Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

PEMBAGIAN HADITS DARI SEGI KUALITAS DAN KUANTITAS


SANAD

DOSEN PENGAMPU :
MUHAMMAD SAIFUL AMIN, M.Pd.I

DISUSUN OLEH :
ERNA NOVITA
NIM:
2386230056

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS NURUL HUDA SUKARAJA OKU TIMUR

2023
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr., Wb.,


Puji dan syukur saya panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala
rahmat dan karunianya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah dengan baik dan tanpa
suatu kendala apapun.
Tidak lupa juga saya mengucapkan Terimakasih kepada Dosen Pengampu Mata
Kuliah “Ulumul Hadits”, Bpk. Muhammad Saiful Amin, M.Pd.I. yang telah membimbing
dan memberi arahan dalam penyelesaian tugas makalah “Pembagian Hadits dari Segi
Kualitas dan Kuantitas Sanad”. Begitu pula kepada teman-teman seperjuangan yang telah
memberi masukan dan arahan kepada saya selama menyelesaikan makalah ini.
Saya memohon maaf apabila terdapat kesalahan dan kekurangan dalam pembuatan
makalah ini. Karenanya saya sangat menerima kritik serta saran yang membangun dari para
pembaca agar saya dapat menulis makalah lebih baik lagi pada kesempatan berikutnya.
Besar harapan saya makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca, terutama
bagi Mahasiswa/i Universitas Nurul Huda Fakultas Agama Islam. Sekian dari saya, saya
ucapkan terimakasih.

Wassalamualaikum Wr., Wb.,

Penulis

ii
DAFTAR ISI

COVER i
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
BAB I PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang Masalah 1
B. Rumusan Masalah 2
C. Tujuan Masalah 2
BAB II 3
A. Pembagian Hadits Berdasarkan Kualitasnya 3
B. Pembagian Hadits Berdasarkan Kuantitasnya 10
BAB III PENUTUP 15
A. Kesimpulan 15
B. Saran 16
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................................................................................................17

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Al-Qur’an sebagai kitab suci dibukukan sejak dini oleh para sahabat dan
disakasikan oleh mereka yang menerima langsung dari Nabi Muhammad tentang ayat-
ayat yang telah diwahyukan kepada beliau. Dengan pembukuan dini dan disaksikan
oleh mereka yang hadir langsung bersama Rasulullah dalam proses penerimaan wahyu
selama dua puluh tiga tahun, maka keotentikan dan validitas Al-Qur’an tidak
diragukan lagi. Riwayat Al-Qur’an dinyatakan sebagai riwayat yang mutawatir
sehingga kebenaran yang ada berkualitas ilmu pasti (dzaruri), yaitu ilmu yang
kebenarannya sudah nyata dan tidak ada keraguan di dalamnya.
Berbeda dengan Al-Qur’an, hadis-hadis Nabi dibukukan oleh para ulama pada
abad ke satu hijriah `atas gagasan khalifah Umar bin Abdil Aziz. Pada abad kedua dan
ketiga hijriah para ulama melakukan pembukuan besar-besaran terhadap hadis-hadis
Nabi, sehingga kitab-kitab induk hadis yang menjadi rujukan primer dalam kajian
hadis merupakan hasil pembukuan para ulama pada kedua abad tersebut. Di antara
kitab-kitab induk hadis yang dibukukan pada abad kedua dan ketiga tersebut; Kitab
Muwattha’ karya Imam Malik, Musnad Ahmad karya Imam Ahmad, Shahih al-
Bukhari karya Imam Al-Bukhari, Shahoh Muslim Karya Imam Muslim, Sunan Abi
Daud Karya Imam Abu Daud, Sunan Al-Turmudzi karya Imam Al-Turmudzi, Sunan
Al-Nasa’I karya Imam Al-Nasa’I, dan Suanan Ibnu Majah karya Imam Ibnu Majah.
Dilihat dari jarak waktu antara masa Rasulullah sebagai pemilik hadis dan masa
para ulama yang membukukan hadis-hadis beliau, tentunya ada mata rantai
periwayatan karena penulis yang membukukan hadis tidak semasa dengan beliau.
Mereka hidup sebagai generasi setelah sahabat dan masuk kategori sebagai tabi’in atau
tabi’ tabi’in. Tentunya hadis-hadis yang mereka bukukan tidak didengar secara
langsung dari Rasulullah, tetapi didapat atau didengar dari para gurunya yang gurunya
pun juga tidak mendengar langdung dari baginda Nabi, sehingga ada runtutan mata
rantai perawi yang bersambung kepada para sahabat, dan para sahabat menerima
langsung dari baginda Nabi Muhammad saw. Dalam Ilmu Hadis runtutan mata rantai
para perawi yang menjadi jalur penyambung periwayatan menuju pemilik redaksi
hadis, yaitu Rasulullah, matan dikenal dengan istilah sanad.

