Anda di halaman 1dari 62

TUGAS UJIAN TENGAH SEMESTER

Makalah
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
“Pengantar Studi Islam”

Dosen Pengampu :
Dr. H. Amir Maliki Abitolkha, M.Ag.

Penyusun :
Naufal Alawy (06020122068)

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA
2022
KATA PENGANTAR

Assalamualaikumwr.wb
Bismillahirrahmanirrahim
Alhamdulillah, segala puji kami panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan
Semesta Alam. Atas karunia hidayah serta inayah-Nya makalah ini dapat tersusun
dan terselesaikan tepat waktu. Tak lupa kami panjatkan sholawat serta salam kepada
junjungan nabi besar nabi Muhammad SAW yang telah membimbing kita dari jaman
jahiliah menuju jalan yang terang benderang. Semoga syafa’atnya dapat bermanfaat
bagi kita semua kelak.
Adapun maksud dan tujuan dari penyusunan makalah ini untuk memenuhi
tugas UTS. Untuk itu penting bagi kita selaku penulis untuk mengucap banyak terima
kasih kepada berbagai pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini,
terutama kepada bapak Dr. H. Amir Abitolkha, M.Ag. selaku dosen pada mata kuliah
Pengantar Studi Islam.
Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas. Kami sadar
bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Kami
memohon kepada dosen pengampu untuk memberikan beberapa masukannya demi
perbaikan pembuatan makalah kami di masa yang mendatang dan kami juga sangat
mengharapkan kritik dan saran dari pembaca.

Wassalamualaikumwr.wb

Surabaya, 5 November 2022

Naufal Alawy
DAFTAR ISI

Contents
KATA PENGANTAR............................................................................................................2
DAFTAR ISI..........................................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................................4
A. LATAR BELAKANG................................................................................................4
B. RUMUSAN MASALAH............................................................................................5
C. TUJUAN.....................................................................................................................6
BAB II.....................................................................................................................................6
PEMBAHASAN.....................................................................................................................6
1. Al-Qur’an sebagai sumber ajaran pokok agama islam.......................................7
2. Urgensi Mata Kuliah Pengantar Studi Islam Bagi Calon Guru Agama..........30
3. Islam Perspektif Hukum......................................................................................46
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Pada zaman sekarang banyak orang yang dalam menafsirkan Al-Qur’an sesuai
nafsunya saja. Padahal Al-Qur’an itu adalah kitab yang paling mulia, paling lengkap.
Tetapi kitab ini harus difahami dengan ilmu-ilmu yang sudah dikemukakan para
ulama. Bukan hanya dengan terjemahannya saja. Karena di dalam terjemahannya itu
ada makna-makna yang tersembunyi yang terkadang hanya bisa difahami oleh para
ulama.

Saat ini banyak masyarakat yang melupakan Al-Qur’an dalam menjalani


kehidupan sehari-hari. Mereka lupa bahwa Al-Qur’an adalah sumber pokok ajaran
Islam. Seharusnya sebagai sumber pokok ajaran islam, Al-Qur’an itu dijadikan hal
yang paling utama dalam kehidupan kita. Tetapi mereka jarang membuka Qur’an
mereka. Mereka banyak yang melupakan perintah-perintah yang terdapat dalam Al-
Qur’an dan melanggar larangan-larangan di dalamnya. Mereka hanya sibuk dengan
handphone yang kata anak-anak muda zaman sekarang adalah setan gepeng. Tidak
hanya masyarakat, terkadang para guru agama pun tidak membuka langsung Al-
Qur’an. Mereka lebih sering cari-cari digoogle saja. Karena di zaman sekarang ini
semua hampir ada di medsos. Banyak para ustadz jadi-jadian di zaman ini, mereka
tidak pernah belajar langsung kepada para ulama, mereka belajar yang hanya sebentar
kemudian mendeklarasikan diri mereka sebagai ustadz, padahal mereka tidak
mendalami tentang studi islam. Kemudian mereka berfatwa dan fatwa mereka banyak
yang sesat.

Sebagai sumber hukum yang pertama, Al-Qur’an itu harus ditadabburi oleh semua
manusia, entah itu orang awam ataupun ustadz sekaligus. Sebagaimana Al-Qur’an
surat An-Nisa’ ayat 82:

‫ٱختِلَ ٰـ ۭفًا َكثِي ۭ ًرا‬ ۟ ‫َأفَاَل يَتَ َدبَّرُونَ ْٱلقُرْ َءانَ ۚ َولَوْ َكانَ ِم ْن ِعن ِد َغيْر ٱهَّلل ِ لَ َو َجد‬
ْ ‫ُوا فِي ِه‬ ِ
Artinya: “Maka tidakkah mereka menghayati (mendalami) Al-Qur’an? Sekiranya
(Al-Qur’an) itu bukan dari Allah, pastilah mereka menemukan banyak hal yang
bertentangan di dalamnya.”

Islam itu adalah agama yang damai. Agama yang sempurna. Islam bisa
dipandang dari perspektif apapun. Salah satunya dapat dipandang dari perspektif
hukum. Maka dari itu, di dalam makalah ini akan dijelaskan mengapa sebenarnya Al-
Qur’an itu bisa disebut sebagai sumber ajaran pokok agama islam dikarenakan
banyak orang yang lupa akan hal ini, urgensi mata kuliah PSI bagi calon guru agama
karena banyak para ustadz jadi-jadian di zaman ini, serta bagaimanakah islam dalam
perspektif hukum.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Mengapa Al-Qur’an disebut sebagai sumber ajaran pokok agama islam?
2. Apa urgensi mata kuliah Pengantar Studi Islam bagi calon guru agama!
3. Apakah Islam perspektif hukum itu?
C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui mengapa Al-Qur’an disebut sebagai sumber ajaran pokok
agama islam.
2. Untuk mengetahui urgensi mata kuliah Pengantar Studi Islam bagi calon guru
agama.
3. Untuk mengetahui apakah Islam perspektif hukum itu.

BAB II

PEMBAHASAN
1. Al-Qur’an sebagai sumber ajaran pokok agama islam.
a. Pengertian
kata “sumber” jika diterjemahkan dalam bahasa Arab, disebut
mashdar, ini merupakan bentuk mufrod atau tunggal, bentuk jamaknya
adalah mashadir. Jika ditinjau dari segi bahasa atau etimologi, antara lain:
asal atau permulaan sesuatu, sumber, tempat kemunculan sesuatu. Seorang
pakar leksikografi al-Qur’an yang Bernama Ar Raghib menyatakan
bahwa kata mashdar dapat bermakna “tempat di mana air muncul”, atau
yang lebih terkenalnya lagi disebut sebagai sumber air, yang biasa disebut
sebagai mata air. Mata air disebut mashdar, sebab ia merupakan sumber
dari mana air keluar. Nata yang merujuk sebuah buku yang berjudul A
Dictionary of Modern, yang menjelaskan bahwa kata sumber (dalam
bahasa Indonesia) ,dan dalam bahasa Arab disebut mashdar, bentuk
jamaknya mashadir, diartikan sebagai starting point (titik tolak), point of
origin (sumber asli), origin (asli), infinitive (tidak terbatas), verbal nounce
(kalimat kata kerja), dan absolute or internal object (mutlak atau tujuan
bersifat internal).

Sementara itu, dalam bahasa Indonesia kata “sumber” diartikan


sebagai “mata air, perigi” misalnya, mengambil air di sumber, dan berarti
pula “asal” (dalam berbagai arti), misalnya kabar dari sumber yang boleh
dipercaya, dan sekalian kutipan harus disebutkan sumbernya.4 Dengan
demikian merujuk penjelasan itu, apabila kata “sumber” disambungkan
dengan “ajaran Islam” sehingga menjadi “sumber atau sumber sumber
ajaran Islam, maka pengertiannya adalah “tempat yang darinya dapat
diperoleh ajaran-ajaran Islam dalam berbagai aspeknya”. Sebagai
analoginya, hutan, misalnya, dikatakan sebagai sumber bahan untuk
keperluan bangunan dan alat-alat rumah tangga, seperti kayu, bambu dan
rotan. Dan begitu pula gunung dapat merupakan sumber bahan bangunan
dan tambang, seperti pasir, emas, perak dan tembaga.
Sebagai pengantar uraian mengenai sumber-sumber ajaran Islam
dan sekaligus tertib urutannya, kiranya penting diperhatikan kutipan
keterangan dari Abdul Wahhab Khalaf berikut ini: Telah ditetapkan dalam
suatu ketetapan bahwa dalil syar’i yang dipergunakan oleh hukum amaliah
itu, dikembalikan kepada empat hal, yakni al-Qur’an, as-Sunnah, ijma’
dan qiyas. Keempat dalil ini sudah disepakati oleh umat Islam. Dengan
inilah orang memberi dalil kepada sesuatu itu. Juga orang sepakat atas
bentuk susunan dalil tersebut untuk mengambil sebagai dasar hukum.
Susunan itu adalah: al-Qur’an, as-Sunnah, ijma’ dan qiyas. Artinya,
apabila orang mengemukakan suatu persoalan, maka mula-mula dilihat
dalam al-Qur’an; kalau terdapat hukumnya maka kemudian dijalankan.
Jika tidak terdapat dalam al-Qur’an, maka (kemudian) dilihat dalam as-
Sunnah; kalau terdapat hukumnya dalam sunnah ini maka dijalankan.
Tetapi kalau tidak ditemukan maka diperhatikan apakah para mujtahid
masa lalu pernah bersidang untuk memecahkan masalah itu (ijma’); kalau
sudah terdapat hukumnya maka dijalankan. Tetapi kalau tidak, maka
dalam hal ini kita melakukan ijtihad sendiri yakni dengan qiyas (analogi)
kepada keputusan keputusan yang berdasarkan nash.

Islam sebagai suatu konstruksi yang di dalamnya terdapat nilai-


nilai, ajaran, petunjuk hidup dan sebagainya membutuhkan sumber yang
darinya dapat diambil bahan-bahan yang diperlukan untuk
mengkonstruksi ajaran Islam. Adapun perihal jenis dan tertib susunan
sumber-sumber ajaran Islam dapat didasarkan pada firman Allah SWT
dalam Qs. an-Nisa’ ayat 59 berikut ini:
‫ٰيٓاَيُّهَا الَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُ ْٓوا اَ ِط ْيعُوا هّٰللا َ َواَ ِط ْيعُواـ ال َّرسُوْ َل َواُولِى ااْل َ ْم ِر ِم ْن ُك ۚ ْم فَاِ ْن تَنَا َز ْعتُ ْم‬
‫فِ ْي َش ْي ٍء‬

‫فَ ُر ُّدوْ هُ اِلَى هّٰللا ِ َوال َّرسُوْ ِل اِ ْن ُك ْنتُ ْم تُْؤ ِمنُوْ نَ بِاهّٰلل ِ َو ْاليَوْ ِم ااْل ٰ ِخ ۗ ِر ٰذلِكَ َخ ْي ٌر‬
‫َّواَحْ َسنُ تَْأ ِو ْياًل‬

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah


rasul-(Nya) dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan
pendapat tentang sesuatu (urusan) maka kembalikanlah ia kepada Allah
(alQur’an) dan Rasul (sunnah)-Nya, jika kamu benar-benar beriman
kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu)
dan lebih baik akibatnya.” (Qs. an-Nisa’/4: 59).

Terhadap Qs. an-Nisa’ (4) ayat 59 tersebut dapat dijelaskan


maknanya sebagai berikut ini. Perintah taat kepada Allah (athi’u Allah)
berarti perintah mentaati al-Qur’an dengan menjadikan Al-Qur’an sebagai
pedoman dan sumber ajaran Islam. Perintah taat kepada Rasul (athi’u ar-
rasul) berarti perintah menegakkan as-Sunnah sebagai pedoman dan
sumber ajaran Islam. Dan perintah taat kepada ulil amri (uli al-amr) berarti
perintah untuk mentaati apa yang telah menjadi kesepakatan atau
konsensus para mujtahid (dalam bentuk ijma’). Perintah untuk
mengembalikan perselisihan kepada Allah dan Rasul (farudduhu ila Allah
wa as-rasul) bermakna perintah untuk mengikuti qiyas melalui ijtihad. Jika
dirujuk kutipan keterangan Wahhab Khalaf di atas maka sesungguhnya
ijma’ dan qiyas itu masuk ke dalam kategori ijtihad tentu dengan
kekhasannya masingmasing pada tingkat teknis operasional. Pemposisian
ijma’ dan qiyas ke dalam kategori ijtihad juga tampak dalam penegasan
an-Na’im bahwa ijma’ muncul sebagai hasil upaya pelaksanaan ijtihad,
dan qiyas juga dapat dilihat sebagai salah satu tehnik ijtihad.

Sementara itu Satria Efendi Mohammad Zein ketika menjelaskan


makna penggalan ayat Qs. an-Nisa’ (4) ayat 59 tersebut “farudduhu ila
Allah wa ar-rasul” (kembalikan hal itu kepada Allah dan Rasul), dengan
merujuk pada Ali Hasaballah, secara tegas dan eksplisit langsung
merujukkannya kepada ijtihad,10 dan inilah barangkali yang dimaksud
ungkapan Imam Syafi’i, sebagaimana dikutip al-Ahwani, yang
mengatakan bahwa “ra’yu berarti ijtihad, dan ijtihad berarti qiyas; ijtihad
dan qiyas adalah satu makna”. Atas dasar keterangan dari berbagai pihak
ini dapatlah disimpulkan bahwa sesungguhnya ijma’ dan qiyas adalah
merupakan bentuk ijtihad, dan karena itulah keduanya dimasukkan
sebagai bagian dari metode ijtihad. Dengan demikian dikarenakan
konsensus ulama (ijma’) dan analogi (qiyas) diperoleh berdasarkan
pemikiran mendalam tentang sesuatu, maka keduanya termasuk dalam
lingkup ijtihad.

Selain merujuk kepada makna Qs. an-Nisa’ (4) ayat 59 itu,


sebenarnya kebolehan ijtihad dan skaligus keberadaannya sebagai salah
satu sumber ajaran Islam, tentu selain dan atau setelah al-Qur’an dan as-
Sunnah, adalah didasarkan pula kepada hadis yang diriwayatkan oleh
sahabat bernama Mu’adz bin Jabal. Pada saat sahabat Mu’adz bin Jabal
akan diangkat menjadi seorang hakim (qadli) di negeri Yaman,
menjawablah pertanyaan Rasulullah saw “dengan apa ia memutuskan
hukum”?, seraya Mu’adz bin Jabal memberikan penjelasan secara tertib
dan berurutan, yaitu mula-mula dengan al-Qur’an, lalu dengan Sunnah
Rasulullah saw, dan selanjutnya dengan ijtihad. Dan kemudian Rasulullah
saw mengakui dan membenarkan jawaban yang disampaikan oleh sahabat
Mu’adz bin Jabal itu seraya berkata: “Segala puji bagi Allah yang telah
memberikan taufiq atas diri dari utusan Rasulullah (maksudnya, Mu’adz
bin Jabal) dengan apa yang diridlai oleh Allah dan Rasul-Nya”. Adapun
redaksi hadis Rasulullah saw tersebut secara lengkap adalah sebagai
berikut di bawah ini:

‫عن الحا رث ابن عمرو عن رجا ل من أصحا ب معاذ أن رسول هلال‬


‫صلى هلال عليه وسلمـ بعث معا ذا إلى اليمن فقال كيف تقضي؟ فقال أقضى بما في‬
‫ فبسنة رسو ل هلال صلى هلال‬: ‫ قال فإن لم يكن فى كتا ب هلال ؟ قا ل‬,‫كتا ب هلال‬
‫ ألحمد‬.‫ أجتهد برأ يى‬: ‫ فإ ن لم يكن في سنىة رسو ل هلال ؟ قال‬: ‫ قا ل‬,‫عليه وسلم‬
‫هلل الذى وفّق رسول رسوـ ل هلال صلى عليه وسلم‬.

