Anda di halaman 1dari 34

TUGAS MAKALAH

ASSUNNAH SUMBER AJARAN ISLAM YANG KEDUA

Dosen Pembimbing : Asrul Faruq,M.Pd.I

Mata kuliah : Pengantar Agama Islam

Kelompok 5

Nama:

Wendy Amin Firdaus 8210132


Wiskantiyo 8210133
Sugeng Rahmat Prasetyo 8210129
Nizar Lawani 8210094
Muhammad Syafaqah 8220018
Ahmad Toyyib 8210134

PAGE \* MERGEFORMAT 1
PROGRAM STUDI
Manajemen Pendidikan Islam
Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah pemalang
Tahun 2023
KATA PENGANTAR

Puji Syukur kami panjatkan kehadirat Allah Subhanahu Wata'ala yang telah melimpahkan rah
mat serta karunianya sehingga penyusunan makalah "As Sunnah, Sebagai Sumber Hukum Isl
am Kedua" dapat diselesaikan dengan baik. Tidak lupa kami ucapkan banyak terima kasih ke
pada pihak-pihak yang telah membantu dan mendukung dalam penyusunan makalah ini.

Adapun tujuan dari penyusunan makalah ini yakni untuk mengenalkan dan membahas sumbe
r-sumber hukum yang dijadikan pedoman dan landasan oleh umat islam, terutama As Sunnah.
Dengan makalah ini diharapkan baik penulis sendiri maupun pembaca dapat memiliki penget
ahuan yang lebih luas mengenai sumber hukum islam kedua.

Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih terdapat banyak kekurangan. O
leh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat kami harapkan. Akhir kata, s
emoga makalah ini bermanfaat bagi para pembaca umumnya dan penulis sendiri khususnya.

Pemalang, 11 Februari 2023

Kelompok 5

PAGE \* MERGEFORMAT 1
Daftar Isi
BAB I 4
PENDAHULUAN 4
A. Latar Belakang 4
B. Rumusan Masalah 5
BAB II PEMBAHASAN 6
A. Pengertian Sunnah 6
B. Hadits nabi sampai kepada umat secara akurat 7
C. Membedakan Hadits diterima dan Hadits tertolak sebagai sumber a
jaran islam 7
D. Hadits sebagai rujukan hukum islam 9
BAB III PENUTUP 11
A. Kesimpulan 11
B. Saran 12
DAFTAR PUSTAKA 12

PAGE \* MERGEFORMAT 1
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Islam adalah agama yang diturunkan oleh Allah Subhanahu wa ta'ala untuk mengatur hidup u
matnya dengan dasar hukum yang jelas melalui Nabi Muhammad Salallahu 'alaihi wasallam.
Ini lah cara Allah menjadikan agama Islam sebagai pegangan manusia untuk mencapai tujuan
hidup menurut islam. Agar manusia yang ditugaskan sebagai khalifah di muka bumi bisa men
jaga dan merawat kehidupan yang selamat dunia dan akirat serta tercapai tujuan penciptaan m
anusia dalam islam.

Islam berkembang sangat pesat ke seluruh penjuru dunia dengan kecepatan yang menakjubka
n Banyak sumber-sumber ajaran Islam yang digunakan mulai zaman muncul pertama kalinya
Islam pada masa Rasulullah sampai pada zaman modem sekarang ini. Sumber-sumber yang b
erasal dari agama Islam merupakan sumber ajaran yang sudah dibuktikan kebenarannya

Sumber-sumber ajaran Islam merupakan sumber ajaran yang sangat luas dalam mengatasi ber
bagai permasalahan seperti bidang akhidah, sosial, ekonomi sains, teknologi dan sebagainya.
Dengan demikian tujuan dari sumber ajaran tersebut adalah untuk kemaslahatan umat manusi
a

Islam sangat mendukung umatnya untuk mempelajari ilmu pengetahuan terutama yang bersu
mber dari sumber ajaran Islam yaitu Al- Qur'an, Sunah, lima. Qiyas dan juga ijtihad. Begitu s
empurna dan lengkapnya sumber-sumber ajaran Islam. Namun permasalahan disini adalah ba
nyak umat Islam yang belum mengetahui betapa luas dan lengkapnya sumber-sumber ajaran I
slam guna mendukung umat Islam untuk maju dalam bidang pengetahuan.

PAGE \* MERGEFORMAT 1
B. Rumusan Masalah

Maksud dan Tujuan Penulisan Makalah

1. Memahami pengertian as sunnah / hadits beserta macamnya

2. Menjelaskan bagaimana hadits nabi itu sampai kepada umat secara akurat

3. Membedakan antara hadits yang dapat diterima dan harus di tolak sebagai sumber ajaran islam

4. Mendeskripsikan posisi hadits sebagai rujukan dalam menetapkan hukum islam

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Sunnah

As-Sunnah menurut istilah syari’at ialah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam bentuk qaul (ucapan), fi’il (perbuatan), taqrir (penetapan), sifat tubuh
serta akhlak yang dimaksudkan dengannya sebagai tasyri’ (pensyari’atan) bagi ummat Islam
[1].

PAGE \* MERGEFORMAT 1
Adapun hadits menurut bahasa ialah sesuatu yang baru.

Secara istilah sama dengan As-Sunnah menurut Jumhur Ulama.

Ada ulama yang menerangkan makna asal secara bahasa bahwa: Sunnah itu untuk perbuatan
dan taqrir, adapun hadits untuk ucapan. Akan tetapi ulama sudah banyak melupakan makna a
sal bahasa dan memakai istilah yang sudah lazim digunakan, yaitu bahwa As-Sunnah muradif
(sinonim) dengan hadits.

As-Sunnah menurut istilah ulama ushul fiqih ialah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi S
hallallahu ‘alaihi wa sallam selain dari Al-Qur-an, baik perbuatan, perkataan, taqrir (penetapa
n) yang baik untuk menjadi dalil bagi hukum syar’i.

Ulama ushul fiqih membahas dari segala yang disyari’atkan kepada manusia sebagai undang-
undang kehidupan dan meletakkan kaidah-kaidah bagi perundang-undangan tersebut.

As-Sunnah menurut istilah ahli fiqih (fuqaha’) ialah segala sesuatu yang sudah tetap dari Nab
i Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan hukumnya tidak fardhu dan tidak wajib, yakni hukumnya
sunnah[2].

As-Sunnah menurut ulama Salaf adalah petunjuk yang dilaksanakan oleh Rasulullah Shallalla
hu ‘alaihi wa sallam dan para Shahabatnya, baik tentang ilmu, i’tiqaad (keyakinan), perkataan
maupun perbuatannya[3].

Contoh-contoh dari definisi Sunnah yang dibawakan oleh ahli hadits antara lain:

a. Hadits qauli (Sunnah dalam bentuk ucapan) ialah segala ucapan Nabi Shallallahu ‘alaihi w
a sallam yang ada hubungannya dengan tasyri’, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam :

PAGE \* MERGEFORMAT 1
‫ِم ْن ُحْس ِن ِإْس َالِم اْلَم ْر ِء َتْر ُك ُه َم ا َال َيْع ِنْيِه‬

“Di antara kebaikan Islam seseorang ialah meninggalkan apa-apa yang tidak bermanfaat bagi
nya.”[4]

b. Hadits fi’li (Sunnah yang berupa perbuatan) ialah segala perbuatan Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam yang diberitakan oleh para Shahabatnya tentang wudhu’, shalat, haji, dan selainnya.

Contoh:

‫ َأَّن الَّنِبَّي َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َك اَن ُيَخ ِّلُل ِلْح َيَتُه‬: ‫َع ْن ُع ْثَم اَن ْبِن َع َّفاَن‬

“Dari ‘Utsman bin ‘Affan bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam (apabila berwudh
u’), beliau menyela-nyela jenggotnya”[5]

c. Hadits taqriri ialah segala perbuatan Shahabat yang diketahui oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam dan beliau membiarkannya (sebagai tanda setuju) dan tidak mengingkarinya.