1
Dari banyaknya para ulama yang membukukan hadis dengan jalur periwayatan
mereka masing-masing, maka sebuah hadis bisa jadi memilki dua , tiga, empat, lima
jalur sanad atau lebih, walaupun dalam faktanya juga ada yang hanya memiliki satu
jalur sanad. Dari fakta ini, para ulama hadis melakukan pemetaan macam-macam
hadis ditinjau dari kuantitas atau banyak tidaknya jalur sanad yang dimiliki. Pemetaan
hadis berdasarkan kuantitas sanad sangat urgen dalam kajian kualitas hadis, karena
kualitas sebuah hadis juga banyak yang ditentukan bedasarkan kuantitas sanad yang
dimilikinya. Dalam kajian ilmu hadis dirayah, pemetaan hadis berdasarkan kuantitas
sanad termasuk materi kajian utama yang harus dikuasi oleh para pengkaji hadis,
karena hadis bisa dikatakan berkualitas hasan li ghairih atau shohih lighairih akan
diketahui kalau dilihat hadis tersebut memiliki jalur sanad hadis yang lebih dari satu.

B. Rumusan Masalah
1. Jelaskan apa saja pembagian Hadits Berdasarkan Kualitasnya?
2. Jelaskan apa saja pembagian Hadits Berdasarkan Kuantitasnya?

C. Tujuan Masalah
1. Mahasiswa mampu menjelaskan apa saja pembagian Hadits Berdasarkan
Kualitasnya!
2. Mahasiswa mampu menjelaskan apa saja pembagian Hadits Berdasarkan
Kuantitasnya!

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pembagian Hadits Berdasarkan Kualitasnya

Hadits adalah setiap perkataan, perbuataan, atau ketetapan yang disandarkan


kepada Nabi Muhammad SAW. Dalam bahasa lain, hadits ialah setiap informasi yang
disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW. Misalnya, ketika kita mengatakan
“Rasulullah SAW pernah berkata” atau “Rasulullah SAW pernah melakukan..”, secara
tidak langsung pernyataan tersebut sudah bisa dikatakan hadits.
Namun persoalannya, apakah pernyataan tersebut benar-benar kata Rasulullah
atau tidak? Karena belum tentu setiap informasi yang mengatasnamakan Rasulullah
benar-benar valid dan banyak juga berita tentang Rasulullah dipalsukan untuk
kepentingan tertentu. Sebab itu, mengetahui kebenaran sebuah informasi yang
mengatasnamakan Rasulullah (hadits) sangatlah penting. Para ulama hadits membagi
hadits berdasarkan kualitasnya dalam tiga kategori, yaitu hadits shahih, hadits hasan,
dan hadits dhaif. Uraiannya sebagai berikut.

1. Hadist Shahih
Kata SHAHIH secara Bahasa diartikan orang yang sehat, antonym dari
SAQIM atau orang yang sakit. Jadi hadist shohih adalah hadist yang sehat dan benar,
tidak terdapat sakit atau caacat. Dalam istilah, hadist shohih adalah hadist yang
muttasil (bersambung) sanadnya, diriwayatkan oleh orang adil dan dhabit (kuat daya
ingatnya) sempurna dari sesamanya, selamat dari kejanggalan (syadzdz) dan cacat
(illah).
Hadits shahih ialah hadits yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh
perawi yang berkualitas dan tidak lemah hafalannya, di dalam sanad dan matannya
tidak ada syadz dan illat. Mahmud Thahan dalam Taisir Musthalahil Hadits
menjelaskan hadits shahih adalah: “Setiap hadits yang rangkaian sanadnya
bersambung, diriwayatkan oleh perawi yang adil dan dhabit dari awal sampai akhir
sanad, tidak terdapat di dalamnya syadz dan ‘illah.”
Dari defenisi diatas dapat disimpulkan bahwa hadist shahih mempunyai lima kriteria
yaitu sebagai berikut.
a. Persambungan sanad (ittishalussanad)

3
Artinya, setiap perawi dalam sanad bertemu dan menerima periwayatan dari
perawi sebelumnya, baik secara langsung ataupun secara hokum dari awal sanad
sampai akhirnya. Pertemuan atau persambungan sanad dalam periwayatan ada
dua macam lambang yang digunakan oleh periwayatnya:
1. Pertemuan langsung (mubasyarah), seseorang bertatap langsung dengan syaikh
yang menyampaikan periwayatan. Periwayatan dalam bentuk pertemuan
langsung seperti diatas pada umumnya menggunakan lambing ungkapan:
 Sami’tu : aku mendengar
 Haddatsani/akhbaroni/haddatsana/akhbarona : memberitaukan kepadaku/
kami
 Roaitu fulan :aku melihat sifulan, Dll.
2. Pertemuan secara hukum (hukumi), seseorang meriwayatkan hadist dari
seseorang yang hidup semasanya dengan ungkapan kata yang mungkin
mendengar atau mungkin melihat, misalnya:
Qoolafulan/ ’an fulan/ fa’alafulan : sifulanberkata… /darisifulan/ sifulan
melakukan begini.
Persambungan sanad dalam ungkapan kata in imasih secara hukum, maka
perlu penelitian lebih lanjut untuk mengetahui apakah dia benar bertemu
syaikhnya atau tidak.

b. Keadilan para perawi (‘Adalaturruwath)


