Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

HADITS

Mata Kuliah: Materi PAI II

Dosen Pengampu: Anita, M.Ag

Oleh:

1. Devany Qorifadila (NPM: 21290004)


2. Rino Pambudi (NPM:21270014)

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM IBNURUSYD KOTABUMI LAMPUNG UTARA

2022
KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah atas segala limpahan karunia Allah SWT. Atas izin-Nya lah kami
dapat menyelesaikan makalah ini tepat waktu. Tak lupa pula kami kirimkan shalawat serta
salam kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW. Beserta keluarganya, para
sahabatnya, dan seluruhnya umatnya yang senantiasa istiqomah hingga akhir zaman.

Penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah
Materi PAI II yang berjudul Hadits.

Namun tak lepas dari itu semua, kami menyadari sepenuhnya masih terdapat
kekurangan baik dari segi penyusunan bahasa dan aspek lainnya. Oleh karena itu, kami
membuka pintu selebar-lebarnya bagi para pembaca yang ingin memberi kritik maupun
saran untuk memperbaiki makalah ini.

Kotabumi, 05 September 2022

Penyusun,

1. Devany Qorifadila
2. Rino Pambudi

1
DAFTAR ISI

Cover i
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I 1
PENDAHULUAN 1
A. LATAR BELAKANG 1
B. RUMUSAN MASALAH 1
C. TUJUAN PENULISAN 1
BAB II 2
PEMBAHASAN 2
A. Pengertian dan Bentuk-Bentuk Hadits 2
1. Pengertian hadits 2
2. Bentuk-Bentuk Hadits 4
B. Kedudukan dan Fungsi Hadits 7
1. Kedudukan Hadits 7
2. Fungsi Hadits 8
C. Sejarah Pembukuan Hadits 10
D. Klasifikasi Hadits berdasarkan Kuantitas dan Kualitas 12
1. Hadits berdasarkan Kuantitas 12
2. Hadits berdasarkan Kualitas 12
E. Urgensi Sanad dan Matan Hadits 14
BAB III 17
Penutup 17
A. Kesimpulan 17
B. SARAN 18
Daftar Pustaka 19

2
3
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Hadits bukanlah teks suci sebagaimana al-Qur’an. Namun, Hadits selalu menjadi rujukan
kedua setelah al-Qur’an dan menempati posisi penting dalam kajian keislaman. Mengingat
penulisan Hadits yang dilakukan ratusan tahun setalah nabi Muhammad SAW wafat, maka
banyak terjadi silang pendapat terhadap keabsahan sebuah hadits. Sehingga hal tersebut
memunculkan sebagian kelompok meragukan dan mengingkari akan kebenaran hadits
sebagai sumber hukum. Dengan katalam, Hadits Nabi dapat saja menambah hukum yang
ada dalam al-Qur’an. Ia mengatakan bahwa wujud perintah yang ada, baik dan al-Qur’an
maupun Hadits adalah berpangkal dari sumber yang sama, meskipun melalui jalur yang
berbeda.

B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang, maka dapat disimpulkan rumusan masalah sebagai berikut:

1. Apa pengertian dan bentuk-bentuk Hadits?


2. Apa kedudukan dan fungsi Hadits?
3. Bagaimana sejarah penulisan dan pembukuan Hadits?
4. Apa saja pengklasifikasian Hadits berdasarkan kuantitas dan kualitasnya?
5. Apa urgensi sanad dan matan Hadits?

C. TUJUAN PENULISAN
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai
berikut:

1. Mengetahui pengertian dan bentuk-bentuk Hadits


2. Mengetahui kedudukan dan fungsi Hadits
3. Mengetahui sejarah penulisan dan pembukuan Hadits
4. Mengetahui pengklasifikasian Hadits berdasarkan kuantitas dan kualitasnya
5. Mengetahui urgensi sanad dan matan Hadits.

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian dan Bentuk-Bentuk Hadits

1. Pengertian hadits
Kata hadits berasal dari bahasa Arab; yakni al-hadis, jamaknya al-haadits, al-hidsan
dan al-hudsan. Dari segi bahasa, kata ini memiliki banyak arti, di antaranya:

(a) Al-jadid (yang baru), lawan dari al-qadim (yang-lama),


(b) Al-khabar (kabar atau berita).1

Hadits menurut istilah ahli hadits adalah apa yang disandarkan kepada Nabi
Muhammad SAW, baik berupa ucapan, perbuatan, penetapan, sifat, atau sirah beliau,
baik sebelum kenabian atau sesudahnya.

Sedangkan menurut ahli ushul fikih, hadits adalah perkataan, perbuatan, dan
penetapan yang disandarkan kepada Rasulullah SAW setelah kenabian. Adapun
sebelum kenabian tidak dianggap sebagai hadits, karena yang dimaksud dengan hadits
adalah mengerjakan apa yang menjadi konsekuwensinya. Dan ini tidak dapat dilakukan
kecuali dengan apa yang terjadi setelah kenabian.2

Buku-buku hadits adalah lebih khusus berisi tentang hal-hal sesudah kenabian,
meskipun berita tersebut terjadi sebelum kenabian. Namun itu tidak disebutkan untuk
dijadikan landasan amal dan syariat. Bahkan ijma’ kaum muslimin menetapkan bahwa
yang diwajibkan kepada hamba Allah untuk diimani dan diamalkan adalah apa yang
dibawa Rasulullah SAW setelah kenabian.3

Contoh perkataan Nabi adalah sabda beliau:

‫النيَّا ِت َواِ مَّنَا لِ ُك ِّل اَْم ِر ٍئ َما َن َو ى‬ ِ


ِّ ِ‫·اء مَّنَا ا اْل َ ْع َم ُل ب‬

“ Perbuatan itu dengan niat, dan setiap orang tergantung pada niatnya”. 4

1 M. Syuhudi Ismail, Kaidah Keshahihan Sanad Hadis (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), h.24
2 Muhammad ‘Ajjaj Al-Khatib, Ushulul Hadits, h.27
3Fatwa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah: 18/10-11
4 HR. Bukhari dan Muslim
2
ِ
ُ‫ُ·ه َو الطَّ ُهو ُر َماُؤ هُ احْل ُّل َمْيتَتُه‬

“ (Laut itu) suci airnyya dan halal bangkainya”.5

Contoh perbuatan Nabi adalah cara wudhu, sholat, haji, dan lain sebagainya yang
beliau kerjakan.