Contoh:

‫ َيا ِبَالُل! َح ِّد ْثِني ِبَأْر َج ى َع َم ٍل َع ِم ْلَت ُه ِفي ْاِإل ْس َالِم َف ِإِّني َس ِم ْع ُت َد َّف‬:‫َقاَل الَّنِبُّي َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم ِلِبَالٍل ِع ْنَد َص َالِة الُّص ْبِح‬
‫ َم ا َع ِم ْلُت َع َم ًال َأْر َج ى ِع ْنِد ْي َأِّني َلْم َأَتَطَّهْر ُطُهْو رًا ِفي َس اَعٍة ِم ْن َلْيٍل َأْو َنَهاٍر ِإَّال َص َّلْيُت ِب َذ ِلَك‬: ‫ َقاَل‬،‫َنْع َلْيَك َبْيَن َيَدَّي ِفي اْلَج َّنِة‬
‫الُّطُهْو ِر َم ا ُك ِتَب ِلي َأْن ُأَص ِّلَي‬.

“Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Bilal setelah selesai shalat Shubuh, ‘Wa
hai Bilal, kabarkanlah kepadaku sebaik-baik amalan yang telah engkau kerjakan dalam Islam,
karena aku telah mendengar suara terompahmu di dekatku di Surga?’ Ia menjawab, ‘Sebaik-b

PAGE \* MERGEFORMAT 1
aik amal yang aku kerjakan ialah, bahwa setiap kali aku berwudhu’ siang atau malam mesti d
engan wudhu’ itu aku shalat (sunnah) beberapa raka’at yang dapat aku laksanakan.”[6]

Atau kisah dua Shahabat yang melakukan safar, keduanya tidak menemukan air (untuk wudh
u’) sedangkan waktu shalat sudah tiba, lalu keduanya bertayammum dan mengerjakan shalat,
kemudian setelah selesai shalat mereka menemukan air sedang waktu shalat masih ada, maka
salah seorang dari keduanya mengulangi wudhu’ dan shalatnya, kemudian keduanya mendata
ngi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menceritakan kejadian itu. Lalu beliau bersa
bda kepada Shahabat yang tidak mengulangi shalatnya, “Engkau telah berbuat sesuai dengan
Sunnah.” Dan kepada yang lain (Shahabat yang mengulangi shalatnya), beliau bersabda, “En
gkau mendapatkan dua ganjaran.”[7]

Di antara makna Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sebagaimana yang difaha
mi oleh para Shahabat dan Salafush Shalih Ridhwanullaah ‘alaihim ajma’iin adalah sebagai s
umber kedua setelah Al-Qur-anul Karim

Sering kita menyebut Kitabullaah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maks
udnya adalah Sunnah sebagai sumber nilai tasyri’. Al-Qur-an menyifatkan As-Sunnah dengan
makna hikmah.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

‫َر َّبَنا َو اْبَع ْث ِفيِه ْم َر ُس واًل ِّم ْنُهْم َيْتُلو َع َلْيِهْم آَياِتَك َو ُيَع ِّلُم ُهُم اْلِكَتاَب َو اْلِح ْك َم َة َو ُيَز ِّك يِه ْم ۚ ِإَّنَك َأنَت اْلَع ِزيُز اْلَحِكيُم‬

“Ya Rabb kami, utuslah kepada mereka seorang Rasul di antara mereka yang akan membacak
an ayat-ayat-Mu kepada mereka dan mengajarkan Al-Kitab dan Al-Hikmah kepada mereka d
an mensucikan mereka (dari kelakuan-kelakuan yang keji), sesungguhnya Engkau Mahamuli
a lagi Mahabijaksana” [Al-Baqarah/2: 129]

PAGE \* MERGEFORMAT 1
‫َلَقْد َم َّن ُهَّللا َع َلى اْلُم ْؤ ِمِنيَن ِإْذ َبَع َث ِفيِه ْم َر ُس واًل ِّم ْن َأنُفِس ِهْم َيْتُلو َع َلْيِهْم آَياِتِه َو ُي َز ِّك يِه ْم َو ُيَع ِّلُم ُهُم اْلِكَت اَب َو اْلِح ْك َم َة َو ِإن َك اُنوا ِم ن‬
‫َقْبُل َلِفي َض اَل ٍل ُّم ِبيٍن‬

“Sesungguhnya Allah telah memberi karunia bagi orang-orang yang beriman, ketika Dia men
gutus di antara mereka seorang Rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan ayat-a
yat-Nya dan membersihkan mereka (dari sifat-sifat jahat), dan mengajarkan Al-Kitab (Al-Qu
r-an) dan Al-Hikmah (As-Sunnah). Sesungguhnya mereka sebelum itu dalam kesesatan yang
nyata” [Ali ‘Imran/3: 164]

‫َو َأنَز َل ُهَّللا َع َلْيَك اْلِكَتاَب َو اْلِح ْك َم َة َو َع َّلَم َك َم ا َلْم َتُك ن َتْع َلُم ۚ َو َك اَن َفْض ُل ِهَّللا َع َلْيَك َع ِظ يًم ا‬

“… Dan Allah telah menurunkan kepadamu Al-Kitab dan Al-Hikmah dan mengajarkanmu ap
a-apa yang tidak kamu ketahui. Dan karunia Allah kepadamu amat besar.” [An-Nisaa’/4: 11
3]

‫َو اْذ ُك ْر َن َم ا ُيْتَلٰى ِفي ُبُيوِتُك َّن ِم ْن آَياِت ِهَّللا َو اْلِح ْك َم ِةۚ ِإَّن َهَّللا َك اَن َلِط يًفا َخ ِبيًرا‬

“Sebutlah apa-apa yang dibacakan dalam rumahmu dari ayat-ayat Allah dan hikmah, sesungg
uhnya Allah Mahalembut lagi Maha Mengetahui.” [Al-Ahzaab/33: 34]

‫ُهَو اَّلِذ ي َبَع َث ِفي اُأْلِّم ِّييَن َر ُس واًل ِّم ْنُهْم َيْتُلو َع َلْيِهْم آَياِت ِه َو ُي َز ِّك يِه ْم َو ُيَع ِّلُم ُهُم اْلِكَت اَب َو اْلِح ْك َم َة َو ِإن َك اُنوا ِم ن َقْب ُل َلِفي َض اَل ٍل‬
‫ُّم ِبيٍن‬

“Dialah yang mengutus kepada ummat yang ummi seorang Rasul dari antara mereka yang me
mbacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya. Yang membersihkan mereka dan mengajarkan kepa
da mereka Al-Kitab dan Al-Hikmah. Sesungguhnya mereka sebelum itu dalam kesesatan yan
g nyata.” [Al-Jumu’ah/62: 2]

PAGE \* MERGEFORMAT 1
Maksud penyebutan Al-Kitab pada ayat-ayat di atas adalah Al-Qur-an. Dan yang dimaksud d
engan Al-Hik-mah adalah As-Sunnah.

Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata, “Allah menyebut al-Kitab, yang dimaksud adalah Al-
Qur-an dan menyebut Al-Hikmah. Aku mendengar di negeriku dari para ahli ilmu yang meng
erti Al-Qur-an berkata bahwa Al-Hikmah adalah As-Sunnah.”[8]

Qatadah rahimahullah berkata, “Yang dimaksud Al-Hikmah adalah As-Sunnah.” Begitu pula
penjelasan dari al-Hasan al-Bashri”[9]

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

‫َيا َأُّيَها اَّلِذ يَن آَم ُنوا َأِط يُعوا َهَّللا َو َأِط يُعوا الَّرُسوَل َو ُأوِلي اَأْلْم ِر ِم نُك ْم‬

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(-Nya), dan ulil amri di anta
ra kamu…” [An-Nisaa’/4: 59]

Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Taat kepada Allah dengan mengikuti Kitab-Ny
a dan taat kepada Rasul adalah mengikuti dan As-Sunnah.”[10]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Banyak dari Salafush Shalih berkata
bahwa Al-Hikmah adalah As-Sunnah.” Karena sesungguhnya yang dibaca di rumah-rumah is
teri Nabi ‫ َرِض َي ُهللا َع ْنُهن‬selain Al-Qur-an adalah Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bel
iau bersabda:

Baca Juga Dalil-Dalil Tentang Wajibnya Berhujjah Dengan Hadits Ahad Dalam Bidang Aqi
dah

PAGE \* MERGEFORMAT 1
‫َأَال ِإِّني ُأْو ِتْيُت اْلِكَتاَب َوِم ْثَلُه َم َع ُه‬

“Ketahuilah, sesungguhnya aku diberikan Al-Kitab dan yang sepertinya bersamanya.”[11]

Hasan bin Athiyyah rahimahullah berkata, “Jibril Alaihissallam turun kepada Nabi Shallallah
u ‘alaihi wa sallam membawa As-Sunnah sebagaimana Al-Qur-an. Mengajarkan As-Sunnah i
tu sebagaimana ia mengajarkan Al-Qur-an.”[12]

Dan lihat pula kitab-kitab tafsir yang menafsirkan ayat ini (Al-Ahzaab: 34) dalam Tafsir Ibnu
Katsir dan lainnya dari tafsir Al-Qur-an bil ma’tsur.