Artinya: Dari al-Harits bin Amr, dari sekelompok orang teman-


teman Mu’adz, sesungguhnya Rasulullah saw mengutus Mu’adz ke
Yaman, maka beliau bertanya kepada Mu’adz: atas dasar apa anda
memutuskan suatu persoalan? Mu’adz menjawab: “Saya akan
memutuskan dengan sesuatu yang terdapat dalam kitab Allah”. Nabi
bertanya, “kalau kamu tidak mendapatkannya dari kitab Allah ? Mu’adz
menjawab: (saya akan memutuskannya) dengan dasar sunnah Rasulullah
saw. Kemudian Nabi bertanya lagi, “kalau tidak anda temukan dalam
sunnah Rasulullah saw ?” Mu’adz menjawab, saya akan berijtihad dengan
ra’yuku. Maka Nabi bersabda: segala puji bagi Allah yang telah
memberikan taufiq kepada utusan Rasulullah saw. (HR. Tirmidzi).

Hadis yang mendeskripsikan episode dialog Rasulullah saw


dengan sahabat Mu’adz bin Jabal tersebut, di samping secara fungsional
bisa memperkuat dan memperjelas makna Qs. an-Nisa’ (4) ayat 59 di atas,
khususnya dalam konteks jenis dan tertib urutan sumber ajaran Islam,
sekaligus makin mempertegas keberadaan dan posisi ijtihad sebagai salah
satu sumber ajaran Islam, setelah alQur’an dan as-Sunnah, khususnya
penggalan redaksi hadis “ajtahidu bira’yi” (aku akan berijtihad dengan
ra’yuku), yang kemudian dibenarkan oleh Rasulullah saw. Dengan
demikian sesungguhnya dapatlah ditegaskan bahwa berdasarkan firman
Allah SWT dalam Qs. an-Nisa’ (4) ayat 59 dan hadis Rasulullah saw,
yang berisi dialog Rasulullah saw dengan sahabat Mu’adz bin Jabal di
atas, sesungguhnya sumber-sumber ajaran Islam ada tiga macam, yaitu: al-
Qur’an, as-Sunnah dan ijtihad (ar-ra’yu). Tentu saja dengan catatan
bahwa keberadaan ijma’ (konsensus atau kesepakatan ulama’), yang
didasarkan pada penggalan ayat “uli al-amr minkum” (Ulil Amri di antara
kamu), dan qiyas (analogi), yang didasarkan pada penggalan ayat “fa’in
tanaza’tum fi sya’in farudduhu ila Allah wa ar-rasul” (jika kamu semua
berselisih pendapat tentang sesuatu maka kembalikan hal itu kepada Allah
dan Rasul), dari penggalan firman Allah dalam Qs. An-Nisa’ (4) ayat 59
itu, adalah merupakan bagian utama atau terpenting dari “ijtihad”, di
samping metode-metode ijtihad lainnya yang jumlah dan ragamnya masih
diperselisihkan di kalangan ulama’.

Pemposisian al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai sumber utama atau


pokok ajaran Islam di satu sisi, di mana al-Qur’an sebagai sumber utama
pertama dan as Sunnah sumber utama kedua, dan ijtihad atau ra’yu
merupakan sumber tambahan atau pelengkap di sisi lain, dapat dijelaskan
dari pemaknaan terhadap redaksi Qs. an-Nisa’ (4) ayat 59 tersebut di atas.
Menurut ulama’ tafsir, perintah taat kepada Allah dalam Qs. an-Nisa’ ayat
59 “athi’ullah” berarti perintah taat kepada alQur’an dengan
menjadikannya sebagai sumber dan pedoman ajaran Islam, dan
ditempatkannya lafad athi’ullah pada urutan “pertama”, mendahului
lainnya, menunjukkan bahwa al-Qur’an merupakan sumber “pertama”
(dan utama) ajaran Islam. Selanjutnya penempatan lafadh athi’urrasul
(perintah taat kepada Rasul), yang maknanya perintah menjadikan as-
Sunnah sebagai sumber ajaran Islam, pada urutan “kedua”, setelah
perintah taat kepada Allah menunjukkan bahwa asSunnah menempati
sumber “kedua” dari ajaran Islam setelah al-Qur’an. Dan karena perintah
taat kepada Allah dan Rasul didahului dengan athi’u (taatilah) maka
maknanya adalah bahwa ketaatan terhadap al-Qur’an dan as-Sunnah itu
merupakan suatu kewajiban yang bersifat mutlak bagi setiap umat Islam,
berlainan dengan ketaatan kepada ijtihad. Jika penyebutan al-Qur’an dan
as Sunnah dalam ayat tersebut didahului oleh perintah athi’u dan
sementara penyebutan ra’yu atau ijtihad tidak didahului oleh lafadz athi’u
menandakan bahwa ketaatan kepada Allah, yang berarti menjadikan al-
Qur’an sebagai pedoman, dan ketaatan kepada Rasul, yang berarti
ketaatan kepada sunnah, merupakan kewajiban bersifat mutlak, maka
ketaatan terhadap hasil ijtihad bersifat “kondisional”, bukan merupakan
suatu keharusan mutlak. Dan di sinilah sesungguhnya letak perbedaan
derajat ketaatan bagi umat Islam terhadap kitab alQur’an dan as-Sunnah
dengan ketaatan terhadap ijtihad.

Pengertian al-Qur’an Mengenai asal-usul sebutan atau nama al-


Qur’an, sumber utama dan pertama ajaran Islam, ada berbagai pandangan
yang berkembang di kalangan ulama’. Masjfuk Juhdi meringkaskan
keragaman pendapat ulama’ itu dengan penjelasan sebagai berikut ini.
Pertama, menurut as-Syafi’i (150-204 H). Bagi as-Syafi’i, kata al-Qur’an,
dituliskan dan dibaca tanpa hamzah (al-Quran), dan tak diambil dari kata
lain, adalah merupakan “sebutan khusus untuk menunjuk kitab suci yang
diwahyukan kepada nabi Muhammad saw”, seperti halnya kitab Injil dan
Taurat yang diwahyukan kepada nabi Isa as dan Musa as. Oleh karena itu,
kata as-Syafi’i, tidak perlu dibahas asal-usul kata al-Qur’an itu
dikarenakan keberadaannya ghair musytaq. Ditegaskan oleh al-Wahidi,
sebagai dirujuk azZarkasyi, bahwa pendapat as-Syafi’i ini didasarkan pada
hadis riwayat al-Baihaqi, dan kemudian pandangan seperti ini diikuti oleh
Ibn Katsir. Kedua, pendapat al Farra’ (w. 207 H). Menurut al-Farra’,
penulis kitab Ma’ani al-Qur’an, kata al Qur’an, adalah dituliskan dengan
tidak berhamzah (al-Quran), ia diambil dari kata qara’in, sebagai bentuk
jamak (plural) dari kata qarinah, mempunyai makna dasar sebagai
“indikator” atau “petunjuk”. Relevansi pemaknaan ini dikarenakan oleh
kenyataan bahwa sebagian ayat al-Qur’an memiliki keserupaan antara ayat
yang satu dengan ayat yang lain, sehingga sebagian ayat-ayatnya seolah-
olah menjadi indikator (petunjuk) dari apa yang dimaksud oleh ayat lain
yang serupa. Ketiga, pandangan al-Asy’ari (w. 324 H). Bagi al-Asy’ari,
kata al- Qur’an itu memang tidak berhamzah (al-Quran) dan secara
etimologis terambil dari kata qarana, artinya “menggabungkan” atau
“menghimpun”. Pemaknaan seperti ini didasarkan atas alasan bahwa
tampak begitu nyata keberadaan surat-surat dan ayat-ayat al-Qur’an itu
telah dihimpun dan digabung-gabungkan dalam sebuah mushaf sehingga
merupakan satu kesatuan yang utuh dan lengkap. Keempat, pendapat yang
dikemukakan oleh az-Zajjaj (w. 311 H). Menurut az-Zajjaj, kata alQur’an,
dituliskan dengan berhamzah (al-Qur’an), mengikuti wazan fu’lan, secara
etiomologi (bahasa) diambil dari kata al-qar’u yang berarti “menghimpun”
atau “mengumpulkan”. Teori pemaknaan demikian ini didasarkan pada
kenyataan bahwa kitab al-Qur’an itu memang merupakan kitab suci yang
keseluruhnan isinya telah menghimpun intisari atau pokok-pokok dari
ajaran-ajaran kitab suci yang diturunkan kepada para rasul sebelumnya.
Dan kelima, pendapat yang dikemukakan oleh al-Lihyani (w. 215 H).
Disampaikan oleh al-Lihyani, kata alQur’an dituliskan berhamzah (al-
Qur’an), dan secara bahasa merupakan mashdar dari qara’a berarti
“membaca”. Hanya saja kemudian dia memberikan penjelasan lanjutan
bahwa kata al-Qur’an sebagai mashdar dari qara’a itu adalah bermakna
isim maf’ul, sehingga kata al-Qur’an mestilah dimaknai sebagai maqru’,
artinya “yang dibaca”.

Berkaitan dengan pendapat ulama’ yang beragam sebagai


diuraikan di atas, Shubhi as-Shalih menyampaikan penilaian dan dapat
dianggap sebagai pendapat yang paling mamadai. Tentang masalah al-
Qur’an ini as-Shalih memberikan penegasan bahwa pandangan yang
paling tepat tentang masalah ini adalah pendapat yang mengatakan bahwa
“al-Qur’an adalah merupakan bentuk mashdar dan muradif dengan qira’ah
yang berarti “bacaan”. Dan kemudian pandangan as-Shalih seperti ini
mendapat dukungan luat dari sejumlah ulama’ yang datang lebih
terkemudian seperti az-Zamakhsyari (tokoh besar Mu’tajilah), penulis
kitab tafsir al-Kasyaf, dan bahkan kemudian sampai ia menyampaikan
pandangan bahwa sesungguhnnya shalat fajar disebut dengan qur’an an-
fajr.21 Pendapat semacam ini antara lain didasarkan kepada firman Allah
SWT dalam Qs. Al-Qiyamah ayat 17-18:

‫ فإذا قرأناه فا تّبع قرأ نه‬.‫إ ّن علينا جمعه و قرأ نه‬

Artinya: “Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di


dadamu) dan (membuatmu) pandai membacanya. Apabila Kami telah
selesai membacakannya, maka ikutilah bacaannya itu”.
Adapun pengertian al-Qur’an secara terminologis (istilah), ditemukan
adanya beberapa rumusan definisi yang disampaikan oleh ulama’. Di
antara rumusan definisi al-Qur’an dimaksud adalah sebagaimana nukilan
berikut ini: misalnya, ternyata tidak menyertakan padanya unsur
biwasithah jibril (dengan perantaraan malaikat Jibril), dan sesungguhnya
sisi inilah yang menjadi titik kelemahan rumusan definisi pertama.
Mengingat, al-Qur’an mestilah diwahyukan oleh Allah kepada nabi
Muhammad saw dengan perantaraan Jibril, meskipun ternyata tidak semua
yang diwahyukan Tuhan melalui Jibril mesti berwujud al-Qur’an.
Sedangkan sisi kelemahan pada rumusan definisi yang kedua, adalah
selain dikarenakan dalam definisi itu tidak disertakan unsur bi wasithah
Jibril (melalui malaikat Jibril) seperti halnya definisi pertama, juga
disebabkan oleh tidak disertakannya bahasa Arab sebagai salah satu unsur
pokok ke dalam rumusan definisi itu. Padahal yang dinamakan al-Qur’an
itu pastilah tulisannya berbentuk berbahasa Arab (Qs. Fushshilat: 3),
sehingga segala kitab tafsir dan terjemahan al-Qur’an dalam berbagai
bentuk bahasa apapun tidak layak dinamakan sebagai al-Qur’an. Dan
begitu pula rumusan definisi yang ketiga, di dalamnya tidak disertakan
bahasa Arab sebagai salah satu unsur substansialnya, dan sudah barang
tentu hal ini merupakan satu dimensi kekurangan yang inheren padanya.

Bertolak dari hasil analisis kritis sebagai diuraikan di atas,


selanjutnya dapatlah diberikan penegasan akhir sebagai kesimpulan bahwa
al-Qur’an adalah “kalamullah yang mu’jiz, yang diturunkan kepada nabi
Muhammad saw dengan perantaraan Jibril, dengan lafadz Arab, yang
ditulis dalam mashahif, yang membacanya dinilai sebagai ibadah,
diriwayatkan secara mutawatir”. Dengan merujuk kepada rumusan definisi
ini, maka selanjutnya dapatlah ditegaskan bahwa yang merupakan unsur-
unsur pokok yang mutlak harus terkandung dalam pengertian al-Qur’an
adalah meliputi hal-hal penting sebagai berikut ini :
 Al-Qur’an merupakan kalamullah (kalam Allah) yang memiliki
sifat mu’jiz (melemahkan dan atau mengalahkan lawan-lawannya).
Sebagai salah satu karakteristik al-Qur’an dan sekaligus sebagai
keistimewaannya, unsur ini menempati posisi penting sebagai
distingsi (pembeda) kitab suci al-Qur’an dengan hadis, di mana
sumber ajaran Islam yang disebutkan lebih belakangan ini sama
sekali tidak berkekuatan mu’jiz seperti halnya al-Qur’an.
 Al-Qur’an merupakan sebuah kitab suci yang khusus hanya
diwahyukan kepada nabi Muhammad saw. Tentu saja unsur pokok
ini mejadi penting juga sebagai salah satu karakteristik atau ciri
khusus yang menjadi distingsi (pembeda) al-Qur’an dengan
sejumlah kitab suci yang telah diturunkan oleh Allah kepada para
rasul sebelum nabi Muhammad saw.
 Metode pewahyuan al-Qur’an mestilah melalui atau dengan
perantaraan Jibril. Karakteristik metodologis pewahyuan al-Qur’an
ini penting ditonjolkan mengingat tidak ada satu ayat pun dari al-
Qur’an yang diwahyukan kepada nabi Muhammad saw dengan
tanpa melalui Jibril, meskipun harus secepatnya diberikan catatan
bahwa tidak semua yang diwahyukan oleh Allah melalui malaikat
Jibril mesti berwujud al-Qur’an
 Al-Qur’an adalah berhasa Arab, yang lafadz—dan tentu juga
maknanya— berasal langsung dari Allah. Tentu saja nilai penting
unsur ini adalah sebagai distingsi bersifat fundamental yang
membedakan al-Qur’an dengan asSunnah, yang meskipun as-
Sunnah itu juga merupakan wahyu Allah, tetapi hanyalah segi
maknanya saja yang berasal dari Allah SWT.
 Al-Qur’an merupakan kalamullah (kalam Allah) yang
eksistensinya sudah tertuliskan dalam mushaf. Unsur ini menjadi
penting dikemukakan untuk membedakan keberadaan al-Qur’an
sebagai kalam lafdhi dengan kalam Allah yang masih menyatu
atau inheren pada diri Allah yang biasanya diistilahkan sebagai
kalam nafsi.
 Al-Qur’an merupakan kalamullah (kalam Allah) yang
membacanya saja sudah dinilai sebagai ibadah (artinya, diberikan
pahala bagi pembacanya), meskipun yang bersangkutan tak sampai
memahami makna kandungnya. Keistimewaan al-Qur’an pada sisi
ini penting dikemukakan untuk membedakannya dengan as-
Sunnah yang membacanya saja, tanpa pemahaman maknanya,
tidak bernilai ibadah. Terkecuali sebagai ibadah menuntut ilmu,
misalnya, tentu saja ketika diniati oleh pelakunya untuk
kepentingan keilmuan agar lebih bisa memahami ajaran Islam.
 Al-Qur’an adalah merupakan kalamullah (kalam Allah) yang
kualitas periwayatannya mesti sampai pada derajat mutawatir.
Karakteristik kitab suci al-Qur’an semacam ini tentu menjadi
sangat urgen untuk disampaikan, khususnya dalam konteks untuk
kepentingan membedakan keberadaan alQur’an dengan as-Sunnah
yang bila ditinjau dari segi periwayatannya ternyata tidak seluruh
as-Sunnah mesti bersifat mutawatir, terkecuali hanya sebagian saja
darinya.