Selain istilah hadits, terdapat istilah sunnah, khabar dan atsar. Untuk lebih jelasnya
adalah dibawah ini:

1. As-Sunnah

As-Sunnah secara bahasa adalah metode dan jalan, baik terpuji atau tercela.
Jamaknya adalah sunan. Dan terdapat pemakaian kata tersebut dalam al-Qur’an dan
Hadits Nabawi dengan makna ini.

Dalam hadits Rasulullah SAW bersabda:

“ Barangsiapa berperilaku dalam Islam dengan perilaku yang baik maka bagi dia
pahalanya dan pahala orang yang mengerjakan perilaku baik tersebut sesudahnya
tanpa mengurangi dari pahala pahala mereka sedikitpun. Dan barangsiapa yang
berperilaku dalam Islam dengan perilaku buruk, maka baginya dosa dan dosa orang
yang mengerjakan perilaku buruk tersebut sesudahnya dengan tidak mengurangi
dari dosa-dosa mereka sedikitpun”.6

As-Sunnah menurut para fuqaha’ adalah suatu (perintah) yang berasal dari Nabi
SAW namun tidak bersifat wajib. Dia adalah salah satu dari hukum-hukum taklifi
yang lima: wajib, sunnah, haram, makruh dan mubah.

Kata as-Sunnah juga bisa diartikan sebagai sesuatu yang dapat ditunjukkan oleh
dalil syar’i, meskipun hal itu termasuk perbuatan sahabat dan ijtihad mereka,
seperti: pengumpulan mushaf, mengarahkan manusia pada bacaan dengan satu
qira’at yang tujuh, membukukan administrai kekhalifaan (dawawin), dan yang
semacam dengan itu. Hal ini sesuai dengan sabda nabi:

5 HR. Ahmad dan Ibnu Majah


6 HR. Muslim
3
َّ ‫·علَْي ُك ْم بِ ُسنَّيِت َو ُسن َِّة اخلُلَ َفا ِء‬
‫الر ِش ِدى‬ َ

“ Hendaklah kalian mengikuti sunnahku dan sunnah Khulafa’ Ar-Rasyidun


setelahku.”7

As-Sunnah menurut ulama ushul fikih adalah apa yang bersumber dari Nabi SAW
selain al-Qur’an, baik berupa perkataan, perbuatan, atau pengakuan beliau.

As-Sunnah menurut ulama Hadits adalah apa yang disandarkan kepada Nabi
SAW baik berupa perkataan, perbuatan, pengakuan, sifat, atau sirah beliau.

2. Khabar

Khabar menurut bahasa adalah berita, bentuk jamaknya akhbar. Sedangkan


menurut istilah, terdapat perbedaan pendapat:

(1) Ada yang mengatakan bahwa khabar itu sama dengan Hadits, sehingga
maknanya sama secara istilah.
(2) Ada pula yang berpendapat bahwa hadits adalah segala yang datang dari
Nabi, sedangkan khabar adalah yang datang dari selain Nabi seperti sahabat
dan tabi’in.
(3) Ada juga yang berpendapat bahwa khabar lebih umum dari Hadits. Kalau
hadits segala apa yang datang dari Nabi, sedang khabar adalah yang datang
dari Nabi atau selain beliau, sama seperti diatas.
3. Atsar

Atsar menurut bahasa adalah sisa dari sesuatu. Sedangkan menurut istilah ada
dua pendapat:

(1) Ada yang mengatakan bahwa atsar sama dengan hadits, makna keduanya
adalah sama.
(2) Ada yang berpendapat bahwa atsar berbeda dengan hadits, yaitu apa yang
disandarkan kepada sahabat dan tabi’in, baik berupa ucapan dan perbuatan
mereka.

7HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi


4
2. Bentuk-Bentuk Hadits
Sesuai dengan definisi Hadits atau sunnah di atas, maka bentuk-bentuk Hadits
terbagi kepada qauli (perkataan), fi’li (perbuatan), takrir (ketetapan), hammy
(keinginan), ahwali (hal ihwal). Selanjutnya dijelaskan sebagai berikut:

1. Hadits qauli

Nawir Yuslem mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan hadits qauli adalah
seluruh hadits yang diucapkan Rasulullah SAW. Untuk berbagai tujuan dan dalam
berbagai kesempatan.8

Dengan istilah lain, Hadits qauli adalah segala bentuk perkataan atau ucapan
yang disandarkan kepada Nabi SAW yang berisi berbagai tuntutan dan petunjuk
syara’, peristiwa-peristiwa, dan kisah-kisah baik yang berkaitan dengan aspek akidah,
syariah maupun akhlak.