Para Salafush Shalih memberi makna As-Sunnah dengan agama dan syari’at yang dibawa ole
h Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam secara mutlak dalam masalah ilmu dan amal, dan apa-a
pa yang diterima oleh para Shahabat, Tabi’in dan Salafush Shalih dalam bidang ‘aqidah maup
un furu’.

Abu Bakar Radhiyallahu anhu berkata, “Sunnah itu adalah tali Allah yang kuat.”[13]

‘Abdullah bin ad-Dailamy rahimahullah (dari pembesar Tabi’in) berkata, “Telah sampai kepa
daku bahwa awal hilangnya agama ini adalah karena manusia meninggalkan As-Sunnah.”[1
4]

Imam al-Lalika-i membawakan penafsiran ayat:

‫ُثَّم َجَع ْلَناَك َع َلٰى َش ِريَعٍة ِّم َن اَأْلْم ِر َفاَّتِبْع َها‬

PAGE \* MERGEFORMAT 1
“Kemudian kami jadikan kamu di atas syari’at dari perintah, maka ikutilah…” [Al-Jaatsiyah/
45: 18]

“Yakni engkau berada di atas Sunnah.”[15]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Sesungguhnya As-Sunnah itu adalah syari’at, yakni
apa-apa yang disyari’atkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dari agama (ini).”[16]

As-Sunnah adalah yang dimaksud dengan hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ya
ng shahih.

B. Penjelasan hadits nabi sampai kepada umat

SANAD DAN MATAN

Sanad ( ‫ )َس َنٌد‬atau isnad ( ‫ )ِإْسَناٌد‬secara bahasa artinya sandaran, maksudnya adalah jalan yang ber
sambung sampai kepada matan, rawi-rawi yang meriwayatkan matan hadits dan menyampaik
annya. Sanad dimulai dari rawi yang awal (sebelum pencatat hadits) dan berakhir pada orang
sebelum Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yakni Shahabat. Misalnya al-Bukhari meri
wayatkan satu hadits, maka al-Bukhari dikatakan mukharrij atau mudawwin (yang me-ngelua
rkan hadits atau yang mencatat hadits), rawi yang sebelum al-Bukhari dikatakan awal sanad s
edangkan Shahabat yang meriwayatkan hadits itu dikatakan akhir sanad.

PAGE \* MERGEFORMAT 1
Matan ( ‫ )َم َتٌن‬secara bahasa artinya kuat, kokoh, keras, maksudnya adalah isi, ucapan atau lafaz
h-lafazh hadits yang terletak sesudah rawi dari sanad yang akhir.

Para ulama hadits tidak mau menerima hadits yang datang kepada mereka melainkan jika me
mpunyai sanad, mereka melakukan demikian sejak tersebarnya dusta atas nama Nabi Shallall
ahu ‘alaihi wa sallam yang dipelopori oleh orang-orang Syi’ah.

Seorang Tabi’in yang bernama Muhammad bin Sirin (wafat tahun 110 H) rahimahullah berka
ta, “Mereka (yakni para ulama hadits) tadinya tidak menanyakan tentang sanad, tetapi tatkala
terjadi fitnah, mereka berkata, ‘Sebutkan kepada kami nama rawi-rawimu, bila dilihat yang m
enyampaikannya Ahlus Sunnah, maka haditsnya diterima, tetapi bila yang menyampaikannya
ahlul bid’ah, maka haditsnya ditolak.’”[1]

Kemudian, semenjak itu para ulama meneliti setiap sanad yang sampai kepada mereka dan bil
a syarat-syarat hadits shahih dan hasan terpenuhi, maka mereka mene-rima hadits tersebut se
bagai hujjah, dan bila syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi, maka mereka menolaknya.

Baca Juga Dalil-Dalil Tentang Wajibnya Berhujjah Dengan Hadits Ahad Dalam Bidang Aqi
dah

‘Abdullah bin al-Mubarak (wafat th. 181 H) rahimahullah berkata:

َ ‫ َو َلْو َال ْاِإل ْسَناُد َلَقاَل َم ْن َش اَء َم ا َش اَء‬، ‫ْاِإل ْسَناُد ِم َن الِّدْيِن‬

“Sanad itu termasuk dari agama, kalau seandainya tidak ada sanad, maka orang akan berkata
sekehendaknya apa yang ia inginkan.”[2]

PAGE \* MERGEFORMAT 1
Para ulama hadits telah menetapkan kaidah-kaidah dan pokok-pokok pembahasan bagi tiap-ti
ap sanad dan matan, apakah hadits tersebut dapat diterima atau tidak. Ilmu yang membahas te
ntang masalah ini ialah ilmu Mushthalah Hadits.

PEMBAGIAN AS-SUNNAH MENURUT SAMPAINYA KEPADA KITA

As-Sunnah yang datang dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada kita dilihat dari
segi sampainya dibagi menjadi dua, yaitu mutawatir dan ahad. Hadits mutawatir ialah berita d
ari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang disampaikan secara bersamaan oleh orang-o
rang kepercayaan dengan cara yang mustahil mereka bisa bersepakat untuk berdusta.

Hadits mutawatir mempunyai empat syarat yaitu:

Rawi-rawinya tsiqat dan mengerti terhadap apa yang dikabarkan dan (menyampaikannya) de
ngan kalimat

Sandaran penyampaian kepada sesuatu yang konkret, seperti penyaksian atau mendengar lang
sung, seperti:

‫( َسِم ْع ُت‬aku mendengar), ‫( َسِم ْعَنا‬kami mendengar), ‫( َر َأْيُت‬aku melihat), ‫( َر َأْيَنا‬kami melihat)

Bilangan (jumlah) mereka banyak, mustahil menurut adat mereka berdusta.

Bilangan yang banyak ini tetap demikian dari mulai awal sanad, pertengahan sampai akhir sa
nad, rawi yang meriwayatkannya minimal 10 orang. [3]

Hadits ahad ialah hadits yang derajatnya tidak sampai ke derajat mutawatir. Hadits-hadits aha
d terbagi menjadi tiga macam:

Hadits masyhur, yaitu hadits yang diriwayatkan dengan 3 sanad.

Hadits ‘aziz, yaitu hadits yang diriwayatkan dengan 2 sanad

Hadits gharib, yaitu hadits yang diriwayatkan dengan 1 sanad[4]

PAGE \* MERGEFORMAT 1
[Disalin dari buku Kedudukan As-Sunnah Dalam Syariat Islam, Penulis Yazid bin Abdul Qad
ir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa, PO.Box 264 Bogor 16001, Jawa Barat Indonesia, Cetak
an Kedua Jumadil Akhir 1426H/Juli 2005]

PAGE \* MERGEFORMAT 1
C. Membedakan antara hadits yang dapat diterima dan harus dit
olak sebagai sumber ajaran islam

Sebelum kita mengkaji ilmu hadits, ada baiknya kita melihat bagaimana kesungguhan para ulama hadits da
lam membela hadits Nabi shallallahu alaihi wasallam.

Para ulama telah menyingsingkan lengan mereka bersungguh-sungguh membela hadits Nabi shallallahu ‘a
laihi wasallam, mereka memeriksa sanad-sanad hadits dengan cara yaitu:

Pertama: Mengenal sejarah perawi hadits


Maksudnya adalah nama, kunyah, gelar, nisbat, tahun kelahiran dan kematian, guru-guru dan muridnya, te
mpat-tempat yang dikunjunginya, dan lain sebagainya yang berhubungan dengan sejarah perawi tersebut, s
ehingga dari sini dapat diketahui sanad yang bersambung dengan sanad yang tidak bersambung seperti mur
sal, mu’dhal, mu’allaq, munqathi’ dan diketahui pula perawi yang majhul ‘ain atau hal juga kedustaan seor
ang perawi. Sufyan Ats Tsauri rahimahullah berkata: “Ketika para perawi menggunakan dusta, maka kami
gunakan sejarah untuk (menyingkap kedustaan) mereka”.

