserta lembaga-lembaga
pemerintah untuk mengampanyekan anti golput.
Pejabat-pejabat publik mendorong masyarakat untuk menggunakan hak pilihnya dalam
Pemilu 2019. Penggunaan hak pilih sebagai bentuk sikap nasionalisme dan patriotisme.
Seruan-seruan untuk tidak golput tersebar di media utama maupun media sosial. Di media
sosial, kampanye untuk tidak golput juga menghiasi wacana media sosial. Berdasarkan data
Drone Emprit, peranti analisis media sosial milik Ismail Fahmi, mengungkapkan isu-isu terkait
golput lebih sering diperbincangkan oleh kubu pendukung petahana. Topik Ahok menyumbang
diskursus sebesar 31 persen dari total volume topik golput. Pada masa jelang bebasnya Ahok,
imbauan ‘jangan golput!,’ digaungkan kembali. Dialektika anti-golput tersentralisasi pada dua
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Kolektivitas tersebut menguntungkan bagi mobilisasi aksi kolektif, mengingat elemen gerakan
golput merupakan terdiri dari aktivis lintas sektor dan organisasi.
Bila berkaca kondisi diatas, mobilisasi anti golput banyak diinisiasi oleh kalangan
petahana dan pendukungnya. Hal itu didorong oleh ketakutan-ketakutan bahwasanya tingginya
golput dapat memenangkan kubu konservatif seperti kemenangan Trump di Amerika Serikat
dan Brexit di Inggris. Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA merilis hasil survei
menjelang Pilpres 2019 terkait golput. Hasil survei menunjukkan kubu Jokowi-Ma’ruf menjadi
kubu yang dirugikan adanya golput dalam pemilu. Jokowi menjadi kubu yang paling rugi bila
wong cilik tidak hadir ke TPS. Segmen pemilih ini sebesar 49,8 persen. Wong cilik adalah
kantong suara Jokowi dengan selisih rata-rata diatas 25 persen. Pemilih milenial (dibawah 40
tahun) juga menjadi basis bagi Jokowi dengan kantong suara terbesar yang memiliki populasi
44,7 persen. Ketidakhadiran pemilih ini dapat menggerus suara Jokowi. Jokowi unggul di
segmen ini rata-rata di atas 15 persen. Jokowi akan merugi bila pemilih emak-emak tidak
memilih. Segmen pemilih ini hampir 50 persen. Jokowi unggul dengan selisih mencapai 31
persen. Sementara itu, Prabowo hanya merugi di kalangan segmen pemilih terpelajar yang
populasinya sebesar 10-15 persen. Pada segmen pemilih muslim keduanya kandidat berpotensi
mengalami kerugian bila terjadi golput28.
Perang narasi di media sosial itu menjadi penting, mengingat narasi sebagai salah satu
faktor penting dalam menentukan efektivitas aktivisme digital. Hal tersebut disadari oleh
SayaGolput maupun juga pihak anti-golput. Pertarungan politik (contentious politics)
tergambarkan dalam pembentukan wacana terkait golput. SayaGolput, jejaring aktivis pro-
demokrasi menjangkau massa dengan lintas sektoral. Mereka juga dianggap sebagai tokoh
dalam dunia aktivisme. Hal tersebut membantu meningkatkan ekskalasi isu golput. Mereka
juga memiliki pengalaman dalam mengorganisir dan kerja-kerja advokasi. Namun, kekuatan
mobilisasi yang besar justru hanya terlihat di media sosial. Mobilisasi dengan turun ke jalan
tidak memiliki gaung yang signifikan. Kondisi tersebut terjadi golput hanya dijadikan sebagai
momentum isu. Masyarakat sipil juga memiliki terfragmentasi. Kalangan masyarakat sipil juga
banyak yang menyerukan anti-golput. Mereka melihat urgensi elektoral untuk mendorong
struggle within – perubahan dari dalam sistem.
Minimnya gaung mobilisasi langsung seperti turun jalan dan sejenisnya juga berangkat
isu-isu yang ada belum meradikalisasi massa. Isu golput juga belum menyentuh hajat langsung
28
https://nasional.republika.co.id/berita/nasional/news-analysis/pom0rc430/golput-dan-dampaknya-terhadap-
kedua-caprescawapres, diakses 22 Juli 2020.
Universitas Indonesia
dari kepentingan massa. Permasalahan lainnya adalah adanya golput justru menguntungkan
elite yang lain. Massa melihat pemilu sebagai kontestasi elektoral dari elite. Perlu kehati-hatian
dalam bersikap. Selain itu, menjelang pemilu, pemilik otoritas juga cenderung membuat
kebijakan-kebijakan yang populis. Beberapa kebijakan populis Jokowi menjelang Pemilu 2019
adalah kenaikan gaji ASN, kenaikan dana Bansos, membatalkan naikkan harga premium, tolak
kenaikan iuran BPJS, dana kelurahan, menggratiskan tol Suramadu. Menuju Pemilu 2019,
lembaga legislatif juga tidak menghasilkan produk-produk UU yang sensitif bagi elemen
masyarakat sipil. Produk UU kontroversial justru dikebut ketika pemilu selesai, yang direspon
oleh gerakan ReformasiDikorupsi. Faktor lainnya adalah elemen mahasiswa, yang merupakan
sudah dikenal sebagai massa kelompok penekan, memilih tidak bergabung dalam gerakan
golput. Sekalipun ada, mereka bergabung sebagai entitas individu bukan organisasi. Kondisi
eksternal yang dihadapi gerakan SayaGolput tersebut juga diiringi problem internal. Banyak
pertanyaan, setelah golput apa tindak lanjut kedepannya. Walaupun SayaGolput sendiri
mengumandangkan, mereka akan terus mengawal sepuluh agenda perjuangan kerakyatan
tersebut. Namun, itu belum menjawab pertanyaan esensial tersebut.
Hal tersebut tentu harus dilihat kembali bahwasanya SayaGolput merupakan aliansi
yang cair dan dinamis, yang didalamnya ada beragam kelompok dengan aspirasi ideologi yang
beragam. Kegamangan SayaGolput tentu berangkat belum adanya titik temu tentang imajinasi
masa depan. Bagi kalangan pro-demokrasi secara umum menginginkan perubahan sistem yang
lebih baik, sementara kalangan progresif kiri imajinasinya tentang tatanan yang sosialis dan
kelompok anarko tujuannya untuk melepaskan massa dari hierarki yang ada. Akhirnya,
SayaGolput memilih sebagai aliansi gerakan yang terbuka, merupakan kompromi dan strategi
dari aktor gerakan ketika mengalami kebuntuan yang sama ketika berhadapan dengan rezim
hari ini. Kemunculan SayaGolput, paling dekat untuk menciptakan aksi-aksi yang mengganggu
terhadap petahana dan elite. Eksperimentasi politik ini juga untuk melihat sejauh mana massa
dapat termobilisasi dan tergerakkan. Keberagaman isu agenda perjuangan dan latar belakang
ideologis dimaksudkan untuk menjangkau massa yang luas. Selain itu, bagaimana publik
merespons isu tersebut dapat menjadi tolak ukur arah gerakan kedepannya. Masyarakat sipil
sendiri juga terpecah dalam kubu golput dan anti-golput. Kubu SayaGolput tidak hanya
berhadapan dengan elite semata tapi juga jejaring aktivis, yang memilih jalan mengintervensi
dari dalam sistem. Keterbelahan tersebut turut menghambat ekskalasi golput. Sehingga, klaim
yang ditujukan belum mempersuasi massa rakyat.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
mendorong banyak elemen pro-demokrasi mendukungnya, tidak terkecuali para aktivis golput
2019. Namun, seiring berjalannya waktu rezim menampilkan kebijakan yang justru melindungi
status quo. Agenda pembangunan infrastruktur yang agresif berdampak pada kerusakan
lingkungan dan seringkali juga mengorbankan manusia. Penggusuran-penggusuran kerap
dilakukan. Agenda pembangunan belum memberikan manfaat yang maksimal pada kualitas
pembangunan manusia. Narasi penurunanan kemiskinan absolut dibawah dua digit juga dinilai
tidak mencerminkan menurunnya ketimpangan. Ketidakadilan masih menjadi problem utama.