Diantara contoh Hadits qauli ialah Hadits tentang do’a Rasullah SAW yang
ditunjukkan kepada orang yang mendengar, menghafal, dan menyampaikan ilmu,
Hadits tersebut adalah:

ِ ِ ِ ِ
ُ‫····نَضََّر اهللُ ْامُر اءَ مَس َح منَّا َحديثَا فَ َحفظَهُ َحىَّت يَُبلِّغَهُ َغْيَره‬

“ Semoga Allah SWT memberi kebaikan kepada orang yang mendengarkan suatu
Hadits dariku, kemudian menghafal dan menyampaikan kepada orang lain...”. 9

Contoh kedua ialah Hadits tentang doa-doa yang dikabulkan oleh Allah SWT,
yaitu: Abu Hurairah r.a berkata, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “ Ada tiga doa
yang mustajab dan tidak diragukan lagi, yaitu doa orang yang teraniaya, doa orang
yang berpergian, dan doa kedua orang tua kepada anaknya”.10

2. Hadits fi’il

Yang dimaksud dengan Hadits fi’li ialah segala perbuatan yang disandarkan
kepada Nabi SAW. Dengan kata lain, Hadits tersebut berupa perbuatan Nabi SAW

8 Nawir Yuslem, Ilmu Hadits (Jakarta: Raja Grafindo persada, 1993), h.11
9 HR. Ahmad
10 HR. Tirmidzi
5
yang menjadi anutan perilaku para sahabat pada saat itu dan menjadi keharusan
bagi umat Islam untuk mengikutinya. Contohnya yaitu do’a yang paling banyak
dilakukan Rasul SAW:

َ ‫ َاللَّه َُم َأ ِتنَاىِف ادلُّ نْ َيا َح َسنَ ًة َوىَف ا‬:‫صلَى اهللُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم‬
‫الء ِخ َر ِة َح َسنَ ًة و ِق َن عَ َذا بَنَّا ِر (رداه‬ َ ‫َكا َن اءَ ْكَتُر ُد َعاءالنَّيِب‬
)‫متفقق عليه‬

“ Do’a yang paling banyak dilakukan Nabi SAW adalah Allahumma aatina fiddun-yaa
hasanatan wa fi al-akhirati hasanah waqina adzaban-aar”.11

3. Hadits takrir

Hadits takrir adalah hadits yang berupa ketetapan Nabi SAW terhadap apa yang
datang atau dilakukan oleh para sahabatnya, Nabi SAW membiarkan atau
mendiamkan suatu perbuatan yang dilakukan oleh para sahabatnya, tanpa
memberikan penegasan, apakah beliau membenarkan atau mempersalahkannya.
Sikap Nabi yang demikian itu dijadikan dasar oleh para sahabat sebagai dalil takrir,
yang dapat dijadikan hujah atau mempunyai kekuatan hukum untuk menetapkan
suatu kepastian syara’.12

Perkataan atau perbuatan sahabat yang diakui atau disetujui oleh Rasulullah
SAW hukumnya sama dengan perkataan atau perbuatan Rasulullah SAW sendiri.
Demikian juga takrir terhadap ijtihad sahabat dinyatakan sebagai Hadits atau
sunnah, seperti takrir Nabi SAW terhadap ijtihad para sahabat mengenai
pelaksanaan sholat ashar pada waktu penyerangan kepada Bani Quraidhah,
berdasarkan sabda Nabi SAW: Dari Ibnu ‘Umar ra, dia berkata:”Nabi SAW., bersabda
pada hari peperangan Ahzab, ujarnya: “Janganlah seorang pun melakukan salat
‘ashar kecuali di perkampungan Bani Quraidzah. Maka sebagian sahabat
melaksanakan salat ‘ashar di perjalanan, sebagian mereka berkata: ‘Kami tidak
melakukan salat sehingga kami sampai di perkampungan tersebut’. Dan sebagian
yang lain mengatakan, ‘Justru kami melakukan salat (pada waktunya), (karena)
beliau tidak memaksudkan yang demikian pada kami’. Kemudian perbedaan

11 HR. Bukhari dan Muslim


12 H.A. Djalil Afif, Op. Cit., h,18
6
interpretasi tersebut disampaikan kepada Nabi SAW dan Nabi SAW pun tidak
menyalahkan siapapun di antara mereka”.13

4. Hadits hammi

Yang dimaksud dengan Hadits hammi ialah Hadits yang berupa keinginan atau
hasrat Nabi SAW yang beliau terealisir, seperti beliau untuk berpuasa pada tanggal 9
‘asyura.14 Dalam sebuah Hadits disebutkan: Ketika Nabi SAW berpuasa pada hari
Asyura dan memerintahkan para sahabat untuk berpuasa, mereka berkata: “Ya
Rasul, hari ini adalah hari yang diagungkan oleh orang-orang Yahudi dan Nasrani.”
Rasulullah SAW bersabda: “Tahun yang akan datang Insya Allah aku akan berpuasa
pada hari yang sembilan.”15

Ternyata, Nabi belum sempat merealisasikan hasrat ini karena beliau wafat
sebelum datang bulan ‘Asyura tahun berikutnya. Menurut para ulama, seperti Asy-
Syafi’i dan para pengikutnya, bahwa menjalankan Hadits hamami ini disunahkan,
sebagaimana menjalankan sunnah yang lainnya.

5. Hadits ahwali

Yang dimaksud dengan Hadits ahwali adalah Hadits yang berupa ihwal Nabi SAW
yang tidak termasuk ke dalam kategori keempat bentuk Hadits di atas. Hadits yang
termasuk kategori ini menyangkut sifat-sifat dan kepribadiannya serta fisiknya.
Mengenai fisik Nabi SAW, dalam sebuah Hadits disebutkan:

َ‫س بِا لطَّ ِو البَا ِئ ِن َو ال‬ ِ َّ ِ


َ ‫صلَى اهللُ َعلَْيه َو َسل َم اَ ْح َس ُن النَّا س َو ْج ًها َواَ ْح َسنُهُ َخ ْل ًقا لَْي‬
َ ُ‫َكا َن َر ُس ْو ُل اهلل‬
ِ َ‫·بِا ق‬
‫ص ِري‬

“ Rasul SAW adalah manusia yang memiliki sebaik-sebaiknya rupa dan tubuh
keadaan fisiknya tidak tinggi dan tidak pendek”.16

13 HR. Bukhari
14 H.A. Djalil Afif, Op. Cit., h.19-20
15 HR. Muslim dan Abu Daud
16 HR. Bukhari
7
B. Kedudukan dan Fungsi Hadits