Dalam istilah periwayatan, orang yang adil adalah orang yang konsisten
(istiqomah) dalam beragama, baik akhlaqnya, tidak fasiq, dan tidak melakukan
cacat muru’ah. Dalam menilai keadilan seseorang tidak harus meneliti
kelapangan atau dengan cara bertemu langsung. Cukup dilakukan dengan salah
satu teknik berikut
 Keterangan seorang atau beberapa ulama’ ahlita’dil bahwa seseorang ini
bersifat adil, sebagaimana yang disebutkan dalam kitab kitab al-jarhuwa at-
ta’dilu
 Ketenaran seseorang bahwa ia bersifat adil seperti imam empat yaitu syafi’I,
maliki, hambali, dan Hanafi.
c. Para perawi bersifat dhabith (dhabthurruwath)
Maksudnya para perawi itu memiliki ingatan hafalan yang kuat dan
sempurna. Sifat dhabith ini ada dua macam, yaitu sebagai berikut:

4
1) Dhabith dalam dada (adh-dhabith fi ash-shudur), artinya memiliki daya ingat
yang kuat sejak menerima hadis dari seorang syaikh sampai pada saat
menyampaikannya pada orang lain.
2) Dhabith dalam tulisan (adh-dhabith fi as-suthur), artinya tulisan hadisnya sejak
mendengar dari gurunya terpelihara dari perubahan, pergantian, dan
kekurangan.

Untuk mengetahui kedhabithan seseorang, dapat dilakukan dengan diadakan


komparasi dengan periwayatan orang orang tsiqah lain atau dengan keterangan
seorang peneliti yang dapat dipertanggung jawabkan (mu’tabar). Bandingkan
sanad hadis periwayatan seseorang dengan berbagai sanad yang berbeda, jika
periwayatannya banyak kesesuaiannya dengan periwayatan orang orang tsiqah,
berarti ia dhabith. Jika banyak bertentangan, berarti ia tidak dhabith.

d. Tidak terjadi kejanggalan (syadzdz)


Syadzdz dalam Bahasa berarti ganjil. Maksud syadzdz disini adalah
periwayatan orang tsiqah (terpercaya, yaitu adil dan dhabith) bertentangan dengan
periwayatnya orang yang lebih tsiqah. Dengan demikian, jika disyaratkan hadist
shahih harus tidak terjadi syadzdz. Pengertian syadzdz ini mengecualikan, jika
periwayatan orang dhaif bertentangan dengan periwayatan orang tsiqah tidak
dinamakan syadzdz, tetapi nanti disebut hadis mungkar yang tergolong hadis dhaif.
Logikanya, pertentangan periwayatan orang yang tsiqah terhadap yang lebih
tsiqah saja sudah tidak shahih, apa lagi periwayatan orang dhaif terhadap orang
tsiqah. Demikian juga sebaliknya, disebut hadis ma’ruf. Hadis ini tidak termasuk
syadzdz jika memenuhi persyaratan lain, bisa jadi menjadi shahih.

e. Tidak terjadi illat


Dari segi Bahasa, illat artinya penyakit, sebab, alasan, dan udzur. Sedangkan
arti illat disini adalah suatu sebab tersembunyi yang membuat cacat suatu
keabsahan hadis padahal lahirnya selamat dari cacat tersebut. Misalnya sebuah
hadis setelah diadakan penelitian, ternyata ada sebab yang membuat cacat yang
menghalangi terkabulnya, seperti mnqathi’, mawquf, atau perawi seorang fasiq,
tidak bagus hafalannya, seorang ahli bid’ah, dll. Atau ternyata seorang perawi
memursalkan hadis mawshul, memawshulkan hadis munqathi’, atau mema’rufkan
hadis mawquf.

5
Terkait tentang kehujjahan Hadits Shahih bahwa Hadits yang telah memenuhi
persyaratan hadist shahih wajib diamalkan sebagai hujjah atau dalil syara’ sesuai
dengan ijma’ para ulama hadits dan sebagian ulama ushul dan fiqh tidak ada alas
an bagi seorang muslim, tinggal mengamalkannya. Hadits shahih lighairih lebih
tinggi derajatnya dari pada hasan lizhatih tetapi lebih rendah dari shahih lizhatih.
Sekalipun demikian, ketiganya dapat dijadikan hujjah. Ada beberapa pendapat
para ulama yang memperkuat kehujjahan hadits shahih ini diantaranya sebagai
berikut:
 Hadits shahih memberi faidah qat’i (pasti kebenarannya) jika dalam kitab
shaihahnya (al Bukhori dan Muslim) sebagaimana pendapat yang dipilih ibnu
ash-shalah.
 Wajib menerima hadits shahih sekalipun tidak ada seorangpun yang
mengamalkannya, hal ini sebgaiamana pendapat Al-Kasimi dalam Qawa’id At-
Tahdist.