Pada aspek kemanusiaan, persekusi terhadap kelompok minoritas juga semakin meningkat.
Demokrasi politik mengalami kemunduran. Tindakan represif masih digunakan untuk
meredam suara kelompok kritis.
Upaya untuk membungkam gerakan golput dilakukan dengan beragam cara, baik lewat
statemen halus maupun keras. Nada ancaman pemidanaan terhadap ajakan golput dilakukan
ketika wacana golput semakin masif oleh pejabat-pejabat publik dan elite pro-petahana. Suara
lainnya adalah sikap golput sebagai tindakan yang tidak nasionalis dan patriotik juga dibingkai
melalui media-media utama. Tokoh-tokoh publik juga berpandangan serupa dengan logika
lesser evil. Cara lainnya adalah pengerahan buzzer untuk menggiring wacana terhadap kaum
golput dengan macam-macam stigmatisasi yang dilekatkan. Gerakan golput 2019 memobilisasi
gerakan mereka melalui offline dan online. Adanya jaringan dunia virtual menambah ekskalasi
gerakan golput. Sehingga menjadi perbincangan banyak kalangan dari elite hingga pengguna
medsos biasa. Apa yang dilakukan oleh Gerakan Golput 2019 merupakan sebagai gerakan
protes terhadap demokrasi ‘basa-basi’ yang dijalankan oleh elite hari ini. Sasaran utamanya,
tentu pemilik otoritas, rezim Jokowi, namun juga mengkonfrontasi elite yang berada di kedua
kubu. Perebutan kekuasaan 01 dan 02 tidak lain merupakan kompetisinya oligarki.
Gerakan golput yang diisi oleh aktivis-aktivis yang memiliki jejaring luas tersebut,
meraih simpati yang luas terutama kalangan muda. Ketidakpuasan tersebut terbukti dengan
viralnya akun pasangan capres “alternatif” @dildo yang menggambarkan sikap frustasi pemilih
terhadap narasi debat Pilpres yang miskin substansi. Masifnya jejaring golput dikanalisasi oleh
SayaGolput. Adanya SayaGolput menunjukkan keseriusan bagi aktivis pro-demokrasi dalam
mempropagandakan golput. SayaGolput membentuk kanal di medium.com, beberapa media
sosial seperti twitter, instagram, facebook. Platform gerakan golput dirumuskan dalam Kertas
Putih Golongan Putih 2019: Kami Memilih Tidak Memilih dan tulisan yang diterbitkan oleh
Bilven, pegiat golput Siapapun Yang Menang, Rakyat Tetap Kalah. Mereka juga membuat
lambang dengan gambar telapak tangan dengan tulisan “Saya Golput”. Gambar tersebut
Universitas Indonesia
menjadi identitas golput pada 2019 yang dicetak menjadi spanduk, kaos, sticker dan diunggah
di akun media sosial. Ketika SayaGolput menjadi viral, test case diberikan oleh kelompok pro-
petahana dengan ancaman pidana dan kritikan-kritikan lainnya. Hal tersebut dilakukan untuk
mengukur kapasitas gerakan golput 2019.
Ancaman dan kritikan yang diberikan oleh elite sebagai gertakan saja. Mereka tidak
melakukan tindakan yang lebih jauh seperti pemenjaraan aktivis golput dan lainnya. Agenda-
agenda diskusi golput dibiarkan berjalan. Aksi-aksi protes juga diberikan ruang. Kondisi
demikian bila dipakai pendekatan concession dari Tilly (1978) menunjukkan upaya rezim
untuk menghindari semakin berkurangnya legitimasi dan mencegah timbulnya persepsi bahwa
rezim hari ini sebagai rezim demokratis. Sebagai aksi kolektif, kepentingan gerakan golput
berangkat dari visi aktivis pro-demokrasi. Visi tersebut tentu beragam mengingat mereka
memiliki kerja-kerja advokasi yang berbeda. Upaya yang dilakukan untuk mengatasi tersebut
adalah dengan merangkul semuanya. Platform Kertas Putih Golongan Putih 2019 dirumuskan
dari kondisi tersebut, yang akhirnya berisikan sepuluh agenda perjuangan. Gerakan golput
2019 lebih bersifat koalisi sementara (shifting coallition) antar elemen pro-demokrasi yang
melihat berada diluar kekuasaan sebagai strategi gerakan dan setelah berkaca pada kegagalan
upaya critical engagegment ketika 2014-2019. Mereka juga mulai terhimpit oleh “musuh”
yang sama, dimana agenda-agenda pemajuan demokrasi terhalang oleh struktur politik hari ini.
Hal itu membuat pilihan gerakan yang dipilih adalah dinamis dan cair. Kondisi tersebut
membuat gerakan golput lebih bersifat aliansi taktis dan strategis. Gerakan golput tidak
dibentuk menjadi sebuah organisasi yang sentralistik. Fleksibilitas gerakan menjadi penting
untuk mengakomodir elemen-elemen pro-demokrasi. Temuan itu menjadi sumbangsih bagi
konsep collective action dari Tilly. Dalam kerangka konsep Tilly organisasi dalam bentuk
formal merupakan kombinasi aksi kolektif. Gerakan golput 2019 menunjukkan aksi kolektif
tidak memerlukan sebuah organisasi formal. Aksi kolektif golput dirumuskan sebagai wadah
kolektif berbagi keresahan dan berjejaring yang sama.
Ketiadaan organisasi dapat dipahami mengingat gerakan golput perlu cara yang baru
dalam bergerak. Belajar dari pengalaman-pengalaman sebelumnya, adanya organisasi yang
tersentral justru melahirkan kerumitan-kerumitan. Keputusan-keputusan harus melalui rapat
dan forum organisasi yang itu dapat menguras energi, waktu dan sumber daya. Keterbatasan
sumber daya membuat aliansi strategis dan koalisi yang dinamis lebih relevan untuk dilakukan.