‘Ufair bin Ma’dan Al Kila’i berkata: “Datang kepada kami Umar bin Musa di kota Himish, lalu kami berk
umpul kepadanya di masjid, maka ia berkata: “Haddatsana (telah bercerita kepada kami) syaikh kalian yan
g shalih, ketika ia telah banyak berkata demikian, aku berkata kepadanya: “Siapakah syaikh kami yang sha
lih itu, sebutkanlah namanya agar kami dapat mengenalinya”.

Ia berkata: “Khalid bin Ma’dan”.

Aku berkata: “Tahun berapa engkau bertemu dengannya?”

Ia menjawab: “Tahun 108H”.

Aku berkata: “Di mana engkau bertemu dengannya?”

Ia menjawab: “Di perang Armenia”

Aku berkata kepadanya: “Bertaqwalah engkau kepada Allah dan jangan berdusta!! Khalid bin Ma’dan waf
at pada tahun 104H dan tadi engkau mengklaim bertemu dengannya pada tahun 108H, dan aku tambahkan
lagi untukmu bahwa ia tidak pernah mengikuti perang Armenia, namun ia ikut perang melawan Romawi”.

PAGE \* MERGEFORMAT 1
Abul Walid Ath Thayalisi berkata: “Aku menulis dari Amir bin Abi Amir Al Khozzaz, suatu hari ia berkat
a: “‘Atha bin Abi Rabah menuturkan kepadaku…(lalu menyebutkan hadits)”.

Aku berkata kepadanya: “Tahun berapa engkau mendengar dari ‘Atha?”

Ia menjawab: “Pada tahun 124H”.

Aku berkata: “‘Atha meninggal antara tahun 110-119H”.

Kedua: Memeriksa riwayat-riwayat yang dibawa oleh perawi dan membandingk


annya dengan perawi lain yang tsiqah (terpercaya) baik dari sisi sanad maupun
matan
Dengan cara ini dapat diketahui kedlabitan (penguasaan) seorang perawi sehingga dapat divonis sebagai pe
rawi yang tsiqah atau bukan, dengan cara ini pula dapat diketahui jalan-jalan sebuah periwayatan dan mata
n-matannya sehingga dapat dibedakan antara riwayat yang shahih, hasan, dha’if, syadz, munkar, mudraj, ju
ga dapat mengetahui illat (penyakit) yang dapat mempengaruhi keabsahan riwayatnya dan lain sebagainya.
Di antara contohnya adalah:

Khalid bin Thaliq bertanya kepada Syu’bah: “Wahai Abu Bistham, sampaikan kepadaku hadits Simak bin
Harb mengenai emas dalam hadits ibnu Umar”.

Ia menjawab: “Semoga Allah meluruskanmu, hadits ini tidak ada yang meriwayatkannya secara marfu’ kec
uali Simak”.

Khalid berkata: “Apakah engkau takut bila aku meriwayatkannya darimu?”

Ia menjawab: “Tidak, akan tetapi Qatadah menyampaikan kepadaku dari Sa’id bin Musayyib dari ibnu Um
ar secara mauquf, dan Ayyub mengabarkan kepadaku dari Nafi’ dari ibnu Umar secara mauquf juga, demi
kian juga Dawud bin Abi Hindin menyampaikan kepadaku dari Sa’id bin Jubair secara mauquf juga, terny
ata dimarfu’kan oleh Simak, makanya aku khawatir pada (riwayat)nya”.

Kisah ini menunjukkan bahwa para ulama hadits mengumpulkan semua jalan-jalan suatu hadits dan memb
andingkan satu sama lainnya dengan melihat derajat ketsiqahan para perawi; mana yang lebih unggul dan
mana yang tidak sehingga dapat diketahui penyelisihan seorang perawi dalam periwayatannya, dan ini san
gat bermanfaat sekali untuk menyingkap illat (penyakit) sebuah hadits dan kesalahan-kesalahan perawi dal
am meriwayatkan hadits.

PAGE \* MERGEFORMAT 1
Yahya bin Ma’in pernah datang kepada ‘Affan untuk mendengar kitab-kitab Hammad bin Salamah, lalu ‘A
ffan berkata kepadanya: “Apakah engkau tidak pernah mendengarnya dari seorangpun?”

Ia menjawab: “Ya, Aku mendengar dari tujuh belas orang dari Hammad bin Salamah”.

‘Affan berkata: “Demi Allah, aku tidak akan menyampaikannya kepadamu”.

Berkata Yahya: “Ia hanya mengharapkan dirham.” Lalu Yahya bin Ma’in pergi menuju Bashrah dan datan
g kepada Musa bin Isma’il, Musa berkata kepadanya: “Apakah engkau tidak pernah mendengar kitab-kitab
nya dari seorangpun?”

Yahya menjawab: “Aku mendengarnya dari tujuh belas orang dan engkau yang kedelapan belas”.

Ia berkata: “Apa yang engkau lakukan dengan itu?”

Yahya menjawab: “Sesungguhnya Hammad bin Salamah terkadang salah maka aku ingin membedakan ant
ara kesalahannya dengan kesalahan orang lain, apabila aku melihat ashhab-nya (para perawi yang sederajat
dengannya) bersepakat pada sesuatu, aku dapat mengetahui bahwa kesalahan berasal dari Hammad, dan ap
abila mereka semua bersepakat meriwayatkan sesuatu darinya namun salah seorang perawi darinya menyal
ahi periwayatan perawi-perawi lain yang sama-sama meriwayatkan dari Hammad, aku dapat mengetahui b
ahwa kesalahan itu dari perawi tersebut bukan dari Hammad, dengan cara itulah aku dapat membedakan ke
salahan Hammad dengan kesalahan orang lain terhadap Hammad”.

Subhanallah! demikianlah Allah menjaga agama ini dengan adanya para ulama yang amat semangat dalam
menelusuri periwayatan hadits dan membedakan antara periwayatan yang benar dari periwayatan yang sala
h. Dengan mengumpulkan jalan-jalan hadits dapat diketahui pula mutaba’ah dan syawahid serta kesalahan
matan hadits yang bawakan oleh seorang perawi.

Ketiga: Merujuk buku asli perawi hadits


Cara ini digunakan oleh para ahli hadits untuk mengetahui kebenaran seorang perawi yang mengaku mend
engar dari seorang syaikh, mereka meneliti dengan seksama buku asli perawi tersebut bahkan diperiksa jug
a kertasnya, tintanya dan tempat penulisannya. Zakaria bin Yahya Al Hulwani berkata: “Aku melihat Abu
Dawud As Sijistani telah memberikan tanda kepada hadits Ya’qub bin Kasib di punggung kitabnya, maka
kami bertanya mengapa ia melakukan itu?”

PAGE \* MERGEFORMAT 1
Ia menjawab: “Kami melihat di musnadnya hadits-hadits yang kami ingkari, lalu kami meminta buku aslin
ya namun ia menolak, beberapa waktu kemudian ia mengeluarkan bukunya, ternyata kami dapati hadits-ha
dits tersebut tampak dirubah dengan (bukti) tinta yang masih baru yang tadinya hadits-hadits tersebut murs
al tetapi ia menjadikannya musnad dan diberikan tambahan padanya”.

Keempat: Memeriksa lafadz dalam menyampaikan hadits


Ketika menyampaikan hadits, para perawi menggunakan lafadz-lafadz sesuai dengan keadaan ia mengambi
l hadits tersebut, bila ia mendengar langsung dari mulut syaikh atau syaikh yang membacakan kepadanya h
adits, biasanya digunakan lafadz “haddatsana” dan bila dibacakan oleh murid kepada syaikh biasanya men
ggunakan “akhbarona” atau “anbaana” dan ini semua lafadz-lafadz yang menunjukkan bahwa si perawi m
endengar langsung dari Syaikh, dan ada juga lafadz-lafadz yang mengandung kemungkinan mendengar lan
gsung atau tidak, seperti lafadz ‘an fulan (dari si fulan) atau qola fulan (berkata si fulan), lafadz seperti ini
bisa dihukumi bersambung dengan dua syarat:

Memungkinkan bertemunya perawi itu dengan syaikhnya, seperti ia satu zaman dengan syaikhnya dan
lain-lain.
Perawi tersebut bukan mudallis.
Bila salah satu dari dua syarat ini tidak terpenuhi maka sanadnya dianggap tidak bersambung atau lemah.