2. Hadits Hasan
Hasan menurut bahasa berarti suatu yang disenangi oleh nafsu. Sedangkan
hasan menurut istilah, para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikannya
perbedaan ini disebabkan diantara mereka ada yang menggolongkan hadis hasan
sebagai hadis yang menduduki posisi diantara hadis sahih dan hadi dhaif, tetapi ada
juga memasukkannya kedalam bagian hadis dhaif yang dapat dijadikan sebagai hujjah
, menurut sejarah,ulama yang mula-mula memunculkan istilah hasan menjadi hadis
yang berdiri sendiri adalah Thurmuzi. Untuk lebih jelasnya, dibawah ini
dikemukakan beberapa definisi hadis Hasan Sebagai berikut.
“Tiap-tiap hadis yang pada sanadnya tidah terdapat perawi yang tertuduh dusta,
Pada matannya tidak terdapat kejanggalan dan hadis itu tidak diriwayatkan dengan
satu jalan (mempunyai banyak jalan) yang sedepan dengannya.”
Defnisi hadis hasan yang dikemukakan oleh at-Turmidzi ini masih umum dan
hampir sama denan defnisi hadis sahih. Sebab, hadis sahih juga mensyaratkan
sanadnya tidak tertuduh dusta, hadisnya tidak janggal, dan tidak hanya terdapat satu
jalur rawi saja. Defnisi yang lebih jelas dan detail adalah yang dikemukakan oleh
kebanyakan ulama hadis. Hadis yang dinukil oleh seorang yang adil tetapi tidak
begitu kuat ingatannya, bersambung sanadnya, dan tidak terdapat cacat serta
kejanggalan pada matannya. Meskipun demikian,melalui definisi ini at-Turmuzi tidak

6
bermaksut menyamakan hadis Hasan dan hadis shahih,sebab justruat-Turmuzilah
yang mula –mula memunculkan istilah hadis hasan ini. Dapat dikatan bahwa hasan
hamper sama dengan hadis sahih,hanya saja terdapat perbedaan dalam soal ingatan
perawi.pada hadis shahih,ingatan atau daya hapalannya kurang sempurna .Dengan
kata lain, syarat hadis hasan dapat dirinci sebagai berikut:
 Sanadnya bersambung
 Perawinya adil
 Perawinya dabit,tapi kedabitannya dibawah kedabitan hadis hasan
 Tidak terdapat kejanggalan ( syadz)
 Tidak ada illat ( cacat)
Pengertian ibnu Ash shaleh ini memperkuat uraian bahwa pada dasarnya hadis
hasan lighairihi adalah hadis dhaif,yang memiliki syahid dam muttabik’. Akan tetapi,
hadis yang sangat lemah ,seperti hadis maudu,hadis munkar,dan hadis
matruk,sekalipun ada syahid dan muttabik’ kedudukannya tetap sebagai hadis dhaif
dan tidak dapat berubah menjadi hadis hasan .
Para ulama membagi hadis hasan menjadi dua bagian,yaitu
a. Hasan li dzatih
Hasan li dzatih adalah hadis yang telah memenuhi persyaratan hadis hasan di
atas.Dengan demi kian pengertiah hadis hasan li dzatihi sama dengan pengertian
hadis hasan sebagaimana telah diuraikan diatas.
b. Hadis hasan li ghairih
Hadis hasan li ghairi adalah hadis hasan yang tidak memenuhi persyaratan
hadis hasan secara sempurna atau pada dasarnya hadis tersebut adalah dhaif, tetapi
karena sanadnya atau matan lain yang menguatkan ( syaid atau muta’i), maka
kedudukan hadis dhaif tersebut naik derajatnya menjadi hasan li ghairih. Dapat
dipahami bahwa hadis Dhaif bisa naik menjadi hasan lighairih dengan dua syarat
yaitu:
 Harus ditemukan periwayatan sanad lain yang lebih seimbang atau lebih kuat;
 Sebab hadis tidak berat seperti dusta dan fasik , tetapi ringan seperti hapalan
yang kurang, atau terputusnya sanad, atau tidak diketahui dengan jelas ( majhul )
identitas perawi.
Terkait kehujjahan Hadits Hasan bahwasanya Hadis hasan sebagaimana
halnya hadis shahih , meskipun derajatnya dibawah hadis shahih ,adalah hadis yang

7
dapat diterima dan digunakan sebagai dalil atau hujjah dalam menetapkan suatu
hukum atau dalam beramal. Para ulama hadis ,ulama ushul fiqh ,dan fuqaha’sepakat
tentang kehujjahan hadis hasan.
Sebagiamna diketahui bahawa hadis hasan itu meliputi hadis hasan lidzatihi
dan hadis hasan ligairihi.umumnya para ulama dapat menerima hadis hasan
lidzatihi dengan syarat perawinya harus syuduq, tidak berbohong .Adapun hadis
hasan lighairihi sebagai dasar hukum.