Selain itu, adanya organisasi yang tersentral justru mempermudah bagi lawan untuk
menggebuk upaya perlawanan. Pembentukan organisasi tidak dilakukan dikarenakan aktor-
Universitas Indonesia
aktor yang tergabung dalam golput 2019 memiliki pandangan ideologi yang beragam. Ada tiga
wacana yang berkembang dari SayaGolput, yaitu demokrasi sosial dan politik, progresif kiri
dan anarko. Perbedaan wacana tersebut tentu menjadi penghambat pembentukan organisasi
tunggal. Karena mereka memiliki jalan perjuangan dan solusi yang berbeda atas pelbagai
masalah demokrasi yang ada. Sehingga, paling taktis untuk menjembatani perbedaan yang ada
dengan membentuk aliansi taktis tanpa diformalisasikan. Kondisi tersebut serupa dengan yang
terjadi pada gerakan 1998. Koalisi sementara elemen masyarakat sipil dilakukan untuk
menghalau musuh yang sama, yang nantinya juga memiliki kesulitan titik temu dalam
merumuskan jalan agenda demokratisasi selanjutnya. Pada satu sisi, pilihan taktis tersebut
memberi ruang untuk semua bergabung dan bersifat cair, namun hal itu menunjukkan gerakan
yang dilakukan bersifat momentum. Ketika momentum tersebut hilang, gerakan juga
terfragmentasi kembali.
Pilihan mobilisasi juga menimbang ruang kesempatan politik. Dalam iklim menuju
kontestasi elektoral, semua kubu pasti menampilkan wajah paling demokratis. Sehingga hal
tersebut menguntungkan gerakan untuk tampil ke depan. Mobilisasi yang dilakukan dengan
menggelar aksi protes, diskusi, propaganda media sosial hingga aksi bersama. Sekalipun sudah
ada wadah SayaGolput namun protes-protes yang disampaikan juga terjadi perbedaan tuntutan.
Protes SayaGolput terdiri dari 10 agenda perjuangan. Karena tidak ada sentralisasi, aksi protes
disesuaikan dengan pandangan kepentingan kelompok-kelompok yang berkepentingan.
Walaupun inti tuntutan-tuntutan tersebut juga masih sejalan dengan platform yang diusung
SayaGolput. Titik temu dari aksi-aksi protes adalah tuntutan politik alternatif. Keberhasilan
mobilisasi kelompok golput 2019 setidaknya mengganggu dari status quo. Hal itu terlihat dari
reaksi-reaksi kedua kubu. Wacana paling masif terbentuk melalui media sosial. Dari media
sosial gaung gerakan golput terlihat. Titik klimaks dari propaganda golput adalah kemunculan
Sexy Killers yang menyoroti relasi oligarki di kedua kubu.
Untuk memperkuat posisi gerakan golput sebagai gerakan protes peneliti menggunakan
konsep contentious politics-nya Tilly (2008). Contentious politics merupakan aksi-aksi yang
mengganggu. Aksi kolektif golput merupakan cara memboikot Pemilu 2019. Sebagai sikap
konfrontasi terhadap elite. Adanya gerakan golput cukup menyita perhatian publik dan elite
dari dominasi diskursus Jokowi-Prabowo, yang berlangsung sejak 2014. Gerakan golput
memiliki daya tawar, mengingat aktor-aktor golput merupakan aktivis pro-demokrasi yang
memiliki jejaring luas. Mereka memiliki basis sosial, walaupun secara kuantitas tidak besar.
Dengan adanya gerakan golput, setidaknya elite mencoba menampilkan wajah demokratisnya
Universitas Indonesia
dan upaya penguatan narasi kampanye, yang banyak didominasi isu penokohan dan SARA.
Kemunculan gerakan golput sebagai challenger, membuat member mengerahkan kekuatan
untuk menghalau gerakan tersebut dengan memasifkan anti golput. Hal tersebut berhasil, bila
melihat turunnya angka golput pada 2019. Namun, gerakan golput berhasil mengonsolidasikan
lewat propaganda merusak surat suara. Angka surat suara tidak sah mengalami peningkatan.
Tindakan SayaGolput dapat berubah menjadi gerakan sosial bila memenuhi empat
kriteria. Pertama, didorong oleh tantangan secara kolektif. Kedua, adanya tujuan bersama.
Ketiga, tumbuhnya solidaritas dan identitas kolektif. Keempat, mempertahankan sifat dari
politik perseteruan. SayaGolput dalam perkembangannya memang tumbuh sebagai identitas
kolektif kelompok kritis. Solidaritas ditujukan kepada kelompok-kelompok yang tertindas.
Sebagai kelompok kritis, SayaGolput sebagai jejaring dan aliansi yang cair. Identitas yang
berkembang kemudian bukan sekedar golput tapi melampaui golput, dengan menjadi
kelompok kritis. Problemnya kemudian adalah bagaimana SayaGolput dapat merumuskan cita-
cita bersama dan meninggalkan ego sektoral. Sebagai kekuatan yang diperhitungkan,
SayaGolput yang terdiri dari elemen lintas ideologi masih terhambat oleh problem internal dari
aktor-aktor gerakan. Sehingga pilihan-pilihan perjuangan yang dilakukan oleh SayaGolput
masih sekedar aksi yang mengganggu. SayaGolput belum berhasil menguasai ruang publik.
Sekalipun tindakan yang mereka lakukan sudah menarik publik. Penguasaan ruang publik
menjadi penting untuk mengangkat aktivitas perlawanan ke publik. Aliansi yang cair dan
dinamis ini juga belum bisa menyolidkan barisan elemen sipil. Terbukti aktivis pro-demokrasi
justru juga berhadapan dengan kelompok elemen sipil yang memilih strategi kompromi.
Isu dan tuntutan perjuangan belum menyebar ke seluruh elemen, sehingga kekuatan
gerakan masih mudah dipatahkan. Isu golput masih tersegmentasi kalangan terpelajar dan
menengah perkotaan. Hal itu terbukti secara kuantitatif, pemilih golput justru semakin menurun
pada Pemilu 2019. Pengembangan mobilisasi dilakukan antar aktivis pro-demokrasi yang
memiliki kesamaan sikap, utamanya mereka yang merasa pemajuan agenda dan advokasi
terhambat oleh rezim Jokowi. Mobilisasi isu juga dilakukan untuk menjangkau masyarakat
yang luas melalui propaganda dan kampanye media sosial. Aksi-aksi massa yang dilakukan
masih dalam skala kecil walaupun tersebar di berbagai kota. Isu utama untuk menggaet massa
yang luas adalah baik Jokowi maupun Prabowo sama saja. Siapapun yang menang, rakyat yag
tetap dirugikan. Hal itu pula, yang dipotret oleh Sexy Killers. Kedua kubu tidak jauh berbeda.
Mereka sama-sama dikelilingi oleh jejaring oligarki tambang, yang saling terhubung relasi
bisnis antara elite kedua kubu. Pembangunan opini yang tajam melalui media sosial, namun
Universitas Indonesia
belum diimbangi lewat mobilisasi massa secara langsung membuat kekuatan gerakan mudah
dipadamkan lewat counter narasi. Pengintegrasian gerakan belum mengkristal. Hal itu
dikarenakan golput memang sejak awak hadir untuk menyikapi momentum politik 2019.
Sehingga, membutuhkan waktu yang panjang disertai tantangan kolektif yang mesti disikapi
dengan agenda-agenda perlawanan.