Kelima: Memeriksa ketsiqahan perawi-perawi hadits


Pemeriksaan para perawi hadits berporos pada dua point penting yaitu:

1. Kepribadian perawi dari sisi agama dan akhlaknya, atau yang disebut dalam ilmu hadits dengan ‘ad
aalah (adil).

Perawi yang ‘adil menurut istilah ahli hadits adalah seorang muslim, baligh dan berakal, selamat dari seba
b-sebab kefasiqan dan khowarim al muru’ah (adab-adab yang buruk). Dan sebab-sebab kefasiqan ada dua
yaitu maksiat dan bid’ah. Dan kefasiqan yang merusak seorang perawi adalah fasiq karena maksiat (dosa b
esar) seperti minum arak, berzina, mencuri dan lain-lain.

Adapun bid’ah, para ulama berbeda pendapat dalam menyikapinya, diantara mereka ada yang menolak per
awi ahlul bid’ah secara mutlak, dan diantara mereka ada yang menerimanya selama tidak menghalalkan du
sta dan diantara mereka ada yang memberikan perincian-perincian tertentu seperti tidak menyeru kepada bi
d’ahnya, tidak meriwayatkan hadits yang mendukung bid’ahnya, dan lain-lain.

PAGE \* MERGEFORMAT 1
Namun bila kita perhatikan secara cermat bahwa sifat perawi yang diterima adalah kejujuran perawi (tidak
menghalalkan dusta), amanah dan terpecaya agama dan akhlaknya. Dan bila kita periksa keadaan perawi-p
erawi yang melakukan bid’ah, banyak diantara mereka yang mempunyai sifat demikian dan mereka melak
ukan bid’ah bukan karena sengaja melakukannya atau menganggapnya halal, akan tetapi karena adanya ta’
wil (syubhat) sehingga periwayatannya diterima oleh para ulama, berbeda jika si perawi mengingkari perka
ra agama yang mutawatir dan bersifat pasti dalam agama (dharuri) atau meyakini kebalikannya, maka pera
wi seperti ini wajib ditolak periwayatannya.

Saya akan sebutkan beberapa perawi yang melakukan bid’ah namun diterima haditsnya:

Muhammad bin Rasyid, Yahya bin Ma’in berkata tentangnya: “Tsiqah dan ia qadari (pengikut qadariy
ah)”.
Aban bin Taghlib, perawi yang tsiqah, dianggap tsiqah oleh imam Ahmad dan Yahya bin Ma’in, dikat
akan oleh ibnu ‘Adi: “ekstrim dalam syi’ah”. Adz Dzahabi berkata: “Ia Syi’ah yang ekstrim namu
n shaduq (sangat jujur), maka untuk kita riwayatnya dan untuk dia kebid’ahannya”.
Abdurrazaq bin Hammam Ash Shan’ani tsiqah hafidz namun mempunyai keyakinan syi’ah (syiah beli
au hanya sebatas mengunggulkan Ali dan mencela Mu’awiyah. bukan syiah rafidah yg mengkafir
kan para shahabat).
Abdul Majid bin Abdul ‘Aziz bin Abi Rawwad, dianggap tsiqah oleh Ibnu Ma’in dan lainnya. Abu Da
wud berkata: “Tsiqah menyeru kepada aqidah murji’ah”.
Muhamad bin Imran Abu Abdillah Al Marzabani Al Katib shaduq tetapi ia mu’tazilah yang keras.
Bagaimana mengetahui keadilan perawi

Jumhur ahli hadits berpendapat bahwa keadilan perawi dapat diketahui dengan salah satu dari dua cara, yai
tu:

Pertama: Terkenal keadilannya

Maksudnya perawi itu masyhur dikalangan ahli hadits kebaikannya dan banyak yang memujinya sebagai p
erawi yang amanah dan tsiqah, maka ketenaran ini sudah mencukupi dan tidak lagi membutuhkan kepada s
aksi dan bukti, seperti imam yang empat, Syu’bah, Sufyan bin ‘Uyainah dan Sufyan Ats Tsauri, Yahya bin
Ma’in dan lain-lain.

Kedua: Pernyataan dari seorang imam

Bila seorang perawi tidak ditemukan pujian (ta’dil) kecuali dari seorang imam yang faham maka diterima t
a’dilnya selama tidak ditemukan padanya jarh (celaan) yang ditafsirkan.

PAGE \* MERGEFORMAT 1
2. Periwayatan yang ia riwayatkan apakah ia menguasainya atau tidak, atau yang disebut dalam ilmu h
adits dengan istilah dlabth dan itqan.

Ada dua cara yang digunakan oleh para ahli hadits untuk mengetahui kedlabitan perawi, yaitu:

Membandingkan periwayatannya dengan periwayatan perawi-perawi lain yang terkenal ketsiqahan da


n ke-dhabit-annya.
Jika mayoritas periwayatannya sesuai walaupun dari sisi makna dengan periwayatan para perawi y
ang tsiqah tersebut dan penyelisihannya sedikit atau jarang maka ia dianggap sebagai perawi yang
dhabit. Dan jika periwayatannya banyak menyelisihi periwayatan perawi-perawi yang tsiqah tadi
maka ia dianggap kurang atau cacat kedlabitannya dan tidak boleh dijadikan sebagai hujah. Akan t
etapi jika si perawi tersebut mempunyai buku asli yang shahih dan ia menyampaikannya hanya se
batas dari buku bukan dari hafalannya maka periwayatannya dapat diterima.
Menguji perawi.
Bentuk-bentuk ujian kepada perawi bermacam-macam diantaranya adalah dengan membacakan pa
danya hadits-hadits lalu dimasukkan di sela-selanya periwayatan orang lain, jika ia dapat membed
akan maka ia adalah perawi yang tsiqah dan jika tidak dapat memebedakannya maka ia kurang ket
siqahannya. Diantaranya juga adalah membolak-balik matan dan sanad sebagaimana yang dilakuk
an oleh para ahli hadits Baghdad terhadap imam Bukhari. Para ulama berbeda pendapat tentang hu
kum menguji perawi, sebagian ulama mengharamkannya seperti Yahya bin Sa’id Al Qathan dan s
ebagian lagi melakukannya seperti Syu’bah dan Yahya bin Ma’in. Al Hafidz ibnu Hajar rahimahul
lah memandang bahwa menguji perawi adalah boleh selama tidak terus menerus dilakukan pada s
eorang perawi karena mashlahatnya lebih banyak dibandingkan mafsadahnya yaitu dapat mengeta
hui derajat seorang perawi dengan waktu yang cepat.

D. Posisi hadits sebagai rujukan dalam menetapkan hukum islam

KEDUDUKAN AS-SUNNAH DALAM SYARI’AT ISLAM

MUQADDIMAH

‫ َو َم ْن‬،‫ َم ْن َيْهِدِه ُهللا َفَال ُمِض َّل َل ُه‬،‫ َو َنُعْو ُذ ِباِهلل ِم ْن ُش ُرْو ِر َأْنُفِس َنا َوِم ْن َس ِّيَئاِت َأْع َم اِلَنا‬،‫ َنْح َم ُد ُه َو َنْسَتِع ْيُنُه َو َنْسَتْغ ِفُر ُه‬،‫ِإَّن اْلَحْم َدِ ِهلل‬
‫ َو َأْش َهُد َأَّن ُمَحَّم ًدا َع ْبُد ُه َو َر ُسْو ُلُه‬،‫ َو َأْش ـَهُد َأْن َال ِإَلَه ِإَّال ُهللا َو ْح َد ُه َال َش ِرْيَك َلُه‬،‫ُيْض ِلْل َفَال َهـاِدَي َلُه‬.

PAGE \* MERGEFORMAT 1
Segala puji hanya bagi Allah, kami memuji-Nya, memohon pertolongan dan ampunan kepad
a-Nya, kami berlindung kepada Allah dari kejahatan diri-diri kami dan kejelekan amal perbua
tan kami. Barangsiapa yang Allah beri petunjuk, maka tidak ada yang dapat menyesatkannya,
dan barangsiapa yang Allah sesatkan, maka tidak ada yang dapat memberinya petunjuk.

Aku bersaksi bahwasanya tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah sa
ja, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan aku bersaksi bahwasanya Nabi Muhammad Shallallahu ‘al
aihi wa sallam adalah hamba dan Rasul-Nya.