3. Hadits Dhaif
Kata dha’if menurut bahasa artinya lemah,lawan kata dari qawy yang artinya
kuat,sebagai lawan kata shahih,kata dha.if juga berarti saqim(yang sakit).artinya
hadits dha.if secara bahasa adalah hadits yang lemah,yang sakit,yang tidak kuat.
Secara termonologi,para ulama hadits merumuskanya dengan redaksi yang
berbeda beda.tetapi pada dasarnya mengandung maksud yang sama. adapun
definesi tersebut sebagai berikut, “Hadits dha’if yang tidak memenuhi syarat shahih
dan juga tidak memenuhi syarat hasan”
Dari rumusan rumusan ulama dapat di katakan bahwa hadist dha.if adalah
hadist yang di ketahui perawi yang menukilkan hadist itu tertuduh kurang amanah,
hafalannya lemah dan di riwayatkan oleh orang tidak dikenal.
Hadits dhaif ialah hadits yang tidak memenuhi persyaratan hadits shahih dan
hadits hasan. Dalam Mandzumah Bayquni disebutkan hadits hasan adalah: “Setiap
hadits yang kualitasnya lebih rendah dari hadits hasan adalah dhaif dan hadits dhaif
memiliki banyak ragam.”
Dilihat dari defenisinya, dapat dipahami bahwa hadits shahih adalah hadits
yang kualitasnya lebih tinggi. Kemudian di bawahnya adalah hadits hasan. Para
ulama sepakat bahwa hadits shahih dan hasan dapat dijadikan sebagai sumber
hukum. Sementara hadits dhaif ialah hadits yang lemah dan tidak bisa dijadikan
sebagai sumber hukum. Namun dalam beberapa kasus, menurut ulama hadits,
hadits dhaif boleh diamalkan selama tidak terlalu lemah dan untuk fadhail amal.
Hadist dha`if tidak identik dengan hadist mauwdhu (hadist palsu).di antara
hadist dha`if terdapat kecacatan para perawinya yang tidak terlalu parah, seperti
daya hafalan yang kurang kuat, tetapi adil dan jujur. Sedangkan hadist mawdhu
perawinya pendusta. Maka para ulama memperbolehkan meriwayatkan hadist
dha`if sekalipun tampa menjelaskan kedha`ifanya dengan dua syaratnya, yaitu

8
sebagai berikut
 Tidak berkaitan dengan akidah seperti sifat-sifat allah.
 Tidak menjelaskan hokum syara` yang berkaitan dengan halal dan haram, tetapi
berkaitan masalah mau`izhah ,targhib wa tarhib (hadist-hadist tentang ancaman
dan janji), kisah-kisah, dan lain lain.
4. Hadits Ma'mul Bih
Hadits Ma’mul Bih adalah hadits yang dapat diterima menjadi hujjah dan dapat
diamalkan. Yang termasuk katogori ini meliputi:
1. Hadits Muhkam: Muhkam menurut bahasa artinya yang dikokohkan atau yang
diteguhkan. Yaitu hadits-hadits yang tidak mempunyai saingan dengan hadits
yang lain, yang dapat mempengaruhi artinya. Dengan kata lain tidak ada hadits
lain yang melawannya. Dikatakan muhkam ialah karena dapat dipakai sebagai
hukum lantaran dapat diamalkan secara pasti, tanpa syubhat sedikit pun.
Kebanyakan hadits tergolong kepada jenis ini, sedangkan yang bertentangan
jumlahnya sedikit.
2. Hadits Mukhtalaf: Mukhtalaf artinya adalah yang bertentangan atau yang
berselisih. Sedangkan secara istilah ialah hadits yang diterima namun pada
zhahirnya kelihatan bertentangan dengan hadits maqbul lainnya dalam
maknanya, akan tetapi memungkinkan untuk dikompromikan antara keduanya.
Kedua buah hadits yang berlawanan ini kalau bisa dikompromikan, diamalkan
kedua-duanya.
3. Hadits Rajin: Hadits Rajih yaitu sebuah hadits yang terkuat diantara dua buah
hadits yang berlawanan maksudnya. Riwayat yang tidak dipakai dinamai
marjuh artinya yang tidak diberati, yang tidak kuat. Contohnya Hadits tentang
riwayat yang mengatakan Nabi menikah saat ihlal. Riwayat yazid bin asham itu
disebut rajih dan riwayat ibnu abbas di sebut marjuh.
4. Hadits Nasikh: Hadits Nasikh yaitu hadits yang datang lebih akhir, yang
menghapuskan ketentuan hukum yang terkandung dalam hadits yang datang
mandahuluinya. Hadits yang dihapuskan ketentuan hukumnya dinamakan
mansukh.

5. Hadits Ghairu Ma'mul Bih


Hadits ghairu ma’mul bih ialah hadits hadits maqbul yang tidak bisa di

9
amalkan. Yang masuk kategori ini melipiti:
1. Hadits Mutasyabih: Matasybih artinya yang samar. Yakni hadits yang samar/
sukar dipahami dan tidak bisa diketauhi maksud dan tujuannya. Ketentuan
hadits mutasyabih ini ialah harus diimankan adanya, tetapi tidak boleh
diamalkan.
2. Hadits Mutawaqqaf fihi: yaitu dua buah hadits maqbul yang saling berlawanan
yang tidak dapat di kompromikan, ditarjihkan dan dinasakhkan. Kedua hadits
ini hendaklah dibekukan sementara.
3. Hadits Marjuh: yaitu sebuah hadits maqbul yang ditenggang oleh hadits
Maqbul lain yang lebih kuat. Kalau yang ditenggang itu bukan hadits
maqbul, bukan disebut hadits marjuh.
4. Hadits Mansukh: Secara bahasa mansukh artinya yang dihapus, Yakni hadits
maqbul yang telah dihapuskan (nasakh) oleh hadits maqbul yang datang
kemudian.