Sebagai aksi kolektif, kepentingan gerakan golput dirumuskan dalam platform Kertas
Putih Golongan Putih 2019 yang berisikan sepuluh agenda perjuangan. Secara spesifik, aksi
kolektif ini diteliti dengan menggunakan alat analisis yang dikemukan Tarrow dan Tilly
tentang contentious politics dan mobilisasi tindakan kolektif. Temuan di lapangan
menunjukkan kepentingan (interest) gerakan, lahir dari fokus dan pengalaman advokasi-
advokasi yang dilakukan oleh aktivis pro-demokrasi. Gagasan tersebut mewakili minat dan visi
dari organisasi yang diikuti oleh aktivis tersebut. Gerakan tersebut sebagai bentuk koalisi
sementara (shifting coallition) antar kelompok kritis dan pro-demokrasi. Hal itu disebabkan
oleh kerja-kerja advokasi terbentur oleh lawan yang sama yaitu sistem oligarki. Dalam gerakan
golput 2019 tidak dibentuk sebuah organisasi atau struktur aliansi. Gerakan tersebut bersifat
terbuka dan dinamis, dan tidak terikat. Yang perlu dicermati, kepentingan subyek juga bagian
dari kompromi antar elemen masyarakat sipil. Tuntutan tersebut yang diajukan sebagai klaim
untuk publik. Untuk mendorong bergabungnya massa publik, dilakukan mobilisasi untuk
mempersuasi massa lewat klaim. Struktur mobilisasi memperhatikan keempat elemen yaitu
interest, organisasi, peluang dan tindakan kolektif.
Pada temuan di lapangan ketiga elemen subjek (aktor gerakan), klaim (publik) dan
objek (petahana dan elite) terjadi persinggungan yang dinamis. Subjek melihat sepuluh agenda
perjuangan merupakan problem yang menjadi titik tolak gerakan. Sepuluh agenda perjuangan
terdiri dari isu lintas sektoral. Luasnya cakupan isu tersebut dapat menjangkau elemen
masyarakat sipil serta masyarakat yang terdampak. Propaganda yang diusung adalah kedua
kubu kandidat di pemilu 2019, sama saja. Keduanya tidak akan menghasilkan perubahan yang
signifikan terhadap hajat hidup rakyat. Kepentingan oligarki menopang agenda elektoral.
Objek sendiri juga melakukan counter narasi. Propaganda dan pembangunan opini anti-golput
juga masif. Selain itu, represi secara verbal juga dilakukan dengan menebarkan politik
ketakutan dan bullying. Hal tersebut justru juga membuat mobilisasi jejaring SayaGolput
meluas. Kelompok-kelompok kritis bersolidaritas. Masifnya perang wacana terjadi di media
sosial, media mainstream dan aksi-aksi. Namun, kekuatan yang tidak seimbang, pembangunan
opini lebih berhasil dilakukan oleh petahana. Petahana juga diuntungkan dengan terpecahnya
Universitas Indonesia
elemen masyarakat sipil. Dukungan beberapa elemen masyarakat sipil sebagai modal dan
legitimasi bagi objek. Klaim yang diajukan berhasil mempersuasi massa namun secara
kuantitas belum besar. Petahana juga berhasil meyakinkan klaim-klaim publik untuk memilih
ke TPS. Terbukti, partisipasi pemilih meningkat pada Pemilu 2019. Relasi antara subjek (aktor
gerakan) dengan objek (petahana) merupakan relasi kompetitor.
Bentuk mobilisasi juga menimbang peluang dan kesempatan (opportunity). Sekalipun
mulai tampaknya watak represif dari kekuasaan, peluang keterbukaan juga masih terbuka.
Mobilisasi yang dilakukan dengan menggelar aksi protes, diskusi, propaganda media sosial dan
film hingga aksi golput. Keberhasilan mobilisasi tersebut dapat dilihat dari maraknya diskursus
pembentukan wacana yang mengulas seputar golput. Adanya mobilisasi tersebut juga
melahirkan respon dari kelompok status quo. Kemunculan gerakan golput sebagai challenger,
membuat member mengerahkan kekuatan untuk menghalau gerakan tersebut dengan
memasifkan anti golput. Sekalipun tidak adanya organisasi secara spesifik yang mewadahi
elemen-elemen tersebut dapat berjalan bersama membentuk aksi kolektif golput. Hal itu seakan
mengonfirmasi bahwa gerakan sosial baru juga dapat bergerak tanpa adanya ikatan organisasi
formal. Temuan tersebut tentu membantah tesis dari Tilly tentang aksi kolektif yang bercorak
organisasi. Dalam pandangan Tilly gerakan mesti di-drive oleh pemimpin dan organisasi.
Namun, SayaGolput dapat berjalan tanpa organisasi. SayaGolput dipilih sebagai bentuk aliansi
cair dan dinamis. Gerakan dapat berjalan dengan menjalankan jejaring tersebut ditambah
kekuatan media sosial. Hal menarik dari kondisi tersebut adalah ketiadaan organisasi tidak
menjadi penghalang dalam dunia aktivisme. Dalam pandangan Bennet dan Segerberg
aktivisme tersebut dalam kerangka “connective action”.
Jejaring komunikasi menjadi inti pengorganisasian dalam dunia maya, menggantikan
peran hierarki pimpinan dan keanggotaan. Temuan ini juga menjadi bahan masukan
kedepannya apabila meneliti gerakan-gerakan yang tidak berbentuk organisasi. Gerakan tanpa
organisasi tersebut dapat dilihat jaringan sosial yang membentuk gerakan tersebut sehingga
melahirkan ikatan-ikatan yang tanpa dikomandoi oleh struktur yang tersentralistik.
Penggunaan media sosial yang akhir-akhir ini mendorong adanya gerakan sosial dapat dilihat
melalui konsep connective action-nya Bennet dan Segerberg maupun yang sejenis. Media
sosial menjadi alat pengorganisasian bagi SayaGolput. Di sisi yang lain, tanpa ada wadah
gerakan fisik, media sosial tidak bisa melahirkan gerakan sosial. Sehingga, SayaGolput hanya
menjadi aksi-aksi yang mengganggu dan tindakannya ditujukan untuk politik perseteruan
melawan rezim dan elite hari ini.
Universitas Indonesia
6.1 Kesimpulan
Kegagalan-kegagalan pemerintah dalam pemenuhan pemajuan agenda demokrasi yang
terdiri dari sepuluh agenda perjuangan mendorong kemunculan gerakan protes menjelang
Pemilu 2019. Isu yang dibawa SayaGolput terdiri dari kesejahteraan untuk rakyat, perjuangan
agraria dan ruang hidup, buruh dan ketenagakerjaan, anti-korupsi, stop militerisme, pemenuhan
HAM, hapus diskriminasi kelompok minoritas, dukung masa depan Papua, perbaikan sistem
politik, reformasi hukum dan peradilan. SayaGolput menjadi aliansi taktis yang cair dan
dinamis bagi aktor-aktor gerakan. Bagi mereka, golput adalah pilihan yang rasional di era
demokrasi iliberal untuk mendorong terwujudnya demokrasi yang substansial.