‫َيا َأُّيَها اَّلِذ يَن آَم ُنوا اَّتُقوا َهَّللا َح َّق ُتَقاِتِه َو اَل َتُم وُتَّن ِإاَّل َو َأنُتم ُّم ْس ِلُم وَن‬

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepa
da-Nya, dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.” [Al
i ‘Imran/3: 102]

‫َيا َأُّيَها الَّناُس اَّتُقوا َر َّبُك ُم اَّلِذ ي َخ َلَقُك م ِّم ن َّنْفٍس َو اِحَدٍة َو َخ َلَق ِم ْنَه ا َز ْو َجَه ا َو َبَّث ِم ْنُهَم ا ِر َج ااًل َك ِث يًرا َو ِنَس اًء ۚ َو اَّتُق وا َهَّللا اَّل ِذ ي‬
‫َتَس اَء ُلوَن ِبِه َو اَأْلْر َح اَم ۚ ِإَّن َهَّللا َك اَن َع َلْيُك ْم َرِقيًبا‬

“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Rabb-mu yang telah menciptakanmu dari diri yan
g satu, dan daripadanya Allah menciptakan isterinya, dan daripada keduanya Allah memperk
embangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang d
engan (menggunakan) Nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hub
ungan silaturahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu.” [An-Nisaa’/4: 1]

‫َيا َأُّيَها اَّلِذ يَن آَم ُنوا اَّتُقوا َهَّللا َو ُقوُلوا َقْو اًل َسِد يًدا ُيْص ِلْح َلُك ْم َأْع َم اَلُك ْم َو َيْغ ِف ْر َلُك ْم ُذ ُن وَبُك ْم ۗ َو َم ن ُيِط ِع َهَّللا َو َر ُس وَلُه َفَق ْد َف اَز َف ْو ًز ا‬
‫َع ِظ يًم ا‬

PAGE \* MERGEFORMAT 1
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan ucapkanlah perkataan y
ang benar, niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu d
osa-dosamu. Dan barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah me
ndapat kemenangan yang besar” [Al-Ahzaab/33: 70-71]

Amma ba’du.

Sesungguhnya sebenar-benar perkataan adalah Kitabullah (Al-Qur-an) dan sebaik-baik petunj


uk adalah petunjuk Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam (As-Sunnah). Seburuk-buruk pe
rkara adalah perkara yang diada-adakan (dalam agama), setiap yang diada-adakan (dalam aga
ma) adalah bid’ah, setiap bid’ah adalah sesat, dan setiap kesesatan tempatnya di Neraka.

Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan Al-Qur-an kepada Rasul-Nya Muhammad Sha
llallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam diberikan hak dan wewena
ng untuk menjelaskan Al-Qur-an, sehingga dengan Al-Qur-an dan As-Sunnah manusia mend
apat petunjuk ke jalan yang lurus (ash-Shirath al-Mustaqim). Tidak ada jalan yang benar mela
inkan jalan Al-Qur-an dan As-Sunnah menurut pemahaman Salafush Shalih, mengamalkan A
l-Qur-an dan As-Sunnah, berdakwah (mengajak) ummat Islam untuk berpegang kepada kedu
anya, serta konsekuen dan konsisten di atas keduanya.

Pada saat ini banyak aliran-aliran sesat yang berusaha memalingkan ummat Islam dari sumbe
rnya yang asli dan suci, mereka berusaha untuk menghancurkan Islam dengan segenap tenaga
mereka dengan berbagai macam cara, dengan lisan, tulisan dan lainnya.

Dalam buku ini penulis membahas tentang Kedudukan As-Sunnah dalam Syari’at Islam, kare
na adanya orang-orang yang berusaha untuk meragukan kedudukan As-Sunnah. Mereka ingin
membatalkan Al-Qur-an dengan cara meragukan As-Sunnah. Karena apabila ummat Islam su
dah meninggalkan kedua pedoman hidup ini, niscaya mereka pasti akan sesat.

PAGE \* MERGEFORMAT 1
Mereka berusaha untuk memadamkan cahaya Islam, akan tetapi Allah akan tetap menyempur
nakan cahayanya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

‫ُيِريُد وَن ِلُيْطِفُئوا ُنوَر ِهَّللا ِبَأْفَو اِهِهْم َو ُهَّللا ُم ِتُّم ُنوِر ِه َو َلْو َك ِر َه اْلَك اِفُروَن‬

“Mereka ingin memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, d
an Allah tetap menyempurnakan cahayanya meskipun orang-orang kafir benci.” [Ash-Shaff/6
1: 8]

Ummat Islam sejak zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam meyakini bahwa As-Sunnah m
erupakan sumber ajaran Islam di samping Al-Qur-an. Bahkan As-Sunnah adalah wahyu seba
gaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

1/415 ‫ريعة‬z‫ وآلجّرى في الش‬4/131 ‫ َأَال ِإِّنْي ُأْو ِتْيُت اْلُقْر آَن َوِم ْثَلُه َم َع ُه… (أخرجه أحمد‬,‫َأَال ِإِّنْي ُأْو ِتْيُت اْلِكَتاَب َوِم ْثَلُه َم َع ُه‬
)‫ وغيرهما بإسناد صحيح‬97 ‫رقم‬

“Ketahuilah sesungguhnya aku diberi Al-Kitab (Al-Qur-an) dan yang sepertinya bersamanya.
Ketahuilah sesungguhnya aku diberi Al-Qur-an dan yang sepertinya bersamanya.”[1]

Maksud dari kalimat: “Dan seperti itu bersamanya” adalah As-Sunnah.

Al-Imam Abu Muhammad ‘Ali bin Ahmad bin Sa’id bin Hazm azh-Zhahiri, yang terkenal de
ngan Ibnu Hazm (wafat th. 456 H) berkata, “Sesungguhnya Allah telah berfirman:

‫ِإَّنا َنْح ُن َنَّز ْلَنا الِّذْك َر َو ِإَّنا َلُه َلَح اِفُظوَن‬

PAGE \* MERGEFORMAT 1
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Qur-an, dan sesungguhnya Kami benar-benar
memeliharanya.” [Al-Hijr/15: 9]

Kandungan dari ayat ini adalah bagi orang yang beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala
dan hari Akhir bahwasanya Allah menjamin terpeliharanya Al-Qur-an dan tidak akan hilang s
elamanya. Hal ini tidak diragukan sedikit pun oleh seorang muslim dan begitu pula sabda Na
bi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, semuanya adalah WAHYU, berdasarkan firman Allah:

‫َو َم ا َينِط ُق َع ِن اْلَهَو ٰى ِإْن ُهَو ِإاَّل َو ْح ٌي ُيوَح ٰى‬

“Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Qur-an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapan
nya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” [An-Najm/53: 3-4]

Wahyu adalah Adz-Dzikr dengan kesepakatan seluruh ummat Islam, dan Adz-Dzikr terpeliha
ra dengan nash Al-Qur-an, maka sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam terpelihara dan pas
ti dijaga Allah Subhanahu wa Ta’ala[2].

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

‫ِباْلَبِّيَناِت َو الُّز ُبِرۗ َو َأنَز ْلَنا ِإَلْيَك الِّذْك َر ِلُتَبِّيَن ِللَّناِس َم ا ُنِّز َل ِإَلْيِه ْم َو َلَع َّلُهْم َيَتَفَّك ُروَن‬

“Keterangan-keterangan (mukjizat) dan Kitab-Kitab. Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur-


an agar kamu menerangkan kepada ummat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka.
Dan supaya mereka memikirkan” [An-Nahl/16: 44]

Baca Juga Dalil-Dalil Tentang Hujjah As-Sunnah

PAGE \* MERGEFORMAT 1
Ibnu Hazm rahimahullah berkata: “Dengan demikian, benarlah sabda Rasululah Shallallahu
‘alaihi wa sallam yang menyangkut urusan agama merupakan wahyu dari Allah Ta’ala. Para
pakar bahasa Arab dan Ahli Fiqih tidak berselisih bahwa setiap wahyu yang diturunkan oleh
Allah merupakan Adz-Dzikra (peringatan). Oleh karena itu, setiap wahyu adalah sesuatu yan
g pasti dipelihara oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan yakin. Semua yang dijamin oleh A
llah dengan penjagaan-Nya, terjamin pula dari kepunahan dan tidak akan berubah satu pun da
rinya dan tidak ada yang membatalkannya. Jika wahyu tidak terjaga, niscaya firman Allah T
a’ala dan janji-Nya adalah sesuatu yang dusta dan jaminan-Nya sia-sia. Hal ini (tidak mungki
n terjadi) dan tidak sedikit pun terlintas di benak orang yang berakal. Oleh karena itu, merupa
kan suatu kepastian bahwa segala sesuatu yang disampaikan oleh Rasululah Shallallahu ‘alai
hi wa sallam yang berkaitan dengan masalah agama adalah terpelihara (terjaga) dengan pemel
iharaan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dan disampaikan sebagaimana adanya kepada merek
a selama-lamanya sampai hancurnya dunia. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