B. Pembagian Hadits Berdasarkan Kuantitasnya

1. Hadits Mutawatir

a. Pengertian Hadist Mutawatir


Secara bahasa kata ‘mutawatir’ berbentuk isim fa’il musytaq dari kata ‘tawatur’
yang berarti berturut-turut atau berurutan. Senada dengan pengertian di atas Mudasir
mengemukakan secara bahasa mutawatir berarti mutatabi, yakni sesuatu yang datang
berikut dengan kita atau yang beriringiringan antara satu dengan lainnya tanpa ada
jaraknya.
Secara istilah hadis mutawatir adalah hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah
orang yang menurut adat kebiasaan mustahil mereka bersepakat untuk melakukan
kebohongan. Senada dengan pengertian di atas Hasbi AshShiddieqy mengemukakan
hadis mutawatir adalah, “ Hadis-hadis yang diriwayatkan oleh segolongan besar yang
tidak terhitung jumlahnya dan tidak pula dapat dipahamkan bahwa mereka telah
sepakat berdusta, keadaan itu terusmenerus hingga pada akhirnya.”
Manna Al-Qathan hadis mutawatir ialah hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah
orang yang menurut adat kebiasaan mustahil sepakat untuk berdusta, dari awal sanad
hingga akhir sanad (pada seluruh generasi) dan hadis yang diriwayatkan tersebut bersifat
mahshus.
Berdasarkan dari beberapa pengertian di atas, dapat dipahami bahwa hadis

10
mutawatir adalah hadis yang jumlah perawinya banyak yang menurut akal dan adat
kebiasaan mustahil bersepakat untuk berdusta sehingga dapat memberikan keyakinan
terhadap kebenaran hadis yang mereka riwayatkan, jumlah perawi terdapat pada setiap
generasi dan para perawinya meriwayatkan hadis berdasarkan pancaindera yang yakin
(pengelihatan dan pendengaran).
b. Syarat-syarat Hadis Mutawatir
Menurut ulama Mutaakhirin dan ahli Ushul, suatu hadis dapat ditetapkan sebagai
hadis mutawatir bila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
 Pertama, hadis diperoleh dari Nabi atas dasar pancaindera yang yakin. Maksudnya,
bahwa perawi ketika memperoleh hadis Nabi Muhammad saw. haruslah benar-
benar dari hasil pendengaran atau penglihatan sendiri. Jadi, bukanlah atas dasar
pemikiran, perkiraan atau hasil istimbat dari suatu dalil dengan dalil yang lain.
 Kedua, diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi yang dan mereka itu bersepakat
untuk tidak berdusta, namun dalam permasalahan jumlah perawi tersebut para
ulama berbeda pendapat karena ada yang menetapkan jumlah perawinya dan ada
yang tidak menetapkan jumlah perawinya. Al-Qadi Al-Baqillani menetapkan bahwa
jumlah perawi hadis mutawatir sekurang-kurangnya 5 orang karena ia menqiyaskan
dengan jumlah Nabi yang mendapat gelar Ulul Azmi sebanyak 5 orang, sementara
itu Astikhary menetapkan bahwa yang paling baik minimal 10 orang sebab jumlah
itu merupakan awal bilangan banyak dan ada sebagian ulama yang menetapkan
sekurang-kurangnya 20 orang, hal ini sesuai dengan firman Allah yang artinya “Jika
ada dua puluh orang yang sabar di antara kamu, niscaya mereka dapat
mengalahkan dua ratus orang musuh. (QS. Al- Anfal/8: 65). Ayat ini memberikan
dorongan kepada orang-orang mukmin yang tahan uji, bahwa hanya dengan jumlah
20 orang yang sabar, maka mereka mampu mengalahkan 200 orang kafir.
 Ketiga, adanya keseimbangan antara perawi pada thabaqat (generasi) pertama
dengan thabaqat berikutnya. Dengan demikian bila suatu hadis diriwayatkan oleh
20 orang sahabat kemudian diterima oleh 10 tabi’in, maka ini tidak dapat
digolongkan sebagai hadis mutawatir karena jumlah perawinya tidak seimbang
antara thabaqat pertama dengan thabaqat seterusnya.
c. Pembagian Hadits Mutawatir
Menurut Al-Qaththan hadis mutawatir dibagi menjadi dua yaitu: mutawatir lafdzi
dan mutawatir ma’nawi, akan dijelaskan mengenai kedua hadis tersebut di bawah ini:

11
 Pertama, hadis Mutawatir Lafdzi adalah hadis mutawatir yang lafadz dan maknanya
sama. Hadis model ini sedikit sekali jumlahnya karena sangat sulit jumlah perawi
yang begitu banyak dapat meriwayatkan sebuah hadis dalam satu keseragaman
redaksi.
 Kedua, Mutawatir Ma’nawi adalah hadis mutawatir yang maknanya sama akan
tetapi redaksinya berbeda.
d. Kedudukan Hadits Mutawatir
Pendapat para Ulama bahwa keyakinan yang diperoleh dari hadis mutawatir,
sama kedudukannya dengan keyakinan yang diperoleh dari mata atau penyaksian
sendiri karena hadis mutawatir, memfaidahkan ilmu dharury yakni suatu keharusan
untuk menerima dan mengamalkannya sesuai dengan yang diberitakan oleh hadis
mutawatir tersebut, hingga membawa pada keyakinan yang qathi’i (pasti).