Selain sebutan atau nama al-Qur’an sebagai diuraikan di atas,


sebenarnya sejumlah ulama’ juga telah melabelkan beberapa sebutan
lain terhadap al-Qur’an dengan jumlah dan nama yang sangat
bervariasi, bahkan kadangkala ada kesan berlebihan. Abu Ma’ali
‘Uzaizi bin Abdul Malik, misalnya, dalam sebuah karyanya al-Burhan
menyampaikan penegasan bahwa Allah telah memberikan sebutan al-
Qur’an dengan tidak kurang dari 55 buah nama. Bahkan Abu Hasan
al-Harali menetapkan jumlah sebutan yang lebih banyak lagi dengan
mengatakan bahwa sesungguhanya ada lebih dari 90 nama untuk al-
Qur’an. Boleh jadi pendapat semacam ini sangat berlebihan,
mengingat di dalamnya telah terjadi pencampur-adukan antara nama
dan sifat al-Qur’an, yang mestinya harus dilakukan pemilihan dan
pemilahan antara keduanya. Tidak jarang yang semula diposisikan
sebagai nama-nama al-Qur’an ternyata belakangan diketahui hanyalah
sebagai sifat-sifat bagi al-Qur’an.

Adapun menyangkut nama-nama bagi alQur’an, di antara


pendapat yang lebih tepat untuk dijadikan pegangan adalah yang
disampaikan oleh az-Zuhaili yang menyatakan bahwa sesungguhnya
al-Qur’an mempunyai lima nama sebagai sebutan baginya, yakni al-
Qur’an, al-Kitab, alMushaf, an-Nur dan al-Furqan. Hanya saja
sebagaimana yang disampaikan oleh Subhi as-Shalih, bahwa di antara
kelima sebutan atau nama al-Qur’an tersebut sesungguhnya hanya
terdapat dua nama atau sebutan baginya yang paling terkenal yakni al-
Qur’an dan al-Kitab. Isi/Kandungan al-Qur’an Sebagai sebuah prinsip
mendasar bahwa seluruh umat Islam telah sepakat bahwa Islam yang
disampaikan oleh nabi Muhammad saw adalah merupakan agama
yang telah sempurna, dan bahkan sebagai yang paling sempurna. Atas
dasar ini kemudian ada sebagian pemikir Islam yang berpendapat
bahwa alQur’an telah menjelaskan segala-galanya, tak ada suatu pun
yang alpa darinya.
Relevan dengan pandangan seperti ini Rasyid Ridla pernah
mengatakan bahwa alQur’an mengandung semua ilmu pengetahuan
yang ada di alam kosmis ini.30 Dengan kata lain, al-Qur’an
merupakan kitab suci yang di dalamnya sudah dijelaskan sistem
perekonomian, politik, sosio-budaya, ilmu pengetahuan dan
seterusnya, sehingga tidak ada suatu pun yang terlupakan olehnya. Hal
ini didasarkan pada Qs. al-Ma’idah ayat 3:

‫أ ليوم أكمـلت لكم د ينكم وأ تممت عليكم نعمتي ورضيتـ لكم اإلسالم د‬
‫ينا‬
Artinya: “Hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan
telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridlai Islam itu
jadi agamamu”.

‫وما من دابة فى األرض وال طا ئر يطير بجنا حيه إا ّل أمم أمثا لكم ّم إلى ربّهم يحشرون ما‬
‫فّرطنا فى الكتا ب من شيء ث‬
Artinya: “.......Tidak Kami alpakan sesuatu pun dalam kitab al-
Qur’an, kemudian kmereka akan dikumpulkan di hadapan Tuhan
mereka”.

‫و يوم نبعث فى ك ّل أ ّمة شهيدا عليهم من أنفسهم وجئنا بك شهيدا على هؤالء ونّزلنا عليك الكتا ب‬
‫تبيا نا لك ّل شيئ وهدى ورحمة وبشرى للمسلمين‬
Artinya: “(Dan ingatlah) akan hari (ketika) Kami bangkitkan pada
tiap-tiap umat seorang saksi atas mereka dari mereka sendiri. Dan
Kami turunkan kepadamu al-Kitab (al-Qur’an) untuk menjelaskan
segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi
orang-orang yang berserah diri”.
Ayat-ayat di atas dan yang senada dengannya memang dapat
diartikan bahwa al-Qur’an adalah kitab yang sempurna isinya dalam
arti tidak ada sesuatu pun yang terlupakan dan segala-galanya telah
dijelaskan di dalamnya. Namun pernyataan semacam ini masih perlu
diklarifikasi dan dielaborasi lebih lanjut. Dalam konteks apa
pernyataan itu muncul? Ringkasnya, pendapat yang menyatakan
bahwa al-Qur’an telah menjelaskan seluruh aspek kehidupan manusia,
seperti sistem ekonomi, politik, perindustrian, ketatnegaraan, ilmu
pengetahuan dan seterusnya masih perlu dilakukan pengujian lebih
lanjut. Sebagai standarnya, antara lain adalah komposisi keseluruhan
ayat-ayat al-Qur’an beserta rincian isi kandungannya. Al-Qur’an
diturunkan Allah kepada Muhammad dalam rentang waktu sekitar 23
tahun, periode Makkah selama 13 tahun dan sisanya 10 tahun periode
Madinah. Jumlah ayat al-Qur’an seluruhnya ada 114, dan disepakati
bahwa 86 dari jumlah itu merupakan surat Makiyah dan 38 merupakan
surat Madaniyah. Apabila ditinjau dari segi jumlah ayat, al-Qur’an
memuat 6236 ayat, 4780 ayat atau 76,65 prosen dari padanya adalah
ayat-ayat Makiyah.31 Ayat-ayat Makiyah yang prosentasinya sekitar
tiga perempat dari seluruh isi al-Qur’an, isinya secara umum berupa
penjelasan mengenai keimanan, dan sedikit hal terkait dengannya.
Oleh karena itu logis kiranya sebagian besar penjelasannya adalah
mengenai Tuhan dan sifat-sifat-Nya, iman, kufr, islam, nifak, hidayah,
syirk, khair dan syarr, akhirat dan dunia, surga dan neraka, kitab-kitab
sebelum alQur’an, umat serta para nabi dan rasul sebelum Muhamad.

Adapun ajaran yang berkaitan dengan hidup bermasyarakat dan


bernegara terkandung dalam ayat-ayat Madaniyah, yakni ayat-ayat al-
Qur’an yang diturunkan pada paska hijrah Nabi Muhamad ke
Madinah. Karena pada periode Madinah itu keberadaan umat Islam
sudah merupakan suatu tatanan masyarakat yang sudah memiliki
wilayah, rakyat, pemerintahan, angkatan perang dan lembgalembaga
kemasyarakatan lainnya. Ayat-ayat Madaniyah berjumlah sekitar 1456
buah atau 23,35 prosen dari seluruh ayat al-Qur’an. Hanya saja perlu
ditegaskan bahwa tidak seluruh ayat Madaniyah yang berjumlah 1456
itu mengandung ketentuan-ketentuan hukum tentang hidup
kemasyarakatan umat Islam,33 ada juga sebagian kecil darinya yang
berbicara mengenai keimanan. Berikut ini adalah perkiraan komposisi
ayat al-Qur’an dan isinya. Ayat alQur’an yang memuat ketentuan
tentang iman, ibadah dan hidup kemasyarakatan kurang lebih hanya
ada 500 buah ayat atau 8 prosen dari keseluruhan ayat alQur’an. Dari
sejumlah itu, ayat-ayat mengenai ibadah ada 140, dan tentang hidup
kemasyarakatan ada 228 ayat, dan kemudian sisanya berisi tentang
keimanan. Menyangkut ayat-ayat mengenai hidup kemasyarakatan
yang berjumlah 228 itu, Wahab Khalaf memberikan rincian lebih
lanjut berikut ini:
1) hidup kekeluargaan, perkwinan, perceraian, hak waris dan
sebagainya ada 70 ayat;
2) hidup perdagangan/perekonomian, jual beli, sewa menyewa,
pinjam meminjam, gadai, perseroan, kontrak dan sebagainya
ada 70 ayat;
3) soal hukum pidana ada 30 ayat;
4) hubungan orang Islam dengan non muslim ada 25 ayat;
5) soal pengadilan ada 13 ayat;
6) hubungan orang kaya dengan orang miskin 10 ayat; dan
7) soal kenegaraan ada 10 buah ayat.
Masalah keuangan, perindustrian, pertanian dan sebagainya
tidak terdapat dalam teori rincian di atas. Memang betul dalam rincian
tersebut telah ada ayat-ayat mengenai kenegaraan, misalnya, tetapi
ayat-ayat itu tidak menjelaskan bentuk pemerintahan isalami yang
harus ditegakkan oleh seluruh umat Islam. Misalnya, apakah sistem
pemerintahan harus mengambil bentuk khilafah, kerajaan, republik
atau lainnya? Dalam konteks ini ayat-ayat tersebut hanya menjelaskan
dasar-dasar fundamental atau prinsip-prinsip dasar berupa fundamental
ideas yang harus dipegangi oleh seluruh umat Islam dalam pengaturan
negara. Salah satu prinsip fundamental itu adalah permusyawaratan,
sebagaimana ditegaskan dalam ayat “wa syawirhum fi al-amr”.
Musyawarah boleh dijalankan dalam berbagai bentuk pemerintahan,
sebagaimana telah teruji dalam sejarah panjang politik umat Islam.
Dan begitu pula masalah ekonomi, ayat-ayat al-Qur’an tidak
menetapkan sistem perekonomian yang mesti ditegakkan, apakah
model kapitalisme atau sosialisme; dalam hal ini yang dijelaskan
olehnya hanya sejumlah prinsip dasar yang harus ditegakkan dalam
tatanan perkeonomian islam, diantaranya adalah haramnya riba dan
wajibnya keadilan dilaksanakan.

Dengan dasar uraian di atas kiranya dapat dipahami bahwa


sesungguhnya al-Qur’an tidak memberikan ketetapan tentang berbagai
sistem dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Di dalam al-Qur’an
belum ditetapkan sistem kenegaraan, sistem perekonomian, sistem
keuangan, sistem hidup bermasyarakat, perindustrian, pertanian dan
sebagainya yang harus ditegakkan oleh umat Islam. Yang ditetapkan
oleh al-Qur’an hanya dasar-dasar dan patokan-patokan umum semata,
dan di atas dasar-dasar umum itulah kemudian umat Islam mengatur
hidup kemasyarakatannya, sehingga muncul sistem pemerintahan
Islam, ekonomi, keuangan, dan sistem masarakat Islam. Ringkasnya,
meski al-Qur’an tidak mengandung sistem ekonomi, kenegaraan,
keuangan dan sebagainya, hal ini bukan berarti ekonomi, masyarakat,
politik Islam dan sebagainya tidak terdapat dalam al-Qur’an. Semua
sistem ini telah ada, hanya saja bukanlah merupakan doktrin absolut
yang tidak dapat berubah menurut perkembangan zaman, semua
sistem itu merupakan hasil ijtihad dan karenanya lebih merupakan
hasil pikiran manusia, sehingga ia dapat berubah dan dirubah. Hanya
saja dalam perubahan itu dimensi prinsip dasarnya yang terdapat di
dalam al-Qur’an tidak boleh dilupakan dan tidak boleh dirubah,
patokan-patokan itu harus tetap dijadikan pegangan.

Pemahaman seperti ini relevan dengan semangat hadis “kalian


lebih mengetahui soal-soal hidup keduniaanmu” (antum a’lam bi umur
dunyakum), dan jelas hidup kemasyarakatan lebih sebagai persoalan
keduniaan. Ada hikmah agung terkait dengan konsep doktrinal di atas.
Masyarakat secara sosiologis memiliki karakter dasar dinamis,
berubah dan berkembang sejalan dengan tuntutan zaman. Sementara
peraturan dan hukum memiliki efek mengikat. Oleh karena itu kalau
peraturan dan hukum absolut berjumlah banyak dan terinci, maka
dinamika masyarakat yang diaturnya tentu akan menjadi terikat
olehnya, sehingga menjadi statis. Agar masyarakat menjadi dinamis,
maka ayatayat yang mengaturnya jangan begitu banyak jumlahnya
terkecuali menyangkut dasar-dasar pokoknya.

Dengan kata lain, dalam masalah ini nampaknya Tuhan


menyerahkan kepada akal manusia untuk mengaturnya, sesuai dengan
ayat-ayat yang mendasarinya yang berjumlah hanya sedikit lagi global,
tidak bersifat terinci. Di sinilah telak hikmah mengapa ayat-ayat al-
Qur’an tidak banyak membicarakan masalah hidup kemasyarakatan
manusia. Adapun mengenai ilmu pengetahuan, fenomena alam
memang disinggung oleh al-Qur’an, yang menurut perkiraan ahli
berjumlah sekitar 50 ayat. Ayat ayat yang biasa dinamakan ayat
kauniyah ini, pada dasarnya memuat perintah dan dorongan kepada
manusia agar memperhatikan dan memikirkan alam sekitar. Sebab
dengan memperhatikan fenomena sekitarnya, manusia akan sampai
kepada kesimpulan bahwa fenomena-fenomena yang tedapat di alam
semesta tidaklah terjadi dengan sendirinya, melainkan mesti
diciptakan dan digerakkan oleh dzat yang berada di balik alam ini
yakni Tuhan. Dengan kata lain, perenungan terhadap alam akan
mengakibatkan iman manusia menjadi semakin kokoh. Inilah tujuan
sebenarnya dari ayat-ayat kauniah.

Selain hal di atas penyebutan ayat kauniyah tidaklah diikuti


oleh penjelasan terinci mengenai proses kejadiannya, dan proses itu
hendaknya diusahakan oleh fikiran manusia. Kalau memang demikian
maka kurang begitu tepat untuk dikatakan bahwa al-Qur’an itu telah
membahas dan menjelaskan ilmu pengetahuan. Sebagaimana
ditegaskan oleh Harun Nasution, yang tepat harus dikatakan bahwa
ada diantara ayat-ayat al-Qur’an yang menyebut fenomena alam, yang
mana ia juga menjadi objek kajian ilmu pengetahuan, dan memang
ilmu pengetahuan lebih merupakan hasil pemikiran manusia tentang
fenomena alam dengan menggunakan metode ilmiah. Oleh karena
tepat apa yang disampaikan oleh Moh. Abduh bahwa al-Qur’an
merupakan buku yang paling tidak ilmiah, meski di dalamnya
disinggung fenomena alam yang juga menjadi bahasan ilmu
pengetahuan. Dalam hal ini al-Qur’an lebih merupakan kitab petunjuk
kehidupan yang berlaku sepanjang masa. Dan begitu pula mengenai
teknologi Kalau makna yang terkandung dalam istilah teknologi
adalah cara melakukan seuatu untuk memenuhi kebutuhan manusia
dengan bantuan alat dan akal, maka al-Qur’an dalam penyebutan kisah
umat terdahulu juga menyinggung hal-hal yang berhubungan dengan
teknologi.