1. Kedudukan Hadits
Dalam menyikapi masalah kedudukan Hadits, Yusuf Qardhawi mengungkapkan
bahwa Rasulullah adalah merupakan sumber hukum kedua bagi Islam setelah al-Qur’an.
al-Qur’an merupakan undang-undang yang membuat pokok-pokok dan kaidah-kaidah
mendasar bagi Islam, yang mencakup bidang akidah, ibadah, akhlak, muamalah, dan
adab sopan santun.17

Selanjutnya, Yusuf Qardhawi mengemukakan bahwa sunah (hadits) merupakan


penjelasan teoritis dan praktis bagi al-Qur’an. Oleh sebab itu, kita harus mengikuti dan
mengamalkan hukum-hukum dan pengarahan yang diberikan oleh sunnah Rasulullah
SAW, menaati perintah Rasulullah adalah wajib, sebagaimana kita menaati apa yang
disampaikan oleh al-Qur’an.18

Hadits adalah merupakan mubayyin (penjelas) bagi al-Qur’an yang karenanya,


siapapun tidak akan bisa memahami al-Qur’an tanpa dengan memahami dan menguasai
Hadits. Begitu pula halnya menggunakan Hadits tanpa al-Qur’an, akan kehilangan arah,
karena al-Qur’an merupakan dasar hukum pertama, yang di dalamnya berisi garis-garis
besar syari’at Islam. Dengan demikian, antara al-Qur’an dan Hadits memiliki hubungan
timbal balik yang tidak dapat dipisah-pisahkan.

a. Dalil-dalil dari Al-Qur’an

Al-Qur’an telah mewajibkan kaum muslimin untuk menaati Rasulullah SAW, di


samping menaati Allah. Dalam surah an-Nisa (QS. 4:80) Allah berfirman:

ِ
َ‫ع ا هلل‬
َ ‫ً·م ْن يُت ِح ا َّلر ُسو َل َف َق ْد اءَ طَا‬

“ Barang siapa yang menaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah menaati Allah...”

b. Dalil Hadits Nabi SAW

17 Yusuf Qardhawi, Al-Marja’iyyah al-Ulya fi al-Islam wa as-Sunnah Dhawabith wa Mahadzir fil fahmi wat-
Tafsir, terjemah Bahruddin Fanani (Al-Qur’an dan As-Sunnah, Referensi Tertinggi Umat Islam, beberapa kaidah
dan rambu dalam memahami dan menafsirkan Al-Qur’an), (Jakarta: Robbani Press, 1997), h.61
18Ibid.,
8
Selain berdasarkan ayat-ayat al-Qur’an tersebut di atas, kedudukan Hadits ini
juga dilihat melalui Hadits Nabi SAW, banyak Hadits menggambakan urgensi
ketaatan kepada perintahnya. Dalam kaitan ini, Nabi bersabda:

ِ ‫ضلُوا اء ب َداما ِاء ْن مَتَسكْتُم هِبِما كِتَب‬


‫اهلل َو ُسن َِّة‬ ِ ِ ‫ َتر ْك‬:‫اهلل صلَى اهلل علَي ِه وسلَّم‬
ِ ‫قَا َل رسول‬
َ َ ْ َ َ َ َ ْ َ‫ت فْي ُك ْم اءَ ْمَريْ ِن لَ ْن ت‬
ُ َ َ َ َ َْ ُ َ ُْ َ

َ‫نَبِيِّه‬

Bersabda Rasulullah SAW., “Aku tinggalkan kepadamu dua perkara, kamu tidak
akan sesat selamanya, selagi kamu berpegang teguh kepada keduanya, yaitu
Kitabullah (al-Qur’an) dan sunnah Nabi-Nya (al-Hadits)”.

2. Fungsi Hadits
Pada masa Rasulullah SAW tidak ada sumber hukum selain kitab dan as-sunnah.
Dalam al-Qur’an terdapat pokok-pokok yang bersifat umuum bagi hukum-hukum
syari’at, tanpa pemaparan rincian keseluruhannya, kecuali yang sejalan dengan pokok-
pokok yang bersifat umum itu, yang tidak pernah berubah oleh bergulirnya waktu dan
tidak berkembang lantaran keragaman manusia di lingkungan dan tradisi masing-
masing.

Secara global, sunnah sejalan dengan al-Qur’an, menjelaskan mubah, merinci pada
ayat-ayat yang menjual, membatasi yang mutlak, mengkhususkan yang umum dan
menguraikan hukum-hukum dan tujuannya, di samping membawa hukum yang
dijelaskan secara eksplisit oleh al-Qur’an yang isinya sejalan dengan kaidah-kadiahnya
dan merupakan realisasi dari tujuan dan sasarannya. Di sinilah al-Hadits menduduki dan
menempati fungsinya sebagai sumber ajaran Islam yang kedua. Ia menjadi penjelas
(mubayyin) isi kandungan al-Qur’an. sesuai dengan firman Allah (QS. 16:44):

ِ ‫ك ا ِّلد ْكَرلِتَُبنِّي َ للن‬


‫َّاس َما نُِّز َل ِاءلَْي ِه ْم َولَ َعلَّ ُه ْم َيَت َف َّك ُرو َن‬ ِ
َ ‫َواءَ َنَز لْنَا اءلَْي‬

“Dan kami turunkan padamu al-Qur’an, agar kamu menerangkan pada umat manusia
apa yang telah ditunjukkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan. (an-
Nahl: 44).19 Berikut adalah empat fungsi Hadits:

19 Hasbi Ash-Shiddieqi, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Op. Cit., h.408


9
(1) Bayan at-Taqrir

Bayan at-taqrir disebut juga dengan bayan al-ta’kid. Yang dimaksud dengan
bayan ini ialah menetapkan dan memperkuat apa yang diterangkan dalam al-Qur’an.
fungsi al-Hadits ddalam hal ini hanya memperkokoh isi kandungan, seperti dalam
surah al-Baqarah (QS. 2: 185)