2. Hadits Ahad
a. Pengertian Hadist Ahad
Secara bahasa kata ahad atau wahid berarti satu, khabar ahad/wahid adalah suatu
berita yang satu orang. Adapun pengertian hadis ahad secara isitilah adalah hadis yang
tidak memenuhi syarat-syarat hadis mutawatir, maksudnya bahwa semua hadis yang
jumlah perawinya tidak sampai pada tingkat mutawatir dinamakan hadis ahad. Ulama
ahli hadis menyebutkan bahwa hadis ahad adalah hadis yang para perawinya tidak
mencapai jumlah perawi hadis mutawatir, baik rawinya itu satu, dua, tiga, empat orang
atau seterusnya, tetapi keadaan jumlah perawi seperti ini terjadi sejak perawi pertama
sampai perawi terakhir.
Jumhur Ulama sepakat bahwa hadis ahad adalah hadis yang telah memenuhi
ketentuan maqbul dan mereka berpegang kepada hadis ahad dalam urusan amal dan
hukum, tidak dalam urusan I’tiqad dan keyakinan. Pendapat Imam Abu Hanifah, Imam
Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hambal hadis ahad dapat dipakai bila dasar-dasar hadis
periwayatannya yang shahih telah terpenuhi. Imam Abu hanifah menetapkan hadis
ahad dapat dipakai bila syarat tsiqah dan adil bagi perawinya dan amaliyahnya tidak
menyalahi hadis yang diriwayatkan sedangkan pendapat Imam Malik menetapkan
hadis ahad dapat dipakai dengan syarat perawi hadis tidak menyalahi amalan ahli
Madinah.
b. Pembagian Hadits Ahad

12
Hadis Ahad dibagi menjadi dua yaitu hadis masyhur dan hadis ghairu masyhur.

1.) Hadis Masyhur


Secara bahasa, kata masyhur adalah isim maf’ul dari kata “syahara” yang
berarti sesuatu yang sudah tersebar atau populer. Sedangkan menurut istilah hadis
masyhur adalah hadis yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih dari setiap
generasi, akan tetapi tidak mencapai jumlah mutawatir. Pengertian lain
menyebutkan bahwa hadis masyhur adalah “Hadis-hadis yang terdiri lapisan perawi
yang pertama, atau lapisan kedua, dari orang seorang, atau beberapa orang saja.
Sesudah itu, barulah tersebar luas, dinukilkan oleh segolongan orang yang tidak
dapat disangka, bahwa mereka sepekat untuk berdusta.”
Pada lapisan pertama dikehendaki adalah lapisan para sahabat dan lapisan
kedua adalah lapisan tabi’in, maka hadis yang terkenal dikalangan tabi’in disebut
hadis masyhur. Hadis ini disambut baik oleh ulama abad ke-2 dan abad ke-3 dan
telah terkenal baik diantara mereka, dikatakan masyhur karena telah tersebar luas
dikalangan masyarakat. Ada ulama yang memasukan seluruh hadis masyhur
dikalangan masyarakat, sekalipun tidak mempunyai sanad sama sekali, baik
berstatus shahih, atau dhaif ke dalam hadis masyhur.
2.) Hadits Ghairu Masyhur
Para Ulama hadis membagi hadis ghairu masyhur menjadi dua, yaitu hadis
aziz dan hadis gharib. Hadis Aziz menurut bahasa berarti yang mulia atau yang
kuat dan juga berarti jarang, meurut istilah hadis aziz adalah hadis yang
diriwayatkan tidak kurang dari dua orang perawi, walaupun dua orang perawi
tersebut berada dalam satu thabaqat saja, kemudian setelah itu orang-orang
meriwayatkannya .
Hadis Gharib secara bahasa berarti menyendiri, asing, jauh atau terpisah.
Sedangkan menurut istilah hadis gharib yaitu hadis yang diriwayatkan satu orang
perawi (sendirian) pada tingkatan mana pun yang dikarenakan perawi mempunyai
sifat atau keadaan tertentu.
Dilihat dari bentuk penyendirian perawi seperti yang dimaksud di atas, maka
hadis gharib dapat digolongkan menjadi dua, yaitu gharib mutlak dan gharib nisbi.
Dikategorikan sebagai gharib mutlak apabila penyendiriannya itu mengenai
personalianya, sekalipun penyendirian tersebut hanya terdapat dalam satu thabaqat
dan yang menjadi tujuan diperbicangkannya penyendirian perawi dalam hadis
13
gharib mutlak ini ialah menetapkan apakah periwayatannya dapat diterima atau
ditolak.
Dapat digolongkan kepada hadis gharib nisbi apabila dalam penyendiriannya
itu mengenai sifat atau keadaan tertentu dari seorang perawi. Penyendirian seorang
perawi seperti ini biasa terjadi berkaitan dengan keadilan atau keadaan kota tertentu.