Tetapi hal demikian bukanlah berarti al-Qur’an membahas soal


teknologi, apalagi teknologi modern. al-Qur’an pada dasarnya
merupakan buku petunjuk dan pegangan keagamaan, dan dalam
penjelasan mengenai petunjuk dan pegangan itu al-Qur’an menyebut
hal-hal yang ada hubungnnya dengan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Uraian di atas menggambarkan betapa pandangan yang mengatakan
bahwa al-Qur’an sudah mengandung segala-galanya adalah kurang
tepat. Al-Qur’an tidak menguraikan sistem ekonomi, politik, ilmu
pengetahuan dan teknologi. Al-Qur’an hanya memuat penjelasan
dasar-dasar pokoknya saja, dan juga fenomenafenomena alam yang
ada hubungannya dengan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kalau
demikian halnya, tiada ayat al-Qur’an yang biasa dijadikan rujukan
untuk alasan kelengkapan isi al-Qur’an yakni Qs. al-Ma’idah ayat 3;
al-An’am ayat 38 dan an-Nahl ayat 89 perlu ditelusuri kembali makna
kandungannya di dalam berbagai literatur kitab tafsir. Yang pertama
adalah Qs. al-Ma’idah ayat 3 “al-yaum akmaltu lakum dinakum….”.
Dengan mengutip dari Ibn Abbas, Ibn Katsir mengatakan bahwa
menurut Ali bin Abi Thalib yang dimaksud oleh ayat ini adalah “iman
telah disempurnakan, tidak perlu ada tambahan lagi dan tidak pula
akan dikurangi”. Sementara itu az-Zamakhsyari menjelaskan bahwa
kata akmal dalam ayat itu bermakna melindungi yakni Aku (Allah)
melindungi dari musuh, sehingga kamu mencapai kemenangan dan
musuh mengalami kekalahan. Mungkin juga kata azZamakhsyari ayat
itu berarti Tuhan pada hari itu telah menyempurnakan apa yang
diperlukan manusia tentang yang halal dan haram.

Sehingga sebagaimana dikatakan Asbat, bahwa sesudah itu


tidak pernah lagi turun apa yang dihalalkan dan apa yang diharamkan.
Menurut Rasyid Ridla, dengan menukil penjelasan Ibn Jarir, bahwa
yang dimaksudkan dengan penyempurnaan agama dalam ayat ini
adalah perginya kaum musyrikin dari Makah dan sucinya kota itu bagi
umat Islam, sehingga dalam pelaksanaan haji tidak terdapat kaum
musyrikin di kalangan umat Islam di Makah. Menurut al-Baidlawi,
yang dimaksudkan dengan penyempurnaan agama adalah kemenangan
yang membuat agama Islam berada di atas agama-agama lainnya.
Rasyid Ridla sendiri berpendapat bahwa bahwa yang dimaksudkan
oleh ayat itu adalah penyempurnan iman, hukum, budi pakerti, ibadah
dengan terperinci dan muamalah dalam garis besar.

Sedangkan ayat kedua (Qs. al-An’am 38) membicarakan


tenang binatang di bumi dan di langit dan dalam konteks inilah
penjelasan datan bahwa Tuhan tidak melupakan suatu apa pun di
dalam al-kitab. Oleh karena itu Ibn Katsir dalam tafsirnya menjelaskan
bahwa Tuhan mengetahui semua binatang, tidak lupa memberikan
rizki kepadanya, baik di bumi maupun di langit. Selanjutnya ia
mengutip ayat lain untuk memperkuat tarsir di atas “tidak ada suatu
binatang pun di bumi yang rizkinya tidak tergantung pada Allah, dan
Tuhan mengetahui tempat istirahat serta tempat perbekalannya;
semuanya disebut dalam al-kitab dengan nyata”. Sementara az-
Zamakhsyari menjelaskan yang dimaksud dengan al-Kitab dalam ayat
ini bukanlah al-Qur’an tetapi laukh makhfudh yang ada di langit.
Penafsiran semacam ini dimungkinkan sebab menurut Rasyid Ridla,
sebutan al kitab itu mengandung berbagai arti yakni laukh makhfudh,
umm al-kitab dalam induk al-Qur’an, ilmu Tuhan yang mencakup
segala-galanya, dan juga berarti al Qur’an. Jika yang dimaksudkan al-
kitab ayat ini adalah laukh makhfudh atau umm al-kitab apalagi ilmu
Tuhan, maka jelas itu mesti mengandung segala-galanya. Tetapi kalau
yang dimaksud olehnya adalah al-Qur’an, makna yang dikandung
olehnya ialah soal-soal agama secara umum. Dengan demikian arti
yang terkandung di dalam kitab itu adalah “tidak Kami lupakan di
dalamnya soal-soal hidayah yakni dasar-dasar agama, pegangan-
pegangan, hukum-hukum, petunjuk tentang pemakaian daya jasmani
serta daya akal nntuk kemaslahatan manusia.

Selanjutnya mengenai ayat 89 Qs. an-Nahl, al-Mujahid


menafsirkan dengan “semua yang halal dan semua yang haram”.
Pemaknaan ini relevan dengan pedapat az-Zamakhsyari yang
menerangkan bahwa yang dimaksudkan adalah “segalanya mengenai
soal agama, dan itu pun dengan bantuan sunah nabi, ijma’, qiyas dan
ijtihad. Dengan demikian semakin jelas bahwa pendapat yang
mengatakan al-Qur’an mencakup segala-galanya dan menjelaskan
segala-galanya, termasuk di dalamnya sistem hidup kemasyarakatan
manusia, ilmu pengetahuan dan teknologi modern, tidak dapat
diterima dan kurang beralasan. Yang benar adalah bahwa dari 6236
ayat al-Qur’an ternyata hanya kurang dari 500 ayat yang mengandung
ketentuan-ketentuan tentang iman, ibadah dan hidup kemasyarakatan
manusia. Dan kurang lebih ada 150 ayat al-Qur’an yang mengandung
penjelasan tentang hal-hal yang ada kaitannya dengan ilmu
pengetahuan dan fenomena alam. Sejalan dengan dasar pemikiran
sebagaimana telah dijelaskan di atas, Harun Nasution membagi ayat-
ayat al-Qur’an—sesuai dengan kandungannya—menjadi sembilan
bagian yakni:

(1) ayat-ayat mengenai dasar-dasar keyakinan, yang dari situ


kemudian lahir teologi Islam;

(2) ayat-ayat yang mengenai soal hukum yang kemudian melahirkan


ilmu hukum Islam atau fikih;

(3) ayat-ayat mengenai soal pengabdian kepada Tuhan yang membawa


ketentuan-ketentuan tentang ibadah dalam Islam;
(4) ayat-ayat mengenai budi pakerti luhur yang melahirkan etika
Islam;
(5) ayat-ayat mengenai dekat dan rapatnya hubungan manusia dengan
Tuhan yang kemudia melahirkan mistisime datau tasawuf dalam
Islam;
(6) ayat-ayat mengenai tanda-tanda dalam alam yang menunjukkan
adanya Tuhan, yang membicarakan soal kejadian alam di sekitar
manusia. Ayat-ayat yang serupa ini menumbuhkan emikiran filosofis
dalam Islam;
(7) ayat-ayat mengenai hubungan golongan kaya dengan miskin dan
ini membawa pada ajaran sosiologis dalam Islam:
(8) ayat-ayat yang ada hubungannya dengan sejarah terutama
mengenai nabi-nabi dan umat mereka, sebelum Muhamad dan umat
lainnya yang hancur karena keangkuhan mereka. Dari ayat ini dapat
diambil pelajaran dan
(9) ayat-ayat mengenai hal-hal lainnya. Selain itu terdapat pula
pendapat yang menyatakan bahwa al-Qur’an itu pada dasarnya
mengandung pesan-pesan sebagai berikut: (1) masalah tauhid,
termasuk kepercayaan terhadap yang gaib; (2) masalah ibadah yakni
pengabdian kepada Tuhan; (3) masalah janji dan ancaman; (4) jalan
menuju kebahagiaan dunia dan akhirat, berupa ketentuan-ketentuan
dan aturanaturan yang hendaknya dipenuhi agar mendapatkan ridla
Allah; (5) riwayat atau cerita, yakni sejarah orang-orang terdahulu
baik sejarah bangsa-bangsa, tkokhtokoh tertentu maupun para nabi dan
rasul.

2. Urgensi Mata Kuliah Pengantar Studi Islam Bagi Calon Guru Agama.
Saat ini umat islam sedang dalam menghadapi tantangan dari
kehidupan dunia dan budaya yang modern, studi islam menjadi sangat urgen
pada zaman sekarang ini. Studi islam dituntut agar membuka diri terhadap
masuknya hal-hal barat dan digunakannya pendekatan-pendekatan yang
sifatnya objektif serta rasional.1 maka secara tahap-demi tahap, study islam
akan meninggalkan pendekatan yang bersifat subjektif-doktriner. Apalagi saat
ini hampir semua ilmu berkembang. Pastinya akan sangat berpengaruh dengan
studi islam sendiri. Dengan merubah pendekatan, diharapkan studi islam akan
berkembang dan akan dapat beradaptasi dengan dunia modern dan agar
mampu menjawab tantangan kehidupan dunia dan budaya modern ini.2

Tetapi sebelum menuju kepada studi islam sendiri, kita harus


mengetahui jalan menuju studi islam itu. Di mana jalan itu akan memberikan
kita gambaran tentang apakah studi islam itu?. Dengan pengantar lah kita
1
Muhaimin, dkk., Studi Islam Dalam Ragam Dimensi Dan Pendekatan (Jakarta: Kencana, 2017) 3.
2
Ibid.
akan memperoleh gambaran tentang studi islam yang banyak orang lupa.
Terkadang orang langsung kepada intinya, tanpa mengetahui gambaran
sebelum masuk di inti tersebut. Padahal gambaran tersebut bisa
mempermudah pemahaman kita sebelum kepada materi inti yang dalam.
Maka pengantar sangat penting untuk memahamkan kita , untuk bahan kita
sebelum kita mempelajari seluk beluk tentang studi islam. Berikut hal-hal
terkait urgensi pengantar studi islam.

a. Pengertian Studi Islam

Istilah studi islam sendiri berasal dari bahasa Inggris, yaitu


Islamic Studies. Dalam bahasa Arab disebut Dirasat al-Islamiyah.
Secara sederhana studi islam itu adalah kajian tentang seluk beluk
agama islam. Terkadang para ahli itu berbeda-beda dalam menafsirkan
kalimat studi islam. Hal ini wajar karena sebuah istilah itu memiliki
makna sesuai penafsiran mereka yang menafsirkannya. 3 Karena
penafsiran itu mempunyai latar belakang studi, bidang keilmuan,
pengalaman dan berbagai perbedaan-perbedaan lainnya, sehingga hasil
pemaknaannya berbeda.

Studi islam adalah gabungan dari dua kata, yakni studi dan
islam. Studi merupakan suatu kegiatan yang secara sengaja dilakukan
dengan maksud memperoleh keterangan, mencapai kepada
pemahaman yang lebih besar, atau meningkatkan sebuah keterampilan.
Sedangkan kata islam berasal dari bahasa Arab aslama-yuslimu-
islaman yang berarti tunduk, patuh, berserah diri. Maka studi islam
adalah kegiatan, yakni suatu kajian tentang hal-hal yang berkaitan
dengan islam.

3
Umi Hani, Pengantar Studi Islam (Banjarmasin: Uniska, 2022) 6.
Agama islam tidak hanya dipelajari oleh kaum muslim saja,
tetapi di barat, agama islam dipelajari oleh kaum non muslim
(orientalis barat).4 Kaum orientalis ada yang mempeajari dengan
benar-benar ingin tahu agama islam itu bagaimana, ada juga yang
mempelajarinya hanya ingin menjatuhkan, mencari kesalahan-
kesalahan agama islam. Karena pada awalnya kaum orientalis, mereka
melakukan studi tentang dunia Timur, yang mengarah pada
kekurangan-kekurangan dan kelemahan-kelemahan ajaran agama
Islam dan praktik-praktik ajaran agama islam dalam kehidupan sehari-
harinya. Tetapi pada akhir-akhir ini banyak para orientalis yang
berpandangan onjektif dan ilmiah terhadap agama islam.

Sejarah sudah menunjukkan bahwa pendekatan studi islam


yang medominasi di kalangan umat islam adalah bersifat subjektif dan
doktriner,5 dan menutup diri dari pendekatan yang dilakukan kaum
non islam yang sifatnya objektif dan rasional. Kerana pendekatan
subjektif dan doktriner, ajaran agama islam yang sumbernya dari Al-
Qur’an dan Hadi>th yang aslinya bersifat objektif dan rasional telah
menjadi ajaran yang kaku dengan tuntutan perubahan dan
perkembangan zaman.6

Tentunya, studi islam di kalangan umat islam sangat berbeda


dengan kaum non islam. Dikalangan umat islam sendiri, studi islam itu
bertujuan untuk memahami serta mendalami ajaran agama islam agar
mereka mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari dengan benar.
Sedangkan kaum non islam, studi islam bertujuan untuk mempelajari

4
Umi Hani, Pengantar Studi Islam (Banjarmasin: Uniska, 2022) 7.
5
Ibid.
6
Ibid.
seluk beluk agama islam dan praktiknya dalam kehidupan semata-
mata sebagai ilmu pengetahuan saja.7

Untuk itu, studi islam di perguruan tinggi dikaji dengan


berbagai pendekatan. Tujuannya agar islam dapat mengikuti
perkembangan zaman serta agama islam berkembang ditengah
gempuran dunia barat.

Studi islam dalam kajian keislaman diarahkan pada tiga hal,


yakni sebagai berikut:8

1) Islam yang berciri khas pada ketundukan.