‫َو ُأوِح َي ِإَلَّي َٰه َذ ا اْلُقْر آُن ُأِلنِذَر ُك م ِبِه َو َم ن َبَلَغ‬

“… Dan al-Qur-an ini diwahyukan kepadaku supaya dengannya aku memberi peringatan kep
adamu dan kepada orang-orang yang sampai al-Qur-an (kepada-nya)…” [Al-An’aam/6: 19]

Jadi kita dapat mengetahui bahwa semua sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adala
h sesuatu yang terjaga sepanjang waktu, tidak mungkin ada sabda Rasulullah Shallallahu ‘alai
hi wa sallam yang hilang dalam masalah agama, dan tidak mungkin pula tersamar (bercampu
r) antara hadits yang palsu dan yang shahih. Kalau terjadi demikian berarti Adz-Dzikru terseb
ut tidak terjaga dan firman Allah Ta’ala:

‫ِإَّنا َنْح ُن َنَّز ْلَنا الِّذْك َر َو ِإَّنا َلُه َلَح اِفُظْو َن‬

Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur’an, dan pasti Kami (pula) yang memelihar
anya [Al-Hijr/15:9]

PAGE \* MERGEFORMAT 1
Adalah bohong dan janji palsu. Hal ini tidak mungkin diucapkan oleh seorang muslim.

Jika ada seseorang mengatakan bahwa yang dijamin oleh Allah terpelihara adalah Al-Qur-an
saja dan bukan semua wahyu yang diturunkan selain Al-Qur-an, maka kami jawab, “Kami m
ohon taufiq dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tuduhan itu adalah bohong, tidak ada bukti sam
a sekali dan pengkhususan bahwa yang dimaksud Adz-Dzikra hanya Al-Qur-an saja, itupun ti
dak ada dalilnya. Maka dakwaan mereka itu adalah bathil.”

‫ۗ ُقْل َهاُتوا ُبْر َهاَنُك ْم ِإن ُك نُتْم َص اِدِقيَن‬

“… Katakanlah: ‘Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang yang benar.’” [A
l-Baqarah/2: 111]

Oleh karena itu, orang yang tidak punya bukti atas dakwaannya, maka ia tidak benar dan tida
k bisa dipercaya.

Kalimat Adz-Dzikru mencakup semua yang diturunkan Allah kepada Nabi-Nya Shallallahu
‘alaihi wa salalm, baik berupa Al-Qur-an maupun As-Sunnah, karena As-Sunnah sebagian w
ahyu yang telah dijelaskan oleh Al-Qur-an :

‫َو َأنَز ْلَنآ ِإَلْيَك الِّذْك َر ِلُتَبِّيَن ِللَّناِس َم اُنِّز َل ِإَلْيِه ْم َو َلَع َّلُهْم َيَتَفَّك ُرْو َن‬

Dan Kami turunkan Ad-Dzikr (Al-Qur’an) kepadamu, agar engkau menerangkan kepada man
usia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan agar mereka memikirkan. [An-Nahl/16 : 4
4]

PAGE \* MERGEFORMAT 1
Dalam ayat ini Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam diperintahkan oleh Allah untuk menjelaska
n Al-Qur-an kepada manusia. Di dalam Al-Qur-an banyak ayat-ayat yang bersifat mujmal (gl
obal), kalau Sunnah tersebut tidak terjaga dan tidak terpelihara, niscaya ayat-ayat Al-Qur-an t
idak bermanfaat, bahkan bisa menjadi batal sebagian besar dari kewajiban-kewajiban agama
yang dibebankan kepada manusia?! Jika demikian, maka kita tidak mampu membedakan anta
ra yang benar dari firman Allah dan yang salah dalam menafsirkannya atau orang yang sengaj
a berbohong. Semua ini mustahil terjadi pada Allah Subhanahu wa Ta’ala[3].

Di antara dalil lain yang menegaskan keotentikan As-Sunnah sebagai sumber hukum, bahwas
anya Allah Ta’ala telah menjadikan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai penutup
seluruh Nabi dan Rasul dan syari’atnya sebagai penutup syari’at sebelumnya. Maka Allah Su
bhanahu wa Ta’ala telah mewajibkan kepada manusia untuk beriman dan mengikuti segala aj
aran yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga hari Kiamat. Allah tel
ah menghapus segala syari’at yang bertentangan dengan syari’at beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Semua ini menunjukkan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjadikan syari’at
yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai syari’at yang abadi dan ter
pelihara. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mewajibkan bagi setiap muslim bila berselisih tent
ang sesuatu untuk kembali kepada Al-Qur-an dan As-Sunnah.

‫َفِإن َتَناَز ْعُتْم ِفي َش ْي ٍء َفُر ُّد وُه ِإَلى ِهَّللا َو الَّرُسوِل ِإن ُك نُتْم ُتْؤ ِم ُنوَن ِباِهَّلل َو اْلَيْو ِم اآْل ِخ ِرۚ َٰذ ِلَك َخْيٌر َو َأْح َس ُن َتْأِو ياًل‬

“… Dan jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah
(Al-Qur-an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari k
emudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya” [An-Nisaa’/4: 5
9]

Imam Mujahid, Qatadah, Maimun bin Mihran dan ulama Salaf lainnya ketika menafsirkan ay
at ini: “Kembali kepada Allah, yaitu mengembalikan kepada Al-Qur-an dan kembali kepada
Rasul yaitu mengembalikan persoalan yang diperselisihkan kepada As-Sunnah[4].

PAGE \* MERGEFORMAT 1
Semua Sunnah yang datang dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah upaya untuk
menjelaskan Al-Qur-an. Tidak ada satu pun yang samar atau tersembunyi dari semua penjelas
an yang dibutuhkan manusia dalam kehidupan dunia dan akhirat, melainkan beliau telah jelas
kan, ini menunjukkan bahwa agama Islam sudah sempurna. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfi
rman:

‫اْلَيْو َم َأْك َم ْلُت َلُك ْم ِد يَنُك ْم َو َأْتَم ْم ُت َع َلْيُك ْم ِنْع َم ِتي َو َر ِض يُت َلُك ُم اِإْل ْس اَل َم ِد يًنا‬

“…Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepada
mu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agama bagimu…” [Al-Maa-idah/5: 3]

Para Sahabat telah memberi kesaksian atas hal itu pada peristiwa Hajjatul Wada’ ketika Rasul
ullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri meminta mereka memberikan kesaksian, bahwa be
liau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah menyampaikan seluruh risalah. Tidak ada satu pun y
ang beliau tidak sampaikan. Semua sudah disampaikan, apa saja yang membawa manusia ke
Surga sudah beliau jelaskan, dan apa saja yang membawa manusia ke Neraka sudah beliau jel
askan pula. Karena itu, hilangnya satu bagian dari Sunnah Rasul sama buruknya dengan hilan
gnya satu bagian dari Al-Qur-an. Sehingga ummat Islam sepanjang sejarah telah berusaha sek
uat tenaga untuk menjaga dan memelihara As-Sunnah. Upaya-upaya para ulama Ahli Hadits
dalam menjaga As-Sunnah dapat diringkas sebagai berikut:

Pertama : Para Shahabat yang mulia Radhiyallahu anhum langsung menerima hadits dari Ras
ululah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahkan yang tidak sempat hadir, mereka bertanya kepada
yang hadir dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan para Shahabat untuk
menyampaikan As-Sunnah. Beliau bersabda:

Baca Juga Hadits-Hadits yang Memerintahkan Kita Untuk Mengikuti Nabi Dalam Segala Ha
l

74 ‫ وابن حبان رقم‬2657 ‫ (رواه الّترمذى رقم‬.‫َنَّض َر ُهللا اْمَر ًأ َسِمَع ِم َّنا َحِد ْيًثا َفَبَّلَغُه َك َم ا َس ِمَع َف ُرَّب ُمَبَّل ٍع َأْو َعى ِم ْن َس اِم ٍع‬
)‫ هذا حديث حسن صحيح‬:‫ عن عبد هللا بن مسعود رضي هللا عنه وقال الّترمذى‬.‫وغيره‬

PAGE \* MERGEFORMAT 1
“Allah akan memberikan cahaya kepada wajah seseorang yang mendengarkan ucapanku, lalu
ia menyampaikannya sebagaimana yang ia dengar. Maka boleh jadi di antara yang disampaik
an kepada mereka itu ada yang lebih mengerti daripada yang mendengarkan (langsung darik
u).”[5]

Kedua : Kesungguhan para Shahabat dalam menyampaikan Sunnah Rasulullah di samping m


ereka langsung mengamalkan apa-apa yang datang dari al-Qur-an dan As-Sunnah.