Penelitian ini berupaya menjawab bagaimana aktivis pro-demokrasi melakukan upaya
perlawanan melalui gerakan #SayaGolput dalam konteks momentum politik 2019. Pertanyaan
sentral tersebut diturunkan menjadi mengapa isu golput mereka pilih sebagai arena perlawanan
dalam pemilu 2019 dan bagaimana para aktivis mengkontestasikan isu golput dalam situasi
pemilu 2019. Gerakan golput merupakan tindakan kolektif contentious. Gerakan golput
tersebut lahir dari jejaring aktivis pro-demokrasi yang telah bergerak dalam kerja-kerja
advokasi. Golput yang dilakukan sebagai perlawanan terhadap penguasa. Sikap tersebut
sebagai bentuk boikot terhadap Pemilu 2019 yang sarat kepentingan elit dan oligarki. Gerakan
SayaGolput dapat dikatakan sebagai fenomena politik yang mengambil peran kritis walaupun
tidak berbentuk sebuah organisasi formal, hanya aliansi yang cair dan dinamis.
Ada beberapa faktor yang mendorong kemunculan SayaGolput. Pertama, demokrasi
sosial dan politik belum dijalankan sepenuhnya. Hal tersebut dapat dilihat bagaimana kuasa
oligarki begitu dominan dalam mengatrol perpolitikan di Indonesia. Selain itu, komitmen
terhadap Hak Asasi Manusia rendah. Kedua, kekecewaan terhadap pendukung Jokowi terhadap
keputusan diusungnya Ma’ruf Amin menjadi cawapres yang melihat sebagai watak konservatif
kubu Jokowi. Alasan ketiga adalah beberapa kalangan melihat iklim demokrasi yang sudah
dijalankan bertumpu pada kepentingan borjuasi. Pemilu elektoral yang borjuis tidak akan
mungkin memperbaiki nasib rakyat. Pilihan golput mesti diarahkan untuk melawan kaum
borjuasi yang memprioritaskan akumulasi kekayaan dan kekuasaan. Alasan keempat adalah
ketidakpercayaan terhadap pemilu dan segala bentuk otoritas. Mereka melihat kekuasaan yang
berada di segelintir orang atau kelas yang berkuasa memiliki kuasa koersif (memaksa).
Gerakan golput 2019 dimotori oleh kelompok aktivis pro-demokrasi yang berjejaring
dan memiliki keresahan yang sama. Keresahan-keresahan tersebut berangkat dari situasi riil
kerja-kerja advokasi yang dilakukan oleh kelompok masyarakat sipil. Ada sektor agraria dan
tata ruang, lingkungan, HAM, hukum dan anti-korupsi, perburuhan, hingga kelompok rentan
dan minoritas. Suara dari kelompok-kelompok yang terpinggirkan oleh agenda pembangunan
negara. Gerakan protes ini juga menggambarkan bentuk shifting coallition dari kelompok
masyarakat sipil yang berbeda spektrum gerakan dan ideologinya. Koalisi dilakukan ketika
elemen-elemen pro-demokrasi mulai mendapati kemandegan dalam advokasi perjuangan. Di
sisi lain, kemandegan tersebut berasal dari lawan yang sama yaitu “pemerintah dan elite”.
Sebagai jejaring aliansi yang cair dan dinamis, SayaGolput gabungan aktivis lintas
sektor dan ideologis. SayaGolput sebagai titik temu dan kompromi aktor-aktor gerakan yang
mengalami kebuntuan dalam upayanya memajukan advokasi-advokasi yang ada. SayaGolput
secara umum terdapat tiga wacana yang berkembang di dalam kelompok tersebut. Kelompok
pertama menghendaki adanya demokrasi politik dan sosial yang menyeluruh dan dijalankan
dengan baik. Mereka melihat golput yang dilakukan sebagai protes dan upaya mengikis
legitimasi dari pemilu. Kelompok kedua memiliki imajinasi progresif kiri. Golput dimaknai
sebagai boikot terhadap pemilu. Boikot pemilu merupakan bagian pendidikan politik. Bagi
kalangan ini, sebelum adanya partai yang merepresentasikan rakyat pekerja, intervensi
terhadap pemilu akan sia-sia. Sehingga, perlunya pendidikan politik dan mobilisasi massa
untuk membentuk partai alternatif yang digunakan untuk mewujudkan tatanan sosialis.
Kelompok terakhir adalah anarko. Mereka memandang perlunya tatanan yang tanpa adanya
hierarki. Kelompok ini menganggap negara sebagai musuh karena memonopoli otoritas yang
melahirkan tindakan destruktif bagi masyarakat.
Kondisi tersebut membuat SayaGolput mengalami kegamangan dalam merumuskan
agenda kedepan. Sehingga, pilihan-pilihan yang ada untuk dilakukan adalah bagaimana aksi-
aksi yang dilakukan dapat mengganggu dari status quo. Klaim-klaim diajukan untuk menarik
publik. Adanya media sosial juga membuat politik menjadi perbincangan di semua lapisan
masyarakat. Hal itu menjadi peluang untuk memobilisasi gerakan. Peluang diciptakan melalui
pertentangan antara member dan challenger dalam spektrum politik negara. Gerakan golput
sebagai challenger atas member, dalam hal ini pemerintah petahana dan elit politik lainnya
yang terlibat pemilu. Sasaran tuntutan tersebut ditujukan kepada pemegang otoritas dan elite
yang diuntungkan oleh iklim demokrasi hari ini. Dengan demikian, gerakan golput tersebut
sebagai upaya mengkonfrontasi lawan, elite dan penguasa.
Universitas Indonesia
Pada temuan di lapangan ketiga elemen subjek (aktor gerakan), klaim (publik) dan
objek (petahana dan elite) terjadi persinggungan yang dinamis. Subjek melihat sepuluh agenda
perjuangan merupakan problem yang menjadi titik tolak gerakan. Pembangunan utama yang
diusung adalah kedua kubu kandidat di pemilu 2019, sama saja. Kepentingan oligarki
mendominasi agenda elektoral. Objek sendiri juga melakukan counter narasi. Propaganda dan
pembangunan opini anti-golput juga masif. Selain itu, represi secara verbal juga dilakukan
dengan menebarkan politik ketakutan dan bullying. Hal tersebut justru juga membuat
mobilisasi jejaring SayaGolput meluas. Kelompok-kelompok kritis bersolidaritas. Masifnya
perang wacana terjadi di media sosial, media mainstream dan aksi-aksi. Namun, kekuatan yang
tidak seimbang, pembangunan opini lebih berhasil dilakukan oleh petahana. Petahana juga
diuntungkan dengan terpecahnya elemen masyarakat sipil. Dukungan beberapa elemen
masyarakat sipil sebagai modal dan legitimasi bagi objek. Klaim yang diajukan berhasil
mempersuasi massa namun secara kuantitas belum besar. Petahana juga berhasil meyakinkan
klaim-klaim publik untuk memilih ke TPS.
Perang narasi di media sosial itu menjadi penting, mengingat narasi sebagai salah satu
faktor penting dalam menentukan efektivitas aktivisme digital. Hal tersebut disadari oleh
SayaGolput maupun juga pihak anti-golput. Pertarungan politik (contentious politics)
tergambarkan dalam pembentukan wacana terkait golput. SayaGolput, jejaring aktivis pro-
demokrasi menjangkau massa dengan lintas sektoral. Adanya media sosial digunakan sebagai
alat mengorganisir bagi SayaGolput. Gaung mobilisasi hanya terlihat di media sosial.