2) Islam yang diartikan mengarah pada keselamatan dunia dan
akhirat.
3) Islam yang penuh dengan kedamaiaan. Sebagaimana Al-
Qur’an surat Al-Anfal ayat 61:

۟ ‫َوِإن َجنَح‬
‫ُوا لِلس َّْل ِم فَٱجْ نَحْ لَهَا َوت ََو َّك ْـل َعلَى ٱهَّلل ِ ۚ ِإنَّ ۥهُ هُ َو ٱل َّس ِمي ُع ْٱل َعلِي ُم‬
Artinya: “Dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka
condonglah kepadanya dan bertawakkallah kepada Allah.
Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui.”
Tafsir pada kementrian agama:
jika mereka atau sebagian dari orang-orang kafir itu
condong kepada perdamaian, maka terimalah, sebab bukan
perang itu sendiri yang dikehendaki islam, dan untuk
menguatkan mental kalian dari kemungkinan munculnya

7
Umi Hani, Pengantar Studi Islam (Banjarmasin: Uniska, 2022) 7.
8
Ibid., 6.
pengkhianatan di balik perdamaian tersebut, maka
bertawakAllah kepada Allah, serahkan seluruh urusan kepada-
Nya setelah berusaha sekuat tenaga. Sungguh, dia maha
mendengar segala bentuk percakapan mereka, maha
mengetahui apa saja yang mereka rencanakan atas kalian, dan
Allah pasti akan membela kalian. Dan jika mereka, orang-
orang kafir, hendak menipumu dengan bersikap baik dan
seolah-olah cenderung kepada perdamaian, maka
sesungguhnya cukuplah Allah menjadi pelindung bagimu.
Ayat tersebut sudah jelas menjelaskan bahwa agama islam itu
adalah agama yang damai

b. Objek Kajian Studi Islam

Al-Qur’an menyebut islam dengan Di>n.9 kata Al-Di>n


mengandung arti keadaan berhutang, menaklukkan diri menurut
perintah, dan menjadikan diri untuk lebih bersifat keinsanan. Artinya
kita berhutang diri, budi, dan daya kepada Allah SWT.10

Agama islam sangat berkaitan dengan 3 elemen dasar. Yakni


pondasi dari agama islam. Tiga elemen tersebut saling melengkapi
satu sama lain, agar mencapai keyakinan di dalam hati, pengikraran
dengan lisan, serta pembuktian dengan amal-amal sholeh kita.11

Tiga elemen dasar itu adalah aqidah, syari’ah, dan akhlak.


Sebagaimana yang terdapat pada hadi>th Jibril:
9
Hammis Syafaq, Pengantar Studi Islam (Surabaya: Nuwailah Ahsana, 2021), 33.
10
Ibid. 34.
11
Ibid. 34.
‫ض َي هللاُ َع ْنهُ َأ ْيضًا قَا َل ‪ :‬بَ ْينَ َمــا نَحْ نُ ُجلُــوْ سٌ ِع ْنـ َد َر ُسـوْ ِل هللاِ‬ ‫ع َْن ُع َم َر َر ِ‬
‫ب َش ـ ِد ْي ُد َس ـ َوا ِـد‬ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّمـ َذاتَ يَوْ ٍم ِإ ْذ طَلَ َع َعلَ ْينَا َر ُج ٌل َش ِد ْي ُد بَيَ ِ‬
‫اض الثِّيَا ِ‬ ‫َ‬
‫صـلَّى‬ ‫س ِإلَى النَّبِ ِّي َ‬ ‫ْرفُـهُ ِمنَّا َأ َحـ ٌد‪َ ,‬حتَّى َجلَ َ‬‫السـفَ ِر َوالَ يَع ِ‬‫ْر‪ ,‬الَ يُ َرى َعلَ ْي ِه َأثَ ُر َّ‬ ‫ال َّشع ِ‬
‫ـال ‪ :‬يَـا‬ ‫هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّم‪ ,‬فَأ ْسنَ َـد ُر ْكبَتَ ْي ِه ِإلَى ُر ْكبَتَيْـ ِه‪َ ,‬و َو َ‬
‫ضـ َـع َكفَّيْـ ِه َعلَى فَ ِخ َذيْـ ِه‪َ ,‬و قَ َ‬
‫صـلَّى هللاُ َعلَ ْيـ ِه َو َسـلَّم ‪ :‬اَِإل ْسـالَ ُم َأ ْن‬‫ُم َح َّم ُد َأ ْخبِرْ نِ ْي َع ِن اِإل ْسالَ ِم‪ ,‬فَقَا َل َر ُسـوْ ُل هللاِ َ‬
‫ت َْش ـهَ َد َأ ْن الَِإ لَــهَ ِإالَّ هللاُ َو َأ َّن ُم َح َّمدًا َر ُســوْ ُـل هللاِ‪َ ,‬وتُقِ ْي ُم َّ‬
‫الصــالَةَ‪َ ,‬وتُــْؤ تِ َي ال َّز َكــاةَ‪,‬‬
‫ت‪ .‬فَ َع ِج ْبنَــا لَ ـهُ‬‫ص َد ْق ُ‬‫ضانَ ‪َ ,‬وتَ ُح َّج ْالبَيْتَ ِإ ِن ا ْستَطَعْتَ ِإلَ ْي ِه َسبِ ْيالً‪ .‬قَا َل ‪َ :‬‬ ‫َوتَصُوْ َم َر َم َ‬
‫ـال ‪ :‬فَـَأ ْخبِرْ نِ ْي َع ِن اِإل ْي َمــا ِن‪ ,‬قَــا َل ‪َ :‬أ ْن بِاهللِ‪َ ,‬و َمالَِئ َكتِـ ِه‪َ ,‬و ُكتُبِـ ِه‪,‬‬ ‫يَسَْئلُهُ َوي َ‬
‫ُصـ ِّدقُهُ‪ .‬قَـ َ‬
‫ص ـ َد ْقتَ ‪ .‬قَـ َ‬
‫ـال ‪:‬‬ ‫ـر ِه َو َش ـ ِّر ِه‪ .‬قَــا َل ‪َ :‬‬ ‫ـر‪َ ,‬و تُ ـْؤ ِمنَ بِ ْالقَ ـ ْد ِر َخ ْيـ ِ‬ ‫ُس ـلِ ِه‪َ ,‬و ْاليَــوْ ِـم ِ‬
‫اآلخـ ِ‬ ‫َور ُ‬
‫فََأ ْخبِرْ نِ ْـي ع َِن اِإل حْ َسا ِن‪ ,‬قَا َل ‪َ :‬أ ْن تَ ْعبُ َد هللاَ َكَأنَّكَ تَ َراهُ فَـِإ ْن لَ ْم تَ ُك ْن ت َ‬
‫َـراهُ فَِإنَّهُ يَ َ‬
‫ـراكَ‪.‬‬
‫السـاِئ ِل‪ .‬قَـ َ‬
‫ـال ‪:‬‬ ‫السـا َع ِة قَــا َل ‪َ :‬مــا ْال َم ْسـُؤ وْ ُـل َع ْنهَــا بِـَأ ْعلَ َم ِمنَ َّ‬
‫قَا َل ‪ :‬فَـَأ ْخبِرْ نِ ْـي ع َِن َّ‬
‫ـراةَ ْال َعالَـةَ‬
‫فََأ ْخبِرْ نِ ْي ع َْن َأ َما َراتِهَا‪,‬ـ قَا َل ‪َ :‬أ ْن تَلِ َد اَأل َمةُ َربَّتَهَـا‪,‬ـ َوَأ ْن تَـ َرى ْال ُحفَـاةَ ْال ُعـ َ‬
‫ت َملِيًّا‪ ,‬ثُ َّم قَا َل ‪ :‬يَا ُع َمرُ‪َ ,‬أتَ ْد ِريْ‬ ‫اولُوْ نَ فِ ْي ْالبُ ْنيَا ِن‪ ,‬ثم اَ ْنطَلَقَ‪ ,‬فَلَبِ ْث ُ‬
‫ِرعَا َء ال َّشا ِء يَتَطَ َ‬
‫ت ‪ :‬هللاُ َو َرسُوْ لُهُ َأ ْعلَ ُم‪ .‬قَا َل ‪ :‬فَِإنَّهُ ِجب ِْر ْي ُل َأتَا ُك ْم يُ َعلِّ ُم ُك ْم ِد ْينَ ُك ْم‪.‬ـ َر َواهُ‬ ‫َم ِن السَّاِئل؟ قُ ْل ُ‬
‫ُم ْسلِ ٌم‬

‫‪Artinya: “Dari Umar bin Khaththab Radhiyallahu anhu‬‬


‫‪berkata: “Suatu ketika, kami (Para Sahabat) duduk di dekat Rasululah‬‬
‫‪Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tiba-tiba muncul kepada kami seorang‬‬
‫‪lelaki mengenakan pakaian yang sangat putih dan berambut sangat‬‬
‫‪hitam, tak terlihat padanya tanda-tanda bekas perjalanan, dan tak ada‬‬
‫‪seorang pun di antara kami yang mengenalnya. Ia segera duduk di‬‬
‫‪hadapan Nabi, lalu lututnya disandarkan kepada lutut Nabi dan ia‬‬
‫‪letakkan kedua tangannya di atas kedua pahanya. Selanjutnya ia‬‬
‫‪berkata : “Ya Muhammad, beritahulah aku tentang Islam.”. Rasulullah‬‬
‫‪Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Islam adalah engkau‬‬
bersaksi tidak ada yang berhak disembah dengan benar melainkan
hanya Allah, dan sesungguhnya Muhammad adalah Rasul Allah;
engkau menegakkan shalat; engkau menunaikan zakat; engkau
berpuasa di bulan Ramadhan, dan engkau menunaikan haji ke
Baitullah, jika engkau telah mampu melakukannya,”. Lelaki itu
berkata, “Engkau benar”, maka kami heran, ia yang bertanya ia pula
yang membenarkannya. Kemudian ia bertanya lagi: “Beritahukan
kepadaku tentang Iman”. Nabi menjawab, “Iman adalah engkau
beriman kepada Allah, malaikat-malikat Nya, kitab-kitab Nya, para
Rasul Nya, hari Akhir, dan engkau beriman kepada takdir Allah yang
baik dan yang buruk”. Ia berkata, “Engkau benar”. Dia bertanya lagi:
“Beritahukan kepadaku tentang ihsan”. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam menjawab, “Engkau beribadah kepada Allah seakan-akan
engkau melihatNya. Kalaupun engkau tidak melihatNya, yakinlah
bahwa sesungguhnya Dia melihatmu.”. Lelaki itu berkata lagi :
“Beritahukan kepadaku kapan terjadi Kiamat?”. Nabi
menjawab,”Yang ditanya tidaklah lebih tahu daripada yang bertanya.”.
Dia pun bertanya lagi : “Beritahukan kepadaku tentang tanda-
tandanya!”. Nabi menjawab, “Jika seorang budak wanita telah
melahirkan tuannya; jika engkau melihat orang yang bertelanjang kaki,
tanpa memakai baju, miskin papa, serta pengembala kambing telah
saling berlomba dalam mendirikan bangunan megah yang menjulang
tinggi.”. Kemudian lelaki tersebut segera pergi. Aku pun memendam
hal tersebut beberapa lama, hingga Nabi bertanya kepadaku : “Wahai
Umar, tahukah engkau, siapa yang beberapa waktu lalu bertanya
itu ?”. Aku menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui,”.
Beliau bersabda, “Dia adalah Jibril yang mengajarkan kalian tentang
agama kalian.” [HR Muslim]
Dari hadits di atas dapat difahami bahwa pondasi agama islam
adalah islam, iman, dan ihsan. Islam melahirkan yang namanya
syari’ah, iman menghasilkan aqidah, dan ihsan menghasilkan yang
namanya akhlak. Ketiga hal itulah yang menjadi objek bahasan studi
islam.12

1) Aqidah

Aqidah berasal adari kata bahasa Arab. Yaitu a’qada-


ya’qidu-aqdan-aqidatan, yang berarti simpul, ikatan, perjanjian
yang kokoh. Setelah menjadi aqdan, maka keyakinan yang
kokoh di dalam hati, yang mengikat, serta mengandung
perjanjian. Pengertian aqidah secara istilah, ialah perkara yang
wajb dibenarkan oleh haati, yang menjadi suatu kenyataan,
tanpa tercampuri keraguaan apapun.

Hasan Al-Banna mendefinisikan, aqidah ialah beberapa


perkara yang wajib di yakini kebenaraannnya oleh hati,
mendatangkan ketentraman jiwa, serta menjadi keyakinan
tanpa tercampurnya sdikitpun dengan keraguan.13 Abu Bakar
Al-Jazairy mengatakan, aqidah merupakan sejumlah kebenaran
yang dapat diterima secara umum oleh akal, wahyu, serta
fitrah. Kemudian, Mahmud Syaltut, mantan Rektor al-Azhar
Mesir, mengartikan akidah, yakni suatu sistem kepercayaan
dalam Islam, diyakini sebelum apapun dan sebelum melakukan

12
Hammis Syafaq, Pengantar Studi Islam (Surabaya: Nuwailah Ahsana, 2021), 34.
13
Ibid. 35.
apapun, tanpa ada keraguan sedikitpun dan tanpa ada unsur
yang mengganggu kebersihan keyakinannya itu.14

Menurut ulama’ Yusuf al-Qardlawi berikut beberapa


prinsip akidah, di antaranya adalah:

1. Tidak boleh bercampur sedikitpun dengan keraguan.

2. Mendatangkan ketenteraman jiwa.

3. Menolak segala sesuatu yang bertentangan dengan


kebenaran.

Adapun terkait ruang lingkup aqidah yaitu:15

1. Ilahiyat, yaitu pembahasan terkait segala sesuatu yang


berhubungan dengan Allah swt, seperti wujud Allah swt,
sifat-sifat Allah swt, perbuatan Allah swt dan lain-lain.

2. Nubuwat, yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang


berkaitan dengan Nabi dan Rasul, termasuk pembahasan
tentang Kitab-Kitab Allah swt, mu'jizat, dan lain sebagainya.

3. Ruhaniyat, yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang


berkesinambungan dengan alam metafisik seperti Malaikat,
Jin, Iblis, Syaitan, Roh dan lain sebagainya.

4. Sam'iyyat, yaitu pembahahasan tentang segala sesuatu yang


hanya bisa diketahui lewat dalil naqli berupa al-Quran dan

14
Ibid. 36.
15
Hammis Syafaq, Pengantar Studi Islam (Surabaya: Nuwailah Ahsana, 2021), 38.
Sunnah, seperti alam barzakh, akhirat, azab kubur,
tandatanda kiamat, surga-neraka dan lainnya.

2) Syari’ah
Syari’ah merupakan kumpulan norma-norma hukum
yang merupakan hasil dari proses tasyri’.16 Maka dalam
membahas Syari’ah diawali dengan membahas tasyri’. Tasyri’
ialah menciptakan dan menerapkan Syari’ah.17 Dalam kajian
hukum Islam, tasyri’ sering didefinisikan sebagai penetapan
norma-norma hukum untuk menata kehidupan manusia, baik
dalam hubungannya dengan Tuhan maupun dengan umat
manusia lainnya.
Sesuai dengan obyek penerapannya, maka para ulama
membagi tasyri’ ke dalam dua bentuk;18
1. tasyri’ samawi
Tasyri’ samawi ialah penetapan hukum yang dilakukan
langsung oleh Allah dan Rasul-Nya dalam al-Qur’an
dan Sunnah. Ketentuan-ketentuan tersebut bersifat
abadi dan tidak berubah karena tidak ada yang
kompeten untuk mengubahnya selain Allah sendiri.
2. tasyri’ wadl’i.
Tasyri’ wadl’i adalah penentuan hukum yang dilakukan
para mujtahid. Ketentuan-ketentuan hukum hasil ijtihad
mereka ini tidak memiliki sifat mutlak, yakni bisa
berubah-ubah karena merupakan hasil kajian nalar para
ulama yang tidak lepas dari salah karena dipengaruhi
oleh pengalaman keilmuan mereka serta kondisi

16
Ibid.
17
Ibid.
18
Hammis Syafaq, dkk., Pengantar Study Islam (Surabaya: Nuwailah Ahsana, 2021), 40.
lingkungan dan dinamika sosial budaya masyarakat di
sekitarnya.
Aspek hukum pada syari’ah itu melipiti aturan
tentang manusia dengan Tuhannya, yang disebut
dengan ubudiyah, serta hubungan manusia dengan
sesame manusia, yang dikenal dengan istilah
muamalah.
3) Akhlak
Akhlak adalah tingkah laku baik buruknya seseorang.
Kalau kita merujuk pada asal kata akhlak sendiri, akhlak itu
berasal dari bahasa arab yang merupakan bentuk plural dari
kata khuluk yang berarti ukuran, Latihan, dan kebiasaan.19
Menurut tiga pakar dalam bidang akhlak, yaitu Muhammad al-
Ghazali, Ahmad Amin, dan Ibnu Miskawaih menyatakan
bahwa akhlak adalah perangai yang melekat pada diri
seseorang yang bisa memunculkan perbuatan baik tanpa
dipertimbangkan terlebih dahulu.20 Perangai itu harus
dilakukan berulang-ulang dan di saat melakukannya tanpa
berpikir terlebih dahulu.