Ketiga : Ketelitian para Shahabat yang tinggi dalam menerima As-Sunnah, bahkan ada yang
diminta untuk menjadi saksi.

Keempat : Kesungguhan para ulama sepanjang sejarah dalam mengumpulkan As-Sunnah dan
ketelitian mereka dalam menerimanya, serta hafalan mereka yang luar biasa (matan dan sana
dnya).

Kelima : Pengetahuan mereka yang dalam tentang ihwal para perawi dan sikap kritis yang tin
ggi dalam menerima riwayat-riwayat mereka.

Keenam : Penyusunan ilmu al-Jarh wat Ta’dil (kriteria penerimaan dan penolakan hadits berd
asarkan perawi-nya). Seperti al-Jarh wat Ta’dil oleh Ibnu Abi Hatim ar-Razy (wafat th. 327
H).

Ketujuh : Pengumpulan dan penyusunan ‘illat-‘illat (cacat) hadits dengan pembahasan yang l
engkap. Seperti kitab ‘Ilal Imam ad-Daraquthni dan Imam at-Tirmidzi.

Kedelapan : Penyusunan kitab-kitab untuk membedakan hadits-hadits maqbul (yang dapat dit
erima) dengan hadits mardud (ditolak).

Kesembilan : Penyusunan kaidah-kaidah yang menjelaskan kriteria penerimaan atau penolaka


n suatu hadits dari berbagai segi.

Kesepuluh : Penyusunan biografi para perawi hadits dengan pembahasan lengkap tentang ber
bagai hal yang berkaitan dengan kesamaran atau perbedaan atau persa-maan dalam nama dan
kun-yah. Seperti kitab:

Tahdzibul Kamal fi Asma-ir Rijal oleh al-Hafizh Ja-maluddin Abul Hajjaj Yusuf bin ‘Abdirra
hman al-Mizzi (wafat th. 742 H)

PAGE \* MERGEFORMAT 1
Tahdziib Tahdzibul Kamal oleh al-Hafizh Muhammad bin Ahmad bin ‘Utsman adz-Dzahabi
(wafat 748 H)

Mizanul I’tidaal (4 jilid) oleh al-Hafizh Muhammad bin Ahmad bin ‘Utsman adz-Dzahabi.

Tahdzibut Tahdzib (12 jilid) oleh al-Hafizh Syihabud-din Abul Fadhl Ahmad bin ‘Ali bin Haj
ar al-‘Asqa-lany (wafat th. 752 H)

Taqribut Tahdzib (2 jilid) oleh al-Hafizh Syihabuddin Abul Fadhl Ahmad bin ‘Ali bin Hajar a
l-‘Asqalany

Al-Kuna wal Asma’ oleh Abu Bisyr Muhammad bin Ahmad bin Hammad bin Sa’d al-Anshar
y ad-Daulaby (wafat th. 320 H), dan kitab-kitab lain, ratusan jilid kitab yang membahas tenta
ng hal ihwal rawi.

Dengan penjelasan di atas, kita tahu bahwa As-Sunnah yang berada di tangan kita telah diku
mpulkan, dikodifikasi, disusun dan dipelihara keabsahannya dan keotentikannya oleh para ula
ma Islam hingga hari Kiamat, sebagaimana pertama kali mereka dengar dari Rasulullah Shall
allahu ‘alaihi wa sallam.

Salah satu faktor terkuat yang memelihara keabsahan As-Sunnah adalah metode sanad dan kr
itik sanad. Ini merupakan keistimewaan tersendiri bagi ummat ini yang tidak ditemukan pada
ummat-ummat lain.

Kata ‘Abdullah Ibnul Mubarak (wafat th. 181 H) berkata:

. ‫َ ْاِإل ْسَناُد ِم َن الِّدْيِن َلْو َال ْاِإل ْسَناُد َلَقاَل َم ْن َش اَء َم اَش اَء‬

“Sanad itu merupakan bagian dari agama. Seandainya tidak ada sanad, niscaya siapa saja aka
n berkata menurut apa yang dikehendakinya.”[6]

PAGE \* MERGEFORMAT 1
Imam an-Nawawi (wafat th. 676 H) mengomentari perkataan di atas, bahwa bila sanad hadits
itu dapat diterima, bila tidak shahih maka harus ditinggalkan. Dinyatakan hubungan hadits de
ngan sanadnya seperti antara hubungan hewan dengan kakinya[7].

Dalam buku ini, penulis terangkan kedudukan As-Sunnah sebagai pembelaan terhadap As-Su
nnah yang selalu dirongrong oleh musuh-musuh Islam dan orang-orang kafir, munafik, ahlul
bid’ah, orientalis, dan para pengekornya. Mudah-mudahan penjelasan dalam buku ini dapat di
fahami, diamalkan, dan bermanfaat bagi kaum muslimin. Semoga tulisan ini menjadi timbang
an amal kebaikan penulis pada hari Kiamat.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari pembahasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa As Sunnah sebagi sumber ajaran isla
m yang kedua karena dalam Dalil al- Qur'an mengajarkan kita untuk mempercayai dan mener
ima apa yang telah disampaikan oleh Rasul untuk dijadikan sebagai pedoman hidup. Selain it
u dalam hadits juga terdapat pernyataan bahwa berpedoman pada hadits itu wajib, bahkan jug
a terdapat dalam salah satu pesan Rasulullah berkenaan menjadikan hadist sebagai pedoman
hidup setelah Al-Qur'an sebagai sumber yang pertama.

B. Saran

PAGE \* MERGEFORMAT 1
Begitu lengkap dan di jelaskan sumber hukum islam kedua yakni As Sunnah. Sungguh luar bi
asa apa yang dicontohkan, diucapkan, Nabi Muhammad dalam sebuah hadist , dimana denga
n hadistnya tersebut terdapat segala solusi dari setiap permasalahan didunia ini. Oleh karena i
tu, umat islam diharapkan dan diharuskan menjadikanya sebagai pedoman hidup. Dengan de
mikian hidup kita akan senantiasa terarah dan tidak ada kekacauan yang lebih.

DAFTAR PUSTAKA

[Disalin dari buku Kedudukan As-Sunnah Dalam Syariat Islam, Penulis Yazid bin Abdul Qad
ir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa, PO.Box 264 Bogor 16001, Jawa Barat Indonesia, Cetak
an Kedua Jumadil Akhir 1426H/Juli 2005]

Referensi : https://almanhaj.or.id/2263-pengertian-as-sunnah-menurut-syariat.html

[1] Muqaddimah Shahih Muslim.

[2] Syarah Shahih Muslim, an-Nawawi (1/87).

[3] Taisir Musthalaahil Hadiits, Dr. Mahmud Thah-han (hal. 19-20).

[4] Lihat rinciannya dalam kitab Taisir Musthalaahil Hadiits, Dr. Mahmud Thah-han (hal. 22-
31).

Referensi : https://almanhaj.or.id/2096-pembagian-as-sunnah-menurut-http://mymakalahku.bl
ogspot.com/

Sumber: https://muslim.or.id/28424-bagaimana-para-ulama-membela-hadits-nabi.html

[Disalin dari buku Kedudukan As-Sunnah Dalam Syariat Islam, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas,
Penerbit Pustaka At-Taqwa, PO.Box 264 Bogor 16001, Jawa Barat Indonesia, Cetakan Kedua Jumadi
l Akhir 1426H/Juli 2005]

Referensi : https://almanhaj.or.id/3166-kedudukan-as-sunnah-dalam-syariat-islam.html

PAGE \* MERGEFORMAT 1
PAGE \* MERGEFORMAT 1

Anda mungkin juga menyukai