ِ
···ُ‫ص ْمه‬ ْ ‫فَ َمن َش ِه َد مْن ُك ُم الش‬
ُ َ‫َّهَر َف ْلي‬

“...karena itu, barang siapa yang mempersaksikan pada waktu itu bulan di bulan
hendaklah ia berpuasa...”20

Ayat diatas di atas di-taqrir oleh Hadits riwayat Muslim dari Ibnu Umar, yang
berbunyi:

ْ‫ص ْو ُم ْو َاو ِاءذَ َار اَْيتُ ُم ْوهُ فَا فْ ِط ُروا‬ ِ


ُ َ‫فَاذَا َراءَيءمُتُ احْلَاَل ل ف‬

“...apabila kalian melihat (ru’yah) bulan, maka berpuasalah, begitu pula


apabila melihat (ru’yah) bulan itu, maka berbukalah...” 21

(2) Bayan at-Tafsir

Yang dimaksud dengan bayan at-tafsir ialah penjelasan terhadap ayat-ayat al-
Qur’an yang memerlukan perincian atau penjelasan lebih lanjut, seperti pada ayat-
ayat yang mujmal, mutlak, dan ‘am, maka fungsi hadits dalam hal ini memberikan
perincian (tafsih) dan penafsiran terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang masih mujmal,
memberikan tayqid pada ayat-ayat yang masih mutlaq, dan memberikan takhsis
terhadap ayat-ayat yang masih umum

(3) Bayan at-tasyri’

Kata at-tasyri’ artinya pembuatan, mewujudkan atau menetapkan aturan atau


hukum, maka yang dimaksud dengan bayan at-tasyri’ disini ialah penjelasan Hadits
yang berupa mewujudkan, mengadakan atau menetapkan suatu hukum atau aturan-
aturan syara’ yang tidak didapati nash-nya dalam al-Qur’an. Rasulullah SAW dalam
20 Hasbi Ash-Shiddieqi, h.45
21 HR. Muslim
10
hal ini, berusaha menunjukkan suatu kepastian hukum terhadap persoalan yang
muncul pada saat itu, dengan sabdanya sendiri.22

(4) Bayan an-nasakh

Kata an-naskh secara bahasa mempunyai beberapa arti, di antaranya berarti al-
ibhral (membatalkan), atau al-ijalah (menghilangkan), at-tahwil (memindahkan) atau
at-tagyir (mengubah). Dalam mendefinisikan bayan naskh ini, para ulama berbeda
pendapat. Perbedaan ini terjadi karena perbedaan mereka dalam memahami arti
naskh dari sudut kebahasaan. Menurut ulama mutaqaddimin, yang disebut bayan
an-naskh ialah adanya dalil syara’ yang mendatangkan kemudian. 23

Dari pengertian di atas, bahwa ketentuan yang datang kemudian dapat


menghapus ketentuan yang datang terdahulu. Hadits sebagai ketentuan yang datang
kemudian dari al-Qur’an dalam hal ini dapat menghapus ketentuan atau isi
kandungan al-Qur’an.

C. Sejarah Pembukuan Hadits


Dimasa abad pertama hijriyah, yaitu masa Rasulullah SAW, khulafaur Rasyidin, dan
sebagian besar masa bani Umayyah hingga akhir abad pertama hijriyah, Hadits-Hadits
Rasulullah itu disampaikan melalui mulut kemulut dan berpindah-pindah dari tempat
satu ketempat lain. Pada masa itu para perawi menghapalkan Hadits berdasarkan
kekuatan hapalan pada diri mereka. Dan hapalan mereka terkenal kuat hingga mampu
mengeluarkan kembali Hadits-Hadits yang mereka hapal secara lisan yang mereka rekam
dalam ingatan mereka.

Dalam sejarah mengatakan bahwa pada masa abad pertama sahabat Rasul yang
bernama Umar bin Khattab ketika itu beliau telah mempunyai ide dan pendapat untuk
mengumpulkan dan menulis Hadits, akan tetapi niatnya tersebut beliau urungkan, sebab
Umar bin Khattab khawatir kepada umat Islam yang perhatiannyya terganggu dalam
mempelajari al-Qur’an.

Pembukuan Hadits terbentuk pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz
yang di nobatkan pada akhir abad pertama, yakni tahun 99 hijriyah. Pada masa ini
22 H.A Djalil Afif, Op. Cit., h.35
23 H. Mudasir, Op. Cit., h.65
11
datanglah angin segar yang mendukung kelestarian Hadits. Umar bin Abdul Aziz terkenal
sebagai khalifah rasyidin yang kelima.

Beliau sangat waspada dan sada bahwa para perawi Hadits yang mengumpulkan
Hadits dalam kekuatan ingatan mereka, dalam perjalanan waktu jumlahnya semakin
sedikit disebabkan banyaknya yang meninggal dunia akibat peperangan. Khalifah Umar
bin Abdul Aziz khawatir jika tidak segera dikumpulkan dan dibukukan kemungkinan
Hadits-Hadits Rasulullah akan lenyap bersama lenyapnya para perawi Hadits yang
meninggal dunia.

Oleh sebab itulah tergertak hati Umar bin Abdul Aziz untuk mengumpulkan Hadits-
Hadits Rasulullah SAW setelah memasuki abad kedua hijriyah ini khalifah Umar bin
Abdul Aziz memerintahkan kepada gubernur Madinah yaitu Abu Bakar bin Muhammad
bin Amir bin Hazm untuk membukukan Hadits-Hadits Nabi dari para penghafalnya.