Berdasarkan pengertian-pengertian menurut para ahli,


dapatlah kita simpulkan bahwa syarat jika ingin dikatakan
akhlak yaitu:21

a) Perbuatannya baik.
b) Perbuatan tersebut tanpa dipertimbangkan terlebih
dahulu.
c) Perbuatan tersebut dilakukan berulang-ulang kali.
19
Ibid., 50.
20
Ibid., 50.
21
Hammis Syafaq, dkk., Pengantar Study Islam (Surabaya: Nuwailah Ahsana, 2021), 51.
Ada suatu perbedaan antara akhlak, adab, moral, etika,
dan budi pekerti. Akhlak merupakan suatu tingkah laku atau
perbuatan yang baik maupun yang buruk yang berasal dari
ajaran agama. Adab adalah suatu tingkah laku atau perbuatan
baiknya seseorang. Moral adalah aturan umum/ kesepakatan
manusia yang bersifat lokal. Etika adalah aturan
umum/kesepakatan manusia yang bersifat komunitas. Ada
yang mengatakan bahwa etika adalah ilmu, yaitu ilmu yang
membahas tentang moralitas atau tingkah laku serta prinsip-
prinsip ajaran mengenai tingkah laku yang benar.22 Dan
terakhir adalah budi pekerti, yaitu adalah pemikiran yang
didorong perasaan hati untuk melakukan suatu perbuatan.

c. Tujuan Studi Islam

Studi islam sebagai usaha untuk mempelajari dengan dalam


tentang seluk beluk agama islam sudah teentu memiliki tujuan yang
jelas. Apalagi tujuan tersebut disusun dengan cara sistematis. Adapun
tujuan studi islam itu adalah:

a) Untuk mempelajari dan mendalami dengan sebenar-benarnya,


apa hakikat agama islam itu.23 Dan bagaimana hubungan
agama islam dengan agama-agama yang lain dalam kehidupan
sehari-hari. Karena sehubungan dengan ini, Studi Islam
dilakukan berdasarkan asumsi bahwa sebenarnya agama islam
diturunkan oleh Allah SWT adalah agar membimbing dan

22
Ibid., hlm. 53.
23
Umi Hani, Pengantar Studi Islam (Banjarmasin: Uniska, 2022) 11.
mengarahkan pertumbuhan dan perkembangan agama-agama
serta budaya umat di dunia ini.

2. Untuk mempelajari dengan mendalam pokok-pokok isi ajaran


agama, dan bagaimana penjabaran serta pengaplisiannya dalam
pertumbuhan dan perkembangan budaya peradaban islam
sepanjang sejarahnya.24 Studi ini berasumsi bahwa agama islam
merupakan fitrah sehingga pokok-pokok isi ajaran agama islam
sendiri tentunya sesuai dan cocok dengan fitrah manusia. Fitrah
ialah potensi dasar, pembawaan yang ada, dan tercipta dalam
proses pencipataan manusia.

3. Untuk mempelajari secara mendalam sumber dasar ajaran


agama islam yang tetap abadi dan dinamis, dan bagaimana
aktualisasinya sepanjang sejarahnya. Studi ini berdasarkan asumsi
bahwa agama islam sebagai agama samawi terakhir membawa
ajaran yang bersifat sempurna dan mampu memecahkan masalah
kehidupan manusia, menjawab tantangan sepanjang zaman.

4. Untuk mempelajari secara mendalam prinsip-prinsip, konsep-


konsep dan nilai-nilai dasar ajaran agama islam, serta bagaimana
cara mengaktualisasikan dalam membimbing dan mengontrol
perkembangan budaya dan peradaban manusia pada zaman
kontemporer ini. Asumsi dari studi ini adalah, islam yang
meyakini mempunyai misi sebagai rahmah li al-‘alamin pastinya
memiliki prinsip dasar yang bersifat universal, dan mempunyai
daya dan kemampuan untuk membimbing dan mengendalikan
factor-faktor potensial dari pertumbuhan dan perkembangan sistem
budaya dan peradaban masa kontemporer ini.25
24
Umi Hani, Pengantar Studi Islam (Banjarmasin: Uniska, 2022) 11.
25
Ibid.
d. Kedudukan Mata Kuliah Pengantar Studi Islam Dengan Mata Kuliah
Lain

Seiring bergantinya zaman ke zaman, mulai dari zaman dahulu


hingga zaman kontemporer ini, mempelajari metodologi studi islam
diharapkan dapat mengarahkan kita agar melaksanakan usaha-usaha
pembaharuan dalam pemikiran aiaran-ajaran islam yang merupakan
warisan doktriner yang dianggap sudah ketinggalan zaman ini, agar
mampu beradaptasi serta menjawab tantangan serta tuntutan zaman
dan modernisasi dunia dengan tetap berpegang terhadap sumber
agama islam, yakni Al-Qur’an dan As-Sunnah.26 Mendalami
metodologi studi islam juga diharapkan mampu memberikan pedoman
dan pegangan hidup bagi umat islam untuuk tetap menjadi muslim
yang sejati yang mampu menjawab tantangan serta tuntutan zaman
modern, kontemporer maupun era globalisasi saat ini.27

Untuk itu, kedudukan mata kuliah pengantar studi islam paling


penting peranannya dari semua disiplin ilmu lain yang menyangkut
tentang aspek islam. Karena dalam mata kuliah ini kalian akan
diantarkan, diberi gambaran tentang keislaman, sebelum kalian benar-
benar mempelajari seluk beluk ajaran agama islam ini. Kalian tidak
akan kaget jika nanti sudah masuk secara mendalam. Oleh karenanya
diharapkan mata kuliah ini harus ada dalam setiap studi ilmu
khususnya di Indonesia. Dengan mempelajari pengantar studi islam,
Mahasiswa diharapkan mempunyai pegangan hidup yang pada
akhirnya dapat menjadi muslim sejati dan taat.

26
Umi Hani, Pengantar Studi Islam (Banjarmasin: Uniska, 2022) 8.
27
Ibid.
e. Urgensi Pengantar Studi Islam Bagi Calon Guru Agama

Mata kuliah pengantar studi islam sangatlah penting


dikalangan perguruan tinggi islam. Karena pada mata kuliah ini akan
dibahas dasar-dasar agama islam secara sistematis. Apalagi bagi
fakultas tarbiah. Karena rencana lulusan dari fakultas ini adalah
menjadi guru. Mata kuliah ini sangat penting bagi calon guru. Lebih-
lebih bagi calon guru agama, yaitu prodi PAI, PBA, maupun MPI.
Karena merupakan bekal mereka dalam mendidik murid-murid mereka
di kemudian hari. Selain itu mata kuliah ini membuka ruang bagi para
calon agama untuk mempelajari islam dengan historis-empiris maupun
objektif-rasionalis agar studi islam di Indonesia tidak kalah dengan
studi islam di Barat. Selain itu, agar ajaran agama islam bisa
menyesuaikan perpindahan zaman, agar tidak terulang lagi masa
kemunduran umat islam karena disebabkan berhentinya ijtihad pada
masa itu.

Adapun urgensi secara rinci dari mata kuliah pengantar studi islam
dapat dipahami sebagai berikut:28

i. Umat islam saat ini berada dalam kondisi problematiu Umat


islam pada saat ini berada pada masa yang lemah dalam segala
aspek kehidupan sosial budaya yang mana harus berhadapan
dengan dunia modern yang serba psraktis dan maju. Oleh
karena itu, umat islam tidak boleh terjebak pada romantisme,
artinya menyibukkan diri untuk membesar-besarkan kejayaan
masa lalu yang terwujud dalam sejarah islam, sementara saat
ini islam masih silau menghadapi masa depannya. umat islam
memang berada dalam suasana problematik. Jika sekarang

28
Umi Hani, Pengantar Studi Islam (Banjarmasin: Uniska, 2022) 9.
umat islam masih berpegang teguh pada ajaran-ajaran islam
hasil penafsiran ulama terdahulu yang dianggap sebagai ajaran
yang mapan dan sempurna serta paten, berarti mereka memiliki
intelektual sebatas itu saja yang pada akhirnya menghadapi
masa depan suram. Oleh karena itu, disinilah pentingnya studi
islam yang dapat mengarahkan dan bertujuan untuk
mengadakan usaha-usaha pembaharuan dan pemikiran kembali
ajaran-ajaran agama islam yang merupakan warisan ajaran
yang turun temurun agar mampu beradaptasi dan menjawab
tantangan serta tuntutan zaman dan dunia modern dengan tetap
berpegang pada sumber ajaran islam yang murni dan asli, yaitu
al-quran dan As sunnah. Studi islam juga dapat diharapkan
mampu memberikan pedoman dan pegangan hidup bagi umat
islam agar tetap menjadi seorang muslim sejati yang hidup
dalam dan mampu menjawab tantangan serta tuntutan zaman
modern maupun era global sekarang.
ii. Umat islam dan peradabannya berada dalam suasana
problematic Perkembangan IPTEK telah membuka era baru
dalam perkembangan budaya dan peradaban umat manusia.
Dunia tampak sebagai suatu system yang saling memiliki
ketergantungan Oleh karenanya, umat manusia tentunya
membutuhkan aturan, norma serta pedoman dan pegangan
hidup yang dapat diterima oleh semua bangsa. Umat manusia
dalam sejarah peradaban dan kebudayaannya telah berhsil
menemukan aturan, nilai, norma sebagai pegangan dan
pedoman yang berupa: agama, filsafat, ilmu pengetahuan dan
teknologi. Umat manusia pada masa yang serba canggih
semakin menjadikan manusia-manusia modern kehilangan
identitas serta kemanusiaannya ( sifat-sifat manusiawinya).
Islam, sebagai agama yang rahmatullah lil ‘alamin, tentunya
mempunyai konsep atau ajaran yang bersifat manusiawi dan
universal, yang dapat menyelamatkan umat manusia dan alam
semesta dari kehancurannya. Akan tetapi , umat islam sendiri
saat ini berada dalam situasi yang serba problematic. Kondisi
kehidupan sosial budaya dan peradaban umat islam dalam
keadaaan lemah dan tidak berdaya berhadapan dengan budaya
dan peradaban manusia dan dunia modern. Di sinilah urgensi
studi islam, yaitu untuk menggali ajaran-ajaran islam yang asli
ndan murni, dan yang bersifat manusiawi. Dari situlah
kemudian dididikkan dan ditransformasikan kepada generasi
penerusnya yang bisa menawarkan alternatif pemecahan
permaslahan yang dihadapi oleh umat manusia dalam dunia
modern atau kontemporer ini.
iii. Mata kuliah pengantar studi islam sangatlah penting bagi calon
guru agama. Karena ini merupakan pondasi dasar bagi mereka
untuk lebih mendalami lagi ajaran agama islam. Mata kuliah
ini sebagai bekal dan gambaran meereka untuk menuju ke
suatu hal yang lebih dalam laggi nantinya. Dengan adanya
mata kuliah ini, para calon guru agama lebih mudah
memahami dasar-dasar ajaran agama islam itu seperti apa. Para
calon guru agama diharapkan nantinya dapat mengetahui
sejarah perkembangan islam dari masa-kemasa, mengetaahui
sumber pokok ajaraan islam, dan lain-lain sebagai bekal untuk
mereka.
3. Islam Perspektif Hukum
Islam menurut A. Gaffar Ismail ialah nama agama yang dibawa oleh Nabi
Muhammad yang berisi kelengkapan dari pelajaran-pelejaran yang meliputi : (a)
kepercayaan; (b) seremoni-peribadahan; (c) tata tertib kehidupan pribadi; (d) tata
tertib pergaulan hidup; (e) peraturan-peraturan Tuhan; (f) bangunan budi pekerti
yang utama, dan menjelaskan rahasia kehidupan yang akhirat.

Hukum sendiri berasal dari bahasa arab hakama-yahkumu-hukman (masdar)


yang dalam Kamus Arab-Indonesia Mahmud Junus diartikan dengan
menghukum dan memerintah. Hukum juga diartikan dengan memutuskan,
menetapkan, dan menyelesaikan setiap permasalahan. Menurut Muhammad
Daud Ali, hukum dapat dimaknai dengan norma, kaidah, ukuran, tolak ukur,
pedoman yang digunakan untuk menilai dan melihat tingkah laku manusia
dengan lingkungan sekitarnya.

Islam dalam perspektif hukum atau yang biasa disebut hukum Islam adalah
kaidah-kaidah yang didasarkan pada wahyu Allah SWT dan Sunnah Rasul
mengenai tingkah laku Mukallaf (orang yang sudah dapat dibebani kewajiban)
yang diakui dan diyakini, yang mengikat bagi semua pemeluknya.

Hukum Islam secara umum dapat dibagi menjadi dua,


pertama, hukum taklifi yang terdiri dari al-wujub (wajib), an-nadbu (sunnat), al-
ibahah (mubah), al-karoheh (makruh), dan al-haromah (haram). Contohnya,
wajib puasa bulan Ramadhan, haramnya minum khamar, mubahnya makan
minum, serta makruhnya merokok. Kedua, hukum wadh’iy yang didalamnya
ada sebab, syarat, mani’, sah-batal, rukhsoh-‘azimah. Contohnya, waktu
matahari tergelincir di tengah hari menjadi sebab wajibnya seorang mukallaf
menunaikan sholat dzuhur, wudhu’ menjadi syarat sahnya sholat, haid menjadi
penghalang (mani’) seorang perempuan melakukan kewajiban sholat atau puasa.
Pemikiran di atas memperlihatkan bahwa ada perbedaan antara Islam sebagai
agama, dan hukum sebagai bagian dari agama Islam. Perbedaan tersebut sangat
kecil, karena itu ada tiga konsep yang wajib diketahui dan dipahami oleh
seorang muslim, yaitu syari’ah, fiqh, dan qonun.29

Menurut Hasbi As-Shiddieqy, syariat berarti jalan tempat keluarnya sumber


mata air atau jalan yang dilalui air terjun yang diasosiakan oleh orang Arab
sebagai at-thhariqah al-mustaqimah. Secara terminologi, syariat berarti tata
aturan atau hukum-hukum yang disyariatkan Allah kepada hamba-Nya untuk
diikuti. Fiqh menurut Fathurrman Djamil ialah dugaan kuat yang dicapai oleh
seorang mujtahid dalam usahanya menemukan hukum Allah. Fiqh memiliki
keterkaitan dengan hukum-hukum syara’ yang bersifat praktis yang bersumber
pada dalil-dalil yang terperinci. Sedangkan qonun biasa diartikan dengan
Undang-Undang. Ulama’ salaf mendefinisikannya sebagai kaidah-kaidah yang
bersifat kully (menyeluruh) yang didalamnya tercakup hukum-
hukum juz’iyyah (bagian-bagiannya). Qonun umumnya dibuat oleh pemerintah
yang berkuasa.