Mobilisasi dengan turun ke jalan tidak memiliki gaung yang signifikan. Kondisi tersebut terjadi
golput hanya dijadikan sebagai momentum isu. Masyarakat sipil juga memiliki terfragmentasi.
Kalangan masyarakat sipil juga banyak yang menyerukan anti-golput. Mereka melihat urgensi
elektoral untuk mendorong struggle within – perubahan dari dalam sistem.
Mobilisasi anti golput banyak diinisiasi oleh kalangan petahana dan pendukungnya. Hal
itu didorong oleh ketakutan-ketakutan bahwasanya tingginya golput dapat memenangkan kubu
konservatif seperti kemenangan Trump di Amerika Serikat dan Brexit di Inggris. Lingkaran
Survei Indonesia (LSI) Denny JA merilis hasil survei menjelang Pilpres 2019 terkait golput.
Hasil survei menunjukkan kubu Jokowi-Ma’ruf menjadi kubu yang dirugikan adanya golput
dalam pemilu. Keberhasilan kubu petahana dalam meredam SayaGolput juga didorong akses
sumber daya yang besar. Jokowi sendiri menjelang Pemilu 2019 membuat kebijakan-kebijakan
yang populis. Hal tersebut menguntungkan juga dalam pembingkaian opini bagi kubu anti-
golput untuk mempersuasi masyarakat.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Ambardi, K. (2009) Mengungkap Politik Kartel. Jakarta: Gramedia dan LSI.
Asfar, M. (2004). Presiden Golput. Surabaya: Jawa Pos Press.
Bennet, W.L. and Segerberg, A. (2013). The Logic of Connective Action: Digital Media and
the Personalization of Contentious Politics. Cambridge University Press.
Bimber, B. Flanagin, AJ and Stohl, C. (2012). Collective Action in Organizations: Interaction
and Engagement in an Era of Technological Change. New York: Cambridge University
Press.
Borgatta and Borgatta (1992). Encyclopedia of Sociology. New York: Macmillan.
Bourchier, D. and Hadiz, Vedi R. (eds) (2003). Indonesian Politics and Society: A Reader.
New York: Routledge.
Bradshaw, S. and Howard, Philip N. (2019). The Global Disinformation Order: 2019 Global
Inventory of Organised Social Media Manipulation. Oxford Internet Institute and
University of Oxford.
Budiardjo, M. (2017). Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Budiman, A. dan Tornquist, O. (eds.) (2001). Aktor Demokrasi: Catatan Tentang Gerakan
Perlawanan di Indonesia. Jakarta: IASI (Institut Arus Studi Informasi).
Budiman, A. (eds.) (2006). Kebebasan, Negara, Pembangunan: Kumpulan Tulisan 1965-2005.
Jakarta: Pustaka Alvabet.
Cohen, Jean L. and Arato, A. (1992). Civil Society and Political Theory. Massachusetts: MIT
Press.
Creswell, John W. (2002). Educational Research: Planning, Conducting, and Evaluating
Quantitative and Qualitative Research. Upper Saddle River, New Jersey: Merrill
Prentice Hall.
(2003). Research Design: Qualitative, Quantitative and Mixed Methods
Approaches (2nd ed.) Thousand Oaks, California: Sage Publication.
Dahl, Robert A. (1971). Poliarchy: Participation and Opposition. Yale University Press, New
Haven and London.
(1973). Regimes and Oppositions. Yale University Press, New Haven and
London
Universitas Indonesia
Denzin, N. K., & Lincoln, Y. S. (Eds.). (2011). The SAGE Handbook of Qualitative Research
(4th ed.). Thousand Oaks, California: Sage.
Duverger, M. (1968). Sosiologie Politique, penyunting Alfian (1982) Sosiologi Politik. Jakarta:
CV Rajawali.
Fatah, E. S. (1998). Catatan atas Gagalnya Politik Orde Baru. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Giddens, A. (2013) Politics, Government, and Social Movement: Sociology 7th Edition.
Goodin, Robert E. and Tilly, C. (2006) The Oxford Handbook of Contextual Political Analysis.
Oxford: Oxford University Press.
Haynes, J. (2000) Democracy and Civil Society in the Third World Politics and New Political
Movement (terj. P. Soemitro), Demokrasi dan Masyarakat Sipil di Dunia Ketiga.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Heryanto, A. (1996) Bahasa dan Kuasa: Tatapan Posmodernisme dalam Yudi Latief dan Idi
Subandy Ibrahim (eds.) Bahasa dan Kekuasaan: Politik Wacana di Panggung Orde
Baru. Bandung: Mizan.
Hikam, Muhammad AS. (1996). Demokrasi dan Civil Society di Indonesia. Jakarta: LP3ES.
Huntington, Samuel P. dan Nelson, J. (1980). Partisipasi Politik di Negara Berkembang.
Jakarta: Rineka Cipta.
Huntington, Samuel P. (1991). Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Century.
Oklahoma: University of Oklahoma Press.
Jary, D. & Jary, J. (1995). Collins Dictionary of Sociology. Glasgow: HarperCalolins.
Kasali, R. (2018). Disruption. Jakarta: PT Gramedia.
Kavanagh, D. (1983). Political Science and Political Behavor. London: Allen & Unwin.
Koirudin (2004). Kilas Balik Pemilihan Presiden 2004. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Lane, M. (2014). Unfinished Nation. Yogyakarta: Djaman Baroe.
Lay, C. (2012). Demokrasi Minus Representasi atau Minus Demos dan Publik? dalam Nur
Imam Subono (eds.) Demokrasi Tanpa Representasi: Masalah dan Pilihan Demokrasi
di Empat Daerah. Jakarta: DEMOS.
Levitsky, S. and Ziblatt, D. (2018) How Democracies Die, terj. Zia Anshor. (2019) Bagaimana
Demokrasi Mati. Jakarta: Gramedia.
Lim, M. (2005). Cyber-urban Activism and the Political Change in Indonesia,
http://eastbound.eu/site_media/pdf/060101LIM.pdf
Lofland, J. (2003). Protes, Studi tentang Perilaku Kolektif dan Gerakan Sosial, terj. Luthfi
Ashari. Yogyakarta: INSIST.
Universitas Indonesia
Mas’oed, M. (1989). Ekonomi dan Struktur Politik Orde Baru 1966-1971. Jakarta: LP3ES.
McClosky, H. (1972). Political Participation: International Encyclopedia of The Social
Science, (2nd edition). New York: The Macmillan Company and Free Press.
Merriam, S. B. (1998). Qualitative Research and Case Study Applications in Education. San
Fransisco: Jossey-Bass.
Mietzner, M. (2009). Indonesia’s 2009 Elections: Populism, Dynasties and Consolidation of
the Party System. Sydney: Lowy Institute.
Mietzner, M. and Aspinnal, E. (2010). “Problems of Democratization in Indonesia: An
Overview” in Aspinall, E. and Mietzner, M. (eds.) Problem of Democratization in
Indonesia: Elections Institutions and Society. Singapore: ISEAS, p. 1-20.
Miftahuddin (2004). Radikalisasi Pemuda: PRD Melawan Tirani. Jakarta: Desantara.