Kemudia Umar bin Abdul Aziz menulis surat kepada Abu Bakar bin Hazm yaitu:
“perhatikanah apa yang dapat diperoleh dari Hadits-Hadits Rasul lalu tulislah karena aku
takut akan lenyap ilmu disebabkan meninggalnya ulama, dan jangan diterima selain
Hadits Rasul dan hendaklah di sebarluaskan ilmu dan diadakan majelis-majelis ilmu
supaya orang-orang yang tidak mengetahuinya dapat mengetahuinya, maka
sesungguhnya ilmu itu dirahasiakan.”

Pada masa pemerintahan Bani Abbasiyah yaitu abad pertengahan II hijriyah di


lakukan upaya penyempurnaan. Sejak saat ittu tampaklah upaya gerakan secara aktif
untuk membukukan ilmu pengetahuan, termasuk pembukuan dan penulisan Hadits-
Hadits Rasul SAW. Kitab-kitab yang terkenal pada masa itu antara lain adalah:
Almuwattha’ oleh imam Malik dan Almusnad oleh imam Assyafi’i. Dan kemudian
kemudian seiring berjalannya waktu terus menerus pembukuan Hadits dilanjutkan
secara lebih teliti oleh imam-imam ahli Hadits, seperti Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Nasa’i,
Abu Dawud, Ibnu Majah. Yang dikenal dengan kutubus sittah. Dan pada masa berikutnya
banyak dari para ulama Hadits yang menaruh perhatiannya pada kutubus sittah beserta
kitab Muwatha’ dengan cara mensyarahinya dan memberikan catatan kaki, meringkas
atau meneliti sanad dan matan-matan Hadits.

12
D. Klasifikasi Hadits berdasarkan Kuantitas dan Kualitas

1. Hadits berdasarkan Kuantitas


(a) Hadits mutawatir

Mutawatir menurut bahasa berarti mutatabi’, yakni sesuatu yang datang berikut
dengan kita atau yang beringin-ingin antara satu dengan lainnya tanpa ada
jaraknya.24

Hadits muwatir menurut istilah adalah Hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah
rawi yang tidak mungkin bersepakat untuk berdusta dari sejumlah rawi yang semisal
mereka dan seterusnya sampai akhir sanad, dan sanadnya mereka adalah
pancaindra.25 Syaratnya yaitu: diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi, adanya
keseimbangan antarperawi pada thabawat (lapisan) pertama dengan thabaqat
berikutnya, berdasarkan tanggapan pancaindra.

(b) Hadits Ahad

Kata ahad atau wahid berdasarkan segi bahasa berarti satu, maka ahad atau
khabar wahid berarti yang disampaikan oleh satu orang.

Adapun yang dimaksud dengan Hadits ahad secara istilah adalah khabar yang
jumlah perawinya tidak sebanyak jumlah perawi Hadits mutawatir, baik perawinya
itu satu, dua, tiga, empat, lima dan seterusnya yang memberikan pengertian bahwa
jumlah perawi tersebut tidak mencapai jumlah perawi Hadits mutawatir.

2. Hadits berdasarkan Kualitas


(a) Hadits maqbul

Maqbul menurut bahasa berarti ma’khudz (yang diambil) dan mushaddaq (yang
dibenarkan atau diterima), sedangkan menurut istilah adalah hadits yang telah
sempurna syarat-syarat diterimanya.26 Syarat-syarat penerimaan suatu Hadits
menjadi Hadits yang maqbul berkaitan dengan sanad-nya, yaitu sanad-nya

24 H.A. Djalil Afif, Op. Cit., h.30


25H. Muhammad Ahmad dan M. Mudzakir, Ilmu Hadits, (Bandung: Pustaka Setia, 2004), h.87
26 Mahmud Thahan, Op. Cit., h.31
13
bersambung, diriwayatkan oleh rawi yang adil lagi dhabit dan juga berkaitan dengan
matan-nya, yaitu matan-nya tidak syadz dan tidak juga ber-illat.

(b) Hadits mardud

Mardud menurut bahasa berarti yang ditolak atau yang tidak diterima,
sedangkan menurut istilah adalah Hadits yang tidak memenuhi syarat atau sebagian
syarat Hadits maqbul. Tidak mempunyai persyaratan yang dimaksud bis terjadi pada
sanad dan matan.

(c) Hadits shahih

Shahih secara etimologi adalah lawan dari saqim (sakit), sedangkan dalam istilah
ilmu Hadits, Hadits shahih berarti Hadits yang berhubungan (bersambung) sanadnya
yang diriwayatkan oleh perawi yang adil, dhabith, yang diterimanya dari perawi yang
sama (kualitasnya) dengannya sampai kepada akhir sanad, tidak syadz dan tidak pula
ber-‘illat.27

(d) Hadits hasan

Hasan menurut bahasa berarti sesuatu yang disenangi dan dicondongi oleh nafsu
sedangkan hasan menurut istilah, para ulama berbeda pendapat dalam
mendefinisikannya. Perbedaan pendapat ini terjadi disebabkan diantara mereka ada
yang menggolongkan Hadits hasan sebagai Hadits yang menduduki posisi di antara
Hadits shahih dan Hadits dhoif, tetapi ada juga yang memasukkannya sebagai bagian
dari Hadits dhaif yang ddapat dijadikan hujjah.

Menurut sejarah, ulama yang mula-mula memunculkan istilah hasan menjadi


Hadits yang berdiri sendiri adalah Turmudzi. Hadits hasan adalah tiap-tiap Hadits
yang pada sanad nya tidak terdapat perawi yang tertuduh dusa, pada matannya
tidak terdapat kejanggalan, dan Hadits itu diriwayatkan tidak hanya dengan satu
jalan (mempunyai banyak jalan) yang sedepan dengannya.28

27 Nawir Yuslem, Op. Cit., h. 219


28 H. Mudasir, Op. Cit., h.152
14
Hadits hasan sama dengan Hadits shahih, hanya saja terdapat perbedaan dalam
soal ingatan perawi. Pada Hadits shahih, ingatan atau daya hafalannya kurang
sempurna. Dengan kata lain, syarat Hadits hasan yaiu sanadnya bersambung,
perawinya adil, perawinya dhabit tetapi ke-dhabitan-nya dibawah perawi Hadits
shahih, tidak terdapat kejanggalan (syadz), dan tidak ada illat (cacat).