14
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Pada akhirnya pembagian hadis dilihat dari diterima tidaknya dibagi menjadi tiga,
yaitu hadis shahih, hasan, dan dha’ifi.
Kata SHAHIH secara Bahasa diartikan orang yang sehat, antonym dari SAQIM
atau orang yang sakit. Jadi hadist shohih adalah hadist yang sehat dan benar, tidak
terdapat sakit atau caacat. Dalam istilah, hadist shohih adalah hadist yang muttasil
(bersambung) sanadnya, diriwayatkan oleh orang adil dan dhabit (kuat daya ingatnya)
sempurna dari sesamanya, selamat dari kejanggalan (syadzdz) dan cacat (illah).
Hasan menurut bahasa berarti suatu yang disenangi oleh nafsu. Sedangkan hasan
menurut istilah, para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikannya perbedaan ini
disebabkan diantara mereka ada yang menggolongkan hadis hasan sebagai hadis yang
menduduki posisi diantara hadis sahih dan hadi dhaif, tetapi ada juga memasukkannya
kedalam bagian hadis dhaif yang dapat dijadikan sebagai hujjah , menurut
sejarah,ulama yang mula-mula memunculkan istilah hasan menjadi hadis yang berdiri
sendiri adalah Thurmuzi.
Kata dha’if menurut bahasa artinya lemah,lawan kata dari qawy yang artinya
kuat,sebagai lawan kata shahih,kata dha.if juga berarti saqim(yang sakit).artinya hadits
dha.if secara bahasa adalah hadits yang lemah,yang sakit,yang tidak kuat.
Sedangkan pada akhirnya suatu Hadits dilihat berdasarkan kuantitasnya dibagi
menjadi dua, yaitu :
 Hadis mutawatir adalah hadis yang diriwayatkan oleh banyak orang perawi,
berdasarkan pancaindera, yang menurut adat berdusta dan keadaan periwayatan
itu terus menerus seimbang sejak thabaqat yang pertama sampai thabaqat yang
terakhir. Pembagian hadis mutawatir menjadi dua macam yaitu, mutawatir lafdzi
dan mutawatir ma’nawi. Hadis mutawatir lafdzi adalah hadis yang dengan
lafadznya diriwayatkan oleh sejumlah perawi, dari sejumlah perawi, dari sejumlah
perawi dst yang tidak memungkinkan mereka sepakat untuk berdusta dari awal
sanad sampai akhir sanad. Sedangkan mutawatir ma’nawi adalah hadis yang
diriwayatkan oleh para perawi dengan menyesuaikan maknanya tanpa persis
lafadznya.

15
 Hadis ahad adalah hadis yang para perawinya tidak mencapai jumlah perawi hadis
mutawatir, baik rawinya itu satu, dua, tiga, empat orang atau seterusnya, tetapi
keadaan jumlah perawi seperti ini terjadi sejak perawi pertama sampai perawi
terakhir. Jenis hadis ini berada di bawah derajat hadis mutawatir, tetapi hukumnya
wajib diamalkan selama memenuhi syarat-syarat diterimanya riwayat seperti
kesepakatan Jumhur Ulama bahwa hadis ahad adalah hadis yang telah memenuhi
ketentuan maqbul dan mereka berpegang kepada hadis ahad dalam urusan amal
dan hukum, tidak dalam urusan I’tiqad dan keyakinan. Hadis Ahad dibagi menjadi
dua yaitu hadis masyhur dan hadis ghairu masyhur. Dan para Ulama Hadis
membagi hadis ghairu masyhur menjadi dua, yaitu hadis aziz dan hadis gharib.
Hadis gharib digolongkan lagi menjadi dua macam jika dilihat dari bentuk
penyendirian perawi yaitu, gharib mutlak dan gharib nisbi.
B. Saran

Demikian makalah ini saya buat. Saya menyadari bahwa dalam pembuatan
makalah ini masih banyak kekurangannya baik dalam segi pemaparan dan
penjelasannya. Untuk itu saya sangat menerima kritik dan saran dari para pembaca
untuk membangun makalah ini menjadi lebih baik di kesempatan berikutnya. Saya
berharap semoga para pembaca dapat memahami isi dari makalah ini.

16
DAFTAR PUSTAKA

Ismail, M. Syuhudi,Pengantar Ilmu Hadis , Bandung: Angkasa, 2010.

Izzan, Ahmad,Ulumul Hadis, Bandung: Humaniora, 2011.

Mudasir,Ilmu Hadis , Bandung: Pustaka Setia, 1999.

Muliawan, Jasa Ungguh,Metodologi Penelitian Pendidikan dengan Studi Kasus, 1st ed.,
Yogyakarta: Gava Media,2014.

Sahrani, Sohari,Ulumul Hadits , Bogor: Ghalia Indonesia, 2010.

Saputra, Munzier,Ilmu Hadis , Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,2002.

Shiddieqy-ash, Teungku Muhammad Hasbi,Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits,


Semarang: Pustaka Rizki Putra, Cet. VI 2010.

Sumbulah, Umi,Kajian Kritis Ilmu Hadis, Malang, UIN Maliki Press, 2010.

Sunarto, Achmad,Tarjamah Shahih Bukhari, Semarang: CV. Asy Syifa, 1992.

Wijaya, Ranu,Ilmu Hadis, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996.

Zed, Mestika,Metode Penelitian Kepustakaan ,3rd ed., Jakarta: Yayasan Pustaka Obor
Indonesia, 2014.

17

Anda mungkin juga menyukai