Syari’ah, fiqh dan qonun berbeda. Ajaran syari’at tedapat dalam Qur’an dan
hadist yang tidak mungkin berubah teksnya, bersifat fundamental, abadi karena
merupakan ketetapan Allah dan Nabi Muhammad, tunggal yang meperlihatkan
konsep kesatuan Islam. Sedangkan fiqh dan qonun merupakan produk
pemahaman manusia yang menggali hukum dalam Qur’an dan hadist, bersifat
instrumental, mengalami perubahan sesuai waktu, zaman serta keadaan.
Realitasnya seperti yang kita ketahui saat ini, dimana produk hukum fiqh dan
qonun cenderung berbeda-beda sesuai madzhab yang sangat beragam.

29
M. Syafi’ie. “Perihal Islam dan Hukum”, https://law.uii.ac.id/blog/2021/08/23/perihal-islam-dan-
hukum/ (23 Agustus 2021)
Pada umumnya, pengertian hukum dapat diartikan sangat beragam sebagai
berikut:30
1. Hukum diartikan sebagai produk keputusan penguasa, perangkat peraturan yang
ditetapkan penguasa seperti Undang-Undang Dasar (UUD) dan lain-lain.
2. Hukum diartikan sebagai produk keputusan hakim, putusan-putusan yang
dikeluarkan hakim dalam menghukum suatu perkara yang dikenal dengan
jurisprudence (yurisprodensi).
3. Hukum diartikan sebagai petugas/pekerja hukum. Hukum diartikan sebagai
sosok seorang petugas hukum seperti polisi yang sedang bertugas. Pandangan
ini sering dijumpai didalam masyarakat tradisionil.
4. Hukum diartikan sebagai wujud sikap tindak/perilaku. Sebuah perilaku yang
tetap sehingga dianggap sebagai hukum. Seperti perkataan: “setiap orang yang
kos, hukumnya harus membayar uang kos”. Sering terdengar dalam
pembicaraan masyarakat dan bagi mereka itu adalah aturannya/hukumnya.
5. Hukum diartikan sebagai sistem norma/kaidah. Kaidah/norma adalah aturan
yang hidup ditengah masyarakat. Kaidah/norma ini dapat berupa norma
kesopanan, kesusilaan, agama, dan hukum (yang tertulis) yang berlakunya
mengikat kepada seluruh anggota masyarakat dan mendapat sanksi bagi
pelanggar.
6. Hukum diartikan sebagai tata hukum. Berbeda dengan penjelasan angka 1,
dalam konteks ini hukum diartikan sebagai peraturan yang saat ini sedang
berlaku (hukum positif) dan mengatur segala aspek kehidupan masyarakat, baik
yang menyangkut kepentingan individu (hukum privat) maupun kepentingan
dengan Negara (hukum publik). Peraturan privat dan publik ini terjelma di
berbagai aturan hukum dengan tingkatan, batas kewenangan dan kekuatan
mengikat yang berbeda satu sama lain. Hukum sebagai tata hukum,
keberadaannya digunakan untuk mengatur tata tertib masyarakat dan berbentuk
hierarkis.
30
Wasis S.P., Pengantar Ilmu Hukum, (Malang: UMM Press, 2002), hal 11.
7. Hukum diartikan sebagai tata nilai. Hukum mengandung nilai tentang baik-
buruk, salah-benar, adil-tidak adil dan lain-lain, yang berlaku secara umum.
8. Hukum diartikan sebagai ilmu. Hukum yang diartikan sebagai pengetahuan
yang akan dijelaskan secara sistematis, metodis, objektif, dan universal.
Keempat perkara tersebut adalah syarat ilmu pengetahuan.
9. Hukum diartikan sebagai sistem ajaran (disiplin hukum). Sebagai sistem ajaran,
hukum akan dikaji dari dimensi dassollen dan das-sein. Sebagai dassollen,
hukum menguraikan tentang yang dicita-citakan. Kajian ini akan melahirkan
hukum yang seharusnya dijalankan. Sedangkan sisi dassein merupakan wujud
pelaksanaan hukum pada masyarakat. Antara dassollen dan das-sein harus
sewarna. Antara teori dan praktik harus sejalan. Jika das-sein menyimpang dari
dassollen, maka akan terjadi penyimpangan pelaksanaan hukum.
10. Hukum diartikan sebagai gejala sosial. Hukum merupakan suatu gejala yang
berada di masyarakat. Sebagai gejala sosial, hukum bertujuan untuk
mengusahakan adanya keseimbangan dari berbagai macam kepentinagan
seseorang dalam masyarakat, sehingga akan meminimalisasi terjadinya konflik.
Proses interaksi anggota masyarakat untuk mencukupi kepentingan hidupnya,
perlu dijaga oleh aturan-aturan hukum agar hubungan kerjasama positif antar
anggota masyarakat dapat dapat berjalan aman dan tertib.31
11. Hukum secara terminologis pula masih sangat sulit untuk diberikan secara
tepat dan dapat memuaskan. Ini dikarenakan karena hukum memiliki segi dan
bentuk yang sangat banyak, sehinnga tidak mungkin tercakup keseluruhan segi
dan bentuk hukum itu di dalam suatu definisi.32

- Hukum Agama/ Hukum Islam


Pengertian hukum Islam atau syariat Islam adalah sistem kaidahkaidah
yang didasarkan pada wahyu Allah SWT dan Sunnah Rasul mengenai tingkah

31
Wasis S.P., Pengantar Ilmu Hukum, (Malang: UMM Press, 2002), hal 12
32
J. Van Apeldoom, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2004), hal. 1
laku mukallaf (orang yang sudah dapat dibebani kewajiban) yang diakui dan
diyakini, yang mengikat bagi semua pemeluknya. Dan hal ini mengacu pada apa
yang telah dilakukan oleh Rasul untuk melaksanakannya secara total. Syariat
menurut istilah berarti hukum-hukum yang diperintahkan Allah Swt untuk umat-
Nya yang dibawa oleh seorang Nabi, baik yang berhubungan dengan
kepercayaan (aqidah) maupun yang berhubungan dengan amaliyah.33

Terdapat istilah syarî’ah dalam hukum Islam yang harus dipahami sebagai
sebuah intisari dari ajaran Islam itu sendiri. Syarî’at atau ditulis juga syarî’ah
secara etimologis (bahasa) sebagaimana dikemukakan oleh Hasbi as-Shiddieqy
adalah “Jalan tempat keluarnya sumber mata air atau jalan yang dilalui air
terjun”34 yang kemudian diasosiasikan oleh orang-orang Arab sebagai at-thariqah
al-mustaqîmah, sebuah jalan lurus yang harus diikuti oleh setiap umat muslim.
Pergeseran makna dari denonatif, sumber mata air, menjadi jalan yang lurus
tersebut memiliki alasan yang bisa dinalar. Setiap makhluk hidup pasti
membutuhkan air sebagai sarana menjaga keselamatan dan kesehatan tubuh,
guna bisa bertahan hidup di dunia. Demikian juga halnya dengan pengertian
“jalan yang lurus” di dalamnya mengandung maksud bahwa syariat sebagai
petunjuk bagi manusia untuk mencapai kebaikan serta keselamatan baik jiwa
maupun raga. Jalan yang lurus itulah yang harus senantiasa dilalui oleh setiap
manusia untuk mencapai kebahagiaan dan keselamatan dalam hidupnya.

Secara terminologis (istilah) syarî’ah diartikan sebagai tata aturan atau


hukum-hukum yang disyariatkan oleh Allah kepada hamba-Nya untuk diikuti.
Diperjelas oleh pendapat Manna’ alQhaththan, bahwa syarî’at berarti “segala

33
Eva Iryani, Hukum Islam, Demokrasi dan Hak Asasi Manusia, dalam Jurnal Ilmiah Universitas
Batanghari Jambi Vol.17 No.2 Tahun 2017. Halaman 24
34
M. Hasbi As-Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqih, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), hlm. 20.
ketentuan Allah yang disyariatkan bagi hamba-hamba-Nya, baik menyangkut
akidah, ibadah, akhlak, maupun muamalah”.35
Sesuai dengan ayat al-Quran surat al-Jasiyah ayat 18:

َ‫ك ع َٰلى َش ِر ْي َع ٍة ِّمنَ ااْل َ ْم ِر فَاتَّبِ ْعهَا َواَل تَتَّبِ ْع اَ ْه َو ۤا َء الَّ ِذ ْينَ اَل يَ ْعلَ ُموْ ن‬
َ ‫ثُ َّم َج َع ْل ٰن‬
Artinya: “Kemudian kami jadikan kamu berada diatas suatu syariat
(peraturan) dari urusan (agama) itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah
kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui”.

Syariah pada mulanya diartikan dengan agama, namun kemudian lebih


dispesifikkan untuk hukum amaliah saja. Pengkhususan makna syariah
dimaksudkan untuk memberikan pemahaman bahwa sejatinya Agama hanya satu
dan cakupannya lebih luas (universal), sedangkan Syariah dapat berbeda-beda
antar satu umat dengan umat lainnya. Syariat merupakan norma hukum dasar yang
ditetapkan Allah, dan kemudian wajib diikuti oleh umat Islam berdasar keyakinan
dan disertai akhlak, baik dalam hubungannya dengan Allah (Hablum Min Allah),
hubungan dengan sesama manusia (Hablum Min An-Nas), dan hubungan dengan
alam (Hablum Min Al-Alam).

Mahmud Syaltut dalam al-Islâm: ‘Aqîdah wa Syarî’ah mengatakan, “Syariah


adalah peraturan-peraturan yang ditetapkan oleh Allah atau ditetapkan dasar-
dasarnya oleh Allah agar manusia berpegang teguh kepadanya dalam
hubungannya dengan Tuhannya, berhubungan dengan saudaranya sesama muslim,
berhubungan dengan saudaranya sesama manusia, berhubungan dengan alam
semesta, dan berhubungan dengan kehidupan.36

35
Manna’ Khalil al-Qhattan, At-Tasyri’ wa al-Fiqh fi al-Islam: Tarikhan wa Manhajan, (ttt: Maktabah
Wahbah, 1976), hlm. 9.
36
Mahmud Syaltut, al-Islâm: ‘Aqîdah wa Syarî’ah, (ttt: Dâr al-Qalam, 1966), hlm. 12.
Norma hukum dasar yang terdapat di dalam al-Quran masih sangat umum,
sehingga kemudian perkembangannya diperinci oleh hadits Rasul dan diperkaya
dengan pemikiran ulama. Norma hukum dasar yang bersifat umum dalam al-
Quran tersebut kemudian digolongkan dan dibagi ke dalam beberapa bagian atau
kaidah-kaidah yang lebih konkret guna dapat dipraktekkan dalam kehidupan
sehari-hari. Untuk dapat mempraktekkan kaidah-kaidah konkret tersebut dalam
kehidupan sehari-hari diperlukan disiplin ilmu untuk memahaminya terlebih
dahulu. Disiplin ilmu tersebut di antaranya adalah ilm al-fiqh, yang ke dalam
bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi ilmu hukum (fiqih) Islam. Sebagaimana
dilansir oleh Muhammad Daud Ali dalam Hukum Islam, ilmu fiqih adalah ilmu
yang mempelajari atau memahami syariat dengan memusatkan perhatian pada
perbuatan (hukum) manusia mukallaf, yakni manusia yang menurut ketentuan
Islam sudah baligh (dewasa).

Secara ringkas fiqih adalah dugaan kuat yang dicapai oleh seorang mujtahid
dalam usahanya menemukan hukum Tuhan.37 Fiqih memiliki keterkaitan dengan
hukum-hukum syara’ yang bersifat praktis yang bersumberkan kepada dalil-dalil
terperinci. Hukumhukum syara’ tersebutlah yang dinamai dengan fiqih; baik ia
dihasilkan dengan jalan ijtihad ataupun tanpa ijtihad. Sehingga jelas sekali bahwa
hukum-hukum yang terkait dengan bidang akidah dan akhlak tidak termasuk
dalam pembahasan ilmu fiqih dan tidak pula dikatakan sebagai Ilmu Fiqih.
Perbedaan pokok antara syariah dengan fiqih:
1. Ketentuan syariat terdapat dalam al-Quran dan kitabkitab hadits. Yang
dimaksud syariah adalah wahyu Allah dan sunah Nabi Muhammad sebagai
Rasul-Nya. Sedang fiqih adalah sebuah pemahaman manusia yang memenuhi
syarat tentang syariat dan terdapat dalam kitab-kitab fiqih.
2. Syariat bersifat fundamental serta memiliki cakupan ruang lingkup yang lebih
luas, meliputi juga akhlak dan akidah. Sedang fikih hanya bersifat
37
Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 7-9
instrumental, terbatas pada hukum yang mengatur perbuatan manusia, yang
biasa disebut sebagai perbuatan hukum.
3. Syariat adalah ketetapan Allah dan ketentuan Rasul-Nya sehingga berlaku
abadi. Sedang fiqih karena merupakan karya manusia, maka sangat
dimungkinkan mengalami perubahan sesuai perkembangan zaman dan waktu.
4. Syariat hanya ada satu, sedang fikih berjumlah banyak karena merupakan
pemahaman manusia. Seperti terdapatnya beberapa aliran ahli fikih fâqih (s)
atau fuqahâ’ (p) yang berbeda, dikenal dengan sebutan madzhab (s) atau
madzâhib (p).
5. Syariat menunjukkan konsep kesatuan dalam Islam, sedang fikih menunjukkan
keragaman pemikiran yang memang dianjurkan dalam Islam.38

Selanjutnya definisi qânûn (Undang-Undang). Istilah ini merupakan


kata yang berasal dari bahasa Arab. Kitab Mu’jam Al-Wasîth menyebutkan bahwa
qânûn adalah setiap perkara yang bersifat kulliy (menyeluruh) yang relevan
dengan seluruh juz’iyyah (bagianbagian)-nya, yang darinya hukum-hukum
juz’iyyah tersebut dikenal.

Dalam hal ini ulama salaf memberikan definisi qânûn sebagai kaidah-kaidah
yang bersifat kulliy (menyeluruh) yang di dalamnya tercakup hukum-hukum
juz’iyyah (bagian-bagian). Jika kata qânûn disebutkan bersamaan dengan kata
syariah, tidak lain maksudnya adalah suatu hukum yang dibuat manusia untuk
mengatur perjalanan hidup dan hubungannya dengan sesama manusia yang lain,
baik secara individu, masyarakat, dan negara.