(e) Hadits dhaif

Secara bahasa, dhaif adalah lawan dari al-qowiy yang berarti “lemah”, maka
sebutan Hadits dhaif dari segi bahasa berarti Hadits yang lemah atau Hadits yang
tidak kuat.

Secara istilah, di antara para ulama terdapat perbedaan rumusan dan


mendefiniskan Hadits dhaif ini. Akan tetapi, pada dasarnya, isi dan maksudnya
adalah sama. Beberapa definisi, di antaranya adalah An-Nawawi mendefinisikan
Hadits shaif adalah Hadits yang didalamnya tidak terdapat syarat-syarat Hadits
shahih dan syarat Hadits hasan. Sedangkan ulama lainnya menyebutkan bahwa
Hadits dhaif ialah Hadits yang didalamnya tidak terkumpul sifat-sifat maqbul.
Sedangkan menurut Nur Ad-Din ‘Atr, definisi Hadits dhaif yang paling baik ialah
Hadits yang hilang salah satu syaratnya dari syarat-syarat Hadits Maqbul (Hadits
yang shahih atau Hadits yang hasan)

Pada definisi yang ketiga disebutkan secara tegas bahwa jika satu syarat saja (dari
persyaratan Hadits atau Hadits hasan hilang), berarrti Hadits itu dinyatakan sebagai
Hadits dhaif. Lebih-lebih jika yang hilang itu sampai dua atau tiga syarat, seperti
perawinya tidak adil, tidak dhabit, dan adanya kejanggalan dalam matan. Hadits
seperti ini dapat dinyatakan sebagai Hadits dhaif yang sangat lemah

E. Urgensi Sanad dan Matan Hadits


Sanad dan matan merupakan dua unsur pokok yang harus ada pada setiap Hadits,
antara keduanya memiliki kaitan sangat erat dan tidak bisa dipisahkan. Suatu berita tentang
Rasul SAW (matan) tanpa ditemukan rangkaian dan susunan sanad-nya, yang demikian itu
tidak bisa disebut Hadits. Sebaliknya, suatu susunan sanad, meskipun bersambung sampai
kepada Rasul, jika tanpa berita yang dibawanya, juga tidak bisa disebut Hadits.

15
Pembicaraan kedua istilah di atas, sebagai dua unsur pokok Hadits, muncul dan
diperlukan setelah Rasulullah SAW wafat. Hal ini karrena berkaitan dengan perlunya
penelitian terhadap otentisitas isi berita itu sendiri, apakah benar sumbernya dari Rasulullah
atau bukan. Upaya ini akan menentukan bagaimana kualitas Hadits-Hadits tersebut, yang
akan dijadikan dasar dalam penetapan syari’at Islam.

1. Sanad Hadits

Sanad secara bahasa berarti al-mu’tamad yaitu yang diperpegangi (yang kuat)/yang
bisa dijadikan pegangan atau dapat juga diartikan sesuatu yang terangkat (tinggi) dari
tanah.29 Secara terminologis, definisi sanad adalah jalannya matan, yaitu silsilah para
perawi yang memindahkan (meriwayatkan) matan dari sumbernya yang pertama.

2. Isnad, Musnad dan Musnid

Selain istilah sanad, terdapat istilah lainnya, seperti al-isnad, al-musnad, dan al-
musnid. Istilah-istilah tersebut mempunyai kaitan erat dengan istilah sanad. Istilah al-
sanad berarti menyandarkan, mengasalkan (mengembalikan ke asal) dan mengangkat.
Maksudnya disini adalah menyandarkan Hadits kepada orang yang mengatakannya atau
mengasalkan Hadits kepada orang yang mengatakannya.

Menurut Ath-Thibi, sebagaimana dikutip al-Qasimi, kata al-isnad dengan as-sanad


mempunyai arti yang hampir sama atau berdekatan. Ibn Jama’ah, dalam hal ini lebih
tegas lagi, menurutnya bahwa ulama muhaditsin memandang kedua istilah tersebut
mempunyai pengertian yang sama, yang keduanya dapat dipakai secara bergantian.

Berbeda dengan istilah al-isnad, istilah al-musnad mempunyai beberapa arti:


pertama, berarti Hadits yang diriwayatkan dan disandarkan atau disanadkan kepada
seseorang yang membawanya, seperti Ibn Syihab az-Zuhri, Malik bin Anas, dan Amarah
binti Abd Ar-Rahman; kedua, berarti nama suatu kitab yang menghimpun Hadits-Hadits
dengan sistem penyusunannya berdasarkan nama-nama para sahabat perawi Hadits,
seperti kitab Musnad Ahmad, berarti nama bagi Hadits yang memenuhi kriteria marfu’
(disandarkan kepada Nabi SAW) dan muttashil (sanad-nya bersambung sampai kepada
akhirnya).

29 Nawir Yuslem, Op. Cit., h. 148


16
3. Matan Hadits

Matan Hadits atau al-matan, menurut bahasa berarti ma shaluba wa irtafa’a min al-
ardhi (tanah yang meninggi). Secara terminologis, istilah matan memiliki beberapa
definisi,yang pada dasarnya maknanya sama, yaitu materi atau lafal Hadits itu sendiri.
Pada salah satu definisi yang sangat sederhana misalnya, disebutkan bahwa matan itu
ialah ujung atau tujuan sanad (gayah as-sanad). Dari definisi ini memberikan pengertian
b bahwa apa yang tertulis setelah (penulisan) silsilah sanad, adalah matan Hadits.