Mirsel, R. (2004). Teori Pergerakan Sosial: Kilasan Sejarah dan Catatan Bibliografis.
Yogyakarta: Resist Book.
Mujani, S., Liddle, W., dan Ambardi, K. (2019). Kaum Demokrat Kritis: Analisis Perilaku
Pemilih Indonesia Sejak Demokratisasi. Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer
Gramedia).
Muhtadi, B. (2019). Populisme Politik Identitas dan Dinamika Elektoral: Mengurai Jalan
Panjang Demokrasi Prosedural. Malang: Intrans Publishing.
Neuman, William L. (1991). Social Research Methods: Qualitative and Quantitative
Approaches. Boston: Allyn and Bacon.
Nugroho, Y. dan Syarief, Sofie S. (2012) Melampaui Aktivisme Click? Media Baru dan Proses
Politik dalam Indonesia Kontemporer. Jakarta: Friedrich-Ebert-Stiftung Kantor
Perwakilan Indonesia.
Nurhasim, M. (ed) (2014). Partisipasi Pemilih Pada Pemilu 2014: Sebuah Studi Penjajakan.
Pusat Penelitian Ilmu Politik LIPI dan KPU.
Prihatmoko, J. (2003). Pemilu 2004 dan Konsolidasi Demokrasi. Semarang: LP2I Press.
Priyono, AE. Dan Hamid, U. (eds) (2014). Merancang Arah Baru Demokrasi: Indonesia
Pasca-Reformasi. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Raillon, F. (1985). Politik dan Ideologi Mahasiswa Indonesia: Pembentukan dan Konsolidasi
Orde Baru 1966-1974. Jakarta: LP3ES.
Ricklefs, M.C (2008). Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.
Universitas Indonesia
Robinson, R. (1993). Indonesia: Tensions in State and Regime, in Kevin Hewison, et al. (eds),
Southeast Asia in the 1990s: Authoritarianism, Democracy and Capitalism. NSW:
Allen & Unwin.
Robinson, R. and Hadiz, Vedi R. (2004) Reorganizing Power in Indonesia: The Politics of
Oligarchy in an Age of Market. London and New York: Routledge.
Sanit, A. (1992). Golput: Aneka Pandangan dan Fenomena Politik. Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan.
Schumpeter, Joseph A. (2003) Capitalism, Socialism and Democracy. London: George Alien
and Unwin Ltd.
Siahaan, Hotman M. (1997). Memahami Gerakan Sosial Politik Rakyat dalam Haryanto dkk,
Gerakan Sosial Politik. Jakarta: Badan Pendidikan dan Pelatihan Departemen Dalam
Negeri.
Sing, R. (2001). Social Movement, Old and New: A Post-Modernist Critique. London: Sage
Publication.
Stake, R. E. (1995). The Art of Case Study Research. Thousand Oaks, California: Sage.
Sudjatmiko, B. (2014). Anak-Anak Revolusi, Buku 1. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Sunarto, K. (2004). Pengantar Sosiologi (Edisi Revisi). Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas
Ekonomi Universitas Indonesia.
Superti, C. (2015). Vanguard of Discontent: Comparing Individual Blank Voting, Mobilized
Protest Voting, and Voting Abstention, published Harvard University.
(2016). The Blank and Null Vote: An Alternative Form of Democratic
Protest?, published Harvard University.
Surbakti, R. (1999). Memahami Ilmu Politik. Jakarta: PT Grasindo.
Tapsell, R. (2018) Kuasa Media di Indonesia: Kaum Oligarki, Warga dan Revolusi Digital.
Tangerang Selatan: Marjin Kiri.
Tarrow, Sidney G. (1998). Power in Movement. New York: Cambridge University Press.
Tilly, C. (1978). From Mobilization to Revolution. Michigan: University of Michigan.
(2004). Social Movements, 1768-2004. Colorado, USA: Paradigm Publishers.
Tilly, C. and Tarrow, S. (2015). Contentious Politics, Second Edition. USA: Oxford University
Press.
Uhlin, A. (1997). Oposisi Berserak: Arus Deras Demokratisasi Gelombang Ketiga di
Indonesia. Bandung: Mizan.
Universitas Indonesia
Van Aelst, P. and Walgrave, S. (2002). New Media, New Movement? The Role of the Internet
in Shaping the “Anti-Globalization” Movement. Routledge, Taylor&Francis Group.
Yin, R. K. (2009). Case Study Research: Design and Methods (4th Ed.). Thousand Oaks,
California: Sage.
(2011). Qualitative Research from Start to Finish. New York: The Guilford Press.
Jurnal dan Karya Ilmiah
Almlund, P. (2018). Non-Voting Young People in Conflict with the Political System, Journal
of Political Power, Vol. 11, No. 2, 2018, p. 230-251.
Amenta, E. (2005). “Political Context, Challenger Strategies, and Mobilization: Explaining the
Impact of the Thownsend Plan” in Meyer, David S., Valerie Jennes and Helen Ingram
(eds.), Routing the Opposition: Social Movement, Public Policy and Democracy.
Minneapolis: The University of Minnasota Press, p. 29-63.
Angelina, M. (2011). Digital Natives’ Alternative Approach to Social Change. Jakarta:
HIVOS.
Argenti, G. (2016). Transformasi Gerakan Sosial ke Partai Politik: Kiprah Politik Partai Rakyat
Demokratik di Masa Reformasi, Jurnal Wacana Politik, Vol. 1 (2), p. 122-136.
Aspinal, E. et al. (2018) Mapping Indonesian Political Spectrum, dalam
https://www.newmandala.org/mapping-indonesian-political-spectrum/, diakses 22 Juli
2020.
Birch, S. and Dennison, J. (2019). How Protest Voters Choose, Party Politics, Vol. 25(2), p.
110-125.
Blais, A., Feitosa, F., and Sevi, S. (2019). Was My Decision to Vote (or Abstain) the Right
One?, Party Politics, Vol. 25(3), 2019, p. 382-389.
Buehler, M. (2007). Local Elite Reconfiguration in Post-New Order Indonesia: the 2005
Election of District Government Heads in South Sulawesi. Review of Indonesian and
Malaysian Affairs, 40 (1) (1), p. 119-147.
Brancati, D. (2014) Pocketbook Protest: Explainging the Emergence of Pro-Democracy
Protests Worldwide, Comparative Political Studies, Vol. 47 (11), p. 1503-1530.
Dahlberg-Grundberg, M. (2016). Technology as Movement: on Hybrid Organizational Types
and the Mutual Constitution of Movement Identity and Technological Infrastructure in
Digital Activism. Convergence, 22(5), p. 524-542.
Facchini, F. and Jaeck, L. (2019). Ideology and the Rationality of Non-Voting, Rationality and
Society, p. 1-22.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Power, Timothy J. and Robert, J.T. (1995). Compulsory Voting Invalid Ballots, and Abstention
in Brazil, Political Research Quanterly, Vol. 48, No. 3.
Savirani, L. (2005). Oposisi Indonesia dalam Era Everyday Politics, Jurnal Mandatory, Edisi
2, Tahun 2, 2005, p. 1-12.