Dasar syariat adalah wahyu Allah, sedangkan dasar qânûn adalah rakyu (produk
manusia). Kata qânûn (undang-undang) berarti kumpulan undang-undang atau
hukum produk manusia yang dikemas untuk perkara tertentu dan bidang-bidang
38
Rohidin, Pengantar Hukum Islam, (Yogyakarta: Lintang Rasi Aksara Books, 2016), hlm 9-10
tertentu, seperti undang-undang pidana dan lain-lain. Bisa disebut pula, qânûn
ialah kumpulan hukum produk manusia yang digunakan untuk menyelesaikan dan
memutuskan perkara manusia yang berselisih. Qânûn produk manusia yang kali
pertama dikenal ialah Qânûn Hamuraby di negara Babilonia, sedang kumpulan
qânûn klasik yang paling terkenal adalah undang-undang Romawi.
Terdapat perbedaan mendasar antara syariat dengan qânûn jika ditinjau dari tiga
aspek, yaitu:39
1. Aspek pembuatan. Qânûn merupakan produk manusia, sedangkan syariat Islam
adalah produk Allah. Qânûn sesuai dengan sifat pembuatnya (manusia) maka
terdapat kekurangan, kelemahan, dan keterbatasan. Maka dari itu qânûn
menerima perubahan, pergantian, termasuk penambahan dan pengurangan
materi sesuai perubahan yang terjadi di masyarakat. Ditinjau dari aspek
pembuatan ini maka qânûn tidak akan pernah sempurna karena merupakan
produk manusia yang penuh dengan keterbatasan. Berbeda halnya dengan
syariat. Ia adalah produk Allah swt. yang mewakili sifat-sifat kesempurnaan
Tuhan semesta alam berupa kekuasaan, kesempurnaan, dan keagungan-Nya.
Jangkauan Allah yang meliputi apa yang telah, sedang, atau akan terjadi
menjadikan syariat selalu sesuai dengan perkembangan zaman dan tidak akan
mengalami perubahan serta pergantian.
Sesuai dengan firman Allah swt. dalam al-Quran surat Yûnus: 64
َ ِ‫ت هّٰللا ِ ٰۗذل‬
‫ك هُ َو ْالفَوْ ُز ْال َع ِظ ْي ۗ ُم‬ ِ ٰ‫لَهُ ُم ْالبُ ْش ٰرى فِى ْال َح ٰيو ِة ال ُّد ْنيَا َوفِى ااْل ٰ ِخ َر ۗ ِة اَل تَ ْب ِد ْي َل لِ َكلِم‬
Artinya: “Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan dalam
kehidupan di akhirat. Tidak ada perubahan atau pergantian bagi kalimat-kalimat
(janji-janji) Allah. Yang demikian itu adalah kemenangan yang besar”
2. Aspek waktu berlakunya. Qânûn sebagai produk manusia bersifat temporer
untuk mengatur setiap perkara dan kebutuhan manusia. Seringkali qânûn atau
aturan muncul setelah terdapat masyarakat. Hal ini menyebabkan qânûn yang

39
Yusuf Qardlawi, Membumikan Syariat Islam, (Bandung: Mizan, 2003), hlm. 24-30.
saat ini relevan dengan keadaan masyarakat belum tentu relevan di masa
mendatang karena perbedaan.

- Ruang Lingkup Hukum Islam40


1. Hukum Perdata
Hukum Perdata Islam meliputi:
a. Munâkahât, mengatur segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan
dan perceraian serta segala akibat hukumnya.
b. Wirâtsat, mengatur segala masalah dengan pewaris, ahli waris, harta
peninggalan, serta pembagian warisan. Hukum warisan Islam ini disebut
juga hukum farâidh.
c. Mu’âmalah dalam arti yang khusus, mengatur masalah kebendaan dan hak-
hak atas benda, tata hubungan manusia dalam masalah jual beli, sewa-
menyewa, pinjam-meminjam, perserikatan, kontrak, dan sebagainya.

2. Hukum Publik
Hukum Publik Islam meliputi:
a. Jinâyah, yang memuat aturan-aturan mengenai perbuatan-perbuatan yang
diancam dengan hukuman, baik dalam jarîmah hudûd (pidana berat) maupun
dalam jarîmah ta’zîr (pidana ringan). Yang dimaksud dengan jarîmah adalah
tindak pidana. Jarîmah hudûd adalah perbuatan pidana yang telah ditentukan
bentuk dan batas hukumnya dalam al-Quran dan asSunnah (hudûd jamaknya
hadd, artinya batas). Jarîmah ta’zîr adalah perbuatan tindak pidana yang
bentuk dan ancaman hukumnya ditentukan oleh penguasa sebagai pelajaran
bagi pelakunya (ta’zîr artinya ajaran atau pelajaran).

40
A. Rahmat Rosyadi, Formalisasi Syariat Islam dalam Persfektif Tata Hukum Indonesia, (Bogor: Ghalia
Indonesia, 2006), hlm. 52.
b. Al-Ahkâm as-Shulthâniyyah, membicarakan permasalahan yang
berhubungan dengan kepala negara/ pemerintahan, hak pemerintah pusat dan
daerah, tentang pajak, dan sebagainya.
c. Siyâr, mengatur urusan perang dan damai, tata hubungan dengan pemeluk
agama lain dan negara lain.
d. Mukhâsamat, mengatur soal peradilan, kehakiman, dan hukum acara.

- Prinsip Hukum Islam


a. Tidak meyulitkan (‘adamul kharaj), yaitu hukum Islam itu tidak sempit, sesak,
tidak memaksa dan tidak memberatkan.
b. Menyedikitkan beban (taqlil at-takalif), yaitu dengan menyedikitkan tuntutan
Allah untuk berbuat, mengerjakan perintahNya dan menjauhi laranganNya.
c. Berangsur-angsur (tadrij). Hukum Islam dibentuk secara gradual, tidak
sekaligus.
d. Universal, syari‟at Islam meliputti seluruh alam tanpa ada batas wilayah, suku,
ras, bangsa, dan bahasa. Keuniversalan ini pula tergambar dari sifat hukum
Islam yang tidak hanya terpaku pada satu masa saja (abad ke-VII saja,
misalnya), tetapi untuk semua zaman. Hukum Islam menghimpun segala sudut
dari segi yang berbeda-beda di dalam suatu kesatuan, dan ia akan senantiasa
cocok dengan masyarakat yang menghendaki tradisi lama ataupun modern,
seperti halnya ia dapat melayani para ahl aql dan ahl naql, ahl al-ra‟y atau ahl
al-hadis.
e. Menegakkan Keadilan. Keadilan dalam arti perimbangan atau keadaan
seimbang (mauzun) antonimnya ketidakadilan, kerancuan (at-tanasub),
persamaan (musawah), tidak diskriminatif, egaliter, penunaian hak sesuai
dengan kewajiban yang diemban (keadilan distributif), serta keadilan Allah
yaitu kemurahanNya dalam melimpahkan rahmatNya kepada manusia sesuai
dengan tingkat kesediaan yang dimilikinya.41
41
Hasby Ash-Shiddiqi, Filsafat Hukum Islam, hal. 105-106
- Hukum Positif
Hukum positif disebut juga ius constitutum yang berarti kumpulan asas dan
kaidah hukum tertulis yang pada saat ini sedang berlaku dan mengikat secara
umum atau khusus dan ditegakkan oleh atau melalui pemerintah atau pengadian
dalam Negara Indonesia.42

Hukum positif Indonesia menurut bentuknya terdiri dari hukum tertulis


(peraturan perundangan) dan hukum tidak tertulis (hukum adat). Sumber hukum
positif Indonesia ada dua yaitu sumber hukum materiil dan sumber hukum formil.
Sumber hukum materiil adalah kesadaran hukum masyarakat atau kesadaran
hukum yang hidup dalam masyarakat yang dianggap seharusnya.43

Adapun sumber hukum formil adalah tempat dimana kita dapat menemukan
hukum, prosedur atau cara pembentukan Undang-undang. Yang termasuk sumber
hukum formil adalah:
d. Undang-undang.
Undang-undang adalah suatu peraturan yang mempunyai kekuatan hukum
mengikat yang dipelihara oleh penguasa negara. Contohnya Undang-undang,
Peraturan Pemerintah, Peraturan perundangundangan dan sebagainya.
e. Adat atau kebiasaan.
Peranan kebiasaan dalam kehidupan hukum pada masa sekarang ini memang
sudah banyak merosot. Sebagaimana telah diketahui, kebiasaan merupakan
tidak lagi sumber yang penting sejak ia didesak oleh perundang-undangan dan
sejak sistem hukum semakin didasarkan pada hukum perundang-undangan atau
jus scriptum.44
42
I. Gede Pantja Astawa, Dinamika Hukum dan ilmu Perundang-Undangan di Indonesia.(Bandung: PT.
Alumni, 2008), hal. 56
43
Samidjo, Pengantar Hukum Indonesia (Bandung: C.V Armico, 1985), hal. 37
44
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1996), hal. 108
f. Yurisprudensi.
Kata yurisprudensi dalam bahasa Inggris berarti teory ilmu hukum
(algemeeme rechtsleer: General theory of law), sedangkam untuk pengertian
yurisprudensi dipergunakan istilah-istilah case law atau judge Made Law. Kata
yurisprudensi dalam bahasa Jerman berarti ilmu hukum dalam arti sempit.
Kemudian dari segi praktik peradilan yurisprudensi adalah keputusan hakim
yang selalu dijadikam pedoman hakim lain dalam menuntaskan kasus-kasus
yang sama.45
g. Traktat.
Traktat merupakan perjanjian yang diadakan dua negara atau lebih. Biasanya
memuat peraturan-peraturan hukum. Jenis-jenis traktat di antaranya yaitu:46
1. Traktat Bilateral, yaitu traktat yang terjadi antara dua negara saja.
2. Traktat Multirateral yaitu traktat yang dibuat oleh lebih dari dua negara.
3. Traktat Kolektif, yaitu traktat multirateral yang membuka kesempatan bagi
mereka yang tidak ikut dalam perjanjian itu untuk menjadi anggotanya.
h. Doktrin hukum.47
Doktrin adalah pendapat para sarjana hukum yang merupakn sumber hukum
tempat hakim dapat menemukan hukumnya. Seringkali terjadi bahwa hakim
dalam keputusannya menyebut sarjana hukum. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa hakim menemukan hukumnya dalam doktrin itu. Doktrin yang
demikian itu adalah sumber hukum formil.48
Selanjutnya yang termasuk dalam umber hukum materiil adalah terdiri dari:
a. Perasaan hukum seseorang atau pendapat umum
b. Agama
c. Kebiasaan

45
R. Soeroso , Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar Grafiaka, 2009), hal. 159-160
46
R. Soeroso , Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar Grafiaka, 2009), hal. 110-111
47
Samidjo, Pengantar Hukum Indonesia (Bandung: C.V Armico, 1985), hal. 38
48
E. Utrech, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, hal. 115
d. Politik hukum daripada pemerintah.49

- Unsur-unsur Hukum Positif


hukum positif meliputi beberapa unsur, yaitu:
a. Peraturan mengenai tingkah laku manusia dalam pergaulan masyarakat .
b. Peraturan diadakan oleh badan-badan resmi yang berwajib.
c. Peraturan bersifat memaksa.
d. Sanksi terhadap pelanggaran peraturan tersebut adalah tegas.50

- Ciri-ciri Hukum Positif


a. Terdapat perintah maupun larangan
b. Setiap perintah maupun larangan harus dipatuhi setiap masing-masing individu.
Sifat hukum adalah mengatur dan memaksa. Hukum positif merupakan
peraturan-peraturan hidup kemasyarakatan yang dapat memaksa orang (person)
agar mentaati tata-tertib dalam masyarakat serta memberikan sanksi yang tegas
berupa hukuman terhadap siapa saja yang tidak mematuhinya. Sanksi harus
diadakan bagi sebuah hukum agar kaedah- kaedah hukum dapat ditaati. Karena
tidak setiap orang hendak mentaati kaedah-kaedah hukum tersebut.51

Hukum memiliki fungsi untuk menertibkan dan mengatur pergaulan dalam


masyarakat serta menyelesaikan masalah-masalah yang timbul. Fungsi hukum
dalam perkembangan masyarakat terdiri dari:52
a. Sebagai alat pengatur tata tertib hubungan masyarakat dalam arti, hukum
berfungsi menunjukkan manusia mana yang baik, dan mana yang buruk,
sehingga segala sesuatu dapat berjalan tertib dan teratur.

49
B. S. Pramono, Pokok-Pokok Pengantar Ilmu Hukum, (Surabaya: Usaha Nasional, 2006), hal. 101
50
Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,1989), hal. 39
51
Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,1989), hal. 40
52
R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), hal. 53
b. Sebagai sarana untuk mewujudkan keadilan sosial lahir dan batin. Dengan sifat
dan ciri-ciri hukum yang telah disebutkan, maka hukum diharapkan dapat
memberi keadilan, dalam arti dapat menentukan siapa yang salah dan siapa
yang benar, dapat memaksa agar peraturan dapat ditaati dengan ancaman sanksi
bagi pelanggarnya.
c. Sebagai sarana penggerak pembangunan. Daya mengikat dan memaksa dari
hukum dapat digunakan untuk menggerakkan pembangunan. Di sini hukum
dijadikan sebagai alat untuk membawa masyarakat kearah yang lebih maju.
d. Sebagai penentuan alokasi wewenang acara terperinci siapa yang berwenang
melakukan pelaksanaan (penegak) hukum, siapa yang harus mentaatinya, siapa
yang memilih sanksi yang tepat dan adil seperti konsep hukum konstitusi
Negara.
e. Sebagai alat penyelesaian sengketa. Contohnya dalam persengketaan harta
waris dapat segera selesai dengan ketetapan hukum waris yang sudah diatur
dalam hukum perdata.
f. Memelihara kemampuan masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan kondisi
kehidupan yang berubah, yaitu dengan cara merumuskan kembali huungan-
hubungan esensial antara anggota-anggota masyarakat.

Subjek hukum dalam hukum Islam berbeda dengan subjek hukum dalam
hukum positif di Indonesia. Dalam hukum positif Indonesia yang dimaksud
dengan subjek hukum adalah segala sesuatu yang menurut hukum dapat menjadi
pendukung (dapat memiliki hak dan kewajiban). Dalam kamus Ilmu Hukum
subjek hukum disebut juga dengan “Orang atau pendukung hak dan kewajiban”.
Dalam artian subjek hukum memiliki kewenangan untuk bertindak menurut tata
cara yang ditentukan dan dibenarkan hukum. Sehingga di dalam ilmu hukum yang
dikenal sebagai subjek hukum adalah manusia dan badan hukum.53

53
Marwan Mas, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2004), hlm. 28.
- Perbedaan Hukum Agama dan Hukum Positif
a. Hukum positif hanya bertujuan untuk kepentingan duniawi saja, yang
berkenaan dengan lahiriah bagi kepentingan kebendaan dengan segala macam
seluk beluknya. Sedangkan hukum agama, sebagai ketetapan Allah untuk
mewujudkan kemaslahatan dan kepentingan manusia lahir dan bathin, dunia
dan akhirat.
b. Hukum syari’at berdasarkan wahyu Allah, ciptaanNya yang menggambarkan
kehendakNya dan kebesaranNya. Hukum positif buatan manusia yang
menggambar buah pikiran manusia, bersifat serba terbatas dan berubah-ubah,
selalu menghendaki penyempurnaan dari berbagai kekurangan.
c. Hukum positif bersifat kontemporer, dibuat oleh sekelompok orang yang
dipandang ahli, berdasarkan pengalaman dan penghayatan yang berlaku pada
suatu masyarakat untuk dilakukan bagi masyarakat atau bangsa yang
bersangkutan itu saja, yang perlu diubah apabila tidak dikehendaki oleh
masyarakat itu lagi.

- Contoh perbedaan hukum agama dan hukum positif.


Dalam masalah perkawinan, yang menyangkut dengan hukum keduniaan ialah
mendapat pasangan hidup sebagai suami-istri yang sah, dapat bergaul bebas dan
masing-masing memperoleh haknya dalam rumah tangga secara sah serta
melaksanakan kewajiban masing-masing sebagai suami-istri dalam melayari
bahtera rumah tangga.

Hubungan hukum Islam dengan hukum positif merupakan hukum bertujuan


untuk memenuhi kebutuhan duniawi yang berkenaan dengan lahiriah bagi
kepentingan kebendaan dengan berbagai seluk beluknya. Sedangkan hukum
agama, merupakan ketetapan Allah untuk mewujudkan kemaslahatan dan
kepentingan manusia lahir batin, dunia dan akhirat.

Anda mungkin juga menyukai