4. Rawi Hadits

Kata ra’wi atau ar-rawi, berarti orang yang meriwayatkan atau memberikan Hadits
(naqli al-Hadits). Sebenarnya, antara sanad dan rawi itu merupakan dua istilah yang
hampir sama. Sanad-sanad Hadits pada tiap-tiap thabaqah atau tingkatannya juga
disebut para rawi jika yang dimaksud rawi adalah orang yang meriwayatkan dan
memindahkan Hadits. Begitu juga setiap perawi, pada tiap-tiap thabaqah-nya
merupakan sanad bagi thabaqah berikutnya.

Akan tetapi, yang membedakan antara kedua istilah di atas, jika dilihat lebih lanjut
adalah dalam dua hal, yaitu dalam hal pembukaan Hadits, orang yang menerima Hadits-
Hadits, kemudian menghimpunnya dalam suatu kitab tadwin, disebut dengan rawi.
Dengan demikian, maka perawi dapat disebut mudawwin(orang yang membukakan dan
menghimpun Hadits), sedangkan orang-orang lain, tanpa membukakannya, yang
demikian itu disebut sanad Hadits.

17
BAB III

Penutup

A. Kesimpulan
Hadits adalah perkataan, perbuatan, dan penetapan yang disandarkan kepada
Rasulullah SAW setelah kenabian. Adapun sebelum kenabian tidak dianggap sebagai
hadits, karena yang dimaksud dengan hadits adalah mengerjakan apa yang menjadi
konsekuwensinya. Dan ini tidak dapat dilakukan kecuali dengan apa yang terjadi setelah
kenabian.

Bentuk-bentuk Hadits terbagi kepada qauli (perkataan), fi’li (perbuatan), takrir


(ketetapan), hammy (keinginan), ahwali (hal ihwal).

Dalam menyikapi masalah kedudukan Hadits, Yusuf Qardhawi mengungkapkan


bahwa Rasulullah adalah merupakan sumber hukum kedua bagi Islam setelah al-Qur’an.
al-Qur’an merupakan undang-undang yang membuat pokok-pokok dan kaidah-kaidah
mendasar bagi Islam, yang mencakup bidang akidah, ibadah, akhlak, muamalah, dan
adab sopan santun.

Al-Hadits menduduki dan menempati fungsinya sebagai sumber ajaran Islam yang
kedua. Berikut ada empat fungsi hadis:

1. Bayan at-Taqri
2. Bayan at-Tafsir
3. Bayan at-tasyri’
4. Bayan an-nasakh

Pada masa pemerintahan Bani Abbasiyah yaitu abad pertengahan II hijriyah di


lakukan upaya penyempurnaan. Sejak saat ittu tampaklah upaya gerakan secara aktif
untuk membukukan ilmu pengetahuan, termasuk pembukuan dan penulisan Hadits-
Hadits Rasul SAW.

Sanad dan matan merupakan dua unsur pokok yang harus ada pada setiap Hadits,
antara keduanya memiliki kaitan sangat erat dan tidak bisa dipisahkan. Suatu berita tentang

18
Rasul SAW (matan) tanpa ditemukan rangkaian dan susunan sanad-nya, yang demikian itu
tidak bisa disebut Hadits. Sebaliknya, suatu susunan sanad, meskipun bersambung sampai
kepada Rasul, jika tanpa berita yang dibawanya, juga tidak bisa disebut Hadits.

Klarifikasi hadis berdasarkan kuantitas adalah hadis Mutawatir dan hadis Ahad, dan
berdasarkan kualitas yaitu: hadis maqbul, hadis mardud, hadis shahih, hadis Hasan, dan
hadis dhaif.

B. SARAN
Demikian makalah yang telah kami susun, kami menyadari kekuranagan dari
makalah kami. Oleh karena itu, untuk menyempurnakan makalah ini, kami berharap
bagi pembaca untuk tidak segan-segan memberikan saran dan kritikan yang sifatnya
membangun dan berguna , agar makalah ini bisa mencapai kesempurnaan dan
menyusun selanjutnya.

19
Daftar Pustaka

Cit., h.35
Fatwa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah: 18/10-11
H. Mudasir, Op. Cit., h.152
H. Mudasir, Op. Referensi Tertinggi Umat Islam, beberapa kaidah dan rambu dalam
memahami dan menafsirkan Al-Qur’an), (Jakarta: Robbani Press, 1997), h.61
H. Muhammad Ahmad dan M. Mudzakir, Ilmu Hadits, (Bandung: Pustaka Setia, 2004),
h.87
H.A Djalil Afif, OpCit., h.65
H.A. Djalil Afif, Op. Cit., h,18
H.A. Djalil Afif, Op. Cit., h.19-20
H.A. Djalil Afif, Op. Cit., h.30
Hasbi Ash-Shiddieqi, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Op. Cit., h.408
Hasbi Ash-Shiddieqi, h.45
HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi
HR. Ahmad
HR. Ahmad dan Ibnu Majah
HR. Bukhari
HR. Bukhari
HR. Bukhari dan Muslim
HR. Bukhari dan Muslim
HR. Muslim
HR. Muslim
HR. Muslim dan Abu Daud
HR. Tirmidzi
Ibid.,
M. Syuhudi Ismail, Kaidah Keshahihan Sanad Hadis (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), h.24
Mahmud Thahan, Op. Cit., h.31
Muhammad ‘Ajjaj Al-Khatib, Ushulul Hadits, h.27
Nawir Yuslem, Ilmu Hadits (Jakarta: Raja Grafindo persada, 1993), h.11
Nawir Yuslem, Op. Cit., h. 148
Nawir Yuslem, Op. Cit., h. 219
Yusuf Qardhawi, Al-Marja’iyyah al-Ulya fi al-Islam wa as-Sunnah Dhawabith wa
Mahadzir fil fahmi wat-Tafsir, terjemah Bahruddin Fanani (Al-Qur’an dan As-Sunnah,

20

Anda mungkin juga menyukai