Schneider, S.M., and Foot, K.A. (2008). “Web Sphare Analysis: An Approach to Studying
Online Action”, in Virtual Methods: Issues in Social Research on the Internet. Edited
by C. Hine, pp. 157-170. New York: Berg. Scholarship. Journal of Computer-Mediated
Communication.
Silvey, R. (2003). Review – Spaces of Protest: Gendered Migration, Social Networks, and
Labor Activism in West Java, Indonesia. Political Geography 22, 129–155.
Singh, R. (2002) Teori-teori Gerakan Sosial Baru, Jurnal Ilmu Sosial Transformatif, Wacana
(XI).
Sundhaussen, U. (1992). Demokrasi dan Kelas Menengah: Refleksi Mengenai Pembangunan
Politik, Prisma, No. 2, Tahun XXI, 1992, p. 64.
Umar, Ahmad Rizky M. et al. (2014). Media Sosial dan Revolusi Politik: Memahami Kembali
Fenomena “Arab Spring” dalam Perspektif Ruang Publik, Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik, Vol. 18, No. 2, November 2014, p. 130-145.
Wiktorowicz, Q. (2007). “Pendahuluan: Aktivisme Islam dan Teori Gerakan Sosial” dalam
Wiktorowicz, Q. (ed.) Aktivisime Islam: Pendekatan Teori Gerakan Sosial (terj.).
Jakarta: Depag dan YWP, p. 27-32.
Winters, Jeffrey A. (2011). Oligarchy and Democracy, The America Interest, Vol. II, No. 2,
November-Desember 2011, hal. 18-27.
Yuniarti, S. (2009). Golput dan Pemilu di Indonesia, Jurnal Peneliteian Politik, Vol. 6, No. 1,
hal. 21-32.
Laporan/Dokumen
Demos (2005) Partai Politik Pasca Orde Baru.
Drone Emprit (2019) Politik di Media Sosial, Diskusi di LP3ES Jakarta.
IDEA (2002) Voter turnout Since 1945: A Global Report.
Institut Studi Arus Informasi (ISAI) (1997) Pemilu 1997: Jajak Pendapat dan Analisa.
Kemitraan Partnership & Perludem (2015) Desain Partisipasi Masyarakat Dalam Pemantauan
Pemilu.
KPU RI (tanpa tahun) Sejarah Pemilihan Umum Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
https://kumparan.com/kumparannews/golput-yang-tak-pernah-redup-1549259580724886695,
diakses 10 April 2020.
https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-46970330, diakses 10 April 2020.
http://www.gusdur.net/id/gagasan-gus-dur/mengapa-saya-golput, diakses 10 April 2020.
https://news.detik.com/berita/164952/-prediksi-gus-dur-golput-nomor-satu-wiranto-nomor-
dua, diakses 10 April 2020.
https://nasional.tempo.co/read/48245/gus-dur-pastikan-golput, diakses 10 April 2020.
https://www.liputan6.com/news/read/166928/gus-dur-serukan-golput, diakses 10 April 2020.
https://news.detik.com/berita/d-958223/gus-dur-golput-dan-kentut, diakses 10 April 2020.
https://m.cnnindonesia.com/nasional/20190416080753-32-386715/suara-golput-suara-rakyat,
diakses 10 April 2020.
https://www.merdeka.com/peristiwa/hasil-resmi-pilpres-2014-jokowi-jk-5315-prabowo-
hatta-4685.html, diakses 10 April 2020.
https://tirto.id/gelombang-golput-yang-tak-pernah-surut-cVnc, diakses 10 April 2020.
https://nasional.tempo.co/read/561093/awas-ajak-golput-bisa-kena-pidana, diakses 10 April
2020.
https://www.antaranews.com/berita/140511/hasil-perolehan-suara-parpol-pemilu-2009,
diakses 10 April 2020.
https://news.detik.com/pemilu/d-1074176/golput-haram-umat-islam-wajib-memilih-dalam-
pemilu-2009, diakses 10 April 2020.
https://nasional.kompas.com/read/2008/06/30/01224092/golput.dan.pemilu.2009?page=all,
diakses 10 April 2020.
https://regional.kompas.com/read/2009/07/07/21050613/gus.dur.tetap.golput, diakses 10
April 2020.
https://www.antaranews.com/berita/2656/gus-dur-tolak-fatwa-haram-golput, diakses 10 April
2020.
https://suarapapua.com/2013/08/07/knpb-kami-golput-pada-pemilu-2014/, diakses 10 April
2020.
https://indoprogress.com/2014/04/golput-masihkah-relevan/, diakses 10 April 2020.
https://news.detik.com/berita/d-2504927/ajak-orang-golput-diancam-pidana-3-tahun-ini-
aturannya, diakses 10 April 2020.
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt530ef7ca24424/golput-bukan-tindakan-pidana/,
diakses 10 April 2020.
Universitas Indonesia
https://www.merdeka.com/foto/peristiwa/1051677/20190217160459-aksi-menyerukan-
golput-dalam-pemilu-2019-001-nfi.html, diakses 10 April 2020.
https://www.sorgemagz.com/koalisi-buruh-komite-politik-alternatif-deklarasikan-golput,
diakses 6 Mei 2020.
https://rumahpemilu.org/kpu-tetapkan-hasil-perolehan-suara-angka-suara-tidak-sah-pada-
pileg-tinggi/, diakses 10 Mei 2020.
https://lokadata.id/artikel/indeks-demokrasi-indonesia-merosot-tiga-tahun-terakhir, diakses 22
Juli 2020.
https://www.lpem.org/id/biaya-investasi-politik-2014/, diakses 22 Juli 2020.
http://kpa.or.id/assets/uploads/files/publikasi/4ae36-catahu-2018-kpa-edisi-peluncuran_.pdf,
diakses 22 Juli 2020.
https://www.dw.com/id/greenpeace-penegakan-hukum-di-bidang-lingkungan-hidup-sulit-
karena-keterlibatan-elite/a-47564961, diakses 22 Juli 2020.
https://www.tempo.co/dw/560/greenpeace-penegakan-hukum-di-bidang-lingkungan-hidup-
sulit-karena-keterlibatan-elite, diakses 22 Juli 2020.
https://www.walhi.or.id/lingkungan-hidup-terancam-rezim-investasi, diakses 22 Juli 2020.
https://antikorupsi.org/sites/default/files/analisis_dana_kampanye_pilpres_2019.pdf, diakses
22 Juli 2020.
https://indoprogress.com/2018/08/boikot-pemilu-dan-masa-depan-gerakan-progresif-kritik-
atas-pendekatan-personalistik/, diakses 22 Juli 2020.
https://www.liputan6.com/regional/read/3905384/4-fakta-tentang-kampanye-golput-di-
media-sosial, diakses 22 Juli 2020.
https://kumparan.com/kumparantech/milenial-dominasi-pengguna-internet-indonesia-49-
pernah-alami-bully-1r5a51IREcH/full, diakses 22 Juli 2020.
https://nasional.republika.co.id/berita/nasional/news-analysis/pom0rc430/golput-dan-
dampaknya-terhadap-kedua-caprescawapres, diakses 22 Juli 2020.
Universitas Indonesia
Hari/tanggal wawancara :
Lokasi wawancara :
Nama informan :
Organisasi :
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia